Dinamika Politik Internal Partai Golkar Pada Masa Kepemimpinan Jusuf Kalla 2004-2009 Muhammad Hasan Saeful Rijal dan Wawan Ichwanuddin Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Abstrak Penelitian ini memberikan kajian dinamika politik internal lainnya pada saat Jusuf Kalla memimpin Partai Golkar. Pada periode ini, lahir dua partai politik baru yaitu Partai Hanura dan Partai Gerindra yang didirikan oleh Wiranto dan Prabowo yang mempunyai hubungan erat dengan Partai Golkar. Pada masa ini, menjadi awal dari penguasaan Partai Golkar oleh para saudagar. Sebagai partai pendukung pemerintah, Partai Golkar juga mengalami penurunan perolehan suara di Pemilu 2009 dibanding Pemilu 2004. Ketiadaan mekanisme manajemen konflik yang baik membuat partai ini akan selalu dibayangi perpecahan. Partai politik lain akan kembali lahir dari Partai Golkar. Setidaknya sudah ada tiga partai besar yang lahir dari Partai Golkar, yaitu Partai Demokrat, Partai Hanura dan Partai Gerindra. This thesis provide the internal political dinamic in the time of Jusuf Kalla lead Golkar Party. In this period, two political parties (Hanura and Gerindra) were born established by Wiranto and Prabowo that had close relation with Golkar Party. We can say that in this time Golkar Party by merchants. Golkar partay had decreased for voting in 2009 if compared with 2004. The bad management of risk makes this party always be shadowed by divisions. Al least, three new parties had born by Golkar, they are Democtrat Party, Hanura Party, and Gerindra Party. Kata Kunci: Munas; Partai Politik Baru; Saudagar
A. PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik Indonesia telah memberikan peluang partisipasi politik yang lebih luas bagi setiap warga negara. Tidak hanya politik nasional yang berubah wajah, tetapi juga partai politik itu sendiri harus menyesuaikan dengan iklim politik yang lebih terbuka. Golkar1pun meresponnya dengan melakukan pembenahan internal karena tuntutan reformasi dan
1
Pada masa Orde Baru, Golkar tidak memposisikan diri sebagai partai politik. Akan tetapi, UU Pemilu pada masa itu mengatur organisasi kekaryaan bersama dengan partai politik bisa mengikuti pemilu. Setelah Munaslub tahun 1998, Golkar mengubah diri menjadi partai politik.
1
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
setelah kehilangan sosok sentralnya, yaitu Soeharto2. Hilangnya figur kunci ini kemudian melahirkan persaingan di antara tokoh-tokoh internal Golkar. Persaingan yang terjadi guna merebut kursi ketua umum dan menjadi sosok utama dalam tubuh Golkar. Musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) digelar pada tahun 1998 guna memilih ketua umum yang baru. Pada Munaslub ini, kelompok merah (sekuler/pro status quo) yang terdiri dari kelompok militer, kelompok Cendana dan Trikarya (SOKSI, Korgoro, dan MKGR) bertarung dengan kelompok putik (islam/pro reformasi) yang terdiri dari kelompok ICMI, KNPI, dan HMI. Terpilihnya Akbar Tandjung menunjukkan bahwa Golkar menginginkan perubahan, sementara Edi Sudradjat pada akhirnya membentuk partai politik baru yaitu Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Golkar sendiri kemudian memproklamirkan diri sebagai partai politik dengan AD/ART dan paradigma baru. Keluarnya kelompok Edi Sudradjat tidak serta merta meredakan dinamika politik internal Golkar. Pada masa kepemimpinannya, dinamika politik internal Partai Golkar kembali memanas menyusul ditetapkannya Akbar Tandjung sebagai tersangka dugaan kasus koruspi dana bantuan sosial. Upaya untuk melengserkan Akbar Tandjung dilakukan berbagai pihak terutama kelompok Irmasuka dengan mengusulkan diadakannya Munaslub. Upaya ini pada akhirnya gagal bahkan Akbar Tandjung bebas setelah kasasinya di Mahkamah Agung diterima. Bebasnya Akbar Tandjung ini kemudian memuluskan jalannya dalam Konvensi Nasional Partai Golkar untuk memilih calon presiden dari partai ini dalam Pemilihan Presiden 2004. Di tengah dinamika politik internal yang begitu panas, Akbar Tandjung berhasil membawa Partai Golkar memenangi Pemilu Legislatif 2004 dengan 21,58 % suara3. Sementara itu, pada Pemilu legirlatif 2009, Partai Golkar mengalami penurunan perolehan suara dengan “hanya” memperoleh 14,45% suara. Oleh karena itu, maka muncul pertanyaan bagaimana dinamika politik internal Partai Golkar pada masa kepemimpinan Jusuf Kalla? Penelitian ini kemudian diharapkan bisa menjadi salah satu perbendaharaan ilmiah terkait dinamika politik internal dalam sebuah partai politik Indonesia. Selain itu, diharapkan pula partai politik bisa mengambil kebijakan yang tepat dalam mensikapi setiap dinamika yang terjadi dalam internal partainya. 2
Soeharto merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar yang mempunyai kewenangan besar bagi arah kebijakan Golkar. Soeharto merupakan sosok kunci kemenangan Golkar dalam setiap Pemilu sejak 1972 sampai 1997. 3 http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf diakses pada tanggal 28 Maret 2013.
