Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
MEWUJUDKAN TRANSPORTASI YANG BERKELANJUTAN MELALUI PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSIT BERBASIS TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT (TOD) PADA KORIDOR SURABAYASIDOARJO Muhammad Hidayat Isa Ketut Dewi Martha Erli Handayeni, ST. MT. Abstrak Koridor Surabaya-Sidoarjo telah dilayani dengan kereta komuter dalam mendukung tulang punggung transportasi perkotaan Surabaya. Namun penggunaan moda ini belum optimal, pergerakan penduduk didominasi dengan penggunaan kendaraan pribadi. Hal ini menimbulkan kemacetan, polusi dan konsumsi BBM yang tinggi. Konsep Transit Oriented Development (TOD) merupakan strategi inovatif yang mendorong pengggunaan transportasi publik melalui pengorganisasian penggunaan lahan di sekitar lokasi transit. Melalui TOD, jarak perjalanan yang semakin pendek serta penggunaan transportasi publik yang semakin tinggi dapat terwujud sesuai dengan prinsip keberlanjutan transportasi. Dengan menggunakan metode analisis korelasi dan regresi linier, karakteristik penggunaan lahan di kawasan transit/stasiun kereta komuter Surabaya-Sidoarjo memiliki korelasi yang signifikan dengan tingkat penggunaan kereta komuter. Dalam meningkatkan penggunaan kereta komuter Surabaya-Sidoarjo, diperlukan peningkatan KLB minimal 9%-36%, peningkatan luas perdagangan dan jasa dan fasilitas umum 0,61-9,04 Ha, peningkatan lebar jalur pejalan kaki minimal mencapai 1,2 meter dan peningkatan luas jalur pejalan kaki 0,07-0,43 Ha di ketiga kawasan transit yaitu Stasiun Wonokromo, Stasiun Waru, dan Stasiun Gedangan. Pada kondisi ideal konsep TOD diterapkan dapat menarik 3.132-192.811 potensi penumpang di keenam kawasan transit yang dilayani kereta komuter Surabaya-Sidoarjo. Kata Kunci: Transit Oriented Development, kawasan transit/stasiun, kereta komuter 1.
Pendahuluan Permasalahan kemacetan merupakan permasalahan umum yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Selama ini solusi yang diterapkan masih sebatas pendekatan praktis. Padahal dalam mengatasi permasalahan kemacetan perlu ditinjau melalui pendekatan sistemik pembentuk sistem transportasi perkotaan secara makro yaitu ditinjau atas sistem kegiatan, sistem jaringan, sistem pergerakan. Melalui pemahaman tersebut, maka dalam mengatasi persoalan kemacetan ditinjau melalui cara berpikir yang mengintegrasikan ketiga sistem tersebut. [1] Saat ini paradigma kota-kota besar di dunia dalam mengatasi permasalahan kemacetan sudah mulai bergeser dari cara lama ke strategi inovatif melalui penerapan konsep-konsep yang mengedepankan integrasi ketiga sistem transportasi. Salah satunya melalui konsep Transit Oriented Development (TOD). Konsep TOD bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi publik (kereta api, angkutan massal cepat, bus, dan sebagainya) melalui penataan kawasan yang berorientasi pada titik transit dan ditunjang oleh promosi aksesibilitas dan mobilitas yang baik menuju titik-titik transit (stasiun, terminal, halte/ pemberhentian bus). Berdasarkan studi penerapan TOD di kota-kota besar di dunia (Sung, 2010; Shoup, 2008; Lin, 2004; Dittmar dan Ohland, 2004), menunjukkan bahwa kawasan sekitar titik transit memberikan pengaruh dalam mendorong penggunaan angkutan massal (ridership). [2]-[3]-[4]-[5]-[6]-[7] Surabaya, pusat dari Surabaya Metropolitan Area (SMA), mengalami ekspansi kegiatan ke wilayah pinggirannya. Ekspansi ini memicu tingginya pergerakan akibat mobilitas penduduk. Salah satunya pergerakan di koridor Surabaya-Sidoarjo. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kejenuhan (degree of saturation) jalan-jalan utama yang menghubungkan wilayah Sidoarjo menuju ke pusat kota Surabaya (koridor selatan-utara) seperti Jalan Ahmad Yani, 1
