RONGGENG MELAYU SUMATERA UTARA: KESINAMBUNGAN, PERUBAHAN, DAN POLA RITME GENDANG Muhammad Takari Fakulti Sastera dan Sains Sosial Universiti Malaya, Pensyarah Universitas Sumatera Utara
A. Pendahuluan Manusia hidup di dunia ini dianugerahi Allah sebuah kebudayaan. Ada aspek-aspek yang sifatnya universal namun ada pula yang sifatnya lokal, dalam sebuah kebudayaan. Kebudayaan melingkupi semua hal yang berkaitan dengan hidup manusia, seperti agama, bahasa, organisasi sosial, pendidikan, teknologi, ekonomi, dan kesenian. Seni budaya adalah salah satu bahagian saja dari kebudayaan. Kesenian merupakan cerminan kebudayaan satu kumpulan masyarakat manusia. Kesenian pula memiliki genre atau ragam tersendiri dalam setiap kebudayaan. Demikian pula ronggeng dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Dunia Melayu atau Alam Melayu secara faktual dan historis telah menunjukkan eksistensinya yang begitu matang menjadi tamadun terdepan di Nusantara. Dunia Melayu ini merangkumi kawasan-kawasan induknya di Asia Tenggara, yang kini terdiri dari negaranegera: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Filipina, dan juga sebilangan masyarakat Melayu di Kamboja (Kampuchea), Myanmar, Laos, dan lainnya. Di lain sisi, masyarakat Dunia Melayu juga menyebar ke seluruh dunia, yang secara antropologis dikenal dengan sebutan diaspora Melayu, yang meliputi pelbagai kawasan separti di Afrika Selatan, Sri Langka, Bangladesh, dan Suriname. Sementara itu, secara kultural dan rasial kawasan-kawasan Pasifik (Oseania) selalu pula digolongkan sebagai kesatuan dengan Dunia Melayu-Polinesia atau Melayu-Austronesia. Secara mikrokosmos, Dunia Melayu itu juga terdiri dari kawasan-kawasan kecil yang menopang Dunia Melayu yang lebih besar. Di Indonesia saja misalnya mereka terpolarisasi dalam segmental-segmental regional kecil di bawah provinsi atau bekas wilayah kesultanan Melayu. Setiap bagian regional ini diperkenankan menampilkan jati diri budaya Melayunya, yang umumnya terorganisasi dalam kumpulan-kumpuan adat dan budaya Melayu. Di Sumatera Utara ada Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) yang kini dipimpin oleh Syamsul Arifin, S.E. (yang juga bupati Langkat), kemudian ada Majlis Adat Budaya Melayu Baru Indonesia (MABIN), sementara di tataran generasi muda ada Gerakan Angkatan Melayu Muda Indonesia (GAMMI), dan lain-lainnya. Di Riau ada Majlis Adat Budaya Melayu Riau, di Kalimantan Barat ada Majlis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat, dan masih banyak organisasi sosial yang mewadahi kebudayaan Melayu. Selain itu, setiap bagian regional Melayu biasanya memiliki kekhasan-kekhasan kebudayaannya. Misalnya di Sumatera Utara (masa penjajahan Belanda terintegrasi dalam Sumatera Timur/Oostkust van Sumatra), Langkat memiliki kebudayaan yang kuat mengekspresikan sufisme di Sumatera, Deli begitu kuat mengekspresikan akulturasi budaya Dunia, Serdang kuat menampilkan seniseni Melayu yang dipandang sebagai seni “garda depan” misalnya saja rongggeng Melayu, teater makyong dan mendu. Yang paling fenomenal adalah tari dan musik serampang dua belas. Sementara Asahan dan Labuhanbatu kuat mengekspresikan budaya maritim dan kesenian sinandongnya. Ronggeng Melayu Sumatera Utara adalah satu genre kesenian Melayu yang melibatkan tari, sastra dan musik sekaligus. Ronggeng sangat fungsional dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara, karena didukung oleh etnik Melayu dan etnik-etnik lain yang ada di Sumatera Utara. Tarian ronggeng adalah satu jenis tarian yang mengintegrasikan keanekaagaman masyarakat Sumatera Utara. Seni ronggeng ini bukan hanya didukung oleh masyarakat awam saja, tetapi juga fihak bangsawan Melayu di Sumatera Utara. Seni ronggeng Melayu terdapat di seluruh kawasan Melayu Sumatera Utara, dari Langkat, Deli,
Serdang, Batubara, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Merbau dan seterusnya. Seni ronggeng menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai budaya Melayu yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di Sumatera Utara pula seni ronggeng ini memiliki “saudara” dengan seni sejenis, separti guro-guro aron Karo, tortor naposo Batak Toba dan Mandailing, ronggeng Jawa, ronggeng Banjar, gamat Pesisir dan lainnya. Kesemua jenis itu memiliki akar budaya yang saling berkaitan dan saling memberikan pengaruh di sana-sini. Melalui tulisan ini, penulis akan menganalisis aspek kontinuitas atau kesinambungan dan perubahan dalam ronggeng Melayu Sumatera Utara, dengan fokus utama pada kajian perubahan waktu dan ruang. Selain itu akan dikaji pula tentang rentak dalam gendang ronggeng Melayu, yang sangat menarik perhatian penulis selama ini. Untuk itu, secara saintifik perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sejarah dalam tulisan ini adalah mengikuti pendapat seorang teoretikus sejarah dunia ternama Garraghan (1957), yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: (1) peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas masa lalu; (2) rekaman mengenai manusia di masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau; dan (3) proses atau teknik membuat rekaman sejarah. Kegiatan sejarah tersebut berkaitan erat dengan disiplin ilmu pengetahuan. Lengkapnya adalah sebagai berikut. The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record. The Greek , which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).
Sebelum mengkaji sejarah ronggeng Melayu Sumatera Utara, terlebih dahulu diuraikan tentang etnografi penduduk di Prvinsi Sumatera Utara yang heterogen, namun terintegrasi dalam satu kesatuan kawasan. Etnografi ini berkait rapat dengan keberadaan ronggeng Melayu Sumatera Utara, yang mengadopsi berbagai unsur etnik tempatan dan etnik pendatang. B. Etnografi Penduduk Sumatera Utara Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang secara budaya dan etnik adalah multikultural. Di Sumatera tara terdapat berbagai kelompok etnik setempat dan pendatang baik dari Nusantara maupun mancanegara. Provinsi Sumatera Utara kini adalah gabungan dari Afdeling Sumatera Timur dan Tapanuli di zaman Belanda. Etnik Melayu adalah salah satu etnik setempat Sumatera Utara yang daerah budayanya mencakup wilayah pesisir timur dan barat provinsi Sumatera Utara, yaitu terbentang dari Langkat, Deliserdang, Serdangbedagai, Asahan, Labuhanbatu, serta Tapanuli Tengah dan Sibolga (dua yang terakhir ini kadang menyebut identitasnya dengan orang Pesisir saja). Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia, yang penduduknya dari berbagai kelompok etnik, yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: (a) etnik setempat, yang terdiri dari dari delapan kelompok etnik: Melayu, Karo, PakpakDairi, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola, Pesisir Tapanuli tengah, dan Nias, ditambah etnik Lubu dan Siladang; (b) etnik pendatang Nusantara, separti: Aceh, Minangkabau, Jawa Sunda, Banjar, Makassar, Bugis, dan lainnya. Juga pendatang Dunia separti: Tamil, Benggali, Tionghoa, dan Eropa. Pada masa sekarang ini penduduk Sumatera Utara berjumlah sekitar 12,8 juta, termasuk salah satu provinsi yang padat penduduknya di Indonesia. Masyarakat Melayu memiliki berbagai kesenian, separti seni musik, tari, dan teater tradisional. Yang menarik adalah dalam proses negara Indonesia, etnik Melayu Sumatera Utara ini menyumbangkan salah satu budaya tari yang menjadi tarian nasional, yang terkenal 2
yaitu serampang dua belas yang berasal dari tradisi ronggeng Melayu. Tarian ini dinasionalisasi oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno tahun 1960-an, dan dipraktikkan secara meluas di seluruh kepulauan Indonesia. Tak tanggung-tanggung ibu negara Fatmawati dan isteri wakil presiden Rahmi Hatta gencar mempraktikkan dan menyebarkan tari serampang dua belas ini sebagai tari nasional. Saat itu, aliran politik Indonesia meskipun bebas aktif tetapi membenci negara-negara Barat, yang disebut oleh Sukarno sebagai neokolonilaisme dan neoimperialisme. Saat itu pula Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diangapnya tak adil dan hanya membela kepentingan Barat saja. Berdasarkan letak geografis, kebudayaan Melayu itu meliputi berbagai-bagai negara yang terbentang di kawasan Asia Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand (khususnya daerah Pattani), dan Brunai Darussalam. Di Indonesia sendiri, etnik Melayu mendiami daerah budaya: Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera
Peta 1. Sumatera Timur Dasawarsa 1940-an
Sumber: Langenberg (1982:2)
