DINAMIKA PERAN PURI BALI DALAM POLITIK LOKAL PADA MASA PASCA-ORDE BARU: STUDI KASUS KABUPATEN KLUNGKUNG DAN KABUPATEN GIANYAR Calvin dan Wawan Ichwannuddin Program Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Abstrak Puri merupakan sebuah identitas kelompok elit yang berasal dari keluarga kerajaan dalam masyarakat Bali. Peran sosial yang dilakukan oleh puri masih tetap bertahan hingga masa kini, meskipun puri tidak lagi memiliki kekuasaan formal dalam pemerintahan. Penelitian ini dititikberatkan pada dua studi kasus di dua wilayah berbeda, yaitu Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung merupakan lokasi Puri Agung Klungkung yang merupakan puri tertua di Pulau Bali. Kabupaten Gianyar merupakan lokasi tiga puri yang menjadi obyek penelitian, yaitu Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) di Kecamatan Gianyar, serta Puri Saren Ubud dan Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) di Kecamatan Ubud. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan sumber primer penelitian berupa wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh puri dan nonpuri, selain sumber-sumber sekunder yang juga menunjang kebutuhan informasi lanjutan dalam memahami peran puri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Puri Klungkung memiliki peran yang lebih lemah dalam memainkan tidak hanya peran politik, namun juga peran ekonomi dan kultural jika dibandingkan dengan peran sosial Puri Gianyar dan Puri Ubud. Tulisan ini pada akhirnya diharapkan mengisi celah penelitian terkait politik lokal di Bali, khususnya dalam memahami peran politik puri di masa pasca-Orde Baru secara lebih kontemporer hingga mencakup tahun 2012. The Role Dynamics of Balinese Puri on Local Politics in Post-New Order Era: Case Studies from Klungkung Regency and Gianyar Regency Abstract Puri is an elite group identity which originated from Balinese royal family. The Puri’s social role still hitherto persists, albeit puri is no longer holds formal authority in local goverment. This research is scrutinized in two case studies in two different locations, namely Klungkung Regency and Gianyar Regency. Klungkung Regency is home to the Puri Agung Klungkung which is the oldest puri on the island of Bali. Gianyar Regency is home to three puris which are being research objects, namely Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) in Gianyar subdistrict, along with Puri Saren Ubud and Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) in Ubud subdistrict. This research is using qualitative method, with primary sources are based on in-depth interview with several puri and nonpuri figures, aside from secondary sources which bolster additional informations to comprehensively deepen understanding of puri. The results of this research show that Puri Klungkung has weaker not solely political role, but also economic and cultural roles if collated with social roles of Puri Gianyar and Puri Ubud. At last, this paper is expected to fill the gap on study of local politics in Bali, particularly in comprehension of puri’s political role in post-New Order era contemporarily up to 2012. Keywords: Bali; Gianyar; Klungkung; Local Politics; Puri; Ubud
1 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
1. Pendahuluan Desentralisasi dan otonomi daerah yang diimplementasikan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sejak tahun 2001 memberikan corak baru dalam pemerintahan lokal di Indonesia. Terdapat berbagai upaya dalam rangka mempertahankan identitas kedaerahan yang sebelumnya diseragamkan berdasarkan karakter pemerintahan yang sentralistik oleh rezim Orde Baru. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat di Provinsi Bali melalui Ajeg Bali, yang merupakan upaya untuk mempertahankan budaya lokal Bali dari kuatnya pengaruh globalisasi yang utamanya bersumber dari pariwisata. Wacana Ajeg Bali memiliki sejarah panjang yang dipakai sejak masa kolonialisme untuk melestarikan berbagai tata kelaziman khusus yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Hal tersebut dianggap sangat perlu bagi birokrat lokal Bali dalam rangka mempertahankan daya tarik Bali yang eksotis (Nordholt, 2010; Atmadja, 2010). Di sisi lain, masyarakat Hindu Bali menerapkan sistem kelas sosial berbasiskan kasta atau warna yang hampir serupa dengan Hindu di India yang dikenal dalam dikotomi Triwangsa dan Jabawangsa, yang sudah ada sejak masa prakolonialisme. Kasta Triwangsa adalah tiga kasta elit yang terdiri dari kalangan Brahmana, Ksatria, dan Waisya, sedangkan Jabawangsa adalah kasta Sudra yang umumnya berasal dari kalangan petani. Puri adalah istana dalam Bahasa Bali yang dihuni oleh masyarakat kasta Ksatria yang merupakan kelompok raja atau keluarga kerajaan. Untuk masyarakat kasta Brahmana yang menjalankan perannya sebagai pemuka agama, kediamannya dikenal dengan istilah griya dan untuk masyarakat kasta Waisya yang merupakan petani terpandang atau para seniman dikenal dengan istilah jero. Kasta Sudra yang merupakan rakyat biasa memiliki kediaman yang dikenal dengan istilah uma (Yang, 2011; Mann, 2012).
Puri sejak zaman prakemerdekaan hingga Orde Baru
merupakan salah satu kekuatan politik signifikan di Provinsi Bali yang turut mengalami perubahan pada masa pasca-Orde Baru. Ajeg Bali yang lahir pada masa pasca-Orde Baru juga menimbulkan friksi antara Triwangsa yang mengusung gagasan konservatisme adat melalui penguatan status kasta dan Jabawangsa yang mengusung modernisme dengan nuansa egalitarian. Puri hingga masa kini masih berperan sebagai pengayom bagi masyarakat Bali yang memiliki setidaknya tiga peran sosial. Peran sosial pertama merupakan peran kultural dalam preservasi seni, khususnya di tengah derasnya perkembangan pariwisata di Pulau Bali. Hal ini penting 2 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
