MUSTAFA KEMAL ATTATURK (Negara Republik Sekuler) Oleh:
Abdul Hakim UPT. Mata Kuliah Umum UNM
ABSTRAK Perkembangan modernisasi di Turki memunculkan 3 fase gerakan pembaharuan, yaitu: pertama, gerakan yang berorientasi dan masih berpegang secara ketat pada prinsip Islam yang disebut Islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan Barat, kelompok ini disebut Westernisme. Ketiga, gerakan yang menitik beratkan ke dalam aspek keaslian Turkisme atau lebih tepat secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Kelompok ini disebut nasionalisme. Tokoh utama gerakan nasionalisme Turki adalah Mustafa Kemal Attaturk. Ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan ideologi nasionalisme Turki. Kemal Attaturk sendiri mendapat inspirasi dari para tokoh sebelumnya yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dirancang oleh Sultan Mahmud II. Adapun reformasi yang dijalankannya Kemal Attaturk dan pendukungnya disebut sebagai prinsip-prinsip kemalisme. Yaitu republikanisme, nasionalisme, republisme, etatisme, reformisme dan westernisasi. Kata Kunci: Mustafa Kemal Attaturk dan Ide Negara Republik Sekuler
I. PENDAHULUAN Pada abad ke-19 ditandai dengan adanya pembaruan pemikiran yang lazim disebut aliran-aliran modern dalam Islam.1 Aliran-aliran ini diperkenalkan di belahan dunia muslim. Banyak di antara kaum muslimin terperangkap di antara dua perpektif; pertama, kepercayaan kalangan tradisional bahwa agama 1
Jalaluddin Rahman, Metodolgi Pembaharuan Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam, (Cet.1:
Makassar: Berkah Utama, 2001). h. iii
seharusnya
menentukan
karakter
organisasi
politik
dan
hukum
Islam
menyediakan standar dan petunjuk yang diperlukan masyarakat. Kedua, preferensi kalangan sekuler muslim terhadap konsep dan lembaga politik Barat.2 Perkembangan modernisasi di Turki yang semakin melaju ke depan dengan
membawa
visi
beraneka
ragam
sesuai
kepentingan
yang
melatarbelakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal adanya kebangkitan Usmani Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak dan kaum terpelajar disana. Pada gambaran uraian makalah ini, dibahas warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Fase ini terbagi kepada tiga kelompok yaitu; pertama, gerakan yang berorientasi dan masih berpegang secara ketat pada prinsip Islam yang disebut Islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi pemikiran, sikap hidup
berdasarkan
pola-pola
kehidupan
Barat,
kelompok
ini
disebut
Westernisme. Ketiga, gerakan yang menitik beratkan ke dalam aspek keaslian Turkisme atau lebih tepat secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Kelompok ini disebut nasionalisme.3 Tokoh utama gerakan nasionalisme Turki adalah Mustafa Kemal Attaturk. Ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan ideologi nasionalisme Turki. Kemal Attaturk sendiri mendapat inspirasi dari para tokoh sebelumnya yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dirancang oleh Sultan Mahmud II. Dari uraian tersebut, yang menjadi sentral pembahasan dalam makalah ini ialah Kemal Attaturk dengan ide pembaharuannya ”sekularisasi” dalam membangun negara republik sekuler Turki.