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
Jalan Wonokromo, Jalan Darmo, dan Jalan Urip Sumoharjo yang mencapai nilai rata-rata mendekati dan lebih dari satu. Pada kondisi tersebut telah terjadi kemacetan pada waktu lama. Kemudian permasalahan ini semakin diperparah dengan tingginya tingkat ketergantungan kendaraan pribadi di Kota Surabaya. Sehingga apabila permasalahan ini tidak segera diatasi maka permasalahan kemacetan akan semakin berkepanjangan dan akan berdampak pada gangguan berbagai jenis aktivitas yang ada di dalam Kota Surabaya maupun di sekitar daerah pinggirannya. [8]-[9] Dalam menunjang transportasi perkotaan, tidak cukup hanya ditunjang oleh angkutan berbasis jalan, melainkan diperlukan dukungan angkutan umum berbasis rel dalam mendukung tulang punggung transportasi kawasan perkotaan metropolitan. Pengembangan kereta api untuk komuter di wilayah Gerbangkertosusila merupakan salah satu perwujudan peningkatan pelayanan angkutan umum berbasis rel di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Namun usaha tersebut belum cukup, diperlukan upaya untuk mendorong pengalihan moda ke angkutan umum, salah satunya melalui pengembangan transit oriented development. Melalui integrasi simpul transportasi (stasiun kereta api) dengan penggunaan lahan di sekitar stasiun diharapkan dapat mendorong pergerakan berbasis transit bagi para pelaku pergerakan yang beraktivitas di kawasan sekitar stasiun kereta api. [10] Sebagai upaya untuk mendorong penggunaan kereta api komuter melalui integrasi antara simpul transportasi kereta api komuter dengan penggunaan lahan di sekitar stasiun, perlu dilakukan studi mengenai keterkaitan karakteristik kawasan transit berbasis transit oriented development terhadap jumlah penggunaan kereta komuter koridor SurabayaSidoarjo. Melalui penelitian ini dapat diketahui berbagai aspek pertimbangan yang mempengaruhi jumlah penggunaan moda kereta komuter dan keterkaitannya dengan karakteristik kawasan transit di sekitar stasiun untuk mendorong pergerakan SurabayaSidoarjo melalui jaringan kereta komuter. 2.
Metode Penelitian
2.1 Metode Pengumpulan Data Dalam melakukan pengumpulan data, dilakukan melalui survey primer dan survey sekunder. Untuk mendapatkan data-data karakteristik kawasan transit dilakukan melalui survey primer menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi lapangan, pengamatan citra satelit, dan kuisioner. Sedangkan survey sekunder dilakukan untuk menunjang data-data hasil survey primer dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui survey instansional ke beberapa badan terkait. 2.2 Metode Analisis Dalam merumuskan arahan, dilakukan melalui empat tahapan analisis: A. Mengidentifikasi karakteristik kawasan transit kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo berdasarkan prinsip TOD Dalam mengindentifikasi karakteristik kawasan transit kereta komuter koridor SurabayaSidoarjo digunakan alat analisis statistic deskriptif dengan meninjau variabel penelitian berupa kepadatan penggunaan lahan, kepadatan penduduk, mixed-use entropy index, ratarata lebar jalur pejalan kaki, dan luas jalur pejalan kaki yang mewakili prinsip TOD berupa density (kepadatan), diversity (keberagaman), dan design (desain). Kemudian kawasan transit yang dimaksud ditinjau pada radius enam ratus meter (600 meter) sesuai dengan prinsip kawasan TOD. [2]-[4]-[5]-[6]-[7] B. Menganalisis tingkat penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo