AL-KINDI Riwayat Hidup, Keserasian Agama dan Filsafat, Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Jiwa
Oleh: Abdul Hakim UPT. Mata Kuliah Umum
Abstrak Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Pada masa Bani Umayyah pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum kelihatan.Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang Arab, tetapi orang-orang Persia yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani. Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi, Ia pandai berbahasa Yunani dan di Bagdad ia terbawa arus penterjemahan yang sedang giat pada waktu itu. Sebagia penulis meragukan bahwa ia juga menterjemahkan buku-buku filsafat, tetapi sekurangkurangnya ia turut memperbaiki terjemahan Arab dari beberapa buku.Disamping itu ia juga membuat ringkasan dari beberapa karangan Aristoteles. Al-Kindi dalam teologi Islam menganut aliran Mu’tazilah, karena ia adalah satu-satunya filosof Islam yang berasal dari keturunan Arab, makaia disebut Failusuf Al-‘Arab (Filosof Orang Arab).
Kata Kunci: Al-Kindi, Keserasian Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Jiwa
Agama
dan
Filsafat,
I. PENDAHULUAN Kegiatan filsafat dalam sejarah peradaban umat manusia sudah dimulai sejak abad VI SM., atau bahkan lebih ke belakang lagi, yakni sejak jaman Socrates, Pytagoras hingga Hermet. Namun, filsafat yang dilakukan secara sistematis dan rasional baru dimulai sejak , masa Plato, Aristoteles dan Plotinus. Bahkan ketiga tokoh yang disebut terakhir ini dapat dianggap sebagai representasi dari filsafat yang berkembang sepanjang sejarah. Ketika Islam muncul, pemikiran rasional Aristoteles dan pemikiran mistik Plato dan Plotinus banyak di adopsi oleh sarjana intelektual muslim, hal ini membuktikan bahwa Islam dan juga para pemeluknya tidak antipati terhadap peradaban yang lain. Al-Kindi adalah filosof muslim Arab pertama yang merintis jalan bagi masuknya filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu filosof Arab asli keturunan rajaraja Yaman di Kindah. Al-Kindi menghasilkan banyak karya, sehingga menurut Ibnu Nadim, seorang pustakawan ternama,mengatakan 241 karya Al-Kindi1, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Al-Kindi lahir pada puncak kemajuan intelektual dan sosialpolitik Bani Abbasiyah, antusiasme pemerintah terhadap kegiatan penerjemahan tercermin dari besarnya imbalan yang diberikan untuk sebuah karya terjemahanoleh pemerintah. Berdasarkan deskripsi diatas, maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan beberapa parmasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana riwayat hidup Al-Kindi?
2.
Bagaimana pandangan Al-Kindi mengenai keserasian agama dan filsafat?
3.
Bagaimanakonsep filsafat ketuhanan dalampandangan Al-Kindi?
1
Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme,diterjemahkan oleh Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Mizan, Bandung, 2001, Cet. I h. 26
4.
Bagaimana konsep kejiwaan dalam filsafat Al-Kindi?
II.PERMASALAHAN A. RIWAYAT HIDUP AL-KINDI Penulisan filsafat secara sistematis dalam sejarah Islam baru dimulai pada abad IX2. Sebelumnya, kegiatan filosofis hanya berkisar pada penterjemahan karya-karya filsafat Yunani. Mungkin juga sedikit wisata ensiklopedi-filosofis oleh sejumlah penterjemah terkemuka,seperti Humain Ibn Ishaq dan Qustha Ibn Luqa3 , konon kedua orang ini berjasa menyusun berbagai risalah kefilsafatan yang beberapa diantaranya masih ada dalam bahasa Arab. Al-Kindi dilahirkan di Kuffah, beliau memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq Sabbah Ibn Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais (180-260 H/769-873 M)4,adalah filosof muslim pertama. Nama Al-Kindi dinisbahkan pada salah satu suku besar Arab pra-Islam, yakni Kindah. Kakeknya, Al-Ash’ats Ibn Qais, adalah salah seorang muslim dan bahkan dianggap sebagai salah satu sahabat Nabi SAW., sementara ayahnya, Ishaq As-Sabbah adalah gubernur Kuffah ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid,5 ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu yang baik. Sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh tentang pendidikannya, ia pindah dari Kuffah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam, tidaklah mengherankan jika Al-Kindi menguasai banyak macam ilmu pengetahuan, 2
Madjid Fakhry, Op. cit., h. 24
3
Ibid, h. 25
4
Taufik Abdullah,Ensikilopedi Tematis Dunia Islam,Ikhtiar Baru Van Hoven, Jakarta, Cet. 4, h.
