PIDANA RAJAM MENURUT HUKUM ISLAM DAN HAM
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Oleh:
Usep Syafii Sanjabil Ms.Sy NIM: 105045101502 Pembimbing:
Dr. Asmawi, M.Ag NIP: 1955725 200012 2 001
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SYAR’IYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2011 M i
PIDANA RAJAM MENURUT HUKUM ISLAM DAN HAM
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Oleh:
Usep Syafii Sanjabil Ms.Sy NIM: 105045101502 Pembimbing:
Dr. Asmawi, M.Ag NIP: 1955725 200012 2 001 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SYAR’IAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2011 M
ii
PIDANA RAJAM MENURUT HUKUM ISLAM DAN HAM
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Usep Syafii Sanjabil Ms.Sy NIM: 105045101502
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SYAR’IAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI Skripsi yang berjudul Pidana Rajam Menurut Hukum Islam dan HAM. Telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Jakarta, 23 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Dr. Asmawi, M. Ag
(....................................)
NIP: 197210101997031008 Sekretaris
: Afwan Faizin, M. Ag
(.....................................)
NIP: 197210262003121001 Pembimbing
: Dr. Asmawi, M. Ag
(......................................)
NIP: 197210101997031008 Penguji I
: Drs. Abu Tamrin, SH, MH
(......................................)
NIP: 196509081995031001 Penguji II
: Afwan Faizin, M. Ag NIP: 1972102620031211001
(.......................................)
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Usep Syafii Sanjabil Ms.Sy
NIM
: 105045101502
Tempat/Tgl. Lahir
: Bekasi, 02/September/1985
Program Studi
: Kepidanaan Islam
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul: “Pidana Rajam Menurut Hukum Islam dan HAM” adalah karya ilmiah saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Sekiranya terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 20 Juni 2011
Usep Syafii Sanjabil Ms.Sy NIM: 105045101502
iii
KATA PENGANTAR
ِن الرَّحِيْم ِ َحم ْ َّهلل الر ِ بِسْ ِم ا Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang selalu melimpahkan Kasih dan Sayang-Nya kepada seluruh makhluk. Dengan kuasa-Nya kita dapat bernapas, bergerak, berpikir dan hidup dengan penuh makna dan kebahagiaan atas nikmat yang indah. Segala puji bagi Allah yang Maha Kuasa. Maha Pengasih yang tidak pilih kasih. Maha Penyayang, yang kasih sayang-Nya tiada terbilang oleh dimensi ruang dan waktu. Dengan penuh keikhlasan hati, Penulis bersyukur atas kehidupan yang telah diberi. Alhamdulillah, Allah telah memberikan kita potensi berpikir, bertindak, berusaha, berjuang, dan berevolusi. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Nabi yang membawa risalah suci untuk disampaikan pada seluruh umat manusia. Nabi yang diutus untuk menjadi rahmatan lil alamin. Kesejahteraan dan keselamatan semoga selalu tercurahkan untuknya, para keluarga, seluruh sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah. Tiadalah kemampuan melainkan apa yang telah Allah SWT berikan. Atas Ridha-Nya pula disertai dengan kesungguhan, maka penulis dapat menyelesaikan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang penulis angkat dengan tema ”Pidana Rajam Menurut iv
Hukum Islam dan HAM” Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan kendala yang dialami penulis, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan (data) maupun soal pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat kesungguhan hati dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari semua pihak, maka semua kesulitan dan kendala itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seyogyanyalah penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah Yang Maha Agung, dan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini: Dr. Asmawi, MAg. yang dengan tulus, ikhlas dan penuh perhatian telah membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat yang sangat berharga kepada penulis. Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Yth: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., Ketua Program Studi jinayah Siasah Jurusan Pidana Islam dan kepada Bapak Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi jinayah Siasah Jurusan Pidana Islam. 3. Bapak Dr. Asmawi, MAg., Pembimbing penulis sekaligus Ketua Program Studi jinayah Siasah Jurusan Pidana Islam, yang telah banyak memberikan v
ilmu kepada penulis khususnya dalam bidang hukum pidana Islam, serta selalu meluangkan waktunya untuk membibing penulis dengan penuh kesabaran. 4. Bapak Zainal, MA., Penasehat akademik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kepala Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nasional, Iman Jama, perpustakaan pribadi K.H. Bunyamin dan K.H. Zuhri Yakub. 7. Kepada Ayah dan Ibu ku tercinta, Ayah. Djayadi Husni dan Ibu. Rum Hasanah yang telah berusaha payah membesarkan dan mengarahkan pendidikan penulis, sehingga tanpa hal tersebut sulit kiranya penulis dapat mencapai apa yang diperoleh saat ini. 8. Kepada keluarga atau Saudara-saudara ku tercinta, Tatang Zainuddin selaku Kakak Pertama, Cecep Rusli Bahtiar selaku Kakak Kedua, Nina Hasanah selaku Kakak Ketiga dan Pipih Alfiah sebagai Adik yang selalu mendorong dan memotivasi penulis untuk selalu sabar dan tabah dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama yang sudah pernah meminjamkan uang kepada penulis hingga penulis selalu lancar dalam pembuatan skripsi vi
ini, dan kepada adek ku yang selalu mengingatkan penulis untuk cepat segera wisuda. Terima kasih atas dorongannya. 9. Teman coffe break di kampus, Reizak, Zaki tsani S.HI, Muhamad Sanusi, Abdul Hasan Mughni, Edi Supriadi yang secara tidak langsung memicu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada Zaki Tsani S.HI., yang telah banyak membantu penulis dalam mencari tambahan data. 10. Teman kosan, Muhammad Ihya Ulumuddin S.Th.I., Radent Asep Imaduddin, Adli Bahrun S.Th.I., Ardian Maksal Lintang S.Th.I., dan rekan-rekan Amunisi Welcover yang selalu memberikan keluangan waktunya untuk berdiskusi, khususnya kepada Muhammad Kajuddin, yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi ini. Terima kasih atas dorongannya. 11. Kepada seluruh rekan-rekan kelas PI angkatan 2005, Reizak, Azharianto S.HI., Yazid Syukri. S.HI., Miftahul Khoirina. S. HI., Zaki Tsani. S.HI., Khusnul Anwar. S.HI., Muhammad Sanusi, Abdul Malik, serta rekan-rekan lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebaikan kalian yang selalu membuat semangat muda penulis bergejolak, layaknya pejuang yang tak kenal lelah mencari sesuap nasi dibawah terik panasnya matahari. Segala puji dan rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu penulis panjatkan vii
kepada Allah swt, serta diiringi doa semoga amal baik tersebut di atas diterima oleh Allah swt dan dibalas dengan pembalasan yang berlipat ganda. Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin mencari yang terbaik dalam penulisan ini. Akhirnya, sebagai kajian ilmiah, penulis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis, serta mengakui sifat kemanusiaan yang banyak kekurangan dan kesalahan. Segala petunjuk dari para pembaca sangat diharapkan demi pembenaran dan kesempurnaan skripsi ini dan semoga membawa manfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca semua. Amin
Jakarta, 20 Juni 2011 Penulis
Usep Syafii Sanjabil Ms.Sy NIM: 105045101502
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
..............................................................................
i
PENGESAHAN PEMBIMBING
..................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN
.................................................................. iii
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I:
.............................................................................
iv
........................................................................................
ix
PENDAHULUAN
................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah
..........................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
BAB II:
ii
1
.............................
9
........................................ 13
D. Metode Penelitian
....................................................
14
E. Sistematika Penulisan
....................................................
15
PIDANA RAJAM MENURUT HUKUM ISLAM .............. 17 A. Pengertian dan Tarikh Berlakunya Pidana Rajam .............. 17 a. Pengertian Pidana Rajam
.......................................
b. Tarikh Berlakunya Pidana Rajam B. Kandungan Nash tentang Pidana Rajam
17
...........................
19
......................
29
C. Pandangan Ulama tentang Pemberlakuan Pidana Rajam .... 37 a. Ulama yang Setuju dengan Pemberlakuan Pidana Rajam ......................................................................................
37
b. Ulama yang tidak Setuju dengan Pemberlakuan Pidana Rajam ...................................................................... D. Pelaksanaan Pidana Rajam Dalam Hukum Islam
........
40 46
a. Pidana Rajam Sebagai Hukuman bagi Pelaku Zina Muhshan
..................................................................
b. Rasionalitas Dampak Buruk dari Perbuatan Zina
46
..... 50
c. Teknis Pelaksanaan dan Persyaratan Pidana Rajam ..... 54 1.
Penetapan Vonis Pidana Rajam
......................... 55
a. Ikrar atau Pengakuan Pelaku Zina Muhshan .. 55 b.
Adanya Saksi yang Bersumpah
2.
Tempat Pelaksanaan Pidana Rajam
...............
62
3.
Penggalian Lubang dalam Pidana Rajam ..........
62
4.
Kehadiran Imam dan Saksi dalam Eksekusi Pidana Rajam
BAB III:
.................. 57
................................................................
63
KONSEP HAM INTERNASIONAL TERKAIT PEMIDANAAN DAN HAM DALAM ISLAM ................................................ A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya HAM
...........
66 66
B. Kandungan HAM Tentang Konvensi Anti Penyiksaan Dan Hukuman Mati
....................................................
a. Latar Belakang Konvensi
........................................
72
b. Ruang Lingkup Konvensi
........................................
75
c. Larangan Penyiksaan dan Hukuman Mati
................
C. Pelaksanaan Pidana Rajam dan HAM di Indonesia
76
...... 83
a. Peluang Pidana Rajam di Indonesia ............................
83
b. UU HAM di Indonesia
........................................
85
....................................................
87
D. HAM Dalam Islam BAB IV:
72
PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HAM PIDANA RAJAM
TENTANG
................................................................
99
A. Titik Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan HAM Tentang Pidana Rajam
.................................................... 99
B. Kompatibelitas Hukum Tuhan ......................................... 105 C. Aspek Mashlahat dalam Pidana Rajam
......................... 110
BAB V:
PENUTUP
............................................................................. 121
A. Kesimpulan
................................................................ 121
B. Saran-saran
................................................................ 125
DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................
128
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hal moderenitas dewasa ini banyak stigma hukum yang telah dicetuskan dalam rangka memelihara kedamaian dan kesejahteraan manusia. Tidak ubahnya setiap kepala negara ingin mewujudkan segala sesuatu seperti apa yang diinginkan rakyat atau masyarakat kebanyakan. Salah satu dari apa yang telah terealisasikan adalah tentang kebebasan dan kemerdekaan hak hidupnya.
Oleh karena setiap kepala dimuka bumi ini ingin mendapatkan hak-hak yang telah ada secara alamiah sejak lahir tanpa dibatasi oleh pihak manapun maka tercetuslah sebuah azas moderenitas yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia yang disingkat menjadi HAM. Dari berbagai apresiasi buah fikir dan rasa kepedulian terhadap arti sebuah kenyamanan atas segala tekanan kemudian azas tersebut berbuah menjadi sebuah perjanjian internasional yang mempunyai kekuatan hukum yang disepakati oleh negara-negara serikat guna untuk melindungi segala hak dan kebijakan yang direnggut oleh pihak lain.
Dalam hal ini HAM mempunyai dua basis yang berbeda, diantaranya adalah HAM menurut pandangan Islam dan HAM menurut barat. HAM menurut Islam menggagas segala sumbernya berbasis pada ketentuan Al-Qur’an dan Hadist yang
1
2
merupakan wahyu Ilahi (God Law). Adapun HAM menurut barat dari segi sumbernya berasal dari apa yang dicerna oleh buah fikiran manusia atas perkembangan peradaban tentang kemanusiaan.
Pada kedua basis HAM tersebut banyak terdapat ketentuan yang sejalan, namun disamping itu terdapat pula ketentuan yang saling bertentangan. Seperti lahirnya konvensi anti penyiksaan dan hukuman mati dalam deklarasi umum tentang HAM tahun 1948, dalam konvensi tersebut melarang bagi setiap negara yang berserikat untuk memberlakukan sanksi atau hukuman yang bersifat merendahkan martabat, menyiksa dan menghilangkan nyawa, dalam hukum barat hal tersebut merupakan bagian dari kovenant pelanggaran HAM.
Tentu kebijakan tersebut menjadi sebuah ketentuan dan polemik yang bertentangan dengan apa yang telah ada dalam ketentuan hukum Islam yang mana di dalamnya terdapat jenis hukum pidana cambuk dan rajam. Kedua hukuman tersebut adalah hukuman yang bersifat menjerahkan fisik bagi pelaku yang berbuat dosa.
Hukum pidana rajam adalah salah satu hukum pidana yang diatur dalam hukum Islam, yang mana hukuman tersebut dikenakan pada pelaku tindak pidana perzinahan bagi orang yang telah menikah (zina muhshan). Hukum pidana rajam ini mulai diterapkan pada zaman berdirinya Islam dengan mengadopsi dari hukum sebelum Islam.
3
Dengan adanya beberapa penerapan yang terjadi di zaman Rasul SAW tentang penjatuhan hukuman rajam pada pelaku-pelaku zina yang dijatuhi hukuman rajam adalah hukuman yang diatur secara tegas dalam Islam sebagai sanksi pidana untuk pelaku tindak pidana zina muhshan. Adapun definisi dari rajam itu sendiri adalah hukuman siksa badan1 namun dalam sudut pandang yang lebih luas adalah hukuman yang berupa ditanam di dalam tanah sampai leher kemudian dilempari batu yang sedang (mu’tadalah) sampai meninggal2.
Islam mengatur hukuman pidana rajam tersebut sesuai dengan firman Allah swt yang mengharamkan tentang perzinahan serta mengancam pelakunya apabila dia seorang yang belum pernah menikah dengan hukuman dicambuk seratus kali dan di saksikan orang banyak serta diasingkan selama setahun, sedangkan apabila pelakunya adalah seorang yang pernah menikah maka hukumannya adalah dirajam3 sampai mati, sebagaimana dalil berikut dalam al qur’an surat An-nuur ayat 24:
1
Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h.
650. 2
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 50. Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 89-108. 4 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 39, yang di kutip dari al-Qur’an al-Karim, Mushaf ‘Usmany, Surat an-Nuur, Ayat. 2. 3
4
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah berbelas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS An-Nuur :2).
Dan Hadist Nabi SAW5:
خُزُوْا عَّنًِ خُزُوْا عَّنًِ قَ ْذ: سهَ َم َ عهَيْ ِه وَانِ ِه َو َ هلل ُ صهًَ ا َ هلل ِ قَالَ َسسُ ْىلُ ا: ل َ ت قَا ِ ِن انّصَام ُ ْن عُبَادَ َة ب ْ َع جهْ ُذ مِائَ ٍت وَانشَجْ ِم (سواه َ ب ِ ِب بِانثَي ُ ّجهْ ُذ مِا ئَ ٍت وَنَفًُْ سَّنَ ٍت وَانثَي َ ْانِب ْك ُش بِانْ ِب ْك ِش.م اهللُ َنهُنَ سَبِ ْيهًا َ ج َع َ )انجماعت اال انبخاسي وانّنسائي Artinya: Dari ubaidah ibn Ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (penzina). Jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda dera seratus kali dan rajam” (diriwayatkan oleh jama’ah: Muslim, Abu daud dan Tirmidzi, kecuali Bukhari dan Nasa’i) Rajam merupakan sanksi hukuman yang berupa hukuman dengan dilempari batu sampai mati yang mana dalam al-Qur’an, ayat rajam tak tercantum. Namun sejumlah kitab fikih menurut Ismaily menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu
5
Imam Nawawi, dari kitab Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261 M, Shahih Muslim, (Darul Fikri : juz ke 2, 1993), h. 108. Hadist no: 3201. Lihat juga dalam Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 42, lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Atsqolani (w. 852 H) yang dikembalikan oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, tnp th), h. 270. Lihat juga A. Hassan, Tarjamah Bulughul-Maram Ibnu Hajar Al-‘Astsqolani, (Bandung: Diponegoro, 1999), cet ke- 23, h.550.
5
temaktub dalam al-Qur’an. Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan namun hukumnya tetap berlaku (naskh al-rasm wa baqa’ al-hukm). Ayat tersebut berbunyi6:
هلل ِ ّت َنكَانًا مِنَ ا َجمُىْا ُهمَا انبَ ة ُ ْخ وَانشَيْخَتُ إِرَا صَنَيَا فَا س ُ ْانشَي Laki-laki renta dan perempuan renta yang berzina keduanya, maka rajamlah keduanya secara sekaligus,sebagai balasan dari Allah Menurut An- Nasa’i ayat tersebut tepatnya dalam surat al-Ahzab, al-Muwattha’ mencantumkan hadist itu bersumber dari Yahya bin Said dari Ibnu Musayyab 7 ayat inilah yang menjadi pegangan para ulama tentang hukum rajam. Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diberlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina.
Dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia diputuskan dalam pasal 5 yang berbunyi: Tidak seorang pun boleh mendapat siksaan, atau perlakuan atau hukuman yang kejam, melanggar perikemanusiaan, atau yang menghinakan8. Dengan adanya deklarasi Internasional ini lahirlah sebuah ketentuan yang sangat erat sekali hubungannya dengan moderenitas dimana hukum yang harus diberlakukan pada setiap negara terlebih harus selaras dengan nafas-nafas HAM (Hak 6
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit buana, 2003), h.101. lihat juga pada catatan kaki kitab Ibnu Hajar Al-‘Atsqolani, Buluhgul-Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, tnp th), h. 270. Catatan kaki No.2 tentang bacaan yang dinasakh dan hukumnya tetap. 7 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit buana, 2003), h.101. 8 Maulana Abdul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet ke-1, h. 51.
6
Asasi Manusia), yang mana manusia mempunyai martabat, mempunyai hak untuk hidup yang sama dengan yang lain, dan manusiapun tidak patut dihina, dipermalukan, dan disiksa dalam ketentuan apapun, hukum Internasional menjamin akan HAM yang dimiliki oleh manusia termasuk bentuk hukuman yang sadis terlebih hukuman mati yang berbentuk penyiksaan pada pelaku. Dalam negara Indonesia sendiri yang menganut sistem eropa kontinental yang memberlakukan hukum atas apa yang telah disahkan menjadi undang-undang tertulis menjadi hukum positif seperti KUHP tidak memberlakukan hukuman rajam dalam delik perzinahan seperti yang tertera dalam pasal 284: a. Laki-laki yang beristri berzina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. b. Perempuan yang bersuami yang berzina, padahal diketahuinya bahwa pasal 27 BW berlaku baginya 9. Adapun pelaku perbuatan tersebut diancam dengan hukuman penjara paling lama sembilan bulan. Dalam hal ini banyak terdapat titik tengkar antara pandangan hukum Islam dan HAM dalam skala hukum Internasional, yang mana dalam hukum Islam sendiri memberlakukan hukuman rajam bagi pelaku perzinahan yang sudah menikah atas dasar ketentuan Al-qur’an dan Hadist yang merupakan hak Allah (hududullah), sedangkan dalam HAM sendiri mermpunyai dasar dan asas hak hidup dan anti
9
M. Boediarto, K. Wajuk Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet Ke-2, h. 91
7
penyiksaan yang harus diberikan dan diberlakukan kepada manusia, tidak ada bentuk penyiksaan fisik dalam penghukuman yang berupa menistakan manusia terutama pada pasal 5 seperti di atas. Hukum Islam yang memusatkan segala aturan berbasis pada ketuhanan, sedangakan HAM segalanya berbasis pada kemanusiaan merupakan dua tolak ukur yang mempunyai barometer yang berbeda. Berbicara tentang rajam terkait dengan hukuman mati, dan cara melaksanakan hukuman rajam, itulah hal yang menjadi kontroversi antara Islam dan HAM. Atas dasar semangat akademis dalam meniti jangkar dari permasalahan awal untuk menemukan solusi dari berbagai titik tengkar kedua pandangan tersebut, sebagai mahasiswa syariah dan hukum penulis merasa sangat berkepentingan dan terpanggil untuk mengerahkan kemampuan dan pemikiran dalam mengkaji dan menulis seluruh hal-hal yang ada dalam pandangan hukum Islam dan HAM di Indonesia dengan mengangkat suatu kajian tentang hukum pidana rajam bagi orang yang sudah menikah yang dianggap sebagai hukuman yang tidak berprikemanusiaan (humanis) dan melanggar HAM sehingga menjadi jelas dari adanya perbedaan layak mempunyai tempat khusus dan baku untuk menambal kekurangan pandangan masyarakat serta dapat mengakomodir seluruh keperluan masyarakat umum dan menjadi sebuah rujukan yang mempunyai kekuatan absolute agar dapat diberlakukan. Dengan harapan yang demikian ini penulis mengangkat judul tentang “Pidana Rajam Menurut Hukum Islam dan HAM”. Masalah ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian dan kajian karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis yang mayoritas beragama Islam.
8
Yang sudah semestinya umat Islam di Indonesia kebanyakan mengerti dan memahami tentang hukum yang ditentukan oleh syariat Islam sendiri. Masalah ini adalah masalah tentang perbedaan pandangan yang nyata antara hukum pidana rajam dalam Islam dan hukum HAM Internasianal, artinya ini adalah permasalahan hukum pidana Islam dengan dunia internasional termasuk Negara Indonesia sendiri. Dimana hukum pidana rajam adalah hukum pidana yang diatur dan disyariatkan oleh Islam namun dalam hal ini ditentang oleh pandangan hukum Internasional dalam asas moderenitas hukum yang berbasis pada fikiran manusia. Umat Islam adalah umat yang menyebar dan ada pada setiap negara termasuk pada negara-negara barat yang sangat kental berasaskan HAM, namun hal ini merupakan suatu masalah yang besar dimana umat Islam dilarang atau tidak diperkenankan untuk menjalankan hukum Islamnya sendiri bahkan diseru untuk membenci hukumnya sendiri karena dianggap sadis untuk kemanusiaan namun pidana rajam merupakan kewajiban untuk menjalankan dan melestarikannya. Disisi lain masyarakat Indonesia juga adalah masyarakat yang sangat menyoroti sisi keluarga dan arti sebuah pernikahan. Di Indionesia masyarakat diberi kebebasan menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Agama Islam yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia memandang perzinahan yang sudah menikah sebagai perbuatan yang sangat buruk dan keji sehingga pelakunya mesti dihukum dengan hukuman yang berat. Berdasarkan berbagai teori dari aliran-aliran filsafat hukum seperti aliran filsafat hukum positif, utilitarianisme, atau Mazhab Sejarah dan Sosiologikal
9
Yurisprudense menyatakan bahwa norma aturan hukum dari suatu negara harus mencerminkan dan dibuat berdasarkan norma hukum moral atau rasa keadilan hukum yang hildup dalam masyarakat10. Oleh karena itu apa yang dirumuskan dalam pandangan berbagai pihak dalam masalah hendak berfikir dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena pandangan-pandang yang kontroversi tersebut hendaknya dikerucutkan menjadi satu pangkal yang selaras dengan keimanan, ketaatan dan perbaikan untuk masyarakat banyak umumnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Rajam adalah hukuman yang diatur dalam hukum Islam dengan cara dipendam setengah badan dan dilempari batu sedang sampai mati karena telah melukan perzinahan dan pelaku telah menikah, hukuman rajam ini berupa penjerahan pada badan dan kematian. Namun adanya pandangan lain dari deklarasi Internasional yang melahirkan tentang konvensi anti penyiksaan dan hukuman mati yang juga membahas tentang etika penghukuman dimana tidak ada bentuk penyiksaan dan penghinaan dalam penghukuman hal ini menjadi sebuah titik tengkar pandangan antara hukum Islam dan HAM Internasional. Hal inilah yang menyebabkan hukuman rajam cenderung dianggap sebagai hukuman yang tidak layak untuk diterapkan di masa ini dalam hukum Indonesia. Sementara perbedaan pandangan yang datang dari umat Islam sendiri atau dari kalangan barat, namun tak lain hal ini dilatar belakangi dari perbedaan pandangan akan cara penghukuman rajam yang cederung dinilai menyiksa
10
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta : Satelit Buana, Bulan Bintang, 2003), h.14
10
dan membunuh terhukum yang mana dalam hal ini HAM tidak membenarkannya. Dengan uraian yang ada di atas penulis membatasi penelitian ini agar permasalahan menjadi lebih jelas dan mengarah kepada titik permasalahan serta agar ruang lingkup pembahasan yang akan dibahas tidak terlalu meluas dan melebar, akan tetapi terfokus pada satu masalah yang menjadi akar permasalahan sehingga pembahasan dan analisa permasalahan dapat dirincikan secara mendalam. Dalam pembahasan dan kajian ini adalah pidana rajam menurut pandangan hukum Islam yang dibatasi pada pengertian dari hukum rajam itu sendiri, kemudian penulis juga membahas perihal yang berkenaan dengan sejarah rajam di zaman Rasul. Dalam hal ini juga hanya membatasi pada kandungan nash yang berkenaan dengan pidana rajam, berikut pandangan ulama Islam tentang pidana rajam. Sanksi pidana rajam dijatuhkan untuk orang yang sudah menikah karena melakukan zina atau pemerkosaan. Tidak termasuk ke dalam pembahasan ini hukuman cambuk seratus kali, dan pengasingan selama setahun. Pemerkosaan lebih berat dari perzinahan bagi pelakunya karena perbuatan zinanya dan tindakan memaksanya yang berdampak menyakiti segi fisik atau pun psikhis dari korban, dan bagi korbannya tidak dikenai hukuman karena dia dalam keadaan dipaksa dan tidak berdaya. Adapun pelaku perzinahan dari wanita atau lelaki yang belum menikah tidak dibahas karena tidak masuk dalam kategori dirajam, penulis membahas sedikit tentang perzinahan orang yang telah menikah ini dalam mengkaitkan kepada titik dan akar permasalahan. Demikian juga halnya dengan tindak pidana yang lain dalam hukum pidana Islam seperti delik-delik hudud (selain perzinahan bagi yang telah menikah) maupun qishash
11
diyat dan ta’zir yang hukumannya selain pidana rajam atau sanksi pidana yang lain dalam hukum Islam penulis tidak membahas dalam penelitian ini. Selanjutnya penulis membatasi pembahasan ini pada latar belakang lahir nya HAM, dan membahas kandungan HAM tentang konvensi anti penyiksaan dan hukuman mati, dengan mengasumsi hasil deklarasi hukum Internasional tentang HAM dan ketentuan atas hukuman yang berbentuk penyiksaan, kematian dan penghinaan terhadap badan dan martabat, serta membahas HAM menurut Islam dalam sorotan piagam madinah, dan tidak membahas tentang keputusan HAM yang lain selain terkait pada ketentuan anti penyiksaan dan hukuman mati. Penulis tidak membahas tentang keputusan HAM pada Deklarasi lain selain deklarasi universal hukum Internasional tentang HAM terkait larangan bentuk hukuman yang menyiksa. Dalam hal ini juga penulis akan membahas tentang aplikasi HAM di negara Indonesia. Selanjutnya penulis juga mengemukakan tentang suatu perbandingan antara pandangan hukum Islam dan HAM tentang pidana rajam, bagaimana hukum Islam mengatur tentang pidana rajam dan bagaimana HAM mengatur tentang penyiksaan dalam hukuman mati yang mana keduanya saling bertolak belakang. Maka dalam hal ini penulis hanya memasukkan berbagai sebab yang menjadi latar belakang titik tengkar perbedaan dan juga persamaannya dari hukum Islam dan HAM. Kemudian juga penulis akan menguraikan tentang kompatibelitas hukum tuhan yang mana pidana rajam menurut pandangan hukum Islam adalah produk hukum Tuhan. Di samping itu juga pada hal ini memaparkan tentang aspek mashlahat dari pidana rajam.