Untuk menganalisis tingkat penggunaan kereta api komuter koridor Surabaya-Sidoarjo digunakan alat analisis statistik deskriptif. Untuk mendeskripsikan gambaran obyek yang diteliti digunakan variabel jumlah pengguna kereta komuter yang berangkat dari masingmasing kawasan transit stasiun dalam radius enam ratus meter (600 meter). Adapun output yang didapatkan dari analisis ini adalah karakteristik dan pola pergerakan pengguna kereta komuter dan tingkat pengguna kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo. [4]-[5]-[6] 2
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
C. Menganalisis keterkaitan antara karakteristik kawasan transit berdasarkan prinsip TOD terhadap jumlah penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo Untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik kawasan transit berdasarkan prinsip TOD terhadap jumlah penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo digunakan alat analisis korelasi dan regresi linear sederhana. Adapun input dari analisis ini adalah hasil analisis pada kedua tahapan sebelumnya. Kemudian dianalisis melalui korelasi untuk menunjukkan keeratan hubungan antara variabel-variabel karakteristik kawasan transit terhadap jumlah pengguna kereta komuter di tiap stasiun. Dalam penelitian ini, toleransi nilai error yang digunakan adalah 10% dan tingkat kepercayaan 90% maka didapatkan batas signifikansi untuk pengujian signifikansi korelasi adalah 0,05 di tiap sisinya. Setelah diketahui variabel mana saja yang memiliki korelasi, kemudian dianalisis lebih lanjut melalui analisis regresi linear sederhana untuk didapatkan model regresi linear keterkaitan antara karakteristik kawasan transit berdasarkan prinsip TOD terhadap jumlah penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo D. Merumuskan arahan pengembangan kawasan transit berbasis TOD dalam mendorong penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo Setelah didapatkan model regresi dalam sasaran sebelumnya, langkah selanjutnya adalah melakukan simulasi model regresi sehingga pada akhirnya didapatkan model optimum untuk meningkatkan penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo melalui pengembangan kawasan transit berbasis TOD. Hasil simulasi tersebut yang akan dijadikan salah satu acuan dalam merumuskan arahan. Arahan dirumuskan berdasarkan pertimbangan hasil analisis, teori mengenai konsep TOD, best practice penerapan konsep TOD, dan kebijakan yang terkait dengan penerapan konsep TOD. Arahan yang dihasilkan dibagi atas dua jangka waktu yaitu arahan jangka menengah dan jangka panjang. Arahan jangka menengah bertujuan untuk mengembangkan kawasan transit melalui pendekatan pemaksimalan potensi penggunaan berdasarkan kapasitas angkut kereta komuter di tiap stasiun. Sedangkan arahan jangka panjang bertujuan untuk mengaplikasikan konsep TOD sesuai dengan kondisi idealnya berdasarkan teori dan standard yang berlaku. 3.
Hasil dan Diskusi
A. Identifikasi karakteristik kawasan transit kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo berdasarkan prinsip TOD Hasil identifikasi menunjukkan bahwa keenam stasiun memiliki karakteristik yang beragam. Pada tabel 1 dan gambar 1 diketahui, untuk variabel kepadatan penggunaan lahan, nilai KLB tertinggi berada di kawasan transit Stasiun Gubeng, sedangkan terendah berada di kawasan transit Stasiun Gedangan. Untuk variabel kepadatan penduduk, nilai tertinggi berada di kawasan transit Stasiun Wonokromo, sedangkan terendah berada di kawasan transit Stasiun Gedangan. Untuk variabel EI, nilai tertinggi berada di kawasan transit Stasiun Waru sedangkan terendah berada di kawasan transit Stasiun Sidoarjo. Untuk variabel rata-rata lebar jalur pejalan kaki, nilai tertinggi berada di kawasan transit Stasiun Gubeng, sedangkan terendah berada di kawasan transit Stasiun Gedangan. Untuk variabel luas jalur pejalan kaki, nilai tertinggi berada di kawasan Stasiun Gubeng, sedangkan terendah berada di kawasan Stasiun Waru. Tabel 1. Hasil identifikasi karakteristik kawasan transit kereta komuter koridor SurabayaSidoarjo berdasarkan prinsip TOD No
