EDITORIAL
Penanggung Jawab Editorial............................. .1 Fokus ................................. 2 Fitur ................................... 9 Kronik .............................. 12 Refleksi ........................... 30 Agenda ............................ 32
Penanggung Jawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Wiwin Siti Aminah Tim Redaksi Elga Sarapung, Wiwin Siti Aminah, Wening Fikriyati Setting/ Layout Ryo Emanuel Dokumentasi Margareta E. Widyaningrum Keuangan Eko Putro Mardianto, Fita Andriani Diterbitkan oleh Institut DIAN/ Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia. Phone.:0274-880149. Fax.:0274887864 E-mail
[email protected] Facebook Institut DIAN/Interfidei Twitter @dian_interfidei Website http://www.interfidei.or.id
MEMASUKI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: TANTANGAN DAN ANCAMAN BAGI KEBERAGAMAN AGAMA DI ASIA TENGGARA
L
ebih dari satu dekade lalu, para pemimpin ASEAN sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 ini. Tujuannnya adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dan meningkatkan daya saing ASEAN sehingga bisa sejajar dengan negara-negara maju di kawasan Asia. Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, dan juga pasar tenaga kerja professional, tetapi juga membuka ruang bebas bagi meningkatnya keberagaman (kuantitas dan kualitas), termasuk keberagaman agama dan paham keagamaan. Salah satu dari tiga pilar MEA adalah berkaitan dengan social budaya di ASEAN sehingga dibentuklah Komunitas Sosial dan Budaya ASEAN yang bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan antar negara ASEAN dalam bidang sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesehatan. Ko-
Newsletter Interfidei Januari-Juni 2015
Entering the ASEAN Economic Community 2015: Threats and Challenges for the Religious Diversity in Southeast Asia
M
ore than a decade ago, the leaders of ASEAN agreed upon forming a single market in the Southeast Asian by the end of 2015. The purpose of this idea is to increase the economic stability and competitiveness in ASEAN so that it can compete with other developed countries in Asia. The establishment of this market, or now referred to as ASEAN Economic Community, aims not only to allow easier transaction of goods and services and professional workers, but also opens up possibility for the increase in the quantity and quality of diversity, including diversity in religious beliefs. One of the three pillars of the ASEAN Economic Community is concerned with socio-cultural matters in ASEAN, leading to the formation of the ASEAN Social and Cultural Community which aims to further the wealth of the ASEAN members in the aspect of culture, education, health, and social. This community is expected to realize a civilized society
1
Interfidei newsletter
Editorial munitas ini diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang beradab, saling menjaga toleransi antarnegara ASEAN, saling menghormati, menciptakan rasa persaudaraan yang lebih kuat serta menjungjung tinggi rasa kemanusiaan antar negara ASEAN. Bagi Indonesia, MEA 2015 tentu saja dapat memberikan harapan besar akan meningkatnya kesejahteraan dan keamanan rakyat. Akan tetapi, sejauh mana pemerintah Indonesia siap untuk mengimplementasikan MEA 2015. Tantangan dan ancaman seperti apa yang akan dihadapi dan perlu diantisipasi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, khususnya berkaitan dengan keberagaman. Bagaimana agar keberagaman agama dan budaya bangsa Indonesia dapat tampil sebagai kekuatan dalam mengisi MEA 2015. Pertanyaan-pertanyaan di atas coba dijawab dalam Newsletter Edisi Pertama tahun ini, khususnya dalam rubric Fokus dengan menampilkan dua artikel dari Ahmad Suaedy dan Ekrajh. Untuk Profil akan menampilkan JAKATARUB, sebuah komunitas antaragama di Bandung yang sangat aktif melakukan berbagai kegiatan dialog antaragama.
that prioritizes tolerance, respect, solidarity, and humanism between the members of ASEAN. To Indonesia, the ASEAN Economic Community 2015 gives better hope to the increase of health and public security. However, how ready is our government in implementing the ASEAN Economic Community 2015? What kinds of threats and challenges are to be faced by our nation and government, especially concerning diversity? How to make the diversity of religions and cultures as an element of strength for the upcoming ASEAN Economic Community 2015? The questions above are to be answered by the first edition of this year’s Newsletter, specifically in Focus rubric which presents an article from Ahmad Suaedy. The Profile rubric of this edition presents JAKATARUB, an interfaith community in Bandung that has been very active in many interfaith dialogue activities.
Selamat membaca!
Happy Reading!
Institut DIAN/Interfidei mengucapkan: - - - -
2
Selamat Tahun Baru Imlek Selamat Hari Raya Nyepi Selamat Hari Raya Paskah Selamat Hari Raya Waisak
Edisi Januari-Juni 2015
- Selamat Hari Raya Galungan - Selamat Hari Raya Idul Fitri - Selamat Hari Raya Kuningan
Edisi Januari-Juni 2015
Focus
Diskursus Minoritas Muslim di Asia Tenggara: Menyongsong Komunitas ASEAN 20151
Muslim Minority Discourse in Southeast Asia: Welcoming ASEAN Community 20151
Oleh Ahmad Suaedy (Direktur Institut Islam Asia Tenggara (ISAIs), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
by Ahmad Suaedy Director of ISAIs, Institut Islam Asia Tenggara (Institute of Southeast Asian Islam) State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Konteks Context Globalisasi di satu sisi telah melaGlobalization, on one side, has hirkan banyak perubahan dan keterbubrought forth a lot of changes and opkaan. Diantaranya terjadinya arus deras portunities, among which is the increasmigrasi dan pergeseran demografis yang ing migration and widening demographic meluas. Dimulainya Komunitas ASEAN shift. The establishment of ASEAN Com2015 akan mempercepat perubahan munity 2015 will hasten these changes Ahmad Suaedy dan pergeseran ini, tidak hanya di kawaand shifts, not only in ASEAN regions, san ASEAN, tetapi juga antara ASEAN dan negara but also in non-ASEAN territories. As a result, socinon ASEAN. Akibatnya masyarakat kian plural dan ety becomes increasingly plural and multicultural. multikultual. Di sisi lain, sebagai bagian akibat dari On the other side, as an implication of the globaliglobalisasi dan demokratisasi, kalangan minoritas zation along with democratization of society, the mulai menuntut agar mereka diperlakukan sama minorities start to demand for equal rights and dengan warga negara lainnya, karena selama ini treatment like the rest of the communities where mereka merasa tertindas, baik hak-hak individu- they belong. The reason for the demands is that nya maupun hak kolektifnya. they have been feeling abused, in both their colNamun demikian, setiap tempat atau wilayah lective and their individual rights. memiliki konteks yang berbeda-beda. Di negaraNevertheless, every place or territory has negara maju seperti Eropa dan Amerika, dan di different context that is unique. In developed kota-kota besar, minoritas biasanya adalah para countries like Europe or America, the minorities imigran. Namun di ASEAN minoritas umumnya mostly consist of immigrants. However, in ASEAN, adalah penduduk asli. Hanya tiga dari sepuluh ne- the minorities consist of the indigenous people as gara ASEAN yang mayoritas penduduknya Muslim. well. Only three out of ten ASEAN countries are Bahkan di tiga negara tersebut, beberapa negara Muslim-dominant countries. Interestingly, in some bagian atau provinsi, muslim merupakan minori- states or provinces of these three Muslim-domitas. Demikian pula, di negara-negara dengan ma- nant countries, Muslim is the minority. Conversely, yoritas non muslim, di beberapa negara bagian in certain states or provinces of ASEAN countries atau provinsinya, Muslim menjadi mayoritas. where non-Muslim are the majority, Muslim are the majority. Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar Regional diselenggarakan oleh Institut Islam Asia Tenggara (ISAIS), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta,Indonesia 24-26 September 2014
1
This article was presented in the Regional Seminar held by Institut Islam Asia Tenggara (ISAIS, Institute of Southeast Asian Islam), State Islamic University Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia on 24-26 September 2014
1
Edisi Januari-Juni 2015
3
Interfidei newsletter
Fokus Pertanyaannya bagaimana kita harus melihat minoritas Muslim di Asia Tenggara dan penelitian seperti apa yang dapat dirancang dalam rangka menyambut Komunitas ASEAN 2015?
The question then, is how to view the Muslim minority in Southeast Asia and what kind of study can be designed to welcome the ASEAN Community 2015?
Minoritas dalam Wacana Islam Sesungguhnya di dalam Islam hampir tidak ada wacana minoritas, atau setidaknya isu tersebut jarang dibahas secara serius dalam tradisi intelektual Islam. Akan tetapi paling tidak ada dua sisi yang perlu dibahas ketika mendiskusikan kelompok minoritas dalam Islam, yakni minoritas menurut Islam (non-Muslim atau dalam Islam sering disebut dzimmi) dan Muslim sebagai minoritas. Sisi yang kedua lebih menarik dibicarakan dan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Di dalam teks-teks klasik Islam, minoritas Muslim di negara-negara atau masyarakat non-Muslim jarang dibahas. Abul Fadl menulis bahwa sampai jatuhnya Kekaisaran Usmani, diskusi mengenai minoritas Muslim di negara-negara atau masyarakat non-Muslim lebih banyak membahas persoalan halal atau haram. Imam Hanafi, misalnya menurut Fadl, menyatakan bahwa Muslim dilarang tinggal di negara-negara atau masyarakat non muslim karena takut adanya diskriminasi dan pelarangan menjalankan ibadah islam. Dengan kata lain, pembahasan tersebut sangat berorientasi fiqih. Saat ini telah muncul Fiqh Aqalliyat (fiqh minoritas), yakni hukum bagi Muslim yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau negara-negara sekuler sebagai imigran. Namun demikian tidak ada pembahasan mengenai hukum bagi warga minoritas pribumi Islam yang tinggal di negara-negara non Muslim atau sekluer seperti di Asia Tenggara. Para penulis Indonesia mengenai Fiqh Aqalliyat pun justeru hanya fokus membahas tentang kaum minoritas Muslim di Barat.
Minority in the Discourse of Islam Actually, Islam barely contains any discourse regarding Minority, or to put it simply, the issue is not extensively discussed in the intellectual tradition of Islam. However, there are at least two aspects to be considered when discussing the minority group in Islam: Minority according to Islam (non-Muslim, or often referred to as dzimmi in Islam) and Muslim as minority. The later will be the focus of this article. In the classic Islamic texts, Muslim minority in non-Muslim countries or societies is seldom discussed. Abul Fadl states that until the fall of the Ottoman Empire, the discussion on Muslim minority in non-Muslim societies mostly focuses on the issues of halal and haram. Imam Hanafi, according to Fadl, states that Muslims are forbidden to stay in non-Muslim societies or countries due to the worry of being deprived of the right to perform the teachings of Islam. In other words, the discussion is very fiqh-oriented. Recently, there has been the issuing of Fiqh Aqalliyat (fiqh of the minority), which is an Islamic law for the Muslim living in secular or non-Muslim societies as immigrants. However, there is no discussion about similar law for the indigenous Muslim minority living in secular countries in Southeast Asia. On the topic of Fiqh Aqalliyat, Indonesian writers tend to focus on the discussion in the context of Muslim minority in Western society.
Bangsa dan Kewarganegaraan: Sebuah Perspektif Ketika membahas minoritas, sesungguhnya kita membahas soal kewarganegaraan. Dalam demokrasi dan hak asasi manusia, prinsip yang paling
4
Edisi Januari-Juni 2015
Nation and Citizenship: A Perspective When engaging the topic of minority, we actually discuss about the matter of citizenship. In the context of democracy and human rights, the most fundamental principle is the equal treatment of citizens regardless of religion, race, or gender. In the discourse of Islam, the term ummah is more
Edisi Januari-Juni 2015
penting adalah perlakuan yang sama setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan, tanpa membedakan agama, suku, ras atau jenis kelamin. Di dalam wacana Islam, terminologi ummah lebih popular dibandingkan dengan “kewarganegaraan”. Sedangkan konsep ummah mengabaikan pembahasan tentang minoritas Muslim dan juga wacana tentang minoritas non-Muslim, kecuali dalam diskursus klasik seperti dzimmah. Organisasi Konferensi Islam (OKI) misalnya, yang merupakan gerakan global dari negara-negara Islam, pada awalnya bahkan tidak menempatkan minoritas Muslim salah satu fokusnya. Baru pada tahun 1970-an, di bawah kepemimpinan Khadafi, presiden Libya, minoritas muslim mulai mendapatkan perhatian, dalam kasus konflik di Mindanao, Filipina Selaran dan Muslim Patani, Thailand Selatan. OKI baru memberi perhatian terhadap minoritas Muslim hampir bersamaan dengan pembentukan Yayasan Minoritas Muslim di Eropa dan Jurnal Minoritas Muslim. Akan tetapi tidak jelas, apakah keduanya berhubungan atau tidak. Sejumlah artikel mengenai minoritas Muslim di Asia Tenggara, dengan ekspresi lokal, dan hubungan antara keduanya mulai muncul, khususnya dari para penulis Perancis dan Belanda, serta artikel di Journal of Muslim Minority Affairs dan buku Indonesia and the Malay World (Routledge, 2010), buku untuk memperingati 50 tahun studi mengenai Malaya oleh beberapa akademisi Inggris. Namun demikian, karena sebagian besar ditulis oleh para akademisi Barat, maka wacana dalam Islam sendiri terabaikan dalam karya-karya tersebut. Ada seorang Muslim yang telah menulis banyak mengenai minoritas Muslim di Asia, tidak hanya wilayah ASEAN, yaitu Umar Farouk, seorang Profesor asal Malaysia di Hiroshima City University. Namun, sebagai seorang ahli dalam bidang perbandingan politik, ia juga cenderung tidak mengeksplorasi wacana doktrin Islam dan hubungannya minoritas dengan kewarganegaraan.
