NASKAH PUBLIKASI
ADVERSITY QUOTIENT (AQ) DAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI DAN PROGRAM REGULER
Oleh: SUHEIL FAHMI 03 320 187
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
ADVERSITY QUOTIENT (AQ) DAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI DAN PROGRAM REGULER
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Ratna Syifa’a Rachmahana, S.Psi.,M.Si)
ADVERSITY QUOTIENT (AQ) DAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA SISWA PRORGAM AKSELERASI DAN PROGRAM REGULER
Suheil Fahmi Ratna Syifa’ a Rachmahana
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat motivasi berprestasi antara siswa program akselerasi dan siswa program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan siswa program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ). Subjek dalam penelitian ini berjumlah 54 siswa dari kelas program akselerasi dan 58 siswa dari kelas program reguler Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Yogyakarta. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah dibuat sendiri oleh peneliti. Adapun skala yang digunakan adalah skala Adversity Quotient (AQ) dengan mengacu pada aspekaspek yang dikemukakan oleh Stoltz (2000) dan indikator perilaku Quitter, Camper dan Climber menurut Faqih (2007). Dan skala Motivasi Berprestasi dengan mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan McClelland dalam Kartika dkk (2000). Metode analisis data yang digunakan menggunakan program SPSS 13.0 untuk menguji hipotesis apakah terdapat perbedaan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan siswa program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ). Hasil uji beda (uji-t) Adversity Quotient (AQ) pada siswa program akselerasi dan program reguler menunjukkan t = 0,243 dan p = 0,809 (p>0,05). Sedangkan motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler diperoleh t = 0,262 dan p = 0,794 (p>0,05). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara tingkat Adversity Quotient (AQ) dan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler. Hasil uji anakova menunjukkan F = 5403,079 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat motivasi berprestasi yang sangat signifikan antara siswa program akselerasi dan program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ). Hipotesis penelitian diterima. Kata Kunci : Adversity Quotient (AQ), motivasi berprestasi, siswa program akselerasi, siswa program reguler.
PENGANTAR Negara mengatur dalam Undang–Undang Dasar 1945, yang tersebutkan pada Pasal 31 ayat 1 dijelaskan bahwasanya setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan serta pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Jaminan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat akademis atau lazim disebut peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa ditegaskan pula dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 4, dinyatakan bahwa setiap warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Juga dalam pasal 12 ayat 1, bahwa peserta didik mempunyai hak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (http://www.depdiknas.go.id). Tersurat jelas pemerintah dalam hal ini mendukung penuh hak peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa agar memperoleh pendidikan khusus. Selama ini pemberian pendidikan bagi siswa mengacu pada kurikulum yang berlaku secara nasional, yang terutama dalam penyusunan kurikulum tersebut diperuntukkan bagi anak–anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan rata–rata. Bahkan, kebanyakan sekolah memberikan perlakuan yang standar, bersifat klasikal dan massal terhadap semua siswa, baik siswa dengan kemampuan di bawah rata–rata, rata–rata dan di atas rata–rata yang sebenarnya memiliki kebutuhan yang berbeda. Akibatnya, siswa yang di bawah rata–rata akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar, sebaliknya siswa yang di atas rata–rata akan merasa jenuh karena harus menyesuaikan diri dengan kecepatan belajar siswa–siswa lainnya.