Selatan, dan Pesisir Kalimantan. Etnik Melayu pesisir Timur Sumatera Utara, berdasarkan ciri khusus kebudayaannya, dapat dikelompokkan lagi ke dalam daerah: Langkat, Deli, Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu. Pada masa Kesultanan Melayu di kawasan ini, wilayah mereka lebih lazim disebut dengan Sumatera Timur, dan kemudian setelah masa kemerdekaan disebut Sumatera Utara (yang termasuk di dalamnya wilayah kebudayaan masyarakat Batak dan Nias). Etnik Melayu ini dalam konteks kebijakannya menghadapi kontinuitas dan perubahan kebudayaan, menggunakan empat klasifikasi adat: (1) adat yang sebenarnya adat, yaitu hukum alam yang secara tabi’i harus terjadi menurut waktu dan ruang--jika dikurangi merusak, jika dilebihi mubazir. Selanjutnya (2) adat yang diadatkan, yaitu adat yang berasal dari musyawarah dan mufakat masyarakatnya, yang dipercayakan kepada pemimpinnya. Kemudian (3) adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama kelamaan atau tiba-tiba menjadi adat. Yang terakhir (4) adat istiadat, yaitu adat yang merupakan kumpulan dari berbagai-bagai kebiasaan, dan cenderung diartikan sebagai upacara-upacara khusus. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus. Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini. Di Indonesia, etnik Melayu mendiami daerah Tamiang di Daerah Istimewa Aceh, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3.000 pulaupulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km. Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6° LU sampai 6° LS secara latitudinal dan 95° sampai 110° BT secara longitudinal. Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan. Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid, dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia. Pada masa lampau, beberapa sistem klasifikasi regional dipergunakan untuk membagi wilayah secara etnik. Provinsi Sumatera Utara misalnya pada zaman Belanda terdiri dari dua wilayah yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Namun Sumatera Timur mencakup daerah Aceh Timur (Whitington 1990:203). Daerah budaya Melayu Sumatera Utara yang menjadi fokus studi ini, berkaitan dengan daerah Sumatera Timur. Dalam konteks perdagangan dunia, Sumatera Timur sangat terkenal, mempunyai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumatera Timur mempunyai beberapa perkebunan, menghasilkan minyak bumi, dan menjadi daerah sumber devisa yang penting di Indonesia. Perdagangan dan perikanan menjadi bidang ekonomi yang sangat penting di Pesisir Timur Sumatera Utara ini Daerah Sumatera Timur ini awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan Simalungun. Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim disebut Sumatera Timur, etnik Melayu mendiami wilayah yang meliputi enam Kabupaten, yaitu: Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur ini 4
berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan ditambah sultansultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Kualuh. Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli. Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20 % dari luas pulau Sumatera (Pelzer 1985:71). Di antara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur. Sejarah kebudayaan di Sumatera Timur, erat kaitannya dengan saling berinteraksinya antara penduduk setempat dengan pendatang. Dengan keberadaan budaya yang heterogen ini, sampai sekarang, Sumatera Utara tidak memiliki budaya dominan. Mereka berada antara hidup segregatif di satu sisi dan integrasi di sisi lainnya. Para pendatang ini melakukan pola migrasi. Migrasi dapat didefinisikan sebagai gerakan pindah penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud mencari nafkah atau menetap. Migrasi tersebut ada yang terjadi kerana didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga, ada juga yang terjadi berdasarkan kemauan sendiri. Pola migrasi di Sumatera Utara umumnya bermotif ekonomi, yang didukung oleh faktor sosial, separti: berbedanya tingkat kemakmuran antara desa dengan kota, tingkat konsumsi dan produksi rata-rata per kapita di pededesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan, pertumbuhan ekonomi di pedesaan lebih lambat dibandingkan di perkotaan. Sumatera Utara adalah termasuk ke dalam salah satu daerah tujuan migrasi yang terkenal di Indonesia bahkan kawasan Asia, kerana didukung oleh perkembangan ekonominya yang pesat. Daerah ini membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak, dan membutuhkan pekerja-pekerja yang terampil dan berkemauan keras untuk maju di dalam bidangnya. Para migran pun sadar akan harapan-harapan yang realistik yang dijanjikan di daerah ini. Faktor lain tingginya migrasi ke Sumatera Utara disebabkan oleh faktor budaya majemuk. Orang yang bermigrasi ke wilayah ini dapat langsung membaur dengan kelompok etniknya--tidak harus melebur dalam budaya lain. Latar belakang orang bermigrasi ke Sumatera Utara juga beraneka ragam antara lain, yaitu: mencari kesempatan kerja, pindah kerja, ditugaskan oleh kantor, tertarik dengan kehidupan kota, bosan tinggal di desa, ingin mandiri dari orang tua, ikut orang tua, sekolah, dan sebagainya. Sejak zaman Belanda hingga sekarang imigrasi ke Sumatera Utara terus berlangsung. Sumatera Utara yang heterogen secara etnik, namun jika dikaji secara rasial mereka termasuk ke dalam ras Melayu Tua dan Muda. Salah satu faktor untuk integrasi sosial itu dapat dilakukan melalui kesenian yang bersifat hiburan dan sosial, dan di dalamnya termasuk seni ronggeng. C. Kesinambungan dan Perubahan Ronggeng Melayu Sumatera Utara Sejarah ronggeng Melayu Sumatera Utara telah ada sejak adanya orang Melayu di Sumatera Utara, ribuan tahun sebelum Masehi. Ronggeng Melayu Sumatera Utara merupakan bahagian dari kebudayaan Dunia Melayu yang lebih luas, yang pada masa kini terdiri dari negara bangsa: Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapura, Pattani Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Untuk menyebutkan kesenian ini dalam kebudayaan Melayu ada beberapa istilah sejenis, yaiu: ronggeng, joget, joget lambak, joget dangkung, pakpung. Menurut Mohd Anis Md Noor (194:135) isilah ronggeng, joget lambak, dan joget modern adalah varian-varian dari tradisi joget. Di Sumatera Utara, istilah ronggeng dan joget memiliki sedikit perbedaan makna. Jika digunakan kata ronggeng maka merujuk kepada seni tradisi menari, menyanyi, membawakan lagu-lagu tradisional Melayu dengan iringan ensambel tradisional. Sementara kalau digunakan istilah joget, maka pengertiannya merujuk kepada ensambel modern dan kuat dipengaruhi kebudayaan Dunia. Dalam ronggeng, seorang ronggeng (wanita) mestilah pandai menari dan menyanyi sekali gus, sedangkan dalam joget atau disebut juga joget modern seorang ronggeng boleh saja hanya pandai menari tidak mesti
5
bisa menyanyi. Di kawasan budaya Melayu Sumatera Utara, istilah ronggeng yang paling lazim dipakai, bukan joget. Sejarah ronggeng atau joget Melayu sudah disebut-sebut dalam Hikayat Abdullah yang ditulis pada abad ke-19. Dalam hikayat ini diuraiakan adanya kelompok-kelompok penari wanita di istana Melayu yang dipanggil dengan sebutan budak joget (Hill 1995:331). Seorang administrator kolonial Inggris Sir Frank Swettenham mendeskripsikan pertunjukan bartipe joget di istana Pahang, pada akhir abad ke-19. Tarian ini ditampilkan oleh empat orang gadis belia, dan diiringi oleh musik bartipe gamelan Jawa, yang berasal dari isana Sultan Melayu Riau-Lingga. Gerakan tarinya relatif lambat, menekankan tubuh bahagian atas, dengan mengutamakan gerakan tangan dan engan yang rumit. Pada tahun 1823, pemerintah Inggeris dari Penang mengirimkan seorang pegawai tingginya yang bernama John Anderson . Tujuan misi ini adalah mengunjungi negeri-negeri Melayu di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, dengan tujuan utama agar negeri-negeri tersebut meningkatkan aktivitas perdagangan dan menghempang pengaruh politik Belanda. Di dalam bukunya ia menyebut bahwa orang Melayu gema bermain musik. Tahun 1915 J.C. van Eerde menulis tentang joget dan ronggeng dalam kebudayaan Melayu. Menurutnya joget ditarikan oleh seorang penari wanitabayaran yang disebut joget. Seorang lelaki di kalangan hadirin sebagai mitranya. Joget ini sangat mereka gemari. Pada pesta-pesta besar joget tak boleh ketinggalan. Ronggeng sendiri sebagai salah satu bentuk seni tari Melayu sudah disinggung-singgung dalam Hikayat Hang Tuah yang ditulis abad ke15. Menurut beberapa penulis, rnggeng timbul di Melaka pada abad ke-16, yang kuat dipengaruhi musik dan tarian Portugis. Namun unsur-unsurnya lebih kuat berasal dari masa sebelum datangnya Portugis. Kesenian ini juga mempunyai hubungan dengan ronggeng yang ada di Jawa. Menurut Goldsworthy ada perbedaan antara ronggeng Melayu dan Jawa, terutama perbedan musikalnya. Asal-usul ronggeng Melayu berasal dari budaya Melayu masa pra-Islam, bukan Jawa atau Eropah. Kemudian ronggeng mengalami perjalanan di masa penjajahan bangsa Eropa, yaitu dimulainya penjajahan Portugis ke atas Melaka tahun 1511. Masa ini mulailah masuk unsur tari branyo, branle, atau brundo Portugis ke dalam ronggeng Melayu termasuk di Sumatera Utara. Tariaan Portugis ini sangat populer di Semenanjung Iberian pada masyarakat Hispanik Eropa abad ke-15. Tentang ronggeng Melayu yang kuat dipengaruhi Portugis, menurut Katherine Sim adalah pada ritme, tata busana, make-up, dan gaya penyajiannya. Lebih jauh menurut Margaret Sarkissian seni ronggeng Melayu mempunyai keterkaian dengan seni yang dibawa oleh masyarakat Portugis di Melaka, yaitu branyo yang umum digunakan dalam pesta-pesta. Lirik musik pada tari branyo berdasar kepada antun kuatrin Portugis yang disebut mata kantiga, yang boleh dijumpai di Goa dan Timor (1995:89). Tahun 1920-an sampai 930-an beberapa kumpulan ronggeng muncul di bandarbandar besar yang menawarkan pertunjukan kepada yang ingin mengadakan acara ronggeng untuk majlis-majlis keramaian. Ronggeng bersifat populer yang dilakukan atas dasar komersial. Anggota-anggotanya terdiri dai penari dan pemusik profesional. Ronggeng bukan hanya untuk audiens Melayu tetapi juga China dan India. Di Sumatera Utara (saat itu Sumatera Timur) secara umum , keberadaan seni ronggeng pada paruh pertama abad e-20 hampir sama dengan yang ada di Tanah Melayu. Ronggeng Melayu mengikut penjeasan Anjang Nurdin (wawancara 1988) dipertunjukkan di hotel-hotel, separti Hotel de Boer dan Hotel Granada. Para pemain dibayar oleh para taukeh ronggeng secara bulanan, dan dapat bonus apabila banyak pengunjungnya. Berbeda sedikit dengan di Malaya ronggeng Melayu Sumatera Utara berkembang dengan mengadopsi seni musik dan tari etnik-etnik yang ada di Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dengan dipergunakannya beberapa repertoar musik dan tari dari Karo yaitu Patampatam, dari Kalimantan Paris Berantai, dari Simalungun Sitalasari, dari Batak Toba Sipegge Supir, dari Batak Toba Siraja Doli, dari Jawa Kembang Kates, dari Sunda Es Lilin, dan lainlainnya. Tarian yang dibawa selain tarian ronggeng Melayu yaitu senandung, inang, dan lagu dua juga digunakan tari patam-patam Karo, tari tortor Simalungun dan Batak Toba. 6