2
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran (Cet. V: Bandung: Mizan, 1998). h. 190-
3
Lihat Jhon R. Welsh, Mustafa Kemal, dalam Ensiklopedia Amerika, II, 1977 h. 599
191
II. BIOGRAFI MUSTAFA KEMAL ATTATURK Kelompok nasionalisme Turki menjulukinya sebagai Attaturk (bapak Turki) pada tahun 1934,4 lahir di Salomika, suatu kota yanag kini menjadi salah satu kota besar di Yunani,5 pada tahun 1881, dan meninggal dunia pada tahun 1938 di Istambul. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Ali Reza, seorang pegawai pada salah satu kantor pemerintah. Ibunya bernama, Zubaede Khanin, seorang wanita yang halus perasaan dan tekun beribadat. Sang ibu menginginkan putranya menjadi orang yang taat beragama, mengikuti jejak keluarganya yang lain, setidak-tidaknya menjadi seorang hafiz atau seorang hoja.6 Awalnya, Mustafa atas desakan ibunya dimasukkan di madrasah, tetapi karena tidak merasa senang belajar di sana, ia selalu melawan guru. Kemudian ia dimasukkan orang tuanya ke sekolah modern di Salomika. Selanjutnya ia memasuki sekolah militer menengah atas usahanya sendiri. Dalam usia 14 tahun ia tamat di sekolah ini dan meneruskan ke sekolah latihan militer dan diberi pangkat kapten.7 Ketika di Istambul, Mustafa Kemal dengan teman-temannya membentuk perkumpulan rahasia yang menerbitkan surat kabar, tulisan-tulisan dan mendukung kritik terhadap pemerintahan sultan. Kemudian ia ditangkap bersama dengan teman-temannya dan dipenjarakan beberapa bulan. Setelah dibebaskan, diasingkan ke Suria dengan seorang temannya Ali Fuad, Mustafa Kemal memulai karirnya di bidang kemiliteran, ia ditugaskan untuk bergabung
4
Husaya Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Cet. III: Bandung:PT. Remaja
Rosdakarya. 1999), h. 307 5
Lihat Jhon R. Welsh, Mustafa Kemal, dalam Ensiklopedia Amerika, II, 1977 h. 599
6
Lihat H.A. R. Gibb, “Attaturk, Mustafa Kemal”, dalam The Encyclopedia of Islam, I, 1989, h. 85,
Lihat juga M. Syafi’i Anwar, “Kemalisme dan Islam, sebuah Kaleidoskop dalam Ulum al-Qur’an Vol. I, No.3, 1989, h. 85 7
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX: Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 143
dengan pasukan di Damaskus untuk menumpas pemberontakan, sekte Druez. Di tengah karir militernya, ia tetap melakukan kegiatan politik dengan mendirikan kelompok oposisi di bawah tanah 1906. Di tahun 1907 ia dipindahkan ke Salomika di staf umum. Dan memberntuk perkumpulan persatuan yang berpusat di kota ini. Perkumpulan baru itu lebih besar pengaruhnya dari perkumpulan Ve Hunyet (Tanah air dan kemerdekaan). Dalam konferensi perkumpulan yang diadakan di Salomika, Mustafa Kemal Attaturk mengeluarkan pendapatnya tentang partai dan tentara, yang keduanya telah bergabung menjadi satu dalam perkumpulan tersebut.8 Mustafa Kemal menyatakan agar negara dan konstitusi dapat dipertahankan, diperlukan tentara yang kuat disatu pihak dan partai yang kuat di pihak yang lain, tetapi tidak boleh digabungkan. Seharusnya perwira mesti disuruh memilih tinggal dalam partai dan keluar dari tentara atau tinggal dalam tentara dan keluar dari partai. Mustafa Kemal dan Ali Fethi akhirnya dibuang ke Sofia. Ali Fethi sebagai duta dan Kemal sebagai atase militer. Disinilah Kemal berkenalan langsung dengan peradaban Barat, yang menarik perhatiannya adalah pemerintahan parlementer. Setelah perang dunia I ia dipanggil untuk menjadi panglima Devisi 19. Di medan pertempuran, ia menunjukkan keberanian dan kecakapan terutama di Gallipoli dan daerah perbatasan Kaukasus. Sebagai penghargaan terhadapnya, pangkatnya dinaikkan dari kolonel menjadi jenderal ditambah gelar pasya.9 Mustafa Kemal tiba di wilayah Anatolia Timur pada tahun 1919, empat hari setelah penyerbuan sekutu yang dimotori oleh tentara dari Yunani. Mustafa Kemal yang bekerjasama dengan para pemberontak membentuk kader-kader militer tangguh untuk suatu kesatuan tentara nasional. Sejak saat itu, mereka merencanakan membentuk suatu negara nasional Turki yang merdeka.10 Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari kaum pemberontak tersebut kemudian mengeluarkan maklumat dengan pernyataan sebagai berikut: 8
Ibid., h.144
9
Ibid., h.145
10
Ibid., h.142
1. Kemerdekaan tanah air dalam keadaan bahaya. 2. Pemerintahan di ibukota terletak dibawah kekuasaan sekutu dan oleh karena itu tidak dapat menjalankan tugas. 3. Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing. 4. Gerakan-gerakan pembebasan tanah air yang telah ada harus di koordinasikan oleh satu panitia nasional pusat. 5. Untuk itu perlu diadakan kongres.11 Setelah maklumat tersebut hingga ke ibukota, Mustafa Kemal dipanggil pulang. Karena ia menolak, ia pun secara resmi dipecat dari dinas militer. Mustafa Kemal keluar dari dinas itu dan ia diangkat oleh perkumpulan pembela hak-hak rakyat cabang Erzurun sebagai ketua.12 Akhirnya asosiasi tersebut juga menjadi alat perjuangan politik masa depan. Pada tahun 1920, ia telah mendirikan Nasional Assembly (Dewan Nasional) di Ankara. Pada saat pendiriannya ia menyatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar dalam praktek kenegaraan adalah kecenderungan profesionalisme, yaitu pemerintahan rakyat. Hasilnya adalah dalam law of
fundamental organization 1921 yang merupakan kesempatan Grand Nasional Assembly,13 dikatakan bahwa yang menjadi pengauasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat. Selanjutnya Mustafa Kemal dan kawan-kawannya dari golongan nasionalis bergerak terus dan dengan perlahan-lahan dapat menguasai situasi, sehingga akhirnya sekutu terpaksa mengakui mereka sebagai penguasa defacto dan
dejure
di
Turki
pada
tahun
1923
ditandatangani
perjanjian
lausanne
pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan internasional.
