274 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(4), 2008: 274-287
Zainal Mahmud
MODERNISASI USAHA TANI KELAPA RAKYAT1) Zainal Mahmud Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111
PENDAHULUAN Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa kelapa merupakan komoditas yang paling luas penyebarannya di wilayah Nusantara. Kelapa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dengan peran yang berbeda-beda, mulai dari untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan budaya sampai untuk kepentingan ekonomi, sehingga dijuluki tree of life, pohon kehidupan. Status yang demikian membuat bentuk usaha tani kelapa yang berkembang di masyarakat berbedabeda pula, bergantung pada tujuan yang mendasarinya. Areal kelapa yang mencapai 3,74 juta ha atau 27% dari total areal perkebunan merupakan tanaman perkebunan yang terluas saat ini (Tondok 1998). Luasan ini tentunya tidak termasuk tanaman kelapa yang tumbuh dan berkembang secara alami di berbagai pulau yang dihuni atau tidak dihuni oleh manusia. Sekitar 3,59 juta ha atau 96% merupakan perkebunan rakyat
1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada tanggal 16 Februari 1999 di Bogor.
yang diusahakan secara monokultur atau polikultur dan atau pekarangan, dengan melibatkan sekitar 20 juta jiwa (Kasryno et al. 1998, Sulistyo 1998). Produktivitas aktual perkebunan kelapa rakyat masih sangat rendah karena diusahakan secara tradisional. Perkembangan usaha tani kelapa sangat lambat atau tidak ada perkembangan sama sekali. Tragisnya, nilai tukar produk utama kelapa malah menurun dengan munculnya substitusi dari komoditas lain. Lambatnya perkembangan usaha tani kelapa bukanlah disebabkan tidak tersedianya teknologi, tetapi lebih ditentukan oleh status petani dan status kelapa itu sendiri. Tingkat pendidikan, wawasan, dan ekonomi petani sangat mempengaruhi perkembangan usaha tani kelapa, demikian pula dengan asal muasal dari kebun tersebut. Petani yang memperoleh kebun kelapa dari warisan biasanya hanya memungut hasilnya saja, tidak akan memperhatikan pemeliharaannya. Berbeda dengan petani yang membangun kebun kelapa dengan menanam sendiri akan mengurus kebunnya dengan baik. Kondisi yang demikian diperburuk lagi oleh karakter yang dimiliki tanaman kelapa. Kelapa Dalam lokal dengan proporsi 95,8% dari luas areal kelapa di Indonesia, dalam kondisi
275
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
lingkungan tumbuh yang sesuai akan tetap berbuah walaupun tidak dipelihara. Banyak lagi karakter lain yang tidak merangsang petani untuk melakukan pemeliharaan. Kenyataan ini sangat kontroversial bila dibandingkan dengan potensi sumber daya fisik dan biologik yang dimiliki oleh perkebunan kelapa untuk dikembangkan menjadi usaha yang padat teknologi, padat modal, dan sekaligus padat karya, yang barangkali tidak dijumpai pada komoditas perkebunan lainnya. Mayang dan buah kelapa dapat menghasilkan berbagai produk primer dan sekunder, bahkan produk tersier untuk keperluan pasar domestik dan ekspor. Batangnya untuk kayu pertukangan, bagian tanaman yang lain dipakai untuk keperluan sosial dan budaya, sedangkan lahan di antara pohon kelapa sangat potensial untuk kegiatan usaha tani lain, seperti penanaman tanaman sela dan peternakan. Untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh perkebunan kelapa rakyat tersebut, perlu dilakukan modernisasi usaha tani kelapa rakyat. Modernisasi usaha tani adalah perpaduan komersialisasi usaha tani dan penggunaan teknologi mutakhir yang diaplikasikan dalam suatu sistem, yaitu Sistem Usahatani Kelapa Terpadu (SUKT). SUKT adalah kegiatan usaha bersama berskala ekonomi yang dilakukan oleh sekelompok petani pemilik kebun sehamparan. Luas hamparan ditentukan oleh lingkup usaha tani yang akan dilakukan. Lingkup usaha tani dapat berupa: (1) penganekaragaman produk kelapa, yaitu produk primer dan atau sekunder; (2) penganekaragaman komoditas, seperti pengusahaan tanaman sela dan/atau ternak; atau (3) penganekaragaman produk kelapa dan komoditas.
