Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun Jinayat Aceh Husni Mubarrak A. Latief* Abstrak Kehadiran Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006 telah memberi keleluasaan dan otonomi lebih luas di bidang hukum bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk melegislasi hukum syariat Islam di bidang pidana (jinayat) ke dalam qanun. Sungguhpun demikian, dalam proses pembuatan dan pengundang-undangannya itu sejatinya tak bisa diabaikan pula realitas kedudukan dan jurisdiksi yang dimiliki qanun syariat Aceh sebagai bagian dan subsistem dalam hirarki sistem perundang-undangan nasional. Karena itu, dalam perumusan qanun jinayat Aceh sejatinya tetap mempertimbangkan dan mengindahkan kemungkinan negosiasi dengan segala peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Pada akhirnya harus diakui bahwa hukum manakala diundangkan dan ditetapkan melalui jalur legislasi adalah hasil dari kristalisasi aspirasi politik yang saling berinteraksi, khususnya dalam masalah interpretasi hukum syariat. Kata kunci: hukuman, rajam, qanun, jinayat, Aceh, politik A. Pendahuluan Hanya dikarenakan memuat sanksi hukuman rajam dalam salah satu pasalnya, Rancangan Qanun1 Jinayat Aceh yang merupakan upaya legislasi hukum pidana berlandaskan syariat Islam dan semula telah disahkan dalam rapat paripurna legislatif Aceh (DPRA) periode 2004-2009 tanggal 14 September 2009 silam, ditolak mentah-mentah untuk ditandatangani oleh pihak eksekutif Aceh. Bagi Pemerintah Aceh, dalam hal ini, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Irwandi Yusuf, dengan tegas menolak keras dimasukkannya sanksi 'uqubat hudud berupa hukuman rajam bagi pelaku zina yang telah menikah (muhshan). Gubernur Irwandi beralasan bahwa penerapan hukuman rajam itu dikhawatirkan akan menghambat laju investasi asing di Aceh mengingat hukuman itu amat menyeramkan. Menariknya lagi, mantan juru propaganda Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu kian fasih berbicara nasionalisme dan terang-
* Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 1 Qanun merupakan terma yang dipakai untuk menyebut Peraturan Daerah (Perda) di Aceh sejak diberlakukannya syariat Islam secara resmi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 15 Maret 2002 silam. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
830 Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun…
terangan menolak dengan dalih bahwa pemberlakuan hukuman rajam bertentangan dan tidak sejalan dengan hukum nasional. Perumusan dan perancangan Qanun Jinayat Aceh yang berlandaskan syariat Islam tidak terlepas dari kewenangan dan jurisdiksi yang luas, diberikan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca diberlakukannya Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006. Kehadiran UUPA telah menambah luas wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun syariat di bidang pidana (jinayat) yang dikecualikan dari ketentuan umum sanksi ('uqubat) yang dapat dimuat dalam qanun asalkan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.2 Izin dan kewenangan yang diberikan ini pun tak ayal dipahami sebagai kebolehan bagi Qanun Jinayat Aceh dalam menggunakan serta menuliskan semua norma dan sanksi yang ada dalam syariat Islam apa adanya, sepanjang hal itu dianggap perlu dan relevan.3 Karenanya, Rancangan Qanun Jinayat Aceh yang memuat sanksi hudud rajam itu telah lama dipersiapkan dan digodok dengan melibatkan staf ahli dari kalangan akademisi sejak 2007 silam. Kendati pengesahannya di parlemen Aceh baru dilakukan hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa jabatan DPR Aceh periode 2004-2009. Tulisan ini menganalisis berbagai persoalan yang mengemuka yaitu benarkah hukuman rajam bertentangan dan tidak sejalan dengan hukum nasional, terlebih melihat konteks Aceh yang telah diberi jurisdiksi dan otonomi luas dalam hal legislasi hukum syariat Islam di bawah payung UUPA No. 11/2006? Mungkinkah Qanun Jinayat Aceh memuat dan menampung segala bentuk hukuman dan sanksi pidana Islam apa adanya? Apakah pengesahan Rancangan Qanun Jinayat oleh legislatif Aceh pada satu sisi, serta penolakan dan resistensi dari eksekutif Aceh pada sisi lain bukannya menandakan bahwa hukum manakala diundang-undangkan, pada akhirnya lebih merupakan representasi produk politik? B. Pergulatan Teks dan Konteks Hukuman Rajam Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pengertian rajam. Secara etimologi, rajam bermakna "melempar dengan batu" dan dapat juga bermakna "menerka-nerka". Dalam terminologi hukum Islam (fiqh), rajam berarti melempari penzina yang
2
Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006 Pasal 241. Al Yasa' Abubakar, "Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Otonomi Khusus di Bidang Hukum", makalah dipresentasikan pada Sharia International Conference di Banda Aceh, 20 Juli 2007, p. 13. 3