Focus popular compared to the term “citizenship”. On the other hand, the concept of ummah waives the issue of Muslim minority as well as the discourse of non-Muslim minority, except in the classic discourse like dzimmah. The Organisasi Konferensi Islam (OIC-Islam Conference Organization), a united movement of Muslim countries, for example, did not put the issue of Muslim minority as its focus at the beginning. Only until 1970, under the leadership of Khadafi as the President of Libya, that the issue regarding Muslim minority gained proper recognition; especially in regard to the conflict in Mindanao, South Philippines and the Muslim of Patani, Southern Thailand. OIC just gave recognition to the problem of Muslim minority at almost the same time of the formation of Muslim Minority Foundation in Europe and creating of Journal of Muslim Minority Affairs. However, it is unclear whether there was a causal relation regarding the events and the recognition. A handful of articles regarding Muslim minority in Southeast Asia, with local expression, and the relationship between them has surfaced; especially the ones written by French or Dutch authors in Journal of Muslim Minority Affairs and in the book Indonesia and the Malay World (Routledge, 2010), a book which is dedicated to commemorate the 50 years of Malayan study by several British academicians. However, since most of them are written by Western academicians, the Islamic context itself seems to be ignored in these writings. Umar Farouk, a Malaysian Professor of Hiroshima City University, is among the Muslim interested in writing numerous articles on the issue of Muslim minority in Asia in general, not only in ASEAN. Yet, despite his expertise in comparative politics, even Farouk also tends to be pervasive regarding the exploration of the discourse of Islamic doctrine in its relation with the issue of minority and nationality.
Edisi Januari-Juni 2015
5
Interfidei newsletter
Fokus Minoritas Muslim ASEAN: Beberapa Kasus Minoritas Muslim di masing-masing negara memiliki masalah yang berbeda-beda. Demikian juga, setiap negara menghadapi minoritas Muslim yang berbeda-beda pula. Namun demikian, ada kemiripan yang kuat dan cukup mendalam mengenai perjalanan sejarah Islam di hampir semua negara ASEAN, meskipun di masing-masing tempat mengalami kedalaman dan pengaruh agama yang bebeda-beda dalam masyarakatnya. Faktor yang paling penting dalam perjalanan sejarah, termasuk sejarah Islam, adalah nasionalisme modern dan negara bangsa. Namun demikian, pada titik ini perhatian para intelektual Muslim telah beralih ke menciptakan teori baru tentang masyarakat Islam atau ummah. Wacana tentang minoritas Muslim berkaitan dengan kewarganegaraan mencakup wacana minoritas non-Muslim dalam Islam dan wacana kewarganegaraan di negara-bangsa pada umumnya. Oleh karena itu membahas minoritas Muslim, juga harus membahas minoritas non-Muslim. Di negara-negara mayoritas Muslim, akhir-akhir ini muncul sebuah fenomena baru yakni adanya penolakan terhadap aliran “baru” dan “lokal”. Tindakan yang berbeda telah diambil oleh tiga negara yang berbeda: 1) Brunei Darussalam, kehadiran mereka dicegah mulai dari dan melalui Konstitusi; 2) Malaysia mencegahnya melalui undang-undang dan kebijakan pemerintah yang represif; 3) Indonesia dalam bentuk oportunisme pemerintah terhadap tuntutan kaum radikal dan mengakomodasi aspirasi mereka dalam hukum dan kebijakan. Di negara bagian atau provinsi dimana Muslim menjadi minoritas seperti di Mindanao dan Patani, meeka telah mengalami warisan dominasi kolonial dan demokrasi mayoritas hegemonik dengan berbagai persoalan kunci seperti pengalihan kepemilikan tanah, monopoli atas pengelolaan sumber daya alam, dan pemerintahan yang sentralistik oleh pemerintah pusat. Sehingga mereka termarginalsiasi. Sedangkan di negara-negara di mana mereka menjadi minoritas sangat kecil dan tersebar, na-
6
Edisi Januari-Juni 2015
ASEAN Muslim Minority: Several Cases Muslim minority in each country faces different problems. In turn, every country also handles different kinds of Muslim minority. However, there is a potent and profound common factor in the historical journey of Islam in almost all of ASEAN countries, despite the diversity in the profanity and influence of the different religions within the communities. The most important factors in the historical journey of Islam, including the history of Islam, are the concepts of modern nationalism and state nation. Even so, at this point, the focus of the Muslim intellectuals have shifted to developing new theories regarding the society of Islam or ummah. The discourse of Muslim minority in regards to nationality includes the discourse of non-Muslim Minority in Islam and the discourse of nationality in state-nations in general. Thus, the discussion of Muslim minority has to take the issue of non-Muslim minority into consideration as well. In Muslim-dominant countries, there has been a new phenomenon of rejecting “new” and “local” sect/denomination. Different moves have been taken by three different countries: 1) Brunei Darussalam, their existence is made illegitimate starting from and through constitutions, 2) Malaysia, their existence is prevented through repressive government legislations and policy, 3) Indonesia, their existence is prevented through the opportunistic move of the government which accommodates the aspirations and demands from the radical groups through certain legislations. In the states or provinces where Muslim is the minority like in Mindanao and Patani, the Muslims experienced a colonial domination and hegemonic majority democracy with key issues such as land ownership transfer, natural resources monopoly, and centralistic governance by the central government. Thus, they are marginalized. Meanwhile, in countries where their number is really small and are spread throughout the territories, they have to rely heavily on the political sys-
Edisi Januari-Juni 2015
Focus
sib mereka lebih banyak bergantung pada sistem politik dan kelompok-kelompok yang berkuasa. Di Kamboja misalnya, ia lebih akomodatif karena hubungan pribadi dan partai PM Hun Sen dengan kelompok Islam. Di Vietnam situasinya mirip dengan di negara-negara komunis lainnya. Di Myanmar, negara yang sedang mengalami masa transisi ke arah demokrasi, segalanya menjadi lebih buruk. Bahkan, sejumlah pemimpin Buddha ikut terlibat dalam diskriminasi dan propaganda anti Islam.
tem set by the ruling parties. In Cambodia, for example, the condition is more accommodative due to the personal and political relationship of Prime Minister Hun Sen party with the Islamic group. In Vietnam, the condition is pretty much the same as in other communist countries. In Myanmar, a country that is undergoing a transition to democracy, everything is even worse; Buddhist leaders are even involved in the acts of discrimination and anti-Islam propaganda.
Fiqih Aqalliyat di Asia Tenggara? Jika fiqh diterjemahkan sebagai “ilmu pengetahuan” bukan hanya “sebuah panduan praktis bagi etika perilaku individu” akan sangat menarik untuk melihat fiqh aqalliyat dalam konteks Asia Tenggara. Fiqh Aqalliyat di ASEAN harus berbeda dari Fiqh Aqalliyat yang berkembang di Barat atau negara maju. Fiqh Aqalliyat di Barat, menurut Yusuf Qordhowi dan Jasser Audah (Timur Tengah), lebih berorientasi pada perilaku etis dan ibadah murni dalam Islam, seperti shalat, pertemuan Jumat, puasa, tempat ibadah, kuburan dan makanan halal. Tuntutan minoritas di negara-negara Asia Tenggara atau negara-negara yang belum maju lainnya cenderung lebih berorientasi pada masalah ekonomi, sosial dan politik daripada perilaku atau ibadah praktik keagamaan. Secara umum ada beberapa aspek penting berkaitan dengan hak-hak minoritas Muslim di negara-negara belum maju sesuai dengan tuntutan lokal masing-masing. Hak untuk memiliki pemerintahan sendiri dan untuk memilih kepemimpinan mereka sendiri. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah di mana ada mayoritas Muslim menempati wilayah tertentu local seperti di Mindanao dan Patani; Hak untuk mengelola sumber daya alam demi kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat setempat, tanpa mengabaikan kontribusinya bagi kesejahteraan nasional dan pengalihan hak atas tanah (Mindanao & Patani); dan mungkin Rohingya di Arakan, Myanmar. Hal ini mirip dengan yang ter-
Fiqh Aqalliyat in Southeast Asia If fiqh is translated as “Science” not only “a practical guidance on the ethics of individual behavior,” then it would be very interesting to understand fiqh aqalliyat in the context of Southeast Asia. Fiqh Aqalliyat in ASEAN must be different from the one in developing and Western countries. Fiqh Aqalliyat in the West, according to Yusuf Qordhowi and Jasser Audah (Middle East) is more oriented on the ethical behavior and pure practices in Islam such as prayer/ shalat, Friday gathering, fasting, Mosque, cemetery, and Halal consumables. On the other hand, the demands of the Muslim minority in Southeast Asia and other developing countries are more oriented towards the economic, social and political problems, in comparison to religious practices. In general, there are several crucial aspects regarding Muslim minority rights in non-developed countries in accordance with the respective local demands: The right to have independent government and to choose its leader independently. This demand primarily happens in areas where there are Muslim majority occupying a particular local area like in Mindanao and Patani; The right to natural resource management for the better good of the local society, without waiving its contribution to national wealth and land ownership transfer (Mindanao and Patani); and maybe Rohingya in Arakan, Myanmar. This is similar to the case of Papuan society who are mostly non-Muslim in Indonesia as a Muslim-dominant country. Edisi Januari-Juni 2015
7
Interfidei newsletter
Fokus jadi pada masyarakat Papua yang sebagian besar non Muslim di Indonesia yang mayoritas Muslim. Hak untuk berekspresi, beribadah menurut keyakinan masing-masing, dan hak-hak dasar lainnya. Hal ini terutama terjadi di negara-negara yang mengalami transisi demokrasi seperti Kamboja dan Myanmar. Hak asasi manusia dan perlindungan agama dan keyakinan serta tempat-tempat ibadah. Hal ini terutama terjadi di negara-negara komunis seperti Vietnam. Kebebasan berkeyakinan dan berekspresi bagi agama minoritas dalam Islam itu sendiri. Hal ini terjadi di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei. Hak untuk bekerja dan tindakan afirmatif diperlukan di negara-negara di mana Muslim menjadi minoritas yang signifikan (dalam jumlah dan kapasitas) seperti di Singapura, Laos dan kota-kota besar lainnya, termasuk di negara luar ASEAN seperti Papua Nugini dan Timor Leste. Semua ini belum memperhitungkan migrasi besar-besaran ke daerah tertentu, seperti umat Islam ke Papua dan Nusa Tenggara Timur atau umat Kristen ke kota-kota besar seperti Jakarta. Kesimpulan dan Rekomendasi: Wacana mengenai minoritas Muslim dalam tradisi intelektual Islam masih berorientasi pada negara maju daripada terhadap isu-isu di negaranegara Muslim sendiri (lokal / nasional / regional) Perlu dilakukan penelitian mengenai komunitas minoritas Muslim di berbagai daerah untuk memahami karakter dan tuntutan mereka di masingmasing konteks. Komunitas ASEAN 2015 menghadirkan sebuah tantangan untuk membahas dinamika dan kemungkinan adanya solusi baru di berbagai daerah. Perlu ada kerjasama antara lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian dalam rangka merayakan Komunitas ASEAN 2015 dan membangun masyarakat yang sejahtera dan dinamis, dan juga harmonis.
8
Edisi Januari-Juni 2015
The right to express, to worship according to their respective beliefs, and to get other basic rights. This mainly happens in countries undergoing democratic transition such as Cambodia and Myanmar. The Basic Human Rights and the protections of religions and beliefs as well as the worshiping places. This is mainly the case in communist countries like Vietnam. The freedom of religious expression and faith for minority groups within Islam itself. This is the case in Muslim-dominant countries like Indonesia, Malaysia, and Brunei. The right to work and to do affirmative actions in countries where Muslim as the significant minority (in number and capacity), like in Singapore, Laos, and other big cities in non-ASEAN countries such as Papua New Guinea and East Timor. These demands have not considered the surge of migration to certain areas, like the migration of Muslim to Papua and East Nusa Tenggara or the migration of the Christian to big cities like Jakarta. Conclusion and Recommendations The discourse of Muslim minority in the intellectual tradition of Islam is still oriented towards the issues in developed countries instead of to the issues in Muslim-dominant countries (local/national/regional) There is a necessity to conduct research on Muslim minorities in various areas to better understand each of their characteristics and demands in different contexts. ASEAN Community 2015 has brought a new challenge to discuss the dynamics and the possibility of new solutions in many places. There is a demand to establish cooperation between higher education bodies and research bodies in regards of ASEAN Community 2015 commemoration in order to build a wealthy, dynamic, and harmonic society.