12
Perbandingan antara keduan pandangan tersebut dalam hal titik tengkarnya menyikapi tentang hukum pidana rajam dan penyiksaan dalam hukuman penulis akan membahas tentang titik persamaan antara Islam dan HAM, dan juga sisi perbedaannya. Berikut dengan teori-teori yang ada dalam Islam dan HAM serta sumber akan kedua hukum tersebut diambil. Serta menarik kesimpulan dari perbandingan kedua pandangan antara hukum Islam dan HAM tentang hukum pidana rajam. Jadi penelitian dan pembahasan masalah pidana rajam dalam pandangan hukum Islam dan HAM pada analisa ini dilakukan dengan metode pendekatan normative atau study pustaka. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan normatif sebagaimana kita ketahui bersama merupakan pendekatan melalui aturan hukum pidana Islam (Al-Qur’an dan Hadist), KUHP dan RUU KUHP, Deklarasi Universal Tentang HAM, Piagam Madinah serta buku lainnya, kemudian jalur pustaka terkait masalah pandangan hukum Islam dan HAM dalam hukum pidana rajam. Dengan adanya pembatasan masalah seperti disebutkan di atas maka pokokpokok masalah atau pembahasan yang akan diteliti dan dibahas dalam analisa ini perlu dirumuskan dengan perumusan sebagai berikut: a. Bagaimana hukum Islam mengatur tentang pidana rajam? b. Bagaimana HAM dalam Islam dan HAM Internasional mengatur tentang pemidanaan terkait penyiksaan dan hukuman mati? c. Bagaimana perbandingan antara hukum Islam dan HAM tentang pidana rajam? Selanjutnya mengenai subpokok masalah yang dibahas dalam pembahasan ini adalah pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut yang ingin diungkap berikutnya yaitu:
13
bagaimana cara dan etika melakukan pidana rajam? Apakah syarat-syarat untuk diberlakukannya rajam? Mengapa terjadi perbedaan pendapat dalam masalah rajam baik dalam ulama Islam maupun kaum barat? Jika demikian halnya maka bagaimana pandangan HAM terhadap hukuman rajam? Dan beberapa kovenant HAM terkait pemidanaan. Demikianlah kira-kira ruang lingkup permasalahan yang diteliti dan akan dibahas dalam karya ilmiah ini selanjutnya. Pembahasan dan analisa masalah yang akan dilakukan melalui pendekatan dalil-dalil naqli (ayat-ayat Alqur’an dan hadist) serta dalil-dalil aqli dan berbagai pendapat para ulama dan beberapa dokumen tentang HAM. C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan umum dari penulisan ini adalah: 1. Untuk menjelaskan, memberi pemahaman dan mengangkat kepermukaan warga Indonesia bagaimana Islam mengatur tentang hukum pidana rajam, dan bagaimana HAM mengatur tentang pemidanaan. 2. Untuk menjelaskan dan memberi pemahaman kepada masyarakat tentang perbandingan dari pandangan hukum Islam dan HAM tentang pidana rajam. 3. Memberikan sumbangan pemikiran dan solusi titik terang antara perbedaan dan titik tengkar dari pandangan hukum Islam dan HAM tentang pidana rajam
14
D. Metode Penelitian Dalam penelitian ini pengumpulan data, pendekatan, dan analisa data dilakukan melalui: 1.
Jenis penelitian
Sesuai dengan sifatnya penelitian merupakan penelitian kulitatif, yaitu berupa kata-kata ungkapan, norma atau aturan-aturan serta doktrin. Adapun dalam bentuknya penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan masalah, mengumpulkan, menyusun, dan menyeleksi data penelitian, penelitian ini juga merupakan penelitian hukum normatif doktriner. 2.
Sumber data
Sumber data sekunder meliputi: a. Bahan hukum primer yaitu: KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Undang-undang, hasil deklarasi hukum Internasional tentang HAM. b. Bahan hukum sekunder yaitu: Al-Qur’an, Hadist dan buku-buku yang membahas langsung permasalahan yang dibahas oleh penulis. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh informasi yang diperlukan tentang masalah yang diteliti melalui studi dokumenter, yaitu merujuk kepada tulisan-tulisan ilmiah yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini. 4.
Teknik Analisis Data
15
Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif komparatif yaitu membandingkan antara beberapa sistem hukum khususnya antara hukum Islam dengan HAM dalam mengatur masalah pidana rajam.
E. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam urutan berfikir di dalam penganalisaan masalah dalam beberapa bab. Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah penelitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian. Bab II menguraikan pidana rajam menurut hukum Islam. Bab ini dimulai dengan pengertian rajam dan tarikh berlakunya rajam, kandungan Nash tentang pidana rajam, pandangan ulama tentang pidana rajam, yang mana menguraikan pendapat ulama yang setuju dengan pemberlakuan pidana rajam dan ulama yang tidak setuju dengan pemberlakuan pidana rajam dan beberapa uraian tentang pelaksanaan pidana rajam dalam hukum Islam dan pelaksanaan pidana rajam di Indonesia. Bab III membahas tentang konsep HAM Internasional terkait pemidanaan dan HAM dalam Islam. Pada bab ini membahas tentang pengertian HAM, latar belakang lahirnya HAM, kandungan HAM tentang konvensi anti penyiksaan dan hukuman mati, HAM di Indonesia,yang mana pada sub judul ini menguraikan tentang UU HAM di Indonesia, dan HAM dalamIslam.
16
Bab IV mengenai pengemukaan perbandingan hukum Islam dan HAM tentang pidana rajam. Maka pada bab ini penulis menguraikan titik persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan HAM tentang pidana rajam, kompatibelitas hukum tuhan dan aspek mashlahat yang terkandung dalam pidana rajam. Bab V merupakan bab penutup yang kemudian diisi dengan menarik kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini lalu dilanjutkan dengan mengemukakan beberapa saran yang dipandang perlu dalam mewujudkan hasil penelitian ini dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
BAB II PIDANA RAJAM MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Tarikh Berlakunya Pidana Rajam a.
Pengertian Pidana Rajam Rajam merupakan salah satu hukum pidana yang diterapkan dan diatur dalam
hukum Islam. Secara etimologi kata rajam berasal dari bahasa arab yang akar katanya )
ٌُْ سَج- ُُ ُ يَشج- َُ َ ( سَجyang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
melempar dengan batu ( ِي تِاٌْحِجَاسَج ٌ ِْ ) َس1. Adapun menurut istilah bahasa Indonesia kata rajam digunakan untuk arti hukuman siksa badan (karena berbuat maksiat berat)2.
Adapun defenisi rajam ditinjau dari sudut terminologi ialah hukuman yg berupa ditanam dalam tanah yang dilempari dengan batu sedang ( ٌ) حِجَاسَ ٌج ُِعْتَ َذٌَح sampai terhukum mati3. Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu oleh segenap warga yang menyaksikannya. Cara menghukum seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan hanya bila penerima hukuman
1
Atabik Ali A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Jogjakarta: Multi karya Grafika pondok krapyak, 1998), h. 962, dan lihat juga pada Darul Masriq Beirut, Kamus alMunjid fi al- lughah wa al A‟lam, (Beirut lebanon: Maktabah Syarqiyah, 1986), h. 252. 2 Pius A Partanto, M. Dahlan AL Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 650. 3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet ke-1, h. 32.
17
18
benar-benar terbukti dengan teramat meyakinkan melakukan sebuah larangan yang berat.
Rajam juga merupakan hukuman yang mengutuk pelakunya dari dosa yang besar untuk dicuci dan disucikan dari dosanya sebelum menghadap pada Pencipta. Seperti makna yang terkandung dalam kamus Al-munjid yang mana pidana rajam juga dapat diartikan sebagai
ٌجش ْ َ٘ َْٚ ا- طشْ ُد َ ْٚ َ ا- ٌُ ْْ شَتَٚ ا- ٓ ٌ ْ( ٌَعla‟nun, aw syatmun, aw
thardun, aw hijrun) yang berarti kutukan (laknat), caciaan atau celaan, pengusiran dan meninggalkan4. Allah mengharamkan perzinahan serta mengancam pelakunya apabila ia seorang yang belum pernah menikah dengan hukuman dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun sedangkan apabila pelakunya adalah seorang yang pernah menikah maka hukumannya adalah dirajam5, istilah muhshan diambil dari kalimat ihshan yang berarti suci yang secara istilah dapat disimpulkan orang baik laki-laki atau perempuan yang telah menikah6. Perzinahan di luar nikah adalah perkara yang sangat dikutuk oleh agama, tidak ubahnya zina adalah perbuatan yang sering dilakukan layaknya binatang atau hewan yang hidup tanpa aturan oleh karena itu hukuman dari zina bagi yang telah menikah itu sendiri dalam hukum Islam disebut dengan hukuman rajam sama seperti gelar syaitan yang diberikan kepada Allah
4
Darul Masriq Beirut, Kamus al-Munjid Fii al-Lughah wa al-A‟lam, (Beirut lebanon: Maktabah syarqiyah, 1986), h. 252. 5 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 88, yang dikutip dari As-San‟ani, Subul al-Salam, Jilid 4, h. 4. 6 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), cet ke-1, h. 31.
19
sebagai sifat yang membuat manusia menjadi terkutuk yaitu gelar Rajim yang berarti dilaknat atau terkutuk.
b. Tarikh Berlakunya Pidana Rajam
Membahas tentang pidana rajam jika kita menoleh kebelakang sebenarnya sudah ada sejak zaman para nabi dan rasul di masa lalu sebelum era umat nabi Muhammad SAW. Hukuman seperti itu berlaku secara resmi di dalam syariat Yahudi dan Nasrani7. Dan tidak dikutuk umat terdahulu kecuali karena mereka meninggalkan hukum dan syariat yang telah Allah tetapkan. Seperti apa yang telah tersirat dalam kitab suci Al-Qur‟an :
Artinya:
7
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah 44).
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 39, lihat juga pada Abujamin Roham, Pembicaraan disekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.
20
Allah SWT kemudian menghapus berbagai macam syariat yang pernah diturunkanNya kepada sekian banyak kelompok umat kemudian diganti dengan satu syariat saja, yaitu yang diturunkan kepada umat nabi Muhammad SAW. Namun ternyata Allah SWT masih memberlakukan hukuman rajam dari beberapa contoh yang dilakukan nabi Muhammad SAW terhadap pelaku zina yang telah menikah. Walaupun dengan pendekatan yang jauh lebih moderat dan manusiawi.
a. Pidana Rajam di Era Sebelum Nabi Muhammad
Hukum rajam pernah berlaku pada zaman nabi Musa A.S. Dalam Perjanjian Lama, Keluaran ayat 22 pasal 19 disebutkan8 :
Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati, laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel. Bahkan seorang gadis perawan pun ketika berzina harus dihukum mati yaitu dijatuhi hukuman rajam. Disebutkan dalam keluaran ayat 23 dalam pasal 19 dan surat yang sama Perjanjian Lama9 :
Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu 8
Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29. Lihat juga pada Al-Kitab, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Kitab Indonesia, 1995), h. 88. 9 Al-Kitab, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Kitab Indonesia, 1995), h. 88. Dan lihat pada Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.
21
lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengah mereka. Bahkan dizaman sebelum era Nabi Muhammad SAW wanita atau laki-laki yang kedapatan berzina dengan hewan atau binatang dapat dihukum mati dengan cara rajam karna itu ada pada kitab mereka yang berbunyi10 :
Siapa yang tidur (bersetubuh) dengan seekor binatang, pastilah dia dihukum mati (dirajam). (Keluaran 22:17). Dalam perjanjian lama juga disebutkan tentang ayat bagi seseorang yang menghujat Tuhan dapat dikenakan hukuman rajam pada masa itu seperti apa yang difirmankan pada perjanjian lama11 : Siapa yang menghujat Nama Tuhan, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu (rajam) oleh seluruh jemaat (Imamat ayat 18 pasal 28-29). Pada zaman nabi Isa dalam Kitab Perjanjian Baru perkara ini dibicarakan sebagaimana terkandung dalam Al-Kitab12: Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepadanya. Ia (Yesus) duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepadanNya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus. “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuanperempuan yang demikian (Pen: dirajam). Apakah pendapatMu tentang hal itu?”
10
Al-Kitab, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Kitab Indonesia, 1995), h. 88. Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 26. Dan lihat pada Al-Kitab, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Kitab Indonesia, 1995), h. 137. 12 Al-Kitab, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Kitab Indonesia, 1995), h. 131. 11
22
Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia (Yesus), supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menjalankanNya (Yohanes ayat 8 pasal: 2-7). Iapun (Yesus) bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu. (Yohanes 8:8) Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. (Yohanes 8:9-10) Dari ayat di atas sebenarnya Yesus hendak menegakkan hukum rajam seperti apa yang ada pada kitab sebelumnya (Taurat), tetapi tidak satupun ahli-ahli Taurat yang mau melakukannya karena tidak satupun yang merasa tidak berdosa13, semua orang pasti pernah berdosa, tetapi tentunya bukan karena dosa zina, sehingga dapat saja melakukan hukum rajam itu bagi penzina. Sebenarnya kunci permasalahan dalam hal ini adalah wanita itu belum dapat dihukum secara adil, sebab jika dia berzina, paling tidak laki-laki yang ikut berzina juga dihadapkan kepada Yesus, agar keduanya sama-sama dihukum pidana rajam secara adil sesuai hukum Taurat, jadi bukan hanya wanitanya saja yang dihukum lihat Perjanjian Lama kitab Ulangan 22:24 di atas14. Berdasar kepada dalil-dalil tersebut, setidaknya menjelaskan kepada kita bahwasanya hukuman rajam telah ada dan diberlakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani yang menjadi syariat yang berlaku sebelum Islam ٓ لَ ْثٍََٕا ْ َِ ع ٌ ْشش َ (syar‟un man
13
Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 27. 14 Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.
23
qoblana)15. Maka berdasarkan dalil-dalil tersebut baik dari Al-Qur‟an dan Hadist, maupun kitab umat Yahudi dan Nasrani menjelaskan bahwasanya rajam adalah jenis hukuman yang ditetapkan oleh Tuhan kepada umat karena telah ada dalam kitab masing-masing yang mesti diterapkan bagi pemeluknya bahkan Yahudi dan Nasrani sekalipun
b. Praktek Pidana Rajam di Masa Nabi Muhammad
Ketika era nabi Muhammad SAW sendiri pidana rajam dilestarikan sebagai sanksi hukuman zina muhshan16, di Madinah Rasulullah SAW pernah merajam lakilaki dan perempuan Yahudi yang berzina17. Hal iti karena pidana rajam telah ada dan diberlakukan semenjak zaman nabi Musa dan tertulis di kitab orang Yahudi dan Nasrani. Dalam hal ini As-Syafii dan Ahamad berpendapat bahwa islam bukan merupakan syarat ihshan untuk diberlakukannya pidana rajam bagi pelaku zina, sedangkan Abu Hanifah dah Malik berpegang bahwa Islam merupakan syarat untuk ihshan18.
15
Abdul Hamid Hakim, Ushul al-Fiqh, (Ponorogo: Darussalam Press, tnp), h. 52. Muhammad Abduh malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 88, lihat juga pada As- San‟ani, Subul al-Salam, Jilid 4, h. 4. 17 Lihat pada Ibnu Hajar Al-„Atsqolani (w. 852 H), yang dikembalikan oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), hadist No. 9, pada kitab Hudud, h. 272. 18 Ibnu Hajar Al-„Atsqolani (w. 852 H), yang dikembalikan oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), hadist No. 9, pada kitab Hudud, h. 272. 16
24
Disamping itu juga di masa Rasullullah banyak terjadi hukuman rajam yang dikenakan pada pemeluk yahudi dan Islam termasuk pada sahabat-sahabat Nabi sendiri yang mengakui akan dosanya seperti yang terjadi pada kisah Ma‟iz bin Malik19 yang mana dalam riwayat yang lengkap bahwa Ma‟iz bin Malik datang kepada Rasulullah saw. Dan berkali-kali mengaku bahwa dia telah berzina, Maka rasulullah saw memerintahkan untuk merajamnya20. Disamping kisah Ma‟iz juga terdapat kisah perempuan yahudi yang datang kepada Nabi dan mengakui akan perbuatan zina nya terhadap laki-laki sedangkan perempuan yahudi itu telah menikah, adapun dalam salah satu kitab perempuan itu bernama juhainah21, maka dengan pengakuan dan berdasarkan apa yang ada pada kitabnya maka Rasulullah menghukumnya dengan pidana rajam. Banyak sarjana yang telah berkata karena tidak ada dalam ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang hukuman rajam sampai mati, maka hukuman ini tidak dapat
19
Lihat pada keterangan Hadist No. 1233-1234 dalam A. Hassan, Tarjamah Bulugul Maram, (Bandung: Diponogoro, 1999), h. 552, dan juga lihat pada Ibnu Hajar Al-„Atsqolani (w. 852 H), yang dikembalikan oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), hadist No. 9, pada kitab Hudud, h. 272 20 Lihat pada keterangan Hadist No. 1233-1234 dalam A. Hassan, Tarjamah Bulugul Maram, (Bandung: Diponogoro, 1999), h. 552. 21 Lihat pada catatan kaki No. 5, yang terdapat dalam Ibnu Hajar Al-„Atsqolani (w. 852 H), yang dikembalikan oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), hadist No.8 dan 9, pada kitab Hudud, h. 272
25
dibenarkan. Hal ini persis seperti yang telah diduga oleh khalifah Umar bin Khatab22 yang secara kandungan isi:
ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ حَّذًا َ ُِ ج َ َهلل لَ ْذ َتع َ إَِْ ا: فََاي خّطَةَ ل َ ُٗ ََّٔهلل عَْٕ ُٗ أ ُ خّطَابِ سَظِيَ ا َ ٌٓ ا ِ ْع َّشَ ات ُ ٓ ِ ْعَْٓ اِت َُ ََعَ َمٍَْٕاَ٘ا َفشَجٚ َعَيَْٕاَ٘اَٚٚ عٍَيِْٗ أَيَحَ اٌشَجْ ُِ َل َشأَْٔاَ٘ا َ ي َ ْ فِ ْيَّا اأَ ْٔ َض َ ب َفىَا َ عٍَيْ ِٗ اٌىِتَا َ ي َ أَ ْٔ َضَٚ ك ِح َ ٌْسٍَ َُ تِا َ َٚ َْٝ حَت ٌ ي تِا ٌَٕاطِ َصَِا َ ْٛ ُْ َتّط ْ َخشِيْتُ ا َ صشٌ ٌَمَ ْذ ْ َ ع,َُٖجَّْٕا َتعْذ َ َسَٚ َُ ٍّس َ َٚ ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ هلل ِ يُ اْٛ َُسس َُ ْ أَالَ أََْ اٌشَج, هلل ُ ن َفشِ يْطٍَج ِاَ أَ ْٔ َضيَ ا ِ ْا ْتبِ ُشٍُٛع ِ َهلل فَي ِ وِتَا بِ اٝ ِ ال َٔجِذُ ايَ ًح َِِٓ اٌشَجُِْ ف َ ً ٌ ي لَا ِئ َ ْٛ ُيَم , ُبي ْ َت اٌح ِ ََٔ واْٚ َ أ, ُت اٌثَيِٕح ِ ََِاٌ ِٕسَاءِ إِرَا لَاٚ ي ِ ْ إرَا أَحْصََٓ َِِٓ اٌشِجَاَٝٔ ِْٓ صٝ َ ٍَك ع ٌح َ هلل ِ وِتَابِ اِٝف )ٍُِس ْ ُِ َٚ ٜا ٖ اٌثخاسٚف (س ُ إل عْ ِتشَا ِ ِ اٚ َأ Artinya:
Diriwayatkan oleh ibnu Umar Bin Khatab r.a berkata; Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan sebenar-benarnya dan menerunkan kepadanya kitab suci (Al-Qur‟an) maka dari sebagian yang diturunkan kepadanya adalah ayat tentang rajam dan kami membacanya, memeliharanya dan mencernanya maka Rasulullah SAW pun memberlakukan rajam dan kami melakukan setelahnya, aku khawatir bahwa telah berlalu waktu yang panjang, ada orang yang mungkin akan berkata; “kami tidak menemukan ayat tentang hukum rajam dalam Kitabullah”, sehingga akibatnya mereka akan tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah diwahyukan Allah, ketahuilah bahwasanya hukuman rajam itu benar di dalam kitab Allah ditimpakan atas orang yang melakukan hubungan kelamin yang terlarang (berzina) sedangkan dia telah menikah dari laki-laki dan wanita, dan perbuatan itu dibuktikan oleh saksi-saksi,adanya kehamilan, atau pengakuan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menelaah akan hadist di atas adalah sebuah keharusan bagi umatnya untuk menegakkan pidana rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah, sebagaimana hal
22
Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 107, hadist no: 3201. Lihat juga pada Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 41 yang dikutip dari CD Holy Qur‟an dan Hadist, Kumpulan Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, Th 2002, Hadist, No. 997 lihat juga pada Muhammad Abduh Malik Op. Cit, h. 89, yang dikutip dari As-San‟ani, Subul al- Salam, Jilid. 4, h. 8. Dan Sayid Sabiq, fiqh al- Sunnah, Jilid. 2, h. 374.
26
yang telah dilaksanakan oleh Rasul sendiri dan para Shahabat di zaman awal mula Islam dan juga sebagaimana bentuk kekhawatiran seorang sayyidina Umar bin Khatab dan „Abbas akan hilangnya hukuman rajam dari muka bumi karena banyak dari kaum muslim sendiri telah melupakannya23. Hal berikut adalah kulasan tentang perguliran dari pemberlakuan pidana rajam dari zaman pra Islam maupun sebelum Islam dan beberapa isyarat dari hadist tentang kekhawtiran akan kemunduran dan hilangnya pidana rajam dalam syariat Islam.
c. Praktek Pidana Rajam di Masa Shahabat
Pidana rajam adalah hukuman yang masih dilestarikan pemberlakuannya pada zaman setelah wafat nya nabi Muhammad saw. Pada masa Umar bin Khatab khalifah yang ke-3 ini mengalami kekhawatiran akan hilangnya pidana rajam ini karena dinasakh dari Al-Qur‟an sehingga banyak golongan yang meninggalkannya dan tidak memberlakukannya lalu kemudian Umar bin Khatab setelah menunaikan ibadah haji di akhir hajinya yang beliau lakukan beliau berdiri di atas mimbar dan berkhutbah dengan khutbah yang panjang untuk menyampaikan perintah rasul tentang ayat rajam dan pesan tentang pemberlakuan pidana rajam24.
