Imaji Tubuh Dalam Kemasan Satiris dan Metafora Ala Joko Pinurbo (Analisis Dan Kritik Terhadap Satire Dan Metafor Tubuh Dalam Kumpulan Puisi Di Bawah Kibaran Sarung Karya Joko Pinurbo) Muhammad Sholehuddin IKIP PGRI BOJONEGORO Email:
[email protected]
ABSTRAK Sesuai dengan yang tergambar dalam judul, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan imaji tubuh dalam tema kumpulan puisi DKS, dan kritik terhadap satire dan metafor dalam KP DKS. Sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif, yaitu analisis teks sastra, penelitian ini dilakukan dengan mengkaji kumpulan puisi (data) dan dibandingkan dengan teori terkait. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah: 1. Penggunaan simbol tubuh dalam puisi JP memiliki beragam imaji sesuai dengan tema yang ada dalam kumpulan puisi DKS. Keterkaitan antara tema dan imaji tubuh dalam karya Joko Pinurbo misalnya; tubuh sebagai bumi (sajak “Sakramen”), tubuh sebagai pakaian yang memiliki kemampuan untuk kotor dan diganti ( sajak “ Pulang Mandi”), tubuh sebagai anak bangsa ( sajak “ Keranda” ). 2. Penggunaan gaya bahasa yang satiris dan metafora dalam DKS mengakibatkan munculnya kesan suram pada setiap sajak karya JP. Satire yang digunakan oleh JP berfungsi sebagai penyampai sikap penyair yang mencoba menertawakan kondisi kehidupaan manusia dan menyindir beberapa elemen kehidupan manusia yang dirasa sangat ironis kenyataannya. Contoh penggunaan gaya satiris ada dalam puisi ”Topeng Bayi untuk Zela”, “Malam Pembredelan”dan “Mei”. Sedangkan gaya bahasa metafora yang membandingkan tubuh dengan hal yang lain secara langsung tampak pada beberapa puisinya seperti sajak “ Pulang Mandi” , “Sakramen” dan “ Keranda”. Kata kunci: imaji tubuh, satire, metafor, kumpulan puisi di bawah kibaran sarung In accordance with that reflected in the title, the purpose of this study was to describe the theme of body image DKS collection of poetry, and criticism of satire and metaphor in KP DKS. As one type of qualitative research, namely the analysis of literary texts, this research was conducted by examining a collection of poems (data) and compared to related theories. The results obtained in this study are: 1. The use of symbols in poetry JP body has a variety of images in accordance with the existing theme in a collection of poems DKS. Linkages between the themes and images of the body in the work of Ricardo Pinurbo eg body as the earth (poem "Sacrament"), as the body has the ability to outfit dirty and replaced (the poem "Home Bath"), as the body of the nation (the poem "coffin"). 2. Use a style that is satirical and metaphorical in DKS result in the gloomy impression on every poem by JP. Satire used by JP serves as a transmitter of attitude poet who tried to laugh at the human condition and satirical kehidupaan some elements of human life that feels very ironic fact. Examples of the use of force in the satirical poem "Baby Mask for Zela", "Night bans" and "may". While the style of the language metaphor that compares with other bodies directly look at some of his poems such as poems "Home Bathroom", "Sacrament" and "coffin".
PENDAHULUAN Puisi sebagai proses kreatif seorang penyair seringkali dianggap sebagai cerminan alam semesta, manusia dan kehidupannya. Puisi dengan segala keunikannya merupakan salah satu bentuk representasi kehidupan manusia yang tertuang melalui alam pikiran penyair. Puisi sebagi salah satu Genre sastra yang cukup berpengaruh telah mendapat perhatian yang cukup besar dari para sastrawan dan masyarkat pemerhati sastra. Di awal tahun 2000 muncul istilah angkatan baru yang disebut sebagai angkatan 2000. Angkatan ini memiliki sejumlah karakteristik yang berbeda dari
angkatan sebelumnya. Karakteristik tersebut antara lain kebebasan yang lebih menjadi sentral utama, munculnya karya yang mengangkat isu gender, munculnya simbolisme dalam cerpen dan sebagainya. Sebut saja Ayu Utami, Dee, Djenar Mahesa Ayu, Seno Gumira Adjidarma, dan Joko Pinurbo sebagai beberapa sastrawan angkatan 2000. Meski terdapat perkembangan yang cukup pesat dalam perkembangan novel di masa sekarang ini, hal itu tidak diikuti dengan perkembangan yang serupa dalam dunia perpuisian Indonesia. Sejak angkatan ’70-an dengan kredonya Sutardji membawa wawasan estetik pada angkatan setelahnya, kini tidak lagi
muncul wawasan estetik yang baru dalam dunia puisi Indonesia. Kelesuan itu myebabkan hanya muncul sedikit penyair yang mampu membawa karakter yang lain dalam penciptaan puisi di Indonesia. Salah seorang penyair itu mungkin adalah Joko Pinurbo (JP).