Edisi Januari-Juni 2015
JARINGAN KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA (JAKATARUB)
D
i tengah tingginya kasus intoleransi di Jawa Barat, terdapat sekelompok pemuda dan masyarakat di kota Bandung yang membentuk wadah silaturahmi sekaligus menjadi jejaring lintas agama, sebuah gerakan yang terus berupaya menyemaikan benih-benih perdamaian dan toleransi. Mereka menamakan jaringan tersebut sebagai Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama (JAKATARUB). JAKATARUB bermula dari serangkaian workshop tentang keberagaman dan toleransi yang diadakan Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) dan Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) pada 10-12 November 2000 di Pesantren Al-Wasilah, Garut dan pada 20-22 April 2001 di Vihara Vipassana Graha, Lembang.
Feature JAKATARUB, JARINGAN KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA (COOPERATIVE NETWORK OF INTERRELIGIOUS COMMUNITIES)
A
midst the high number of religious intolerance cases in West Java, a group of youth in Bandung built a network to connect people of different religious beliefs. This network intends to grow the seeds of peace and tolerance in society. The youth named the network as JAKATARUB, Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama (Cooperative Network of Inter-Religious Communities). JAKATARUB was originated from a series of workshops on religious diversity and tolerance held by the Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) and Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA, Society of Inter-Religious Communication) on 10-12 November 2000 at Pesantren Al-Wasilah, Garut; and also on 20-21 April 2001 at Vihara Vipassana Graha, Lembang, West Java.
Edisi Januari-Juni 2015
9
Interfidei newsletter
Fitur Workshop ini muncul dari niatan para tokoh agama serta budayawan nasional dan Jawa Barat yang disokong oleh alm. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tujuan diadakannya workshop adalah demi mendorong kerukunan agama dalam konteks pengenalan yang mendalam sekaligus kerja sama yang strategis. Sambutan pun sangat luas. Acara ini dihadiri oleh sejumlah pemimpin agama dan kaum muda dari berbagai komunitas keagamaan di Jawa Barat. Para peserta ini kemudian bersepakat untuk membentuk suatu jaringan kerja antar umat beragama. Pada 12 Mei hingga 30 Juni 2001 diadakan beberapa kali pertemuan berkala yang difasilitasi Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Bandung untuk mendiskusikan pendirian jaringan tersebut. Nama JAKATARUB dipilih selain karena merupakan akronim dari Jaringan Kerja Antar Umat Beragama, juga homonim dengan nama tokoh dalam mitologi Jawa: Jaka Tarub. Analogi yang ingin ditekankan adalah sebagaimana Jaka Tarub mengintip para bidadari yang turun dari Kahyangan, umat beragama di Indonesia perlu untuk berani ‘mengintip’ satu sama lain demi menghadirkan kerukunan dan perdamaian dalam pengenalan yang mendalam. Visi dan Ciri Jaringan JAKATARUB bertujuan untung menghadirkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama dengan pengenalan yang mendalam antar satu sama lain. Jaringan ini menekankan pergerakannya pada bidang budaya dan penguatan kesadaran masyarakat. JAKATARUB bersifat independen, tidak bera-
10
Edisi Januari-Juni 2015
These workshops were initiated by groups of religious figures and national and West Java culturalists, with the support of the late K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). The aim of having these workshops is to encourage harmony between religious communities through in-depth introduction as well as strategic cooperation. The workshops, attended by several religious figures and youth from various religious communities in West Java, were well-received. The participants of the workshops agreed upon forming a network between religious communities. Regular meetings to discuss the formation of the cooperative network were then held from 12 May to 30 June 2001. The meetings were facilitated by Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria (Catholic Church of the Immaculate Heart of Saint Mary). The name JAKATARUB was selected for, apart from being a proper acronym of Jaringan Kerja Antar Umat Beragama, it also refers to a character from the Javanese Mythology: Jaka Tarub. Just like Jaka Tarub, who peeked on the nymphs descending from heaven, the emphasized analogy from the choosing of the name is to encourage the religious communities to “peek” on one another for the sake of creating harmonious and peaceful coexistence within profound understanding. Vision and Characteristics of Network JAKATARUB aims to create tolerance and harmony between religious communities through profound understanding between one another. The network emphasizes its movements on cultural aspects and the improvement of public awareness.
Edisi Januari-Juni 2015
filiasi dengan partai poltik atau ada di bawah lembaga lainnya. Fokus Jaringan dan Kegiatan Mulai 2014 JAKATARUB memusatkan semua aktivitas dan produknya pada tema: Diskusi teologis Elaborasi Seni dan Budaya Kampanye Media Pengayaan Konsep dan Wawasan Kebangsaan Berbagai kegiatan telah diselenggarakan oleh JAKATARUB. Mulai dari perayaan hari toleransi internasional bertema Bandung Lautan Damai tahun 2013 dan 2014, diskusi antarkepercayaan (dalam setahun setidaknya digelar 7 kali), tur rumah ibadah, silaturahmi hari besar keagamaan, bedah buku, seminar, sampai diskusi dan pagelaran film terkait tema-tema budaya. Selain itu tiap tahun JAKATARUB juga mengadakan Kamp pemuda lintas iman (Youth Interfaith Camp). Tidak hanya kelompok agama dan penghayat kepercayaan saja yang mereka rangkul. Kelompok masyarakat yang tidak beragama juga mereka undang untuk terlibat, bahkan menjadi pembicara dalam diskusi antarkepercayaan. Pada tahun 2013 lalu, JAKATARUB juga menginisiasi proyek pembuatan buku Dialog 100 yang digagas oleh salah satu anggotanya, yaitu Rio Tuasikal. Buku tersebut berisi 100 kisah persahabatan lintas Iman. Kisah-kisah tersebut merupakan kumpulan pengalaman seputar upaya menolak kebencian, merobohkan prasangka, dan membibit persaudaraan. Seluruh kisah yang ada dalam buku DIALOG 100 adalah nyata, ditulis personal dengan gaya sehari-hari oleh 100 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Tahun 2014 lalu, buku tersebut akhirnya diterbitkan oleh Institut DIAN/Interfidei dan telah didiskusikan di berbagai kesempatan dalam rangka mempromosikan nilai-nilai perdamaian.
Chronicles JAKATARUB is an independent body that is not affiliated with any political parties, or serving under other organizations. Network Focus and Activities Since 2015, JAKATARUB based its entire activities and products on the following themes Theological discussion Art and Cultural Elaboration Media Campaign Enrichment of the Concept of Nationality Numerous activities have been held by JAKATARUB. They range from celebration of the international tolerance day adopting the theme of Bandung: the Sea of Peace in 2013 and 2014, interfaith discussion (held at least 7 times a year), visit to the places of worship, religious holidays gathering, book discussion, seminar, to culturally-themed film discussion and performance. Furthermore, JAKATARUB also hold Youth interfaith Camp annually. The network does not only reach out to religious communities, but also reaches out to non-religious communities. These non-religious communities are also invited to be involved, and even to become presenters in the interfaith discussions. On 2013, JAKATARUB also initiated a project of the book “Dialog 100”, which was initiated by one of its members, Rio Tuasikal. The book contains 100 stories of interfaith friendships. The stories revolve around the theme of rejecting hate, destroying prejudice, and strengthening social bond. All the stories in “Dialog 100” are true stories which are written personally applying casual style of writing from 100 people of different regions in Indonesia. In 2014, the book was finally released by the Institute DIAN/Interfidei and has since been discussed on several occasions in order to promote the values of religious tolerance and peace.
Edisi Januari-Juni 2015
11
Interfidei newsletter
Kronik RAPAT PENGURUS DAN PERENCANAAN STRATEGIS INSITUTE DIAN/INTERFIDEI
P
ada tanggal 17 – 18 Januari 2015, Interfidei telah berhasil menyelenggarakan Rapat Pengurus Yayasan Institut DIAN/Interfidei dilanjutkan dengan acara Perencanaan Strategis Interfidei untuk lima tahun ke depan. Pada hari pertama, pengurus Yayasan yang dihadiri oleh 12 orang, mendengarkan dan menanggapi hasil laporan kegiatan Interfidei selama kurun waktu 2013-2014. Setelah dipaparkan dengan detail, kemudian Pengurus Yayasan mengesahkan hasil laporan tersebut. Sore harinya dan diteruskan pada hari kedua, pertemuan dilanjutkan dengan membahas perencanaan strategis Interfidei untuk lima tahun ke depan (2015-2020). Disepakati visi Interfidei ke depan adalah “Terwujudnya Indonesia yang pluralis, demokratis, berkeadilan, bebas dari ketakutan, penindasan dan diskriminasi, dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian”. Sedangkan misi Interfidei adalah “Menempatkan agama pada proporsinya dan memperkuat nilai-nilai Ke-Indonesiaan dalam praktek beragama melalui pendidikan, dialog, penguatan jaringan, penyebaran narasi damai dan nirkekerasan, dan advokasi”. Selain itu, disepakati juga motto Interfidei adalah “Mempertemukan hati dengan dialog”. Pertemuan ini juga berhasil merumuskan bersama isu strategis, strategi dan program serta kegiatan Interfidei untuk lima tahun ke depan. (WR)
12
Edisi Januari-Juni 2015
BOARD MEETING AND STRATEGIC PLANNING OF INSTITUTE DIAN/INTERFIDEI
O
n 17-18 January 2015, Institute DIAN/Interfidei held a board meeting followed by a strategic planning for the next five years. On the first day, the twelve members of the board attended and responded to the presentation of Interfidei’s activity reports for the period of 20132014. After the presentation was done in detail, the board then ratified the content of the reports. The meeting was then followed by the institute’s strategic planning for the next five years (2015-2020) which started in the afternoon of the first day and continued to the second day. It was agreed upon that the vision for Interfidei institute for the next period is “Realizing an Indonesia that is plural, democratic, just, free from terror, abuse, and discrimination, while prioritizing peace and humanistic values.” Furthermore, it was established that the new mission of Interfidei for the new period is “To put religion in its proportion by strengthening the national values of Indonesia in religious practice through education, dialogue, network, peace and anti-violation campaign, as well as advocacy.” Moreover, it was agreed upon that the motto of Interfidei is “Converging hearts through dialogue.” The meeting also yielded other results like formulating strategic issues, program, and activities for the Institute to conduct in its next 5 year-period. (WR)
Edisi Januari-Juni 2015
DISKUSI TENTANG “DAMPAK PERUBAHAN DEMOGRAFI MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP DINAMIKA PERBEDAAN”
Y
ogyakarta kini mengalami banyak perubahan dalam 10 tahun terakhir. Meski terkenal sebagai City of Tolerance, beberapa konflik antar agama dan antar etnis sempat mewarnai kehidupan masyarakat Yogya. Kasus pembubaran paksa pengajian dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada 2012, penolakan paskah bersama di Gunung Kidul pada 2014, hingga kasus Florence yang menggemparkan dunia maya tahun lalu adalah sinyal merebaknya sikap intoleran di kalangan masyarakat. Pada 19 Januari 2015 Interfidei mengadakan diskusi untuk menyoroti persoalan tersebut. Diskusi yang mengangkat tema “Dampak Perubahan Demografi Masyarakat Yogyakarta terhadap Dinamika Perbedaan” dilaksanakan di Universitas Kristen Duta Wacana. Pembicara dalam diskusi tersebut antara lain, Agus Indiyanto (Antropologi UGM), Amran Ampulembang (Direktur Intel Keamanan POLDA DIY), dan Arie Sujito (FISIPOL UGM) dengan moderator Elga Sarapung. Agus Indiyanto memaparkan data perubahan demografi penduduk di Yogyakarta berdasarkan agama dan mengingatkan adanya potensi konflik dari perubahan demografi tersebut karena rentan disalahgunakan pihak tertentu untuk membangun prasangka terhadap agama lain. Selain itu Agus juga membahas perubahan tata ruang Yogya yang memicu konflik di kehidupan sehari-hari seperti kemacetan. Menurut Agus, diperlukan ruang interaksi simbolik di Yogya. Sementara itu, Arie Sudjito menilai problem-problem struktural yang terjadi di masyarakat diperkuat oleh kecenderungan pelayanan publik yang buruk. Orang menjadi mudah
Chronicles A DISCUSSION ON“THE IMPACT OF YOGYAKARTA SOCIETY DEMOGRAPHIC CHANGES ON THE DYNAMICS OF DIFFERENCES”
Y
ogyakarta has been experiencing a lot of changes in the past 10 years. Despite of its fame as the City of Tolerance, several inter-religious conflicts as well as conflicts between ethnics has its portion in tinting the life of the people of Yogya. The case of forced dismissal of the Indonesian Ahmadiyah praying activity in 2012, a refusal of allowing an Easter celebration in Gunungkidul in 2014, and the case of Florence, which stroke the cyber world last year are signs of the spreading of intolerance among the people. On 19 January 2015 Interfidei held a discussion to highlight these problems. A discussion themed “The Impact of Yogyakarta Society Demographic Changes on the Dynamics of Differences” was held at Universitas Kristen Duta Wacana. The speakers of the discussions are Agus Indiyanto (Anthropology, UGM), Amran Ampulembang (the Security Intelligence Director of DIY PD), and Arie Sujito (Faculty of Social and Political Science, FISIPOL UGM). The discussion was moderated by Elga Sarapung. Agus Indiyanto explain the data on the citizen demographic changes in Yogyakarta based on their religions and reminded the participants on the possibility of conflict arising from these changes for its vulnerability to be misused by some parties to build prejudice towards other religions. Agus also explain about the city layout changes which triggered conflicts in the daily lives such as traffics. According to Agus, a symbolical interaction place is needed in Yogya. Meanwhile, Arie Sudjito considered that the structural problems happening in the society is supported by the tendency of bad Edisi Januari-Juni 2015
13
Interfidei newsletter
Kronik jengkel dan cenderung mengamankan diri dengan sikap eksklusif atau tindakan kriminal. Ditambah lagi peran intelektual, pemimpin, dan tokoh agama yang semakin jarang membicarakan isu-isu publik membuat orang jadi apatis. Pada akhirnya forum untuk membicarakan masalah publik pun semakin surut. Menanggapi persoalan yang dipaparkan oleh narasumber lainnya, Amran Ampulembang mengatakan pihaknya bersama kepolisian juga memonitor potensi konflik dan melakukan mediasi sebelum konflik itu terjadi. Diakui Amran, terkadang polisi menghadapi dilema saat melakukan upaya penegakan hukum. “Dalam konteks kehidupan ini, tidak ada konsekuensi yang nol. Semua ada konsekuensinya. Apakah itu kecil atau besar pasti ada konsekuesinya,” ungkap Amran. (WF)
public service. People were getting irritated easily and had a tendency of securing themselves by being exclusive or by committing crimes. On top of that, the intellectuals, leaders, and religious leaders were seldom discuss the public issues which resulted in people’s apathy. Eventually, there were more forums to discuss these public issues. In response to the previously discussed problems, Amran Ampulembang stated that his party along with the police also monitored these potential of conflicts and conducted mediation before they happened. Amran admitted that sometimes the police were faced with a dilemma in the attempt to hold the law. “In this life context, there is no zero consequence. Everything has a consequence whether it is a big one or a small one,” said Amran.
