Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
MODEL-MODEL TAFSIR DALAM ATSAR Fauziah Zainuddin STAIN Palopo Abstrak: Tafsir adalah upaya mengungkapkan dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an sesuai kadar kemampuan masingmasing yang sifatnya terbatas, sehingga dapat dijumpai pelajaran, hukum, dan hikmah yang terkandung di dalam kitab suci tersebut. Model-model tafsir dalam atsar adalah contoh-contoh penafsiran alQur’an dari berbagai riwayat,baik dari Rasulullah saw.,sahabat maupun thabi’in dan sesudahnya. Model-model tafsir yang terdapat dalam atsar, pada dasarnya; (a) menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global, (b) Menjelaskan ayat-ayat yang musykil, (c). Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum, (d). Membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dan, (e). Menjelaskan ayat-ayat yang masih samar. Kata Kunci: Model, Tafsir, Atsar
Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. menjadi pedoman bagi manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. AlQur’an selain mempunyai posisi yang sangat menentukan dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, al-Qur’an juga sebagai pemberi inspirasi, panduan dan perekat seluruh aktivitas umat Islam sepanjang sejarah eksisnya umat Islam. Sebagai sumber hukum Islam yang utama dan pertama, al-Qur’an membutuhkan penggalian dan pengkajian makna, penjelasan maksud dan hukum yang dikandung oleh suatu ayat, agar lebih jelas dan mendalam. Usaha penggalian dan pengkajian ini dikenal dengan Tafsir al-Qur’an alKarim, yang Ma’nawi dinyatakan bahwa tiada lain adalah ilmu yang mempelajari dan mendalami al-Qur’an al-Karim dari berbagai aspeknya, atau menyingkap makna tersembunyi dari lafaz-lafaz yang musykil. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Zarqani bahwa tafsir adalah
ilmu yang memfokuskan pembahasannya pada al-Qur’an karim dari sisi dalalah-nya (makna yang dikandungnya) yang diinginkan oleh Allah swt. sesuai dengan al-taqah albasyariah (kemampuan akal manusia) (Muhammad: 1400:193). Oleh karena penafsiran terhadap al-Qur’an didasarkan pada kemampuan akal manusia, maka lahirlah berbagai jenis, corak dan metode tafsir. Hal ini disebabkan karena faktor yang mengitari mufassir itu sendiri, di antaranya faktor psykologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya dimana mufassir itu berada. Dalam sejarah perkembangan tafsir al-Qur’ān, dikenal ada dua sumber penafsiran. Pertama; sumber penafsiran dengan menggunakan ayat, hadis atau atsar sahabat sebagai landasan berpijak, dengan mengabaikan kekuatan akal. Sumber ini disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur. Kedua; sumber penafsiran dengan mengandalkan kekuatan akal sebagai landasan berpijak, akan tetapi tetap memberikan ruang bagi ayat, hadis
103
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
dan atsar sahabat. Sumber ini dikenal dengan tafsir bi al-ra’yi (Imād al-Dīn Ismāil Ibn ‘Umar Ibn Kaśīr al-Qurāsy al-Dimasyqy: 2001: 20) PENGERTIAN MODEL Kata model pada judul di atas memiliki arti pola, contoh, acuan, ragam (KBBI : 2003). Sedangkan kata tafsir dari segi bahasa berarti menjelaskan dan menerangkan. Adapun pengertian tafsir secara terminologi ditemukan bahwa para ulama berbeda-beda secara redaksional dalam mengemukakan definisinya meskipun efisiensinya sama. Al-Jurjani misalnya mengetengahkan bahwa tafsir ialah “menjelaskan makna ayatayat al-Qur’an dari berbagai segi, baik konteks historisnya maupun sebab turunnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas”. Kemudian al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah” ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar kemampuan manusia”. Selanjutnya, al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah” ilmu untuk mengetahui dan memahami kandungan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya” (Ibrahim Anis: 1999). Dari berbagai definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa tafsir adalah upaya mengungkapkan dan menjelaskan 104