Karya JP yang pernah diterbitkan sebelumnya adalah antologi puisi Celana (1999) dan yang kedua adalah Di Bawah Kibaran Sarung (2002). Dalam DKS termuat sebanyak tujuh puluh buah puisi yang beberapa puisi pernah dimuat di beberapa media cetak. Joko Pinurbo yang lahir pada 11 Mei 1962 di Sukabumi ini memiliki keistimewaan dalam karyakaryanya, yaitu dengan mengangkat karakteristik tubuh sebagai obyek utama dalam menggambarkan tema-tema puisinya. Keistimewaan itu pulalah yang menjadi tawaran JP dalam DKS karena sepertinya hanya dia penyair yang paling mencintai tubuhnya melebihi hal lain. Biasanya penyair yang menggunakan tubuh dalam puisinya, tidak menempatkan tubuh sebagai pusat perhatian tetapi lebih sebagai isyarat atau signifier bagi kegairahan perasaan, rindu dendam, beragam tindakan cinta dan bahkan hubungan seksual. Dengan kata lain tubuh hanya dijadikan sebagai latar, sebagai setting, bagi hal–hal yang lainnya. Tubuh diperlakukan sebagai medium (sarana) bukan sebagai message (pesan). Pada DKS tubuh mendapat sorotan utama, diselidiki dengan renungan yang intens, diberi peran ganda, baik sebagai tanda maupun sebagai apa yang hendak ditandai. Meskipun demikian tidak ditemukan adanya efek pornografis dalam syairnya. Selain itu penyair menggunakan gaya bahasa yang bersifat satiris dan metaforis dalam rangka penyampaian pesan kepada pembaca. Satire tersebut merepresentasi pikiran penyair yang menyindir kondisi sosial masyarakat kita dan kondisi kehidupan sehari-hari. Sindiran itu termasuk implisit bila dikaji dari bentuk dan makna puisi yang tampaknya mengangkat hal pornografis. Penggunaan dua gaya bahasa tersebut memberi efek ‘pahit’ pada puisi yang ditulisnya sebagai bentuk sikap penyair yang memandang kenyataan sebagi suatu kepahitan. Penggunaan tubuh sebagai pusat pengimajian dan penggunaan gaya bahasa satire dan metafora terhadap tubuh sebagaimana dilakukan JP merupakan hal yang jarang. Akan sangat menarik jika fenomena ini dikaji lebih jauh terkait dengan tujuan penyair dalam memilih model penyampaian pesan kepada pembaca dengan menggunakan eksploitasi tubuh dalam gaya bahasa satiris dan metafora.
