MODEL PIUTANG DALAM BINGKAI FIQIH DAN TAFSIR Abdurrahim Hamdi STAIN Jurai Siwo Metro Email:
[email protected] Abstract Owe is one of the solutions to meet the needs of human life at a time when financial conditions were cramped. In fact happened in the history of the debt is not only a solution, sometimes even become a new problem for people who owe. Therefore, since the time of ignorance before the practice of usury in existing debt that must be quite burdensome debtor and creditor profitable. In times of ignorance people who can not recover the debt could become slaves to pay off his debts. In Islam rules that favor one side of the law is not accepted. Even in Shari’a both of jurists and commentators have beautiful set rules that can make the debt as a form muamalah mutually beneficial and rewarding. Even if there are differences of opinion, the recommended owe record and produce witnesses. Likewise charge or refund must be properly, provide a grace period for those who are in difficult conditions or bleach so worth alms. Keywords: Debt, witness, record, usury, alms Abstrak Berutang adalah salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di kala kondisi keuangan sedang sempit. Dalam
106 Abdurrahim Hamdi
kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah utang tidak hanya menjadi solusi, terkadang malah menjadi masalah baru bagi orang yang berutang. Sebab, sejak zaman jahiliyah dulu praktik riba dalam utang telah ada yang tentunya cukup memberatkan pengutang dan menguntungkan pemberi utang. Di masa jahiliyah orang yang berutang tidak dapat mengembalikan bisa menjadi budak untuk melunasi utang-utangnya. Di dalam Islam aturan-aturan yang menguntungkan sebelah pihak tersebut tidak diterima syariat. Bahkan di dalam syariat baik dari para fuqaha dan mufassir telah menetapkan aturan indah yang dapat menjadikan utang sebagai bentuk muamalah yang saling menguntungkan dan berpahala. Sekalipun ada perbedaan pendapat, dalam berutang dianjurkan mencatatnya dan menghadirkan saksi. Begitu juga menagih atau mengembalikan harus dengan baik, memberikan tenggang waktu bagi yang sedang dalam kondisi sulit atau memutihkannya sehingga bernilai sedekah. Kata kunci : Utang, saksi, mencatat, riba, sedekah
Pendahuluan Kebutuhan hidup yang banyak dan mendesak, ditambah pendapatan yang tidak memadai sering mendorong seseorang untuk menutupi kebutuhannya dengan cara berutang. Meminjam uang kepada orang yang memiliki kelonggaran uang dengan niat mengembalikan pada waktu tertentu. Salah satu bentuk muamalah yang telah ada sejak sebelum Islam datang ini dianggap salah satu solusi untuk mencukupi kebutuhan di kala kondisi keuangan sedang sempit. Bahkan, di zaman sekarang ini berutang tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan primer, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Piutang, sebagai salah satu bentuk mu’amalah tentu dapat mendatangkan manfaat dan juga mudharat. Dalam arti, ketika aktivitas tersebut dilaksanakan dengan baik dan sesuai etika dan ketentuan yang ada akan memberikan manfaat. Sebaliknya, jika ada sebagian etika dan syarat yang diabaikan maka bentuk muamalah ini dapat membawa mudharat dalam bentuk ketidakadilan dan pertikaian hingga dosa. ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
107
Di dalam Islam, bentuk mu’amalah piutang ini sudah diatur sedemikian rupa. Bahkan prihal tersebut dijelaskan dalam ayat yang istimewa di dalam Al-Qur’an di ayat terpanjang. Aturan inilah yang membuat piutang representatif untuk memenuhi kebutuhan hidup yang didasari prinsip muamalah sama-sama ridha (‘an taradhin). Oleh sebab itu, penulis tertarik mengkaji tentang piutang Perspektif Islam. Dalam hal ini, penulis akan menggali pendapat para fuqaha dan beberapa mufassir.