makna ayat-ayat al-Qur’an sesuai kadar kemampuan masing-masing yang sifatnya terbatas, sehingga dapat dijumpai pelajaran, hukum, dan hikmah yang terkandung di dalam kitab suci tersebut. Kata atsar merupakan sinonim dari al-Hadits, istilah atsar lebih umum penggunaannya daripada istilah hadits, atsar ialah yang datang dari sahabat,tabi’in dan orang-orang sesudahnya (Fatchur Rahman: 1991). Dengan demikian yang dimaksud dengan atsar adalah” segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah saw.,sahabat,thabi’in dan orang-orang sesudahnya,baik dalam bentuk ucapan,perbuatan maupun ketetapan lainnya”. Adapun yang dimaksud dengan sahabat Nabi saw. adalah pengikut nabi Muhammad saw. yang dekat dengan kehidupan nabi saw.,yang senantiasa menemaninya dan sungguh-sungguh menjalankan ajaran-ajaran nabi saw . Mereka menghafalkan dan meriwayatkan hadits dan al-Qur’an, sebelum keduanya ditulis dan kemudian dikumpulkan (Cyril Glasse: 2002). Dengan mencermati pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan model-model tafsir dalam atsar adalah contoh-contoh penafsiran al-Qur’an yang terdapat dalam berbagai riwayat yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw.,sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Sekilas Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w untuk pedoman hidup manusia dalam menata
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
kehidupannya, agar mereka memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak (Muhammad Galib: 1998). Al-Qur’an mengandung berbagai dimensi kehidupan, mengemukakan beraneka ragam masalah yang merupakan pokok bahasan tafsir (Abd Muin Salim: 1999). Kajian al-Qur’an merupakan sebuah tuntunan dalam rangka “membumikan” dan mensosialisasikan pesan-pesan yang dikandungnya. Kegiatan tafsir al-Qur’an dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw. dan berlanjut sampai sekarang ini, bahkan sampai masa yang akan mendatang. Tafsir al-Qur’an dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya telah mengalami dinamika yang cukup bervariasi. Hal ini sangat dimungkinkan karena tafsir merupakan hasil karya manusia, sehingga terjadi keanekaragaman dalam corak penafsiran (Mahmud Basumi Faudah: 1987). Setiap Nabi saw. menerima wahyu, maka setiap itu juga beliau menyampaikannya kepada para sahabat, lalu Nabi saw. menafsirkan ayat-ayat tersebut, sehingga sahabat di samping menghapalnya secara baik, juga memahami penafsiran itu secara benar. Menurut Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim bahwa, perkembangan tafsir mengenal dua aliran (manhaj), yaitu aliran riwayah yang mempergunakan Alquran, hadis/sunnah dan atsar sahabat, serta aliran dirayah yang selain mempergunakan riwayat juga mempergunakan data tersebut di atas (data riwayah) (H. Abd. Muin Salim: 2005).
Kemudian dari aspek sejarah tafsir itu sendiri menurut al-Zahabi, mengalami perkembangan atas tiga masa, yakni (1) Tafsir pada masa Nabi saw dan sahabatnya yang perkembangannya berupa tafsir bi alma’tsur; (2) Tafsir pada masa tabi’in yang inti perkembangannya ditandai dengan madrasah-madrasah tafsir; (3) Tafsir pada masa pembukuan yang inti perkembangannya ditandai dengan masuknya cerita-cerita Israiliyat yang merupakan batu loncatan tafsir bi al-ra’yi (Muhammad Husain al-Żahabi: 1976). Karena salah satu tugas Nabi saw. adalah menafsirkan wahyu ketika ia diturunkan, praktis bahwa penafsiran al-Qur’an telah dimulai pada masa Nabi saw. Dengan demikian, Nabi saw. adalah penafsir pertama al-Qur’an. Beliau sebagai mubayyin al-awwal terhadap ayatayat al-Qur’an di tengah-tengah sahabatnya, terutama menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang belum dipahami makna dan kandungannya. Penasfiran yang diberikan oleh Nabi saw. terkadang merupakan jawaban atas pertanyaan beliau kepada malaikat Jibril, atau jawaban beliau atas pertanyaan sahabatsahabat tentang suatu hal dalam alQur’an. Tafsir Nabi saw. tersebut, dikenal dengan tafsir naqli, atau tafsir al-riwayah (Subhi al-Shālih: 1988). Setelah Nabi saw. wafat, para sahabat generasi pertama yang memahami al-Qur’an, karena mereka telah belajar langsung kepada Nabi saw. Dengan demikian, para sahabat inilah yang bertugas menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan riwayah, juga menggunakan ijtihad, karena tidak 105
