CITRA JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA DALAM IKLAN POLITIK TELEVISI (Studi Analisis Semiotik Citra Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam Iklan Politik Televisi Masa Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Periode Mei – Juli 2014)
Indrati Tyas Utami Mahfud Anshori
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas sebelas Maret Surakarta
Abstract Advertising is a message that offers products, services, and ideas which addressed to the public through the media. Ads can categorized as a form of mass communication, as one of the media used in advertising is the mass media. Today, advertising has become part of the political communication, especially during the campaign period or before the campaign period. Political advertising is a form of non-commercial advertising. Political advertising emphasis on image advertising, which is appeal aimed at fostering the reputation of government officials or which wants become government official. This study tried to explore signs that can represent image of Jokowi-JK in television political advertising during the election campaign for president and vice president from May to July 2014. This study took a sample of television political advertisements of Jokowi-JK that consist of four versions of “Siapkah Kita", "Wujudkan Mimpi", "Dukungan Artis Ibu Kota", and "Rekening Gotong Royong", using the model of semiotic analysis of Charles Sanders Peirce. Peirce has three levels of analysis, namely textual analysis (icon, index, and symbol), textual interpretation (meaning), and intertextuality. The results of this study indicated that the vice-presidential candidate Jokowi-JK bring politics of popular culture that interpreted the image you want built Jokowi-JK, which is simple, unpretentious, honest, and populist. The image displayed in political advertising Jokowi-JK doesn’t fully comply with the reality of what happened after Jokowi-JK served as President and Vice President. Keywords: image, political advertising, semiotics, peirce, interpretation.
1
Pendahuluan Periklanan bagi partai politik dapat menjadi sebuah wadah yang menarik dalam kegiatan berkampanye. Ketika menjelang masa kampanye, hampir seluruh partai politik menggunakan berbagai macam media periklanan dengan tujuan memperkenalkan visi, misi maupun program dari partai politik yang diusung dan diharapkan dapat memersuasi masyarakat. Media massa yang digunakan oleh partai politik pun beragam seperti televisi, radio, surat kabar, hingga internet. Bahkan media luar ruang seperti baliho, poster, brosur dan leaflet pun kerap digunakan partai politik untuk beriklan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa iklan politik adalah tentang bagaimana partai politik atau kandidat politik membangun pencitraan mereka untuk menarik perhatian dan simpati masyarakat. Iklan politik dalam Pilpres 2014 yang paling sering ditayangkan berbagai stasiun televisi adalah iklan politik pasangan caprescawapres Jokowi-JK. Iklan politik pasangan Jokowi-JK di televisi hadir dalam beberapa versi, dalam penelitian ini adalah iklan politik Jokowi-JK versi Siapkah Kita, Wujudkan Mimpi, Dukungan Artis Ibu Kota, dan Rekening Gotong Royong. Dalam kampanye pada Pilpres 2014, tentu tidak terlepas dari berbagai kampanye negatif yang bertujuan untuk mengurangi elektabilitas salah satu pasangan capres dan cawapres. Isu-isu yang ditujukan kepada pasangan JokowiJK antara lain isu negatif seperti isu bahwa Jokowi adalah capres boneka, dinilai tidak amanah karena meninggalkan jabatan sebagai gubernur Jakarta sebelum masa jabatan habis, bahkan hingga korupsi busway. Selain itu strategi attacking campaign yang dapat disebarkan guna mengurangi elektabilitas Jokowi adalah pemberian kesan bahwa seolah Jokowi adalah keturunan non-pribumi, beragama minoritas, bahkan hingga isu bahwa Jokowi adalah keturunan PKI. Kampanye hitam ini cukup mempengaruhi dukungan terhadap Jokowi. Berdasarkan survei LSI sejak Januari hingga Juni 2014, dukungan kepada Jokowi merosot dari angka 50% menjadi kurang dari 40%. Untuk mengatasi hal ini maka tim pemenangan Jokowi memilih Denny JA sebagai konsultan politik Jokowi-JK. Program kampanye Jokowi-JK antara lain yaitu menggerakkan ribuan relawan untuk dilatih berkampanye secara door to door, kontrak politik membuat
