KONFLIK TERPECAHNYA PARTAI GOLKAR (Munas Bali dan Munas Jakarta) LAPORAN Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah: Sosiologi Komunikasi Dosen Pengampu: Bapak Ahmad Faqih, S.Ag., M.Si
Disusun Oleh : Muhimmatun Nasikhah
(131211127)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2014
I.
PENDAHULUAN Latar Belakang Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakn organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modren. Sebagai subyek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relatif muda. Baru pada awal abad ke-20 studi mengenai masalah ini dimula. Sarjanasarjana yang berjasa mempelopori antara lain adalah M. Ostrogorsky(1902), Robert
Michels(1911),
Maurice
Duverger(1951),
dan
sigmound
Neumann(1956). Setelah itu, beberapa sarjana behavioralis, seperti Joseph Lapalombara dan Mayron Weiner, secara khusus meneropong masalah partai dalam hubungan nya dengan pembangunan politik. Dari hasil sarjana-sarjana ini nampak adanya usaha serius kearah penyusunan suatu teori yang kompherensip (menyeluruh) mengenai partai politik. Akan tetapi, sampai pada waktu itu, hasil yang dicapai masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tertinggal, bila dibandingka dengan penelitian penelitian bidang lain di dalam ilmu politik.
II.
IDENTIFIKASI MASALAH Belakangan muncul istilah Musyawarah Nasional (Munas) Tandingan dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Tandingan di dalam tubuh Partai Golkar. Tuduhan itu ditujukan terhadap Munas yang berlangsung di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014, termasuk keputusan-keputusannya. Soalnya, pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014, sudah berlangsung Munas di Bali. Dua struktur DPP juga sudah dilaporkan kepada Kementerian
Sosiologi Komunikasi
Page 1
Hukum dan HAM, guna diverifikasi dan dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah menurut hukum positif yang berlaku.
Banyak pendapat berserakan di media massa menyangkut Munas mana yang legal, mana yang abal-abal. Termasuk putusan-putusan yang sudah diambil. Kebanyakan informasi itu sepotong-sepotong, tanpa pendalaman terhadap Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) dan Peraturan Organisasi (PO) lainnya dalam tubuh Partai Golkar. Padahal, untuk ukuran partai sebesar Partai Golkar, pemahaman atas AD, ART dan PO itu menjadi pintu masuk yang penting, guna mendapatkan informasi yang objektif.
Belum lagi komentar dari politisi Partai Golkar sendiri yang tidak memberikan informasi akurat menyangkut konflik yang terjadi. Debat-debat yang terjadi bersifat pembenaran atas kubu masing-masing. Bahkan, sinisme, eufimisme, bahkan propaganda muncul dalam bentuk paling telanjang. Padahal, sebagai sesama kader Partai Golkar, seyogianya dialog atau debat politik yang berlangsung dilakukan secara rasional, konstruktif dan bersifat memberikan pendidikan politik bagi publik. Politisi yang memancing polemik atau sentimen negatif saja akan memberi dampak politik yang tidak baik bagi Partai Golkar, terlepas dari kubu manapun yang diaku sah atau tidaknya oleh pengadilan. Konflik yang dihadapi Partai Golkar tahun 2014 ini adalah konflik terbesar sepanjang sejarah partai moderen ini. Sejumlah kader yang ikut membesarkan atau dibesarkan Partai Golkar dipecat. Dalam usia 50 tahun, partai politik tertua ini justru mengalami masalah yang diperkirakan akan mengubah wajah Partai Golkar ke depan. Bukan hanya sisi legalitas, melainkan juga dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan.
Sosiologi Komunikasi
Page 2
Sehingga, diperlukan kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah ini, baik dari kalangan internal Partai Golkar, maupun pihak terkait, termasuk dan terutama pemerintah dan lembaga peradilan. Apabila penanganan yang dilakukan emosional dan pamer kekuasaan semata, bisa dipastikan bahwa Partai Golkar bakalan mengalami konflik permanen, struktural dan masif yang sulit dicarikan jalan keluar. Bisa saja kader-kader Partai Golkar keluar dengan kesadaran sendiri, bergabung dengan partai politik lain, atau malah mendirikan partai politik baru. Konflik yang selama ini terkelola dengan baik, hanya berlangsung secara tertutup, belakangan menjadi terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas. Dari uraian diatas memberikan pengenalan konflik yang akan dibahas di deskripsi objek studi yaitu : 1. Bagaimana konflik yang terjadi pada partai golkar ? 2. Apasajakah faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya konflik golkar ?
