Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009)
SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Disusun oleh : ANNISA ROHMAH D0205039
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari Tanggal
: Rabu : 24 Maret 2010
Surakarta, 24 Maret 2010 Pembimbing,
Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002
ii
PENGESAHAN Telah disetujui dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari
:
Rabu
Tanggal
:
21 April 2010
Panitia Penguji : 1. Prof. Drs. H. Totok Sarsito, S.U, M.A,
sebagai Ketua
(......................)
NIP 19490428 197903 1 001 2. Tanti Hermawati, S.Sos, M.Si
sebagai Sekretaris (.....................)
NIP. 19690207 199512 2 001 3. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D
sebagai Penguji
NIP. 19540805 198503 1 002
Mengetahui Dekan,
Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP 19530128 198103 1 001
iii
(......................)
MOTTO
”Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah” (Tiada daya upaya selain dari Allah SWT)
”Kekuatan doa dan energi positif mampu menembus keterbatasan dan ketidakmungkinan” (Annisa Rohmah)
”Dalam menghadapi keadaan apapun, jangan lengah! Sebab kelengahan menimbulkan kelemahan, Dan kelemahan menimbulkan kekalahan, Sedang kekalahan menimbulkan penderitaan” (Panglima Besar Jenderal Soedirman)
iv
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini peneliti persembahkan untuk: 1. Ibunda, atas kasih sayang dan pengorbanan yang tidak pernah putus. 2. Bapak, atas doa dan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi peneliti. 3. Kakak-kakak peneliti, Ichsan Adhie dan Sarah Fauziah, untuk doa dan dukungannya. 4. Almamater peneliti.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur tiada terhingga hanya kepada Allah SWT, Tuhan yang memberi nafas dan kesempatan hidup yang berharga. Hanya karena ridho dan petunjukNya-lah, peneliti mampu menyelesaikan tugas yang tampak berat ini dengan lancar. Skripsi ini merupakan pertanggungjawaban peneliti atas perjuangan empat tahun menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Meski tidak sedikit menemui hambatan dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang tak pernah lelah memberi dukungan dan membagi ilmunya kepada penulis. Untuk itulah, penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang begitu mendalam kepada berbagai pihak berikut ini. 1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dra. Prahastiwi Utari, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret yang memiliki dedikasi begitu luar biasa. 3. Dra. Christina T.H, M.Si, selaku pembimbing akademik peneliti yang banyak memberikan kemudahan dan motivasi kepada peneliti. 4. Prof. Drs. Pawito, Ph.D, selaku dosen pembimbing yang selalu mengarahkan dan membantu peneliti menulis skripsi ini hingga akhir. 5. Ibunda, Bapak, Kakak-kakakku: Ichsan dan Sarah, Pakde, Uti, serta seluruh keluarga yang memberi doa dan dukungan yang tak pernah putus.
vi
6. Sahabat-sahabat yang selalu menjadi pelipur lara, Leonie Bunga, Ayoe Niken, Sovya Marda, dan Aditya Kundhala. Serta sahabat-sahabat dari kampus tercinta: Paramita Sari, Sri Hartini, dan Arin Prasetyo, terimakasih untuk tawa dan tangis bersama, semoga kisah kecil di kampus ini akan kita bawa sampai kita tua nanti. 7. Kisbandi Virdha Kurniawan, untuk semua diskusi yang berarti, serta perhatian, kesabaran, dan motivasi yang diberikan kepada peneliti dalam menghadapi setapak demi setapak proses kehidupan selama setahun ini. 8. Kawan-kawan seperjuangan di Nolima Organizer: Albert, Pandu, Agung, Densa, Indah, Yaninta; dan keluarga Komunikasi 2005 yang istimewa: Azizah, Sumi, Filia, Heni, Nanda, Dini, Ida, Festy, Windy, Ajeng, dll. 9. Keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI FISIP UNS. Sebuah “rumah” kecil, yang sering terlupakan, tapi nyatanya dari sinilah langkah kecil itu dimulai. Terimakasih “tetua-tetua” VISI: Haris, Tedy, Joni, Abdul, Ika, Nila, Rini; serta adik-adikku: Ema, Adinda, Rizky, Wahyu, Wida, Nosi, Nanda, Alina, Intan, dan lain-lain. 10. Responden skripsi ini, Suhartono, Sutta Dharma, Eko, Ansyor, Nanda, Rorie, Haris, Joni, dan Mita. Terimakasih untuk waktu dan diskusinya. 11. Seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi yang peneliti susun ini dapat memberikan manfaat, bagi siapa saja yang membacanya. Terimakasih.
Surakarta, April 2010 Peneliti, vii
ANNISA ROHMAH
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL................................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... iii HALAMAN MOTTO................................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................................ v KATA PENGANTAR............................................................................................... vi DAFTAR ISI.............................................................................................................. viii DAFTARGAMBAR.................................................................................................. xi DAFTAR TABEL...................................................................................................... xii ABSTRAK................................................................................................................. xiv ABSTRACT………………………………………………………………………... xv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah.............................................................................. 9 C. Tujuan Penelitian............................................................................... 10 D. ManfaatPenelitian.............................................................................. 10 E. Telaah Pustaka 1. Demokrasi, Partai Politik dan Pers Indonesia.............................. 11 2. Proses Produksi Berita................................................................. 18 3. Framing sebagai Bagian dari Paradigma Konstruktivisme.......... 23 4. Pembentukan Konstruksi Realitas oleh Berita dan Media........... 31 5. Audience sebagai Khalayak Aktif ............................................... 36 F. Metodologi Penelitian 1. Tipe dan Jenis Penelitian.............................................................. 41 2. Obyek Penelitian.......................................................................... 43 viii
3. Teknik Pengumpulan Data........................................................... 44 4. Teknik Pengambilan Sampel…................................................... 44 5. Teknik Analisa Data.................................................................... 46 6. Validitas Data……………………............................................... 54 7. Kerangka Pemikiran……………………………………………. 55 BAB II
DESKRIPSI LOKASI A. Partai Golongan Karya (Golkar) 1. Sejarah dan Perkembangan Partai Golkar…................................ 56 2. Tujuan, Visi, Misi dan Platform Partai Golkar ........................... 60 3. Paradigma Lama dan Paradigma Baru…..................................... 64 4. Susunan Kepengurusan................................................................ 65 5. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke-VIII………… 67 B. Harian Kompas 1. Sejarah Harian Kompas……....................................................... 70 2. Visi dan Misi Harian Kompas…….............................................. 74 3. Struktur Organisasi Perusahaan…............................................... 75 4. Kebijakan Keredaksian……………............................................ 76 5. Rubrikasi……………………………………………………….. 77 6. Oplah, Sirkulasi, dan Profil Pembaca………………………….. 79
BAB III
PARTAI GOLKAR DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK A. Pola Pemberitaan Munas Golkar ke VIII pada Harian Kompas........ 82 1. Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar……… 86 1.1 Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar dalam Pandangan Kompas………………………………..... 92 2. Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII……………………... 101 2.1 Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII dalam Pandangan Kompas…………………………………………………….. 103 3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum……………………………………………..……………. 108 3.1 Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum dalam Pandangan Kompas……………………………... 112 ix
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas…... 117 4.1 Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas dalam Pandangan Kompas…………………………………. 120 5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas……………………… 125 5.1 Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas dalam Pandangan Kompas…………………………………………………….. 128 B. Melihat Bingkai Pembaca Kompas terhadap Pelaksanaan Munas Partai Golkar……………………………………………………...... 132 1. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar……………………………… 139 2. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII…………………………………………… 154 3. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum.…………………. 161 4. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Kericuhan dan Indikasi Rekayasa pada Pelaksanaan Munas……………..……………... 171 5. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas……………………..................................... 180 C. Membandingkan
Frame
Kompas
dengan
Frame
Pembaca
Kompas…………………………………………………………….. 190 1. Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar............. 190 2. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII……………………... 193 3. Isu politik uang dan pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum……................................................................................... 195 4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas…... 196 5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas.................................... 198
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan........................................................................................ 202 B. Saran.................................................................................................. 208
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... x
211
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 A Process Model of Framing Research ............................................29 Gambar 1.2 Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman...................................47 Gambar 1.3 Kerangka Berpikir..............................................................................55
xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1 Variabel Independen dan Variabel Dependen pada Frame..................28 Tabel 1.2 Daftar Responden Penelitian................................................................46 Tabel 1.3 Kerangka Framing Pan dan Kosicki....................................................50 Tabel 2.1 Paradigma Lama dan Baru Partai Golkar...........................................65 Tabel 2.2 Rubrikasi Harian Umum Kompas........................................................77 Tabel 2.3 Oplah Kompas per Lima Tahun...........................................................79 Tabel 2.4 Sirkulasi Harian Kompas Tahun 1993.................................................79 Tabel 2.5 Segmentasi Kompas dari Segi Pendidikan..........................................80 Tabel 2.6 Segmentasi Kompas dari Segi Penghasilan.........................................80 Tabel 2.7 Segmentasi Kompas dari Segi Pekerjaan.............................................81 Tabel 3.1 Daftar Berita Bulan Oktober 2009.......................................................84 Tabel 3.2 Daftar Berita yang Dianalisis...............................................................86 Tabel 3.3 Berita Bertema Persaingan Antar Calon Ketua Umum.......................92 Tabel 3.4 Berita Bertema Arti Penting Munas Partai Golkar VIII....................103 Tabel 3.5 Berita Bertema Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum.....................................................................112 Tabel 3.6 Berita Bertema Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas............................................................................120 Tabel 3.7 Berita Bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas.................128 Tabel 3.8 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Persaingan Antar Calon Ketua Umum.................................................................153 Tabel 3.9 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Arti Penting Munas Partai Golkar..........................................................................160 Tabel 3.10 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum..............................170 Tabel 3.11 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Indikasi xii
Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas...........................179 Tabel 3.12 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas................................................................188 Tabel 3.13 Perbandingan Media Frame dan Audience Frame.............................199
xiii
ABSTRAK
ANNISA ROHMAH, D0205039, Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Pemberitaan peristiwa besar, seperti Munas Partai Golkar, melalui surat kabar dipercaya memberi kecenderungan dan efek tertentu bagi khalayak. Pembaca sebagai khalayak aktif memiliki pemahaman tersendiri terhadap sebuah berita. Pemahaman ini diolah dalam diri individu dan membentuk pandangan tertentu. Pendapat pembaca juga dimungkinkan mendapat pengaruh dari cara penyajian berita oleh media massa. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan menggabungkan analisis framing model Pan dan Kosicki dengan teori Dietram Aren Scheufele terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas bulan Oktober 2009. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui kontruksi Partai Golkar yang dibangun Harian Kompas pada Munas Partai Golkar dan persepsi pembaca Kompas tentang Partai Golkar. Penelitian ini memakai orientasi bingkai khalayak (audience frames) sebagai variabel dependen. Untuk mengetahui bingkai khalayak, peneliti meletakkan fokus pada tiga unsur: bagaimana persepsi setelah membaca berita, faktor yang mendasari persepsi, dan apakah bingkai khalayak sama dengan bingkai media. Penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa Kompas melihat Partai Golkar memiliki kemiripan dengan Golkar masa orde baru yang lekat dengan kekuasaan. Kompas banyak mengkritisi dinamika politik dan perilaku elite yang negatif pada pelaksanaan munas. Sementara pembaca Kompas menilai banyak masalah dalam munas yang mencitrakan Partai Golkar sebagai partai yang tidak solid. Namun pragmatisme Partai Golkar dianggap sebagai kesalahan yang membudaya dan sulit dihapuskan. Faktor yang mempengaruhi persepsi khalayak diantaranya intensitas membaca berita, penggunaan media lain, pemahaman mengenai Partai Golkar, serta kegiatan keseharian. Pada dasarnya, sebagian besar persepsi khalayak dipengaruhi oleh frame media, akan tetapi ada pula persepsi khalayak yang bertolak belakang dengan frame media yakni terkait persaingan calon ketua umum dan terjadinya politik uang.
Kata kunci
: Partai Golkar, bingkai khalayak, bingkai media
xiv
ABSTRACT
ANNISA ROHMAH, D0205039, The Construction of Golkar Party (Audience Framing Analysis on Reporting to the 8th National Conference of the Golkar Party in Kompas daily newspaper Period on October 2009), Thesis, Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010. Reporting the big event, such as the National Conference of Golkar Party, on the newspaper is believed to give certain trends and effects for the audience. Reader as an active audience has its own understanding of a story. This understanding is processed within the individual and establish in a particular view. Opinions reader is also possible under the influence of how the presentation of news by the media. This research is a study combining qualitative framing analysis of Pan and Kosicki model with the theory of Dietram Aren Scheufele preaching to the 8th National Conference of the Golkar Party in Kompas daily newspaper period on October 2009. The purpose of this research is to know the construction of the Golkar Party, which was built by Kompas daily newspaper on the National Conference of the Golkar Party and the Kompas readers’ perception of the Golkar Party. This study used an audience frame oriented (audience frames) as the dependent variable. To find the audiences frame, researchers put the focus on three elements: how the perception after reading the news, the factors underlying perception, and whether the frame of audiences same with the media frame. These studies generally conclude that Kompas see the Golkar party still has a similar character with Golkar in Orde Baru which is closely with power. Kompas criticize the political dynamics and the negative behavior of elite on National Conference. All that is shown through the choice of words, in writing, the choice of interviewees, and the results of interviews with reporters of Kompas. While Kompas readers assess many problems on National Conference that the imaging Golkar Party as the party that is not solid. But pragmatism in Golkar Party is considered as the entrenched error and difficult to be abolished. Factors that affect the public perception are the intensity of read news, use of other media, understanding of the Golkar Party, and daily activities. Basically, almost all perception of the audiences is under the influence of the media frame, but some perception of the audiences has an opposite frame with the media frame, such as the election of the political party’s leader and money politics. Keywords: Golkar Party, media frame, audience frames
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hingar bingar pesta demokrasi di Indonesia baru saja usai. Dua perhelatan besar bangsa tahun 2009, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada 9 April dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 8 Juli lalu telah mendapatkan hasil. Partai Demokrat merebut kemenangan dari Partai Golongan Karya (Golkar) dengan jumlah suara 20,85%, padahal Demokrat pada Pemilu lima tahun lalu hanya memperoleh suara 7,45%. Sedang Golkar harus menelan kekalahan dengan jumlah suara yang turun drastis dari Pemilu 2004, yakni 14,45%. Fakta ini merupakan catatan sejarah, karena inilah jumlah suara terkecil yang diperoleh partai berlambang pohon beringin ini dalam sembilan kali pemilu. Sejak Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997 Golkar−yang pada awal berdiri bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar−dibawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto berhasil mengemban kepercayaan rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal.1 Meskipun pada Pemilu 1999, Golkar hanya mendapat peringkat kedua dengan jumlah 22,43% suara, namun pada Pemilu 2004 Golkar berhasil mengembalikan kejayaannya dengan menjadi juara pertama. Akan tetapi kecenderungan suara Partai Golkar terus mengalami penurunan, bahkan pada pemilu tahun 2004, Golkar hanya mendapat suara 21,58%. Padahal pada Pemilu 1997 Golkar berhasil 1
www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
xvi
memperoleh suara mutlak 74,5%, sebelum akhirnya Soeharto digulingkan mahasiswa pada reformasi 1998. Sama halnya dengan pemilu legislatif (Pileg), Pilpres pun membawa hasil yang sangat mengecewakan bagi partai bernomor urut 23 ini. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung Partai Golkar dan rekan koalisinya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), yakni Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto, kalah telak dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono serta Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto. SBY-Boediono menyempurnakan kemenangan Partai Demokrat dengan memperoleh kemenangan dengan jumlah suara 60,80% dalam satu putaran saja2. Sementara JK-Wiranto hanya bercokol pada posisi ketiga dengan jumlah suara 15.081.814 atau 12,41% dari total suara pemilih. Dua pukulan ini membuat posisi politik Partai Golkar semakin sulit. Dalam alur sejarah, Golkar selalu menjadi partai yang masuk dalam pemerintah. Golkar tidak pernah memiliki sejarah menjadi oposisi, karena sejak era orde baru, Golkar kental dengan image sebagai partai penguasa (the ruler’s party)3. Bahkan politisi Partai Golkar banyak yang duduk sebagai pejabat penting, seperti dewan legislatif, menteri, gubernur, kepala daerah, hingga kepala camat ataupun lurah.
2
3
Wacana Pilpres Satu Putaran digulirkan Denny J.A, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Studi Demokrasi (LSD), serta menjadi salah satu materi iklan kampanye SBY-Boediono. Hal ini memicu protes dari kedua pasangan calon lain yang mengharapkan pilpres dapat berlangsung dua putaran agar dapat mengalahkan SBY-Boediono. Dalam berbagai survei pra-pilpres, SBY-Boediono selalu mendapat dukungan lebih dari 50%. Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 39
xvii
Padahal, Partai Golkar tergolong partai berbasis massa bukan partai kader4. Pada saat krisis, persatuan partai cenderung melemah bahkan bisa dengan mudah hilang sama sekali. Sehingga dimungkinkan sekali satu per satu golongan dalam partai ini akan memisahkan diri dari partai dan membentuk partai baru karena ketidakpuasannya terhadap Partai Golkar. Hal ini pernah dibuktikan Golkar sebelum Pemilu 1999 dimana beberapa kader dan ormas pendukungnya memisahkan diri. Diantaranya, Edi Sudradjat yang mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Hj. Mien Sugandhi dengan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Partai MKGR) yang berganti nama menjadi Partai Gotong Royong (PGR), R. Hartono yang membentuk Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Yapto Soerjosoemarno yang mendirikan Partai Patriot Pancasila.5 Pada kondisi yang sekarang, keadaan internal partai Golkar terus bergejolak. Partai yang memiliki banyak tokoh penting ini sering mengalami konflik kepentingan antar kadernya. Kondisi ini mau tidak mau menuntut Partai Golkar untuk segera merumuskan kembali arah dan ideologi partai secara cermat. Jika tidak, sejumlah pengamat politik memastikan Golkar akan kehilangan “taringnya” dan segera menemui kematiannya. Pengamat politik Bima Arya Sugiarto misalnya, mengatakan ada lima krisis yang sebenarnya tengah dihadapi
4
Jika dilihat dari segi komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dibedakan menjadi dua, yakni partai massa dan partai kader. Partai massa lebih mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Sedang partai kader lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja anggotanya. Selengkapnya lihat Prof. Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal: 166 5 Selengkapnya lihat Op.Cit, hal 106-111
xviii
Partai Golkar, yakni krisis elektoral, krisis orientasi, krisis kader muda, krisis basis sayap, dan krisis loyalitas6. Pertama, krisis elektoral, yakni tingkat kepercayaan publik yang menurun drastis. Dibuktikan dengan perolehan jumlah suara yang jatuh secara signifikan meskipun Partai Golkar memiliki figur JK yang cukup bersinar ketika menjadi Wakil Presiden periode 2004-2009. Kedua, krisis orientasi, artinya Partai Golkar tidak mengedepankan visi misi dan kekokohan partai dalam gerak politiknya, akan tetapi justru berkutat pada masalah oposisi atau mendukung pemerintah, masuk atau tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan. Ketiga, krisis kader muda, yakni Partai Golkar kurang memberi tempat kepada kader mudanya dalam kepengurusan. Akibatnya kaum muda dalam partai lebih tersisih sehingga kepengurusan masih banyak didominasi golongan senior. Krisis keempat, yakni organisasi sayap Partai Golkar yang semakin terpecah dan seakan berdiri sendiri. Kelima, krisis loyalitas, yakni munculnya berbagai faksi dalam partai yang justru saling menyerang, sehingga kesatuan partai tidak lagi harmonis. Maka Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke VIII yang dilaksanakan pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru, Riau, menjadi titik tolak Partai Golkar untuk bangkit dari keterpurukan Pemilu 2009. Munas yang secara rutin dilaksanakan per 5 tahun ini mengevaluasi kepemimpinan JK selama menjadi Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009 sekaligus memutuskan langkah kongkrit Golkar untuk memenangi Pemilu 2014. Munas Golkar ini juga
6
Kompas, “Lima Krisis Lilit Golkar”, edisi 10 Agustus 2009
xix
menentukan Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2015 yang menjadi nahkoda Golkar ke depan. Ketua Umum Golkar-lah yang menentukan, apakah Golkar kembali menjadi partner pemerintah atau justru mencetak sejarah dengan memposisikan diri sebagai lawan. Namun ada yang berbeda dalam proses penyelenggaraan Munas kali ini. Pemilihan ketua umum dipilih secara langsung oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) serta masing-masing Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I dan DPD tingkat II. Pada Munas sebelumnya pemilihan ketua umum terlebih dahulu dipilih dalam Konvensi Ketua Umum Partai Golkar, setelah itu baru dilakukan proses pemilihan pada munas. Sistem pemilihan langsung ini, sesuai dengan platform partai, merupakan kebijakan partai untuk menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi Indonesia. Seperti diketahui, pada awalnya pemilu di Indonesia memang ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pilpres yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Kemudian pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) pun juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.7 Ada empat calon kandidat yang lolos seleksi menjadi calon Ketua Umum Partai Golkar, yakni Aburizal Bakrie, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), 7
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia akses data tanggal 19 Desember 2009 pukul 13.12
xx
Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Keempatnya secara sengit terus bersaing jelang munas dilaksanakan, mulai dari penayangan iklan, saling klaim dukungan, hingga perang opini di media massa. Aburizal akhirnya menang dengan mendapatkan suara 296, mengalahkan Surya Paloh dengan jumlah suara 250. Sementara Tommy Soeharto dan Yuddy Chrisnandi sama sekali tidak mendapat dukungan suara atau nol. Munas yang berlangsung panas dan penuh dengan kericuhan ini tentu saja menjadi titik perhatian media. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh yang mengajukan diri menjadi ketua umum adalah tokoh-tokoh besar Golkar yang royal mengeluarkan uang untuk melakukan kampanye. Bahkan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh adalah pemilik media besar di negeri ini. Aburizal Bakrie adalah pemilik VIVA News, TV One, dan ANTV. Sedangkan Surya Paloh memiliki Metro TV serta Media Indonesia. Tommy Soeharto sebenarnya juga merupakan salah satu pemilik saham di MNC Group–terdiri dari RCTI, TPI, Global TV, Global Radio, Koran Seputar Indonesia dan Tabloid Genie–, akan tetapi MNC lebih berkonsentrasi pada siaran entertainment bukan media berita. Pemberitaan media massa pun tidak hanya berkutat pada pelaksanaan teknis Munas, tetapi lebih menyoroti pada persaingan antar calon ketua umum. Isu-isu sensitif seperti politik uang, klaim dukungan, hingga tekanan pada calon lain pun terus menghiasi surat kabar mendekati pelaksanaan Munas. Sejenak masalah kebimbangan ideologi Golkar seperti terabaikan oleh media, bahkan oleh politisi Golkar sendiri. Image dan posisi politik Partai Golkar kini seakan kembali bergeser seperti masa orde baru dahulu−yakni partai yang sangat dekat dengan xxi
perebutan kekuasaan. Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar periode 2004-2009 Sultan Hamengku Buwono X pun sempat menyindir Partai Golkar sebagai partai pragmatis sehingga idealisme partai telah melemah8. Salah satu media massa yang memberi perhatian khusus terhadap pelaksanaan Munas Golkar adalah Harian Kompas. Kompas adalah media cetak nasional yang memiliki oplah terbesar di Indonesia. Sebagai salah satu media nasional yang dianggap netral−meskipun tak ada media yang benar-benar netral−, Kompas secara kontinyu menuliskan pemberitaan tentang persiapan, persaingan antar calon ketua umum, memberi space khusus pada hari pelaksanaan munas, serta melakukan follow-up pemberitaan pasca Munas berlangsung. Meskipun Kompas memiliki ideologi tak terlalu jauh dengan Partai Golkar yakni nasionalis moderat9, tetapi Kompas pasti memiliki kepentingan dan arah kebijakan tersendiri dalam pemilihan serta pemuatan berita. Seperti yang diungkapkan Pemimpin Umum Harian Kompas Jacoeb Oetama, bahwa tidak ada peristiwa yang begitu saja jatuh dari langit. Senantiasa ada latar belakang, ada proses, ada kait-kaitan, dan ada konteks10. Ada dua konteks dalam pemberitaan surat kabar, yakni konteks yang berhubungan langsung dengan fakta dan persoalan di lapangan, serta konteks dalam kerangka referensi (frame of
8
Lihat berita Kompas, “Penentuan Nasib Partai”, edisi 2 Oktober 2009 Kompas menyatakan diri sebagai koran yang moderat, tidak condong ke salah satu pihak, berada ditengah-tengah. Sementara Partai Golkar, dalam internalnya pun sebenarnya masih terjadi silang pendapat mengenai ideologi Partai Golkar. Aburizal dan Tommy menyatakan Partai Golkar memperjuangkan NKRI dengan berpegang pada Pancasila dan UUD ‘45. Surya Paloh mengklaim ideologi Partai Golkar adalah Nasionalis moderat, sedang menurut Yuddy Partai Golkar berbasis nasionalis religius kerakyatan. Selengkapnya lihat wawancara Harian Kompas dengan empat kandidat Ketua Umum Partai Golkar, Kompas, edisi 5 Oktober 2009, hal: 5 10 Jacoeb Oetama, “Sampaikan Informasi secara Menarik dan Bermakna”, artikel, Kompas, edisi 28 Juni 2000, dalam Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 141 9
xxii
reference).11 Surat kabar dipandang memiliki kemampuan untuk menampilkan hal tersebut lebih baik dibanding media lain. Jacoeb Oetama juga menegaskan bahwa dengan kelebihan surat kabar tersebut, isi surat kabar akan menimbulkan kecenderungan tertentu bagi khalayak pembacanya. Pun demikian, pemberitaan Kompas mengenai pelaksanaan Munas Golkar ini tentu juga memberikan gambaran dan perspektif sendiri bagi pembacanya. Pembaca sebagai audience, mau tidak mau pasti mendapatkan efek dari pemberitaan yang termuat pada Harian Kompas. Seperti yang diungkapkan Keith R Stamm dan John E Bowes, ada dua bagian dasar dari efek yang timbul dari komunikasi massa, yakni efek primer dan efek sekunder. Efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Sedang efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih).12 Oleh karena itu, setiap individu pembaca Kompas, meskipun dengan tingkat perhatian yang terbatas dimungkinkan memiliki pemahaman tertentu terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar yang disajikan Harian Kompas. Pemahaman ini diolah sedemikian rupa dalam diri individu pembaca dan kemudian membentuk sebuah pandangan tertentu mengenai Partai Golkar. Pendapat pembaca Kompas ini juga sangat dimungkinkan mendapat pengaruh dari cara pemberitaan dan framing berita yang sengaja dibentuk oleh Kompas.
11
Kerangka referensi bisa berasal dari pengalaman empiris, visi misi, otonomi, independensi, pandangan dan sikap dasar surat kabar tersebut. Selengkapnya lihat Jacoeb Oetama, Ibid 12 Selengkapnya lihat Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 192-200
xxiii
Penelitian ini memfokuskan diri pada tiga hal, antara lain konstruksi Partai Golkar pada pelaksanaan Munas Partai Golkar yang dibentuk oleh Harian Kompas, persepsi dari pembaca Kompas mengenai pemberitaan Munas Partai Golkar, serta perbedaan dan persamaan diantara dua konstruksi tersebut. Melalui penelitian ini dengan memperhatikan muatan berita pada Harian Kompas, peneliti berharap mengetahui konstruksi Partai Golkar pada pemberitaan Munas Gokar keVIII yang terbentuk oleh Harian Kompas (frame media) dan oleh pembacanya (frame khalayak pembaca) sehingga dapat melihat perbandingan konstruksi frame media dan frame pembaca. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul: Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009)
B. Rumusan Masalah Dari paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana Harian Kompas mengkonstruksi dan mengemas berita Munas Golkar ke VIII di Pekanbaru? 2. Bagaimana persepsi pembaca Kompas tentang Partai Golkar pada pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru? 3. Bagaimana hubungan konstruksi Partai Golkar yang dibentuk oleh Kompas dan pembaca Kompas?
xxiv
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui frame Harian Kompas pada pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru 2. Untuk mengetahui persepsi pembaca Kompas mengenai Partai Golkar dan pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada Harian Kompas 3. Untuk mengetahui hubungan konstruksi Partai Golkar dalam pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII yang dibentuk oleh Harian Kompas dan pembaca Kompas
D. Manfaat Penelitian 1. Secara khusus bagi peneliti, memberi gambaran tentang kecenderungan Kompas dalam membingkai dan mengemas berita Munas Golkar VIII, mengetahui frame pembaca setelah membaca pemberitaan di Kompas, serta mencari tahu perbedaan dan persamaan kedua frame tersebut. 2. Dalam tataran yang lebih umum dan praktis, penelitian ini diharapkan memberi gambaran bagi mahasiswa, dosen, akademisi komunikasi, praktisi media massa bahwa perkembangan politik sangat dinamis. Politik terus berubah sesuai dengan arah kepentingan partai politik dan aktor dibelakangnya, sehingga politik harus selalu diawasi dan mendapat pengawalan masyarakat agar tidak melenceng dari hakikat awalnya. 3. Memberikan kesadaran bahwa pada dasarnya pemberitaan media tidak sepenuhnya obyektif dan informatif, sehingga khalayak diharapkan lebih xxv
berhati-hati ketika berhadapan dengan infomasi media. Serta, khalayak mampu secara bijaksana menyikapi pemberitaan media massa tersebut.
E. Tinjauan Pustaka 1. Demokrasi, Partai Politik dan Pers Indonesia Demokrasi merupakan dambaan setiap rakyat yang menginginkan persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi sulit didefiniskan karena selalu berkembang sesuai dinamika masyarakat. Menurut negarawan Athena, Pericles, ada empat kriteria yang dapat mendefinisikan istilah demokrasi. Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme yakni penghargaan atas bakat, minat, keinginan, dan pandangan. Keempat, penghargaan terhadap pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi kepribadian individual.13 Pada kriteria pertama, masyarakat membutuhkan sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi politiknya. Maka dari itu muncul partai politik atau parpol. Parpol adalah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Parpol lahir karena kesadaran bahwa rakyat mempunyai hak untuk berpartisipasi menentukan siapa yang membuat kebijakan umum bagi dirinya. Parpol secara lebih sederhana sebenarnya telah menjadi buah pikir masyarakat sejak peradaban Yunani Kuno, atau dalam
13
Lihat Roy C Macridis, Contemporary Political Ideologies: Movements and Regimes, Boston, Toronto: Little, Brown, and Company, 1983, hal: 19-20 dalam Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 17
xxvi
interaksi politik pada kebudayaan Cina Kuno, Hindu India dan Babylonia. Namun, parpol–dalam bentuk yang lebih modern–ditemukan pada awal abad ke-19. Bentuk parpol ini muncul dari semangat modernitas dalam dunia politik. Kemunculan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kepentingan politik kolektif membutuhkan suatu sistem organisasi-birokratis yang menjamin efisiensi dan efektivitas dalam perjuangan politik.14 Secara umum partai politik dapat diringkas sebagai kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik–(biasanya) dengan cara konstitusionil–untuk melaksanakan kebijaksanaan mereka.15 Sedang, Max Weber dalam bukunya Economie et Societe (1959) justru melihat parpol dalam aspek profesionalime. Menurutnya, parpol adalah organisasi publik yang bertujuan membawa pemimpinnya berkuasa
dan
memungkinkan
para
pendukungnya
(politisi)
untuk
mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut.16 Partai politik setidaknya memiliki empat karakteristik pokok17, yakni memiliki orientasi jangka panjang, memiliki struktur organisasi dari level lokal hingga nasional, bertujuan untuk merebut dan mendapatkan kekuasaan, serta berupaya untuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat.
14
Firmanzah, Ph.D, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hal: 56 15 Prof. Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal: 161 16 Op. Cit, hal: 66 17 La Palombara dan Weiner dikutip dalam Firmanzah, Ph.D, Op.Cit, hal: 67-68
xxvii
Setiap negara menerapkan sistem kepartaian yang berbeda-beda, tergantung pada pola pemerintahan negara yang bersangkutan. Secara mudah Maurice Duverger mengklasifikasikan sistem kepartaian sebagai berikut18: a. Sistem partai tunggal (one-party system) Yakni hanya terdiri dari satu partai penguasa atau partai yang memiliki posisi dominan diantara partai kecil lain. Dalam sistem kepartaian ini, pihak yang kalah tidak diperbolehkan melakukan perlawanan terhadap partai dominan dan pimpinan yang terpilih. b. Sistem dwi-partai (two-party system) Yakni adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Dalam sistem ini, fungsi kepartaian tampak jelas karena partai yang menang akan berkuasa sedangkan partai yang kalah akan menjadi partai oposisi. c. Sistem multi partai (multi-party system) Sistem kepartaian ini membuka kesempatan partai-partai kecil karena kesadaran keberagaman budaya dan politik. Dalam sistem ini, pada akhirnya partai-partai kecil akan berkoalisi dengan partai pemenang untuk memperkuat pemerintahan. Akan tetapi peran oposisi sangat lemah, sehingga posisi partai pemenang lebih diuntungkan.
Indonesia pada masa kolonial Belanda sempat menerapkan sistem multi partai. Parpol sempat dilarang pada masa kependudukan Jepang, namun sistem multi partai kembali digunakan usai kemerdekaan, tepatnya pada masa 18
Ibid, hal: 167-170
xxviii
orde lama (1945-1965). Dibawah pimpinan Soekarno, Indonesia mengalami dua bentuk demokrasi pada masa orde lama. Wilopo menamakan periodisasi 1945-1957 sebagai periode “Revolusi”/“Demokrasi Parlementer” sementara periode 1957-1965 sebagai periode “Demokrasi Terpimpin”.19 Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, 3 November 1945 tentang penganjuran pembentukan parpol, pemerintahan dijalankan perdana menteri, kabinet, dan parlemen. Akibatnya, terjadi pergulatan politik yang ditandai tarik menarik kekuatan partai dalam lingkaran kekuasaan, dan tarik menarik antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik diluar kekuasaan: pihak kedua mencoba menarik pihak pertama keluar dari lingkaran kekuasaan.20 Keadaan yang demikian melegalkan peranan partai “koalisi” dan partai “oposisi”.
Oposisi
menurut
Prof.
Dr.
A.
Hoogerwerf
disebabkan
ketidakpuasan pada kekuasaan yang terpolarisasi pada kelompok-kelompok yang mampu menampung tuntutan-tuntutan (artikulasi kepentingan) mereka.21 Ketidakpuasan pada sistem demokrasi parlementer membuat Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai sistem Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan menjadi tersentralisasi pada Presiden dan secara signifikan diimbangi kekuasaan PKI dan Angkatan Darat.22 Setelah kudeta PKI gagal di akhir September 1965, kekuasaan bergeser kearah terbentuknya peta baru yakni lahirnya orde baru.
19
Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 17 Ibid 21 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 31 22 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 19 20
xxix
Pada masa orde baru, tepatnya tahun 1973, terjadi penyederhanaan parpol, yakni dua parpol (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Pembangunan) dan Golkar yang bisa ikut pemilu. Golkar selalu menang mutlak pada setiap pemilu hingga pemilu 1997. Afan Gaffar, seperti dikutip Amir Effendi Siregar, menyebut sistem kepartaian ini The Hegemonic Party System (Sistem Kepartaian Hegemonik) dengan Golkar sebagai pemenang hegemoni23. Sistem kepartaian hegemonik, menurut La Palombara dan Weiner dalam tulisannya “Political Parties and Political Development” yang dikutip Afan Gaffar, ditandai sebuah partai atau koalisi partai yang mendominasi proses politik dalam suatu negara dalam kurun waktu lama.24 Usai reformasi, pemilu 1999 diselenggarakan dengan membuka kesempatan pendirian partai kecil. Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemerintah presidensial. Perbedaan antara sistem partai Indonesia tahun 1950 dan pasca reformasi menurut Marcus Mietzner berkaitan dengan sifat dan arah kompetisi antar-partai. “Indonesia's party system in the immediate post-independence period was eroded by the centrifugal tendencies of the key parties, the institutional stability of current party politics is to a large extent due to the centripetal direction of inter-party competition. In other words, if in the 1950s the parties undercut the effectiveness of the party system by rushing to the margins of the politico-ideological spectrum, in the post-Suharto period they have converged inward towards the centre.” (Sistem partai di Indonesia dalam periode pasca-kemerdekaan terkikis oleh kecenderungan sentrifugal oleh partai utama, sementara stabilitas kelembagaan politik partai pada era ini adalah sentripetal kearah persaingan antar-partai. Dengan kata lain, jika di tahun 1950-an partai-
23 24
Ibid, hal: 191 Ibid, hal: 192
xxx
partai melemahkan efektivitas sistem partai, dalam periode pasca-Soeharto mereka telah berkumpul atau terpusat). 25
Dalam sistem presidensial, kedudukan presiden dan parlemen samasama kuat. Kedua lembaga tersebut tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan.26 Meskipun ada perbedaan antara partai pemenang yang berkoalisi dengan partai yang kalah–bisa disebut oposisi, namun peranan oposisi sangat lemah dan tidak diakui dalam peraturan negara. Indonesia pasca reformasi berusaha menjalankan demokrasi yang seadil-adilnya. Eep Syaefullah Fatah, menyebutkan empat kriteria pokok praktek politik demokrasi yang benar. Diantaranya adalah27: a. Partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh elemen masyarakat, tidak ada pembatasan dan eksklusivitas dalam penentuan sumber rekruitmen politik dan formulasi kebijakan publik. b. Sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif, berkala, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam prosesnya. c. Kontrol terhadap kekuasaan yang efektif, melalui kelembagaan politik formal dari tingkat suprastruktur dan infrastruktur sehingga sikap kritis terhadap pemerintah/oposisi adalah prasyarat yang penting. d. Kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan sehingga perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan
25
Marcus Mietzner, “Comparing Indonesia's party systems of the 1950s and the post-Suharto era: From centrifugal to centripetal inter-party competition”, Journal of Southeast Asian Studies, 39 (3), The National University of Singapore, 2008, hal: 433 26 Maswadi Rauf,dkk, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal: 30 27 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 14-15
xxxi
terjadi asalkan tidak menghancurkan sistem politik. Amien Rais menyebutkan ada empat macam kebebasan di alam demokrasi, yakni kebebasan
mengeluarkan
pendapat,
kebebasan
persuratkabaran,
kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama28.
Sementara, Alfian dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia” seperti dikutip oleh Eep Syaefullah, menjelaskan bahwa sistem demokrasi merupakan upaya memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Sehingga, demokrasi memberikan peluang perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan diantara individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan pemerintah, dan diantara lembaga pemerintah sendiri.29 Dalam bahasa Eep Syaefullah, harus ada pendamaian paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konflik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus disisi lain.30 Kebebasan berpolitik tidak hanya berimbas pada kehidupan politik bangsa, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kemerdekaan pers yang sempat terbungkam selama 32 tahun. Jaminan kemerdekaan pers di Indonesia dikukuhkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie. Pertalian antara sistem pers dan kehidupan politik ini, menurut Jacoeb Oetama dalam artikelnya “Kebebasan Pers dan Demokrasi”31, karena pers menjadi
28
Ibid, hal: 9 Ibid, hal: 10 30 Ibid, hal: 10-11 31 Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 50-51 29
xxxii
bagian atau subsistem dari sistem politik suatu negara. Sehingga sistem pers akan mengikuti sistem politik negara yang bersangkutan. Maka, sebagai bagian dari infrastruktur negara, parpol memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pers, terutama dalam pencitraan diri dan komunikasi politik bagi masyarakat. Seperti yang diungkapkan Dirk Tomsa berikut ini. “Almost equally important is how a party is actually represented in the media. Due to the media's highly influential role in shaping public opinion, no party can afford to have a hostile relationship with the media for an extended period of time. In other words, a party that consistently receives bad publicity will sooner or later run the risk of being abandoned by its supporters and eventually face disappearance into oblivion.” (Hampir sama pentingnya adalah bagaimana partai politik diberitakan media. Hal ini dikarenakan media sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik, jadi sebuah partai tidak boleh bermusuhan dengan media dalam jangka waktu yang lama. Misalnya, partai tertentu yang secara konsisten menerima publikasi yang buruk dari media, cepat atau lambat akan menanggung risiko ditinggalkan oleh para pendukungnya dan akhirnya menghilang dan terlupakan).32 Partai Golkar pun sempat mengalami pemberitaan buruk berkali-kali, terutama pada masa reformasi 1998 dan masa transisi antara tahun 1999-2004.
2. Proses Produksi Berita Manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Secara umum dikenal empat jenis komunikasi, yakni komunikasi internal, komunikasi antar personal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Seiring dengan perkembangan era informasi yang pesat, komunikasi massa menjadi salah satu solusi agar tidak tertinggal dalam globalisasi. Komunikasi massa secara mudah
32
Dirk Tomsa, Party Politics and the Media in Indonesia: Creating a New Dual Identity for Golkar, Contemporary Southeast Asia, Singapore, 2007, Vol. 29, Iss. 1
xxxiii
merupakan komunikasi yang dilakukan melalui media massa33. Selanjutnya media massa lebih populer disebut dengan nama pers. Pers, berdasar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, adalah lembaga dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam menjalankan kegiatannya, pers memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bernard C Cohen, seperti yang dikutip Luwi Ishwara, menyebutkan sedikitnya ada lima peran utama yang dimiliki pers yaitu34: 1. Pers
sebagai
pelapor
(informer)
peristiwa-peristiwa
diluar
pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka 2. Pers sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada sebuah peristiwa, misalnya dengan analisis atau komentar berita 3. Pers sebagai wakil dari publik (representative of the public), sehingga reaksi pers adalah reaksi atau respon dari masyarakat umum 4. Pers sebagai anjing penjaga (watchdog) atau pengkritik pemerintah 5. Pers sebagai pembuat kebijaksanaan (advokasi) yang tampak pada kolom editorial (tajuk rencana), artikel, dan jenis berita yang dipilih dan cara penyajiannya.