23
Muhammad Abduh Malik, Perilaku ZinaMenurut Pandangan hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 89 yang di kutip dari as-San‟ani, Subul al- Salam, Jilid. 4, h. 8. Dan Sayid Sabiq, fiqh al- Sunnah, Jilid. 2, h. 374 24 Imam Al- Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), Jilid 1&2, cet ke-1, h. 546, hadist No, 1037, hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari, hadist No. 6830, lihat juga pada catatan kaki No. 1, h. 271, pada Ibnu Hajar Al-„Atsqolani (w. 852 H), yang dikembalikan oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughub al-Maram min Adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H)
27
Pada masa Ali bin Abi Thalib diriwayatkan pernah memberlakukan pidana rajam pada zaman ketika beliau menjadi khalifah ke-4. Pidana rajam tersebut dilakukan terhadap perempuan yang bernama Surakhah karena telah berbuat zina namun perempuan tersebuat adalah perempuan yang telah menikah, lalu kemudian khalifah Ali bin Abi Thalib menghukum cambuk Surakhah pada hari kamis lalu merajamnya pada hari jumat25. Al-Hazimi (w. 584 H), Ahmad (w. 241 H), Ishaq (w.212 H), Daud (w. 275 H) sepakat akan penggabungan hukum tersebut sebagaimana shahabat Ali bin Abi Thalib lakukan26. Beliau mempertahankan pendapatnya bahwa dia mencambuk sesuai dengan perintah Allah lalu merajamnya sesuai dengan perintah Rasulullah27. Dalam hal ini Ali bin Abi Thalib menggabungkan memandang dera seratus kali adalah perintah dan hak Allah dan merajamnya karena sunnah Rasulullah seperti apa yang dipaparkan dalam hadist di bawah28:
لَ ْذَِْٕٝا عُٚ خُزَِْٕٝا عُٚ خُز: َُ ٍَس َ َٚ ِٗ ٌَِاٚ ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ هلل ِ يُ اْٛ ُ لَايَ َسس: ي َ ت لَا ِ ِِ ٓ اٌصَا ُ ْٓ عُثَادَج ت ْ َع ٖاَٚاٌشَجَ ُِ (سٚ جٍْ ُذ ِِائَ ٍح َ ة ِ ِة تِاٌخَي ُ َّاٌخَيٚ ُ سََٕ ٍحََْٝٔفٚ جٍْ ُذ ِِا ئَ ٍح َ ْاٌِث ْى ُش تِاٌْ ِث ْى ِش.َُٓ سَثِ ْيًٍاٌَٙ ُج َعًَ اهلل َ )إٌسائيٚ ٜاٌجّاعح اال اٌثخاس
25
Abdurrahman I, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta Jakarta,1991.Hal 36-37. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit, h. 35, lihat juga pada Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 89 yang di kutip dari as-San‟ani, Subul al- Salam, Jilid. 4, h. 8. Dan Sayid Sabiq, fiqh al- Sunnah, Jilid. 2, h. 374. 27 Abdurrahman I. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 3637. 28 Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 108, hadist no: 3211, lihat jg pada A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: Diponorogo, 1999), hadist No. 1232, h. 550. 26
28
Artinya:
Dari ubaidah ibn Ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (penzina). Jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda dera seratus kali dan rajam. (diriwayatkan oleh jama‟ah: Muslim, Abu daud dan Tirmidzi, kecuali Bukhari dan Nasa‟i dalam lafadz yang berbeda).
d. Praktek Pidana Rajam di Indonesia Sejauh ini pidana rajam pernah diberlakukan di Indonesia khususnya pada kota Ambon seperti apa yang telah diuraikan oleh Abduh malik (Dosen UIN Syarif Hidayaullah) tentang pelaksanaan rajam di Ambon29. Pada tanggal 27 maret 2001, terhadap Abdullah (31) ayah dari tiga anak salah satu anggota laskar jihad ahlu sunnah wal jamaah. Abdullah yang menjabat sebagai anggota laskar jihad ahlu sunnah wal jama‟ah ini melakukan perbuatan zina muhshan secara paksa setelah saling berkirim surat oleh seorang gadis (13) yang bekerja sebagai pengasuh bayi yang tinggal di gang ponegoro ambon30. Setelah perbuatan Abdullah diketahui maka berdasarkan musyawarah para penasehat laskar jihad ahlu sunnah wal jama‟ah pun menghukumnya dengan pidana rajam. Eksekusi ini dilakukan pada tanggal 27 maret 2001, yang dipimpin oleh Ustadz Ja‟far Umar Thalib (pemimpin laskar jihad)31. Dari berita ini diketahui
29
Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 223. 30 Harian Republika, pada bulan Mei, 11 dan 12 mei 2001. 31 wawancara Abduh Malik terhadap saudara Hardi Ibnu Harun, kepala devisi penerangan laskar jihad ahlu sunnah wal jamaah, pada hari kamis, 28 juni 2001, jam 11.30-13.00WIB.di kantor laskar jihad ahlu sunnah wal jamaah, jalan cempaka putih tengah 26 B No. 78, Jakarta pusat, lihat pada Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Menurut Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 223.
29
bahwasanya masih ada umat Islam yang sejati memeluk hukum agamanya dengan memberlakukan pidana rajam bagi anggotanya yang melakukan zina muhshan. Hal ini diyakini oleh para kelompok laskar jihad ahlu sunnah wal jama‟ah karena lebih baik dan lebih mempunyai nilai mashlahat bagi masyarakat yang mana bukan hanya mematuhi perintah Al-Qur‟an dan sunnah namun juga sebagai pembersihan dan pensucian bagi pelaku dan masyarakat sekitarnya.
B. Kandungan Nash tentang Pidana Rajam
Syariat Islam mengatur rajam sebagai mana hukum terdahulu sebelum Islam mengatur dan memberlakukannya (syar‟un qoblana)32, yang mana semua itu ditujukan karena kepatuhan seluruh umat Islam terhadap ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah „azza wa jalla jalaaluhu. Kepatuhan tersebut memang karena telah ada ketentuan tentang dalil-dalil yang mengharuskan umat Islam untuk memberlakukan pidana rajam. Seperti apa yang telah diterangkan di atas bahwasanya hukuman rajam dikenakan pada pelaku zina Muhshan (orang yang telah menikah) hal ini telah ditegaskan dalam hadist nabi Muhammad saw yang berbunyi33 :
32
Abdul Hamid Hakim, Ushul al-Fiqh, (Ponorogo: Darussalam Press dan Maktabah Sa‟adiyah Peteran,1927), h. 52. 33 Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 108, hadist no: 3211, lihat juga pada Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 42 Hadist yang dikutip dari CD Holy Qur‟an da Hadist Riwayat Buhkari dan Muslim Th. 2002.
30
لَ ْذَِْٕٝا عُٚ خُزَِْٕٝا عُٚ خُز: َُ ٍَس َ َٚ ِٗ ٌَِاٚ ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ هلل ِ يُ اْٛ ُ لَايَ َسس: ي َ ت لَا ِ ِِ ٓ اٌصَا ُ ْٓ عُثَادَ َج ت ْ َع ٖاَٚاٌشَجْ ُِ (سٚ جٍْ ُذ ِِائَ ٍح َ ة ِ ِة تِاٌخَي ُ َّاٌخَيٚ ُ سََٕ ٍحََْٝٔفٚ جٍْ ُذ ِِا ئَ ٍح َ ْاٌِث ْى ُش تِاٌْ ِث ْى ِش.َُٓ سَثِ ْيًٍاٌَٙ ُج َعًَ اهلل َ )إٌسائيٚ ٜاٌجّاعح اال اٌثخاس Artinya: Dari ubaidah ibn Ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (penzina). Jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda dera seratus kali dan rajam. (diriwayatkan oleh jama‟ah: Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi kecuali Bukhari dan Nasa‟i). Sebagaimana kita ketahui bahwasanya salah satu dari fungsi hadist adalah juga sebagai tafsir atau bayan dari ayat Al-Qur‟an atau keterangan yang berupa perincian dari ayat Al-Qur‟an yang bersifat global34. Dalam hadist ini menjelaskan tentang ketentuan hukuman cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah sebanyak seratus kali dera, adapun pelaku zina yang telah menikah di hukum dengan hukuman rajam35. Hadist ini menjelaskan tentang kandungan Nash Al-Qur‟an yang berbunyi :
Artinya:
34
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana), h. 94. 35 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana), h. 88, kemudian liat juga Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 39.
31
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.36(QS. An Nuur : 2) Dalam ayat ini juga dijelaskan selain hukuman cambuk dan rajam yang dikenakan pada pelaku disamping itu juga ada kesempurnaan hukuman yang mana mesti tidak ada belaskasihan terhadap pelaku dan disaksikan orang banyak, hal ini merupakan bagian dari hukuman tersebut yang mempunyai daya pencegahan untuk yang lainnya37. Dan ayat lain yang berkaitan dengan hal ini antara lain :
Artinya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An-Nisa‟: 65).
Surat An-Nisaa‟ ayat 15
36
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Dep. Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, 1985), h. 543. 37 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Satelit Buana, Bulan Bintang, 2003), h. 14.
32
Artinya:
dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji38, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya39.(Q.S. AnNisa‟:15)
Ayat ini juga menjelaskan tentang para utusan Allah dari para nabi yang memimpin umat nya dengan segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah pada mereka, namun dikala itu umat mereka menerima dan memberlakukan hukum rajam dalam bermasyarakat. Bahkan dalam kitab injil sekalipun Allah telah memberlakukan hukum rajam tersebut sama hal nya sepeti hukum salib sampai mati, namun kebanyakan hal tersebut tidak dihiraukan oleh pemeluknya untuk dijadikan hukum agama seperti apa yang di jelaskan dalam Al-Qur‟an :
Artinya:
38
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS. Al-Maidah : 47).
Perbuatan keji: menurut jumhur mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut Pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homo sek dan yang sejenisnya. menurut Pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homoseks antara wanita dengan wanita). Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Op, Cit, No. 275 39 Menurut jumhur mufassirin jalan yang lain itu itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nuur. Lihat Ibid, No. 276
33
Pengikut Injil itu diharuskan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalam Injil sampai pada masa diturunkan Al-Qu‟ran. Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam40: a) karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah, orang yang semacam ini kafir (surat Al Maa-idah ayat 44). b) karena menurut hawa nafsu dan merugikan orang lain dinamakan zalim (surat Al Maa-idah ayat 45). c) karena dirinya telah fasik (Al-Maa-idah ayat 47). Di antara dalil dan aturan yang mengarahkan umat Islam untuk melaksanakan pidana rajam adalah dalil dari hadist nabi muhammad SAW yang berupa hadist41 fi‟liy dan Qouly yang berbunyi :
جٍْذًا ِ ٌَُ ُْ يَ ْز ُوشَٚ ه ِ ٌِٓ َِا ُ ْع َض ت ِ سَجَ َُ َِا: َُ ٍَس َ َٚ ٗصٍَي اهلل عٍي َ ي اهلل َ ْٛ ُس ّْشَجَ اَْْ َسس َ ُْٓٓ جَا ِتشْ ات ْ َعٚ Artinya: Tentang jabir ibnu samarah berrkata bahwasanya Rasulullah SAW melakukan rajam terhadap Ma‟iz bin Malik dan beliau tidak mengungkit tentang hukuman cambuk (dera seratus kali) (HR. Muslim)42.
40
Kata sambutan Bismar Siregar (mantan Hakim Agung R.I) pada buku Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap persamaan dan perbedaan Antara Islam dan Barat,(Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed ke-1, h. xiii 41 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 43. 42 Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 107, hadist no: 3205, lihat juga pada Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet ke-1, h. 30. Lihat juga pada Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 45.
34
Dan hadist ini menjelaskan tentang apakah tidak perlu hukuman cambuk untuk pelaku yang akan dirajam, karena pada akhirnya pelaku akan mengalami kematian. Berikut dalil lain yang mewajibkan untuk merajam penzina muhshan43 :
ََ ً د ُح ِ َال ي َ َُ ٍَس َ ٚ ِْٗعٍَي َ اهللٍَٝص َ ي اهلل ُ ْٛ ُ لَايَ َسس: اهلل عَْٕ ُٗ لَايٝ َ ِٓ عَثْذِ اهلل سَظ ْ ِِ ْقُٚسش ْ َِ ٓ ْ َع )ٍُاٖ ِسٚجَّا عَ ِح (س َ ٌْٓ ا ِ ًَ ُِشْتَ ٌذ ع ٌج ُ َ س, ً ٌ ً لَا ِت ٌج ُ َ س, ْ ٍ جًٌ صَا ُ َ س: ث ٍ ال َ ٓ َح ْ ِِ سٍِّا إالَ ٌَِأ حَ ٍذ ْ ُِ Artinya: Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah (HR. Muslim). Dan hadist yang diriwayatkan oleh „Aisyah salah satu istri Rasulullah saw44:
َٜال تِإِحْذ َ ِسٍٍُِ إ ْ ُِ ً َ ً لَ ْت ُح ِ َ الَي: ي َ سٍَ َُ لَا َ ٚ ِْٗعٍَي َ اهللٍَٝص َ ِيِ اهللْٛ َُا عَْٓ َسسْٕٙ َهلل ع ُ ٓ عَا ِئشَحَ سَظِيَ ا ْ ََعٚ َِ َسال ْ إل ِ د َِِٓ ا ُ ُخش ْ ًَ ي ٌج ُ َسَٚ ,ًُسًٍِّا ُِ َت َعِّذًا فَيُمْ َت ْ ُِ ً ُ ً يَمْ ُت ٌج ُ َسَٚ ,َُُٓ فَ ُيشْج ٌ َْ ُِحْص ٍ صَا:ٍث خِصَاي ِ ََحال ُٗ ََصَحَّحٚ اٌ َٕسَائٚ ُ َدٚ دَاَُٛاُٖ أَتَٚض (س ِ ْألس َ َِِٓ اَٝ يُْٕفْٚ صٍّةُ أ ْ ُ يْٚ ٌََ ُٗ فَيُمْ َتًُ أْٛ ُ َسسَٚ هلل َ فَيُحَاسِبُ ا .ُُِاٌحَاو Artinya: Dari „Aisyah r.a, dari Rasulullah saw. Bersabda: tidak halal membunuh seorang muslim melainkan lantaran tiga perkara: muhshan yang berzina maka dirajam dia, dan seorang muslim yang membunuh seorang muslim dengan sengaja maka dia dibalas dengan dibunuh, dan seorang laki-laki yang keluar dari Islam kemudian memerangi Allah dan Rasul-Nya maka
43
Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 107, hadist no: 4194, Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta, Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 95. 44 Abu Daud Sulaiman Ibnu Al-Asy‟ast Al-Sajsatany w 275 H, Sunan Abu Daud, yang ditulis oleh Sidqi Muhammad Jamal, (Darul Fikri: juz ke 3, 1994), h. 135, hadist no: 4243, lihat juga pada Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati alAhkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), hadist No. 2 pada kitab jinayat, h. 254.
35
dibunuhlah dia atau disalib atau dibuang dia dari tanah airnya. (HR. Abu Daud dan Nasa‟i dan disahkan oleh Hakim)45. Hadist ini menjelaskan bahwa hukuman pelaku zina Muhshan darahnya dihalalkan atau pantas untuk dihukum mati. khalifah Umar bin Khatab46 berkhutbah ketika selesai menunaikan ibadah hajinya di atas minbar di hadapan para shahabat:
ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ حَّذًا َ ُِ ج َ َهلل لَ ْذ َتع َ إَِْ ا: فََاي خّطَةَ ل َ ُٗ ََّٔهلل عَْٕ ُٗ أ ُ خّطَابِ سَظِيَ ا َ ٌٓ ا ِ ْع َّشَ ات ُ ٓ ِ ْعَْٓ اِت َُ ََعَ َمٍَْٕاَ٘ا َفشَجٚ َعَيَْٕاَ٘اَٚٚ عٍَيِْٗ أَيَحَ اٌشَجْ ُِ َل َشأَْٔاَ٘ا َ ي َ ْ فِ ْيَّا اأَ ْٔ َض َ ب َفىَا َ عٍَيْ ِٗ اٌىِتَا َ ي َ أَ ْٔ َضَٚ ك ِح َ ٌْسٍَ َُ تِا َ َٚ َْٝ حَت ٌ ي تِا ٌَٕاطِ َصَِا َ ْٛ ُْ َتّط ْ َخشِيْتُ ا َ صشٌ ٌَمَ ْذ ْ َ ع,َُٖجَّْٕا َتعْذ َ َسَٚ َُ ٍّس َ َٚ ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ هلل ِ يُ اْٛ َُسس َُ ْ أَالَ أََْ اٌشَج, هلل ُ ن َفشِ يْطٍَج ِاَ أَ ْٔ َضيَ ا ِ ْا ْتبِ ُشٍُٛع ِ َهلل فَي ِ وِتَا بِ اٝ ِ ال َٔجِذُ ايَ ًح َِِٓ اٌشَجُِْ ف َ ً ٌ ي لَا ِئ َ ْٛ ُيَم , ُبي ْ َت اٌح ِ ََٔ واْٚ َ أ, ُت اٌثَيِٕح ِ ََِاٌ ِٕسَاءِ إِرَا لَاٚ ي ِ ْ إرَا أَحْصََٓ َِِٓ اٌشِجَاَٝٔ ِْٓ صٝ َ ٍَك ع ٌح َ هلل ِ وِتَابِ اِٝف )ٍُِس ْ ُِ َٚ ٜا ٖ اٌثخاسٚف (س ُ إل عْ ِتشَا ِ ِ اٚ َأ Artinya: Diriwayatkan oleh ibnu Umar Bin Khatab r.a berkata; Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan sebenar-benarnya dan menerunkan kepadanya kitab suci (Al-Qur‟an) maka dari sebagian yang diturunkan kepadanya adalah ayat tentang rajam dan kami membacanya, memeliharanya dan mencernanya maka Rasulullah SAW pun memberlakukan rajam dan kami melakukan setelahnya, aku khawatir
45
Abu Daud Sulaiman Ibnu Al-Asy‟ast Al-Sajsatany w 275 H, Sunan Abu Daud, yang ditulis oleh Sidqi Muhammad Jamal, (Darul Fikri: juz ke 3, 1994), h. 135, hadist no: 4243, lihat juga A. Hassan,Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-„Atsqalani, (Bandung: Diponogoro, 1999), cetakan ke-23, hadist No. 1188, h. 521. Lihat juga pada Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 271, hadist No. 5 pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 1 dan 2. 46 Abu Hasan Nur Addin Muhammad Ibnu Abdul Hadi Assanadi w 1138 H, Shahih Bukhari, (Beirut Libanon: Darul Kutub Ilmiah, 1998), h. 338, hadist no: 4560, lihat juga Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 41 yang dikutip dari CD Holy Qur‟an dan Hadist, Kumpulan Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, Th 2002, Hadist, No. 997 lihat juga pada Muhammad Abduh Malik Op. Cit, h. 89, yang dikutip dari As-San‟ani, Subul al- Salam, Jilid. 4, h. 8. Dan Sayid Sabiq, fiqh al- Sunnah, Jilid. 2, h. 374.
36
bahwa telah berlalu waktu yang panjang, ada orang yang mungkin akan berkata; “kami tidak menemukan ayat tentang hukum rajam dalam Kitabullah”, sehingga akibatnya mereka akan tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah diwahyukan Allah, ketahuilah bahwasanya hukuman rajam itu benar di dalam kitab Allah ditimpakan atas orang yang melakukan hubungan kelamin yang terlarang (berzina) sedangkan dia telah menikah dari laki-laki dan wanita, dan perbuatan itu dibuktikan oleh saksi-saksi,adanya kehamilan, atau pengakuan”. (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu, sesungguhnya hukuman rajam ini pernah diperintahkan di dalam Al-Quran, namun lafadznya dihapus tapi perintahnya tetap berlaku47. Khalifah Umar bin Al-Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al-Quran yang pernah diturunkan dan isinya48 adalah :
ِال َِِٓ اهلل ً َْ َُّ٘ا اٌثَتَ ُح َٔىاُّٛج ُ َْاٌشَيْخَحُ إِرَا صََٔيَا فَاسٚ خ ُ ْاٌشَي Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina maka rajamlah sebagai balasan dari Allah. Namun lafadz ayat tersebut kemudian dinasakh (dihapus) tetapi hukumnya tetap berlaku hingga hari kiamat. Sehingga bisa dikatakan bahwa pidana rajam dilandasi bukan hanya dengan dalil Sunnah, melainkan dengan dalil Al-Quran juga.
Dari ayat Al-Qur‟an dan Hadist yang dinasakh maupun tidak ini menunjukan bahwasanya di zaman nabi Muhammad banyak terdapat hukuman rajam yang dijatuhkan pada para sahabat yang telah mengakui melakukan perbuatan zina 47
Pendapat al-San‟ani, Subul as-Salam, Jilid 4, h.5-6, dan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. 2, h. 350 yang dikutip dalam bukunya Muhammad Abduh malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 102. 48 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 47, lihat juga pada catatan kaki No.2 pada Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughu al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 271.
37
muhshan. Hadist di atas menunjukkan bahwasanya hukum Islam sangatlah adil dan dikenakan bagi siapa saja tanpa pandang bulu bahkan sampai pada sahabat terdekat Nabi sekalipun. Hal di atas adalah beberapa kandungan Al-Qur‟an dan Sunnah yang menjelaskan sekaligus memerintahkan untuk memberlakukan hukuman rajam. C. Pandangan Ulama tentang Pemberlakuan Pidana Rajam
a. Ulama yang setuju dengan pemberlakuan Pidana Rajam
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati terutama Al-Mazhahib AlArba‟ah (Mazhab yang empat)49 yaitu mazhab Hanafi, maliki, Syafi‟i dan Hambali. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW yang secara umum yaitu :
ََ ًَ د ُح ِ َال ي َ َُ ٍَس َ ٚ ِْٗعٍَي َ اهللٍَٝص َ ي اهلل ُ ْٛ ُ لَايَ َسس: اهلل عَْٕ ُٗ لَايٝ َ ِٓ عَثْذِ اهلل سَظ ْ ِِ ْقُٚسش ْ َِ ٓ ْ َع )ٍُاٖ ِسٚجَّا عَ ِح (س َ ٌْٓ ا ِ ًَ ُِشْتَ ٌذ ع ٌج ُ َ س, ً ٌ ً لَا ِت ٌج ُ َ س, ْ ٍ جًٌ صَا ُ َ س: ث ٍ ال َ ٓ َح ْ ِِ سٍٍُِ االّ ٌَِا حَ ٍذ ْ ُِ Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah (HR. Muslim)50. Dan hadist yang diriwayatkan oleh „Aisyah salah satu istri Rasulullah saw51: 49
Catatan kaki No.7, pada hadist No.2 dalam kitab hudud di dalam buku Ibnu Hajar Al„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughu al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 270. 50 Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 107, hadist no: 4194 51 Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughu al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), hadist No. 2 pada kitab jinayat, h. 254.