Di Sumatera Timur para sultan yang terkenl mengembangkan seni termasuk ronggeng Melayu adalah sultan-sultan Deli dan Serdang. Kepedulian istana untuk mengembangkan kesenian ini merupakan upaya legitimasi kekuasaan raja lewat buaya, yang secara politis-ekonomis telah dikuasai Belanda. Tari dan musik mak inang yag menjadi bahagian dari tradisi ronggeng awalnya adalah dari istana. Mak inang sendiri adalah sebutan untuk para dayang-dayang pengasuh di istana. Kemudian tarian ini menjadi satu bentuk tari dalam seni ronggeng. Kawasan Serdang dan Deli merupakan tempat subur munculnya seniman-seniman Melayu di Sumatera Timur. Keberadaan seni ronggeng Melayu di Sumatera Utara, secara historis memiliki kaitan sosial dan budaya dengan penduduk yang bermukim di Sumatera Utara. Seni ronggeng, mulai digemari oleh masyarakat yang bermukim di kawasan Deli serdang, sejak awal abad ke-20. Tahun 1903, Sultan Serdang membuka proyek persawahan untuk menanam padi di Perbaungan, proyek ini disebut dengan bendang. Untuk mengelolanya, didatangkan ribuan orang Banjar dari banjarmasin yang ahli bersawah, lengkap dengan kepala sukunya yang bernama Haji Mas Demang (Sinar 1986:24). Selanjutnya menurut Sinar, kesenian ronggeng ini hidup dan berkembang di daerah perkebunan, untuk menghibur masyarakat perkebunan pada waktu gajian (pekerja memperoleh upah berbentuk uang). Selain sebagai acara hiburan di setiap gajian ini, seni ronggeng juga dipertunjukkan untuk memeriakan pesta panen padi, perkawinan, dan khitanan, serta pada hari-hari peringatan nasional. Pada pertunjukan seni ronggeng, terdapat perwujudan seni susastra tradisional Melayu, yaitu berbalas pantun, yang disajikan secara melodis dan menggunakan teknik strofik (melodi yang sama atau hampir sama tetapi menggunakan teks yang berbeda). Tingkat keprofesionalan seorang ronggeng ditentukan oleh keahliannya dalam penyajian pantun yang berbalas di samping juga gaya tarian yang disajikan. Sistem berbalas pantun ini biasanya dilakukan secara spontanitas, tetapi didasari oleh diksi yang berakar dari tradisi pantun Melayu. Pada seni ronggeng, rentak yang dipergunakan ada beberapa di antaranya senandung, lagu dua, mak inang, dan patam-patam. Rentak pada lagu-lagu ronggeng, biasanya dikaitkan dengan pola-pola ritmik yang dihasilkan gendang ronggeng. Kemudian lagu-lagu yang disajikan pada ronggeng Melayu biasanya dalam sekali permintaan terdiri dari sepasang lagu yang berirama mak inang dan pecahannya lagu dua. Lagu-lagu yang disajikan tidak mutlak lagu Melayu tetapi boleh lagu-lagu etnik lain. Keanekaragaman lagu-lagu yang terdapat di dalam kesenian ronggeng adalah didasari oleh beranekaragamnya pengunjung dan mitra peronggeng yang meminta lagu untuk mengiringi penari sambil berbalas pantun. Selanjutnya menurut penjelasan Anjang Nurdin (almarhum), pada dasawarsa 1940-an banyak para peronggeng yangternama di kawasan ini. Mereka umumnya bersuku Melayu, Jawa, atau Sunda. Menurutnya ronggeng yang terkenal saat itu adalah Siti China, Galuh Johor, Galuh Gamit, Galuh Dinar, Sarminah, Ramlah, dan lainnya. Pertnjukan kesenian ini umumnya dilakukan pada malam hari (pukul 20.00-03.00 WIB). Di sepanjang pertunjukannya, acara ini juga diselang-selingi oleh seorang pelawak yang tidak kalah penting dalam pertunjukan. Yang menjadi acara puncak dalam kesenian ini adalah pertunjukan tari pulau sari sebagai “bibit” tari serampang dua belas. Tari pulau pulau sari adalah tarian yang tidak atau belum ditata dengan pendekatan koreografis, diiringi dengan irama lagu dua yang dicepatkan temponya (Sinar 1986:26). Tarian ini selalu dijadikan medum untuk mengukur atau melihat kemampuan menari peronggeng, dan panjang tarian ini tidak terbatas, bergantung kepada siapa di antara mereka (ronggeng atau mitranya) yang menyatakan kalah. Tari pulau sari ini awalnya diperkenalkan dan diciptakan oleh O.K. Adram tahun 1940-an. Kemudian tari ini diolah kembali dan ditata menjadi tari serampang dua belas oleh Guru Sauti. Dari Ronggeng ke Serampang Dua Belas Pada awal abad ke-20 di Indonesia timbul gerakan nasionalisme—puncaknya adalah ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Gerakan nasionalisme ini juga mempengaruhi kesenian Melayu. Dari unsur-unsur tari dan musik ronggeng, seorang tokoh pendidikan yang juga koreografer terkenal Sumatera Utara, yaitu Guru Sauti “dibantu” Orang Kaya (O.K. 7
Adram) menciptakan serampang dua belas, untuk diperkenalkan secara nasional—walaupun konsep nasionalisme ini baru dikemukakannya setelah Indonesia merdeka, pada Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu, tahun 1957. Namun dia telah menciptakannya di tahun 1930an. Konsep ini tercermin dalam artikelnya sebagai berikut. Tari pergaulan yang kita kehendaki sebagai yang telah saya uraikan di atas ini, yakni tari pergaulan yang kita punyai bersama sejak dari Sabang hingga ke Merauke, yang mempunyai bentuk yang tertentu, mudah dipelajari dan menggembirakan serta sesuai dengan kehendak kesopanan bangsa kita. Di samping itu apat pula menyambil, memperlihatkan bakat seni yangdipunyai oleh penari. Lain dari itu yang terutama hendalah kita mencocokkan tari-tarian itu dengan agu yang bertangga nada dunia dan irama-irama yang tak asing lagi dari pendengaran kita, oleh karena adanya radio, film dan pertumbuhan lagu ciptaan baru para seniman Indonesia. Kita perlu tari yang mengikuti irama lagu wals, foxtrot, samba, mambo, tango, dan lain-lain. Masa ini telah disodorkan ketengah-tengah masyarakat tari yang bersifat taripergaulan yang berlangkah dari lambat yakni menurut irama lagu Kuala Deli, Dayang Sinandung dan sebangsanya, yang berlangkah tari rumbha, yakni tari menurut irama lagu Mak Inang, tari yang berlangkah tari cepat yakni tari menurut irama Tanjung Katung, Anak Kala dan lain-lain yang berukuran 2/4 atau 3/8 dan Serampang XII. Demikian juga Tari Piring dan Kaparinyo. Apakah ini masuk di antara salah satu tari pergaulan yang akan kita punyai bersama kelak? Terserah kepada masyarakat (1956:25-26).
Tari ini pertama kali diperkenalkan keada khalayak pada suatu malam tanggal 9 April 1938, dalam rangka pergelaran Muziek en Toneel Vereeniging Andalas, bertempat di Grand Hotel. Pemimpin rombongan tari serampang dua belas ini adalah Madong Lubis. Penarinya Guru Sauti, Orang Kaya Adram, dan dua wanita pasangan mereka. Diiringi ensambel musik ronggeng pemainnya Montik pada biola; Akub dan Ingah memainkan gendang ronggeng (keduanya adalah pemusik yang berasal dari Miss Alang Opera), dan Orang Kaya Mufti memainkan gong (tetawak). Pertunjukan kedua dilakukan Sauti pada tahun 1941, untuk menghimpun dana dan amal, dalam rangka menyumbang rakyat Serdang yang baru dilanda musibah banjir. Pertunjukan ini dikordinasi oleh Committee Bandjiir Serdang. Selanjutnya, pertunjukan ketiga diadakan pada bulan November 1952 oleh Yayasan Budaya Medan, yang dipimpin oleh Schoolpziener Abdul Wahab, yan kala itu menjabat Kepala Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara. Pada saat penampilan ketiganya ini, pasangan penari Sauti adalah Ibu Khalijah Abidin. Kemudian tarian tersebut menjadi populer di kawasan Sumatera Utara, bahkan nasional. Pada dasawarsa 1950-an, tarian serampang dua belas oleh Presiden Soekarno dicoba untuk dijadikan tari nasional untuk menghempang budaya Barat yang diistilahkannya budaya ngak-ngik-ngok. Pada masa ini para seniman yang berorientasi kepada budaya Barat, dilarang tampil oleh pemerintah, misalnya saja Koes Plus. Politik negara kita saat itu cenderung ke blok timur. Namun demikian, tanpa dipaksaka pun di Sumatera khususnya tarian ini memang populer terlebih dahulu—tanpa dibebani oleh muatan politis. Hal ini terus berjalan hingga hadirnya Orde Baru tahun 1966. Di masa ini seni serampang dua belas terus dilakukan dan dipndang sebagai kesenian nasional Indonesia. Di awal-awal masa Orde Baru ini taian serampang dua belas dipertunjukan di media televisi serta dikembangkan sebagai tarian nasional. Di era ini sering dilakukan pasar malam, dan serampang dua belas juga menjadi bahagian dari padanya. Di era 1970-an lazim digelar Pesta Budaya Melayu, yang salah satu mata acaranya adalah festival (lomba) tari serampang dua belas, dengan mengikuti berbagai kriteria yang ada. Masa ini telah pula menyajikan tampilan mudi-mudi di samping muda-mudi. Sebagai sebuah produk seni, memang nasib serampang dua belas bagaikan si anak ajaib. Ia selalu dekat dengan rakyat, dan menjadi bahagian dari dunia politik. Pemerintah Kota Medan, dalam masa Bachtiar Jafar membentuk Ikatan Jaka dan Dara Kota Medan, yang salah satu programnya adalah menjadikan para jaka dan dara kota Medan untuk dapat menari Melayu, termasuk serampang dua belas. Kemudian sampai era Abdillah kegiatan ini
8