Kawasan Transit
1 2 3 4
Stasiun Surabaya Kota Stasiun Gubeng Stasiun Wonokromo Stasiun Waru
Kepadatan penggunaan lahan (KLB) 225 303 218 168
Kepadatan penduduk (Jiwa/ha) 124 194 343 100 3
EI 0,72 0,83 0,75 0,84
Rata-rata lebar jalur pejalan kaki (m) 2,94 4,55 2,4 1,1
Luas jalur pejalan kaki (ha) 0,56 1,09 0,15 0,1
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014 5 6
Stasiun Gedangan Stasiun Sidoarjo
151 177
74 109
0,83 0,44
1 1,25
0,12 0,7
Sumber: Hasil analsis, 2014 Kawasan Transit Surabaya Kota KLB 225%, Kepadatan penduduk 124 jiwa/ha, EI 0,72, Rata-rata lebar jalur pejalan kaki 2,94 m, Luas jalur pejalan kaki 0,56 ha Kawasan Transit Gubeng KLB 303%, Kepadatan penduduk 194 jiwa/ha, EI 0,83, Rata-rata lebar jalur pejalan kaki 4,55 m, Luas jalur pejalan kaki 1,09 ha Kawasan Transit Wonokromo KLB 218%, Kepadatan penduduk 343 jiwa/ha, EI 0,75, Rata-rata lebar jalur pejalan kaki 2,4 m, Luas jalur pejalan kaki 0,15 ha Kawasan Transit Waru KLB 168%, Kepadatan penduduk 100 jiwa/ha, EI 0,84, Rata-rata lebar jalur pejalan kaki 1,1 m, Luas jalur pejalan kaki 0,1 ha Kawasan Transit Gedangan KLB 151%, Kepadatan penduduk 74 jiwa/ha, EI 0,83, Rata-rata lebar jalur pejalan kaki 1 m, Luas jalur pejalan kaki 0,12 ha Kawasan Transit Sidoarjo KLB 177%, Kepadatan penduduk 109 jiwa/ha, EI 0,44, Rata-rata lebar jalur pejalan kaki 1,25 m, Luas jalur pejalan kaki 0,7 ha
Gambar. 1. Hasil identifikasi karakteristik kawasan transit kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo berdasarkan prinsip TOD Sumber: Hasil analsis, 2014
B. Analisis tingkat penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo Hasil analisis menunjukkan bahwa masing-masing kawasan transit memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berbeda-beda. Kawasan transit Stasiun Surabaya Kota memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berasal di dalam radius enam ratus meter yaitu 62,5% atau mencapai 45.067 penumpang. Kawasan transit Stasiun Gubeng memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berasal di dalam radius enam ratus meter yaitu 60% atau mencapai 43.359 penumpang. Kawasan transit Stasiun Wonokromo memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berasal di dalam radius enam ratus meter yaitu 43,75% atau mencapai 19.992 penumpang. Kawasan transit Stasiun Waru memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berasal di dalam radius enam ratus meter yaitu 40% atau mencapai 5.574 penumpang. Kawasan transit Stasiun Gedangan memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berasal di dalam radius enam ratus meter yaitu 28,57% atau mencapai 6.284 penumpang. Sedangkan kawasan transit Stasiun Sidoarjo memiliki tingkat penggunaan kereta komuter yang berasal di dalam radius enam ratus meter yaitu 34,78% atau mencapai 23.560 penumpang. Hasil analisis ini lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
4
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
Tabel 2. Volume, tingkat, dan jumlah penggunaan kereta komuter Surabaya-Sidoarjo (Su-Si) di dalam radius 600 meter No
Kawasan Transit