38
َٜال تِإِحْذ َ ِسٍٍُِ إ ْ ُِ ً َ ً لَ ْت ُح ِ َ الَي: ي َ سٍَ َُ لَا َ ٚ ِْٗعٍَي َ اهللٍَٝص َ ِيِ اهللْٛ َُا عَْٓ َسسْٕٙ َهلل ع ُ ٓ عَا ِئشَحَ سَظِيَ ا ْ ََعٚ َِ َسال ْ إل ِ د َِِٓ ا ُ ُخش ْ ًَ ي ٌج ُ َسَٚ ,ًُسًٍِّا ُِ َت َعِّذًا فَيُمْ َت ْ ُِ ً ُ ً يَمْ ُت ٌج ُ َسَٚ ,َُُٓ فَ ُيشْج ٌ َْ ُِحْص ٍ صَا:ٍث خِصَاي ِ ََحال ُٗ ََصَحَّحٚ اٌ َٕسَائٚ ُ َدٚ دَاَُٛاُٖ أَتَٚض (س ِ ْألس َ َِِٓ اَٝ يُْٕفْٚ صٍّةُ أ ْ ُ يْٚ ٌََ ُٗ فَيُمْ َتًُ أْٛ ُ َسسَٚ هلل َ فَيُحَاسِبُ ا .ُُِاٌحَاو Artinya: Dari „Aisyah r.a, dari Rasulullah saw. Bersabda: tidak halal membunuh seorang muslim melainkan lantaran tiga perkara: muhshan yang berzina maka dirajam dia, dan seorang muslim yang membunuh seorang muslim dengan sengaja maka dia dibalas dengan dibunuh, dan seorang laki-laki yang keluar dari Islam kemudian memerangi Allah dan Rasul-Nya maka dibunuhlah dia atau disalib atau dibuang dia dari tanah airnya. (HR. Abu Daud dan Nasa‟i dan disahkan oleh Hakim)52. Dalam Al-Qur‟an ayat rajam tak tercantum. Namun seperti apa yang telah dibahas di atas dalam kandungan Nash Al-Qur‟an mengenai rajam, sejumlah kitab fikih menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu temaktub dalam Al-Qur‟an. Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan namun hukumnya tetap berlaku (naskh al-rasm wa baqa‟ al-hukm) yaitu lafadznya ditiadakan namun hukumnya tetap diberlakukan53. Menurut Ismaily Ayat tersebut berbunyi54:
ِال َِِٓ اهلل ً َْ َُّ٘ا اٌثَتَ ُح َٔىاُّٛج ُ َْاٌشَيْخَحُ إِرَا صََٔيَا فَاسٚ خ ُ ْاٌشَي
52
Abu Daud Sulaiman Ibnu Al-Asy‟ast Al-Sajsatany w 275 H, Sunan Abu Daud, yang ditulis oleh Sidqi Muhammad Jamal, (Darul Fikri: juz ke 3, 1994), h. 135, hadist no: 4243 lihat A. Hassan,Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-„Atsqalani, (Bandung: Diponogoro, 1999), cetakan ke-23, hadist No. 1188, h. 521. Lihat juga pada Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 271, hadist No. 5 pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 1 dan 2. 53 Kulliyat Al-Mu‟allimin Al-Islamiah, al-Bayan fi „Ilmi Ushul al-Fiqh, (Ponorogo: Darussalam press, 1998), h. 76. 54 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 101-102, yang dikutip dari As-San‟ani, Subul as-Salam, Jilid 4, h. 5-6, dan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, h. 350.
39
laki-laki tua dan perempuan tua sekaligus, sebagai balasan dari Allah.
yang berzina, maka rajamlah secara
Hal ini ditambahkan oleh An-Nasa‟i dalam buku Muhammad Abduh malik bahwasanya ayat tersebut tepatnya berada dalam surat Al-Ahzab, kemudian dalam Al-Muwattha juga mencantumkan hadist itu bersumber dari Yahya bin Said dari Ibnu Musayyab.
Ayat dan hadist berikut inilah yang menjadi pegangan para ulama pendukung hukum rajam. Sebuah hadits menyebutkan,
ت ِ َٔ وَاْٚ َ أ,ُت اٌثَيِٕح ِ َِ لَذْ أَحْصََٓ إِرَا لَاَٚ ٝ َ َٔ ِْٓ صٝ َ ٍَهلل ع ِ وِتَا ب اٝك ف ٌح َ َُ إَْ اٌشَج............. )ٜاٖ اٌثخا سٚف (س ُ إل عْ ِتشَا ِ ِ اَٚ أ, ُبي ْ َاٌح Artinya: Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diperlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina (HR. Bukhari)55. Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan sejarah pemberlakuannya sampai masa Rasulullah wafat hukuman rajam masih diberlakukankan dan dilestarikan sampai pada masa khilafah Ali bin abi Thalib dan seterusnya, maka dengan adanya Sunnah Nabawiyyah dan Atsar dari para sahabat maka ulama beserta jumhur bergegas bahwasanya Pidana rajam adalah perintah Allah dan Rasul nya, yang mana ini merupakan Syariat Islamiyah yang mesti dipertahankan. Seperti di sampaikan di atas
55
Abu Hasan Nur Addin Muhammad Ibnu Abdul Hadi Assanadi w 1138 H, Shahih Bukhari, (Beirut Libanon: Darul Kutub Ilmiah, 1998), h. 338, hadist no: 4560.
40
walau dalam Al-qur‟an tidak tertera tentang ayat rajam namun dahulu ayat tersebut pernah ada, seperti apa yang disampaikan di awal.
b. Ulama yang tidak setuju dengan Pemberlakuan Pidana Rajam Kelompok Mu‟tazilah dan Khawarij berpendapat bahwasanya ayat atau hadist yang menegaskan tentang pidana rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-Qur‟an (al-Nur: 2), yaitu :
Artinya:
Pezina perempuan dan laki-laki, pukullah sebanyak seratus kali dera. Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman (Q.S.An-Nuur;2).
Memang
Al-Qur‟an
sendiri
seperti
dalam
Mushaf
Utsmani,
tidak
membedakan antara zina muhshan dan ghair muhshan. Pertimbangan ini sekalipun hadir dengan argumen yang dipertimbangkan oleh kaum Khawarij dan Azariqah sebagai salah satu argumen untuk menolak penerapan pidana rajam56.
Dapat dikatakan pendapat kelompok ini bahwa ayat yang terkait dengan sanksi hukum seperti rajam merupakan fikih jinayat Al-Qur‟an yang pada tingkat
56
35.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h.
41
implementasinya tak otomatis bisa dijalankan. Artinya, umat Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibnu Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan meninggal dunia57. Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal (al-hadd ala`la) yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas58.
Dengan memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al-Qur‟an, kaum golongan kedua yang tidak setuju akan pemberlakuan hukuman rajam berpendapat untuk tidak lagi terikat supaya memaksakan penerapan sanksi-sanksi hukum itu seperti yang secara harfiah disebut dalam Al-Qur‟an. Maka dapat mencari jenis-jenis hukum lain yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Yang penting tujuan dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak pidana sudah tercapai. Menurut Azyumardi Azra‟(mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Rajam hukuman sampai mati (stoning to death) bagi pezina laki-laki dan perempuan yang sudah atau pernah menikah (muhshan) beliau memandang bahwa rajam merupakan hukum hudud yang kontraversial dikalangan ulama dan fuqaha. Terdapat
57 58
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, h. 79. Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, h. 70.
42
perbedaan pendapat tentang hukum dasarnya (dalil naqli), baik penetapan hukum rajam, maupun metode pelaksanaannya59.
Beliau mengatakan bahwasanya dalam Al- Quran, tidak ada satu ayatpun yang memerintahkan tentang rajam bagi orang yang telah berzina, jika telah pernah menikah60. Dalam Al-Quran hanyalah perintah cambuk seratus kali. Dapat dilihat pada ayat yang artinya :
Artinya:
Perempuan yang berzina, dan laki-laki yang berzina, maka deralah keduanya, (masing-masing)seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka, disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman (QS. Al-Nur ayat: 2).
Mengenai ayat lain yang ditafsirkan sebagian ulama yang menggiring kaum penzina dirajam, yaitu :
59
Lihat pada Deden gunawan, Hukum Rajam di Aceh, (Detik News: Kamis, 17/09/2009), 18:51 WIB. Lihat juga pada http://husnilatief.wordpress.com/artikel-jurnal/. 60
Ungkapan Azyumardi Azra‟ yang ditulis dalam makalah Husni Mubarak A. Latief, Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun Jinayat di Aceh, (Jurnal Sosio religia, 3, Mei 2010), Vol. 9, No. 3.
43
Artinya:
Terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan “ fahisyah ” (keji), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu, yang menyaksikannya. Kemudian apabila empat saksi itu telah memberikan penyaksian, maka kurunglah ( wanita-wanita penzina itu ) dalam rumah sampai menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya ( QS.AlNisa‟ ayat: l5).
Dari kedua ayat tersebut di atas (Q.S. Al-Nur 2 dan Q.S. Al-Nisa l5) tidak menggunakan kata rajam, hanya kata “dera seratus” dan mengurung di rumah sampai ajalnya datang atau ada cara lain. Khusus surah Al-Nur l5 dengan kata “fahisyah” terdapat dua tafsir, pertama zina biasa, yang kedua, zina luar biasa, yaitu antara perempuan dengan perempuan (homoseks) dan itupun hukumannya bukan rajam. Kemudian syarat yang lebih besar dalam persaksian ada empat orang saksi mata melihat langsung secara transparan, persis pedang dimasukkan ke dalam sarungnya61.
Beliau berpendapat bahwa yang digunakan oleh ulama yang cenderung menghukum rajam kaum penzina muhshsan (yang sudah kawin), adalah hadist ahad (dha‟if). Dari seorang perawi Ubadah bin Shamit62;
لَ ْذَِْٕٝا عُٚ خُزَِْٕٝا عُٚ خُز: َُ ٍَس َ َٚ ِٗ ٌَِاٚ ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ هلل ِ يُ اْٛ ُ لَايَ َسس: ي َ ت لَا ِ ِِ ٓ اٌصَا ُ ْٓ عُثَادَج ت ْ َع ٖاَٚاٌشَج ُِ (سٚ جٍْ ُذ ِِائَ ٍح َ ة ِ ِة تِاٌخَي ُ َّاٌخَيٚ ُ سََٕ ٍحََْٝٔفٚ جٍْ ُذ ِِا ئَ ٍح َ ْاٌِث ْى ُش تِاٌْ ِث ْى ِش.َُٓ سَثِ ْيًٍاٌَٙ ُج َعًَ اهلل َ )إٌسائيٚ ٜاٌجّاعح اال اٌثخاس
61
Azyumardi Azra‟ dan Arskal Salim, Shari‟a and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003). Lihat juga pada dialog Husni Mubarak A. Latif dengan Al Yasa Abu Bakar, Hukuman Rajam Dalam Serambi Indonesia, (13 November 2009, yang ditulis dalam http://husnilatif.wordpress.com/artikel -jurnal). 62
Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 108, hadist no: 3211.
44
Artinya: Dari Ubadah Ibnu Shamit berkata: Ambillah olehmu dariku, Allah telah membukakan jalan bagi mereka; lajang dengan lajang, dicambuk seratus kali, dan dibuang selama setahun, janda dengan duda, dicambuk seratus kali dan di rajam (HR. Jama‟ah: Muslim, Abu Daud dan Nasa‟i kecuali Bukhari dan nasai). Menurut beliau hukum yang bersumber dari hukum pertama Al-Quran, dan sumber kedua Hadis jelas ada perbedaannya. Al-Quran hanya menyebut dera (cambuk) seratus kali (lajang atau janda), sedang Hadis menambah dibuang satu tahun (lajang), dan di rajam (janda). Mengenai kedudukan hukum pertama dan kedua selalu berbeda. Satu dari Allah dan yang satu dari Nabi. Karena Hadis tidak selalu penjelasan dari Al-Quran, dan juga tidak selalu berlaku universal, tapi terkadang hanya lokal saja. Maka harus hati-hati dan memahaminya juga lain. Terlebih jika hadisnya ahad (dha‟if)63. Mengenai hadis dha‟if ulama Syafii memakainya jika menyangkut ibadah atau fadhail „amal (pahala-pahala dalam amal) supaya merangsang pengamalan. Tapi jika menyangkut hukum, ulama Sunni termasuk Syafii menolak menjadikannya rujukan.
Karena adanya kemusykilah dalam hukum rajam tersebut, maka negeri-negeri Islam terjadi penerapan hukum ini kontraversial. Negara-negara yang menulis dalam konstutusinya berlandaskan Al-Quran, seperti Saudi Arabiyah dan negara-negara Teluk berusaha menerapkannya. Sebaliknya, negara-negara yang mengadopsi hukum
63
Ungkapan Azyumardi Azra‟ yang ditulis dalam makalah Husni Mubarak A. Latief, Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun Jinayat di Aceh, (Jurnal Sosio religia, 3, Mei 2010), Vol. 9, No. 3, lihat juga dalam Deden gunawan, Hukum Rajam di Aceh, (Detik News: Kamis, 17/09/2009), 18:51 WIB. Lihat juga pada http://husnilatief.wordpress.com/artikel-jurnal/.
45
pidana Barat seperti Mesir, Syria, Aljazair dan Maroko tidak memberlakukan hukum rajam tersebut. Di Pakistan pernah terjadi diskusi panjang tentang hukum rajam dengan mengambil qiyas di zaman nabi lalu disepakati bahwa sebenarnya hukuman rajam tidak ada dalam Al-Quran. Karena itu hukum rajam yang dijalankan sebagian negeri Islam, merupakan hukuman tambahan berkenaan dengan hak Allah ( hududullah yang diputuskan secara ta‟zir kebijakan hakim ). Karena kebijakan hakim yang sangat berperan, maka dera seratus pun dianggap hukum maksimal lalu memperlakukan yang minimal yaitu hanya di dera 25 kali, seperti yang dipraktekkan di Sudan.
Menurut beliau yang pernah dipraktekkan Rasul sebelum turunnya Surah AlNur, sehingga tidak ada ketentuan ini berlaku universal, dan masih harus dilaksanakan yaitu Seorang lelaki mendatangi Rasul lalu berkata, “ ya Rasul saya telah berzina “, tapi Rasul tidak menghiraukan dan memalingkan muka, sehingga lelaki itu mengulang sampai empat kali, dan pergi mencari 4 saksi, setelah menghadap Rasul, dengan saksi-saksinya, baru Rasul bertanya,“ apa kamu tidak gila ?‟. Dia jawab “ tidak “. Kemudian Rasul bertanya lagi, “ apa kamu sudah pernah nikah ?. “ Dijawab “ya”, Kalau begitu, bawalah orang ini dan rajamlah (HR. Bukhari). Jika seorang hakim mengambil hukum qiyas dari hadis dhaif dari Ubadah diatas, atau menggunakan hadis yang sudah mansukh dengan turunnya Surah Al-Nur dengan menambah kata “ rajam ” atau meyakini bahwa riwayat Bukhari bersifat universal dan bukan local, serta masih berlaku, mengapa Rasul ketika dilapori 4 kali baru mau menoleh menerima laporan? Hakikatnya, agar menghindarkan si pelapor
46
dari hukuman karena dasar utama Islam adalah etika (makarim al- akhlaq). Tapi terlihat sipelaku sendiri terlalu bernafsu mau sekali dihukum lalu dijalankan.
Seorang hakim perlu mengetahui, bahwa Al-Quran tidak pernah menyebut istilah “rajam” secara akspelisit. Satu-satunya ayat yang ada adalah istilah “ fahisyah ” itupun mutasyabihat (meragukan). Jadi menurut hemat beliau, dalil “merajam” penzina itu lemah sekali. Itulah sebabnya sehingga di negara Islam Pakistan sudah menghentikan hukum rajam setelah selesai diskusi panjang ulama mengenai rajam yang tidak ditemukan dalam Al-Quran.
Akhirnya berdasarkan uraian singkat di atas yakni alasan rajam menggunakan ayat “fahisyah” ( mutasyabihat ) atau hadist dhaif atau ayat yang sudah mansukh dengan turunnya surah Al-Nur, Dan yang lebih penting diketahui menurut beliau hukum rajam itu sendiri tidak ditemukan secara ekspelisit dalam Al-Quran.
D. Pelaksanaan Pidana Rajam dalam Hukum Islam a. Pidana Rajam Sebagai Hukuman bagi Pelaku Zina Muhshan
Hukum rajam dalam sejarah penerapan hukum Islam diproyeksikan sebagai salah satu bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan zina bagi yang sudah pernah
47
menikah (muhsan)64, sementara bagi pelaku kejahatan zina yang belum pernah menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah dicambuk (dijilid) sebanyak seratus kali65. Dalam hukum Islam, ketentuan hukuman rajam dan jilid (cambuk) merupakan bentuk jarimah hudud, yaitu perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al Quran dan As-Sunnah. Selain hukuman yang telah ditetapkan secara jelas dalam Al Quran dan as-Sunnah tersebut, Islam juga menerapkan bentuk jarimah ta‟zir, yaitu perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya tidak terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, akan tetapi ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelaku.
Maka dari hal di atas hukum Islam dalam hukum pidananya sangatlah merujuk pada dua sumber yang berasal dari wahyu Tuhan atau Al-Qur‟an dan Hadist66 yang dalam hal ini terkait dalam masalah hukum pidana rajam. Islam mengatur67 tentang sanksi pidana tersebut sesuai dengan ayat yang diturunkan pada surat (Q.S. An-Nuur :2)
64
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h.
27. 65
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 32. Dan lihat juga pada Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), 88. 66 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993,), cetakan ke-5, h. 6-11. 67 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h. 29.
48
Artinya:
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(QS. An-Nur ayat: 2)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya pelaku zina laki-laki dan wanita dihukum dengan hukuman cambuk seratus kali dera tanpa belas kasih dan disaksikan orang banyak, kemudian ayat ini diperjelas atau ditafsirkan oleh keterangan hadist yang merincikan tentang ayat tersebut (bayanul Hadist) dari riwayat Muslim dan alJama‟ah68:
لَ ْذَِْٕٝا عُٚ خُزَِْٕٝا عُٚ خُز: َُ ٍَس َ َٚ ِٗ ٌَِاٚ ِٗ ْعٍَي َ هلل ُ اٍَٝص َ هلل ِ يُ اْٛ ُ لَايَ َسس: ي َ ت لَا ِ ِِ ٓ اٌصَا ُ ْٓ عُثَادَج ت ْ َع ٖاَٚاٌشَجَ ُِ (سٚ جٍْ ُذ ِِائَ ٍح َ ة ِ ِة تِاٌخَي ُ َّاٌخَيٚ ُ سََٕ ٍحََْٝٔفٚ جٍْ ُذ ِِا ئَ ٍح َ ْاٌِث ْى ُش تِاٌْ ِث ْى ِش.َُٓ سَثِ ْيًٍاٌَٙ ُج َعًَ اهلل َ )إٌسائيٚ ٜاٌجّاعح اال اٌثخاس Artinya: Dari Ubadah ibn Ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (penzina). Jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda dera seratus kali dan rajam (diriwayatkan oleh jama‟ah kecuali Bukhari dan Nasa‟i) Hukuman ini dalam kitab Ahmad Wardi Muslich diungkapkan adalah hukum Allah yang secara teori disebut Haddullah (hak Allah) yang tidak seorangpun dapat berkenan untuk mengganti dengan hukuman yang lain, karena hukuman tersebut adalah hak Allah sesuai dengan ketentuan syara‟. Dalam ketentuan hukuman bagi
68
Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, (Darul Fikri: juz ke 2, 1998), h. 108, hadist no: 3211. Lihat pada Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 94. Yang dikutip dari Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, 1983), jlid 2, h. 347.
49
pelaku zina tersebut dihukum dera seratus kali dan pengasingan satu tahun untuk yang belum menikah sesuai dengan firman Allah, dan hukuman rajam untuk yang telah menikah sesuai dengan sunnah qauliyyah dan sunnah fi‟liyyah69. Dalam catatan Ahmad Wardi muslich ditegaskan dan dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam sudah diakui, diterima dan disepakati70 oleh para fuqaha sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani pidana rajam adalah sebagai hukuman bagi zina muhshan akan tetapi tidak dikenakan pada pelaku zina ghoiru muhshan (yang belum menikah) kecuali beberapa kelompok dari Azariqah dari golongan khawarij, karena mereka tidak menerima hadist kecuali sampai pada tingkatan mutawatir71.
Islam memerintahkan untuk mensucikan kehidupan seks baik bagi kaum lakilaki atau kaum wanita di luar pernikahan sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu hukuman zina ini dilakukan secara terbuka sehingga ia dapat menjerakan orang-orang yang lain dimasyarakat72.
69
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h.
70
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h.
71
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h.
72
Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet
31. 33 35. ke-1, h. 38.
50
b. Rasionalitas Dampak Buruk dari Perbuatan Zina
Berbeda dengan pandangan para penganut hedonisme dan pelaku pola hidup permisif sekarang ini, dimana mereka beranggapan bahwa zina merupakan kebutuhan biologis biasa, sehingga boleh-boleh saja dilakukan asal tidak ketahuan, Allah Tuhan Yang Menciptakan manusia justru menegaskan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan sangat berat ancamannya. Sehingga hukumannya harus dihukum rajam yaitu bagi mereka yang pernah menikah sebelumnya atau dicambuk seratus kali bagi mereka yang belum pernah menikah sebelumnya73.
Dan menurut Islam hak untuk mengatakan suatu tindakan itu adalah hak preogratif Sang Maha Pencipta. Bukan hak para seniman, atau ahli hukum, ataupun manusia lainnya. Hak itu adalah hak Tuhan sepenuhnya. Persis sebagaimana ketika Tuhan melarang Adam dan istrinya mendekati pohon. Pelangaran atas larangan itu berakibat fatal sehingga Adam AS dikeluarkan ke bumi.
Maka meski manusia mengatakan bahwa zina itu bukan pelanggaran berat, tetapi Tuhan Sang Maha Pencipta justru mengatakan sebaliknya, bahwa zina
73
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 23 dan 88.
51
adalah sebuah kekejian yang nyata, terkutuk dan dilaknat74 seperti apa yang telah difirmankan dalam Al-Qur‟an:
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk (QS. Al-Isra‟ ayat: 32).
Maka dengan adanya nash tersebut jelaslah bahwa zina merupakan perbuatan yang keji bagi agama dan kehidupan sosial. Pelakunya berhak untuk dihukum seberat-beratnya, yaitu dengan cara dirajam. Berarti diakhiri ajalnya dan harus segera bertemu
kembali
kepada
Pencipta-Nya,
untuk
mempertanggung-jawabkan
perbuatannya.
Semua itu adalah isi kitab suci buat semua umat manusia, baik Zabur, Taurat, Injil maupun Al-Quran. Semua kitab suci yang turun dari langit sepakat bulat mengatakan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan pelakunya layak dihukum mati (dirajam)75.
Islam memerintahkan untuk mensucikan kehidupan manusia dari seks oleh karena itu hukuman dilakukan dengan terbuka sehingga dapat menjerakan yang lain
74
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h. 27, lihat juga pada Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 24. 75
Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur‟an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 26-30.
52
di masyarakat76. Maka dengan kata lain bentuk tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dalam hidup jasmani dan rohani dalam rangka memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta 77.
Perbuatan zina dengan lain jenis dilarang keras oleh Allah SWT meskipun atas dasar suka sama suka. Karena perbuatan tersebut sangat mempunyai dampak yang buruk bagi pelakunya dan masyarakat banyak. Dampak negatif perbuatan zina pada diri sendiri Terhadap pelaku zina dia akan lebih mudah terdorong untuk melakukan kejahatan berikutnya, maka perbuatan tersebut akan kembali dilakukan baik terhadap lelaki atau wanita yang sama atau yang lain sehingga membuat nya ketagihan. Perilaku zina juga kadang membutuhkan biaya untuk mendapatkan wanita, oleh karena keinginan yang besar pria cenderung mengusahakan biaya untuk melakukan itu dengan cara yang tidak benar. Dampak Negatif dalam sosial78 Maka wanita atau pria akan mendapatkan pandangan minor dari masyarakat dan akan kesulitan untuk menikah dengan pria yang masih suci karena terdapat larangan dari agama. Bagi wanita yang mengalami kehamilan akibat zina maka akan 76
Abdurrahman I, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,1991), h. 36-
37 77
Hamka Haq, Filsafat Ushululfiqh, (Makasar: Yayasan Al-ahkam, 1998), h. 68 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 30-34. 78
53
memikul beban dengan sendirinya apa bila pria tidak bertanggung jawab. Namun perbuatan tersebut tentu mempunyai hukuman yang keras di akhirat nanti79. Bagi yang telah menikah maka akan mudah retak rumah tangganya dan hilang keharmonisannya. Sedangkan apabila telah terbiasa bergonta ganti pasangan maka pelaku akan terancam mengidap penyakit kelamin yang mana secara medis tentu penyakit tersebut akan menular bagi pasangan zinanya dapat membahayakan bagi dirinya dan orang lain seperti SPILIS dan virus HIV AIDS80. Pada wanita yang sudah bersuami maka akan menjadi cercaan dan cemoohan masyarakat. Perbuatan zina ini tentu menurunkan nilai moral yang di anut oleh masyarakat karena menyebabkan rusaknya keturunan dan kehormatan. Perbuatan zina juga akan mempertinggi angka aborsi dalam masyarakat, yang mana dalam kegagalan hal tersebut dapat menghilangkan nyawa bayi dan pelaku, perlakuan zina adalah salah satu bentuk yang merendahkan akal sehat manusia dibawah nafsu syahwat81.
Perilaku zina juga dapat memurtadkan pelaku jika pasangan zina nya nonmuslim, perbuatan ini akan mengancam nyawa dengan aneka penyakit, merusak
79
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 31. 80 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 34. 81 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 36.