SEMINAR “MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA”
SEMINAR ON REINVENTING INDONESIA
K
oalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) mulai bekerja sejak tahun 2008 untuk mendorong pembentukan sebuah komisi kebenaran, mengkritisi dan mendampingi lembaga negara yang membuat undangundang untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Setelah sekian lama menanti tanpa hasil, KKPK berinisiatif untuk menggelar proses pengungkapan kebenaran yang disebut Tahun Kebenaran. KKPK terdiri dari 47 organisasi masyarakat sipil, termasuk pegiat HAM di tingkat nasional dan daerah serta organisasi korban, salah satu di antaranya adalah Institut DIAN/Interfidei. Selama “Tahun Kebenaran”, KKPK mendokumentasikan sejumlah peristiwa kunci: kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam operasi militer, perampasan sumber daya alam, kekerasan terhadap pembela HAM, kekerasan yang dilakukan dengan alasan perbedaan ideologi dan agama, dan kekerasan atas nama ketertiban umum. Tema-
14
Edisi Januari-Juni 2015
K
oalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (Coalition for Justice and Uncovering of Truth – KPKK) since 2008 had worked to facilitate the formation of a truth commission. The coalition had been criticizing and accompanying the state body capable of the formulation of the truth commission and the disallowed reconciliation by the Constitutional Court in 2007. After long and fruitless waiting, the KPPK initiated to hold a truth uncovering process in a commemoration called the Year of Truth. KPKK itself consists of 47 civil organizations, including human right activists on national and regional level, along with victim organizations, including Institute DIAN/Interfidei. During the Year of Truth, KPKK documented some key events: violence against women, violence in military operation, plundering of natural resources, violence against human right activists, violence due to ideological and religious difference, and violence on behalf of public order. These
Edisi Januari-Juni 2015
tema itu, secara terbuka dibicarakan dalam bentuk kegiatan “mendengar kesaksian” korban yang selama ini, pengalaman dan suara mereka disangkal, tidak didengar, bahkan dimatikan. Acara “mendengar kesaksian” terselenggara di beberapa daerah sejak Oktober 2013 (Aceh, Palu, Solo, Kupang, Papua), dan secara terbuka berlangsung di Jakarta pada akhir November 2013. Hasil dari seluruh kerja pendokumentasian kegiatan-kegiatan di atas, ditambah dengan bahanbahan yang ditelusuri dan dikaji lebih jauh, mendalam yang diperoleh melalui berbagai sumber pustaka (buku, arsip sejarah, cerita pengalaman, dokumentasi visual), ditulis, dan diterbitkan menjadi 2 buku : 1) Menemukan Kembali Indonesia: Suara Korban Membebaskan Belenggu Kekerasan Masa Lalu; 2) Menemukan Kembali Indonesia: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. Kedua buku ini didiskusikan dalam seminarseminar di berbagai daerah, antara lain di Yogyakarta. Seminar di Yogyakarta berlangsung pada tanggal 29 Januari 2015, dalam kerjasama antara beberapa lembaga: Pusdema - LPPM USD, KKPK, Institut Dian/Interfidei, Syarikat Indonesia, Pussaka Institut, KIPPER, dengan narasumber: Galuh Wandita, Stanley Adi Prasetyo dan Dr. Antonius Herujiyanto. Dihadiri kurang lebih 100 orang (dosen, mahasiswa, korban & penyintas, masyarakat sipil, pemerintah -Kepala Kementerian Agama DIY). Acara tersebut diselingi dengan tembang mocopat ibu-ibu KIPPER. (ES)
Chronicles themes were openly discussed in a certain “Testimony Hearing” from victims whose claims and complaints had been refuted, denied, and even killed. The testimony had been held in several regions since October 2013 (Aceh, Palu, Solo, Kupang, and Papua) before it was held openly in Jakarta during November 2013. The documentation of the activities above, in addition to other reviewed materials (books, archives, testimonies, visual documentation) had been formulated and published into two books: 1) Menemukan Kembali Indonesia: Suara Korban Membebaskan Belenggu Kekerasan Masa Lalu (Rediscovering Indonesia: Voices of Victims Freeing the Shackles of Past Violence); 2) Menemukan Kembali Indonesia: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas (Rediscovering Indonesia: Understanding Forty Years of Violence to Break the Chain of Impunity). The two books had been the discussion topic of multiple seminars held in various areas, among which is Yogyakarta. The seminar in Yogyakarta was held on 29 January 2015 in a cooperation with several attending organizations: Pusdema – LPPM USD, KPKK, Institute DIAN/Interfidei, Syarikat Indonesia, Pussaka Institute, and KIPPER. The presenters of the seminar were: Galuh Wandita, Stanley Adi Prasetyo, and Dr. Antonius Herujyanto. It was attended by approximately 100 participants, consisting of lecturers, college students, civilians, victims and survivors, and the head of Ministry of Religious Affair of Yogyakarta. The event was also interspersed by mocopat (Javanese traditional song or poetry) performance from KIPPER. (ES)
Edisi Januari-Juni 2015
15
Interfidei newsletter
Kronik LOKAKARYA TAHAP II GURU-GURU AGAMA DAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SE-SULAWESI TENGAH
I
nstitut DIAN/interfidei bekerja sama dengan Yayasan Al-Khairat dan Bidang Keesaan Sinode Gereja P rotestan Indonesia Donggala mengadakan Lokakarya Tahap II Guru-guru Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan pada tanggal 10 – 12 Februari 2015 di Hotel Golden Palu. Kegiatan yang mengambil tema “Mengelola dan Memaknai Perbedaan dalam Keragaman di Masyarakat melalui Sekolah-sekolah di Wilayah Sulawesi Tengah” ini diikuti oleh 22 guru yang terdiri berasal dari Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Tentena. Lokakarya tahap II ini diselenggarakan berdasarkan kebutuhan dari peserta Lokakarya Tahap I untuk mengetahui lebih banyak hal diantaranya mengenai HAM secara umum dan khusus terkait dengan soal Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), management konflik dan usaha membangun perdamaian serta soal-soal perbedaan di antara agama-agama termasuk terkait dengan beberapa isu teologis yang sering muncul ke permukaan dan membingungkan masyarakat. Selain itu juga perlu ditingkatkan kemampuan peserta untuk membuat materi dan metode pembelajaran serta proses belajar-mengajar di kelas yang baik dan tepat. Hadir sebagai pembicara diantaranya adalah Bhatara Ibnu Reza yang berbicara tentang persoalan HAM terkait isu KBB dan kewargaan di Indonesia; Dr. Lukman (Sekjen Al-Khairat Palu) yang berbicara mengenai tantangan dan ancaman yang riil berkaitan dengan toleransi dan kerukunan umat beragama
16
Edisi Januari-Juni 2015
WORKSHOP FOR RELIGION AND CIVICS TEACHERS OF CENTRAL SULAWESI STAGE II
O
n 10-12 February 2015, Institute DIAN/ Interfidei, in a cooperation with Al-Khairat Foundation and Bidang Keesaan of Indonesian Protestant Church of Donggala, held a Stage II workshop for Religion and Civics Teachers at Golden Hotel Palu. The event, bearing the theme “Understanding and Managing Difference in Social Diversity through Education in Central Sulawesi,” was attended by 22 teachers from around Palu City, as well as Sigi and Tentena regencies. The stage II workshop was held by the demand of the participants of the workshop’s first stage in order to learn more about basic human rights in general, and its relation with the religious freedom. The event also addressed the subtopics of conflict management and peace building, along with identifying the d i ff e r e n c e s among the religions that often lead to problems in the society. Furthermore, the event also aimed to improve the ability of the participants to implement a more effective education material and learning methods in class. The presenters of the stage II workshop, among others are Bhatara Ibnu Reza who presented about human rights issue in its relation with religious freedom and nationality in Indonesia; Dr. Lukman (General Secretary of Al-Khairat Palu) who talked about the challenges and threats for
Edisi Januari-Juni 2015
Chronicles
di Sulawesi Tengah; Dr. Christian Tinjabate (UNTAD Palu) yang berbicara mengenai bagaimana memenej konflik dan membangun perdamaian melalui pendidikan untuk memperkuat ketahanan lokal di Sulawesi Tengah. Selain itu pada Tahap II ini juga diberikan materi mengenai praktek membuat materi ajar, metode pembelajaran serta proses belajar dan praktek simulasi mengajar. Dan di hari terakhir, para guru membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu : kelompok Kabupaten Sigi, Kota Palu dan Poso. (ME)
campaigning religious tolerance and harmony in Central Sulawesi; Dr. Christian Tinjabate (from UNTAD Palu) who talked about conflict management and peace building through education in order to fortify the local perseverance in Central Sulawesi. Furthermore, the stage II workshop also gave materials on how to formulate education material, learning methods, and teaching simulation. On the last day, the teachers were divided into three groups to create a Follow-up Plan. These three groups were: The Sigi Regency group, Palu City Group, and Poso Group. (ME)
PENGEMBANGAN KAPASITAS JARINGAN ANTARIMAN SULAWESI SELATAN TAHAP II
THE CAPACITY BUILDING OF INTERFAITH NETWOK IN SOUTH SULAWESI STAGE II
S
etelah Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman Sulawesi Selatan tahap pertama Oktober lalu, peserta kembali berkumpul dan mendapat pendalaman materi terkait materimateri yang mereka dapatkan di tahap pertama. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerjasama Institut DIAN/Interfidei, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), dan OASE Intim tersebut berlangsung pada 21-28 Februari 2015. Dalam kegiatan tujuh hari tersebut, peserta mendapat materi-materi yang lebih mendalam seputar Hubungan Budaya dan Agama dengan pembicara Dr. Zakaria Ngelow dan Dr. Alwy Rachman. Selanjutnya peserta belajar melakukan analisis stakeholder bersama Pantoro Kuswardono. Tak hanya materi di kelas, peserta juga melakukan kunjungan ke kantor Harian Tribun Timur dan FKUB (Fokum Kerukun-