POTENSI PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT Berikut ini kesimpulan secara ringkas betapa besarnya potensi yang tersimpan pada perkebunan kelapa rakyat, mulai dari luas areal dan produksi sampai dengan potensi lahan untuk mengusahakan tanaman sela dan ternak, serta pengolahan hasil samping dan manfaat lain yang berpeluang untuk dikembangkan. Luas Areal Kelapa diusahakan di seluruh provinsi di Indonesia yang tersebar pada ketinggian 0-700 m dpl, pada tanah mineral sampai tanah gambut, beriklim basah sampai kering. Areal terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu Sumatera (32,8%), Jawa dan Bali (26,2%), serta Sulawesi (18,4%). Jika dilihat dari luas wilayah dalam hubungannya dengan luas areal kelapa yang ada maka potensi pengembangan terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Data sementara menunjukkan bahwa luas areal kelapa tahun 1996 mencapai 3.745.486 ha, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan areal kelapa terluas dan sekitar sepertiga areal kelapa dunia berada di Indonesia. Kelapa yang diusahakan sebagian besar adalah kelapa Dalam lokal (95,8 %), sedangkan sisanya adalah kelapa hibrida terutama kultivar PB-121. Dalam kurun 30 tahun (1967-1996), luas areal kelapa bertambah dengan laju pertumbuhan 3,1%/tahun. Produksi Produksi kelapa secara nasional meningkat rata-rata 3,0%/tahun dalam periode 1967-1996. Pada tahun 1996, produksi
276
Zainal Mahmud
kelapa Indonesia mencapai 2.718.902 ton setara kopra. Peningkatan produksi ini terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal sebesar 3,1%. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa produktivitas tanaman kelapa Dalam yang relatif tetap pada tingkat 1,1 ton setara kopra/ha/tahun, sedang kelapa hibrida selama 3 tahun terakhir telah melampui 1 ton setara kopra/ ha. Pada perkebunan besar negara dan swasta justru terjadi penurunan produktivitas rata-rata terutama 8 tahun terakhir. Potensi Lahan Pengusahaan kelapa secara monokultur tidak efisien dalam memanfaatkan potensi lahan dan tenaga kerja keluarga yang tersedia. Tanaman kelapa umumnya ditanam dengan jarak berkisar antara 7 m x 7 m sampai 10 m x 10 m untuk kelapa Dalam dengan kepadatan rata-rata sekitar 130-180 pohon/ha. Tanaman kelapa yang diusahakan secara intensif pada kondisi optimal menghasilkan buah sekitar 100-200 butir/ pohon/tahun. Produksi bahan kering tahunan sekitar 5,1-9,7 g/m2/hari. Laju tumbuh tanaman pada lingkungan yang optimal berkisar antara 15 -35 g/m2/hari (De Vries dalam Akuba dan Rumokoi 1997). Laju produksi bahan kering berbanding lurus dengan energi radiasi surya yang dimanfaatkan, sehingga data yang dikemukakan menggambarkan bahwa tanaman kelapa yang diusahakan secara monokultur walaupun dengan masukan yang tinggi, tidak efisien dalam memanfaatkan radiasi surya. Radiasi surya yang diteruskan dan tidak dicegat oleh tanaman berkisar antara 5-85%, bergantung pada umur tanaman. Tanaman kelapa hanya menggunakan 30-40% dari ruang di atas tanah (air space)
selama hidupnya, yang berarti tingkat penutupan rendah, sehingga risiko pencucian unsur hara melalui erosi tinggi. Kedalaman akar terkonsentrasi pada lapisan tanah setebal 30-120 cm dalam radius 2 m (Reynolds 1995), yang berarti ada sekitar 70-75% tanah tidak digunakan. Anilkumar dan Wahid (1988) dengan menggunakan isotop P untuk menentukan pola aktivitas akar tanaman berumur 9 tahun, mendapatkan 80% akar aktif berada pada radius 2 m sekitar pohon pada kedalaman 25-60 cm. Hal ini berarti efisiensi penggunaan lahan oleh tanaman kelapa sangat rendah dan berdampak terhadap penggunaan tenaga kerja yang tidak efisien. Efisiensi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan kelapa monokultur rendah. Hasil penelitian di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga yang tersedia rata-rata di daerah sentra produksi sebanyak 51 HOK/bulan. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani kelapa dan usaha tani lainnya sebanyak 24,7 HOK/bulan atau 48,4% dari tenaga kerja tersedia. Jumlah jam kerja berkisar antara 2-8 jam/hari (Akuba et al. 1992). Pengusahaan kelapa produktif yang intensif memerlukan tenaga kerja rata-rata 120 HOK/ha/tahun. Fattah (1984) menyatakan bahwa di Sulawesi Tengah, tenaga kerja yang digunakan dalam pengusahaan kelapa sebanyak 62,6 HOK/ha/ tahun dan 45 HOK di antaranya adalah tenaga kerja keluarga. Gambaran kelebihan tenaga kerja umumnya hanya terjadi di daerah pertanaman kelapa di lahan kering, sebaliknya di lahan pasang surut terjadi kelangkaan tenaga kerja. Masalah tenaga kerja merupakan masalah yang serius dalam pengembangan SUKT, terutama di lahan pasang surut dan lahan kering di luar Jawa.