54
akal, merusak keturunan dan kehormatan, merusak keharmonisan keluarga bagi yang telah menikah
Banyak dampak rasional yang bisa diterima dengan akal sehat tentang bahaya perbuatan zina maka dalam hal itulah bahwasanya pidana rajam perlu di terapkan sebagai preventif dari angka kerusakan dan edukatif untuk masyarakat umum82.
c. Teknis Pelaksanaan dan Persyaratan Pidana Rajam dalam Hukum Islam
Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu sebagaimana telah dibahas pada pengertian rajam di atas. Karena beratnya hukuman ini, maka dalam syariat yang Allah turunkan untuk umat Muhammad SAW sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup pelik. Syarat itu adalah terpenuhinya kriteria ihshan (suci atau telah menikah) yang terdiri dari rincian sebagai berikut:
1. Islam 2. Baligh 3. Akil 4. Merdeka 5. Iffah 6. Tazwij
82
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 255-256.
55
Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah83. Bila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga pidana rajampun menjadi gugur. 1. Penetapan Vonis Pidana Rajam84
Dalam syariat Islam pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula dengan ketentuan dari apa yang telah di tetapkan dalam syariat Islam. Allah telah menetapkan bahwa hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara :
a. Ikrar atau pengakuan dari pelaku
Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah` yaitu petunjuk yang paling utama85. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim bahwa dirinya telah berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi. Di zaman Rasulullah 83
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), Cet Ke-1, h. 27, lihat juga pada Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 89. 84 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 51. 85 A. Hassan,Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-„Atsqalani, (Bandung: Diponogoro, 1999), cetakan ke-23, hadist No. 1188, h. 521. Lihat juga pada Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 271, hadist No. 5 pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 1 dan 2.
56
SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan Maiz dan wanita Ghamidiyah86.
Teknis pengakuan atau ikrar didepan hakim adalah dengan mengucapkan sekali saja. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Imam Malik r.a, Imam Asy-Syafi`i r.a, Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada pelaku zina87. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk mendatangi wanita itu dan menanyakannya, `bila wanita itu mengakui perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila seorang sudah mengaku maka rajam berlaku dan tanpa memintanya mengulang-ulang pengakuannya.
Namun Imam Abu Hanifah r.a. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda. Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah r.a, kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di empat tempat yang berbeda.
Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan88. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal r.a. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari 86
Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 272, hadist No. 9dan 10, pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 4 dan 5. 87 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cetakan ke-1, h. 35. 88 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cetakan ke-1, h. 39.
57
karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan bersabda: “Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari”
Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku. Dasarnya adalah sebuah hadits berikut89:
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku. b. Adanya Saksi yang Bersumpah di depan Mahkamah
Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak
89
A. Hassan,Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-„Atsqalani, (Bandung: Diponogoro, 1999), cetakan ke-23, hadist No. 1190, h. 522. Lihat juga pada Ibnu Hajar Al-„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 272, hadist No. 9 dan 10, pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 4 dan 5.
58
lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat. Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan90 zina adalah : 1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman91; “Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan”.. 2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad. 3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh maka persaksian itu tidak syah. 4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya. 5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam. 6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina. 7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa kiasan.
90
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cetakan ke-1,
91
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cetakan ke-1,
h. 27. h. 27.
59
8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dan dalam satu waktu yang apabila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka. 9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian mereka tidak syah.
Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam, tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam syariat secara baku.
Para fuqaha sepakat bahwa pelaksanaan hukuman rajam dilakukan oleh para imam dan wakilnya92, hal ini karena merupakakn hukuman had itu adalah hak allah. Adapun kehadiran imam tidak menjadi syarat dalam melaksanakan hukuman dalam beberapa hadist disebutkan bahwa Rasulalllah selalu memerintahkan hukuman had kepada para sahabat dan beliau tidak ikut menghadiri acara hukuman tersebut seperti dalam hadist Maiz dan lainnya. Akan tetapi persetujuan imam sangat diperlukan dalam pelaksanaannya. Satu hal yang menyebabkan beratnya hukuman zina muhsan adalah karena ikhsannya.
92
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 38. Lihat juga pada kandungan hadist, Ibnu Hajar Al„Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, (Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H), h. 271, hadist No.7, pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 5.
60
Adapun cara untuk melaksanakan hukuman rajam menurut jumhur adalah sebagai berikut93: 1. Hukuman rajam harus dilaksanakan dengan terbuka di muka umum sesuai dengan fiman Allah surat An-Nur94. 2. Apabila yang dihukum seoang laki-laki hukuman dilaksanakan dengan berdiri tanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa dipegang atau diikat. Hal ini didasarkan hadis ketika Rasul merajam Maiz dan orang Yahudi. 3. Apabila melarikan diri sedangkan pembuktiannya dengan pengakuan maka tidak perlu dikejar, sedangkan apabila pembuktiannya dengan empat orang saksi maka terhukum harus dikejar. 4. Apabila yang dirajam itu wanita menurut imam Hanafi dan imam Syafi‟i terhukum boleh dipendam sampai batas dada95. Karena cara demikian lebih menutup auratnya, adapun mazhab Maliki dan rajah Hambali wanita juga tidak dipendam sama halnya dengan laki-laki. 5. Lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila dibuktikan dengan empat orang saksi, kemudian oleh para pejabat yang ditunjuk dan diteruskan oleh masyarakat. Menurut abu Hanifah adapun yang lainya tidak demikian.
93
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 41. 94 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 41. 95 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 43.
61
6. Hukuman rajam ini boleh dilakukan setiap hari atau saat pada musim dingin atau panas dalam keadaan sehat atau sakit karena hukuman ini berakhir pada kematian akan tetapi jika terhukum itu wanita yang sedang hamil maka pelaksanaan hukuman di tunda sampai terhukum melahirkan. Karena apabila hukuman tetap dilaksanakan maka sama dengan menghukum bayi yang berada dalam kandungan yang tak bersalah. Adapun hal lain yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan rajam seperti apa yang telah dijelaskan oleh Muhammad Abduh Malik96 pidana rajam dilaksanakan dalam waktu yang kondusif atau pada waktu yang tidak dapat menimbulkan dampak samping yang negatif, pada si terhukum. Pada dasarnya hukuman dapat dilaksanakan setelah adanya bukti dan pengakuan dari pelaku, kecuali jika ada hal-hal tertentu yang diperlukan pengunduran waktu pelaksanaan hukuman rajam. Apabila terhukum adalah wanita yang dalam keadaan hamil pelaksanaan hukuman rajam ditunda sampai dia melahirkan anak itu dan anak itu sampai dia menyusui serta telah dapat memakan makanan lain semisal roti97. Dan jika hukuman rajam telah dijatukan pada si terhukum maka anak yang dilahirkan nya menjadi tanggungan negara dengan biaya negara. Apabila terhukum dalam keadaan sakit, maka pelaksanaan hukuman rajam dapat diundurkan sampai keadaan terhukum dipandang memungkinkan dalam kesehatan. 96
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakrta fakultas Syariah dan Hukum, masih aktif mengajar sampai saat ini. 97 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 57.
62
2. Tempat Pelaksanaan Pidana Rajam Hukuman dilaksanakan di depan umum atau ditempat terbuka yang bisa disaksikan oleh masyarakat98. Nilai yang terkandung dalam hal ini adalah agar bagi masyarakat yang menyaksikannya memiliki rasa malu dan berfikir untuk meniru perbutan tersebut. Dalam hukuman rajam ini jumlah orang yang akan melempari batu tidak ditentukan jumlahnya. 3. Penggalian Lubang dalam Pidana Rajam Hadist-hadist tentang hal ini bervariasi, ada yang menjelaskan untuk digalikan lubang dan ada juga yang menjelaskan untuk tidak digalikan lubang. -
Imam Ahmad, imam Malik dan Abu Hanifa mengatakan bahwa kebanyakan Hadist menjelaskan untuk tidak digalikan lubang99,
-
Abu Saur mengatakan untuk digalikan lubang bagi terhukum hukuman rajam.
-
Sedangkan Asy-Syafii memilih pendapat untuk digalikan lubang untuk terhukum yang perempuan saja100.sedangkan menurut atarah dianjurkan untuk membuat lubang hingga setinggi pusar laki-laki dan setinggi dada perempuan dan dianjurkan merapikan dan menguatkan lebih dahulu pakian wanita
98
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 57. 99 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 61. 100 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 63.
63
siterhukum supaya tidak terbuka auratnya sewaktu dilaksanakan hukuman rajam. Para ulama bersepakat wanita dirajam dalam posisi duduk didalam lubang, dan laki-laki dalam posisi berdiri didalam lubang, sedangkan ulama lainnya berpendapat diserahkan saja kepada imam untuk memilihnya101. Menurut sebagian ulama Syafiiyah dan Hanabilah digalikan lubang untuk wanita yang keputusannya berdasarkan bayyinah saja. Jika keputusannya berdasarkan iqrar maka tidak digalikan lubang maksudnya untuk memberi kesempatan wanita itu untuk melarikan diri karena dibolehkan untuk menarik diri dari pengakuan dan menggugurkan hukuman rajam 4. Kehadiran Imam dan Saksi dalam Eksekusi Pidana Rajam Dalam nailul Authar diungkapkan sebuah pendapat dari „Atarah dan AsySyafii yaitu tidak dimestikan imam menghadiri pelaksanaan hukuman rajam. Kehadiran itu hanya merupakan hak imam bukan merupakan kewajiban bagi imam karena tidak ada petunjuk dalil yang mewajibkan. Hadist Nabi tentang peristiwa Ma‟iz, nabi memerintahkan para shahabat untuk melaksanakan hukuman rajam bagi Ma‟iz, tetapi Nabi sendiri tidak ikut serta bersama mereka.
Padahal
kepastian
Ma‟iz
melakukan
perbuatan
zina
berdasarkan
pengakuannya kepada Rasulullah.
101
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), h. 57, lihat juga pada Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 48.
64
Begitu juga dalam peristiwa Ghamidiyyah Nabi juga tidak menghadiri pelaksanaan hukuman rajambagi Al Ghamidiyah.102 Abu Hanifah menambahkan juga bahwa saksi dalam perkara yang pembuktiannya
berdasrkan
kesaksian
wajib
menjadi
orang
yang
pertama
melaksanakan hukuman melempar batu terhadap pelaku yang dihukum rajam kemudian diteruskan oleh imam atau penggantinya dan kemudian dilakukan oleh orang banyak yang hadir dan jika saksi tidak datang dalam hukuman rajam tersebut maka gugurlah hukuman rajam tersebut,hal itu disebabkan karena nilai keteguhan para saksi dalam kesaksianya. Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam. Syarat lainnya adalah bahwa hukuman zina itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat secara resmi. Bukan dilakuakan oleh orang perorang atau lembaga swasta. Ormas, yayasan, pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau pun majelis ulama tidak berhak melakukannya, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa. Sehingga semua kasus zina di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang bisa diterapkan hukum rajam, sebab secara formal pemerintah negara ini tidak memberlakukan hukum Islam. Tentu saja perbuatan itu tetap harus dipertanggung102
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Satelit Buana dan Bulan bintang, 2003), h. 160, yang dikutip dari buku Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, 1837), h. 359-360, dan lihat juga pada Abdul Qadir Audah, h.444
65
jawabkan di mahkamah tertinggi di alam akhirat nanti. Baik bagi pelaku zina maupun penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah.
BAB III KONSEP HAM INTERNASIONAL TERKAIT PEMIDANAAN DAN HAM DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya HAM Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan1. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimilki manusia secara penuh menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya (diri manusia) dan oleh karena itu hak tersebut bersifat suci.2 Sementara itu Jan Materson, seperti apa yang dikutip Baharuddin lopa mengartikan hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada manusia, yang mana tanpa dengannya manusia mustahil hidup sebagai manusia namun Baharuddin Lopa mengomentari bahwa kalimat: mustahil hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia disamping mempunyai hak juga harus bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya3. Sejarah HAM tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak manusia tersebut oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau 1
Tim Penyusun kamus Besar Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesai R.I , (Jakata: tnp, 1988), h. 292. 2 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, (Jakarta: Pradya Paramitra, 1982), h. 19. 3 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 18.
66
67
bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara. Pada hakikatnya persoalan mengenai hak-hak asasi manusia itu berkisar pada hubungan antara manusia sebagai individu dan masyarakat4. Sebab manakala suatu negara semakin .kuat dan meluas secara terpaksa ia akan mengintervensi lingkungan sementara hak-hak pribadi semakin berkurang. Pada saat yang bersamaan maka terjadilah persengketaan antara individu dan kekuasaan negara. Pada saat itu rakyat terkalahkan dan perlindungan terhadap hak-hak individu yang bersifat hak asasi manusia dibutuhkan. Bila ditelusuri sejarah lahirnya HAM umumnya para pakar di eropa berpendapat bahwa cikal bakal HAM itu sebenarnya telah lahir sejak Maghna Charta 1215 di kerajaan inggris. Dalam Maghna Charta itu disebutkan antara lain bahwa raja yang memiliki kekuasaan absolut atau mutlak dapat dibatasi kekuasaan dan dimintai pertanggung jawabannya di muka hukum. Dari itu lahir doktrin raja tidak kebal hukum dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat5. Semangat Maghna Charta inilah yang kemudian melahirkan undang-undang dalam kerajaan inggris tahun 1689 yang dikenal dengan undang-undang hak (Bill of Right). Peristiwa ini dianggap keberhasilan rakyat inggris melawan kecongkakan raja John sehingga timbul suatu adagium yang berintikan “Manusia sama di muka hukum 4
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 20. 5 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, (Jakarta: Pradya Paramitra, 1982), h. 16, lihat juga pada Ahmad Kosasih, Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 20.
68
(equality before the law)6, adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi yang mengakui dan menjamin asas persamaan dan kebebasan sebagai warga negara. Asas ini pula yang nantinya menjadi dasar hak-hak asasi manusia seperti kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia sebagaimana tercermin dalam konsiderans mukaddimah deklarasi sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia 1948. Untuk mewujudkan tindakan konkrit dalam kehidupan masyarakat dan kenegaraan pemikiran dua tokoh, Pendapat Rousseo tentang kontrak sosialnya dan Montesquieu7 dengan trias politikanya telah memberikan kontribusi yang amat besar, maka trias politika yang lahirnya didorong oleh sebuah keinginan untuk mencegah tirani yang pada intinya membuat pemisahan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif sehingga seorang raja tidak bisa bertindak semena-mena. Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi arus utama dalam peradaban dunia. Pencapaian tersebut adalah puncak dari perjuangan kemanusiaan yang telah bersemi sejak awal peradaban manusia, baik pada tataran pemikiran sosial maupun pada praktek kehidupan. Pemikiran tentang HAM dapat dilacak sejak masa yunani kuno, baik dalam konteks sebagai tujuan dan orientasi utama kehidupan sosial (bernegara) maupun
6
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 21. 7 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 21.
69
sebagai hak untuk bebas dari segala penindasan8. Di sisi lain, praktek pelanggaran HAM menjadi sisi suram dalam peradaban manusia karena tindak kekerasan kelompok, perang sipil, maupun penindasan yang dilakukan oleh negara. Dari pengalaman sejarah umat tersebut memunculkan sebuah kesadaran umat manusia dan sebuah pengakuan terhadap martabat manusia serta hak yang melekat pada setiap manusia sebagai dasar kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia. Dari berbagai macam pertimbangan kalangan tentang kebebasan tersebut muncul berbagai alasan bahwasanya9 : 1. Pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, adalah dasar dari kemerdekaan, kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. 2. Mengabaikan
dan
memandang
rendah
pada
hak
asasi
manusia
telah
mengakibatkan perbuatan-perbuatan kasar yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati kemanusiaan.
8
Plato (427-348 BC) membangun pemikiran awal universalisme standar etis yang mengharuskan perlakuan yang sama terhadap setiap orang, baik warga negara maupun bukan warga negara. Aristoteles (384-322 BC) banyak mendiskusikan pentingnya nilai, keadilan, dan hak dalam suatu kewarganegaraan dan bermasyarakat. Sophocles (495-406 BC) mengemukakan pemikiran awal hak individu untuk tidak ditindas oleh negara. Darren J. O’Byrne, Humen Rights An Introduction, (Delhi : Pearson Wducation Limited, 2003), h. 28 9 Ian Brownlie, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993), Cet Ke-1, h. 27, yang dikutip oleh Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 22-23.
70
3. Persahabatan antara negara perlu dianjurkan tanpa memandang status kelemahan dari negara tersebut dan dari perserikatan bangsa-bangsa telah berjanji untuk mencapai perbaikan tersebut. 4. Untuk mencapai tingkat kemajuan sosial dan kehidupan yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas butuh akan pengakuan dan penghargaan terhadap martabat dan hak-hak seseorang. Maka dari hal diatas dan berbagai macam alasan untuk melindungi hak-hak asasi manusia digelarlah deklarasi umum oleh majelis perserikatan bangsa-bangsa yang kemudian menerima pernyataan sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Right) (U N. Doc. A/811) pada tanggal 10 Desember 194810. Pengadopsian ini dan proklamasi Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) pada 10 Desember 1948 oleh majelis umum PBB adalah puncak pengakuan terhadap HAM sebagai standar perlindungan manusia bersama dan pemajuan HAM bagi setiap orang dan setiap negara (as common standar of achievement for all people and all nations )11. Dalam dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (not alegally a binding document) namun ia menjadi dasar utama dalam
10
Ibid 27, lihat juga pada Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 23. 11 Salah satu konsideran Universal Declaration of Human Rights menyatakan : “ Now therefore the general Assembly proclaim this UDHR as a common standartd of achivement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to secure their universal and effective recognition and obsevance, both among the peoples of member state themselves and among the peoples of territoris under their jurisdiction.”
71
perlindungan dan pemajuan HAM, serta menjadi dasar bagi dokumen HAM lain yang memiliki kekuatan hukum mengikat seperti International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Adapun konsepsi dasar HAM adalah12 seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat. Dalam hal ini semua manusia dikaruniai akal budi dan hati nurani untuk saling berhubungan dalam semangat persaudaraan. Konsepsi dasar itu melahirkan tiga prinsip tentang keberadaan HAM 13, 1. HAM bersifat universal, yang mana melekat pada setiap diri manusia tanpa memandang perbedaan etnis, ras, gender, usia, agama, politik, maupun bentuk pemerintahan. 2. HAM tidak dapat dibantah karena bukan merupakan pemberian negara sehingga tidak dapat dihilangkan atau ditolak oleh otoritas politik apapun. 3. HAM bersifat subjektif yang dimiliki secara individual karena kapasitasnya sebagai manusia rasional dan otonom.
12
Undang-Undang HAM 1999, UU RI No. 39 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 3. 13 Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di tetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 217A (III), tertanggal 10 Desember 1948.
72
B. Kandungan HAM tentang Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah sesuatu yang dikecam, instrumen ini membahas suatu hak tunggal yang tercantum dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)14 dan kovenant Internasional tentang hak sipil dan politik15. Indonesia telah mengesahkan konvensi tersebut walaupun tidak mengesahkan Protokol Opsionalnya16. a. Latar Belakang Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati Penyiksaan dipandang adalah perilaku paling serius dan kejam oleh komunitas Internasional, memang terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelarangan penyiksaan dalam kenyataan Jus Cogens (pelarangan yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun), melakukan penyiksaan merupakan kejahatan internasional menurut statuta (Roma) Mahkamah Pidana Internasional17. Dalam hal ini HAM mempunyai pengadilan yang khusus di tempat pemerintahan indonesia sesuai pasal 2 Bab II18, yang mana pengadilan HAM tersebut
14
Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di tetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 217A (III), tertanggal 10 Desember 1948 15 Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di tetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 217A (III), tertanggal 10 Desember 1948. 16 Kata Pengantar Philip Alston, Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), Cet ke-1, h. 154. 17 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 24, yang dikutip dari Decklarasi Vienna Program Aksi Konferensi Dunia Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM, 1997), h. 32. 18 Kata Pengantar Philip Alston, Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), Cet ke-1, h. 147.
73
berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi hukum pengadilan negri. Dalam ratifikasi HAM konferensi Dunia Hak Asasi Manusia menyambut baik ratifikasi oleh banyak Negara anggota terhadap Konvensi melawan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam19, tidak berprikemanusiaan atau merendahkan martabat, serta mendorong agar Negara anggota lain secepatnya untuk meratifikasinya. Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia pun menekan bahwa salah satu pelanggaran terhadap martabat manusia yang paling parah adalah penyiksaan, yang berakibat pada kehancuran martabat dan rusaknya kemampuan korban untuk melanjutkan hidup dan aktivitasnya dan juga hukuman mati. Konferensi dunia juga mendesak untuk mengakhiri segala jenis hukuman atau praktek penyiksaan dan memberantas kejahatan ini untuk selama-lamanya, dengan menerapkan sepenuhnya Deklarsi Hak Asasi Manusia dan juga konvensi-konvensi lain yang relevan. Dalam hal ini perhatian yang khusus diberikan untuk menjamin penghormatan universal dan penerapan efektifitas dari prinsip-prinsip Etika Medis yang relevan dengan peranan petugas kesehatan, terutama dokter dalam perlindungan para tahanan dan tawanan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam tidak berprikemanusiaan dan merendahkan martabat lainya yang disetujui sidang PBB. 19
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Deklarasi Vienna Program Aksi dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia, (Jakarta: diterbitkan oleh KOMNAS HAM edisi Bahasa Indonesia, 1997), h. 98-99.
74
Pada tanggal 9 Desember 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan persetujuan bersama menerima revolusi 3452 (XXX). Deklarasi yang ditambah pada resolusi ini merupakan bukti bagi pendapat bahwa larangan penyiksaan adalah prinsip yang terdapat pada hukum Internasional, maka dalam hal ini erat hubungannya antara HAM dengan hukum Internasional20. Referensi lebih lanjut dapat dibuat untuk resolusi 3448 dan 3453 yang diterima oleh majelis umum tanggal yang sama, dan resolusi 31/85 yang diterima oleh majelis pada tanggal 13 Desember 194621. Komisi tentang Hak Asasi Manusia telah diminta untuk membuat konsep konvensi yang menentang penyiksaan dan kekejaman, perlakuan yang tidak berprikemanusiaan atau perlakuan yang menurunkan martabat atau penghukuman yang sejalan dengan prinsip yang tercakup dalam deklarasi. Dengan mempertimbangkan pasal 5 dan 7 dari Perjanjian Internasional mengenai hak sipil dan politik yang kedua-duanya memberikan bahwa tidak seorangpun dapat menjadi korban penyiksaan atau kekejaman perlakuan yang tidak berprikemanusian, menurunkan martabat manusia atau penghukuman22 yang menyiksa atau menghilangkan nyawa.
20
I.C.J. Reports, Bercelona Traction Case, 1970, h.3 s/d h. 32, kemudian lihat juga Brownlie, Principles Of Public International Law, edisi ke-3, 1979, h. 572 s/d h. 596. 21 Ian Brownlie, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 26. 22 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993),edisi ke-2, h. 45-46.
75
b. Ruang Lingkup Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati Pasal 1 konvensi menetapkan tentang ruang lingkup penyiksaan, yang berarti segala tindak apapun yang dengan tindakan itu rasa sakit atau penderitaan yang berat baik fisik ataupun mental, apabila dilakukan oleh pejabat publik dalam kapasitas resmi dan penderitaan atau penyiksaan tidak termasuk atau mencangkup rasa sakit yang timbul semata-mata berasal dari inheren dalam atau yang terjadi akibat sanksi hukum. Defenisi ini adalah defenisi penyiksaan yang paling kompherensif yang ditetapkan dewasa ini, diberlakukan sebagai rujukan badan-badan internasional23 baik regional maupun nasional. Pembukaan konvensi itu sendiri menyatakan bahwa konvensi tersebut pasal 5 dan pasal 7 DUHAM (kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik). Larangan terhadap penyiksaan bersifat mutlak sehingga setiap negara wajib mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial dan tindakan lainnya yang efektif24 untuk memastikan pencegahan penyiksaan. Tidak ada alasan atau keadaan luar biasa yang dapat digunakan untuk membenarkan penyiksaan25. Penyiksaan lazimnya dibedakan dari perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Dalam hal maksud tingkat kehebatan dan kedahsyatan rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Dalam Irland V. UK , Mahkamah Hak Asasi Eropa mengamati bahwa istilah penyiksaan menyematkan
23
Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993),edisi ke-2, h. 155. 24 DUHAM pasal 2 ayat (1) 25 DUHAM pasal 2 ayat (2)
76
stigma khusus untuk menyengaja perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan yang sangat serius dan kejam. Tyrer UK dan Mahkamah yang sama berpendapat bahwa kedahsyatan penderitaan membenarkan penggunaan istilah “tidak manusiawi” sebagai lebih tinggi dari pada apa yang mungkin digambarkan sebagai merendahkan martabat. Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit dan derita, sedangkan merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat skala yang sudah dipradugakan mengenai kehebatan yang diderita yang dimulai dari perendahan martabat yang berujung pada ketidak manusiawian dan sampai pada puncaknya yaitu penyiksaan. Maka dari itu suatu tindakan bisa lolos dari katagori penyiksaan ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenant26. Tujuan utama ketentuan itu ialah untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan fisik dan mental individu. c. Larangan Penyiksaan dan Hukuman Mati Bagi banyak negara larangan penyiksaan itu sendiri dapat diterima, ada diskusi yang masih berlangsung tentang lingkup defenisi penyiksaan untuk beberapa negara terdapat hirarki latin yang memandang penyiksaan merupakan tindakan yang paling keji dan tunduk pada larangan mutlak, sementara itu perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat sering dianggap kurang serius dari pada penyiksaan. Namun konvensi itu juga mencegah segala sesuatu yang mencapai
26
Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993),edisi ke-2, h. 47.