III.
DESKRIPSI OBJEK STUDI Pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta pada tanggal 18 Mei 2014. Mandat itu berisi dua opsi, yakni: (1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar. (2) Memberikan kewenangan dan mandat penuh kepada ARB untuk mengambil kebijakan politik dan menentukan arah koalisi. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak berhasil menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.
Sosiologi Komunikasi
Page 3
Upaya Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK untuk Pilpres yang digelar pada 7 Juli 2014. Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Di sinilah drama politik internal Partai Golkar dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat kader yang berbeda haluan itu ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan, selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Usai kekalahan pasangan Prabowo-Hatta, masalah baru kemudian muncul, yakni waktu pelaksanaan Munas Partai Golkar. Kader-kader senior yang terlibat dalam Munas Riau mengingatkan soal perbedaan antara AD Partai Golkar dengan rekomendasi Munas. Sesuai dengan amanat pasal 30 AD Partai Golkar, Munas adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas Riau 2009 berakhir pada tanggal 08 Oktober 2009, berarti Munas Partai Golkar dilaksanakan selambatlambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Hanya saja, ada rekomendasi Munas Riau yang menyebutkan perpanjangan waktu kepengurusan, sampai tahun 2015. Upaya sebagian kader yang mendesak agar Munas Partai Golkar disesuaikan dengan AD Partai Golkar dilakukan ternyata tidak disambut positif oleh DPP Partai Golkar.
Bukan malah berupaya memberikan penjelasan yang memadai terkait perbedaan tafsiran antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar yang mendesak Munas dilaksanakan Sosiologi Komunikasi
Page 4
sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar yang diberikan ke tangan mereka?” Konflik ini bisa disembunyikan, mengingat kedewasaan politisi Partai Golkar. Walaupun demikian tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup.
Situasi baru muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Kepala Daerah di DPR RI pada tanggal 26 September 2014. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah, ketimbang opsi pemilihan oleh DPRD. Sanksi kemudian datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar. Konflik baru ini juga berlangsung secara terbatas, tidak meluas. Kalangan elite Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas pada bulan Januari 2015. Deklarasi kandidat dilakukan secara terang-terangan, sampai sembunyi-sembunyi. Kandidat-kandidat yang bersaing itu juga melakukan konsolidasi secara diamdiam atau terang-terangan.
Konflik baru muncul, akibat pergerakan di lapangan. Atas nama DPP Partai Golkar, terjadi penggalangan politik untuk mengusung ARB sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar untuk kedua kalinya. Gerakan itu melibatkan DPD-DPD I Partai Golkar. Pertemuan-pertemuan tertutup diadakan, baik di Jakarta, maupun di masing-masing pulau atau provinsi. Masalahnya, antara gerakan politik dengan ucapan berseberangan. Hal inilah yang memicu desas-desus politik yang sulit dikendalikan. Desas-desus itu bertambah runyam, ketika kandidat Ketua Umum Partai Golkar diluar ARB dibatasi pergerakannya. Bahkan, atas nama revitalisasi kepengurusan, sejumlah pengurus Partai Golkar di daerah-daerah digeser atau dicopot dari jabatannya, mengulangi pola yang terjadi dalam tubuh DPP Partai Golkar. Sosiologi Komunikasi
Page 5
Kesalahan utama mereka hanya satu, yakni menghadiri pertemuan dengan kandidat Ketua Umum Partai Golkar diluar ARB. Masalah jegal-menjegal tentu sudah “biasa” di kalangan politisi. Hanya saja, tercium upaya agar Munas Partai Golkar dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah “sama-sama dimaklumi”, yakni Januari 2015. Dalam keadaan semacam itu, diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar pada tanggal 13-14 November 2014. Kesepakatan politik dicapai, yakni Munas tetap dilaksanakan pada Januari 2015. Rapat Pleno juga memutuskan, apabila Rapimnas diselenggarakan, sama sekali tidak membahas agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu politik aktual seperti kenaikan bahan bakar minyak. Sebelum Rapat Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan menghadirkan DPD-DPD I di Bandung. Skenario tertutupnya adalah Munas dilakukan sesegera mungkin, dengan tujuan memenangkan ARB sebagai Ketum. Namun, upaya itu berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian, pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Secara bersama-sama, mereka ingin datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali.