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
semua tafsiran ayat-ayat al-Qur’an mereka terima dari Nabi saw. Dalam sejarah dikatakan bahwa sahabat yang pertama menafsirkan al-Qur’an sesaat setelah wafatnya Nabi saw. adalah Abdullah bin Abbas, sahabat ini diberi berbagai julukan, yakni Bahr al-‘Ulum (lautan ilmu), Habr al-Ummat (ulama ummat), dan Turjuman al-Qur’an (juru tafsir al-Qur’an), karena kedalaman ilmunya disaksikan sendiri oleh Nabi saw. Bahkan Nabi saw. pernah mendoakannya, sebagaimana yang ditulis oleh al-Zarqaniy bahwa Nabi saw. bersabda : اللهم فقهه فى الدين ( وعلمه التأويلYa Allah limpahkanlah ilmu yang mendalam dan ajarkanlah ilmu ta’wil kepadanya), yakni kepada Abdullah bin Abbas. Metode penafsiran yang sahabat gunakan, banyak merujuk pada data-data asbab al-nuzul ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya ayat tersebut. Pada masa ini juga, mereka belum menggunakan kaidah-kaidah tafsir yang disebut nahwu, sharf, balagah, dan selainnya, karena memang kaidah-kaidah tafsir belum tersusun ketika itu. Walaupun demikian, kebenaran tafsiran-tafsiran mereka dapat dipertanggungjawabkan, karena mereka mempunyai zauq lughah yang mendalam. Menurut pendapat para ulama, kondisi pemahaman para sahabat terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dibedakan dalam dua aliran. Pertama, semua sahabat sama pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an. Kedua, mereka tidak sama pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an, karena walaupun diturunkan dalam bahasa Arab, namun di dalamnya terdapat
106
lafaz-lafaz gharib (Ibn Qutaibah:1983). Bila kedua aliran di atas dikaji dengan teliti, tampak bahwa pendapat yang kedua lebih mendekati kebenaran, karena didukung oleh beberapa riwayat, antara lain; Umar bin Khattab ketika membaca ayat “ ”وفاكهة وأباlalu berkata : lafaz “”فاكهة telah saya ketahui artinya sedang lafaz “ ”أباbelum saya ketahui artinya. Demikian juga kata “”هللا فاطر السموات, mereka berselisih pendapat, tetapi yang umum dipahami bahwa kata فطر tersebut ditafsirkan (dimaknakan) dengan “( ”ابتدأIbn Qutaibah:1983). Adanya perbedaan - perbedaan penafsiran di kalangan sahabat, bukan berarti bahwa mereka tidak memahami ayat tersebut, tetapi justru dengan mendiskusikannya dengan sahabat lain, akan melahirkan berbagai penafsiran yang pada gilirannya memperkaya makna-makna dan kandungan al-Qur’an itu sendiri, dan dengan kekayaan ini, maka tafsir al-Qur’an pada masa berikutnya akan mengalami perkembangan. Pada masa sebelum tabiin, wilayah Islam memang telah meluas, dan para sahabat sebagai guru tabiin ada yang menetap di Mekkah, di Madinah, Irak, Syam dan selainnya. Dari para sahabat inilah, berguru para tokoh tabiin yang kemudian melahirkan berbagai aliran-aliran tafsir. Dengan demikian, perkembangan tafsir di masa tabiin, berkaitan dengan berakhirnya tafsir sahabat, dan perkembangan di masa tabiin ini, ditandai dengan lahirnya aliran-aliran tafsir, di Mekkah, Madinah, dan Irak. Aliran tafsir di Mekkah, didirikan oleh Abdullah bin Abbas,
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya dari kalangan tabiin, seperti Saib bin Jubair, Mujahid, Atha’, Ikrimah dan Tahwus. Aliran Tafsir di Madinah, dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang diteruskan oleh tabiin di Madinah seperti Abu Aliyah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin Kab al-Quradhiy. Sedangkan aliran tafsir di Irak, dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud dan diteruskan oleh tabiin di sana seperti, Alqomah bin Qais, Masruq, Aswad bin Jasir, Murrah al-Hamadaniy dan selainnya (Ibn Qutaibah:1983). Model-Model Tafsir Dalam Atsar Sebagaimana diketahui bahwa makna dan kandungan al-Qur’an kebanyakan masih bersifat umum (‘am) dan