33 34
Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 2 Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Kompas, Jakarta, 2005, hal: 7-8
xxxiv
Pada dasarnya, penerbitan pers berisi tiga komponen.35 Komponen pertama adalah penyajian berita; kedua adalah pandangan atau pendapa; dan ketiga adalah periklanan. Sesuai dengan tujuan penerbitan pers untuk ikut memajukan kecerdasan bangsa dan menegakkan keadilan36, komponen berita mendapat porsi dan spot yang paling besar diantara komponen yang lain. Kata berita berasal dari kata “Vrit” dalam Bahasa Sansekerta yang berarti “ada” atau “terjadi”. Ada yang menyebut “Vritta” yang berarti “kejadian” atau “yang terjadi”. Kata “Vritta” kemudian berubah menjadi “berita” atau “warta” dalam Bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rumusan Depdikbud Republik Indonesia, berita diartikan “laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.”37 Definisi berita sangat beragam. Menurut Charnley, berita merupakan laporan hangat, padat, dan cermat mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri.38 Sedangkan Dean M Lyce Spencer mengartikan berita sebagai suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar dari pembaca.39 JB Wahyudi berpendapat bahwa berita adalah laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting, menarik bagi khalayak, masih baru, dan dipublikasikan secara luas melalui media massa periodik.40 Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa berita merupakan laporan yang ditulis sesuai fakta, menarik bagi pembaca, 35
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Remaja Rosdakarya, 2000, Bandung, hal: 45 Ibid. 37 Ibid, hal: 46 38 Mursito BM, Penulisan Jurnalistik: Konsep dan Teknik Penulisan Berita, Studi Pemberdayaan Komunikasi, Solo, 1999, Hal: 37 39 Totok Djuroto. Op.Cit, hal: 47 40 Ibid 36
xxxv
merupakan kejadian atau peristiwa penting, tidak memihak (obyektif), memiliki nilai kebaruan, dan disiarkan melalui media massa secara berkala. Prinsip obyektivitas adalah hal mutlak yang harus diperhatikan dalam menulis sebuah berita. Menurut Michael Bugeja, obyektivitas adalah melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang diharapkan semestinya.41 Prinsip ini bisa diwujudkan dengan asas keberimbangan atau cover both sides. Setiap berita akan berusaha untuk menjawab enam unsur pertanyaan: Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana. Keenam unsur pokok ini lazim disebut 5 W dan 1 H, yakni What (apa yang sedang terjadi), Who (siapa subyek pemberitaan), Where (dimana kejadiannya), When (kapan peristiwa itu terjadi), Why (mengapa peristiwa itu dapat terjadi), dan How (bagaimana peristiwa itu berlangsung).42 Secara umum, berita dibagi menjadi empat. Pertama, straight news atau berita langsung (lugas). Menurut Totok Djuroto, informasi yang dituangkan dalam berita diperoleh langsung dari sumber berita. Penulisan berita langsung lebih mengutamakan aktualitas informasinya.43 Dalam berita jenis ini, potongan-potongan peristiwa disusun secara piramida terbalik, yakni potongan yang paling penting diletakkan di atas (lead berita). Semakin ke bawah, informasi yang ditulis dalam berita semakin kurang penting. Kedua, soft news atau berita ringan. Berita ringan tidak mengutamakan unsur penting yang hendak diberitakan namun sesuatu yang menarik dan menyentuh sisi emosional. Berita ringan, berdasar kejadiannya, bisa dibagi 41
Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 44 Mursito BM, Op.Cit, hal: 58 43 Totok Djuroto, Op.Cit, hal: 49 42
xxxvi
menjadi dua, yaitu berita ringan yang berdiri sendiri dan berita ringan yang berfungsi sebagai pendamping berita penting sebelumnya. Ketiga, feature atau berita kisah. Cara penyajian feature dapat mengabaikan pegangan utama penulisan berita 5 W + 1 H.44 Berita jenis ini merupakan tulisan kejadian yang dapat menyentuh pembaca lewat penjelasan rinci, lengkap, serta mendalam. Nilai utamanya adalah kemanusiaan atau informasi yang dapat menambah pengetahuan baru. Menurut Walter Fox dan Ken Metzler45, ada sembilan jenis feature, yakni sketsa kepribadian, profil organisasi atau proyek, berita feature (news feature), artikel pengalaman pribadi, feature layanan, wawancara, untaian mutiara, dan narasi. Keempat, indepth news atau berita mendalam. Berita mendalam pada dasarnya memiliki struktur dan cara penulisan yang sama dengan berita kisah. Perbedaannya terletak pada unsur manusiawi pada berita kisah belum tentu ada dalam berita mendalam. Berita jenis ini digunakan untuk menuliskan permasalahan secara lengkap, mendalam, dan analitis. Berita mendalam ditulis berdasarkan liputan terencana dan sering membutuhkan waktu yang lama. Dalam pemberitaan Munas Partai Golkar di Harian Kompas, pemberitaan lebih didominasi dengan bentuk straight news dan soft news. Akan tetapi pada saat beberapa hari pelaksanaan Munas, Kompas menyelipkan beberapa tulisan feature yang menggambarkan sisi lain pelaksanaan Munas. Bahkan pada pemberitaan pada hari pertama pelaksanaan
44 45
Ibid, hal: 64 Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 62-65
xxxvii
Munas, Kompas menyediakan satu halaman khusus yang berisi wawancara eksklusif dengan masing-masing kandidat calon Ketua Umum Partai Golkar.
3. Framing Sebagai Bagian dari Paradigma Konstruktivisme Paradigma konstruksionis pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif yang banyak meneliti mengenai konstruksi sosial atas realitas, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Bagi Berger realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.46 Sebagai hasil dari konstruksi sosial, realitas dalam berita merupakan realitas subyektif dan realitas obyektif sekaligus. Dalam realitas subyektif, realitas menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan obyek. Sedangkan realitas obyektif, yakni sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada diluar, misalnya rumusan, institusi, aturan, dan lain sebagainya.47 Dalam menerapkan gagasan Berner pada berita, sebenarnya teks berita tidak bisa disamakan dengan realitas, ia harus dilihat sebagai sebuah konstruksi atas realitas. Karenanya, sebuah peristiwa yang sama bisa dikonstruksi secara berbeda. Wartawan dimungkinkan mempunyai pandangan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan pandangan tersebut dapat dicermati melalui konstruksi peristiwa yang diwujudkan dalam teks berita.
46
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 15 47 Ibid, hal: 16
xxxviii
Ada dua karakteristik dalam pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pesan tidak menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberi pemaknaan terhadap peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri.48 Salah
satu
jenis
analisa
yang
didasarkan
pada
pendekatan
konstruksionis adalah analisis framing. Secara umum, framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media.49 Proses framing terjadi melalui proses konstruksi terhadap sebuah realitas atau peristiwa. Orang media kemudian memberikan pemaknaan tertentu terhadap peristiwa tersebut. Pemaknaan ini membuat wartawan memilih angle berita apa yang akan ia tulis dan siapa saja narasumber yang akan dia wawancara dengan lebih mendalam. Pada dasarnya wartawan media massa cenderung memilih seperangkat asumsi tertentu yang berimplikasi bagi pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakan kepada seseorang atau sekelompok orang, meskipun keberpihakan tersebut sering bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari.50
48
Ibid, hal: 40-41 Ibid, hal: 66 50 Dr. Deddy Mulyana, MA dalam Ibid, hal XI 49
xxxix
Pemahaman media mengenai makna dari realitas sosial serta bagaimana cara media menampilkan hasil pemaknaannya ini menjadi fokus analisis framing. Framing dapat digunakan untuk melihat siapa yang mengendalikan siapa dalam struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa penindas dan siapa tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional.51 Konsep framing sesungguhnya dapat dibedakan menjadi dua: frame media (media framing) dan frame khalayak (audience framing).52 Konsep ini berdasarkan pendapat Kinder and Sanders (1990) yang menilai bahwa frame menunjukkan “maksud tersembunyi dalam sebuah wacana politik” yang setara dengan konsep bingkai media, dan sebagai “struktur internal dari pikiran” yang setara dengan bingkai individu.53 Keberadaan frame media sangat penting, karena frame media membuat sebuah peristiwa tampak penting dan memiliki arti. Hal ini menurut Robert M. Entman karena proses framing dapat dipandang dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas atau isu tersebut.54 Framing dilihat sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal, itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap
51
Ibid, hal: XV Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 186 53 Dietram A. Scheufele, Framing as Theory of Media Effect, Journal of Communication, Vol. 49, Internasional Communication Assosiation, 1999, hal: 106 54 Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Surdiasis, Politik Media Mengemas Berita, Institut Studi Arus Informasi, Yogyakarta, 1999, hal: 21 52
xl
masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.55 Pembingkaian media dilakukan dengan memilih isu yang akan dimunculkan di media serta mengaburkan isu yang tidak dikehendaki untuk dimuat, kemudian menonjolkan isu yang terpilih menggunakan berbagai strategi wacana, antara lain dengan penempatan spot berita (headline atau penulisan judul dengan huruf besar), pengulangan berita, pencantuman foto atau grafis yang mendukung salah satu pihak, penggunaan label yang mendiskreditkan pihak tertentu, dan lain sebagainya. Untuk melihat strategi media mengemas berita dibutuhkan elemenelemen sebagai perangkat untuk menafsirkan isi berita. Secara umum, ada tiga kategori besar elemen framing menurut Jisuk Woo56. Pertama, level makrostruktural yakni pembingkaian tingkat wacana. Wacana merupakan tingkat isu paling umum yang tampak tersirat (latent). Kedua, level mikrostruktural yakni penonjolan sisi-sisi berita sehingga mengaburkan sisisisi lainnya. Level ini dapat dicermati pada pemilihan fakta, angle, serta narasumber. Ketiga, level retoris yakni penekanan fakta yang ditonjolkan, yaitu dengan pemilihan kata, kalimat, retorika, gambar, atau grafik. Ada empat model framing yang dapat digunakan untuk menganalisa frame media, antara lain model framing Murray Edelman, Robert N. Entman, William A Gamson, serta Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki (Pan dan Kosicki). Model framing yang memiliki dimensi yang paling lengkap adalah 55
Robert Entman, Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm, Journal of Communication, Vol. 43, No. 4, 1993, hal: 52 dalam Ibid, hal: 20 56 Eriyanto, Op.Cit, hal: 287
xli
model framing Pan dan Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki ada dua konsepsi framing yang saling berkaitan, yakni konsepsi psikologis dan konsepsi sosiologis57. Perangkat framing Pan dan Kosicki dibagi menjadi empat struktur besar, yakni struktur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Selain frame media, kajian framing tidak bisa dipisahkan dari frame individu atau frame khalayak (audience frame). Frame individu menurut Entman adalah “Sekumpulan ide yang tersimpan dalam diri individu yang membimbing individu untuk memproses informasi”. Pan dan Kosicki menambahkan, isu yang berkaitan dengan frame of reference individu dapat memiliki dampak signifikan pada persepsi, pengorganisasian, dan interpretasi terhadap informasi yang masuk dalam diri individu.58 Oleh karena itu, penelitian menggunakan pendekatan framing, menurut Dietram Aren Scheufele, seharusnya tidak hanya berpijak pada bagaimana media membuat bingkai keberpihakan terhadap suatu peristiwa. Akan tetapi pendekatan framing juga dapat menentukan mana diantara media frame dan audience frame yang akan dijadikan variabel independen dan mana yang akan menjadi variabel dependen. Jika media frame ditempatkan sebagai variabel independen atau variabel bebas, maka bingkai yang dibentuk media dipercaya memiliki pengaruh terhadap bingkai yang dibuat khalayak yang menjadi variabel dependen. Namun jika bingkai media ditempatkan sebagai variabel dependen, 57
Konsepsi psikologis lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Sedangkan konsepsi sosiologis menekankan bagaimana seseorang mengklarifikasikan, mengorganisasikan dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Secara lengkap lihat Eriyanto, ibid, hal: 252-253 58 Dietram A. Scheufele, Op.Cit, hal: 107
xlii
maka bingkai media merupakan sesuatu yang muncul karena berbagai faktor dalam internal media. Faktor-faktor tersebut bisa berupa ideologi media, kepentingan pemilik media, ataupun individu wartawan.
Tabel 1.1 Variabel Independen dan Variabel Dependen pada Frame Bentuk/Variabel
Frame Media
Frame Sebagai Variabel
Frame Sebagai Variabel
Independen
Dependen
Bagaimana bentuk frame media Faktor apa saja (dalam internal yang
mempengaruhi
persepsi media)
yang
menyebabkan
khalayak dari sebuah wacana? perangkat frame tertentu ada Bagaimana proses pembentukan dalam pemberitaan? Bagaimana frame tersebut bekerja?
proses pembuatan frame dan frame
apa
yang
digunakan
media? Frame Individu
Apa pengaruh skema kognisi Faktor-faktor individu
pada
pembingkaian? mempengaruhi
Bagaimana
apa
yang
pembentukan
individu frame individu? Apakah frame
menggunakan skema individu individu sama dengan frame untuk
memproses
informasi? media? Bagaimana cara khalayak
Bagaimana efek realitas yang dalam
mengkonstruksi
atau
terbentuk oleh skema individu menolak frame media? tersebut?
Sumber: Olahan Peneliti59
Scheufele membuat sebuah model proses framing, yang dibagi menjadi inputs, proses dan hasil (outcomes). Pada Gambar 1.1 dapat terlihat bahwa hasil dari sebuah proses, menjadi input untuk proses yang lain. Secara lebih spesifik Scheufele membagi proses itu menjadi empat yaitu : frame
59
Secara lengkap lihat penjabaran Scheufele dalam Eriyanto, Op.Cit, hal: 292-295
xliii
building, frame setting, individual effect of framing, dan hubungan individual framing dengan media frames.60 Gambar 1.1 A Process Model of Framing Research
Frame Building. Pokok utama dari proses pembentukan frame adalah bagaimana nilai-nilai struktural dan organisasional dalam sistem media, serta karakteristik wartawan yang mana yang mempengaruhi isi berita. Ada tiga hal yang mempengaruhi frame building, yakni: Pertama, wartawan itu sendiri. Wartawan secara aktif mengkonstruksi frame dan membuat pemahaman tertentu terhadap informasi. Pembentukan frame ini dipengaruhi ideologi, aturan tingkah laku, dan norma profesional yang berlaku. Kedua, adalah frame sebagai hasil dari acuan kerja rutin organisasi media. Ketiga, adalah faktor eksternal dari media seperti: aktor politik, kekuasaan, atau kelompok
60
Dietram A. Scheufele, Op.Cit, hal: 115
xliv
kepentingan. Frame yang tercipta oleh eksternal media ini–yang kemudian menjadi sumber berita–diadopsi oleh jurnalis ketika mengkonstruksi berita. Frame Setting. Terminologi ini hampir sama dengan Agenda Setting yang dikemukakan McComb dan Shaw. Agenda setting dan frame setting, sebenarnya berdasarkan pada proses yang hampir sama. Agenda setting memusatkan perhatian pada isu mana yang lebih penting. Frame setting sebagai level kedua agenda setting, lebih memperhatikan pada hal-hal penting dari sebuah isu. Frame mempengaruhi opini publik dengan menekankan nilainilai yang spesifik, fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan lain, menjelaskan keterkaitan yang lebih jelas dengan isu. Individual level effect of framing. Merupakan proses penghubung antara audience framing dan hal-hal yang ada dalam individu, seperti kebiasaan, ideology, tanggung jawab dan sebagainya. Kebanyakan penelitian menguji hasil pada individu dari framing media memiliki hubungan langsung, yang diantaranya dijembatani audience frame. Journalis as Audience. Jurnalis juga merupakan audience. Ia memiliki serangkaian nilai, ideologi, norma-norma tingkah laku, dan sebagainya. Seperti khalayak biasa, hal itu mempengaruhi dalam menjelaskan sebuah peristiwa atau isu. Ia juga mudah terpengaruh frame dari media itu sendiri. Dari model tersebut dapat dilihat bahwa antara media frames dan audience frames pada dasarnya merupakan proses yang saling berhubungan. Audience frame dipengaruhi oleh media frames dan begitu pula sebaliknya media frames sangat tergantung pada bagaimana individu melihat sebuah isu. xlv
Keduanya berinteraksi dalam sistem yang lebih besar, yang dipengaruhi oleh ideologi, nilai-nilai, norma yang berlaku dan sebagainya Perlu ditekankan disini, bahwa penelitian ini memusatkan perhatian pada audience frames, dengan tidak mengaburkan media frames. Dalam pemberitaan suatu peristiwa atau realitas sosial yang baru, seperti pelaksanaan Munas Golkar ke VIII, media tentu memiliki sudut pandang yang berbedabeda. Frame yang dibentuk oleh media justru menegaskan bahwa media– dengan segala faktor yang melatarbelakanginya–berada pada posisi tertentu terhadap isu tersebut. Sedang pembaca, dengan latar belakang individualnya membuat sebuah frame tertentu atas sebuah isu, yang sedikit banyak juga mendapat pengaruh dari media frame tersebut.
4. Pembentukan Konstruksi Realitas oleh Berita dan Media Media massa dalam komunikasi massa berperan menjadi komunikator atau penyampai pesan kepada khalayak sebagai komunikan. Komunikator dalam komunikasi massa sifatnya melembaga bukan orang per orang, misalnya seorang wartawan saja. Wartawan adalah salah satu bagian dari lembaga. Artinya, berbagai sikap dan perilaku wartawan sudah diatur dan harus tunduk pada sistem yang sudah diciptakan dalam saluran komunikasi massa tersebut.61 Media bukan saluran bebas, ia menjadi subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Tony Bennet
61
Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, hal: 17-18
xlvi
menyatakan media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.62 Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain di media massa, seperi kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi karyawan, dan sebagainya.63 Maka, isi media menurut Brian McNair dapat lebih ditentukan oleh64: 1. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political approach) 2. Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita (organizational approach) 3. Gabungan berbagai faktor, baik internal media ataupun eksternal media (cultural approach)
Menurut Stuart Hall, media massa pada dasarnya tidak memroduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemilihan kata-kata. Makna tidak secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana.65 Dalam proses konstruksi sosial terhadap sebuah wacana, pengalaman dan kecenderungan individu−dalam hal ini adalah wartawan−mengendap, mengkristal, dan membentuk pemahaman yang memberikan kemampuan
62
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 23 63 Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Media, Rosdakarya, Bandung, 2001, hal: 30 64 Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal: 279 65 Op.Cit, hal: 40
xlvii
individu untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi, dan memberikan label pada peristiwa atau informasi yang dihadapi.66 Media massa adalah tempat bertemunya pihak-pihak yang memiliki latar belakang, sudut pandang, dan kepentingan yang heterogen. Setiap pihak akan mengeluarkan pendapat dan pandangan mereka terhadap suatu wacana sesuai dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Dalam konteks inilah mereka menggunakan bahasa simbolik atau retorika dengan konotasi tertentu yang bermuara pada membenarkan tindakan sendiri dan memburukkan pihak lain.67 Jadi, sebetulnya media punya potensi untuk menjadi peredam atau bahkan pendorong konflik. Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya, mengaburkan dan mengeliminirnya.68 Kedudukan
media
dan
berita,
jika
dilihat
dari
paradigma
konstruksionis adalah sebagai berikut69 : a. Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Realitas hadir karena dihadirkan oleh konsep subyektif wartawan, tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan, tidak ada yang bersifat obyektif. Realitas tergantung pada konsep pemahaman wartawan pada saat melihat sebuah realitas atau peristiwa. b. Media adalah agen konstruksi pesan. Media bukan hanya saluran pesan yang bebas, ia secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Caranya dengan 66
Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Surdiasis, Politik Media Mengemas Berita, Institut Studi Arus Informasi, Yogyakarta, 1999,hal: 23 67 Ibid, hal: 26 68 Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.Cit, hal: 171 69 Eriyanto, Op.Cit, hal: 19-36
xlviii
memilih, mana realitas yang akan diambil dan mana realitas yang akan disembunyikan atau dibuang, siapa yang akan dijadikan narasumber berita, dan mendefinisikan aktor atau peristiwa. c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanyalah konstruksi atas realitas. Berita bisa diibaratkan sebagai sebuah sandiwara. Artinya, berita bukan merupakan realitas yang sebenarnya, akan tetapi merupakan gambaran pertarungan antar pihak yang memiliki kepentingan dalam sebuah isu. Oleh karena itu, terkadang muncul pihak yang dipandang sebagai “pahlawan” atau pihak yang benar dan ada pula pihak yang berperan sebagai “musuh” atau pihak yang jahat. d. Berita bersifat subyektif Opini dalam penulisan berita tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subyektif. Oleh karena itu, sering kali terjadi perbedaan antara fakta dengan penulisan berita oleh wartawan, dan hal ini tidak bisa dipersalahkan karena memang demikianlah penafsiran wartawan tersebut terhadap peristiwa. e. Wartawan adalah agen konstruksi realitas Wartawan
adalah
partisipan
yang
menjembatani
keragaman
subyektifitas pelaku sosial. Dalam penulisan berita, wartawan ikut mendefinisikan apa yang terjadi berdasar pemahaman individualnya terhadap realitas. Ketika seorang wartawan menulis berita, maka sebetulnya dia membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas. xlix
f. Nilai, etika dan pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan tidak saja menulis sesuai fakta atau realitas secara apa adanya, tetapi ia akan melandaskan kepentingan moral dan nilai-nilai kepercayaan tertentu yang ia yakini untuk mengkonstruksi berita.
Pengonstruksian realitas oleh media, menurut Ibnu Hamad, biasanya dilakukan dengan tiga tindakan. Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol politik) serta pemilihan direct quotation (kutipan langsung). Kedua, melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik, minimal karena keterbatasan kolom dan halaman surat kabar. Dan yang terakhir, menyediakan ruang dan waktu untuk sebuah peristiwa politik tertentu, atau sering dimaknai dengan agenda setting media.70 Pembentukan berita oleh awak media juga tidak serta merta tampak secara jelas. Organisasi media masih memiliki tanggung jawab terhadap prinsip “obyektivitas” dari sebuah pemberitaan. Oleh karena itu, Dan Nimmo menjelaskan bahwa media memiliki strategi untuk menggambarkan sebuah fakta dengan tanpa mengesampingkan pedoman obyektivitas. Ada lima strategi yang disebutkan Nimmo.71 Pertama, penyajian kemungkinan yang bertentangan. Maksudnya, media massa akan menyajikan pertentangan atau mengkonfrontir pihak-pihak yang saling bertolak belakang. Hal ini dilakukan apabila media massa tidak 70 71
Secara lengkap lihat Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.Cit, hal: 166-167 Secara lengkap lihat Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Rosdakarya, Bandung, 1999, hal: 224-225
l
mendapatkan bukti atau menyingkap “fakta” yang sesungguhnya. Kedua, menggunakan penyajian bukti yang mendukung. Artinya, media massa bisa menyebut seseorang sebagai “pakar” dengan juga menampilkan bukti bahwa orang tersebut “ahli” dalam hal tertentu. Ketiga, menggunakan tanda kutip, yakni media massa dapat menggunakan tanda kutip terhadap sebuah kalimat atau kata yang dirasa sensitif atau memojokkan salah satu pihak. Keempat, penyusunan cerita dengan urutan yang tepat, biasanya dengan model piramida terbalik. Model piramida terbalik adalah menempatkan hal-hal yang paling penting dalam sebuah berita (5W+1H) pada bagian awal berita dan bahan yang kepentingannya berkurang ditempatkan setiap paragraf berikutnya. Kelima, pelabelan analisis berita. Berita yang mengandung unsur “komentar” atau “analisis” diberi label khusus agar tidak terkesan memihak, namun merupakan kesadaran bahwa berita tersebut memang merupakan opini media.
5. Audience sebagai Khalayak Aktif Khalayak penonton atau pembaca (audience) dalam komunikasi massa disebut
dengan
komunikan
atau
penerima
pesan.
Herbert
Blumer
menyebutkan setidaknya ada lima karakteristik audience, yakni72: a. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong berbagi pengalaman dan dipengaruhi hubungan sosial. Pemilihan produk media merupakan seleksi dari kesadaran mereka
72
Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 97-98
li
b.
Audience cenderung luas, mencakup wilayah jangkauan sasaran media massa yang bersangkutan
c. Audience cenderung heterogen, mereka berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial d. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain (meliputi semua audience, bukan kasus orang per orang) e. Audience secara fisik dipisahkan oleh komunikator, artinya antar individu dipisahkan oleh ruang dan waktu
Khalayak, menurut F Faser Bond, harus dibedakan berdasar tujuan psikologisnya dalam penggunaan media massa. Ia menggolongkan khalayak menjadi tiga bagian, yakni khalayak intelek, khalayak praktisi, dan khalayak non-intelek. Khalayak intelek adalah golongan masyarakat kritis yang reaktif terhadap terpaan informasi dari media. Khalayak praktisi adalah golongan pekerja yang tidak terlalu tertarik dengan berita “serius” serta lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan karier dan keluarga. Sementara khalayak non-intelek adalah golongan yang menyukai isu-isu sensasional seperti gosip.73 Dalam penggunaan media massa, audience tidak bisa mengelak dari efek yang ditimbulkan oleh media massa. Terlebih lagi, media massa selalu membuat penonjolan (salience) terhadap sebuah berita. Penonjolan ini, menurut Alex Sobur memang dimaksudkan sebagai strategi wacana yang menyuguhkan kepada publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya
73
Septiawan Santana, Jurnalisme Kontemporer, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal: 212213
lii
diterima. Suatu peningkatan dalam penonjolan juga akan mempertinggi probabilitas penerima lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam, lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan.74 Maka menurut Steven M Chaffee, ada tiga pendekatan untuk mengetahui efek media massa. Pendekatan pertama, yakni efek yang berkaitan dengan pesan atau media itu sendiri, terdiri dari lima jenis efek yaitu efek ekonomi, sosial, penjadwalan kegiatan sehari-hari, hilangnya perasaan tidak nyaman, dan menumbuhkan perasaan tertentu. Pendekatan kedua, yakni melihat jenis perubahan pada diri khalayak yang berupa perubahan sikap (kognitif), perasaan (afektif), dan peilaku (behavioral). Efek kognitif adalah akibat yang sifatnya informatif bagi dirinya; Efek afektif yaitu khalayak turut merasa iba, terharu, sedih, dan sisi emosional lainnya; Sedang efek behavioral yakni akibat dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Sementara pendekatan ketiga, yakni observasi terhadap khalayak (individu, kelompok, organisasi, masyarakat, atau bangsa) yang dikenai efek komunikasi massa.75 Dalam melihat efek media massa terhadap masing-masing individu, Melvin De Fleur dan Sandra Ball-Rokeach membaginya dalam dua dimensi: interaksi audience dan bagaimana tindakan audience terhadap isi media. Ada tiga teori yang menjelaskan kedua hal tersebut.76 Pertama, Individual Differences Perspective atau perspektif perbedaan individu. Artinya, pengaruh media berbeda pada masing-masing individu, tergantung pada kondisi 74
Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Media, Rosdakarya, Bandung, 2001, hal: 164 Selengkapnya lihat Drs. Elvinaro Ardianto, M.Si dan Dra. Lukiati Komala Erdinaya, M.Si, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, cetakan ketiga, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hal: 49-56 76 Selengkapnya lihat Nurudin, Op.Cit, hal: 98-100 75
liii
psikologis dan pengalaman masa lalunya. Perbedaan pengaruh ini juga akan membuat respon yang berbeda dari masing-masing individu. Kedua, Social Categories Perspective atau perspektif kategori sosial. Dalam masyarakat, terdapat perkumpulan sosial yang bisa membuat audience−yang
berada
pada
kelompok
sosial
tertentu−memiliki
kecenderungan dan reaksi yang sama terhadap pengaruh media. Hal ini karena kelompok sosial memiliki norma sosial, nilai, dan sikap tertentu yang diyakini bersama oleh anggota kelompok tersebut. Ketiga, Social Relationship Perspective atau perspektif hubungan sosial. Artinya, antar individu saling memengaruhi satu sama lain terhadap pengaruh media massa. Hubungan sosial secara informal antar manusia memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan pandangan dan sikap individu. Dari teori tersebut dapat dipahami bahwa efek media massa dapat dilihat dari dua faktor utama, yakni77: 1. Faktor individu. Faktor individu lebih banyak dikarenakan faktor psikologis seseorang, yakni selective attention (kecenderungan menerima pesan dari media yang sesuai minat dan pendapat), selective perception (kecenderungan mencari media yang mendorong kecenderungan dirinya), selective retention (kecenderungan mengingat pesan yang sesuai dengan kebutuhan dirinya), motivasi dan pengetahuan, kepercayaan, pendapat, nilai dan kebutuhan, pembujukan, kepribadian dan penyesuaian diri.
77
Ibid, hal: 215-223
liv
2.
Faktor Sosial Faktor sosial artinya hubungan individu dengan individu lain mempunyai peran kuat dalam proses efek media massa. Faktor tersebut antara lain umur dan jenis kelamin, pendidikan dan latihan, pekerjaan dan pendapatan, agama, serta kondisi demografis (tempat tinggal).
Efek media massa sebenarnya tidak hanya karena faktor dalam diri dan lingkungan audience. Akan tetapi, media massa memiliki peran dalam pembentukan efek. Hal ini disebabkan karena media massa dibutuhkan khalayak untuk mendapatkan informasi mengenai realitas sosial dan politik yang terjadi di sekitar mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut. Dengan kata lain, frame yang disajikan media ketika memaknai realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menafsiran peristiwa.78 Dalam sebuah penelitian, June Woong Rhee menyatakan khalayak sebenarnya mempunyai persepsi yang terbatas. Pengetahuan memang didapat dari lingkungan sosial, pergaulan, dan pengalaman pribadi. Tetapi untuk realitas sosial atau politik, apa yang terjadi diluar, sebagian terbesar bersumber dari apa yang disajikan media.79 Pernyataan ini bukan menunjukkan bahwa khalayak adalah pihak yang pasif. Justru khalayak secara aktif menafsirkan realitas politik berdasar frame media dan pemahaman individualnya.
78
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 149 79 Ibid, hal: 150
lv
Demikian pula dengan audience Harian Kompas yang membaca pemberitaan Munas Golkar ke VIII. Pada dasarnya, mereka tidak mengetahui secara langsung kejadian atau peristiwa pelaksanaan munas yang diadakan di Pekanbaru, Riau. Audience mendapatkan informasi pelaksanaan munas melalui pemberitaan di Harian Kompas. Kemudian, secara aktif audience menafsirkan pemberitaan tersebut berdasar faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Tafsiran audience ini bisa sama dengan frame yang dibuat media, akan tetapi bisa juga berbeda meskipun tetap ada benang merah penghubungnya.
F. Metodologi Penelitian 1. Tipe dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Deskriptif kualitatif semata-mata mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia, benda, atau peristiwa.80 Penelitian deskriptif hanya memaparkan dan memberi gambaran atas suatu peristiwa atau kajian semata. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan, ada empat tujuan menggunakan penelitian deskriptif, yakni:81 a.
Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada
b.
Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktekpraktek yang berlaku
80 81
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal: 27 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991, hal: 25
lvi
c. Membuat perbandingan atau evaluasi d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menerapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang
Sedang penelitian kualitatif, menurut John W Creswell, adalah suatu proses penyelidikan berdasarkan tradisi penyelidikan yang jelas untuk memahami permasalahan sosial. Penelitian ini membentuk gambaran holistik, menuliskan analisa, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah82. Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk memberikan penjelasan (explanation), mengontrol gejala komunikasi, mengemukakan prediksi, atau untuk menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.83 Penelitian menggunakan metode kualitatif menekankan pada pendekatan induktif atau khusus ke umum. Penelitian ini menggunakan pisau analisis framing yang merupakan bentuk pendekatan analisis isi kualitatif. Penelitian menggunakan analisis framing berkenaan dengan penyajian pesan oleh (atau melalui) media massa di satu sisi (media frame) dan penerimaan pesan oleh individu khalayak disisi lain (audience frame)84. Dalam penelitian ini, Harian Kompas (media frame)
82
John W Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, SAGE Publications, California, 1998, hal: 15 83 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 35 84 Ibid, hal: 185-186
lvii
ditempatkan sebagai variabel independen, sedangkan khalayak pembaca (audience frame) ditempatkan sebagai variabel dependen. Variabel independen merupakan variabel sebab atau sesuatu yang mengkondisikan terjadinya perubahan dalam variabel lain. Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang merespons perubahan dalam variabel independen.85 Menempatkan Kompas sebagai variabel independen berarti meyakini bahwa pemberitaan dan bingkai yang dibentuk Kompas memiliki pengaruh terhadap pembentukan bingkai khalayak pembacanya.
2. Obyek Penelitian Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah berita yang dimuat Harian Kompas tentang Munas Partai Golkar ke VIII pada periode bulan Oktober 2009 sebanyak 10 berita. Alasan pemilihan periode waktu bulan Oktober 2009 disebabkan karena Munas Partai Golkar VIII dilaksanakan pada tanggal 5-8 Oktober dan Kompas secara berkesinambungan memberikan sajian berita tentang perkembangan munas setiap harinya. Sedangkan alasan pemilihan media Kompas karena Harian Kompas secara kontinyu memberikan porsi pemberitaan dan pembahasan yang cukup besar terhadap isu politik ini. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas memberikan halaman khusus. Kompas juga dikenal memiliki ideologi moderat–hampir mirip dengan ideologi Partai Golkar–serta menjadi referensi surat kabar nomor satu di Indonesia.
85
Ulber Silalahi, Op.Cit, hal: 133
lviii
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua cara, yaitu: a. Data Primer Data primer merupakan teks berita Harian Kompas yang dipilih peneliti sesuai dengan tema yang telah ditetapkan. Selain itu, data primer juga diperoleh dengan cara wawancara mendalam (depth interview) dengan pihak Kompas yang berhubungan langsung dengan berita pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII serta pembaca Kompas (audience). Dalam depth interview atau wawancara mendalam, pewawancara relatif tidak memiliki kontrol atas respon informan, artinya informan bebas memberikan jawaban86. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan pengumpulan data yang diperoleh dengan mengutip sumber lain untuk melengkapi sumber primer. Sedangkan data sekunder dapat berupa artikel-artikel atau pemberitaan di berbagai media massa ataupun buku-buku referensi dan sebagainya.
4. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan menggunakan teknik purposive sampling. Pusposive sampling atau pemilihan sampel bertujuan 86
Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal: 98
lix
merupakan pemilihan siapa subyek yang ada dalam posisi terbaik untuk memberikan informasi yang dibutuhkan87. Berita yang diteliti berjumlah 10 berita dari total 22 berita mengenai Munas Partai Golkar ke VIII yang dimuat pada bulan Oktober 2009. Peneliti menentukan
tema
utama
dari
ke-22
berita
tersebut
kemudian
mengkategorikannya dalam lima sub tema. Setelah itu, tanpa bermaksud untuk membuat generalisasi, peneliti memilih 10 berita yang paling menonjol frame beritanya serta paling banyak dibaca oleh responden penelitian ini, untuk dianalisis lebih lanjut berdasarkan sub tema yang telah ditentukan. Pihak Kompas yang dipilih adalah wartawan politik dan hukum Harian Kompas yang meliput secara langsung pelaksanaan munas dan beritanya paling banyak dimuat, yakni Sutta Dharmasaputra dan Suhartono. Sedangkan khalayak pembaca yang dipilih adalah kategori khalayak intelek yang pernah membaca Harian Kompas dalam pemberitaan Munas Partai Golkar VIII. Peneliti memilih pembaca Kompas yang memiliki pemahaman yang baik mengenai isu tersebut. Hal ini dimaksudkan agar hasil wawancara sesuai kebutuhan penelitian. Responden penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.
87
Ulber Silalahi, Op.Cit hal: 272
lx
Tabel 1.2 Daftar Responden Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Lengkap Eko Setyawan Ansyor Kisbandi Virdha Kurniawan Ertika Nanda Rorie Asya’ari Haris Firdaus Paramita Sari Joni Rusdiana
Usia 22 21 24 22 22 23 22 26
Pekerjaan Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Pembawa Berita/Mhswa Fresh graduate Guru Jurnalistik/Mhswa Mahasiswa S2
5. Teknik Analisa Data Analisis data kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul dalam riset adalah data kualitatif, dan riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif yakni cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep).88 Pada dasarnya, analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data, menafsirkan (interpreting) atau mentransformasikan (transforming) data ke dalam bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan.89 Penelitian ini menggunakan teknik analisa data interaktif model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
88 89
Op.Cit, hal: 192 Pawito, Ph.D, Op.cit, hal: 101
lxi
menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.90 Komponen analisa data model interaktif ini ada tiga, yakni: data reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing/verification (pengujian kesimpulan). Gambar 1.2 Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman91
Data Collection
Data display
Data reduction
Conclusion drawing/verifying
1. Data reduction (reduksi data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.92 Menurut Pawito, ada tiga tahap dalam reduksi data.93 Pertama, langkah-langkah editing, pengelompokan, dan meringkas data. Kedua, menyusun kode-kode dan catatan mengenai berbagai aktivitas dan proses sehingga dapat ditemukan tema, kelompok dan pola data. Ketiga, menyusun rancangan konsep-konsep serta penjelasan berkenaan dengan tema, kelompok, dan pola data.
90
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2008, hal: 246 91 Ibid, hal: 247 92 Ibid 93 Pawito, Ph.D, Op.Cit, hal: 104-105
lxii
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan semua berita politik di Harian Kompas periode bulan Oktober 2009, kemudian memilih berita yang berhubungan dengan Munas Partai Golkar. Setelah berita terkumpul, peneliti meringkas tema dan frame berita secara umum dari masing-masing berita kemudian membaginya dalam sub-sub tema. Setelah sub tema terbentuk, peneliti membuat interview guide sebagai panduan wawancara pihak media dan responden. Untuk pihak media dan responden berita, setelah peneliti melakukan wawancara dan melakukan rekap hasilnya, peneliti mengelompokkan jawaban responden ke dalam poin-poin sub tema yang telah ditentukan. Peneliti juga memberikan kode pada jawaban atau respon yang hampir sama dari masing-masing responden. 2. Data display (penyajian data) Penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan.94 Penyajian data ini dapat berupa tabel, grafik, pictogram, diagram, matrik, dan sebagainya disertai dengan narasi teks. Setelah data direduksi, peneliti menggabungkan frame berita dengan hasil wawancara dengan pihak media dan serta wawancara dengan responden (audience) melalui narasi teks. Analisa
94
Ibid, hal: 106
lxiii
dibuat terpisah antara pihak media dan responden, sehingga membentuk hasil frame masing-masing. 3. Conclusion drawing/verification (pengujian kesimpulan) Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.95 Pengujian kesimpulan dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat.96 Setelah masingmasing analisis dijabarkan dalam penyajian data, selanjutnya peneliti menggabungkan kedua analisis (antara analisis frame media dan frame audience), melihat persamaan, dan perbedaan keduanya. Setelah kesimpulan didapatkan, peneliti menguji kesimpulan ini dengan rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian.
Untuk mencari frame media, peneliti menggunakan pendekatan model Pan dan Kosicki. Ada empat perangkat framing pada model Pan dan Kosicki yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Kecenderungan dan kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa dapat diamati dari keempat struktur tersebut.
95 96
Prof. Dr. Sugiyono, Op.Cit, hal: 253 Pawito, Ph.D, Op.Cit
lxiv
Untuk lebih jelasnya mengenai model framing dari Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki dapat dilihat dari tabel berikut:97 Tabel 1.3
Kerangka Framing Pan dan Kosicki Struktur
Perangkat Framing
Unit Yang Diamati
Sintaksi Cara wartawan menusun fakta
1. skema berita
Headline Lead Latar informasi Kutipan Sumber Pernyataan Penutup
Skrip Cara wartawan mengisahkan fakta
2. Kelengkapan berita
What (Apa) Who (Siapa) Where (Dimana) When (Kapan) Why (Kenapa) How (Bagaimana)
Tematik Cara wartawan menulis fakta
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti
Detail paragraf, proposisi, dan kalimat Maksud dan hubungan antar kalimat Nominalisasi antar kalimat Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti
Retoris Cara wartawan menekankanfakta
7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora
Leksikon/ pilihan kata Idiom Metafor Gambar/ foto/ grafis Pengandaian
97
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 256
lxv
Sintaksis, adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita: headline, lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Bentuk sintaksis yang paling populer adalah struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode, latar dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik, bagian atas lebih penting dibandingkan dengan bagian bawahnya. Headline merupakan berita yang dijadikan topik utama media, sedang Lead (teras berita) merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung kepentingan lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi peneliti terhadap peristiwa. Skrip, dalam struktur ini dilihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas berita. Bentuk umum dari struktur skrip adalah pola 5 W + 1 H – What (Apa), Who (Siapa), Where (Dimana), When (Kapan), Why (Kenapa), How (Bagaimana). Meskipun pola ini tidak selalu ada dalam setiap berita, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing. Skrip memberi tekanan mana yang didahulukan, dan mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol. Tematik. Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip dan pernyataan yang diungkapkan, itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi lxvi
hipotesis yang dibuat. Tema yang dihadirkan atau dinyatakan secara tidak langsung atau kutipan sumber dihadirkan untuk mendukung hipotesis. Pengujian hipotesis ini digunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, kalimat yang dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks berita. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik ini. a. Detail, berhubungan dengan kontrol informasi oleh komunikator, komunikator ingin menonjolkan atau mengurangi informasi tertentu yang menguntungkan. b. Koherensi, yaitu pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi. Bentuk kalimat, yaitu bagaimana wartawan memilih bentuk kalimat yang digunakan, apakah kalimat aktif, pasif, kalimat majemuk, dsb. c. Kata ganti, dapat digunakan untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan imajinasi.