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
Tanaman Sela dan Ternak Pertanaman kelapa monokultur menyediakan lahan dan ruang yang luas di atas tanah. Lahan yang tersisa tersebut dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela dan ternak. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya radiasi surya akibat naungan dari tajuk kelapa yang berpengaruh terhadap unsur iklim mikro lainnya seperti suhu, kelembapan udara, dan angin. Oleh karena itu, pemilihan komoditas yang akan diintroduksi di bawah kelapa merupakan kunci keberhasilan SUKT. Jenis tanaman dan ternak yang diintroduksi harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Tanaman sela tidak lebih tinggi dari tanaman kelapa selama periode pertumbuhannya, serta sistem perakaran dan tajuknya menempati horison tanah dan ruang di atas tanah yang berbeda. 2. Tanaman sela tidak merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit kelapa yang berbahaya, dan tanaman sela tidak peka dari tanaman kelapa terhadap serangan hama dan penyakit tersebut. 3. Pengelolaan tanaman sela dan ternak tidak menyebabkan kerusakan tanaman kelapa, terjadinya erosi, dan kerusakan tanah. 4. Tanaman sela sesuai untuk diusahakan pada ketinggian 0-500 m dpl, dengan kisaran curah hujan 1.500-3.500 mm/ tahun dan bulan kering (curah hujan <130 mm) maksimal 3 bulan berturutturut. 5. Tanaman sela toleran terhadap naungan dengan intensitas radiasi 50-200 W/ m2, suhu rata-rata 25o-27o C, dan kelembapan 80%. Pengembangan tanaman sela dan ternak di bawah kelapa memiliki beberapa
277
keuntungan, yaitu: (1) meningkatkan dan menganekaragamkan sumber pendapatan petani; (2) meningkatkan hasil pertanian dan produksi pangan; (3) memperkecil biaya pemeliharaan tanaman kelapa; (4) mempersingkat waktu berbuah kelapa karena pertumbuhan yang baik; (5) memperluas kesempatan kerja di pedesaan; (6) memperkecil risiko kerusakan akibat serangan hama dan penyakit; (7) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah serta memperkecil erosi; (8) naungan kelapa berpengaruh positif terhadap ternak akibat menurunnya suhu sehingga ternak terhindar dari cekaman panas; dan (9) limbah hasil pertanian meningkat yang dapat digunakan sebagai pakan. Peluang pengembangan SUKT menimbulkan berbagai tantangan, seperti: 1. Kompetisi antara tanaman sela dan kelapa terhadap radiasi surya, unsur hara, dan air menghendaki kombinasi tanaman yang tepat berdasarkan sumber daya yang tersedia. Penelitian untuk skrining jenis-jenis tanaman sela yang toleran terhadap naungan sangat diperlukan. 2. Penanaman berbagai jenis tanaman sela memerlukan tambahan masukan seperti pupuk dan pestisida. 3. Pengembangan ternak kemungkinan menyebabkan pemadatan tanah. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan cara pengelolaan ternak yang tidak berpengaruh buruk pada struktur tanah. 4. Pengembangan tanaman sela dan ternak menghendaki tingkat keterampilan petani yang tinggi. Upaya peningkatan keterampilan petani melalui kursus dan pelatihan diperlukan. Kerja sama antara peneliti dan penyuluh perlu lebih diintensifkan untuk meningkatkan keterampilan petani dan transfer teknologi.
278
Zainal Mahmud
Hasil Samping Sasaran pengembangan agroindustri di pedesaan antara lain adalah untuk menjamin pemasaran produk petani dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani. Ketersediaan teknologi tepat guna skala pedesaan yang diintegrasikan dengan industri yang lebih besar atau industri pengolahan lanjut akan memungkinkan pengembangan pola-pola kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pihak industri. Perkembangan teknologi telah mengubah arah industri pengolahan daging kelapa dari minyak makan menjadi produkproduk pangan lain dan industri kimia yang memiliki nilai tambah tinggi. Di samping itu, telah berkembang teknologi pemanfaatan bagian lain tanaman kelapa yang semula merupakan limbah menjadi produkproduk yang memiliki pasar, baik di dalam negeri maupun ekspor, seperti sabut, tempurung, nata de coco, mebel, gula, dan alkohol. Tersedianya teknologi skala kecil yang efisien, baik yang menghasilkan produk akhir maupun produk antara untuk diolah lebih lanjut dalam industri besar, memungkinkan pengembangan agroindustri hingga ke pedesaan. Berbagai teknologi telah dikembangkan untuk mengolah produk-produk dari kelapa di luar minyak, tetapi tingkat investasinya relatif masih terbatas. Salah satu kelebihan kelapa adalah memungkinkan dibangun suatu industri terpadu mulai dari produk sekunder hingga produk akhir. Industri berbahan baku kelapa dengan produk utama bukan minyak makan baru terdapat di beberapa daerah seperti Riau, Lampung, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Meskipun berbagai teknologi produk berbahan baku kelapa telah tersedia dan
beberapa pabrik telah beroperasi, ternyata petani belum dapat merasakan manfaat dari peningkatan nilai tambah tersebut. Petani baru berperan sebagai penyedia bahan baku, berupa kopra atau kelapa butiran segar bagi industri pengolahan. Pemerintah telah mengembangkan pola-pola kemitraan antara petani dan investor seperti PIR kelapa, tetapi ternyata belum membuka peluang bagi petani untuk ikut memperoleh manfaat dari peningkatan nilai tambah yang ditimbulkan oleh industri. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pengembangan agroindustri berbasis kelapa di pedesaan, teknologi hasil kegiatan penelitian dapat menjadi faktor kunci. Ketersediaan teknologi tepat guna skala pedesaan yang diintegrasikan dengan industri yang lebih besar atau industri pengolahan lanjut, akan memungkinkan pengembangan pola-pola kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pihak industri. Dengan demikian, akan tercipta suatu sistem agroindustri yang memungkinkan petani dan pengusaha menikmati nilai tambah secara adil dan wajar.
Manfaat Lain Sampai dengan Pelita VI, kultivar-kultivar kelapa yang dikembangkan sangat terbatas pada kelapa Dalam dan hibrida. Penggunaan kultivar-kultivar ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kelapa yang pada umumnya menghasilkan produk tradisional seperti minyak kelapa dan kelapa parut kering. Akibat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perkembangan teknologi, produkproduk yang dibutuhkan makin beragam. Hal ini menghendaki karakteristik kelapa
279
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
yang berbeda. Kelapa tidak hanya diperlukan untuk industri pangan dan nonpangan, tetapi juga berfungsi sebagai tanaman hias dan minuman penyegar. Kultivar kelapa yang cocok untuk kedua fungsi ini adalah kelapa Genjah karena karakteristik yang dimilikinya, yaitu penampilan tanaman yang berbatang pendek dan mahkota daun yang lebih kecil daripada kelapa Dalam dan hibrida. Ukuran buah kecil, warna buah menarik, daging dan air buah berasa manis, serta berbuah lebih cepat. Kultivar kelapa Genjah yang telah dikoleksi di Instalasi Penelitian Kelapa Mapanget, Sulawesi Utara sebanyak 19 kultivar. Kultivar-kultivar tersebut di arahkan pengembangannya ke pinggiran kota, daerah wisata, dan lahan pekarangan.
