1
DINAMIKA ELITE POLITIK LOKAL TIDORE PADA MASA KEPEMIMPINAN WALIKOTA ACHMAD MAHIFA (2005-2015) 1 Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK Sukardi Jumati.2 Nim: 281 410 011. “Dinamika Elite Politik Lokal Tidore Pada Masa Kepemimpinan Walikota Achmad Mahifa 2005-2015”. Skripsi, Jurusan S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing: (I) Farid Th. Musa,3 S.Sos, MA, dan (II) Funco Tanipu,4 ST, MA. Politik lokal Tidore pada era kekinian tidak terlepas dari pada pendengaran tentang dua kelompok yang ada di Tidore, di antaranya; kelompok gam-gam (orang kota) dan guragura (orang luar kota; orang gunung). Namun, terjadinya ‘dikotomi’ di antara kedua kelompok ini belum perna muncul ke permukaan sebelumnya, dan kemunculannya ketika Pilwako (Pemilihan Walikota) pertama kali di Tidore pada tahun 2005 dan menjadi isu politik yang paling ‘laris’ dikala itu. Penelitian ini bertujuan mengungkap dua hal, yaitu: (1) Bagaimana persaingan elite politik kelompok gam-gam dan gura-gura di Tidore pada periode 2005-2015?; (2) Bagaimana perubahan-perubahan struktur elite politik yang terjadi di Tidore pada periode 2005-2015? Untuk mengungkap kedua permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, baik untuk operasional maupun penyajian data. Sampel sendiri dipilih secara purposive sompling dengan mengedepankan tiga kategori informan, yakni: elite politik dari kedua kelompok dan akademisi. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini merupakan wilayah Tidore yang meliputi 4 Kecamatan, yaitu: Kecamatan Tidore, Tidore Utara, Tidore Selatan, dan Tidore Timur. Adapun hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa terjadinya ‘dikotomi’ antara kedua kelompok, yakni: kelompok gam-gam (orang kota) dan gura-gura (orang luar kota; orang gunung) sebagai bentuk ‘polarisasi isu’ yang dimainkan elite politik dari kelompok gura-gura untuk memperkuat identitasnya dalam mendorong Achmad Mahifa sebagai representasi kelompok gura-gura untuk menjadi Walikota Tidore pada periode 2005-2010. Dan perubahan ‘polarisasi isu’ pada Pilwako (Pemilihan Walikota) periode 2010-2015 yang lebih cenderung pada wacana keberhasilan program Achmad Mahifa pada periode pertama (2005-2010) sebagai bentuk strategi yang dimainkan elite politik kelompok gura-gura, tidak ada tujuan lain selain mempertahankan Achmad Mahifa pada jabatan Walikota Tidore periode 2010-2015. Mengingat birokrasi Tidore sebelum kepemimpinan Achmad Mahifa selalu didominasi kelompok gam-gam. Kata Kunci: Kelompok Gam-Gam, Kelompok Gura-Gura, dan Polarisasi Sukardi Jumati. Nim. 281 410 011, Pembimbing I, Farid Th. Musa, S.Sos.,MA Dan Pembimbing II, Funco Tanipu, ST.,MA 1
Artikel ini berasal dari hasil penelitian yang di lakukan pada bulan Maret sampai Mei 2014. Sebagai suatu persyaratan untuk mengikuti ujian Sarjana Sosial pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Terima kasih diberikan kepada saudara Ulfi Muhlis yang telah melibatkan diri pada pengumpulan data dalam penelitian ini dan Bapak Farid Th. Musa, Funco Tanipu, Basri Amin, Sainudin Latare, yang telah membantu memberikan bimbingan berupa sistematikan penulisan maupun masalah editing. 2 Sukardi Jumati. Nim: 281 410 011. Merupakan mahasiswa angkatan 2010 pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. 3 Farid Th. Musa, sebagai pembimbing I (satu) dalam penulisan ini, dan juga merupakan Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universiatas Negeri Gorontalo. 4 Funco Tanipu, sebagai pembibing II (dua) dalam penulisan ini, dan juga sebagai Staf Pengajar di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universiatas Negeri Gorontalo.
2
ABSTRACT Sukardi Jumati. Nim: 281 410 011. "The Dynamics of Local Political Elites Tidore Leadership In The Mayor Ahmad Mahifa 2005-2015". Department of S1 Sociology, Faculty of Social Sciences, State University of Gorontalo. Advisor I is Farid Th. Musa, S. Sos, MA, and Adviser II Funco Tanipu, ST, MA. Local politics Tidore in the contemporary era is inseparable from the hearing of the two groups in Tidore, including; group gam-gam (people in the city) and gura-gura (outside the town; the mountain). However, the 'dichotomy' between the two groups is not breathing surfaced earlier, and its appearance when pilwako (mayor) was first in Tidore in 2005 and became a political issue that most 'in demand' at that time. This study aims to reveal two things, namely: (1) How does the political elite competition group gam-gam and gura-gura in Tidore in 2005-2015 ?; (2) How do changes in the structure of the political elite in Tidore in 2005-2015 To reveal the second issue, the author uses descriptive qualitative method, both for operational and presentation of data. The sample was chosen by purposive sompling by promoting three categories of informants, namely: the political elite of both groups and academics. The location was chosen in this study is an island where the region includes 4 districts, namely: Subdistrict Tidore, North Tidore, South Tidore, and East Tidore. The results of this study showed that the occurrence of 'dichotomy' between the two groups: group gam-gam (people in the city) and Gura-Gura (outside the town; the mountain) as a form of 'polarization issue' who played the political elite of the group gura-gura to strengthen it’s identity in encouraging Achmad Mahifa as a representation of the group guragura to become Mayor of Tidore in the period 2005-2010. And change 'polarizing issue' on pilwako (mayor) period 2010-2015 which is more likely in the discourse of the program's success Achmad Mahifa the first period (2005-2010) as a form of political strategy, which played elite group of Gura-Gura, no other purpose than Achmad Mahifa maintain the position Mayor Tidore period 2010-2015. Given the bureaucratic leadership Achmad Tidore before Mahifa always dominated group gam-gam. Keyword: Group Gam-Gam, group Gura-Gura, Polarization Issues. PENDAHULUAN Hajatan politik dalam bentuk Pilwako (Pemilihan Walikota) di Tidore pada priode 2005-2010 dan 2010-2015 dinilai sebagai bentuk pertarungan antara kedua kelompok elite politik yang ada di Tidore, di antaranya: kelompok gam-gam (orang kota) dan gura-gura (orang luar kota; orang gunung).5 Pertarungan ini memposisikan gam-gam sebagai kelompok yang lama berkuasa di birokrasi pemerintahan Tidore dan gam-gam sebagai kelompok yang Gam-gam merupakan kelompok yang dikenal dengan ‘orang kota’ dan sekian lama berkuasa di birokrasi Tidore dan kelompok gura-gura yang dikenal sebagai ‘orang luar kota’ (orang gunung) yang sekian lama jarang muncul di birokrasi pemerintahan Tidore. Gam-gam dan gura-gura merupakan dua kelompok masyarakat di Tidore yang dinilai sering bersinggungan pada politik lokal Tidore ketika kemunculan Achmad Mahifa yang mencalonkan diri pada Piwlako Tidore tahun 2005 dan menjadi ‘isu’ yang paling ‘laris’ ketika itu. 5