Retoris. Struktur retoris dari wacara berita menggambarkan pilihan gaya atau kata wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Wartawan
menggunakan
perangkat
retoris
untuk
membuat
citra,
meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari berita. Struktur retoris dari wacara berita menunjukkan kecenderungan bahwa yang disampaikan tersebut adalah sebuah kebenaran.
lxvii
Ada beberapa elemen struktur retoris yang dipakai oleh wartawan. Yang paling penting adalah leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. Selain lewat kata, penekanan pesan dapat berita juga dapat dilakukan dengan unsur grafis. Grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Bagian-bagian yang menonjol ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Penelitian ini menggunakan orientasi media frame sebagai variabel independen dan audience frame sebagai variabel dependen, maka penelitian ini meletakkan fokus penelitian pada unsur berikut: a. Media frame sebagai variabel independen · Bagaimana bentuk frame media yang mempengaruhi persepsi khalayak dari sebuah wacana? · Bagaimana proses pembentukan frame tersebut bekerja? b. Audience frame sebagai variabel dependen · Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan frame individu? · Apakah frame individu sama dengan frame media? · Bagaimana cara individu dalam mengkonstruksi atau menolak frame media?
lxviii
6. Validitas Data Validitas data dalam penelitian kualitatif lebih menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti. Sedang reliabilitas berkenaan dengan tingkat konsistensi hasil dari cara pengumpulan data.98 Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Triangulasi Data; yakni upaya untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama.99 Triangulasi data yang dipakai dalam penelitian ini antara lain teks berita Munas Partai Golkar ke VIII yang telah dikonversikan dalam bentuk narasi, transkip depth interview dengan pihak Harian Kompas, serta transkip depth interview dengan pembaca Kompas b. Triangulasi Teori; yakni penggunaan perspektif teori yang bervariasi dalam menginterpretasi data yang sama.100 Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada telaah pustaka untuk dipergunakan dalam menganalisis penelitian. Teori yang dipakai antara lain teori tentang partai politik, teori tentang media massa, teori tentang efek media massa terhadap audience, serta teori mengenai analisa framing sebagai bagian dari paradigma konstruktivisme. 98
Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 97 Ibid, hal: 99 100 Ibid, hal: 100 99
lxix
7. Kerangka Penelitian Untuk mempermudah proses penelitian ini, diperlukan kerangka pikiran yang menjadi rambu atau batasan penelitian berdasarkan pada teoriteori yang telah disampaikan pada bahasan sebelumnya. Kerangka pikir mempermudah peneliti untuk melihat sudut-sudut pembahasan yang berkaitan dengan penelitian ini. Gambar 1.3 Kerangka Berpikir101 Ideologi, nilai, kepercayaan personal
Munas Golkar ke VIII
Liputan Wartawan Kompas
Ideologi, visi misi media massa
101
Faktor lain: penggunaan media lain, intensitas, aktivitas, dll
Teks Berita
Media frame
Penyajian untuk khalayak (surat kabar)
Audience frame tentang Partai Golkar
Nilai dan Kepercayaan personal
Olahan Peneliti
lxx
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Partai Golongan Karya (Golkar) 1. Sejarah dan Perkembangan Partai Golkar Partai Golkar didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh golongan militer, yakni Angkatan Darat Republik Indonesia untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat kuat. Ketika awal berdiri, organisasi ini bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya atau disingkat dengan nama Sekber Golkar. Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang tidak berada pada pengaruh politik tertentu, dan terus mengalami peningkatan anggota hingga 291 organisasi. Sekber Golkar pertama kali dipimpin oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono, yang kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965. Organisasi-organisasi yang bernaung dibawah Sekber Golkar kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO) yang diputuskan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) I pada Desember 1965 dan Rakornas II pada Nopember 1967, yakni: 1. KINO Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO) 2. KINO Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) 3. KINO Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) 4. KINO Organisasi Profesi 5. KINO Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM) lxxi
6. KINO Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI) 7. KINO Gerakan Pembangunan
Pada 4 februari 1970 Sekber Golkar memutuskan untuk menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu 1971 dengan mengganti namanya menjadi Golongan Karya (Golkar). Perubahan nama ini diputuskan secara formal pada Musyawarah Sekber Golkar pada 17 Juli 1971 dan dikukuhkan kembali pada Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya, 4-10 September 1973. Pada saat itu, Golkar telah menggunakan lambang pohon beringin sebagai logo organisasinya. Logo yang menjadi tanda gambar Golkar tersebut tetap dipertahankan sampai sekarang. Pada Pemilu 1971 Golkar berhasil menjadi kuda hitam dengan memenangkan Pemilu dengan jumlah 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Golkar berhasil mengungguli partai-partai besar seperti Nahdhatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Parmusi dan Murba. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh, sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.102 Selanjutnya dari Pemilu ke Pemilu sejak tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 GOLKAR terus menerus berhasil mengemban kepercayaan rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal.103 Kemenangan Golkar dalam pemilu secara kontinyu ini dimungkinkan salah satunya karena adanya peraturan monoloyalitas PNS pada masa 102
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya akses tanggal 16 Nopember 2009 pukul 16.15 103 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
lxxii
pemerintahan orde baru milik Mayjen Jendral Soeharto. Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar104. Peraturan monoloyalitas PNS diatur dalam Undang-Undang (UU) No.6 Tahun 1970 pada 11 Februari 1970. Kebijakan ini disusul dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 1975 tentang masa mengambang (floating mass) yang membatasi gerak partai politik non-Golkar hanya sampai kecamatan, sementara Golkar lepas dari aturan ini.105 Golkar pada masa orde baru dikendalikan oleh posisi Dewan Pembina yang diketuai oleh mantan Presiden Soeharto. Ketua Dewan Pembina Golkar adalah sebuah jabatan yang semenjak Munas II Golkar 1978 di Denpasar Bali diberikan kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar.106 Dewan Pembina berwewenang untuk mengatur dan memutuskan kebijakan strategis Golkar, terutama dengan tiga jalur pengaturan informalnya, yakni jalur A, jalur B, dan jalur G. Jalur A adalah jalur lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk Golkar. Secara lebih khusus dalam hubungannya dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, ada empat wewenang yang dimiliki oleh Dewan Pembina, yaitu: a. Wewenang membatalkan kebijaksanaan atau keputusan DPP bilamana dinilai menyimpang dari ketentuan-ketentuan organisasi b. Wewenang membekukan sementara kepengurusan DPP bilamana mendesak dan mengancam kelangsungan hidup organisasi c. Wewenang mengundang Munas Luar Biasa d. Wewenang menyusun komposisi personalia Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasihat107 104
Op.Cit Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 195 106 Ibid, hal: 47 107 Zulfikar Ghazali, “Golkar dalam Politik Indonesia” dalam Ibid, hal: 200 105
lxxiii
Pasca pemilu 1997–dimana Golkar menang mutlak dengan jumlah suara 74,5% suara–terjadi pergolakan besar dari mahasiswa terhadap rezim Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Puncaknya pada Mei 1998 terjadi kerusuhan besar dan Soeharto harus rela turun dari jabatan Presiden untuk yang ketujuh kalinya. Jabatan Presiden kemudian diserahkan kepada wakil presiden ketika itu, yakni BJ Habibie. Tuntutan refomasi utamanya adalah menurunkan Soeharto dari jabatan presiden seumur hidup dan menjatuhkan semua sistem orde baru yang merugikan rakyat. Reformasi juga menuntut adanya pembaharuan undang-undang di bidang politik yang dimasa orde baru hanya menguntungkan Golkar. Akhirnya, ditetapkankanlah undang-undang baru tentang Partai Politik, Pemilihan Umum, dan Susunan dan Kedudukan ke MPR, DPR, dan DPRD. Meskipun ada desakan yang luar biasa untuk membubarkan Golkar, namun Golkar tetap mampu bertahan dan menegaskan adanya PARADIGMA BARU Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), 9-11 Juli 1998. Partai Golkar dalam paradigma baru, atau diringkas sebagai Golkar Baru memiliki semboyan: GOLKAR BARU, BERSATU UNTUK MAJU. Untuk menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baru, maka Golkar mendeklarasikan perubahan nama partainya menjadi Partai Golkar pada 7 Maret 1999. Perubahan nama ini dimaksudkan untuk melakukan reformasi terhadap tubuh Golkar dan menempatkan diri sebagai partai politik yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan partai politik lain.
lxxiv
Pada Pemilu 1999, perolehan suara Partai Golkar mengalami penurunan menjadi peringkat kedua setelah PDI Perjuangan dengan jumlah 23.741.758 suara atau 22,44%. Hal ini telah diprediksi sebelumnya karena masyarakat sudah antipati dengan keberadaan Partai Golkar. Namun pada Pemilu 2004 Partai Golkar kembali menjadi partai pemenang pemilu dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58%, mengungguli Partai Demokrat, PDIP, PKB, PKS dan PAN. Kemenangan ini merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar pada masa transisi. Akbar Tandjung yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar pada periode 1999-2004 dinilai sangat berjasa mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Partai Golkar. Akan tetapi, meski memenangkan pemilu, jumlah suara Partai Golkar sebenarnya terus mengalami penurunan prosentase. Penurunan jumlah suara Partai Golkar yang paling memrihatinkan terjadi pada Pemilu Legislatif 2009 dengan hanya mengantongi suara 14,45%. Saat ini, Partai Golkar dipimpin oleh Ketua Umum Aburizal Bakrie (20092015) yang terpilih secara aklamasi pada Munas Partai Golkar ke-VIII di Pekanbaru, Riau, 5-9 Oktober 2009. Aburizal Bakrie menang dari calon lain seperti Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan Yuddy Chrisnandy. Sebelumnya jabatan ini dipegang oleh Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang juga menjadi Wakil Presiden pada masa jabatan 2004-2009.
2. Tujuan, Visi, Misi dan Platform Partai Golkar108 Tujuan Partai Golkar yaitu: Mempertahankan, mengamankan dan 108
Merupakan pedoman Partai Golkar Periode Kepengurusan 2004-2009. Semua data disarikan dari www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
lxxv
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; Mewujudkan cita-cita bangsa sebagai mana di maksud dalam UUD 1945; Menciptakan masyarakat adil dan makmur merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta Mewujudkan Kedaulatan Rakyat dalam rangka mengembangkan kehidupan Demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan, hukum dan hak asasi manusia. Misi Partai Golkar antara lain: Mempertegas komitmen untuk menyerap, memadukan, mengartikulasikan, dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat–khususnya kelompok masyarakat yang berada pada posisi marginal yang selama ini kurang mendapat perhatian dan kerap menjadi korban pembangunan– sehingga menjadi kebijakaan politik yang bersifat publik; Melakukan rekruitmen kader yang berkualitas melalui sistem prestasi dan mendapat dukungan rakyat untuk duduk dalam jabatan politik di lembaga permusyawaratan/perwakilan dan permerintahan. Jabatan politik tersebut diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat; serta Meningkatkan proses pendidikan dan komunikasi politik yang dialogos dan partisipatif, yaitu membuka diri terhadap berbagai pikiran, aspirasi dan kritik dari masyarakat. Visi Partai Golkar, yakni: 1. Partai Golkar adalah Partai Terbuka ( Inklusif) bagi segenap golongan dan lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama, suku, bahasa, dan status sosial ekonomi. 2. Partai Golkar adalah Partai Mandiri yang merupakan organisasi kekuatan sosial politik yang yang mampu mengambil setiap keputusan politik dan lxxvi
kebijakan organisasi tanpa campur tangan atau intervensi dari siapapun dan pihak manapun. 3. Partai Golkar adalah Partai Demokratis. Sebagai partai yang demokratis Partai Golkar senantiasa baik secara internal maupun secara eksternal betul-betul menjadi pelopor tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka. 4. Partai Golkar adalah Partai Moderat. Sebagai partai yang Moderat Partai Golkar senantiasa mengutamakan posisi tengah (moderat) dan tidak berorientasi ke kiri atau ke kanan secara ekstrem. 5. Partai Golkar adalah Partai yang Solid. Sebagai partai yang solid Golkar secara utuh dan kukuh senantiasa berupaya mendayagunakan segenap potensi yang dimilikinya secara sinergis. 6. Partai Golkar adalah Partai yang Mengakar. Sebagai partai yang mengakar Partai Golkar senantiasa mengupayakan agar para anggota dan kadernya tumbuh dan berkembang dari bawah berdasarkan azas prestasi, bukan berdasarkan atas kolusi dan nepotisme. 7. Partai Golkar adalah Partai yang responsif. Sebagai partai yang responsif Partai Golkar senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, serta konsisten untuk memperjuangkan menjadi keputusan politik yang bersifat publik dan menguntungkan seluruh rakyat tanpa membedakan latar belakang suku, etnis, agam , bahasa, aliran dan kebudayaan.
lxxvii
Platform Partai Golkar , antara lain: 1. Partai Golkar berpijak pada landasan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Partai Golkar baru menolak gagasan negara federal dan setuju dilakukannya pengurangan terhadap kecenderungan sentralisme dalam pengelolaan negara dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. 2. Partai Golkar berwawasan kebangsaan. Dengan wawasan ini, maka semua potensi bangsa mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang secara optimal, sehingga kelompok minoritas sekalipun akan merasa seperti berada di rmahnya sendiri. 3. Partai Golkar adalah partai majemuk (pluralis). Partai Golkar tidak sependapat dengan pembelahan masyarakat (social fragmentation) berdasarkan sifat primordial dan sektarian. Partai Golkar mengembangkan perspektif fungsi sehingga pendekatan yang dilakukan adalah berorientasi pada program (program oriented) bukan berorientasi ideologi (ideology oriented). 4. Partai Golkar adalah partai yang komitmen pada demokrasi. Demokrasi yang hendak dibangun adalah Demokrasi Indonesia, yaitu demokrasi yang dilandaskan pada prinsip dan nilai Pancasila. 5. Partai
Golkar
adalah
partai
yang
berjuang
untuk
mewujudkan
kesejahteraan rakyat sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional. lxxviii
6. Partai Golkar adalah partai yang komitmen pada penegakan hukum, keadilan dan hak-hak asasi manusia. 7. Partai Golkar adalah partai yang senantiasa mendasarkan gerak langkahnya pada nilai-nilai etika dan moralitas berdasarkan ajaran agama. 8. Partai Golkar adalah Partai yang dalam setiap gerak langkahnya senantiasa berpijak pada wawasan pembaharuan dan pembangunan yang telah menjadi sikap dasar Partai Golkar sejak kelahirannya, bahkan menjadi salah satu butir dari nilai-nilai dasar Partai Golkar seperti tercantum dalam Ikrar Panca Bhakti Golongan Karya.
3. Paradigma Lama dan Paradigma Baru Paradigma baru diusulkan oleh Akbar Tandjung dalam Munaslub Golkar 1998 untuk menggeser paradigma lama yang telah melekat dalam tubuh Partai Golkar. Inti dari paradigma baru adalah mengharapkan Golkar dibangun dengan nilai-nilai baru selaras dengan tuntutan reformasi, dan menjadikan dirinya sebagai partai politik yang terbuka (inklusif), mandiri (independen), demokratis, moderat, solid, mengakar dan responsif dengan melaksanakan fungsi-fungsi partai politik secara konsisten109. Secara umum, perbedaan paradigma lama dan paradigma baru adalah sebagai berikut.
109
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 98
lxxix
Tabel 2.1 Paradigma Lama dan Baru Partai Golkar Paradigma Lama
Paradigma Baru
Keterangan
Dewan Pembina memiliki Institusi Dewan Pembina Dewan kewenangan mutlak
dihapuskan
Pembina
diganti
menjadi Dewan Penasehat yang hanya memberi saran
Pengambilan
keputusan Pengambilan
bersifat top-down dengan bersifat melibatkan jalur ABG
keputusan DPD I dan DPD II diberi
bottom-up.
Jalur hak
ABG dihapuskan
penuh
pengambilan
pada keputusan
strategis dan Munas Pola rekruitmen pengurus Sistem dipengaruhi
merit Pemilihan
tidak
loyalitas, dan kecakapan)
otonom, Golkar bersifat independen Dukungan
terutama dari militer dan dan mandiri
sumber
birokrasi
Golkar
Pola
pimpinan
kedekatan system (dedikasi, prestasi, berdasarkan suara dari DPD
politis dan nepotisme Golkar
kaderisasi
kepemimpinan Kepempinan
bersifat Ketua
rakyat
utama
Umum
adalah kekuatan
sangat
sentralistik. Ketua Umum kolegial
menentukan namun tetap
seperti pelaksana keputusan
beradasar mekanisme yang
Ketua Dewan Pembina
demokratis
Sumber: disarikan dari Akbar Tandjung, 2007.
4. Susunan Kepengurusan Struktur Organisasi Partai Golkar terdiri dari tingkat Pusat, tingkat Provinsi,
tingkat
Kabupaten/Kota,
tingkat
Kecamatan,
dan
Tingkat
Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya yang masing-masing berturut-turut dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah Provinsi (DPD tingkat I), Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota (DPD tingkat II), Pimpinan Kecamatan dan Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain. lxxx
Berdasarkan hasil Munas Partai Golkar ke VIII, 5-8 Oktober 2009, komposisi dan personalia DPP Partai Golkar 2009-2015 adalah sebagai berikut. Ketua Dewan Pertimbangan
: Akbar Tandjung
Ketua Umum
: Aburizal Bakrie
Wakil Ketua Umum
: HR Agung Laksono, Theo L Sambuaga
Ketua Bidang Kaderisasi
: Hafiz Zawawi
Ketua Bidang Organisasi dan Daerah
: Mahyudin
Ketua Bidang Hub Eksekutif dan Yudikatif
: HM Rusli Zainal
Ketua Bidang Hubungan Legislatif
: Priyo Budi Santoso
Ketua Bidang Informasi dan Penggalangan Opini
: Fuad Mansyur
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera
: Andi Achmad Dara
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa & Bali
: Sharif Cicip Sutarjo
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Maluku Papua : Freddy Latumahina Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Kalimantan
: Ahmadi Nur Supit
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sulawesi
: Fachri Andi Laluasa
Ketua Bidang Perempuan
: Ratu Atut Chosyiah
Ketua Bidang Pemuda
: Yorris Raweyay
Ketua Bidang Pekerja, Tani dan Nelayan
: Yamin Tawari
Ketua Bidang Usaha dan Koperasi
: Firman Subagyo
Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan
: Hajriyanto Thohari
Ketua Bidang Kemahasiswaan dan LSM
: Fadel Muhammad
Ketua Bidang Kerja Sama Internasional
: Iris Indira Murti
Ketua Bidang Pemikiran dan Kajian Kebijakan
: Rizal Mallarangeng
Ketua Bidang Pendidikan
: Indra B. Utoyo
Ketua Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup
: Ade Komaruddin
Ketua Bidang Bidang Penanganan Kerawanan Sosial
: Pontjo Sutowo
Ketua Bidang Hukum dan HAM
: Muladi
Ketua Bidang Umum
: Rully Chairul Azwar
Ketua Bidang Khusus
: Nurdin Halid lxxxi
Sekjen
: Idrus Marham
Wasekjen
: Harry Azhar Azis, Musfihin Dahlan, Muhidin, Ahmad Dolly Kurnia, Titiek Soeharto, Mujib Rohmat, Nurul Arifin,
Ricky
Hasanuddin
Rachmadi,
Mochdar,
I
Happy Made
Bone
Zulkarnain,
Sumarjaya
Linggih,
Immanuel Blegur, Oktaviano dan Leo Nababan. Bendara Umum
: Setya Novanto
Wakil Bendahara
: Airlangga Hartarto,: Erwin Aksa, Hariara Tambunan, Agus
G
Kartasasmita,
Suhardiman,
Melchias
Sudwikatmono,
Mustoko
Azis
Syamsuddin,
Mekeng, Weni,
Tri
Bambang
Bobby Hanurita Atmanto
Wiyogo, Watty Amir, Hamzah Sangaji dan Rahman Akil.
5. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke-VIII Pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar telah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Pada Periode kepengurusan 2004-2009 Munas diatur pada AD Bab XIV tentang Musyawarah dan Rapat-rapat Pasal 30 Ayat 2, yakni: a. Musyawarah Nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi Partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. b. Musyawarah Nasional berwenang: i. Menetapkan dan atau mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai. ii. Menetapkan Program Umum Partai. iii. Menilai Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat. iv. Memilih dan menetapkan Ketua Umum. v. Menetapkan Dewan Pimpinan Pusat. vi. Menetapkan Ketua Dewan Penasehat. vii. Menetapkan keputusan-keputusan lainnya. Selain itu Munas juga diatur dalam ART Bab XI tentang Musyawarah dan rapat-Rapat Pasal 25, yakni: lxxxii
1) Musyawarah Nasional dihadiri oleh : a. Peserta. b. Peninjau. c. Undangan. 2) Peserta terdiri atas : a. Dewan Pimpinan Pusat. b. Unsur Dewan Pimpinan Daerah Provinsi. c. Unsur Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota. d. Unsur Pimpinan Pusat Organisasi Sayap. e. Unsur Pimpinan Pusat Ormas Pendiri. f. Unsur Pimpinan Pusat Ormas Yang Didirikan. 3) Peninjau tediri atas : a. Dewan Penasehat Pusat. b. Unsur Pimpinan Pusat Ormas yang menyalurkan aspirasi politiknya kepada Partai Golkar. c. Unsur Badan, Lembaga dan Pokja Dewan Pimpinan Pusat. 4) Undangan terdiri atas: a. Perwakilan Institusi. b. Perorangan. 5) Jumlah Peserta, Peninjau dan Undangan ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat. 6) Pimpinan Musyawarah Nasional dipilih dari dan oleh Peserta. 7) Sebelum Pimpinan Musyawarah Nasional terpilih, Pimpinan Sementara adalah Dewan Pimpinan Pusat Partai. Munas Partai Golkar ke VIII berdasar AD dan ART partai seharusnya dilaksanakan pada bulan Desember 2009. Akan tetapi berdasar keputusan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar pada bulan Agustus, munas diajukan menjadi bulan Oktober. Pemilihan bulan Oktober, menurut JK, adalah untuk mengembalikan tradisi pelaksanaan munas pada bulan Oktober mendekati Hari Ulang Tahun (HUT) Golkar pada tanggal 20 Oktober. Selain itu, bulan Oktober dipandang sebagai waktu yang strategis karena pada bulan tersebut terdapat dua agenda penting negara, yakni penentuan ketua MPR dan DPR serta pemilihan kabinet pemerintahan SBY. Munas Partai Golkar ke VIII ini dilaksanakan di Ballroom Hotel Labersa, Pekanbaru, Riau. Salah satu agenda penting dalam Munas ke VIII adalah lxxxiii
pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pengganti JK. Ada empat calon yang berhasil lolos verifikasi. Keempatnya berdasar abjad, yakni Aburizal Bakrie, Hutomo Mandala Putra, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Aburizal Bakrie, lahir di Jakarta, 15 November 1946. Pengalamannya antara lain Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar (2004-2009), Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian (2004-2005), Menko Kesejahteraan Rakyat (2005-2009), pemilik Bakrie Group of Companies, Ketua Umum Kepala Dinas (Kadin) Indonesia (1994-1999, 1999-2004). Hutomo Mandala Putra atau lebih akrab dengan nama Tommy Soeharto, lahir di Jakarta 15 Juli 1962. Pengalamannya antara lain Anggota Dewan Pertimbangan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Golkar (1992-1997, 1997), Pendiri PT Humpuss (1984), Ketua Dewan Pertimbangan Pemuda Panca Marga (PPM). Surya Paloh, lahir di Banda Aceh 16 Juli 1951. Pengalamannya antara lain sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar (2004-2009), Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) (1977-1982, 1982-1987), Pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia), Ketua Umum Forum Komunikasi Putra/I Purnawirawan Indonesia (F-KPPI), 1979. Yuddy Chrisnandi, lahir di Bandung 29 Mei 1968. Pengalamannya antara lain Ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi DPP Golkar (2004-2009), Anggota DPR dari Partai Golkar (2004-2009), Dosen Program Pascasarjana Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) (2001-2003). lxxxiv
Munas Partai Golkar VIII akhirnya menetapkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum pada periode 2009-2015. Partai Golkar dibawah kepemimpinan Aburizal Bakrie akan melaksanakan empat program yang akan dijalankan secara kontinyu pada periode 2009-2015. Empat program tersebut disampaikan Aburizal Bakrie dalam pidato politiknya pada penutupan Munas VIII110. Pertama, melakukan konsolidasi yang bersifat vertikal dan horizontal. Kader serta pengurus di pusat dan daerah harus menyatu. Seluruh kader partai harus disiplin untuk mengikuti garis partai dengan menghormati kesepakatan internal partai. Kedua, melakukan kaderisasi. Kader terbaik Golkar masih banyak di seluruh Indonesia. Untuk merebut kejayaan Partai Golkar, maka kader inilah yang menjadi andalan partai. Selain kader yang sudah ada, harus dicetak kader baru. Untuk itu perlu dijalankan kaderisasi. Ketiga, melakukan kreativitas dan ketajaman ide serta gagasan. Golkar harus menjadi partai yang hidup dan dinamis. Untuk menghadapi isu strategis dan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, harus diciptakan solusi yang kreatif melalui ide-ide yang cemerlang. Keempat, memenangi pemilu 2014, pemilihan presiden 2014 dan pemilihan kepala daerah yang terlaksana hampir setiap tahun.
B. Harian Kompas 1. Sejarah Harian Kompas111 Kompas terbit sebagai buah pertarungan politik antara kekuatan organisasi
110
Lihat http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/aburizal-bakrie/biografi/06.shtml, akses tanggal 16 Nopember 2009 pukul 16.33 111 Disarikan dari Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Company Profile Harian Umum Kompas, 2005, tidak diterbitkan
lxxxv
politik berbasis ideologi komunis melawan kelompok yang tidak berpijak pada ideologi tersebut, termasuk Partai Katolik. Salah satu upaya Partai Katolik saat itu adalah menerbitkan surat kabar yang mampu menyuarakan kepentingan partai dan dapat meng-counter wacana ideologi komunis yang dilakukan oleh surat kabar underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Ide awal penerbitan harian ini sebenarnya justru datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Seda untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada Auwjong Peng Koen (P.K. Ojong) (1920-1980) dan Jakob Oetama112. Saat itu Jacoeb Oetama adalah wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik dan P.K. Ojong adalah pemimpin redaksi mingguan Star Weekly. Terbitan surat kabar tersebut awalnya diberi nama Bentara Rakyat sesuai dengan badan usaha yang membawahinya, yakni Yayasan Bentara Rakyat. Yayasan ini terdiri dari perwakilan elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Pemilihan nama Bentara Rakyat sengaja untuk menandingi keberadaan surat kabar PKI yaitu Harian Rakyat yang merupakan harian terbesar di tahun 1960-an. Dengan kemiripan identitas ini, diharapkan akan mampu memasuki segmen pasar Harian Rakyat. Rencana penerbitan surat kabar Bentara Rakyat diajukan kepada Presiden
112
http://digilib.petra.ac.id, akses tanggal 31 Oktober 2009 pukul 12.23
lxxxvi
RI pada saat itu, Soekarno. Kemudian Soekarno mengganti namanya dengan Kompas, alasan penggunaan nama ini karena Kompas hendak digunakan sebagai media pencari fakta dari segala penjuru. Meskipun sudah mengantongi ijin, Kompas tidak segera terbit karena Panglima Militer Jakarta saat itu, Letnan Kolonel Dachja, menyaratkan Kompas memperoleh 5000 tanda tangan pelanggannya. Kemudian, tokoh-tokoh Katolik pergi ke Pulau Flores yang mayoritas penduduknya beragama Katolik untuk mengumpulkan tanda tangan anggota partai, guru, dan anggota koperasi kopra di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur. Akhirnya, sejak 2 Juni 1965, harian Kompas secara resmi menjadi salah satu surat kabar yang terbit secara teratur. Kemudian tepat 28 Juni 1965, Kompas terbit dengan motto "Amanat Hati Nurani Rakyat". Dalam operasionalisasinya, Kompas diawaki oleh P.K. Ojong sebagai pemimpin umum dan Jacoeb Oetama sebagai pemimpin redaksi ditambah beberapa redaksi dan wartawan dari majalah Intisari. Format harian Kompas pertama kali masih sangat sederhana hanya dengan empat halaman. Berita utama pada saat itu berjudul "KAA II Ditunda Empat Bulan", sementara kata perkenalan Pojok Kompas di kanan bawah berbunyi, "Mari ikat hati, mulai hari ini dengan Mang Usil". Pada halaman pertama pojok kiri atas tertulis nama staf redaksi. Edisi pertama Kompas memuat 11 berita luar negeri dan 7 berita dalam negeri di halaman pertaman. Istilah tajuk rencana belum ada, tetapi di halaman 2 ada 'Lahirnya Kompas' sebagai tajuk harian ini. Di halaman 3 berisi antara lain 3 artikel yaitu berita luar negeri, ulasan mengenai lxxxvii
penyakit ayan dengan Dr Kompas. Halaman 4 berisi antara lain berita dan artikel yakni 2 berita luar negeri dan satu dalam negeri. Di halaman ini juga tercatat ada 2 berita olahraga satu diantaranya tentang tim PSSI ke Pyongyang. Berselang tiga bulan terbit, Kompas dilarang terbit beserta surat kabar lain, sehari setelah peristiwa 30 September 1965. Hanya harian "Angkatan Bersendjata", "Berita Yudha", kantor berita "Antara", dan "Pemberitaan Angkatan Bersendjata" yang diizinkan terbit oleh Pelaksana Penguasa Perang Daerah (Pepelrada). Kompas diizinkan terbit kembali pada 6 Oktober 1965. Peluang Kompas untuk berkembang semakin terbuka setelah terjadi pembersihan besar-besaran terhadap PKI dan simpatisannya yang terjadi sejak akhir 1965. Pada periode pers zaman demokrasi terpimpin diberlakukan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1964 yang menetapkan setiap surat kabar berafiliasi dengan salah satu partai politik. Kompas sendiri berafiliasi dengan Partai Katolik. Seiring berjalannya waktu, karena alasan visi harian Kompas yang terbuka, maka Kompas melepaskan diri dari Partai Katolik (kemudian muncul dasar humanisme transendental Kompas). Perkembangan selanjutnya adalah Kompas berhasil memiliki mesin cetak sendiri sejak 25 November 1972. Pada tahun yang sama Kompas membentuk PT Transito Asri Media, anak perusahaan yang mendistribusikan buku-buku import dan lokal pada jaringan toko buku yang dimilikinya sendiri. Pada tahun 1973 Kompas mendirikan percetakan Gramedia dan menerbitkan majalah anak-anak Bobo. Ketika peristiwa Malari tahun 1974, terjadi pembredelan pada beberapa pers yang dinilai konfrontatif terhadap pemerintah. Pada peristiwa tersebut, harian lxxxviii
Kompas terhindar dari pembredelan massal tersebut karena Kompas memiliki sikap moderat. Namun pada tahun 1978, Kompas tidak dapat menghindarkan diri dari pembredelan karena berita seputar penolakan berbagai pihak terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983. Selain Kompas, enam surat kabar lain juga mengalami nasib serupa, diantaranya Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore113. Setelah kasus pembredelan tersebut, Kompas berkembang menjadi koran dengan gaya bahasa halus, melakukan kritik secara implisit atau secara tidak langsung. Akibat dari gaya baru tersebut, sejumlah kalangan menjuluki harian Kompas sebagai koran moderat. Hal tersebut justru menjadi keunggulan Kompas dibanding harian-harian lain. Ben Anderson kemudian juga menjuluki Kompas sebagai 'New Order Newspaper Par Excellence' karena meskipun dalam pengawasan yang ketat, Kompas tetap mampu bertahan dan sekaligus juga menyampaikan kritik terhadap pemerintah meskipun dengan gaya halus.
2. Visi dan Misi Harian Kompas Visi surat kabar merupakan ujung pangkal dalam menentukan kebijakan editorial dalam menentukan peristiwa yang dianggap penting oleh surat kabar tersebut. Dan yang lebih penting lagi visi merupakan nilai dasar yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja pada suatu surat kabar. Visi Harian Kompas adalah “Menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yang demokratis dan 113
Data dari Cornelis Lay, Involusi Politik: Esai-esai Indonesia, Program Pasca Sarjana Politik Loka dan Otonomi Daerah dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, hal: 154
lxxxix
bermartabat, serta menjunjung tinggi asas dan nilai kemanusiaan.” (Redaksi Kompas Jawa Tengah. 2005). Visi Kompas adalah manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu manusia dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi nafas pemberitaan dan komentarnya. Hal ini mendorong Kompas selalu berusaha peka terhadap nasib manusia dan berkeyakinan114. Sejak lepasnya Harian Kompas dari Partai Katolik pada tahun 1973, Kompas tidak terikat pada kepentingan kelompok manapun. Oleh sebab itu dalam pemberitaannya, Kompas bertindak untuk kepentingan bangsa dan masyarakat secara mandiri tanpa dipengaruhi oleh kelompokkelompok tertentu.115 Misi Harian Kompas adalah: “Mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara professional, sekaligus memberi arah perubahan dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang terpercaya.” (Redaksi Kompas Jawa Tengah. 2005). Misi yang diemban Harian Kompas adalah mengasah nurani dan membuat cerdas. Artinya pemberitaan Kompas selalu mementingkan dimensi kemanusiaan, hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan, anti diskriminasi dan perlawanan terhadap penindasan.116
3. Struktur Organisasi Perusahaan Harian Kompas sebagai organisasi pers memiliki struktur organisasi untuk 114
Gigih Mardana, “Analisis Framing Komunikasi Politik Elite NU di Harian Kompas dan Republika Periode November-Desember 2004”) (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2005) Skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik hal: 73
115 116
Ibid, hal: 74 Ibid, hal: 75
xc
memudahkan komando pelaksanaan kerja dan pembagian tugas. Kemampuan manajerial di bidang masing-masing dituntut untuk bekerja secara efektif dan efisien dengan harapan fungsi dan perannya dapat berjalan secara optimal. Susunan Organisasi Perusahaan Harian Kompas (sampai Oktober 2009), yakni: Pemimpin Umum
: Jacob Oetama
Wakil Pemimpin Umum
: Agung Adiprasetyo, St. Sularto
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab
: Rikard Bagun
Wakil Pemimpin Redaksi
: Trias Kuncahyono, Taufik Mihardja
Redaktur Senior
: Ninok Leksono
Redaktur Pelaksana
: Budiman Tanuredjo
Wakil Redaktur Pelaksana
: Andi Suruji, James Luhulima
Sekretaris Redaksi
: Retno Bintarti, M. Nasir
4. Kebijakan Keredaksian117 Kebijakan keredaksian merupakan pedoman dalam menentukan kejadian yang patut diangkat oleh surat kabar untuk menjadi bahan berita. Kebijakan redaksi Kompas harus sesuai dengan visi misi yang menjunjung nilai demokrasi dan kemanusiaan. Ungkapan jurnalistik yang digunakan Kompas adalah "liput dua belah pihak, dengar pihak lain jangan-jangan masih ada kemungkinan lain". Dengan ungkapan tersebut, pemberitaan yang dimuat tetap menjunjung demokrasi, kemanusiaan, dan asas praduga tak bersalah. Kompas tidak membuat kebijakan persentase volume atau isi yang akan dimuat baik politik, ekonomi dan
117
Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Op.Cit
xci
berita lainnya. Jadi, yang aktual dan bermanfaat bagi pembacanya itulah yang dimuat. Secara kongkret, kebijakan keredaksian Kompas dijabarkan sebagai berikut : 1) Kompas merupakan media yang tidak berpihak pada suatu golongan, partai, maupun agama tertentu. 2) Tidak membenarkan mengkritik seseorang mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. 3) Tidak membenarkan bagi wartawannya untuk mencari keuntungan pribadi. 4) Menggunakan sistem check dan recheck dalam berita. 5) Tidak memihak salah satu golongan, kelompok, ataupun pihak-pihak tertentu dalam menangani kasus-kasus pemberitaan. 6) Menghargai hal-hal yang bersifat off-the record. 7) Menghormati hak jawab dalam bentuk berita maupun surat pembaca. 8) Kompas tidak akan memuat hal-hal yang berbau SARA.
5. Rubrikasi Rubrikasi Harian Kompas jika dilihat berdasar pembagian halamannya dapat dilihat dalam berikut. Tabel 2.2 Rubrikasi Harian Umum Kompas Hal
Edisi Reguler
Hal
Edisi Minggu
1
Topik Utama Umum
1-2
Topik Utama Umum
2-3,5
Politik dan Hukum
3
Nusantara
xcii
4
Halaman Khusus Munas
4
Metropolitan
56
Internasional
Golkar 6-7
Opini: Artikel, Tajuk Rencana, Surat Pembaca, Susunan Redaksi
8-9
Internasional
6-10
Olahraga
12
Pendidikan dan Kebudayaan
9
Iklan
13
Lingkungan dan Kesehatan
11
Buku
14
Ilmu Pengetahuan dan
12
Persona, Surat Pembaca,
Teknologi 15
Susunan Redaksi, Kehidupan
Sambungan berita hal. 1
13
TTS, Kontak Jodoh dan Kartun
16
Sosok
14
Iklan
17-18
Bisnis dan Investasi
15
Foto Pekan ini
19
Iklan
17-18
Kehidupan
22-24
Nusantara
19
Urban
25-27
Metropolitan
20
Urban Sosialita
28-31
Olahraga
21
Urban Hiburan
32
Nama dan Peristiwa
22
Urban Santap
A-H
Edisi Daerah
23
Urban Desain
24-25
Kompas Anak
26-28
Seni
29-30
Keluarga
31
Konsultasi
32
Nama dan Peristiwa
20-21
Sumber: Olahan peneliti
xciii
6. Oplah, Sirkulasi, dan Profil Pembaca Harian Kompas adalah surat kabar nasional yang memiliki oplah tertinggi di Indonesia. Bahkan pada tahun 2008 saja diperkirakan pembaca surat kabar ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia. Secara rinci perkembangan oplah Harian Kompas dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2.3 Oplah Kompas per Lima Tahun Tahun Jumlah Oplah 1965 23.267 1970
77.316
1975
203.925
1980
317.495
1985
467.364
1990
520.328
1995
523.497
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Redaksi Kompas118
Secara umum, penyebaran Harian Kompas di Indonesia cukup merata. Akan tetapi target pemasaran utama tetap di Pulau Jawa dan terutama Jakarta. Lihat tabel berikut. Tabel 2.4 Sirkulasi Harian Kompas Tahun 1993 Wilayah Jumlah Jakarta
294.004
Jawa Barat
61.272
Sumatera
64.852
118
Data ini dikutip dari Haris Firdaus, “Konstruksi Kompas dalam dua blog” (Analisis Wacana Kritis tentang Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan Inside Kompas) (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009) Skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik hal: 101
xciv
Jawa Tengah
16.518
Jawa Timur
17.910
Indonesia Timur
36.880
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Redaksi Kompas119
Sedang segmentasi pembaca Harian Kompas dapat dilihat berdasar tiga kategori, yakni dari segi pendidikan, segi penghasilan, serta segi pekerjaannya. Simak tabel berikut. Tabel 2.5 Segmentasi Kompas dari Segi Pendidikan Tingkat Pendidikan Prosentase Pembaca Pendidikan lulus SD
0,7%
Pendidikan lulus SLTP
2,49%
Pendidikan lulus SLTA
24,95%
Pendidikan lulus D1/D2
10,52%
Sarjana Muda
8,2%
S1
45,64%
S2
7,5%
Sumber: Nielsen Media Research, 1999120
Tabel 2.6 Segmentasi Kompas dari Segi Penghasilan Tingkat Penghasilan Prosentase Pembaca
119 120
< 250.000
1,1%
250.000-350.000
5,1%
350.000-500.000
6,7%
500.000-750.000
16,3%
750.000-1.000.000
16,7%
1.000.000-1.500.000
20,9%
> 1.500.000
33,2%
Ibid, hal: 102 Ibid, hal: 103
xcv
Sumber: Nielsen Media Research, 1999121 Tabel 2.7 Segmentasi Kompas dari Segi Pekerjaan Jenis Pekerjaan
Prosentase Pembaca
White Collar
34%
Blue Collar
12%
Ibu Rumah Tangga
12%
Mahasiswa
23%
Lain-lain
14% 122
Sumber: Nielsen Media Research, 1999
Dari ketiga tabel tersebut tampak bahwa pembaca Harian Kompas sebagian besar adalah lulusan Sarjana yang memiliki intelektualitas cukup tinggi. Sedang rata-rata tertinggi penghasilan pembaca Kompas didominasi oleh pembaca yang penghasilannya tinggi, yakni diatas 1,5 juta rupiah. Sementara itu, sebagian besar pembaca Kompas merupakan pekerja kantoran dengan level yang tinggi atau eksekutif. Jadi, kesimpulannya, pembaca Harian Kompas lebih didominasi oleh kalangan menengah keatas yang memiliki pekerjaan mapan dan penghasilan yang cukup tinggi.
121 122
Ibid Ibid, hal: 104
xcvi
BAB III PARTAI GOLKAR DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK
Dalam bab ini peneliti mengupas bagaimana konstruksi Partai Golongan Karya (Golkar) dalam pemberitaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar VIII pada Harian Kompas serta pendapat pembaca Kompas mengenai pemberitaan tersebut. Struktur penulisan bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama diawali deskripsi sub tema atau topik yang menjadi wacana berita di Kompas. Setelah itu, peneliti mengungkapkan pandangan Kompas mengenai pelaksanaan Munas Partai Golkar dari pemberitaan di Kompas berdasar masingmasing sub tema. Peneliti memperjelas frame Kompas dengan menampilkan hasil wawancara dengan pihak Kompas dan analisis pada dua berita. Selanjutnya, pada sub bab kedua peneliti menjabarkan bingkai tentang Partai Golkar dan pola pemberitaan pada Harian Kompas yang terbentuk oleh pembaca Kompas. Setelah menemukan frame media dan frame pembaca, pada sub bab terakhir bab ini peneliti menggabungkan dan membandingkan kedua frame tersebut.
A.
Pola Pemberitaan Munas Golkar ke VIII pada Harian Kompas Munas Partai Golkar VIII secara berkesinambungan mendapat tempat
dalam pemberitaan rubrik Politik dan Hukum serta beberapa kali menempati headline Harian Kompas. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas xcvii
memberikan halaman khusus untuk pemberitaan Munas Partai Golkar tepatnya pada halaman 4. Rangkaian pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar di Kompas sebenarnya sudah muncul sejak bulan Agustus 2009, diawali dengan berita mengenai salah satu tokoh Partai Golkar, Surya Paloh yang tidak mau terburuburu untuk mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Keputusan tersebut dikarenakan Surya Paloh memilih untuk legowo dan menunggu calon lain mengajukan diri terlebih dahulu. Itulah awal pemberitaan mengenai persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar yang di ekspos Kompas. Selanjutnya, Kompas secara rutin menyajikan perkembangan dan proses yang terjadi jelang munas. Pemberitaan berkisar pada persiapan teknis, liputan seminar serta diskusi tentang Partai Golkar, pernyataan dan aktivitas politik masing-masing calon ketua umum, hingga persaingan dan perang opini antar calon. Akan tetapi pemberitaan yang paling menonjol disajikan Kompas pada bulan Oktober. Pasalnya, suasana jelang munas pada saat itu semakin memanas, dimana masing-masing calon ketua umum juga semakin berani untuk saling menyerang di media. Pada hari pelaksanaan munas, 5-8 Oktober 2009, Kompas sempat menampilkan wawancara eksklusif dengan empat calon ketua umum, laporan hasil rapat paripurna, kericuhan yang terjadi, serta beberapa feature menarik yang merupakan sisi lain pagelaran munas. Kompas juga melakukan jajak pendapat mengenai citra Partai Golkar dalam masyarakat. Seusai munas berakhir, Kompas
xcviii
tidak berhenti menampilkan follow up aktivitas politik Partai Golkar terutama tentang sikap politis Partai Golkar terhadap pemerintahan SBY. Berita mengenai Munas Partai Golkar VIII di Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 secara keseluruhan berjumlah 22 berita. Namun, peneliti hanya melakukan analisis terhadap 10 berita untuk mempermudah merumuskan frame media. Daftar berita Munas Partai Golkar Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.1 Daftar Berita Bulan Oktober 2009 No
Judul Berita
Tgl Terbit
Hal
(2009) 1
Tommy Optimis Bisa Salip Ditikungan
1 Oktober
3
2
Penentuan Nasib Partai
2 Oktober
3
3
Munas Tak Diundur
3 Oktober
5
*Kalla Minta Tak ada Hura-hura 4
Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar
5 Oktober
1
5
Beringin Berkembang atau Tumbang
5 Oktober
4
6
Perebutan Pimpinan Munas
6 Oktober
4
*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit 7
Partai Golkar Diminta Awasi Pemerintah
6 Oktober
1
8
Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program
6 Oktober
4
7 Oktober
4
Miliaran 9
Pengawasan Bukan Jatuhkan Pemerintah *Yudhoyono Peringatkan Sikap Kalla
10
Politik Uang Tercium Kuat di Munas
7 Oktober
Headline
11
“Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan
7 Oktober
4
12
Sidang Ricuh, 4 Calon Ketua Umum Lolos
8 Oktober
1
Verifikasi xcix
13
Repotnya Musyawarah, Repotnya Pekanbaru
8 Oktober
4
14
Pernyataan Presiden Disesalkan
8 Oktober
4
15
Selidiki Politik Uang di Munas
8 Oktober
4
9 Oktober
4
9 Okober
4
*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara 16
Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon
17
DPP Golkar Terbentuk *Aburizal: Oposisi atau Koalisi Bukan Pilihan Ideologis
18
Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru
9 Oktober
4
19
Akomodasi Lawan Politik
10 Oktober
4
20
Golkar Merapat ke Pemerintah
12 Oktober
2
Partai Golkar diharapkan Tetap Komit Jadi 12 Oktober
5
*PAN Masih Bisa Beroposisi 21
Oposisi 22
Aburizal Bakrie Akan Fokus Urusi Partai Golkar
15 Oktober
Dari 22 berita tersebut, peneliti menentukan lima sub tema yang merujuk pada tema utama penelitian. Lima sub tema diambil berdasarkan topik utama dari masing-masing frame berita yang ditentukan peneliti. Umumnya dalam satu berita terdapat satu topik berita, tetapi tidak jarang pula pada berita-berita tertentu terdapat dua topik dalam satu berita. Dalam kasus tersebut, peneliti mengambil topik yang paling dominan diantaranya. Lima sub tema tersebut antara lain: a.
Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar
b.
Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII c
c. Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum d.
Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
e.
Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas Sedangkan 10 berita yang dipilih oleh peneliti untuk dianalisis lebih lanjut
antara lain sebagai berikut. Tabel 3.2 Daftar Berita yang Dianalisis No
Judul Berita
Tgl Terbit
Hal
(2009) 1
Penentuan Nasib Partai
2 Oktober
3
2
Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar
5 Oktober
1
3
Perebutan Pimpinan Munas
6 Oktober
4
6 Oktober
4
*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit 4
Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran
5
Politik Uang Tercium Kuat di Munas
7 Oktober
Headline
6
“Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan
7 Oktober
4
7
Selidiki Politik Uang di Munas
8 Oktober
4
9 Oktober
4
*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara 8
Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon
9
Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru
9 Oktober
4
10
Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi
12 Oktober
3
Oposisi
ci
1.
Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 memang terasa berbeda
karena salah satu agenda penting munas yakni pemilihan ketua umum partai dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Pemilihan langsung ini berarti Dewan Pimpinan Pusat (DPP), masing-masing Dewan Pengurus Daerah (DPD), baik DPD tingkat I dan DPD tingkat II, memiliki hak pilih terhadap salah satu kandidat yang dinyatakan lolos seleksi menjadi calon ketua umum. Sebelumnya, Partai Golkar menerapkan tata cara pemilihan ketua umum dengan sistem konvensi, setelah itu calon ketua umum baru dipilih kembali pada munas. Secara harfiah, konvensi dapat diartikan sebagai aturanaturan yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan tidak tertulis.123 Bagi Partai Golkar, konvensi merupakan upaya membangun citra partai yakni dengan memperbaiki
mekanisme
proses
rekruitmen
pimpinannya
secara
demokratis.124 Namun kenyataannya, konvensi justru memperlihatkan adanya kompleksitas power struggle antar faksi di tingkat elite partai. Peta faksi tidak jelas dan berubah sesuai kepentingannya, misalnya pada Munas Partai Golkar 2004 dimana pemilihan ketua umum dimenangkan kelompok pragmatis kekuasaan.125 Berdasarkan keputusan Panitia Pengarah (Steering Comittee) Munas Partai Golkar VIII yang diketuai Syamsul Mu’arif, DPP Golkar, DPD I, DPD
123
B.N Marbun, SH, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal: 297 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 19 125 Ibid, hal: 19-20 124
cii
II serta organisasi pendiri atau yang didirikan Golkar, masing-masing memiliki satu suara. Jadi kalkulasinya sebagai berikut: DPP 1 suara, DPD I 33 suara, DPD II 494 suara, dan organisasi massa (ormas) 10 suara, sehingga total jumlah suara yaitu 538 suara. Meskipun kemudian, jumlah suara DPD II hanya 492 suara karena hak suara DPD II Kepulauan Seribu dan DPD II Langkat dianulir karena terdapat surat mandat ganda. Sistem pemilihan langsung ternyata membawa dua konsekuensi. Pertama, kader Partai Golkar bebas menyalonkan diri menjadi ketua umum partai, dengan catatan bahwa dirinya memenuhi persyaratan yang ada. Persyaratan ketua umum telah diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Kepengurusan Partai Golkar periode 20042009, antara lain126: a.
b.
c. d. e. f. g.
126
Pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar dan atau sekurang-kurangnya pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi dan/atau serta pernah menjadi Pengurus Organisasi Pendiri dan yang didirikan selama 1 (satu) periode penuh dan didukung oleh minimal 30 % hak suara. Aktif terus menerus menjadi anggota Partai Golkar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan tidak pernah menjadi anggota partai politik lain. Pernah mengikuti pendidikan dan latihan kader. Memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela. Memiliki kapabilitas dan akseptabilitas. Tidak pernah terlibat G 30 S PKI. Bersedia meluangkan waktu dan sanggup bekerjasama secara kolektif dalam Partai Golkar.
www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
ciii
Awalnya ada empat orang calon yang diunggulkan dan memenuhi persyaratan tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Ferry Mursyidan Baldan, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Ferry Mursyidan dan Yuddy Chrisnandi tercatat pernah menjadi pengurus DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah menjabat menjadi pengurus Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR), sementara
Surya
Paloh
pernah
menjadi
pengurus
Angkatan
Muda
Pembaharuan Indonesia (AMPI). Akan tetapi dalam perkembangannya, kader partai yang tidak memenuhi persyaratan pun menyalonkan diri atau sekedar mewacanakan diri menyalon sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sebut saja dua orang dari trah keluarga Cendana (sebutan untuk keluarga mantan Presiden Soeharto), Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Tutut masih tercatat sebagai anggota Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), sehingga Tutut tidak diperbolehkan menyalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Sedangkan Tommy pernah terjerat kasus hukum sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, sehingga bisa dipersoalkan dari sisi PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak tercela). Namun dalam pelaksanaan munas, Tommy dinyatakan lolos persyaratan tersebut. Dengan demikian, empat calon yang akhirnya maju, yakni Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto, kesemuanya lolos seleksi. Kehadiran Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto dalam bursa calon Ketua Umum Partai Golkar dinilai cukup berani dan mendobrak tradisi. civ
Pasalnya, Partai Golkar belum pernah diketuai oleh golongan muda, khususnya kader yang berusia dibawah 50 tahun. Bahkan sebagian pimpinan Partai Golkar masih diisi oleh golongan senior, termasuk diantaranya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Konsekuensi kedua, persaingan antar calon ketua umum semakin jelas dan nyata. Hal ini mengingatkan pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur (Pilgub), ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana aktor politik (calon dan tim suksesnya) melakukan komunikasi politik. Menurut Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, pelaku kampanye –kandidat, penasihat, konsultan dan komunikator politik lain– berusaha mengatur kesan pemberi suara dengan mengungkapkan lambang-lambang yang akan menghimbau untuk memilih mereka. Kesan ini bisa diwujudkan dalam opini dan pernyataan di media, orasi, ataupun tindakan. Kaitannya dalam pelaksanaan Munas Partai Golkar, karena pemilihan berdasarkan akumulasi suara dari masing-masing daerah, para calon ketua umum melakukan kampanye serta mencari dukungan ke daerah. Mereka mengklaim bahwa daerah-daerah yang mereka kunjungi mendukung pencalonan dirinya. Dukungan daerah ini diwujudkan dalam surat pernyataan dukungan ataupun pernyataan langsung kepada calon ketua umum. Klaim dukungan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada daerah lain, baik yang sudah menentukan pilihan atau belum, bahwa calon ketua umum tersebut memiliki pendukung yang banyak sehingga layak untuk dipilih. cv
Tidak hanya klaim dukungan, para calon ketua umum pun saling serang opini secara terbuka di media massa. Terlebih lagi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh menggunakan stasiun televisi milik mereka, yakni TV One dan Metro TV, untuk melakukan kampanye. Bahkan TV One dan Metro TV dalam siaran live, menyiarkan prosesi pemilihan dan perhitungan suara Ketua Umum Partai Golkar di munas. Selain klaim dukungan, berbagai isu seperti politik uang, kompetensi calon, dan posisi Partai Golkar dalam pemerintahan pun menjadi wacana strategis untuk saling menyerang. Salah satu isu sensitif yang menjadi perdebatan dalam pelaksanaan munas adalah adanya politik uang. Tidak mau dituding melakukan politik transaksional, para calon ketua umum mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda agar mendapat simpati dari pendukungnya. Aburizal Bakrie dan Surya
Paloh
berlomba-lomba
memberi
fasilitas,
seperti
pelesiran,
menyediakan tempat penginapan, hingga memberi pesawat carteran untuk berangkat ke Pekanbaru. Aburizal Bakrie juga sempat menyelenggarakan turnamen golf “ARB Cup” pada saat jeda pelaksanaan munas. Sedangkan Tommy Soeharto mencoba menawarkan program pemberdayaan rakyat “Trikarya” dengan total nilai mencapai miliaran rupiah. Sementara Yuddy Chrisnandi tidak banyak memberikan janji, dirinya justru lebih sering mengkritik perilaku Aburizal Bakrie dan Surya Paloh di media massa. Sikap elite politik yang demikian mau tidak mau memunculkan perpecahan dalam tubuh partai.
cvi
Seperti yang dikatakan Redi Panuju, untuk mempertahankan dan menguatkan kekuasaan, orang yang memiliki kekuasaan akan melakukan asosiasi-asosiasi (pengelompokan). Banyak istilah untuk menamai kelompok ini, misalnya ruling elitee, power elitee, strategic elitee, ruling class, dan sebagainya.127 Demikian pula dalam internal Partai Golkar mulai tumbuh faksi-faksi yang mendukung calon tertentu. Dukungan ini ternyata terstruktur dan terorganisir, hingga ada penyebutan “tim sukses” untuk kelompok tersebut. Misalkan saja, Aburizal Bakrie yang mendapat dukungan dari tokoh sekaliber Akbar Tandjung dan Agung Laksono, Surya Paloh yang didampingi Ariady Ahmad, Jefrey Geovani, dan Zainal Bintang, Tommy Soeharto yang mendapat dukungan Marwah Daud Ibrahim dan Justiani, dan Yuddy Chrisnandi yang mendapat simpati Indra J Piliang, Emil Tanri Abeng, dan Renny Djayusman. Tokoh-tokoh Partai Golkar ini kemudian ikut arus masuk dalam persaingan pemilihan ketua umum partai dan membentuk blok-blok tersendiri. Untuk lebih jelasnya, persaingan ini dapat dilihat dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri mengenai persaingan tersebut.
1.1
Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar dalam Pandangan Kompas
127
Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 28-29
cvii
Dua berita di Kompas bertema persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut. Tabel 3.3 Berita Bertema Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum No
Judul Berita
Tgl Terbit
1
Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran (1)
6 Okt 2009
2
Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon (2)
9 Okt 2009
Berita pertama (1) berjudul “Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran…” yang ditulis oleh Sutta Dharmasaputra, sedangkan berita kedua (2) berjudul “Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon…” ditulis oleh Suhartono. Kedua berita ini sama-sama merupakan feature news, yakni feature berita yang mendampingi berita utama. Feature ini dapat dikenali melalui bentuk kalimat judul yang lebih flexibel, yakni ditulis dengan huruf miring dan tiga titik dibelakang judul. Tiga titik dibelakang judul mengesankan bahwa kalimat tersebut belum selesai karena ada sesuatu yang akan diungkapkan lebih lanjut dalam tubuh berita. Kalimat seperti ini membuat pembaca merasa penasaran dan terdorong untuk membaca kelanjutan isi berita. Pada berita (1), Kompas menulis judul berita dengan unsur what atau apa yang dilakukan oleh subyek, dalam hal ini apa yang diberikan atau ditawarkan subyek (calon Ketua Umum Partai Golkar) kepada pendukungnya dalam proses kampanye. Dalam penulisan judul, “apa” yang diberikan oleh subyek (uang, pesawat carteran, dan program miliaran) merupakan sesuatu
cviii
yang dianggap berlebihan, kemudian dipertegas pada paragraf lead dengan penambahan unsur skrip subyek (who) dan tempat (where). Jorjoran. Barangkali itu istilah tepat untuk menggambarkan persaingan antarkandidat calon Ketua Umum Partai Golkar 2009-2014 yang berlangsung di Musyawarah Nasional VIII di Pekanbaru, Riau. Kompas memilih menggunakan kata jorjoran dalam lead tersebut. Jorjoran berarti berlaku royal, rela mengeluarkan banyak uang untuk sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan, serta bersikap berlebihan untuk saling menyaingi. Jorjoran merupakan kata yang dianggap Kompas dapat menggambarkan perilaku boros beberapa calon ketua umum. Seperti yang diungkapkan wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra. Sutta menekankan bahwa upaya penggalangan dukungan banyak dilakukan dengan perilaku pragmatis, salah satunya dengan jorjoran uang tersebut. “Persaingan antarkandidat terjadi sangat ketat. Masing-masing kandidat menggunakan berbagai cara untuk meraih dukungan sebanyakbanyaknya. Sayangnya, persaingan itu lebih banyak terjadi pada upaya penggalangan dukungan dengan cara-cara pragmatis ketimbang programatis.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra) Unsur sintaksis berupa narasumber pada berita (1) yang dipilih Kompas adalah narasumber dari masing-masing tim sukses atau pendukung calon ketua umum. Pertama, Sugeng Suparwoto (tim sukses Surya Paloh), Akbar Tandjung (tim sukses Aburizal Bakrie), Justiani (tim sukses Tommy Soeharto), dan Tafip Syamsul Hadi (tim sukses Yuddy Chrisnandi). Hal ini merupakan perwujudan dari kebijakan keredaksian Kompas yang berusaha untuk tidak memihak salah satu pihak, sehingga harus meliput kedua belah pihak–dalam hal ini cover all sides. Kompas tidak menyebutkan gelar atau cix
jabatan dari masing-masing narasumber tersebut, tetapi setiap narasumber diberi label “tim sukses” atau “tim (nama calon)”. Sementara latar pada berita (1), Kompas bercerita tentang usaha yang dilakukan keempat kandidat untuk menarik massa pendukungnya. Pemaparan masing-masing calon tidak didasarkan Kompas pada urutan kandidat berdasarkan huruf abjad nama depan. Kompas mengurutkan penceritaan dari kandidat yang dianggap paling banyak mengeluarkan dana dalam proses kampanye ini, yakni Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Tommy Soeharto, baru kemudian Yuddy Chrisnandi. Dari keempat calon yang ada, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang paling memanjakan para pendukungnya. Informasi yang berkembang di munas, kedua orang ini yang paling berpeluang menjadi ketua umum. Hal ini didasarkan pada pandangan Kompas bahwa persaingan antar calon ketua umum memang tidak imbang. Hanya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang benar-benar berjuang untuk memenangkan kompetisi ketua umum. Seperti yang dikatakan oleh Wartawan Kompas, Suhartono. “Persaingan yang sebenarnya hanya terjadi di Surya paloh dan Ical menjelang dan di saat pemilihan. Sebetulnya persaingan mereka seimbang, hanya bedanya Ical ditopang dengan materi yang jauh lebih besar dan dukungan perangkat kekuasaan penguasa yang berada di baliknya. Adapun Surya topangan materi juga besar, akan tetapi tidak ada perangkat kekuasaan yang ikut mendukung.” (Wawancara dengan Suhartono) Penekanan kandidat yang paling boros pada awal berita mengesankan bahwa Kompas ingin menonjolkan kekuatan uang yang dimiliki dua orang kandidat terkuat. Suhartono mengungkapkan hal tersebut, meskipun sebenarnya masyarakat secara luas kurang simpatik terhadap Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie. cx
“Surya paloh dan Ical secara ekonomi dan latar belakang politik cukup baik, namun kedekatnnya dengan penguasa dalam bidang ekonomi dan politik cukup kuat, sehingga mengurangi dukungan masyarakat luas.” (Wawancara dengan Suhartono) Sementara
itu,
kesederhanaan
kampanye
Yuddy
Chrisnandi
ditempatkan paling akhir. Hal ini membuat perbedaan antar kandidat tampak sangat kentara dan ironis. Pada level retoris, penonjolan terhadap kesederhanaan Yuddy juga diwujudkan Kompas dalam bentuk grafis, yakni insert yang bertuliskan kalimat ”Dari empat kandidat, hanya Yuddy Chrisnandi yang mengeluarkan biaya paling sedikit” dengan jenis dan ukuran huruf yang sangat besar pada tengah berita. Secara keseluruhan, berita ini banyak menggunakan kata yang memiliki unsur retoris, diantaranya adalah leksikon “pelesiran”, metafora “politik dagang sapi”, dan “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”. “Pelesiran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bersenang-senang, mencari kesenangan, berjalan-jalan, bertamasya, atau pesiar. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa calon ketua umum ingin memanjakan para pendukungnya dengan aktivitas lain diluar dunia politik. Sedangkan kata “politik dagang sapi” menunjukkan bahwa ada tawar menawar suara dalam pemilihan ketua umum layaknya seperti transaksi jualbeli. Sementara metafora “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”, memberi penekanan bahwa perilaku calon ketua umum yang menggunakan kekuatan uang untuk memperoleh kekuasaan bertujuan agar dirinya tetap eksis dan bertahan dalam kompetisi politik. Seperti yang diungkapkan George Wilhelm
cxi
Frederich Hegel, bahwa kekuasaan politik yang sebenarnya adalah kekuasaan yang terorganisir dari suatu golongan untuk menindas golongan yang lain128. Diakhir latar berita tersebut, Kompas memberikan sebuah kesimpulan terhadap perilaku keempat kandidat ketua umum tersebut. Karena berita ini bukan merupakan jenis berita straight news, maka wartawan bisa memasukkan opininya didalam berita, meskipun opini tersebut harus berdasarkan fakta yang ia tulis dalam berita tersebut. Banyak yang berkata bahwa saat ini perjuangan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan logistik. Karena itu, ada pepatah Jawa yang mengatakan, kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati. Namun Golkar hendaknya mempertimbangkan unsur etik, selain logistik, kalau tidak ingin partai ini mendidik kadernya menjadi sangat pragmatis. Kalimat tersebut memberi penegasan bahwa Kompas memilih sikap tidak sepakat dengan perilaku kandidat yang rela mengeluarkan banyak uang dalam proses kampanye pemilihan ketua umum. Penggunaan uang ditakutkan akan mendorong kader atau anggota partai memiliki orientasi lain sehingga dalam jangka panjang bisa membentuk partai ini menjadi partai pragmatis. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Sutta Dharma yang menjelaskan tentang kebijakan keredaksionalan Kompas. “Kebijakan pemberitaan selalu ada. Namun, kebijakan itu tidak mengarahkan pada dukungan pada kandidat tertentu tapi pada kebijakan bangsa yang lebih besar, misalnya, mendorong partai semakin transparan, ada persaingan sehat, partai bersih dari KKN.” (Wawancara dengan SUtta Dharmasaputra) Sementara untuk berita (2), judul berita menggunakan unsur what (apa) dan who (subyek). Unsur “apa” disini merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh subyek (calon ketua umum) dalam proses pemilihan 128
Ibid, hal: 33
cxii
Ketua Umum Partai Golkar, yakni kekuasaan, uang dan jaringan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam lead berita. Idealisme dan kegigihan berjuang saja rasanya tidak cukup untuk meraih kursi nomor satu di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Lead tersebut mempertegas bahwa kekuasaan, uang, dan jaringan (yang tertulis dalam judul) adalah hal yang lebih dibutuhkan calon ketua umum dibandingkan idealisme dan kegigihan sang calon (yang tertulis dalam lead). Realita tersebut digambarkan Kompas sebagai sebuah ironi dari keseluruhan proses pemilihan ketua umum. Pasalnya, Kompas memiliki pandangan dan kriteria tersendiri untuk calon Ketua Umum Partai Golkar yang ideal, seperti yang diungkapkan Suhartono dan Sutta Dharma berikut. “Tahu sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, berjuang untuk memajukan golkar dan perekonomian bangsanya, selain memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai golkar, punya integritas dan misi dan visi kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik yang matang.” (Wawancara dengan Suhartono) “Sosok yang menjadi panutan pemilih Golkar di 2014 atau bahkan panutan bangsa secara keseluruhan. Dia harus kader terbaik partai, memiliki rekam jejak yang bagus, dan visi yang jelas dalam membawa partai dan bangsa lima tahun ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra) Namun kriteria tersebut tidak tampak dari masing-masing calon, karena yang menonjol dan paling menentukan adalah kekuatan dari luar diri calon ketua umum seperti kekuasaan, uang, dan jaringan. Berita (2) memiliki beberapa perbedaan dengan berita (1). Pertama, berita (2) tidak memiliki unsur sintaksis narasumber. Berita dibuat seperti opini, namun sarat dengan data-data yang faktual. Perbedaan selanjutnya, alur berita (2) adalah kebalikan dari berita (1). Jika pada berita (1) dipaparkan cxiii
profil atau cerita mulai dari kandidat yang paling kaya dan boros, maka pada berita (2) cerita kandidat dimulai dari kandidat yang dianggap paling gagal dalam hasil pemilihan ketua umum, sementara kandidat yang berhasil menang ditempatkan pada akhir berita. Sama halnya dengan berita (1), pembalikkan alur berita pada berita (2) tampak menunjukkan perbandingan yang kontras dari masing-masing calon ketua umum. Pembandingan ini, menurut Dan Nimmo, merupakan salah satu strategi untuk menunjukkan gejala ketidakberesan namun tetap menjaga obyektivitas dan etika media. Pada bagian awal berita, penceritaan Yuddy sebagai pihak yang kalah dikesankan sebagai sesuatu yang wajar karena Yuddy memang tidak memiliki modal yang memadai untuk memenangkan kompetisi. Seperti yang diungkapkan Suhartono. “…Yuddy Chrisnandi cukup lumayan, meski secara ekonomi tidak bisa diandalkan untuk membangun partai yang kuat secara ekonomi, punya visi dan misi politik yang baik, namun masih kurang pengalaman. Masih dibutuhkan lima tahun lagi untuk matang dan dewasa secara politik.” (Wawancara dengan Suhartono) Pandangan Kompas ini diwujudkan dalam kalimat di teks berita (2). Seperti yang dialami sosok muda Yuddy Chrisnandi. Dia tak punya uang untuk “membeli” suara, kecuali untuk mendukung operasional kampanyenya yang kecil-kecilan. Apalagi kekuatan dan kekuasaan untuk “menekan” para pemilihnya. Ia juga tak punya jaringan ke struktur Partai Golkar untuk bisa memperluas dukungan. Dalam kalimat tersebut, Kompas menggunakan leksikon “membeli” untuk gabungan kata “suara” dan kata “menekan” untuk gabungan kata “para pemilihnya”. Kata “membeli” dan “menekan” ditulis menggunakan tanda kutip sehingga tampak lebih menonjol. Namun, penonjolan tersebut terkesan cxiv
sebagai sesuatu yang negatif. Menurut Nimmo, untuk menunjukkan obyektivitas media, kata yang dianggap sensitif dan menyudutkan salah satu pihak biasanya ditulis dengan tanda kutip. Kata “membeli” dianggap sensitif karena sesuatu yang dibeli–dalam hal ini hak suara anggota–secara ideal tidak bisa dipaksakan karena berasal dari keinginan pribadi. Jika suara dapat dibeli, maka pilihan tersebut hanya berdasarkan besarnya kompensasi (uang) yang diterima. Sementara kata “menekan” berarti melakukan tindakan agar para pemilik suara tidak memilih berdasar hati nurani tetapi karena sesuatu dari luar individu. Pada berita Kompas diatas, Yuddy Chrisnandi digambarkan tidak melakukan hal-hal tercela tersebut. Sikap Kompas yang ingin membandingkan calon ketua umum nampak jelas pada penceritaan Aburizal Bakrie sebagai pihak yang menang menjadi Ketua Umum Partai Golkar berikut. Adapun Surya Paloh, meskipun untuk persoalan dana dan kekuatan tak ada masalah, ia tak memiliki apa yang dipunyai pesaingnya, Aburizal Bakrie yaitu segalanya. Sebut saja mulai dari jaringan, uang, hingga dukungan kekuasaan yang menyatu dan terkoordinasi. Penekanan pada kalimat ini yaitu pada perbandingan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, dimana dikatakan bahwa Aburizal Bakrie memiliki semua kategori yang dibutuhkan untuk menjadi ketua umum. Oleh karena Aburizal memiliki segalanya, maka Aburizal Bakrie-lah yang bisa memenangkan persaingan. Sementara dari unsur retoris, berita ini menggunakan foto yang cukup besar pada bagian atas berita. Foto tersebut menggambarkan beberapa peserta rapat yang memilih untuk tidur pada saat penghitungan suara dilakukan. Hal cxv
ini mengesankan bahwa proses pemilihan ketua umum partai tidak menjadi persoalan yang penting bagi sebagian peserta rapat. Padahal, keempat calon ketua umum sudah melakukan berbagai cara untuk menarik simpati dan dukungan agar memenangkan persaingan tersebut. Sikap Kompas juga terlihat pada kalimat bagian akhir berita berikut. Munas VIII Partai Golkar berakhir semalam. Namun kesibukan belum akan berakhir. Seorang petinggi Partai Golkar menyarankan Kompas untuk memantau transaksi bank pada Kamis siang. Apakah itu mengindikasikan adanya politik uang seperti yang tercium kuat selama Munas berlangsung? Wallahualam… Kalimat pertanyaan pada akhir berita tersebut menunjukkan bahwa berdasar informasi orang dalam Partai Golkar, Kompas mencium adanya politik uang yang mewarnai bursa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Namun permasalahan tersebut seakan dibiarkan Kompas menjadi sebuah misteri. Hal ini dibuktikan dengan pilihan kata “Wallahualam” yang berarti “hanya Allah yang tahu” dan tiga titik dibelakangnya. Artinya, persoalan ini dianggap Kompas sangat sulit untuk ditelusuri dan dibongkar, sehingga hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar dan siapa yang bersalah.
2.
Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII Partai Golkar tengah terpuruk karena kekalahan dua kali pemilu pada
tahun 2009. Beberapa pihak menyatakan kegagalan tersebut merupakan implikasi dari multi krisis yang tengah dialami partai ini. Para pinisepuh Partai Golkar seperti mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin, mantan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, hingga mantan Menteri Urusan Peranan cxvi
Wanita Sulasikin Murpratomo menyebutkan, ada beberapa alasan mengapa jumlah suara Partai Golkar terus mengalami penurunan129. Pertama, pimpinan Partai Golkar tidak mampu lagi merangkul seluruh pengurus dan pendukungnya hingga ke tingkat akar rumput di pelosok desa. Padahal, pemilih Partai Golkar yang loyal justru berasal dari masyarakat di daerah pedesaan. Faisal H Basri dan Indra J Piliang dalam artikelnya yang berjudul “Sepuluh Memorandum untuk Golkar-Orde Baru” menuliskan, partai ini masih membutuhkan komunitas masyarakat di daerah untuk mengumpulkan pendukung. Pasalnya jika terjadi penolakan di tingkat pusat atau Jakarta, Partai Golkar biasanya menggunakan strategi bermain isu kedaerahan untuk mempertahankan posisi politiknya130. Kedua, Partai Golkar tidak memiliki tokoh partai yang menjadi panutan seluruh kader, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat, Megawati di Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDIP), Amien Rais di Partai Amanat Nasional (PAN), atau di tubuh Partai Golkar sendiri pada era orde baru Soeharto. Ketiga, Partai Golkar kini dinilai telah kehilangan ideologinya dan tidak mampu bertahan dalam kompetisi partai politik di Indonesia. Maka dari itu, Munas Partai Golkar VIII menjadi momentum penting yang harus dimanfaatkan partai. Agenda munas, seperti hasil evaluasi laporan pertanggungjawaban kepemimpinan Jusuf Kalla (JK) dan ketua umum partai yang terpilih akan berdampak besar untuk masa depan Partai Golkar.
129
Lihat Selengkapnya dalam Kompas, Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar, edisi 5 Oktober 2009 130 http://groups.yahoo.com/group/bubarkangolkar/message/348 akses data 16 November 2009 pukul 16.23
cxvii
Pengamat politik Eep Syaefullah Fatah mengutarakan ada dua poin penting yang harus dicapai dalam pelaksanaan munas kali ini.131 Pertama, kejelasan rekonsiliasi dan reposisi Golkar periode 2009-2014. Kedua, pembentukan karakter Golkar, karena menurut Eep, terjadi perdebatan antara kelompok yang oportunis–yakni pihak-pihak yang hanya ingin mengambil keuntungan untuk diri sendiri tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu132–dengan kelompok yang berkeinginan berjuang. Pernyataan Eep tersebut tidak salah, pelaksanaan munas diwarnai persaingan antar kelompok. Munas tidak bisa dielakkan dari keributan antar peserta munas yang ditengarai memiliki kepentingan masing-masing. Untuk lebih jelasnya, arti penting munas dapat dilihat dalam teks berita yang disajikan di Kompas sebagai berikut.
2.1
Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII dalam Pandangan Kompas Berita di Kompas yang bertema Arti penting Munas Partai Golkar ke
VIII diantaranya adalah sebagai berikut. Tabel 3.4 Berita Bertema Arti Penting Munas Partai Golkar VIII No
Judul Berita
Tgl Terbit
1
Penentuan Nasib Partai (3)
2 Oktober
2
Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar (4)
5 Oktober
131
Selengkapnya lihat Kompas, Golkar Harus Manfaatkan Munas untuk Kebangkitan, terbit 9 September 2009 132 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 628
cxviii
Berita (3) dan berita (4) sama-sama merupakan berita soft news. Persamaan lain dari dua berita ini karena keduanya merupakan rangkuman pendapat mengenai Partai Golkar dari para ahli. Jika berita (3) berisi ragam pendapat para pengamat politik pada saat pelaksanaan sebuah acara diskusi tentang Partai Golkar, maka berita (4) adalah rangkuman pendapat yang dikumpulkan Kompas dari para pinisepuh atau senior Partai Golkar. Judul pada berita (3), “Penentuan Nasib Partai”, merupakan penegasan bahwa munas VIII memang merupakan momentum yang sangat menentukan bagi hidup mati Partai Golkar. Hal tersebut dikuatkan kembali pada penjelasan lead berita yang menggunakan unsur skrip yang cukup lengkap yakni what (apa), when (waktu), where (tempat), dan who (siapa). Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-9 Oktober 2009 akan menjadi penentuan nasib partai itu pada masa depan. Yaitu apakah Golkar akan kembali merebut kejayaan seperti pada era Orde Baru atau semakin terpuruk. Sintaksis narasumber yang ditulis Kompas cukup banyak, yakni Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar yang juga pendukung Aburizal Bakrie, Rully Chairul Azwar, kader Partai Golkar yang juga pendukung Yuddy Chrisnandi, Indra J Piliang, Pengamat Lingkaran Survey Kebijakan yang juga pendukung Surya Paloh, Sunarto Ciptohardjono, Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar Sultan Hamengku Buwono X, dan Yuddy Chrisnandi. Alur berita pada berita (3) lebih banyak mengevaluasi kekurangan Partai Golkar, sehingga momentum munas harus dijadikan patokan untuk mengembalikan kejayaan partai. Perbaikan Partai Golkar ini utamanya dengan pemilihan ketua umum yang sesuai dengan kebutuhan partai. cxix
“Permasalahannya sekarang adalah siapa calon pemimpin yang karakternya paling sesuai dengan kebutuhan Golkar?” kata Rully Chaerul Azwar. Menurut Wartawan Kompas Suhartono, ada dua karakter calon ketua umum yang bertolak belakang dan membuat munas menjadi sangat penting untuk diberitakan.
“…Prosesi suksesi dari calon ketum golkar didukung penguasa (SBY) versus calon independen Golkar yang mewakili oposisi (rakyat).” (Wawancara dengan Suhartono) Selanjutnya Kompas menuliskan, pemilihan Ketua Umum Partai Golkar ini terbentur oleh beberapa permasalahan internal. Pertama, terdapat tiga kelompok dominan yang ada di dalam Partai Golkar, yakni kelompok yang
menginginkan
berkoalisi
dengan
pemerintah,
kelompok
yang
menginginkan menjadi oposan, dan kelompok muda yang memiliki idealisme tinggi. Kedua, adanya motif yang berbeda ketika memilih ketua umum partai, yakni memilih kandidat yang mampu memberi imbalan, kandidat yang kemungkinan besar menang, atau kandidat yang akan membesarkan partai. Sikap Kompas tampak menonjol pada subjudul “Bangun Idealisme”. Dalam isi beritanya, Kompas menekankan pernyataan Sultan Hamengku Buwono (HB) X bahwa permasalahan yang tengah menimpa Partai Golkar sebenarnya karena telah hilangnya idealisme partai. Penyebabnya tidak lain karena pragmatisme politik para kader dan anggota Partai Golkar yang meresahkan. Maka, jika persoalan pragmatisme ini dapat dihapuskan, munas bisa menjadi titik tolak kejayaan Partai Golkar pada pemilu mendatang.
cxx
Anggota Dewan Penasehat Partai Golkar, Sultan Hamengku Buwono X menilai, Golkar harus bisa membangun idealisme sesuai keberadaan roh partai. Pragmatisme yang berkembang telah melemahkan idealisme partai. Konsolidasi internal membangun idealisme menjadi salah satu tantangan terbesar Partai Golkar yang harus bisa dipikul pengurus baru. …dst Sementara itu, berita (4) menggambarkan bahwa pelaksanaan munas kali ini adalah pengharapan baru agar Partai Golkar bisa bangkit dari titik kritisnya. Bagian judul berita, “Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar”, memberi kesan bahwa Partai Golkar saat sebelum munas tengah berada pada kondisi memrihatinkan. Untuk itu, momentum nasional partai seperti munas ini menjadi penentu eksistensi partai ini di dunia politik. Leksikon “kritis” yang digunakan Kompas mengandung arti bahwa posisi politik Partai Golkar usai pemilu presiden seperti berada diantara hidup dan mati. Analoginya, jika mampu melalui masa berat ini, Partai Golkar pasti kembali berjaya, namun jika tidak sanggup bertahan, partai tertua di Indonesia ini akan mati. Kekalahan Partai Golkar dalam pemilu presiden adalah akumulasi permasalahan internal partai. Maka dari itu, hasil dari munas diharapkan mampu membuat Partai Golkar melewati masa kritisnya. Rendahnya perolehan suara Golongan Karya pada pemilihan umum Juli 2009 dinilai karena lemahnya kepemimpinan partai. Oleh karena itu, Munas Partai Golkar pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru Riau menjadi penting untuk melahirkan pemimpin baru yang kuat dan solid. Jika tidak, partai ini akan semakin terpuruk dalam pemilihan umum ke depan. Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas cenderung merupakan pihak-pihak netral yang tidak memiliki kepentingan tertentu di munas. Mereka adalah JB Sumarlin (mantan Menteri Keuangan), Cosmas cxxi
Batubara (mantan Menteri Tenaga Kerja), dan Sulasikin Murpratomo (mantan Menteri Urusan Peranan Wanita). Kompas membuat alur berita yang bersifat evaluatif, dimana narasumber yang ditampilkan Kompas pada awalnya memberikan penilaian terhadap kekurangan Partai Golkar selama ini. Akan tetapi pada bagian akhir, terutama pada subjudul pertama “Masih diperhitungkan”, Kompas berusaha menunjukkan sisi bahwa Partai Golkar sebenarnya masih punya harapan besar untuk bangkit dari keterpurukan dan seharusnya tetap harus bertahan dengan kekuatan yang dimiliki saat ini, misalnya dari sisi kualitas kader dan pengalaman partai. Lihat potongan berita berikut. Munculnya persaingan para calon ketua Partai Golkar dari kalangan mapan dan cukup dikenal masyarakat dalam Munas mendatang, menurut Cosmas, mengindikasikan bahwa Partai Golkar masih diperhitungkan sebagai pilihan sosial politik bangsa. Hingga saat ini, menurut Sulasikin, Golkar adalah satu-satunya partai lama yang masih bertahan utuh. “Golkar jangan sampai mengikuti partaipartai lain yang mau dipecah. Meskipun didalam partai ada konflik kepentingan, partai harus tetap utuh,” ujarnya. Namun pada kenyataannya, Sutta Dharma dan Suhartono merasa sangat kecewa dengan tata cara dan peristiwa yang terjadi pada saat munas berlangsung. Suhartono sebenarnya mengharapkan munas berlangsung demokratis dan tidak ada intervensi dari penguasa agar harapan-harapan terhadap munas dapat tercapai. Namun yang terjadi justru sebaliknya. “Mengecewakan, karena intervensi penguasa melalui berbagai cara seperti tekanan kepada pimpinan partai golkar di daerah yang menjabat pimpinan, intervensi di panitia munas golkar, kehadiran konsultan politik Fox, yang pernah meng-arrange SBY-Boediono saat pilpres, tekanan pejabat militer, termasuk kehadiran sekretaris kabinet Sudi Silalahi di malam pemilihan ketum golkar. Kehadiran Sudi baru diketahui beberapa jam setelah pemilihan usai.” (Wawancara dengan Suhartono) cxxii
Pernyataan hampir serupa diungkapkan Sutta Dharma. Sutta berharap, Partai Golkar sebagai partai tua seharusnya bisa memanfaatkan Munas sebagai proses demokrasi yang bisa dicontoh partai lain. Namun pada pelaksanaannya, momentum tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Partai Golkar. “Golkar sebagai partai yang memiliki pengalaman panjang seharusnya memelopori menjadikan Munas partai sebagai puncak pelaksanaan berdemokrasi yang sesungguhnya. Munas seharusnya dimulai dari proses berdemokrasi dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, sampai ke pusat. Pembicaraan bukan dimulai dari orang tapi dimulai dari evaluasi, perumusan tantangan bangsa ke depan dan program untuk menjawab tantangan tersebut. Berdasarkan itu semua, figur pimpinan baru dipilih, bukan karena faktor perkoncoan, primordialisme, melanggengkan kekuasaan, atau uang.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
3.
Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum Bukan rahasia jika Partai Golkar identik dengan politik uang. Image
tersebut melekat pada Partai Golkar dan khususnya mantan Presiden Soeharto pada saat pemerintahan orde baru. Pada masa itu, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan suap menyuap adalah hal yang dianggap lumrah demi pencapaian dan pelanggengan kekuasaan. Sayangnya, politik uang atau politik transaksional masih menjadi isu sentral dalam setiap aktivitas politik Partai Golkar. Padahal Partai Golkar telah menyatakan perubahannya dalam “Paradigma Baru Partai Golkar” pada tahun 1999. Tindakan yang menyangkut uang dalam proses pencapaian kekuasaan seperti ini, disebut Firmanzah dalam buku Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, dapat dikategorikan sebagai perilaku pragmatisme politik.
cxxiii
Jika ditilik dari aspek bahasa, pragmatisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:133 1.
Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya) bergantung pada (diukur dari) penerapannya bagi kepentingan manusia 2. Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus 3. Pandangan yang memberi penjelasan yang berguna terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat, berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis 4. Gerakan di Amerika Serikat (Bidang Filsafat) yang menentang ajaran atau teori tertentu (yang mutlak serta idealism yang bersumber pada teori yang kabur) Dari pengertian tersebut, pragmatisme berarti keyakinan bahwa segala sesuatu yang dimaksudkan untuk kebaikan bersama bisa dicapai dengan perilaku, tindakan, dan sikap yang mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan). Dalam ranah politik, pragmatisme merupakan sesuatu tidak ideal, pasalnya pencapaian tujuan dilakukan dengan segala cara, karena terfokus pada hasil yang sesuai dengan keinginan seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, pragmatisme adalah jalan pintas, tidak melalui prosedur berdasar etika politik yang dihormati bersama, sehingga memiliki kecenderungan untuk merusak tatanan sistem politik yang ada. Dalam konteks Munas Partai Golkar, isu pragmatisme politik santer terdengar terutama dalam agenda pemilihan ketua umum partai. Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kali kesempatan menyebut bahwa calon ketua umum lain sering memberi “gizi” untuk daerah yang dikunjunginya. Secara
133
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989
cxxiv
denotatif, “gizi” berarti zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan.134 Sementara “Gizi” yang dimaksud Yuddy tidak lain adalah uang yang dibagi-bagikan agar daerah tersebut memberikan suara kepada sang calon ketua umum. Informasi yang beredar pada pelaksanaan munas, salah satu calon ketua umum mampu memberikan Rp 500 juta hingga 1 miliar untuk satu suara. Yuddy bahkan menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pemilik suara di munas yang sebagian besar adalah pejabat negara. Berdasar Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 Pasal 12 B, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan penyelenggara negara diwajibkan untuk melaporkan pemberian uang diatas Rp 10 juta kepada KPK135. Selanjutnya KPK yang memutuskan apakah uang pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau bukan. Namun seperti sudah diduga, politik transaksional ini tidak bisa dibuktikan dengan jelas kecuali hanya dari desas-desus pihak-pihak tertentu. Sebenarnya secara terbuka para calon ketua umum berani menyatakan mengeluarkan banyak dana dalam proses pencalonan. Namun mereka menampik anggapan bahwa dana kampanye tersebut digunakan untuk membeli suara. Aburizal dan Surya Paloh mengatakan bahwa mereka hanya memberi santunan kepada daerah-daerah yang mereka kunjungi. Bantuan tersebut merupakan uang pembinaan agar operasional DPD bisa berjalan baik, bukan untuk membeli suara DPD yang bersangkutan.
134
Ibid, hal: 279
135
Selengkapnya lihat berita Kompas, Selidiki Politik Uang di Munas: Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara, terbit 8 Oktober 2009 cxxv
Disisi lain, jauh-jauh hari sebelum munas, Aburizal juga berjanji memberikan dana abadi sebesar 1 triliun untuk kas Partai Golkar jika dirinya terpilih menjadi ketua umum. Dana abadi tersebut akan digunakan untuk membangun kantor DPP baru yang lebih representatif. Janji Aburizal ini mendapat respon yang beragam dari kader partai. Sebagian pejabat Partai Golkar menganggap saat ini Partai Golkar memang masih membutuhkan orang kaya untuk membesarkan partai. Pengurus Partai Golkar tidak sedikit, sehingga butuh penyokong kokoh untuk menghidupi organisasi. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi menyatakan, Partai Golkar membutuhkan banyak uang untuk menggerakkan mesin partai di 500 daerah. Sebagai perbandingan, menurut Muladi, untuk membayar rekening listrik kantor dan gaji pegawai DPP saja membutuhkan uang Rp 300 juta per bulan.136 Namun sebagian lain, Yuddy diantaranya, menyatakan bahwa janji Aburizal Bakrie tersebut justru memperkuat pragmatisme politik yang telah ada dalam internal partai. Bahkan ketika Aburizal akhirnya menang dalam pemilihan ketua umum, menurut Yuddy, hal itu menandakan idealisme dan moral Partai Golkar telah mati karena kalah dengan uang. Kompas beberapa kali membahas politik uang dan pragmatisme politik partai ini dalam pemberitaannya. Berikut adalah gambaran isu politik uang dan pragmatisme yang dibentuk oleh Kompas.