Berangkat dari kenyataan tersebut maka tulisan ini disusun untuk menganalisis lebih jauh tentang eksplorasi tubuh dan kesan yang ditampilkannya terkait dengan tema puisi dan mengkaji penggunaan gaya bahasa satire dan metafora terkait dengan tema dan kesan yang ditimbulkan dalam puisi DKS karya JP. METODE PENELITIAN a. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah cara memperoleh data dan keterangan teoritis yang berkaitan dengan masalah penelitian baik dari buku-buku, surat kabar, majalah, buletin, dan bahan-bahan lainnya yang menunjang dalam penelitian. b. Teknik pengolahan (analisis) data Teknik ini digunakan untuk mengolah atau menganalisis data melalui kajian atau telaah pustaka. Dengan menggunakan teknik ini, kajian terhadap data (kumpulan puisi) yang meliputi imaji tubuh, gaya satire dan metafor dalam puisi, dapat dipaparkan atau dideskripsikan berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan masalah penelitian tersebut. c. Sumber Data Penelitian Menurut Arikunto (1997 : 107) yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Adapun sumber data pada penelitian ini adalah kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung (DKS) karya Joko Pinurbo, serta buku-buku pustaka lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Imaji Tubuh Dalam Tema Kumpulan Puisi Di Bawah Kibaran Sarung Karya Joko Pinurbo Puisi sebagai karya seni selalu mengalami perubahan. Sebagimana dikatakan A.Teeuw (1988: 12) bahwa pada hakekatnya sebagai karya seni, selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi). Begitu pula dalam puisi, terjadi pembaharuan yang dilkukan oleh penyair. Pembaharuan itu bisa dilihat dari strukturnya yang mencakup tema, nada, penggunaan diksi, penggunaan gaya bahasa, tipografi dan lain sebagianya. Tema sebagai salah satu aspek yang diperbaharui dalam sebuah puisi merupakan hal pokok yang ingin disampaikan pengarang dalam bentuk bahasa yang imajinatif. Tema yang muncul dalam sebuah puisi merupakan hasil kontemplasi penyair dengan menyertakan aspek lingkungan sekitarnya (politik, sosial budaya, kondisi masyarakat). Di bawah ini akan dikaji tentang tema yang terdapat dalam kumpulan puisi DKS dikaitkan dengan pengkiasan tubuh oleh JP.
Jika memperhatikan dengan cermat tema yang diusung JP dalam DKS, ada beberapa ragam tema yang disajikan JP. Ada tema tentang kondisi sosial politik bangsa Indonesia seperti dalam sajak Sajak Seorang Tukang Cukur, Sajak Kisah Seorang Nyumin, Malam Pembredelan. Selain itu ada pula tema tentang kondisi sosial masyarakat (Penyanyi yang pulang dini hari), tema tentang hakikat kemanusiaan (Perjalanan Pulang, Celana 1 dan 2). Selain itu masih banyak lagi tema yang diangkat oleh JP, bahkan sesungguhnya cukup sulit untuk menentukan tema dalam setiap puisi yang ditulisnya, karena ada hal besar yang begitu mendominasi dalam sajak JP. Hal tersebut adalah sangat besarnya intensitas perhatian penyair terhadap tubuh manusia yang diangkat dalam puisi. Tidak seperti penyair lain, JP menempatkan tubuh sebagai apa yang ingin disampaikan dan juga media penyampai pesan kepada pembaca. Tubuh dalam antologi puisi ini dianggap bukan sebagai bagian intrinsik manusia, melainkan sebagai unsur ekstrinsik yang dapat diperlakukan sebagaimana benda yang bersifat material. Dalam DKS ini kita diajak untuk memahami tubuh kita lebih dalam, dalam artian tertentu dan juga memperlakukannya dengan cara tertentu pula. .... Lama ia tidak mandi. Tapi sekali mandi Ia langsung mencopot tubuhnya yang usang Dan menggantinya dengan yang baru Yang mutakhir modelnya, dan, tentu saja, tahan lama
(Sajak “Pulang Mandi”) Pandangan penyair tentang tubuh sesungguhnya bukan sesuatu yang erotis sebagaimana yang tampak di luarnya, namun lebih pada pemahaman yang bersifat filosofis eksistensial. Tubuh diibaratkan bagian yang terpadu dengan manusia yang mendukung eksisitensi manusia, tetapi sifat tubuh itu tidaklah eksis. Misalnya dalam sajak Celana 2, penyair menganggap pakaian merupakan bagian tubuh manusia yang mampu menampilkan keindahan tubuh, dan juga sebaliknya menyembunyikan kelemahan jasmaniah manusia. ..... pelan-pelan dibukanya celananya yang baru yang gagah dan canggih modelnya dan mendapatkan raja kecil yang selama ini disembahnya tunduk tak berdaya. (Sajak ‘Celana 2’, hlm.35)