Implementasi dari Undang–Undang No. 20 tahun 1989 adalah dengan dicanangkannya Program Percepatan Belajar atau lebih dikenal dengan Program Akselerasi (Kelas Aksel) oleh Mendiknas pada tahun 2000. Program Akselerasi menurut Pressey (Hawadi, 2004) adalah kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional. Padatnya meteri pelajaran yang harus diterima dan banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh siswa program akselerasi menyebabkan siswa akselerasi tidak memiliki kesempatan luas dalam mengembangkan aspek afektif lainnya di luar sekolah (http://otmaksel3.wordpress.com). Di lingkungan kelas pun untuk mendukung terciptanya iklim kerjasama semakin terbatas, dikarenakan teman–teman di kelasnya rata–rata pandai dan memiliki potensi intelegensi yang sama sehingga tugas–tugas bisa diselesaikan sendiri. Menurut Kamil (http://.www.mail-archive.com) menyatakan program akselerasi tersebut juga sekaligus menyinkronkan kemampuan intelektual yang lebih dengan kecerdasan emosional maupun spiritual. Untuk masuk dalam program
akselerasi
harus
diadakan
identifikasi
kepada
calon
akseleren
menyangkut tiga kriteria, meliputi Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Dewasa ini dikalangan pendidik yang lebih mementingkan Intelligent Quotient (IQ) perlahan mulai tergeser sehingga sebagian kalangan pendidikan mulai merasakan pentingnya mengembangkan Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) dalam mencapai sebuah kesuksesan. Namun rupanya itu belum cukup, masih ada Adversity Quotient (AQ). Hal tersebut diperkuat Stoltz
(2000) yang mengemukakan bahwasanya Adversity Quotient (AQ) memegang peranan penting dalam mencapai prestasi belajar selain faktor Intelligent Quotient (IQ). Teori Adversity Quotient (AQ) yang dipublikasikan oleh Dr. Paul G. Stoltz, Ph.D merupakan terobosan penting dalam pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan
seseorang
dalam
menghadapi
situasi–situasi
masalah
atau
kemalangan dalam kehidupan. Dikatakan juga Adversity Quotient (AQ) berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan– tantangan. Adversity Quotient (AQ), bagian dari kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi berbagai problema hidup dan kesanggupan seseorang bertahan hidup. Untuk mengetahui Adversity Quotient (AQ) seseorang dapat dilihat sejauh mana orang tersebut mampu mengatasi persoalan hidup bagaimanapun beratnya, dengan tidak putus asa (http://www.indomedia.com). Hal ini diperkuat oleh Rukmana (http://www.pu.go.id), menyatakan kalau seseorang memiliki Adversity Quotient (AQ) akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang menghadang dalam mencapai tujuan. Dalam perkembangannya di masa depan faktor siswa merupakan aset yang berharga bagi kemajuan serta kemakmuran sebuah bangsa. Siswa dalam mengemban tugasnya untuk belajar dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan, kesulitan, dan hambatan yang sewaktu–waktu dapat muncul. Usaha siswa untuk belajar dan berupaya memberikan prestasi yang terbaik,
merupakan dorongan yang timbul dari kesadaran siswa itu sendiri atau disebut dengan motivasi. Bharat (1996) menyatakan motivasi berprestasi merupakan hasil dari proses belajar yang diperoleh dari pengalaman emosional. Seseorang yang memiliki inteligensi tinggi akan tetapi tidak mempunyai motivasi berprestasi tinggi dapat menyebabkan hasil yang dicapai tidak maksimal. Hal tersebut memperkuat anggapan Paul G. Stoltz (2000) menurutnya kecerdasan intelektual (IQ) tidak cukup sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang. Banyak orang yang memiliki IQ yang tinggi tetapi tidak dapat memaksimalkan potensinya, sedangkan orang yang memiliki IQ yang sedang–sedang saja dapat memaksimal potensi yang dimilikinya. Hasil wawancara dengan salah satu guru BK SMU 8 Yogyakarta pada 19 Februari 2008, mengungkapkan dua sampai tiga bulan pertama di kelas akselerasi merupakan saat-saat yang bergejolak bagi siswa baru di program akselerasi. Pada masa-masa inilah kematangan siswa secara psikologis diuji, banyak siswa program akselerasi yang dapat mengatasi permasalahan dalam dirinya dan ada pula siswa akselerasi yang memilih “turun” ke program reguler. Fenomena siswa akselerasi yang memilih “turun” ke program reguler ini tambahnya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri siswa tersebut, semisal ketidakpuasan siswa dengan prestasi di kelas, kesulitan dalam mengikuti pelajaran dan pergaulan dengan teman di sekolah. Hal tersebut tambahnya akan mengakibatkan menurunnya motivasi dalam diri siswa tersebut sehingga berdampak pada prestasi belajarnya yang menurun. Sesuai dengan pendapat Southern & Jones (Hawadi, 2004) yang mengungkapkan kelemahan dari