1 Stasiun Surabaya Kota 2 Stasiun Gubeng 3 Stasiun Wonokromo 4 Stasiun Waru 5 Stasiun Gedangan 6 Stasiun Sidoarjo Jumlah
Volume pengguna kereta komuter Su-Si Tahun 2013 (penumpang) 72.107 72.265 45.696 13.936 21.994 67.739 293.737
Tingkat penggunaan kereta di dalam radius 600 meter (%) 62,5 60 43,75 40 28,57 34,78 -
Jumlah pengguna komuter di dalam radius 600 meter (penumpang) 45.067 43.359 19.992 5.574 6.284 23.560 143.836
Sumber: Hasil analisis, 2014
C. Analisis keterkaitan antara karakteristik kawasan transit berdasarkan prinsip TOD terhadap jumlah penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo Hasil analisis korelasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari kelima variabel, terdapat tiga variabel yang memiliki nilai koefisien korelasi > 0,5 dan dua variabel yang memiliki nilai koefisien korelasi < 0,5. Ketiga variabel yang dimaksud adalah kepadatan penggunaan lahan, rata-rata lebar jalur pejalan kaki, dan luas jalur pejalan kaki dengan koefisien korelasi masing-masing > 0,8 yang menunjukkan hubungan korelasi positif yang sangat kuat. Artinya apabila nilai ketiga variabel tersebut tinggi, maka nilai jumlah pengguna kereta komuter akan tinggi pula. Sedangkan dua variabel lainnya yaitu kepadatan penduduk dan mixed use entrophy index memiliki nilai koefisien korelasi masing-masing < 0,2. Artinya korelasi kedua variabel tersebut terhadap jumlah pengguna kereta komuter sangat lemah. Tabel 3. Hasil analisis korelasi antara karakteristik kawasan transit berdasarkan prinsip TOD terhadap jumlah pengguna kereta komuter di tiap kawasan stasiun
Jumlah Pengguna Kereta Komuter
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Pengguna Kereta Komuter
Kepadat an Pendud uk
Kepadata n Pengguna an Lahan
Mixed Use Entrophy Index
Rata-rata Lebar Jalur Pejalan Kaki
Luas Jalur Pejala n Kaki
1
,212
,823*
-,135
,853*
,811*
6
,687 6
,044 6
,799 6
,031 6
,050 6
*Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Sumber: Hasil analsis, 2014
Secara teoritis, mixed use entrophy index berpengaruh terhadap jumlah penggunaan moda transit di kawasan transit TOD. Namun dalam prakteknya belum terdapat suatu ketetapan spesifik jenis penggunaan lahan apa yang seharusnya dikembangkan secara beragam di suatu kawasan transit TOD. Sehingga dalam penelitian ini perlu diteliti mengenai proporsi keberagaman guna lahan apa yang sesuai dan berpengaruh terhadap jumlah penggunaan kereta komuter. Untuk itu, perlu diketahui hubungan dan arah hubungan antara masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap jumlah penggunaan kereta komuter di koridor ini. Jenis penggunaan lahan yang memiliki arah hubungan yang searah terhadap jumlah penggunaan kereta komuter selanjutnya dianalisis lebih lanjut terkait jenis keberagaman yang nantinya dapat terbentuk dari kombinasi beberapa jenis penggunaan lahan tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. [4]-[13]
5
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
Tabel 4. Hasil analisis korelasi antara jenis penggunaan lahan terhadap jumlah pengguna kereta komuter di tiap kawasan stasiun
Jumlah Pengguna Kereta Komuter
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Pengguna Kereta Komuter
Luas Penggu naan Lahan Peruma han
Luas Perdagan gan dan Jasa
Luas Perkantor an
Luas Fasilitas Umum
Luas Industr i
1
-,412
,807
,347
,647
-,981
6
,417 6
,053 6
,501 6
,165 6
,125 3
*Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Sumber: Hasil analisis, 2014