dikarenakan eksotisme budaya Bali dijadikan sebagai daya jual dalam industri pariwisata. Peran sosial kedua merupakan peran ekonomi yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah naungannya. Salah satu wujud konkret adalah menyediakan fasilitas marek bagi masyarakat atau bekerja di perusahaan yang dijalankan oleh keluarga puri. Peran terakhir merupakan peran politik, yang ditujukan untuk mengarahkan figur tertentu dan/atau ikut serta dalam pemerintahan lokal, meskipun secara formal puri tidak lagi memegang kekuasaan seperti yang ada pada masa prakemerdekaan. Dalam satu dasawarsa terakhir, peran puri sebagai salah satu bagian penting dari pemerintahan di Kabupaten Klungkung – sebuah kabupaten yang memiliki puri tertua di antara daerah lain – mengalami gelombang surut yang signifikan. Gejala tersebut dapat dilihat dari kemenangan I Wayan Candra yang berasal dari kasta Jabawangsa sebagai Bupati Klungkung untuk periode 2003–2008 dan 2008–2013. Meskipun I Wayan Candra masih menggandeng tokoh dari puri sebagai wakilnya pada masa jabatan kedua, hal tersebut setidaknya menggambarkan peran puri yang tidak lagi signifikan pada masa pasca-Orde Baru. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Klungkung 2008, calon perseorangan dari Puri Agung Saraswati, Cokorda Raka Putra, mampu meraih suara sebesar 29,79 persen meskipun hanya menjadi peraih suara kedua terbanyak dalam pemilukada tersebut. Hal ini diklaim sebagai keinginan rakyat untuk mengembalikan puri dalam pemerintahan formal. Peran puri di Kabupaten Gianyar masih sangat kuat terasa dalam ranah politik lokal di kabupaten tersebut yang membuatnya berbeda dengan Kabupaten Klungkung. Sejak kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 hingga tahun 2012, tidak ada satu pun bupati yang berasal dari kalangan Jabawangsa. Pemilukada Kabupaten Gianyar 2012 memberikan gambaran peran puri yang masih sangat signifikan. Kedua kandidat yang bersaing merupakan tokoh dari puri yang memiliki pengaruh besar di kabupaten tersebut, yaitu Puri Agung Peliatan dan Puri Agung Gianyar. Bupati Gianyar periode 2008–2013, Cokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) juga merupakan tokoh puri yang memiliki pengaruh besar di Kabupaten Gianyar, yaitu Puri Saren Ubud. Pada dasarnya, terdapat banyak puri baik di Kabupaten Klungkung maupun Kabupaten Gianyar. Puri yang jumlahnya banyak tersebut menggabungkan diri ke puri gde atau puri utama yang memiliki pengaruh historis yang lebih kuat (Geertz, 1980). Puri yang berada di 3 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
Kabupaten Gianyar juga terbagi atas banyak puri yang berada di tujuh kecamatan yang ada. Akan tetapi, fokus dari tulisan ini ditekankan pada tiga puri besar yang masuk dalam birokrasi formal, yaitu Puri Saren Ubud dan Puri Agung Peliatan yang berada di Kecamatan Ubud dan disederhanakan menjadi Puri Ubud, serta Puri Agung Gianyar yang berada di Kecamatan Gianyar dan disederhanakan menjadi Puri Gianyar. Gelombang surut peran puri di Kabupaten Klungkung menjadi beriringan dengan proses demokratisasi dan perluasan partisipasi publik dalam pemerintahan. Proses ini diperoleh melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi yang gencar dirumuskan dan diimplementasikan setelah kejatuhan Presiden Suharto. Kekhawatiran atas pengulangan kesalahan masa lalu yang bernuansa otoriter dan sentralistik menjadikan berbagai wilayah di Indonesia menolak pembagian kekuasaan antara pusat-daerah yang tidak lagi mementingkan kepentingan daerah. Pada akhirnya, kecenderungan sentralistik yang mengharuskan pemimpin daerah untuk memiliki jaringan yang kuat dan mendapatkan preferensi dari pemerintah pusat mulai tergerus dengan sendirinya setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Hal yang sama juga berlaku di Kabupaten Gianyar meskipun dengan karakteristik politik lokal yang berbeda dibandingkan dengan Kabupaten Klungkung oleh karena adanya peran tokoh puri yang masih dominan hingga saat ini. Studi terhadap peran politik puri Bali pernah diulas secara singkat dalam kajian historis yang ditulis oleh Geoffrey Robinson yang mencakup periode prakolonialisme hingga akhir pemerintahan Presiden Sukarno. Puri merupakan tokoh utama pemegang kekuasaan terbesar di dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bali. Masuknya kolonialisme menjadikan puri yang bersahabat dengan Belanda diberikan privilise, sedangkan puri yang menentang Belanda diberangus. Pada masa ini, puri menjadi media perantara antara pemerintah kolonial dengan masyarakat Bali yang dijajah. Masyarakat Bali pada umumnya terikat pada feodalisme yang dalam studi Antropologi dikenal dengan istilah parekan, sehingga dapat dengan mudah dikendalikan melalui puri sebagai alat kolonial dalam menjalankan roda pemerintahan di Bali. Peran ini masih tetap kuat pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, mengingat sebagian besar kalangan pemilik tanah, modal, dan pendidikan di Bali berasal dari kalangan puri yang berafiliasi di berbagai partai politik yang ada pada masa itu (Robinson, 2006).
4 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
Dari segi sosio-kultural, puri telah lama memainkan fungsinya sebagai pewaris dan pelindung budaya Bali. Sejak lahirnya konsep puri Bali pada masa penaklukan Majapahit pada abad ke14, tempat ini telah menjadi salah satu media utama bagi masyarakat pada umumnya untuk meminta petunjuk bahkan bantuan finansial (Pringle, 2011). Dalam hal seremonial seperti ini, peranan puri masih dipertahankan, khususnya beriringan dengan kebijakan pemerintah Provinsi Bali yang menerapkan konsep Ajeg Bali. Puri Saren Ubud adalah salah satu contoh puri yang menjadi tempat apresiasi karya seni bagi masyarakat sekitar untuk mengembangkan kemampuan mereka, selain menjadikan seni sebagai sumber utama mata pencaharian. Sebelum kejatuhan rezim Orde Baru, puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar memegang peranan yang sangat penting dalam politik lokal. Pada masa Orde Baru, seluruh anggota puri yang memegang posisi struktural pemerintahan daerah merupakan bagian dari mesin politik Orde Baru dengan bergabung ke dalam Golongan Karya (Golkar). Hal tersebut menunjukkan bahwa puri mendapatkan legitimasi dan dukungan resmi dari pemerintah pusat yang kala itu bersifat sentralistik. Kejatuhan rezim Orde Baru tidak hanya mengubah konstelasi perpolitikan nasional, namun juga mengubah kekuatan Golkar di Bali. Golkar yang selama masa Orde Baru tidak pernah kehilangan statusnya sebagai partai pemenang pemilu mengalami kekalahan telak pada Pemilu 1999 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Desentralisasi