Pembahasan A. Konsepsi Piutang dalam Islam Dalam terminologi fiqh mu’amalah, utang piutang disebut dengan “dain” ()نيد. Istilah “dain” ( )نيدini lebih sering disebut dengan istilah “qard” ( )ضرقdalam kitab-kitab fiqih.1 Kata Qiradh juga berarti dengan al-Qith’u yang berarti cabang atau potongan. Dalam bahasa Indonesia, kedua kata tersebut dikenal dengan pinjaman. Dalam istilah syara’, utang piutang didefinisikan sebagai menyerahkan harta kepada orang yang membutuhkan dengan tujuan untuk diganti atau dikembalikan2. Abu Bakar Al-Jashah3 mendefinisikan dengan sederhana bahwa utang adalah memberikan harta kepada orang lain yang nantinya dikembalikan.4 Lebih rinci, Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard sebagai harta yang diberikan oleh pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya.5 1
Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Minhajul Muslim, (Qahirah: Daar AlFikr), 1976 M, h. 353 2 Nuhbah min al-ulama, Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau`i Al-Kitab wa AsSunnah, (Riyadh: Wakalah Matbu’at wa Bahts Al-Ilmi), 1436 H., h. 225 3
Seorang ulama Hanafiyah w. 370 M
4
Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jashahs, Ahkamul Qur’an AlJuz`u 2, Beirut: Daar Al-Haya At-Turats Al-‘Arabi, 204 5
Sayid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar Al-Fath li Al-I’lam AlJurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
108 Abdurrahim Hamdi
Sedangkan Abu Bakar Al-Jazairy mendefinisikan utang sebagai memberikan harta kepada orang lain yang akan mengambil manfaatnya dan akan dikembalikan. Balia memberika contoh seperti perkataan orang yang sedang membutuhkan, ‘Pinjami aku, utangi aku sejumlah sekian dan akan saya bayarkan dalam jangka waktu sekian.6 Jadi utang piutang atau Qiradh adalah bentuk pinjaman yang diberikan oleh orang yang mampu kepada orang yang akan mengambil manfa’atnya dalam rangka meringankan beban orang tersebut untuk kemudian akan dikembalikan oleh sipeminjam setelah ia mempunyai kesanggupan untuk membayar. Piutang dalam Islam hukumnya mustahab. Namun syariat telah menentukan bahwa utang harus memenuhi rukun dan syarat berikut: a. meminjami dan peminjam Dewasa, sehat akal dan sama-sama rela. Pinjaman itu hendaknya dari orang yang memang sah memberikan pinjaman.7 b. obyek pinjaman (barang/uang) Harus diketahui secara jelas (jumlahnya)/kadar ukuran baik oleh pemilik maupun penerima. Jika barang pinjaman itu berupa binatang, maka harus diketahui sifat dan umurnya. c. Pemanfaatan/penggunaannya Pemberi pinjaman harus mengetahui penggunaan pinjaman dari peminjam tersebut, jika pinjaman tersebut dipergunakan sebagai modal kerja, maka Pemilik modal perlu mengetahui jenis pekerjaan tersebut.