2
3 Perpres sebelum 100 hari pemerintahan jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, dan 5 kontrak politik dengan rakyat Indonesia. Terlepas dari program kampanye tersebut, Jokowi dari awal kehadirannya ketika menjabat sebagai Walikota Surakarta dan Gubernur Jakarta, telah membawa pesona sebagai tokoh pemimpin yang akan mengubah budaya politik di Indonesia. Senada dengan PDI-Perjuangan, dan sebagaimana yang tercantum dalam visi dan misinya, ideologi yang dianut oleh Jokowi-JK adalah ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti. Ideologi Pancasila 1 Juni 1945 meletakkan dasar dan sekaligus memberikan arah dalam membangun jiwa bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan, martabat dan kebanggan sebagai sebuah bangsa; menegaskan kembali fungsi publik negara; menggelorakan kembali harapan di tengah krisis sosial yang mendalam; menemukan jalan bagi masa depan bangsa, serta meneguhkan kembali jiwa gotong royong. Konsep gotong royong dalam ideologi Pancasila juga senada dengan partai pengusung Jokowi, yaitu PDI-P. Konsep gotong royong menurut PDI-Perjuangan adalah sebagai manifestasi untuk membangun modalitas sosial, modalitas ekonomi, modalitas kebudayaan, dan modalitas politik dalam rangka menuju tersinerginya kekuatan untuk mencapai kebersamaan. Sedangkan ideologi Trisakti memberikan pemahaman mengenai dasar untuk memulihkan harga diri bangsa dalam pergaulan antar-bangsa yang sederajat dan bermartabat. Ideologi ini memberikan penekanan agar berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan (KPU, 2014). Salah satu yang menjadi program andalan Jokowi-JK adalah Revolusi Mental. Revolusi Mental menjadi program utama Jokowi-JK dalam mewujudkan inovatif dan nasionalisme bagi masyarakat Indonesia. Yudi Latif, seorang pakar keagamaan dan kebudayaan, menilai Revolusi Mental dapat melaksanakan ideologi Trisakti. Dalam bidang ekonomi, Revolusi Mental akan membangun kesadaran agar masyarakat Indonesia dapat menghargai produk buatan dalam negeri. Dalam bidang politik, Revolusi Mental akan mendorong Indonesia dalam membangun sistem hukum dan sistem politik yang sesuai dengan konteks sosial dan budaya nasional. Dalam bidang kebudayaan, Revolusi Mental akan
3
membangun karakter bangsa Indonesia yang akan memperkuat kemanusiaan dan keadaban (Herudin, 2014). Gaya kepemimpinan Jokowi menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, khususnya dikalangan anak muda. Jokowi memiliki pesona pribadi yang terasa bersahaja, peduli pada rakyatnya, jujur dan terkesan jauh dari politik transaksional. Hal inilah yang mampu membangkitkan meluasnya dukungan sukarela dari selebriti ataupun tokoh publik yang memiliki rekor intergritas yang tinggi. Tren kampanye dengan budaya populer digunakan dalam kampanye dan iklan Jokowi-JK. Menurut Philips Vermonte (peneliti CSIS), Jokowi merupakan model pemimpin yang beroperasi dalam pandangan patron-klientilistik. Jokowi seperti pemimpin ingin menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang akan menyelesaikan masalah publiknya. Gaya kepemimpinan seperti ini adalah gaya populis patron-klientilistik (2014). Salah satu hal yang menarik dalam Pilpres 2014 adalah pencalonan Jokowi sebagai calon presiden untuk pertama kalinya dan langsung menjadi perhatian khalayak ramai. Menilik pada Pilpres tahun 2004 lalu, hal yang serupa juga terjadi pada SBY, yaitu sama-sama mendapat perhatian besar dari masyarakat. Samasama mendapat antusiasme masyarakat. Karakter masyarakat kita adalah selalu menaruh antusiasme pada sesuatu yang “baru”, dimana sesuatu yang “baru” selalu menarik untuk diperhatikan. Sebagai kandidat capres untuk pertama kalinya, Jokowi langsung mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat. Iklan-iklan pasangan Jokowi-JK pun dibuat dalam berbagai versi. Iklan-iklannya dibuat oleh para relawan pendukng Jokowi-JK dan dikemas dengan konsep yang menarik. Terlepas dari sejauh mana keefektifan iklan kampanye politik ini, namun para relawan rela mengorbankan waktu, tenaka, pikiran (ide) dan sejumlah biaya untuk membuat iklan kampanye Jokowi-JK. Dalam iklan politik ini Jokowi-JK ingin membangun pencitraannya sebagai upaya mendapatkan simpati masyarakat. Hal yang dapat terjadi adalah, ketika suatu iklan kampanye politik memiliki kekuatan pada tagline-nya, apabila tagline hanya sebatas pencitraan semata dan tidak dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa kandidat atau partai politik bersikap