akselerasi diantaranya yaitu bahan ajar yang terlalu jauh akan mengakibatkan siswa tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan siswa akselerasi akan kehilangan aktivitas dalam masa-masa hubungan sosial yang penting pada usianya. Pada akhirnya, akan mengarah pada rendahnya prestasi sebagaimana juga gangguan emosi. Melihat dari kenyataan di atas bahwa siswa program akselerasi memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk berprestasi di kelas, walaupun siswa program akselerasi memiliki tuntutan yang lebih tinggi dari segi pemberian materi pelajaran dibandingkan siswa program reguler. Dengan memiliki motivasi, siswa akan yakin terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan tugas, memiliki minat dan respon positif terhadap tugas yang dihadapi. Akan tetapi pada kenyataanya siswa akselerasi yang sesungguhnya unggul secara kognisi tidak terlepas dari permasalahan yang akan mengakibatkan menurunkan motivasi dalam diri siswa tersebut sehingga berdampak pada prestasi belajarnya yang menurun. Hal tersebut memperkuat anggapan Paul G. Stoltz (2000) menurutnya kecerdasan intelektual (IQ) tidak cukup sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang. Banyak orang yang memiliki IQ yang tinggi tetapi tidak dapat memaksimalkan potensinya, sedangkan orang yang memiliki IQ yang sedang–sedang saja dapat memaksimal potensi yang dimilikinya. Hubungan Adversity Quotient (AQ) dan motivasi berprestasi pada siswa dalam menempuh pendidikan yaitu, ketika siswa memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi maka ia akan mengerahkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih prestasi atau dapat memberikan yang terbaik. Hal ini didukung oleh
Pasiak (2004) yang menyatakan pentingnya Adversity Quotient (AQ) sebagai kunci-kunci kesuksesan manusia. Dengan memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi, siswa akan selalu termotivasi untuk berprestasi di kelasnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Stoltz (2000), untuk sukses seseorang harus memiliki bakat dan motivasi dalam dirinya. Maka peneliti tertarik untuk untuk mengetahui bagaimana sebenarnya Adversity Quotient (AQ) dan motivasi berprestasi berpengaruh pada siswa dalam meraih prestasi belajar di kelas.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Motivasi Berprestasi Beberapa pengertian mengenai motivasi diantaranya dari Chaplin (2001) yaitu bahwasanya motivasi adalah suatu dorongan yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran. Harold Koontz dalam Hasibuan (2005) bahwa motivasi menunjuk bagaimana dorongan dan usaha untuk memuaskan keinginan atau tujuan. David
McClelland
dalam
Hasibuan
(2005)
mengelompokkan
tiga
kebutuhan yang dapat memunculkan motivasi pada manusia. a) kebutuhan akan prestasi (Need of Achievement = n.Ach) ; b) kebutuhan akan afiliasi (Need of Affiliation = n.Af) ; dan c) kebutuhan akan kekuatan (Need of Power = n.Pow). Teori motivasi berprestasi (Achievment Motivation) yang pertama kali dikemukakan oleh Murray dalam Petri & Govern (2004) yaitu, motif untuk mengatasi rintangan-rintangan, memanipulasi objek fisik, manusia, serta ide dan
berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Hal tersebut sejalan dengan pendapat David McClelland (1987) bahwa setiap individu memiliki energi potensial yang dapat dimanfaatkan tergantung pada dorongan motivasi, situasi dan peluang yang ada. Energi potensial itu akan dimanfaatkan karena didorong oleh kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat, harapan keberhasilan, dan nilai insentif yang terlekat pada tujuan. Yang dimaksud dengan motivasi berprestasi dalam penelitian ini adalah dorongan dalam diri setiap orang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam mengerjakan suatu tugas dengan sebaik–baiknya untuk mencapai tujuan.
Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Menurut David McClelland (1987) dan Kartika dkk (2000) profil orangorang yang memiliki kebutuhan berprestasi (nAch) tinggi diantaranya. a. Tekun dalam mengerjakan tugas. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, bahkan manakala dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan (Daryanto,1997). b. Memiliki rasa percaya diri tinggi. Rasa percaya diri yang tinggi akan membuat seseorang merasa mampu dan percaya bahwa dengan kemampuan yang dimilikinya maka tugas yang dihadapinya akan dapat diselesaikan sendiri. c. Mengharapkan feedback langsung atas usahanya. Feedback tersebut digunakan untuk membandingkan prestasinya sekarang dengan prestasi yang diperoleh di masa lalu.
d. Berpikir realistis. Seseorang yang memilki motivasi berprestasi yang tinggi dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dihadapi secara realistik dan rasional (Yusuf, 2004). e. Menyukai aktivitas yang melibatkan kompetisi. Dalam kehidupan, seseorang akan selalu menghadapi tekanan–tekanan yang muncul dari dalam diri ataupun dari lingkungan sekitar. Ketika seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dihadapkan pada sebuah kompetisi maka akan membangkitkan semangat dan dorongan mereka untuk berprestasi mengungguli kompetitor-kompetitor di lingkungan sekitar mereka. f.
Lebih kreatif serta berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru. Kreativitas
menuntut
kemampuan
untuk
mengatasi
kesulitan
yang
ditimbulkan oleh hal–hal yang tidak pasti. Sehingga orang–orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mampu bertindak kreatif.
