Momok Ketimpangan: Waktu, Sejarah, Antropologi & Modernitas1 Ismail F. Alatas Michigan University
Abstrak This article critically observes the modern regime of time that led to the temporalizing of history. The employment of the master category of singular modernity encompasses its capacity for unifying all singularities, hence, betraying capitalism’s and nation states’ desire to transform plural histories into a single one. Anthropology too has been responsible for the production and maintenance of the temporal order of modernity. While capitalist and national expansions would use violent means to spatially establish themselves by destroying alternative modes of production and body politics, anthropology manipulates time with various devices of sequencing and distancing thereby assigning the conquered into the past. This article suggests that anthropology should no longer align itself with modernity and its notion of human progress. Rather, it should play out disqualified forms of interpretations, rescuing the multiple temporalities at work in the world, to blast the continuum of history. Key words: Time, History, Anthropology & Modernity Malam itu, Hasan bin ‘Ali terbangun dari tidur pulasnya. Detak jarum jam di dinding belum menunjukkan pukul empat, waktu bangunnya sehari-hari. Hasan merasakan sensasi tak terperikan di sekujur tubuh. Pikirannya tak tenang. Kebimbangan menyelimuti. Ia telah dibuat terjaga oleh percikan suara dari masa 1
Penulis berterima kasih atas komentar, kritik, saran dan bimbingan yang telah diterima dari Joshua Miller, Geoff Eley, Stuart Kirsch, Alaina Lemon dan Yasmeen Hanoosh. Juga kepada Komunitas Salihara yang telah memberi ruang dan waktu bagi penulis untuk menyajikan makalah ini, khususnya kepada saudara Mohamad Guntur Romli. Tak lupa, saudara Eko Endarmoko yang telah menyunting terjemahan saya yang jauh dari sempurna. Terakhir kepada Laksmi Pamuntjak dan Richard Oh yang tak pernah berhenti memberi inspirasi. Namun demikian, semua kekurangan adalah tanggung jawab pribadi penulis.
14
lalu, sebuah nada hantu yang tak beranjak sirna. Bisikan-bisikan dari balik kubur yang selalu memekik dalam pikiran seorang Hadrami seperti dirinya. Hasan memimpikan seorang wali disegani yang telah lama wafat, Abū ‘Alāmah, yang dahulu berkelana di tanah harum Jawa. Walaupun dia kemudian meninggal dan dikuburkan di pedalaman Wādī Hadramaut, Yaman, di antara tajamnya bebatuan dataran tinggi lembah gersang nan tandus, hidupnya telah menorehkan perjalanan seorang pengembara yang mengarungi Samudra Hindia di zaman imperium global. Semasa tinggal di Jawa, Abū ‘Alāmah mendirikan sebuah masjid di Gebang, sebuah
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
dusun pesisir tak jauh dari bandar Cirebon. Layaknya membangun dua buah cermin yang saling berhadapan, ketika kembali ke Hadramaut, Abū ‘Alāmah membangun lagi sebuah masjid di kota Mukalla. Dua masjid di pinggir pantai, di Gebang dan Mukalla, ia namai dengan satu nama: al-rawḍah (taman). Sepertinya, kedua masjid yang saling berhadapan walaupun dipisahkan oleh Samudera Hindia memiliki satu fungsi; sebagai mercusuar yang saling bertatapan, menandai gerakan para musafir Hadrami dalam melintasi bentang samudra. Layaknya sebuah mercusuar yang mengabarkan kepada kapal-kapal akan tujuan perjalanan, masjid di Gebang itu menyambut para pengelana ke negeri yang asing sekaligus akrab. Beberapa dekade telah lewat semenjak komunitas Hadrami berayun antara pantai Mukalla dan Jawa. Di zaman negara-bangsa modern, gerakan melintasi laut dilihat dengan syak wasangka. Seseorang tak lagi dapat menjadi bagian dari dua tempat berbeda. Dia harus memilih hanya satu yang ia inginkan. Orang Indonesia atau Hadrami―sebuah pilihan jahanam bagi para musafir Hadrami yang wataknya suka berkelana. Maka di zaman negarabangsa modern, bangunan peninggalan Abū ‘Alāmah pun menjadi rusak. Rupanya dalam pengerasan identitas banyak yang terlupakan. Dilupakan oleh komunitas Hadrami yang kini telah menjadi orang Indonesia sepenuhnya, masjid di Gebang tak lagi memandang bentang samudra. Tetapi suara itu kembali datang malam itu. Sebuah bisikan sunyi dari zaman ketika The sun is warm, the sky is clear, The waves are dancing fast and bright. Matahari hangat, langit cerah, Ombak menari cepat dan riang. (Shelley, 1905: 73)
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
Dalam mimpinya, Hasan melihat Abū ‘Alāmah. Dengan suara lirih yang menunjukkan kelemahan resonansi suara dari balik kubur, sang musafir mengingatkan Hasan akan masjid yang terlupakan. “Tolong perhatikan masjid itu . . . jangan sampai masyarakat melupakannya . . . ” Dengan kata-kata ini, visi tersebut hilang dan detakan jarum jam kembali terdengar. Keesokan harinya, Hasan bergegas meninggalkan rumahnya di Pekalongan, menyusuri Pantai utara Jawa menuju Gebang. Setelah sekian lama mencari masjid Abū ‘Alāmah, ia menemukan sebuah bangunan tua yang telah hancur di balik barisan gerobak pedagang kaki lima. Sebuah masjid yang telah dikhianati oleh memori, kini hanya sebongkah reruntuhan tak terjamah. Kedatangan Hasan memulai babak baru pembangunan kembali masjid Gebang. Hingga wafatnya di tahun 2001, Hasan mendedikasikan dirinya menjaga masjid tersebut, mengawasi agar mercusuar itu tak luput dari ingatan untuk kedua kalinya. Hasan menceritakan pengalamannya, ketika saya berkunjung ke rumahnya di tahun 1999. Kisah ini terkuak, ketika saya menanyakan foto masjid yang terpampang di dinding ruang tamunya. Setelah berpamitan dengannya, saya langsung mengayuh sepeda menembus kesunyian malam. Dalam pikiran, beberapa serpihan mosaik seakan menari-nari dengan bebas menunggu tempatnya masingmasing sehingga dapat merangkai sebuah cerita. Abū ‘Alāmah, Masjid Gebang dan Mukalla, Wādī Hadramaut, Samudra Hindia, negara-bangsa modern, hantu yang kembali, dan jam mekanik yang berdetak di dinding. Komponen-komponen ini mulai terangkai, membentuk pencitraan yang saling bertautan: sebuah kolase dari masa silam, dimana identitas dan sejarah dibayangkan secara berbeda dari masa kini.