3
berusaha melegitimasi diri agar bisa duduk di birokrasi pemerintahan Tidore. Tindakan yang di lakukan oleh kelompok gura-gura sebagai bentuk ekspresi kejenuhan terhadap birokrasi pemerintahan Tidore yang awalnya selalu didominasi oleh kelompok gam-gam di lakukan melalui kegiatan suksesi Achmad Mahifa sebagai representasi kelompok gura-gura untuk menjadi Walikota Tidore priode 2005-2015. Sehingganya dalam tulisan ini memfokuskan pada persaingan antara elite politik kelompok gam-gam dan gura-gura. Dan juga melihat pada tataran perubahan struktur elite politik yang ada di Tidore pada masa Kepemimpinan Walikota Achmad Mahifa 2005-2015. METODE PENELITIAN Penelitian di lakukan pada bulan Maret hingga Mei tahun 2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Djam’an Satori dan Aan Komariah mengungkapkan penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan cara mendeskripsikannya secara benar, dibentuk menggunakan kata-kata serta berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan dan diperoleh dari situasi yang alamiah.6 Telaah pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini adalah elite politik dari kelompok gam-gam (orang kota) dan elite gura-gura (orang luar kota: orang gunung) serta informan pendukung lain (akademisi). Keberadaan peneliti sebagai partisipasi aktif. Fokus dalam penelitian ini adalah elite politik gam-gam dan gura-gura di Tidore pada kepemimpinan Walikota Achmad Mahifa 2005-2015. Teknik anlisis data sebagai berikut; setelah data terkumpul baik secara observasi, wawancara, maupun dokumentasi maka selanjutnya mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan serta verifikasi. Reduksi data di lakukan dengan memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting serta pencarian tema dan polanya. Langkah selanjutnya yakni melakukan penyajian data. Penyajian data dalam penelitian ini di lakukan dengan cara menarasikannya dalam bentuk teks tertentu yang terorganisir secara sistematis. Langkah terakhir yakni kesimpulan dan verifikasi.7 HASIL DAN PEMBAHASAN Elite Politik Tidore dalam Peta Sejarah Maluku Utara (Malut) Mentalitas elite politik Tidore dalam peta sejarah Maluku Utara dikisahkan memiliki mental untuk bertarung tidak hanya di Kota Tidore tetapi mampu bersaing di luar pulau
Djam’an Satori dan Aan Komariah, “Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2011, hlm 25. Sugiyono. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Bandung: Cv Alfabeta, 2012, hlm 246-252. 6
7
4
Tidore. Fakta ini dilihat pada batasan “orang asli Tidore yang lahir di Tidore kemudian besar di luar Tidore dengan jabatan politik formal” maka dapat diperhitungkan di lingkaran Provinsi Maluku Utara.8 Sehingganya adanya senerginas yang dilihat pada batasan keberhasilan Muhammad Nasir Thaib menjadi Wakil Gubenur Maluku Utara priode 2014-2019 sebagai bukti kemapanan mentalitas elite politik Tidore dalam hajatan politik di luar daerah Tidore. Hal senada juga ditandai dengan keberhasilan Burhan Abdurahman menjadi Walikota Ternate priode 2010-2015. Dalam konteks elite dibagi menjadi dua kategori yakni elite politik dan elite non politik. (a) Seseorang yang tergolong elite politik dapat cermati berdasarkan proses untuk mendapatkan kekuasan yang dipilih dengan cara yang demokratis yang biasnya duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Elite politik seperti Gubenur, Bupati, Walikota, ketua DPRD, anggota DPRD, dan para pemimpin partai politik; (b) Sebaliknya Elite non-politik lokal adalah memiliki kekuasan tetapi tidak dipilih secara demokratis tetapi mepunyai legitimasi secara alamiah sehingagnya mempunyai pengaruh untuk mengendalikan orang lain dengan kapasitasnya. Elite non-politik seperti: elite keagamaan, elite ekonomi, elite organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi, dan sebagainya.9 Lain dilain pihak Rudi Subiyakto meletakan Kiai sebagai elite lokal mempunyai karakteristik tersendiri dalam memberikan dukungan. Kiai dengan massa yang sangat hormat kepadanya mampu mendorong atau mendulang suara kemenangan untuk calon Bupati atau Wakil Bupati.10 Menurut Rusovanny Halalutu: “…Elite yang memiliki kontribusi paling besar dalam kebijakan adalah elite formal sebab disanalah proses kebijakan di lakukan. Elite formal yang dimaksudkan adalah elite politik yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat keputusan.”11 Sekedar merefleksikan ingatan kita pada masa era Orde Baru biasanya elite politik lokal lebih sering memainkan peran untuk mewujudkan kepentingan pemerintah pusat 8 Informasi ini disampaikan dari hasil wawancara dengan Bapak Hasbi Yusup di Ternate bertepatan pada kediamannya di Kampung Makasar, pada tanggal 14 Mei 2014. 9 Lihat Nurhasim dalam Rusdi J Abbas. Demokrasi Di Aras Lokal: Praktek Politik Elit Lokal Di Maluku Utara, Yokyakarta: Cerah Media, 2012, Hlm 11-12. 10 Kiai yang merupakan bagian dari elite lokal, dapat mempengaruhi Pilkada di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2006 dalam hal perekrutan masa dengan memanfaatkan statusnya. Sebagai imbalan atas jerih payah Kiai, Kepala Daerah (Bupati atau Wakil Bupati) akan memberikan berbagai macam fasilitas, sehingga implikasi politik yang ada berpengaruh terhadap pilihan politik rakyat yang sudah dipengaruhi oleh berbagai macam iming–iming, tidak lagi otonom karena hak yang seharusnya lebih banyak dimanfaatkan oleh rakyat sebagai cermin dari kedaulatan sudah teracuni berbagai kepentingan materi dan kekuasaan. Rudi Subiyakto, “Keterlibatan Kiai dalam Pilkada (Studi Kasus Pilkada Di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2006),” Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011, hlm 42. 11 Rusovanny Halalutu, “Kontestasi Elit dalam Arena Kebijakan Publik (Studi tentang Konflik Elit dalam Kebijakan Ekonomi Strategis Agropolitan di Provinsi Gorontalo).” Tesis, Sekolah Pasca sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006, hlm 12.