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun… 831
telah menikah (muhshan) dengan batu atau sejenisnya sampai meninggal dunia.4 Pada mulanya, hukuman ini merupakan syariat Bani Israil dan tetap diberlakukan bagi penganut Yahudi hingga masa Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana dimaklumi dalam literatur sejarah, bahwa pada masa Rasulullah menetap di Madinah, orang-orang Islam hidup berdampingan dengan orang Yahudi yang memiliki kitab suci Taurat dan juga diakui dalam Islam. Pernah suatu kali, datang serombongan orang Yahudi menghadap Rasulullah meminta beliau menjatuhi hukuman bagi dua orang di antara mereka yang telah berzina. Rasul bertanya, "Apa hukumannya dalam kitab Taurat?" Mereka menjawab, "Kami mempermalukan dan mendera mereka". Seorang bekas pendeta Yahudi yang telah masuk Islam dan kebetulan bersama Rasul berkata, "Mereka berdusta, hukuman yang benar menurut Taurat adalah dirajam sampai mati." Setelah ini Rasulullah memerintahkan para Shahabat merajam dua orang yang berzina tersebut.5 Menurut sebagian ulama, inilah peristiwa perajaman pertama dalam sejarah (masyarakat) Islam. Berbeda dengan syariat Bani Israil yang dengan terang menegaskan pemberlakuan hukuman rajam, sanksi bagi pelaku zina dalam hukum Islam diberlakukan secara bertahap (tadrijiyyan). Pada awalnya yaitu pada periode awal Islam, sanksi bagi pelaku zina menurut para mufassir adalah kurungan bagi wanita yang telah kawin; dicerca bagi gadis, sedang bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca dihadapan publik.6 Menurut riwayat, ayat ini bersumber dari Aisyah dan Sa'ad ibn Mu'adz yang diwahyukan pada tahun ke-6 Hijriah.7 Hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan baru mendapatkan legitimasi keabsahannya dari hadis Nabi s.a.w. yang merekam peristiwa hukuman mati ini seperti diceritakan dalam kisah Maiz dan Ghamidiyyah. Namun, mesti digarisbawahi, penerapan hukuman rajam kala itu lebih dikarenakan delik pengaduan si pelaku yang ingin bertaubat serta meminta dibersihkan dari dosa berzina. Sungguhpun demikian, tidak diketahui secara pasti apakah kasus pelaksanaan hukuman rajam bagi orang Islam dilaksanakan sebelum
4
Muhammad Abu Zahrah, al-'Uqubat fi al-Fiqh al-Islamiy, (Cairo: Dar el-Fikr, t.t.),
p. 142. 5 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi al-Syafi'iy, Tanwirul Hawalik Syarh Muwaththa' Malik, (Beirut: Dar el-Fikr, 1994), p. 739. 6 Muhammad al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Juz XII, p. 125. 7 Abu A'la al-Maududi, Tafsir Surah al-Nur, (Damascus: Dar al-Fikr, t.t.), pp. 9-10.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
832 Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun…
atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam Q.S. alNur ayat 2 tersebut?8 Pergulatan teks dan konteks berlangsung terjadi disini. Apakah kehadiran hukuman rajam sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi itu merupakan suatu bangunan hukum yang established (mapan) ataukah lebih merupakan respon terhadap syariat Bani Israil yang masih berlaku bagi pemeluk Yahudi yang mukim berdampingan dengan orang Islam pada masa itu? Dengan lain kata, pemberlakuan hukuman rajam yang semula tidak disebutkan itu kemudian ditetapkan dalam Islam lebih untuk menyikapi penerapan hukum yang berlaku bagi umat Yahudi, atau di dalam ushl al-fiqh dikenal dengan ajaran syariat umat terdahulu (syar'un man qablana). Ketidaktahuan dan ketidakjelasan kapan persisnya waktu hukuman rajam bagi umat Islam itu berlangsung—khususnya dalam kaitan dengan al-Qur'an tak pelak menimbulkan gugatan terhadap keabsahan hukuman rajam. Dalam literatur fiqh klasik sendiri, bagi sebagian pengikut Mu'tazilah dan Khawarij berpandangan bahwa hukuman rajam tidaklah disyariatkan bagi umat Islam dan penerapannya merupakan suatu hal yang sangat kecil kemungkinan.9 Untuk menguatkan pendapatnya, Khawarij mendasarkan pandangan tersebut kepada beberapa dalil berikut10: Pertama, rajam merupakan siksaan dan sanksi terberat yang pernah diberikan kepada umat manusia. Seandainya rajam merupakan syariat yang ditetapkan, tentulah telah disebutkan di dalam Al-Qur'an. Manakala tidak terdapat satu ayat Al-Qur'an pun yang membicarakan hukuman rajam, maka itu menandakan bahwa rajam adalah syariat yang tidak berlaku. Kedua, bahwasannya batasan hukuman zina bagi seorang budak perempuan adalah setengah dari hukuman hudud bagi seorang perempuan merdeka yang telah menikah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 25. Manakala hukuman rajam mati berlaku bagi wanita merdeka muhshan, maka "hukuman mati" itu tidak dapat dipecah dan dibagi ke dalam satuan-satuan hitungan seperti: setengah mati dan seterusnya. Karenanya, hukuman rajam adalah sesuatu yang tidak mungkin diberlakukan. Ketiga, penyebutan lafdh pezina di dalam Al-Qur'an bersifat umum ('am), tanpa membedakan status telah menikah atau belum menikah.