15
Ini adalah kisah kosmopolitanisme para pengembara Hadrami yang, seperti bentukbentuk kosmopolitanisme lain di Samudra Hindia, telah hilang dan lenyap ditelan kondisi pascakolonial yang dimotori oleh negara-bangsa modern. Namun, walaupun bentuk-bentuk kosmopolitanisme ini telah dihancurkan, terkadang dengan kekerasan, oleh nasionalisme teritorial dalam proses pembentukan ruang dan waktu kebangsaan, baranya tetap menyala kendati redup, menunggu seseorang yang akan meniupkan angin segar hingga menyala kembali. Suara-suara lirih di sekitar Samudra Hindia tetap mengelana dan terkadang menemukan artikulasinya. Abū ‘Alāmah yang datang kembali menghantui Hasan adalah salah satu bentuk artikulasi tersebut. Sepotong masa lalu, yang telah dilupakan dan dibuang secara paksa dari masa kini dan masa depan, kembali muncul, mengubah kekinian masa sekarang yang ditata oleh jam dinding mekanis menjadi sebuah ranah pengalaman yang padat dan beraneka ragam. Ini adalah peristiwa munculnya kembali “prasejarah” di dalam ruang dan waktu kebangsaan, menghanguskan kesinambungan sejarah dan meluluhlantakkan kemenangan ilusioner modernitas yang diwakili oleh keseragaman (baik ruang maupun waktu) yang dipaksakan oleh perluasan kapital dan negarabangsa. Momok yang kembali menghantui menciptakan sebuah campur tangan menentukan terhadap kekerasan negara-bangsa dalam penaklukan ruang dan domestikasi waktu (Skurski & Coronil, 2005). “Momentum penuh bahaya” (moment of danger) ―meminjam kalimat masyhur Walter Benjamin―tersebut dapat, jika dimaknai sepatutnya, membuka sebuah kemungkinan lain untuk masa depan. “Masa lalu, hanya dapat diraih sebagai sebuah gambaran yang berkelebat seketika, di saat ia dapat dikenali dan setelah itu tidak akan terlihat lagi,” begitulah tulis Benjamin (1968: 255). Di
16
sinilah saya beranggapan bahwa antropologi dapat memainkan peran penting dalam mengenali momen-momen penuh bahaya tersebut, sehingga dapat membantu mengaktualisasi kemungkinan-kemungkinan lain untuk masa depan. I Modernitas memulai sebuah babak mutakhir dalam fenomena kesejarahan sedunia dengan memproklamasikan bermulanya sebuah waktu baru. Sistem waktu baru inilah, yang kemudian menjadi waktu kita, atau modernitas kita, mencerminkan sebuah penjauhan (distancing) pelbagai harapan terhadap semua pengalaman terdahulu hingga masa kini; sebuah pelebaran yang membuka janji-janji kemajuan (Harootunian, 2000: 61). Hal ini membuahkan temporalisasi sejarah sebagai sebuah proses yang terus menuju kesempurnaan, atau, dengan kapitalisme, perkembangan merata di mana-mana. Penerapan kategori induk modernitas tunggal (master category of singular modernity) ini mencakup kemampuannya menyatukan segala yang Tunggal (singularities), sehingga memperlihatkan hasrat kuat kapitalisme yang tak kunjung henti untuk mengubah sejarah-sejarah plural/ majemuk menjadi kesatuan tunggal (Jameson, 2002). Apa yang diperlukan oleh proses ini sedari awalnya adalah, keharusan mengalami sejarah dalam ruang yang telah disiapkan. Susunan Omni-temporal yang dibangun oleh modernitas menghubungkan masa lalu sebagai apa yang telah dialami, masa depan yang belum datang, dan masa kini sebagai sesuatu yang sedang dijalani, hingga membentuk sebuah demarkasi antara kini yang modern dan masa lalu yang terdahulu. Dalam kondisi demikian, sejarah lebih bersifat ruang (spasial) ketimbang temporal, ditetapkan oleh struktur narasi yang ditujukan untuk merekam kisah sebuah bangsa
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
yang telah selesai. Ranah sejarah menyeluruh ini lebih menyerupai trayek perjalanan kapitalisme dan negara-bangsa sebagai dua sekutu politik yang saling antusias. Tidaklah mengejutkan kemudian, bahwa dua kata yang digunakan oleh Benjamin sebagai kata sifat dari waktu, yaitu “homogen” dan “hampa” lebih dapat diidentikkan dengan ruang dan konfigurasi ruang ketimbang dengan temporalitas. Jalan tol adalah ruang yang sangat membosankan dan homogen, sedangkan sebuah kamar dapat dikatakan hampa. Designasi kedua sifat ini tidak mengejutkan karena pada saat Benjamin merumuskan “Theses on the Philosophy of History” di tahun 1940, tatkala Hitler sedang mewujudkan sebuah proyek raksasa yang membinasakan: Autobahn (Chaudhuri, 2004). Proyek mercusuar jalan bebas hambatan ini dibangun untuk menghubungkan satu sisi Jerman dengan lainnya; sebuah penjajahan lanskap, menguatkan dan membakukan ruang kebangsaan. Di sini kita melihat sebuah pertemuan antara ruang dan waktu dalam konstruksi modernitas atas kebersamaan (simultaneity), atas pembatasan, dan atas sebuah ruang pengalaman yang tunggal (Brown, 2005). Dalam pembangunan susunan masa tersebut, waktu, layaknya ruang, menjadi tetap sehingga mudah didefinisikan dan diseragamkan. Momentum ini menandai titik pertemuan antara penaklukan ruang dan domestikasi waktu dalam pembentukan sebuah negara-bangsa modern. Pembentukan tempat, seperti kata Anna Tsing, “adalah sebuah kegiatan budaya maupun politik dan ekonomi. Ia menyangkut asumsiasumsi mengenai sifat dan karakter para subyek yang diabsahkan turut serta dalam proses tersebut, dan mengenai klaim-klaim yang dapat mereka sodorkan tentang posisi mereka dalam pengelompokan nasional, regional, dan global” (2000: 338). Kita bisa menambahkan bahwa