global (mujmal),hal ini tentu saja membutuhkan penjelasanpenjelasan yang lebih terang dan jelas. Muhammad saw. sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas atau wewenang penuh untuk menjelaskan makna dan kandungan al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan Allah swt. dalam QS.An-Nahl (16):44 yang berbunyi sebagai berikut: Artinya: “ Dan Kami turunkan kepadamu al- Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. Lebih tegas lagi, Allah swt. yang mengutus Rasulullah saw.untuk menyampaikan amanat-Nya kepada umat manusia, memerintahkan kepada manusia agar berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya,
sebagaimana yang termaktub dalam QS.al-Hasyr (59):7 yang berbunyi: Artinya:”…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat tiga fungsi Nabi saw. dalam arti hadis/sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an, yakni: 1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh alQur’an. Misalnya Allah swt. dalam al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam QS.al-Hajj (22):30 yang berbunyi: Artinya:”…Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta Kemudian Nabi saw. dengan haditsnya menguatkannya: ُ دَك ََر َر: ْبن ماَلِكٍ قا َ َل ِ َ َعن ا ِس ْو ُل هللا ِ نس ْ ,اء ِر ِ َسء َل َع ِن الكب ُ صلعم اْل َكبَا ِء َر ا َ ْو ْ ْ وقَت,ِ الش ِْركُ ِباهلل:َفقال ُ ُقو ُق ع و , س ف ن َ ال ل ْ َ ِ ْ ,اء ِر ِ َب ُء ُك ْم بِا َ ْكبَ ِر ال َكب ِ َ فَقَا َل االَ اُن,اْ َلوالدَي ِْن ُ ُ ور او قال شَحادَة ُ قا َ َل قَ ْو ُل .ور ِز ِ الز ِ الز Artinya:”Dari Anas bin Malik r.a., katanya: Rasulullah saw. pernah menyebutkan dosa-dosa besar, atau pernah ditanya orang tentang hal itu. Beliau berkata:”Mempersekutukan 107
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
Allah, membunuh manusia, durhaka kepada dua orang tua.”Setelah itu beliau berkata:”Akan saya beritahukankah kepadamu dosa besar yang paling besar?”Beliau melanjutkan:”Perkataan bohong!” Atau beliau berkata:”Kesaksian yang dusta!” (Zainuddin Hamidy: 1990). 2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid(persyaratan) ayat-ayat al-Qur’an yang masih muthlaq dan memberikan takhsish (penentuan khusus) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum.Misalnya: perintah mengerjakan sembahyang, membayar zakat dan menunaikan haji,di dalam alQur’an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara melaksanakan sembahyang, tidak diperincikan nishabnishab zakat dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditakhsish (diterangkan secara terperinci) dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh hadits. 3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam alQur’an.Misalnya: Larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan,karena dianggap muhrim senasab,dalam sabdanya: َت َح ْمزَ ة ِ ى صلعم فِى بِ ْن ٍ ََع ِن اب ِْن َعب ُ ِاس قا َ َل قا َ َل النَب َ َ ب س ن َ ال م م ر ي ا م ع ا ض الر م م ر َن َن ْح ْح ِ ِ ِ َ َ ُ ُ َ ِ ُ ُ الَ ت َِح ُل ِلى َي 108
.الرضا َ َع ِة َ َخى ِمن ِ َِى بِ ْنتُ ا َ ه Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a.,katanya: Nabi saw. bersabda mengenai anak puteri Hamzah:”Ia tiada halal untuk saya. Haram karena sesusuan sama dengan haram karena seketurunan.Dan ia adalah anak dari saudaraku sesusuan”. Dengan mencermati fungsi hadits dalam penafsiran al-Qur’an di atas,dapatlah dikatakan bahwa modelmodel tafsir dalam atsar adalah: 1. Menjelaskan ayat-ayat yang global;misalnya,tentang waktu,bilangan,rakaat dan cara shalat. 2. Menjelaskan ayat-ayat yang musykil;misalnya, mengenai QS.Al-Baqarah(2):187 yang berbunyi: Artinya:”…Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,yaitu fajar…”. Nabi saw. menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah pekatnya malam dan terangnya siang. 3. Pengkhususan yang umum; misalnya,dalam QS.alMaidah(5):38,menunjukkan bahwa seseorang yang mencuri sesuatu,baik sedikit atau banyak,jenis apapun yang dicurinya,harus dipotong tangannya.Akan tetapi sunnah sudah menetapkan kekhususan-kekhususan tertentu,yaitu bila sesuatu yang dicurinya itu senilai seperempat dinar dan bukan