4
sebagaimana tagline atau pencitraan mereka, maka hal ini sekaligus dapat menghancurkan simpati dan kepercayaan masyarakat. Penelitian ini mengangkat empat versi iklan televisi kampanye Jokowi-JK, yaitu “Siapkah Kita”, “Wujudkan Mimpi”, “Dukungan Artis Ibu Kota”, dan “Rekening Gotong Royong”. Keempat iklan tersebut menggunakan kata “kita” untuk memberikan kesan yang mendalam kepada masyarakat. Secara keseluruhan, keempat iklan tersebut terdapat banyak pengulangan kata “kita”. Ini merupakan salah satu strategi untuk membentuk suatu citra terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Untuk mengetahui makna dari pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah iklan, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji pesan-pesan maupun tanda yang terkandung dalam iklan serta pembentukan citra politik Jokowi-JK terkait dengan isu-isu sosial yang terjadi di Indonesia. Analisis semiotik digunakan untuk mengkaji serta menggali tanda yang terdapat dalam pesan. Untuk mengetahui citra yang ingin dibentuk dan interpretasi apa saja yang muncul dari tanda-tanda dalam iklan Jokowi-JK, maka dapat dibedah dengan analisa semiotik, di mana analisa semiotik mengkaji segala hal mengenai “tanda”.
Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, interpretasi apa yang muncul dari tanda-tanda dalam iklan politik televisi Jokowi-JK?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu, untuk mengetahui interpretasi yang muncul dari tanda-tanda dalam iklan Jokowi-JK.
Tinjauan Pustaka a. Komunikasi Massa Definisi komunikasi massa yang paling sederhana diungkapkan oleh Bittner (Ardianto, Komala, & Karlinah, 2007: 3), yaitu komunikasi massa
5
merupakan pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Dari definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu komunikasi dapat dikatakan komunikasi massa apabila menggunakan media massa. Dengan kata lain, komunikasi massa harus menggunakan media massa. Media massa itu sendiri seperti radio siaran, televisi, surat kabar, majalah, dan film (bioskop). Komunikasi massa juga dapat diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
b. Tradisi Semiotik dalam Komunikasi Dalam teori komunikasi, semiotik membentuk tradisi pemikiran yang penting. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Penyelidikan tentang tanda-tanda tidak hanya memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan memiliki pengaruh yang kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang diterapkan pada teori komunikasi. Beberapa ahli memberikan perbedaan yang kuat antara tanda dan simbol. Tanda dalam realitasnya memiliki referensi yang jelas terhadap sesuatu, sedangkan simbol tidak. Pada umumnya pemikiran semiotik melibatkan ide dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti muncul dari hubungan antara tiga hal, yaitu benda (yang dituju), manusia (penafsir), dan tanda. Charles Sanders Peirce merupakan ahli semiotik modern pertama yang dapat dikatakan sebagai pelopor ide ini (Littlejohn & Foss, 2009: 53-54).
c. Teori Simbol Sausanne Langer Susanne Langer menciptakan teori simbol yang kemudian menjadi terkenal dan dinilai bermanfaat karena mengemukakan sejumlah konsep dan istilah yang biasa digunakan dalam ilmu komunikasi. Teori ini memberikan semacam standar atau tolok ukur bagi tradisi semiotika di dalam studi ilmu
6
komunikasi (Littlejohn & Foss, 2009: 153). Simbol adalah “suatu instrument pikiran” (instrument of though). Simbol menjadi sesuatu yang sentral dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan simbol dan manusia memiliki kebutuhan terhadap simbol yang sama pentingnya
dengan
kebutuhan
terhadap
makan
atau
tidur.