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
proses serupa juga terjadi dalam pembentukan waktu. Oleh karena itu, dalam penciptaan kategori analitis dan ideologis “Selatan,” sebagai sebuah ruang di mana perluasan kapital dan modernitas belum sepenuhnya diwujudkan, proses penjauhan (distancing) temporal juga dikukuhkan. Selatan yang sedang berkembang menduduki ruang modernitas tunggal yang sama dengan Utara yang telah berkembang, akan tetapi Selatan masih tertinggal seraya mencoba mengejar Utara yang semakin jauh meninggalkannya. Di sini, Selatan dilihat sebagai versi Utara yang belum tiba, sabar menunggu dalam apa yang dikatakan Dipesh Chakrabarty sebagai “versi sejarah ruang tunggu” (the waiting room version of history) (2000: 9). Beberapa selang waktu historis penuh perkembangan dan peradaban harus berlalu terlebih dahulu, sebelum Selatan dapat dipertimbangkan siap untuk sebuah modernitas yang terwujud. Ini adalah sebuah perspektif sejarah yang memaksa kita semua mengikuti jalan setapak tunggal modernitas untuk tetap hidup. Sebuah pandangan yang diungkapkan secara apik oleh V.S. Naipaul dalam kalimat pembuka A Bend in the River: “The world is what it is; men who are nothing, who allow themselves to become nothing, have no place in it” (1989: 3). Tampaknya ada sebuah keserupaan substantif antara struktur kapitalis global dan negara-bangsa dalam asumsinya tentang modernitas. Keduanya ingin menjajah ruang dan menaklukkan waktu dalam usaha menjadi artikulator tunggal realitas. Keduanya menjadi perwujudan konflik kosmik antara Chronos, dewa waktu, dan Zeus, dewa politik. Dalam konflik ini, Chronos akhirnya dikuasai oleh Zeus yang menciptakan negara dan kemudian menaklukkan waktu (Hegel, 1900: 245). Penaklukan terhadap masa, memungkinkan negara-bangsa mengatur segala bentuk ak-
17
tivitas sebagai waktu, yang secara intrinsik tunggal dan menyatukan, sehingga memberi ruang bagi negara-bangsa untuk “mengatur aneka ragam proses; yang biologis dengan yang sosial, yang psikologis atau subyektif dengan yang obyektif, yang seragam dengan waktu jarum jam, dsb.” (Gell, 1992: 315316). Dengan kata lain, hubungan manusia dengan waktu standard yang dikontrol oleh negara-bangsa menjadi satu-satunya cara seorang subyek modern mengalami dunia. Oleh karenanya, ketika Gregor Samsa dalam The Metamorphosis karangan Franz Kafka, terbangun dari tidurnya, dan menyadari bahwa dia telah berubah menjadi sebuah serangga besar, kesengsaraannya diperhebat dengan kesadaran bahwa ia akan ketinggalan kereta api (2004). Alhasil, keretakan awal Samsa dengan rutinitas waktu publik menyimbolkan keterputusan hubungannya dengan dunia. Antropologi juga telah ikut bertanggung jawab dalam pembentukan dan pemeliharaan susunan waktu modernitas. Di saat ekspansi kapital dan nasional sibuk menggunakan kekerasan dalam menetapkan ordo mereka, dengan menghancurkan mode-mode produksi dan body politics alternatif, antropologi memanipulasi waktu dengan berbagai alat peruntunan (sequencing) dan penjauhan (distancing) sehingga memojokkan secara sistematis ranahranah yang telah ditaklukkan menjadi bagian dari masa lalu yang kuno. Alat-alat penjauhan tersebut, atau apa yang dinamakan oleh Johannes Fabian sebagai “penolakan terhadap keserentakan” (denial of coevalness) menempatkan “obyek antropologi pada sebuah waktu yang berbeda dari masa kini yang didiami oleh para produser wacana antropologi” (2002). Dengan menjauhkan obyek etnografi, antropologi menyingkirkan mode-mode produksi dan body politics alternatif ke masa lalu seraya mengukuhkan ranah pengalaman
18
tunggal modernitas. Hasilnya adalah sebuah paradigma historisisme, dengan pemahaman bahwa sebuah jalur tunggal akan membawa manusia ke tingkat yang lebih sempurna melalui perkembangan bertahap. Dengan didorong oleh asumsi dasar bahwa semua masyarakat yang ada di dunia akan mengikuti perjalanan sejarah yang serupa dengan Barat, antropologi sebagai disiplin ilmu bermaksud “menyelamatkan fenomena” (saving the phenomenon) sebelum hilang untuk selamalamanya. Dari sini kita dapat memahami perasaan keterlambatan yang dahulu dirasakan oleh Claude Lévi-Strauss di saat ia menyusuri daerah pinggiran kota Lahore yang telah usang. Sang Antropolog sangat terganggu dengan: Jalan-jalan lebar yang tergurat di sisi reruntuhan (akibat kerusuhan baru-baru ini) rumahrumah berumur lima ratus tahun... kapankah waktu yang tepat untuk melihat India? Periode manakah yang dapat membuahkan kepuasan terbesar dalam mempelajari orang-orang liar (savage) Brazil? Di mana mereka masih dalam puncak kehidupannya? Akulah yang kalah... karena hari ini, di saat aku merintih di balik bayang-bayang, aku rindu, secara mutlak, akan pemandangan yang kini tengah menjelma... (Lévi-Strauss, dikutip dalam Stoler, 2008: 207-208).