136
Lihat selengkapnya dalam Kompas, “Aburizal Bakrie Dinilai Tepat Jadi Ketua Umum”, edisi 5 Agustus 2009
cxxvi
3.1
Isu
politik
uang
dan
pragmatisme
dalam
pemilihan Ketua Umum dalam Pandangan Kompas Berita di Kompas yang bertema isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar diantaranya adalah sebagai berikut.
cxxvii
Tabel 3.5 Berita Bertema Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar No
Judul Berita
Tgl Terbit
1
Politik Uang Tercium Kuat di Munas (5)
7 Okt 2009
2
Selidiki Politik Uang di Munas
8 Okt 2009
*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara (6) Kedua berita yang dianalisis pada sub tema ini merupakan jenis berita straight news. Berita (5) yang berjudul “Politik Uang Tercium Kuat di Munas” ditulis oleh dua wartawan, Sutta Dharmasaputra dan Suhartono. Judul pada berita (5) menggunakan unsur what (apa) dan where (tempat). Unsur skrip what yang tertulis menunjukkan bahwa ada indikasi terjadinya politik uang pada pelaksanaan munas (where). Indikasi politik uang tersebut berasal dari isu-isu yang beredar pada saat pelaksanaan munas. Penjelasannya secara lebih lengkap dapat dilihat pada paragraf lead berita berikut. Menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, Rabu (7/10) malam ini, praktik-praktik politik uang semakin kuat tercium. Informasi yang beredar, “harga” satu suara mencapai ratusan juta rupiah. Leksikon “harga” yang digunakan Kompas mengesankan bahwa suara pada hakikatnya tidak bisa dibeli. Harga semestinya ditujukan untuk barang yang diperjual-belikan atau memiliki nilai jual. Penggunaan tanda kutip yang diberikan Kompas menunjukkan keprihatinan Kompas pada transaksi jual beli suara dan nominal harga yang sangat tinggi. Seperti yang disampaikan Dan
cxxviii
Nimmo bahwa penulisan tanda kutip pada kata-kata tertentu menunjukkan keberpihakan media meskipun tersembunyi dalam koridor etika obyektivitas. Untuk unsur sintaksis narasumber pada berita ini, Kompas cukup beragam dan lengkap sesuai prinsip cover both sides yang dikedepankan Kompas, antara lain Yuddy Chrisnandi, Marwah Daud Ibrahim (disebut sebagai tim sukses Tommy Soeharto), Ketua Sidang Paripurna Fadel Muhammad, Zainal Bintang (disebut sebagai pendukung Surya Paloh), dan Akbar Tandjung (disebut sebagai tim sukses Aburizal Bakrie). Dalam hal ini Kompas, sesuai dengan kebijakan redaksinya, berusaha menggunakan narasumber perwakilan dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Sikap Kompas justru terlihat dari pilihan alur dan pernyataan dari masing-masing narasumber. Pada bagian awal berita, indikasi politik uang disampaikan oleh dua calon ketua umum, yakni Yuddy Chrisnandi dan tim sukses Tommy Soeharto, Marwah Daud Ibrahim. Kedua pihak ini memberikan sinyal bahwa politik uang memang terjadi dalam proses pelaksanaan munas, utamanya dalam proses pemilihan ketua umum, dan mengklaim bahwa pihak mereka bukanlah yang melakukan hal tersebut. Yuddy Chrisnandi, salah seorang calon ketua umum, dalam konferensi pers, Selasa, juga mengaku mendapatkan informasi yang valid soal adanya praktik politik uang itu. “Kami juga mendengar dari sumbersumber yang layak dipercaya dan pendukung kami di DPD (Dewan Pimpinan Daerah), saat ini semakin kencang untuk memberi tawaran yang lebih besar,” kata Yuddy. Marwah Daud Ibrahim dari tim sukses Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto juga mencium adanya praktik politik uang itu. Pihaknya pun mendapat desakan dari daerah untuk melakukan transaksi yang juga cukup besar. Namun, lanjutnya, Tommy tetap pada pendirian tidak akan terbawa arus melakukan transaksional suara. cxxix
Kompas juga menampilkan metafora yang merupakan sindiran Yuddy Chrisnandi terhadap pihak yang dirasanya melakukan politik transaksional ini. “Saya ini elang, bukan bebek. Meskipun sendiri, tetap melayanglayang,” katanya. Artinya, meskipun Yuddy tidak mendapatkan dukungan karena dirinya tidak memberikan materi kepada peserta munas, namun Yuddy tetap merasa percaya diri untuk berjuang seorang diri. Setelah pernyataan tentang politik uang dari kedua calon ketua umum, Kompas tidak memuat pernyataan atau pendapat dari pihak dua kandidat yang lain, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Pernyataan dari kubu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh ditempatkan Kompas pada sub judul kedua yakni “Optimisme Satu Putaran” di bagian akhir berita. Namun pernyataan keduanya tidak terkait dengan politik uang, mereka justru dipaparkan Kompas tengah memberikan tanggapan mengenai pemandangan umum dukungan DPD I dan organisasi massa (ormas) kepada mereka, serta mengklaim bahwa calon yang mereka unggulkan bisa meraih kemenangan dalam satu putaran. Alur yang dibuat Kompas tersebut menegaskan bahwa Kompas memiliki pola pikir yang hampir serupa dengan Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, yakni politik uang memang ada dan diindikasikan dilakukan oleh pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kompas tampak memberikan sebuah penggambaran, sementara ada dua kandidat yang mencemaskan politik uang, dua kandidat lain yang disinyalir melakukan hal tersebut justru sibuk saling mengklaim dukungan. Keyakinan adanya politik uang juga disampaikan oleh Wartawan Kompas Suhartono berikut. cxxx
“Sudah pasti, karena sejarah dan semangat kader golkar yang biasa terjebak dalam politik uang dan pragmatisme kepentingan.” (Wawancara dengan Suhartono) Tidak berbeda jauh dengan berita (5), pada berita (6) juga mencantumkan kata “politik uang” pada bagian judul. Bedanya, judul berita (6) yang ditulis Sutta Dharmasaputra, Syahnan Rangkuti, dan Suhartono ini dibuat seperti kalimat perintah untuk menyelidiki politik uang di munas. Kesan yang hendak dimunculkan Kompas, sudah ada bukti bahwa pada munas memang terjadi politik uang (bukan sekedar isu saja, seperti pada berita (5) diatas). Wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra juga menegaskan bahwa politik uang dalam Partai Golkar bukan hanya isu saja tetapi memang realita. “Politik uang bukan lagi menjadi isu tapi sudah menjadi realita. Banyak kandidat menggelontorkan uang untuk mendapat dukungan. Mereka tidak berani melawan arus atau memberikan pendidikan politik pada kadernya. Panitia Munas juga tidak membuat peraturan yang ketat untuk mencegah terjadinya politik uang tapi justru menganggapnya sebagai hal yang lumrah dalam berpolitik dewasa ini. Tak pelak, Munas menjadi ajang bagi bagi uang ketimbang debat visi misi atau program brilian dan jauh ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra) Kalimat perintah dalam penulisan berita di Kompas ini juga ditunjukkan pada pilihan kata “harus” yang terdapat pada kalimat lead. Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki politik uang yang terjadi di Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya di Pekanbaru, Riau, mengingat banyak peserta Munas merupakan pejabat Negara yang tidak boleh menerima gratifikasi. Usulan Kompas agar KPK melakukan penyelidikan berawal dari pernyataan Yuddy Chrisnandi. Dalam tulisan Kompas, Yuddy dinyatakan sebagai pihak yang dirugikan dalam praktek politik uang di munas. Penempatan Yuddy sebagai korban memberi kesan bahwa Yuddy adalah “pahlawan”
yang
membuka
tabir cxxxi
kecurangan
di
munas,
sehingga
menimbulkan anggapan bahwa ada pihak lain yang dijadikan sebagai “penjahat” atau pelaku politik uang. Hal ini merupakan salah satu bentuk konstruksi media atau berita jika dilihat dari paradigma konstruktivisme bahwa berita bukan refleksi dari realitas, yakni muncul pihak yang dipandang sebagai ”pahlawan” atau pihak yang benar dan ada pula pihak yang berperan sebagai ”musuh” atau pihak yang jahat.137 Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas antara lain Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, Aburizal Bakrie, Sugeng Prawoto (disebut sebagai tim sukses Surya Paloh), dan anggota DPR dari fraksi Partai Golkar. Alur penceritaan dan penempatan narasumber pada berita (6) hampir sama dengan berita (5). Pada bagian awal, Yuddy dan Tommy memberikan pernyataannya mengenai politik uang yang terjadi pada saat munas. Yuddy, diceritakan menuntut penyelidikan oleh KPK terhadap pejabat pemerintah yang menjadi peserta munas. Sementara Tommy, menyatakan tidak mau terjebak dalam pragmatisme politik yang tidak sesuai dengan prinsip dirinya. Berbeda dengan berita (5), pada berita (6) Kompas menampilkan pendapat dari dua pihak yang sebelumnya dikesankan sebagai pelaku politik uang, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Namun pernyataan Aburizal dan Surya Paloh yang tertulis di Kompas lebih ditekankan seperti jawaban atau pembelaan diri atas isu politik uang yang dituduhkan kepada mereka. Aburizal Bakrie yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, ketika ditanya soal politik uang hanya menyatakan bahwa setiap pengurus daerah membutuhkan dana untuk pembinaan. Aburizal yakin, 137
Selengkapnya Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 24-25
cxxxii
uang tidak bisa mempengaruhi suara karena pemberian suara dilakukan secara tertutup dan rahasia. Sugeng Parwoto sebagai tim sukses Surya Paloh membantah keras adanya politik uang atau jual beli suara di munas. “Kita tidak punya kemampuan memberi uang sampai Rp 500 juta,” ujarnya. Kedua pernyataan tersebut kemudian disanggah kembali oleh seorang fungsionaris partai Golkar yang enggan disebutkan namanya. Kerahasiaan narasumber ini, menurut wartawan Kompas Suhartono, karena Kompas selalu menjaga narasumber yang tidak bersedia disebutkan identitas dirinya. Dalam kebijakan keredaksian, Kompas menyebutnya sebagai kebijakan untuk menghargai hal-hal yang bersifat off the record. Dirinya menuturkan sangat prihatin dengan Partai Golkar yang masih menggunakan uang dalam proses politik. Dari alur tersebut, Kompas mengambil sikap untuk mendesak pihakpihak tertentu bahwa sikap royal memberikan uang kepada daerah-daerah adalah bentuk politik yang menghancurkan partai itu sendiri.
4.
Indikasi
Rekayasa
dan
Kericuhan
pada
Pelaksanaan Munas Selain tidak bisa lepas dari pengaruh uang, Partai Golkar juga dikenal sebagai partai yang keputusan politiknya penuh dengan rekayasa. Model rekayasa politik yang dikembangkan orde baru bermula dari adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan
cxxxiii
orde lama, serta kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses.138 Langkah-langkah politis orde baru selanjutnya yang kental dengan nuansa rekayasa, menurut Redi Panuju, pertama, menarik banyak pemilih dengan peraturan monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seluruh PNS tidak memiliki pilihan lain selain masuk dan menyalurkan aspirasi politiknya di Golkar. Kedua, kebijakan massa mengambang (floating mass) yang membuat parpol tidak memiliki kesempatan merambah tingkat pedesaan sehingga pendukungnya sangat terbatas. Golkar merupakan pengecualian, karena Golkar bisa memanfaatkan jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) yang dapat mempermudah akses kemanapun.139 Warisan “rekayasa” ala Soeharto ini ternyata tetap dilestarikan Partai Golkar. Meskipun telah mendeklarasikan perubahan pasca Reformasi 1998, masyarakat masih belum bisa menghapus anggapan miring tersebut. Pasalnya, sebagian tokoh-tokoh Partai Golkar yang masih bertahan hingga saat ini merupakan loyalis Golkar pada era Soeharto. Dalam proses pelaksanaan Munas Partai Golkar, indikasi rekayasa keputusan politik kembali tercium media. Sekali lagi, rekayasa diduga untuk memuluskan jalan calon ketua umum agar lebih mudah memenangkan kompetisi. Indikasi rekayasa sudah terendus sejak penentuan tata tertib sidang, pemilihan pimpinan sidang, aturan dan tata cara pemilihan ketua umum, hingga rekayasa kericuhan. Kericuhan dalam pelaksanaan munas ini dianggap 138
Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 23 139 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 39-40
cxxxiv
kubu Surya Paloh sebagai sebuah kesengajaan untuk mempermalukan Partai Golkar dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden pada waktu itu. Keributan yang terjadi pada peserta munas disebabkan karena beberapa hal. Pertama, permasalahan surat mandat ganda dari DPD II Kepualuan Seribu, Langkat, dan Halmahera Tengah. Dalam pasal 6 soal penentuan peserta munas disebutkan bahwa peserta harus membawa surat mandat dari DPD masing-masing yang diputuskan dalam Musyawarah Daerah (Musda).140 Surat mandat yang sah juga digunakan sebagai legitimasi hak suara milik DPD yang bersangkutan untuk keperluan voting. Kedua, kesalahan prosedur yang terjadi ketika peserta munas mulai melakukan pemungutan suara pemilihan ketua umum. Hal ini menyebabkan banyak peserta munas tersulut emosi dan pemungutan suara diulang kembali. Kedua permasalahan ini membuat peserta munas melakukan protes dan interupsi. Para peserta saling berteriak, berebut mic, berdiri, bahkan hampir terjadi baku hantam. Indikasi rekayasa yang terjadi pada pelaksanaan Munas Partai Golkar ternyata juga menjadi perhatian Kompas dan menempati beberapa space pemberitaannya. Untuk lebih jelasnya, indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan munas dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri dapat dilihat sebagai berikut.
4.1
Indikasi
Rekayasa
dan
Kericuhan
pada
Pelaksanaan Munas dalam Pandangan Kompas
140
Kompas, “Perebutan Pimpinan Munas: Munas Golkar akan Berlangsung Sengit”, edisi 6 Oktober 2009
cxxxv
Berita di Kompas yang bertema indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan munas yang dianalisis, yaitu:
cxxxvi
Tabel 3.6 Berita Bertema Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas No 1
Judul Berita Perebutan Pimpinan Munas
Tgl Terbit 6 Okt 2009
*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit (7) 2
“Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan (8)
7 Okt 2009
Berita (7) yang berjudul “Perebutan Pimpinan Munas: Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit” ditulis oleh tiga wartawan, yakni Sutta Dharmasaputra, Suhartono, dan Syahnan Rangkuti. Berita ini adalah jenis berita straight news, sementara berita (8) berjudul “Dinamika Politik yang Bisa Mempermalukan” yang ditulis oleh Suhartono adalah feature news. Pada berita (7), judul berita menggunakan unsur what (apa), yakni terjadinya perebutan pimpinan munas dan how (bagaimana) yakni perebutan pimpinan tersebut diperkirakan berlangsung dengan sengit. Prediksi Kompas bahwa pelaksanaan rapat dalam munas berlangsung dengan sengit juga terpapar dalam lead berita. Rapat Paripurna I Musyawarah Nasional VIII Partai Golongan Karya yang dimulai Senin (5/20) akan berlangsung seru dan sengit. Agenda yang krusial adalah pemilihan pimpinan sidang dan pengesahan tata tertib. Kata “sengit” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tajam, keras, sangat menyakiti hati, pedas, hebat, dahsyat, dan bengis.141 Sehingga leksikon “sengit” yang digunakan Kompas menunjukkan ada pihak-pihak yang bertikai dan saling menyerang dalam pelaksanaan munas. Kata sengit mengesankan bahwa pihak-pihak yang bersaing tersebut sama-sama kuat 141
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 815
cxxxvii
sehingga sulit menentukan siapa yang akan memenangkan persaingan. Dalam penjelasan lebih lanjut, Kompas berusaha memaparkan bahwa ada banyak hal dalam pelaksanaan munas yang dapat memicu terjadinya rekayasa politik. Rekayasa ini dengan mudah bisa menyulut kericuhan, sehingga pelaksanaan munas diprediksi berlangsung ramai. Kata yang dapat menunjukkan hal ini, salah satunya adalah metafora “bermuka dua”. Peserta juga sudah terbelah, khususnya antara kubu Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Tiap-tiap kandidat juga mengklaim dapat dukungan yang besar sehingga diperkirakan banyak pengurus daerah yang “bermuka dua” atau banyak yang bukan pemegang mandat atau juga ada daerah yang terpecah dan masing-masing membuat mandat sendiri. Metafora “bermuka dua” yang berarti tidak jujur atau tidak satu pendiriannya ini ditujukan kepada pengurus daerah (DPD). Kompas memberikan penegasan bahwa kepengurusan daerah sebenarnya memiliki kepentingan ketika menjadi pendukung salah satu calon, misalnya untuk uang atau kekuasaan. Jika DPD bisa memanfaatkan keadaan dengan mendukung lebih dari satu calon, kemungkinan untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka menjadi lebih besar. Seperti pengakuan dari Wartawan Kompas Suhartono yang meliput secara langsung di Pekanbaru Riau berikut. “Pengakuan sejumlah ketua DPD Golkar yang juga merangkap bupati atau walikota. Kebetulan mereka bukan sosok yang bersih dalam memerintah sehingga gampang "ditekan" oleh aparat kejaksaan yang notabene dibawah pemerintah sehingga mereka bisa diatur untuk memilih calon yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam hal ini, untuk mendukung Aburizal Bakrie. Juga kehadian Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi waktu itu di salah satu ruang di acara pemilihan ketum golkar.” (Wawancara dengan Suhartono) Prediksi adanya rekayasa dari internal peserta rapat juga dituliskan Kompas dalam proses pemilihan pimpinan sidang dan penentuan aturan cxxxviii
pemilihan ketua umum partai berikut. Selain itu, pemilihan orang dari DPP, DPD I, dan ormas pun akan ramai karena setiap kandidat akan berusaha memasukkan orangnya sebagai pimpinan Sidang. Informasi yang berkembang, sudah ada upaya agar pemilik suara hanya bisa mengusulkan satu nama sehingga dari empat bakal calon yang ada bisa langsung dikerucutkan, bahkan bisa langsung ditetapkan menjadi ketua umum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra yang melihat secara langsung pelaksanaan munas. “Dalam politik, rekayasa adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindari untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, saya tidak dalam posisi yang anti terhadap sebuah proses rekayasa. Yang terpenting adalah tujuan dari rekayasa tersebut. Masing-masing tim sukses calon, pasti selalu menempatkan orang-orangnya untuk memuluskan pencapaian tujuan, mulai dari posisi panitia Munas, penentuan peserta Munas, Pimpinan Munas.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra) Kompas tidak menggunakan unsur sintaksis narasumber berkompeten untuk menjelaskan prediksi pelaksanaan munas, misalnya dari panitia pelaksana atau panitia pengarah munas. Narasumber yang digunakan Kompas justru fungsionaris Partai Golkar yang tidak mau disebutkan namanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa banyak hal yang disembunyikan pada pelaksanaan munas, sehingga peserta munas yang memberikan keterangan kepada media enggan untuk dipublikasikan identitasnya. Namun dilain pihak, Suhartono mengakui memang banyak menemui kendala dalam mewawancarai narasumber yang berkompeten. Pasalnya, banyak rapat yang tertutup bagi wartawan dan basecamp kubu ketua umum yang jauh dan sulit ditempuh. Sementara, berita (8) menggunakan judul khas feature, yakni dituliskan dengan huruf miring. Dari judul tersebut, dapat menggambarkan cxxxix
bahwa Kompas mengambil kesimpulan “dinamika politik” (leksikon dari Kompas untuk menyebutkan kericuhan yang terjadi pada saat munas) merupakan sesuatu yang justru bisa mempermalukan Partai Golkar sendiri. Kesan yang muncul, Kompas tidak sepakat bahwa kericuhan yang terjadi dianggap sebagai sebuah dinamika politik yang wajar. Hal ini dibuktikan dengan pemberian tanda kutip pada kata “dinamika politik”. Leksikon “dinamika politik” tersebut juga dikonfrontir dalam tubuh berita tepatnya dalam pemilihan narasumber berita. Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas, pertama, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso (merupakan pendukung Aburizal Bakrie) menganggap bahwa kericuhan yang terjadi adalah sesuatu yang wajar-wajar saja terjadi dalam pelaksanaan sebuah musyawarah nasional. “Dinamika politik itu biasa dan kita bisa menyelesaikannya. Tetapi jangan sampai mempermalukan Golkar dan terutama Pak Kalla sebagai Wapres,” ujarnya lagi Pernyataan tersebut langsung dikonfrontir Kompas dengan jawaban Ketua Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang juga merupakan tim sukses Surya Paloh, Zainal Bintang. Pernyataan Zainal Bintang dituliskan Kompas dengan memberikan gambaran singkat tentang penyebab kericuhan. Zainal heran, sumber masalah yang menyebabkan kericuhan dalam sidang, selain mic dan perangkat tata suara (sound system) yang ngadat sehingga terjadi rebutan antar peserta, juga karena akumulasi persaingan antar pendukung calon ketua umum yang sudah terpolarisasi.”Jadi mereka pun gampang tersulut dengan keributan kecil,” katanya lagi. Zainal menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan proses dinamika politik yang dianggap wajar oleh Priyo Budi Santoso, karena diindikasikan cxl
sengaja dilakukan pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan tertentu pula. Menurut Sutta Dharma, pada dasarnya Partai Golkar adalah partai yang tidak menghindari konflik namun tidak menyimpan konflik tersebut dalam jangka panjang. Kericuhan yang terjadi dalam pelaksanaan munas adalah wujud kekecewaan dan kemarahan pendukung yang tidak siap menerima kekalahan. Pasalnya, kemenangan didapatkan dengan cara yang tidak elegan dan tidak demokratis. Oleh karena itu, menurut Suhartono, seluruh perilaku elite di dalam gedung memang patut diwaspadai, misalnya dari hal yang paling kecil seperti ajakan pergi ke toilet. “…pada saat itu, para pemilih bisa ditekan atau dipengaruhi dengan bujuk rayu atau lainnya dengan berbagai cara seperti diajak ke toilet dan disitulah dilakukan transaksi atau pembayaran tunai upah memilih calon.” (Wawancara dengan Suhartono) Leksikon yang digunakan Kompas selanjutnya adalah gonjang-ganjing yang terdapat pada lead berita. Gonjang ganjing mengandung makna bahwa pelaksanaan munas ini penuh dengan permasalahan internal, sehingga terjadi pergolakan dan kebingungan dari internal partai sendiri. Sedangkan untuk latar berita, hampir setengah tubuh berita banyak digunakan Kompas untuk mendeskripsikan kericuhan yang terjadi di ruang rapat. Dari pemaparan tersebut, pada awal berita, Kompas tampak menjelaskan kejadian dan pergolakan yang terjadi saat rapat berlangsung. Dua narasumber yang berbeda pendapat dimunculkan, sehingga mengesankan Kompas mengambil posisi aman dalam prinsip cover both sides. Namun disatu sisi Kompas tampak lebih memberikan perhatian bagi pernyataan Zainal Bintang yang menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan sesuatu cxli
yang wajar, namun sebagai implikasi dari kepentingan beberapa pihak yang bisa mempermalukan partai ini.
5.
Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas Sejak Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDIP) kalah dalam
Pemilu 2004 dan Megawati menyatakan diri sebagai partai oposisi, peran oposisi sering dibicarakan dalam arena politik beberapa tahun kebelakang. Oposisi menurut Prof. Dr. A. Hoogerwerf disebabkan ketidakpuasan terhadap kekuasaan yang terpolarisasi pada kelompok-kelompok yang mampu menampung tuntutan-tuntutan (artikulasi kepentingan) mereka.142 Oposisi PDIP pada saat itu, menurut fungsionaris PDIP Tjahjo Kumolo adalah oposisi yang efektif, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat.143 Oposisi ini kemudian sering disebut sebagai oposisi konstruktif. Karena Partai Golkar juga mengalami kekalahan yang sama seperti PDIP, partai ini juga memiliki dua pilihan politis: bergabung dalam koalisi besar atau menjadi oposisi pemerintah. Wacana yang berkembang awalnya melalui pernyataan Jusuf Kalla (JK), Partai Golkar berniat menjadi oposisi. JK menganggap kekalahannya sebagai capres pada pemilu 2009 adalah penanda bahwa Partai Golkar tidak bisa lagi mendampingi pemerintahan SBY. Peran oposisi sebenarnya masih menjadi perdebatan pelaku politik di Indonesia. Pengamat politik Indra J Piliang menyatakan, perangkat ketatanegaraan Indonesia yang menggunakan sistem kabinet presidensial 142
143
Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 31 Ibid, hal: 121
cxlii
didesain bukan untuk membentuk pemerintahan koalisi atau oposisi. Hanya sistem kabinet parlementer yang dapat memunculkan kekuatan oposisi.144 Pelaksanaan munas pada tanggal 5-8 Oktober 2009 kemudian menjadi sangat politis mengingat Presiden SBY baru melantik Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 pada 20 Oktober 2009. Pihak-pihak yang menginginkan koalisi dengan pemerintah, diindikasikan berusaha mempercepat pelaksanaan munas. Tujuannya agar setelah munas, kader Partai Golkar dapat dipilih SBY sebagai menteri. Seperti diketahui, SBY masih menginginkan Partai Golkar bergabung dalam koalisi besar Partai Demokrat hingga 2014. Menurut Redi Panuju145, hal ini dikarenakan SBY dengan Partai Demokrat membutuhkan sekutu karena masih terlalu lemah untuk dapat membendung kekuatan politik eksternalnya. Pada saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, 12-13 Agustus 2009, Aburizal yang mendukung koalisi, berusaha memajukan tanggal pelaksanaan munas pada akhir bulan September 2009. Usul Aburizal ini ditolak, meskipun munas tetap dijadwalkan sebelum pelantikan kabinet. Bahkan pada hari-hari menjelang munas berlangsung, calon ketua umum pendukung oposisi, Yuddy Chrisnandi, masih sempat mengusulkan untuk memundurkan munas kembali pada bulan Desember. Alasannya, untuk menghormati dan ikut prihatin terhadap korban gempa Padang pada 30 September 2009 yang masih berduka.
144 145
Ibid, hal: 121-122 Ibid, hal: 47
cxliii
Pilihan koalisi atau oposisi Partai Golkar juga menjadi pembicaraan politik nasional secara luas. Terlebih, dua calon kuat ketua umum partai ini secara tegas menyatakan arah politik yang berbeda. Aburizal mendukung koalisi, sementara Surya Paloh menginginkan Partai Golkar memosisikan diri menjadi oposisi. Jika Partai Golkar memilih koalisi, dianggap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, akan membuat parlemen menjadi tumpul. Penyebabnya, fraksi-fraksi di DPR sebagian besar merupakan koalisi besar pendukung SBY dan kader Partai Golkar Priyo Budi Santoso baru saja terpilih sebagai Wakil Ketua DPR. Namun jika Partai Golkar mendeklarasikan diri menjadi partai oposisi pemerintah, tentu ini merupakan hal baru bagi partai yang identik dengan warna kuning ini. Pasalnya, Partai Golkar selalu berada dalam lingkaran kekuasaan dan sangat asing dengan oposisi. Terpilihnya Aburizal Bakrie menjadi titik tolak penentuan koalisi Partai Golkar bersama Partai Demokrat dalam pemerintahan. Empat kader Partai Golkar akhirnya mendapat kehormatan untuk masuk dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, diantaranya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, Menteri Perindustrian M.S Hidayat, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar.
5.1
Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas dalam Pandangan Kompas Berita di Kompas yang bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca
Munas yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut. cxliv
cxlv
Tabel 3.7 Berita Bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas No
Judul Berita
Tgl Terbit
1
Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru (9)
9 Okt 2009
2
Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi Oposisi (10)
12 Okt 2009
Berita (9) yang berjudul “Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru” dan berita (10) yang berjudul “Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi Oposisi” sama-sama merupakan jenis berita straight news. Kedua berita ini diterbitkan setelah prosesi Munas Partai Golkar VIII usai. Oleh karena itu, isi pemberitaannya menyoroti hasil dan keputusan politik terutama menyangkut posisi politis Partai Golkar dalam pemerintahan 2009-2014 yang dirumuskan pada saat munas. Untuk berita (9), pembahasan berita secara umum ingin berfokus pada pelaksanaan Munas Partai Golkar yang masih dipenuhi dengan rekayasa politik seperti pada masa orde baru, termasuk diantaranya adalah kemenangan Aburizal Bakrie menjadi ketua umum partai ini. Kompas menggunakan unsur sintaksis tiga narasumber yang cukup netral, yakni pengamat politik dari tiga instansi berbeda, diantaranya Arbit Sani (pengamat politik dari Universitas Indonesia), Daniel Sparingga (pengamat politik dari Universitas Airlangga), dan Lili Romli (pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ketiganya memberikan penilaian yang hampir serupa terhadap pelaksanaan munas, bahwa banyak catatan yang harus diperbaiki partai ini untuk kehidupan politik selanjutnya.
cxlvi
Seperti
yang
diungkapkan
oleh
wartawan
Kompas
Sutta
Dharmasaputra berikut. “Sayangnya, (Munas) belum menunjukkan kemajuan besar yang banyak diharapkan banyak orang. Persaingan antar kandidat sangat ketat tapi lebih banyak diwarnai politik uang ketimbang pertarungan pemikiran politik. Pembicaraan Munas juga lebih banyak diwarnai soal pemilihan ketua umum ketimbang program partai lima tahun ke depan, atau permasalahan riel yang dihadapi bangsa ini.” (Wawancara dengan Sutta Dharmsaputra) Menurut Sutta, Munas lebih banyak berkutat pada persoalan pemilihan ketua umum sehingga persoalan partai dalam pemerintahan atau permasalahan bangsa kurang mendapat porsi pembahasan yang besar. Padahal, pembahasan persoalan partai, seperti koalisi atau oposisi sangat berpengaruh terhadap program-program politik dalam usaha pemenangan pemilu 2014. Dalam pemaparan Kompas, Arbit Sani menilai bahwa kemenangan Aburizal adalah kemenangan Presiden SBY, karena Aburizal dari awal sudah menyatakan akan bergabung dengan pemerintahan SBY jika dirinya terpilih menjadi ketua umum. Koalisi Partai Golkar dengan pemerintah ini, ditambahkan Lili Romli, akan memunculkan banyak konsekuensi. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lili Romli, menilai kemenangan Aburizal Bakrie akan membuat Dewan Perwakilan Rakyat tumpul karena Partai Golkar dipastikan akan berkoalisi dengan Partai Demokrat. “Sudah jelas pernyataan Ical sebelumnya bahwa dia akan membawa Partai Golkar bergabung dengan partai pemenang pemilu,” katanya. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Wartawan Kompas Suhartono. Aburizal Bakrie sejak awal memang sudah berancang-ancang menjadi partai koalisi Demokrat. Dibuktikan dengan datangnya Aburizal Bakrie ke kediaman Presiden SBY setelah munas berakhir. cxlvii
“Sesaat setelah Ical terpilih, Ical langsung menemui SBY di Cikeas untuk menyatakan koalisinya dengan pemeirntah. Tentu, itu akan dilakukan oleh Ical yang sudah mendapat "restu" dari pemerintah untuk memegang Golkar. Golkar saat itu memang menantikan kadernya untuk menjadi orang pemerintah. karena, golkar terbiasa dan tidak bisa "hidup" jika tidak berkoalisi dengan pemerintah.” (Wawancara dengan Suhartono) Leksikon tumpul digunakan Kompas diatas, menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga perwakilan dari rakyat sudah tidak bisa lagi memperjuangkan kepentingan rakyat dalam mengkritisi pemerintah. Kritik-kritik DPR terhadap pemerintah diprediksi tidak akan setajam jika ada partai besar yang berkomitmen untuk menjadi oposisi. Dalam hal ini, Kompas memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap pernyataan Lili Romli. Hal ini dibuktikan pada penulisan berita pada bagian akhir. Kemenangan Ical juga telah mengubah peta politik dan pemerintahan Indonesia. Kekuatan atau peran eksekutif akan lebih dominan dibandingkan dengan legislatif, seperti yang terjadi pada masa orde baru. Dengan demikian, lanjut Lili, dikhawatirkan akan muncul demokrasi jalanan seperti yang terjadi menjelang reformasi tahun 1998. Sementara berita (10), yang merupakan kelanjutan berita (9), pada bagian judul Kompas langsung menunjuk pada posisi politik oposisi yang diharapkan diambil Partai Golkar. Kompas tidak menggunakan unsur skrip who (siapa) pada judul maupun lead berita untuk menunjuk siapa yang mengharapkan Partai Golkar menjadi oposisi. Sehingga anjuran atau harapan tersebut seolah menjadi harapan Kompas dan harapan kebanyakan orang. Unsur skrip who (siapa) yang mengusulkan posisi oposisi Partai Golkar ditempatkan Kompas pada tubuh berita, yakni Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring. Selain Tifatul Sembiring, Kompas memakai narasumber lain, yakni Sultan Hamengku Buwono X cxlviii
(disebut sebagai mantan anggota Dewan Penasehat Partai Golkar), dan Hestu Cipto Handoyo (disebut sebagai ahli hukum tata Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Anjuran itu disampaikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring di Jakarta, Jumat (9/10) petang. Ia berpendapat, posisi tawar Golkar tetap lemah apabila memilih bergabung dengan koalisi besar pimpinan Partai Demokrat. “Karena itulah, secara pribadi saya menganjurkan Golkar tetap memegang komitmen menjadi oposisi,” katanya. Pemilihan narasumber yang tidak menolak anjuran Tifatul Sembiring mengesankan Kompas ingin menunjukkan bahwa pernyataan Tifatul tentang posisi oposisi pemerintah adalah sesuatu yang benar dan cenderung ideal yang seharunya diambil oleh Partai Golkar. Ketidakidealan posisi Partai Golkar juga dikuatkan dengan pernyataan Hestu Cipto Handoyo yang menggunakan leksikon “lingkaran kekuasaan”. Hestu Cipto Handoyo menilai kepemimpinan Aburizal Bakrie lima tahun kedepan akan mirip dengan gaya kepemimpinan Kalla. Golkar akan memilih masuk dalam lingkaran kekuasaan. Leksikon kekuasaan pada gabungan kata “lingkaran kekuasaan” menunjukkan bahwa kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam lingkup pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan dikesankan menjadi sesuatu yang negatif karena di tempatkan pada sebuah lingkup (lingkaran), sehingga seakan terpisah atau dibedakan dengan pihak yang dikuasai (rakyat).
cxlix
B.
Melihat Bingkai Pembaca Kompas terhadap Pelaksanaan Munas Partai Golkar Ada empat tahapan yang peneliti lakukan dalam menganalisa analisis
framing ini. Tahap pertama, pengumpulan data pada level teks media berupa berita pilihan seputar Munas Partai Golkar VIII pada Harian Kompas. Tahap kedua, pengumpulan data pada sisi produksi berita yakni bagian keredaksian Harian Kompas. Tahap ketiga, pengumpulan data pada level audience atau pembaca Harian Kompas yang pernah membaca pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar. Tahap terakhir yakni pembandingan hasil analisis teks dan pihak redaksi media massa dengan analisis hasil wawancara dengan pembaca Kompas. Analisis teks berita dan kebijakan redaksional Kompas telah diuraikan dalam bahasan sebelumnya, sedangkan pada sub bab kedua ini peneliti mencoba melihat bingkai dan pandangan pembaca Kompas dalam mengkonstruksi realitas Munas Partai Golkar VIII. Metode yang dipakai adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan pembaca Kompas yang pernah membaca pemberitaan Munas Partai Golkar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang peristiwa tersebut. Teknik ini digunakan sebagai alat bantu untuk mengetahui bagaimana pandangan pembaca tentang Munas Partai Golkar pada umumnya dan Partai Golkar pada khususnya setelah membaca pemberitaan di Harian Kompas. Wawancara dilakukan peneliti berawal dari asumsi dasar framing yang salah satunya berada pada level individu. Pengguna media massa, dalam hal ini pembaca Kompas, bukan merupakan individu yang pasif dalam menerima terpaan media. Menurut Robert Entman, terdapat sekumpulan ide yang tersimpan dalam cl
diri individu yang membimbing individu pengguna media massa tersebut untuk memproses informasi. Pan dan Kosicki juga menegaskan bahwa frame of reference atau kerangka acuan individu pengguna media massa tersebut memiliki dampak signifikan pada persepsi, pengorganisasian, dan interpretasi terhadap informasi yang masuk.146 Pembaca Kompas yang diwawancarai adalah responden dari kategori khalayak intelek yang dipilih berdasarkan pada beberapa kriteria yang ditentukan peneliti. Diantaranya adalah pernah membaca pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar VIII di Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 sekurangkurangnya dua berita, serta memiliki pemahaman yang cukup baik tentang Munas Partai Golkar dan perkembangan politik bangsa secara umum. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan responden tersebut memiliki kompetensi dan relevansi dengan permasalahan yang diangkat. Berikut adalah profil singkat masing-masing responden penelitian ini. a)
Responden I
: Eko Setiawan
Eko Setiawan berasal dari Bangka Belitung dan sedang menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Bersama dengan Ansyor (responden II), Eko berlangganan Harian Kompas dan hampir membaca keseluruhan rangkaian pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar. Selain surat kabar, laki-laki 22 tahun ini memperoleh informasi mengenai Munas Partai Golkar melalui media televisi khususnya Metro TV dan beberapa kali menyaksikan TV One. Eko 146
Selengkapnya lihat Dietram A. Scheufele, Framing as Theory of Media Effect, Journal of Communication, Vol. 49, Internasional Communication Assosiation, 1999, hal: 107
cli
mengaku sangat tertarik dengan wacana yang berkembang pada Munas Partai Golkar karena menurutnya, partai ini memiliki tapak sejarah yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan politik bangsa Indonesia. Peneliti tertarik melakukan wawancara dengan Eko karena Eko adalah Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) FISIP 2008 serta aktif atau pernah aktif di berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) FISIP UNS, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Visi FISIP UNS. Wawancara dengan Eko berlangsung menyenangkan karena Eko sangat kritis, berwawasan luas dan sangat antusias dengan peristiwa Munas Partai Golkar. b)
Responden II
: Ansyor
Ansyor adalah laki-laki asli Palembang yang juga sedang melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Sama halnya dengan Eko, Ansyor yang berlangganan Harian Kompas sering menyempatkan diri membaca pemberitaan Munas Partai Golkar. Ketertarikan Ansyor terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar didorong oleh rasa penasarannya terhadap pilihan politis yang diambil partai ini. Ansyor juga sering menyaksikan pemberitaan Munas Partai Golkar di Metro TV dan TV One, meskipun Ansyor menilai pemberitaan di Metro TV pada saat munas tampak tidak obyektif. Ansyor memiliki banyak prestasi dan merupakan aktivis kampus. Dirinya mengikuti berbagai organisasi seperti HMI, HIMAKOM FISIP UNS, LPM Visi FISIP UNS,
clii
serta Student English Club. Ansyor berwawasan luas dan pribadi yang menyenangkan sehingga wawancara berlangsung santai dan interaktif. c)
Responden III
: Kisbandi Virdha Kurniawan
Kisbandi Virdha Kurniawan berasal dari Sragen dan saat ini tinggal di Solo karena dirinya sedang menyelesaikan kuliah di Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Kisbandi tidak berlangganan Harian Kompas dan bukan pembaca Kompas yang aktif, akan tetapi dirinya beberapa kali membaca berita mengenai Munas Partai Golkar di surat kabar tersebut. Ketertarikan laki-laki berusia 24 tahun ini terhadap Munas Partai Golkar sebenarnya bermula dari banyaknya pemberitaan mengenai munas ini di TV One dan Metro TV. Selain itu, menurut Kisbandi, Partai Golkar berbeda karena memiliki tokoh-tokoh politik besar yang sama-sama memiliki kesempatan besar untuk menjadi ketua umum. Sebelum menentukan Kisbandi sebagai responden, peneliti melakukan beberapa kali diskusi dengan Kisbandi. Peneliti tertarik dengan pola pikir Kisbandi mengenai politik yang unik dan berbeda, sehingga peneliti memilihnya sebagai salah satu responden. Wawancara dengan Kisbandi berjalan dengan lancar dan menyenangkan. d)
Responden IV
: Ertika Nanda
Ertika Nanda adalah gadis asli Temanggung yang kini masih menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Ertika memiliki banyak prestasi, mulai dari tingkat lokal hingga internasional, serta aktif di beberapa organisasi. Ertika yang juga merupakan Mawapres cliii
UNS 2009 ini sebenarnya bukan pembaca aktif Kompas, namun dirinya sempat
membaca
berita
mengenai
Munas
Partai
Golkar
dan
menyaksikannya di Metro TV. Ertika mengaku tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia politik secara menyeluruh, namun Partai Golkar adalah partai yang cukup lama dikenalnya karena faktor orang tuanya yang mengidolakan salah satu tokoh dari partai ini. Dari pengalaman dan prestasinya tersebut, peneliti meyakini Ertika memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dan terbuka sehingga layak untuk dijadikan responden. Wawancara dengan Ertika berlangsung santai karena Ertika banyak memberikan komentar-komentar segar dalam setiap jawabannya. e)
Responden V
: Rorie Asya’ri
Rorie Asya’ri bertempat tinggal di Karanganyar meskipun dirinya adalah orang Solo. Rorie masih menempuh studi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Diusianya yang masih 22 tahun, Rorie memiliki banyak prestasi, diantaranya sebagai Putra Solo pada tahun 2007 dan Cosmopolitan Men 2009. Profesi Rorie sebagai pembawa berita di TA TV serta Master of Ceremony (MC) di berbagai acara menuntut Rorie untuk sering membaca dan melihat tayangan berita teraktual, salah satunya mengenai Munas Partai Golkar. Bagi Rorie, Munas Partai Golkar harus disimak karena Partai Golkar adalah partai besar di negeri ini. Rorie sebenarnya gemar membaca banyak macam surat kabar, namun untuk pemberitaan Munas Partai Golkar, dirinya hanya mengetahui dari Kompas
cliv
dan Metro TV. Rorie adalah pribadi yang supel dan cerdas sehingga wawancara berjalan hangat dan menyenangkan. f)
Responden VI : Haris Firdaus Haris Firdaus berasal dan bertempat tinggal di Sukoharjo meskipun dalam kesehariannya lebih sering berada di Kota Solo. Laki-laki berusia 23 tahun ini adalah seorang fresh graduate yang kini tengah meniti kariernya sebagai wartawan di Majalah Gatra. Ketika masih menjadi mahasiswa, Haris adalah seorang aktivis pers mahasiswa yang dikenal cerdas, kritis, memiliki banyak prestasi, bahkan sempat menerbitkan sebuah buku. Lulusan cum laude ini sering menyempatkan diri untuk membaca Harian Kompas. Mengenai pemberitaan Munas Partai Golkar, Haris yang hobi menulis puisi ini memiliki banyak ketertarikan terutama dalam penayangan siaran langsung penghitungan suara pemilihan ketua umum di Metro TV dan TV One. Alasannya dalam melihat pemberitaan mengenai isu ini bagi Haris karena Munas Partai Golkar yang disiarkan langsung melalui media televisi ini terjadi kericuhan dan konfrontasi politik yang tajam. Wawancara dengan Haris sangat mengasyikkan, karena Haris adalah sosok yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang sangat luas karena kegemarannya membaca.
g)
Responden VII : Paramita Sari Paramita Sari berasal dari Yogyakarta namun berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Paramita beberapa kali membaca pemberitaan Munas Partai Golkar terutama pada bulan Oktober dan clv
menyaksikan tayangan beritanya di TV One dan Metro TV. Ketertarikan Paramita, disebabkan karena adanya keterkaitan berita Munas Partai Golkar dengan skripsi yang tengah ia kerjakan. Menurut Paramita yang juga menjadi tenaga pengajar Jurnalistik di SMA Negeri 4 Yogyakarta ini, dirinya merasa penasaran karena pada masa menjelang munas ada wacana publik yang sangat gencar mengenai isu koalisi dan oposisi pemerintah. Peneliti tertarik menjadikan Paramita sebagai responden penelitian karena Paramita adalah sosok perempuan yang cerdas dan banyak membaca literatur sosial politik. Wawancara dengan Paramita berlangsung santai dan interaktif karena Paramita senang bertukar pikiran. h)
Responden VIII : Joni Rusdiana Joni Rusdiana lahir di Banjarnegara dan selama beberapa tahun terakhir Joni menetap di Kota Solo. Joni kini tengah menempuh kuliah program magister di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Joni yang kini menjadi tenaga pengajar di Universitas Boyolali adalah mantan aktivis pers mahasiswa yang sangat kritis dan cerdas. Sebenarnya Joni tidak secara khusus mencari pemberitaan Munas Partai Golkar ketika membaca Harian Kompas. Namun dirinya beberapa kali membaca berita Munas Partai Golkar karena menurutnya, munas sebuah partai adalah sesuatu yang penting untuk diketahui. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai besar yang memiliki cerita sejarah yang sangat panjang. Peneliti sangat tertarik menjadikan Joni sebagai responden penelitian karena Joni adalah sosok yang sangat cerdas dan berwawasan luas. Terbukti, wawancara clvi
dengan Joni berlangsung cukup lama, menyenangkan dan banyak informasi yang didapatkan peneliti.
Untuk mengetahui persepsi delapan responden penelitian tersebut mengenai Munas Partai Golkar ke VIII, peneliti mengelompokkan hasil wawancara mereka ke dalam lima sub tema yang telah ditentukan diawal.
1.