Dari hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan dari kelima jenis penggunaan lahan diketahui hanya terdapat tiga jenis pengunaan lahan yang memiliki hubungan searah terhadap jumlah penggunaan kereta komuter yaitu perdagangan dan jasa, perkantoran, dan fasilitas umum. Dari ketiga jenis penggunaan lahan tersebut, kombinasi keberagaman guna lahan yang dapat terbentuk antara lain: 1) perdagangan dan jasa dan perkantoran; 2) perdagangan dan jasa dan fasilitas umum; 3) perkantoran dan fasilitas umum; dan 4) perdagangan dan jasa, perkantoran, dan fasilitas umum. Maka dari keempat proporsi kemudian diidentifikasi nilai mixed use entrophy indexnya di masing-masing kawasan transit. Keempat kombinasi nilai mixed use entrophy index tersebut kemudian dianalisis keterhubungannya terhadap jumlah penggunaan kereta komuter untuk mengetahui kombinasi keberagaman guna lahan apa yang sesuai dan berpengaruh terhadap jumlah penggunaan kereta komuter. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 diketahui kombinasi antara guna lahan perdagangan dan jasa dan fasilitas umum merupakan kombinasi keberagaman guna lahan yang memiliki hubungan korelasi yang signifikan terhadap jumlah penggunaan kereta komuter. Sehingga untuk variabel mixed use entrophy index pada penelitian ini yang memiliki pengaruh terhadap jumlah penggunaan kereta komuter bukan mixed use entrophy index dari kombinasi kelima jenis penggunaan lahan eksisting, melainkan mixed use entrophy index dari perpaduan penggunaan lahan perdagangan dan jasa dan fasilitas umum. Tabel 5. Hasil analisis korelasi antara nilai mixed use entrophy index dari keempat kombinasi penggunaan lahan terhadap jumlah pengguna kereta komuter di tiap kawasan stasiun
Jumlah Pengguna Kereta Komuter
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Jumlah Pengguna Kereta Komuter
EI_Perjas _Kantor
EI_Perjas _Fasum
EI_Kantor _Fasum
EI_Perjas_K antor_Fasum
1
,588
,847*
,457
,688
6
,220 6
,033 6
,363 6
,147 6
*Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) Keterangan: EI_Perjas_Kantor: Mixed use entrophy index kombinasi penggunaan lahan perdagangan dan jasa dan perkantoran EI_Perjas_Fasum: Mixed use entrophy index kombinasi penggunaan lahan perdagangan dan jasa dan fasilitas umum EI_Kantor_Fasum: Mixed use entrophy index kombinasi penggunaan lahan perkantoran dan fasilitas umum EI_Perjas_Kantor_Fasum: Mixed use entrophy index kombinasi penggunaan lahan perdagangan dan jasa, perkantoran dan fasilitas umum
Sumber: Hasil analisis, 2014
6
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
Kemudian keempat variabel yang berpengaruh tersebut dianalisis lebih lanjut melalui regresi linear sederhana. Melalui serangkaian uji model regresi, keempat model regresi masing-masing variabel dinyatakan valid dalam memprediksi jumlah penggunaan kereta komuter. Adapun model regresi antara kepadatan penggunaan lahan terhadap jumlah pengguna kereta komuter yaitu y = -29314,286 + 257,425x. Model regresi antara rata-rata lebar jalur pejalan kaki terhadap jumlah pengguna kereta komuter yaitu y = -34.231,897 + 78.302,103x. Model regresi antara rata-rata lebar jalur pejalan kaki terhadap jumlah pengguna kereta komuter yaitu y = 625,897 + 10.580,107x. Kemudian model regresi antara luas jalur pejalan kaki terhadap jumlah pengguna kereta komuter yaitu y = 8.161,270 + 34.878,081x. D. Merumuskan arahan pengembangan kawasan transit berbasis TOD dalam mendorong penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo Melalui pertimbangan hasil analisis, teori mengenai konsep TOD, best practice penerapan konsep TOD, dan kebijakan yang terkait dengan penerapan konsep TOD didapatkan arahan jangka menengah yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi penggunaan berdasarkan kapasitas angkut kereta komuter di tiap stasiun dan jangka panjang yang bertujuan untuk mengaplikasikan konsep TOD sesuai dengan kondisi idealnya. Kedua jenis arahan tersebut dijabarkan dalam arahan makro dan arahan mikro. 