Lebih jauh lagi terkait pandangan penyair tentang tubuh, sebenarnya ada dua hal pokok yang ingin ditunjukkan penyair dalam puisinya, yaitu tubuh yang mempunyai peran ganda sebagai bagian yang berada di luar kehidupan manusia, serta tubuh sebagai sebuah simbol. Tubuh mampu dilepaskan, diubah, diganti dalam kehidupan manusia sekaligus sebagai simbolsimbol yang menyatakan suatu pesan sekaligus untuk menyembunyikan suatu pesan itu sendiri. Pesan yang terangkum dalam tema itu misalnya tentang hakekat keberadaan tubuh yang tidak mutlak dimiliki manusia hanya barang yang independen yang dapat dimiliki oleh setiap orang. Hal itu akan terlihat dalam sajaksajak antologi puisi ini, yang salah satunya berjudul Tubuh Pinjaman. Tubuh yang mulai akrab dengan saya ini sebenarnya mayat yang saya pinjam dari seorang korban tak dikenal yang tergeletak di pinggir jalan. Pada mulanya ia curiga dan saya juga kurang selera karena ukuran dan modelnya kurang pas untuk saya. Tapi lama-lama kami bisa saling menyesuaikan diri dan dapat memahami kekurangan dan kelebihan kami. Sampai sekarang belum ada yang mencari-cari dan memintanya kecuali seorang petugas yang menanyakan status ideologi, agama, dan terutama harta kekayannya. (Sajak ‘Tubuh Pinjaman’, hlm.59) Terkait dengan hubungan antara tubuh dan tema dapat terlihat dalam beberapa puisi JP yaitu puisi Bulu Matamu: Padang Ilalang yang mengangkat tema tentang cinta sebegitu intensnya menggunakan bulu mata dan mata sebagai representasi usaha manusi dalam menyelami kedalaman jiwa seseorang. Sebuah keteduhan (yang disimbolkan dengan bulan) dapat dicapai bila telah berhasil menyelami kedalaman hati (yang diwakili dengan simbol sendang). Meskipun pada akhirnya harus tenggelam dalam arus cinta pada orang yang terkasih. Berikut ini kutipan sajaknya. BULU MATAMU: PADANG ILALANG Bulu matamu: padang ilalang Di tengahnya: sebuah sendang Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir Datang bertapa untuk membuktikan apakah benar
Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang Ia tak percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam. Bulu matamu: padang ilalang (Sajak ‘Bulu Matamu: Padang Ilalang’, hlm.3) Dalam sajaknya yang lain JP mengangkat tema religius seperti dalam puisi Sakramen yang merepresentasikan tubuh sebagai bumi yang menaungi Yesus dalam hidupnya. Tubuh sebagai tempat kelahirannya, tempat disalibkan dan tempat meninggalnya. Sedangkan tema tentang kondisi sosial kota metropolitan yang mengakibatkan manusia terjerumus dalam dosa dapat dilihat dalam puisi Pulang Mandi ( hlm.64) .... Lama ia tidak mandi. Tapi sekali mandi Ia langsung mencopot tubuhnya yang usang Dan menggantinya dengan yang baru Yang mutakhire modelnya dan, tentu saja, tahan lama. “ Tidak tertarik ke Jakarta?” ia mebujukku sambil memamerkan tubuhnya yang trendi ah ya, mungkin perlu juga aku minggat ke Jakarta agar suatu saat dapat pulang mandi dengan bahagia (Sajak ‘Pulang Mandi’, hlm.64) Dalam puisi di atas mandi diibaratkan sebagai upaya ritual untuk menyucikan manusia dari segala dosa dan perbuatan keji yang dilakukan. Dalam hal ini dosa dan ‘kotor’ yang menempel pada tubuh manuisia disebabkan oleh kondisi lingkungan sosial yang keras dam kondusi umtuk memunculkan beragam penyimpangan sosial. Lingkungan yang demikian itu diwakili oleh kota Jakarta sebagai kota metropolitan yang biasanya menjadi tujuan para pendatang dari daerah ( tokoh aku dan ia) untuk mengadu nasib. Dari beberapa contoh tentang kajian tema dan imaji tubuh yang ditimbulkan oleh penyair dapat disimpulkan bahwa imaji tubuh yang digunakan dalam puisi JP tergantung dari tema yang diangkat. Bila tema tentang religius, tubuh diibaratkan bumi yang menjadi tempat hidup Yesus (sajak ‘Sakramen‘), bila harus bicara tentang manusia dan dosa, tubuh diibaratkan selayaknya pakaian yang dapat diganti dan dibersihkan dari dosa (sajak “Pulang Mandi, Tubuh Pinjaman”). Kesimpulannya adalah JP