Pandangan
Pembaca
Kompas
terhadap
Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar Persaingan dalam perebutan Ketua Umum Partai Golkar ternyata mendapat perhatian yang besar dari pembaca Kompas. Penyebabnya, selain karena ada persaingan secara terbuka di media massa, para kandidat ketua umum adalah tokoh-tokoh politik di Indonesia yang sudah cukup lama dikenal masyarakat. Kiprah mereka dalam dunia politik tidak saja terdengar pada saat pelaksanaan munas, tapi sudah semenjak bertahun-tahun yang lalu. Berikut dipaparkan pendapat pembaca Kompas mengenai masing-masing kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Berdasarkan huruf abjad, kandidat pertama adalah Aburizal Bakrie atau yang kerap disapa dengan nama Ical. Ical sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai salah satu konglomerat atau orang paling kaya di Indonesia. Kelompok perusahaan keluarganya, Bakrie Group of Companies, terdiri dari perusahaan-perusahaan besar yang sukses dibidang usahanya masing-masing, antara lain pertambangan, telekomunikasi, media massa, real estate, dan lain sebagainya. Setelah menjadi saudagar kaya, Ical kemudian clvii
loncat pagar menjadi politisi di bawah bendera Partai Golkar. Namun kekayaan Ical kemudian sering dipermasalahkan dalam perjalanan karir politiknya. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Rorie Asya’ri berikut. “Aburizal Bakrie memang orang yang kaya dan Golkar jadi money oriented, apa-apa seperti hanya uang dan uang. Tapi Aburizal Bakrie memang dia berpengalaman, pengalaman organisasi dia panjang, dia juga orang yang ‘punya’. Tapi harus diingat partai politik itu tidak hanya memimpin partai politik saja tapi juga memimpin banyak orang dan memimpin bangsa walaupun dalam scoop yang lebih kecil, yakni anggota Golkar.” (wawancara dengan Rorie Asyari) Menurut Rorie, tidak hanya karena kaya, nama Aburizal Bakrie dikenal luas masyarakat sejak kasus semburan lumpur panas dari perusahaan miliknya, PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sejak 27 Mei 2006, tidak kunjung terselesaikan. menyebabkan
Semburan
lumpur
tergenangnya
panas
kawasan
selama
beberapa
permukiman,
bulan
pertanian,
ini dan
perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.147 Bahkan hingga kini, para korban masih meminta pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas atas kerugian yang mereka derita. Permasalahan ini dianggap Rorie merupakan sebuah kasus berat yang erat kaitannya dengan pencalonan Aburizal Bakrie menjadi ketua umum. “…Kalau kita mau flashback, dia tersangkut masalah Lapindo dan itu belum beres. Justru banyak pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Lapindo. Jadi alangkah tidak pantas dan tidak layak apabila seorang ketua dipilih berdasar materi, tanpa memerhatikan kurangnya dia. Lapindo saja
147
http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo Akses tanggal 27 Pebruari 2010 pukul 19.27 WIB
clviii
belum kelar, bagaimana kalau ada masalah di Golkar, apa tidak ada kemungkinan dia akan ignore?” (wawancara dengan Rorie Asyari) Melihat permasalahan yang sedemikian pelik, menurut Rorie, mempersulit posisi Aburizal dalam bursa pencalonan ketua umum. Namun, pernyataan berbeda di katakan oleh Eko Setiawan. Menurut Eko, banyak alasan yang membuat Aburizal bisa dengan mudah memenangkan kompetisi. Salah satunya karena Aburizal telah mempersiapkan pencalonan dirinya sejak beberapa tahun silam. “Ical cukup baik dalam membangun dukungan, mulai dari menggaet Akbar Tandjung maupun Agung Laksono. Ical memang terlihat sangat siap menghadapi munas ini sampai ke internal DPD. Yang kedua, meminjam istilah Yuddy yaitu ‘gizi’ atau apalah namanya, namun itu belum terbukti.” (wawancara dengan Eko Setiawan) Aburizal, dalam pandangan Eko, cukup cerdas membangun jaringan pendukung dalam internal partai. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan yang mengalir, terutama dari tim suksesnya yang terdiri dari tokohtokoh penting Partai Golkar pada masa lalu, yakni Akbar Tandjung dan Agung Laksono. Aburizal juga dinilai Eko telah berhasil merangkul kepengurusan di daerah-daerah untuk mendukung pencalonan dirinya. Meskipun demikian, menurut Eko, Aburizal tidak bisa lepas dari isu politik uang dalam pencapaian tujuan politiknya tersebut. Kandidat kedua adalah Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Tommy adalah anak bungsu mantan Presiden Soeharto yang pada masa orde baru kerap dijuluki dengan julukan Pangeran Cendana. Reputasi Tommy sebenarnya tidak terlalu baik di mata pembaca Kompas. Tommy adalah seorang pengusaha yang pengalaman politik di Partai Golkar sangat minim. clix
Terlebih lagi Tommy pernah masuk penjara karena menjadi otak pembunuhan Hakim Agung yang menangani kasus korupsinya, Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001. Namun, menurut Joni Rusdiana, bagaimanapun label “Keluarga Cendana” masih memiliki magnet yang cukup besar di masyarakat. “…dia berusaha menghidupkan lagi dinasti bapaknya, karena Cendana itu kuat. Sosok Golkar, Soeharto, Cendana itu sangat kuat. Cendana saya pikir masih punya pe-de (percaya diri) yang sangat besar, meskipun juga dicaci masyarakat habis-habisan, dibongkar dengan perkara yang besar dan banyak. Tapi tetap pe-de karena seperti dinasti di Indonesia. Sepertinya dia merasa bahwa mahkota dari bapaknya itu diberikan ke dia. Trackrecord Tommy kita sudah tahu suka main wanita, suka balap, bisnis kotor.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Menurut Joni, meskipun Tommy memiliki masa lalu yang kurang terpuji, tetapi Tommy masih memiliki kesempatan dalam bursa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar karena faktor nama besar keluarganya tersebut. Pendapat berbeda disampaikan Ertika Nanda. Menurut Ertika, meskipun Tommy masih mengandalkan nama orangtuanya, masyarakat Indonesia sudah tidak lagi memercayai apa saja yang diwariskan oleh keluarga Soeharto. Dalam pernyataan Ertika, masyarakat sudah mulai dewasa, dapat menentukan mana yang baik dan yang tidak baik untuk masa depan politik bangsa. “…dia bergerilya kepada tetua Golkar dan mungkin hanya mengandalkan dia sebagai putra pimpinan masa orde baru. Tapi itu ya lucu, karena dia masih berani, masyarakat kita kan sudah lebih krtitis.” (Wawancara dengan Ertika Nanda) Meskipun langkah politik Tommy Soeharto masih dianggap sebagian orang mendompleng nama-nama besar tokoh pada masa lalu, uniknya Tommy berusaha menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Tommy mengaku clx
tidak menerapkan cara “politik dagang sapi” atau politik jual beli suara seperti yang ia tuduhkan kepada calon ketua umum lain. Tommy hanya menawarkan bantuan program “Trikarya” bagi kepengurusan daerah jika dirinya terpilih nanti. Hal ini dilihat Ansyor sebagai perubahan yang sangat positif dari seorang Tommy Soeharto. “…mungkin sebagian orang menganggap dia akan melakukan segala cara di munas. Tapi saya melihat dia mau memperbaiki citra dirinya yang selama ini mungkin dianggap korup.” (Wawancara dengan Ansyor) Dalam pandangan Ansyor, pencalonan Tommy Soeharto sebagai Ketua Umum Partai Golkar sekaligus sebagai bukti kepada masyarakat bahwa Tommy Soeharto yang sekarang tidak sama dengan Tommy Soeharto yang dulu. Tommy Soeharto yang sekarang bukan merupakan sosok yang dekat dengan korupsi ataupun suap menyuap seperti yang sudah melekat pada dirinya dan keluarganya pada masa lampau. Kandidat Ketua Umum Partai Golkar selanjutnya adalah Surya Paloh. Surya Paloh cukup dikenal pembaca Kompas sebagai seorang pengusaha media massa. Surya Paloh selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai tokoh yang nasionalis dan sering muncul di media dengan orasi politiknya yang terkenal keras. Salah seorang pembaca Kompas yang menganggap demikian adalah Joni Rusdiana. “…dia ingin mencitrakan dirinya nasionalis. Aku tertarik ketika Tsunami Aceh dia mengambil kebijakan medianya yang pertama terjun ke lapangan, media lain enggak. Tampaknya dia ingin jadi orang yang dianggap kacang sing ora lali karo lanjaranne. Dia memang berada di Jakarta, tapi asalnya bukan dari Jakarta, dia punya kampung halaman. Dia ingin membesarkan kampung halaman. Dia nasionalis, tapi aku kurang tahu nasionalis yang seperti apa. Soalnya dia nasionalis yang teoritis clxi
PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara) banget. Bahasanya berapi-api tapi esensinya tidak tahu.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Joni berpendapat, Surya Paloh menggunakan dua cara untuk menunjukkan tingkatan nasionalisme dirinya. Pertama, meskipun dirinya telah sukses di ibu kota Jakarta namun Surya Paloh tetap memberikan perhatian yang besar kepada tanah kelahirannya di wilayah Paloh, Nangroe Aceh Darussalam. Kedua, Paloh sering melakukan orasi dan pidato politik yang berapi-api tentang nasionalisme bangsa, terutama di media miliknya, Metro TV dan Media Indonesia. Namun dilain pihak, terlalu seringnya Surya Paloh muncul di media, menurut Joni, justru menimbulkan kesan yang buruk terhadap Surya Paloh sendiri. “…Penting juga, dia salah satu orang yang narsis. Metro TV itu ketika Surya Paloh meresmikan apa saja, pasti diliput.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Senada dengan Joni, Haris Firdaus juga menganggap Surya Paloh adalah tokoh politik yang terlalu sering muncul di media. Eksistensi Surya Paloh, menurut Haris, bukan karena prestasinya di dunia politik. Melainkan karena
Surya
Paloh
memanfaatkan
media
massa
miliknya
untuk
mempopulerkan diri. Metro TV pun selalu berusaha menampilkan citra positif terhadap sosok Surya Paloh. Padahal jika ditelisik lebih jauh, menurut hemat Haris, Surya Paloh sebenarnya memiliki sejarah politik yang dekat dengan orde baru. “… dia sebenarnya terlau narsis. Surya Paloh sebenarnya pemain lama, pemain sangat senior di bidang pers dari sejak orde baru. Dia dekat sekali dengan orang-orang orde baru. Jadi saya heran bagaimana dia bisa memimpin Metro yang seolah-olah sangat reformis dan demokratis, padahal Surya Paloh punya rekam jejak yang sangat dekat dengan orde clxii
baru. Dia adalah pengusaha yang menguasai berbagai macam koran di jaman orde baru dan itu tidak ada yang bisa menandingi.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Citra Surya Paloh yang lekat dengan orde baru ini, dalam pandangan Haris, berusaha ditutup Surya Paloh dengan bentuk media massanya, Metro TV, yang selalu kritis dan reformis. Kandidat terakhir adalah Yuddy Chrisnandi. Nama Yuddy sebelumnya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat meskipun dirinya aktif dalam kepengurusan DPP Partai Golkar. Namun pada saat pencalonan Yuddy menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Yuddy lebih sering muncul di media massa. Yuddy dikesankan media sebagai tokoh muda yang masih menjunjung idealisme tinggi terhadap partai. Kemunculannya menjadi salah satu calon ketua umum dianggap pembaca Kompas seperti sebuah oase ditengah pragmatisme politik para calon ketua umum. Salah satu pembaca Kompas yang memiliki pendapat serupa adalah Paramita Sari. “…Sebenarnya dia benar-benar visioner, mungkin dia ada kepentingan tapi dia adalah kandidat yang paling bersih dari keempat kandidat lain.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Paramita menggunakan kata “bersih” untuk menunjukkan bahwa dalam persaingan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar memang ada dugaan terjadi politik uang, sedang Yuddy Chrisnandi adalah kandidat ketua umum yang dipercaya tidak melakukan hal tersebut. Sementara Kisbandi Virdha mencoba realistis bahwa Yuddy juga mengeluarkan banyak uang dalam proses pemilihan meskipun tidak ditujukan untuk membeli suara. Namun disisi lain,
clxiii
Kisbandi mengakui bahwa Yuddy adalah seorang generasi muda yang memiliki idealisme tinggi untuk membesarkan partai. “…walaupun dia menawarkan “cuma” dengan biaya 1 milyar, tapi dia punya idealisme yang tinggi untuk memperbaiki keterpurukan partai. Satu-satunya yang ditawarkan itu hanya idealismenya saja. Dia juga kritis karena dia termasuk golongan pemuda. Jadi saya rasa dia lebih kritis daripada tiga kandidat lainnya. Tapi seperti pemikiran kaum muda, dia juga hanya kritis tanpa hati-hati atau sembrono, tanpa melihat imbas setelah melakukan itu. Terlebih lagi dia juga tidak menawarkan sesuatu yang lain, dia hanya menawarkan idealisme saja.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha Kurniawan) Sayangnya
menurut
Kisbandi,
Yuddy
hanya
memanfaatkan
kepercayaan masyarakat tentang generasi muda yang kritis dan idealis dalam menyikapi dinamika politik yang tengah terjadi. Yuddy, sebagai calon yang paling muda diantara calon yang lain, menjadikan doktrin tersebut sebagai kekuatan dirinya. Dalam bahasa Eko Setiawan, Yuddy memang tidak punya kekuatan lain selain idealisme tersebut. “…Yuddy tidak punya senjata lain untuk menyerang calon lain. Yuddy tidak punya uang untuk mempengaruhi, kemudian mengajak untuk kembali pada sesuatu yang lebih ideal.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Secara terbuka sebelum munas, keempat kandidat tersebut saling menyerang dan menjatuhkan calon lain di media massa. Persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar yang diekspos besar-besaran di media massa merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat. Kampanye di media massa biasanya hanya dilakukan dalam proses pileg atau pilpres yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Namun Rorie menganggap persaingan calon Ketua Umum Partai Golkar di media merupakan sesuatu yang lumrah dan hanya merupakan rangkaian kampanye politik biasa. Seperti yang diungkapkan oleh clxiv
Norris (2000) yang dikutip Firmanzah, bahwa kampanye politik adalah suatu proses komunikasi politik, di mana parpol atau kontestan individu berusaha mengkomunikasikan
ideologi
maupun
program
kerja
yang
mereka
tawarkan.148 “Biasa peperangan dalam media itu. Sebagai negara demokrasi tentunya Indonesia seharusnya melegalkan, saling menjatuhkan melalui media itu hal yang lumrah. Karena mereka pasti ada agenda untuk menjatuhkan pesaing mereka yang pasti berimbas pada elektabilitas, atau untuk mempopulerkan diri agar terkesan lebih mampu dibandingkan yang lain.” (Wawancara dengan Rorie Asyari) Saling serang, klaim dukungan, menuduh pihak lain yang dilakukan oleh keempat calon ketua umum dan masing-masing tim suksesnya, dalam kacamata Rorie, merupakan sesuatu yang bisa di maklumi di era keterbukaan informasi. Setiap pihak berhak menyampaikan pendapat dan gagasan, asalkan sesuai dengan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena, seperti yang diungkapkan Amien Rais, dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemerintah menjamin kebebasan berpendapat dan persuratkabaran.149 Namun, Ertika menuturkan, akan lain halnya jika para calon ketua umum bukan pemilik media. Pemilihan ketua umum partai pada dasarnya tidak berdampak secara langsung bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Namun karena dua dari empat calon ketua umum adalah pemilik media berita terbesar di Indonesia, pemberitaan tentang persaingan ini menjadi agenda utama media yang bersangkutan.
148
Firmanzah, Ph.D, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal: 267 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 9
149
clxv
Ertika mencontohkan jika calon ketua umum Partai Demokrat merupakan pemilik media, terutama media televisi, maka munas dan pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat pasti juga menjadi topik pemberitaan utama. Senafas dengan Ertika, Kisbandi juga menilai kepemilikan media sangat berpengaruh terhadap citra Partai Golkar di masyarakat dan elektabilitas sang calon ketua umum. “Jelas persaingan tidak seimbang. Dua kandidat, Ical dan Surya Paloh punya media besar skala nasional. Sebenarnya kalau dipartai lain pun kalau kandidat-kandidatnya ingin meraih posisi Ketua Umum mereka punya media, itu juga akan terlihat seperti Golkar. Terlihat “Wah” karena kandidat ketua umum Golkar punya media. Jadi dia begitu di blow up-nya sampai segitunya, kita pun kaget, kok Golkar pemilihannya sampai sebegitunya.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha Kurniawan) Lebih jauh, Haris menyayangkan sikap media massa yang demikian. Media seharunya menjadi pihak yang netral dan independen dari intervensi apapun dari luar, termasuk dari persoalan modal. Inilah yang mendasari adanya pembedaan pimpinan dalam sebuah perusahaan media massa, yakni pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan. Pemisahan ini bertujuan untuk menjaga agar idealisme di ruang redaksi tidak mendapat pengaruh dari permasalahan kapital pada ruang perusahaan dan iklan. Namun dalam prakteknya, pemilahan kepentingan ini sangat sulit untuk diterapkan. Pasalnya, seperti yang diutarakan Brian McNair, bahwa isi media salah satunya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan politik (political approach). “…mereka mendayagunakan media massa mereka. Ini menunjukkan pada satu kondisi tertentu, media massa tidak bisa lepas dari jerat persoalan modal. Metro yang berani dan kritis, sampai pada pemilik, seperti sudah selesai persoalannya. Itu sebenarnya salah, publik tidak butuh siapa calon Golkar, dukungannya seperti apa. Golkar hanya satu partai politik saja, dan itu pemilihannya bersifat internal. Ini menunjukkan clxvi
watak asli media kita bahwa mereka tidak bisa mandiri dari modal. Idealisme bahwa ruang usaha berpisah dari ruang redaksi itu susah sekali kalau sudah menyangkut pemilik.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Meskipun Aburizal Bakrie dan Surya Paloh merupakan pemilik media massa, dalam perspektif Haris, seharusnya mereka bisa memilahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan media. Masyarakat Indonesia tidak memiliki hak suara terhadap pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, hak suara hanya dimiliki oleh utusan dari masing-masing Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar. Jadi, pemasangan iklan kampanye yang cukup besar di surat kabar dan pemberitaan yang berlebihan di media televisi, menurut Haris, berarti mempergunakan ruang publik dengan cara yang tidak bijaksana. Pun demikian dengan kader Partai Golkar. Dalam pandangan Haris, para kader sebenarnya tidak membutuhkan iklan atau pemberitaan yang terlalu banyak di media massa. Sebagai anggota partai yang merasakan secara langsung kepemimpinan para kandidat, mereka seharusnya sudah memiliki penilaian tersendiri terhadap masing-masing kandidat. Menurut Haris, salah satu kriteria ketua umum Partai Golkar yang ideal adalah ketua umum yang memulai karir politiknya dari bawah, bukan sosok yang masuk ke dalam partai karena punya uang dan dukungan. Seperti yang tertulis pada poin keenam Visi Partai Golkar pada periode kepengurusan 2004-2009, yang menjelaskan bahwa Partai Golkar adalah partai yang mengakar. Artinya, partai ini berusaha agar anggota dan kadernya tumbuh dan berkembang dari bawah berdasar azas prestasi, bukan nepotisme atau kolusi. Partai Golkar sebenarnya punya banyak kader berkualitas, tapi kemudian clxvii
banyak kader baru yang masuk. Dalam pandangan Haris, Partai Golkar terlalu banyak menerima intervensi dari orang-orang diluar partai yang memiliki kekuatan kapital dan kekuasaan. Pendapat berbeda disampaikan Rorie. Rorie mencontohkan, pemimpin partai yang paling ideal adalah kepemimpinan model Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat. Selama enam tahun terakhir, SBY menjadi maskot Demokrat, meskipun banyak anggapan bahwa unsur ketokohan di Partai Golkar terlalu tinggi. Namun Rorie melihat, bentuk kepemimpinan ini seharusnya ditiru oleh partai lain karena hampir tidak ada gejolak dalam internal partai. Gejolak dalam internal partai memang menjadi persoalan yang serius di Partai Golkar. Permasalahan internal seperti pertikaian dan perbedaan arah politik para kadernya seolah menjadi konsumsi orang banyak. Citra partai yang demikian tentu berpengaruh terhadap elektabilitas Partai Golkar untuk pemilu mendatang. Oleh karena itu, Ketua Umum Partai Golkar yang terpilih harus mampu memperkuat hubungan antar kader dan anggota partai. Seperti yang diutarakan oleh Eko berikut. “Golkar harus menyolidkan internal. Karena didalam Golkar terdapat faksi-faksi tertentu, misal pendukung JK (Jusuf Kalla), pendukung Akbar, dan itu harus disolidkan untuk pemilu berikutnya, kemarin terlihat Golkar tidak solid ketika mendukung JK.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Jika partai bisa menunjukkan kesolidan internal di depan publik, menurut Eko, masyarakat akan menaruh kepercayaan yang besar. Semakna dengan Eko, Paramita juga menganggap bahwa citra partai adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebenarnya ada beberapa strategi yang bisa clxviii
dilakukan untuk menjaga citra parpol menurut Firmanzah, diantaranya konsistensi terhadap image yang sudah terbentuk, rasionalisasi image yang telah ada, idealisasi dari image politik yang telah tercipta, dan menciptakan fantasi tentang simbol-simbol yang ada.150 Namun, menurut Paramita, citra Partai Golkar yang baru justru belum terlihat jelas dan nyata. “Seharusnya dia harus memperlihatkan dengan jelas kepada masyarakat tentang citra Golkar sendiri karena di masa orde baru citra Golkar negatif. Yang ideal untuk posisi pimpinan Golkar kali ini dia bisa menjelaskan kepada masyarakat bahwa Golkar itu sudah berubah, dia tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam hal yang negatif, tapi dia berada dalam pemerintahan yang menjalankan tugasnya dengan baik.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Paramita menegaskan bahwa Partai Golkar harus bisa menghadirkan karakter partai yang baru dan menghapuskan citra orde baru dalam tubuh Partai Golkar. Pendapat senada dinyatakan oleh Joni. Namun Joni menganggap, citra Partai Golkar yang lekat dengan orde baru ini justru yang menyebabkan Partai Golkar mampu bertahan pada tingkat akar rumput. “…Golkar itu pemain lama. Golkar itu sangat multikultur, banyak kepentingan, dia partai besar yang sangat susah untuk ditumbangkan. Menurutku Golkar itu sudah mengakar dari masyarakat, sosok-sosok Golkar, seperti Soeharto bersama menteri-menteri sampai bawahbawahnya. Buat masyarakat kampung terutama, buat mereka, PNS kan masih menjadi prestis yang prestisius.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Joni sependapat dengan Paramita bahwa seharusnya citra buruk orde baru, salah satunya mencakup politik yang menggunakan uang, harus dihapuskan jika ingin Partai Golkar tetap mendapat dukungan dari tingkat sosial masyarakat lainnya. Namun dilain pihak, Partai Golkar tidak bisa
150
Op.Cit, hal: 249
clxix
menafikkan kebutuhan uang untuk menjalankan roda organisasi. Dalam pandangan Kisbandi, organisasi tidak mungkin bisa bertahan tanpa sokongan keuangan yang kuat. Maka paling tidak, sebagai partai besar di Indonesia, Ketua Umum Partai Golkar haruslah orang kaya. “Ketua umum Golkar syaratnya, selain bermodal kuat, karena sekarang partai kan biaya operasional partai sangat tinggi, dia juga harus punya kemampuan untuk meramu atau meracik sistem agar berjalan dengan lancar.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha) Jadi, meskipun kebutuhan keuangan organisasi sangat tinggi, Kisbandi juga menekankan pentingnya kapabilitas dan idealisme ketua umum untuk membesarkan partai. Tidak berbeda jauh dengan Kisbandi, Ansyor menuturkan, idealisme yang tinggi seperti visi dan misi Yuddy Chrisnandi adalah kriteria yang paling dibutuhkan untuk memperbaiki paradigma baru Partai Golkar. Uang, menurut Ansyor, bukan hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang calon ketua umum. “Seharusnya idealisme yang diutamakan, jadi tidak melihat calon itu berasal dari orang kaya. Kemudian mereka nanti bisa menghidupi partai, lalu calon itu telah memberi sesuatu kepada kita tetapi kita melihat bagaimana visi dan misi dia kedepan.” (Wawancara dengan Ansyor) Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar pada dasarnya disebabkan oleh kepemilikan media massa besar di Indonesia oleh dua orang kandidat sehingga proses kampanye sangat di blow up. Persaingan yang memanas tersebut dimanfaatkan keempat kandidat untuk saling menyerang dan menjatuhkan pihak lain. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar dari masing-masing responden. clxx
Tabel 3.8 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Persaingan Antar Calon Ketua Umum No 1
Nama Eko Setiawan
2
Ansyor
3
Kisbandi Virdha
4
Ertika Nanda
5
Rorie Asya’ri
6
Haris Firdaus
7
Paramita Sari
8
Joni Rusdina
Pendapat Pesaingan karena kurang solidnya hubungan internal antar kader partai, sehingga para calon saling menyerang di media massa. Sebenarnya Yuddy Chrisnandi adalah calon yang paling ideal dan berkompetensi, namun Yuddy terbentur masalah dana yang terbatas. Bagaimanapun DPD membutuhkan biaya untuk operasional sehingga akan memilih calon ketua umum yang kaya dan rela mengeluarkan banyak uang untuk kader dan partai Persaingan calon sangat terlihat karena pemanfaatan media milik calon ketua umum. Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terlalu fokus pada calon yang kaya sehingga kurang memperhatikan visi dan misi serta idealisme calon ketua umum Persaingan calon ketua umum tidak seimbang karena dua calon merupakan pemilik media besar nasional. Pemilihan ketua umum partai sebenarnya adalah hal yang biasa, namun pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terlihat istimewa karena di blow up media dan para calon adalah orang-orang kaya Persaingan ketua umum di ekspos media karena faktor kepemilikan media. Selain itu juga karena ada perilaku boros para calon ketua umum, misalnya carteran pesawat untuk berangkat ke tempat munas dan pelesiran. Hal tersebut mengindikasikan adanya permainan uang. Persaingan di media massa sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah dan wajar karena setiap pemilihan umum pasti ada agenda untuk saling menjatuhkan pihak lain. Namun bentuk kepemimpinan di Partai Golkar tidak ideal, karena tidak ada ketokohan yang kuat seperti SBY di Partai Demokrat. Persaingan terlalu berlebihan karena mempergunakan ruang publik di media massa. Hal ini mengindikasikan idealisme ruang redaksi media massa tidak bisa terlepas dari pengaruh kepemilikan modal. Di lain pihak, Partai Golkar terlalu banyak mendapat campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang kemudian masuk ke dalam partai, sehingga partai ini tidak berdaya dan tidak bisa menegakkan kedaulatan. Persaingan antar calon ketua umum disebabkan karena adanya kepentingan dari masing-masing calon. Salah satunya adanya perbedaan kepentingan antara pihak yang menginginkan koalisi dan pihak yang menginginkan menjadi oposan pemerintah. Persaingan antar calon ketua umum tidak wajar karena dalam satu partai seharusnya saling mendukung dan berintegrasi. Tapi mereka menggunakan konflik karena ada kepentingan masingmasing calon ketua umum diluar kepentingan partai. clxxi
2.
Pandangan Pembaca Kompas terhadap Arti Penting Munas Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII cukup mendapat perhatian
media massa. Bukan saja karena adanya persaingan antar calon ketua umum, namun juga karena munas kali ini adalah momentum pertemuan seluruh pengurus daerah Partai Golkar setelah keterpurukan Partai Golkar dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009. Para pembaca Kompas pun meyakini bahwa pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII memiliki arti yang sangat penting dan menentukan arah politik Partai Golkar pada pemilu selanjutnya. Seperti yang diutarakan oleh Joni Rusdiana berikut. “…Pertama, munas sebuah partai itu ya penting, karena itu bagian dari demokrasi. Partai apapun, besar atau kecil. Kalau Golkar kan partai besar. Yang kecil saja diberitakan, apalagi yang besar. Berikutnya karena Golkar punya masalah, Golkar sendiri kemarin kalah. Kemudian JK (Jusuf Kalla) mendapat cacian habis-habisan. Nah, jawaban-jawaban JK dan Golkar menjadi penting. Munas juga akan menentukan apakah Golkar akan ikut pemerintahan atau tidak.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Menurut Joni, pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII memang layak untuk disimak dan diberitakan media. Sebabnya, sebagai partai politik paling tua yang masih bertahan, dinamika politik yang terjadi pada Partai Golkar cukup menentukan kondisi politik bangsa Indonesia. Tak berbeda jauh dengan Joni, Eko Setiawan menuturkan, pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII kali ini memang memberikan keuntungan tersendiri bagi Partai Golkar karena diadakan sebelum Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi menetapkan nama-nama menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. clxxii
“Munas Golkar tahun ini cukup strategis, karena diadakan persis sebelum SBY menentukan kursi kabinet. Pada saat pemilu, Golkar masih gamang ketika JK kalah, Golkar akan menjadi oposisi atau ikut dalam pemerintahan masih belum jelas. Artinya ketua umum yang terpilih akan menentukan Golkar akan kemana, ketika Ical yang terpilih, Ical akan ikut SBY, tapi kalau Surya Paloh jelas akan beroposisi.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Waktu pelaksanaan munas pada awal Oktober, dalam pandangan Eko, harus dimanfaatkan benar-benar untuk merumuskan arah politik yang dipilih Partai Golkar: koalisi atau oposisi. Pilihan arah politik partai ini harus segera diputuskan dalam munas, agar kader Partai Golkar mendapat kesempatan masuk dalam kabinet SBY atau tidak. Seperti diketahui, SBY yang masih menginginkan Partai Golkar bergabung dalam koalisi besar, juga menunggu keputusan akan kemana Partai Golkar menempatkan posisinya dalam pemerintahan. Pendapat berbeda disampaikan Kisbandi Virdha. Dirinya menganggap munas kali ini terasa sangat penting justru karena sistem pemilihan ketua umum yang berbeda dengan pemilihan ketua umum pada Munas Partai Golkar VII di Denpasar Bali tahun 2004 silam. “Ada sesuatu yang baru dalam pemilihan ketua umum. Dulu kan ditentukan dengan konvensi Partai Golkar, sekarang dipilih langsung oleh DPP dan DPD nya. Nah, berarti itu kan ada peningkatan sistem walaupun masih seperti coba-coba.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha) Kisbandi menyoroti, pergantian sistem ini adalah salah satu upaya Partai Golkar untuk membuat pembaharuan positif terhadap mekanisme partai. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti kepada masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis. Senafas dengan Kisbandi, menurut Ertika Nanda, munas kali ini adalah pembuktian kepada clxxiii
masyarakat bahwa Partai Golkar masih tetap bertahan dalam kancah politik di Indonesia. “…pentingnya munas kemarin adalah menunjukkan eksistensi Golkar di mata publik. Dan itu dilakukan Partai Golkar dengan mem-blow up media dimana-mana. Untuk politik Golkar di pemerintahan akan lebih, mereka seperti meminta untuk dipandang lagi karena mereka lumayan dianggap penting pada saat munas. Jadi menaikkan posisi tawar.” (Wawancara dengan Ertika Nanda) Ertika menuturkan, segala bentuk blow up media pada saat munas justru kurang menekankan pada pentingnya pelaksanaan munas terhadap posisi politik Partai Golkar. Akan tetapi Partai Golkar terkesan ingin menonjolkan diri agar aktivitas politik yang dilakukan, diperhatikan oleh masyarakat dan menjadi sesuatu yang penting serta layak untuk diketahui. Sementara Ansyor cenderung memiliki pendapat yang serupa dengan Eko. Menurutnya, arti penting pelaksanaan munas adalah penentuan posisi partai ini dalam pemerintahan selama lima tahun ke depan. Namun Ansyor merasa kecewa dengan keputusan munas yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Aburizal Bakrie dari awal telah mewacanakan diri untuk menjadi rekan koalisi Partai Demokrat jika dirinya menang. Dalam pandangan Ansyor, hal tersebut justru merugikan rakyat. Pasalnya, jika Partai Golkar berada di pihak pemerintah, tidak ada lagi yang bisa memperjuangkan nasib rakyat miskin yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Lebih jauh Ansyor menduga, waktu pelaksanaan munas memang disengaja dilaksanakan sebelum penempatan kabinet agar pihak yang pro dengan pemerintah bisa mengusahakan kadernya untuk menjadi menteri kabinet SBY. clxxiv
Senada dengan Ansyor, perbedaan pandangan dan arah politik antar kader yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar ini menurut Paramita justru merusak makna dari penyelenggaraan munas itu sendiri. Sepengetahuan Paramita, munas yang pada awalnya menjadi harapan baru bagi masa depan partai, dalam pelaksanaannya malah dipenuhi dengan kericuhan karena adanya blok-blok tersendiri dalam internal partai. “…pelaksanaannya penuh dengan kekacauan, ada konflik internal karena masing-masing dari pendukung kandidat saling bentrok. Padahal, seharusnya meskipun dalam satu organisasi satu partai banyak kandidat, tidak seharusnya saling bentrok. Mereka intinya satu, tapi malah seperti ada blok-blok seperti itu.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Berbagai macam kepentingan yang ada pada saat munas, dalam pandangan Paramita, justru menjadi titik perhatian utama seluruh peserta dan media. Sedang esensi kesatuan dan kesolidan partai yang seharusnya menjadi tujuan pelaksanaan munas seakan dilupakan begitu saja. Ketidakidealan pelaksanaan munas ini menurut Rorie Asya’ri disebabkan karena dua persoalan penting. “…Satu, ketua yang memimpin, Fadel Muhammad, kurang bisa merangkul semua, kurang tegas, kurang bisa menurunkan temperamen peserta rapat. Kepemimpinan itu salah satu yang penting dalam sebuah konvensi. Fadel kurang berhasil menjaga suasana kondusif. Kedua, peserta Golkar secara mentalitas juga harus berubah. Munas adalah acara untuk memilih pemimpin yang nantinya menahkodai kapal Golkar. Nah, misalnya mereka punya agenda sendiri-sendiri, egois, teriak sana teriak sini, tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk berbicara, itu sudah dalam tahap yang tidak proposional.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri) Rorie berpandangan, substansi pelaksanaan munas sebenarnya bisa diraih jika dua hal tersebut–kepemimpinan yang baik dari ketua rapat dan sinergi dari seluruh peserta rapat–dapat terjaga hingga munas berakhir. Namun clxxv
pada kenyataannya, suasana munas tetaplah tidak kondusif. Haris Firdaus berpendapat, pelaksanaan munas yang demikian semakin menunjukkan bahwa Partai Golkar bukan partai yang solid. Bahkan partai ini tidak bisa memanfaatkan munas sebagai momentum kebangkitan bersama. “Pertama, tidak ada munas partai politik yang begitu terjadi ketegangan kemudian konfrontasi politik yang tajam. Itu artinya Golkar bukan partai politik yang solid karena beberapa partai politik cukup mengandalkan mekanisme internal untuk tidak terlalu gembar gembor.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Dalam pandangan Haris, idealnya partai politik yang tengah menghadapi persoalan besar akan melakukan konsolidasi dan koordinasi yang baik ketika ada pertemuan akbar seperti musyawarah nasional. Munas selayaknya menjadi wadah untuk memperbaiki organisasional partai sehingga tidak perlu ada ribut-ribut di media mengenai ketidakharmonisan antar peserta rapat. Partai Golkar, menurut Haris, telah gagal mencapai tujuan utama pelaksanaan munas karena perilaku peserta rapat itu sendiri. Haris mencontohkan, jalannya pelaksanaan munas sangat kacau bahkan mengalahkan keributan dalam gedung parlemen yang terdiri dari fraksi-fraksi partai politik yang beragam. Seperti yang diungkapkan Prof. Miriam Budihardjo, bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Namun munas Partai Golkar yang seharusnya terdiri dari kader Partai Golkar yang memiliki tujuan yang serupa, tidak mampu menyamakan pandangan politik antar kadernya. “…Saya tidak membayangkan perilaku elite politik seperti itu, teriakteriak dan lari, kemudian banyak terjadi kekacauan. Saya tidak tahu clxxvi
apakah itu proses demokrasi atau bagaimana, tapi agak kacau secara teknisnya. Kenapa dalam satu partai politik bisa terdapat banyak sekali kepentingannya dan tidak ada kelompok dominan yang memayungi Golkar yang bisa dipercaya oleh semua orang Golkar. Kendala-kendala teknis, temperamen dan pamrih kepentingan pribadi itu yang membuat munas kemarin kurang ideal. Orang tidak bisa mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan parpol. (Wawancara dengan Haris Firdaus) Haris menegaskan, jika Partai Golkar menginginkan tercapainya kebangkitan partai pada saat munas, seharusnya para peserta tidak bersikap layaknya elite politik yang tidak mengerti etika politik yang baik. Namun, menurut Eko, sebenarnya munas tetap dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna. Jika memang tujuan munas adalah sebagai momentum perbaikan dan kebangkitan, munas idealnya harus melakukan pembahasan yang mendalam tentang dua hal penting yakni permasalahan partai dan permasalahan bangsa. “…Pertama, Golkar punya pandangan yang menyeluruh tentang kondisi partai, tidak hanya semata-mata memilih ketua umum. Kemarin terlihat munas Golkar masih politis, memang betul dia partai politik tapi jangan mengabaikan sisi-sisi kesejahteraan masyarakat. Secara keseluruhan dia seharusnya juga membahas masalah partai, karena Golkar kalah dalam Pilpres dan Pileg, itu seharusnya menjadi evaluasi menyeluruh. Kedua, adalah tentang masalah kebangsaan. Ketiga adalah bagaimana Golkar bisa merekrut kader-kader berkualitasnya untuk masuk kepengurusan baru.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Jika munas dapat merumuskan strategi untuk menyelesaikan dua persoalan tersebut, dalam pandangan Eko, maka Munas Partai Golkar VIII telah berhasil menyelamatkan partai ini dari keterpurukan. Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa Munas Partai Golkar VIII sebenarnya merupakan momentum yang sangat krusial bagi Partai Golkar. Munas kali ini adalah wadah untuk mengevaluasi kekalahan clxxvii
beruntun yang dialami Partai Golkar pada Pemilu 2009. Evaluasi tersebut diharapkan bisa merumuskan langkah yang akan menentukan nasib partai ini selanjutnya: mati atau berkembang. Namun, pada kenyataannya munas dinodai oleh berbagai kepentingan antar kubu yang membuat munas menjadi ricuh. Hal ini justru membuat munas kehilangan makna dan esensinya bagi partai. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai arti penting Munas Partai Golkar VIII dari masing-masing responden. Tabel 3.9 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Arti Penting Pelaksanaan Munas No 1
Nama Eko Setiawan
2
Ansyor
3
Kisbandi Virdha
4
Ertika Nanda
5
Rorie Asya’ri
6
Haris Firdaus
Pendapat Partai Golkar masih ragu akan menjadi oposisi atau rekan koalisi Partai Demokrat. Maka pelaksanaan munas sangat strategis karena dilakukan sebelum pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Jika Partai Golkar memilih koalisi, maka kadernya bisa mendapat kesempatan untuk menjadi menteri. Pada intinya munas harus memiliki pandangan menyeluruh tentang kondisi partai dan masalah kebangsaan. Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari awal sudah ditujukan untuk mendukung pemerintahan SBY, dibuktikan dengan waktu penyelenggaraannya sebelum pelantikan kabinet. Munas Partai Golkar VIII saat ini bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa partai ini juga bisa berlaku demokratis, dibuktikan dengan menerapkan sistem pemilihan ketua umum dengan pemilihan langsung dan meninggalkan sistem konvensi. Munas Partai Golkar VIII ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Partai Golkar masih eksis dan aktivitasnya penting untuk diketahui khalayak. Salah satu caranya dengan melakukan blow up di media. Munas sebenarnya momentum penting, tapi pelaksanaannya tidak ideal. Penyebabnya, pertama, pimpinan sidang/rapat tidak tegas dalam memimpin. Kedua, peserta rapat tidak bisa saling menghormati dan menghargai sehingga terjadi kericuhan. Munas seharusnya dapat menyatukan anggota partai, namun pelaksanaan munas sangat kacau karena perilaku elite politik yang kurang beretika. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi internal Partai Golkar tidak solid, terlalu banyak kepentingan clxxviii
7
Paramita Sari
8
Joni Rusdiana
3.
dan tidak memiliki pandangan politik yang sama. Terlalu banyak kepentingan antar kader Partai Golkar sehingga menyebabkan munas berlangsung ricuh dan terdapat blok-blok tersendiri antar peserta rapat. Munas sebuah partai itu penting karena merupakan bagian dari demokrasi. Terlebih Partai Golkar punya masalah, yakni kalah dalam pemilu dan Jusuf Kalla mendapat cacian habis-habisan. Masyarakat pasti menunggu bagaimana reaksi JK dan Partai Golkar. Selain itu munas kali ini juga akan menentukan apakah Golkar akan ikut pemerintahan atau tidak
Pandangan Pembaca Kompas terhadap Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar Partai Golkar tidak bisa lepas dari persoalan uang dan kapital. Hal ini
disebabkan sejak masa orde baru partai ini menjadi wadah orang-orang kaya yang ingin melebarkan sayap ke dunia politik. Sampai saat inipun Partai Golkar masih dimotori oleh orang-orang kaya bahkan konglomerat negeri ini. Namun, banyak anggapan yang menyebutkan bahwa kader Partai Golkar masih mempergunakan kekuatan uang tersebut untuk meraih tujuan politisnya terutama dalam perebutan kekuasaan. Seperti yang tercium pada saat pemilihan Ketua Umum dalam Munas Partai Golkar VIII. Politik uang masih menjadi isu lama yang menarik untuk ditelusuri bagi pembaca Kompas. Ansyor misalnya, dirinya beranggapan bahwa politik uang terutama di Partai Golkar tidak lagi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Realita politik di Partai Golkar memang demikian, terlebih kader-kader partai yang baru pun ikut arus menjadi politisi yang pragmatis. “Politik uang untuk hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Ketika suara itu bisa dibeli, politik uang bisa saja terjadi. Saya juga sependapat adanya politik pragmatis Golkar, apalagi ketika kekuasaan yang disana itu bisa dibeli dan bisa dikontrol oleh kandidat yang memiliki clxxix
modal kemudian kandidat itu memiliki pengaruh yang besar. Saya melihat mereka bisa menghalalkan segala cara dan melakukan lobi-lobi untuk melancarkan tujuannya.” (Wawancara dengan Ansyor) Dalam pandangan Ansyor, orang-orang yang berkepentingan di Partai Golkar bisa menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya. Orang-orang yang demikian, menurut Ansyor, adalah kader Partai Golkar yang memiliki dua hal penting, yakni modal kuat dan kekuatan untuk memengaruhi. Kondisi pragmatis Partai Golkar tersebut sangat berpengaruh terhadap hubungan
partai
dengan
masyarakat.