1. Arahan jangka menengah Mengembangkan kawasan transit stasiun dengan fungsi dan ciri khusus yang merepresentasikan masing-masing kawasan stasiun. Kemudian melalui peningkatan kepadatan penggunaan lahan minimal senilai 9-36% dapat menarik potensi penumpang sejumlah 2.524-15.012 penumpang di kawasan transit Stasiun Wonokromo, Stasiun Waru, dan Stasiun Gedangan. Pengembangan keberagaman guna lahan diarahkan pada jenis perdagangan dan jasa dan fasilitas umum dengan memperhatikan keberagaman segmentasi kelas sosial masyarakat yang dilayani di dalam kawasan transit. Kemudian melalui peningkatan 0,61-9,04 ha luasan perdagangan dan jasa dan fasilitas umum di kawasan transit Stasiun Wonokromo, Waru, dan Gedangan mampu menarik potensi 2.524-15.012 penumpang di masing-masing kawasan transit. Arahan makro dalam pengembangan jalur pejalan kaki adalah menyediakan jalur pejalan kaki disesuaikan dengan fungsi jalan dengan memperhatikan aspek jalur yang ramah bagi pejalan kaki. Melalui pelebaran jalur pejalan kaki menjadi minimal 1,2 meter dan luas 0,07-0,43 ha di kawasan transit Stasiun Wonokromo, Waru, Gedangan mampu menarik potensi 2.524-15.012 penumpang di masing-masing kawasan transit. Visualisasi indikatif arahan jangka menengah dapat dilihat pada Gambar 2. 2. Arahan jangka panjang Melalui pengembangan TOD pada kondisi ideal, kepadatan penggunaan lahan diarahkan pada nilai 900%, luasan penggunaan lahan fasilitas umum ditingkatkan 1,13-38,43 ha, dan jalur pejalan kaki dikembangkan dengan lebar minimal 1,6 meter dengan luas 0,772,15 ha dapat meningkatkan pengguna kereta komuter lebih dari 153.683 penumpang di tiap kawasan transit.
7
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014 Arahan Makro: Pengembangan kawasan transit diarahkan memiliki fungsi dan ciri khusus, dengan guna lahan diarahkan terutama pada jenis perjas dan fasum dengan memperhatikan keberagaman segmentasi kelas sosial masyarakat yang dilayani di dalam kawasan transit, menyediakan jalur pejalan kaki disesuaikan dengan fungsi jalan dan diarahkan mengusung jalur yang ramah bagi pejalan kaki
Jalur Pengembangan
Jalur Pengembangan
Jalur Eksisting
Jalur Eksisting
Kawasan Transit Surabaya Kota Arahan Mikro: Meningkatkan 1,61 ha luas jalur pejalan kaki di 15 ruas jalan dengan lebar minimum 1,2 m
Rumah Toko Terminal
Fasilitas Pendidikan
Kawasan Transit Waru Arahan Mikro: 1) Peningkatan minimal 4,52 ha luasan perdagangan dan jasa dan 3,95 ha luasan fasilitas umum melalui peningkatan KLB rumah toko diarahkan menjadi 3-4 lantai dengan proporsi KDB pada kisaran 80-90%, fasilitas terminal diarahkan menjadi 4 lantai dengan KDB 30% dan dilengkapi berbagai fasilitas penunjang terminal yang lengkap, dan fasilitas pendidikan diarahkan menjadi 4 lantai dengan KDB 70%. 2) Meningkatkan 0,43-0,58 ha luas jalur pejalan kaki di 3 ruas jalan dengan lebar minimum 1,2 m.
Rumah Toko
Kawasan Transit Gubeng Arahan Mikro: Meningkatkan 1,28 ha luas jalur pejalan kaki di 13 ruas jalan dengan lebar minimum 1,2 m
Rumah Toko
Fasilitas Pendidikan
Kawasan Transit Gedangan Arahan Mikro: 1) Peningkatan minimal 9,04 ha luasan fasilitas umum melalui peningkatan KLB rumah toko diarahkan menjadi 3 lantai dengan proporsi KDB pada kisaran 80-90% dan fasilitas pendidikan diarahkan menjadi 3 lantai dengan KDB 60%. 2) Meningkatkan 0,24-0,77 ha luas jalur pejalan kaki di 6 ruas jalan dengan lebar minimum 1,2 m.