5
ketimbang merealisasikan kepentingan dan kebutuhan daerah. Elite politik lokal cenderung melakukan peran sebagai perpanjangan tangan Negara, dalam hal ini pemerintah pusat. Tetapi sejak reformasi dihembuskan pada tahun 1999 hingga saat ini, kemudian secara sertamerta sistem politik dapat berubah dari ‘sentralisasi’ menjadi ‘disentralisasi’, yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah12 Kebijakan seperti ini sebagai bentuk pelimpahan kekuasan yang diberikan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengurusi daerahnya sendiri, yang lebih dititikberatkan pada elite politik lokal (daerah). Langkah ini dinilai sebagai bentuk adanya ‘kerenggangan’ di antara pusat dan daerah ketimbang pada masa Orde Baru. Maka elite politik lokal dituntut untuk lebih mandiri dalam mengurusi daerahnya. Namun, di pihak lain ‘kemandirian’ pada faktanya masih mengisyaratkan lahirnya “raja-raja kecil” di tingkat lokal.13 Peryataan di atas, dapat dilihat pada hajatan politik di aras lokal Tidore. Karena dalam lingkaran Tidore, elite politik mempertontonkan sebuah fragmentasi antara kelompok, di antaranya: elite politik kelompok gura-gura (orang kota) dan gura-gura (orang luar kota;orang gunung). Fragmentasi ini mulai mengental ketika momen Pilwako Tidore pada priode 2005-2010. Momen ini meletakan kelompok gam-gam sebagai kelompok yang lama berkuasa di birokrasi pemerintahan Tidore dan kelompok gura-gura sebagai kelompok yang berusaha merebut kekuasaan karena merasa di diskriminasi secara politik formal. Usaha yang dimaikan oleh kelompok gura-gura mendapatkan suatu keberhasilan ketika Achmad Mahifa sebagai representasi kelompok gura-gura berhasil menjadi Walikota Tidore pada priode 2005-2010 dan 2010-2015. Metamorfosis Elite Kesultanan Menjadi Elite Politik. Perubahan sistem yang semakin demokratis sangat mengancam legitimasi Lembaga Kesultanan yang ada di Tidore dan secara individu yang memiliki ikatan dengan kesultanan. Dimaknai elite kesultanan sebagai sebuah legitimasi yang lahir secara histori dan menganut paham ‘aristokrat’, maka tidak akan sinergi dengan sistem pemerintahan dekmokratis yang 12
Dalam rangka menyelenggarakan Pemerintah Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pemerintah Daerah yang mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujutnya masyarakat, melaui peningkatan pelayanan, pemberdayan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatiakn prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara kesatuan republik Indonesia. Diperjelas dalam Suharizal. Pemilukada: Regulasi dan Konsep Mendatang, 2012, Jakarta: RajaGrafindo. 13 Leo Agustino dan Mohammad Agus Yosoff, “Politik Lokal di Indonesia: dari Otokratik Ke Reformasi Politik,” Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010, hlm 5.