77
ambang penyiksaan tetapi meskipun demikian berada dalam lingkup perjanjian27. Di dalam regional pada mulanya tampak keengganan untuk mengutuk kegiatan negara sebagai penyiksaan karena alasan politik dan diplomatik, istilah perlakuan atau penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat sering kali lebih disukai28. Adapun kandungan tentang Larangan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat terdapat dalam pasal-pasal berikut: Pasal 7 DUHAM yang berisi29: tidak seorang pun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperiment medis atau ilmiah tanpa persetujuannya. Larangan atas penyiksaan cukup mapan dan dianggap sebagai norma mutlak Hukum Internasional. Kovenant internasional tentang hak sipil dan politik tidak mendefinisikan penyiksaan, tapi pasal 1 ayat (1) konvensi menentang penyiksaan dan bentuk perlakuan dan hukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan
27
DUHAM pasal 16. Lihat sebagai contoh, pendekatan pengadilan HAM eropa tentang perlakuan atas kekuatan keamanan inggris terhadap warga negara Irlandia – ireland v United Kingdom, Seri A, No. 25, 1978. 29 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jalarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 183, yang dikutip dari Decklarasi Vienna Program Aksi Konferensi Dunia Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM, 1997), h.25. 28
78
merendahkan martabat.30 Memuat defenisi yang luas diterima yang menentukan bahwa : Untuk tujuan konvensi ini, istilah penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau derita hebat, baik jasmani maupun mental pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga dengan menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan atau mengancam atau memaksa orang atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada deskriminalisasi, apabila rasa sakit dan penderiataan tersebut ditimbulkan oleh atau atas hasutan dari dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari melekat pada atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlalu. Ketentuan hukuman rajam sampai mati itu antara lain berlawanan dengan; a.
Deklarasi Umum HAM (DUHAM) pasal 7,
b.
Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan meredahkan martabat manusia,
c.
Konvensi Hak Sipil dan Politik; dan (4) UUD 1945, dan UU lain yang sedang berlaku di Indonesia,
Ancaman hukuman rajam dengan apa yang ada di atas, apabila kemudian dieksekusi menjadi bermasalah dalam hal bahwa eksekusi itu harus berakibat kepada pelukaan yang menyiksa, dan kemudian dilakukan dengan cara-cara yang tidak semua orang mungkin mampu melihatnya pada situasi di masa kini. Sedangkan hukuman mati berlawanan dengan DUHAM menyatakan 30
1465 UNTS, h. 85.lihat juga pasal 7 ayat (2), butir (E) tentang Statuta Mahkamah Pidana Internasional. UN Doc. A/CONF.183/9 17 juli 1998.
79
a. hak hidup adalah hak asasi (Pasal 3 DUHAM: setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu). b. Hak hidup sebagai hak asasi juga disebut dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik (Pasal 6: Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum, Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang). c. Dalam UUD 1945, hak untuk hidup juga diakui (Pasal 28A: setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kemudian Pasal 28I: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). PBB juga telah mengeluarkan protokol tambahan tentang penghapusan hukuman mati namun meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik, Indonesia tidak turut meratifikasi Protokol ini karena beberapa UU masih mencantumkan ancaman hukuman mati. Di samping itu, hukuman mati juga dilarang dalam konvensi eropa untuk perlindungan HAM dan kebebasan mendasar dalam statuta Roma tentang International Criminal Court, yang juga berasal dari nilai-nilai yang diakui secara internasional31.
31
Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993),edisi ke-2, h. 77.
80
Isi dan proses lahirnya Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat juga suatu hal yang patut diperhatikan dan dipelajari. Pada bagian “mengingat” dari Qanun Jinayat, selain UUD 1945, dicantumkan pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang
pengesahan
konvensi
menentang
penyiksaan
dan
perlakuan
atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Pencantuman ini memperlihatkan pandangan perumus Draft Qanun tersebut. Pembuat draft juga memandang hukuman itu juga sesuai dengan UUD 1945 dan UU HAM32. Pemaparan di bagian awal tulisan itu menunjukkan bahwa hukuman rajam bertentang dengan DUHAM, Konvensi Anti penyiksaan, Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan (secara asumstif) juga dengan UUD 1945 (meskipun fakta yang benar atas hal ini baru dapat diperoleh jika suatu saat ada judicial review terhadap isi Qanun Jinayat). Jadi, ada semacam kontradiksi dalam pencantuman diktum “mengingat” dengan isi Qanun. Sampai dengan sekarang penjatuhan hukuman mati tetap menjadi suatu hal yang kontroversial, melanggar HAM dan karena itu banyak yang menentang (sekitar 32
Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh, Tabloid KONTRAS No. 509, Tahun XI, 1 - 7 Oktober 2009.
81
130 negara sudah menghapus hukuman mati), namun ternyata masih pula banyak negara yang mencantumkan hukuman tersebut dalam UU mereka (sekitar 50 negara). Seluruh negara di Benua Eropa sudah menghapus hukuman mati. Namun di Amerika Serikat beberapa negara bagian masih menerapkan hukuman mati, bahkan pada masa Clinton menjadi Presiden AS hukuman mati diperluas. Hukuman mati juga diterapkan di Malaysia, Singapura, Vietnam, Jepang, dan negara-negara di jazirah Afrika dan Arab dan lain-lain. Di Indonesia, dikenakan terhadap pelaku kejahatan jenis tertentu seperti terorisme, narkotika dan pembunuhan berencana. Eksekusi hukuman mati dalam Negara Indonesia dilakukan dengan menembak terhukum sampai mati. Karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang mengakui hak untuk hidup sebagai hak asasi, maka telah pernah dilakukan judicial review terhadap ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika. Namun Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak melanggar konstitusi sebab hukuman itu ditujukan untuk menghormati hak orang lain. Dalam Pasal 28J ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. bentuk penyiksaan dan hukuman mati sangat dipandang kejam dan tidak manusiawi, tetapi kadangkala kemudian dijustifikasi dengan pernyataan bahwa
82
pelaksanaan hukuman itu dilakukan atas dasar putusan pengadilan. Tetapi dalam konteks diskursus HAM internasiona33l, Pasal 5 DUHAM yang menyebut: Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Sedangkan Pasal 7 Konvensi Hak Sipil dan Politik34, mengatur: Tidak seorangpun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Berikutnya terdapat dalam konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan meredahkan martabat manusia. Pada intinya menegaskan larangan penyiksaan dan adanya kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya. Dengan beberapa penjalasan di atas maka menjadi jelas kiranya landasan berpikir atau berpijak terhadap posisi hukuman rajam sampai mati sebagaimana diatur dalam Qanun Jinayat yang disahkan oleh DPRA beberapa waktu lalu saat berhadapan dengan DUHAM dan konvensi-konvensi internasional HAM lainnya.
33
Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993),edisi ke-2, h. 26. 34 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, (Jakarta: UI-Press, 1993),edisi ke-2, h. 28.
83
C. Pelaksanaan Pidana Rajam dan HAM di Indonesia a. Peluang Pidana Rajam di Indonesia Pelaksanaan hukum rajam di Indonesia dinilai melanggar semangat perlindungan Hak Asasi Manusia dan akan menurunkan martabat manusia. Salah satu uqubat (hukuman) rajam kini termaktub dalam Qanun Jinayat yang telah disahkan DPRA. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim mengatakan pemberlakuan hukum rajam, selain melanggar Konvensi Internasional Anti Penyiksaan yang diratifikasi pada 1998 juga melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Produk hukum yang menyiksa tersebut dipandang melanggar HAM35. Eksekusi dengan pidana rajam juga dipandang bertentangan dengan semangat konstitusi amandemen kedua HAM tentang jaminan perlindungan hak asasi, termasuk tidak boleh diberlakukannya hukuman yang kejam. Dalam draf Qanun Jinayat yang disahkan DPRA, ditetapkan hukum rajam bagi penzina yang telah menikah. Pro dan kontra kemudian muncul terkait hal tersebut. Sejumlah LSM, termasuk Pemerintah Aceh menolak klausul rajam.Pasal yang menjadi pro dan kontra tersebut, yakni pasal 24 ayat (1) menetapkan hukuman seratus kali cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah dan hukuman rajam bagi
35
hal ini disampaikan di tabloid harian aceh, Selasa (15/9/2009).
84
pelaku zina yang sudah menikah. Di ayat (2) disebutkan bagi pelaku jarimah seperti yang disebutkan di ayat (1) bisa juga dikenakan hukuman penjara 40 bulan36. Hukum apabila dilihat dari artinya merupakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkunagan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran apapun terhadap peraturan-peraturan tersebut berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu. Pendapat ini dikemukakan oleh J.C.T Simorangkir. Dari azas hukum yang lain yaitu “lex specialist derohgat lex generalist” dapat disimpulkan bahwa aturan hukum
37
yang khusus dapat mengeyampingkan
aturan hukum yang berlaku umum, dalam kontek ini hukum pidana yang berlaku umum dapat dikesampingkan oleh Qanun Jinayat dalam yang khusus karena berlaku secara teritorial dan individual terutama muslim untuk provinsi Aceh, dan juga diberikan pilihan kapada non muslim untuk memilih aturan hukum yang mana dari kedua aturan hukum tersebut, disebut dengan istilah “penundukan hukum”. Namun dari sudut pandang Ulama “kalau kita memberikan hukuman bagi orang yang belum diberitahukan sebelumnya tentang hukuman yang bakal dijatuhkan kepadanya, sama halnya kita telah bertindak zalim kepada orang tersebut”. Pemikiran tersebut tentu ada benarnya, karena pemeritah juga dengan memberlakukan sebuah aturan hukum yaitu baik Undang-Undang maupun Qanun tidak serta merta biasanya 36
tabloid harian aceh, Selasa (15/9/2009). R. Soenarto soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), ed-5, h. 8-9. 37
85
langsung berlaku pada saat detik, jam, hari dan tanggal itu juga. Akan tetapi kebiasaannya dibutuhkan waktu sosialiasi yang kemungkinan sampai berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun untuk diketahui oleh hal layak masyarakat. Berkaitan dengan sikap keras Gubernur Irwandi Yusuf seperti dikutip sebuah koran lokal (Sabtu, 24/10/2009) yang menolak menandatangani draft Qanun Jinayat yang disodorkan oleh DPRA disebabkan adanya poin hukuman rajam dalam qanun tersebut yang tidak beliau setujui. Dalam pandangan beliau hukuman rajam itu melanggar HAM dan tidak sesuai dengan hukum dalam konteks Nasional dan Internasional Demikianlah sedikit ulasan bagaimana pemberlakuan rajam yang termuat dalam materi Qanun Jinayat yang akan di berlakukan di Aceh sebagai hukuman bagi pelaku zina muhshan yang banyak di tolak oleh beberapa kalangan di Indonesia. b. UU HAM di Indonesia Berbicara tentang HAM di Indonesia tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah perumusan konstitusi dasar negara RI, UUD 1945. Bila kita kembali merujuk kepada UUD tersebut akan ditemukan 7 pasal yang terkait langsung dengan hak-hak asasi manusia. UUD negara RI sudah lahir sejak bulan Agustus 1945 sedangkan UDHR dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, jadi umur kemerdekaan Indonesia tiga tahun lebih tua dari lahirnya UDHR. Namun dalam hal ini Indonesia
86
sangatlah tertinggal karena negara-negara lain telah memiliki 30 pasal tentang HAM.38 Diakui memang dalam rentang waktu yang cukup lama setelah proklamasi negara RI, banyak kejadian yang di negara maju dianggap sebagai pelanggaran yang serius terhadap hak-hak asasi manusia, namun di indonesia dipandang adalah hal yang biasa saja. Misalnya, kebebasan beebicara dan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat. Di kala itu kebebasan mimbar sangatlah di batasi, apalagi jika sudah berisi kritikan kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan mudah dituduh sebagai kegiatan subversi.39 Dalam contoh hal ini seperti apa yang dialami oleh kelompok Petisi 50, dan yang dialami oleh korban peristiwa tanjung priok 1984. Seiring dengan berkembangnya kemajuan yang dibawa oleh barat dari adanya kecenderungan perubahan dalam perpolitikan Indonesia pada akhir dekade delapan puluhan telah membawa perubahan kemajuan dalam perkembangan demokrasi.40 Maka sejak tahun 1989, presiden memasukan isu tentang HAM dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan pendapat di dalam pidato kenegaraan, yang mana hal tersebut sangat berpengaruh terhadap politik penegakan hukum di Indonesia. Di tahun
38
Adnan Buyung Nasution, Diseminasi Hak-hak Asasi Manusia, Editor, E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniyah, (Jakarta: LP3ES, 2000), h. 23 39 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 102 40 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 103
87
1993 diselenggarakan konferensi dunia tentang HAM yang dihasilkan Sekjen Wina sebagai penegasan HAM di seluruh dunia termasuk Indonesia. Dalam konferensi itulah Sekjen PBB Boutros Ghali menyatakan “Bahwa yang menyetujui Deklarasi Vienna dan Piagam Aksi itu, adalah mereka yang memahami komitment masyarakat Internasional dalam memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia”.41 Indonesia merupakan salah satu negara yang bergabung dalam keanggotaan PBB dan telah resmi menjadi anggota Komisi Hak-Hak Asasi Manusia yang berpusat di Jenewa sejak januari 1991, menyambut deklarasi wina tersebut. Maka pada tahun 1993, melalui KEPPRES RI No. 50/1993, dibentuklah Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Keputusan tersebut segera disusul dengan KEPPRES No. 476 tahun 1993 tentang susunan organisasi dan personilnya. 42 Sejalan dari terbentuk pula sebuah Undang-undang Republik Indonesia tentang Hak Asasi Manusia (HAM) No. 39 Tahun 1999. D. HAM dalam Islam Di atas telah di paparkan tentang HAM yang semua nya berasal dari PBB atau kemajuan barat. Namun sejauh ini perlu untuk di ketahui bahwasanya dalam Islam pun telah ada komitmen HAM (hak-hak Asasi Manusia) jauh sebelum HAM di
41
Deklarasi Vienna, Program Aksi Konferensi Dunia Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM, 1997), h. 1. 42 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 104.
88
Indonesia dan barat terbentuk, bahkan HAM menurut Islam sendiri telah ada dan lahir ketika zaman dakwah Nabi Muhammad SAW. Dari apa yang telah dikaji dalam Islam bahwasanya Hak yang bersifat absolut menurut Islam ada di tangan (kekuasaan) Allah. Allah adalah pemilik yang sesungguhnya atas apa yang ada pada alam semesta termasuk manusia itu sendiri. Oleh karena itu disamping memiliki hak namun manusia juga memilki kewajiban kepada Tuhan penciptanya maupun kepada manusia dan makhluk lainnya yang mesti di penuhi sebelum datangnya hak. Dari kalimat tersebut sepanjang ajaran Islam, Allah adalah pemilik hak mutlak, sebaliknya manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas sebagai pengemban amanah mewujudkan kemashlahatan manusia lahiriyah dan bathiniyah dan juga berikut alam semesta. Dalam pemahaman Islam hak akan timbul tanpa dituntut jika manusia masing-masing mentaati apa yang menjadi kewajiban terhadap Allah SWT. Yang mana hal tersebut selalu terlukis dalam ikrar lima kali setiap hari saat mendirikan shalat:
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-An’am :162).
Dalam hal ini penulis katakan dalam hal ini seperti apa yang telah ditulis dalam karya Ahmad Kosasih dalam bukunya yang berjudul HAM Dalam Persfektif
89
Islam bahwasanya manusia adalah jagat kecil atau suatu mikrokosmos yang menjadi cermin bagi jagat besar atau makrokosmos yang meliputi alam semesta. Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan yang mana dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah atau wakilNya. Dalam pandangan Islam HAM adalah tuntutan fitrah manusia43. Dismping itu manusia mempunyai nilai yang sangat tinggi di muka bumi ini, oleh Islam ditempatkan sebagai makhluk yang memilki keutamaan dan kemulian, memilki harkat dan martabat sebagaimana apa yang telah dismpaikan dalam QS. AlIsra ayat 70
Artinya:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Isra’ : 70).
Adapun dalam Islam bukan hanya terdapat HAM (hak asasi manusia), akan tetapi berimbang dengan KAM (kewajiban asasi manusia) yang mana jika tidak terpenuhinya kewajiban maka tidak didapatkannya pula haknya. Islam juga membatasi hak dan kebebasan seseorang dengan hak dan kebebasan orang lain, maka
43
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 29.
90
hendaknya tidak dibenarkan untuk mendapatkan hak yang menghilangkan atau mengganggu hak orang lain. Seperti : 1.
Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2.
Perbuatan tersebut tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya menimbulkan kerugian baginya.
3.
Perbuatan tersebut menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.44
Maka dengan adanya hal di atas mesti terdapat perimbangan antara hak individu dan masyarakat beserta kewajiban asasi nya terhadap Tuhan dan manusia. Dalam hal ini negara-negara Islam pun mempunyai ketentuan tentang garis-garis HAM yang mereka anut, yang mana pada beberapa muatannya terdapat garis yang sama namun juga tidak sedikit garis dan unsur yang berbeda. Dalam hukum Islam jelas tingginya kedukan antara HAM (Hak Asasi Manusia) dan KAM (Kewajiban Asasi Manusia)45. Seperti apa yang telah ditunjukkan pada ayat- ayat berikut: Perintah untuk saling mengenal dan toleransi antar manusia (Q. S. 49, ayat: 13)
44
Ahmad Zaki Yamani, Syari’at Islam Yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), h. 47. 45 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h. Xi.
91
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q. S. 49, ayat: 13)
Perintah untuk menunaikan amanat (Q.S. 4, ayat: 58)
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(Q.S. 4, ayat: 58)
Ayat bagi para penentang hukum Allah (Q. S. 4; 105)
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q. S. 4, ayat: 105)
92
Dan sesungguh nya masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan atas makna kewajiban namun dalam hal ini sebuah kewajiban yang telah diberikan Tuhan terhadap manusia melebihi nialai hak asasi manusia46. Hak yang bersifat absolut dalam hukum Islam hanya ada pada Allah. Allah adalah maha pemilik yang sesungguhnya atas segala apa yang ada pada alam semesta termasuk manusia sejatinya47. Oleh karena itu selain manusia memilki hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban asasi baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada manusia dan makhluk lainnya. Sejauh ini hukum Islam pun merumuskan tentang HAM dan KAM sebagai aplikasi dari apa yang ada pada ayatayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang mana manusia mempunyai tugas sebagai khalifah Nabi sehingga tertuang konsep HAM dan KAM Islam tersebut dalam konstitusi yang terjadi pada era nabi Muhammmad yang disebut Piagam Madinah. Disamping itu negara-negara Islam pun merumuskan konsep HAM dan KAM dalam rancah Deklarasi Kairo 5 Agustus 1990 yang dikenal dengan Cairo Declaration (CD)48.
46
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
47
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
Xi. xii. 48
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. xxv
93
Piagam Madinah Piagam ini adalah piagam perjanjian atau jaminan yang di berikan Nabi Muhammad SAW kepada umat muslim dan kaum Yahudi Madinah mengenai hak dan kewajiban untuk mengadakan sulhun (perdamaian) dan perbaikan dalam lingkungan Madinah ketika masa Nabi Muhammad SAW yang mana ketika itu beliau bukan hanya sebagai Rasul dan kepala agama tapi juga beliau adalah pemimpin negara yang membuatkan piagam madinah bagi segenap warganya sebagai konstitusi yang diikuti dan berisi49 : Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad SAW dan berlaku bagi orang beriman dan Islam (yang berasal) dari suku Quraisy dan Yatsrib (Madinah) serta orang-orang yang mengikuti, menggabungkan diri dan berjuang dengan mereka. 1.
Sesungguhnya mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain.
2.
Kaum Muhajirin dari suku Quraisy, sesuai dengan kebiasaan mereka sebelumnya, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah antar sesama mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di sesama orang-orang Mukmin.
3.
Bani Auf, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darahseperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka dan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama Mukmin.
4.
Bani Sa’idah, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orang-orang Mukmin.
5.
Bani Hars, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus
49
Nourouzzaman shiddiqi, Piagam Madinah, dalam M. Luqman Hakim, (ed.), Deklarasi Islam Tentang HAM, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 178.
94
tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orangorang Mukmin50. 6.
Bani Jusyam, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orangorang Mukmin.
7.
Bani Najjar, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orangorang Mukmin51.
8.
Bani Amr Bin Auf, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orang-orang Mukmin.
9.
Bani Nabit, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orangorang Mukmin.
10. Bani Aus, sesuai dengan kebiasaan mereka, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah, dan setiap suku menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil di antara sesama orangorang Mukmin52. 11. Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan seseorang, yang menanggung beban hidup dan hutang di antara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan perang atau menunaikan diat.
50
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h. 167, kemudian lihat juga pada Nourouzzaman shiddiqi, Piagam Madinah, dalam M. Luqman Hakim, (ed.), Deklarasi Islam Tentang HAM, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 178. 51 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h. 168. 52 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h. 168.
95
12. Seorang yang beriman tidak diperkenankan mengikat janji tertentu (pada kelompko lain) untuk memusuhi orang yang beriman lainnya53. 13. Orang-orang yang beriman dan bertaqwa harus menentang orang yang suka berbuat jahat, aniaya, permusuhan, dan kerusakan di antara orang mukmin sendiri, termasuk pada anak sendiri. 14. Orang beriman tidak boleh membunuh orang beriman lainnya, lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh juga orang mukmin membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin54. 15. Jaminan Allah SWT, itu satu yaitu jaminan (perlindungan) yang diberikan pada mereka yang lemah, sesungguhnya antara sesama mukmin itu saling membantu dan tidak bergantung satu sama lain. 16. Sesungguhnya orang-orang Yahudi yang mengikuti kita (umat Islam) berhak atas pertolongan dan persamaan, selam mereka tidak menzhalimi umat Islam55. 17. Perdamaian bagi seluruh orang yang yang beriman adalah satu, seseorang (yang beriman) tidak boleh melakukan perdamaian secara mandiri dalam suatu peperangan di jalan Allah SWT, tanpa menyertakan seseorang (yang beriman) yang lain, kecuali jika perdamaian yang dibuat itu mengandung hak-hak prinsip-prinsip keadilan yang sama. 18. Setiap orang yang satu pasukan dengan kita (umat Islam) harus bekerja sama satu dengan yang lainnya. 19. Orang-orang beriman (boleh) menuntut bela atas pembunuhan orang beriman lainnya dalam peperangan di jalan Allah SWT. Mereka (yang beriman dan bertaqwa) berada dalam petunjuk yang baik dan benar. 20. Orang Musyrik (Madinah) dilarang melindungi harta dan jiwa orang musyrik Quraisy, dan mereka (musyrik Madinah) tidak boleh campur tangan ketika orang mukmin berperang dengan musyrik Quraisy56.
53
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
54
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
55
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
56
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
169. 169. 168. 170.
96
21. Siapa yang membunuh orang mukmin dan perbuatannya itu didukung oleh bukti-bukti yang kuat, (maka) si pembunuh itu harus dikenai hukum bunuh (Qishash), kecuali wali orang yang dibunuh itu rela (menerima diat). Seluruh orang yang beriman harus bersatu dalam melaksanakan hukuman bunuh (terhadap si pembunuh). 22. Tidak dibenarkan bagi orang beriman mengakui piagam ini dan percaya kepada Allah SWT dan hari Akhir, (namun di sisi lain) membantu dan melindungi pembunuh. Siapa yang membantu dan melindungi pembunuh maka akan dimurkai dan dikutuk oleh Allah SWT di hari kiamat nanti, di saat penyesalan tidak berlaku lagi57. 23. Apabila terjadi suatu perselisihan di antara kamu, maka kembalilah pada ketentuan Allah SWT, dan keputusan Muhammad SAW. 24. Orang-orang kaum Yahudi memikul biaya perang bersam orang-orang mukmin. 25. Orang-orang Yahudi dan Bani Auf, adalah satu umat dengan orang mukmin. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang teguh pada agama mereka, dan orang Islam pun berpegang teguh pada agama mereka, termasuk juga sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang bernuat aniaya dan durhaka, orang-orang seperti ini hanya akan merusak diri dan keluarga mereka. 26. Kaum Yahudi Bani Najjar, Bani Hars, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Sa’labah (termasuk suku Jafnah dan sekutu-sekutunya yang lain), Bani Syutaibh diperlakukan sama sebagaimana Bani Auf, kecuali bagi mereka yang berbuat zhalim dan jahat. Karena kezhaliman dan kejahatan hanya akan merusak diri dan keluarga mereka. 27. Kerabat kaum Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi Madinah)58. 28. Tidak seorang pun dibenarkan keluar (untuk perang) kecuali seizin Muhammad SAW. 29. Seseorang tidak boleh dihalangi untuk menuntut haknya, karena ia dilukai oleh orang lain. Jika seseorang diserang, maka (wajib) baginya dan keluarganya untuk menjaga diri, kecuali ia berbuat aniaya 57
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
170. 58
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h. 171, lihat juga pada Nourouzzaman shiddiqi, Piagam Madinah, dalam M. Luqman Hakim, (ed.), Deklarasi Islam Tentang HAM, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 181.