Nostalgia Lévi-Strauss, pada tempat yang tak pernah dilihatnya dan pada waktu yang tak akan pernah diketahuinya, memperlihatkan posisinya sebagai seorang antropolog modern. Di satu sisi, ia memercayai jalur modernitas tunggal yang memaksa berbagai lifeworld berbeda untuk mengikuti jalan kemajuan yang sama, walaupun dalam waktu berbeda, sehingga membuahkan sebuah kepentingan genting untuk menangkap dan mempelajarinya sebelum mereka hilang ditelan roda sejarah. Namun di sisi lain, ia berniat menyelamatkan lifeworld yang akan sirna, dengan menggunakan mekanisme yang justru memosisikan
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
mereka dalam “ruang tunggu sejarah,” yaitu dalam hal ini dengan “penolakan terhadap keserentakan”. Dengan demikian, baik “penolakan terhadap keserentakan” maupun proyek “penyelamatan fenomena” mencerminkan dan mendukung agenda modernitas dalam penaklukan ruang dan waktu dengan menempatkan keragaman lifeworld dalam sebuah lini perakitan historisisme. Sampai titik ini, kita mulai dapat memahami secara lebih mendalam, argumen Benedict Anderson bahwa suatu bangsa timbul dengan munculnya konsep modern “kebersamaan” (simultaneity), yang baginya dapat tercapai dengan adanya “waktu hampa dan homogen” seperti diutarakan Benjamin (Anderson, 1999: 30). Dalam pandangan ini, “malang-melintang” (transverse) dan “sebrangan waktu” (crosstime) tidak lagi mengacu kepada “pemenuhan” (fulfillment) seperti pada abad pertengahan, namun lebih kepada “kebetulan temporal” (temporal coincidence) yang dikendalikan oleh jam mekanis dan kalender (ibid). Anderson sangat tepat bahwa kemunculan sebuah bangsa memerlukan konsep kebersamaan untuk menghomogenkan populasi. Namun, ia menawarkan sebuah konstruksi ideologis yang dirancang untuk mengesampingkan multiplisitas waktu yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam kesehariannya, sehingga akan selalu membagi dan membelah mereka (De Certeau, 2002; Harootunian, 2000; Roberts, 2006). Dengan kata lain, waktu nasional tidak akan pernah dapat menaklukkan kehidupan keseharian dengan dinamika multiplisitas waktunya sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita dapat memulihkan multiplisitas waktu yang beroperasi dalam ranah keseharian. Proyek ini sangat berbeda dari kebiasaan antropologi selama ini yang berkutat pada pemahaman tentang bagaimana sebuah masyarakat membentuk dan memahami ruang dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
waktu yang timbul dari kebiasaan-kebiasaan ekonomi mereka yang bersifat partikulir (Munn, 1992). Proyek penelitian semacam ini hanya akan kembali “menolak keserentakan” dengan menghadirkan tanpa pandangan kritis, sebuah model etnografis dunia eksotik, “seakan mereka [obyek etnografi] layaknya anak-anak kecil yang dapat dibiarkan bermain dalam kebun penuh klenik yang mereka ciptakan sendiri” (Gell, 1992: 324). Jelas bahwa proyek semacam ini hanya membiarkan problem multiplisitas waktu tanpa mempertanyakannya, sehingga tetap saja membantu mengukuhkan ranah pengalaman modern tunggal. Dalam konstruksi temporal ini, lifewords lain akan tetap mendiami “ruang tunggu sejarah,” dengan sabar menanti masa tatkala mereka akan diubah menyerupai citra bangsa-bangsa yang telah berkembang. Dengan demikian, apa yang perlu diwaspadai justru adalah konstruksi masa depan penuh kesempurnaan tersebut, sehingga menyiratkan pentingnya pemikiran kembali terhadap temporalitas yang tak memisahkan masa lalu, kini, dan masa depan sebagai tiga kategori ontologis berbeda. Hanya melalui usaha inilah, kita dapat membebaskan waktu dari provinsialisasinya. Seperti kata T.S. Eliot dahulu, provinsialisasi waktu terjadi pada saat “dunia hanya menjadi properti bagi mereka yang hidup, sebuah properti di mana mereka yang mati tak lagi ikut memiliki” (1957: 69). Usaha ini hanya mungkin setelah kita (i) mulai mengamati kapitalisme dan ekspansinya bukan sebagai sesuatu yang stabil, namun sebagai sebuah proses penuh ketegangan, dan (ii) melihat sebuah bangsa tidak sebagai sebuah fenomena yang telah final ataupun sebagai body politic yang koheren (seperti dikemukakan oleh Anderson), namun sebagai sebuah bangunan yang terus dirumuskan secara berkesinambungan. Bangsa sebagai sebuah narasi yang terus ditulis dan direproduksi melalui pecahan penuh
19
ambivalensi antara “pedagogi/pengajaran berkesinambungan yang akumulatif secara temporal dan performatif strategis yang berulang-ulang” (Bhabha, 1994: 209). Pembahasan Homi Bhabha tentang dimensi temporal dalam penulisan sebuah bangsa, memberi kepada kita ruang untuk menggantikan historisisme yang selama ini mendominasi wacana kebangsaan sebagai sebuah kekuatan kultural (Ibid: 201). Hanya melalui rekonseptualisasi inilah, pertautan dan percampuran antara “pra-sejarah” dengan masa kini, atau, merujuk pada kisah di awal tadi, pertemuan dinamis antara waktu Abū ‘Alāmah dan waktu mekanis detak jam dinding yang terjadi dalam kamar tidur Hasan, dapat kita pahami secara lebih mendalam. II Macondo. Kesunyian tanpa henti telah berjalan hingga lebih dari seratus