A
fter the first stage of the Capacity Building of Interfaith Network in South Sulawesi in October last year, the participants gathered again for the second stage to obtain elaboration of the materials they learned in the first stage. Through the cooperation of Institute DIAN/Interfidei, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (Institute of People for Education and Advocacy - LAPAR) and OASE Intim, this event was held from 21-28 February 2015. In this 7-days event, the participants obtained a more elaborated materials about the relation between culture and religion. The presenters were Dr. Zakaria Ngelow and Dr. Alwy Rachman. The participants then conducted a stakeholder analysis with Mr. Pantoro Kuswardono. Apart from learning in class, the participants also visited the office of Tribun Timur (daily newspaper) and Edisi Januari-Juni 2015
17
Interfidei newsletter
Kronik an Umat Beragama) Makassar. Dalam kunjungan tersebut peserta belajar berdialog dalam rangka membangun kerukunan umat beragama di wilayah mereka. Pada dua hari terakhir peserta belajar soal HAM, Investigasi dan advokasi bersama Yosep Adi Prasetyo (Stanley) dari Dewan Pers. Pada sesi tersebut Stanley juga mengajarkan teknik menulis opini dan mendorong peserta untuk mengirimkan tulisan di media. Dengan kegiatan ini diharapkan para peserta semakin mantap menjalankan perannya sebagai aktor perdamaian di wilayahnya masing-masing, khususnya Sulawesi Selatan dan Sekitarnya. (WF)
FKUB (Forum for Interreligious Harmony) Makassar. In their visit, the participants learned to hold dialogue in order to preserve the harmony between religious communities in their region. For the last two days, the participants were given materials about basic human rights, investigation, and advocacy with Yosep Adi Prasetyo (Stanley) from the Press Body. Stanley also taught the participants about the techniques of opinion-writing, and encouraged them to send their writings to the media. Through this event, the participants were expected to improve as actors of peace in their respective area, especially in South Sulawesi. (WF)
SEKOLAH LINTAS IMAN KE – 6
THE 6TH INTERFAITH SCHOOL
S
ekolah Lintas Iman (SLI) Ke – 6 pada tahun ini diselenggarakan pada tanggal 14 Februari – 30 Mei 2015. SLI ke – 6 mengambil tema “Kepedulian dan Keberpihakan Lintas Iman untuk kaum Difabel”. Tema ini diambil karena masih dijumpai bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami kaum difabel. Mereka dianggap sebagai “kaum tidak normal” dan karenanya banyak kebijakan dibuat tanpa sama sekali menganggap keberadaan kaum difabel. Sebagai contoh, masih banyak peraturan yang menyebutkan syarat tidak cacat jasmani untuk jenis pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kecacatan jasmani. Selain itu, dari sisi tata ruang, masih banyak sarana publik, kantor pemerintah, pusat perbelanjaan, sekolah, kampus bahkan tempat-tempat ibadat yang belum memberi akses luas untuk kaum difabel. Kondisi tersebut masih diperparah dengan masih adanya sejumlah
18
Edisi Januari-Juni 2015
T
he 6th Interfaith School this year was held on 14 February – 30 May 2015. The theme for the school was “Interfaith Sympathy for People with Disabilities.” This theme was taken since there were still cases of injustice against people with disabilities. They were still often considered “not normal” and because of that, many public decisions were made without considering their presence. Some jobs mentioned “no physical disability” as a part of their requirements when the jobs had nothing to do with physical capacity. Also, in regard to the space management, many public facilities like government offices, department stores, schools, colleges, and even religious houses did not provide best access to people with disabilities. This condition was made worse by negative stereotypes from the general public, like labelling people with disabilities as sinners,
Edisi Januari-Juni 2015
Chronicles
pelabelan negatif (stereotype) terhadap kaum difabel, misalnya sebagai yang tidak produktif, kaum pendosa dan yang terkutuk. Melalui SLI ke-6, mahasiswa diajak untuk merefleksikan sejatinya agama-agama melihat problem disabilitas melalui dialog ke lembaga-lembaga yang peduli terhadap isu disabilitas seperti: SLB Helen Keller, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (Yaketunis), Forum Peduli Difabel bantul (FPDB), Center for Improving Qualified Activity in life People with Disabilities (CIQAL). Para mahasiswa juga diajak untuk berkunjung ke beberapa komunitas agama dan universitas di antaranya adalah Wisma Nazareth, Universitas Kristen Duta Wacana, Institut DIAN/Interfidei, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Saptodarmo, dan Hare Khrisna. Di komunitas agama ini mereka diajak untuk membuat refleksi terhadap informasi yang sudah mereka dapatkan dari hasil kunjungan. Pada akhir perkuliahan, mahasiswa juga melakukan aksi kepedulian dan keberpihakan lintas iman dengan membuat beberapa tulisan yang rencananya akan dituangkan dalam sebuah buku. (ME)
cursed, or unproductive. Through the 6th Interfaith School, students were asked to review the problem of disability through the lens of religion by holding discussion with organizations that care about disability issues such as SLB Hellen Keller, Sarana Integrasi dan Advokasi Difabel (Integration and Advocacy Facility for People with Disabilities – SIGAB), Yayasan Kesehatan Tuna Netra Islam (Islamic Health Foundation for People with Blindness– Yaketunis), Forum Peduli Difabel Bantul (Dissability Care Forum of Bantul), and Center for Improving Qualified Activity in Life People with Disabilities (CIQAL). Students were also asked to visit several religious communities and universities, among which were Wisma Nazareth, Duta Wacana Christian University, Institute DIAN/Interfidei, Sunan Kalijaga State Islamic University, Sapto Darmo, and Hare Khrisna. In these religious communities, the students were asked to make a reflection on the information that they had gathered throughout their visit. At the end of the school, the students conducted a campaign for interfaith harmony, which were expected to be compiled into a book. (ME)
DISKUSI BUKU SOAL-SOAL TEOLOGIS DALAM PERTEMUAN ANTAR-AGAMA
BOOK DISCUSSION ON “THEOLOGICAL ISSUES ON INTERFAITH ENCOUNTER”
“M
asih banyak orang menganggap tabu ketika kita berdialog menyinggung soal-soal teologi. Ini karena bagi mereka perbedaan teologis masih dianggap sebagai hal yang sensitif untuk dibicarakan,” ungkap Elga Sarapung saat menjadi moderator dalam Peluncuran dan Diskusi Buku “Soal-soal Teologis dalam Pertemuan Antar-Agama” karya almarhum TH. Sumartana pada Kamis 16 April 2015. Diskusi yang diselenggarakan atas kerjasama Institut DIAN/ Interfidei dan Center for the Study of Islam and Social Transformation (CISForm) UIN Sunan Kalijaga ini bertempat Gedung Pusat Admninistrasi Universitas Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam
“P
eople still consider it a taboo to hold a dialogue on theological issues. Because for them, theological difference is still a sensitive matter to talk about,” said Elga Sarapung when being a moderator in the release and discussion of the book “Theological Issues on Interfaith Ecounters” by the late TH. Sumartana on Thursday, 16 April 2015. The discussion, initiated by the cooperation between Institute DIAN/Interfidei and Center for the Study of Islam and Social Transformation (CISForm) of Sunan Kalijaga State Islamic University, took place at the Administration Center Building of Sunan Kalijaga State Islamic University. The presenters in the discussion were, Edisi Januari-Juni 2015
19
Kronik diskusi tersebut hadir sebagai pembicara antara lain Ahmad Muttaqin, Ph.D (dosen Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga dan peneliti CISForm), Dr. St. Sunardi (dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma), dan Pdt. Dr. Julianus Mojau (Dosen Fakultas Teologi Universitas Halmahera). Pada sesi pertama Julianus menjelaskan kesannya terhadap buku yang merupakan skripsi dari Alm. T. Sumartana itu. Menurutnya, Sumartana mengatakan dalam bukunya bahwa misi Kristen bukanlah untuk memanipulasi orang beragama lain dengan cara apapun untuk mempengaruhinya pindah agama. Sumartana, atau yang biasa disapa Pak Tono, tegas menolak misi Kristen sebagai proses proselitis. “Ia justru menegaskan bahwa misi Kristen harus terkait dengan usaha-usaha humanisasi kehidupan sehari-hari secara konkret, baik secara ekonomi, politik, budaya dan agama. Dalam konteks pada saat itu berarti ikut dalam pembangunan sebagai upaya membangun manusia Indonesia yang bermartabat secara politik dan ekonomi. Dalam proses itulah Gereja bukanlah “pusat keselamatan” melainkan hanya “salah satu partisipan dalam misi Allah. Itulah sebabnya Gereja-gereja (di) Indonesia perlu memiliki kebesaran hati keluar dari “sifat sentrisme” dalam dirinya dan mau berjalan bersama dengan sesama “anak-anak Allah” yang lain yang berbeda agama (khususnya Islam) dalam membangun dunia dan manusia yang lebih humanis.” jelas Julianus. Selanjutnya Ahmad Muttaqin merefleksikan buku ini dengan tesisnya yang membahas tentang isu kristenisasi dan islamisasi. Menurut Muttaqin wacana kristenisasi dan islamisasi berpangkal pada perebutan representasi kekuasaan dan wacana tersebut menguat setiap pemilihan umum.