11
Ibid., h.146 Bandingkan dengan Abdul Sani, op. cit., h. 125-126.
12
Ibid.,
13
Syatiq A. Mugni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Cet. I: Jakarta: Logos. 1997), h. 148
Adapun
reformasi
yang
dijalankannya
yang
kemudian
oleh
para
pendukungnya disebut sebagai prinsip-prinsip kemalisme.14 Yaitu republikanisme, nasionalisme, republisme, etatisme, reformisme dan westernisasi. III.
IDE-IDE PEMBARUANNYA
A. Politik Hal utama yang menonjol pada revolusi Mustafa Kemal Attaturk adalah bagaimana bentuk negara yang diinginkan. Bagi Mustafa Kemal Attaturk, kedaulatan harus berada di tangan rakyat.15 Hal ini tidak sejalan dengan fatwa politik tradisional Turki yang memandang bahwa kedaulatan itu terletak ditangan Tuhan yang dijalankan oleh sultan atau khalifah. Ide Mustafa Kemal Attaturk tersebut diterima oleh Majelis Agung Nasional pada tahun 1920. Satu tahun kemudian, ide tersebut diundangkan.16 Sealnjutnya dengan alasan fakta sejarah umat Islam. Mustafa Kemal mengusulkan agar dua fungsi yang dipegang oleh sultan Turki, yakni fungsi spiritual dan fungsi temporal dipisahkan. Dulu, pada zaman Abbasiyah misalnya, demikian menurut Mustafa Kemal, khalifah memerintah Bagdad sementara sultan memerintah di daerah-daerah. Kemudian Mustafa Kemal mengusulkan agar jabatan sultan dengan kekuasaan temporal yang ada padanya dihapuskan saja untuk menghindari adanya dualisme pada kekuasaan eksekutif. Yang dipertahankan adalah jabatan khalifah dengan kekuasaan spiritualnya.17 Ini berarti Mustafa Kemal Ataturk menghendaki agar kekuasaan sultan Turki, dalam hal ini, khalifah benar-benar hanya menyangkut keagamaan belaka dan tidak perlu mencampuri urusan-urusan ketatanegaraan. Sudah barang tentu
14
Ibid., h. 150. Lihat pula Niyazi Berkes, Development of Secularism in Turky (MC. Gill University
Press, 1964), h. 463. 15
Harun Nasution, op, cit., h. 149.
16
A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern (Jakarta: Djambatan, 1994), h. 82. Lihat
juga Niyazi berkes, op. Cit., h. 481. 17
Harun Nasution, op, cit., h. 149.