B. Kedudukan Utang dalam Islam Orang yang memberikan utang biasanya akan merasakan kecemasan ketika uangnya yang berada di tangan orang lain belum dikembalikan. Kecemasan yang dirasakan oleh pemberi utang tersebut ternyata dinilai sebagai suatu ‘Arabi), h. 144 6
Ibid, Minhajul Muslim
7
Ibid, Al-Fiqh Al-Muyassar
ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
109
pengorbanan di dalam Islam karena telah menyerahkan uang kepada orang lain. Dalam banyak hadits telah disebutkan bahwa Allah SWT dengan Kemurahannya akan menggantikan itu dengan pahala. Dengan begitu, utang memiliki kedudukan yang mulia di dalam Islam jika dilaksanakan dalam bingkai syariat Islam. Utang dapat bernilai sedekah. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap menghutangi orang lain adalah sedekah.”8 Kemudian, dari Abu Umamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seseorang yang masuk surga, kemudian dia melihat ada tulisan di pintunya,
“Sedekah itu nilainya sepuluh kalinya dan hutang nilainya 18 kali.”9 Juga dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang memberi utang dua kali karena Allah, maka dia mendapat pahala seperti sedekah dengannya sekali.” 10 Itulah di antara hadits-hadits Rasulullah SAW yang menggambarkan kedudukan piutang di dalam Islam. Muamalah yang dapat membantu meringankan usaha pemenuhan kebutuhan hidup ternyata mendapatkan posisi yang mulia di dalam Islam. Terlebih lagi ketika orang yang berutang mengalami kesulitan, 8
HR. Thabrani dengan sanad hasan, al-Baihaqi, dan dishahihkan al-
9
HR. Thabrani, al-Baihaqi dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih
Albani Targhib
10
HR. Ibnu Hibban 5040 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth, Ahkam Al-Qur’an, h. 204 Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
110 Abdurrahim Hamdi
kemudian dia memberikan penundaan pembayaran maka dijanjikan oleh Rasulullah SAW pahala yang besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang memberi waktu tunda pelunasan bagi orang yang kesusahan membayar utang atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari Kiamat yang tidak ada naungan selain naungan (Arsy)-Nya.11 Oleh sebab itu, aturan indah yang telah diatur dalam AlQur’an ini dengan maksud agar pemberi utang tidak terjebak dalam kesalahan dan dosa besar, seperti kedzaliman atau riba, yang semua itu akan membuat amalnya sia-sia.
B. Adab Berutang dalam Syariat Islam memosisikan piutang dalam bentuk muamalah duniawaiyah yang bernilai sedekah dan berpahala besar. Hal itu akan didapat dengan mengindahkan aturan-aturan atau adab yang telah ditetapkan dalam syariat. Adab tersebut ada yang ditetapkan untuk pengutang dan ada pula bagi orang yang memberikan utang. Adapun di antara adab dalam berutang antara lain: 1. Mencatat transaksi utang Islam menyarankan agar dilakukan pencatatan dalam transaksi utang piutang. Terlebih ketika tingkat kepercayaanya kurang sempurna. Semua ini dalam rangka menghendari sengketa di kemudian hari yang mungkin sja timbul karena adanya satu pihak yang tidak amanah. Allah berfirman,
11
HR. Ahmad, 2/359, Muslim 3006, dan Turmudzi 1306, dan dishahihkan al-Albani ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
111
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS. al-Baqarah: 282) As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya,
Perintah untuk mencatat semua transaksi utang piutang, bisa hukumnya wajib, dan bisa hukumnya sunah. Mengingat beratnya kebutuhan untuk mencatatnya. Karena jika tanpa dicatat, rentan tercampur dengan bahaya besar, kesalahan, lupa, sengketa dan pertikaian.12 Berbeda dengan Abu BakarAl-Jashahs yang mengatakan bahwa mencatat piutang dan juga menghadirkan saksi hukumnya adalah wajib. Pendapat tersebut dikuatkan dengan atsar Abu Musa: “Ada tiga orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan oleh Allah SWT, lelaki yang memiliki istri buruk perangai tetapi tidak menceraikannya, orang yang memberikan hartanya dengan penghinaan, dan dan orang yang berutang kepada orang lain tetapi tidak ada saksinya.13 2. Menghadirkan saksi Menghadirkan saksi dalam piutang merupakan perintah Allah SWT yang kemudian perintah tersebut diterjemahkan berbeda di kalangan ulama seperti perintah mencatat. Ada yang mengganggapnya wajib ada pula yang menganggapnya sebatas anjuran. 12 Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, Riyadh, Daar ussalam, h. 118 13
Ibid, Ahkam Al-Qur’an, h. 205 Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
112 Abdurrahim Hamdi
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendektekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.14 Dari ayat tersebut ada dua pendapat yang berbeda di kalangan ulama mazhhab. Pertama, madzhab dzahiriyah, ayat ini menjadi dalil wajibnya menulis transaksi utang piutang yang pelunasannya tertunda. Ibnu Hazm adz-Dzahiri mengatakan bahwa jika utang ditangguhkan pelunasannya, maka wajib bagi keduanya untuk menuliskannya dan mencari saksi dua orang atau lebih atau seorang lelaki dengan dua wanita yang adil, atau lebih. Jika dia dalam safar, dan tidak menemukan orang yang mencatat, jika mau, orang yang berutang bisa menggadaikan sesuatu.15 Kedua, mayoritas ulama dari kalangan hanafiyah, malikiyah, syafiiyah, dan hambali, berpendapat bahwa mencatat transaksi utang menghadirkan saksi ketika transaksi, hukumnya tidak wajib. Sementara perintah dalam ayat sifatnya bimbingan agar manusia lebih hati-hati dan lebih yakin dalam melakukan muamalah dengan orang lain, terutama masalah utang. Sehingga statusnya bukan perintah yang wajib dikerjakan.16 14 15
2003
QS. Al-Baqarah: 282 Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-’Alamiyyah)
16
Ibid.
ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
113
Imam as-Syafii menjelaskan terkait tafsir ayat ini. Beliau menyebutkan, ada dua alasan, mengapa perintah dalam ayat di atas (al-Baqarah: 282) bukan perintah wajib17, a. Di ayat berikutnya (283), Allah perintahkan ketika seseorang tidak menemukan penulis, agar menggadaikan barangnya. b. Di lanjutan ayat, Allah bolehkan untuk tidak menggadaikan barang, selama masing-masing yakin bisa saling menjaga amanah. As-Syafii dalam Ahkam al-Quran menjelaskan bahwa ketika Allah perintahkan untuk menggadaikan barang, apabila tidak menemukan penulis, kemudian Allah bolehkan untuk tidak menggadaikan barang, melalui firman-Nya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”18 Ini menunjukkan bahwa perintah di ayat sebelumnya, memberi kesimpulan anjuran, dan bukan kewajiban yang ketika ditinggalkan, bernilai maksiat.19 Sementara itu, Imam Abu Bakr al-Jasshas menjelaskan bahwa para ulama sepakat, adanya catatan dan kehadian saksi dalam transaksi utang piutang, hukumnya tidak wajib. Dibuktikan dengan banyaknya transaksi utang piutang sejak masa silam, dan turun temurun hingga masa beliau, namun mereka tidak mencatatnya dan tidak menghadirkan saksi. Kemudian beliau menjelaskan bahwa umat generasi sekarang telah mengikuti pendahulunya dalam akad utang-piutang, jual beli di berbagai daerah, tanpa adanya saksi. Padahal para ulama mereka mengatahui, tanpa ada pengingkaran ulama untuk mereka. Andai menghadirkan 17 Ibid, Ahkam Al-Qur’an, h. 206 18 QS. Al-Baqarah: 283 19
Ibid, Ahkamul Qur’an, h. 127/2 Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
114 Abdurrahim Hamdi
saksi itu wajib, tentu mereka tidak akan tinggal diam untuk mengikari orang yang tidak melakukannya, padahal mereka tahu. Ini menunjukkan bahwa mereka menganggap hal itu sifatnya anjuran. Dan semacam ini dinukil dari sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai masa kita saat ini.20 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum asal pencatatan dan saksi dalam transaksi utang itu sifatnya anjuran. Akan tetapi, jika bisa dipastikan akan menimbulkan sengketa dan pertikaian jika tidak ada pencatatan, maka mencatat transaksi utang atau menghadirkan saksi dalam hal ini statusnya wajib. Rincian semacam ini, disampaikan oleh Imam as-Sa’di dalam tafsirnya,
Perintah untuk mencatat setiap akad utang piutang, bisa hukumnya wajib, dan bisa anjuran. Mengingat besarnya kebutuhan untuk mencatatnya. Karena jika tanpa dicatat, rentan kesalahan, lupa, peselisihan, dan pertikaian, yang itu kejelekan yang besar.21 3. Segera melunasinya Siapa pun yang berutang di dalam Islam wajib hukumnya untuk membayarkan utang tersebut, bahkan dianjurkan menyegrakan sebelum jatuh tempo. Jika seorang yang berutang dirasa mampu untuk melunasi utangnya tetapi dia menunda-nunda sampai melewati batas waktu pembayaran utang tersebut maka hal tersebut termasuk kezhaliman. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menunda pelunasan utang yang dilakukan orang mampu adalah kedzaliman.”22 20
Ibid, h. 182/1
21
Ibid, Taisir Al-Karim Ar-Rahman.