Faktor-faktor Motivasi Berprestasi Helmi (2004) dalam penelitiannya menyebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi pada mahasiswa yang berdaya saing, diantaranya kompetitif, dukungan sosial, dukungan emosional, dan sikap optimis yang dimiliki. Hurlock (Yusuf, 2004) menerangkan individu yang memiliki karakteristik kepribadian yang sehat, merupakan individu yang mandiri dan mempunyai keinginan untuk meraih prestasi yang lebih tinggi. Penelitian McClelland (Kartika dkk,. 2000) menemukan bahwa karakter personal individu mempengaruhi tingkat
motivasi berprestasi. Hal tersebut diperkuat oleh Kusuma dkk (2000) individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ketika dikondisikan pada sebuah situasi tertentu atau konflik, maka individu tersebut akan menjadi individu-individu yang produktif, mandiri, dan selalu termotivasi untuk berprestasi lebih baik. Lingkungan yang merupakan segala sesuatu yang berada di luar individu yang dalam hal ini meliputi lingkungan keluarga, sekolah, kelompok sebaya (peer group), dan masyarakat secara potensial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan individu. Penelitian McClelland (Kartika, 2000) tentang motivasi berprestasi menunjukkan bahwa lingkungan individu berpengaruh terhadap peningkatan maupun penurunan motivasi berprestasi dalam diri individu. Jadi dapat disimpulkan dalam penelitian ini terdapat beberapa indikator penyebab
munculnya
motivasi
berprestasi
seseorang
adalah
kompetitif,
dukungan sosial, dukungan emosional, sikap optimis yang dimiliki dan lingkungan sekitar.
Pengertian Adversity Quotient (AQ) Stoltz (2000) mendefinisikan Adversity Quotient (AQ) sebagai kecerdasan menghadapi rintangan atau kesulitan. Suksesnya pekerjaan dan hidup seseorang terutama ditentukan oleh Adversity Quotient (AQ) orang tersebut. Dikatakan pula Adversity Quotient (AQ) berakar bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan–tantangan yang mereka hadapi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Adversity Quotient (AQ) adalah sikap seseorang dalam mengubah tantangan atau hambatan menjadi sebuah peluang untuk meraih tujuan atau kesuksesan.
Aspek-aspek Adversity Quotient (AQ) Ada banyak aspek dari Adversity Quotient (AQ) yang dikemukakan oleh Dr. Paul G. Stoltz, Ph.D mencakup beberapa komponen yang kemudian disingkat menjadi CO2RE, antara lain. a. Kendali (Control) Sejauh
mana
seseorang
mampu
mengelola
sebuah
peristiwa
yang
menimbulkan kesulitan dimasa mendatang. b. Asal usul (Origin) Sejauh mana seseorang mempersalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauh mana seseorang mempersalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan dan kegagalan seseorang. c. Pengakuan (Owenership) Sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut. d. Jangkauan (Reach) Sejauh
mana
kesulitan
ini
akan
merambah
kehidupan
seseorang
menunjukkan, bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. e. Daya tahan (Endurance) Makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya.
Faktor-faktor Adversity Quotient (AQ) Dalam pengembangannya Stoltz (2000) merumuskan faktor–faktor pembentuk Adversity Quotient (AQ) seseorang diantaranya yaitu. a. Daya Saing Menurut Martin Seligman (Stoltz,2000) seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) rendah ketika mengalami ketidakberdayaan, akan kehilangan kemampuan untuk menghadapi tantangan tersebut. b. Produktivitas Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2004) menunjukkan bahwa seseorang yang merespon kesulitan secara konstruktif memiliki peningkatan kinerja lebih baik ketimbang orang yang merespon secara destruktif. c. Motivasi Dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) tinggi merupakan orang-orang yang memiliki motivasi tinggi. d. Mengambil Resiko Satterfield dan Seligman (Stoltz,2000) menemukan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko sehingga dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan lebih baik. e. Perbaikan Perbaikan secara terus menerus akan membantu seseorang bertahan mengalami kegagalan-kegagalan yang dihadapi.
f.
Ketekunan Ketekunan
adalah
kemampuan
untuk
terus-menerus
berusaha
(Daryanto,1997). g. Belajar Menurut Carol Dweck (Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih pesimistis. h. Merangkul Perubahan Dalam penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang yang memeluk perubahan cenderung merespon kesulitan secara lebih konstruktif. i.
Keuletan Psikolog anak Emmy Werner (Stoltz,2000) menemukan bahwa anak–anak yang ulet adalah perencana–perencana, mereka yang mampu menyelesaikan masalah, dan mereka yang bisa memanfaatkan peluang.
