Musthofa M Thoha
Tabungan Karto
Penerbit Belantara Kata
Tabungan Karto Oleh: Musthofa M Thoha Copyright © 2014 by Musthofa M Thoha
Penerbit Belantara Kata www.katabelantara.blogspot.com
[email protected] twitter: @janurmusthofa
Desain Sampul: Kamal
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
بسم هللا الرحمن الرحيم Ucapan Terimakasih: Tanpa rahmat Allah, saya tidak akan bisa menulis di halaman ini. Meskipun berkali-kali saya memuji atau bahkan menyembahnya sampai kemput, tidak akan pernah bisa menandingi segala dzat dan sifatnya. Oleh sebab itu, selama-lamanya segala puja-puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Kepada apapun yang telah menjadi perantara, sehingga saya bisa menulis di halaman ini, terima kasih yang sebesar-besarnya. Yang telah menjadi saksi atas keberadaan saya di dalam sesuatu yang terbatasi oleh ruang dan waktu. Semoga ini menjadi perbuatan yang bermanfaat, atau kalau tidak minimal bukan suatu perbuatan yang sia-sia.
Bantul, 29 Januari 2014
3
TENTANG PENULIS: Musthofa M Thoha. Lahir di Kudus, 12 Maret 1991. Hidup di Yogyakarta menjadi santri di Pondok Pesantren An-Nur Bantul Yogyakarta sejak tahun 2005 sampai sekarang. Menyelesaikan program strata satunya di jurusan ushuludin Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an Bantul Yogyakarta (2012), pada tahun 2013 ia melanjutkan program magister pasca sarjana di program studi akidah dan filsafat di UIN sunan kalijaga Yogyakarta.
“Hidup adalah perang melawan kebodohan.”
4
I Desa Belimbing, desa yang bisa dibilang setengah kota dan setengah desa, disebut kota karena bangunan rumah-rumah dan jalan-jalan sudah bergaya bak di kota, juga penduduknya yang semakin lama kian tidak kenal dengan yang lainnya, atau kenal namun jarang bertegur sapa, kecuali ketika ada urusan yang bersifat umum, seperti urusan pengembangan fasilitas pembangunan desa, selain itu? Jarang sekali, bahkan nyaris tidak ada. Masyarakat pun secara alamiah terkotak-kotakkan, yaitu orang yang kaya-kaya itu seringnya bergaul dengan orang yang kaya, terkadang juga bergaul dengan orang yang tidak sederajat, namun sukanya hanya memerintah dan memerintah, seolah yang lebih rendah dari mereka harus jadi kacung, tidak lebih, disuruh ke sana dan ke mari untuk melayani mereka. Disebut masih tergolong pedesaan, karena letaknya sangat jauh dengan kota, bahkan desa Belimbing merupakan wilayah perbatasan dengan kota lain. Jadilah hidup di desa namun cara berpikir dan sikapnya layaknya di kota. Wajar saja, di desa Belimbing ini sudah ada yang namanya terminal bus, pasar besar, super market, dan semakin banyak saja mini-mini market seperti di kota, membuat pedagang kelontongan penduduk desa ini jadi rusak pasarannya. Bagaimana tidak rusak? Penduduk desa dianggap lebih bergengsi ketika membeli produk yang ada di dalam super market atau mini market, dari pada ke pedagang-pedagang kelontongan yang ketika pulang barang-barangnya dibungkus dengan plastik hitam yang kumal. Padahal kalau melihat dari harganya, lebih 5
murah dari pedangang kelontongan itu dari pada membeli di super market dan mini market. Namun, bila dilihat-lihat, kekuatan ekonomi itu tidak terletak di kota, namun di desa, lihat saja orangorang desa itu merasa berkecukupan dengan apa yang dimilikinya secara pribadi tanpa ada kompensasi dari pihak lain. Sudah merasa cukup dengan hasil panen sawah yang tidak seberapa banyaknya dengan diolah secara pribadi. Berbeda dengan di kota, banyak harta, tetapi juga banyak hutangnya. Orang-orang kota menyebutnya dengan spekulasi ekonomi untuk modal. Itupun harus dengan menggadaikan sertifikat tanah atau barang-barang berharga yang lain, karena orang di kota sudah tidak percaya, atau sulit percaya dengan satu dengan yang lainnya. Di desa tidak perlu seperti itu. Orang berhutang hanya dengan modal kepercayaan, tidak perlu memberikan sertifikat tanah untuk jaminan segala. Orang juga merasa tercukupi, tidak perlu barang yang aneh-aneh untuk adu gengsi. Dulu desa Belimbing terkenal seperti itu. Tapi sekarang sudah agak bergeser, orang-orang lebih gemar mengejar status sosialnya dari pada fungsi sosialnya. Di sisi lain masih ada orang-orang yang mempertahankan aspek sosialnya dari pada memilih bergaya kehidupan di kota. Akan tetapi, sebenarnya penduduk desa Belimbing tergolong masih mempertahankan nilainilai leluhur yang sudah turun-temurun diajarkan, hanya saja beberapa orang yang merantau ke kota, kemudian pulang ke desa tidak kembali ke kultur desanya, melainkan membawa hal yang bersifat baru 6