22
HR. Bukhari 2287 & Muslim 4085
ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
115
4. Membayar dengan baik Membayar utang dengan baik merupakan salah satu etika yang disyariatkan dalam Islam. Banyak hadits Rasulullah saw yang menganjurkan hal tersebut. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Nabi saw pernah mempunyai tanggungan berupa unta yang berumur satu tahun kepada seorang laki-laki. Kemudian ia datang menemui Nabi saw lalu menagihnya. Maka Beliau bersabda kepada para Shahabat, “Bayar (hutangku) kepadanya.” Kemudian mereka mencari unta yang berusia setahun, ternyata tidak mendapatkannya, melainkan yang lebih tua. Kemudian Beliau bersabda, “Bayarkanlah kepadanya.” Lalu jawab laki-laki itu, “Engkau membayar (hutangmu) kepadaku (dengan lebih sempurna), niscaya Allah menyempurnakan karunia-Nya kepadamu.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang terbaik di antara kamu dalam membayar hutang.”23 Di antara prilaku baik dalam membayar utang adalah membalas dengan yang lebih baik atau lebih banyak dari yang dipinjam. Hal itu diperbolehkan selama dalam transaksi piutang tidak menyebutkan penambahan dalam akadnya.24 Hal itu juga dikuatkan dalam hadits yang bersumber dari dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: “Saya pernah menemui Nabi saw di dalam masjid Mis’ar berkata, “Saya berpendapat dia (Jabir) berkata: Di waktu shalat dhuha, kemudian Rasulullah bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan Rasulullah pernah mempunyai tanggungan hutang kepadaku, lalu Rasulullah membayar lebih kepadaku.”25 Dari Isma’il bin Ibrahim bin Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi dari bapaknya dari datuknya, bahwa Nabi saw pernah meminjam uang kepadanya pada waktu perang Hunain sebesar tiga puluh atau empat puluh ribu. Tatkala 23
Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 225, Fathul Bari IV: 58 no: 2393, Muslim III: 1225 no: 1601, Nasa’i VII: 291 dan Tirmidzi II: 389 no: 1330 secara ringkas 24
Ibid, Al-Fiqh Al-Muyassar, h. 226
25
Shahih: Fathul Bari V: 59 no: 2394, ‘Aunul Manusia’bud IX: 197 no: 3331 kalimat terakhir saja Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
116 Abdurrahim Hamdi
Beliau tiba (di Madinah), Beliau membayarnya kepadanya. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memberi barakah kepadamu pada keluarga dan harta kekayaanmu; karena sesungguhnya pembayaran hutang itu hanyalah pelunasan dan ucapan syukur alhamdulillah.”26 Oleh sebab itu, dibolehkan adanya kelebihan dalam pelunasan utang dengan syarat-syarat beriku:, a. Tidak ada kesepakatan di awal b. Dilakukan murni atas inisiatif orang yang berutang c. Bukan tradisi masyarakat setempat Dalilnya hadis dari Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Pada suatu saat Rasulullah SAW berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Akan tetapi, jika keberadaan tambahan ini diberikan karena ada kesepakatan di awal, atau permintaan pihak yang menghutangi (kreditor), atau karena masyarakat setempat memiliki kebiasaan 26
Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1968 dan Ibnu Majah II: 809 no: 2424, dan Nasa’i VII: 314 ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
117
bahwa setiap utang harus bayar lebih, maka tambahan semacam ini terhitung riba.