bentuk kekuasaan seperti ini sangat jauh lebih terbatas daripada kekuasaan yang dimiliki oleh sultan-sultan Turki sebelumnya. Bahkan, kekuasaannya lebih kecil dan lebih terbatas dari pada kekuasaan yang demikian oleh biro syaikh al-Islam pada masa jayanya. Pembaruan bentuk negara ini, golongan Islam mempertahankan bentuk khalifah sedangkan golongan nasionalis menghendaki bentuk republik. Dalam konstitusi 1921 ditegaskan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat, jadi bentuk negara harus republik. Dan pada tahun 1923, Majelis Nasional Agung (MNA) mengambil keputusan bahwa Turki adalah negara republik. Walaupun sudah jelas bahwa negara adalah republik dan Mustafa Kemal adalah presidennya18 yang dipilih dan jabatan khalifah dipegang Abdul Majid masih menimbulkan kekacauan teori dan praktek. Pembaruan berikutnya adalah penghapusan jabatan khalifah. Dalam sidang majelis perdebatan cukup sengit, tetapi pada akhirnya pada tanggal 3 Maret 1924, diputuskan penghapusan jabatan khalifah.19 Dengan demikian, gambaran bahwa di republik Turki ada dualisme terhapus, tetapi sesungguhnya demikian ”kedaulatan rakyat” belum punya gambaran yang jelas, karena dalam konstitusi, agama negara adalah Islam, artinya kedaulatan bukan di tangan rakyat tetapi pada syariat. Usaha Mustafa Kemal selanjutnya adalah memasukkan prinsip sekularime dalam konstitusi pada tahun 1928. Negara tidak ada lagi hubungan dengan agama. Pada tahun 1937, barulah republik Turki dengan resmi menjadi sekuler.20 Namun
sebelum
resmi
menjadi
negara
sekuler,
Kemal
telah
mulai
menghilangkan institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan.
18
Guillermo O’Donnel et.al (ed), Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Eropa Selatan (Cet. 1:Jakarta
LP3ES, 1992), h. 268-269. Setelah konstitusi 1921 diamandemen, maka bentuk negara adalah Republik dan agama negara adalah Islam, belum sekuler, lihat Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h. 88. 19
Harun Nasution, op, cit., h. 153
20
Ibid.
B. Pendidikan dan Kebudayaan Bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan bidang yang cukup esensial dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya-upaya pembaruan yang dilancarkan oleh para pembaru, tidak terkecuali Mustafa Kemal dan para pendukungnya di Turki tidak melepaskan diri dari bidang tersebut. Pada tahun 1923, Mustafa Kemal atas nama permerintah, memerintahkan untuk membangun suatu lembaga studi Islam yang diberi tugas mengkaji filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Barat, kondisi praktis, ritual, ekonomi, penduduk muslim. Tujuan lain lembaga tersebut adalah mendidik dan mencetak serta membentuk mujtahid modern yang mampu menafsirkan al-Qur’an,21 agar umat Islam Turki memperluas wawasannya lewat pemahaman agama secara lebih terbuka dan lebih rasional. Pembaruan
selanjutnya,
adalah
pengalihan
tanggungjawab
penyelenggaraan pendidikan agama ke dalam kementerian pendidikan pada tahun 1924. Hal ini sesuai dengan Undang-undang pendidikan dan konstitusinya di bawah kontrol kementerian pendidikan.22 Bersamaan dengan dihapusnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi agama, pada tahun 1924, Mustafa Kemal membuka fakultas agama pada Universitas Istambul. Pada saat yang sama membuka sekolah-sekolah yang membina dan mempersiapkan tenaga-tenaga khatib dan imam.23 Jadi pendidikan yang diinginkan oleh Mustafa kemal dan para pendukungnya adalah pendidikan yang bebas dari pengaruh-pengaruh tradisional. Westernisasi dan sekularisasi diadakan bukan hanya dalam bidang institusi saja, tetapi juga dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat. Pemakaian pakaian keagamaan hanya dibolehkan bagi mereka yang menjalankan tugas keagamaan, dan seluruh pegawai negeri diwajibkan memakai topi dan pakaian 21
Lihat Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: CV. Anda Utama, 1992),
22
A. Mukti Ali, op. cit., h. 83
23
Harun Nasution, Pembaruan: op, cit., h. 152. Lihat juga Syafi, op, cit., h. 149
h. 813.