Manusia
mengarahkan dunia fisik dan sosial melalui simbol dan maknanya. Langer memandang “makna” sebagai suatu hubungan yang kompleks diantara simbol, objek dan orang. Jadi, makna terdiri atas aspek logis dan aspek psikologis. Dengan kata lain, aspek logis merupakan makna sebenarnya atau makna secara umum; sedangkan aspek psikologis lebih mengacu pengalaman pribadi seseorang. Setiap simbol atau seperangkat simbol menyampaikan suatu “konsep”, yaitu suatu ide umum, pola, atau bentuk. Menurut Langer, konsep adalah makna bersama diantara sejumlah komunikator yang merupakan denotasi dari simbol (Morissan, 2013: 135-138).
d. Analisis Semiotik Peirce Dalam lingkup semiotika, Peirce, sebagaimana dipaparkan Lechte (2001: 227) seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu dari seseorang. Tujuan dari analisis semiotik itu sendiri yaitu berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Hal ini dikarenakan sistem tanda sifatnya sangat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada. Dalam hal ini “tanda” memiliki maksud yang sangat luas. Peirce (Kriyantono, 2010: 266) membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon) dan, indeks (index). Lambang adalah tanda yang dibentuk karena adanya kesepakatan dari para pengguna tanda. Ikon adalah bentu tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut. Indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan objeknya. Sebagai contoh, asap merupakan indeks dari adanya api. 7
e. Iklan Politik sebagai Alat Komunikasi Politik Iklan politik menekankan pada periklanan citra, yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki menjadi pejabat pemerintah. Komunikasi politik itu sendiri hadir dalam setiap realitas kehidupan politik. Denton dan Woodward (Pawito, 2009: 5) mendefinisikan komunikasi politik sebagai diskusi publik mengenai penjatahan sumber daya publik – yakni mengenai pembagian pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh publik; kewenangan resmi – yakni siapa yang diberi kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan hukum, membuat peraturanperaturan; dan sanksi-sanksi resmi – yakni apa yang negara berikan sebagai ganjaran atau mungkin hukuman. Komunikasi politik dapat menjadi alat untuk membangun suatu image politik. Komunikasi politik yang dimaksud dalam hal ini adalah semua hal yang dilakukan oleh partai politik untuk mentransfer sekaligus menerima umpan balik tentang isu-isu politik berdasarkan semua aktifitas yang dilakukannya terhadap masyarakat. Isu-isu politik tersebut dapat berupa ideologi partai, program kerja partai, visi dan misi partai, sosok atau figur pemimpin partai, latar belakang pendirian partai, dan permasalahanperlmasalahan lain yang diungkapkan dalam komunikasi politik tersebut (Firmanzah, 2007: 255).
f. Citra Politik Menurut
Harrop
(Firmanzah,
2007:
230),
citra
politik
dapat
mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu partai politik. Image politik tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak riil atau bersifat imajinasi yang terkadang dapat berbeda dengan kenyataan fisik. Suatu image politik dapat diciptakan, dibangun maupun diperkuat. Namun image politik juga dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra politik dapat pula mempengaruhi opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu (Firmanzah, 2007: 231).
8
Metodologi Penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini bersifat interpretatif kualitatif, di mana data yang dianalisis bukan merupakan data kuantitatif, namun merupakan data kualitatif yang sifatnya lebih kepada kategori substantif yang selanjutnya diinterpretasikan dengan rujukan, acuan maupun referensi ilmiah. Teknik triangulasi biasa digunakan sebagai teknik dalam menjamin validitas data yang dikumpulkan. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber atau data, yaitu membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diproleh dari sumber yang berbeda, berupa data sekunder (jurnal, artikel, internet, dan sebagainya). Penelitian ini mengambil iklan politik televisi Jokowi-JK yang terdiri dari empat versi, yaitu Siapkah Kita, Wujudkan Mimpi, Dukungan Artis Ibu Kota dan Rekening Gotong Royong yang diunduh dari situs youtube.com. Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik. Penelitian ini menggunakan model analisis Charles Sanders Peirce untuk menganalisis makna dari tanda-tanda yang terdapat dalam iklan Jokowi-JK. Langkah-langkah dalam model analisis semiotik Peirce terdiri dari tiga langkah, yaitu analisis tekstual (mengidentifikasi tandatanda dan mengkategorikannya ke dalam tanda berjenis ikon, indeks atau simbol), nterpretasi tekstual (menginterpretasikan dan menganalisis tanda-tanda yang telah diidentifikasi), dan intertekstual (memaknai secara keseluruhan).