Rituasi menjadi matang, ketika Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta pada 18-19 November 2014 ternyata membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal Munas disepakati, yakni 30 November – 4 Desember 2014. Tempat Munaspun ditetapkan, yakni Bandung, dengan opsi Surabaya dan Bali. Para pengurus DPP Partai Golkar yang berbeda tafsiran menyangkut kewenangan Rapimnas, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar, sama sekali diabaikan. Keputusan yang dilakukan dengan cara voting ini, memicu gejolak politik yang kian deras.
Konflik yang bersifat tertutup, kemudian menjadi terbuka, ketika diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar pada 25 November 2014 guna mengesahkan Sosiologi Komunikasi
Page 6
rancangan materi Munas Partai Golkar. Walau mengusai penuh arena Rapimnas yang dikendalikan oleh DPD-DPD I Partai Golkar, ternyata mayoritas Rapat Pleno DPP tidak sependapat dengan hasil Rapimnas. ARB kehilangan legitimasi di jajaran elite partai yang dipimpinnya selama lima tahun. Rapat Pleno itu juga disertai insiden politik yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yakni kedatangan “AMPG” yang berpakaian lengkap, baru dan berjalan rapi. Dalam waktu beberapa saat saja, muncul ratusan “AMPG” lain, sehingga memicu konflik terbuka. Rapat Pleno DPP Partai Golkar gagal dilaksanakan, terutama dalam rangka mendengarkan paparan SC Munas, guna disahkan sebagai draft Munas Partai Golkar pada masing-masing komisi.
Kemecatan Ketua Umum dan Sekjen Partai Golkar. Hal ini terjadi akibat upaya untuk menskor Rapat Pleno DPP untuk waktu yang tidak bisa ditentukan berbuah kepada perebutan palu pimpinan. Ketua Umum Partai Golkar ARB dan Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham langsung dipecat, setelah Wakil Ketua Umum Agung Laksono memimpin kelanjutan Rapat Pleno DPP. Ketum dan Sekjen dianggap tidak mampu melanjutkan Rapat Pleno hingga selesai, sebagai syarat legal guna menuju arena Munas. Sejak saat itulah, terbentuk Pejabat Sementara Ketua Umum Partai Golkar, lalu Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai wadah politiknya. DPP Partai Golkar dikuasai secara penuh.
Kalau tidak berhasil mengendalikan DPP Partai Golkar, serta dalam status pemecatan terhadap Ketua Umum dan Sekjen, Munas Partai Golkar tetap diselenggarakan di Bali, pada tanggal 30 November – 2 Desember 2014. Perbedaan pendapat terjadi, termasuk di kalangan Presidium Penyelamat Partai Golkar dalam menyikapi Munas Bali. Munas Partai Golkar di Bali dipantau dari dekat oleh semua komponen. Upaya inilah yang coba dilakukan oleh Dr Akbar Tandjung ternyata tidak berhasil. Sesuai dengan upaya dan scenario yang sudah dilakukan sebelumnya, terjadi Laporan Pertanggung
Sosiologi Komunikasi
Page 7
Jawaban Ketua Umum Partai Golkar yang sudah tidak lagi mewakili mandat yang dibawa dari Rapat Pleno DPP Partai Golkar.
Tanpa menunggu waktu lama, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang Partai Politik berkaitan dengan pendaftaran kepengurusan, DPP Partai Golkar dengan pejabat sementara Ketua Umum Agung Laksono, melakukan Munas di Ancol pada 6-8 Desember 2014. Keputusan-keputusan diambil, termasuk pemilihan Ketua Umum DPP Partai Golkar. Kedua Munas melahirkan dua kepengurusan. Proses pendaftaran kepada Kementerian Hukum dan HAM dilakukan pada hari yang sama, yakni 08 Desember 2014.