2
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Tinjauan Teoritis Partai politik secara umum didefinisikan sebagai wadah perjuangan politik yang berusaha untuk mendapatkan posisi atau masuk ke dalam struktur kekuasaan. Partai politik mempunyai fungsi sebagai agen sosialisasi politik, komunikasi, rekrutmen politik serta agregasi dan artikulasi kepentingan4. Ini menunjukkan bahwa partai politik merupakan wadah bagi warga negara untuk ikut serta dalam pembentukan kebijakan-kebijakan /publik/negara secara demokratis dan terbuka. Peran dan posisi ini yang kemudian menempatkan partai politik sebagai salah satu manifestasi dari kekuatan politik yang ada di masyarakat, yang terbagi dalam kelompok-kelompok dengan ikatan ideologis, simbol, maupun isu tertentu5. Terlepas dari peran serta fungsi yang ideal seperti di atas, partai politik memiliki kecenderungan untuk bertindak menurut kepentingan sendiri yang tertuju pada kepentingan pemimpin atau kelompok elit politik tertentu. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan oligarki politik sebagai konsekwensi dari semakin kompleknya sebuah masyarakat. Situasi seperti ini kemudian mengakibatkan partai politik dilihat sebagai aktor yang memiliki kepentingan sendiri seolah terlepas dari basis konstituennya akibat kebutuhan teknis dan praktis6. Kepentingan dalam partai politik juga tidak an sich memiliki kepentingan tunggal (homogen). Rafl Dahrendorf mengatakan bahwa dalam masyarakat industri terdapat kelompok kepentingan dan kelompok semu. Partai politik dalam hal ini bisa dinyatakan sebagai kelompok semu yang di dalamnya masih mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang sesungguhnya7. Dengan ini kemudian bisa dilihat bahwa partai politik merupakan sebuah organisasi politik yang di dalamnya mempunyai berbagai macam kepentingan. Kondisi yang demikian pada akhirnya menciptakan situasi yang rawan konflik serta dinamika politik internal lainnya. Terkait asal usulnya, Firmanzah mengatakan bahwa partai politik bisa berasal dari pecahan atau sempalan partai politik lainnya. Konflik internal, semangat konservatisme, kekecewaan terhadap pimpinan dan garis kebijakan partai, terhambatnya proses regenerasi 4
Ramlan Subaktik, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 144-145. Miriam Budiardjo (ed), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 16-17 6 Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarki dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), hlm. 38. 7 Ralf Dahrendorf, Kelas dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hlm. 367-380. 5
3
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
kade, dan tertutupnya aspirasi politik merupakan faktor penyebab keluarnya sejumlah politisi dari suatu partai. Elit politik atau politisi dalam model pembentukan partai ini berperan amat penting. Konflik, kekecewaan dan tidak terfasilitasinya kepentingan elit politik membuat mereka cenderung membentuk partai politik baru. Hal ini didukung dengan sistem politik multipartai. Pola pembentukan partai ini pada akhirnya sangat mudah terjebak dalam kepentingan praktis politisi atau kehendak untuk berkuasa seorang pimpinan8. Dari berbagai sudut pandang terhadap partai politik di atas, terdapat berbagai kemungkinan hubungan antara politik dengan konflik dan dinamika lainnya9. Pertama, partai politik lahir dari atau merupakan cermin konflik yang terjadi di masyarakat. Kedua, partai politik dianggap sebagai kelompok yang independen yang berkonflik dengan partai politik lain atau kelompok-kelompok di masyarakat. Ketiga, terjadi konflik antar kelompok di dalam partai politik yang dinyatakan sebagai faksionalisasi serta terbentuk faksi. Faksionalisasi dalam tubuh partai sering kali dipandang sebagai sesuatu yang negatif dan sering berhubungan dengan kekacauan, lemahnya organisasi partai serta berhubungan dengan tujuan atau kepentingan politik tertentu10. Faksionalisasi juga dapat dipandang sebagai pola yang sementara dan tidak bertahan lama yang terjadi pada isu-isu tertentu. Faksionalisasi partai merupakan salah satu ciri dari partai politik modern karena menunjukkan kekuatan yang merata dalam tubuh partai itu yang tidak bergantung pada satu sosok yang sentral. Pada mulanya faksi yang terjadi karena kurangnya kontrol partai. Pada perkembangannya, faksionalisasi ini berkembang karena konsolidasi dalam tubuh partai yang lemah. Carl H. Lande, seperti yang dikutip oleh Steffen, berpendapat bahwa faksi dan faksionalisasi adalah sebagai berikut11: The term “factionalism” is associated in particular with competition between dyadic non corporate groups. This stems from the fact that this term has been used traditionally to denote groups engage in political rivalry prior to the appearance of modern political parties in the West, and is used today to denote groups which compete for dominance within the confines of political party. Both “factions” of the 8
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 63-65. 9 Hans-Dieter Klingemann, Partai, Kebijakan dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 9-10. 10 Paul G. Lewis, Political Parties in Post-Communist Easten Europe, (New York: Rouletge, 2000), hlm. 116. 11 Steffen W. Schmidt, James C. Scott, etc (eds), Friends, Followers, and Faction: A Reader in Political Clientism, (California: University of California Press, 1977), hlm. 75.