Analisis dan Pembahasan A. Analisis dan Interpretasi Tekstual Iklan Jokowi-JK versi Siapkah Kita, Wujudkan Mimpi, Dukungan Artis Ibu Kota, dan Rekening Gotong Royong Konsep pemimpin yang bersih, jujur dan sederhana adalah isu utama dalam iklan Jokowi-JK versi Siapkah Kita. Konsep pemimpin yang bersih memiliki makna yang berorientasi dalam hal politik, dimana kata “bersih” ini dugunakan dalam iklan kampanye yang bertujuan untuk memersuasi masyarakat dan menanamkan citra atau image dari sosok calon pemimpin, yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam benak khalayak. Interpretasi jujur 9
dalam iklan ini adalah dimana seorang pemimpin harus tegas, yaitu antara perkataan dan perbuatan harus sesuai, selaras, dan seimbang. Pemimpin yang jujur adalah pemimpin yang membaktikan seluruh kesempatan dan peluang yang dimilikinya untuk kepentingan rakyatnya. Konsep pemimpin yang sederhana dalam iklan ini interpretasinya adalah tegas dalam mengambil keputusan, sederhana dalam bicara, melihat suatu masalah berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah tetapi bukan menyederhanakan masalah, dan sederhana dalam pola hidup serta pola kepemimpinan. Gambar 1 Cuplikan Iklan Jokowi-JK versi Siapkah Kita
Dalam iklan Jokowi-JK versi Wujudkan Mimpi, seolah ingin menunjukkan keberpihakan dan kepedulian Jokowi-JK terhadap rakyat kecil, dimana dalam iklan ini banyak menampilkan talent yang sebagian besar merepresentasikan rakyat kecil, yang ditunjukkan dengan latar belakang profesi talent sebagai petani, guru, nelayan dan sebagainya. Menurut pandangan peneliti, pasangan Jokowi-JK ingin menanamkan citra sebagai calon pemimpin yang peduli akan kesejahteraan masyarakat, khususnya rakyat kecil. Peneliti juga menemukan bahwa iklan ini seolah ingin menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-JK mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, terutama rakyat kecil, dimana pada akhir setiap scene, terlihat talent yang berbeda memegang gambar berupa logo Jokowi-JK dan tersenyum.
10
Gambar 2 & 3 Cuplikan Iklan Jokowi-JK versi Wujudkan Mimpi
Iklan Jokowi-JK versi Dukungan Artis Ibu Kota secara keseluruhan intinya ada pada teks lisan yang diucapkan para artis atau talent dalam iklan ini. Pemilihan talent yang sebagian besar merupakan public figure sebagai representasi bahwa sosok pemimpin seperti Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak hanya didambakan oleh rakyat kecil, melainkan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat menengah ke atas. Interpretasi dalam iklan ini menunjukkan keinginan, harapan, serta kriteria pemimpin yang diinginkan oleh rakyat. Rakyat menginginkan pemimpin yang dapat secara sungguhsungguh bekerja demi kepentingan rakyatnya, bukan sekedar ingin mendapatkan kekuasaan. Rakyat menginginkan kriteria pemimpin yang tegas, optimis dan tidak cepat puas dalam mencapai kemakmuran rakyat. Rakyat menginginkan pemimpin yang baik, yang menganggap rakyat seperti keluarga yang harus dijaga, didengarkan dan dimengerti. Seorang pemimpin adalah bagian dari rakyat, maka apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan oleh rakyat, pemimpin akan melihat, mendengar dan merasakan pula. Secara keseluruhan, tanda-tanda dalam iklan ini menggambarkan bahwa sosok pemimpin yang diinginkan rakyat itu ada pada Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam iklan Jokowi-JK versi Rekening Gotong Royong, diangkat oleh konsep gotong royong, dimana gotong royong sebagai manifestasi untuk membangun modalitas sosial, modalitas ekonomi, modalitas kebudayaan dan modalitas politik dalam upaya membangun kebersamaan (Gunawan, 2014). Rekening Gotong Royong merupakan upaya untuk membangun kekokohan dan kesatuan masyarakat Indonesia, sehingga gotong royong tidak tersekat dalam suku dan daerah yang berbeda. 11
Gambar 4 Cuplikan Iklan Jokowi-JK versi Rekening Gotong Royong
Dalam keempat iklan televisi Jokowi-JK di atas, seluruh iklan tersebut menampilkan logo dan tagline Jokowi-JK Adalah Kita. Logo kampanye Jokowi-JK sebagai ikon dari sosok Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dimana Jokowi seringkali mengenakan kemeja kotak-kotak yang menjadi ciri khasnya selama masa kampanye, dan Jusuf Kalla mengenakan kemeja putih polos. Angka 2 pada pojok kiri atas logo menunjukkan nomor urut kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Latar belakang warna merah dan putih pada logo yang melambangkan bendera Indonesia, seolah ingin menunjukkan rasa nasioanalisme. Arah pandangan mata Jokowi-JK dalam logo ini seakan memandang ke depan menunjukkan bahwa Joko Widodo dan Jusuf Kalla memiliki pandangan positif dan optimis untuk memimpin Indonesa menjadi lebih baik menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Gambar 5 Logo Kampanye Jokowi-JK
Tagline Jokowi-JK Adalah Kita sebagai interpretasi bahwa Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah bagian dari rakyat. Tagline Jokowi-JK Adalah Kita
12
memposisikan sosok Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai perwakilan dari keinginan dan harapan masyarakat Indonesia, sekaligus representasi dari rakyat. Kita berarti rakyat. Jokowi-JK adalah rakyat.