yang didapatkan dari kota, jadilah penduduk desa ada yang terpengaruh. Padahal orang yang pergi merantau ke kota itu setelah pulang, harusnya kembali lagi untuk memperkuat nilai fungsi sosialnya, dari pada menjadi orang yang demam untuk mengubah paradigma desa dengan paradigma kota, dianggapnya kota dengan segala gegap gempitanya bisa mengubah menuju yang lebih baik. Padahal tidak ada yang lebih baik dari pada kehidupan di desa. Pergeseran dari desa menuju kota pun berlangsung di desa Belimbing ini. Hampir semua masyarakatnya sudah mapan, hanya beberapa keluarga yang kondisinya di bawah garis kemiskinan, namun itu sudah ditepis adanya donatur dan dermawan yang ada di desa Belimbing. *** Lepas subuh ia berangkat pergi mengaji ke seorang Kyai di desanya, lebih kurang tiga kilometer jaraknya, ia tempuh dengan menggunakan sepeda motor jadulnya warisan ayahnya ketika dulu. Sudah berkali-kali motornya ditawar oleh kolektor sepeda motor antik, tapi tak pernah mau ia lepas. Baginya motor tersebut sudah menjadi bagian dari dirinya, terasa berlebihan mungkin. Namun, itulah ia. Suka mengenang masa lalu dengan sesuatu yang mudah untuk mengingatnya, karena baginya sejarah adalah bagian dari kehidupan yang seharusnya tetap dijaga dan dibela. Tak boleh hilang dan sengaja dihilangkan, apalagi dimanipulasi. Menjadi seorang pegawai TU (tata usaha) di sebuah lembaga sekolah swasta memang bukan 7
pekerjaan yang istemewa bagi orang lain, bukan juga pekerjaan yang dielu-elukan. Seperti biasa karena persoalan gaji yang tidak memungkinkan untuk memenuhi secara lebih kehidupan sehari-hari, ditambah tanggung jawab kepada seorang istrinya dan kedua anaknya. Jadi bisa dibilang, bahwa gaji Karto menjadi pegawai TU hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti pangan dan papan. Sepulang dari ngaji, pukul enam tepatnya, ia membantu istrinya membersihkan rumah dan memandikan anak perempuannya yang masih berumur lima tahun, sedangkan istrinya mempersiapkan sarapan sang anak dan suami. Tak ada yang saling hatur-menghaturkan pekerjaan, semuanya saling melengkapi dan membantu. Tak ada istilah pekerjaan suami dan istri, semuanya saling mengerti mana yang harus dikerjaannya sekarang, nanti, bahkan esok hari. Istri selesai menyiapkan sarapan, anak perempuannya diambil alih olehnya dari tangan sang Bapak, lalu digendongnya karena menangis. Ia dipangku di beranda rumah, sambil dilihatkannya mobil-mobil yang lewat di depan halaman rumahnya. “Lihat adik, itu ada mobil, ngeng ngeng ngeng...” Sang Ibu mencoba menepis tangis anaknya, sedang ia sendiri tak mampu menepis perihnya sendiri dalam hati. Sesekali ia berdiri menuju pinggiran jalan dengan tubuh kurusnya ia sabar menggendong anaknya. “Mas Ridwan, tolong Dik Irma diambilkan nasi sedikit” dengan gaya bicara khas seorang ibu dengan anaknya, namun sedikit keras karena diluar suaranya bising oleh ramainya deru mesin bermotor. 8
“Iya, Bu” jawab anak laki-lakinya, yaitu kakaknya Irma. Ridwan namanya, ia duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Swasta kelas lima yang sebentar lagi akan naik ke kelas enam. Diambilnya piring kecil dan sendok kecil, nasi dikeduk setengah entong dan tempe, tak lupa membuat lingkaran dengan kecap kedelai mirip motif obat nyamuk bakar. Ridwan pintar dalam hal ini, karena itulah makanan favoritnya ketika ia masih sekecil Irma. “Ini bu nasinya, Adik Irma lapar ya bu?” tanya Ridwan yang sudah rapi lengkap dengan dasi merahnya semangat bersekolah. Kulitnya kuning bersih persis seperti ibunya, dan rambutnya ikal persis seperti ayahnya. “Iya, nasinya masih ada kan, Mas Ridwan?” Ibu memastikan bahwa suaminya nanti masih kebagian sarapan. “Masih ada buat sarapan Bapak dan Ibu. Hehehe” ia tersenyum. “Oiya Bu. Nanti Ridwan jadi komandan upacara hari senin di sekolahan lhoo, doakan ya bu, semoga tidak memalukan” ia berharap. “Iya, Mas. Ibu sudah tahu kok. Tadi malam bapak sudah cerita. Semoga lancar ya. Jangan lupa harus tegap lurus kalau hormat pada Sang Saka Merah Putih” Ibu memastikan mengerti maksud Ridwan, anaknya. “Sana pakai sepatu dan tas, lalu berangkat” Imbuhnya masih sambil menggendong anaknya. “Nanti lah, Bu. Tuh bapak belum selesai mandi.” Sergah Ridwan.
9
“Kepada Sang Saka Merah Putih, Hormaaaaaaaat grakkkk!” Ridwan seketika mempraktekkan. Sang Ibu tersenyum bangga bersyukur, terasa bulu-bulu halusnya bergidik haru. Dan Ridwan langsung lari masuk rumah. Seketika Irma kecil itu diam dan sang ibu menyuapi dengan segenap sayang. “Dik Irma nggak boleh cengeng.” Kata Ridwan sambil mengelus pipi adiknya dengan mendekatkan wajahnya. Waktu menunjukkan pukul 06.00 Sang Bapak baru selesai mandi, tak sengaja melihat istri dan anaknya di beranda rumah. “Ibu sudah sarapan?” Tanya bapak. “Sudah, cuma bapak yang belum sarapan” jawabnya seketika. “Ini Ibu lagi nyuapin Dik Irma” ia berimbuh senyum melihat ke arah suaminya dengan wajahnya yang agak lonjong dan hidungnya yang kecil namun mancung.
10