tahun. Sebuah narasi dipenuhi ambiguitas temporal. Tentu saja waktu berjalan dan keluarga Buendía beranak-pinak. Namun Márquez menyediakan ruang yang besar bagi multiplisitas waktu, sehingga seolah-olah pelbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah itu berjalan secara simultan (Márquez, 2002). Laboratorium sang Alchemist yang dahulu dibangun oleh Melquíades tetap terjaga seperti sedia kala; seperti tidak terjamah oleh badai kemajuan yang dahulu sempat menjorokkan Angelus Novus Benjamin ke depan. Macondo terus berubah, namun laboratorium itu seakan menertawakan disiplin waktu yang selalu saja ingin menyempitkan dimensi masa. Tetapi laboratorium itu merupakan bagian dari Macondo, sama-sama mendiami satu ruang dan waktu. Ruang dan waktu kebangsaan dan modernitas. Laboratorium Melquíades turut menjadi saksi bisu dalam tragedi pergolakan dan kemajuan yang terjadi dalam teater masa kini, menantang gerakan maju ke depan sejarah melalui iluminasi involunter masa lalu. Seper-
20
tinya, laboratorium itu tetap saja menghadapi anggota lelaki keluarga Buendía seperti kilatan momok yang dahulu mengejutkan sang musafir antara Jerusalem dan Damaskus. “Saul! Saul!... mengapa kau aniaya diriku?” Novel One Hundred Years of Solitude memberi kita ruang untuk memikirkan multiplisitas waktu yang secara dinamis tetap saja hidup bersama kita dalam ranah pengalaman tunggal modernitas. Bukannya menyingkirkan keragaman temporalitas pada ranah-ranah yang belum terjamah oleh modernitas dan ekspansi kapital (sebuah mekanisme yang tadi telah kita sebut sebagai “penolakan terhadap keserentakan”), novel ini memaksa untuk menilik ulang pemahaman kita tentang ranah modern keseharian. Repetisi spiral, sebuah tema yang cukup signifikan bagi Márquez teramat penting untuk pemikiran ini. Mari kita kembali memikirkan kejadian 11 September. Sebuah kejadian yang menghancurkan ilusi neo-liberal akan akhir sejarah melalui sebuah intervensi di ruang masa kini sehingga menghanguskan harapan-harapan masa depan yang telah dirasakan begitu menjanjikan setelah hancurnya tembok Berlin (Fukuyama, 2001-2002). Publik tercengang menyaksikan kembalinya ideologi purba dalam sebuah gerakan yang menjadikan Arabia abad ketujuh sebagai inspirasi namun timbul dengan menggunakan infrastruktur modern seperti pesawat terbang. Tetapi sepertinya apa yang terjadi pada hari na’as di musim gugur 2001 itu sangat tidak asing. Ingatan kita dipaksa kembali ke abad ke-19, di zaman ekspansi imperium besar di Asia dan Afrika, di saat pertemuan antara mereka yang mewakili kapital dan kebutuhan pasar global dengan populasi lokal selalu saja menghasilkan tubrukan penuh kekerasan dan kerusuhan. Bentuk-bentuk baru dicampur-aduk dengan adat-istiadat dan kepercayaan lokal untuk menantang kaum penakluk,
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
seperti yang dapat kita amati pada kelompok Taiping di Cina, Jinpuren di Jepang, Sepoy di India, Mahdi di Sudan, dsb. Kasus-kasus ini memperlihatkan sebuah percampuran antara kepercayaan-kepercayaan kuno dan baru, terkadang dengan investasi teknologi militer mutakhir. Gerakan-gerakan ini memproklamasikan bermulanya sebuah temporalitas alternatif; sebuah masa kini yang baru (Harootunian, 2007: 473) Sekarang mari kita pikirkan kehadiran “Selatan” yang tak kunjung hilang. Sebuah “Selatan” yang akan terus-menerus hadir dalam divisi peta perkembangan global. Persoalan Selatan (The Southern Question) yang dahulu disodorkan Gramsci kepada kita menunjukkan keberbedaan temporal yang selalu hadir dalam ruang dan waktu kebangsaan (Gramsci, 2004). Juga badai Katrina yang menghancur-leburkan New Orleans dan pantai teluk Amerika di tahun 2005. Sebuah bencana alam yang membuka topeng kemajuan dengan memperlihatkan keberadaan Dunia Ketiga di dalam Amerika Serikat sendiri, sehingga menantang semua tanda ketimpangan yang sebelumnya hanya digunakan untuk menggambarkan dunia di luar Barat. Repetisi-repetisi ini membawa kita kepada sebuah pemahaman tentang keberadaan keragaman struktur temporalitas, yang biasanya dihapuskan oleh kapital dan bentuk narasi sejarah dominan, khususnya dalam proyek penyuaraan prestasi negara-bangsa. Apa yang selalu ditindas, ditekan, dan dihilangkan dari perspektif kita adalah keberadaan sesuatu yang oleh Ernest Bloch disebut sebagai “kesinkronan yang tak sinkron” (non-synchronous synchronicity) (1991: 108) atau apa yang disebut oleh Harry Harootunian sebagai “kesezamanan yang tak kontemporer” (non-contemporaneous contemporaneity) (2007:475-6) dalam “zonazona ketidakstabilan terselubung tempat masyarakat hidup” (zones of occult instabil-
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