B. Representasi Tanda Tanda-tanda ikon pada keempat iklan Jokowi-JK versi Siapkah Kita, Wujudkan Mimpi, Dukungan Artis Ibu Kota, dan Rekening Gotong Royong direpresentasikan melalui logo dan tagline “Jokowi-JK Adalah Kita”, profesi para talent, gesture tubuh para talent, serta pakaian yang digunakan oleh Joko Widodo
dan
Jusuf
Kalla.
Dalam
keempat
iklan
jokowi-JK,
citra
direpresentasikan melalui tanda-tanda indeks berupa penggunaan kata ganti “kita”, objek yang berada dalam iklan (seperti perahu, padi, jala berisi ikan, dan sebagainya), serta posisi duduk Jokowi-JK dalam iklan Wujudkan Mimpi. Melalui tanda-tanda simbol, citra Jokowi-JK direpresentasikan melalui teksteks lisan maupun tulisan yang terdapat dalam iklan. Tanda-tanda verbal ini mengacu pada arti sebenarnya, diucapkan dan dituliskan dengan disertai penekanan pada intonasinya untuk menggambarkan citra Jokowi-JK. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Langer (2011), sebuah simbol atau kumpulan simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Konsep adalah makna yang disepakati bersama oleh pelaku komunikasi.
C. Telaah Terhadap Iklan Politik Jokowi-JK Adalah Kita Untuk mencapai tujuan kandidat politik dalam mengambil simpati dan perhatian masyarakat, iklan politik merupakan suatu propaganda yang berisi pesan-pesan dari para kandidat terhadap khalayak. Menurut Saverin & Tankard (Loisa, 2009), ada tujuh alat umum yang dapat dijadikan acuan dalam menganalisa pesan-pesan propaganda dalam iklan, yaitu name calling (sebutan yang menjelek-jelekkan), glittering generality, transfer (membawa otoritas),
13
testimony (kesaksian), plain folks (orang biasa), card stacking (pemanfaatan fakta atau kebohongan), dan bandwagon. Dalam iklan Jokowi-JK versi Rekening Gotong Royong, Siapkah Kita, dan Wujudkan Mimpi, terdapat unsur alat propaganda plain folks (orang biasa). Plain folks (orang biasa) merupakan metode yang dipakai oleh komunikator dalam upaya untuk meyakinkan khalayak bahwa dia dan gagasan-gagasannya adalah baik, karena komunikator adalah bagian dari rakyat. hal ini ditunjukkan dengan teks-teks yang terdapat dalam iklan serta penggunaan tagline “JokowiJK Adalah Kita”. Dalam iklan Jokowi-JK versi Wujudkan Mimpi, kandidat Jokowi-JK ditampilkan dalam keberadaannya sebagai masyarakat biasa, yang sedang bercengkrama bersama mayarakat biasa. Sedangkan dalam iklan Jokowi-JK versi Dukungan Artis Ibu Kota di dalamnya terdapat unsur alat propaganda testimony (kesaksian). Testimony yaitu memberikan kesempatan kepada salah satu pihak, yang mengagumi atau membenci untuk mengatakan bahwa sebuah gagasan atau program, atau produk, atau seseorang itu baik atau buruk. Dalam iklan ini terdapat testimony para artis mengenai sosok JokowiJK. Testimony ini sekaligus untuk meyakinkan khalayak agar memilih kandidat capres-cawapres Jokowi-JK. Iklan kampanye Jokowi-JK dapat dikatakan didalamnya terkandung konsep budaya populer. Konsep “budaya populer” itu sendiri pada awalnya digunakan sebagai lawan dari “budaya elite”, yang digunakan untuk mengejek atau menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan. Seiring perkembangannya, budaya populer secara perlahan tidak lagi bermakna negatif namun lebih bersifat netral. Menurut Wisnu Martha (Istiqomah, 2013), budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat. Hal ini kemudian menjadi suatu tren dalam dunia perpolitikan, termasuk dalam iklan kampanye. Interpretasi Jokowi-JK sebagai sosok pemimpin yang bersih, jujur, sederhana, tegas dan merakyat merupakan tren politik budaya populer (polpop). Tren politik budaya populer dalam iklan Jokowi-JK ditampilkan dengan menghadirkan sosok para
14