174
5
Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafat Islam fi al-Masyriq wa al-Maghrib, h. 4-5
karena ia tumbuh dan
dibesarkan di Kuffah yang merupakan kota pusat
perkembangan ilmu. Semasa muda Al-Kindi menetap di Baghdad, ibukota khalifah Bani Abbasiyah yang juga sebagai jantung kota kehidupan intelektual pada waktu itu, ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Al-Kindi mendapat pengetahuan dan menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu pasti, seni musik, meteorologi, optikal, kedokteran, matematika, filsafat dan politik. Al-Kindi adalah orang Islam pertama keturunan Arab dalam jajaran filosof terkemuka.6 Terlepas dari sedikitnya informasi biografi tentang Al-Kindi, sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa sumbangan besar Al-Kindi bagi perkembangan filsafat dan sains Islam, Ibn Nadim (w. 995) seorang pustakawan
yang terpercaya
menyebutkan adanya 242 buah karya Al-Kindi,7 dalam bidang yang telah kami sebutkan di atas. Selain karya yang berbentuk buku,
Al-Kindi juga menulis
sejumlah makalah yang menyangkut studi agama India, Chalden dan Harran.8 Mencermati kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan, karena tidak satupan karya logikanya yang dapat ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan ruang lingkup pengetahuan Al-Kindi yang luar biasa atau mungkin juga karena alasan lain seperti kesesuaian pahamnya dengan ide-ide mu’tazilah, ini dapat dilihat ketika khalifah al-Makmum mengajaknya bergabung dengan kalangan cendekiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-
6
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 38
7
Madjid Fakhry, Op. Cit., h. 26
8
I b i d., h.26
karya Yunani,9 walaupun kelihatannya ia lebih cenderung menyimpulkan daripada menerjemahkan karya-karya tersebut. Khalifah al-Makmum menjadikan aliran mu’tazilah sebagai mazhab negara, lewat kesempatan inilah Al-Kindi menghalalkan filsafat sebagai salah satu khazanah pengetahuan Islam setelah ia menyesuaikan terlebih dahulu dengan pemahaman agama. Al-Kindi dalam risalahnya tentang “filsafat pertama”, mengatakan “ diantara usaha-usaha yang tinggi derajat dan dasar kemanusiaan ialah usaha filsafat, yang tujuannya mengetahui semua yang ada dengan hakekatnya sekedar kekuatan otak manusia, karena maksud ahli-ahli filsafat ialah mencari yang benar dengan ilmunya, beramal yang benar dengan amalnya, bukan pekerjaan yang tidak tentu ujung pangkalnya, karena pekerjaan itu kita pegang dan pekerjaan itu selesai apabila kita sudah sampai pada kebenaran”.10 Al-Kindi juga memperoleh kedudukan yang terhormat pada masa itu, bahkan diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra khalifah al-Mu’tasim. Namun, kedudukannya ini bukan berarti ia lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir. Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, Daulah Bani Abbas kembali menjadikan ahlu sunnah wa al-jama’ah sebagai mazhab negara, suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok yang berpegang secara ketat pada doktrin ini tidak menyukai filsafat, akhirnya Al-Kindi sebagai tokoh filsafat Islam pada saat itu di dera dan perpustakaannya yang bernama Al-Kindiyyah disita, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama kemudian perputakaannyya dikembalikan lagi.11 Al-Kindi termasuk orang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis, tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, akan tetapi amat 9
Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 39
10
Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramdani, Jakarta, 1982, Cet. 2, h. 43
11
Sirajuddin Zar, op.cit, h. 44
disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang, informasi terakhir merupakan suatu kegembiraan karena sebagian risalah Al-Kindi yang hilang tersebut telah ditemukan kembali. Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi sebagai berikut : 1. Fi Al-Falsafah al-ula 2. Fi hudud al-asy ya’wa rusumuha 3. Fi al-fa’ill al-haq al-awwal al-fam 4. Fi ilati’ i-kaun wal fasad 5. Fi al-qaul fi nafsih 6. Fi wahdaniyatillah wa tanahir jirmi’i ‘alam 7. Fi ‘il ‘aql12 Informasi kapan Al-Kindi meninggal tiada suatu keterangan yang pasti, agaknya menentukan tahun wafat sama sulitnya dengan menentukan tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang mendidik Al-Kindi. Mustafa Abdul AlRazy cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, Yakud Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah berumur 80 tahun atau lebih sedikit13, sedangkan Harun Nasution lebih cenderung menetapkan Al-Kindi meninggal di tahun 873 M.14