Pengertian Siswa Program Akselerasi dan Program Reguler Secara konseptual, pengertian acceleration diberikan oleh Pressey (Hawadi, 2004) sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional. Colangelo (Hawadi, 2004) menyebutkan istilah akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, pengertian akselerasi termasuk taman kanak-kanak atau perguruan tinggi pada usia muda, meloncat kelas dan
mengikuti pelajaran tertentu pada kelas di atasnya. Sementara itu sebagai model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Dalam hal ini, akselerasi dapat dilakukan dalam kelas reguler, ruang sumber ataupun kelas khusus dan bentuk akselerasi yang diambil dapat telescoping yaitu siswa dapat menyelesaikan dua tahun atau lebih kegiatan belajarnya menjadi satu tahun atau dengan cara self-paced studies yaitu siswa mengatur kecepatan belajarnya sendiri. Sedangkan pengertian Program Reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Menurut Widyastono (Putri, dkk., 2005) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Di dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka. Menurut Widyastono (2000) siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan rata-rata, selama ini diberikan pelayanan pendidikan dengan mengacu pada kurikulum yang berlaku secara nasional, karena memang kurikulum tersebut disusun terutama diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki
kemampuan
dan
kecerdasan
rata-rata.
Kebanyakan
sekolah
memberikan perlakuan yang standar, bersifat klasikal dan massal terhadap semua siswa, baik siswa di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata-rata yang sebenarnya memiliki kebutuhan yang berbeda.
Komponen Program Akselerasi dan Program Reguler Menurut Putri, dkk. (2000), ada beberapa perbedaan komponen dalam program akselerasi dan program reguler, antara lain.
a. Masukan (input) Perencanaan penyelengaraan program akselerasi diawali dengan kegiatan rekruitmen siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan ciri-ciri keberbakatan maka, siswa yang mengikuti program akselerasi harus memenuhi beberapa kualifikasi, yaitu (a) nilai raport dan nilai ujian akhir nasional (UAN) ; (b) skor psikotes, yang meliputi IQ minimal 125, kreativitas, dan tanggung jawab tugas ; (c) hasil observasi guru/teman sebaya ; (d) kesehatan jasmani ; (e) persetujuan orang tua. b. Kurikulum Kurikulum program yang dipakai program akselerasi dan program reguler di Indonesia
tidak
menggunakan
berbeda.
kurikulum
Alsa
(Putri,
nasional
yang
dkk.,
2005)
ditetapkan
kedua oleh
program
Departemen
Pendidikan Nasional ditambah kurikulum lokal yang ditetapkan oleh masingmasing sekolah. c. Tenaga Kependidikan (Guru) Guru yang unggul tidak hanya dibutuhkan oleh siswa program akselerasi saja tetapi siswa reguler juga berhak dididik oleh guru yang unggul juga agar memperoleh pelayanan yang optimal karena guru merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan pendidikan.
Hubungan Adversity Quotient (AQ) dan Motivasi Berprestasi Siswa Program Akselerasi dan Program Reguler Untuk mengetahui hubungan Adversity Quotient (AQ) dan motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler, maka perlu
diperjelas kembali definisi dari masing-masing variabel penelitian tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang mengubah hambatan menjadi peluang. Motivasi adalah dorongan yang timbul dari diri seseorang untuk bertindak berbuat atau melakukan sesuatu dalam pemenuhan kebutuhannya. Seseorang
yang
memiliki
Adversity
Quotient
(AQ)
dan
motivasi
berprestasi tinggi akan mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan dan dapat memberikan prestasi yang maksimal. Sama halnya dengan siswa yang mengemban tugas untuk belajar dan berupaya memberikan prestasi yang terbaik di kelas dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan, kesulitan, dan hambatan yang sewaktu–waktu dapat muncul. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa seperti taraf intelegensi, motivasi, kepribadian, pola asuh dan lingkungan. Siswa yang memiliki tingkat kognisi yang tinggi apabila tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam mencapai tujuan, mempunyai kepercayaan diri yang rendah, dan tidak fleksibel dalam menghadapi berbagai situasi dipastikan tidak akan berprestasi maksimal di kelas. Siswa dalam rangka pencapaian prestasi belajar di kelas tidak terlepas dari berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan dalam proses pembelajaran dapat mengakibatkan turunnya semangat siswa untuk belajar sehingga menghambat pencapaian prestasi belajarnya. Meskipun demikian, hal tersebut tergantung pada kemampuan siswa merespon kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Kecerdasan dalam menghadapi kesulitan atau yang disebut Adversity Quotient (AQ) dapat membuat seseorang keluar dari berbagai situasi yang tidak
menyenangkan karena individu tersebut tidak akan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Dari hasil pembahasan di atas, maka didapati bahwa siswa program akselerasi mempunyai daya juang tinggi dan selalu termotivasi untuk senantiasa berusaha menemukan cara untuk menyelesaikan mata pelajaran atau tugas yang sulit dibanding dengan siswa program reguler. Apabila siswa mempunyai Adversity Quotient (AQ) dan motivasi berprestasi, maka ia akan mengerahkan segala usahanya untuk meraih prestasi serta mampu mengatasi hambatan atau kesulitan dalam rangka meraih pencapaian prestasi belajar di kelas.