dilanjutkan. Tak ketinggalan masa-masa Gubernur Sumatera Utara di berbagai periodenya selalu menyertakan seni serampang dua belas ini dalam rangka kunjungan budaya ke luar negeri atau di Sumatera Utara sendiri. Sementara itu serampang dua belas juga tak ketinggalan digemari di lingkungan intelektual perguruan tinggi negeri baik yang swasta maupun negeri. Beberapa kali Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU menyelenggarakan Pesta Seni Ronggeng Melayu yang juga menampilkan serampang dua belas. Malah Program Studi Sastra Melayu menyelengarakan Lomba Tari Serampang Dua Belas beberapa kali di era 1990-an sampai sekarang ini. Begitu juga universitas-universitas lainnya. Di lain sisi serampang dua belas terus dipertunjukkan dalam berbagai peristiwa budaya di kawasan ini. Serampang dua belas oleh Guru Sauti memang diciptakan untuk diterima oleh segenap bangsa Indonesia dari Sabang hingga ke Merauke, dengan mengambil dan mengolah unsurunsur seni tari dan musik kawasan nusantara dan juga kebudayaan dunia. Tari dan musik ini diharapkan akan mampu menjadi pemersatu bangsa, sebagai sarana hiburan dan pergaulan sosial, diterima oleh sebagian besar kolektif bangsa Indonesia (tak terkecuali juga Malaysia). Serampang dua belas mengandung unsur budaya Timur dan Barat, yang pernah begitu menjadi polamik dan dikotomi pada era polamik kebudayaan di era 1930-an. Serampang dua belas secara historis diadun dari pelbagai budaya, yang dialami oleh masyarakat Melayu rantau ini. Di dalamnya ada unsur tari dan musik Porugis dan Eropa, sementara tak ketingalan pula wujudnya unsur seni nusantara, khususnya tradisi ronggeng dan sejenisnya yang sudah berurat berakar dalam kebudayaan nusantara berabad-abad lamanya. Serampang dua belas telah mencapai titik kulminasinya sebagai sebuah seni klasik Melayu yang telah mengalami metamorfose estetika dan nilai-nilai sosialnya. Tarian ini juga telah dipopulerkan secara regonal, nasional, bahkan secara internasional sejak kurun masa 1930-an hingga alaf baru di abad ke-21 ini. Tarian ini juga tak pernah pupus dari aktivitas dan pertunjukannya di bebagai peristiwa budaya dan seni. Tari dan musik serampang dua belas telah mampu menarik perhatian bagi sejumlah besar kolektif masyarakat Dunia Melayu untuk merasa memilikinya. Syarat-syarat sebagai budaya nasional tercermin pada tari dan musik serampang dua belas. Kesenian ini sangat fungsional secara sosial. Selain itu ia menjadi salah satu kebanggaan (yang tak berlebih-lebihan) bagi masyarakat pendukung budaya Melayu di rantau ini. Dengan partimbangan-partimbangan di atas, seni serampang dua belas ini memang layak menjadi seni nasional, baik di Indonesia atau di negara Dunia Melayu lainnya. Ini sebuah gagasan dan tawaran kami. Karena seni serampang dua belas ini merupakan pengejewantahan kesenian-kesenian Melayu, yang kemudian diakui sebagai garda depan kebudayaan Melayu, maka alangkah baiknya kita kaji terlebih dahulu keberadaan kesenian Melayu (dengan fokus Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia) dalam konteks serampang dua belas ini. Sebelum sampai kepada bentuknya yang ditampilkan pada awal kali tanggal 9 April 1938 dan kemudian eksis dan mengalami difusi hingga saat ini. Kalau dikaji dari aspek konseptual dan aktivitasnya maka seni musik dan tari serampang dua belas ini merupakan derivasi dari tari dan musik ronggeng atau joget Melayu yang begitu populer dalam kebudayaan Melayu. Keterkaian ini sangat mudah ditelusuri dari: pertama pengakuan Guru Sauti sendiri bahwa tari pergaulan ini mempunai bentuk tertentu dan mudah difahami, dan disesuaikan dengan kesopanan bangsa kita, kemudian menyesuaikannya dengan lagu yang bertangga nada dunia [maksudnya diatonik]. Selain itu kita perlutari yang sifatnya mendunia dan dapat mengolahnya separti tari wals, foxtrot, samba, mambo, dan lain-lain (Sauti 1956). Kedua, secara struktural tari serampang dua belas memakai dasar gerakan tari lagu dua dan birama musiknya enam per delapan yang juga menggunakan rentak lagu dua [disertai dengan “pukulan balik” pada ragam enam dan sembilan]. Oleh karena itu mari kita kaji keberadaan ronggeng sebagai asas timbulnya seni serampang dua belas ini. Di kawasan lain Sumatera Timur, berjarak lebih kurang 39 kilometer dari Kota Medan menuju ke arah timur, terdapat kesultanan Serdang. Kesultanan ini berbatasan dengan sebelah utara kesultanan Langkat dan selat Melaka, sebalah selatan dengan
9
Simalungun dan Kesultanan Deli, sebelah timur dengan kesultanan Asahan dan Selat Melaka, sebelah barat dengan Tanah Karo dan Tapanuli. Serdang adalah salah satu dari empat kesultanan besar di Sumatera Timur. Di masa Sultan Basyaruddin (1850-1880) istana berada di Rantau Panjang. Digantikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, istana pindah ke Perbaungan. Pengangkatan dan pemberhentian orang besar (Landsgrooten) kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda Sulaiman (1881-1946) memasuki kejayaan kerana konsesi-konsesi tanah yang dibagi-bagikan kepada pengusaha swasta Eropa yang ingin menginvestasikan modalnya dalam industri perkebunan. Di masa Sultan Thafsinar Basyarsah yang lebih dikenal sebagai Sultan Besar (17901850), ibu negeri Serdang berada di Rantau Panjang. Kerana letaknya dekat dengan pantai, kerajaan ini cepat berkembang dan menjadi salah satu bandar terkenal di Sumatera Timur. Serdang di kala itu menghasilkan lada dan diekspor ke bandar perdagangan internasional, separti Melaka. Di masa pemerintahan Sultan Besar Serdang banyak dilalui kapal-kapal dengan tujuan perdagangan. Sebelum berlayar ke negeri Sumatera Timur, biasanya kapal lebih dahulu singgah di Rantau Panjang. Jika kapal akan ke Penang sering berlayar melewati Deli, Langkat, dan Serdang untuk memgambil lada. (R. Broersma 1919:16). Menurut Anderson yang melawat ke Serdang pada tahun 1823, di Rantau Panjang dijumpai tempat pembuatan kapal dan jumlah penduduknya tiga ribu orang Melayu dan delapan ribu orang Batak, yang gemar menghibur diri dengan melaga burung puyuh (Anderson 1971:302-305). Unsur magis dalam kerajaan acapkali dihidup-hidupkan untuk memberi legitimasi sultan. Istana beserta perangkatnya memiliki daya magis yang luar biasa. Ibukota kerajaan bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga pusat magis (Geldern 1972:6). Sultan dianggap pribadi sempurna. Namun dalam kebudayaan Melayu, bisa saja rakyat berontak, dengan mengikuti konsep: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Sumber kekuasaan Sultan lain yang dapat mengukuhkan legitimasinya adalah alat-alat kebesaran, di antaranya: (1) alat-alat musik separti gendang nobat, serunai, seruling, dan terompet; (2) beberapa lencana jawatan separti kayu gamit, puan naya, taru, kumala, surat ciri, cap halilintar, ubor-ubor, bantal, dan langsir; (3) senjata-senjata separti pedang, tombak, dan keris. Yang terakhir ini dipercayai mampu menjelma sendiri dan dipenuhi kuasa sakti sehingga dapat memusnahkan siapa saja yang memegangnya tanpa ijin (Gullick 1972:73-74). Pada tahun 1891 Sultan menikah dengan Tengku Darwisyah. Perkawinannya ini merupakan perkawinan politis. Tengku Darwisyah adalah saudara tiri Sultan Deli, yang saat itu sering berselisih dengan Kesultanan Serdang karena soal batas kerajaan. Untuk menyelesaikan wilayah ini pemerintah Belanda campur tangan melalui perkawinan antara Sultan dengan Tengku Darwisyah (Mohammad Said t.t.:67). Kehidupan istana Serdang tidak ketat dengan ritus upacara yang rumit. Upacara besar dalam istana adalah penabalan Sultan. Sultan Serdang lebih senang bepergian di tempat tertentu sambil menonton seni pertunjukan. Putera Mahkota Tengku Rajih Anwar adalah seorang pemusik yang sangat berbakat. Ia pandai memainkan piano, gendang, serunai, dan terutama gesekan biolanya yang khas. Dia juga pernah sekolah musik ke Jerman. Bentuk administrasi birokrasi kesultanan Melayu Sumatera Timur bercorak patrimonial, dan memprioritaskan status sosial dalam hirarki jabatan. Sultan Melayu yang beragama Islam dalam kekuasaannya tetap didukung oleh bermacam-macam atribut suci dan sakti, walau pada kenyatannya bukan merupakan jaminan loyalitas abadi para bawahannya. Dalam rangka memperluas apresiasi budaya, Kesultanan Serdang mengadakan hubungan dengan Kesultanan Yogyakarta, yang pada tahun 1922 menerima seperangkat gamelan Jawa dan sekalian dengan para pemainnya dari Sultan Yogyakarta. Dalam perkembangan sosial dan politik setelah Indonesia merdeka, para Keturunan Sultan Serdang 10
sangat dikenal di Sumatera Utara, sebagai ahli-ahli intelektual, budayawan, dan militer. Generasi Sinar ini menduduki beberapa posisi strategis dalam tata pemerintahan di Sumatera Utara. Bahkan kesenian-kesenian dikembangkan oleh mereka, separti: makyong, mendu, ronggeng, dan bangsawan. Para sultan yang memerintah Negeri Serdang di antaranya adalah: (1) Raja Osman atau Teuku Umar; (2) Sultan Pahlawan Alamsyah; (3) Sultan Thaf Sinar Basyarah (17901850); (4) Sultan Basyarudin (1809-1850); (5) Sultan Sulaiman (1862-1946), Sultan Sulaiman ini ditetapkan oleh Belanda menjadi Sultan Serdang tanggal 29 Januari 1887); (6) Sultan pemangku budaya Melayu Serdang pada masa kini adalah Tengku Luckman Sinar. Fakta-fakta historis menyatakan bahwa Kesultanan di Sumatera (termasuk Serdang) mendukung tari-tarian rakyat bagi kepentingannya, didukung oleh pendapat Mohd Anis Md Noor, sebagai berikut. By the turn ofthe twentieth century, Malay folk dances had undergone different historical and cultural experiences in different areas of the Malay world. In Sumatera and the Riau Island, some of the dances received aristocratic patronage and the genres were encouraged to expand its repertoire through state-sponsored competitions and palaca-related cultural events. Dance performances in the royal palaces became pretigious occassions for the musicians and dancers. Performers who were invited to perform in the Sultan’s palace performed with finesse and reverence to the dance and music in the manner of a royal command performance. The Sultan, being the most critical observer, must be pleased with the fiest of dance and musical displays and nothing was left to shoddiness or pretentious performances. It was imperative for performers to dance with utmost precision, grace and elegance. As long as the Sultans were able to porvide moral and economic support and bouyant. The royal patronage in Sumatera lasted until the advent of the Second World War (Mohd Anis Md Noor 1994:129).