20
Edisi Januari-Juni 2015
Interfidei newsletter
among others, Ahmad Muttaqin, Ph.D. (comparative religion lecturer of Sunan Kalijaga State Islamic University and researcher of CISForm); Dr. St. Sunardi (religious and cultural studies lecturer of Sanata Dharma University), and Pdt. Dr. Julianus Mojau (lecturer in the Theology Faculty of Halmahera University). In the first session, Julianus gave his first impression on the book which is also a thesis by the late T. Sumartana. According to Julianus, Sumartana states in his book that Christianity has no mission to convert people with different religious beliefs. Sumartana, or as he is more commonly known as, Pak Tono, was firm in rejecting the mission of Christianity as a proselytic process. “Instead, he states that the mission of Christianity has to be concerned with concrete humanization of our daily life on aspects of economy, politics, culture and religion. In its context it means to help the development of Indonesian human with political and economic integrity. In this process, the Church is not a ‘center of s a l v a ti o n ’ , but only a p a r ti c i p a n t in the Divine Mission. Thus, the Church has to be willing to step out of their own self-centrism and walk hand-in-hand with other Children of God of different religious beliefs in order to build a more humanistic world,” said Julianus. In the next session, Ahmad Muttaqin compared the content of the book with his thesis that discusses the issue of Christianization and Islamization. According to Muttaqin, the idea of Christianization and Islamization originates on power play,
Edisi Januari-Juni 2015
Chronicles
“Hubungan Muslim – Kristen di Indoensia lebih banyak diwarnai kecurigaan,” lanjut Muttaqin. Kecurigaan tersebut dapat dilihat dalam bentuk ketakutan, kekhawatiran, kalah menang, keteranacaman. Muttaqin pun mencontohkan saat melihat perubahan jumlah pemeluk agama Kristen, jika ada peningkatan di pihak Kristen dan penurunan di pihak Muslim maka hal itu dianggap sebagai kekalahan oleh sebagian muslim. Pada pemaparan berikutnya St. Sunardi menangkap pesan yang ingin disampaikan Sumartana dalam bukunya adalah tentang humanisasi. Beragama dan beriman adalah salah satu cara untuk menemukan kemanusiaan kita terus menerus. Agama ada untuk jawab kebutuhan manusia. (WF)
and becomes very obvious when general election is coming. “The relationship of Muslim-Christian in Indonesia is dominated with prejudice,” Muttaqin added. The prejudice was rooted from fear, worry, winning-losing, feeling threatened. According to him, this was evident in cases where there are transition in numbers of Muslim and Christian. If more people converted to Christian and less people converted to Islam, it was considered a loss by the Muslim. In the following session, St. Sunardi caught the message of humanization in Sumartana’s book. Being religious and faithful was a way to continuously rediscovering our humanity. Religion existed to answer the need of human. (WF)
LOKAKARYA PARA PENDETA GEREJA-GEREJA DI SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI BARAT (GTR, GKSS, GTM, GKSB, GPIL)
WORKSHOP FOR THE PREACHERS OF CHURCHES IN SOUTH AND WEST SULAWESI (GTR, GKSS, GTM, GKSB, GPIL)
T
anggal 27-30 April 2015, Interfidei, bekerjasama dengan OASE (http://www.oaseintim. org/), Makassar, mengadakan Lokakarya untuk para pendeta dari Gereja-Gereja se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang bertugas di Jemaat-Jemaat dari masing-masing Gereja yang tersebar di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Tema kegiatan, “Mengelola Perbedaan Dalam Masyarakat Majemuk di Makassar”. Ada 18 orang peserta yang hadir dalam kegiatan ini, 8 perempuan dan 10 laki-laki. Mereka bercerita dan belajar dari pengalaman mereka sendiri tentang bagaimana hidup bersama dengan orang lain yang berbeda agama (intra dan antaragama). Mereka pun belajar dengan kritis, baik tentang konteks sekitar mereka maupun tentang diri mereka sendiri. Bagaimana bisa terbuka, terus-terang, jujur mengatakan apa yang selama ini mereka pikir tentang agama lain (yang sifatnya prasangka, stereotype, prejudice, klaim kebenaran), bagaimana memperbaiki dan mengubah itu agar tidak terpelihara dan menjadi potensi kon-
O
n 27-30 April 2015, Institute DIAN/Interfidei, in cooperation with OASE (http:// www.oaseintim.org/) in Makassar, held a workshop for the preachers of Churches in South and West Sulawesi. The workshop had the theme “Managing Difference in the Plural Society of Makassar.” There were 18 participants in this event, 8 women and 10 men. They shared and learned from their experiences on how to peacefully coexist with people of different religious beliefs. They also learned to be critical with the context and situation around them, and with themselves. They learned how to be open, how to be honest in expressing what they thought about other religious beliefs (stereotypes, prejudices, truth claims), and how to change those thinking so not to lead to potential conflicts. Apart from through writing, this was also achieved through group discussion among themselves and with the community members of other religion like MUI and Pesantren. In this workshop, the participants also learned Edisi Januari-Juni 2015
21
Interfidei newsletter
Kronik flik. Hal itu dilakukan, selain melalui tulisan, juga diskusi dalam kelompok dan bersama-sama, serta berjumpa dan berdialog dengan komunitas dan orang-orang yang ada dalam lembaga keagamaan, seperti MUI dan Pesantren. Di dalam Lokakarya ini, peserta juga belajar tentang apa dan bagaimana teologi dan kerjakerja yang perlu dibangun, dikembangkan oleh Gereja-Gereja dalam rangka mengaktifkan Gerakan Oikoumene dalam konteks Indonesia dengan masyarakat majemuk. Selain itu, mereka belajar tentang HAM secara umum dan khususnya terkait dengan soal-soal perbedaan agama serta kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Lokakarya difasilitasi oleh seorang fasilitator dan diperkaya dengan beberapa narasumber. (ES)
about what theological approach should be employed and developed by the Churches in order to activate the Oikumene movement in the context of pluralistic Indonesia. Furthermore, they also learned about human rights in general, especially in its context related with issues of religious differences and religious freedom. This workshop was facilitated by a facilitator and was attended by several presenters. (ES)
PENGEMBANGAN KAPASITAS JARINGAN ANTARIMAN TAHAP I DI GORONTALO DAN BOLAANG MONGONDOW
THE CAPACITY BUILDING OF INTERFAITH NETWORK IN GORONTALO AND BOLAANG MONGONDOW STAGE-I
S
ecara umum, Gorontalo terkesan amanaman saja. Nyaris hampir tidak ada pemberitaan yang minor tentang Gorontalo, terkait dengan ketegangan di antara warga masyarakat akibat perbedaan agama dan kemajemukan. Boleh jadi, karena Gorontalo dikenal dengan budayanya yang terbuka menerima “hal baru”. Sementara, bagi Bolaang Mongondow, khususnya Kotamobagu, pada tahun 2011 dan sesudahnya sempat terjadi kasus, di mana ada beberapa gereja yang diprotes masyarakat, khususnya kelompok intoleran lokal. Misalnya kasus Gereja Immanuel di Kotamobagu dan kasus Gereja, di dekat perbatasan dengan Atinggola, Kabupaten Gorontalo. Dalam kasus pertama, menarik menyimak peran Walikota yang notabene Muslim. Beliau memberi pengertian kepada masyarakat yang umumnya beragama Islam, kira-kira seperti ini: “kita umat Islam setiap kali beribadah memerlukan tempat beribadah; umat beragama lain pun untuk menjalankan kegiatan peribadatan
22
Edisi Januari-Juni 2015
I
n general, Gorontalo appeared to be peaceful. There was barely any negative news on Gorontalo, especially ones concerning conflict due to differences in religious beliefs. It was believed that this was because the people of Gorontalo were more open to new things. Meanwhile, in Bolaang Mongondow, especially Kotamobagu, since 2011 there had been several cases, like protests against the building of churches from the local intolerant group. The examples were the Immanuel Church case in Kotamobagu, and another Church building case near the border with Atinggola, Gorontalo regency. In the first case, it was interesting to see the role of the Mayor, who happened to be a Muslim. He tried to calm down the people were mostly Muslim by saying “Us Muslim need a religious house to practice our belief; people of other religious beliefs are also the same. Why do we have to disturb them?” With Interfaith Network in Gorontalo and FISI-UNG, Gorontalo, Interfidei held a Capacity
Edisi Januari-Juni 2015
mereka, memerlukan tempat beribadah. Mengapa harus di ganggu?”. Bersama Jaringan Antariman di Gorontalo dan FISI-UNG, Gorontalo, Interfidei mengadakan lokakarya Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman Tahap I di Gorontalo dan Bolaang Mongondow untuk 30 orang pemuda (laki-laki dan perempuan) dari semua agama dan keyakinan. Kegiatan yang diselenggarakan pada 14-23 Mei 215 ini dalam rangka mengelola, menghidupkan, memelihara, dan mengembangkan potensi-potensi positif, cerita-cerita baik, inspirasi-inspirasi kearifan lokal dan nilai-nilai keagamaan dan keyakinan yang kuat di masyarakat. Materi yang diberikan dalam pelatihan 10 hari tersebut antara lain tentang mengelola perbedaan dan dialog, memahami konteks agama-agama dan budaya, serta dinamika perbedaan di Gorontalo dan di Bolaang Mongondow, Persoalan-Persoalan Kebangsaan di sekitar perbedaan dalam kemajemukan masyarakat Indonesia ditinjau dari perspektif kewargaan dan hak asasi manusia, analisis sosial, advokasi dan investigasi.(WF)
ACRP EXECUTIVE COMMITTEE MEETING
E
xecutive Committee Meeting ACRP (Asian Conference of Religions for Peace atau Religions for Peace Asia) kali ini berlangsung di Bandung, 2-4 Juni 2015. Cukup unik, karena baru kali ini diberi tema yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi langsung oleh hampir semua negara anggota ACRP, yaitu : “Asian Multireligious Action to Overcome Violent Extremism” (“Aksi
Chronicles
Building Workshop Stage-I in Gorontalo and Bolaang Mongondow for 30 youth from multiple religious beliefs. The event was held on 14-23 May 2015 in order to manage, preserve, and develop positive potentials, as well as inspirations from local wisdom and religious values in the society. Materials given in the 10 day training were on managing difference and dialogue, understanding religious and cultural context, understanding the dynamics in Gorontalo and Bolaang Mongondow, and understanding issues related with matters of nationality in the plural context of Indonesia as viewed from the perspective of nationality and human rights, social analysis, advocacy, and investigation. (WF) ACRP EXECUTIVE COMMITTEE MEETING
T
he Executive Committee Meeting of ACRP (Asian Conference of Religions for Peace), held in Bandung on 2-4 June 2015, was a bit unique since this time it had a theme relevant with the challenge faced by all the member states of the ACRP. The theme of the meeting was “Asian Multi religious Action to Overcome Violent Extremism.” The meeting began with an international seminar Edisi Januari-Juni 2015
23
Kronik Agama-Agama di Asia dalam Mengatasi Kekerasan Ekstremis”). Pertemuan diawali dengan sebuah seminar Internasional yang menghadirkan Wakil Presiden Republik Indonesia Bapak H. Muhammad Jusuf Kalla, Menteri Luar Negeri Ibu Retno Marsudi dan beberapa narasumber dari beberapa negara. Dari Indonesia yang hadir dalam seminar tersebut, selain executive member, juga pimpinan agamaagama dan tokoh masyarakat, yang ada di Bandung dan sebagian dari Jakarta. Selain membicarakan soal-soal kelembagaan dan aktivitas ACRP yang sudah dilaksanakan sepanjang satu tahun, dalam EC meeting ini, hal penting yang perlu dicatat adalah, pertama kalinya menghasilkan “strategic action” dari ACRP untuk 5 tahun ke depan, serta satu statement yang mendeklarasikan bahwa ke depan, ACRP akan bergerak sebagai sebuah gerakan, yaitu: Gerakan Agama-Agama untuk Perdamaian”. Dalam statement yang disampaikan, antara lain mengatakan: “Kami sangat prihatin dengan aksi-aksi kekerasan ekstrimis yang mengatas-namakan agama, yang mengancam kehidupan manusia dan mengganggu ketertiban masyarakat sipil di seluruh dunia. Kami mengutuk penyalahgunaan agama oleh para pelaku kekerasan ekstrimisme. Kami memperlakukan para pelaku kekerasan ekstrimis bukan sebagai musuh, tetapi sebagai rekanan dalam mencapai “persatuan dan harmoni” dalam keluarga manusia yang kita miliki. Kami percaya bahwa agama mengajarkan cinta, kasih-sayang, perdamaian, nir-kekerasan, keadilan, kebenaran dan lain sebagainya. Kamipun yakin bahwa semua agama menghargai Prinsip Utama (Golden Rule): “Lakukanlah kepada orang lain, apa yang Anda ingin orang lain lakukan pada Anda”. Kami terpanggil untuk memenuhi tanggung jawab menghentikan ekstrimisme atas nama agama, dengan cara menanamkan nilai-nilai bersama dalam agama kepada mereka yang memiliki pandangan ekstrim. Kami bertekad untuk ikut serta dalam aksi bersama di tingkat regional, nasional dan lokal untuk mengatasi kekerasan ekstrimis yang mengatasnamakan agama.” (ES)
24
Edisi Januari-Juni 2015
Interfidei newsletter