HIPOTESIS Berdasarkan kerangka berpikir yang diajukan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ).
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan variabel Adversity Quotient (AQ), Motivasi Berprestasi, Program Akselerasi dan Program Reguler. 1. Variabel tergantung adalah Motivasi Berprestasi. 2. Variabel bebas adalah Adversity Quotient (AQ) dan program pendidikan (Program Akselerasi dan Program Reguler).
Subjek Penelitian Subjek yang akan dikenai penelitian adalah pelajar SMU Negeri 3 Yogyakarta, siswa kelas X (sepuluh) dan siswa kelas XI (sebelas) program akselerasi dan program reguler. Jumlah subjek yang terlibat dalam pengisian skala penelitian sebanyak 112 responden.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode angket. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu Skala Adversity Quotient dan Skala Motivasi Berprestasi. 1. Skala Adversity Quotient Skala Adversity Quotient dibuat sendiri oleh penulis dengan mengadaptasi alat ukur Adversity Response Profile (ARP) yang diciptakan oleh Stoltz dan indikator perilaku Quitter, Camper dan Climber menurut Faqih (2007) serta ditandai dengan beberapa penyesuaian yang disesuaikan dengan kebudayaan dan kondisi di Indonesia serta karakteristik subjek penelitian. 2. Skala Motivasi Berprestasi Skala ini dibuat sendiri oleh penulis dengan mengacu pada aspek–aspek motivasi berprestasi menurut David McClelland dalam Kartika dkk (2000).
Metode Analisis Data Metode analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah Metode analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah anakova
General Linier Model yang dilakukan dengan program komputer SPSS (Statistical Programme for Social Science) 13.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN Dari hasil pengolahan data diperoleh koefisien korelasi r = 0,765 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara adversity quotient dan motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler. Koefisien determinasi (Adjusted R Square) hasil pengolahan data adversity quotient pada siswa program akselerasi diperoleh R² = 0,580. Sehingga sumbangan efektif yang diberikan adversity quotient terhadap motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi sebesar 58%, sedangkan sisanya sebesar 42% dipengaruhi variabel lain diluar variabel tersebut. Sedangkan koefisien determinasi (Adjusted R Square) hasil pengolahan data adversity quotient pada siswa program reguler diperoleh R² = 0,595. Sehingga sumbangan efektif yang diberikan adversity quotient terhadap motivasi berprestasi pada siswa program reguler sebesar 59,5%, sedangkan sisanya sebesar 40,5% dipengaruhi variabel lain diluar variabel tersebut. Dari hasil pengolahan data adversity quotient pada siswa program akselerasi dan program reguler diperoleh t = 0,243 dan p = 0,809 (p>0,05) dengan perbedaan reratanya sebesar 0,6533. Sedangkan motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler diperoleh t = 0,262 dan p = 0,794 (p>0,05) dengan perbedaan reratanya sebesar 0,7778. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara tingkat adversity quotient
dan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler. Dengan uji anakova menunjukkan nilai F = 5403,079 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat motivasi berprestasi yang sangat signifikan antara siswa program akselerasi dan program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ).
PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya perbedaan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ). Hasil penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara tingkat adversity quotient dan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler. Paul G. Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) tidak cukup sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang. Banyak orang yang memiliki IQ yang tinggi tetapi tidak dapat memaksimalkan potensinya, sedangkan orang yang memiliki IQ yang sedang–sedang saja dapat memaksimal potensi yang dimilikinya. Namun berdasarkan hasil uji anakova diperoleh F = 5403,079 dengan p = 0,000 (p<0,01), hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat motivasi berprestasi yang sangat signifikan antara siswa program akselerasi dan program reguler dengan mengontrol adversity quotient. Dengan hasil yang bertolak belakang ini ditemukan bahwa motivasi berprestasi sangat dipengaruhi oleh Adversity Quotient (AQ).