dan otonomi daerah yang salah satu tujuannya adalah untuk memperluas dan memperkuat kepemimpinan lokal diterjemahkan dalam berbagai bentuk yang tidak seragam di Bali. Kabupaten Klungkung memberikan karakteristik yang memungkinkan terpilihnya tokoh nonpuri untuk memegang tampuk kepemimpinan di daerah tersebut, setelah tokoh dari puri terbesar di Klungkung, Puri Agung Klungkung, tidak turut serta dalam kontestasi meraih jabatan eksekutif atau legislatif di Klungkung sejak kejatuhan rezim Orde Baru. Fenomena yang terjadi di Kabupaten Gianyar justru memperlihatkan peran puri yang tetap kuat selama desentralisasi dan otonomi daerah diimplementasikan dengan tiga puri besar yang berpengaruh, yaitu Puri Agung Gianyar, Puri Saren Ubud, dan Puri Agung Peliatan. Perbedaan peran puri dalam politik lokal kedua wilayah tersebut menjadi fokus utama dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
5 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
Penelitian ini berangkat dari pertanyaan yang disusun sebagai berikut: Bagaimana peran politik puri dalam politik lokal Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar pada masa pasca-Orde Baru? Faktor apa saja mempengaruhi peran politik puri di kedua wilayah tersebut? 2. Metode Penelitian Peneliti menggunakan metode kualitatif dalam rangka menjawab pokok permasalahan yang ada di dalam penelitian ini. Metode kualitatif dipakai untuk menjabarkan temuan peran puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar yang menghasilkan kondisi berbeda yang diambil dari berbagai narasumber terkait penelitian ini. Metode ini pada akhirnya ditujukan untuk mendeskripsikan peran politik puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar, juga untuk menganalisis hasil temuan tersebut. Kebutuhan data diperoleh melalui pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dan sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi lapangan. Teknik pengumpulan data primer terdiri dari kegiatan identifikasi penyusunan kebutuhan data, penyusunan panduan wawancara, penentuan waktu dan lokasi penelitian, pengumpulan data hasil wawancara. Teknik pengumpulan data sekunder terdiri dari kegiatan penentuan jenis data, penentuan instansi yang terkait dan pemilihan data. Identifikasi data primer diperoleh dari metode in-depth interview dengan 22 narasumber dari kalangan puri dan nonpuri (Ritchie dan Lewis, 2004). Identifikasi data sekunder diperoleh dari instansi pemerintahan Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar. Selain instansi pemerintahan, kebutuhan data sekunder juga didapatkan melalui studi literatur berupa buku, artikel, berita, dan sumber bacaan terkait penelitian ini. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pergeseran Peran Puri Klungkung Desentralisasi dan otonomi daerah memberikan peluang bagi terputusnya relasi hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini menjadikan karakteristik politik lokal di Kabupaten Klungkung mengalami perubahan yang cukup signifikan pada masa kini, khususnya melalui mekanisme pemilukada langsung yang lebih dititikberatkan pada kapabilitas calon kepala daerah ketimbang kehendak pemerintah pusat. I Wayan Candra dalam hal ini telah mampu memenangkan Pemilukada 2003 dan 2008 6 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
melalui kapabilitasnya sebagai kader partai terbesar, PDIP, yang telah membangun relasi baik dengan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri sejak masa akhir rezim Orde Baru. Selain faktor itu, I Wayan Candra juga memiliki kemampuan finansial kuat yang pada akhirnya mampu menggeser dominasi puri di Kabupaten Klungkung untuk pertama kalinya. Berdasarkan konsensus yang diutarakan oleh Ida Dalem Smara Putra, puri yang ada di Klungkung tidak diperbolehkan ikut campur dalam politik lokal. Anggota keluarga puri yang memiliki ketertarikan dengan politik diperkenankan untuk turut serta dalam pemerintahan baik sebagai eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini menjadikan adanya perbedaan antara ‘puri’ sebagai satu identitas dengan ‘tokoh puri’ yang merupakan anggota keluarga dari puri. Puri secara legal-formal harus memiliki sikap netral terhadap pemerintahan yang dipegang oleh tokoh nonpuri, meskipun hampir seluruh tokoh puri yang peneliti temui memiliki suara yang bulat mengenai posisi mereka di masa penurunan peran politik puri Klungkung dan relatif antipati terhadap pemerintahan tokoh nonpuri I Wayan Candra. Peran politik puri masih cukup signifikan setelah kejatuhan rezim Orde Baru, khususnya pada periode awal reformasi yang merupakan kelanjutan dari kejayaan Golkar pada periode sebelumnya. Periode tersebut melibatkan Cok Ngurah sebagai Bupati Klungkung untuk periode 1998–2003. Cok Ngurah terpilih sebagai Bupati Klungkung yang diusung oleh Golkar pada Maret 1998, sebelum kejatuhan rezim Orde Baru. Perubahan komposisi lembaga legislatif sejak Pemilu 1999 melalui kemenangan PDIP menjadikan Cok Ngurah berada dalam pemerintahan minoritas, yang juga mengalami masa kekuatan legislatif yang lebih besar dibanding pada masa Orde Baru. Menurut Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Klungkung I Dewa Made Widiasa Niida, pada masa akhir jabatan Cok Ngurah, ia pernah berupaya untuk kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Klungkung periode 2003–2008. Cok Ngurah pernah mengajukan permohonan untuk diusung PDIP sebagai calon bupati periode 2003–2008, namun permohonan tersebut ditolak oleh DPD PDIP. Di tengah sensitivitas stigma Golkar dan Orde Baru pada masa itu, pencalonan Cok Ngurah yang notabene merupakan pengurus Golkar sejak tahun 1982 dianggap dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PDIP. Akan tetapi, fakta ini mendapat bantahan dari Cok Ngurah. Ia menyatakan bahwa pernah ada rencana untuk mendaftarkan diri sebagai anggota nonkader PDIP, namun tidak memungkinkan karena pengabdian dan loyalitasnya pada Partai Golkar sangat bulat karena 7 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