C. Etika Menagih Utang dalam Al-Qur’an Selain aturan dan adab yang harus diperhatikan oleh pengutang, syariat juga telah menetapkan beberapa aturan indah yang dapat menjaga bentuk mumalah ini tetap sesuai syaritat dan tidak masuk dalam kategori riba, di antaranya: 1. Menagih dengan cara yang baik Menagih utang merupakan suatu hal yang sangat sensitif dalam transaksi piutang. Oleh sebab itu ada etika yang telah ditetapkan syariat agar hal tersebut tidak menimbulkan konflik antara pengutang dan pemberi utang. Dari Ibnu Umar dan Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menuntut haknya, maka tuntutlah dengan cara yang baik, baik ia membayar ataupun tidak bayar.”27 2. Memberikan jangka waktu bagi pengutang yang dalam kondisi sulit Allah tetapkan, batas pemberian waktu tenggan sampai si pengutang mendapat kemudahan untuk melunasi utangnya. Al-Qurthubi menyebutkan, ayat ini turut terkait kasus yang dialami bani Tsaqif dengan Bani al-Mughirah. Ketika Bani Tsaqif meminta Bani al-Mughirah untuk melunasi utangnya, mereka belum sanggup membayarnya. Mereka mengaku tidak memiliki apapun untuk dibayarkan, dan meminta waktu tunda sampai musim panen. Kemudian turun ayat ini.28 Ini berbeda dengan aturan di masa jahiliyah. Orang yang berutang dan dia tidak bisa bayar sampai batas yang ditetapkan, maka dia harus menjual dirinya untuk jadi budak, agar bisa melunasi utangnya. Kemudian aturan ini dinasakh dalam islam.29 27
Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1965 dan Ibnu Majah II: 809 no: 2421
28
Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, h. 371/3 29
Ibid Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
118 Abdurrahim Hamdi
Sebagian ulama mengatakan, pilihan memberikan waktu tenggang bagi orang yang tidak mampu melunasi utang adalah sifatnya perintah wajib. Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Utsaimin menuliskan bahwa di antara pelajaran dari ayat, wajibnya memberi waktu tenggang bagi orang yang kesulitan. Artinya memberi waktu tenggang sampai dia mendapat kemudahan. Berdasarkan firman Allah ta’ala, (yang artinya), “berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” Sehingga tidak boleh menuntut dia agar berhutang di tempat lain atau menagih utangnya.30 Kemudian, berdasarkan ayat di atas, kewajiban memberi waktu tenggang ini berlaku ketika orang yang berhutang mengalami kesulitan. Jika sejatinya dia mampu, namun sengaja menunda pelunasan utang, maka orang yang menghutangi boleh memaksa untuk melunasi utangnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang yang menunda pelunasan utang, padahal dia mampu sebagai orang dzalim. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menunda pelunasan utang yang dilakukan orang mampu adalah kedzaliman.”31 Dengan demikian, karena menunda-nunda pembayaran utang padahal mampu membayarnya adalah kezhaliman maka boleh bagi orang yang diutangi untuk menagih orang yang berutang agar segera melunasi utangnya. 3. Diperbolehkan memaksa orang yang mampu tapi enggan membayar utang Mengembalikan utang bagi sebagian orang yang tidak amanah sangatlah berat. Karenanya, banyak orang yang menundanunda pelunasan utangnya sekalipun dalam kondisi keuangan yang lepang. Padahal, di dalam syariat perbuatan tersebut merupakan kezhaliman dan hal yang buruk. Dari Amr bin asy-Syuraid dari bapaknya Rasulullah 30 Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim; Surah Al-Baqarah, Riyadh: Dar Ats-Tsuraya li An-Nasyr, h. 280 31
HR. Bukhari 2287 & Muslim 4085
ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
119
saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu (membayar) dapat menghalalkan kehormatannya dan pemberian sanksi kepadanya.”32.
