Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Pro
je
D
ig
ital
ct
TAFSIR ATAS “RAJAM” DALAM ISLAM
kaa
n
Abdul Moqsith Ghazali 1 Kolom | Edisi 043, Januari 2012
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
R
Dem
o
Tafsir atas “Rajam” dalam Islamc
cy a r
Pe
ajam adalah sanksi hukum berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia sudah pernah menikah atau masih r dalam ikatan pernikahan dengan p u sta orang lain). Rajam dilakukan dengan cara menenggelamkan sebagian tubuh yang bersangkutan ke dalam tanah, lalu setiap orang yang lewat diminta melemparinya dengan batu-batu sedang (hijarah mu`tadilah) sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Hukum rajam pernah berlaku 2
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Pro
je
Bahkan seorang gadis perawan pun ketika berzina harus dihukum mati. Disebutkan dalam ayat 23 dalam pasal dan surah yang sama Perjanjian Lama, “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan—jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki
D
ig
ital
ct
pada zaman Nabi Musa. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 22: 22 disebutkan, “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.
kaa
n
3
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Dem
o
itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengah mereka”. Mungkin berdasar kepada dalil-dalil itu, ketika di Madinah Rasulullah SAW pernah merajam cy laki-laki dan perempuan Yahudi a yang berzina. cr
Pe
Dalam al-Qur’an, ayat rajam tak tercantum. Namun, sejumlah kitab fikih menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu temaktub dalam al-Qur’an. Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan walau hukumnya tetap berlaku (naskh al-rasm wa baqa’r p al-hukm). Ayat tersebut berbunyi u sta al-syaiku wa al-syaikhatu idza zanaya farjumuhuma al-battatah nakalan min Allah (laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah secara sekaligus, sebagai balasan dari Allah). Ayat inilah yang menjadi pegangan para ulama pendukung hukum rajam. Sebuah 4
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Pro
je
Dikisahkan bahwa hukum rajam pernah diterapkan pada zaman Nabi. Yaitu, ketika Ma`iz ibn Malik al-Aslami dan Ghamidiyah yang mengaku (i`tiraf) kepada Nabi bahwa dirinya telah berzina dengan seorang perempuan. Dengan itu, mereka meminta untuk dirajam. Nabi berkali-kali menolak dan tak segera memenuhi permintaan yang bersangkutan. Namun, mereka tetap ngotot bahwa dirinya telah melakukan zina muhshan. Akhirnya Nabi “terpaksa” menyanksinya dengan dirajam.
D
ig
ital
ct
hadits menyebutkan, “inna al-rajm haq fi kitabillah `ala man zana idza ahshana min al-rijal wa alnisa’, idza qamat al-bayyinah, aw kana al-haml, aw al-i`tiraf”. Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diperlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina.
kaa
n
5
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Mungkin Nabi berharap agar yang bersangkutan tak mengaku berzina secara terus terang. Toh, dalam kesendiriannya ia bisa bertaubat kepada Allah SWT atas dosadosanya.
y
Dem
o
Kini banyak orang bertanya ac r tentang perlu dan tidaknya c menerapkan hukum rajam. Saya kira ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama, rajam dalam Islam termasuk syar`u man qablana (syariat pra-Islam). AlQur’an banyak mengintroduksi hukum-hukum yang berlaku pada era sebelum Islam, seperti hukum rp Yahudi. Di samping soal rajam, alQur’an misalnya mengutip syariat u s ta Nabi Musa yang memperbolehkan bunuh diri. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 54), “Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan
Pe
6
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Pro
je
Para ulama fikih sendiri berbeda pendapat tentang posisi syar’u man qablana sebagai dalil hukum (hujjah syar’iyah). Sebagian ulama berpendapat bahwa syar`u man qablana menjadi bagian ajaran Islam jika itu sudah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian yang lain berkata, bahwa syar’u man qablana bukanlah syari’at kita (umat Islam) karena itu kita tak boleh menjadikannya sebagai dalil hukum. Dengan argumen itu tak sedikit para ulama yang menolak pemberlakuan syar’u man qablana. Dengan itu, menurutnya,
D
ig
ital
ct
anak lembu sebagai sesembahan kalian, maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menciptakan kalian dan bunuhlah diri kalian sendiri. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menciptakan kalian. Maka Allah akan menerima taubat kalian. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang”.
kaa
n
7
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
hukum rajam tak perlu diterapkan sebagaimana kita tak menerapkan hukum bunuh diri sebagai jalan taubat, sekalipun itu sudah tercantum dalam al-Qur’an.