baik atau buruk kinerja partai ditentukan melalui kapabilitas dari pengurus partai tersebut. Pada akhirnya, Cok Ngurah tidak ikut dalam bursa Pemilukada 2003 dan memilih pensiun sebagai pegawai negeri sipil pada tahun 2004. Mundurnya Cok Ngurah dalam bursa Pemilukada 2003 pada dasarnya tidak menjadikan puri kehilangan tokoh untuk diajukan sebagai calon bupati. Tokoh Puri Agung Klungkung, Cokorda Bagus Oka yang merupakan dosen ilmu matematika komputasi di Universitas Udayana pernah dicalonkan sebagai bupati Klungkung oleh PDIP pada saat Pemilukada 2003. Pencalonan Cokorda Bagus Oka sebagai bupati pada Pemilukada 2003 lebih didasarkan pada relasi Cokorda Bagus Oka dengan PDIP yang sangat dekat. Relasi tersebut mulai terbangun setelah ayahnya, Cokorda Anom Putra mulai mendekati PDI menjelang akhir runtuhnya rezim Orde Baru. Cokorda Bagus Oka mememiliki kedekatan dengan Megawati Sukarnoputri, khususnya ketika Cokorda Bagus Oka mendukung Megawati pada saat PDI terpecah menjadi dua kubu – PDI Suryadi dan PDI Mega – menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Akan tetapi, Cokorda Bagus Oka secara pribadi belum pernah aktif dalam dunia politik oleh karena kesibukannya dalam dunia pendidikan. Tawaran sebagai bupati Klungkung dalam Pemilukada 2003 atas dukungan dari teman-teman ia di PDIP langsung diterima. Cokorda Bagus Oka dipasangkan pada Anak Agung Gede Bagus, Ketua DPC PDIP Kabupaten Klungkung pada saat itu. Sebagai salah satu anggota keluarga puri, Cokorda Bagus Oka mengakui bahwa ia tidak terlalu banyak melakukan kegiatan sosial langsung kepada masyarakat. Ia lebih aktif sebagai pengurus pura dan budayawan lokal setempat. Menjadi pengurus pura merupakan tugas yang dilanjutkan oleh Cokorda Bagus Oka dari ayahnya. Pura yang diurus oleh Cokorda Bagus Oka adalah Pura Dalem Agung, Pura Penataran Agung, dan Pura Tirta Sigening. Selain itu, Cokorda Bagus Oka juga memiliki lembaga swadaya masyarakat (LSM), Hanacaraka, yang merupakan singkatan dari Wahana Cipta Warisan Kebudayaan. LSM tersebut didirikan pada tahun 2011 sebagai respon terhadap keluhan para kenalan Cokorda Bagus Oka. Mereka melihat Klungkung yang pada masa prakolonialisme sebagai pusat budaya Bali mulai mengalami kemerosotan tajam dalam apresiasi seni dan budaya, sehingga Cokorda Bagus Oka tergerak untuk membentuk sebuah wadah yang diperuntukkan pelestarian seni dan budaya. Cokorda Bagus Oka mengumpulkan orang-orang yang memiliki pemahaman terhadap seni dan budaya dengan menggelar kegiatan yang bertujuan untuk 8 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
mempromosikan seni dan budaya Klungkung. Hanya saja kiprah Hanacaraka tidak terlalu banyak oleh karena keterbatasan dana yang dihadapi, terlebih seluruh kegiatan yang dilakukan menggunakan logistik pribadi masing-masing anggota. Setelah mengalami kegagalan di Pemilukada 2003, Cokorda Bagus Oka secara pribadi menyatakan masih tertarik untuk turut serta dalam dunia politik. Setidaknya terdapat dua momen paling penting yang dicatat oleh Cokorda Bagus Oka tentang peranannya di dalam Pemilukada 2008, yaitu rekomendasi Megawati Sukarnoputri atas dirinya untuk mendampingi I Wayan Candra sebagai wakil bupati dan menjadi tim sukses pemenangan calon perseorangan dari puri, Cokorda Raka Putra, yang merupakan paman dari Cokorda Bagus Oka. Cokorda Bagus Oka tidak mendapatkan rekomendasi dari PDIP sebagai bupati, oleh karena posisi tersebut masih diberikan kepada Bupati Klungkung I Wayan Candra sebagai pertahana. Meskipun demikian, Cokorda Bagus Oka masih mendapat rekomendasi untuk ikut dalam pemilukada sebagai wakil bupati mendampingi I Wayan Candra yang ditolak olehnya. Selain tawaran yang diberikan oleh Megawati Sukarnoputri, Cokorda Bagus Oka juga mendapat tawaran untuk mendampingi calon perseorangan Cokorda Raka Putra sebagai wakil bupati. Cokorda Bagus Oka bersedia menerima tawaran dari Cokorda Raka Putra sebagai wakil bupati oleh karena kesamaan visi dan misi di antara mereka. Akan tetapi, menjelang Pemilukada 2008 Cokorda Raka Putra memilih I Ketut Gunaksa sebagai wakil bupati mendampingi ia. Cokorda Bagus Oka tidak keberatan dengan keputusan Cokorda Raka Putra tersebut dan menjadi tim sukses untuk pemenangan pasangan Cokorda Raka Putra-I Ketut Gunaksa dalam pemilukada. Cokorda Bagus Oka mengeluarkan uang sebesar Rp 75 juta untuk mendukung pasangan Cokorda Raka Putra-I Ketut Gunaksa, salah satunya adalah menyumbang untuk pembuatan media kampanye berupa baju kaos. Selain Cokorda Bagus Oka, terdapat tokoh puri dari Puri Agung Saraswati yang juga memiliki keinginan untuk turut serta dalam politik praktis namun gagal, yaitu Cokorda Raka Putra. Ia pertama kali memiliki keinginan untuk aktif dalam politik praktis tercatat dalam keikutsertaannya dalam Pemilukada 2003 melalui PDIP, meskipun gagal dicalonkan oleh dalam Rapat Kerja Cabang Khusus (Rakercabsus) PDIP. Setelah gagal dalam Rakercabsus PDIP sebagai calon bupati pada Pemilukada 2003 dan kembali pada aktivitas ia sebagai dokter dan tokoh puri, Cokorda Raka Putra kembali lagi ke 9 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
dalam bursa Pemilukada 2008 yang digelar pada 25 Oktober 2008 sebagai kandidat perseorangan. Sebelum mengesahkan diri sebagai kandidat perseorangan, Cokorda Raka Putra sebenarnya sudah hampir dicalonkan oleh Partai Golkar. Dalam perjalanan waktu, Partai Golkar justru mencalonkan I Ketut Kinog dan Gede Bagus Darmayasa sebagai calon bupati dan wakil bupati oleh karena alasan yang tidak jelaskan secara rinci oleh Cokorda Raka Putra. Perlu digarisbawahi bahwa pada periode ini telah diimplementasikan UU No. 32 Tahun 2004 dan disempurnakan melalui UU No. 12 Tahun 2008 yang memungkinkan adanya calon perseorangan dalam pemilukada langsung. Hal ini memberikan peluang bagi tokoh puri seperti Cokorda Raka Putra untuk maju dalam bursa Pemilukada 2008 melalui jalur perseorangan, di tengah partai politik yang mengusung calon mereka masing-masing. Sebagai salah satu tokoh pertama yang mencalonkan diri secara perseorangan, Cokorda Raka Putra menyatakan bahwa pada awalnya tidak memiliki pengetahuan mengenai persyaratan kandidat perseorangan dalam pemilukada yang disahkan pada bulan Mei 2008. Cokorda Raka Putra memperoleh sebanyak 29.172 suara (29,79 persen), terbesar kedua setelah pasangan I Wayan Candra-Cokorda Gede Agung, calon pertahana yang menggandeng tokoh puri sebagai wakil, dengan perolehan