4
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
pre-party and intra-party type tend to be characterized by unstable membership, uncertain duration, personalistic leadership, a lack of formal organization, and by greater concern with the power and spoils than with ideology or policy, that is to say by a dearth of those characteristics usually associated with corporate groups. When dyadic non corporate groups are in competition, each group is commonly called a faction. Menurut Lande, faksi merupakan gejala yang biasa terjadi dalam tubuh partai politik. Faksi ini bersifat sementara karena adanya persaingan atau kompetisi yang terjadi antara kelompok-kelompok yang memiliki ciri-ciri berlawanan dengan kelompok korporatis. Lande juga menyebutkan bahwa faksionalisasi yang terjadi bisa bersifat sementara/taktis maupun bersifat laten. Sifat sementara itu terjadi karena adanya perbedaan dan kesamaan pandang dalam merespon isu-isu politik dan mempunyai ikatan yang tidak formal. Belloni, seperti yang dikutip oleh Bima Arya, membagi faksi menjadi tiga jenis, yaitu Pertama, faksi yang terbentuk berdasarkan kesamaan pandang dalam melihat isu-isu politik yang ditandai dengan tidak adanya ikatan formal. Kedua, faksi yang terbentu dari pola patronklien yang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan individu, yaitu persaingan tokoh-tokoh berpengaruh dari suatu partai. Ketiga, tipe faksi yang paling formal dan terorganisir yang tidak hanya mempunyai nama resmi akan tetapi juga mempunyai sekretariat dan programprogram tersendiri12. Andrew J. Nathan, seperti dikutip oleh Christine, menuturkan bahwa apabila konflik yang muncul dalam elit politik diselesaikan dengan menggunakan kekuatan dari lapisanlapisan yang ada di bawah elit politik yang berkonflik, maka faksionalisasi itu lahir. Faksionalisasi dapat juga berawal dari klientisme yang bersumber pada hubungan patronklien. Lebih lanjut, Nathan menyebutkan ada beberapa ciri dari sistem faksional, yaitu pertama, faksi cenderung untuk mengalahkan lawan politiknya secara habis-habisan. Kedua, pembuatan inisiatif politik yang cenderung tersembunyi. Ketiga, keputusan yang terbentuk dalam kondisi partai terfaksionalisasi dapat terjadi karena adanya konsensus di antara faksifaksi yang ada13.
12
Bima Arya Sugiarto, Partai Politik dan Faksionalisme, Website PPIA, 23 November 2005 http://ppiaustralia.org/?page_id=410 diakses pada tanggal 15 Oktober 2010. 13 Christine Ristanti Seta, Konflik dan Faksionalisasi dalam Partai Komunis China (PKC) Tahun 1980-1990, (Skripsi, Sarjana Ilmu Politik, Depok: FISIP-UI, 2004), hlm. 14-17.
5
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Selain itu, penyebab faksi adalah konflik. Weber melihat masyarakat terbagi menjadi dalam berbagai kelas karena perbedaan penguasaan authority/influence, wealth (ekonomi), dan privilege (status)14. Adanya distribusi yang tidak merata ini menyebabkan konflik dalam masyarakat dan terjadi pula di dalam tubuh partai politik. Mengenai akibat dari faksionalisasi yang terjadi dalam tubuh partai politikyang bersangkutan adalah bisa berakibat positif dan bisa juga berakibat negatif. Dampak positif dari faksionalisasi/faksi15: 1. Representasi dan artikulasi kepentingan yang beragam di tubuh partai politik. Faksi mencerminkan keberagaman kepentingan dan menjadi artikulasi dari kepentingan yang plural di tubuh partai politik. 2. Saluran untuk mendapat konstituen di tingkat komunitas local. Dalam rangka memperluas pengaruh partai kepada masyarakat, faksi menjadi saluran yang efektif untuk mendapatkan konstituen di tingkat basis. Mekanisme faksi cenderung efektif karena masing-masing anggota faksi mempunyai kedekatan emosional dengan konstituennya. Dengan demikian, dalam konteks pemilu, saluran faksi efektif untuk memperkuat basis dukungan partai. 3. Pendorong demokratisasi di tubuh partai, terutama untuk system partai tunggal atau partai dominan (kadang juga untuk sistem bipartai yang kaku seperti AS) 4. Alat pemersatu partai-partai, terutama faksi lintas partai. Faksi lintas partai memungkinkan partai bisa bekerja sama di parlemen. Dampak negatif faksionalisasi/faksi : 1. Faksi bisa memicu terjadinya aksi kekerasan di tubuh partai jika perbedaan kepentingan antarfaksi dalam satu partai tidak bisa dikelola dengan baik dan elegan. Seperti yang terjadi di Filipina ketika faksi-faksi di tubuh partai mengalami perpecahan antara yang mendukung kudeta dan yang menolak kudeta 1986. Hal yang serupa terjadi di Uruguai dan Kolombia, sebagaimana hasil studi McDonald, dimana faksi di parlemen yang mendukung pengambilan kekuasaan oleh militer beristeru dengan faksi yang menolak penguasaan oleh militer16. 14
Ibid., hlm. 20. Frank P. Belloni dan Denis C. Beller (Eds), Faction Politics: Political Parties and Factionalism in Comparative Perspective, (Oxford: Clio Press, Ltd. 1978), hlm. 439-441. 16 Ibid., hlm 193-218. 15
6
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