USAHA TANI KELAPA RAKYAT DAN MASALAHNYA Pengusahaan kelapa yang dilakukan oleh petani dari dahulu sampai sekarang tidak mengalami perkembangan yang berarti dibandingkan dengan perkembangan teknologi. Berbagai teknologi budi daya dan pengolahan hasil telah tersedia. Belum terserapnya teknologi tersebut tidak terlepas dari masalah-masalah internal kelapa itu sendiri, mulai dari aspek produksi, pengolahan, pemasaran sampai dengan kelembagaan.
monokultur, sedang pengembangan usaha tani polikultur belum sepenuhnya menerapkan teknologi anjuran. Penelitian di tiga kabupaten di Sulawesi Utara menunjukkan petani yang mengusahakan kelapa secara monokultur berkisar antara 20,0-41,9% (Akuba et al. 1992). Kelapa diusahakan dalam bentuk pola kebun dan pekarangan. Pola kebun umumnya diterapkan di luar Jawa, sedang di Jawa sebagian besar (53,8%) pola pekarangan (Asnawi 1985). Pemeliharaan tanaman umumnya berupa pengendalian gulma di sekitar pohon yang dilakukan bersamaan dengan panen buah setiap 2-3 bulan. Usaha pengendalian hama dan penyakit yang menimbulkan kerugian pada kelapa belum dilakukan. Pengolahan kelapa di tingkat petani terbatas pada pengolahan kopra atau minyak kelapa ataupun kelapa dijual dalam bentuk butiran. Di Sulawesi Utara, petani responden yang mengolah kopra sebanyak 75,6%, dan yang menjual kelapa butiran 15,7% (Akuba et al. 1992).
Pengolahan Hasil Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengolahan hasil kelapa pada pengembangan SUKT berkisar pada aspek teknologi, ketersediaan bahan baku (jumlah dan mutu), sumber daya manusia, infrastruktur, serta kelembagaan dan kebijakan pendukung.
Pola Pengusahaan Teknologi Tanaman kelapa umumnya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, yaitu 96% dari total areal dengan luas pemilikan rata-rata 1,1 ha/KK (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Sebagian besar kelapa diusahakan dalam bentuk usaha tani
Hasil utama dari kelapa selama ini adalah minyak makan, sehingga kelapa seakanakan identik dengan minyak makan. Sejak kelapa sawit muncul sebagai penghasil minyak makan yang lebih efisien, peranan
280
kelapa sebagai sumber minyak makan makin tergeser, khususnya di dalam negeri. Industri pengolahan kelapa bukan minyak makan belum berkembang yang disebabkan oleh: (1) keterbatasan informasi tentang potensi kelapa dan sumber teknologi bagi investor baru; (2) keterbatasan modal petani dan pengusaha kecil untuk pengembangan industri selain minyak kelapa; (3) struktur industri pengolahan minyak yang masih didominasi oleh minyak kelapa karena pengolahan minyak dapat diterapkan dalam skala rumah tangga sampai skala besar; dan (4) keterbatasan infrastruktur di daerah sumber bahan baku. Permasalahan mendesak yang perlu diupayakan pemecahannya adalah pengembangan teknologi proses berskala kecil/pedesaan untuk menghasilkan produk akhir maupun produk antara yang dapat diolah lebih lanjut oleh industri besar. Teknologi semacam ini mempunyai arti strategis karena: (1) memungkinkan pengembangan agroindustri sampai di pedesaan, termasuk wilayah dengan infrastruktur terbatas; (2) memberi peluang kepada petani untuk ikut menikmati nilai tambah yang tercipta dari agroindustri kelapa; (3) membuka lapangan kerja hingga ke pedesaan; (4) menjamin suplai bahan baku dalam jumlah dan mutu yang sesuai kebutuhan industri lanjutan; dan (5) meningkatkan efisiensi kinerja industri besar. Berbagai teknologi proses dan rekayasa telah dikembangkan melalui serangkaian penelitian, tetapi umumnya masih pada skala penelitian. Pengembangan lebih lanjut ke arah skala operasional masih merupakan masalah. Selain itu, teknologiteknologi tersebut masih bersifat parsial, padahal untuk pengolahan seluruh komponen hasil kelapa diperlukan pengolahan yang terintegrasi agar diperoleh nilai
Zainal Mahmud
tambah yang besar. Peranan swasta sangat penting artinya dalam upaya mendorong pengembangan industri pengolahan kelapa terpadu di pedesaan.
Ketersediaan Bahan Baku Rendahnya produktivitas kelapa pada tingkat petani berpengaruh terhadap efisiensi pabrik pengolahan. Dengan tingkat produktivitas saat ini, suatu pabrik pengolahan harus mendapat bahan baku dari areal dua kali lebih luas. Selain itu, industri pengolahan umumnya berada relatif jauh dari areal pertanaman kelapa. Demikian pula areal tanaman menyebar (tidak kompak) sehingga meningkatkan komponen biaya transportasi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi pengolahan, pengembangan industri pengolahan diusahakan dilakukan di sentra produksi atau dekat dengan sentra produksi.