sebanyak 33.262 suara (33,97 persen). Perolehan suara tersebut mengantarkan pasangan I Wayan Candra-Cokorda Gede Agung menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Klungkung periode 2008–2013. Cokorda Raka Putra melihat keluarga puri yang aktif dalam berpolitik sebagai hal lazim yang sudah menjadi tugas sejak masa prakolonialisme hingga integrasi Klungkung sebagai wilayah NKRI. Politik menjadi bagian dari hidup sehari-hari bagi tokoh puri yang menjalankan fungsi sebagai pengayom masyarakat, selain peranan penting dalam budaya, agama, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Meskipun puri memainkan peranan politik secara informal, namun secara umum tugas yang dilaksanakan oleh puri pada dasarnya sama dengan tugas pejabat birokrasi formal, yaitu menyejahterakan kehidupan masyarakat yang diayominya berdasarkan keyakinan kuat terhadap legitimasi kultural atas peranan sekala dan niskala (Eiseman, 1990). Sebagai salah satu tokoh puri di Klungkung, Cokorda Raka Putra menekankan bahwa tidak terlibatnya puri dalam politik formal tidak menandakan bahwa puri kehilangan peranan penting. Puri dalam perspektif Cokorda Raka Putra tidak perlu terlalu ambisius untuk masuk dalam politik praktis, karena setidaknya dalam ranah informal puri telah memainkan peranan 10 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
yang sama dengan pemerintah. Hal menarik lain adalah puri tidak mengkotak-kotakan anggota keluarga puri yang berafiliasi pada partai politik atau ideologi tertentu, karena di dalam filosofi puri, seluruh anggota keluarga puri adalah satu identitas yang tidak dapat dipisahkan. Kekalahan pasangan Cokorda Raka Putra-I Ketut Gunaksa dalam Pemilukada 2008 menjadikan Cokorda Bagus Oka tidak tertarik untuk terlibat dalam perpolitikan. Cokorda Bagus Oka lebih memilih untuk fokus pada dunia pendidikan yang sudah ditekuninya selama lebih dari 25 tahun. Ketidaktertarikan Cokorda Bagus Oka ini ditambah dengan kesiapan Cokorda Raka Putra dalam bursa Pemilukada 2013 mewakili kalangan puri. Akan tetapi, Cokorda Bagus Oka mendapat banyak dukungan dari kalangan intelektual, agamawan, masyarakat, bahkan keluarga puri untuk ikut serta dalam bursa Pemilukada 2013. Salah satu bukti dukungan itu diperoleh dari Cok Ngurah – kini menjabat sebagai Ketua Penasihat Partai Golkar Kabupaten Klungkung – yang menyatakan bahwa Cokorda Bagus Oka akan diusung sebagai calon bupati dari Partai Golkar. Selain Cokorda Bagus Oka, tokoh puri lain yang memiliki kemauan untuk maju lagi dalam Pemilukada 2013 adalah Cokorda Raka Putra. Kekalahan Cokorda Raka Putra dalam Pemilukada 2008 tidak menjadikan Cokoda Raka Putra berhenti untuk maju dalam bursa Pemilukada 2013. Cokorda Raka Putra memberikan syarat yang sama pada saat ia ikut dalam bursa Pemilukada 2008, yaitu tidak akan menggunakan uang berlebihan dalam memenangkan pemilukada, kecuali pengeluaran yang bersifat logistik, seperti makanan dan minuman bagi pendukungnya. Cokorda Raka Putra juga dengan tegas tidak akan melakukan politik uang, seperti memberikan uang atau bantuan bersifat laten ke setiap banjar yang ada di Kabupaten Klungkung. Eksistensi keluarga Puri Klungkung di ranah legislatif terbilang terbatas. Hanya terdapat tiga anggota DPRD Kabupaten Klungkung periode 2004–2009 yang merupakan bagian dari keluarga puri dari total 24 anggota DPRD, dan mereka cenderung lebih tidak aktif secara politik dan kultural dibandingkan dengan Cokorda Raka Putra dan Cokorda Bagus Oka. Meskipun demikian, jabatan ketua DPRD sejak tahun 2004 hingga saat ini diisi oleh tokoh puri, seperti Anak Agung Gede Bagus untuk periode 2004–2009 dan Anak Agung Gede Anom untuk periode 2009–2014. Kondisi ini juga semakin membaik ketika terdapat penambahan jumlah anggota DPRD yang merupakan keluarga puri sebanyak satu orang pada 11 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
periode 2009–2014, yaitu Cokorda Istri Raka, tokoh puri perempuan yang menjabat sebagai Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Klungkung. Dalam hal peran budaya, peneliti melihat peranan yang dimainkan oleh Puri Klungkung terbilang lemah. Faktor budaya ini menjadi penting pada masa desentralisasi dan otonomi daerah yang menjadikannya sebagai salah satu modal utama dalam meraih dukungan dari masyarakat. Peneliti tidak memungkiri bahwa Ida Dalem Smara Putra memiliki kegiatan yang cukup padat dalam satu minggu, khususnya sebagai Ketua Paikatan Puri se-Bali. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat dibuktikan ketika Puri Agung Klungkung menjadi tempat yang sepi dari pengunjung selama peneliti melakukan penelitian. LSM yang didirikan oleh Cokorda Bagus Oka, Hanacaraka, juga memiliki keterbatasan dalam menggalakkan kegiatan seni dan budaya atas dasar kapabilitas finansial yang tidak memumpuni. Dalam hal preservasi seni, Puri Klungkung sekali lagi menunjukkan kelemahannya jika dibandingkan dengan Puri Gianyar. Peneliti menelusuri melalui kegiatan latihan tari tradisional khas Kabupaten Klungkung, Tari Sekar Cempaka, tidak dilakukan di puri seperti layaknya latihan Tari Calonarang dan Barong di Kabupaten Gianyar, namun justru di situs pariwisata Kerta Gosa yang saat ini sama sekali tidak ada ikatan lagi dengan puri. 3.2 Kontestasi Puri Ubud dan Gianyar Sejak periode kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru, Kabupaten Gianyar memiliki pemerintahan lokal yang hampir selalu diduduki oleh kalangan puri. Dari sepuluh bupati yang menjabat sejak tahun 1950 hingga 2012, hanya dua bupati yang berasal dari kalangan nonpuri, yaitu I Made Sayoga (1964–1965) dan I Made Kembar Kerepun (1965–1969). Puri yang memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan lokal di Kabupaten Gianyar terbentuk atas pengaruh yang diwariskan dari Anak Agung Gede Agung dari Puri Agung Gianyar dan Cokorda Gede Raka Sukawati dari Puri Ubud yang kini lebih spesifik pada Puri Saren Ubud. Cok Nindia dari Puri Agung Peliatan yang ikut serta dalam bursa Pemilukada 2003 dan 2012 merupakan tokoh puri minor yang berada dalam satu klan dengan Puri Ubud di bawah Keturunan Dalem Sukawati. Selain relasi dengan Puri Ubud, Cok Nindia memiliki relasi keluarga dengan Puri Agung Gianyar sebagai sepupu dari Gung Bharata.