2. Perbedaan yang tajam antarfaksi di tubuh partai bisa membidani perpecahan partai. Faksi-faksi yang kuat membentuk partai baru. Di Israel, misalnya, Partai Buruh yang lahir tahun 1986 merupakan gabungan faksi Maarach dan faksi Rafi yang berkembang pada tahun 1965-1968 di parlemen Israel17. Hal serupa juga terjadi pada di Perancis dan Partai Liberal Demokrat (LDP) di Jepang. 3. Faksi juga bisa menjadi ladang bertumbuhnya korupsi. Kalau di tubuh faksi tumbuh korupsi, maka dengan sendirinya tumbuh bibit korupsi di tubuh partai. Di Jepang, faksionalisasi menjadi penyebab korupsi di tubuh partai. Munculnya banyak faksi menyebabkan munculnya tuntutan untuk mendapatkan uang politik. Setiap faksi memiliki sumber dana sendiri. Uang yang berlimpah merangsang anggota partai untuk melakukan korupsi18. 4. Faksi juga bisa mengakibatkan ketidakefektifan partai dalam bekerja. Masing-masing anggota partai lebih sibuk mengurusi faksi masing-masing. Perhatian anggota partai yang terpecah belah ini berpengaruh pada efektifitas kinerja partai politik19. Wolinetz mengemukakan skema kategorisasi berdasarkan orientasi partai, yaitu partai pejuang kebijakan (the policy-seekingparty), partai pengejar suara (the vote-seeking party), dan partai pengejar jabatan publik (the office-seeking party)20. Kategorisasi tersebut kerap digunakan dalam kajian tentang pembentukan koalisi dalam demokrasi moderen. Menurut Wolinetz, kategorisasi tersebut juga menggambarkan perilaku dan kecenderungan faksi-faksi yang ada dalam partai, di samping struktur dan organisasi partai. Namun perlu dicatat bahwa ketiga kategori berdasarkan orientasi tersebut tidak bersifat mutually exclusive dan independen satu sama lain, sehingga tidak ada partai yang sepenuhnya policy-seeking, vote-seeking, atau office-seeking, walaupun biasanya ada satu orientasi yang lebih menonjol. Orientasi tersebut merupakan fitur yang melekat relatif kuat pada partai, sehingga hanya bisa diubah dengan serangkaian upaya yang konsisten dari individu atau kelompok dalam partai. The policy-seeking party adalah partai yang berorientasi pada isu dan memprioritaskan artikulasi kebijakannya dibandingkan merebut suara pemilih atau menduduki jabatan-jabatan 17
Ibid., Hlm 118. Ibid., Hlm 43-69. 19 Ibid., hlm. 109-140. 20 Steven B. Wolinetz, Beyond the Catch-All Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracies, dalam RichardGunter, José Ramon Montero and Juan J. Linz, Political Party: Old Concepts and New Chlmlenges, (New York: Oxford University Press.2002), hlm. 108. 18
7
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
publik. Terdapat sejumlah anggota yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap sebagian atau seluruh tujuan partai. The vote-seeking party adalah partai yang berorientasi pada pemenangan pemilu, sehingga hal-hal lain, termasuk kebijakan dan jabatan publik yang dikejar disesuaikan dengan tujuan tersebut. The office-seeking party adalah partai yang berorientasi menduduki jabatan-jabatan publik, baik dengan kekuatan sendiri, maupun berkoalisi dengan kekuatan politik lain, baik dengan tujuan mempertahankan diri, menyeimbangkan sistem politik yang bekerja, atau memperoleh akses terhadap patron. Dengan demikian, partai jenis ini akan tidak akan beromitmen terhadap kebijakan atau strategi yang akan membuat kekuatan-kekuatan politik lain enggan berkoalisi dengannya. Partai jenis ini tidak cocok bagi para kader ideologis, dan lebih mampu memprtahankan para pemburu jabatan. Dalam partai ini, kecenderungan faksionalisasi untuk memperebutkan sumber daya partai akan semakin kuat sejalan dengan bertambah besarnya ukuran partai. Dalam setiap partai terdapat pengelompokkan atau faksionalisasi berdasarkan ketiga orientasi tersebut – policy seekers, vote-seekers, office seekers – sehingga “wajah” partai pada suatu saat tertentu akan ditentukan oleh faksi mana yang terkuat pada saat itu. Sejalan dengan itu, Roemer mengemukakan model faksionalisasi yang terdiri dari kelompok reformis, oportunis, dan militan21. Secara ringkas Roemer menggambarkan, “the opportunists are interested in winning, the reformists are interested in policies, and the militants are interested in publicity”. Faksi reformis adalah mereka yang berorientasi pada upaya mencapai tujuantujuan pragmatis partai, utilityfunction, secara maksimum. Faksi oportunis adalah mereka yang menggunakan partai sebagai kendaraan untuk mencapai karir politik yang lebih tinggi, sehingga sasaran mereka adalah memenangkan sebanyak mungkin suara pemilih. Sementara itu faksi militan adalah mereka yang berupaya untuk mengartikulasikan kebijakan partai sedekat mungkin dengan rumusan kebijakan yang ideal. Dengan demikian, faksi militan tidak melihat pemilu sebagai kompetisi yang harus dimenangkan, melainkan media untuk mempublikasikan pandangan-pandangan partai. Menurut Roemer, perbedaan antara faksi reformis dan faksi militan adalah sebagai berikut, “reformists want to do the best they can for
21
John E. Roemer, Political Competition: Theory and Application, 5th Ed, (Harvard University Press, 2006), hlm. 148.
8
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
their constituency today, while militants adopt the strategy of changing the preferences of voters, so that when they win at some future date, it can be with a better policy”22.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu sebuah proses penelitian dalam memahami permasalahan sosial maupun manusia dengan membangun sebuah gambaran yang kompleks dan menyeluruh, yang terbentuk oleh persepsi, sikap, maupun informasi maupun sudut pandang yang mendetail dari para informan23. Metode ini digunakan karena jenis penelitian dalam skripsi ini cenderung pada case study, yaitu di mana peneliti berusaha untuk mengeksploitasi sebuah gejala atau kasus yang dianggap masih terbatasnya informasi mengenai permasalah tersebut. Karena itu, tugas penulis adalah mengumpulkan informasi yang mendetail dan data yang beragam selama periode tertentu untuk menghasilkan gambaran yang lebih jelas24. Data yang digunakan guna menunjang skripsi ini adalah data sekunder serta data primer yang diperoleh melalui wawancara. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka melalui data-data kepustakaan, sumber media cetak, karya ilmiah atau penelitian sebelumnya, surat-surat keputusan atau surat peraturan partai dan yang sejenisnya. Adapun wawancara untuk mendapatkan data primer dilakukan untuk melakukan falidasi data sekunder serta memperkuat argumen. Beberapa tokoh yang diwawancara adalah Yuddy Chrisnandi dan Jusuf Kalla. Data primer ini diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan pedoman wawacara seperti yang terlampir.