Dari pernyataan Moh Anis Md Noor di atas, terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni tari rakyat dalam Dunia Melayu, pada abad ke-20 di Malaysia dan Indonesia mempunyai pendukung yang tentu saja polarisasi yang berbeda. Di Indonesia (yang dapat dilihat dalam kasus Sumatera dan Kepulauan Riau) beberapa tari rakyat didukung oleh pihak istana. Beberapa genre tari rakyat ini dikembangkan melalui kompetisi yang biasanya didanai oleh pihak istana pada berbagai peristiwa budaya yang berhubungan dengan kegiatan istana. Para seniman diundang untuk menapilkan keahliannya di istana sultan, tari dan musiknya diolah dan diarahkan menjadi tari dan musik dalam bentuk pertunjukan yang diarahkan oleh pihak istana. Sultan, sebagaimana yang diamati oleh sebagian besar pengamat kritis, biasanya memerlukan hiburan yang diwujudkan dalam kegiatan pesta pertunjukan tari dan musik. Sultan memberikan pandangan apakah pertunjukan dalam pesta itu baik atau tidak. Keadaan ini memaksa para seniman untuk menari dengan bagus, tartib, dan rapi. Karena sultan mendukung secara moral dan ekonomi untuk tradisi tari, maka para seniman berungguhsunguh menggarap tari. Dukungan istana Melayu terhadap seni di Indonesia berlangsung sampai datangnya Perang Dunia Kedua. Ronggeng di Kesultanan Deli Kesultanan Deli terletak di antara Selat Melaka, dari muara Sungai Labu Dalam di utara perbatasan Langkat sampai Sungai pematang Oni di selatan perbatasan Serdang, yakni pada daerah 4°57' sampai 4°39' Lintang Utara, dan 98°25' sampai 98°47' Bujur Timur (V.J. Veth 1977:153). Di dalam Staatsblad 13 April 1911, Nomor 17, ditetapkan batas-batas Kesultanan Deli yang meliputi kawasan sebagai berikut: (1) di sebelah utara berbatasan dengan Selat Melaka, (2) sebelah selatan berbatasan dengan Tanah Karo, batas yang pada dasarnya adalah daerah perbukitan, yaitu bagian dari Bukit Barisan, (3) di timurnya adalah Kesultanan Serdang, dan (4) di sebalah barat adalah Kesultanan Langkat. Daerah Padang dan Bedagai yang letaknya di sebelah timur Serdang masih termasuk Deli.
11
Para sultan yang memerintah di Kerajaan Deli, berdasar penelitian penulis adalah: (1) Sultan Gojah Pahlawan (1590-1653); (2) Sultan Panglima Perungkit/Perungkat (1643-1700); (3) Sultan Panglima Paderap/Pidali (1654-1720); (4) Sultan Panglima Pasutan (1720-1743); (5) Sultan Gandar Wahid; (6) Sultan Amaludin Magendar Alam; (7) Sultan Osman atau Perkasa Alam ( sampai 1856); (8) Sultan Mahmud Perkasa Alam (1837-1872), Sultan
Serampang Dua Belas M.M. = 117 Transkripsi dinaikkan 2 M dari frekuensi aslinya
rekaman: komersial akordion: Ahmad Dahlan Siregar Pentranskripsi: Mhd Takari dan Fadlin
Mahmud ini ditetapkan oleh pemerintah Belanda menjadi Sultan Deli pada tanggal 22 Agustus 1862); (9) Sultan Makmun Al-Rasyid (1873-22 Oktober 1924), Sultan Makmun Al-Rasyid ini memberikan konsesi tanah kepada pemerintah Belanda terutama untuk perkebunan tembakau Deli; (10) Sultan Amaluddin Shani Perkasa Alamsyah (22 Oktober 1924-12 Maret 1924); (11) Sultan Osman Perkasa Alam (1900-1967); (12) Sultan Azmi Perkasa Alamsyah memerintah tahun 1967 hingga 2005, ia mengalami kecelakaan pesawat udara di Aceh, ketika bertugas sebagai tentara nasional Indonesia. Beliau diganti oleh anandanya Sultan Lamanjiji, yang masih berusia muda Di Kesultanan Deli ini terdapat sanggar yang bernama Sri indera Ratu, yang salah satu andalan pertunjukannya adalah seni ronggeng. Himpunan Seni dan Budaya Melayu Sri Indera Ratu yang merupakan objek penelitian penulis terletak di belakang sebelah kanan atau di sebelah barat daya dari bangunan Istana Maimoon. Sanggar ini berada di rumah kediaman keluarga Alamarhum Tengku Muhammad Daniel dan Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa. Lokasi kediaman ini masih berada di dalam 12
wilayah Istana Maimoon kerana Tengku Muhammad Daniel Al-Haj merupakan salah satu pewaris Istana Maimoon. Di dalam wilayah Istana ini banyak ditemukan pemukiman dari keluarga serta para pewaris Kesultanan Deli. Pemukiman para keturunan Kerajaan Deli tersebut terletak dibagian belakang Istana Maimoon, walaupun sebenarnya sebagian besar dari ruangan Istana Maimoon juga telah dijadikan tempat tinggal oleh para keturunan Sultan Deli, yaitu pada bagian sayap kiri dan kanan dari Istana. Untuk saat ini sedikitnya ada 30 keluarga atau sekitar 120 jiwa yang menetap didalam bangunan Istana dengan membuat kamar-kamar dengan cara menyekat ruangan-ruangan besar dan menutup gang-gang beratap yang mengitari ruangan dengan triplek atau kaca. Hal ini membuat kondisi istana sebenarnya separti awal didirikannya tidak sepenuhnya diketahui, namun menurut gambar denah, dulunya pada tingkat atas terdapat sedikitnya 13 ruangan atau kamar, 7 kamar dibangunan induk dan masinig-masing 3 kamar di bagian sayap kiri dan kanan. Jumlah ruangan di bagian bawah belum diketahui dengan pasti, namun menurut catatan sementara pada bagian ini terdapat dapur, gudang dan penjara (kamar sel) yang dulunya diperuntukkan buat orang-orang yang melanggar peraturan dan undang-undang Sultan (data diperoleh dari Bidang Permuseuman dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara). Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa dilahirkan di Istana Kota Galuh Kesultanan Serdang, di Kota Perbaungan, pada tanggal 12 Februari 1937. Ayah beliau adalah Tengku Mahkota Kesultanan Serdang yang bernama Almarhum Tengku Rajih Anwar dengan gelar Tengku Mahkota, sedangkan ibu beliau bernama Almarhumah Encik Nelly Syafinah. Beliau merupakan anak ke lima dari enam bersaudara, yaitu: (1) Tengku Ziwar Sinar, (2) Tengku Roomany, (3) Tengku Athar Sinar, (4) Tengku Nazly, (5) Tengku Sitta Syaritsa, dan (6) Tengku Zahyar. Kedua orang tua beliau adalah seniman yang terkenal di daerah Serdang dan semasa hidupnya pernah ikut didalam suatu sanggar seni Istana Serdang yang bernama Sri Indian Ratu. Sri Indian Ratu didirikan oleh Almarhum Kakeknda Tengku Sitta, yang bernama Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah yang merupakan Sultan Kerajaan Serdang yang memerintah pada tahun 1880 sampai 1946. Sri Indian Ratu merupakan suatu sanggar seni istana yang beranggotakan keluarga serta keturunan kerajaan saja. Sanggar ini juga hanya melakukan pertunjukan untuk keluarga Istana atau pada saat menghibur tamu-tamu kehormatan kerajaan saja (royal art). Bentuk pertunjukan yang ditampilkan juga sangat terikat dengan aturan serta etika yang berlaku di dalam istana pada saat itu. Walaupun begitu, ada juga beberapa orang dari luar Istana yang ditarik kedalam Istana untuk melatih anak-anak raja ataupun anggota Sri Indian Ratu yang lain. Orang-orang pilihan ini adalah orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan seni yang sangat tinggi dan langka pada saat itu. Salah seorang seniman yang ditarik kedalam Istana untuk melatih adalah Almarhum Guru Sauti. Beliau merupakan seorang koreografer yang sangat terkenal bahkan sampai saat ini. Salah satu karyanya yang terkenal adalah tari serampang dua belas yang menjadi salah satu tarian nasional di Indonesia. Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa lahir dan menjalani masa kecilnya di dalam lingkungan Istana Kesultanan Serdang, sehingga pada masa kecilnya beliau masih sempat belajar dan melihat perkembangan Sri Indian Ratu, dan hal inilah yang pada akhirnya mempengaruhi beliau dalam pembuatan nama Sri Indera Ratu. Beliau belajar menari dari kedua orang tua beliau mulai dari kecil, ditambah dengan bakat yang beliau dapatkan dari kedua orang tuanya ini, membuat beliau menjadi seorang penari dan penyanyi yang terkenal pada masa remajanya. Beliau hanya beberapa tahun merasakan kehidupan di Istana, kerana pada saat terjadi revolusi sosial di masa pemerintahan Presiden Soekarno, Istana Kota Galuh Serdang dibakar hingga habis tak tersisa. Mereka sekeluarga sempat ditawan dan dilarikan ke daerah Pematang Siantar. Setalah revolusi sosial mulai mereda, Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa dan keluarganya pindah ke Kota Medan, tepatnya di Jalan S. Parman. Di kota Medan inilah beliau melanjukan hobi dan bakat berseninya ini. Pada usia remaja, beliau dan saudara-saudara perempuannya aktif melakukan pertunjukan membawakan tarian-tarian Melayu dan beberapa tarian Melayu karya almarhum ayah beliau separti tari Pulau Putri dan tari Senandung Berbalas. Mereka sering diundang pihak 13