6
lebih menitikberatkan pemilihan pemimpin melalui pemilu. Iklim politik yang seperti ini mengharuskan elite kesultanan (elite non politik) untuk menyesuikan diri menjadi elite politik. Karena kondisi Tidore saat ini status keelitan seseorang lebih mengarah pada kepemilikan kekuatan politik formal dan finansial. Sehingganya posisi kesultanan hari ini tidak lagi bersifat permanen tatapi bersifat temporal yang berperan ketika masalah ‘adat’ dan bukan penentu arah daerah. Sebagai salah satu bentuk mempertahankan legitimasi diri oleh elite kesultanan hanyalah melakukan manuver pada politik formal. Hal ini ditandai dengan sultan Tidore Djafar Syah pernah menjadi anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan dilain pihak orang-orang yang punya hirarki dengan kesultanan juga menyandang status Caleg dalam momen pileg sebagai bagian dari penguatan legitimasi politik secara formal. Namun, hingga saat ini belum ada dukungan secara kelembagaan kesultanan dalam momen politik baik Pileg maupun Pilwako pada suatu calon dan hanya ada secara perseoragan. Menurut Ahmad Laiman,14 keterlibatan elite kesultanan tidak secara kelembagaan tetapi hanya bersifat individual pada politik praktis. Namun, langka seperti ini dapat lihat sebagai melemahnya lagitimasi ‘Lambaga Kesultana’ di tengah pemerintahan yang demokratis saat ini. Sehingganya individu-individu yang memiliki kaitanya dengan Lembaga Kesultanan merasa ‘ketakut’ kehilangan legitimasi dan melakukan suatu langka untuk mempertahankan status keelitannya melalui penyesuaian diri menjadi elite politik.15 Yang dimaksud dengan penyesuaian diri menjadi elite politik lebih dilihat pada peran Lembaga Kesultan sebagai Lembaga Adat yang dinilai sebagai elite yang lahir secara historis atau dengan kata lain disebut sebagai “aristokrat”, kemudian individu-individu yang dinilai berkaitan dengan Lambaga Kesultanan berusah menjadi elite politik yang pada jabatannya didapatkan melalui Pemilu, seperti: DPRD, DPD, Gubenur, Bupati/Walikota. Figur Baru Kalahkan Figur Lama di Tidore (2005-2010 dan 2010-2015) Untuk mengantarkan kita pada hal yang lebih substansi maka Jepri Pioke menggambarkan terbentuk elite lokal Suwawa yang lahir dengan cara historis dari beberapa marga besar Suwawa yang sudah berkuasa cukup lama (elite lama), namun terjadinya perubahan pola pikir masyarakat yang mulai berorientasi kepada kelayakan pendidikan
14
Ahmad Laiman adalah seorang politisi asal partai PDI Perjuangan yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I (satu) DPRD Kota Tidore Kepulauan periode 2009-2014 dan 2014-2019 dan juga Sekretaris DPC Partai PDI Perjuangan. 15 Informasi ini disampaikan dari hasil wawancara dengan Ahmad Laiman di Tidore bertepatan di Kelurahan Gamtufkange, pada tanggal 03 Mei 2014.
7
menjadi elite, maka disini lahinya elite baru. Walaupun belum mampu meyingkirkan posisi elit lama.16 Walaupun penjelasan Jepri Pioke agak berbalik lurus dengan dinamika politik yang ada di Tidore, tatapi setidaknya dapat memberikan gambaran tentang kehadiran “elite baru” berusaha melegitimasi diri untuk menyaingi “elite lama”. Sekedar memperkenalkan ‘figur baru’ pada subbab ini adalah sosok Achmad Mahifa. Dan selain itu dikatakan sebagai ‘figur lama’ adalah calon-calon lain pada momen Pilwako Tidore pada priode 2005-2010 selain “Achmad Mahifa”.17 Sebagai salah satu contoh: sosok Wahyudin Abdul Hamid yang merupakan mantan ketua DPRD Kota Tidore yang mempunyai rekam jejak dalam kontribusi daerah. Dikatakan figur baru karena sosok Achmad Mahifa yang kala itu balik dari Jayapura dan mencalonkan diri pada Pilwako tahun 2005 dan banyak orang yang belum mengenal beliau. Maka, sangat mengagetkan masyarakat Tidore ketika kemenangan dapat diraih oleh Achmad Mahifa yang merupakan figur baru. Menurut Ade Kama:18 Kemenangan Achmad Mahifa pada Pilwako Tidore tahun 2005, sebagai bentuk kerinduan masyarakat Tidore terhadap ‘figur baru’ dengan harapan kontribusi yang sudah banyak diberikan di luar daerah (Jayapura) dapat di implementasikan pada daerahnya sendiri.19 Agak sedikit berbeda dengan ungkapan Ade Kama, Ahmad Laiman, melihat kemenangan Achmad Mahifa sebagai bentuk menguatnya ‘indentitas’ gam-gam (orang kota) dan kelompok gura-gura (orang luar kota: orang gunung).20 Disamping kerinduan masyarakat Tidore terhadap figur baru, disisi lain dinilai sebagai menguatnya ‘indentitas’ kelompok gam-gam dan gura-gura yang bersinggungan pada momentum Pilwako Tidore 2005. Sebuah relasi yang kurang harmoni pada saat itu lebih dititikberatkan pada ketidakpuasan kelompok elite politik gura-gura terhadap birokrasi pemerintahan Tidore yang sudah sekian lama di sandang oleh kelompok gam-gam. Hal ini kemudian mengantarkan Achmad Mahifa pada puncak kekuasaan Tidore (Walikota). 16
Jepri Pioke, Dinamika Elite Lokal Suwawa, (Suatu penelitian di Suwawa, Kabupaten Bone Bolango), Skripsi, Program Studi Sosiologi, Uversitas Negeri Gorontalo, 2013. Hlm 110-111. 17 Pada dasarnya Achmad Mahifa merupakan putra asli daerah, yang telah lama mengabdikan diri di luar daerahnya, yaitu, Janyapura. Melaluai momentum Pilwako di Tidore pada tahun 2005 nama Achmad Mahifa juga terdaftar dalam calon Walikota pada saat itu. Sangat ‘ironi’ kemuculan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Achmad Mahifa karena banyak masyarakat Tidore yang menilai belum mengenal beliau. Lebih sadisnya ‘isu’ yang berkambang saat itu dangan kalimat “kenapa memilih Achmad Mahifa yang sebelumnya belum memberiakan kontribusi kepada daerah dan nanti muncul dalam momen seperti ini (Pilwako Tidore tahun 2005). 18 Ade Kama sebagai Ketua Komisi I (satu) DPRD Kota Tidore Kepulauan periode 2009-2014 dan juga terpilih menjadi anggota DPRD pada periode 2014-2019 19 Infomasi ini disampaikan melalui wawancara dengan Ade Kama di Kelurahan Cobodoe Kota Tidore pada tanggal 06 Mei 2014. 20 Ungkapan Ahmad Laiman lebih melihat fragmentasi atara kedua kelompok (gam-gam dan gura-gura) yang ada di Tidore pada saat momentum Pilwako Tidore pada tahun 2005