B. PEMBAHASAN Dinamika politik internal Partai Golkar pada masa kepemimpinan Jusuf Kalla tidak bisa dipisahkan dengan momen politik yang terjadi sebelumnya. Pilpres 2004 menjadi awal kiprah Jusuf Kalla merebut kursi ketua umum Partai Golkar. Setelah berhasil memenangi Pilpres bersama Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla berusaha kembali ke Partai Golkar. 22
Ibid., hlm. 155. John W. Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, (Thousand Oaks, London: SAGE Publication, 1994), hlm. 1-2. 24 Ibid., hlm. 12. 23
9
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Sebelumnya, Jusuf Kalla dipecat oleh Akbar Tandjung karena “lompat pagar” yaitu maju dalam Pilpres bersama partai lain sementara Partai Golkar telah mencalonkan pasangan capresnya, yaitu Wiranto-Sholahudin Wahid.
Tabel 1. Hasil Akhir Pemilihan Presiden RI Putaran 1 tgl. 5 Juli 2004 Ranking
Pasangan Capres
Suara
Persen
1
Susilo B.Y. - J. Kalla
36.070.622
33.58 %
2
Megawati - Hasyim M.
28.186.780
26.24 %
3
Wiranto-Sallahudin W.
23.827.512
22.19 %
4
Amien Rais - Siswono Y.H.
16.042.105
14.94 %
5
Hamzah H. - Agum G.
3.276.001
3.05 %
107.403.020
100%
Jumlah suara Sumber: www.kpu.go.id
Tabel 2. Suara Pilpres 2009 Putaran Kedua Ranking
Pasangan Capres
Suara
Persen
1
Susilo B.Y. - J. Kalla
69.266.350
60,62%
2
Megawati - Hasyim M.
44.990.704
39,38%
Sumber: www.kpu.go.id Dalam perjalanan menuju kursi ketua umum, Jusuf Kalla mendapatkan dukungan yang cukup besar. Dukungan kepadanya datang dari Fahmi Idris, Marzuki Darusman, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Prabowo, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan tokoh lainnya. Sementara itu, Akbar Tandjung didukung oleh Wiranto dan organisasi-organisasi sayap Partai Golkar. Adapun DPD Provinsi dan DPD Kabupaten/Kota yang mempunyai suara dalam Munas terus didekati oleh kedua kubu. Pada akhirnya, Jusuf Kalla bisa memenangkan pertarungan dalam Munas VII Partai Golkar. Jusuf Kalla lebih bisa membujuk DPD-DPD untuk memilihnya. Dukungan DPD terhadap Jusuf Kalla sebenarnya telah dibangun sejak Pilpres 2009 putaran kedua melalui 10
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
FPPG yang dibentuk oleh Fahmi Idris dan Marzuki Darusman25. FPPG melakukan pendekatan terhadap DPD-DPD untuk mendukung pasangan SBY-JK. Padahal pada saat itu, DPP telah memutuskan untuk membangun Koalisi Kebangsaan dan mendukung pasangan Megawati-Hasyim. Kenyataannya, SBY-JK unggul dan berhasil memenangi Pilpres 2009. Pada titik ini, peta kekuatan Munas VII sebenarnya sudah mulai terlihat. Ketika Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar, mulai terlihat dinamika politik internal dalam kepengurusannya. Rupanya, pertarungan dalam Pilpres dan Munas masih menyisakan hasrat beberapa tokoh partai. Wiranto yang menjadi capres Partai Golkar pada Pilpres 2004 harus menentukan langkah untuk masa depan politiknya. Akbar Tandjung yang didukungnya dalam Munas VII pada akhirnya kalah. Padahal di antara keduanya telah melahirkan kesepakatan pencapresan Wiranto pada Pilpres 2009. Dengan terpilihnya Jusuf Kalla sebagai ketua umum, maka hampir tertutup kemungkin baginya untuk maju dalam Pilpres 2009 melalui Partai Golkar. Pada tahun 2006, Wiranto akhirnya mendirikan Partai Hanura untuk memuluskan langkah politiknya di tahun 2009. Hasrat untuk menjadi capres rupanya juga dipendam oleh Prabowo. Prabowo mendapatkan posisi anggora dewan penasehat setelah dalam Munas VII mendukung Jusuf Kalla. Sebelumnya, Prabowo sempat terlebih dahulu memberikan dukungannya kepada Akbar Tandjung. Namun karena masuknya Wiranto dengan deal politik seperti yang telah disebutkan di atas, maka Prabowo mengalihkan dukungannya. Seperti halnya Wiranto, Prabowo juga menginginkan untuk maju dalam Pilpres 2009. Namun begitu, kesempatannya untuk menjadi calon dari Partai Golkar juga hampir tertutup kemungkinannya. Pada tahun 2008, kemudian Prabowo mendirikan Partai Gerindra. Keluarnya Wiranto dan Prabowo dari Partai Golkar telah memberikan dampak pada kiprah politik militer dalam Partai Golkar. Setelah dilahirkannya Paradigma Baru Partai Golkar pada Munaslub tahun 1998, perlahan peran militer dalam Partai Golkar semakin berkurang. Satu persatu tokoh militer keluar dari partai ini untuk kemudian membentuk partai politik baru. Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan Partai Demokrat, Edi Sudradjat mendirikan PKP, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan Prabowo mendirikan Partai Gerindra. Kondisi ini menunjukkan bahwa Partai Golkar semakin dikuasai oleh kelompok sipil setelah sekian lama dikuasai militer pada masa Orde Baru. 25
Dirk Tomsa, Uneven Party Institutionalization, Protacted Trantition and The Remarkable Resilience of Golkar, dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (edt), Democratization in Post-Suharto Indonesia, (London: Routledge, 2009), hlm. 184.