Dem
o
Kedua, rajam tak efektif menjerakan para pelaku perzinaan, a c y karena yang bersangkutan sudah c r meninggal dunia. Ia tak sempat lagi memperbaiki diri. Padahal, jelas dikemukakan para ahli fikih bahwa sanksi-sanksi hukum dalam Islam berfungsi untuk menjerakan para pelaku pidana (al-hudud zawajir la jawabir). Ketiga, rajam akibat perzinaan muhshan dalam konteks sekarang potensial merugikan r p perempuan. Kaum perempuan us ta tak mudah untuk menghindar dari tuduhan zina sekiranya telah terjadi kehamilan sementara yang bersangkutan diketahui publik tak punya suami. Sementara pezina laki-laki bisa menghindar dari dakwaan zina, terlebih menghadirkan empat orang
Pe
8
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
saksi yang melihat secara persis perzinaan itu, seperti dikehendaki al-Qur’an, bukanlah perkara mudah.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Keempat, kelompok Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat ayat apalagi hadits yang menegaskan tentang hukum rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-Qur’an (al-Nur: 2), yaitu “al-zaniyatu wa al-zani fajlidu kulla wahidin minhuma mi’ata jaldatin wa la ta’khudkum bihima ra’fatun fi din Allah in kuntum tu’minuna bi Allah wa al-yawm alakhir wa al-yasyhad `adzabahuma tha’ifatun min al-mu’minin” (pezina perempuan dan lakilaki, pukullah sebanyak 100 kali pukulan. Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
kaa
n
9
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Dem
o
orang-orang beriman). Memang al-Qur’an sendiri, seperti dalam Mushaf Utsmani, tak membedakan antara pezina muhshan dan ghair muhshan. Pertimbangan ini sekalipun hadir dengan argumen yang belum kukuh bisa cy dipertimbangkan sebagai salah a satu argumen untuk menolak cr penerapan hukum rajam.
Pe
Kelima, al-Qur’an tak memberikan hukum tunggal bagi orang yang berzina. Jika kita sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji (fahisyah), maka sanksi hukum bagi pezina, baik yang muhshan maupun yang bukan, maka al- r p Qur’an memberi sanksi tahanan us ta rumah seumur hidup. Disebutkan dalam al-Qur’an (surat al-Nisa’: 15), “Dan terhadap perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberi 10
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
persaksian, maka kurunglah perempuan-perempuan itu sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepada mereka”.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Bahkan di ayat berikutnya (ayat 16) tak dijelaskan jenis hukuman bagi para pezina, “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang”. Qatadah dan al-Sudi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan adzuhuma dalam ayat itu adalah dengan cara mempermalukan, menjelekjelekkan, dan mencacinya (altaubikh wa al-ta`yir wa al-sabb). Kalu kita bersepakat dengan ulama yang menolak konsep nasikhmansukh dalam al-Qur’an, maka ayat ini tak bisa dianulir oleh ayat
kaa
n
11
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Dem
o
dan hadits yang memerintahkan rajam dan hukuman dera sebanyak 100 kali deraan. Mujahid misalnya berpendapat bahwa ayat 15 surat al-Nisa’ adalah sanksi hukum bagi pezina perempuan, sementara ayat 16 surat yang sama adalah sanksi cy a hukum bagi para pezina laki-laki. r c (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, hlm. 80)
Pe
Akhirnya, bisalah dikatakan bahwa ayat yang terkait dengan sanksi hukum seperti rajam merupakan fikih jinayat alQur’an yang pada tingkat implementasinya tak otomatis r bisa dijalankan. Artinya, umat p us Islam bisa mencari sanksi-sanksi ta hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibn Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan meninggal dunia. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,
12
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Pro
je
Dengan memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al-Qur’an, maka kita tak lagi terikat untuk memaksakan penerapan sanksisanksi hukum itu seperti yang secara harafiah disebut dalam al-Qur’an. Kita bisa mencari jenis-jenis hukum lain yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks keindonesiaan kita. Yang penting tujuan dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak pidana sudah tercapai. Wallahu A`lam Bishshawab.[]
D
ig
ital
ct
Jilid III, hlm. 79). Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal (al-hadd al-a`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas.
kaa
n
13
Edisi 043, Januari 2012 Kolom
Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com Kode kolom: 043K-AMG002
c
cy a r
Dem
Kolom ini diterbitkan oleh Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi.
o
© 2011
Sumber gambar: www.dw.de
Pe
rp
14
us
ta