8
Gambaran kegiatan Pilwako Tidore pada tahun 2005 harus berlangsung selama dua putaran karena tidak ada calon yang mendapatkan suara dengan angka 50%. Pilwako pada putaran pertama dimenangkan oleh Achmad Mahifa dengan perolehan suara 11.017 (23.49%) dan disusul Wahyudin Abdul Hamid dengan angka 10.787 (23.00%)21. Berkat hasil yang didapatkan kemudian kedua figur ini dapat menlajutkan pertarungan pada putaran kedua. Hasil dari pada putaran kedua Achmad Mahifa mandapatkan suara 24.046 (52.76%) dan Wahyudin Abdul Hamid mandapatkan suara 21.583 (47.24%). Dari hasil ini kemudian mengantarkan sosok Achmad Mahifa sebagai ‘figur baru’ menjadi Walikota Tidore priode 2005-2010. Seiring berjalannya waktu masa kepemimpinan Achmad Mahifa kemudian berakhir pada tahun 2010. Dan di tahun yang sama juga diselenggarakan Pilwako Kota Tidore. Pada momen ini kemenagang juga berpihak pada Achmad Mahifa dengan perolehan suara 28598.22 Perolehan angka ini kemudian mempercepat kemenangan Achmad Mahifa dengan membutuhkan satu putaran untuk tetap duduk di jabatan walikota Tidore pada priode 2010-2015. Kilas Balik Keberhasilan Achmad Mahifa Manjadi Walikota Tidore (2005-2015) Achmad Mahifa sebagai representasi kelompok gura-gura (orang luar kota;orang gunung). Dari ketidakpuasan kelompok gura-gura pada politik yang sedang berjalan di Tidore maka munculnya suatu orientasi baru tahun 2005. Kemunculan Achmad Mahifa pada Pilwako tahun 2005 merupakan momentum yang sangat tepat. Kemunculan inilah yang mampu menjawab kejenuhan kelompok gura-gura yang sekian lama tidak perna muncul pada birokrasi pemerintahan Tidore. Keberhasilan Achmad Mahifa sebagai tokoh gura-gura tidak terlepas dari peran aliansi gura-gura yang sudah dibentuk sejak awal. Kelompok gura-gura banyak menetap di Kecamatan Tidore Timur yang pada waktu itu masih tergabung dengan Kecamatan Tidore dan sebagian di dataran Oba. Dari sinilah kelompok gura-gura dapat menunjukan bahwa mereka juga mampu menjadi kelompok nomor satu yang selama ini selalu dinomor duakan di Tidore. Pertarungan pada Pilwako di Tidore tahun 2005 melibatkan enam pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota di antaranya, Ahmad Abd. Kadir dan Saleh Yasin, Wahyudin Abdul Hamid dan Abdulrahman Lahabato, Jabir Imrahim dan Amrin
21
Angka ini di kutip dari hasil rekapitulasi suara KPU Kota Tidore putaran pertama. Lihat lanjut, Komisi pemelihan umum (KPU) tahun 2005. Laporan Kegiatan Pelaksanaan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tidore Kepulauan Tahun 2005. 22 Angka ini di kutip dari hasil rekapitulasi suara KPU Kota Tidore. Lihat lanjut, Komisi Pemelihan Umum (KPU) tahun 2010, laporan kegiatan pelaksanaan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tidore kepulauan tahun 2010.
9
Salasa, Achmad Mahifa dan Salahudin Adrias, Muhammad Nur Djauhari dan M. Sofyan Daut, dan Mohdar Do. Ali dan Muhammad Bin Taher.23 Dari keenam pasangan calon selain Achmad Mahifa banyak diorientasikan pada kelompok gam-gam. Dan satu-satunya calon Walikota yang merupakan keterwakilan dari kelompok gura-gura hanya Achmad Mahifa. Sehingganya dapat membuka ruang untuk kemenangan atau keberhasilan Achmad Mahifa menjadi Walikota pada priode 2005-2010, sekalipun pilkada pada saat itu dilanjutkan dengan putaran kedua antaranya: pasangan calon Achmad Mahifa dan Salahudin Adrias dengan Wahyudin Abdul Hamid dan Abdulrahman Lahabato. Dari keterwakilan kelompok gura-gura yang didukung oleh aliansi gura-gura lewat wacana-wacana status sosial yang dibagun ditengah kelompok gura-gura yang dengan sendirinya memperkuat rasa solidaritas. Lewat kekuatan inilah dapat memperkokoh Achmad Mahifa sampai pada priode kedua (2010-2015). Keberhasilan Achmad Mahifa dalam dua priode (2005-2015) terakhir tidak bisa di hindari dengan partai politik yang mengusung beliau. Partai Golkar yang mengusung Achmad Mahifa pada tahun 2005 dan 2010 membawa sebuah keberhasilan. Karena partai Golkar dalam kurun 10 tahun terakhir selalu berkuasa baik di lembaga eksekutif maupun legislatif di Tidore. Selain berhasil mengantarkan Achmad Mahifa manjadi Walikota Tidore, partai yang berlambang pohan beringin ini juga berhasil merauk kursi terbanyak pada pileg priode 20092014 dengan jumlah 4 kursi dari 20 jumlah kursi, sehingganya menjadikan partai Golkar sebagai fraksi utuh. Hal ini kemudian mendudukan kader Golkar atas nama Anas Ali, SE menjadi ketua DPRD Kota Tidore priode 2009-2014. Dan hal senada juga berhasil dicapai pada pileg piode 2014-2019. Namun, disisi lain dilihat pada batasan keberhasilan Achmad Mahifa maka mesin partai Golkar diuntungkan secara ‘polarisasi isu’ dan figur yang diusung. Hasilnya akan berbeda ketika figur bukan Achmad Mahifa dan isu yang dimaikan bukan dikotomi antara kelompok gam-gam dan gura-gura pada tahun 2005 dan isu tentang keberhasilan program Achmad Mahifa pada priode pertama (2005-2010) dalam momen Pilwako Tidore tahun 2010. Kontestasi Elite Politik Gam-Gam dan Gura-Gura Kodisi masyarakat lokal (Tidore) yang mengemban status otonomi daerah terkesanya mengisyaratkan kontestasi elite politik di Tidore. Tujuan otonomi daerah yang kurang lebihnya agar daerah mampu meyalurkan kebutuhan masyarakat melalui pemimpin-pemimpin 23
Nama-nama calon Walikota Tidore ini diambil berdasarkan hasil pleno KPU Tidore pada tahun 2005 dan urutan nama yang di tulis berdasarkan nomor urut.