12 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
Pola kepemimpinan puri yang terjadi di Kabupaten Gianyar tidak hanya merefleksikan dominasi historis puri, namun juga terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara Ubud dan Gianyar yang unik. Secara historis, Gianyar menjadi pusat politik mengingat Kerajaan Gianyar berada di wilayah tersebut, sedangkan Ubud merupakan sebuah wilayah yang berada di bawah naungan Gianyar. Perubahan dominasi terjadi ketika Ubud yang sudah dikenal sebagai salah satu destinasi pariwisata pada masa kolonialisme menjadi sebuah wilayah kaya di Kabupaten Gianyar melalui industri pariwisata yang masif pada tahun 1970-an. Dampak dari industri pariwisata tersebut menjadikan Ubud mengalahkan Gianyar di segala aspek kecuali politik, khususnya ekonomi dan reputasi sebagai destinasi pariwisata. Meskipun pusat pemerintahan Kabupaten Gianyar masih berada di Gianyar, wilayah sebelah timur Kecamatan Gianyar masih relatif miskin dan belum memiliki infrastruktur yang memumpuni. Puri Ubud dengan mandiri mencoba mempertahankan pengaruh kulturalnya kepada masyarakat ketika menghadapi pemerintah pusat yang lebih kuat dan intervensionis pada masa Orde Baru. Pada tahun 1970-an, pemerintah pusat memiliki rencana untuk mengambil alih Puri Ubud sebagai warisan budaya. Dengan vokal, Cokorda Gede Agung Sukawati menolak rencana pemerintah tersebut dengan alasan di kemudian hari pemerintah akan melakukan intervensi pada kegiatan Puri Ubud, dan puri mencoba untuk menghindari hal tersebut demi eksistensi peranan yang konkret kepada masyarakat yang berada dalam naungannya. Keputusan tersebut menurut Cok Ace berbuah manis pada saat ini, meskipun sebenarnya pada saat rencana penolakan pengambilalihan Puri Ubud oleh pemerintah, secara finansial Puri Ubud masih belum mampu untuk memperbaiki bangunan yang ada hingga seperti kondisi terbaik pada saat ini. Di tengah pengaruhnya yang menjadi semakin besar di Kabupaten Gianyar, peran Puri Ubud terbagi pada urusan lokal, pariwisata, dan mempertahankan relasi dengan masyarakat lokal. Di sisi lain, Puri Gianyar yang tidak kehilangan pengaruh politiknya semakin mempertahankan kedekatannya dengan masyarakat. Anggota keluarga Puri Gianyar mulai berkecimpung di dunia politik dan bisnis baik di wilayah Gianyar maupun luar Gianyar. Akan tetapi, secara finansial Puri Saren Ubud masih yang memiliki reputasi sebagai ‘puri raja’, istilah ketika para pejabat lokal kebanyakan berasal dari puri ini, masih jauh lebih kuat dibandingkan dengan Puri Gianyar (MacRae dan Putra, 2008). Puri Saren Ubud mencakup empat banjar di Ubud yang dihuni sekitar 3.000 penduduk. Puri ini juga memiliki jaringan spiritual yang kuat ketika mendapat mandat untuk merawat Pura Gunung Lebah di Campuan 13 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
yang memiliki ikatan erat dengan 18 desa pakraman yang berada di bawah pengaruhnya. Selain itu, aset Puri Saren Ubud juga terbilang sangat besar ketika puri ini memiliki tanah yang berkontribusi bagi masyarakat, seperti tanah pertanian dan hotel yang sudah memperkerjakan lebih dari 1.000 orang. Di bidang seni dan budaya, Puri Saren Ubud juga memainkan peran penting dalam membuat barong (topeng mitologi Bali yang dipakai dalam pentas seni) dan bade (tempat peletakan jenazah dalam prosesi ngaben) di balai desa yang tersebar di seluruh Bali. Puri Saren Ubud juga menjadi tempat kegiatan latihan tari tradisional khas Gianyar, seperti Tari Calonarang dan Barong yang sangat dikuasai oleh Cok Ace. Selain Puri Saren Ubud, Puri Agung Peliatan juga menunjukkan kemampuannya dalam preservasi budaya dengan baik. Temuan menarik peneliti mengenai sarana yang dimiliki oleh puri adalah bahwa posisi puri yang istimewa dalam kepemilikan alat-alat upacara. Menurut Cok Nindia, masyarakat harus memiliki kesan subordinat dengan puri. Meskipun ada sebagian masyarakat yang memiliki kapasitas finansial yang besar, mereka tidak boleh mempurikan rumahnya, terlebih memiliki alat-alat upacara yang bersifat sakral dan hanya boleh ada di puri. Hal itu menurut Cok Nindia hanya akan menjadi bahan cemoohan di tengah masyarakat oleh karena tindakannya yang tidak mampu menghormati puri. Sebagai bupati yang dianggap paling berhasil oleh berbagai kalangan, nama Cok Suryawan menjadi tidak asing bagi sebagian besar masyarakat di Kabupaten Gianyar. Tokoh Puri Saren Ubud di Desa Ubud Kelod, Kabupaten Gianyar dan masih berada dalam bagian Keturunan Dalem Sukawati, klan keluarga Puri Ubud yang sangat berpengaruh. Nama Cok Suryawan yang pada tahun 1993–2003 menjabat sebagai bupati Gianyar pada awalnya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Jabatan sebagai bupati Gianyar diperoleh Cok Suryawan melalui pengalamannya sebagai ketua Pemuda Panca Marga yang merupakan perhimpunan putera dan puteri veteran Indonesia. Mengingat keterpilihannya sebagai bupati masih terjadi pada masa rezim Orde Baru yang mengandalkan Golkar sebagai mesin politik bagi kalangan sipil, Cok Suryawan terpilih juga berasal dari jalur birokrasi yang secara langsung berafiliasi pada Golkar dan hingga tahun 1998 masih merupakan partai politik paling dominan di Kabupaten Gianyar. Meskipun demikian, Cok Suryawan bukan kader Golkar hingga akhir masa baktinya sebagai Bupati
14 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
Gianyar pada tahun 2003. Cok Suryawan secara resmi bergabung pada Partai Golkar pada Desember 2003, tidak lama setelah Pemilukada Provinsi Bali 2003. Setelah Cok Suryawan dari Puri Ubud memutuskan untuk ikut serta dalam politik lokal di jenjang provinsi, politik lokal di Kabupaten Gianyar kembali dikendalikan oleh tokoh puri dari Gianyar, Gung Bharata. Sebagai putra tertua dari Anak Agung Gede Oka, Bupati Gianyar yang pertama, Gung Bharata merupakan Penglisir Puri Agung Gianyar yang secara kultural memainkan peranan penting bagi masyarakat yang berada dalam jangkauan Puri Agung Gianyar. Selain Gung Bharata, tokoh puri dari Puri Saren Ubud, Cok Ace, juga ingin mencalonkan diri melalui PDIP. Akan tetapi, Cok Ace gagal untuk dicalonkan dalam Rakercabsus PDIP dan pencalonannya oleh Partai Golkar, meskipun Cok Ace sudah termasuk sebagai tokoh populer melalui jaringannya yang luas sebagai seniman dan pengusaha, khususnya Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Hal tersebut menyebabkan demonstrasi dari pendukung