model Barat.24 Di tahun 1935 dikelauarkan pula Undang-undang yang mewajibkan warga negara Turki mempunyai belakang dan hari cuti resmi jum’at dirubah menjadi hari mingguan.25 Republik Turki adalah negara sekuler tetapi walaupun demikian apa yang diciptakan Mustafa Kemal belum menjadi negara yang betul-betul sekuler. Betul syariat telah dihapus pemakaiannya dan pendidikan agama dikeluarkan dari kurikulum sekolah. Republik Turki masih mengurus agama melalui Departemen Urusan agama, sekolah-sekolah pemerintah untuk imam dan khatib dan fakultas ilahiyah dan perguruan tinggi negara Universitas Istambul. C. Kehidupan Kemasyarakatan Para penulis sejarah tidak bisa menyangkal kenyataan besarnya pengaruh Islam, dalam hal syari’at Islam pada segala segi kehidupan masyarakat Turki.26 Ini dibuktikan bahwa Turki Usmani sepanjang sejarahnya merupakan lembaga bagi kekuasaan Islam dunia dan agama Islam merupakan agama negara sampai dibatalkan oleh Mustafa Kemal, serta pemakaian abjad Arab hingga diganti menjadi abjad Latin.27 Di mata para pembaharu Islam adalah agama rasional, agama yang tidak bertentangan dengan kemajuan.28 Yang menjadi penyebab mundurnya Turki adalah terutama karena terlalu kuatnya masyarakat Turki berpegang pada syariat Islam, padahal syariat yang diperpegangi tersebut sebenarnya tidak lebih 24
A. Mukti Ali, op. cit., h. 86
25
Lihat Departeen Agama RI, op. cit., h. 815. Lihat juga Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara.
Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Edisi. V, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 226. 26
Jhon J. Dono Shoe dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia Masalah (cet. II:
Jakarta: Rajawali, 1989), h. 322. 27
A. Mukti Ali, op. cit., h. 88
28
M. Syafi’I Anwar, “Kemalisme dan Islam”, op. Cit., h. 86.
dari pada syariat yang sudah ternoda oleh budaya Arab yang telah usang dan tidak cocok dengan bumi Turki dan zaman yang sudah cukup maju. Mustafa Kemal Attaturk cukup responsip terhadap hal tersebut, karena dasar keyakinannya bahwa Islam itu adalah agama rasional, sosok untuk kemajuan, iapun berupaya agar masyarakat Turki memperluas wawasannya lewat cara, antara lain mengetahui dasar-dasar dan ajaran agamanya yang asli. Oleh sebab itu pada tahun 1924 ia membentuk Departemen untuk urusan keagamaan dengan tugas untuk mengurus administrasi keagamaan dan mempersiapkan buku teks pelajaran agama. Kemudian Mustafa Kemal Attaturk memerintahkan agar bahasa Turki dipakai pada mimbar-mimbar masjid khotbah-khotbah Jum’at, pada adzan untuk shalat dan al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.29 Dari beberapa gebrakan di atas memperlihatkan keseriusannya dan para pedukungnya untuk mencerdaskan bangsanya, termasuk dalam hal ini membuat masyarakatnya mengerti dan memahami dasar-dasar ajaran agamanya yakni Islam. Boleh disayangkan karena hal-hal seperti itu termasuk sesuatu yang baru terjadi di kalangan masyarakat Turki bahkan di dunia. Mereka sulit menerimanya dengan baik. Seperti halnya dengan usaha pembaruan di bidang kebahasaan,30 Mustafa Kemal Attaturk bukan sekedar sebagai orang yang ahli teori dan pelopor gagasan serta penandatanganan instruksi, ia juga langsung terjun ke tengahtengah masyarakat melaksanakan itu semua. Selanjutnya Mustafa Kemal Attaturk berupaya menghilangkan semua simbol-simbol dan upacara-upacara baik adat maupun keagamaan yang mencerminkan tradisionalan. Hal ini ia lakukan dalam upaya untuk menunjukkan kepada dunia, terutama dunia barat bahwa Turki adalah negara beradab dan berbudaya tinggi sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Seperti 29
A. Mukti Ali, op. cit., h. 90, Lihat pula Harun Nasution, op. cit., h. 153.
30
Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki (Cet. 1: Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), h. 74.
dikeluarkan peraturan larangan pemakaian tarbus, menyegel semua tekkes (empat pertama) para kaum tarekat, praktek jampi-jampi dan teknik dalam rangka pengobatan terhadap suatu penyakit dan lain-lain.31 Mustafa Kemal Attaturk juga melihat bahwa ulama-ulama selama ini hanya menggiring masyarakat kepada kehidupan ritual dan ketaatan kepada sistem ibadah dan etika yang mereka ciptakan sendiri tanpa boleh digugat sedikitpun. Mereka tidak merasa perlu untuk menggambarkan ummatnya kepada kegairahan hidup di dunia dalam arti kegairahan untuk berprofesi dibidangbidang ekonomi politik, sosial, kesenian dan kemasyarakatan.32 Akibatnya, dibidang kehidupan dunia, ummat Islam Turki miskin, keterbelakangan, sedang di bidang spiritual, mereka juga miskin karena mengamalkan sesuatu yang pada hakikatnya tidak benar. Adanya kemajuan di bidang-bidang tersebut di atas jelas membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan kemasyarakatan mereka yang berhasil memperoleh kesempatan memanfaatkan peluang-peluang baru yang muncul itu dan upaya-upaya perubahan tersebut. Hal itu dipahami sebagai gejala mobilisasi pada
masyarakat
yang
mulai
berkembang.