Adversity Quotient (AQ) terbukti secara signifikan berkorelasi terhadap motivasi berprestasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Stoltz (2000) menemukan bahwa orang-orang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) tinggi merupakan orang-orang yang memiliki motivasi tinggi. Adanya hubungan antara adversity quotient dengan motivasi berprestasi juga ditunjukkan oleh hasil uji linieritas yang dilakukan terhadap kedua variabel tersebut. Hasil analisis memperlihatkan hubungan antara adversity quotient dan motivasi bersifat linier,dalam arti bahwa kedua variabel saling berhubungan satu sama lain. Hasil uji regresi memperlihatkan sumbangan efektif yang diberikan adversity quotient terhadap motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi sebesar 58%, sedangkan sumbangan efektif yang diberikan adversity quotient terhadap motivasi berprestasi pada siswa program reguler sebesar 59,5%. Sumbangan efektif yang diberikan variabel bebas yaitu adversity quotient terhadap variabel tergantung yaitu motivasi berprestasi pada program akselerasi dan program reguler dapat dikatakan sangat besar, hal ini dapat diindikasikan adanya kemiripan atau kedekatan hubungan dari variabel bebas yaitu adversity quotient terhadap variabel tergantung yaitu motivasi berprestasi. Tingkat Adversity Quotient siswa program akselerasi dan program reguler SMA Negeri 3 Yogyakarta berada dalam kategori tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada motivasi berprestasi siswa yang tergolong dalam kategori tinggi. Ketika siswa memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi maka ia akan mengerahkan segala potensi yang dimiliki untuk meraih prestasi atau dapat memberikan yang terbaik. Dengan memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi, siswa akan selalu termotivasi untuk berprestasi di kelasnya. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Stoltz (2000), untuk sukses seseorang harus memiliki bakat dan motivasi dalam dirinya. Penulis menemukan penggunaan repon Sangat Setuju, Setuju, Kurang Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju pada skala Adversity Quotient (AQ) dalam penelitian ini memiliki social desirability yang tinggi. Dengan penggunaan repon tersebut, subjek memiliki kecenderungan untuk memberikan jawaban yang baik-baik (faking good) sehingga tidak mengungkap keadaan yang sebenarnya dari subjek. Untuk penelitian selanjutnya sehubungan dengan hal tersebut, sebaiknya memperhatikan alternatif respon yang lain seperti Selalu, Sering, Kadang-kadang dan Tidak Pernah atau alternatif respon yang lain sehingga mampu mengungkap keadaan yang sebenarnya dari subjek.
KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Terdapat perbedaan tingkat motivasi berprestasi pada siswa program akselerasi dan program reguler SMA Negeri 3 Yogyakarta dengan mengontrol Adversity Quotient (AQ). 2. Tingkat Adversity Quotient (AQ) dan motivasi berprestasi siswa program akselerasi dan program reguler SMA Negeri 3 Yogyakarta berada dalam kategori tinggi.
SARAN Berdasarkan hasil yang telah dicapai, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi Subjek Dalam
usaha
peningkatan
prestasi
belajar,
hendaknya
siswa
juga
memperhatikan faktor Adversity Quotient (AQ), karena sangat berperan penting dalam menumbuhkan motivasi berprestasi. Oleh karena itu, siswa diharapkan selalu menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan atau Adversity Quotient (AQ). 2. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Tingginya sumbangan Adversity Quotient (AQ) terhadap Motivasi Berprestasi menunjukkan bahwa ada kemiripan atau kedekatan hubungan dari kedua variabel tersebut, sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk tidak mengaitkan antara variabel Adversity Quotient (AQ) dan Motivasi Berprestasi. b. Penggunaan respon Sangat Setuju, Setuju, Kurang Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju pada skala Adversity Quotient (AQ) memiliki social desirability yang tinggi. Sehubungan dengan itu, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menggunakan alternatif respon yang lain sehingga lebih mampu mengungkap realita sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA Achir, Yaumil A. 1991. Bakat dan Prestasi. Jakarta : Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Anonim. 2004. Pro Kontra Program Akselerasi Sekolah, Dapatkah Pendampingan Psikososial Menjembataninya. (Bidang Ilmiah). www.psikologi.ugm.ac.id. ______. Kecerdasan Spiritual www.purdiechandra.com.
Akan
Membuat
Kita
Berani
"ngudung".
______. Puasa Tingkatkan Kecerdasan. www.indomedia.com. ______. Tanggapan Ke Aksel-nya www.otmaksel3.wordpress.com.
SMAN
I
Bekasi.