10
daerah yang dinilai dapat memahami masalah yang dialami masyarakat pada daerahnya sendiri. Tetapi pada faktanya, pelimpahan tanggung jawab kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri ternyata implementasinya banyak diselimuti dengan koflik politik.24 Pada tahun 1999 terjadinya konflik di Maluku Utara merupakan sebuah bentuk “politik identitas baru” yang disebut dengan SARA.25 Kejadian ini juga tidak terlepas dari dimensi politik yang melibatkan kaum-kaum elite di tingkat lokal yang ada di Maluku Utara.26 Berbeda dengan Konflik yang terjadi di pilkada Banyuwangi disebabkan karna ketidak dewasaan elite politik maupun non politik dalam suatu pertarungan yang hanya menginginkan kekuasaan semata.27 Sebagai bagian dari politik etnisitas juga di Kalimantan Barat antara etnis Dayak dan Melayau yang ada sejak masa kolonial. 28 Ungkapan penjelasan di atas sangat releval dengan dinamika yang berkembang pada politik lokal Tidore. Sekedar mempertegas bahwa dinamika politik yang ada di Tidore sebelumnya momentum Pilwako Tidore pada tahun 2005 kondisi masyarakat dinilai masih harmoni atau dengan kata lain belum muncul ke permukaan fragmentasi elite politik di Tidore yang mengerucut pada penguatan ‘identitas’ kelompok gam-gam dan gura-gura. Berbanding terbalik ketika pada mementum pilwako Tidore tahun 2005, penguatan indentitas kedua kelompok ini senakin menguat terutama di lingkaran para elite politik. Penguatan identitas ini dinilai sebagai bentuk ‘konstestasi’ antara kelompok gam-gam dan gura-gura yang lebih mengarah pada elite politik yang ada di Tidore. Menurut Marwan Polisiri: Fragmentasi antara kelompok gam-gam dan kelompok gura-gura sengaja dimainkan oleh elite politik dari kelompok gura-gura karena anggapan seperti itu tidak ada di kelompok gam-gam.29 Tidakan yang di lakukan elite politik dari kelompok gura-gura dengan pertimbangan dari enam pasangan calon Walokota dan Wakil Walikota, di antaranya: Ahmad Abd. Kadir dan Saleh Yasin, Wahyudin Abdul Hamid dan Abdulrahman Lahabato, Jabir Imrahim dan Amrin Salasa, Achmad Mahifa dan Salahudin Adrias, Muhammad Nur Djauhari dan M. Sofyan Daut, dan Mohdar Do. Ali dan Muhammad Bin Taher, hanya satu-satunya Achmad Mahifa yang berasal dari pada kelompok gura-gura. Dengan pertimbangan ini maka secara
Lihat Jha dan Mathur 1996 dalam Nils Bubandt, “Antropologi Indonesia, Departemen Antrapologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007. Hlm 17 25 Ibid., 25. 26 Gerry Van Klinken. Perang Kota Kecil: Kekerasan Kumunal dan Demokrasi di Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm 205. 27 Irtanto. “Konflik Elit Politik Lokal Dalam Proses Pilkada Kabupaten Banyuwangi,” Jurnal Cakrawala Vol. 1 No. 1 Desember, 2006. Hlm 37. 28 Lihat Taufiq Tanasaldy Dalam Henk Schulte Nordhelt Dan Gerry Van Klinken, Politik Lokal Di Indonesia, Kitlv-Jakarta: Jakarta, 2007. Hlm 489 29 Dituturkan oleh Marwan Polisiri melalui wawancara di Tidore pada tanggal 01 Mei 2014 24
11
jelas bahwa Achmad Mahifa sangat diuntungkan dengan keberhasilan ‘isu’ penguatan identitas antara kedua kelompok ini. Dan hal itu terbukti ketika Achmad Mahifa dipilih menjadi Walikota Tidore pada tahun 2005. Gambaran sebuah kontestasi antara elite politik kelompok gam-gam dan gura-gura dapat diartikan sebagai keberhasilan kelompok gura-gura dalam merebut puncak kekuasaan (Walikota Tidore) yang sudah sekian lama di genggam oleh kelompok gura-gura (sebelum tahun 2005) dalam birokrasi pemerintahan Tidore. Perubahan Struktur Elite di Tidore Eksistentensi elite politik yang ada di tingkat lokal dalam setiap perkembangannya selalu mengalami perubahan yang selalu diiringi dengan perubahan sistem walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama.30 Sangat wajar ketikan dalam suatu masyarkat terjadinya suatu perubahan yang berkaitan dengan “struktur elite”. Namun, perubahan yang dilihat di struktur ini berorintasi pada sebuah peralihan kekuasaan dari satu “kolporasi” ke “kolporasi yang lain”, yang juga berhubungan dengan suatu bentuk pengembangan demokrasi lokal sebagai wujud otonomi daerah. Tetapi, pada titik lain sering terjadinya penyimpangan yang di lakukan oleh elite politik di daerah. “Setiap masyarakat dilihat pada tingkatan tertinggi dalam partisipasi politik, maka jabatan-jabatan politik dan administratif hanya diduduki oleh kelompok minoritas dari seluruh penduduknya. Kejadian ini diakibatkan oleh dua indikator. Pertama: karena hal tersebut merupakan ciri utama dari sistem politik, dengan kemungkinan pengecualian sistem-sistem yang ada dalam beberapa masyarakat primitif. Kedua: hal itu merupakan basis dari sejumlah teori penting yang berusaha menjelaskan kerjanya sistem-sistem politik sehubungan dengan oligarki-oligarki, kaum-kaum elite dan kelas-kelas sosial”.31 Menurut Keith Faulks: “…Sebuah demokrasi yang kuat, partisipasi bukan sekedar mempertahankan kepentingan, melainkan melalui suatu proses publik yang matang, yang tidak mengklaim suatu kebenaran melebihi apa yang disetujui secara konsensus oleh warga Negara. Dengan memperluas tanggung jawab keputusan kepada setiap orang, demokrasi lebih berhasil dipertahankan melawan musuh-musuhnya karena setiap warga akan berkepentingan untuk mempertahankannya. Hal ini akan mengembangkan kompetensi politik individu, dan karenanya menimbangkan kualitas keputusan yang dibuat. Hal ini juga menumpuk rasa empati antarwarga terhadap perbedaan kepentingan sehingga meningkatkan budaya politik bersama. Konflik antar kelompok sosial akan bisa diselesaikan Hariyanto. “Elit Politik Lokal dalam Perubahan Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 13, No 2, 2009, hlm 133. 31 Michael Rush dan Phillip Althof. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm 181. 30