Sumber Daya Manusia Agroindustri kelapa merupakan industri padat karya. Industri pengolahan yang memperoleh bahan baku dalam bentuk kelapa butiran menyebabkan pekerjaan melepaskan tempurung dan testa (kulit ari daging buah) harus dilakukan secara manual. Kualifikasi tenaga yang dibutuhkan cukup luas, mulai dari tenaga berketerampilan rendah sampai dengan tenaga berketerampilan khusus untuk mengoperasikan mesin-mesin dan menjalankan manajemen. Apabila pengembangan industri ini sampai ke pedesaan, maka penyediaan tenaga berketerampilan rendah tidak ada masalah. Permasalahan yang akan di-
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
hadapi adalah yang berkaitan dengan budaya, etos kerja, dan disiplin, yang pada gilirannya akan menentukan produktivitas dan mutu kerja mereka. Kebutuhan tenaga berketerampilan khusus akan dihadapkan pada keengganan pekerja untuk bekerja di lokasi terpencil dan adanya tuntutan imbalan yang lebih tinggi. Sekiranya tenaga berkualifikasi demikian direkrut dari tenaga setempat akan dihadapkan pada kelangkaan tempat pelatihan yang spesifik untuk bidang industri kelapa. Jika pengembangan agroindustri di arahkan pada suatu sistem yang terintegrasi antara industri yang tersebar di tangan petani atau kelompok tani dengan industri pengolahan lanjut, maka permasalahan SDM tersebut juga akan dialami. Meskipun tingkat keahlian yang disyaratkan untuk industri kecil lebih rendah, tetap diperlukan tenaga dengan keterampilan khusus. Masalah efisiensi dan kelayakan mutu produk olahan industri kecil untuk diolah dalam industri besar sangat ditentukan oleh mutu SDM. Tinggi rendahnya nilai tambah yang mungkin diraih oleh pengelola industri kecil sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi usahanya.
Kelembagaan Agroindustri adalah cabang usaha yang tergolong berisiko tinggi. Margin yang diperoleh tidak terlalu besar, sangat dipengaruhi oleh iklim, situasi pasar internasional, dan daya simpan produk yang sangat terbatas. Bagi agroindustri kelapa yang berbasis kelapa perkebunan rakyat, risiko tersebut diperbesar lagi dengan tersebarnya areal dan pengelolaan kebun yang sangat beragam, sistem kepemilikan lahan, serta terbatasnya infrastruktur. Oleh karena itu, untuk merangsang berkem-
281
bangnya agroindustri diperlukan ketersediaan dan penataan berbagai kelembagaan yang secara efektif dapat meredam berbagai risiko serta memungkinkan pelakupelakunya, termasuk petani, dapat memperoleh keuntungan atau manfaat yang optimal. Masalah yang berhubungan dengan kelembagaan pembinaan petani, lembaga permodalan, peraturan dan kebijakan pemerintah, serta keterikatan petani produsen dan industri pengolahan sangat menentukan perkembangan agroindustri kelapa. Agar petani dapat terlibat sebagai pelaku dalam sistem agribisnis kelapa maka pembinaan petani tidak hanya pada aspek berproduksi (on farm), tetapi juga aspek pengolahan hasil dan manajemen (off farm). Penyediaan modal yang mudah dan murah untuk investasi usaha tani dan industri pengolahan akan sangat membantu petani atau kelompok tani untuk berkiprah dalam sektor pengolahan hasil. Aspek yang tidak kalah pentingnya dari permodalan adalah aksesibilitas dan persyaratan kredit. Diperlukan suatu formula khusus yang disertai bimbingan pengelolaan kredit dengan persyaratan yang didasarkan atas kelayakan usaha. Pengembangan lebih lanjut pola-pola keterkaitan antara petani atau industri kecil dengan industri besar perlu terus didorong agar semua pihak yang telibat dapat memperoleh manfaat yang wajar dan adil. Pola hubungan antara petani kelapa dan perusahaan besar yang telah ada, seperti bapak angkat, mitra usaha, dan PIR, belum memungkinkan petani ikut menikmati nilai tambah yang terjadi dalam proses industri. Petani hanya sekedar penjual atau penyedia bahan baku dalam bentuk kelapa butiran atau kopra bagi perusahaan besar. Hubungan seperti itu lebih bermakna terjaminnya kontinuitas suplai bahan baku
282
bagi perusahaan, sebab tanpa hubungan formal pun petani tetap menjual hasil kelapanya. Dalam pola hubungan demikian, seluruh nilai tambah yang tercipta dalam industri hanya dinikmati oleh perusahaan besar. Dalam pola-pola kemitraan demikian, meskipun petani menjual kelapa dalam bentuk butiran, hanya daging kelapa yang memiliki nilai ekonomi. Tempurung dan air kelapa belum dihargai karena harga pembelian merupakan harga konversi dari kopra. Jika pembeli kemudian mengolah kedua bagian buah tersebut, berarti diperoleh secara gratis. Ada dua alternatif agar petani dapat ikut menikmati nilai tambah tersebut. Pertama, dengan menempatkan petani sebagai pemegang saham dalam sistem agribisnis berbasis kelapa. Kedua, mengembangkan pengolahan skala kecil untuk menghasilkan produk antara yang selanjutnya diolah dalam industri besar. Upaya menciptakan hubungan kemitraan usaha yang demikian merupakan pekerjaan yang sulit. Kemauan, kerelaan, dan penghayatan terhadap sistem perekonomian nasional oleh para pengusaha atau investor sangat menentukan. Di samping itu, perlu seperangkat aturan dan iklim yang kondusif dari pihak pemerintah, sebagai persyaratan terciptanya hubungan yang harmonis antara usaha tani kecil dan industri besar. Apabila proses pembentukan hubungan bisnis dalam rangka pengembangan agribisnis berbasis kelapa yang tangguh sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, maka posisi petani akan sangat lemah. Akibatnya, petani hanya sekedar sebagai salah satu faktor produksi dalam suatu agroindustri yang mudah dipermainkan untuk kepentingan industri. Jika demikian, maka kehadiran agroindustri di