Cok Ace hingga melibatkan 178 truk di depan kantor DPRD Kabupaten Gianyar. Jabatan Gung Bharata sebagai Kepala Istana Tampaksiring menjadikannya dekat secara personal dengan Presiden Megawati Sukarnoputri. Kedekatan dengan Presiden Megawati ini kemudian menjadi salah satu alasan kuat dibalik pencalonan Gung Bharata sebagai Bupati Gianyar pada periode 2003–2008 oleh PDIP dalam Pemilukada 2003, mengungguli Cok Ace yang berasal dari Puri Saren Ubud. Gung Bharata dipasangkan dengan I Dewa Gede Wardhana, Ketua DPC PDIP Kabupaten Gianyar yang merupakan bagian dari keluarga Puri Ubud. Cok Nindia dan Cokorda Anom diusung oleh Fraksi TNI-Polri dan Fraksi Gabungan sebagai saingan pasangan Gung Bharata-I Dewa Gede Wardhana. Koalisi Puri Gianyar dengan Puri Ubud melalui kepemimpinan Gung Bharata dan I Dewa Gede Wardhana harus terpecah di penghujung masa jabatan kedua tokoh tersebut. Pada pertengahan 2007, I Dewa Gede Wardhana memutuskan untuk memisahkan diri dari Gung Bharata dan memilih untuk mencalonkan diri sebagai bupati. Pencalonan diri I Dewa Gede Wardhana ini pada akhirnya menjadi pertarungan antara Puri Gianyar dan Puri Ubud dalam pencalonan oleh PDIP. Melihat ancaman yang tinggi dari kubu Wardhana-Sutanaya, Gung Bharata memilih untuk berpasangan dengan I Putu Yudhathema, anggota DPRD Kabupaten Gianyar dari fraksi PDIP 15 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
yang menjadi sumber finansial utama bagi Gung Bharata dalam melakukan kampanye dan simakrama kepada masyarakat. Dalam Rakercabsus PDIP untuk menentukan pasangan yang akan dimajukan dalam Pemilukada 2008, Gung Bharata yang memiliki kedekatan dengan Megawati Sukarnoputri akhirnya terpilih sebagai kandidat yang diusung oleh PDIP. Hal tersebut menimbulkan konflik internal di dalam DPC PDIP Kabupaten Gianyar, terlebih dikarenakan pengusungan paket Bharata-Yudha mengecilkan peran Wardhana sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Gianyar yang sudah lama mengabdi PDIP sebagai kader. Pengusungan paket Bharata-Yudha kemudian juga menimbulkan keretakan yang semakin dalam di internal DPC PDIP Kabupaten Gianyar. Di sisi lain, jabatan DPD Partai Golkar Kabupaten Gianyar dipegang oleh Cok Kerthiyasa dari Puri Ubud. Cok Kerthiyasa mendapatkan dukungan dari seluruh puri di Ubud untuk memimpin Partai Golkar. Selain Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Gianyar, Cok Kerthiyasa juga merupakan anggota DPRD Kabupaten Gianyar. Sebelum pencalonan pasangan Ace-Sutanaya, Cok Kerthiyasa sebenarnya merupakan calon kuat yang akan dimajukan oleh DPD Partai Golkar Kabupaten Gianyar sebagai calon bupati sejak tahun 2006. Akan tetapi, berdasarkan hasil survei internal Partai Golkar yang sudah menjadi tradisi dalam pengusungan calon, Cok Kerthiyasa berada di bawah Cok Ace dalam hal popularitas. Hal tersebut menjadikan keluarga besar Puri Ubud tidak memberikan dukungan kepada Cok Kerthiyasa untuk maju. Salah satu insiden penting yang menjadi catatan hitam bagi paket Bharata-Yudha adalah bentrokan yang terjadi di Kecamatan Sukawati pada 6 Januari 2008, beberapa hari sebelum pemilihan dimulai. Bentrokan tersebut dimulai dari aksi saling serang antara tim sukses pasangan Ace-Sutanaya dengan Bharata-Yudha, yang kemudian menjadi kerusuhan setelah terjadi pemukulan oleh Lelur, Bego, dan Cuplis yang merupakan bawahan dari Kadek Diana, anggota parlemen Gianyar dari PDIP. Setelah mengalami banyak hal yang menjatuhkan Gung Bharata, pada akhirnya pasangan Bharata-Yudha gagal memperoleh suara terbanyak, meskipun hanya berbanding tipis dengan suara yang diperoleh pasangan Ace-Sutanaya, yaitu 134.527 suara untuk pasangan Bharata-Yudha dan 138.182 suara untuk pasangan AceSutanaya. Setelah menjelang lima tahun menjabat sebagai bupati, Cok Ace memutuskan untuk tidak ikut serta dalam bursa Pemilukada 2012. Secara personal, Cok Ace menyatakan keputusan ini 16 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
didasarkan pada keinginannya untuk mendapatkan jabatan guru besar di Universitas Udayana, yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk menulis minimal empat jurnal ilmiah, yang akan dilakukan dengan studi lanjutan di Universitas New Delhi, India. Keputusan Cok Ace untuk tidak ikut serta dalam Pemilukada 2012 sudah dihembuskan sejak 2011, yang menurut Penglisir Puri Agung Peliatan, Cok Nindia, merupakan akibat dari menurunnya dukungan dan kepercayaan dari masyarakat terhadap Cok Ace. Di sisi lain, hal menarik dari Pemilukada 2012 adalah tidak ditemukannya calon perseorangan dalam bursa pemilukada, meskipun kapasitas finansial dan relasi dengan masyarakat Puri Ubud cukup memungkinkan untuk itu. Uniknya, Puri Agung Peliatan pada dasarnya melarang keluarga besar puri untuk terjun dalam kegiatan politik praktis. Hal ini disebabkan oleh faktor puri sebagai entitas yang mengayomi masyarakat, serta wajib menjadi teladan bagi masyarakat yang sudah sejak lama dipegang teguh oleh penglisir puri. Jika Puri Agung Peliatan yang memiliki jaringan luas terikat pada partai tertentu, hal tersebut akan secara langsung merusak citra puri yang dianggap sakral. Keputusan Cok Nindia untuk ikut serta dalam Pemilukada 2012 ini menjadi anomali tersendiri dalam tradisi Puri Agung Peliatan, yang cenderung menekankan aspek seni dan budaya dalam memainkan peranannya di antara masyarakat Kabupaten Gianyar ketimbang aspek politik. Meskipun demikian, Cok Nindia juga menyatakan bahwa Puri Agung Peliatan tetap menjadi puri yang tidak turut serta dalam kegiatan politik praktis, khususnya berpihak pada salah satu partai. Ketika Cok Nindia yang telah membentuk paket Ning sudah mempersiapkan berbagai hal menjelang Pemilukada 2012, PDIP yang masih belum menentukan calon dengan mendadak mengusung kembali Gung Bharata sebagai calon bupati yang dipasangkan dengan Ketua DPRD Kabupaten Gianyar, I Made Agus Mahayastra, yang berasal dari kalangan nonpuri (Arya) dan membentuk paket Bagus. Pencalonan I Made Agus Mahayastra ini merupakan hasil rekomendasi dari DPP PDIP, khususnya melalui kedekatannya dengan Megawati Sukarnoputri, yang dipilih untuk mendampingi Gung Bharata yang secara usia sudah tua dan kurang progresif dalam melihat perubahan yang ada. Dengan modal jaringan puri yang luas, Cok Nindia pada awalnya yakin bahwa dirinya memiliki banyak pendukung di hampir seluruh wilayah Gianyar. Secara terselubung, Cok Nindia meyakini kesuksesan yang didapatkan oleh pasangan Ace-Sutanaya pada Pemilukada 17 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