ity where the people dwell) (Fanon, dikutip di Bhabha, 1992: 218) di dalam ruang dan waktu kebangsaan. Fenomena ini selalu saja menantang kultur historis dominan dan konsepnya tentang waktu progresif yang dimotori oleh angan-angan dan antisipasi masa depan. Inilah momok-momok ketimpangan yang akan tetap memaksa kita memikirkan ulang susunan waktu modernitas. Momok-momok ketimpangan ini sudah seharusnya dipahami sebagai bagian integral, dan bukan sebatas keberadaan aksidental dari sebuah bangsa dan juga dari ekspansi kapital. Pembacaan Dipesh Chakrabarty terhadap Das Kapital menunjukkan secara gamblang sebuah perspektif penting yang dibubuhkan Marx ke dalam ranah intim kapital; sebuah elemen ketidakpastian mendalam. Dalam proses reproduksi kehidupannya, kapital selalu saja menemui hubungan-hubungan yang memiliki kemungkinan ganda. Uang dan komoditas lainnya, yang jelas-jelas menduduki posisi sentral dalam perputaran kapital, sesungguhnya tidak memiliki hubungan alamiah apa pun dengan kehidupan kapital. Dengan demikian, Marx menyadari kemungkinan bahwa uang dan komoditas lainnya sebagai sebuah relasi, dapat terbentuk dalam sejarah tanpa harus membidani pertumbuhan kapital (Chakrabarty, 2000: bab 2). Heterogenitas yang diungkapkan Marx dalam pembacaannya terhadap sejarah uang dan komoditas menunjukkan adanya pelbagai kemungkinan dimana relasi-relasi yang tak menyumbang pada reproduksi logika kapital dapat tumbuh dan terjalin dengan relasi-relasi yang membantu. Pemahaman yang sama juga dapat diterapkan pada kategori perburuhan abstrak (abstract labor) yang dibutuhkan kapital untuk menyembunyikan proyek dehumanisasi terhadap perburuhan manusia (human labor). Kendati perburuhan abstrak tetap ada dan terbentuk, ia tidak akan pernah dapat menji-
21
nakkan secara penuh kehidupan para buruh, tubuhnya, urat dan otot-ototnya, yang dengan sendirinya menjadi tempat berlangsungnya sejarah yang berbeda dan terbebas, namun tetap terjalin dengan kapitalisme (ibid). Uang dan badan manusia yang tidak digunakan guna memajukan logika kapital inilah yang kemudian memberikan kita pijakan untuk menempatkan keberbedaan cara-cara menjadi manusia serta keanekaragaman relasinya dengan logika kapital global. Alhasil, produksi dan reproduksi ketimpangan dalam bentuk-bentuk baru adalah kondisi dari hukum akumulasi kapitalisme. Dalam tubuh kapitalisme selalu saja bergelimang jejak-jejak dari mode-mode produksi yang lalu. Oleh karenanya, perkembangan timpang dari produksi material memberi ruang besar bagi koeksistensi antara mode produksi dominan dengan mode-mode lama yang terkadang muncul dalam “bentuk kerdil, atau malah [dalam bentuk] tiruan yang diselewengkan” (stunted form, or even travestied) (Marx, 1973: 105). Hasrat kapital untuk mereduksi pluralitas ke dalam sebuah ranah pengalaman tunggal tersandung dengan sendirinya karena ranah tersebut telah memendam tanda-tanda keberbedaan. Dari sini kita dapat mulai memahami bahwa kemunculan kembali mode-mode produksi lama serta visi politik lapuk (seperti fundamentalisme agamis) secara berkala, mengingatkan kita bahwa masa kini akan selalu memberi ruang pementasan ulang bagi masa lalu di ranah kekinian. Kemunculan-kemunculan inilah yang disebut Husserl sebagai “buntut komet retensi” yang berhasil menjaga identitasnya setelah sang komet hilang dari cakrawala kita, sehingga membawa kepadatan dan kepekatan terhadap masa kini. Sebuah masa kini yang dipenuhi bekas temporalitas dan momentum yang berbeda, tersedimentasi di pojok-pojok ruang kekinian (Husserl, 1991: 37).
22
Di sinilah letak kemungkinan memimpikan temporalitas ganda yang dapat berdampingan dengan narasi dominan yang terus hidup dalam ranah keseharian; sebuah kesaksian atas kegagalan proyek kapitalisme dan negara-bangsa dalam menaklukkan waktu. Baik dalam bentuk urat dan otot para buruh yang tidak akan pernah bisa dikontrol oleh disiplin kerja, maupun karya sastra, kesenian dan praktik-praktik yang membentuk performative2 di hadapan pedagogi kebangsaan. Mereka semua memberi kesaksian terhadap kemajemukan ranah pengalaman kita. Oleh karenanya, Marcel Proust dahulu berefleksi bahwa tubuhnya memiliki waktu sendiri dan ia tidur, “not on a dial superficially marked but by the steadily growing weight of all my replenished forces which, like a powerful clockwork, it had allowed, notch by notch, to descend from my brain into the rest of my body” (Proust, 1970: 290).
Dalam pencariannya akan waktu yang hilang, alat-alat waktu mekanis tak berguna karena Proust telah belajar mendengarkan gerakan-gerakan halus memori yang telah tertanam dalam tubuhnya sedari dulu dan telah ditakdirkan akan timbul kembali dengan cara memikat yang tak dapat diramalkan. Model historiografis yang kemudian dapat menyerap konsep repetisi ini adalah apa yang telah disuguhkan oleh Marx dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. Dalam karya ini, Marx mencoba membayangkan sejarah sebagai sesuatu yang selalu belum selesai, 2
Performative disini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk wicara dimana penuturan sekaligus merupakan pementasan dari sebuah laku. Sebagai contoh, dalam Injil dikatakan “Let there be light: and there was light”. Judith Butler menerapkan teori performatif pada produksi gender, dengan menyatakan bahwa pengimbuhan gender (gendering) adalah sebuah proses performative yang ditandaskan ulang dan yang bermula ketika seseorang mengatakan “Its a girl” (Butler, 1997).