Kepentingan
masyarakat
yang
seharusnya diupayakan oleh partai seakan terabaikan karena adanya kepentingan lain dalam internal partai yang didukung dengan kekuatan uang. “…Golkar sudah tidak bisa lagi menjadi corong aspirasi rakyat. Mereka orang-orangnya cenderung ke politik pragmatis. Jadi orang-orang yang duduk disana, mungkin tidak semuanya, tapi sebagian besar mengharapkan akan mendapat imbalan, akan mendapat kekuatan.” (Wawancara dengan Ansyor) Keadaan demikian persis seperti yang diungkapkan oleh Max Weber yang memandang partai politik dalam aspek profesionalisme, bahwa partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa
dan
memungkinkan
para
pendukungnya
(politisi)
untuk
mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Artinya, pergerakan dalam Partai Golkar muaranya adalah kekuasaan dan keuntungan kader, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, politik dapat diartikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Paramita menganggap, pragmatisme politik yang terjadi di Partai Golkar bukan merupakan isu semata. Banyak hal yang bisa dijadikan bukti clxxx
terutama dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas Partai Golkar 2009. “…dibuktikan dengan keempat kandidat kalau dilihat benar-benar, visi dan misi yang paling bagus Yuddy Chrisnandi. Karena masih muda, dia punya program-program yang untuk demokrasi bagus. Tapi ketika pemilihan sama sekali tidak ada yang memilih dia, Yuddy dapat nol, yang mendapat suara hanya Ical dan Surya Paloh. Ini makin kuat mendukung bahwa mereka memang diberi imbalan walau tidak secara langsung: ini saya kasih uang dan pilihlah saya, tapi dengan cara diberi pesawat carteran, jalan-jalan, fasilitas-fasilitas, itu menurutku sudah merupakan money politics.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Dalam pandangan Paramita, jika Partai Golkar memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki partai, seharusnya calon ketua umum yang dipilih adalah calon dari kader muda yang mengutamakan idealisme partai dan memiliki rencana program yang baik. Akan tetapi, salah satu calon ketua umum yang dianggap Paramita memiliki kompetensi tersebut, yakni Yuddy Chrisnandi, justru sama sekali tidak mendapat suara. Para peserta munas lebih memilih untuk memberikan suara kepada Aburizal Bakrie atau Surya Paloh. Paramita berpendendapat, hal inilah yang menguatkan adanya perilaku politik uang yang dilakukan oleh kedua calon tersebut. Senafas dengan Paramita, Eko Setiawan beranggapan bahwa politik menggunakan kekuatan uang memang realitas yang tidak bisa terhindarkan. Pasalnya, kader partai di kepengurusan daerah juga lebih mementingkan kebutuhan finansial untuk menghidupi organisasi dibandingkan dengan idealisme pokok partai. Maka pengurus daerah ini akan lebih jeli dalam memilih calon mana yang paling banyak memberikan imbalan. “…kita tidak tahu sebenarnya tapi itulah yang terjadi sekarang. Orangorang dari DPD kan tergantung bagaimana dari DPP atau calon-calon clxxxi
memberi uang untuk memilih mereka. Pragmatisme yang ada sekarang itu semacam itu, karena yang dibutuhkan DPD ya finansial. Mereka belajar seperti ini di munas. Nantinya kalau menjadi dewan mereka juga akan pragmatis. Memang tidak sehat, tapi apa boleh buat, proses demokrasi kita baru sampai disana.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Dalam pandangan Eko, pragmatisme dalam Partai Golkar telah mendarah daging dan turun temurun. Kader partai baru akan belajar cara-cara dan sistem partai dari kader partai yang lama. Padahal kader partai yang lama telah lebih dahulu memelajari budaya politik KKN yang diterapkan Soeharto pada masa orde baru. Budaya politik pragmatis ini, menurut Eko, akan dibawa dan dilestarikan kader Partai Golkar jika nantinya terpilih menjadi Dewan Legislatif. Jika terus seperti ini, pragmatisme politik akan menjadi sistem yang tidak bisa dihapuskan dari sistem politik di Indonesia. Keyakinan bahwa Partai Golkar sejak dahulu sudah menggunakan cara-cara instan dalam pencapaian tujuan juga diungkapkan Joni Rusdiana. Menurut Joni, Partai Golkar sejak jaman orde baru memang telah menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan. Dan sisa-sisa pragmatisme itu masih ada sampai sekarang meskipun Partai Golkar telah mencanangkan perubahannya dalam Paradigma Baru Partai Golkar. “Dari dulu Golkar pragmatis. Golkar itu identik dengan kekuasaan. Kalau tidak pragmatis ya namanya bukan kekuasaan, kekuasaan jadi seperti alat. Jadi yang dikejar itu kesejahteraan masyarakat Indonesia, kedaulatan Indonesia, kejayaan Indoenesia, kebudayaan Indonesia, menggunakan logika politik yang sehat, itu tidak pragmatis. Kalau Golkar jelas pragmatis saya yakin itu.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Dalam perspektif Joni, Partai Golkar belum memikirkan permasalahan kebangsaan secara keseluruhan. Kepentingan yang diutamakan partai ini adalah bagaimana Partai Golkar dan kadernya dapat merebut atau mendapat clxxxii
bagian kekuasaan dalam pemerintahan. Langkah yang ditempuh Partai Golkar dalam pencapaian kekuasaan ini, seperti yang diungkapkan oleh Ansyor, adalah menggunakan kekuatan uang. Namun pandangan berbeda diutarakan Kisbandi Virdha. Kisbandi menilai bahwa tidak semua kader Partai Golkar pragmatis, meskipun ada kecenderungan ke arah itu. Uang tidak dimaksudkan untuk meraih kekuasaan, melainkan untuk memperkuat dan mengembangkan kepengurusan Partai Golkar secara keseluruhan. “…sebenarnya tidak pragmatis tapi ada kecenderungan kesitu. Tidak pragmatis terlihat dari Tommy, walaupun dia juga telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit toh dia juga tidak mendapat suara satupun. Jadi, walaupun mereka butuh duit, tapi mereka tidak serendah itu.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha) Tommy Soeharto, menurut Kisbandi, adalah salah seorang calon Ketua Umum Partai Golkar yang mengeluarkan banyak dana untuk kampanye pencalonan dirinya seperti halnya Aburizal Bakrie ataupun Surya Paloh. Namun, Tommy juga bernasib sama dengan Yuddy Chrisnandi yang tidak mendapat suara sama sekali. Dalam pandangan Kisbandi, hal ini dikarenakan peserta memang sudah menentukan pilihan ketua umumnya, bukan menunggu siapa calon yang menawarkan imbalan lebih besar. Di lain pihak Kisbandi tidak menyalahkan apabila ada kader Partai Golkar yang mau menerima bantuan dari kandidat ketua umum. Pasalnya, uang adalah motor penggerak organisasi. Tanpa uang, kepengurusan di daerah tidak bisa menjalankan program kerja yang telah direncanakan. “…Pendapatan partai dari APBN kan juga dijatah, tidak bisa menggantungkan dari itu saja. Dia juga butuh bensin kan? Butuh gizi, clxxxiii
kan? Salah satunya dari sponsor. Siapa yang mau jadi sponsor? Ya yang berkepentingan, tidak mungkin tidak berkepentingan memberi sponsor. Salah satunya dari ketua partai, antek-antek atau tim suksesnya kan juga punya kepentingan yang sama.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha) Dalam pandangan Kisbandi, para kandidat ketua umum sebenarnya memiliki kepentingan ketika memberikan bantuan kepada kepengurusan daerah. Namun mereka menginginkan pengurus daerah menganggap pemberian uang tersebut sebagai bantuan untuk mencukupi kebutuhan kepengurusan di daerahnya. Jadi, jika tidak ingin dianggap melakukan transaksional suara, pengurus daerah selayaknya melihat pemberian uang dari kader Partai Golkar yang berkepentingan tersebut untuk mengembangkan kepengurusan partai di daerah, bukan sebagai alat untuk menyuap mereka. Kewajaran praktek politik uang yang disampaikan Kisbandi mendapat pemakluman dari Joni. Meskipun Joni tidak sependapat jika ada calon yang membagi-bagikan uang ketika melakukan kampanye, tapi praktek politik uang dan suap menyuap adalah hal yang sudah lumrah terjadi di Indonesia. “Politik uang wajar. Maksudnya wajar itu biasa karena sudah membudaya seperti itu, membeli suara. Prakteknya bukan didalam partai saja, sudah ada jauh sebelum itu, misal di pemilihan presiden, dilegislatif itu biasa. Ketika itu berjalan, sangat wajar mereka melakukan itu. Wajar bukan berarti saya sepakat. Apapun politik uang saya tidak sepakat. Membayar orang untuk bersikap yang tidak sesuai dengan yang seharusnya dia ambil, buat aku itu salah. Saya tidak sepakat, karena mungkin mereka orang kaya, jadi wajar, punya uang kok.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Joni menilai jika orang-orang yang berkepentingan dalam partai politik adalah orang kaya, maka sangat wajar jika mereka menggunakan uangnya untuk melakukan suap. Namun Haris Firdaus justru merasa heran mengapa para kandidat bersusah payah melakukan praktek politik uang. Baginya, clxxxiv
jabatan Ketua Umum Partai Golkar bukan posisi yang strategis untuk meraih kekuasaan di pemerintahan. Namun dua calon terkuat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh malah memerebutkan posisi tersebut ketimbang menjabat menjadi menteri. “…Saya tidak bisa membayangkan apa sebenarnya kekuatan Ketua Umum Golkar? Buat apa jabatan ketua umum Golkar? Itu justru membuat Aburizal tidak lagi menjadi menteri. Kekuatan akan jauh lebih besar kalau dia jadi menteri. Kecuali, aburizal memang menyasar menjadi calon presiden, memang saya pikir itu adalah kesimpulan logis dari kenapa dua pengusaha itu bersaing begitu kuat.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Pada pemilu 2014 mendatang Presiden SBY telah habis masa jabatannya dan tidak bisa lagi mencalonkan diri menjadi Presiden. Dalam pandangan Haris, Partai Golkar memiliki kesempatan yang besar untuk merebut kepercayaan masyarakat karena ketokohan SBY sudah tidak ada lagi. Partai Golkar dipastikan juga akan mencalonkan wakilnya untuk maju dalam bursa pemilihan Presiden serta Wakil Presiden dan kemungkinan besarnya adalah orang nomor satu di partai itu, yakni Ketua Umum Partai Golkar. Kepentingan inilah yang menurut Haris paling mungkin untuk menjawab mengapa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar sangat penting bagi keempat kandidat. Idealnya, meskipun banyak kepentingan dan maksud tersembunyi, namun persaingan antar calon ketua umum seyogyanya dilakukan dengan perencanaan dan sikap politik yang mengutamakan etika. Terlebih lagi Partai Golkar adalah partai lama, yang sudah memahami perilaku politik yang baik dan bermoral. Namun, menurut Rorie Asya’ri, jika ada oknum yang sengaja melakukan kecurangan, pihak lain sangat mudah terpancing untuk melakukan clxxxv
hal yang sama. Karena jika tidak melakukan hal yang sama, pihak lain tersebut dipastikan akan kalah dengan mudah. Demikian pula dengan politik uang yang dirasakan Rorie terjadi dalam Partai Golkar. “…pada dasarnya aku tidak setuju, suara kok bisa dibeli, hati nurani kok bisa dibeli. Memang terdengar kabar kalau Aburizal Bakrie bagi-bagi uang, kemudian kubu Aburizal menuduh Surya Paloh melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana kalau pesaing kita melakukan politik uang dan ada signal bahwa mereka akan menang karena salah satunya adalah politik uang yang mereka lakukan, apakah kita juga harus meniru politik uang itu? Biarkan mereka yang bermain politik uang, kita yang bersih, biar rakyat yang berbicara dan pasti akan ketahuan lama-lama kedoknya.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri) Dua calon ketua umum yang paling santer terdengar melakukan politik uang adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Selain karena politik uangnya, kedua calon ini juga yang paling diunggulkan untuk memenangkan persaingan karena pengalaman dan pengabdiannya terhadap Partai Golkar. Rorie memahami jika kedua calon ini berlomba-lomba mengeluarkan banyak uang untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Pasalnya, jika salah satu tidak melakukan hal tersebut, pengurus daerah tentu akan menjatuhkan pilihannya kepada calon lain yang paling kuat. Rorie menuturkan, seharusnya para kandidat tidak tergoda untuk melakukan transaksional suara. Masyarakat umum dan media massa sebagai pengamat politik, menurut Rorie, sudah pintar dan dewasa dalam menyikapi dinamika politik. Elite politik yang bersih akan mendapat perhatian dan dukungan, sementara kemenangan elite politik yang melakukan kecurangan akan diingat sebagai elite yang berperilaku buruk. Tidak hanya bersih dari politik uang, masyarakat akan memberikan apresiasi kepada kandidat ketua clxxxvi
umum partai yang memiliki kompetensi diri untuk memperbaiki kondisi partainya. Seperti yang diungkapkan oleh Ertika Nanda berikut. “Meskipun uang bisa menjadi pendukung, tapi lebih kepada kapasitas dia yang qualified bukan uangnya. Uang iya, tapi ketika melihat kapasitas orang itu bagus, orang akan melihat kapasitasnya dan mengesampingkan uang yang dimiliki.” (Wawancara dengan Ertika Nanda) Namun senada dengan Rorie, Ertika juga menyadari bahwa politik uang yang dilakukan oleh salah satu calon akan memancing calon lain untuk melakukan hal serupa. Dalam pandangan Rorie, hal tersebut bukan karena kandidat ketua umum tidak memiliki idealisme, tetapi realita yang terjadi dilapangan memaksa mereka untuk mengesampingkan idealisme dan pada akhirnya akan bersikap pragmatis. “Kita harus melihat kondisi negara kita, kita tidak bisa men-judge satu bagian dimana bagian itu merupakan bagian dari keseluruhan negara ini, sudah seperti mendarah daging. Memang kita bisa idealis bahwa politik uang itu tidak baik dan harus ditinggalkan. Tapi ketika tidak mempergunakan cara itu, dia tidak akan terpilih, konsekuensinya seperti itu. Dan idealisme kadang tidak bisa bertahan ketika berhadapan dengan realita. Kita bisa bilang macam-macam tentang Partai Golkar tapi tidak terlepas juga dengan kondisi negara kita yang dibawa pada saat masa orde baru. Maksudnya pada saat pemerintahan Soeharto, dia melestarikan bagaimana caranya KKN dan partai dia adalah Golkar. Kalau Golkar kemudian sekarang seperti itu, ya biasa saja, sudah warisan masa lalu.” (Wawancara dengan Ertika Nanda) Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa isu politik uang dan pragmatisme politik yang terjadi pada Munas Partai Golkar VIII sudah menjadi rahasia umum karena partai ini sejak jaman orde baru tidak bisa melepaskan diri dari budaya KKN dan pragmatisme. Namun, harus disadari pula bahwa dalam tubuh partai memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit, sehingga pengurus daerah tidak menolak pemberian uang yang clxxxvii
akan membantu kepengurusan daerah. Politik uang dan pragmatisme politik adalah kesalahan terstruktur dan telah membudaya dalam sistem politik bangsa, sehingga tidak bisa menyalahkan satu atau dua pihak saja. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai isu politik uang dan pragmatisme politik dari masing-masing responden. Tabel 3.10 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Isu Politik Uang dan Pragmatisme Politik No 1
Nama Eko Setiawan
2
Ansyor
3
Kisbandi Virdha
4
Ertika Nanda
5
Rorie Asya’ri
Pendapat Politik uang terjadi karena kepengurusan di DPD membutuhkan finansial sehingga mereka memilih calon ketua umum yang bisa memberikan uang. Hal tersebut merupakan pembelajaran yang buruk tapi proses demokrasi Indonesia masih seperti itu. Politik uang sudah menjadi rahasia umum. Kekuasaan bisa dibeli dan dikontrol oleh kandidat yang punya modal dan pengaruh yang besar. Mereka bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Hal ini membuat Partai Golkar tidak bisa lagi menjadi corong aspirasi rakyat karena sebagian besar kadernya mengharapkan imbalan dan mendapatkan kekuatan. Politik uang itu sah-sah saja karena operasional dan kader partai memang butuh uang. Pihak yang memberikan uang adalah pihak yang berkepentingan, seperti calon ketua umum dan tim suksesnya. Tapi politik uang sifatnya hanya menawarkan, bukan untuk jual beli suara. Jadi walaupun kader partai membutuhkan uang tapi mereka tidak serendah itu. Di munas terlihat sekali siapa yang punya uang, dialah yang menang. Uang merupakan pendukung, namun seharusnya memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas. Calon yang melakukan politik uang misalnya Tommy dan Aburizal. Merupakan hukum alam jika pada saat kampanye mengeluarkan uang, maka saat terpilih berusaha untuk mengembalikan uang itu. Akan tetapi kita tidak bisa menghakimi kondisi yang demikian, karena Partai Golkar tidak terlepas dari budaya KKN yang dibawa oleh Soeharto dan orde baru. Realitanya, Golkar masih menggunakan politik uang. Tidak setuju dengan politik uang, suara dan hati nurani sebenarnya tidak bisa dibeli. Memang ada informasi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh membagi-bagikan uang. Jadi, bagaimana jika pesaing kita melakukan politik uang dan kemungkinan dia akan menang? Seharunya kita tidak meniru clxxxviii
6
Haris Firdaus
7
Paramita Sari
8
Joni Rusdiana
4.
pesaing kita tersebut, biarkan mereka yang bermain uang dan rakyat yang akan menilai dan berbicara siapa yang benar. Naïf jika tidak percaya ada politik uang, tapi memang tidak bisa dibuktikan. Politik uang di semua partai politik pasti ada, terlebih di Partai Golkar. Kemenangan Aburizal Bakrie cukup mengagetkan karena tidak kuat secara politik tapi kuat secara finansial. Sebenarnya apa kekuatan jabatan Ketua Umum sampai menggunakan politik uang? Kemungkinannya, Ketua Umum Partai Golkar akan diajukan menjadi Capres 2014. Masih ada politik pragmatis di Partai Golkar dibutikan dengan Yuddy Chrisnandi yang tidak mendapat suara padahal visi dan misi dia yang paling bagus. Sehingga ada dugaan kuat Aburizal dan Surya Paloh memberi imbalan uang walaupun tidak secara langsung meminta untuk memilih mereka, tapi dengan memberikan fasilitas kepada para pemilih. Sudah jelas bahwa Partai Golkar itu pragmatis. Praktek politik uang yang mereka lakukan sebenarnya sangat wajar. Artinya, dalam pemilu sebelumnya pun praktek seperti ini sudah biasa terjadi. Karena calon ketua umum Partai Golkar adalah orangorang kaya jadi sangat wajar jika bisa melakukan hal tersebut.
Pandangan Pembaca Kompas terhadap Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas Partai Golkar memang identik dengan berbagai bentuk rekayasa.
Keputusan dan kebijakan politik di Partai Golkar banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok yang berusaha mewujudkan keinginannya tersebut. Tidak hanya melalui lobi-lobi dengan pihak yang memiliki wewenang, tetapi pada saat Munas Partai Golkar VIII berhembus isu bahwa kericuhan yang terjadi adalah sebuah rekayasa. Pasalnya kericuhan terjadi karena oleh hal-hal kecil yang tidak berhubungan langsung dengan ideologi partai. Para pembaca Kompas juga mencium kejanggalan dalam kericuhan pada saat pelaksanaan Munas Partai Golkar ini. Penggambarannya dapat dilihat pada pendapat yang diutarakan Ansyor berikut. clxxxix
“Ricuh itu karena hal-hal sepele yang memperlihatkan bahwa mereka bersaing untuk menyuarakan pendapat mereka di munas dan sangat terlihat sekali antara kubu Aburizal dan Surya Paloh bersaing sekali untuk memenangi munas. Saya kira (kericuhan) itu juga di setting karena sudah biasa seperti itu, sebelumnya mereka mengadakan pertemuan dulu dengan pendukung Aburizal, begitu juga dengan Surya Paloh. Mereka berkoordinasi dulu sebelum munas.” (Wawancara dengan Ansyor) Menurut Ansyor, pihak yang paling kentara berseteru dan membuat munas ricuh adalah kubu Aburizal Bakrie dan kubu Surya Paloh. Masingmasing pendukung dari kedua kandidat ketua umum tersebut saling beradu pendapat sehingga terjadi perebutan mic (peralatan tata suara) dan meminta interupsi berulang kali. Bahkan lebih jauh Ansyor menduga telah terjadi konspirasi antara tim sukses dari kandidat dengan pengurus daerah yang mendukungnya sebelum munas berlangsung. Senafas dengan Ansyor, Paramita juga menganggap bahwa kericuhan yang terjadi adalah akibat adanya blok-blok dari kandidat ketua umum. Seperti yang diungkapkan Redi Panuju, bahwa dalam perebutan kekuasaan akan terbentuk blok-blok tertentu yang memiliki banyak sebutan seperti ruling elitee, power elitee, strategic elitee, atau ruling class. Namun Paramita tidak melihat perselisihan antar kubu sebagai sebuah rekayasa yang telah direncanakan sejak jauh hari sebelum munas. Paramita menganggap kericuhan lebih disebabkan karena suasana yang kian memanas di dalam ruang sidang. “Kalau kericuhan itu karena massa dari masing-masing kandidat membela kandidatnya masing-masing. Dan apapun itu yang menyangkut kedua orang calon terkuat akan menjadi konflik, hanya hal-hal kecil itu saja bisa menjadi konflik.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Dalam pandangan Paramita, segala sesuatu yang menyinggung pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pasti dipermasalahkan oleh para cxc
pendukungnya. Pasalnya, kubu salah satu kandidat berusaha agar kubu lain tidak mendapatkan keuntungan yang dapat meningkatkan elektabilitas kandidat yang bersangkutan. Sementara masing-masing kubu juga berusaha mencari kesempatan agar kandidatnya lebih menonjol dan lebih banyak mendapat perhatian oleh semua peserta munas. Kericuhan ini, menurut Eko Setiawan, memang disebabkan karena adanya gesekan kepentingan yang sangat tajam antar kandidat Ketua Umum Partai Golkar, terutama dua kandidat yang paling diunggulkan, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Namun muara kericuhan sebenarnya bukan jumlah total suara dan persaingan pribadi antar kedua kandidat. Dalam hemat Eko, dua kepentingan yang menyebabkan munas berlangsung ricuh adalah karena Partai Golkar adalah partai besar yang memiliki pendukung sangat beragam atau plural serta adanya pilihan Partai Golkar untuk masuk ke dalam lingkaran pemerintahan atau tidak. “Kericuhan merupakan proses yang sulit dihindarkan, pertama karena Golkar adalah partai besar. Kedua karena munas posisinya strategis yakni sebelum SBY menentukan kabinet, ini menentukan Golkar akan masuk kabinet atau keluar pemerintahan. Kalau kemarin ada kerusuhan, memang tidak terhindarkan, gesekannya sangat kental. Tidak hanya di dalam tetapi diluar ruanganpun juga begitu.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Pilihan posisi politik berkoalisi dengan pemerintah atau oposisi, menurut Eko, yang menyebabkan suasana munas semakin memanas. Terlebih lagi, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memiliki pandangan yang saling berseberangan. Aburizal Bakrie menginginkan berkoalisi, sementara Surya Paloh mengharapkan Partai Golkar lepas dari pemerintahan. Akibatnya hal-hal kecil yang berawal dari gesekan antar pendukung dicurigai merupakan cxci
tindakan sabotase dari salah seorang kandidat. Mereka saling tuduh bahwa pihak lain melakukan kecurangan dan sabotase. Dalam bahasa Eko, sabotase ini kemungkinan ditujukan untuk menggembosi calon ketua umum lain. Haris Firdaus juga memiliki pendapat yang serupa dengan Paramita dan Eko. Menurut Haris, kericuhan pada dasarnya memang disebabkan karena cara pandang peserta munas yang sudah berbeda. Pasalnya, masing-masing peserta munas telah menentukan pilihan terhadap Ketua Umum Partai Golkar yang baru sehingga frame berpikirnya hanya berpusat pada kemenangan calon yang dijagokannya. “Kericuhan itu karena perbedaan pendapat, yang dikhawatirkan muaranya sebenarnya ke pemilihan ketua umum, misalnya yang paling sering itu pengakuan atau pengesahan delegasi, dari provinsi atau kabupaten, yang berhak mendapatkan suara. Menurut saya relatif kecil persoalan satu suara atau dua suara. Cuma ada beberapa pihak yang kemudian konspiratif: ini sedang penjegalan, kecurangan, dan sebagainya.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Meskipun banyak pihak menganggap kericuhan hanya sebuah rekayasa, tapi secara bijaksana Joni Rusdiana menganggap bahwa kericuhan yang terjadi pada saat munas sebenarnya bertujuan untuk membesarkan partai. Rekayasa, dalam pandangan Joni, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam dunia politik. Pokok utama dari sebuah rekayasa atau konspirasi, dalam pandangan Joni, adalah apa tujuan dibalik rekayasa tersebut. “Kalau politik itu biasa terjadi setting-settingan, dalam wacana publik sering terjadi setting-settingan, itu memang untuk membesarkan partai, strategi. Tapi saya tidak tahu disengaja atau tidak. Kepentingannya secara teoritis itu bagian dari strategi propaganda. Mewacanakan bahwa Golkar itu bukan partai yang patrialkal, tapi reformis. Semua orang, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa Golkar itu berpenyakit, feodal, cxcii
tapi sekarang dimunculkan Golkar yang baru dari Akbar Tandjung.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Menurut Joni, kericuhan yang terjadi pada saat munas adalah usaha untuk menciptakan citra bahwa Partai Golkar adalah partai yang bisa menjunjung tinggi asas demokrasi. Dalam sistem demokrasi, menurut Amien Rais ada empat macam kebebasan, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama. Maka, selayaknya seluruh peserta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengeluarkan pendapat dan interupsi, sehingga diharapkan keputusan politik tidak hanya didasarkan pada pemimpin rapat saja. Dengan demikian, peserta rapat boleh beradu argumen serta pendapat peserta tidak bisa dibatasi asalkan sesuai dengan tata tertib rapat paripurna. Meskipun, konsekuensinya adalah rapat berlangsung ricuh, banyak pihak yang protes dan tidak puas terhadap keputusan yang diambil. Anggapan bahwa kericuhan adalah representasi demokrasi yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar juga disampaikan oleh Kisbandi Virdha. Karena pada dasarnya, seperti yang dinugkapkan Alfian, demokrasi memang memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan. Menurut Kisbandi, proses demokrasi itu terjadi secara alami sehingga tidak mungkin direkayasa. “Masalah kericuhan itu kan masalah teknis. Wajar, dimana-mana tidak mungkin tertib sekali, pasti ada kerikil-kerikil kecil. Cuma tidak signifikan dampaknya untuk pemilihan atau acara lain yang dominan. Menurut saya tidak mungkin juga itu disetting karena itu masalah-masalah kecil yang dibesar-besarkan, seperti rebutan mic, itu wajarlah di alam demokrasi seperti ini.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha) cxciii
Sama
halnya
dengan
bentuk
demokrasi
Indonesia
yang
memperbolehkan rakyat menyampaikan ide, gagasan, keberatan, dan kritiknya terhadap pemerintah yang berkuasa, dalam pandangan Kisbandi, protes-protes kecil pada saat munas bisa dimaklumi sebagai kebebasan menyampaikan pendapat. Sayangnya, para peserta munas seakan tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah proses berdemokrasi. Persoalan kecil justru dibesarbesarkan dan dipermasalahakan sehingga menghambat jalannya rapat. Sependapat dengan Kisbandi, Rorie Asya’ri menganggap perilaku yang demikian justru menunjukkan bahwa kader Partai Golkar tidak profesional. Persoalan kecil seperti peralatan tata suara yang tiba-tiba mati dalam perspektif Rorie merupakan kesalahan teknis, sehingga tidak selayaknya dihubungkan dengan usaha menyabotase atau mengacaukan pihak lain yang sedang menyampaikan ide dan gagasan. Namun demikian, menurut Rorie, ada penyebab yang membuat kericuhan ini dibesar-besarkan dan dibahas secara khusus di media. “…Nah, kenapa sampai sebegitunya mereka mengangkat itu sebagai suatu kasus karena temperatur, tekanan, atmosfer dan suasana yang tidak mendukung lagi, sudah memanas. Jadi masing-masing pendukung ingin memenangkan yang mereka dukung, itu menyebabkan mereka gampang emosi.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri) Rorie beranggapan, jika tidak ada persaingan antar calon ketua umum yang sangat tinggi, maka kesalahan teknis yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik tanpa keributan. Namun karena masing-masing peserta sudah memiliki pandangan yang berseberangan, maka satu sama lain ketika ada kesempatan akan berusaha untuk menjatuhkan pihak lain. cxciv
Sementara Ertika Nanda berusaha menempatkan dirinya sebagai pihak yang netral. Seperti yang dikatakan Eep Syaefullah, bahwa seharusnya ada pendamaian paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konflik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus disisi lain. Maka menurut Ertika, meskipun dinamika politik bisa dikatakan sebagai proses demokrasi, tapi tidak seharusnya segala bentuk perpecahan diatas namakan proses berdemokrasi. Karena demokrasi yang sesungguhnya harus mampu menyatukan perbedaan untuk menghindari perpecahan. “Ada banyak faktor dalam pencapaian kekuasaan, apapun bisa terjadi, bisa direncanakan, bisa dibuat, negara kita memang seperti itu. Sebenarnya kalau pelaksanaan demokrasi, tidak seharusnya memberi kesempatan dan tidak selayaknya dipergunakan sebagai tameng untuk melakukan kericuhan. Seolah-olah ketika itu terjadi kemudian mengatakan inilah proses demokrasi, itu karena orang-orang kita tidak dewasa. Entah sudah direncanakan atau karena terjadi ketidakadilan, tetapi masyarakat kita sangat tidak dewasa.” (Wawancara dengan Ertika Nanda) Kaitannya dengan pelaksanaan munas, Ertika menganggap kader partai yang menyebutkan bahwa kericuhan pada saat munas adalah bentuk demokrasi dalam Partai Golkar merupakan sikap yang tidak bijaksana. Ertika beranggapan, sistem demokrasi seolah menjadi alasan atau pembenaran bahwa kericuhan merupakan sesuatu yang harus dimaklumi oleh masyarakat. Secara dewasa, dalam persepsi Ertika, perbedaan yang terjadi dalam tubuh partai seharusnya diselesaikan secara baik sesuai dengan peraturan rapat yang bersangkutan. Jika demokrasi diselesaikan dengan cara ribut-ribut, maka menurut Ertika, Indonesia tidak akan maju dan dewasa. Senada dengan pernyataan Ertika, menurut Haris, persoalan yang dihadapi Partai Golkar justru bukan masalah rekayasa atau tidak, akan tetapi cxcv
terkait dengan bagaimana pembentukan image partai ini akibat kericuhan yang terjadi. Haris berbeda pendapat dengan Joni. Jika Joni beranggapan bahwa kericuhan adalah penanda bahwa partai ini bisa berlaku demokratis, menurut Haris citra Partai Golkar justru rusak karena hal tersebut. “…sebenarnya bukan rekayasa, tapi saya tidak membayangkan terjadi dalam partai politik karena partai politik adalah sebuah kelompok yang solid kemudian punya ideologi dominan. Perbenturan kepentingannya sangat nyata dan sangat pragmatis. Dalam sebuah parpol tidak wajar, itu menandai bahwa dalam internal partai politik tidak solid. Oke, itu mungkin bentuk demokrasi, tapi yang penting dalam partai kan kesolidan, kesamaan pandangan. Saya tidak terbayangkan itu terjadi dalam sebuah parpol, kepentingannya sangat besar.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Sekali lagi Haris menganggap bahwa kericuhan menjelaskan bahwa Partai Golkar tidak sehat secara internal. Terlalu banyak kepentingan pribadi dan tidak adanya tokoh dominan sehingga tidak ada yang bisa menyatukan berbagai macam kepentingan tersebut ke dalam satu kepentingan partai. Padahal, menurut Prof. Miriam Budihardjo, partai politik terbentuk karena ada orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Jadi, menurut Haris, proses demokrasi memang diperlukan untuk berdialektika, namun hal tersebut membuat Partai Golkar justru lupa bahwa yang terpenting dalam sebuah partai adalah kesatuan dan kesamaan pandangan. Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa indikasi rekayasa dan kericuhan memang tercium kuat. Rekayasa terjadinya kericuhan dan keputusan-keputusan politik memang wajar terjadi karena banyaknya kepentingan dari masing-masing kubu kandidat ketua umum. Ada yang beranggapan bahwa kericuhan merupakan sesuatu yang lumrah dalam proses berdemokrasi. Namun sebagian lain menganggap bahwa Partai Golkar terlalu cxcvi
mengatasnamakan demokrasi sebagai pembenaran terjadinya kericuhan. Segala bentuk rekayasa dan kericuhan justru membentuk citra bahwa Partai Golkar bukan merupakan partai yang solid secara internal. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari masing-masing responden. Tabel 3.11 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada pelaksanaan Munas No 1
Nama Eko Setiawan
2
Ansyor
3
Kisbandi Virdha
4
Ertika Nanda
5
Rorie Asya’ri
6
Haris Firdaus
Pendapat Kericuhan tidak bisa dihindari karena Partai Golkar adalah partai besar dan posisi munas strategis yakni sebelum SBY menentukan kabinet sehingga menentukan Partai Golkar akan koalisi atau oposisi. Gesekan kepentingan sangat kental, sehingga hal-hal kecil dicurigai, misalnya untuk menyabotase, tujuannya untuk menggembosi salah satu calon. Kericuhan disebabkan hal-hal sepele yang menunjukkan persaingan antara kubu Aburizal dan Surya Paloh untuk memenangkan munas. Kericuhan itu memang di setting karena sebelum munas ada pertemuan atau koordinasi dalam kubu terlebih dahulu. Kericuhan itu hanya masalah teknis, pasti ada kerikil kecil tidak mungkin tertib sekali sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap pemilihan ketua umum. Masalah yang ada di munas adalah masalah kecil yang dibesar-besarkan sehingga tidak mungkin di setting. Dalam pencapaian kekuasaan, apapun bisa terjadi, direncanakan dan dibuat. Seharusnya sistem demokrasi tidak digunakan sebagai tameng untuk melakukan kericuhan. Meskipun hal tersebut direncanakan atau memang terjadi ketidakadilan, namun hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia tidak dewasa. Tuduhan bahwa hal-hal kecil pada saat munas adalah usaha untuk menyabotase atau mengacaukan pihak lain merupakan hal yang tidak profesional. Kericuhan diangkat sebagai sebuah kasus karena tekanan dan suasana munas sudah memanas sehingga menyebabkan para peserta mudah tersulut emosi. Kericuhan disebabkan karena perbedaan pendapat yang muaranya ke pemilihan umum. Persoalannya sebenarnya relatif kecil namun ada pihak yang mengkonfrontasi bahwa hal tersebut adalah penjegalan atau kecurangan pihak lain. Yang tampak bukan masalah rekayasa, tapi dalam internal partai cxcvii
7
Paramita Sari
8
Joni Rusdiana
5.
perbenturan kepentingan sangat nyata dan pragmatis. Hal ini tidak wajar, menunjukkan internal partai tidak solid. Dalam sebuah partai politik yang utama adalah kesamaan pandangan dan kesolidan, tapi di Partai Golkar ada kepentingan lain yang sangat besar Kericuhan itu karena masing-masing pendukung membela kandidatnya masing-masing. Apapun yang menyangkut para kandidat akan menjadi konflik. Para kandidat bersaing karena bermain kepentingan, memperebutkan posisi menjadi oposan atau koalisi. Dua calon terkuat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memilih arah politik yang berbeda, sehingga persaingan ini semakin di blow up media. Dalam politik, setting kericuhan atau rekayasa adalah hal yang biasa. Tujuannya adalah membesarkan partai dengan mewacanakan diri atau propaganda bahwa Partai Golkar bisa berlaku reformis tidak patrialkal. Partai Golkar sudah terkenal berpenyakit dan feodal, dan sekarang dimunculkan Partai Golkar yang baru.
Pandangan Pembaca Kompas terhadap Posisi Politis Partai Golkar Pasca Munas Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 menjadi
sangat strategis karena tepat dua minggu sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 pada 20 Oktober 2009. Pilihan posisi politik Partai Golkar menentukan apakah kader Partai Golkar akan dimasukkan SBY ke dalam kabinet atau tidak. Sebelumnya Partai Golkar melalui Jusuf Kalla sudah mengambil ancang-ancang untuk menjadi oposisi. Namun karena dua pesaing kuat kandidat Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh berbeda arah politik, munas yang direncanakan berlangsung bulan Desember maju menjadi awal Oktober. Bahkan ketika Rapat Pimpinan Nasional
cxcviii
(Rapimnas) Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah mengusulkan munas diajukan kembali pada akhir September. Menurut pembaca Kompas, waktu pelaksanaan munas memang dibuat agar berlangsung sebelum SBY menetapkan nama-nama menteri. Tujuannya agar kader yang menginginkan berkoalisi dengan Partai Demokrat lebih leluasa dan memiliki kesempatan untuk dimasukkan ke dalam kabinet. Seperti yang diutarakan Ertika Nanda berikut ini. “…Pelaksanaan sebelum pemilihan kabinet juga supaya personil Partai Golkar dipilih di kabinet. Jelas munas itu menunjukkan eksistensi dan orang-orang yang telah mendukung ketua yang sudah jadi mungkin diajukan menjadi menteri.” (Wawancara dengan Ertika Nanda) Menurut Ertika, persaingan ideologi mengenai arah politik calon ketua umum sebenarnya sudah dimulai jauh hari sebelum munas. Bahkan waktu pelaksanaan munas menjadi sangat penting untuk diatur sedemikian rupa agar tujuan mereka tercapai. Perbedaan arah politik Partai Golkar, menurut Eko Setiawan, juga membuat seluruh kader partai bimbang untuk meyakini pendapat tokoh mana. Seperti diketahui, JK dan Surya Paloh berharap Partai Golkar lepas dari pemerintah. Sementara Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung menginginkan tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Keempatnya merupakan tokoh yang sangat disegani oleh seluruh kader Partai Golkar. “… Sebenarnya Partai Golkar sudah bimbang. Surya Paloh diluar pemerintahan, ical didalam pemerintahan. Kalau Golkar berada dalam pemerintahan, tentu Golkar akan eksis, terutama karena dia dekat dengan pemerintan dan kekuasaan, serta kader Golkar bisa mengakses link pemerintah. Dengan pola-pola tertentu pasti partai Golkar akan berkembang. Beda ketika Golkar ada diluar pemerintah, mereka akan sulit mengaplikasikan program partai dan rakyat jelas akan melihat program pemerintah daripada program partai.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) cxcix
Eko melihat, posisi koalisi memiliki banyak keuntungan. Keuntungan tersebut dapat dimanfaatkan Partai Golkar untuk mengembangkan partai selama periode lima tahun mendatang. Dengan banyak terlibatnya Partai Golkar dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, partai ini akan dipandang lebih banyak oleh rakyat. Secara otomatis, hal ini akan mengembalikan kepercayaan publik lagi terhadap Partai Golkar. Namun jika Partai Golkar memilih beroposisi, partai ini akan kesulitan untuk mengaplikasikan programprogramnya di masyarakat. Senada dengan Eko, Paramita Sari menilai posisi koalisi sebenarnya banyak keunggulan dikarenakan pemerintahan SBY selama ini bersifat sentralistik. “Jelas koalisi nanti akan diuntungkan karena terlihat sekali di pemerintahan 2009-2014 ini sangat sentralistik. Pemenangnya kan Demokrat secara telak, pendukungnya SBY juga terlalu banyak. Disana akan mudah bermain kepentingan karena kalau ikut yang kalah itu pasti akan jadi berat jalannya.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Koalisi memungkinkan Partai Golkar untuk ikut ambil bagian dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Sementara jika pilihan Partai Golkar adalah menjadi oposisi, menurut Paramita, kemungkinan karena Partai Golkar ingin mengambil hati masyarakat kecil yang selama ini kurang mendapat perhatian pemerintah. Namun, senada dengan Eko, Joni Rusdiana menganggap posisi oposisi masih sangat rentan dengan kegagalan. Jika Eko beranggapan bahwa posisi oposisi akan membuat rakyat tidak memerhatikan program partai, Joni justru melihat ada kebingungan mengenai program apa yang akan dijalankan partai selama lima tahun mendatang. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai massa cc
yang memiliki pendukung beragam, bukan merupakan partai kader yang militan. Menurut Prof. Miriam Budihardjo, partai massa lebih mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Sementara partai kader lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja anggotanya. Sehingga partai kader memiliki kegiatan kaderisasi yang terstruktur selama rentang waktu sebelum pemilu, sementara partai massa cenderung memiliki program yang beragam pula menyesuaikan dengan basis pendukungnya. “…Menjadi oposisi itu hal yang membingungkan bagi Golkar karena hal yang baru. Oposan itu pekerjaannya apa sih? Kalau loyalitas itu loyalitas orang-orang kampung yang tidak militan, jadi loyalitas karena faktor psikologis. Cuma kasus saja kalau dia punya pandangan, persepsi yang baik: dulu ada Golkar saya kenyang, tapi sekarang? Saya kelaparan, harga mahal. Dengan kondisi sekarang ada PKS yang orang-orangnya militan, PAN juga sebagian militan. Kemudian PDIP yang saya tahu juga membuat gerakan-gerakan seperti PKS, membuat kajian-kajian, membuat klik-klik di masyarakat.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Menurut Joni, posisi oposisi akan membuat perubahan yang besar dalam tubuh Partai Golkar. Selain itu, posisi ini kurang cocok diterapkan di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun jika pilihan posisi politik Partai Golkar adalah berkoalisi dengan pemerintah yang berkuasa, dalam pandangan Eko, juga tidak memberikan jaminan bahwa partai ini akan lebih berkembang daripada sebelumnya. Paling tidak, menurut Eko, Partai Golkar tetap eksis dan diperhatikan masyarakat Indonesia. “Partai Golkar eksis iya, tapi kalau berkembang kita lihat dulu nanti karena mau tidak mau Partai Golkar masih berada dibawah SBY dan Demokrat, dan itu sangat berpengaruh. Ical dan kawan-kawan di Partai Golkar harus pintar-pintar memainkan posisinya di pemerintahan.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Dalam pandangan Eko, posisi koalisi yang diambil Partai Golkar harus dimanfaatkan benar-benar oleh Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Jika cci
dilihat dari segi kekuasaan, Partai Golkar memang diuntungkan karena masuk dalam lingkaran pemerintah. Namun, posisi Partai Golkar tetap berada dibawah kendali Partai Demokrat sebagai pemimpin koalisi besar. Namun tidak semua pembaca Kompas menganggap posisi koalisi menguntungkan bagi Partai Golkar. Ansyor, menilai pilihan koalisi ini justru sangat mengecewakan terutama bagi rakyat kecil. “Selama berkuasa, Golkar memang selalu berada di pihak pemerintah. Dan yang saya sesalkan saat ini Golkar yang diketuai oleh Aburizal masih pro terhadap pemerintah. Aburizal Bakrie harusnya beroposisi terhadap pemerintah karena memang itulah posisi yang berpihak kepada rakyat. Kalau Golkar berpihak kepada pemerintah, maka siapa lagi yang akan mengontrol pemerintah? Rakyat pasti akan kecewa terhadap Golkar dan bisa saja diramalkan pada pemilu 2014 nanti Golkar mengalami kekalahan.” (Wawancara dengan Ansyor) Dalam pandangan Ansyor, meskipun banyak resiko yang harus dihadapi jika memilih oposisi, tetapi dengan posisi tersebut lebih banyak masyarakat yang menggunakan Partai Golkar sebagai wadah penyalur aspirasinya. Selain itu, Partai Golkar bisa menempatkan diri sebagai pengawas program pemerintah, sehingga apabila ada penyelewengan yang merugikan rakyat, Partai Golkar bisa memperjuangkan keadilan untuk masyarakat. Pilihan posisi berkoalisi dengan Partai Demokrat, menurut Ansyor, justru membuat Partai Golkar kembali kehilangan pamor pada Pemilu 2014. Senada dengan Ansyor, Kisbandi Virdha menganggap posisi oposisi adalah posisi paling ideal yang seharusnya diambil Partai Golkar. Pasalnya, menurut Kisbandi, tujuan koalisi hanya untuk mendapatkan kursi menteri saja.