B. KESERASIAN AGAMA DAN FILASAFAT DALAM PANDANGAN AL-KINDI
12
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, Cet. 2, h. 11
13
Sirajuddin Zar, op.cit, h. 41
14
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, h. 16
Selama ini orang berpendapat bahwa antara agama dan filsafat sebagai dua hal yang saling kontradiktif. Pandangan tersebut pada mulanya dianut oleh mereka yangberpaham konservatif dan sangat anti dalam menggunakan akal dalam persoalan agama. Mereka berdasar pada asumsi bahwa filsafat secara epistemologi bertolak pada murni akal danmemakai metode skeptip (keraguraguan). Sedangkan agama adalah wilayah keimanan yang membutuhkan keyakinan, jawaban ini sepintas cukup memuaskan namun sungguh tidak tepat jika jawaban ini kemudian diterapkan pada filsafat Islam.15 Al-Kindi adalah orang Islam pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan dan keselarasan antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu, karena antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu hanyalah satu, dalam pengembangan filsafat pertama Al-Kindi mengatakan : ”yang paling luhur dan paling mulia di antara segala seni manusia adalah seni filsafat, pengetahuan segala hal, sejauh batas akal manusia, tujuannya adalah mengetahui hakekat kebenaran dan bertindak sesuai dengan kebenaran itu”.16 Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-qur’an lebih menyakinkan daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan Al-Qur’an tidaklah bertentangan, Al-Kindi mengatakan “Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth)”17. Dari sini kita lihat persamaan antara filsafat dan agama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, agama disamping wahyu juga menggunakan akal sebagaimana filsafat menggunakan akal. 15
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat, Arasy, Bandung, 2005, h. 104
16
Amroni Daradjat, Suhrawardi : Kritik Filsafat Paripetik, Lkis, Jakarta, 2005, cet. I, h. 113
17
JauharS Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Teraju, Jakarta, Cet. I, h. 197
Menurut Al-Kindi “kita wajib berterima kasih kepada para pendahulu yang telah memberikan kita ukuran kebenaran, dengan menganjurkan kita memetik buah pikiran mereka dan memperluas kesempatan kita mencapai masalahmasalah yang tersembunyi dari kebenaran itu, mereka juga telah memberi ramburambu yang meluruskan jalan kita menuju kebenaran”18. Tujuan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam, usaha yang dilakukan cukup menarik dan bijaksana, ia mulai dengan membicarakan kebenaran sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya, sekalipun misalnya sumber itu dari orang asing, kemudian usaha berikutnya ia masuk pada persoalan pokok yakni filsafat. Telah diketahui bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul, oleh karena itu sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita menurut Al-Kindi wajib mempelajarinya bahkan lebih jauh dari kita wajib mencarinya19. Menurut Al-Kindi ada dua jenis ilmu pengetahuan : pertama, pengetahuan ilahi, yaitu segala pengetahuan yang tertuang dalam Al-Qur'an, pengetahuan ilahi ialah rangkaian pengetahuan yang langsung diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Pondasi pengetahuan ilahi adalah keyakinan atau iman. Kedua, pengetahuan manusiawi atau falsafat yang menggunakan pemikiran rasional,20 kedua pengetahuan ini satu dengan yang lain tidak mengandung pertentangan hanya dasar dan argumentasinya yang berbeda, dengan kata lain
18
Aburiddah, Risalail I, h. 97. Dikutip oleh Madjid Fakhry, op.cit. h. 26
19
Taufik Abdullah, op.cit. h. 180
20
Jauhar S Praja, op.cit. h. 196
pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang menggunakan akal sedangkan pengetahuan ilahi berasal dari wahyu.21 Selanjutnya menurut Al-Kindi “pengetahuan manusia sendiri terdiri dari pengetahuan aqli dan pengetahuan naqli, pengetahuan pertama dapat mengungkapkan hakekat sesuatu, sedangkan pengetahuan terakhir hanya dapat mengungkapkan bagian-bagian sifat dari obyeknya”22. Hakekat yang dimaksud adalah sifat-sifat umum dari objek. Sebagai orang yang mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa sebelumnya, maka ia memperkenalkan pikiran-pikiran itu kepada dunia arab Islam tentang berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing oleh mereka. Oleh karena itu, timbullah reaksi pada mereka untuk tidak mengambil filsafat dalam menyelesaikan persoalan agama. Namun, Al-Kindi tetap semangat untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam, untuk memuakan pihak terutamaorangorang yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemaduan ini Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Qur'an menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini, di antara ayat-ayatnya sebagai berikut :23 1. Surat Al-Hasyr (59) : 2
....maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
21
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, UI Press,
Jakarta, 1983, h. 38 22
Ibid, h. 39
23
Muhammad Athif Al-Irafi, Al-Falsafah Islamiyah, h. 22-23 dikutip Sirajuddin Zar, op.cit, h. 45
2. Surat Al-A’raf (7): 185 Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah. 3. Surat Al-Ghasyiyat (88) : 17-20 Maka apakah mereka tidak memperhatikan untuk bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan. Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Qur'an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan : 1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat 2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian 3. Menurut ilmu secara logika diperintahkan agama.24 Menurut Al-Kindi untuk memahami tujuan Nabi SAW. dalam Al-Qur'an, diperlukan penafsiran atau penjajakan makna-makna taksa (ambigous ) yang terkandung dalam Al-Qur'an dengan sikap seperti ”orang-orang beragama dan berakal budi yang benar” , dia juga melukiskan penafsiran itu dengan mengutip q ayat Al-Qur'an (QS. Al-Rahman (55): 6) yang berbunyi, “ bintang-bintang dan pepohonan bersujud pada Allah....., Al-Kindi menunjukkan bahwa apabila ditafsirkan secara tepat, ayat tersebut bisa menjelaskan betapa segala sesuatu termasuk yang diangkasa luar, bersujud kepada Allah.25 Tampak jelas bahwa AlKindi adalah pelopor dikembangkannya penafsir hermeneutic (takwil) pada ayat taksan (mutasyabihat) dalam Al-Qur'an.
24
Ibid., h. 47
25
Al-Kindi, Rasail Falsafat dalam Madjid Fakhry, Op.Cit., h. 29
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi merupakan pioner dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melempengkan jalan bagi Al-Farabi,Ibn Sina, dan Ibn Rusyd yang datang kemudian atau dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting dalam pentas filsafat Islam.
C. FIL SAFAT KETUHANAN Sebagaimana yang telah dikemukakan, kegiataan manusia yang paling mulia adalah mencari dan mengamalkan kebenaran, yaitu berfilsafat, dan filsafat yang paling utama adalah filsafat pertama yang tidak lain dari sebab pertama yakni Tuhan. Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan, antara lain dalam tulisannya fi alfalsafat al-ula dan fi wahdaniyyat al-Allah wa tanahil jiran al-‘a’lam,26 dari tulisantulisan tersebut pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Allah bagi Al-Kindi adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan selalu ada selamanya, Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang lain, wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujudnya.27 Oleh karena itu pencipta (Allah) itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak terbilang, Maha Suci dan Maha Tinggi, sejauh-jauhnya dalam penyelewengan agama, Dia tidak menyerupai alam ciptaan, karena sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan dan sifat itu sama sekali tidak ada pada-Nya.28
26
Sirajuddin Zar, Op.Cit.,h. 50
27
Ibid
28
Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Muslim, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, Cet. III, h. 94
Oleh karena itu berbeda dengan keberadaan alam, Al-Kindi memandang bahwa alam, sebagai ciptaan Allah beredar menurut aturan-Nya (sunatullah) tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan, alam diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada (creation exnihilo) atau menurut istilah yang digunakan (izh- hak alayai’ an laisa)29 Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Tuhan bagi Al-Kindi adalah, Yang Maha Esa, dalam arti sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi, keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu, tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat juz’i (individual, disebut aniyah) dan hakikat kulli (umum disebut mahiyah) yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jenis) dan spesies (macam), maka Tuhan dalam filsafat Al-Kindi, tidaklah demikian “Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah dan mahiyah” tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam. Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk (hayullah), juga Tuhan tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan tidak merupakan genus atau spesies, Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik, Ia adalah yang benar pertama dan yang benar tunggal, Ia semata-mata satu, hanyaIalah yang satu, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak”.30 Sesuai ajaran paham Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan, karena itu dalam hal ini Ia lebih dekat dengan filsafat platonus yang mengatakan bahwa yang maha satu (tohen) adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada31. 29
Sirajuddin Zar, op.cit, h. 52
30
Harun Nasution, loc.cit, h.16
31
Ibid, h. 17
Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi menggunakan tiga jalan, yaitu: 1. baharunya alam, 2. keanekaragaman dalam wujud (katstrah fil mujudat), dan 3. kerapian alam.32 Untuk jalan pertama Al-Kindi memulai jalan pembuktian dengan mengajukan pertanyaan, mungkinkah sesuatu itu menjadi sebab bagi wujud darinya ataukah tidak mungkin? Lalu dia menjawabnya sendiri bahwa, hal itu tidak mungkin karena tidak masuk akal sesuatu menciptakan dirinya sendiri, dengandemikian alam ini adalah baharu (muhdah) dan mempunyai permulaan waktu karena alam ini terbatas. Selanjutnya jalan kedua bahwa alam ini mesti ada penyebab terjadiya karena tidak mungkin ada benda dengan sendirinya, untuk jalan ketigayaitu jalan kerapian Al-Kindi mengatakan bahwa alamlahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat tidak nampak, zat yang tidak nampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat dalam alam ini.33
D. FILSAFAT JIWA Tidak mengherankan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang penting dalam filsafat Islam, hal ini disebabkan jiwa termasuk unsur utama dari manusia, bahkan sebagai inti sari dari manusia, kaum filosof muslim memasuki kata jiwa(al-Nafs) pada apapun yang dinisbatkan Al-Qur’an dengan ruh, Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Tidak menjelaskan secara tegas tentang ruh atau
jiwa,
bahkan
Al-Qur’an,
sebagai
sumber
pokok
ajaran
Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakekat ruh, karena ini
32
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam Bulan Bintang, Jakarta, 1991, Cet. V, h. 17
33
H. M. Rasyidi, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, h. 9
adalah urusan Allah SWT, bukan urusan manusia.34 Justru itu kaum filosof muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filusuf Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam. Menurut Al-Kindi “roh (jiwa) adalah Jauhar Basith, tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan lebar, jiwa mempunyai arti penting, sempurna dan mulia, substansi (jauharnya) berasal dari Allah. Hubungan dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari”35, akan tetapi, apakah dengan demikian jiwa itu berasal alam Ilahi atau alam idea seperti dikatakan Plato, tampaknya Al-Kindi hanya mengatakan “ kita datang di alam ini bagaikan titian atau jembatan yang dilalui oleh para penyebrang, tidak mempunyai tempat yang lama, tempat yang kita harapkan adalah alam tertinggi ya luhur ke mana jiwa kita akan berpindah setelah mati”.36 Ruh memiliki wujud tersendiri dalam berbeda dengan badan, sebab jasmani mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah, sedangkan ruh selalu menentang keinginan hawa nafsu, sementara sifat ruh menjadi penganjur kepada ketenangan dan kelembutan, oleh karena itu perbedaan antara ruh dan jasmani amat jelas.Inilah argumen Al-Kindi “ ruh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan, ruh tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi badan, ruh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuan sempurna, hanya sebatas bercerai dengan badan, ruh memperoleh kesenangan sempurna dalam bentuk pengetahuan sempurna”.37 Setelah bercerai dengan badan ruh pergi ke alam kebenaranatau alam kekal, diatas bintang-bintang dalam
34 35
Qs. Al-Isra’ Ayat 85 Harun Nasution, loc.cit. h. 17
36
Ahmad Daudi, Loc., Cit. h. 21
37
Harun Nasution, Op. Cit. h. 18
lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, disinilah letak kesenangan abadi dari ruh. Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa “jiwa manusia sebagai benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk, materi ialah badan dan bentuk adalah jiwa manusia, hubungan badan dan jiwa sama dengan hubungan dengan materi”.38 Al-Kindi berpendapat bahwa ”jiwa lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri, karena keadaan badan yang mempunyai hawa nafsu, sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang”.39 Pada pembahasan selanjutnya Al-Kindi dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, antara lain: 1. daya nafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, 2. daya marah (al-quwwat al-qadabiyyah) yang terdapat di dada, dan 3. daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyyat) yang berpusat pada kepala.40 Akhirnya dalam risalah yang berjudul maqalat fi al-‘aql (pembahasan tentang akal) ia mengembangkan tema tentang intelek, Al-Kindi membatasi akal kepada empat bagian: 1. Akal aktif 2. Akal potensial 3. Akal yang beralih dari potensial ke aktual 4. Akal akhir.41
38
Sirajuddin Zar, Loc.Cit. h. 60
39
Harun Nasution, Op. Cit. h.17
40
Ibid. h. 19
41
Madjid Fakhry, Loc. Cit. h. 33
Menurut Al-Kindi yang dimaksu dengan “akal aktif” adalah serupa dengan “sebab pertama” dalam konsepsi Aristoteles yakni Tuhan, akal ini senantiasa dalam keadaan aktif karena ia sebab bagi apa yang terjadi pada jiwa manusia khususnya dan pada alam ini umumnya. Adapun tiga akal yang lain, maka ia adalah jiwa itu sendiri, jiwa merupakan ”akal potensi” sebelum ia memikirkan obyek pemikiran (ma,qulat) dan setelah memiliki obyeknya, maka ia beralih menjadi “akal aktual” , akal dalam keadaan akal potensial tidak bisa dengan sendirinya menjadi akal aktual tanpa ada sebab dan sebab bagi terjadinya proses itu adalah “akal aktif” atau juga disebut “akal pertama” yakni Tuhan, jiwa dalam tingkat akal aktual telah memiliki obyek pemikirannya, sehingga ia bisa menggunakannya kapan ia kehendaki, dalam tingkat terakhir, akal disebut “akal akhir” jika ia telah mengunakan akal tersebut dalam kenyataan dalam hal ini AlKindi memberi contoh “menulis” yang terdapat dalam jiwa sebagai bentuk pengetahuan menulis, lalu dia pergunakan untuk menulis oleh si penulis kapan saja ia kehendaki.42
III. PENUTUP Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Al-Kindi adalah orang Islam pertama yang meretas jalan mengupayakan pemaduan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu 2. Al-Kindi mengatakan bahwa kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar 3. Filsafat ketuhanan dalam pandangan Al-Kindi adalah bahwa Tuhan adalah wujud yang sebenarnya, buka berasal dari tiada menjadi ada. Allah mustahil 42
T.J. Boer, The History of Philosophy in Islam,Dover Publication Inc. New York, h. 6-7
tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain 4. Menurut Al-Kindi jiwa adalah jauhar basith yaitu tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar, jiwa mempunyai arti yaitu sempurna, jiwa mempunyai wujud tersendiri terpisah dan berbeda dengan badan.
Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramdani, Jakarta, 1982, Cet. II Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, Cet. II Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam Bulan Bintang, Jakarta, 1991, Cet. V Amroni Daradjat, Suhrawardi : Kritik Filsafat Paripetik, Lkis, Jakarta, 2005, Cet. I H. M. Rasyidi, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1980 Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat, Arasy, Bandung, 2005 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990 Jauhar S Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Teraju, Jakarta, Cet. I Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme,diterjemahkan oleh Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Mizan, Bandung, 2001, Cet. I Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, UI Press, Jakarta, 1983 Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafat Islam fi al-Masyriq wa al-Maghrib Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Muslim, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, Cet. III Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 T.J. Boer, The History of Philosophy in Islam,Dover Publication Inc. New York Taufik Abdullah, Ensikilopedi Tematis Dunia Islam, Ikhtiar Baru Van Hoven, Jakarta, Cet. IV