Pemerintah Daerah pada saat itu untuk membawakan hiburan berupa tarian-tarian pada acaraacara resmi. Pengiring musik mereka pada saat itu belum ada yang tetap, kerana mereka pun tidak mempunyai nama grup yang baku. Namun mereka sering bergabung dengan beberapa pemusik Melayu untuk mengiringi tarian mereka. Beliau juga pernah bergabung dalam Orkes Tropicana pimpinan Tengku Nazli, sebagai penyanyi. Orkes ini membawakan lagu-lagu Melayu dalam versi irama Latin.1 Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa dan saudara-saudara perempuannya ini semakin terkenal sebagai penari Melayu di kota Medan dan sempat manggung keluar negeri separti ke Moskow dan Belanda (1957). Pada tanggal 1 April 1961 beliau menikah dengan Tengku Muhammad Daniel Al-Haj. Tengku Muhammad Daniel Al-Haj adalah anak dari Almarhum Tengku Harun Al-Rasyid (Tengku Perdana) dan Tengku Nurlela dan merupakan anak kedua dari sembilan orang bersaudara yaitu: (1) Tengku Siti Munazat, (2) Tengku Muhammad Daniel Al-Haj, (3) Tengku Muhammad Abrar, (4) Tengku Muhammad Muadz, (5) Tengku Siti Fauziah, (6) Tengku Siti Sarwah, (7) Tengku Muhammad Ervan, (8) Tengku Siti Umayyah, dan (9) Tengku Khairil Anwar. Perkawinan Tengku Sitta dengan Tengku Muhammad Daniel dikaruniai lima orang anak, yaitu: (1) Dra. Tengku Liza Nelita, (2) Tengku Syaira Medina, (3) Tengku Syafwan AlRasyid, (4) Tengku Faizil Syekhran, dan (5) Tengku Reizan Ivansyah. Setelah menikah, almarhumah melanjutkan kembali pendidikannya dengan masuk Ke Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Jurusan Sastra Inggris, hingga selesai tahun1970. Pada tahun 1979 Universitas Sumatera Utara mendirikan sebuah Jurusan/Program Studi yang bernama Etnomuzsikologi, Prof. Tengku Amin Ridwan, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra pada masa itu mempercayakan almarhumah sebagai Ketua Jurusan Etnomusikologi. Pada tahun 1983 beliau disekolahkan ke UCLA (University California at Los Angeles) di Amerika Serikat oleh Universitas Sumatera Utara untuk mengambil gelar master di bidang etnologi tari, namun beliau tidak menjalani pendidikan tersebut sampai selesai. Pada tahun 1966, tepatnya setelah selesainya Konfrontasi Indonesia-Malaysia, beliau sempat bekerja sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia (RRI) Medan. Beliau menyiar untuk acara khusus yang menggunakan bahasa Melayu dengan tujuan untuk memperbaiki kembali persepsi masyarakat terhadap suku Melayu setelah Konfrontasi Indonesia-Malaysia kerana pada saat itu sarana informasi yang dominan masih melalui radio. Setelah beberapa lama, beliau menjadi Pegawai Negeri di instansi Pemerintah tersebut. Masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di Sumatera Utara juga mulai menghidupkan kembali seni dan budaya Melayu yang sebelumnya dianggap sebagai suatu hal yang tabu kerana erat hubungannya dengan Malaysia. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan grup-grup musik dan tari yang bercorak Melayu separti Dara Melati, Patria, dan Melati. Melihat kondisi ini, sekitar tahun 1967-1968 Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa beserta suaminya Tengku Muhammad Danil, dan adik iparnya, Tengku Muhammad Abrar, mencoba membuat sebuah sanggar Melayu yang bertujuan sebagai wadah pengembangan kesenian dan kebudayaan Melayu. Tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1968 berdirilah sebuah Himpunan Seni dan Budaya Melayu Sri Indera Ratu. Nama Sri Indera Ratu masih sangat berhubungan dengan Sri Indian Ratu secara historis. Sri berarti dewi padi yang melambangkan wanita cantik, sedangkan indera dimaksudkan untuk menyebut pria dan dapat pula berarti segala sesuatu yang ada pada tubuh manusia yang dapat merasakan. Kemudian ratu berarti raja wanita atau masih berhubungan dengan kerajaan. Maka Sri Indera Ratu mereka artikan sebagai sebuah sanggar Melayu yang 1
Yang dimaksud dengan irama Latin adalah musik yang rentak atau irama dasarnya adalah irama dari budaya Latin (Hispanik), separti: wals, tanggo, bossanova atau bossas, chacha, rumba, beguin, reggae, dan sejenisnya. Dalam budaya Melayu di Sumatera Timur irama Latin ini sangat populer pada era dasawarsa 1960-an sampai 1970-an. Mereka juga mengadopsi juga tari-tariannya sekali gus. Mereka mempertunjukkannya di berbagai ballroom di berbagai hotel di Kota Medan. Pengaruh budaya Latin dalam budaya Melayu di kawasan ini, juga tetap terjadi sampai sekarang, misalnya saja dapat kita lihat dari pertunjukan berbagai grup band yangberorientasi irama Latin separti Booster Latin, Latin Quatro, Sopo Badragaz, dan lainlainnya. Bagi para pemusik atau penari di kawasan Sumatera Utara, istilah Latin adalah daerah-daerah budaya yang menggunakan budaya Hispanik (bahasa Spanyol dan Portugis), yang mencakup wilayah Amerika Latin dan Eropa Latin.
14
masih berhubungan dengan kerajaan serta memiliki pola gerak tarian yang indah yang ditarikan oleh para dewi dan dan pria yang dapat dirasakan oleh panca indera manusia. Kelompok kesenian ini mengawali debut pertamanya dengan mengisi acara kesenian pada Hari Radio 11 September 1968 di RRI Nusantara I Medan. Selepas itu tampaknya grup kesenian ini mulai berkembang terus pertunjukannya pada tingkat daerah Sumatera Utara, hingga kemanca negara. Beberapa penampilan ke luar daerah dan ke luar negeri yang pernah diselenggarakan oleh Himpunan Seni dan Budaya Melayu Sri Indera Ratu antara lain adalah sebagai berikut: (a) Pagelaran Kesenian dan kebudayaan Nasional di Spanyol, Swiss dan Jerman tahun 1976. (b) Pagelaran Kesenian dan Kebudayaan Sumatera Utara di Australia tahun 1985. (c) Duta Sumatera Utara pada acara Penang Fair di Malaysia tahun 1986. (d) Acara Malam Kesenian dalam rangka memeriahkan Ulang Tahun Garuda Indonesia di London (Inggris) tahun 1989. (e) Berbalas Pantun atas undangan RTM di Kerajaan Pahang (Malaysia) tahun 1990. (f) Hari Kemerdekaan Singapura ke 25 tahun di Singapura tahun 1991. (g) Pesta Gendang di World Centre Singapura tahun 1992. (h) Semalam di Tanah Melayu di Plaju (Palembang) tahun 1999. (i) Malam Silaturrahmi RTM dan RRI Medan di Pahang (Malaysia) tahun 2000. (j) Pagelaran Kesenian Sumatera Utara di Penang (Malaysia) tahun 2000. (k) Bazaar Indonesia dan Kesenian Sumatera Utara di Park-Pretoria (Afrika Selatan) tahun 2000. (l) Semalam di Tanah Melayu di Foreign School-Capetown (Afrika Selatan) dan Harare (Zimbabwe) tahun 2000. (m) Malam Kesenian Masyarakat Melayu di Pasir Panjang (Singapore) tahun 2001, dan beberapa acara lain di berbagai kota di Indonesia. Beberapa Piagam/Plakat Penghargaan juga telah banyak diterima oleh Himpunan Seni dan Budaya Sri Indera Ratu dari berbagai instansi pemerintah atau swasta, maupun dari negara-negara sahabat, atas peran sertanya dalam mengembangkan kesenian dan kebudayaan khususnya kebudayaan Melayu. Sampai tahun 2006, himpunan ini beranggotakan tidak kurang dari 200 orang, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Pengalaman mencipta tari yang dijalani Almarhumah Tengku Sitta Syaritsa berawal dari penyakit rematik yang beliau derita. Akibat dari penyakit ini, beliau disarankan oleh dokter untuk lebih sering menggerak-gerakkan badannya, khususnya pada bagian persendian. Sambil menjalani terapi inilah beliau mencoba menggerak-gerakkan bagian persendian badan beliau yang dibuatnya ke dalam bentuk tarian. Biasanya beliau menciptakan lagu terlebih dahulu, baru setelah lagu tersebut jadi, maka beliau mengarang gerakan-gerakan tari yang sesuai dengan irama dan syair lagu yang beliau ciptakan. Namun begitupun ada beberapa tarian yang diciptakan beliau dengan lagu yang telah ada ataupun dikarang oleh orang lain sebelumnya separti: Pok Amai-amai (merupakan salah satu lagu permainan anak-anak pada tradisi Melayu), Bunga Tanjung, Serawak, Musalmah, Sri Mersing dan Cindai.2 Adapun karya-karya tarian yang telah diciptakan oleh beliau adalah: Bunga Tanjung, Serawak, Musalmah, Inang Lenggang Kecak Pinggang, Setawar Sedingin, Dodoi-Sidodoi, Tampi, Pok Amai-Amai, Duka Dang Puan, Zapin, Sinar Bahagia, Senandung Berbalas, Selendang, Sri Mersing, Cindai, dan lain-lain. Karya-karya almarhumah umumnya berteraskan kepada tradisi Melayu, namun adakalnya juga disertai dengan kreativitas beliau. Demikian sekilas kegiatan kesenian di Kesultanan Deli. Menurut penjelasan Tengku Muhammad Daniel, kelompok seni Kesultanan Deli ini, awal kali diminta oleh pemerintah Uni Sovyet tahun 1953 untuk mempertunjukan kesenian Melayu terutama serampang dua belas dan juga ronggeng. Ia bersama beberapa penari dan pemusik peri keUni Sovyet tepatnya di Moskow menarikan tari-tarian Melayu dan termasuk ronggeng. Kemudian mereka juga diundang untuk melakukan pertunjukan di Eropa, separti Bulgaria, Chekoslovakia, dan lainnya. Jadi istana Deli ini juga turut mengembankan kebudayan dan kesenian Melayu, termasuk kesenian rakyat.
2 Lagu dan musik Cindai ini adalah garapan baru yang berakar dari musik tradisi Melayu. Lagu ini diciptakan oleh Pak Ngah Suhaimi dari Malaysia, yang dipopulerkan oleh penyanyi Melayu masa kini yang sangat terkenal yaitu Siti Nurhalijah. Lagu Cindai sampai ke Sumatera Utara, melalui rekaman-rekaman komersial dalam bentuk video compact disk (vcd) atau kaset. Lagu ini menggunakan irama zapin,salah satu irama tradisi Melayu yang diadopsi dari Timur Tengah, awalnya digunakan untuk memeriahkan upacara perkawinan.