12
secara terbuka, bukan secara rahasia oleh elit yang hanya mewakili kelompok yang paling kuat…”.32 Berangkat dari penjelasan sebelumnya dapat disingkronisasikan dengan kondisi Tidore sebelum reformasi 1998 bahkan sampai pada tahun 2005 dalam struktur pemerintahan Tidore banyak didominasi oleh elite kelompok gam-gam (orang kota). Kondisi ini kemudian mengalami perubahan ketika Achmad Mahifa sebagai representasi kelompok gura-gura (orang luar kota;orang gunung) berhasil memenangkan pertarungan pada Pilwako tahun 2005 yang mengantarkan Achmad Mahifa menjadi Walikota Tidore. Keberhasilan ini dinilai sebagai suatu bentuk kebagkitan baru bagi kelompok gura-gura (orang luar kota;orang gunung) yang sudah sekian lama terpenjara dalam kekuasaan kelompok gam-gam (orang kota). Melalui kepemimpinan Achmad Mahifa dapat mengantarkan elite kelompok gura-gura (orang luar kota;orang gunung) pada jabatan strategis di birokrasi pemerintahan Tidore layaknya kepala dinas dan jabatan lain di antara SKPD yang ada di Tidore. Tidakan ini dapat diperkuat dengan tetap bertahannya Achmad Mahifa pada momen Pilwako tahun 2010, sehigganya jabatan Walikota yang disandanya lanjut pada priode kedua (2010-2015). Menurut Dwiyanto Agus dalam Mashuri: “ Sistem sentralisasi birokrasi yang diwariskan oleh Pemerintah Orde Baru telah menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang berorientasi vertikal dari pada kultur horisontal, sehingga norma dan nilai- nilai yang menjadi acuan bertindak lebih berorientasi pada penguasa yang pada akhirnya berkembang fenomena suka dan tidak suka dalam birokrasi ”.33 “Eksitensi seseorang dalam kehidupan suatu masyarakat bersifat relatif dan bukan permanen. Dalam artian bahwa kedudukan individu dalam suatu masyarakat itu akan mengalami perubahan atau mobilitas sosial. Status kaum elite itu sama hukumnya seperti siklus kehidupan”.
34
Penjelasan ini sangat jelas dilihat pada perkembangan elite politik lokal
di Tidore. Anggapan ini dinilai dari persaingan antara kelompok gam-gam dan gura-gura yang bersaing dalam merebut puncak kekuasaan yang ada di Tidore. Dimana kekuasaan elite politik gam-gam yang sudah sekian lama tetapi pada akhinya melaui momentum Pilwako 2005 maka jabatan ini kemudian dapat digantikan oleh kelompok gura-gura.
32
Lihat Keith Faulks. Sosiologi Politik; Pengantar Kritis, Bandung: Nusa Media, 2010, hlm 231-232. Dwiyanto Agus, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta, 2003, hlm 105. Lihat lanjut, Mashuri, penetrasi politik dalam rekruitmen elit birokrasi (studi kasus penataan jabatan struktural di Kabupaten Kendal), 2007, hlm 8. 34 Muliansyah Abdurrahman Ways, Bingkai Demokrasi: Sebuah Refleksi Gelombang Demokrasi di Indonesia, Jokjakarta: Ar-Ruzz Media Grup, 2010, hlm 85. 33
13
Melalui jabatan-jabatan politik seperti ini kemudian tidak dapat diherankan akan adanya sebuah prioritas yang meletakan “orang-orang terdekat (keluarga) dalam jabatanjabatan strategis. Dalam usaha menjelaskan mengapa para pemegang jabatan politik dan administratif diambil dari kelompok-kelompok sosial khusus dari suatu masyarakat, sejumlah ahli mengemukakan bahwa kelompok ini terdiri dari kaum elit atau kelas-kelas, dan dalam tangan mereka terpusatnya kekuasaan politik. Eksistensi mereka itu tindakan kebutulan saja, akan tetapi hasil dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang menciptakan beberapa bentuk stratifikasi sosial. Tentu saja, dasar sratifikasi sosial dapat berbeda yang mungkin didasari pada pembegian-pembagian ekonomis dalam masyarakat, atau atas dasar deferensiasi status, atau atas pembagian etnis dan sebagainya.35 Disisi lain dalam kepemimpinan Achmad Mahifa tidak terlepas dari pada panron clint. Hal ini ditandai dengan arogansi kelompok yang dimaikan dalam meletakan oknum-oknum tertentu pada jabatan strategis walaupun dari segi kepangkatan berum layak. Lepas dari situ kemudian dapat di baca pada saat momen CPNS banyak orang yang lulus selalu berkaitan dengan kelurahan yang merupakan asal dari Achmad Mahifa maupun istri pertamanya Hj. Rugaya Dukomalamo. Dan kedua kelurahan ini merupakan kelurahan Dokiri dan Gura Bunga. Walaupun tidak bisa digeneralisasi secara keseluruhan tetapi keutamaan kelompok atau kolporasi tertentu tetap ada dalam masa kepemimpinan Walikota Achmad Mahifa. Bahkan dapat dinilai hal tersebut sebagai hukum dalam kekuasaan tertentu. PENUTUP Pilwako (Pemilihan Walikota) di Tidore pada periode 2005-2010 dan 2010-2015 di nilai sebagai bentuk pertarungan kedua kelompok yang ada di Tidore, di antaranya: kelompok gam-gam (orang kota) dan kelompok gura-gura (orang luar kota; orang gunung). Pertarungan ini memposisikan gam-gam sebagai kelompok yang lama berkuasa di birokrasi Pemerintahan Tidore dan gam-gam sebagai kelompok yang berusaha melegitimasi diri agar bisa duduk di birokrasi Pemerintahan Tidore. Kejenuhan kelompok gura-gura terhadap sistem birokrasi yang selalu didominasi oleh kelompok gam-gam terjawab ketika kedua momen Pilwako (2005-2010 dan 2010-2015) di Tidore mengantarkan Achmad Mahifa sebagai representasi kelompok gura-gura pada posisi puncak Pemerintahan Tidore (menjadi Walikota).