Zainal Mahmud
pedesaan bukan mengangkat kesejahteraan petani, tetapi lebih mengukuhkan dan memperbesar kesenjangan pendapatan. Sistem penyediaan informasi yang mampu menjangkau pedesaan secara cepat perlu mendapat perhatian untuk mendukung agroindustri dalam era globalisasi. Sudah saatnya kita mengembangkan bukan saja market intelligence, tetapi juga technology intelligence khusus untuk sektor agroindustri. Prasarana perhubungan, listrik, air bersih, dan telekomunikasi di kawasan pertanaman kelapa rakyat praktis tidak tersedia atau sangat terbatas. Dengan kondisi demikian, kecil kemungkinannya untuk mendorong industri besar ke pedesaan. Akibat keterbatasan jalan dan jembatan, sejumlah industri pengolahan sabut dan tempurung kesulitan mendapatkan bahan baku. Dalam kondisi demikian biaya pengumpulan menjadi mahal sehingga harga di tingkat petani sangat rendah. Harga yang sangat rendah tersebut tidak merangsang petani untuk menjual sabut dan tempurung kelapa. Mengingat pembangunan prasarana khususnya jalan dan jembatan sangat mahal, maka pengembangan industri kecil skala rumah tangga atau kelompok tani dengan hasil berupa produk setengah jadi merupakan salah satu cara efektif mengatasi masalah keterbatasan prasarana tersebut. Kelangkaan tenaga listrik dapat menjadi kendala penting dalam pengembangan industri skala rumah tangga atau pedesaan. Keterbatasan infrastruktur merupakan salah satu penyebab utama investor kurang berminat mengembangkan agroindustri di pedesaan. Sebelum hal ini teratasi, maka pemberian insentif mungkin dapat menjadi kompensasi yang memadai bagi investor.
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
SISTEM USAHA TANI KELAPA TERPADU Peranan ekonomi komoditas kelapa belum optimal bila dilihat dari segi pendapatan petani, pemenuhan kebutuhan bahan baku, dan sumber devisa. Pendapatan petani kelapa monokultur yang hanya sekitar Rp2,50 juta/ha/tahun atau Rp200.000/ bulan tergolong rendah dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum yang berkisar antara Rp300.000-Rp 400.000/KK (5 orang). Kebutuhan bahan baku belum terpenuhi. Sebagai gambaran, industri minyak kelapa memerlukan bahan baku 1.955.090 ton setara kopra per tahun, sedang yang tersedia hanya 1.160.277 ton setara kopra atau sekitar 60% dari kebutuhan. Kontribusi perolehan devisa kurang dari 1%, padahal peluang peningkatan baik dari jenis maupun ragam produk yang dapat diekspor sangat besar. Produk-produk kelapa yang diekspor sebagian besar adalah produk tradisional seperti kopra, minyak kelapa, bungkil, dan tepung kelapa. Produk-produk ini di pasar internasional menghadapi persaingan yang ketat dari produk yang sama dari negara lain maupun produk substitusi. Di samping itu, permintaan terhadap produk-produk tersebut telah mencapai titik jenuh. Belum optimalnya peranan ekonomi kelapa tidak terlepas dari masalah-masalah internal kelapa itu sendiri, mulai dari aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran sampai dengan kelembagaan. Di bidang produksi, produktivitas kelapa masih sangat rendah, yaitu 1,1 ton setara kopra/ ha/tahun. Tingkat produktivitas ini tidak mengalami banyak perubahan selama 30 tahun terakhir, tahun 1967-1997. Hal ini
283
terjadi karena belum diterapkannya teknologi anjuran seperti penggunaan benih unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, kesesuaian iklim dan lahan, serta peremajaan. Di sisi lain, usaha tani monokultur yang dilakukan pada sebagian besar pertanaman kelapa saat ini dan usaha tani polikultur yang masih subsisten, membatasi peluang petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih layak. Di bidang pengolahan, beberapa masalah yang dihadapi adalah: (1) struktur industri pengolahan kelapa didominasi oleh industri pengolahan minyak; (2) industri pengolahan berbagai produk berskala kecil, bersifat parsial, belum dalam bentuk suatu unit terpadu; dan (3) sebagian industri pengolahan tidak berada di sumber bahan baku. Di bidang pemasaran, permintaan terhadap produk-produk tradisional terutama minyak kelapa di dalam negeri maupun internasional telah mengalami kejenuhan. Bahkan mulai menurun dengan adanya produk substitusi yang lebih murah, seperti minyak kelapa sawit. Di bidang kelembagaan, lembagalembaga produksi, pengolahan, dan pemasaran belum terkait satu sama lain. Akibatnya terjadi inefisiensi usaha yang pada akhirnya menimbulkan biaya tinggi. Masalah-masalah yang sedang dihadapi perkelapaan nasional harus segera diselesaikan agar petani kelapa dapat hidup layak, kebutuhan bahan baku dapat terpenuhi, dan peranan kelapa sebagai sumber devisa meningkat. Melihat kompleksnya permasalahan, upaya penanganannya haruslah merupakan suatu sistem yang terpadu antara bidang-bidang permasalahan tersebut. Pendekatan untuk mengatasi masalah didasarkan pada perubahan paradigma