15
Gambar 1. Tengku Sitta Syaritsa
Dokumentasi: Fadlin 1997
Gambar 2. Gendang Ronggeng yang Biasa dipakai Mengiring Tari Ronggeng Melayu
Gambar 3. Teknik Menghasilkan Empat Onomatopeik Bunyi (Tak, Ding, Dang, Tung) pada Gendang Ronggeng, tak
ding
dang
tung
17
Gambar 4. Posisi Memainkan Gendang Ronggeng sambil Duduk Bersila
D. Pola Asas Ritem Gendan Ronggeng Melayu Deli Untuk tidak terjebak kepada pengertian yang rancu, penyelidik memberi tajuk bab ini sebagai pola ritem gendang Melayu. Semula istilah inni penyelidik sebut sebagai "pola irama." Di dalam pemakaian bahasa Melayu sehari-hari istilah ini mengandung pengertian yang mengambang, tidak tegas, pola irama dapat berarti yang berkaitan dengan melodi dari sesebuah lagu, tetapi juga boleh berkaitan dengan ritem atau pengertian lagu secara keseluruhan. Itu sebabnya dalam tulisan ini penyelidik memakai istilah pola ritem untuk memberi batasan yang jelas tentang apa yang menjedi pokok permasalahan. Dilihat dari segi fungsi musikal dari gendang Melayu dapat dikatakan bahwa alat ini sangat penting peranannya untuk mengiringi tari-tarian melalui pola ritem yang sudah tertentu dalam tradisi musik Melayu. Jenis pola ritem, meter dan tempo sangat bergantung dengan jenis tarian yang diiringi. Mengikut penyelidikan kepada pola ritem dan kemampuan pemain gendang yang berlangsung saat ini, penulis dapat membaginya ke dalam dua bahagian besar, iaitu: pertama, pola ritem yang asli dalam pengertian pola-pola ritem yang terdapat di dalam tari-tarian Melayu Sumatera Timur dan yang kedua, pola-pola ritem yang diadaptasikan dari pola ritem yang berasal deri jenis musik di luar Musik suku bangsa Melayu Sumatera Timur. Pola ritem yang disebut terakhir pada umumnya adalah pola ritem yang populer dan dikenal oleh masyarakat Melayu den biasanya pengadaptasiannya didasari pada fungsi gendang untuk mengiringi tari. Sebagai contoh pola ritem musik tradisional Simalungun (gonrang) yang dipakai dalam mengiringi tarian, misalnya: Tarian Sitelaseri, Haro-haro. Manduda, dipindahkan sedemikian rupa ke dalam pola ritem gendang Melayu. Begitu juga 18
halnya ritem kendhang Sunda yang dikenal dengen jaipongan, ditirukan dengan upaya memindahkan gaya permainan kendhang Sunda mahupun warna bunyi yang dihasilkan oleh kendhang tersebut. Semua keadaan ini terjadi dan berkembang pada tradisi yang disebut ronggeng, iaitu jenis tradisi tarian sosial di daerah Melayu. Pola ritem tradisional, secera umum dapat dibegi ke dalam dua pembahagian iaitu jenis-jenis pola ritem yang antara lain bernama rentak senandung, rentak mak inang, rentak lagu dua dan rentak patam-patam. Pola ritem ini sangat khas dalam tari-tarian Melayu di Sumatera Timur. Yang kedua adalah pola-pola ritem yang diadaptasikan dari pola ritem gendang yang disebut marwas (sejenis gendang kecil yang berbingkai membrannya terdapat dikedua sisinya) yang dipakai dalam tarian tradisi zapin pada masyarakat Melayu, pola ritem rentak senandung dan pola ritem rentak gubang yang berasal dari tradisi musik Melayu Asahan. Namun dalam tulisan ini penulis hanya membatasi diskusi pada pola ritem untuk iringan tari iaitu: senandung, mak inang, lagu dua dan patam-patam. Pendekatan yang penyelidik lakukan adalah dengan melihat pola ritem, motif, tempo dan warna bunyi gendang yang mengandungi pola-pola ritem tersebut. Untuk ini penyelidik akan menggunakan sistem notasi balok Barat untuk menuliskan pola ritem dan meletakkan silabis yang mewakili warna gendang Melayu (lihat diskusi di atas) di bawah notasi yang mencatat pola ritem tersebut. Rentak Senandung Rentak senandung dalam musik Melayu adalah sebuah pola ritem pukulan gendang yang terdiri dari kombinasi tiga buah motif ritem, bertempo lambat (lebih kurang enam puluh ketukan setiap minit) bermeter delepan, serta susunan durasi not yang akan didiskusikan berikut ini. Nilai durasi not (ketukan) yang terdapat di dalam pola ritem rentak senandung adalah nilai not seperempat ( ), nilai not seperdelapan ( ), nilai not tigs perenambelas ( ), dan nilai not seperenam beles ( ). Semua nilai not itu digabungkan ke dalam kelompok-kelompok motif ritem yang penyelidik sebut ke dalam motif A, motif B, dan motif Bl. Motif A adalah gabungan tiga buah not seperempat dan satu buah not seperdelapan yang dimainken di dalam empat ketukan, iaitu: , Motif dimulai dari hitungan pertama den diakhiri pada jatuhnya hitungan empat. Motif B adalah kombinasi dua buah not seperdelepan, satu buah not tiga perenambelas dan satu buah not seperenam belas iaitu: , dan motif ini diawali pada ketukan atas (anacrusis) yang terdapat di dalam ketukan pada hitungan keempat. Motif BI dibezakan dengan motif B berdasarkan perbezaan nilai not pada akhir not iaaitu not seperempat di tempat mana jatuhnya pukulan gong yang mengakhiri siklus pola ritem rentak senandung ini. Dilihat dari pengkombinasian motif-motif terurai di atas dapat disimpulkan bahwa jenis meter pada rentak senandung adalah lapan, dengan susunan yang dapat dilihat pada ilustrasi 2, sedangkan siklus pola ritem rentak senandung berikut rangkuman analisisnya dapat dilihat pads ilustrasi 1. Ilustrasi Musik 1. Siklus (Perputaran) Pola Ritem Rentak Senandung
Ilustrasi Musik 2. Meter Pola Ritem Rentak Senandung
19
Siklus pola ritem di ates belum bisa mewakili pola ritem gendang Melayu tanpa keserteen warns bunyi gendang dan aksentuasi yang memberikan warna keseluruhan dari rentak senandung ini. Suara gendang yang terdiri dari empat suara (tak, ding, dang, tung) harus diletakkan tepat di setiap motif ritem yang terdapat dalam rentak senandung. Dalam hal ini ritem A "digantungi" dengan warna bunyi tak-tak-tak-tak; sedangkan motif B digantungi dengan warna bunyi tung-dang-dang-tung; motif BI merupakan pengulangan dari motif B hanya saja pada bunyi tung yang terakhir lebih panjang dari bunyi tung terdapat pada motif B. Dari uraian ini dapat dilihat bahwa warna bunyi yang dipakai di dalam rentak senandung adalah tak, ding, dan tung; selain itu untuk membedakan aksentuasi bunyi, penyelidik membubuhi tanda > di atas not yang berarti pukulan kuat (keras, forte). Untuk memperjelas uraian di atas dapat dilihat ilustrasi 3. Ilustrasi Musik 3. Kombinasi Warna Bunyi, Pola Ritem, Rentak Senandung
Ringkasan yang dapat ditarik dari analisis di atas adalah sebagai berikut:
Rentak Mak Inang Dan Rentak Patam-Patem Rentak mak inang dan rentak patam-patam di dalam tulisan ini didiskusikan secara bersamaan, kerana pada prinsipnya pola ritem kedua rentak ini adalah sama. Bila dibandingkan antara keduanya dengan rentak senandung, maka pola ritemnya jauh lebih sederhana. Pola ritem rentak mak inang terdiri dari empat buah not bernilai seperempat yang digantungi oleh empat warna bunyi (tung, tak, ding, dang), yang terdepat di dalam permainan gendang Melayu. Keempat warna bunyi ini dimainkan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memberiken respons sebagai peningkah saja. Sekalipun kedua rentak ini pola ritemnya yang sama, namun masing-masing mempunyai pendekatan berbeda. Pola rentak
20
patam-patam merupekan kelipatan pola ritmis mak inang sedangkan tempo keduanys relatif sama, iaitu antara lapan puluh sampai dengan seratus enam puluh ketukan setiap menit. Jenis meter adalah empat untuk mak inang dan dua untuk patam-patam. Motif desar dari rentak mak inang hanya merupakan kumpulan empat buah not seperempat ( ) yang masing-masing digantungi oleh bunyi tung, tak, ding, dang. Dan ini berlaku terus berulang-ulang sepanjang lagu. Aksentuasi terletak pada hitungan satu den empat, sedengkan pada pola ritem rentak patam-patam terletak pada hitungan satu dan ketukan atas (anacrusis) hitungan dua, dengan jenis bunyi tung dan dang. Jenis meter yang terdepat di dalam rentak mak inang adalah empat. Sedangkan jenis meter pada rentak patampatam adalah dua. Hal ini ditentukan dengen jatuhnya suara gong, iaitu jatuh pada ketukan pertama. Untuk menghidupkan bunyi rentak mak inang atau rentak patam-patam, tangan kiri pemain ikut meningkahi pola dasar ini dengen cara menempatkan pukulan-pukulannya pada ketukan atas setiap ketukan. Warna bunyi yang dihasilkan oleh tangan kiri ini dapat bervariasi. Akan tetapi menurut kebiasaannya menggunakan warna bunyi ka, ke, gen dan ngen. Kerjasama antara tangan kanan dan tangan kiri dalam menghasilkan pola ritem mak inang dan patam-patam dapat diperhatikan pada ilustrasi 5, sedangkan desar pola ritemnya dapat diliht pad ilustrasi 4. Ilustrasi Musik 4.