artis dan public figure, kepedulian terhadap rakyat kecil seperti nelayan dan petani, dan sebagainya. Jokowi-JK kemudian terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 2014 untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Bentuk pencitraan dalam iklan kampanye politik Jokowi-JK beberapa waktu lalu tentu tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas yang ada. Dalam 100 hari masa kepemimpinan Jokowi-JK, ada beberapa kebijakan yang justru tidak sesuai dengan pencitraan dalam iklan politiknya seperti yang dilansir dalam situs berita online viva.co.id. Kebijakan tersebut antara lain yaitu kenaikan BMM bersubsidi saat harga minyak dunia turun, Memilih Jaksa Agung dari partai politik, serta pengangkatan calon kapolri Budi Gunawan yang oleh KPK ditetapkan sebagai tersangka (Susila, 2015). Setelah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pada tanggal 17 November 2014 lalu, Preisden Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla menetapkan kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dari harga Rp 6500 menjadi Rp 8500 per liter. Reaksi penolakan diberikan oleh berbagai elemen masyarakat. Kenaikan harga BBM biasanya diikuti oleh naiknya harga kebutuhan pokok lainnya. Hal ini tentu menambah kesulitan bagi masyarakat kecil. Kebijakan ini juga tidak sepenuhnya mencerminkan citra sebagai pemimpin yang pro rakyat kecil, seperti dalam iklan politiknya. Kebijakan lain yang menjadi kontroversi yaitu pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kapolri oleh Presiden Jokowi. Hal ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan serta pengamat politik. Sebelumnya Budi Gunawan sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Kebijakan inu tentunya tidak selaras dengan citra Jokowi sebagai pemimpin yang “bersih”, sebagaimana yang dicitrakan dalam iklannya. Seseorang yang secara jelas menyandang status tersangka dalam kasus korupsi justru diangkat menjadi seorang kepala atau pemimpin di lembaga penegak hukum. Hal ini jelas tidak sesuai dengan salah satu poin yang terdapat dalam Sembilan Agenda Prioritas (NAWA CITA), poin ke-4 yang berbunyi: “Kami akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
15
bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya” (Widodo & Kalla, 2014). Walaupun NAWA CITA disusun oleh tim kampanye Jokowi-JK, namun ini adalah bagian dari visi dan misi Jokowi-JK itu sendiri. Kebijakan ini sekaligus menuai
kecaman
dan
menurunkan
kepercayaan
khalayak
terhadap
pemerintahan Jokowi-JK.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Interpretasi yang muncul dari tanda-tanda yang terdapat dalam iklan Jokowi-JK Adalah Kita yaitu iklan ini menggunakan konsep “budaya populer” dalam membangun citra Jokowi-JK. Budaya populer dalam iklan ini ditunjukkan oleh pencitraan Jokowi-JK sebagai pemimpin yang bersih, jujur, sederhana, serta merakyat. 2. Pencitraan Jokowi-JK sebagai pemimpin yang bersih, jujur, sederhana, merakyat secara tidak langsung memperbandingkan sosok Jokowi dengan Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa pemerintahannya banyak kader dari Partai Demokrat yang tersandung kasus korupsi. Para peneliti dari Annenberg School (Ghazali, 2011) mengkategorikan iklan kampanye atau iklan politik dalam tiga jenis, yaitu 1) Iklan Advokasi Kandidat (jenis iklan yang memuji-muji dan menyampaikan segala hal baik tentang seorang kandidat dan atau kebijakan); 2) Iklan Menyerang Kandidat (berfokus pada kelemahan lawan);
3)
Iklan
Memperbandingkan
Kandidat
(mengandung
perbandingan yang eksplisit antara seorang kandidat dengan kualitas, rekam jejak, serta proposal kebijakan-kebijakan lawannya). 3. Citra yang ditampilkan dalam iklan politik Jokowi-JK tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas yang terjadi setelah Jokowi-JK menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Terbukti dengan beberapa kebijakan yang ditetapkan Jokowi, dimana kebijakan itu bertentangan dengan image dalam iklan, maupun program NAWA CITA yang tertuang dalam visi dan misi Jokowi-JK. Salah satu kebijakan yang bertentangan adalah 16