2008 dapat terulang lagi oleh karena PDIP mengusung tokoh yang sama. Akan tetapi, basis PDIP yang menjadi lebih kuat secara struktural pasca-Pemilu 2009 menjadikan kekuatan jaringan puri yang sudah lama mengakar dalam wujud seni dan budaya dapat terhalang dengan mudah. Selain itu, Cok Nindia tidak melakukan kampanye yang bersifat menarik simpati masyarakat seperti yang dilakukan oleh Cok Ace ketika menghadapi permasalahan dan relatif lebih sedikit melakukan simakrama dengan masyarakat. Hal tersebut menjadikan kisah sukses pasangan Ace-Sutanaya dalam Pemilukada 2008 tidak terulang untuk paket Ning, yaitu perolehan 83.838 suara untuk paket Ning dan 193.643 suara untuk paket Bagus. Di ranah legislatif, peran politik puri cenderung lemah dan menurun. Hal ini dikarenakan kecenderungan konstruksi tokoh penting puri yang melihat kekuasaan politik terkonsentrasi pada ranah eksekutif, sedangkan ranah legislatif lebih cenderung diisi oleh tokoh puri yang secara finansial dan pengaruh kultural tidak sekuat Puri Saren Ubud dan Puri Gianyar. Pada periode 2004–2009, dari 40 anggota DPRD Kabupaten Gianyar yang ada, tujuh di antaranya merupakan tokoh puri yang juga bagian dari 18 anggota yang merupakan tokoh Triwangsa. Jumlah tersebut hanya sedikit lebih kecil ketimbang 22 anggota lain yang merupakan kalangan Jabawangsa atau kelompok nonelit Bali lain, seperti Pande, Pasek, dan Arya. Pada periode 2009–2014, terjadi penurunan komposisi tokoh puri dan Triwangsa di dalam DPRD Kabupaten Gianyar. Hanya terdapat empat anggota dewan yang merupakan tokoh puri, yang menjadi satu bagian dalam 11 anggota dewan tokoh Triwangsa, sedangkan 30 anggota yang lain merupakan kalangan Jabawangsa dan nonelit Bali lain. Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa ranah legislatif di Kabupaten Gianyar merupakan sarana utama bagi kalangan nonelit Bali dalam memperoleh jabatan penting, seperti jabatan Ketua DPRD Kabupaten Gianyar periode 2004–2009 dan 2009–2014 oleh Wakil Bupati Kabupaten Gianyar terpilih periode 2013–2018, I Made Agus Mahayastra, yang merupakan kalangan nonelit Bali dari klan Arya. 4. Simpulan Setelah hampir sepuluh tahun berada di bawah kepemimpinan tokoh nonpuri, Kabupaten Klungkung di masa pasca-Orde Baru mengalami perubahan signifikan terkait dominasi puri dalam pemerintahan lokal sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, dan Puri Klungkung yang tersisih tetap mencari cara untuk memperoleh kembali jabatan politik dalam 18 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
pemerintahan lokal dengan cara yang sama dengan calon lain: berafiliasi pada partai politik, simakrama ke banjar-banjar, dan upaya lainnya yang bertujuan untuk meraih dukungan. Perubahan perspektif masyarakat dalam memandang Puri Klungkung sebagai identitas sakral yang harus diperlakukan dengan penuh hormat mengalami penurunan oleh karena puri tidak mampu memperkuat peran kultural yang menjadi aspek penting dalam masyarakat Bali. Meskipun Ida Dalem Smara Putra merupakan Penglisir Agung Puri Agung Klungkung dan juga ditunjuk sebagai Ketua Paikatan Puri se-Bali, namun kesibukan yang ia lakukan sebatas pada kehadirannya dalam upacara tertentu yang bersifat undangan dan panggilan. Hal lain terlihat kontras di Kabupaten Gianyar, ketika sejak runtuhnya rezim Orde Baru puri masih mendominasi pemerintahan lokal di wilayah tersebut. Konsentrasi dominasi puri terbesar di Kabupaten Gianyar, seperti Puri Saren Ubud, Puri Agung Peliatan, dan Puri Agung Gianyar ada di wilayah Ubud dan Gianyar, ketika puri-puri tersebut secara historis merupakan puri yang terlibat dalam pembentukan Kerajaan Gianyar hingga Negara Indonesia Timur (NIT) pada masa revolusi 1945–1949. Dominasi puri di wilayah tersebut lebih dikarenakan kapabilitas puri dalam memanfaatkan peran kultural dan finansial mereka untuk memperoleh jabatan politik dalam pemerintahan lokal. Dalam hal ini, Puri Ubud merupakan puri terkuat di Kabupaten Gianyar secara finansial dan kultural, mengungguli Puri Gianyar yang secara kedudukan historis berada dalam posisi lebih superior, meskipun Gung Bharata sebagai tokoh Puri Gianyar memiliki kedekatan khusus dengan Megawati Sukarnoputri. Hal ini pula yang menjadikan partai politik yang berada di wilayah tersebut selalu mengusung calon dari puri sebagai kepala daerah, setidaknya sampai Pemilukada Kabupaten Gianyar 2013. Secara keseluruhan, peneliti menyimpulkan bahwa puri merupakan identitas yang tetap penting dalam masyarakat baik di Kabupaten Klungkung maupun Kabupaten Gianyar. Identitas puri ini mampu menjadi salah satu faktor keterpilihan dalam pemilukada oleh karena basis dukungan yang cukup kuat sebagai entitas elit, meskipun memiliki perbedaan karakter yang cukup signifikan antara Puri Klungkung dengan Puri Gianyar. Daftar Acuan Atmaja, Nengah Bawa. (2010). Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural dan Globalisasi. Yogyakarta: LKIS. 19 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013
Eiseman, Fred B. (1990). Bali: Sekala and Niskala : Essays on Religion, Ritual, and Art. Singapore: Tuttle Publishing. Geertz, Clifford. (1980). Negara: The Theatre State in nineteenth-century Bali. New Jersey: Princeton University Press. MacRae, Graeme dan I Nyoman Darma Putra. “A Peaceful Festival of Democracy: Aristocratic Rivalry and the Media in A Local Election in Bali,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol. 42, No. 2 (2008), 107-146. Mann, Richard. (2012). Palaces of Bali. Denpasar: Gateway Books International. Nordholt, Henk Schulte. (2010). Bali, Benteng Terbuka 1995–2005: Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral, dan Identitas-Identitas Defensif. Jakarta: KITLV. Pringle, Robert. (2011). A Short Story of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Singapore: Talisman Publishing. Ritchie, Jane dan Jane Lewis. (2004). Qualitative Research A Guide For Social Students and Researchers. London: Sage Publications. Robinson, Geoffrey. (2006). Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta: LKIS. Yang, Xiaoqiang (杨晓强). “Shi lun yindujiao zai yinni bali dao de bentu hua (试论印度教 在印尼巴厘岛的本土化).” Dongnanya Yanjiu (东南亚研究), 6 (2011), 29-34.
20 Dinamika peran puri..., Calvin, FISIP UI, 2013