attended by the Vice-President of Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla; Ministry of International Affair of Indonesia, Retno Marsudi; and several other presenters from various countries. Apart from executive members, from Indonesia there were also religious leaders and community figures from Bandung and Jakarta who attended the seminar. Apart from discussing institutional problems and the activities carried out by ACRP in the span of one year, an important point of the EC meeting was that it successfully yielded a strategic action for ACRP for 5 years to come, along with a statement declaring that in the future, ACRP will be the motor for a movement, the “Religious Movement for Peace.” The statement was: “We are very sympathetic with the violence conducted by the extremists on behalf of religion which threaten the public order of civilians all over the world. We curse the misuse of religions by extremists. However, we treat the violent extremists not as enemies, but as partners in attaining unity and harmony in our big family. We believe that religion teaches love, peace, non-violent approach, justice, and truth. We also believe that all religions respect the Golden Rule: Do to others what you wish to be done upon you. We are called upon to fulfill an obligation and responsibility to stop extremism on behalf of religion by spreading communal values to those with extremist belief. We are determined to participate in communal action on regional, national, and local level to stop acts of violence by extremists on behalf of religion” (ES)
Edisi Januari-Juni 2015
DISKUSI “MENGAWAL KEPAK SAYAP GARUDA”
P
ada Kamis, 28 Juni 2014 pukul 10.00 WIB, Interfidei menyelenggarakan diskusi kecil dengan membahas sebuah buku berjudul “Mengawal Kepak Sayap Garuda” karya Agus Triantara. Dalam diskusi tersebut penulis buku sendiri hadir sebagai pembicara. Dalam pembukanya penulis menjelaskan latar belakang ditulisnya buku tersebut. Lebih lanjut penulis menyoroti kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Agus, selama ini konsep kebudayaan dimaknai secara sempit, sesempit persoalan seni, sastra dan pariwisata. Akibatnya kebudayaan sebagai sebuah sistem kehidupan umat manusia, dikelola dengan cara parsial, jauh dari kaidah-kaidah yang bisa diterima oleh akal. Selain itu, empat elemen kebangsaan dipahami secara terpisah. Pancasila sebagai ideologi bangsa (ideologi bidang politik) dipelajari secara terpisah dari kosmosnya, demikian pula UUD 45 (ideologi bidang hukum), Bhineka Tunggal Ika (ideologi bidang sosial) dan NKRI (ideology bidang ekonomi). Maka seharusnya semangat kebangsaan harus terkonsolidasi secara baik, sehingga jadilah bangsa Indonesia yang tidak mengenal jati dirinya (gagalnya program nation and character building). (WF) KUNJUNGAN MAHASISWA UTRECH UNIVERSITY DAN SISWA SEKOLAH PELITA HARAPAN SENTUL
P
ada 27 Januari 2015, 13 mahasiswa dari Universitas Utrech, Belanda, berkunjung ke kantor Interfidei. Mereka didampingi oleh dua professor yakni Dr. Freek L. Bakker dan drs. Kadir Turkmen. Keduanya adalah dosen pada Department Filsafat dan Studi Agama-agama, Fakultas Humaniora, Utrecht University. Dalam kunjungan tersebut, mahasiswa lebih banyak bertanya mengenai program yang sedang dikembangkan Inter-
Chronicles A DISCUSSION ON “GUARDING THE WING FLAP OF GARUDA”
O
n Thursday, 28 June 2014 at 10 a.m. Interfidei held a small discussion on the book “Mengawal Kepak Sayap Garuda” (Guarding the Wing Flap of Garuda) by Agus Triantara. In the discussion, the author of the book was present as a presenter. In the beginning, the author explained the background of the book. He highlighted the life in Indonesia. According to Agus, the concept of culture in Indonesia had been understood rather narrowly, only limited to art, literature, and tourism. As a result, culture as a system of human life was managed partially, far from the acceptable rules. Furthermore, four nationality elements were understood separately nowadays. Pancasila as the national ideology (political ideology) was understood in separation from its cosmos, this was also the case with the 45 Constitution (legal ideology), Bhineka Tunggal Ika (social ideology), and NKRI (economic ideology). Therefore, the spirit of nationality had to be well consolidated, if to avoid an Indonesian Nation that was blind of its own identity. (WF)
THE STUDENTS VISIT FROM UTRECH UNIVERSITY AND PELITA HARAPAN INTERNATIONAL SCHOOL OF SENTUL
O
n 27 January 2015, thirteen students from Utrech University, The Netherland, visited the office of Interfidei. They were accompanied by two professors, Dr. Freek L. Bakker and Drs. Kadir Turkmen. Both of them were lecturers in the Philosophy Department and Religious Studies, Faculty of Humanities, Ultrech University. In the visit, the students asked mostly about the programs developed by Interfidei and also about the chalEdisi Januari-Juni 2015
25
Interfidei newsletter
Kronik fidei dan juga personal-persoalan yang sedang dihadapi berkaitan dengan hubungan antaragama serta bagaimana menyelesaikannya.. Sebanyak 47 siswa kelas 10 Sekolah Pelita Harapan Internasional Sentul Jakarta yang didampingi oleh 4 guru berkunjung ke Insitut DIAN/ Interfidei Selasa, 3 Maret 2015. Dalam dialog yang berlangsung selama 2 jam, selain mengenal Institut DIAN/interfidei, siswa juga mengetahui lebih jauh mengenai berbagai persoalan berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak para penganut agama yang terjadi di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Dalam dialog ini, siswa memberikan respon terhadap partisipasi yang mungkin diberikan oleh anak muda seperti mereka bagi penegakkan hak asasi manusia bagi para penganut agama. Para siswa juga mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan beberapa narasumber yang pernah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di Yogyakarta yaitu Pendeta Iwan dari Gereja Kristen Jawa Gunungkidul, Pendeta Nico Lamboan dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) dan kawan-kawan dari Komunitas Rausyan Fikr. (ME & WR)
lenges concerning interfaith relationship and how to solve them. Also, around 47 tenth graders of Pelita Harapan I n t e r n a ti o n a l School of Sentul, Jakarta, accompanied by 4 teachers visited Institute DIAN/Interfidei on Tuesday, 3 March 2015. In a two-hour dialogue, apart from being introduced to the Institute DIAN/Interfidei, the students also learned more about the problems related with violations of religious freedom and rights in Indonesia, especially in Yogyakarta. In this dialogue, the students responded by giving contribution that was possible for youth like themselves such as the enforcement of human rights for religious people. The students also got the chance to converse with some presenters who were once victims of human right violation in Yogyakarta, like Pdt. Iwan from Javanese Christian Church of Gunungkidul, Pdt. Nico Lamboan from the Pentecostal Church of Indonesia, and other friends from Rausyan Fikr community. (ME & WR)
RANGKAIAN KEGIATAN AUDIENSI
MEETING AND AUDIENCE ACTIVITIES
D
alam rangka membangun dan menjalin hubungan yang lebih baik serta menjajagi kerjasama di masa yang akan datang, Interfidei telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan berbagai pihak, termasuk dengan kalangan pemerintah. Pertama, pertemuan dengan Kepala Kementrian Agama DIY yang baru dilantik, Bapak Prof. Dr. Nizar Ali, yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 April 2015. Selain perkenalan, pertemuan tersebut membicarakan beberapa hal
26
Edisi Januari-Juni 2015
I
n order to create a stronger bond and to establish cooperation in the future, Interfidei has held several meetings with many parties, including the government. First, the meeting with the new Head of Yogyakarta’s Ministry of Religious Affairs, Prof. Dr. Nizar Ali, on 15 .April 2015. Aside from introduction, the meeting also discussed about the religious life in Yogyakarta, and the importance to increase the capacity of Teachers of Religions to spread interfaith tolerance values and the impor-
Edisi Januari-Juni 2015
berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Yogyakarta dan pentingnya meningkatkan kapasitas para guru agama dalam rangka menyemai nilai-nilai toleransi antaragama dan pentingnya dialog dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kedua, audiensi dengan Kepala Kementrian Agama Kabupaten Sleman, Bapak Luthfi Hamid. Audiensi yang dilaksanakan pada 14 April 2015 membahas beberapa persoalan keagamaan di Kabupaten Sleman dan upaya-upaya penyelesaian yang sudah dilakukan. Dibahas juga pentingnya kerjasama semua pihak dalam rangka menjaga dan mengawal seluruh entitas umat beragama di Sleman. Terakhir disepakati adanya komitmen dari Kemenag Sleman untuk mendukung dan bekerjasama dalam program bagi guru-guru agama di Kabupaten Sleman. Ketiga, audiensi dengan Kepala Kementrian Agama Kabupaten Gunung Kidul, Bapak Nur Abdi, dan dihadiri pula oleh Kasubag TU, Humas dan Kasi Pendidikan Dini. Dalam kesempatan tersebut Bapak Nur Abdi menjelaskan bahwa secara umum kehidupan umat beragama di Gunung Kidul relative stabil. Kalau pun ada persoalan atau gesekan di masyarakat dapat segera diselesaikan karena komunikasi dan silaturahmi tetap dijaga. Selain itu Kemenag Kabupaten Gunung Kidul juga siap mendukung dan bekerjasama untuk program guru-guru agama yang akan dilaksanakan oleh Interfidei. Keempat, pada tanggal 24 Juni 2015, Interfidei juga telah berkunjung dan bersilaturahmi dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Kunjungan lebih dimaksudkan untuk saling mengenal satu sama lain dan membicarakan tantangan bersama membangun Yogyakarta. (WR)
Chronicles tance of dialogue in problem solving. Secondly, a hearing with the head of Sleman’s Ministry of Religious Affair, Luthfi Hamid. It was held on 14 April 2015 to discuss about several religion-related problems in the Sleman regency along with the solutions. The meeting also discussed the importance of the cooperation of all parties to preserve and guard all religious entities in Sleman. Lastly, the Sleman’s Ministry of Religious Affair agreed on a commitment to support and cooperate with the programs intended for Religion Teachers of Sleman regency. Thirdly, a hearing with the head of Gunung Kidul’s Ministry of Religious Affair, Nur Abdi, also attended by the Head of Administration Sub-Division, Public Relation and the Section Chief of Early Education. In the meeting, Nur Abdi explained that in general the religious life in Gunung Kidul was relatively stable. Any conflict in the society could always be solved and peaceful communication was always preserved. Furthermore, the Gunung Kidul’s Ministry of Religious Affair also agreed to support and cooperate with Interfidei’s programs for Teachers of Religions. Fourth, on 24 June 2015, Interfidei also visited and had a discussion with the Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). The visit was intended to know each other better and to discuss about the effort and challenges in realizing a better Yogyakarta. (WR) Edisi Januari-Juni 2015
27
Interfidei newsletter
Kronik DISKUSI BUKU 100 ORANG INDONESIA ANGKAT PENA DEMI DIALOG PAPUA
S
elama periode Januari-Juni 2015, Institut DIAN/ Interfidei telah dua kali melaksanakan seminar tentang Papua Tanah Damai, di Bandung dan Surabaya. Tema, “Papua Tanah Damai : Antara Harapan dan Kenyataan”. Buku “Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua”, menjadi referensi utama bagi narasumber. Harapan dari Seminar ini, adalah, bagaimanaDialog Jakarta-Papua benarbenar dilakukan, sebagai “cara” non-kekerasan untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Damai dan Indonesia menjadi bangsa yang adil dan beradab. Di Bandung, berlangsung pada Senin, 4 Mei 2015, pukul 09.00-12.30, bertempat di ruang Audio-Visual (Advis) FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung, dalam kerjasama dengan FISIP UNPAR dan JAKATARUB. Acara di Bandung dibuka langsung oleh dekan FISIP UNPAR (sekarang menjadi Rektor UNPAR), Prof. Dr. Mangadar Situmorang. Sebagai narasumber adalah, Wilson (Jaringan Damai Papua, Jakarta), yang menjelaskan soal, bagaimana membangun dialog untuk Papua Tanah Damai? Dr. Pius S. Kartasasmita (Dosen FISIP UNPAR), yang tekun pada ilmu Administrasi Publik, membicarakan soal “kegagalan OTSUS”. Dr. Beni Sukadis (Lesperssi, Jakarta), berbicara tentangReformasi Sektor Keamanan dan Perdamaian di Papua; Elga J. Sarapung (Direktur Institut DIAN/Interfidei, Yogyakarta) berbicara tentang peran agama-agama dalam sejarah munculnya komitmen bersama : “Papua Tanah Damai”. Seluruh proses dipimpin oleh Dr. Nyoman Sudira (FISIP UNPAR), sebagai moderator. Di Surabaya, berlangsung pada Jumat, 12 Juni 2015, pukul 14.00-17.00 WIB, bertempat di auditorium Fakultas Hukum, UNAIR, dalam kerjasama dengan SEPAHAM INDONESIA dan FHUNAIR, HOTLINE SURABAYA. Narasumbernya:Dr. Adriana Elizabeth (LIPI, Jakarta), berbicara tentang
28
Edisi Januari-Juni 2015
BOOK DISCUSSION ON 100 ORANG INDONESIA ANGKAT PENA DEMI DIALOG PAPUA (100 INDONESIANS RAISING PENS FOR DIALOGUE IN PAPUA)
D
uring the course of January-June 2015, Institute DIAN/Interfidei has hold two seminars in Bandung and Surabaya. The theme of the seminar is “Papua Land of Peace: Between Expectations and Reality.” In the seminar, the book 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua became the main reference for the speakers. The seminar was expected to campaign the realization of Jakarta-Papua dialogue as an anti-violence solution to realize Papua as a land of peace, and to make Indonesia a just and civilized country. In Bandung, the seminar was held on Monday, May 4th 2015 from 9 am to 12.30 pm, taking place in Audio-Visual room of FISIP Parahyangan Catholic University (UNPAR). The event was held in a cooperation between Interfidei and FISIP UNPAR and JAKATARUB. The event in Bandung started with the opening speech by the Dean of FISIP UNPAR (now the rector of UNPAR), Prof. Dr. Mangadar Situmorang. The speakers for the event were Wilson (from Jaringan Damai Papua—Papua Peace Network, Jakarta), who explained how to build a dialogue with Papuan in order to realize Papua as a land of peace; Dr. Pius S. Kartasasmita (Lecturer from FISIP UNPAR), a practitioner of Public Administration Science, who discussed about the failure of the OTSUS (otonomi khusus—special autonomy); Dr. Beni Sukadis (Lesperssi, Jakarta), who talked about the reformation in the Security and Peace Sector; Elga J. Sarapung (Director of Institute DIAN/Interfidei, Yogyakarta), who talked about the role of the religions in Indonesia to create a unified commitment that leads to the “Papua Land of Peace” movement. The entire sessions of the seminar was moderated by Dr. Nyoman Sudira (FISIP UNPAR). In Surabaya, the seminar was held on Friday, June 12th 2015 from 2 pm to 5 pm, taking place