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
berupa buah-buahan dan jenis pohon kurma. 4. Pembatasan yang mutlak; misalnya, mengenai QS.alMaidah (5):38,ayat ini tidak menentukan tempat tertentu dari bagian tangan yang harus dipotong. Akan tetapi sunnah membatasinya pada pergelangan tangan.Ayat ini pun tidak menjelaskan tangan mana yang harus dipotong,tetapi sunnah membatasinya pada tangan kanan. 5. Penjelasan yang samar;misalnya,Nabi saw. menjelaskan bahwa yang dimaksud “as-sab al-matsani” pada QS.al-Hijr (15):87 adalah surah al-fatihah (Muhammad Abdurrahman Muhammad:1999). Dengan demikian,perlu dicatat bahwa tafsir pada periode sahabat Nabi saw. ialah tingkat perbedaan dalam penafsiran masih sedikit dibandingkan periode berikutnya. Mereka umumnya memahami ayat pada tingkat pemahaman globalnya dengan penggunaan lafaz singkat,mereka juga jarang menghubungkan ayat dengan persoalan-persoalan hukum dan belum ada bias-bias kefanatikan kelompok.Pada masa ini tafsir belum dibukukan.Nabi Muhammad saw. dan para sahabat tidak menjelaskan semua ayat.Mereka hanya menjelaskan sesuatu yang tidak jelas pada masanya.Oleh karena itu,para thabi’in sering menjumpai masalah baru karena pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak sering muncul pada masa mereka.Apa yang dilakukan oleh para thabi’in ialah menyempurnakan
kekurangan tersebut atau memberi penjelasan sesuai dengan tingkat kebutuhan yang mereka rasakan. Adapun ciri-ciri tafsir thabi’in adalah: 1. Banyaknya israiliyat dan nasraniyat, 2. Penggunaan riwayat, 3. Penafsiran al-Qur’an yang bertendensi aliran tertentu dan 4. Banyaknya perbedaan (ikhtilaf) (Taufik Abdullah, 2005: 35). PENUTUP/KESIMPULAN Dari pembahasan di atas,dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengertian model-model tafsir dalam atsar adalah contohcontoh penafsiran al-Qur’an dari berbagai riwayat,baik dari Rasulullah saw.,sahabat maupun thabi’in dan sesudahnya. 2. Model-model tafsir yang terdapat dalam atsar, pada dasarnya;1.menjelaskan ayatayat al-Qur’an yang masih bersifat global,2.Menjelaskan ayat-ayat yang musykil,3.Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum,4.Membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dan,5.Menjelaskan ayat-ayat yang masih samar.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah , Taufik,et.al.,Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,pemikiran dan peradaban,Jakarta;PT.IchtiarB aru Van Hoeve,2005. 109
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
Al-Bukhari, Al-Imam,Terjemah Hadits Shahih Bukhari(Terj.),jilid I-IV. Oleh Zainuddin Hamidy dkk.,Malaysia;Klang Book Centre,1990. Agama, Departemen RI.,Al-Qur’an Dan Terjemahnya,Surabaya;CV.Jaya Sakti,1997. Alfatih Suryadilaga, dkk (ed), Metodologi Ilmu Tafsir ,Cet.I; Yogyakarta: Teras, 2005. Al-Shālih Subhi, Mabāhit fī ‘Ulūm al-Qur’ān ,Cet. XVII; Bairut: Dār al-Ilmi al Malāyin 1988. al-Żahabi, Muhammad Husain, al Tafsīr wa al-Mufassirūn, juz I ,Cet. II; t.t: Dār al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1976. al-Zarqani, Muhammad Abd. al-Azim, Manāhil al-Irfān fi ‘Ulum al-Qur’ān, juz II ,Bairut: Dār al Fikr, t.th. Faudah,Mahmud Basumi, al-Tafsir Wa Manahijuhu, diterjemahkan oleh Mochtar Zoeni dan Abd. Kadir Hamid dengan judul: Tafsir-Tafsir alQur’ān; Perkenalan dengan Metodelogi Tafsir Cet. I; Bandung: Pustaka, 1987. Muhammad,Abdurrahman Muhammad,at-Tafsir anNabawi:Khashaishuhu wa Mashadiruhu (Terj.)oleh Rosihan Anwar dengan judul Penafsiran al Qur’an dalam Perspektif Nabi Muhammad saw.,Bandung;Pustaka 110
Setia,1999. Nasikun, Sejarah dan Perkembangan Tafsir ,Yogyakarta: Bina Usaha, 1983. Salim, Abd.Muin, “Metodologi Tafsir: Sebuah Rekonstruksi Epistemologis, memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu,” Makalah, Orasi Pengukuhan Guru Besar tanggal 28 April 1999 ,Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1999. ............................., Tafsir sebagai Metodologi Penelitian Agama “Kata Pengantar” dalam M.