4. Mengikhlaskannya jika berkenan Pilihan kedua yang Allah ajarkan adalah memutihkan utang itu. Ada 3 keutamaan untuk pemutihan utang, a. Allah menyebutnya sebagai sedekah b. Allah menyebut tindakan itu lebih baik, jika kita mengetahui c. Allah sebut orang yang memilih memutihkan utang sebagai orang yang berilmu. Adapun pilihan kedua ini sifatnya anjuran dan tidak wajib. Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
Diantara pelajaran dari ayat ini, keutamaan menggugurkan utang, dan ini bernilai sedekah. Bedasarkan firman Allah (yang artinya), “Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu.”33 Sehingga memutihkan utang hukumnya anjuran, sementara menunda pelunasan bagi yang tidak mampu, hukumnya wajib.
D. Konsep Pemutihan Utang dalam Al-Qur’an Membayar utang sesuai pada waktunya merupakan hal yang sulit untuk dilakukan bagi orang yang benar-benar dalam kesulitan. Oleh sebab itu, sebagai transformasi nilai-nilai spiritualitas dalam kegiatan piutang, ada anjuran dalam syariat untuk meringankan beban orang yang berutang dengan diputihkan (dianggap lunas) 32
Shahih Nasa’i no: 4373, Nasa’i VII: 317, Ibnu Majah II: 811 no: 2427, ‘Aunul Ma’bud X: 56 no: 3611 dan Bukhari secara mu’allaq lihat Fathul Bari V: 62 33
Ibid, Taisir Karim. Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
120 Abdurrahim Hamdi
utangnya. Sebagai konsekwensi dari tindakan tersebut maka orang yang memberi utang akan mendapatkan pahala sedekah. Hal itu telah disebutkan dalam firman Allah SWT: Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.34 Merujuk pada ayat tersebut, memutihkan utang orang yang dalam kesulitan adalah sebuah anjuran dari Allah SWT. Berbeda dengan memberikan tenggat waktu yang merupakan kewajiban. Namun demikian, memutihkan utang seseorang tidak boleh terkait dengan tanggungan zakat yang mejadi kewajiban pemberi utang. Pemutihan tersebut haruslah dengan sedekah murni yang bukan kewajiban zakat. Misalnya, si A memutihkan utang senilai 500rb. Di waktu yang sama, dia berkewajiban membayar zakat sebesar 400 rb. Bisakah pemutihan utang itu sekaligus mewakili zakat si A? Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, berinfaqlah (di jalan allah) dengan sebagian dari hasil usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Aku keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk untuk kalian infaqkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.35 Yang dimaksud ‘memilih yang buruk-buruk untuk kalian infaqkan’ bukanlah harta haram. Namun harta halal, boleh dimanfaatkan. Hanya saja, sebagian orang kurang suka karena sudah tidak bagus. Termasuk harta yang tidak ada harapan untuk bisa dimanfaatkan. Seperti sapi yang lari ke hutan, yang kemungkinan kecil bisa kembali. Berniat mensedekahkan sapi 34 35
QS. Al-Baqarah: 280 QS. Al-Baqarah: 267
ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
121
semacam ini termasuk kategori memilih yang buruk-buruk untuk diinfaqkan. Sehingga tidak boleh diniatkan untuk zakat. Termasuk utang macet. Sementara tidak ada harapan untuk dikembalikan. Statusnya seperti harta hilang. Karena itulah para ulama menyimpulkan, utang semacam ini jika diikhlaskan, tidak bisa menggantikan kewajiban bayar zakat. Ibnu Utsaimin memberikan penjelasan dalam tafsirnya tentang utang macet bahwa utang yang berada di tangan orang yang kesulitan bayar, seperti uang hilang. Karena hukum asal orang itu adalah masih dianggap sebagai orang yang kesulitan. Sehingga utang itu statusnya seperti uang hilang. Dan tidak boleh harta yang hilang dijadikan sebagai zakat. Karena itu, Syaikhul Islam mengatakan, ‘Memutihkan utang orang yang kesulitan bayar, tidak bisa menggantikan kewajiban zakat, tanpa ada perbedaan pendapat ulama.’36 bahwa utang yang telah diikhlaskan statusnya sedekah. Dan semacam ini sifatnya akad sepihak. Artinya, untuk memutihkan utang, hanya kembali kepada kerelaan orang yang memberi