11
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Pada saat penyusunan DCS, terjadi kembali konflik internal. Yuddy Chrisnandi, Zainal Bintang, dan Fadel Muhammad adalah tokoh dibalik pembentukan Gerakan Golkar Sejati. Yuddy Chrisnandi kecewa dengan penyusunan nomor urut dalam DCS yang menurutnya tidak melalui prosedur yang benar. Sementara Fadel Muhammad tidak mendapatkan restu Jusuf Kalla untuk maju menjadi calleg di Pilleg 2009. Kemudian, Gerakan Golkar Sejati menjadi kelompok kritis terhadap kebijakan internal partai. Gerakan ini menginginkan Partai Golkar untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Yuddy Chrisnandi melihat Partai Golkar hanya sebagai bamper dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Seharusnya, menurut Yuddy, Partai Golkar bisa bersikap proporsional dan menjadi partai koalisi yang tetap kritis. Akibat dari konflik antara Jusuf Kalla dengan Fadel Muhammad, kelompok Iramasuka harus terpecah. Terpecahnya kelompok Iramasuka ini kemudian menjadi salah satu kunci kekalahan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2009 dan Surya Paloh dalam Munas VIII Partai Golkar. Padahal, kelompok Iramasuka menjadi salah satu pendukung utama Jusuf Kalla dalam Pilpres 2004 dan Munas VII Partai Golkar. Mendekati Pemilu 2009, dinamika internal Partai Golkar semakin menguat. Rencanarencana untuk Pilpres 2009 sudah mulai diwacanakan. Wacana-wacana yang berkembang malah menstimulasi munculnya faksi. Faksi yang berkembang, yaitu faksi yang menginginkan mengusung capres internal yang kemudian berkembang menjadi pro oposisi. Tokoh yang tergabung dalam faksi ini adalah Jusuf Kalla, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi. Faksi selanjutnya adalah faksi yang mendukung koalisi dengan Partai Demokrat yang kemudian berkembang menjadi faksi pro koalisi. Pendukung faksi ini adalah Akbar Tandjung, Aburizal Bakri, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Fadel Muhammad, dan Muladi. Kekalahan pada Pilleg 2009 menjadi pukulan telak Partai Golkar dengan hanya mendapatkan 14,45 % suara. Perolehan suara ini menjadi perolehan suara paling buruk dalam sejarah Partai Golkar. Bahkan lebih kecil dari perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 1999. Padahal di tahun-tahun tersebut, Partai Golkar banyak mendapatkan hujatan dan tuntutan untuk dibubarkan akibat citra Orde Baru yang akhirnya tumbang. Tabel 5. Perolehan Suara Pemilu Legislatif 2009 No
Nama Partai
Suara
Presentase Kursi
1 Partai Hati Nurani Rakyat
3.925.620
3,77
17
2 Partai Karya Peduli Bangsa
1.461.375
1,40
0
12
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
3 Partai Pengusaha Dan Pekerja Indonesia
745.965
0,72
0
4 Partai Peduli Rakyat Nasional
1.260.950
1,21
0
5 Partai Gerakan Indonesia Raya
4.642.795
4,46
26
6 Partai Barisan Nasional
760.712
0,73
0
7 Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia
936.133
0,90
0
8 Partai Keadilan Sejahtera
8.204.946
7,89
57
9 Partai Amanat Nasional
6.273.462
6,03
46
10 Partai Perjuangan Indonesia Baru
198.803
0,19
0
11 Partai Kedaulatan
438.031
0,42
0
12 Partai Persatuan Daerah
553.299
0,53
0
5.146.302
4,95
28
14 Partai Pemuda Indonesia
415.563
0,40
0
15 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
317.433
0,31
0
16 Partai Demokrasi Pembaruan
896.959
0,86
0
17 Partai Karya Perjuangan
351.571
0,34
0
18 Partai Matahari Bangsa
415.294
0,40
0
19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia
139.988
0,13
0
20 Partai Demokrasi Kebangsaan
671.356
0,65
0
21 Partai Republika Nusantara
631.814
0,61
0
22 Partai Pelopor
345.092
0,33
0
15.031.497
14,45
106
24 Partai Persatuan Pembangunan
5.544.332
5,33
38
25 Partai Damai Sejahtera
1.522.032
1,46
0
468.856
0,45
0
1.864.642
1,79
0
14.576.388
14,01
94
1.264.150
1,21
0
547.798
0,53
0
21.655.295
20,81
148
32 Partai Kasih Demokrasi Indonesia
325.771
0,31
0
33 Partai Indonesia Sejahtera
321.019
0,31
0
1.527.509
1,47
0
13 Partai Kebangkitan Bangsa
23 Partai Golongan Karya
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 27 Partai Bulan Bintang 26
28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 29 Partai Bintang Reformasi 30 Partai Patriot 31 Partai Demokrat
34 Partai Kebangkitan Nasional Ulama
13
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
35 Partai Merdeka
111.609
0,11
0
36 Partai Nahdlatul Ummah Indonesia
146.831
0,14
0
37 Partai Sarikat Indonesia
141.558
0,14
0
38 Partai Buruh
265.369
0,26
0
104.048.118
100
560
TOTAL SUARA Sumber: www.kpu.go.id