97
sebelumnya. Sesungguhnya Allah SWT telah membenarkan (ketentuan) ini. 30. Orang-orang Yahudi dan orang-orang mukmin memiliki kewajiban yang sama yaitu saling menasehati, saling memenuhi janji tanpa berkhianat59. 31. Seseorang tidak berhak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya. 32. Orang-orang Yahudi dan orang-orang mukmin secara bersama-sama memikul biaya peperangan60. 33. Tanah Yatsrib (Madinah) adalah kota haram (suci) yang dihormati oleh orang-orang yang mengakui piagam madinah ini. 34. Para tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan dikenai perbuatan jahat. 35. Tempat-tempat yang dihormati tidak diperkenankan untuk didiami kecuali seizin warganya (Madinah)61. 36. Apabila terjadi perselisihan antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Allah SWT bersama orang-orang yang teguh dan setia memegang piagam ini. 37. Sesungguhnya tidak ada perlindungan bagi kaum quraisy (Makkah) dan para pendukung mereka. 38. Para pendukung piagam ini harus saling membantu dalam menghadapi penyerang kota Madinah. 39. Apabiala para pendukung piagam ini diajak berdamai (oleh para penyerang), maka kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai dengan tugasnya62. 59
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
60
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
61
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
62
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
171. 171 171. 172.
98
40. Orang-orang Yahudi Aus, baik dari diri mereka sendiri atau para sekutunya, memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kelompok lain pendukung piagam ini, yaitu mendapat perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. 41. Setiap kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (penghianatan) dan seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sesungguhnya Allah SWT bersama pihak yang benar dan patuh terhadap isi piagam ini. 42. Seseorang tidak akan melanggar isi piagam ini, kecuali mereka yang berbuat aniaya dan jahat63. 43. Siapa saja yang keluar (bepergian) dari Madianah, atau tetap berada di Madinah dijamin keselamatannya, kecuali mereka yang zhalim dan khianat. 44. Allah SWT dan Muhammad SAW adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. Demikianlah uraian tentang isi piagam Madinah akan jaminan hak dan kewajiban yang diberikan oleh Nabi Muhammad kepada segenap warga Madinah ketika masa awal mula berdiri Islam.
.
63
172.
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), ed-1, h.
BAB IV PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PIDANA RAJAM A. Titik Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Islam dan HAM tentang Pidana Rajam Dari apa yang diuraikan pada bab II dan III sedikit banyaknya penulis menyingkap perihal pidana rajam dalam hukum Islam dan HAM, dari penjelasan tersebut telah digambarkan bagaimana posisi pidana rajam disorot dari pandangan HAM menurut barat, maka dalam dua basis tersebut jelas terlihat bahwa antara hukum Islam dan HAM tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan antara satu dengan yang lainnya1. Antara hukum Islam dan HAM menurut barat dalam rajam sesuai UDHR mempunyai suatu titik persamaan dalam menyorot adanya hak bagi manusia dan perbedaan yang mendasar dalam pidana rajam pada hal aplikasi eksekusinya, hukum pidana rajam yang merupakan produk hukum Islam bermuara pada kepatuhan dan ketaatan terhadap apa yang Allah tentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah2, dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa pidana rajam merupakan bentuk hukuman mati yang dikenakan kepada pelaku zina muhshan yang dalam eksekusinya dilakukan dengan melempari batu kepada terpidana oleh masyarakat ramai yang berada di tempat tersebut dengan posisi terpidana di dalam lubang dan dilempari batu-batu 1
Abul A’la Al-Maududi dalam dan Tahir Mahmood (Ed), Human Rights in Islamic Law, (New Dehi: Jamia Nagar, 1993), First Edition, Institut Of Objective Studies, h. 2. 2 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h.36.
99
100
berukuran sedang sampai mati. Namun produk hukum Islam yang ini dipandang oleh golongan
barat
merupakan
hukuman
yang
sangat
kejam,
sadis,
tidak
berprikemanusiaan, mengandung unsur merendahkan martabat, pecehan terhadap seseorang dan didalam hukum yang berkembang ini dianggap merupakan jenis hukuman yang melanggar HAM dan prikemanusiaan karena mengandung penyiksaan3. Menurut pendapat Mashood (Dosen Oxford Univercity) menguraikan dalam hal persamaan antara hukum Islam dan HAM internasional, yang mana masingmasing keduanya mempunyai konsep HAM bagi manusia4. Seperti adanya Cairo Declaratioan (CD) dan Piagam Madinah sebagaimana penulis sebutkan di atas. Ahli fiqh dalam Cairo Declaration juga sepakat dalam bahwa penyiksaan atau perlakuan serta penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi dilarang selama berlangsungnya interogasi para pelanggar hukum. Hal tersebut tertera pada pasal 20 Deklarasi Cairo Organisasi Konferensi Islam tentang HAM Islam menetapkan bahwa5: Dilarang menjadikan oang disiksa secara fisik dan psikologis, atau segala bentuk penghinaan, kekejaman dan penistaan.
3
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 39. 4 Mashood A. Badrun, Hukum Internasional HAM dan Hukum Islam, (Jakarta: Oxford University Press, 2003), yang ditulis oleh Komnas HAM, 2007, h. 80. 5 Mashood A. Badrun, Hukum Internasional HAM dan Hukum Islam, (Jakarta: Oxford University Press, 2003), yang ditulis oleh Komnas HAM, 2007, h. 77-78.
101
Dari berbagai macam persamaan antara HAM dalam Islam dan HAM Internasioanal setelah digelar deklarasi kairo oleh para ulama islam dan DUHAM dalam HAM internasional antara lain adalah 6: 1. Persamaan tentang Hak persamaan dan kebebasan yang mana di dalam terdapat : a. Hak persamaan di dalam politik dan hukum. b. Hak berekspresi dan mengeliarkan pendapat. c. Hak berpartisipasi dalam politik dan pemerintah. d. Hak wanita sederajat dengan pria (persamaan). e. Hak kebebasan memilih agama. f. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial. g. Hak kebebasan bertempat tinggal dan mencari serta bersuaka. 2. Hak hidup, perlindungan dan kehormatan7: a. Hak hidup dan memperoleh perlindungan. b. Hak atas kehormatan pribadi. c. Hak anak dari orang tua. d. Hak memperoleh pendidikan dan berperan dalam perkembangan iptek. e.
6
Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan.
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h.46. 7 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 68.
102
f. Hak tahanan dan narapidana. 3. Hak kepemilikan8: a. Hak kepemilikan pribadi. b. Hak menikmati hasil, produk ilmu dan hak cipta. c. Hak menikah dan berkeluarga. Demikianlah beberapa kovenant yang terdapat persamaan antara HAM dalam Islam dan HAM Internasional. Namun disamping terdapat persamaan HAM dalam Islam ataupun hukum Islam dalam konsep HAM jenis hukuman rajam mengandung dua kategori tindakan yang bertentangan dan dilarang, yaitu : 1.
Unsur Tindakan menyiksa (dilempari batu)
2.
Unsur hukuman mati (dilempari batu sampai mati)
Dua unsur ini dipandang telah melanggar kesepakatan yang ada pada kandungan kovenant UDHR yang di antaranya : 1. DUHAM pasal 7 yang berbunyi : Tidak seorang pun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperiment medis atau ilmiah tanpa persetujuannya.
8
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h.81.
103
2. Konvensi anti penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan meredahkan martabat manusia pasal 1 ayat (1) yang berbunyi9 : Untuk tujuan konvensi ini, istilah penyiksaan’ berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau derita hebat, baik jasmani maupun mental pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga dengan menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau di duga telah di lakukan atau mengancam atau memaksa orang atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang di dasarkan pada deskriminalisasi, apabila rasa sakit dan penderiataan tersebut di timbulkan oleh atau atas hasutan dari dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari melekat pada atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlalu. 3. DUHAM pasal 3 mengenai hak hidup adalah hak asasi : setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu 4. Konvensi Hak Sipil dan Politik Pasal 6: Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum, Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenangwenang 5. UUD 1945, hak untuk hidup juga diakui, pasal 28A: setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya 6. UUD 1945 Pasal 28I: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 9
1465 UNTS,hal. 85.lihat juga pasal 7 (2) (E) tentang Statuta Mahkamah Pidana Internasional. UN Doc. A/CONF.183/9 17 Juli 1998.
104
Hal tersebut adalah beberapa perihal yang membuat jurang antara hukum pidana rajam dalam Islam dan HAM10. Maka dari hal yang bertentangan ini bersumber atau di latar belakangi dari awal ditarik nya tali kedua hukum tersebut berasal, maka akan terlihat apa yang menyebabkan kedua hukum tersebut saling berseberangan. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan beberapa faktor yang dominan yang menyebabkan kedua hukum tersebut menjadi berseberangan dan bertentangan satu dengan yang lain, ada beberapa perbedaan sisi tentang rajam menurut Islam dan HAM11: 1. Sumber, a.
HAM bersumber pada filosofis karena sepenuhnya adalah produk pemikiran manusia.
b.
Sedangkan hukum Islam bersumber pada kepatuhan terhadap ketentuan Allah SWT yang ada pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
2. Sifat, a.
HAM bersifat antrofosentrik, maksudnya bahwa manusialah yang menjadi fokus perhatian utama. Manusia dilihat sebagai pemilik sepenuhnya hak
10
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h.7. 11 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. xxii
105
tersebut, maka pada pertanggung jawabannya lebih berorientasi pada nilainilai kemanusian semata. b.
Hukum Islam theosentrik, manusia dalam hal ini dilihat hanya sebagai makhluk yang dititipi hak-hak dasar oleh tuhan, bukan sebagai pemilik mutlak.oleh karena demikian ia harus menjaganya sesuai dengan aturan tuhan. Adapun penggunaan hak tersebut tidak diperbolehkan bertentangan dengan aturan tuhan.
3. Misi, a.
HAM lebih mengutamakan hak daripada kewajiban, karena itu HAM lebih terkesan individualistik. Dalam hal ini penggunaan hak oleh seseorang kurang memperhatikan memelihara hak orang lain.
b.
Hukum Islam lebih mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pada seseorang. Yang mana hak didapatkan jika seseorang telah memenuhi KAM (kewajiban Asasi Manusia)
Demikian adalah hal-hal yang melatar belakangi akan pertentangan antara hukum pidana rajam menurut Islam dan HAM. B. Kompatibelitas Hukum Tuhan Seperti apa yang diungkapkan oleh Ahmad kosasih dalam bukunya yang berjudul HAM dalam persfektif Islam bahwasanya hak yang absolut hanya dimilki
106
oleh Allah Sang Pencipta. Allah adalah pemilki hak mutlak, namun sebaliknya manusia adalah sebagai khalifah yang mengemban amanat dari Allah yang mesti dijalankan di dalam dunia12. Dalam konsep ketuhanan hak akan diberikan oleh Allah apabila manusia telah menjalankan kewajiban dan amanat dari Allah. Namun sangat berbeda dalam konsep kemanusian yang telah dikodifikasikan menjadi UDHR (Universal Declaration Of Human Rights) yang dibuat dari hasil pola fikir manusia moderen yang menganggap hak lebih didahulukan dan tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Dalam hukum Islam Allah adalah Zat yang menciptakan seluruh alam semesta dalam jagat raya ini termasuk manusia sendiri. Dia Zat yang juga menyediakan apa yang ada di langit dan bumi untuk kebutuhan manusia, karena Dia adalah Zat yang maha tau apa yang dibutuhkan manusia ke depan maka Allah lah Yang Maha berhak atas segala sesuatu di alam ini13. Hal ini ditegaskan dalam Firman Allah antara lain (Q.S. Yunus; 55); Artinya:
12
Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, Sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya) (Q.S. Yunus: 55).
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. xii 13 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama,2003), h. 33.
107
Dalam segala apa yang diciptakan Allah tiada yang sia-sia buat manusia, dari buah-buahan, bianatang, termasuk juga hukum yang telah ditentukan oleh Allah semuanya tiada yang sia-sia termasuk hukum pidana rajam yang mana hukum tersebut diciptakan untuk kelestarian dan keteraturan manusia. Selayaknya hamba dengan tuannya begitu juga manusia dengan Tuhannya yang menjadi tugas manusia untuk mentaati dan mematuhi perintah Allah dan Rasulnya, seperti perintah dalam Al-Quran (QS. Al-‘Imran: 32)14: Artinya:
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (QS. Al-‘Imran: 32).
Apa yang telah ditentukan oleh Allah semua adalah sebuah kewajiban bagi manusia untuk melaksanakannya karena telah diberi kesempatan untuk menjadi khalifah di dunia, namun tinggal bagaimana manusia itu sendiri dapat menyadarinya atau tidak. Seperti apa yang tertera pada (Q.S. Al-Baqarah; 29)15.
14
Dibuka melalui Qaidullah Al-hasani Al-Mukdisy, Fathu al-Rahman li Thalibi al-‘Ilmy, (Indonesia: maktabah dahlan, tnp), h. 276. 15 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat , (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama,2003), h. 33.
108
Artinya:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S. Al-Baqarah: 29).
Pada dasarnya setiap agama samawi mempunyai satu Tuhan yang mereka sembah yaitu Allah Azza Wa Jalla jika mereka tidak mendustakan kitab mereka. Dalam hukum Tuhan pun tidak menekankan kepada ajaran sama rata dan sama rasa, sebagaimana yang dianut dalam ajaran komunisme.16 Karena pada sisi lain hukum Islam sangat menghargai sebuah amal perbuatan (karya) seseorang. Yang mana setiap orang akan memperoleh (ganjaran) dari perbuatan baiknya, dan sebaliknya akan mendapatkan siksaan berdasarkan kejahatannya. Kejahatan atau pelanggaran tersebut dipandang karena seseorang meninggalkan kewajibannya, yang dengan itu pelaku telah melanggar atau mengganggu hak Allah dan manusia lain, oleh karena itu pelaku kehilangan haknya dan mendapatkan hukuman atau siksaan dari Allah. Agama Islam adalah agama yang menyerahkan diri, tunduk dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah Sang Pencipta dalam Al-Qur’an, dalam hal ini hukum Islam menyeru untuk berdaulat pada Tuhan bersifat theosentris, segala larangan dan perintah lebih didasarkan atas ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist selaku wahyu Allah ‘Azza Wa jalla17. Al-Qur’an sebagai kalam Allah menjadi transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia diperintahkan untuk bekerja dan hidup di atas dunia ini dengan kesadaran penuh bahwa ia harus mewujudkan
16
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan perbedaan antara Islam dan Ham, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), edisi pertama, h. 33-34. 17 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam Mengungkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 37.
109
kepatuhannya kepada kehendak Allah. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla18. The God Law (hukum Tuhan) seperti apa yang disampaikan diatas sangat menjaga arti keseimbangan antara hak dan kewajiban. Disamping itu juga lebih memperhatikan tentang kesejahteraan atau kepentingan sosial (kebersamaan) di banding kepentingan individu, yang dalam hal ini hukum Islam lebih melirik pada kemashlahatan dunia, oleh karena itu bukan hanya kehidupan manusia tetapi juga dalam hubungan dengan kehidupan makhluk ciptaan Tuhan yang lain 19. Terpenting dalam hal ini manusia adalah mahkluk (ciptaan Tuhan) yang dititipi hak dan kewajiban dasar oleh tuhan, yang oleh karena itu manusia wajib mensyukurinya dan memeliharanya dengan melakukan kewajiban sebagai khlifah20. Dari hal diatas sangat berbeda dengan hukum manusia (Man Law). Seperti apa yang telah disampaikan diatas bahwasanya hukum manusia adalah hukum yang bersumber dari manusia untuk manusia. Dari pola fikiran manusia yang berbasis pada kebudayaan, kebiasaan dan kepentingan manusia. Analogi manusia telah mampu menciptakan hukum yang mengatur untuk kemashlahatan masyarakatnya, namun hukum manusia yang demikian rentan mengalami perubahan-perubahan karena hukum ini dibuat sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat itu namun tidak untuk masa depan.hukum manusia adalah basis bagi kepentingan masyarakat yang mana 18
Wahyu M.S, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1986), h.
106. 19
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 21. 20 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 40.
110
segala sesuatu yang dianggap perlu dan menguntungkan maka sesuatu tersebut diambil sebagai bahan hukum. Salah satu contoh hukum buatan manusia yang telah dikodifikasikan menjadi kekuatan hukum yang mengikat adalah UUD 45, KUHP, KUHPer, DUHAM dan yang lainnya. Demikian adalah berbagai contoh sumber hukum negara Indonesia yang berasal dari fikiran manusia banyak yang mana kedaulatan negara berada di tangan rakyat 21. Dalam kaitannya dengan HAM manusia adalah salah satu aktor di bumi yang memiliki hak dalam dirinya. Hak ini tidak dapat dikurangi dan dipotong oleh siapapun dalam bentuk apapun, hak lebih dikedepankan dalam pandangan HAM barat sehingga tidak lagi memperhatikan tentang kewajiban. C. Aspek Mashlahat dalam Pidana Rajam Dalam apa yang diungkapkan dalam catatan Asmawi salah satu dosen fakultas syariah dan hukum UIN syarif hidayatullah dari apa yang dikutip dari tesis Hasyim Kamali, HAM dipandang tidak lah objektif dan dinilai bebas antara ia dimulai dari konteks tradisi, opini masyarakat dan budaya22. As-Syatibi dalam hal ini pun juga menjelaskan bahwa sesungguhnya hukum Islam itu ada untuk tujuan mewujudkan mashlahat bagi manusia, baik di dalam dunia
21
Lihat pasal (1) pada bab 1 (Bentuk dan Kedaulatan Rakyat) UUD 1945, pada buku hasil amandemen UUD 1945 dan proses amandemen UUD 1945 secra lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 4. 22 Kutipan Asmawi, dalam Teori Mashlahat dari Muhammad Hasyim Kamali, The Dignity Of Man An Islamic persfektive: (t.np: Ilmiah Publisher, 2002), h. ix.
111
maupun akhirat23. Dengan demikian juga As-Syatibi memandang dalam konsep yang beliau rumuskan bahwa substansi dari Maqosid As-Syariah (tujuan dari berdirinya syariah) adalah tidak lain sebuah mashlahat, yang mana sebuah kemashlahatan dapat dicapai atau terwujud apabila terpenuhinya atau terjaganya hal-hal sebagai berikut24: 1.
Memeliharanya agama (ِظ ال ِّد يْن ُ )حِ ْف
2.
Memelihara jiwa (ِظ النَفْس ُ )حِ ْف
3.
ُ )حِ ْف Memelihara akal (ظ العَقْل
4.
Memelihara kehormatan dan keturunan (ِسل ْ ض وَال َن ِ ْظ ال ِعز ُ )حِ ْف
5.
ُ )حِ ْف Memelihara harta (ِظ المَال
Dari hal ini dalam materi yang sama juga disimpulkan bahwasanya pidana rajam masuk pada kategori hukuman bagi pelanggar tidak terpeliharanya kehormatan dan ketrunan ( ض وَال َنسْل ِ ْ) َفسَا ُد ال ِعز, karena di dalam hukum Islam pidana rajam dikenakan pada pelaku zina muhshan yang mana dalam hal perzinahan dalam status menikah berarti seseorang telah menodai kehormatan pribadi dan keluarganya, hal ini juga akan sangat merusak garis keturunan jika setelah perzinahan tersebut lahir seorang anak hasil perzinahan yang bukan pada anak resmi dari suami dan istrinya yang sah. Karena kemudharatan atau dampak yang sangat buruk akibat hilangnya
23
Kutipan Asmawi dalam Teori Mashlahat dari Abu Ishaq Ibrahim As-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul As-Syariah, (Buku I, Zuz ke-2,) h. 4. 24 Muhammad Abduh malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 77.
112
kehormatan dan rusaknya keturunan Islam menghukum perbuatan tersebut dengan pidana rajam25 agar tercegah dari berbagai kemudharatan yang akan datang. Dalam konsep mashlahat yang dirumuskan oleh As-Syatibi Islam juga menganut prinsip kebebasan, toleransi dan persamaan, yang mana dalam hal ini sangat di tegakkan dalam hukum pidana Islam untuk mewujudkan terjadinya mashlahat umat. Dalam makalah Dr. Asmawi. MA. Dosen (Lektor Kepala) fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah ditegaskan bahwa hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua kategori26, 1.
Hukum-hukum yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara langsung.
2.
Hukum-hukum yang bersumber pada ijtihad tanpa bersandar langsung pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tentuntya kedua hukum tersebut sama-sama bertujuan untuk merealisasikan mashlahat. Namun sebagian dari mashlahat tersebut berubah dan berkembang secara alir lantaran perubahan atau perkembangan zaman dan kondisi serta situasi. Telah menjadi pakem para ulama bahwa mashlahat yang tidak di tegaskan oleh nash
25
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, 1983), cet ke-4, Jilid ke-2, h. 5. Makalah Asmawi, Dosen fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, yang mana dalam hal mengambil istinbat hukumnya lebih jauh menggunakan kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber hukum Islam . Dapat dilihat dalam Musthafa Hassany, As-Sunnah Wa Makanatuha fi Al-Tasyri’ Al-Islamy. (Damaskus: Al-Daar Al-Qaumiyyah, 1379H/1960M), h. 343-352. 26
113
terbuka kemungkinan untuk berubah dan berkembang namun hal ini dianggap sesuatu yang rasional dan riil27. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu Allah dan kebiasan Rasul yang semuanya juga bermuara dari petunjuk Allah bertujuan untuk terciptanya sebuah mashlahat, yang mana mashlahat tersebut sendiri bertujuan untuk membentuk individu dan dan masyarakat yang ideal yang lebih berlandaskan kepada moralitas dan hukum Tuhan, oleh karena demian terkadang Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri menjelaskan perintah-perintahnya melalui bahasa nalar dan tujuan, meskipun suatu otoritas absolut sesungguhnya tidak perlu melakukan demikian. Inilah yang menjadi alasan mengapa general dan nada legislasi Al-Qur’an bersifat umum dan rasional sehingga hukum tersebut dapat beradaptasi dalam situasi dan kondisi kehidupan yang terus berubah28. Dalam teori mashlahat yang telah ditulis diatas dapat disimpulkan bertujuan untuk terjaganya nilai kesejahteraan umat, kehidupan yang baik dan teratur. Hukum ada untuk mengatur gerak hidup manusia, yang mana manusia seperti apa yang dikatakan diatas mempunyai hak asasi, dan kewajiban asasi. Apabila seorang tidak menjalankan kewajiabannya akan berakibat hilang nya sebuah hak, bahkan dapat menimbulkan kerusakan bagi yang lain. Dalam pandangan penulis hukum dapat melahirkan dua nilai, yaitu nilai mashlahat (kebaikan) dan juga nilai kerusakan,
27
Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid Al-Diin (Kuwait: Daar Al-Da’wah, 1405H, 1985M), h. 260-261. 28 Ahmad Hassan, Analogikal Reasoning In Islamic Jurisprudence, a study of the juridical principle of qiyas, (New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), h. 153.
114
hukum yang baik akan melahirkan sebuah mashlahat (kebaikan) sebaliknya hukum yang tidak baik akan menimbulkan kerusakan. Maka diantara kedua efek hukum tersebut mesti didahulukan tingkat kerusakan yang akan terjadi pada masyarakat ketimbang harus mengambil langkah mashlahat, karena tingkat atau nilai kerusakan lebih sangat bahaya dan mesti diantisipasi sebelum terjadi kerusakan-kerusakan yang lain terjadi dari pada harus mengambil suatu mashlahat yang berdampak negatif. Yang mesti diketahui bagi para pemimpin negara bahwasanya tingkat mashlahat itu tercapai apabila sudah terhindar dari kerusakan, maka suatu hukum belum dianggap sebuah mashlahat apabila menimbulkan sebuah kerusakan29. Maka dalam hal ini seperti konsep yang ada pada qa’idah ushuliah:
ِب المَصَالِح ِ ْجل َ ن ْ َِد ْر ُء المَفَاسِ ِّد مُقَّدَ ٌم م Meninggalkan kerusakan-kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil langkah mashlahat. Selain itu juga hukum pidana rajam berfungsi sebagai hukuman yang menutup atau membendung untuk terbukanya pintu-pintu kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat pelanggaran dan kemaksiatan30. Antisipasi dalam hal penanggulangan tersebut sangat dianjurkan oleh ulama ushulul fiqh sebagai tanda kekhawatiran pemimpin atau masyarakat akan kerusakan yang akan menimpa jika tidak segera di ambil tindakan hukum yang membuat jera maka pidana rajam adalah salah satu bentuk hukuman
29
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. xxiv. 30 Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 39.