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
tepatnya karena masa kini akan selalu mencoba memperlihatkan masa lalu yang telah terjadi sebelumnya (1978). Oleh karenanya, dalam “zona-zona ketidakstabilan terselubung” yang merupakan tempat berdiam keragaman temporalitas yang telah dilupakan inilah, para antropolog seharusnya memfokuskan studi mereka. Banyak kali, “momen-momen berbahaya” berlalu seketika, seperti halnya revolusi para petani yang langsung diapropriasi oleh kaum penguasa sehingga berlanjut pada naiknya Louis Bonaparte (Marx, 1978). Atau seperti peristiwa tragis di September 2001 itu yang berlangsung dengan sangat dramatis, membuka keanekaragaman kemungkinan baru pada saat terjadinya, namun hanya untuk segera didomestikasi dan diasimilasi ulang ke dalam narasi dominan oleh pemerintah (Asad, 2004). Dengan demikian, tugas kita adalah mengenali momen-momen tersebut serta kehidupan setelahnya (afterlife), untuk kemudian mengaktualisasikannya agar dapat menunjukkan keragaman temporalitas dan mengkonstruksikannya sehingga dapat meluluh-lantahkan kontinuum sejarah. Dalam pemahaman ini, konstruksi berarti sebuah proses penyadaran untuk mengingat sesuatu yang telah terlupakan, namun tak pernah hilang dari kesadaran. Dia adalah sebuah pementasan yang bertujuan memproduksi sebuah efek konkret, yang diutarakan Benjamin sebagai sebuah momen di saat masa lalu “hinggap secara tiba-tiba dengan kekinian dan menggurat sebuah konstelasi” (Benjamin, 1999: 462). Dengan melibatkan diri dalam konstruksi, dalam menghidupkan kembali “buntut-buntut komet,” antropologi dapat memainkan peran penting dalam membayangkan keberbedaan dan ketiadaan identitas yang telah dikorbankan oleh historiografi dalam proses konversi waktu hampa menjadi sebuah kisah kontinual. Ini adalah sebuah intervensi yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
dapat dan harus dilakukan oleh sebuah proyek antropologi waktu dan sejarah. III Tuan Adolf Verloc, seorang pemilik kedai yang menjual barang-barang pornografis memiliki kehidupan lain yang ia rahasiakan. Dia adalah seorang agen rahasia yang berhubungan dengan sebuah kelompok anarkis yang memproduksi pamflet berkala berjudul The Future of the Proletariat. Verloc juga seorang agent provocateur yang dipekerjakan untuk menginfiltrasi kelompok tersebut oleh tuan Vladimir, seorang sekretaris di salah satu kedutaan besar asing. Hari itu, Verloc menerima instruksi dari tuan Vladimir untuk mengebom observatorium Greenwich. Dari semua serangan terhadap otoritas keseragaman waktu publik yang muncul dalam literatur imajinatif awal abad kedua puluh, tak ada yang lebih ekplisit dari pemboman yang dilukiskan Joseph Conrad dalam The Secret Agent (Conrad, 1990). Conrad tak dapat memilih target pemboman anarkis yang lebih tepat ketimbang simbol otoritas politik sentral tersebut. Antropologi dapat memainkan andil penting dalam pemusnahan kontinuum sejarah dengan mengaktifkan “buntut-buntut komet” menjemput “masa kini yang padat dan pekat” sehingga menantang waktu hampa dan homogen. Aktualisasi, seperti diingatkan Benjamin, berarti mencari di balik “kebiasaan pemikiran borjuis,” dalam bentuk kontinuitas waktu hampa, guna menemukan momentum keberbedaan kultural. Di sinilah letak penolakan dan perlawanan terhadap kebiasaan merepresentasikan “kesamaan” sehingga memulihkan epistemologi kemungkinan (Benjamin, 1999: 460). Hal-hal luar biasa dan ajaib, tidak lagi harus disingkirkan dari dunia Barat yang telah berkembang, sebagai manifestasi dari “penolakan terhadap keserentakan”. Oleh karenanya, antropologi sebagai sebuah pementasan,
23
bermaksud mengembalikan “pra-sejarah” ke masa kini, mengaktualisasikannya sehingga, menganggu ruang dan waktu kebangsaan dan kapitalisme. Sebuah proyek etnografis yang hendak mengkonstruksi ruang dan waktu tanpa kontekstualisasi di dalam narasi waktu dominan, hanya akan membangun sebuah bangunan ideologis masa lalu abadi. Seharusnya, aksi-aksi sosial dipelajari dalam bingkai ruang dan waktu dominan dan baru setelah itu, interpretasi temporal dilaksanakan. Sebagai contoh, studi terhadap ritual seharusnya didahului dengan observasi terhadap praktik-praktik kesehariaan dalam dunia kita karena ritual tidak memproyeksikan sebuah pandangan dunia, melainkan hanya berfungsi mengomentari dunia (Gell, 1992: 326). Perspektif ini akan membantu kita memahami bagaimana obyek etnografis kita berdialog dengan dunia, dengan negara-bangsa dan dengan modernitas, samasama hidup seperti kita dalam ranah yang sama, namun dapat membangun sebuah pengalaman dan kesadaran temporal yang berbeda dari yang dominan. Ketimbang melihat praktik-praktik ini sekedarnya, kita dapat melanjutkan sebuah proyek “antropologi terbalik” (reverse anthropology) yang bermaksud memulihkan metodemetode analisis yang berbeda dari kita (Kirsch, 2004), sehingga melemahkan monopoli kita sendiri terhadap metode analisis. Sebagai contoh, gerakan seperti Zapatista di Chiapas telah berhasil menyeimbangkan waktu cyclical masyarakat asli dengan proyek politik pembebasan yang ditulis dalam narasi modern Marxis dan di saat yang sama, mereka mendiami dunia kontemporer dengan dominasi globalnya yang tengah mereka lawan (Holloway, 1998). Seperti halnya Proust mencoba mengaktualisasi memorinya dengan menulis karya besarnya, Antropolog dapat mengaktualisasi “pra-sejarah” yang muncul di masa kini. Proses tersebut akan menginterogasi “apa yang men-
24
jadikan klaim-klaim tertentu dapat dinegosiasikan secara kontekstual dan klaim yang lain dibuang dari ambang batas kredibilitas” (Palmié, 2002: 5). Keberadaan momok-momok yang melukiskan ketimpangan susunan temporal dominan harus dipelajari secara serius karena mereka “melampaui pelbagai pembatasan dari apa yang dapat direpresentasikan dalam formasi diskursif yang kita kenal dengan nama sejarah” (Ibid: 12). Hal ini kemudian memungkinkan para Antropolog memberikan kembali kehidupan kepada mereka dan menegaskan keberadaannya dalam upaya menginterogasi cara-cara berpikir konvensional tentang waktu dan sejarah yang telah turut membangun jalur tunggal modernitas. Dengan demikian, antropologi menjadi sebuah performatif, menantang pedadogi dominan dengan mengelaborasi “sebuah visi tentang dunia dan cara kerjanya”, karena “melalui visi-visi dan counter-visi tersebut, sesungguhnya dunia ini diciptakan, dihancurkan dan diciptakan kembali” (West, 2006: 83). Performatif ini dapat dimungkinkan pada saat kita melihat dunia ini tidak sebagai sebuah struktur horisontal yang koheren namun sebagai sebuah dinamika dari berbagai visi atau “scapes” yang saling berlawanan dan berkontestasi di mana tak ada inti metafisis yang menentukan dan mengontrol (Appadurai, 1996). Sudah saatnya antropologi tak lagi memihak pada modernitas maupun pada kepercayaan akan perkembangan dan kemajuan manusia karena visi tersebut hanyalah satu dari banyak visi yang sama-sama bersifat lokal (Palmié, 2002: 16). Lebih baik, antropologi memberi ruang bagi bentuk-bentuk analisis dan interpretasi yang telah didiskualifikasi dan menghadapkan mereka dengan rezim ilmu pengetahuan yang telah mapan (ibid: 20). Satu langkah menuju tujuan ini adalah dengan menyelamatkan keanekaragaman temporalitas
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
di dunia ini dari pengerdilan dan pendataran makna serta intervensi terhadap pencukuran “kekinian-kekinian” menjadi sebuah suksesi sederhana. Hanya melalui pendekatan inilah, hantu Abū ‘Alāmah yang mendatangi Hasan di malam itu tak lagi terlihat sebagai sebuah fenomena yang ajaib.