Setidaknya ada empat faktor penyebab kekalahan Partai Golkar pada Pemilu 2009. Pertama, mesin organisasi yang tidak berjalan dengan baik karena para elite partai yang terlena pada kekuasaan. Para elite partai tidak fokus pada pengembangan dan pemenangan partai pada Pemilu 2009. Rangkap jabatan sang ketua umum juga membuatnya tidak bisa fokus menangani partai. Kedua, faksionalisasi yang tidak bisa dikelola dan dikendalikan dengan baik. Faksionalisasi ini membuat mesin organisasi tidak bisa berjalan dengan baik. Selain itu, faksionalisasi menciptakan perpecahan dan saling melemahkan. Ketiga, mandegnya kaderisasi partai serta sistem rekruitmen yang tidak lagi berdasar pada karier politik. Terjadi penuaan kader di daerah dan orgnasisasi sayap seperti Trikarya telah melemahkan partai. Keempat, lahirnya Partai Hanura dan Partai Gerindra telah banyak menyedot suara Partai Golkar. Kedua partai ini lahir dikarenakan ambisi tokoh militer (Wiranto dan Prabowo) untuk maju dalam Pilpres 2009. Sementara itu, Partai Golkar tidak bisa lagi mereka andalkan untuk menjadi kendaraan politik menuju ke arah sana. Kekalahan Partai Golkar ini kemudian melemahkan posisi Jusuf Kalla dan para pendukungnya. Keputusan untuk beroposisi juga tidak populis di tengah kader Partai Golkar yang semakin pragmatis pada kekuasaan. Pada Munas VIII Partai Golkar, calon yang bertarung adalah Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto. Pertarungan antarsaudagar sangat kental pada Munas VIII ini. Akibatnya, politik uang sangat kentara pada Munas ini. Pada akhirnya, kelompok pro koalisi yang menjadi pemenang. Aburizal Bakrie bisa mengalahkan Surya Paloh dalam satu putaran pemilihan. Kemenangan Aburizal Bakrie ini mengulang kemenangan Jusuf Kalla pada Munas VII. Kemenangan keduanya ditentukan oleh dua faktor, yaitu uang dan kekuasaan. Namun pada Munas VIII ini, Jusuf Kalla harus berada pada pihak yang kalah setelah memilih untuk beroposisi dengan pemerintah. Kemenangan Aburizal Bakrie ini semakin menguatkan bahwa Partai Golkar semakin pragmatis dan penuh dengan politik uang di dalamnya. Oleh karena itu, modal politik berupa uang dan kekuasaan akan sangat menentukan arah kebijakan partai. 14
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Politik para saudagar akan mendominasi perjalan Partai Golkar jika melihat kondisi yang ada saat ini. C. KESIMPULAN Melihat perjalanan dua Munas Partai Golkar, terdapat dua faktor penentu kemenangan calon ketua umum, yaitu faktor finansial dan faktor kekuasaan. Tokoh saudagar yang mempunyai kekuatan finasial menjadikan Partai Golkar semakin pragmatis terhadap uang. Politik uang menjadikan Munas Partai Golkar sebagai ajang para saudagar. Ditambah dengan manuver politik Partai Golkar yang tidak bisa jauh dari kekuasaan. Manuver yang dilakukan ini jika dilihat dari kacamata Robert Michels, Partai Golkar menjadi alat kepentingan dari kelompok elit tertentu yang tertuju pada pimpinan partai. Jika merujuk pada apa yang dikatakan oleh Wolinetz tentang kategorisasi berdasarkan orientasi partai, maka Partai Golkar merupakan partai pengejar jabatan publik (the officeseeking party). Partai Golkar tidak bisa jauh dari kekuasaan dan selalu gamang jika akan menjadi partai oposisi. Sementara itu, faksi yang ada dalam tubuh partai ini bisa dikatakan sebagai faksi oportunis, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Roemer. Faksi oportunis ini terlihat dari penghalalan cara guna memperoleh suara terbanyak dan memenangkan munas. Merujuk teori yang dikemukaan oleh Lande, dengan melihat sejarah perjalan faksi di Partai Golkar, bisa dikatakan faksi yang ada merupakan faksi yang bersifat laten yang muncul sesuai dengan isu yang ada. Apa yang diutarakan oleh Lande ini sejalan dengan Belloni dan Nathan. Faksi ini juga bersifat cair di mana kerja sama antarfaksi selalu berubah-ubah. Faktor patron klien juga terlihat dalam pengelompokan faksi. Agung Laksono dan Priyo Budi Santoso menjadi representasi Trikarya, Akbar Tandjung menjadi representrasi mantan aktivis (HMI), Jusuf Kalla, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie merupakan representasi kelompok saudagar. Sementara itu, kelompok primordial yang sempat muncul, yaitu Iramasuka, tidak bisa bertahan lama setelah kelompok ini terpecah karena konflik di antara mereka (Jusuf Kalla dengan Fadel Muhammad). Marwah Daud Ibrahim sendiri memilih untuk mendukung Tommy Soeharto. Adapun kelompok ideologis muncul pada saat munas di mana kelompok yang menginginkan Partai Golkar beroposisi. Kelompok yang digalang oleh Jusuf Kalla, Surya Paloh dan Yuddy Chrisnandi ini bisa dikatakan sebagai kelompok ideologis. Pada
15
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
akhirnya kelompok ini harus kalah kemudian keluar dan membentuk partai baru atau bergabung dengan partai politik lain. Faksi seharusnya bisa menjadi alat partai agar bisa bekerja lebih baik karena ada kompetisi di dalamnya. Akan tetapi, Partai Golkar kurang bisa memanfaatkan faksi yang ada. Jika merujuk pada ciri faksi yang dikemukanan oleh Nathan, faksi di Partai Golkar cenderung untuk mengalahkan lawan politiknya secara habis-habisan. Lawan politik dari faksi yang ada diputus jalur politiknya dalam partai tersebut. Partai juga kurang bisa menampung aspirasi faksi yang ada. Oleh karena itu, beberapa faksi yang kalah lebih memilih keluar dan mendirikan partai baru. Hal ini terjadi pada faksi militer yang membentuk partai baru seperti Partai Demokrat, PKP, Partai Hanura, Gerindra, dan yang terbaru adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang didirikan oleh Surya Paloh setelah dikalahkan oleh Aburizal Bakri dalam Munas VIII Partai Golkar. Seperti yang diungkapkan oleh Firmanzah terkait asal usul partai politik. Keluarnya tokoh elit politik dari suatu partai diakibatkan karena kekecewaan dan tidak lagi tersalurkannya aspirasi serta kepentingan. Dalam hal ini, Wiranto dan Prabowo yang merasakan kekecewaan serta tidak lagi bisa menyalurkan kepentingannya di Partai Golkar pada akhirnya lebih memilih untuk mendirikan partai politik baru, yaitu Partai Hanura dan Partai Gerindra. Di samping faktor tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa ambisi tokoh tertentu (Wiranto dan Prabowo) juga sangat berpengaruh yang terlihat pada Pemilu 2009 di mana keduanya mencalonkan diri sebagai capres walaupun kemudian “hanya” menjadi cawapres. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Michels di mana partai politik akan menjadi alat kepentingan sendiri yang tertuju pada kepentingan pemimpin atau kelompok elit politik tertentu. Melihat kondisi yang demikian, faksi dalam tubuh Partai Golkar pada masa ini lebih banyak berdampak negatif yaitu memecah belah partai. Kontak fisik juga beberapa kali terjadi di antara faksi yang ada. Hal ini terjadi pada Munas VII dan Munas VIII di mana terjadi baku hantam antarpengurus partai. Black Campaign dengan memanfaatkan isu atau kasus yang sedang dihadapi lawan politiknya menjadi sasaran serang. Faksi yang ada juga menciptakan celah bagi politik uang dan menjadi bibit korupsi bagi para kader partai. Ketidakefektifak kinerja partai juga menjadi konsekuensi yang harus dihadapi Partai Golkar. Kekalahan dalam Pilpres 2004, Pilleg 2009 dan Pilpres 2009 diakibatkan salah satunya oleh faksionalisasi yang ada. 16
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Dampak negatif faksionalisasi sebenarnya bisa diminimalisir jika mekanisme partai berjalan dengan konsukuen dan dipatuhi oleh seluruh kader. Perubahan demi perubahan aturan organisasi yang dilandasi perhitungan politik seharusnya tidak dilakukan. Keputusan organisasi juga harus mempertimbangkan aspirasi kader, tidak bersifat elitis bahkan terbentuk oligarki politik yang tidak menyehatkan demokratisasi internal. Sebagai partai politik yang telah terinstitusionalisasi dengan baik, Partai Golkar seharusnya bisa menjadi contoh bagi partai politik lain. Demokrtaisasi internal partai harus bisa ditegakkan terlebih dahulu sebelum bertarung dalam kancah demokrasi nasional. Politik uang merupakan pendidikan politik yang tidak baik dalam masyarakat. Politik uang dalam partai politik akan menjadi awal dari korupsi ketika menjadi pejabat negara nantinya. Beberapa poin yang bisa kembali dikaji lebih dalam adalah terkait kiprah politik militer di Partai Golkar. Mengingat militer merupakan pendiri dari Golkar serta begitu kuatnya militer pada masa Orde Baru, maka akan menarik jika poin ini bisa diteliti lebih dalam lagi. Secara umum, bisa juga bagaimana peluang kiprah politik militer dalam kancah politik nasional pasca reformasi. Dinamika politik internal Partai Golkar pada saat Munas VIII di Pekanbaru juga bisa diperdalam dengan penelitian tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA Belloni, Frank P. dan Denis C. Beller (Eds). (1978). Faction Politics: Political Parties and Factionalism in Comparative Perspective. Oxford: Clio Press, Ltd. Budiardjo, Miriam (ed). (1998). Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bunte, Marco dan Andreas Ufen (edt). (2009). Democratization in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge. Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. Thousand Oaks, London: SAGE Publication. Dahrendorf, Ralf. (1986). Kelas dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali Press. Firmanzah. (2008). Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. G. Lewis, Paul. (2000). Political Parties in Post-Communist Easten Europe. New York: Rouletge. 17
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia
Gunter, Richard. (2002). Political Party: Old Concepts and New Chlmlenges. New York: Oxford University Press. Klingemann, Hans-Dieter. (2000). Partai, Kebijakan dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Michels, Robert. (1984). Partai Politik: Kecenderungan Oligarki dalam Birokrasi. Jakarta: Rajawali Pers. Roemer, John E. (2006). Political Competition: Theory and Application, 5th Ed. Harvard University Press. Schmidt, Steffen W. (eds). (1977). Friends, Followers, and Faction: A Reader in Political Clientism. California: University of California Press. Seta, Christine Ristanti. (2004). Konflik dan Faksionalisasi dalam Partai Komunis China (PKC) Tahun 1980-1990. Skripsi, Sarjana Ilmu Politik, FISIP-UI. Subaktik, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Sugiarto, Bima Arya. Partai Politik dan Faksionalisme, Website PPIA, 23 November 2005 http://ppi-australia.org/?page_id=410 diakses pada tanggal 15 Oktober 2010. http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf diakses pada tanggal 28 Maret 2013.
18
Dinamika politik..., M Hasan Saeful Rijal, FISIP-UI, 2013
Universitas Indonesia