utang. Sehingga bisa jadi yang berutang tidak tahu sama sekali bahwa utangnya telah diikhlaskan. Dan salah satu diantara aturan yang berlaku, orang yang telah mensedekahkan hartanya kepada orang lain, pantangan baginya untuk menarik kembali, sekalipun itu dikembalikan oleh orang yang diberi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Perumpamaan orang yang memberikan harta, lalu dia menarik kembali pemberiannya, seperti anjing yang makan, lalu dia muntah, kemudian dia makan muntahannya.37 Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seseorang yang memberikan atau menghibahkan sesuatu kemudian dia menarik kembali pemberiannya. Kecuali 36
37
Ibid, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim HR. Nasai 3705 dan dishahihkan al-Albani Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
122 Abdurrahim Hamdi
pemberian orang tua kepada anak. Orang yang memberikan harta kepada orang lain, kemudian dia menarik kembali, seperti anjing yang makan, setelah kenyang, dia muntah. Kemudian dia makan lagi muntahannya.38 Oleh sebab itu, ketika si A telah mengikhlaskan utang si B tanpa sepengetahuannya, kemudian suatu saat si B datang untuk melunasi utang tersebut maka si A tidak boleh menerimanya. Sebab, sebelumnya dia telah menyedekahkan utang itu. Jika si A tetap menerimanya maka sejatinya dia memekan harta yang telah diberikan kepada orang lain. Di dalam hadits di atas orang yang seperti itu diumpamakan seperti anjing yang memakan makanan kemudian memuntahkan, lalu memakan muntahannya kembali. Perumpamaan yang sangat hina.
Simpulan Piutang merupakan salah satu bentuk muamalah duniawiyah yang dapat mendatangkan pahala besar jika dilakukan sesuai dengan tuntunan yang benar di dalam syariat. Jika bentuk muamalah tersebut dilaksanakan tidak sesuai koridor syariat maka akan mengarah pada perbuatan riba yang terlarang di dalam Islam. Sebagai bentuk muamalah duniawiyah, piutang dalam Islam memiliki aturan yang begitu indah. Dimana, pada saat menjalani transaksi ada aturan-aturan yang dapat meminimalisir konflik antara pengutang dan pemberi utang. Di antara aturan tersebut adalah mencatat dan menghadirkan saksi. Sekalipun di di kalangan ulama berbeda pendapat tentang hukumnya apakah wajib atau hanya sunnah, tetapi cara tersebut merupakan cara efektif untuk meminimalisir penghianatan dalam piutang. Kemudian, aturan selanjutnya yang harus diperhatikan juga adalah di saat pengutang dalam kondisi sulit maka wajib bagi pengutang memberikan jangka waktu, bahkan jika mau meutihkan utang tersebut maka itu lebih baik. Namun, jika pengutang enggan membayar utanag padahal dia mampu, boleh bagi pemberi utang untuk memaksa bahkan memenjarakannya.
38
HR. Abu Daud 3541 dan dishahihkan al-Albani
ADZKIYA MARET 2015
Piutang dalam Bingkai Fiqih dan Tafsir
123
DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Minhajul Muslim, (Qahirah: Daar Al-Fikr), 1976 M, h. 353 Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jashahs, Ahkamul Qur’an Al-Juz`u 2, Beirut: Daar Al-Haya At-Turats Al-‘Arabi, 204 http://hadith.al-islam.com/Loader.aspx?pageid=261 (Kutub At-Tis’ah) Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, (Beirut: Dar Al-Kutub Al’Alamiyyah) 2003 Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, h. 371/3 Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Tafsir Al-Qur’an Al‘Azhim; Surah Al-Baqarah, Riyadh: Dar Ats-Tsuraya li An-Nasyr, h. 280 Nuhbah min al-ulama, Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau`i AlKitab wa As-Sunnah, (Riyadh: Wakalah Matbu’at wa Bahts Al-Ilmi), 1436 H., h. 225 Sayid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar Al-Fath li AlI’lam Al-‘Arabi), h. 144 Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Taisir Al-Karim ArRahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, Riyadh, Daar ussalam, h. 118
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1