menggunakan beragam imaji tentang tubuh disesuaikan dengan tema dan pesan puisi yang ingin disampaikan kepada pembaca. 2. Gaya Satire Dan Metafora Dalam Kumpulan Puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo Berangkat dari gagasan tentang betapa intensnya penyair mengeksplorasi tubuh dalam puisi itu, ada hal yang menarik untuk diberi perhatian yaitu gaya bahasa dan kesan yang ditimbulkannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa kiasan yang digunakan penyair menempatkan setiap pandangannya yang unik tentang tubuh, sehingga memunculkan kesan dan makna tertentu yang ditangkap oleh pembaca. Dengan mengetahui kaitan antara gaya bahasa dan kesan, tentunya akan mudah diketahui pesan yang ingin disampaikan penyair. Adanya bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menumbuhkan kesegaran hidup, dan menumbuhkan kejelasan gambaran angan (Pradopo,1993: 62). Kiasan yang dipakai oleh penyair merupakan bentuk sikap dan ekspresi penyair terhadap apa yang ingin disampaikan pada sajaknya. Gaya bahasa yang cukup menonjol dalam puisi-puisi JP tersebut adalah ironi dan satire, di samping banyaknya pemunculan obyek tubuh sebagai metafor. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu (Keraf, 2001:144). Lebih jauh dinyatakan pula bahwa satire adalah sebuah ironi yang tidak hanya dapat ditafsirkan dari sebuah kalimat acuan, tetapi merupakan hasil penyimpulan suatu uraian yang panjang (2001: 144). Adanya satire dalam antologi puisi ini misalnya dapat dijumpai dalam sajak “Topeng Bayi untuk Zela”. Di sana penyair mencoba menggambarkan keterbatasan manusia dan tubuh. Dalam puisi tersebut ditunjukkan bahwa seorang pembuat topeng sedang menjerit saat memahat topengnya. Di situ juga disebutkan bahwa ia masih waras, hanya saja pembuat topeng itu tidak tahan menahan sakit dan perih saat mengukir wajahnya sendiri. Satire yang lain adalah pada sajak “Meditasi”, yang sangat kental dengan suasana spiritual, penyerahan diri kepada yang Kuasa. ....Celana tak kuat lagi menampung pantat yang goyang terus memburu engkau. Pantat tak tahan lagi menampung goyang yang kencang terus menjangkau engkau. Goyang tak sanggup lagi menampung sakit yang kejang terus mencengkeram engkau. Telanjang tak mampu lagi melepas, menghalau engkau. (Sajak “Meditasi”)
Sedangkan satire yang berwuud sebagai ironisme yang suram dalam memandang tubuh manusia misalnya tampak pada sajak “Gadis Malam di Tembok Kota”. ....Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia leher langsat yang menyimpan jeritan; dada segar yang mengentalkan darah dan nanah dan lubang sunyi, di bawah pusar, yang dirimbuni rumput berduri.... (Sajak “Gadis Malam di Tembok Kota”) Masih banyak contoh yang bisa ditemukan dalam antologi puisi DKS ini, yang menggambarkan penggunaan gaya bahasa satire pengarang, misalnya dalam sajak “Di Salon Kecantikan dan Perjalanan Pulang”. Satire yang diwujudkan dalam humor yang pahit itu terasa sekali saat menggali makna dari puisi JP. Mengapa penyair memilih gaya demikian? Apakah satire ini adalah wujud “peremehan” terhadap eksistensi tubuh manusia atau karena semata-mata bentuk perwujudan estetika gaya bahasa penyair? Terlepas dari apapun alasannya, disadari atau tidak gaya satire yang pahit telah cukup mendominasi dan memberi corak dalam setiap karya JP. Pada sisi lain, metafora juga mengambil peranan penting dalam penyajian karya puisi JP tersebut. Metafora adalah perubahan makna karena persamaan sifat antara dua objek (Pradopo, 1993: 66). Masih menurut Pradopo, penjelasan tentang metafora secara lebih lengkap seperti berikut ini. “metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term), dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal untuk membandingkan”. Metafora biasanya tidak mengunakan bahasa pembanding. Metafora yang paling menonjol dalam puisi ini berputar pada tubuh manusia. Banyak sekali metafora yang muncul dalam puisi-puisi karya Joko Pinurbo. Salah satu contohnya: ....Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya.