Rentetan peristiwa itu membawa dampak yang serius bagi Partai Golkar. Dimulailah berikutnya menyangkut keberadaan Partai Golkar ke depan. Kehebatan Partai Golkar dalam mengelola konflik politiknya, ternyata tidak berhasil dipertahankan. Goncangan politik ini diperkirakan bakal membawa sisi negatif, sekaligus positif, yakni kelahiran Partai Golkar baru dengan budaya yang lebih demokratis, responsif, serta jauh dari proses rekayasa politik yang semakin mudah dibaca.1
IV.
KERANGKA TEORITIK A. Komunikasi kelompok Komunikasi
kelompok
(group
communication)
berarti
komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah dalam kelompok itu sedikit yang berarti kelompok itu kecil, komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi
1
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL.
Sosiologi Komunikasi
Page 8
kelompok kecil, jika jumlahnya banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan komunikasi kelompok besar.2 B. Komunikasi politik 1. Pengertian komunikasi politik Politik berasal dari kata “polis” yang berarti negara, kota, yaitu secara totalitas merupakan kesatuan antara negara (kota) dan masyarakatnya. Kata “polis” ini berkembang menjadi “politicos” yang artinya kewarganegaraan. Dari kata “politicos” menjadi ”politera” yang berarti hak-hak kewarganegaraan (Sumarno, 1989:8).3 Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembagalembaga politik (Astrid, S. Soesanto, 1980:2).4
2. Fungsi komunikasi politik Komunikasi politik pada hakikatnya berfungsi sebagai jembatan penghubung antara suprastruktur dan infrastruktur yang bersifat interpendensi dalam ruang lingkup negara. Komunikasi ini bersifat timbal balik atau dalam pengertian lain saling merespon sehingga mencapai saling pengertian dan diperioritaskan sebesarbesarnya untuk kepentingan rakyat.
C. Partai politik 1. Pengertian partai politik Menurut UU No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh 2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : PT.CITRA ADITYA BAKTI, 2000), hal. 75. 3 Sumarno, A.P.,Dimensi-Dimensi Komunikasi Politik, ( Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,1989) 4 Astrid, S. Soesanto, Komunikasi Sosial di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Cipta, 1980)
Sosiologi Komunikasi
Page 9
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara umum Parpol adalah suatu organisasi yang disusun secara rapi dan stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela dan mempunyai kesamaan kehendak, cita-cita, dan persamaan ideologi tertentu dan berusaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum untuk mewujudkan alternatif kebijakan atau program-program yang telah mereka susun.5
2. Tujuan partai politik
Tujuan parpol adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan /mewujudkan program-program yang telah mereka susun sesuai dengan ideologi tertentu.
3. Fungsi partai politik a. Partai sebagai sarana komunikasi politik b. Partai sebagai sarana sosialisasi politik c. Partai politik sebagai sarana rekrutmen d. Partisipasi politik e. Partai politik sebagai pemandu kepentingan f. Komunikasi politik g. Pengendalian konflik6
5 6
Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta :Ghalia Indonesia, 1984).
Sosiologi Komunikasi
Page 10
V.