Azwar, Saifuddin. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. ______________. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bharat, Usman. 1996. Hubungan Potensi Belajar, Motivasi Berprestasi, Sikap dan Kebiasaan Belajar, Serta Kualitas Sekolah Asal Dengan Hasil Belajar. Jurnal Kajian Dikbud. No. 004 Tahun 1 Maret 1996. Chaplin, J.P,. 2001. Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Kartini Kartono). Jakarta : Rajawali. Dalyono, M. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Daryanto, S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya : Apollo. Faqih, Ahmad. 2007. Sekilas Tentang Motivasi Berprestasi. www.google.com. Hadi, Sutrisno., Prof., Drs. 2001. Statistik Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset. _____________________. 2002. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.
Hardjo,S dan Badjuri. 1998. Pengaruh Motivasi Berprestasi Cara Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Semarang. www.pk.ut.ac.id. Hasibuan, Malayu, Drs. 2005. Organisasi dan Motivasi : Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta : Bumi Aksara. Hawadi, R.A., Dr. 2004. Akselerasi A-Z, Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta : Gramedia. Helmi, A.F. 2004. Model Mahasiswa Yang Berdaya Saing. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Junaedi, E.S., Drs., M. Pd. 2002. Konsep dan Penerapan Program Percepatan Belajar (Akselerasi) Bagi Anak Berbakat Intelektual di Sekolah (Makalah Seminar Program Akselerasi Jenjang SD). Artikel. Kamil, I. 2004. Tulisan Seorang Peserta Program Akselerasi. www.mailarchive.com. Kartika, Ayu. A.J., dkk. 2000. Tipe Konflik Interpersonal dan Motivasi Berprestasi. Anima Indonesian Psychological Journal. Kusuma, I. H. 2004. Studi Korelasional Antara Kecerdasan Adversity dan Motivasi Berprestasi Dengan Kinerja Kepala Sekolah Di Lingkungan Yayasan BPK Penabur Jakarta. Jurnal Pendidikan Penabur. No.2 Tahun III Maret 2004 : 17-34. Latifah, Ulya. 2000. Kelas Akselarasi Baru Tahap Uji Coba. www.kompas.com. McClelland, D. 1987. Human Motivation. New York : Cambridge University Press. Munandar, Utami. S.C. 1982. Bunga Rampai Anak Berbakat : Pembinaan dan Pendidikannya. Jakarta : Rajawali. Pasiak, Taufiq. 2004. Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al Qur’an. Bandung : Mizan. Petri, H.L, and Govern, J.M. 2004. Motivation : Theory, Research, and Application. California : Wadsworth.
Putri, D. S., dkk. 2005. Perbedaan Sosialisasi Antara Siswa Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Dalam Lingkungan Pergaulan Di Sekolah. Humanitas Indonesian Psychological Journal. Vol.2 No. 1 Januari 2005 : 28-40. Rukmana, Nana. 2002. Kepemimpinan yang Berlandaskan Kecerdasan Adversitas, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual. www.pu.go.id. Santrock, J. W. 2003. Adolesence Perkembangan Remaja (Terjemahan). Jakarta : Erlangga. Semiawan, Coony., Dr. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta : Grasindo. Stoltz, Paul. G., Ph.D. 1997. Adversity Quotient : Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta : Grasindo. Suryabrata, Sumadi, Drs., Ph.D. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Rajawali. Tim Penyusun. 2004. Pedoman Penyusunan Usulan Skripsi dan Penyusunan Skripsi Program Studi Psikologi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Tjundjing, Sia. 2001. Hubungan Antara IQ, EQ, dan AQ Dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Anima Indonesian Psychological Journal. Vol. 1 : 69-92. Undang–Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 1989. Diambil pada 13 Februari 2007. Indonesia. www.depdiknas.go.id. Undang–Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Diambil pada 27 Desember 2007. Indonesia. www.depdiknas.go.id. Widyaningrum, Jati. 2007. Hubungan Adversity Intelligence Dengan Prestasi Belajar. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Widyastono, Herry. 2000. Sistem Percepatan Kelas (Akselerasi) Bagi Siswa Yang Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.
Widyastono, Herry, dkk. 1997. Profil Peserta Didik Yang Memerlukan Perhatian Khusus dan yang Berkesulitan Belajar di Sekolah Dasar. Jurnal Pusbang Kurrandik Balitbang Depdikbud. Yusuf, Syamsu, Dr., M.Pd. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
DATA DIRI PENELITI
Nama
:
Suheil Fahmi
Alamat Asal
:
Jalan Golek 21 Kemlayan Notodiningratan RT 06 RW 5 Serengan 57151 Surakarta – Jawa Tengah
Nomor Telepon
:
08122652956
Email
:
[email protected]