284
pembangunan perkebunan dari pendekatan komoditas ke pendekatan sistem, yaitu SUKT. Pendekatan SUKT dikembangkan berdasarkan analisis terhadap komponen-komponen di dalam suatu sistem agribisnis. Pendekatan ini bersifat partisipatif, dinamis, dan multidisiplin dalam upaya menganalisis kompleksitas sistem tersebut. Dalam konteks pembangunan perkebunan wilayah, pendekatan SUKT dikembangkan untuk mencoba melihat suatu permasalahan secara holistik, sehingga upaya pemecahannya tidak bersifat parsial. Secara umum, SUKT memiliki ciri spesifik lokasi, dinamis, sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi, serta kebutuhan dan kemampuan pengguna, akrab lingkungan, dan dapat meningkatkan nilai tambah produk pertanian serta pendapatan petani. Aktivitas utama SUKT meliputi: (1) penganekaragaman produk kelapa, yaitu produk primer dan/ atau sekunder; (2) penganekaragaman komoditas, seperti pengusahaan tanaman sela dan atau ternak; atau (3) penganekaragaman produk kelapa dan komoditas. SUKT yang diterapkan harus berwawasan teknologi, lingkungan, dan agribisnis sehingga tercipta sistem usaha berkelanjutan yang menjamin peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Kriteria yang harus dipenuhi SUKT adalah sebagai berikut: 1. Mencapai sasaran agronomi (agronomic desirability); sistem yang diterapkan harus dapat menjamin peningkatan dan kelangsungan produksi kelapa, tanaman sela atau ternak di bawah kelapa. 2. Memenuhi kelayakan sosial ekonomi (social economic feasibility); sistem yang diterapkan sesuai dengan keadaan sosial petani dan menghasilkan
Zainal Mahmud
nilai tambah yang dapat meningkatkan pendapatan petani. 3. Praktis diterapkan (applicable); sesuai dengan keterampilan yang dimiliki petani. 4. Didukung oleh tersedianya kelembagaan yang membantu petani dalam penyediaan sarana produksi, teknologi, unit pengolahan, dan penciptaan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan. Aspek produksi dalam SUKT meliputi: (1) penetapan areal perkelapaan yang memenuhi skala ekonomi; (2) pemilihan jenis-jenis tanaman sela dan ternak yang sesuai dengan karakteristik tanaman kelapa, spesifik lokasi serta memiliki pasar; (3) penyediaan sarana produksi; dan (4) introduksi teknologi budi daya. Aspek pengolahan meliputi penentuan produk dan penyediaan paket teknologi pengolahan produk kelapa dan tanaman sela. Pemilihan produk kelapa yang dihasilkan bergantung pada prospek produk kelapa secara nasional, regional dan internasional, tersedianya teknologi pengolahan dalam skala kecil dan menengah, dan kemampuan petani mengadopsi teknologi pengolahan. Prinsip pemilihan produk kelapa yang akan diolah adalah: (1) pengolahan seluruh hasil kelapa, (2) mutu produk sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, (3) memenuhi skala pengolahan dalam suatu sistem agribisnis, dan (4) memiliki prospek pasar yang baik. Aspek pemasaran berupa usaha menciptakan kelembagaan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan oleh SUKT. SUKT bertujuan mengaktualisasikan potensi sumber daya perkebunan kelapa rakyat dengan memodernisasikan usaha tani kelapa rakyat melalui perpaduan ko-
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
mersialisasi usaha tani dan penggunaan teknologi mutakhir (pengusahaan terpadu) dalam bentuk pola kebun atau pekarangan. Dengan SUKT diharapkan: (1) sumber daya fisik perkebunan kelapa dapat dimanfaatkan secara optimal; (2) kelangkaan bahan baku bagi industri pengolahan kelapa teratasi dengan meningkatnya produktivitas tanaman kelapa; (3) kebutuhan petani untuk hidup layak terpenuhi dengan meningkatnya pendapatan melalui peningkatan produktivitas lahan dan tanaman kelapa; (4) tumbuh dan berkembangnya kelembagaan dan industri baru dari hasil tanaman sela dan ternak; (5) transfer teknologi dipercepat; (6) petani kelapa menjadi pelaku di dalam sistem agribisnis kelapa; dan (7) sumbangan kelapa terhadap devisa meningkat. Ciri utama dari SUKT adalah keterpaduan antarsubsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran, serta keterpaduan aktivitas dalam setiap subsistem tersebut. Dalam subsistem produksi, keterpaduan diharapkan terjadi pada beberapa aspek, yaitu: (1) pemilihan komoditas yang dikembangkan di bawah kelapa; (2) hamparan yang memenuhi skala agribisnis (minimum 500 ha); dan (3) aktivitas budi daya. Pada subsistem pengolahan, integrasi pengolahan berbagai produk kelapa dalam satu unit pengolahan sangat diperlukan. Salah satu keunggulan dari komoditas kelapa adalah memungkinkan dibangun suatu industri terpadu dengan produk yang sangat beragam sampai ke yang paling hilir yang memanfaatkan produkproduk oleokimia. Tersedianya teknologi skala kecil yang efisien, baik yang menghasilkan produk akhir maupun produk antara untuk diolah lebih lanjut oleh industri besar, memungkinkan pengem-
285