Kawasan Transit Wonokromo Arahan Mikro: 1) Peningkatan minimal 0,61 ha luasan perdagangan dan jasa melalui peningkatan KLB rumah toko di kawasan ini yang awalnya didominasi oleh rumah toko dengan ciri bangunan 2 lantai dengan proporsi KDB 75-90% diarahkan menjadi bangunan rumah toko 3 lantai dengan proporsi KDB pada kisaran 70-90%. 2) Meningkatkan 0,07-0,89 ha luas jalur pejalan kaki di 6 ruas jalan dengan lebar minimum 1,2 m
Jalur Pengembangan Jalur Jalur Eksisting Pengembangan Jalur Eksisting
Kawasan Transit Sidoarjo Arahan Mikro: Meningkatkan 0,83 ha luas jalur pejalan kaki di 6 ruas jalan dengan lebar minimum 1,2 m
Gambar 2. Visualisasi Indikatif Arahan Jangka Menengah Sumber: Hasil analisis, 2014 8
Muhammad Hidayat Isa, Mewujudkan Transportasi yang Berkelanjutan Melalui Seminar Nasional Cities 2014
4.
Kesimpulan Hasil identifikasi karakteristik kawasan transit berbasis TOD di koridor SurabayaSidoarjo dan jumlah penggunaan kereta komuter di masing-masing kawasan transit menunjukkan bahwa perbedaan karakteristik kawasan transit memiliki keterkaitan terhadap jumlah penggunaan kereta komuter di suatu kawasan transit. Kawasan transit dengan kepadatan penggunaan lahan (KLB) tinggi dengan jenis penggunaan lahan perdagangan dan jasa dan fasilitas umum yang beragam dan memiliki akses jalur pejalan kaki yang memadai (lebar dan luas) secara signifikan mampu mendorong jumlah penggunaan kereta komuter yang tinggi. Melalui hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kepadatan penggunaan lahan, mixed use entrophy index penggunaan lahan perdagangan dan jasa dan fasilitas umum, rata-rata lebar jalur pejalan kaki, dan luas jalur pejalan kaki memiliki keterkaitan secara signifikan terhadap jumlah penggunaan kereta komuter. Sedangkan kepadatan penduduk belum menunjukkan keterkaitan secara signifikan terhadap jumlah penggunaan kereta komuter. Melalui pertimbangan hasil analisis regresi linear sederhana, teori mengenai konsep TOD, best practice penerapan konsep TOD, dan kebijakan yang terkait dengan penerapan konsep TOD didapatkan arahan jangka menengah dan panjang pengembangan kawasan transit berbasis TOD dalam mendorong penggunaan kereta komuter koridor Surabaya-Sidoarjo. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3] [4]
[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13]
Tamin, O.Z. 2000. Perencanaan, Pemodelan & Rekayasa Transportasi: Teori, Contoh Soal, dan Aplikasi. Penerbit ITB Bandung. Cervero, Robert et al.. 2004. Transit-Oriented Development in The United States: Experiences, Challanges, and Prospects. TCRP Report 102. Washington: Transportation Research Board. Curtis, C., Renne, J.L., et al.. 2009. Transit-oriented development: Making it Happen. Burlington: Ashgate. Sung, Hyungun and Ju-Taek Oh. 2011. Transit-oriented development in a high-density city: Identifying its association with transit ridership in Seoul, Korea. Cities, Vol.28, pp.70– 82. Shoup, Lilly. 2008. Ridership and Development Density: Evidence from Washington, D.C.. Washington, D.C: University of Maryland. Lin, J.J dan C.C. Gau. 2006. A TOD planning model to review the regulation of allowable development densities around subway stations. Land Use Policy, Vol. 23, pp. 353-360. Dittmar, H., dan G. Ohland. 2004. The New Transit Town Best Practice in TransitOriented Development. Wasingthon, DC: Island Press. Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya. 2013. Pengembangan Transportasi di Kota Surabaya. Surabaya: Pemerintah Kota Surabaya. MKJI. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Marga – Kementerian Pekerjaan Umum. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian (suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka Cipta. Santoso, Singgih. 2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 14. Jakarta: Elex Media Komputindo. Ozbil, Ayse. 2012. The Effects on Urban Form on Walking to Transit. Proceedings: Eighth International Space Syntax Symposium. Paper Ref # 8030. Santiago deChile: PUC.
9