ANALISIS / SOLUSI Dari uraian identifikasi masalah dan deskripsi objek studi diatas memberikan gambaran yang jelas tentang konflik yang dialami oleh partai golkar, ini merupakan krisis paling parah. Bahkan, konflik terparah sepanjang sejarah partai berlambang bringin tersebut. Dalam menanggapi masalah tersebut penulis berusaha memberikan solusi untuk menanggapinya. Salah satu hal yang menjadi penyebab atau melatar belakangi konflik terpecahnya partai golkar menjadi dua kubu ini adalah kurang efektifnya komunikasi politik (komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik) yang terjalin dengan baik, sehingga mejadikan banyak pertentangan antara anggota partai golkar. Dengan terjalinnya komunikasi yang baik akan mengakibatkan ikatan silaturrahmi antar anggota untuk mewujudkan hal yang di inginkan, dan dicita-citakan partai tersebut. Komunikasi politik ini bersifat timbal balik atau dalam pengertian lain saling merespon sehingga mencapai saling pengertian. Seharusnya suatu partai dapat menjaga keutuhan kelompok partai tersebut dan dapat menyelesaikan suatu permasalahan dengan komunikasi yang baik untuk menuju kemaslahatan bersama. Terpecahnya partai golkar menjadi dua kubu yaitu Munas Bali dan Munas Jakarta yang bertentangan mengakibatkan timbulnya citra partai golkar dan pandangan oleh masyarakat yang negatif terhadap partai tersebut, karena peran suatu pertai seharusnya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, sarana rekrutmen, partisipasi politik, sebagai pemandu kepentingan dan pengendalian konflik . Pengamat politik Refly Harun menilai kisruh di tubuh Partai Golkar terjadi akibat Aburizal Bakrie atau Ical memaksakan diri kembali menjadi ketua umum. "Kunci untuk Golkar bersatu kembali, Ical harus
Sosiologi Komunikasi
Page 11
legowo untuk mengundurkan diri, jangan ngotot jadi ketua," kata Refly saat dihubungi pada Rabu, 26 November 2014. Pengamat dari Universitas Indonesia ini juga menganggap Ical berkeras menjadi ketua partai dengan cara-cara tidak demokratis. Meski demikian, Refly berujar fenomena seperti ini bukan hal baru di Partai Golkar. Sebelumnya, momen pemilihan ketua baru di Golkar selalu berujung pada terpecahnya partai.
Sosiologi Komunikasi
Page 12
PENUTUP A. Kesimpulan Konflik yang dihadapi Partai Golkar tahun 2014 ini adalah konflik terbesar sepanjang sejarah partai moderen ini. Sejumlah kader yang ikut membesarkan atau dibesarkan Partai Golkar dipecat. Dalam usia 50 tahun, partai politik tertua ini justru mengalami masalah yang diperkirakan akan mengubah wajah Partai Golkar ke depan. Bukan hanya sisi legalitas, melainkan juga dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan. Konflik atau problematika partai ini berawal dari ARB tidak berhasil menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Upaya Partai Golkar mengusung PrabowoHatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan JokowiJK untuk Pilpres yang digelar pada 7 Juli 2014. Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Berawal dari konflik diatas partai golkar belum juga menemukan titik temu penyelesaian konflik-konflik yang dialami malahan terus melahirkan konflik yang berkelanjutan sehingga mengakibatkan terpecahnya partai golkar menjadi dua kubu yaitu Munas Bali dan Munas Jakarta. Ke dua kubu tersebut sangat bertentangan. Munas Bali memilih ARB sebagai ketua umum, sedangkan Munas Jakarta mengadakan calon tunggal ketua umum yang dipuasatkan ke dua kandidat. Munas Bali tetap berada di koalisi merah putih, sedangkan Munas Jakarta mendukung pemerintahan Jokowi-JK, dan masih banyak hal-hal yang bertengan antara keduanya. B. Rekomendasi Dalam pembuatan laporan ini , saya sebagai penulis tidak memungkiri adanya kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan laporan ini. Sehingga, saya penulis masih membutuhkan adanya banyak kritik dan saran dari para pembaca. Dan saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Sosiologi Komunikasi
Page 13
C. Lampiran
KOMPAS.com – “Tolong panitia, kursi-kursi ditambah, ini peserta mbludak, melimpah ruah,” kata pemimpin sidang paripurna komisi, Kelik Sumrahadi, yang juga Ketua DPD II Partai Golkar Purworejo, Jawa Tengah, Minggu (7/12/2014). Makin malam, peserta Munas IX Golkar di Ancol memang makin mengalir memenuhi Ballroom Krakatau Hotel Mercure, Ancol. Menjelang pemaparan dari hasil kerja komisi A, B, dan C, ratusan peserta memang membanjiri ruang rapat Munas IX Partai Golkar yang digelar di Ancol. Tidak hanya ingin menjadi pendengar pasif, para peserta munas itu juga ingin menanggapi hasil kerja tiga komisi itu. Terlepas dari persoalan legal dan ilegal, hasil kerja dari tiga komisi di Munas IX Ancol harus diakui sangat positif. Komisi B, misalnya, menyarankan Golkar menggelar konvensi sebelum pemilihan presiden dan wakil presiden. ”Hasil konvensi diumumkan paling lambat satu tahun sebelum pilpres,” ujar pemimpin rapat komisi B, Indra J Piliang.