Tempat kau salibkan kristus.... ( sajak “Sakramen,”hlm.106) Pada kutipan pertama dikatakan bahwa “bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya”. Bayi dalam kulkas adalah term pokok atau hal yang dibandingkan. Sedangkan doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya adalah term kedua yaitu hal yang digunakan untuk membandingkan. Pada kutipan kedua juga demikian. Tubuh sebagai hal yang dibandingkan dengan kandang hewan dan bukit tandus. Dibandingkan sebagai kandang hewan karena tubuh diibaratkan tempat lahirnya nabi Isa. Sedangkan dikatakan sebagai bukit tandus yaitu diserupakannya tubuh dengan bukit Golgota tempat penyaliban. Jadi tubuh adalah sebuah perwujudan alam semesta (bumi) yang menjadi tempat persinggahan nabi Isa (Yesus) selama hidupnya. Bentuk metafora yang lain adalah pada sajak “ Keranda” (hlm.40) yang membandingkan tubuh sebagai ibu pertiwi. Ranjang diibaratkan tanah air tempat kelahiran anak bangsa (tubuh) yang pada akhirnya pergi dan mengingkari tanah airnya dan hanya datang untuk memberi luka pada tanah air. Ranjang juga diibaratkan sebagai tempat berpulangnya seseorang bila ajal telah dekat. Agar memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang metafora di atas berikut ini adalah kutipan sajak “ Keranda”. KERANDA Ranjang meminta kembali tubuh yang pernah dilahirkan dan diasuhnya dengan sepenuh cinta. “Semoga anakku yang pemberani, yang jauh merantau ke negeri- negeri igauan menemukan jalan untuk pulang; pun jika aku sudah lapuk dan karatan.” Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara. Kalaupun sesekali datang, ia datang Hanya untuk menabung luka Dan ketika akhirnya pulang Ia sudah mayat tinggal rangka. Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar Memeluknya erat. “Aku rela jadi keranda untukmu”
(sajak “Bayi di dalam Kulkas”, hlm.21) ( Sajak “ Keranda”, hlm.40) Tubuhmu kandang hewan tempat seorang perempuan singgah melahirkan anaknya yang malang... Tubuhmu bukit tandus
Ketiga macam penggunaan bahasa kiasan di atas hanya sedikit dari banyaknya bentukan bahasa dan penggambaran suasana yang dilakukan oleh JP.
Namun setidaknya telah mampu memberi gambaran umum tentang suasana yang ditimbulkan dalam puisi karya JP dan pesan dalam rangka memperkokoh ide tentang tubuh yang sifatnya ekstrinsik dan simbolik sebagaimana tertuang dalam puisinya. Dari munculnya dominasi gaya bahasa satire dan ironi tersebut justru memunculkan pendapat dan pandangan lain akibat kesan – kesan yang dimunculkan penyair. JP terkesan terlalu memandang tubuh sebagai representasi kenyataan dengan terlalu intens, dan kehidupan yang disimbolkan dari tubuh itu sebagai sesuatu yang ironis, dengan humor yang pahit dan terkesan “berat” untuk dimaknai. Satire yang terlihat dalam puisi karya JP misalnya saat menggambarkan pendiskriminasian ras Tionghoa dalam sajaknya yang berjudul “Mei” (hlm.102) Kematian seorang wanita Tionghoa yang bernama Mei dalam pembakaran warga negara ras Tionghoa oleh masyarakat. Di akhir puisi ada penyelesaian bahwa tidak lagi ada perseteruan ras sebagaimana dalam bait akhir yang berbunyi “api telah mengungkapkan rahasianya/ ketika tubuhmu hancur/ Kesan lain yang muncul adalah penyair terlalu sibuk dengan tubuh dan tidak ada tempat untuk memikirkan dunia di luar sana. Sehingga dari kesan yang tersirat dalam lirik itu pembaca sulit menerka apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan penyair. Sikap yang seolah memandang hidup sebagai sebuah ironi, seolah menertawakan tingkah polah manusia, hal itu justru menimbulkan tanda tanya. Apakah memang demikian ataukah penyair sesungguhnya sedang meratapi kenyataan hidup yang (lagi–lagi ) ironis. Kesulitan lain yang mungkin akan ditemui dalam perenungan beberapa puisi dalam antologi tersebut, yakni dalam menentukan pilahan makna denotatif atau konotatifkah yang harus digunakan dalam pemahaman puisi-puisi tersebut. Karena sejauh pengamatan penulis puisi-puisi tersebut memang mempunyai batas yang tipis sekali dalam pilahan maknanya, sehingga memungkinkan untuk ditafsirkan dengan asosiasi ganda. Dan mungkin inilah sebagian sisi kelebihan dari gaya ekspresi penyair. Terlepas dari semua itu kewenangan dalam penciptaan puisi tetap ada di tangan penyair. Jadi segala yang ada dalam puisi itu selayaknya dipandang sebagai proses kreatif dengan melalui kontemplasi yang mendalam serta dari beragam pertimbangan yang matang dari penyair. Maka dari itulah perlu kiranya dipahami bahwa JP telah memproyeksikan tubuh sebagai representasi kehidupan manusia. Nada dan suasana yang muncul akibat pemakaian gaya bahasa ironi dan satire adalah ekspresi salah satu sikap penyair yang harus tetap diapresiasikan dan ditempatkan selayaknya.
dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan/ nama dan warna kulitmu, Mei. ”(Sajak “Mei”, hlm.102). Tetapi akhirnya semua itu harus dibayar mahal dengan adanya pembantaian terhadap warga Tionghoa. Belum lagi pada contoh sajak yang lain misalnya dalam “Malam kondangan” (hlm.45) ....pengantin mengenakan topeng monyet, duduk mengangkang di pelaminan. “ Selamat kawin saudara kembar,” kita ucapkan salam “ Selamat datang calon jerangkong,” sambutnya riang,... Bila dikaitkan dengan pilihan kata dalam liriknya akan didapati bahwa ada kesan gembira dan ‘keindahan’ universal yang hilang. Tidak akan ditemui lirik tentang indahnya pagi, wangi bunga, hijaunya pemandangan dsb. Romantisme dan keriangan seperti itulah yang tidak akan ditemui dalam puisi karya JP. Maka muncullah kesan muram pada puisi karya JP.
PENUTUP Dari analisis dan pengkritisan yang dilakukan terhadap kumpulan puisi di Bawah Kibaran Sarung (DKS) karya Joko Pinurbo (JP), dapat disimpulkan beberapa hal- hal seperti di bawah ini. Tubuh dalam sajak JP dijadikan sebagai sesuatu yang berada di luar bagian manusia dan tubuh sebagai sebuah simbol. Tubuh diibaratkan sebagi bentuk yang memiliki sifat material. Pengimajian tubuh dalam puisi JP memiliki keterkaitan dengan tema dalam kumpulan puisi DKS. Penggunaan simbol tubuh dalam puisi JP memiliki beragam imaji sesuai dengan tema yang ada dalam kumpulan puisi DKS. Keterkaitan antara tema dan imaji tubuh dalam karya Joko Pinurbo misalnya; tubuh sebagai bumi (sajak “Sakramen”), tubuh sebagai pakaian yang memiliki kemampuan untuk kotor dan diganti (sajak “ Pulang Mandi”), tubuh sebagai anak bangsa (sajak “ Keranda”) dan masih banyak lagi. Penggunaan gaya bahasa yang satiris dan metafora dalam DKS mengakibatkan munculnya kesan suram pada setiap sajak karya JP. Satire yang digunakan oleh JP berfungsi sebagi penyampai sikap penyair yang mencoba menertawakan kondisi kehidupaan manusia dan menyindir beberapa elemen kehidupan manusia yang dirasa sangat ironis kenyataannya. Contoh penggunaan gaya satiris ada dalam puisi ”Topeng Bayi untuk Zela”, “Malam Pembredelan”dan “Mei”. Sedangkan gaya bahasa metafora yang
membandingkan tubuh dengan hal yang lain secara langsung tampak pada beberapa puisinya seperti sajak “ Pulang Mandi”, “Sakramen” dan “ Keranda”. Penggunaan gaya bahasa satire dan metafora dalam rangka menggunakan imaji tubuh dalam kumpulan puisi karya JP ini menimbulkan kesan yang terlalu suram. Sehingga kehilangan kesan ‘gembira’ dalam
puisinya. Tidak adanya romantisme dan keindahan tentang alam yang hijau, cinta warna merah jambu menyebabkan pembaca lebih sering harus mengerutkan kening dalam memahami puisi karya JP. Namun semua yang ada dalam kumpulan puisi karya JP ini harus dipandang sebagai proses kreatif yang telah memilki kekhasan dan memberi warna tersendiri dalam perkembangan puisi Indonesia. Pinurbo, Joko. 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera. Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
DAFTAR RUJUKAN Keraf ,Gorys. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.