115
yang dapat memberikan jera bagi masyarakat, seperti apa yang tertera dalam Qaidah Ushuliah :
ِشَ ُّد ال َذرَائِع Menutupi pintu-pintu kejahatan-kejahatan (kerusakan-kerusakan). Maka dalam hal ini hukum Islam menetapkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran, kerusakan pada masyarakat umum, kepentingan sosial harus lebih dahulu diutamakan atas kepentingan individu. Hukum pidana rajam adalah hukuman maksimal yang ada pada hukum Islam. Hukuman tersebut adalah hukuman yang diadopsi dari hukum tuhan pada agama lain sebelum Islam yang secara turun temurun ada pada kitab-kitab samawi sejujurnya. Maka jelas bahwa hukum pidana rajam adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan bagi hambanya yang mengimaninya, pidana rajam tersebut ditetapkan adalah sebagai lambang bahwa betapa banyak nya nilai kerusakan yang akan timbul akubat perilaku zina yang dilakukan secara bebas, banyak dampak buruk yang akan menghancurkan pilar-pilar kehidupan jika perilaku zina membumi. Maka dengan kata lain bentuk tujuan pidana rajam adalah kemaslahatan manusia dalam hidup jasmani dan rohani dalam rangka memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta 31. Pidana rajam tersebutn bertujuan untuk mengingat dampak negatifnya terhadap diri, keluarga, masyarakat : 31
Hamka Haq, Filsafat Ushululfiqh, (Makasar: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h. 68.
116
1.
Menyebarnya penyakit kelamin
2.
Enggan melakukan pernikahan
3.
Mengganggu keharmonisan keluarga karena ketidak puasan seksual
Dari dal ini jika kita melihat pada setiap negara yang menganut sistem eropa kontinental, yang mana pada sumber legislasinya adalah buah fikir dari falsafah manusia yang di sepakati dalam musyawarah kemudian dijadikan landasan hukum menyikapi tentang tindakan perzinahan muhshan adalah perkara yang biasa bahkan pelaku nya hanya di hukum pidana penjara paling lama sembilan bulan seperti apa yang tertera pada KUHP pasal 284 ayat (1)32 : Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan33; a.
Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku bagi nya.
b.
Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku bagi nya.
Kemudian diterukan pada KUHP pasal 284 ayat (2)34 : a.
Seorang pria yang turut serta yang melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut serta bersalah telah kawin.
32
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h. 170-171. 33 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h. 170. 34 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h.171.
117
b.
Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Dari hukuman yang sangat ringan tersebut berimbas pada residivis-residivis pelaku zina yang dapat merusak moral anak bangsa, seperti kasus yang terjadi pada artis penyanyi dan penyiar Ariel, Luna Maya dan Cut Tari yang berimbas pada anakanak sekolah di bawah umur yang mengikuti perbuatan zina mereka
yang di
karenakan tidak jera dengan hukuman yang hanya sembilan bulan penjara. Belum lagi kerusakan seperti menyebarnya wabah penyakit kelamin yang sangat berbahaya untuk nyawa yang bukan hanya terkena pada pelaku tetapi juga tertular pada yang lainnya. Maka dari dampak-dampak kerusakan yang tersebut hukum indonesia ini belum mencapai tingkat mashlahat yang sesungguhnya menyebabkan banyak kerusakan yang menghujani akibat dari sanksi hukuman tersebut sangatlah ringan. Pidana rajam adalah hukuman yang dapat membendung angka kerusakan yang terjadi pada masyarakat, karena pidana tersebut sangat mengancam bagi para pelakunya dan membuat orang takut atau enggan untuk melakukan perzinahan muhsan, tentu saja jika seseorang takut akan jenis pidana ini maka masyarakatpun menjadi aman karena angka perzinahan semakin sedikit, dan jika perzinahan sudah tidak lagi dilakukan maka sedikit peluang untuk tersebarnya penyakit kelamin, pemerkosaan, rusaknya rumah tangga lantaran perselingkuhan, rusaknya keturunan,
118
dan keluarga pun hidup terhormat dan nyaman lantaran hilangnya kewaswasan atas kasus perselingkuhan. Pidana rajam adalah pidana mati dengan cara dilempari batu, pidana ini tentu sangat memberi rasa takut bagi seseorang yang ingin melakukan perbuatan zina muhsan, maka dari itu pidana rajam memilki nilai sebagai hukuman yang berfungsi dan bersifat preventif (mencegah) dan Educatif (mendidik yang lain)35, karena pemberlakuan hukuman ini dilakukan dengan cara disaksikan masyarakat sekitar, yang membuat masyarakat enggan dan takut untuk dihukum seperti itu sehingga pidana rajam mencegah bagi masyarakat yang menyaksikannya untuk melakukan zina muhshan. Karena sebelum ia melakukannya mesti terbesit akan pidana rajam di hatinya, kecuali jika memang pelaku sudah tidak memikirkannya lagi. Dalam hukum Islam nilai mahslahat bukan hanya diambil untuk kepentingan manusia, namun juga harus beriringan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, hendak nya kemashlahatan yang diambil oleh seorang pemimpin tidak dibenarkan jika membelakangi aturan Allah yang ada dalam Al-Qur’an, apalagi bertentangan dengan Hak-hak Allah (hudud Allah), jika seorang pemimpin mengambil keputusan yang dianggap mashlahat bagi masyarakatnya namun bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka hukum atau keputusan tersebut bukan lah suatu mashlahat yang hakiki namun menjadi hukum yang bathil, karena mashlahat yang hakiki dicapai apabila tidak menimbulkan sebuah kerusakan dan
35
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), 255-256.
119
keingkaran untuk menjalankan amanat dari Allah. Dalam hukum Islam selalu pada koridor hubungan kepada Allah ( ِ )حَ ْبلٌ ِإلَى اهللdan hubungan kepada manusia ( حَ ْبلٌ ِإلَى
ِ )النَاسyang mana kedua nya mesti diperhatikan dan tidak dapat mengesampingkan satu dari yang lainnya36. Jika salah satu dari kedua koridor tersebut ada yang terabaikan atau bertentangan maka hukum tersebut menjadi rusak dan nilainya pun menjadi bathil37. Dari hal ini pidana rajam adalah bentuk hukuman yang telah disediakan Allah untuk manusia sebagai hukuman di dunia sebagai pembersih dosa di akhirat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya manusia bukan hanya hidup di dunia saja, melainkan ada alam akhirat yang lebih kekal dari alam dunia yang mana disediaakan sebagai alam balasan manusia ketika hidup di dunia. pidana rajam adalah hukuman pembersih bagi dosa yang dilakukan oleh pelaku zina muhshan yang balasannya adalah surga karena ia telah siap dengan penderitaan hukuman atasnya untuk menuntut penganpunan dan ridho Allah38. Dari berbagai hal yang penulis ungkapkan dalam skripsi ini banyak mengulas tentang pidana rajam, penulis juga berpendapat bahwasanya pidana rajam adalah bentuk hukuman yang merangsang stimulus kita terhadap kepekaan akan ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum Allah dan Rasulnya. Dengan berbagai macam dalil yang menentangnya dan yang mempertahankannya semoga manusia bisa melihat 36
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, Edisi Pertama, 2003), h. 32. 37 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003), 255-256. 38 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 52.
120
betapa pentingnya kita untuk berpegang teguh pada tali Allah dan Rasulnya. Seperti apa yang terjadi pada kehancuran dan kerusakan yang dibawa oleh moderenitas membuat pemeluk Islam tertipu dan kehilangan tongkat dirinya. Sedikit demi sedikit banyak perintah Tuhan yang telah manusia abaikan demi kepentingan moderenitas, tidak kah hal ini dapat disadari oleh golongan yang menentang pidana rajam, Indonesia adalah negara beragama yang mana pidana rajam ini terdapat pada ajaran tiap kitab agama masing-masing39.
39
Abujamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur’an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.30.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam bagian terakhir ini penulis mencoba untuk menyimpulkan beberapa uraian di atas bahwa pidana rajam adalah hukum Tuhan yang tetap dilestarikan, diberlakukan dan diatur dalam hukum Islam dengan mengadopsi hukum dari ajaran agama-agama samawi (monotheis) sebelum Islam. termasuk dari syiar-syiar hukum Islam yang paling nampak, yaitu Allah telah mewajibkan kepada segenap manusia khususnya umat Islam melalui muara hadist Rasulnya sebagai mashdar al-hukmi (sumber hukum) dan kitab-kitab suci sebelum Islam untuk melakukan pidana rajam bagi pelaku zina muhshan sesuai dalil-dalil yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya. Pidana
rajam dikenakan pada pelaku zina muhshan di antaranya karena
pelaku menodai dan tidak menghormati keabsahan akan nilai perkawinan dan sosialnya yang mana dalam hal ini pelaku tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai makhul sosial, oleh karena itu pelaku juga kehilangan akan hak nya. Dalam pidana rajam terkandung cermin mashlahat yang sangat rasional untuk terhindar dari banyak kerusakan dan kemudharataan, oleh sebab demikian lazim atas segenap manusia untuk menaruh perhatian besar mengenai ketaatan terhadap hukum Allah ketimbang tunduk dan patuh terhadap hukum manusia.
121
122
Berdasarkan (QS. An-Nisa: 59) menjelaskan tentang hirarki sumber pengambilan hukum Islam yang hendak dijalankan pada setiap masyarakat bernegara. Dalam hal ini dijelaskan bahwasanya hukum Tuhan harus lebih utama didahulukan ketimbang hukum yang lain, hukum Tuhan sebagaimana apa yang telah dilegislasikan dalam Al-Qur’an, dan jika sebahagian masalah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maka dalam hirarkinya mesti merujuk kepada hadist Rasul sebagaimana ayat di atas, dan jika dalam hadist Rasul pun tidak ditemukan maka permalahan dipecahkan oleh seorang pemimpin. Hendaknya hukum tidak lazim berbolak-balik sehingga hukum pemimpin menyalahi, membelakangi bahkan menentang
hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-qur’an dan Hadist, namun jika terjadi yang demikian dalam hukum Islam hukum tersebut menjadi bathil. Dalam perkembangan moderenitas yang mengkodifikasikan tentang Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) atau biasa disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM) pidana rajam dianggap sebagai hukuman yang menyiksa, kejam dan tidak berprikemanusian (DUHAM pasal 7, Konvensi Anti Penyiksaan pasal 1 ayat (1), Konvensi Hak Sipil dan Politik pasal 6, (4) UUD 1945, DUHAM pasal 3 mengenai hak hidup adalah hak asasi) being jodgen (dihukumi) melanggar HAM dan dikecam serta mesti dihapus pemberlakuannya pada setiap negara yang menganut HAM . Dalam hal ini penulis memandang untuk menyerahkan permasalahan pada The Creator Of Law (Sang Pencipta Hukum) lewat Al-Qur’an dan Sunnah, yang secara hirarki mempunyai kedudukan tertinggi. Pidana rajam bukan hukum yang
123
baru namun sudah ada semenjak moyang agama Yahudi dan Nasrani berkembang dan dilestarikan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu penulis lebih berpacu kepada pelestarian hukum pidana rajam sesuai aturan hukum Islam sebagai eksekutif amanat dari Tuhan. Dengan itu penulis menyimpulkan bahwa hukum Tuhan (God Law) jauh lebih kuat dan relevan dibanding hukum legislasi atau buatan akal manusia (Man Law) yang menghilangkan nilai ketaatannya terhadap Tuhan, Rasul dan Agama. Disamping itu hukum pidana rajam juga mendekatkan masyarakat pada tercapat mashlahat karena daya hukuman yang bersifat dan bertujuan preventif (mencegah) mampu meminimalisir bahkan mencegah segala kerusakan dan mudharat dibanding reaksi UDHR dan hukuman sembilan bulan (dalam hukum Indonesia) KUHP pasal 284 ayat (1) seperti apa yang sudah terjadi pada zaman kita ini. Berdaskarkan rasio hakiki sebuah makhluk hendaknya manusia untuk bersyukur dan berbakti pada Tuhan yang telah menciptakannya. Ilmu Tuhan bukan hanya membuat manusia senang dalam dunia tapi senang juga dalam akhirat, oleh sebab itu dalam hukum Islam pun terdapat HAM yang tercipta jauh sebelum HAM barat dilahirkan. Namun dalam HAM menurut hukum Islam bukan hanya terdapat sebuah hak asasi manusia (HAM) tapi juga terdapat kewajiban asasi manusia (KAM) yang mana sebuah kewajiban mesti terpenuhi telebih dahulu untuk mendapatkan sebuah hak. Terkait keputusan HAM menurut barat dengan penghapusan hukuman mati dan hukuman yang menyiksa sangat bersebrangan dengan produk hukum Islam
124
terlebih pidana rajam yang mengandung penyiksaan dan kematian. Namun penulis menganggap bahwa hukum tersebut batal secara hukum Islam, pelestarian hukuman rajam adalah sebuah amanat dari Tuhan bagi semua umat yang meyakini kitabnya, karena hukum tersebut telah tertera pada kitab Yahudi, Narsrani, dan Sunnah Nabi. Tentu langkah berbakti dan memegang amanat kepada Tuhan yang kita pilih karena Dia Zat yang Maha menjamin atas segala kelangsungan hidup manusia (Q.S. 4;58), (Q.S. 4; 105). Dari subjek dan objek kedua hukum tersebut antara hukum Islam dan HAM mempunyai subjek yang berbeda, dalam subjek pembahasan HAM adalah manusia dan objeknya adalah manusia juga, sedangkan dalam hukum Islam subjek utamanya adalah Allah dan objeknya adalah kemashlahatan manusia. Hukum Islam memandang manusia sebagai mahluk yang mempunyai hak namun di atas dari itu Allah mempunyai otoritas penuh atas manusia sebagai Pencipta. Maka sudah tentu hukum adalah milik Allah bukan manusia, hukum Allah yang lebih utama dari buah pikir manusia. Maka istinbath atau counclusi (intisari) dari kesimpulan ini adalah pidana rajam adalah pidana yang merupakan hukum tuhan yang diamanatkan bagi seluruh manusia untuk melestarikannya, agar tertutupnya pintu kerusakan dan kemudharatan yang akan timbul di dalam dunia. Dalam kaitannya dengan keputusan HAM menurut barat terkait konvensi anti penyiksaan dan hukuman mati merupakan hukum yang dibuat oleh akal manusia yang bermuara pada satu kepentingan yaitu kemanusiaan.
125
Namun hal ini tidak dipikirkan secara ketuhanan, dalam hukum Islam sebahagian hukum ini dianggap bathil karena membelakangi dari konsep hukum tuhan yaitu Kitab-kitab Suci, Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pidana rajam mempunyai sisi dan manfaat yang lebih relefan kemashlahatannya bagi masyarakat dibanding hukum yang lain. Inilah berbagai kesimpula-kesimpulan yang dapat penulis paparkan dari matarantai permasalahan hukum pidana rajam menurut hukum Islam dan HAM. B. Saran-saran Setelah penulis memafarkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum pidana rajam menurut hukum Islam dan HAM, selanjutnya penulis akan memberikan saran sebagai berikut: 1.
Bagi kaum intelek dan akademisi khususnya para peneliti, penulis hanya mengkaji masalah pidana rajam yang diatur dalam hukum Islam dan penentangannya dalam konsep HAM menurut Barat, namun jauh dari itu masih banyak hukum-hukum Islam yang ditentang oleh HAM barat seperti hukum cambuk, hukuman mati (Qisash) dan sanksi pidana lainnya yang dianggap menentang konsep kemanusiaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan ada peneliti-peneliti lain yang mengkaji masalah hukum Islam yang lain yang dianggap bertentangan dengan HAM agar masyarakat dapat membandingkan antara hokum Islam dan HAM tentang pidana yang bertentangan.
126
2.
Bagi para ulama Islam, dengan adanya perbedaan pendapat antara ulama dikubu Islam sendiri mengenai kewajiban melaksanakan pidana rajam ini, maka perlu dikaji kembali dalil-dalil yang berbicara tentang relevansi hukum pidana rajam dalam konteks pandangan ulama sehingga lebih luas lagi di dalam memahami pidana rajam.
3.
Bagi pemeluk HAM Internasional termasuk Negara Indonesia, oleh karena konsep kemanusiaan (HAM) dibuat oleh akal manusia yang rentan memilih kepentingan sepihak maka perlu adanya pengkajian ulang atau uji materi (judicial review) tentang hal-hal yang bertentangan dengan konsep keagamaan khususnya pidana rajam atau hukuman mati karena Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi agama agar hukum tersebut dapat membawa mashlahat bagi seluruh golongan dan mengakomodir kepentingan umum (general obligation)
Begitu pentingnya pemahaman tentang pidana rajam yang diatur dalam hukum Islam dan konsep HAM tentang anti penyiksaan dan hukuman mati, sehingga perlu adanya kitab-kitab dan buku-buku lainnya, khususnya bagi pemerhati studi perbandingan hukum. Akan tetapi langkanya sesuai dengan literatur yang tersedia, maka kepada pihak yang berwenang diharapkan agar melakukan pengadaan kitabkitab dan buku-buku lainnya untuk mempermudah proses pemahaman para mahasiswa dan masyarakat luas terhadap kitab-kitab pidana rajam dan ilmu-ilmu tentang hukum Islam yang lainnya.
127
Dalam hal ini juga penulis menyatakan sikap kritis terhadap pemerintah agar melihat segala kejadian dan memperhatikan keinginan umat beragama tentang hukum. Menghimbau supaya pihak legislator untuk tidak mengadopsi hukum yang tidak selaras dengan konsep umat beragama, karena walau bagaimanapun Indonesia adalah negara yang mayoritas memeluk agama Islam, sehingga kita tetap menjadikan UUD 45 sebagai acuan yang mana setiap manusia diberikan hak untuk menjalankan agamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Al-Hakim, Abdul Hamid. Mabadi awaliyah fi Ushul al-Fiqh wa Qowa‟idi alFiqhiyah, Jakarta: Maktabah Sa’adiah Peteran, 1927M. Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Ali, Atabik. dan Muhdlor, A. Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Jogjakarta: Multi karya Grafika pondok krapyak, 1998. ad-Dimasyqi, Al-Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsîr al-Qurasyi. Tafsir al-Qur‟ân al-Azhim, Beirut: Dâr at-Turats al-‘Arabi, jilid 1. al-Bukharî, Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdullah. Shahih Bukhari, Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1999, juz 2. Al-Kitab, Jakarta: Lembaga Percetakan Al-kitab Indonesia, 1995. Al-Jaziri, Abdul Rahman. Kitab Al-Fiqh „ala Al-Mazhahib Al-Arba‟ah, juz V, Beirut: Darul Fikri, cet ke I. Amir, Abdul Aziz. at-Ta‟zir fi asy-Syari‟ah al-Islamiyah, Beirut: Darul Fikri Arabi, Cetakan IV, 1969. Al-Muqdisi, Qaidullah Al-Husni. Fathur Rahman li Thalabil Qur‟an, Indonesia: Maktabah Dahlan. Al-Mundziri, Imam. Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka Amani, Jilid 1, 1994 M. ................... .Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: pustaka Amani, Jilid ke-2. 2001M.
128
129
Alston, Philip Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, Cet ke-1, 2008. As-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim. al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, Buku I, Zuz ke-2. Asmawi, (Lektor Kepala) Dosen fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, dalam Iman Ilmu Ihsan, Jakarta: Blok Net, tnp. Al-‘Atsqalani, Ibnu Hajar (Ed), Nawawi, Mahmud Amin. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378M. ar-Rasyid, Aba’ bin Hafidz (w. 595 H). Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Surabaya: Al- Hidayah. Asmawi, Kompilasi Hadist Hukum Pidana Islam, Jakarta: tnp, 2009. Azami, Muhammad. Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Al-Bukharî, Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah. Shahih Bukhari, Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1999, jilid 1. Bantasyam, Saifuddin. Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala DarussalamBanda Aceh, Tabloid KONTRAS No. 509, Tahun XI, 1 - 7 Oktober 2009. Brownlie, Ian. Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UIPress, Cet-1, 1993. Brownlie, Principles Of Public Internayional Law, Jakarta: UI-Press, edisi ke-3, 1979. Brownlie, Ian. Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, edisi ke-2, Jakarta: UI-Press, 1993. Darul Masriq Beirut, Kamus al- Munjid fi al- Lughah wa al A‟lam, Beirut lebanon: Maktabah Syarqiyah, 1986.
130
Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Tarjamanya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di tetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 217A (III), tertanggal 10 Desember 1948. Pada pasal 1. ................ Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. ................ Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. ................. DUHAM pasal 2 ayat (1). ................. DUHAM pasal 2 ayat (2).
Deklarasi Vienna, Program Aksi Konferensi Dunia Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta: Komnas HAM, 1997. Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993 cetakan ke-5. Haq, Hamka. Filsafat Ushulul fiqh, Makasar: Yayasan Al-ahkam1998. Hassany, Musthafa. As-Sunnah Wa Makanatuha fi Al-Tasyri‟ Al-Islamy. Damaskus; Al-Daar Al-Qaumiyyah, 1379H/1960M. Hassan, Ahmad. Analogikal Reasoning In Islamic Jurisprudence, a study of the juridical principle of qiyas, New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994. Haq, Hamka. Filsafat Ushululfiqh, Makasar: Yayasan Al-ahkam, 1998. Hassan, Ahmad. Tarjamah Bulugh al-Maram, Bandung: Diponogoro, cet ke-xxiii. I.C.J. Reports, Bercelona Traction Case, 1970. Kamali, Muhammad Hasyim. The Dignity Of Man An Islamic persfektive: (Beirut: Ilmiah Publisher, 2002. Komnas HAM, Undang-Undang HAM 1999, UU RI No. 39 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
131
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Deklarasi Vienna Program Aksi dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia, Jakarta: Diterbitkan oleh KOMNAS HAM edisi Bahasa Indonesia, 1997. Kosasih, Ahmad. HAM Dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan HAM, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, Cet ke-1. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995. Malik, Muhammad Abduh. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003. Marpaung, Laden. Asas, Teori dan Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Maududi, Maulana Abdul A’la. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet Ke-1, 1995, h 51. M. Boediarto, dan Saleh, K. Wajuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet Ke-2, 1982. Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cetakan pertama, 2005. Nasution, Adnan Buyung. Diseminasi Hak-hak Asasi Manusia, Editor, E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniyah, LP3ES, Jakarta: 2000. O’Byrne, Darren J. Humen Rights An Introduction, New Delhi: Pearson Wducation Limited, 2003. Partanto, Pius A dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
132
Perjanjian Lama, Ulangan 22; 22-23, Keluaran 22; 19, Imamat 24; 16, Injil, Yohanes 8; 2-10. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , Bandung: Refika Aditama, 2003. Purbopranoto, Kuntjoro. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta: Pradya Paramitra, 1982. Rahman, Abdur. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Rosyada, Dede. Hukum Islam Dan Pranata Sosial Jakarta: Lembaga Study Islam Dan Kemasyarakatan, 1992. Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah, Beirut: Darul Fikri, 1984. Sa’id, Busthami Muhammad. Mafhum Tajdid Al-Diin Kuwait: Daar Al-Da’wah, 1405H, 1985M. Salah satu konsideran Universal Declaration of Human Rights menyatakan : “ Now therefore the general Assembly proclaim this UDHR as a common standartd of achivement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to secure their universal and effective recognition and obsevance, both among the peoples of member state themselves and among the peoples of territoris under their jurisdiction.” Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan Pustaka, 1994. Shiddiqi, Nourouzzaman. Piagam Madinah, dalam M. Luqman Hakim, (ed.), Deklarasi Islam Tentang HAM, Surabaya: Risalah Gusti, 1993. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Peteham, 1996. Soerodibroto, R. Soenarto. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.
133
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushulul Fiqh untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 1999. UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen 1999-2002, dilengkapi Piagam Jakarta, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Wahyu, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1986. Yamani, Ahmad Zaki. Syari‟at Islam yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini, Bandung: Al-Ma’arif, 1974. 1465 UNTS, tentang Statuta Mahkamah Pidana Internasional. pasal 7 (2) butir (E) UN Doc. A/CONF.183/9 17 juli 1998.