Mereka
yang
memperoleh
kesempatan dan memanfaatkannya akan beroleh kemajuan yang berarti, mereka yang tidak cekatan akan tetap pada keadaan semula. IV.
KESIMPULAN
Mustafa Kemal Attaturk adalah pendiri dan presiden pertama Republik Turki, dikenal sebagai tokoh pembaruan revolusioner yang berusaha mengajukan peradaban Eropa di negerinya. Dalam hal ini, sering melontarkan ide-ide pembaruan di berbagai bidang, yaitu: bidang politik, bidang pendidikan dan kebudayaan dan bidang kehidupan kemasyarakatan.
31
A. Mukti Ali, op. cit., h. 86, Lihat pula H. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas (Cet. II: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 196. 32
Binnaz Toprak, op, cit., . xxii.
Dalam bidang politik, selain dari pengaruh bentuk negara dari imperium multi nasional Usmani yang Islami menjadi Republik Turki yang sekuler, Mustafa Kemal Attaturk dan para pendukungnya juga menghilangkan jabatan sultan, khalifah dan biro Syaikh al-Islami. Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan Mustafa Kemal Attaturk dan para pendukungnya menghapus madrasah-madrasah. Demikian juga mata pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum dihapus. Selanjutnya, aksara Arab diganti menjadi aksara latin dan seluruh jenis dan jenjang pendidikan disatukan dalam tanggungjawab dan pengawasan kementerian pendidikan yang dibentuk khusus untuk itu. Dalam bidang kehidupan kemasyarakatannya, Mustafa Kemal dan para pendukungnya, berupaya menaikkan derajat taraf kehidupan masyarakatnya lewat upaya sosialisasi nilai-nilai modern pada seluruh aspek kehidupan mereka. Sejalan dengan itu, Mustafa Kemal Attaturk bersama teman-temannya berhasil mendirikan Grand National Assembly (MNA) sebagai wadah untuk menyatukan ide-ide pembaruannya, ide ini sebenarnya tidak bermaksud menghilangkan ajaran Islam dari Republik Turki, tetapi bertujuan menolak intervensi agama dalam bidang politik dan pemerintahan dan berusaha meletakkan agama pada proporsi yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, H. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisasi, Cet. II: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Ali, A. Mukti, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994. Amin, Husaya Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Cet. III: Bendung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999. Anwar, M. Syafi’i, Kemalisme dan Islam, sebuah Kaleidioskop ”dalam Ulum alQur’an Vol. I, No. 3, 1989. Berkez, Niyazi, Development of Secularism in Turky, MC. Gill, University Press, 1964. Departemen Agama RI, Ensiklopesia Islam di Indonesia, Jakrta: CV. Anda Utama, 1992. Esposito, Jhon, J. Dono Shoe dan Jhon, L. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia
Masalah, Ce. II: Jakarta: Rajawali, 1989. Gibb, H.A.R., “Attaturk, Mustafa Kemal”, dalam The Encyclopedia of Islam, 1989. Lapidus, Ira, M., Sejarah Nasional Ummat Islam (Jakarta: Raja Grafindo), 1995. Mugni, Syatiq A., Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Cet. Islam: Jakarta, Logos, 1997. Nasution, Harun, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Cet. V: Bandung: Mizan, 1998. ----------, Pembaruan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992. O’Donnel, Guilermo et. al (ed), Transisi Menuju Demokrasi; Kasus Eropa Selatan, Cet. Islam; Jakarta LP3ES, 1992. Rahman, Jalaluddin, Metodologi Pembaruan Sebuah Tunututan Kelanggengan
Islam, Cet. Islam; Makassar, Berkah Utama, 2001. Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Edisi, V, Jakarta: UI Press, 1993. Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Cet. Islam; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Toprak, Binnaz, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, Cet. Islam: Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Welsh, Jhon R., Mustafa Kemal, Dalam Ensiklopedia Amerika, II, 1977.