Referensi Anderson, B. 1999 Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Appadurai, A. 1996 Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press,. Asad, T. 2004 On Suicide Bombing. New York: Columbia University Press. Benjamin, W. 1968 Illuminations: Essays and Reflections, disunting Hannah Arendt, penerjemah Harry Zohn. New York: Shocken Books. 1999 The Arcades Project, penerjemah Howard Eiland & Kevin McLaughlin. Cambridge: Harvard University Press. Bhabha, H. K. 1992 The Location of Culture. London: Routledge. Bloch, E. 1991 Heritage of Our Times, penerjemah Neville dan Stephen Plaice. Oxford: Polity Press. Brown, K. 2003 A Biography of No Place: From Ethnic Borderland to Soviet Heartland. Cambridge: Harvard University Press. Butler, J. 1997 Excitable Speech: A Politics of the Performative. New York: Routledge. Chakrabarty, D. 2000 Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference. Princeton: Princeton University Press. Chaudhuri, A. 2004 “In the Waiting-room of History”, dalam London Review of Books, 24 Juni. Conrad, J. 1990 Secret Agent: A Simple Tale. London: Penguin.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
25
De Certeau, M. 2002 The practice of Everyday Life, penerjemah Steven Rendall. Berkeley: University of California Press. Eliot, T. S. 1957 On Poetry and Poets. London: Faber and Faber. Fabian, J. 2002 Time and the Other: How Anthropology Makes its Object. New York: Columbia University Press. Fukuyama, F. 2001 "Their Target: The Modern World", dalam Newsweek, 2001/2002. Gell, A. 1992 The Anthropology of Time: Cultural Constructions of Temporal Maps and Images. Oxford: Berg. Gramsci, A. 2004 The Southern Question, penerjemah Pasquale Verdicchio. Toronto: Guernica Editions. Harootunian, H. 2000 History’s Disquiet: Modernity, Cultural Practice, and the Question of Everyday Life. New York: Columbia University Press. 2007 “Remembering the Historical Present,” dalam Critical Inquiry, 33. Hegel, G. W. F. 1900 The Philosophy of History, penerjemah John Sibree. New York: Willey Book. Holloway, J. dan Eloina Pelaez 1998 Zapatista!: Reinventing Revolution in Mexico. London: Pluto Press. Husserl, E. 1991 On the Phenomenology of the Consciousness of Internal Time, penerjemah John Barnett Brough. Dordrecht: Springer. Jameson, F. 2002 A Singular Modernity: Essay on the Ontology of the Present. London: Verso. Kafka, F. 2004 The Metamorphosis. Whitefish: Kessinger. Kirsch, S. 2004 Reverse Anthropology: Indigenous Analysis of Social and Environmental Relations in New Guinea. Stanford: Stanford University Press. Márquez, G. G. 2002 One Hundred Yeard of Solitude. New York: HarperCollins. Marx, K. 1973 Grundrisse: Introduction to the Critique of Political Economy, penerjemah Martin Nicolaus. Harmondsworth: Penguin. 1978 “Eighteenth Brumaire for Louis Bonaparte”, dalam The Marx-Engels Reader. New York: Norton.
26
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
Munn, N. 1957 The Fame of Gawa: a Symbolic Study of Value Transformation in a Massim (Papua New Guinea) Society. Durham: Duke University Press. Naipaul, V.S. 1989 A Bend in the River. New York: Random House. Palmié, S. 2002 Wizard and Scientists: Explorations in Afro-Cuban Modernity and Tradition. Durham: Duke University Press. Proust, M. 1970 Within a Budding Grove. New York: Vintage. Roberts, J. 2006 Philosophizing the Everyday: Revolutionary Praxis and the Fate of Culural Theory. London: Pluto Press. Shelley, P. B. 1905 “Stanzas Written in Dejection, near Naples”, dalam With Shelley in Italy. Chicago: A.C. McClurg & Co. Skurski, J. dan Fernando Coronil 2005 “Introduction: States of Violence and the Violence of States.” In States of Violence, penyunting: Julie Skurski & Fernando Coronil. Ann Arbor. University of Michigan Press. Stoler, A. L. 2008 “Imperial Debris: Reflections on Ruins and Ruination”, dalam Cultural Anthropology, 23, (2). Tsing, A. 2000 “The Global Situation”, dalam Cultural Anthropology, 15, (3). West, H. G. 2006 Ethnographic Sorcery. Chicago: University of Chicago Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA 1,2010
27