bangan agroindustri hingga ke pedesaan. Kombinasi teknologi pengolahan produk kelapa yang berpeluang untuk dipadukan dalam satu industri pengolahan terpadu skala pedesaan meliputi: (1) minyak kelapa, bungkil, nata de coco, arang tempurung, serat sabut dan debu sabut; (2) minyak kelapa, bungkil, minuman ringan, arang tempurung, serat sabut, dan debu sabut; (3) santan, pakan, nata de coco, arang tempurung, serat sabut, dan debu sabut; (4) minyak kelapa, gula kelapa, nata de coco, bungkil, arang tempurung, serat sabut, dan debu sabut; dan (5) kopra, nata de coco, arang tempurung, serat sabut, dan debu sabut. Selain industri pengolahan terpadu, terbuka peluang untuk pengembangan industri pengolahan produk dari tanaman sela dan ternak. Dalam pengembangan industri pengolahan terpadu, keterkaitan antara petani produsen dari industri kecil tampaknya masih perlu dicarikan model dan mekanisme kemitraan yang tepat agar para petani dapat ikut memperoleh manfaat dari nilai tambah yang tercipta dalam agroindustri berbasis kelapa. Peluang petani untuk memiliki saham dalam subsistem pengolahan akan memungkinkan petani ikut menikmati nilai tambah dari industri kelapa. Pada subsistem pemasaran, partisipasi dari pihak swasta dan lembaga penyedia modal diperlukan untuk membantu memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri pengolahan terpadu skala pedesaan. Partisipasi tersebut berbentuk kemitraan, pembinaan, dan penyediaan modal. SUKT dapat dikembangkan dalam dua pola, yaitu pola kebun (hamparan) dan pola pekarangan. Pengembangan SUKT pola kebun harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem wilayah, terutama pemilihan
286
Zainal Mahmud
komoditas yang akan dikembangkan di bawah kelapa. Pekarangan adalah sumber daya lahan yang sangat potensial untuk pengembangan SUKT dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. Luas lahan pekarangan di Indonesia mencapai 5.117.400 ha dan 74% atau 3.776.441 ha berada di pedesaan (Akuba dan Mahmud 1991). Kelebihan pekarangan untuk pengembangan SUKT yaitu dekat dengan keluarga petani, mudah untuk pengawasan, mudah untuk pemeliharaan tanaman dan ternak, tidak terlalu terpengaruh oleh perbedaan musim karena kebutuhan air lebih mudah terpenuhi, dan pekarangan biasanya lebih subur dibanding kebun karena limbah rumah tangga dapat dijadikan pupuk organik. Bagi keluarga, pekarangan berfungsi sebagai sumber makanan tambahan, apotik hidup, estetika dan kesehatan, serta sumber tambahan pendapatan. Kelapa ditinjau dari aspek biologis dan fisik tanaman dapat menjadi salah satu komponen sistem usaha terpadu di lahan pekarangan. Pengusahaan kelapa dengan pola pekarangan ditemukan di Jawa dan di daerah transmigrasi. Pengusahaan kelapa di pekarangan memberikan tambahan pendapatan yang nyata bagi petani (Asnawi 1985; Amrizal et al. 1986).
PENUTUP Usaha tani kelapa monokultur dengan pemilikan lahan yang sempit, produktivitas rendah, dan produk kelapa butiran, kopra, atau minyak belum mampu memenuhi kebutuhan petani untuk hidup layak. Kondisi ini diperburuk dengan status petani kelapa sebagai salah satu bagian dari faktor produksi, belum sebagai pelaku di dalam sistem.
Pertanaman kelapa merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan usaha taninya secara horizontal dan vertikal, seperti tanaman sela, penggembalaan ternak, dan penganekaragaman produk kelapa serta pemanfaatan limbahnya. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya tersebut diperlukan suatu sistem usaha tani yang terpadu dari hulu sampai ke hilir, sehingga dapat mengentaskan masalah-masalah yang dihadapi selama ini. Sistem usaha tani kelapa terpadu (SUKT) diharapkan menjadi solusi, di mana petani menjadi pelaku di dalam sistem.
DAFTAR PUSTAKA Akuba, R.H. dan Z. Mahmud. 1991. Coconut farming system at pekarangan. Indust. Crops Res. J. 4(1): 33-42. Akuba, R.H., J.G. Kindangen, H. Hasni, R. Rahman, dan N.M. Mokodongan. 1992. Survei pengusahaan kelapa di Sulawesi Utara. Laporan Penelitian Pola Pengembangan Kelapa di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kelapa, Manado. hlm. 5-49. Akuba, R.H. dan M.M. Rumukoi. 1997. Sistem Usahatani Berbasis Kelapa. Balai Penelitian Kelapa, Manado. 280 hlm.. Amrizal, M. Djafar, dan R.H. Akuba. 1986. Pemanfaatan lahan pekarangan transmigrasi Semboja II Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kelapa 1(1): 21-27. Anilkumar, K.S. and P. Wahid 1988. Root activity pattern of coconut palm. Oleagineux 43(8-9): 337-342. Asnawai, S. 1985. Tanaman kelapa rakyat di Pulau Jawa. Balai Penelitian Kelapa, Manado. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa.
Modernisasi usaha tani kelapa rakyat
Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 106 hlm. Fattah, M. 1984. Pemilikan kebun kelapa sebagai sumber pendapatan masyarakat Sulawesi Tengah. Tesis, Institut Pertanian Bogor. Kasryno, F., Z. Mahmud, dan P. Wahid. 1998. Sistem usahatani berbasis kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Reynolds, S.G. 1995. Pasture-cattle-coconut systems. FAO, Bangkok. 668 pp.
287
Sulistyo, R. 1998. Pemberdayaan petani dalam usahatani kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV, Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Tondok, A. R. 1998. Pemanfaatan peluang pengembangan kelapa dalam menghadapi era globalisasi. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV, Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.