Sosiologi Komunikasi
Page 14
Konvensi lokal juga disarankan digelar sebelum pemilihan kepala daerah. Hasilnya, harus diumumkan minimal tiga bulan sebelum pemilihan kepala daerah sehingga ada persiapan sebelum ”bertarung” dengan kader dari partai politik lain. Ketika Ketua Umum Golkar hasil Munas IX Bali Aburizal Bakrie berjanji membentuk sekolah kaderisasi, Munas IX Ancol juga punya visi untuk mencetak kader Golkar yang unggul. Bedanya, Munas IX Ancol menginginkan sistem kaderisasi dilakukan ”dari bawah ke atas”, dari desa atau kelurahan. Kader yang tumbuh dari level bawah sungguh didamba untuk membesarkan Partai Golkar. Selain berupaya membenahi internal partai, hasil kerja Komisi C Munas IX Ancol juga mencoba mewarnai kehidupan bernegara. ”Hasil rapat Komisi C menyatakan mendukung pemilihan kepala daerah secara langsung. Kami juga menginginkan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dibubarkan,” ujar politisi Golkar Yan Hiksas yang disambut sorak-sorai peserta. Dukungan Munas IX Ancol terhadap pilkada langsung yang tercantum dalam Perppu 1/2014, kata Indra, jangan diartikan dukungan terhadap kubu KIH. ”Perppu Pilkada itu, kan, produk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Justru Perppu itu mendukung SBY, dan SBY anggota KMP,” kata Indra. Komisi C juga mendorong pemerintah memperbaiki kesejahteraan prajurit. Di sisi lain, ada pula rekomendasi atas kehadiran pemerintah dalam penyelesaian persoalan sosial dan lingkungan hidup. Hasil kerja komisi-komisi di Munas IX Ancol amat beragam. Sulit disangkal jika hasil kerja itu adalah buah dari pemikiran banyak kepala yang dibiarkan berimajinasi positif demi masa depan yang lebih baik.
Sosiologi Komunikasi
Page 15
Husein Lubis, kader Golkar dari Malaysia, merasa senang dengan suasana di Munas IX Ancol. ”Kami datang bertujuh di Munas Bali, tapi tidak dapat pass sehingga tak bisa ikut sidang. Di Ancol, kami dapat ikut berdiskusi,” ujarnya. Kelik Sumrahadi, yang mengaku juga menghadiri Munas IX Bali, menyampaikan perbedaan antara dua munas itu. ”Bali suasananya mencekam, tak bisa diceritakan lebih dari itu. Pimpinan sidang memaksakan diri. Kalau di sini diberi kesempatan ngomong,” katanya. Terkait ancaman pemecatan dari kubu Munas Bali terhadap kader Golkar yang hadir di Munas Ancol, Kelik mengatakan tak percaya dengan kabar itu. ”Golkar itu kebersamaan dan demokratis. Sekarang mencari kader satu saja sulit kok pecat memecat. Slogan ’Suara Rakyat Suara Golkar’ harus diwujudkan. Aset kita itu rakyat,” kata Kelik. Menjawab pertanyaan terkait legalitas Munas Ancol, Sekretaris Panitia Penyelenggara Munas Ace Hasan Syadzily menegaskan, “Kami sangat ketat memverifikasi peserta. Kami tak main-main dengan legalitas, ada verifikasi di depan notaris.” Namun, akhirnya, ancaman pemecatan dan persoalan legalitas menjadi urusan nomor ke sekian di benak peserta Munas Ancol yang dengan serius berpikir untuk Golkar. Masalah itu harusnya tidak menjadi ganjalan bila sejak awal demokratisasi terbangun di Partai Golkar.
Sosiologi Komunikasi
Page 16
DAFTAR PUSTAKA
Astrid, S. Soesanto, Komunikasi Sosial di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Cipta, 1980) Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL. Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : PT.CITRA ADITYA BAKTI, 2000) Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta :Ghalia Indonesia, 1984). Sumarno, A.P.,Dimensi-Dimensi Komunikasi Politik, ( Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,1989) Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik
Sosiologi Komunikasi
Page 17