peristiwa pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri (setelah Jokowi resmi menjabat sebagai presiden 2014-2019) oleh Presiden Jokowi, padahal Budi Gunawan telah resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Hal ini jelas bertentangan dengan ideologi Trisakti yang dianut Jokowi-JK, dimana salah satu poin penting dalam ideologi Trisakti yaitu berdaulat dalam bidang politik, yang salah satu isinya berbunyi: “Kami akan memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, anti korupsi dan berkomitmen pada penegakan hukum”. 4. Iklan politik Jokowi-JK Adalah Kita merupakan bentuk pencitraan yang dibuat oleh tim relawan Jokowi-JK. 5. Dalam menganalisis dan menginterpretasi tanda-tanda yang terdapat dalam iklan, tidak semua tanda dapat dijadikan acuan untuk mengungkapkan sebuah pesan. Itulah sebabnya interpretasi tanda sesungguhnya tidak harus dilakukan pada seluruh tanda dalam iklan, tetapi cukup pada tanda yang sekiranya dapat dijadikan acuan untuk merepresentasikan hal-hal yang dicari dan dibutuhkan dalam penelitian.
Saran Melihat bahwa kampanye dan iklan politik di Indonesia terus mengalami perkembangan, peneliti menganjurkan agar penelitian selanjutnya dapat menggali lebih dalam mengenai representasi citra politik suatu iklan dengan metode analisis semiotika, maupun metode lain yang dapat mengungkap pesan dalam iklan. peneliti juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memperluas penelitian seperti pengaruh citra politik dalam suatu iklan politik terhadap pembentukan opini dan keputusan memilih. Dikarenakan penelitian ini memiliki keterbatasan. Kepada para pengiklan, sebaiknya menggunakan tanda-tanda verbal dan tanda-tanda visual yang lebih sederhana namun tetap memiliki arti yang mendalam, sehingga akan lebih mudah dipahami oleh khalayak secara umum.
17
Selain itu, iklan yang kreatif, sederhana, dan mendalam akan lebih mengena dan memersuasi khalayak.
Daftar Pustaka Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2007). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Firmanzah. (2007). Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kriyantono, R. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Littlejohn, S. W. (2011). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Morissan. (2013). Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana. Pawito. (2009). Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra. 2014, I. (2014). Mungkinkah Mereka Maju?: Pemilu Mahal dan Hilangnya Trust. Retrieved Maret 21, 2015, from Indonesia 2014: http://www.indonesia2014.com. Ghazali, E. (2011). Menuntut Kelengkapan Peran Media: Tidak Hanya Membawa Tetapi Juga Membongar Pencitraan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14, Nomor 3 , 285-286. Loisa, R. (2009). Alat-Alat Propaganda di Dalam Iklan Para Calon Presiden. Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanegara , 63. Istiqomah, R. R. (2013). Kampanye Politik di Televisi sebagai Budaya Populer. Jurnal Interaksi, Vol II No.2 , 90-97. KPU. (2014, Mei). Visi Misi Jokowi-JK. Retrieved Maret 21, 2015, from kpu.go.id: http://www.kpu.go.id. Herudin. (2014, Agustus 27). Yudi Latif: Revolusi Mental Akan Wujudkan Trisakti. Retrieved Maret 21, 2015, from Tribunnews.com: http://m.tribunnews.com. Susila, S. B. (2015, Januari 28). Poin-Poin Penting Kebijakan Jokowi Selama 100 Hari. Retrieved Maret 12, 2015, from viva.co.id: http://m.news.viva.co.id. Widodo, J., & Kalla, J. (2014). Retrieved December 11, 2014, from KPU: http://www.kpu.go.id. Gunawan, P. (2014, December 19). (I. T. Utami, Interviewer).
18