Edisi Januari-Juni 2015
apa yang sudah dan sedang dicapai oleh Jaringan Damai Papua (JDP), sekaligus memberi apresiasi terhadap apa yang sudah dan sedang dilakukan pemerintahan Jokowi. JDP tetap berharap keseriusan Pemerintahan Jokowi untuk melakukan langkah-langkah konstruktif. Sementara, Dr. Herlambang Perdana Wiratraman (FH-UNAIR, Surabaya), mengedepankan bagaimana “membaca Papua dalam konteks Indonesia dari kacamata media”. Kendala yang paling besar adalah, peran para pemilik media yang juga sebagai kekuatan politik. Narasumber ketiga, Esthi Susanti, MA (HOTLINE Surabaya, Surabaya), secara kritis melihat bahwa aspek gender belum serius dimasukan dalam konsep dialog, sebab itu, konflik di Papua tidak akan menghasilkan sesuatu yang kreatif-produktif. Esthi juga menekankan pentingnya proses trauma healing bagi masyarakat Papua. Proses diskusi di Surabaya dipimpin oleh Elga Sarapung (Interfidei, Yogyakarta). Semina di beberapa daerah lain masih akan dilanjutkan, sebagai komitmen mendukung usaha ke arah Papua tanah damai. (ES)
Chronicles in the auditorium of Law Faculty, Airlangga University (UNAIR). The event was held in a cooperation between Interfidei and SEPAHAM INDONESIA, Law Faculty-UNAIR, and HOTLINE SURABAYA. The first presenter was Dr. Adriana Elizabeth (LIPI, Jakarta), who explained about the achievements of the JDP (Jaringan Damai Papua— Papua Peace Network). She talked on JDP and appreciated the success and achievements of Jokowi President of Indonesia and she expected that Jokowi keeps on taking constructive measures with his presidential policies. Meanwhile, the second speaker, Dr. Herlambang Perdana Wiratraman (FH-UNAIR, Surabaya), discussed about “looking at Papua in the context of Indonesia through the lens of the media.” The biggest obstacle is that the role media owners which is also used as a political forces. The third speaker was Esthi Susanti, MA (HOTLINE Surabaya, Surabaya), who tried to critically asses the aspect of gender, arguing that the issue of gender has not yet been taken into serious consideration in the concept of dialogue, therefore the conflict in Papua may not yield anything creative-productive. Esthi also emphasized the importance of trauma healing for the Papuan society. The entire discussion session of the seminar in Surabaya was moderated by Elga Sarapung (Interfidei, Yogyakarta). There are more seminars to be held in other places in Indonesia in order to support the effort to make a Papua as a Land of Peace. (ES)
Edisi Januari-Juni 2015
29
Interfidei newsletter
Refleksi
T
Masyarakat Ekonomi ASEAN: Keadilan-Masyarakat Plural
ASEAN Economic Community: Justice for Plural Society
Oleh Elga Sarapung
by Elga Sarapung
ahun 2015, yang tinggal 4 bulan lagi selesai, menjadi tahun bersejarah bagi 10 Negara anggota ASEAN, di antaranya Indonesia. Pada tahun ini dicanangkan ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN. Itu berarti, ASEAN menjadi pasar tunggal berbasis produksi, dimana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas di antara negara ASEAN. Tujuannya adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan serta meningkatkan standart hidup penduduk Negara anggota ASEAN. Gagasan ini, tidak saja lahir dari sebuah konteks masyarakat ASEAN yang jumlah penduduknya kurang lebih 636.512.725 juta jiwa (data 2014), tetapi sasaran pencapaian hasil dan maknanya adalah warga masyarakat yang berada pada konteks yang sama; selain berjumlah spektakuler, juga sangat plural. Untuk Indonesia, dengan jumlah penduduk paling banyak, 253.609.643 juta jiwa, dimana terdapat kurang lebih 28 juta warga miskin dan kemajemukan etnis serta agama dari warga masyarakat merupakan ciri khas kehidupan sosial-budaya sehari-hari, MEA atau AEC adalah sebuah harapan sekaligus tantangan bahkan ancaman. Pertama, melihat penyebaran manfaat perkembangan ekonomi di seluruh daerah belum merata; masih banyak wilayah tertinggal, termasuk di sekitar wilayah yang sudah sangat maju. Ironisnya, ketertinggalan wilayah-wilayah tersebut, bukan karena tidak memiliki sumber-sumber ekonomi, melainkan karena eksploitasi, manipulasi dari hasil kerjasama pemerintah (pusat dan atau daerah), aparat keamana dan perusahan atau investor atau pebisnis, terhadap sumber daya alam dan manusia di wilayah tersebut. Kedua, tetap merajalelanya praktek korupsi, yang tidak terbendung lagi oleh penegakan
30
Edisi Januari-Juni 2015
T
he 2015 becomes a very important year for the ten state members of ASEAN including Indonesia, as it marks the establishment of the ASEAN Economic Community (AEC). What this means for ASEAN is that it is going to be a singular production-based market where the transaction of goods, services, investments, and labors between the state members of ASEAN can occur with less interference. The purpose for this united policy is to bring political stability and security to the region of ASEAN; to improve the products from ASEAN in order to compete in the global market; to stimulate economic growth; to reduce the level of poverty and raise the overall living standard of the citizens of ASEAN. This idea of establishing the ASEAN Economic Community, considering that ASEAN consists of about 636,512,725 million people (2014 data) who happen to be the community target, is spectacularly pluralistic in its approach. Indonesia, as a country with the largest number of citizens around 253,609,643 -28 million among which are poor, is socially and culturally characterized with diversity in ethnics, races, and religions. It means that the establishment of the AEC can be perceived as hope, and threat at the same time. Firstly, the results of economic development are still not distributed equally; there are still many areas left behind in terms of economic development, including the areas surrounding the developed areas. Ironically, the cause for this is not a lack of economic resources. Instead, it is exploitation and manipulation by the government (either regional or central) or law enforcers who make deals with businessmen or investors on the natural or human resource of those areas. Secondly, the practice of corruption has worsened, seem-
Edisi Januari-Juni 2015
hukum – apalagi hukum di Indonesia yang terbukti lemah, tidak berpihak kepada keadilan dan kebenaran. Ketiga, kedua hal di atas, mengikuti atau diikuti oleh berkembangnya gaya hidup hedonis, materialistik dan serakah, bukan saja di wilayah perkotaan besar, tetapi juga di kota-kota kecil bahkan di desa; bukan saja oleh mereka yang berstatus sosial-ekonomi yang tinggi, tetapi yang cukup memprihatinkan adalah, gaya hidup ini juga berkembang di kalangan masyarakat menengah ke bawah, termasuk di kalangan pegawai negeri. Keempat, sedang berkembangnya kapitalisasi dan konsumerisasi agama, di mana agama dipakai sebagai komoditi ekonomi – pasar, antara lain melalui berbagai macam iklan dan praktek pendidikan agama yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu. Kelima, masih terdapatnya praktek diskriminasi hak-hak ecosoc serta hak-hak sipil-politik masyarakat. Antara lain, nampak jelas dari pembiaran negara terhadap praktek kekerasan yang berdasarkan atas perbedaan agama dan etnis, terutama dengan mengandalkan penafsiran salah terhadap “mayoritas-minoritas” jumlah penduduk berdasarkan agama dan atau etnis. Keenam, sekalipun jumlah angka 28 juta jiwa penduduk miskin dianggap kecil dan pertanda sebuah keberhasilan karena warga penduduk miskin berkurang, dibandingkan tahun sebelumnya. Persoalannya adalah, akar penyebab kemiskinan belum teratasi, bahkan di banyak wilayah, belum tersentuh. Misalnya korupsi para elit serta praktek eksploitasi kekuasaan politik dan ekonomi yang jelas berpihak hanya kepada kepentingan penguasa ekonomi-politik-keamanan. Pertanyaannya adalah, apakah benar MEA mampu mengurangi kemiskinan dan membuktikan terjadinya keadilan sosial-ekonomi bagi warga masyarakat yang notabene adalah majemuk, sementara mental dan karakter dari para elit penguasa politik-ekonomi-keamanan umumnya masih seperti yang digambarkan di atas dan “mayoritasminoritas” masih merupakan frame, dimana kebijakan pemerintah dibuat dan dilaksanakan? Sampai sejauhmana warga masyarakat Indonesia, dari ujung Papua sampai Sumatera, siap atau disiapkan untuk menghadapi akibat dari implementasi tujuan dan harapan MEA?
Reflection ingly escaping even the arms of law enforcement. Indonesian Law is proven to be weak and rarely takes side with justice and truth. Thirdly, the hedonistic and materialistic lifestyle adopted by not only urban society, but also suburban and rural society as well. It is rather unfortunate that this is true not only for people of high social status, but also for the middle and lower class including the civil servants. Fourthly, the spread of capitalization and commercialism of religions, where religions are used as a sort of market commodity that is promoted through commercials or religious teaching by certain groups. Fifthly, there are still cases of discrimination against social and political rights. An example to this are acts of violence due to religious or ethnic differences, triggered by a flawed understanding of the “majority-minority” terms, which describes the number of people who belong to a certain ethnic group or religion. Sixthly, although 28 million poor people may suggest a kind of success since the number actually has decreased compared to the previous years, the main cause of poverty in many regions are still unaddressed. The corruption committed by governmental elements exploiting political and economic power belong to this last category. The question that remains is: can AEC solve the problem of poverty and prove itself as a policy capable of realizing socio-economic justice in a plural society still dominated by the mindset and characteristics of the power-abusing government and “majority-minority” framework which underlies every single policy? How prepared are Indonesian citizens, from the edge of Papua to Sumatera, in facing the possible consequences of the implementation of AEC?.
Edisi Januari-Juni 2015
31
Interfidei newsletter
Agenda Agenda Agustus-Desember 2014
August-December 2014 Agenda
Diskusi dan Buka Puasa Bersama “Mengasuh dan Mendidik Anak di Era Digital”, Juli 2015 Pelatihan Membuat Modul Pendidikan Agama Kristen Protestan, 23 - 24 Juli 2015 di Tentena Lokakarya Guru-guru Agama, 26 - 30 Juli 2015 di Poso. Seminar dan FGD Guru-guru Agama Kabupaten Gunungkidul, 5 Agustus 2015 Seminar dan FGD Guru-guru Agama Kabupaten Sleman, Agustus 2015 Lokakarya Tingkat Lanjut Guru-guru Agama, 1 - 3 September 2015, Palu Konferensi, Focus Group Discussion dan Monitoring - Evaluasi Jaringan Antariman Pimpinan Agama-agama di Propinsi Papua, 6 - 9 September 2015. Pengembangan Kapasitas jaringan Antariman Tahap II, 14 21 September 2015, Kotamobagu Penyusunan Kurikulum Pendidikan Agama, 1 - 3 Oktober di Palu Strategic Meeting Jaringan Antariman Pimpinan Agama-agama di Propinsi Papua, 6 - 8 Oktober 2015, Jayapura Lokakarya Guru-guru Agama Kabupaten Sleman dan Gunungkidul, November 2015.
Fast-breaking and Discussion on “Nurturing and Educating Children in Digital Era”; July 2015 Training on Making Protestant Religion Teaching Module; 23-24 July 2015 in Tentena Workshop for Teachers of Religions, 26-30 July 2015 in Poso Seminar and Focus Group Discussion for Teachers of Religion of Gunung Kidul District, 19 August 2015 Seminar and Focus Group Discussion for Teachers of Religions of Sleman District, August 2015 Advanced Workshop for Teachers of Religions, 1-3 September 2015, Palu Conference, Focus Group Discussion and Monitoring – Evaluation of Religious Leaders Interfaith Network of Papua, 6-9 September 2015 Capacity Building of Interfaith Network Stage II, 14-21 September 2015, Kotamobagu, North Sulawesi Curriculum Design for Religion Subject, 1-3 October in Palu Strategic Meeting of Religious Leaders Interfaith Network of Papua, 6-8 October 2015, Jayapura Workshop for Teachers of Religions of Sleman and Gunung Kidul Districts, November 2015
Publikasi: Buku Saku : “Dialog Perspektif Agama-agama” Buku dalam Rangka Ulang Tahun Banthe Sri Pannyavaro Mahatera yang ke – 60. Buku: “Perjalanan 20 Tahun Institut DIAN/Interfidei” Buku: “ I Come from a Pancasila Family: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesia Post-Reformasi Era” (Disertasi Suhadi)
Publication Pocket Book, “Dialog Perspektif Agama-agama” (Perspective of Religions on Dialogue) Book, commemorating Banthe Sri Pannyavaro Mahatera’s 60th birthday Book, “Perjalanan 20 Tahun Institut DIAN/Interfidei” (20year Journey of Institute DIAN/Interfidei Book: “I Come from a Pancasila Family: A Discursive Study on Muslim-Christian Identity Transformation in Indonesia Post-Reformasi Era” (A dissertation by Suhadi)
Yayasan Dian/Interfidei
Board Members : Executive Board : Departements : Address : No.Rek :
32
Dian/Interfidei Foundation Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Elga Sarapung (Director), Margareta Endah Widyaningrum (Secretariate), Eko Putro Mardianto (Finance) Elga Sarapung (Education, Networking), Wiwin Siti Aminah R (Publication & Database), Wening Fikriyati (Documentation & Website), Fita Andriani (Institution, Fundrising, HRD) & Mohammad Furqon (Library) Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph.: 0274- 880149, Fax.: 0274-887864, E-mail:
[email protected] ; Website: http://www. interfidei.or.id ; Facebook: Institut DIAN/Interfidei ; Twitter: @dian_interfidei Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No. 0039234672.
Edisi Januari-Juni 2015