Pola Dasar Ritem Rentak Mak Inang
Ilustrasi Musik 5. Kombinesi Tangan Kiri dan Tangan Kanan pada Pola Rentak Mak Tnang
Keterangan: Ka: kanan (tangan kanan) Ki: kiri (tangan kiri) Variasi-variasi yang selalu muncul pada pola ritem ini adalah singkopasi-singkopasi (sincopation) yang terjadi pada ketukan dalam hitungan tiga dan empat, iaitu diletakkan pada ketukan atasnya dengan menggunakan bunyi dang yang diberi aksen kuat (forte). Sementara ketukan pada hitungan dua, warna bunyinya diganti dari ding menjadi dang. Variasi-variasi ini adalah variasi yang sangat umum di dalam rentak mak inang. Kadang-kadang variasi ini dipanjangkan dua kali. Akan tetapi di dalam birama kedua suara dang dimajukan ke ketukan kedua, sehingga suara terjadi lima kali. Dari uraian di atas pola ritem rentak mak inang dan rentak patam-patam dapat diringkaskan sebagai berikut:
21
Ilustrasi Musik 6. Variasi Rentak Mak Inang
Ilustrasi Musik 7. Pola Dasar Ritem Rentak Patam-Patam
Rentak Lagu Dua Pola ritem rentak lagu dua adalah pola ritem yang sangat populer di tengah-tengah masyarakat Melayu, bahkan bisa dikatakan di seluruh Indonesia dan Malaysia. Tarian yang diiringi oleh pola ritem ini sangat lincah dan riang, menunjukkan sifat tari pergaulan. Bila pola ritem ini didenger tanpa memperhatikan kegiatan ritmikal yang terjadi di dalamnya seolah-olah pola ritem ini sangat sederhana. Akan tetapi bila diperhatikan lebih
22
cermat ternyata ritem ini sengat rumit, terutama bila membicarakan jenis meternya. Hal ini sering menghasilkan pendapat-pendepat yang berbeza-beza. T. Luckman Sinar. S.H. misalnya mengatakan jenis meternya adalah dua, namun ia tidak menyebutkan munculnya jenis metrik ini. Di lain fehak apabila kita mendengarkan pola ritem ini akan memberi kesan dua jenis meter terjadi pada saat yang bersamaan--iaitu meter tiga berlawanan dengan meter dua. Kalau kita diskusikan tentang pendapat T. Luckman Sinar, S.H. maka apa yang dimaksudkannya adalah meter dua yang terjadi dari kelompok tiga bush not seperdelapan. Kalau memperhatikan pukulan gendang, maka jenis meternya menjadi tiga iaitu 3 x not seperdelapan. Untuk tidak mengarah kepada kesimpulan yang salah, maka penyelidik dalam tulisan ini akan memilih jenis meter untuk menuliskan pola ritem yang terdapat pada rentak lagu dua iaitu dengen memgkai teknik penulisan gabungan dua buah kelompok tiga not bernilai 1/8 ( ). Agar tidak terjebak pada jenis meter 3, maka penulis menggunakan tanda-tanda legato ( ) Sebagai contoh untuk menuliskan tiga buah not 2/8, (3 x 2/8), dua buah not 1/8 akan ditulis dengan memberi legato serta tanda aksen ( > ) pada hitungan kedua: (1/4 + (1/8 + 1/8) + 1/4). Seperti yang disebut oleh T. Luckman Sinar, S.H. di atas, untuk melihat terjadinya kombinasi warna bunyi di dalam pola irama ini, dapat diikuti tabel analisis yang dibust oleh Rizeldi Siagian sebagai berikut: Tabel 1. Kombinasi Werna Bunyi dalam Pola Ritem Rentak Lagu Dua
Dasar pola ritem lagu dua dengan mengaplikasikan silabis yang ada adalah tungding-dang ( ). Akan tetapi di dalam permainan gendang diberi sisipan-sisipan silabis lain untuk memberikan variasi warna bunyi dalam permainan gendang. Dilihat dari permainan gendang, varissi yang terdapat di dalam pola irama lagu dua sangat bergantung kepada pengkombinasian warna bunyi, sedangkan dari segi ritmis hanya ada lime macam pola
23
ritmis yang ada iaitu: (1)
atau boleh juga ditulis dengan cara (2) atau bisa jugs ditulis dengan cara ; ((3) ; (4) ; dan (5) ; atau bisa ditulis dengen cara menggabungkan tiga buah not (triplet) menjadi satu yang memberikan kesan metrik duple (2/4) Tempo yang selalu dipakai dalam rentak lagu dua bergantung dengan jenis 1agu yang diiringinya. Akan tetapi pada umumnya tempo pola ritem ini berkisar antara seratus sepuluh sampai seratus dua puluh per minit. Terkadang seorang pemain gendang apabila mengiringi sebuah lagu dengan pola irama lagu dua, temponya cenderung bertambah cepat. Biasanya kejadian ini oleh pemain gendeng selalu diekspresikan dengan “sor awak" yang artinya menunjukkan bahwa pemain gendang tersebut tidak depat mengontrol kecepatan temponya akibat luapan emosi yang dirangsang oleh pola ritem tersebut. Biasanya pemain musik pembawa melodi atau penari yang diiringinya selalu bereaksi marah. Hal ini dapat dipahami kerana dapat menguras (menhabiskan) tenaga mereka. Dan biasanya mereka mengkritik pemain gendang tersebut dengan istilah mengejar. Dari uraian di atas pola ritem rentak lagu dua dapat diringkas sebagai berikut:
Saat Masuk Ritem Gendang Dari pengamatan terhadap ensembel musik Melayu dalam komposisi tradisional (gendang, biola, akordion, gong) masuknya gendang dalam irama lagu tidak bisa dipastikan. Sejauh ini tidak ada ketetapan yang pasti pada saat mana gendang dapat dimulai dalam sebuah lagu. Namun dapat dipastikan dalam rentak senandung, mak inang dan lagu dua gendang masuknya belakangan, setelah instrumen pembawa melodi (biola atau alat musik jenis lainnya) terlebih dahulu memulai lagu yang dibawakan. Sebaliknya pola ritem rentak patam-patam selalu dimulai dengan gendang, lalu belakangan disusul dengan alat pembawa melodi lainnya. Menurut pengamatan penyelidik, masuknya pola ritem, gendang di dalam irama lagu terletak pada ketukan-ketukan yang berbeza di dalam struktur metriknya. Pada pola ritem rentak senandung, gendang dapat masuk di berbagai tempat iaitu bisa memulai pada ketukan empat (pada motif B). ketukan yang keenam, atau pada ketukan delapan. Sedangkan pada pola ritem rentak mak inang dan rentak lagu dua gendang tetap dimulai pade ketuken pertama. Setelah terlebih dahulu dimulai oleh alat pembawa melodi lainnya. E. Penutup Dikaji dari asek kontinuitas dan perubahannya, ronggeng Melayu di Sumatera Utara mengalami berbagai perkembangan. Awalnya ia menjadi bahagian dari tradisi Melayu animisme, yang dilanjutkan ke masa Hindu-Budha dari abad pertama sampai ketiga belas. Di masa Islam, kesenian ini diarahkan untuk menjadi kesenian Melayu yang berasas Islam, dengan cara memungsikannya pada berbagai peristiwa adat Melayu. Kemudian masuk pula unsur tarian Portugis yang daopsi ke dalam rentak musik dan tari lagu dua atau joget, yang berbirama 6/8 sebagai rentak baru dalam budaya Melayu. Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman, seni ronggeng Melayu memasukkan unsur-unsur etnik yang ada di Sumatera Utara. Kepelbagian dalam tarian sosial ini sangat diperhatikan benar oleh para seniman ronggeng Melayu Sumatera Utara. Seni ronggeng Melayu Sumatera Utara mampu 24
mendukung identitas etnik Melayu di Sumatera Utara, yang secara etnik juga terbuka menerima etnik rumpun Melayu lainnya untuk masuk Melayu. Seni ronggeng akhirnya bertransformasi dan berkembang menjadi seni serampang dua belas. Sejak dekade 1960-an tari ini menjadi tari nasional Indonesia. Dari segi strukur rentak yang digunakan dalam ronggeng Melayu Sumatera Utara, yang paling lazim digunakan adalah rentak musik: senandung yang bertempo lambat, kemudian inang yang bertempo sedang, serta lagu dua yang bertempo cepat. Ronggeng Melayu Sumatera Utara memiliki nilai-nilai falsafah Melayu yang perlu diturunkan kepada generasi penerus Melayu, agar Melayu tak hilang di bumi. Daftar Pustaka Alfian (ed.), 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Blagden, C.O., 1899. "The Name Melayu", Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society. Borhan, Zainal Abidin, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan Kebudayaan Melayu Mutakhir, 10-13 September, sempena Kongres Kebudayaan Melayu di Johor Bahru. Brakel-apenhuyzen. 1995. “Javanese Taledek and Chinese Tayuban.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 4-e. Hall, D.G.E., 1968. A History of South-East Asia. St. Martin Press, New York. Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities amd Changes. New York: Cornell University Press. Garraghan, GilbertJ., S.J. 1957. A Guide o Historical Method. New York: Fordam University Press. Geldern, Robert Heine. 1972. Konsep tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press. Gillin, G.L. dan J.P. Gillin. 1954. For a Science of Social Man. New York: McMillan. Goldsworthy, David J., 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Disertasi Doktoral Monash University. Hamzah, Mohd. Zain Hj., 1961. Pengolahan Muzik dan Tari Melayu. Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan Kebangsaan. Hill, A.H., 1968. "The Coming of Islam to North Sumatra," Journal of Southeast Asian History, 4(1). Kadir, Wan Abdul, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia. ---------------------, 1980a. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Rineka Cistra. ---------------------, (ed.), 1980c. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Narrol,R., 1965. "Ethnic Unit Classification," Current Anthropology, volume 5, No. 4. Nasharuddin, Mohammed Ghouse, 2000. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nor, Mohd Anis Md., 1995. "Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu," Tirai Panggung, jilid 1, nomor 1. Pigeaud. 1924. De Tantu Panggelaran. S’Gravenhage: Smith. Radcliffe-Brown, A.R., 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. London: Oxford University Press. Sinar, Tengku Luckman, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p. Sinar, Tengku Luckman, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira. Sinar, Tengku Luckman, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Swettenham, F.A., 1895. Malay Sketches. London: t.p. Wilkinson, R.J., 1959. A Malay-English Dictioary (Romanised). London: Macmillan. Yoshiyuki, Tsurumi, 1981. Malaka Monogatari: Sebuah Kisah di Melaka. Tokyo: Jiji Tsuushinsa. Zam, Ku Zam, 1980. "Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara: Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan Gendang Keling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan Fungsi." Tesis Sarjana, Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya.
25