35
Penjelasan ini dilihat berdasarkan prespektif pengrekrutan politik serta teori-teori elit dan kelas. Lihat lanjut, Michael Rush dan Phillip Althof, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm 231.
14
Terjadi dikotomi antara kelompok gam-gam dan gura-gura awalnya belum terlihat di permukaan kehidupan masyarakat. Dikotomi ini mulai terlihat jelas pada Pilwako Tidore pada periode 2005-2010. Kala itu satu-satunya sosok calon Walikota yang direpresentasikan dari kelompok gura-gura hanyalah Achmad Mahifa dan menjadi isu yang paling laris di konsumsi masyarakat, terutama kelompok gura-gura. Tidak cukup disitu kehadiran Achmad Mahifa juga dinilai sebagai sosok baru di antara calon-calon yang lain. Namun, dalam suksesi Achmad Mahifa ada perbedaan ‘isu politik’ dalam kedua momen penting ini. Memen 2005-2010 dinilai sebagai ‘isu’ yang dimainkan lebih mengarah pada dikotomi antara kelompok gam-gam dan gura-gura. Pertimbangan momen 2005-2010 Achmad Mahifa sebagai sosok baru maka dipromosikan melalui pengutan ‘identitas’ yang dikenal dengan kelompok gam-gam dan gura-gura. Terjadi peralihan ‘isu’ pada momen 2010-2015 yang cenderung dimaikan pada kesuksesan program yang di lakukan Achmad Mahifa pada periode pertama (2005-2010). Peralihan isu dinilai sebagai suatu bentuk srategi kelompok gura-gura untuk mempertahankan Achmad Mahifa pada puncak Pemerintahan Tidore. Dimana ‘isu’ tentang keberhasilan program kerja Achmad Mahifa pada periode pertama maka dengan sendirinya dapat merauk suara-suara dari kelompok gam-gam yang secara ‘identitas’ kelompoknya memang berbeda. Keberhasilan ini kemudian dibaca pada momen 2005-2010, Achmad Mahifa harus menang dengan melalui pemilihan pada putaran kedua. Dan kemudian terjadi percepatan kemenangan pada momen 2010-2015 yang hanya dirai dengan pemilihan satu putaran. DAFTAR PUSTAKA Djam’an S., dan Komariah, A. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Penerbit
Alfabeta. Gerry, V. K. (2007). Perang Kota Kecil: Kekerasan Kumunal dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia. Hariyanto. (2009). Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol13.No 2, 131-148. Henk, S. N., dan Klinken, V. G. (ed.). (2007). Politik Lokal di Indonesia. (ed. ke-3). Jakarta: Penerbit KITLV. Irtanto. (2006). Konflik Elit Politik Lokal Dalam Proses Pilkada Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Cakrawala Vol. 1 No. 1, 26-26.
15
Jepri, P. (2013). Dinamika Elite Lokal Suwawa, (Suatu penelitian di Suwawa, Kabupaten Bone Bolango). Skripsi. Gorontalo: Program Studi Sosiologi, Universitas Negeri Gorontalo. Komisi Pemilihan Umun. (2005). Hasil Kegiatan Pelaksanaan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tidore Kepulauan Tahun 2005. Tidore: KPU. Komisi Pemilihan Umun. (2010). Hasil Kegiatan Pelaksanaan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tidore Kepulauan Tahun 2010. Tidore: KPU. Keith, F. (2010). Sosiologi Politik; Pengantar Kritis. Bandung: Penerbit Nusa Media. Leo A., dan Yosoff, A.M . (2010). Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik Ke Reformasi Politik. Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 6-30. Mashuri. (2007). Penetrasi Politik Dalam Rekruitmen Elit Birokrasi (Studi Kasus Penataan Jabatan Struktural di Kabupaten Kendal). Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang. Michael R., dan Althof, P. (2007). Pengantar Sosiologi Politik. (ed. ke-12). Jakarta: Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Muliansyah, A. W. (2010). Bingkai Demokrasi: Sebuah Refleksi Gelombang Demokrasi di Indonesia. Jokjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media Grup. Rusdi, J. A. (2012). Demokrasi di Aras Lokal: Praktek Politik Elit Lokal di Maluku Utara. Yokyakarta: Penerbit Cerah Media. Rudi, S. (2011). Keterlibatan Kiai Dalam Pilkada (Studi Kasus Pilkada di Kabupaten Banjarnegara Tahun 2006). Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1.No. 1, 41-50. Rusovanny, H. (2006). Kontestasi Elit Dalam Arena Kebijakan Publik (Studi tentang Konflik Elit dalam Kebijakan Ekonomi Strategis Agropolitan di Provinsi Gorontalo). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Sugiyono. (2012). Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Cv Alfabeta. Suharizal. (2012). Pemilukada: Regulasi dan Konsep Mendatang. (ed. ke-2). Jakarta: Penerbit RajaGrafindo.
16