ccii
Namun demikian, menurut Rorie Asya’ri, posisi Partai Golkar saat ini justru menguntungkan bagi internal partai, tetapi jika partai ini tidak segera melakukan pembenahan internal, pada pemilu 2014 partai ini tetap akan kalah. “Untuk 2014, kalau pergantian ketua umum hanya sebagai formalitas, sebagai rutinitas lima tahunan, besok 2014 akan keteteran, kecuali kalau pemerintah SBY ini bener-bener jatuh, sampai ada revolusi besar-besaran akibat Century, Golkar dapat peluang. Nah, ini keuntungan si licik ‘abuabu’, karena dia tidak berada di kutub yang jelas.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri) Berbeda dengan Rorie, menurut Paramita Sari, popularitas dan kekuatan Partai Golkar saat ini justru semakin menurun. Namun Paramita mengamini pendapat Rorie bahwa penyebab melemahnya Partai Golkar adalah permasalahan kesolidan program dan kadernya. “Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, dahulu orang kecil ketika ditanya tentang partai, pasti yang teringat Golkar. Simbol-simbol Golkar di masyarakat pada waktu itu sangat banyak, oleh karena itu Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, tidak sampai ke akar rumput. Dia malah seperti ditinggalkan oleh basis pendukungnya yang dulu-dulu.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Partai Golkar setelah masa reformasi, dalam persepsi Paramita, tidak lagi dekat dengan pendukungnya di daerah. Padahal basis pendukung paling kuat partai ini justru berada di daerah. Terlebih lagi kondisi internal partai penuh dengan konflik, sehingga kepercayaan masyarakat bahwa Partai Golkar dapat memperjuangkan kepentingan mereka semakin surut. Paramita menganggap, lemahnya Partai Golkar juga dikuatkan dengan persaingan antar calon ketua umum pada pelaksanaan munas. “…terpilihnya Ical ini merupakan awal dari keterpurukan Golkar. Karena pemilihan itu sudah dimulai dengan konflik dulu dalam internalnya. Jadi, yang tidak setuju dengan terpilihnya Ical pasti akan cciii
membelot, tidak akan mendukung Golkar sepenuhnya, tidak sepenuh hati.” (Wawancara dengan Paramita Sari) Persaingan antar calon ketua umum, menurut Paramita, tidak hanya berhenti pada saat pelaksanaan munas saja. Pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil munas dan kemenangan Aburizal Bakrie diindikasikan akan membuat perpecahan dalam hubungan internal. Maka pada masa mendatang, menurut Eko, Partai Golkar harus benar-benar menjaga dan memperhatikan kesolidan internal partai. “Golkar kedepan harus pandai-pandai untuk menjaga internal, karena bibit-bibit (perpecahan) itu sudah ada, seperti kemarin Aburizal memasukkan Rizal Malarangeng di DPP. Saya kira itu sudah melangkahi kawan-kawan yang telah berproses terlebih dahulu.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Senada dengan Rorie, Paramita menganggap ketidaksolidan dan persoalan konflik internal inilah yang akan menghambat jalan Partai Golkar pada pemilu 2014. “Ketika Pemilu 2014, iya kalau sudah bersatu lagi, bagaimana kalau ternyata ada masalah internal lagi? Bagaimana nanti soal siapa yang dicalonkan Golkar untuk menjadi misalnya cawapres atau menyalon jadi capres? Kalau mereka tidak menyatu untuk kepentingan ini mereka akan pecah, itu merupakan keterpurukan. Dengan pemberitaan-pemberitaan kekacauan ini, berarti juga menjadi image negatif di masyarakat juga, kan?” (Wawancara dengan Paramita Sari) Masyarakat umum, dalam pandangan Paramita, lebih memerhatikan perilaku negatif elite politik dibandingkan dengan prestasinya. Citra Partai Golkar di masyarakat pada saat pelaksanaan munas, menurut Paramita, sangat buruk karena pertikaian antar kubu kandidat ketua umum. Apalagi, dalam persepsi Haris Firdaus, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Aburizal Bakrie, selama beberapa tahun terakhir memiliki citra yang cciv
sangat buruk karena kasus lumpur Lapindo yang belum terselesaikan. Haris menganggap terpilihnya Aburizal Bakrie merupakan kesalahan besar yang akan membuat pendukung Partai Golkar yang konsen dengan persoalan Hak Asasi Manusia dalam kasus Lapindo meninggalkan partai ini. “Kemenangan Aburizal ini berdampak buruk, membuat Golkar semakin tidak dominan, tidak popular, paling tidak dengan orang-orang yang getol dengan persoalan Lapindo. Itu senjata yang bisa dimanfaatkan pada persoalan politik tertentu. Aburizal komitmennya terhadap SBY juga bisa dikatakan sekutu. Pengaruh munas buruk, itu blunder Golkar yang memilih Aburizal. Terbukti, sekarang Golkar tidak kedengaran suaranya ketimbang dulu.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Namun, menurut Haris, pemilihan pemimpin Partai Golkar memang berada pada situasi yang sulit. Pada dasarnya, masa depan Partai Golkar ditentukan oleh siapa yang memimpin partai pada masa krisis saat ini. Padahal Partai Golkar tidak memiliki tokoh yang dominan yang mampu menyatukan seluruh kepentingan partai yang beragam. Sementara empat tokoh politik yang menjadi calon ketua umum Partai Golkar tidak ada yang benar-benar kuat. Haris mencontohkan Aburizal Bakrie dan Yuddy Chrisnandi. “Mungkin secara ideal, Golkar itu sehat kalau tidak ada money politics dan tidak dipimpin oleh Aburizal, yang kemudian dipimpin oleh kader dari bawah.Tapi kalau Golkar dipimpin oleh Yuddy Chrisnandi Golkar juga akan kalah, karena dia tidak punya dukungan. Jadi menurut saya Golkar seperti itu, orang tidak lagi melihat partai tapi orang masih melihat tokoh. Kecuali, mungkin terjadi perubahan peta politik karena SBY tidak bisa lagi (menjabat presiden), orang akan mencari tokoh baru dan tidak tahu apakah tokoh Golkar bisa mengisi.” (Wawancara dengan Haris Firdaus) Dalam pandangan Haris, Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan yang menyeluruh terhadap partai, sehingga partai ini tidak hanya mengandalkan lengsernya Presiden SBY. Karena partai lain pun kini sedang menyusun strategi untuk pemenangan pemilu Presiden 2014. Untuk itu, Joni, ccv
menyaratkan Partai Golkar harus membuat sebuah strategi yang benar-benar baru agar tidak mengalami kekalahan kembali. “…kalau Golkar tidak membuat strategi politik yang masih sama dengan yang lama, susah. Sementara partai lain membuat strategi yang baru yang lebih dekat dengan masyarakat, yang setiap sebelum pemilu sampai pemilu berikutnya dia akan bergerak karena dia membuat komunitas yang setiap saat harus dikelola. Dan Golkar seperti hangathangat tahi ayam, bekerja ketika menjelang pemilu, itu sudah kuno buat saya, sangat pragmatis. PDIP meskipun pragmatis, tapi dia menggunakan cara-cara yang modern, dengan konstan dia bergerak, berusaha menjadi pelayan masyarakat.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana) Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa posisi politis Partai Golkar pasca Munas Partai Golkar VIII memang sulit diprediksi. Pilihan koalisi yang diambil Partai Golkar dipandang sebagai posisi yang kurang menguntungkan bagi rakyat miskin dan dewan legislatif. Selain itu, dilain pihak, pada saat pelaksanaan munas, citra Partai Golkar justru semakin memburuk dikarenakan kericuhan dan perpecahan dalam internal partai. Kurang kuat dan solidnya partai ini membuat banyak pembaca Kompas meragukan eksistensi Partai Golkar pada pemilu 2014. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari masing-masing responden. Tabel 3.12 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Posisi Politis Partai Golkar No 1
Nama Eko Setiawan
Pendapat Partai Golkar sebenarnya masih bimbang, Surya Paloh memilih oposisi, Aburizal memilih koalisi. Jika Partai Golkar berkoalisi, partai ini akan eksis karena dekat dengan pemerintah dan kekuasaa. Namun jika beroposisi, akan sulit mengaplikasikan program partai karena rakyat lebih memperhatikan program pemerintah. Dibawah Aburizal, Partai Golkar belum tentu berkembang karena masih dibawah bayang-bayang SBY dan sudah terdapat bibit-bibit perpecahan karena dirinya ccvi
2
Ansyor
3
Kisbandi Virdha
4
Ertika Nanda
5
Rorie Asya’ri Haris Firdaus
6
7
Paramita Sari
8
Joni Rusdiana
memasukkan tim sukses SBY dalam kepengurusan DPP. Partai Golkar selalu berada di pihak penguasa sejak dulu sampai kepemimpinan Aburizal sekarang. Seharusnya Partai Golkar memilih oposisi, karena posisi tersebut lebih memungkinkan partai ini untuk membela rakyat dan mengontrol pemerintah. Hal ini membuat rakyat kecewa dan Partai Golkar diramalkan akan kembali kalah pada pemilu 2014. Posisi paling ideal bagi Partai Golkar adalah oposisi agar parlemen tidak dikuasai oleh pihak koalisi. Pasalnya tujuan untuk berkoalisi hanya didasarkan agar Partai Golkar mendapat kursi di kabinet. Koalisi Partai Golkar dengan Partai Demokrat agar partai ini tetap eksis dalam kancah politik di Indonesia. Salah satu caranya dengan berusaha memasukkan kadernya sebagai menteri di pemerintah SBY. Pada pemilu 2014 Partai Golkar punya peluang jika pemerintahan SBY dan Partai Demokrat jatuh Di Partai Golkar, ideologi tergantung siapa tokohnya. Jika dipimpin Aburizal, Partai Golkar tidak sehat karena ada politik uang dan bukan kader dari bawah. Namun jika dipimpin Yuddy, Partai Golkar juga akan kalah karena tidak punya dukungan. Kemenangan Aburizal merupakan blunder dan berdampak buruk, yakni membuat Partai Golkar tidak dominan, tidak popular, khususnya untuk korban Lapindo. Koalisi akan menguntungkan Partai Golkar karena pemerintahan saat ini bersifat sentralistik, sehingga mudah bermain kepentingan. Namun Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, tidak sampai akar rumput, dan ditinggalkan oleh pendukungnya. Terpilihnya Aburizal juga merupakan awal dari keterpurukan Partai Golkar karena di awal pemilihan sudah ada konflik dalam internal. Jadi yang tidak satu kubu dengan Aburizal pasti akan membelot dan tidak mendukung Partai Golkar sepenuh hati. Untuk 2014, posisinya kurang menguntungkan karena berbagai macam pemberitaan kekacauan membuat image negatif tentang Partai Golkar di masyarakat. Posisi dan program oposisi cukup membingungkan bagi Partai Golkar karena merupakan sesuatu yang baru. Akan sulit diterapkan di Partai Golkar karena loyalitas pendukung Partai Golkar dalah loyalitas orang kampung karena faktor psikologis bukan karena militansi kader. Jika Partai Golkar masih mengharapkan menang dalam pemilu 2014, maka partai ini harus membuat strategi baru karena partai lain sudah melakukan strategi pendekatan dengan masyarakat dari sekarang. Apalagi, kecenderungan pemilih pemula adalah memilih partai-partai yang relatif baru. ccvii
C.
Membandingkan Frame Kompas dan Frame Pembaca Kompas Pada dua sub bab diatas telah dianalisis frame Kompas dan frame pembaca
Kompas dalam pemberitaan Munas Partai Golkar VIII. Dari dua bentuk frame tersebut, pada dasarnya terdapat keterkaitan ataupun juga ketidakterkaitan antar frame. Maka pada sub bab ketiga ini, peneliti membuat perbandingan antar frame berdasarkan masing-masing sub tema yang telah ditentukan. Dalam penelitian deskriptif, menurut Jalaluddin Rakhmat, salah satu tujuannya adalah melakukan perbandingan atau evaluasi.151 Tujuan pembandingan ini adalah untuk mengetahui apa saja persepsi media yang dipahami sama oleh pembaca serta apa saja persepsi pembaca yang tidak terkait pada pandangan media tersebut. Perbandingan antar frame dapat dilihat pada lima sub tema yang dijabarkan berikut.
1.
Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar Persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar mendapat tempat
khusus bagi Harian Kompas. Pemberitaan mengenai komentar, opini, atau kegiatan masing-masing calon ketua umum lebih sering ditampilkan Kompas selama tiga bulan rangkaian pemberitaan Munas Partai Golkar. Di satu sisi, pemberitaan mengenai persaingan ini menandakan bahwa pada realitanya, antar calon ketua umum berjuang sekuat tenaga untuk memperebutkan kursi
151
Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991, hal: 25
ccviii
Ketua Umum Partai Golkar. Namun disisi lain, pembaca Kompas menilai Kompas terlalu larut dalam hiruk pikuk tersebut. “Masih terlihat Kompas hanya mengekspos ketua umum Golkar saja, program, visi dan misi mereka secara menyeluruh tidak diekspos lebih dalam.” (Wawancara dengan Eko Setiawan) Bahkan
lebih
jauh,
walaupun
Kompas
berusaha
menjaga
kenetralannya, beberapa pembaca Kompas menilai Kompas memiliki kecenderungan untuk memberikan ruang pemberitaan yang lebih besar terhadap salah satu kandidat ketua umum, yakni Aburizal Bakrie. Namun terlepas dari persepsi pembaca Kompas tersebut, berdasarkan analisis teks dan hasil wawancara dengan pihak media, ada beberapa pandangan tersendiri dari Kompas terhadap persaingan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar VIII. Diantaranya, persaingan antar kandidat ketua umum sangat kentara terutama antara kandidat yang kaya dengan kandidat yang “miskin”. Kandidat yang kaya, dalam hal ini Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh dukungan, sementara kandidat yang tidak mengeluarkan banyak uang dalam proses kampanye, yaitu Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, lebih banyak mengkritisi kandidat yang kaya. Pengeluaran dana kampanye yang berlebihan oleh kandidat kaya dinilai tidak wajar dan sangat boros. Melihat hal tersebut, semakin tampak bahwa persaingan perebutan ketua umum yang sesungguhnya hanya diantara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Pandangan Kompas tersebut pada dasarnya tidak terlalu jauh dengan perspektif yang ditangkap oleh pembaca Kompas. Pembaca Kompas ccix
menganggap bahwa persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar sangat kontras, terutama dalam perilaku jorjoran uang. Namun, pembaca Kompas melihat, perebutan ketua umum partai adalah hal yang biasa, akan tetapi panasnya persaingan di tubuh Partai Golkar menjadi tidak imbang karena dua calon ketua umum terkuat adalah pemilik media besar berskala nasional. Hampir semua pembaca Kompas yang menjadi responden penelitian ini juga menggunakan media televisi untuk melihat pemberitaan Munas Partai Golkar, sehingga mereka dapat melihat persaingan yang lebih nyata diantara para calon ketua umum. Selain karena faktor uang, pembaca Kompas juga memandang bahwa persaingan yang terjadi didukung dengan adanya faksi atau kubu masing-masing calon ketua umum yang ikut bersaing di media. Ada dua pandangan yang bertolak belakang mengenai terjadinya persaingan yang begitu nyata pada keempat calon ketua umum ini. Pandangan pertama, pembaca Kompas yang melihat bahwa persaingan antar calon adalah sesuatu yang wajar. Alasannya karena Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Di alam demokrasi, perbedaan, perang argument, kampanye dan persaingan adalah sesuatu yang dilegalkan asalkan tetap berada pada etika politik yang baik. Sementara pandangan yang kedua adalah pembaca Kompas yang melihat bahwa persaingan antar calon ketua umum yang sangat tajam ini tidak wajar. Penyebabnya, keempat calon ketua umum berada pada satu payung partai, sehingga perbedaan yang begitu tajam justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
ccx
Secara umum, Ketua Umum Partai Golkar yang ideal menurut Kompas adalah mengetahui sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, mau berjuang memajukan Partai Golkar dan perekonomian bangsa, bisa memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai, punya integritas, misi dan visi kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik yang matang. Namun menurut Kompas, pada realitanya hanya ada tiga syarat agar bisa terpilih menjadi Ketua Umum, yakni memiliki kekuasaan, uang, dan jaringan yang terorganisir. Pandangan pembaca Kompas juga sama dengan Kompas, bahwa ketua umum yang menjadi pemenang adalah calon ketua umum yang kaya dan yang rela mengeluarkan uang.
2.
Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII Munas bagi partai politik pasti memiliki urgensi yang sangat krusial
untuk masa depan partai. Terlebih lagi bagi partai besar seperti Partai Golkar yang baru mengalami dua kali kekalahan memalukan pada Pemilu 2009 silam. Kompas menyimpulkan ada beberapa permasalahan pokok yang sedang melanda Partai Golkar, yakni idealisme partai yang telah hilang dan pragmatisme politik kadernya. Maka dari itu, Kompas memandang bahwa Munas Partai Golkar tahun 2009 merupakan momentum yang menentukan hidup mati partai. Artinya, jika momentum ini digunakan sebaik-baiknya, maka Partai Golkar bisa kembali berjaya pada Pemilu 2014, dan sebaliknya, jika momentum ini gagal menjadi tonggak kebangkitan, suara Partai Golkar akan menurun bahkan mungkin hilang sama sekali. Kompas melihat, partai ini ccxi
masih memiliki kesempatan yang besar untuk bangkit karena Partai Golkar memiliki kader berkualitas dan banyak pengalaman. Bagi Kompas, banyak agenda penting yang harus dicapai di munas, yakni pembahasan persoalan partai dan permasalahan bangsa. Agenda yang juga penting bagi internal partai adalah penentuan siapa yang terpilih menjadi ketua umum partai. Permasalahannya, ada dua pihak yang bertentangan dari calon ketua umum, yakni pihak yang pro dengan pemerintah, yaitu Aburizal Bakrie, dan pihak yang independen (oposisi), yaitu Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto. Namun realitanya, pelaksanaan munas ternyata penuh dengan ketidakidealan, sehingga munas bisa dikatakan tidak berhasil mencapai tujuannya. Pun demikian dengan pandangan pembaca Kompas. Mereka menganggap bahwa Munas Partai Golkar adalah momentum yang penting bagi Partai Golkar karena partai ini adalah partai besar yang kalah dalam pemilu 2009. Selain itu, munas patut menjadi perhatian karena dua hal penting: Pertama, munas sengaja dilaksanakan sebelum pelantikan kabinet agar lebih leluasa menetapkan pilihan posisi koalisi terhadap pemerintah. Kedua, perubahan mekanisme baru yang dipakai dalam pemilihan ketua umum dari sistem konvensi menjadi pemilihan umum langsung. Kaitannya dengan poin kedua, tujuan Partai Golkar adalah pembuktian diri kepada masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis serta masih eksis di kancah politik di Indonesia. Namun demikian, menurut
ccxii
pembaca Kompas, perbedaan arah politik kandidat ketua umum membuat esensi munas tidak tercapai karena penuh kekacauan dan konflik internal.
3. Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Isu politik uang menjadi isu sensitif yang sering diberitakan oleh Kompas. Pada hakikatnya, Kompas percaya bahwa politik uang memang benar terjadi dalam proses pemilihan ketua umum Partai Golkar. Dasar yang dipakai Kompas adalah informasi yang santer terdengar dan observasi langsung pada saat peliputan munas. Bagi Kompas, fakta nominal harga satu suara sangat tinggi dan mengejutkan. Namun, tidak semua calon dan tim suksesnya yang menjadi pelaku politik uang. Kompas menempatkan pembuka tabir kecurangan terjadinya politik uang adalah dua calon ketua umum sendiri yakni Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto. Yuddy dan Tommy adalah dua calon ketua umum yang dianggap bersih dari politik uang. Bahkan Yuddy menjadi inisiator membawa kasus politik uang dan penerimaan uang suap ini untuk ditindaklanjuti oleh KPK. Sementara itu, pelaku politik uang, menurut Kompas, adalah pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Perilaku politik uang dan suap menyuap dikatakan Kompas merupakan bentuk pragmatisme politik Partai Golkar. Kompas percaya bahwa Partai Golkar sejak dahulu adalah partai dengan kader yang pragmatis. Hal tersebut masih dilestarikan hingga saat ini. Sehingga, praktek politik uang yang terjadi sekarang akan kembali menghancurkan partai ini sendiri.
ccxiii
Pembaca Kompas pun menganggap bahwa pragmatisme politik Partai Golkar memang sudah ada sejak jaman orde baru. Namun, bagi mereka, pragmatisme politik yang terwujud dalam praktek politik uang sudah menjadi rahasia umum di Indonesia. Bahkan, lebih jauh dikatakan bahwa politik uang wajar terjadi karena para calon ketua umum adalah orang-orang kaya sehingga bisa mempergunakan kekayaannya untuk memenangkan kompetisi. Catatan yang juga penting adalah bahwa kepengurusan daerah tidak akan menolak adanya politik uang dari para calon. Pasalnya, DPD juga membutuhkan uang untuk kelangsungan kehidupan organisasi partai di daerah masing-masing sehingga mereka tidak mudah menolak pemberian uang. Salah satu hal yang dijadikan bukti terjadinya politik uang yakni karena Yuddy Chrisnandi tidak mendapat suara sama sekali. Padahal jika dicermati, Yuddy adalah tokoh muda yang idealismenya masih kuat dan punya visi misi yang baik. Dalam pandangan pembaca Kompas, hal ini justru menyiratkan pertanyaan apa sebenarnya pentingnya jabatan Ketua Umum Partai Golkar hingga para calon rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Namun demikian, meskipun politik uang merupakan perbuatan yang salah, keadaan dan kondisi politik di Indonesia memaksa para calon ketua umum untuk melakukannya. Sistem politik di Indonesia telah membudayakan adanya politik suap menyuap sehingga masih sulit untuk dilepaskan.
4.
Indikasi
Rekayasa
Pelaksanaan Munas ccxiv
dan
Kericuhan
pada
Ricuh menjadi sesuatu yang lumrah di alam demokrasi. Kebebasan berpendapat dan kebebasan memilih seakan menjadi tameng untuk memberi kelegalan dalam setiap aksi kericuhan. Pun demikian dengan kericuhan yang terjadi pada penyelenggaraan Munas Partai Golkar VIII. Menurut Kompas, pihak-pihak yang berseteru memenangkan pemilihan ketua umum memiliki kekuatan yang sama besar, tertutama karena adanya dukungan blok-blok yang besar. Blok-blok tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga akumulasi kepentingan justru menimbulkan kericuhan di munas. Selain kepentingan dari masing-masing blok calon ketua umum, DPD juga memiliki kepentingan internal yakni memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan organisasinya di daerah. Maka mereka mudah dipengaruhi dan ditekan dengan uang, khususnya oleh pihak Aburizal Bakrie. Kericuhan yang bermula dari hal-hal kecil ini, bagi Kompas, tidak bisa terhindarkan dari sebuah proses di partai politik. Namun hal ini bukan merupakan dinamika politik yang wajar dalam wujud demokrasi di Indonesia. Rekayasa tidak hanya pada aksi kericuhan yang terjadi, namun sudah ada sejak proses pemilihan pimpinan sidang dan aturan pemilihan ketua umum. Proses-proses tersebut dibuat sedemikian rupa agar menguntungkan salah satu pihak, yakni Aburizal Bakrie atau Surya Paloh. Indikasi rekayasa semakin menguat karena banyak hal yang ditutup-tutupi dan tersembunyi dalam munas. Pembaca Kompas juga menangkap persepsi yang sama dengan pandangan yang disajikan Kompas. Kericuhan yang terjadi karena hal-hal ccxv
sepele tersebut merupakan bukti adanya rekayasa politik dalam pelaksanaan munas. Akar terjadinya kericuhan karena masing-masing faksi atau blok antar kandidat yang semakin memanas dimana terjadi perbenturan kepentingan yang sangat tajam. Namun, dilain pihak ada pula pembaca Kompas yang menganggap bahwa kericuhan adalah proses demokrasi yang tidak mungkin direkayasa. Hanya saja peserta munas menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidakprofesionalan
dalam
proses
penyelesaian
persoalan
tersebut.
Demokrasi hanya menjadi pembenaran untuk semua bentuk kericuhan. Melihat hal tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa Partai Golkar adalah partai yang tidak solid karena terlalu banyak memiliki kepentingan pribadi.
5.
Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas Usai perhelatan munas rampung, banyak evaluasi yang diberitakan
Kompas mengenai hasil munas dan pilihan posisi politik partai ini dalam pemerintahan SBY. Bagi Kompas, pelaksanaan munas dan terpilihnya Aburizal Bakrie banyak diwarnai oleh rekayasa dan kecurangan. Kemenangan Aburizal Bakrie layaknya kemenangan SBY karena sebagian besar partai politik menjadi anggota koalisi Partai Demokrat. Konsekuensinya DPR akan tumpul. Padahal, posisi ideal Partai Golkar adalah oposisi, hal ini ditujukan untuk menjaga agar lembaga eksekutif tidak dominan dan otoriter. Sementara pembaca Kompas melihat dari awal Partai Golkar memang menginginkan koalisi dengan Partai Demokrat untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Posisi ini sangat disesalkan karena tidak akan ada lagi yang akan berpihak kepada rakyat kecil. Namun sebenarnya Partai Golkar sendiri ccxvi
bimbang, karena kedua pilihan politik memiliki keuntungan bagi mereka. Jika memilih koalisi, Partai Golkar akan tetap berada dibawah bayang-bayang Partai Demokrat, namun jika memilih oposisi, mereka masih bingung dengan program kerjanya. Tabel 3.13 Perbandingan Media Frame dan Audience Frame Sub tema 1. Persaingan Antar Calon Ketua Umum Partai Golkar
-
-
-
Media Frame Persaingan tidak imbang dan kontras antara calon yang kaya dengan calon yang miskin Persaingan yang sesungguhnya hanyalah diantara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh Ketua Umum Partai Golkar yang ideal seharusnya memiliki kriteria: tahu sejarah partai, punya visi misi dan integritas, latar belakang ekonomi dan politik yang mapan. Namun realitanya, syarat menjadi ketua umum Partai Golkar harus memiliki tiga hal: kekuasaan, uang dan jaringan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2. Arti Penting Munas Partai Golkar ke VIII
-
-
-
Munas Partai Golkar 2009 adalah momentum penentuan hidup mati partai. Jika munas sukses, Partai Golkar akan kembali Berjaya, namun jika gagal, Partai Golkar diprediksi akan tumbang Momentum kebangkitan Partai Golkar ditentukan dengan siapa ketua umum yang akhirnya terpilih Ada beberapa permasalahan penting yang harus diselesaikan di munas, yakni adanya dua pihak
ccxvii
a.
b.
c.
d.
e.
Audience Frame Persaingan sangat kontras karena ada jorjoran uang dari calon ketua umum yang kaya Persaingan tidak imbang karena dua calon ketua umum adalah pemilik media nasional Masing-masing calon ketua umum memiliki faksi-faksi atau kubu yang terstruktur (jaringan) Persaingan antar calon ketua umum wajar terjadi karena asas demokrasi Indonesia memberikan kebebasan berpendapat Persaingan antar calon ketua umum tidak wajar karena terjadi didalam satu payung partai politik yang seharusnya solid Kandidat yang bisa memenangkan persaingan adalah calon yang kaya dan rela mengeluarkan banyak uang Munas Partai Golkar penting karena Partai Golkar adalah partai besar yang mengalami kekalahan dalam pemilu 2009 Munas berusaha untuk menghasilkan keputusan posisi koalisi, maka pelaksanaannya dibuat sebelum pelantikan kabinet Munas penting karena perubahan mekanisme atau cara pemilihan ketua umum. Munas sebagai bukti eksistensi Partai Golkar di depan masyarakat Perbedaan arah politik
-
-
3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum
-
-
-
-
-
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
-
-
-
calon ketua umum yang bertentangan, yaitu calon yang pro pemerintah dengan calon independen (oposisi), matinya idealisme partai dan pragmatisme kader yang meresahkan. Sebagai partai besar dan berpengalaman lama, Partai Golkar masih punya kesempatan besar untuk bangkit dari keterpurukan Realita pelaksanaan munas ternyata penuh dengan ketidakidealan Politik uang memang terjadi dalam proses pemilihan ketua umum, berdasarkan informasi yang santer terdengar saat munas Nominal harga satu suara sangat tinggi dan mengejutkan Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto bersih dari politik uang, bahkan Yuddy lah yang membuka tabir kecurangan politik uang di munas Aburizal Bakrie dan Surya Paloh dikesankan sebagai pelaku politik uang Politik uang telah menghancurkan Partai Golkar sendiri
Kekuatan antar kandidat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh sama-sama kuat sehingga terjadi persaingan yang sengit dan saling menjatuhkan Rekayasa pada pelaksanaan munas terjadi karena banyaknya kepentingan peserta munas DPD punya kepentingan internal sehingga mereka mudah dipengaruhi dan ditekan dengan uang,
ccxviii
kandidat ketua umum membuat esensi munas tidak tercapai karena penuh kekacauan dan konflik internal
a.
b.
c.
d.
e.
a.
b.
c.
Pragmatisme politik dan politik uang adalah sebuah rahasia umum, sudah ada sejak orde baru dan wajar terjadi karena para kandidat adalah orang kaya Yuddy merupakan tokoh muda yang idealis namun tidak mendapat suara sama sekali, hal ini merupakan salah satu bukti terjadinya politik uang Politik uang bisa dimaklumi karena DPD butuh uang untuk menjalankan organisasional partai di daerah Politik uang mengherankan karena tujuan dari jabatan ketua umum tidak jelas. Politik uang adalah sesuatu yang salah, tetapi keadaan memaksa mereka untuk melakukannya. Sistem politik di Indonesia telah membudaya sehingga sulit untuk dilepaskan Kericuhan dikarenakan hal-hal sepele sehingga diindikasikan terjadi karena adanya rekayasa Kericuhan disebabkan adanya faksi atau blok antar kandidat yang semakin memanas Kericuhan adalah proses demokrasi yang tidak direkayasa, namun peserta menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidakprofesionalan. Sehausnya demokrasi tidak selalu menjadi tameng untuk
-
-
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
a.
b.
c.
khususnya oleh pihak Aburizal Bakrie Banyak hal yang ditutuptutupi dan tersembunyi dalam munas Kericuhan mempermalukan Partai Golkar, bukan merupakan dinamika politik yang wajar dalam demokrasi karena sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu Pelaksanaan munas dan terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai ketua umum banyak diwarnai rekayasa Kemenangan Aburizal Bakrie adalah kemenangan SBY, konsekuensinya DPR akan tumpul karena sebagian besar fraksi di DPR mendukung pemerintah Posisi ideal Partai Golkar adalah oposisi untuk menjaga agar lembaga eksekutif tidak dominan
d.
-
-
-
-
Sumber : Olahan peneliti
ccxix
segala bentuk kericuhan Kericuhan menandakan bahwa Partai Golkar tidak solid dan terlalu banyak kepentingan pribadi
Partai Golkar dari awal menginginkan posisi koalisi Partai Golkar masih bimbang, jika memilih koalisi akan tetap berada dibawah bayang-bayang Partai Demokrat, namun jika oposisi, masih bingung dengan bentuk program kerjanya Koalisi dan oposisi masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangan Posisi koalisi Aburizal Bakrie disesalkan karena tidak ada lagi yang akan berpihak pada rakyat kecil sehingga idealnya Partai Golkar berada di posisi oposisi Partai Golkar pada Pemilu 2014 diprediksi akan kembali kalah
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Konstruksi
Harian
Kompas
tentang
Partai
Golkar
dalam
Pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi khalayak pembaca mengenai Partai Golongan Karya (Golkar) dalam pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada pemberitaan di Harian Kompas bulan Oktober 2009. Persepsi khalayak tidak muncul dengan sendirinya, banyak faktor yang melatarbelakangi dan salah satunya tergantung bagaimana media yang bersangkutan, yakni Harian Kompas, mengkontruksi pemberitaan mengenai peristiwa tersebut. Maka sebelum melihat bagaimana persepsi mengenai Partai Golkar yang pada khalayak, harus diketahui terlebih dahulu konstruksi yang dibuat Kompas. Dari analisis data yang telah dilakukan pada 10 teks berita mengenai Munas Partai Golkar ke VIII di Kompas bulan Oktober 2009 dan hasil wawancara dengan wartawan politik dan hukum Kompas, Suhartono dan Sutta Dharmasaputra, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Kompas dalam mengkonstruksi realitas pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru, berusaha menerapkan pedoman obyektivitas dalam pemilihan narasumber dan redaksional berita. Pedoman obyektivitas yang dilakukan Kompas antara lain selalu menampilkan narasumber dari semua pihak yang ccxx
berseberangan atau berbeda pendapat (cover both sides), misalnya diantara kubu empat kandidat yang berseteru dalam perebutan Ketua Umum Partai Golkar yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, Tommy Soeharto, dan Yuddy Chrisnandi. Selain itu, pada redaksional berita, Kompas banyak menggunakan tanda kutip pada kata-kata yang konfrontatif atau sensitif terhadap pihak lain, seperti kata “harga” suara; “dinamika politik”, “bermuka dua”, dan “gizi”. Kata-kata tersebut secara konotatif memiliki kecenderungan memperkeruh suasana Munas yang sudah memanas, maka Kompas berada pada posisi netral dengan menggunakan tanda kutip pada kata-kata tersebut. Kedua, sesuai strategi yang diungkapkan Dan Nimmo tentang penggambaran fakta tanpa melupakan prinsip obyektivitas, Kompas juga menggunakan strategi tertentu pada redaksional dan tampilan berita untuk menunjukkan fakta dan sikap media tetapi tampak obyektif. Strategi tersebut diantaranya adalah: mengkonfrontir pendapat pihak-pihak yang berseteru; penggunaan tanda kutip pada kata-kata sensitif; penggunaan kata atau kalimat metafora seperti “bermuka dua”, “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”; insert yang menonjolkan kesederhanaan salah satu kandidat, Yuddy Chrisnandi; penggunaan narasumber yang dirahasiakan identitasnya berulang kali untuk menjelaskan kecurangan dan politik uang pada pelaksanaan Munas; penerapan penulisan berita secara piramida terbalik yakni pihak yang dianggap penting atau berjasa ditempatkan paling awal, sementara pihak yang dianggap sebagai “penjahat” ditempatkan pada akhir berita. Contohnya
ccxxi
tampak dalam pemberitaan tentang indikasi politik uang yang dilaporkan Yuddy Chrisnandi yang menyudutkan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Ketiga, sesuai misi Harian Kompas tentang kemanusiaan, keadilan, dan perlawanan terhadap penindasan, Kompas tidak menyetujui dinamika politik dan perilaku elite politik yang negatif pada pelaksanaan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Perilaku negatif tersebut diantaranya: persaingan antar calon yang terlalu jorjoran uang, adanya politik uang dalam proses pemilihan yang menegaskan pragmatisme partai, hingga kericuhan dan indikasi rekayasa politik dalam pelaksanaan Munas. Kompas berusaha mengkritisinya dengan berbagai cara, diantaranya dengan membandingkan perilaku kandidat yang jorjoran dengan kandidat yang hanya mengeluarkan sedikit uang; penggambaran dua kandidat Ketua Umum sebagai korban dari tindakan politik uang, sementara dua kandidat lain sebagai pelaku politik uang; serta pendeskripsian kejadian kericuhan karena permasalahan sepele. Melihat pelaksanaan Munas tersebut, Kompas memandang Partai Golkar yang sekarang masih memiliki kemiripan dengan Partai Golkar pada masa orde baru, terutama dalam pragmatisme kader dan cara pengambilan keputusan yang penuh rekayasa. Kompas melihat, pemilihan dan perebutan Ketua Umum Partai Golkar yang ketat adalah satu kemajuan yang positif untuk mengembalikan kejayaan partai, namun Kompas menyayangkan kemajuan tersebut tetap dikotori dengan langkah dan strategi pragmatis, bukan programatis dari para calon ketua umum. Kompas juga tidak sepakat dengan posisi politik Partai Golkar yang memilih untuk berkoalisi dengan Partai ccxxii
Demokrat. Pilihan tersebut, menurut Kompas akan membentuk pemerintahan yang tidak sehat, sehingga posisi ideal yang seharusnya diambil adalah oposisi agar kontrol lembaga legislatif pada lembaga eksekutif tidak tumpul.
2. Persepsi Khalayak Pembaca Harian Kompas tentang Partai Golkar dalam Pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII Khalayak pembaca yang menjadi responden penelitian ini memiliki kesamaan yakni pembaca golongan usia muda dari kategori khalayak intelek yang responsif terhadap pemberitaan media massa. Meskipun berasal dari kategori khalayak yang sama, namun 8 responden penelitian ini memiliki latar belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut ikut mempengaruhi persepsi mereka terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar. Faktor paling menonjol yang ditemukan peneliti yang melatarbelakangi persepsi pembaca Kompas diantaranya adalah intensitas membaca rangkaian pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII, penggunaan media massa lain terutama media elektronik dalam mengakses informasi mengenai Munas Partai Golkar, pemahaman mengenai sejarah Partai Golkar, serta kegiatan atau aktivitas keseharian. Dari hasil wawancara yang dilakukan, secara umum mereka dapat menangkap simbol-simbol pada berita di Kompas yang membentuk bingkai media. Pembaca Kompas mengkombinasikan pemahaman yang diterimanya dari bingkai media dengan pengetahuan dan keyakinannya, sehingga memunculkan persepsi yang lebih beragam dibandingkan dengan pandangan media. Ada tiga pokok persepsi yang muncul dari khalayak pembaca Kompas. ccxxiii
Pertama, pembaca Kompas memandang pemilihan Ketua Umum sebuah partai sebenarnya merupakan peristiwa politik biasa, namun pemberitaan Munas Partai Golkar mendapat perhatian besar karena kepemilikan media oleh dua calon Ketua Umum. Munas Partai Golkar yang seharusnya menampilkan citra yang demokratis, justru banyak mengalami permasalahan yang dimunculkan media, seperti persaingan antar kandidat yang tidak sehat, pragmatisme kader dan pengurus daerah, perpecahan internal, kericuhan, dan rekayasa politik, yang menyebabkan Partai Golkar kembali mendapatkan citra buruk yakni sebagai partai yang tidak solid. Kedua, meskipun prihatin dengan politik uang dan rekayasa yang terjadi dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, pembaca Kompas menilai permasalahan politik uang dan rekayasa politik Partai Golkar bukan murni kesalahan partai ini saja. Akan tetapi karena politik uang dan rekayasa politik telah membudaya dalam sistem politik di Indoensia sejak era orde baru dan sangat sulit untuk dihapuskan, terutama bagi Partai Golkar sebagai partai yang ditunggangi pemimpin orde baru. Ketiga, pembaca Kompas melihat Partai Golkar tetap ingin mempertahankan diri dalam lingkaran kekuasaan. Pembaca Kompas menilai, posisi koalisi sebenarnya memberi keuntungan bagi Partai Golkar terutama dalam pencitraan program kerja dan karakter partai di depan publik. Pun demikian, posisi oposisi juga kurang sesuai diterapkan di Indonesia yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi dilain pihak, posisi koalisi dipandang sebagai posisi yang tidak berpihak pada rakyat kecil. ccxxiv
3. Hubungan Konstruksi Kompas dan Khalayak Pembaca Kompas Berdasarkan temuan frame media dan frame khalayak tersebut, tampak bahwa frame khalayak pembaca banyak memiliki kemiripan dengan frame yang dibentuk Kompas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa frame khalayak pembaca dipengaruhi oleh frame media Kompas. Khalayak tidak melihat perisitiwa Munas Partai Golkar ke VIII secara langsung, sehingga persepsi yang terbentuk dari khalayak mendapatkan pengaruh dari pemilihan isu dan penonjolan fakta oleh Kompas. Terlebih lagi, khalayak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah khalayak usia muda yang tidak mengetahui secara langsung sejarah Partai Golkar di masa lalu, sementara Kompas sebagai institusi media, pasti memiliki data dan dokumentasi yang lengkap, sehingga khalayak lebih mempercayai data yang disajikan Kompas karena tidak memiliki pengalaman empiris terhadap Partai Golkar. Namun, meskipun pandangan khalayak banyak yang sama dengan pandangan media, ada beberapa persepsi khalayak pembaca yang bertolak belakang atau berbeda dengan frame media. Pertama, media menilai bahwa persaingan antar Ketua Umum tidak imbang karena perbedaan kekayaan antar calon ketua umum dan persaingan yang ketat diantara kandidat merupakan kemajuan yang positif dalam partai. Sementara dalam persepsi khalayak, persaingan antar Ketua Umum tidak imbang justru disebabkan karena kepemilikan dua media televisi besar oleh dua kandidat dan justru mempertanyakan urgensi jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Pasalnya,
ccxxv
perebutan Ketua Umum Partai Golkar justru membuat para kandidat tidak terpilih menjadi pejabat pemerintah. Kedua, media menganggap bahwa politik uang yang diindikasikan terjadi pada pemilihan Ketua Umum Partai Golkar sangat memprihatinkan dan mengecewakan. Hal ini menandakan bahwa Partai Golkar yang sekarang masih sama dengan Partai Golkar pada era orde baru. Namun bagi khalayak pembaca, politik uang wajar terjadi karena pengurus daerah membutuhkan dana untuk operasional partai dan tidak bisa dipersalahkan kepada Partai Golkar saja karena telah membudaya sehingga sulit dilepaskan dari sistem politik di Indonesia.
B. Saran 1. Saran Bagi Praktisi Media a. Dalam menjalankan fungsinya memberikan informasi kepada publik, praktisi media perlu menjunjung obyektivitas dan netralitas berita dengan prinsip cover both sides terutama pada berita politik atau berita perseteruan. Tujuannya agar pemberitaan tidak berat sebelah sehingga tidak memunculkan konflik baru yang lebih besar. b. Kaitannya dengan kepemilikan media, para praktisi media terutama bagian redaksi harus bisa memisahkan kepentingan pemberitaan di ruang redaksi dengan kepentingan keuangan perusahaan meskipun obyek atau subyek berita adalah pemilik atau petinggi media yang bersangkutan.
ccxxvi
2. Bagi Khalayak Media a. Khalayak pembaca media diharapkan tidak hanya menerima informasi secara mentah. Pembaca seyogyanya memahami bahwa berita merupakan konstruksi bertahap dari wartawan yang meliput di lapangan dan ideologi dari institusi media, sehingga pembaca atau pemirsa diharapkan lebih kritis dalam merespon pemberitaan di media massa. b. Untuk mengetahui permasalahan secara utuh, khalayak sebaiknya tidak hanya membaca satu berita saja, namun mengikuti rangkaian berita yang disajikan media. Pasalnya media memiliki keterbatasan dan kebijakan tertentu dalam penentuan agenda setting.
3. Bagi Peneliti Lain a. Sebagai bagian dari studi ilmu politik, masih banyak sudut pandang yang bisa ditelaah dari penyelenggaraan momentum politik besar seperti musyawarah nasional sebuah partai politik. Hal ini didukung dengan mulai adanya keterbukaan dan kebebasan pemberitaan media massa mengenai permasalahan politik di negeri ini. b. Dalam menggali dan mengkonstruksi wacana di media cetak dengan model analisis framing dirasa belum cukup menggunakan satu model dan satu teori saja. Pendekatan dengan mengkombinasikan dengan model dan teori lain akan memperkaya hasil analisis c.
Penggunaan metode wawancara mendalam (depth interview) terhadap khalayak media selayaknya terlebih dahulu menggali lebih dalam ccxxvii
mengenai latar belakang pembaca seperti pendidikan, organisasi, pekerjaan, pemikiran, serta kesehariannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang membentuk pandangan atau persepsi pembaca media mengenai sebuah pemberitaan atau informasi. d. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan mengambil responden khalayak intelek. Penelitian berikutnya akan sangat berguna jika menggunakan teknik pengambilan sampel lain sehingga dapat lebih menjangkau khalayak yang lebih luas.
ccxxviii
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Ilmiah/Jurnal Mietzner, Marcus. Comparing Indonesia's party systems of the 1950s and the post-Suharto era: From centrifugal to centripetal inter-party competition. Journal of Southeast Asian Studies, 39 (3). The National University of Singapore, 2008. Scheufele, Dietram A. Framing as Theory of Media Effect. Journal of Communication, Vol. 49. Internasional Communication Assosiation, 1999. Tomsa, Dirk. Party Politics and the Media in Indonesia: Creating a New Dual Identity for Golkar. Singapore: Contemporary Southeast Asia. Vol. 29, Iss. 1, 2007.http://proquest.umi.com/pqdweb/?index=2&did=1284185441&SrchMode =1&sid=3&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD &TS=1268037558&clientId=80413 akses tanggal 8 Maret 2010 pukul 15.40.
Buku Ardianto M.Si, Drs. Elvinaro dan Dra. Lukiati Komala Erdinaya M.Si. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Cetakan ketiga. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 1999. BM, Mursito. Penulisan Jurnalistik: Konsep dan Teknik Penulisan Berita. Solo: Studi Pemberdayaan Komunikasi, 1999. Budihardjo, Prof. Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Creswell, John W. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. California: SAGE Publications, 1998. Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Rosdakarya, 2000. Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS, 2002. Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Firmanzah, Ph.D. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. ccxxix
–––––––––––––. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas, 2005. Kriyantono S.Sos M.Si, Rachmat. Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Lay, Cornelis. Involusi Politik: Esai-esai Indonesia. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Politik Loka dan Otonomi Daerah dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, 2006. Maswadi Rauf, et al. Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. ––––––––––. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Nurudin. Komunikasi Massa. Malang: Cespur, 2004 Oetama, Jacoeb. Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Kompas, 2001. Panuju, Redi. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009. Pawito, Ph.D. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS, 2007. Rakhmat M.Sc, Drs. Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Rosdakarya, 1991. Santana, Septiawan. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Silalahi MA, Dr. Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2009. Sobur M.Si, Drs. Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Rosdakarya, 2001. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS, 2001.
ccxxx
Sugiyono, Prof. Dr. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2008. Tandjung, Akbar. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Cetakan kedelapan. Jakarta: Sekretariat Dewan Pers, 2007
Skripsi: Firdaus, Haris. Skripsi, Konstruksi Kompas dalam dua blog (Analisis Wacana Kritis tentang Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan Inside Kompas). Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009. Mardana, Gigih. Skripsi, Analisis Framing Komunikasi Politik Elite NU di Harian Kompas dan Republika Periode November-Desember 2004. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2005.
Surat Kabar: Kompas, “Lima Krisis Lilit Golkar”, edisi 10 Agustus 2009 Kompas, “Golkar Harus Manfaatkan Munas untuk Kebangkitan”, edisi 9 September 2009 Kompas, “Aburizal Bakrie Dinilai Tepat Jadi Ketua Umum”, edisi 5 Agustus 2009 Website: http://digilib.petra.ac.id www.golkar.or.id http://groups.yahoo.com/group/bubarkangolkar/message/348 http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/aburizal-bakrie/biografi/06.shtml
Unpublished Company Profile Harian Umum Kompas, Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, 2005
ccxxxi
ccxxxii