8 Musthafa 'Imarah, Quthuf min al-Huda al-Nabawiy, Cet. 2, (Cairo: Al-Azhar University, 2003), p. 39. 9 Ali al-Khafif, Muhadharat fi Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha', (Cairo: Arab League, 1956), p. 43. 10 Muhammad 'Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat al-Ahkam, Jilid 2, (Damascus: Maktabah al-Ghazali, 1977), pp. 21-22.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun… 833
Maka, pengkhususan hukuman rajam bagi pezina muhshan (telah menikah) bertentangan dan tidak sejalan dengan Al-Qur'an. Secara ushul al-fiqh (metodologi penalaran fiqh Islam), beberapa persoalan atau pertanyaan dapat pula diajukan terkait hukuman rajam ini. Apakah hukuman rajam termasuk ke dalam persoalan yang dapat diijtihadkan (ijtihadiyyah, ta'aqquliyyah) dalam arti bahwa pelaksanaannya meniscayakan pertimbangan akal dan unsur pikiran manusia di dalamnya. Ataukah hukuman ini lebih merupakan persoalan yang tidak dapat diijtihadkan (tawqifiyyah, ta'abbudiyyah) sehingga masalahnya sudah cukup jelas dan mesti dilaksanakan menurut apa adanya.11 Jika ditelaah lebih jauh dalam beberapa hadis Nabi yang memuat hukuman rajam, dapatlah ditemukan bahwa hadis-hadis tersebut tidak cukup jelas dan kurang memadai untuk menjawab pelbagai persoalan seputar rajam seandainya tidak ikut melibatkan akal pikiran manusia. Seperti dalam riwayat seseorang yang menjumpai Rasul untuk melepaskan diri dari dosa karena telah berzina yang kemudian diberlakukan hukum rajam kepadanya. Dalam peristiwa itu, lelaki yang dirajam tersebut berusaha melindungi si perempuan dari lemparan batu dan selanjutnya ia berlari. Para Shahabat mengejarnya dan terus melemparnya hingga ia mati. Manakala hal itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau berkata, "Kenapa tidak kamu biarkan saja dia lari, barangkali dia ingin bertaubat dengan cara yang lain". Demikian pula kisah perempuan yang mengadukan dirinya telah berzina dan sedang dalam keadaan hamil. Lalu Rasul memerintahkannya untuk pulang dahulu serta menunggu hingga melahirkan. Setelah melahirkan, perempuan ini datang kembali meminta dijatuhi hukuman. Rasul kembali menyuruhnya pulang untuk menyusui anaknya. Setelah dua tahun selesai menyusui anaknya, dia kembali datang dan meminta untuk dihukum. Barulah pada kali tersebut Rasul menyuruh para Shahabat merajamnya hingga mati.12 Terkait dengan dua hadis tadi, tentu dapat diajukan pertanyaan apakah yang menjadi esensi dan dianggap penting dalam hukuman rajam itu? Apakah substansinya hanya menjatuhkan hukuman hingga mati (menghilangkan nyawa) atau sekadar menampakkan kesediaan serta kerelaan untuk dihukum dan karenanya, boleh melarikan diri dan tidak perlu dikejar sebagaimana tersirat dalam hadis? Ataukah yang lebih dirasa penting dan prinsipil adalah tatacara penjatuhan hukuman tersebut, yaitu dengan menanam sebagian badan untuk kemudian dilempari dengan batu, 11
Al Yasa' Abubakar, "Hukuman Rajam", dalam Serambi Indonesia, 13 November 2009, p. 24. 12 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi al-Syafi'iy, Tanwirul …, p. 741. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
834 Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun…
sehingga tidak boleh ditukar dengan hukuman lainnya;13 atau barangkali hal lain yang bersifat teknis seperti jarak pelemparan, ukuran batu yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal ini dirasa penting mengingat beragamnya pola dan cara hukuman mati yang ditawarkan dalam era modern saat ini. Selanjutnya, apakah penegakan hukuman rajam itu menghendaki penyegeraan (al-fawr) atau boleh ditunda (al-tarakhiy) seperti dalam kasus perempuan hamil yang disebut dalam hadis. Pada gilirannya, persoalan hukuman rajam masih sangat mungkin didiskusikan baik dari segi penerapannya maupun pada sisi kesejarahan dan pemberlakuannya dalam agama Islam. Menjadi hal yang menarik untuk dikaji kemudian, hukuman rajam yang sarat dengan segala persoalan ijtihadiyyah ini dicobaterapkan seragam dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang mengikat bagi segenap Muslim yang mukim dan menetap di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang masih merupakan bagian wilayah yang tunduk kepada peraturan dan sistem hukum nasional yang berlaku di Indonesia. C. Hukuman Rajam dan Jurisdiksi Qanun Manakala membincangkan probabilitas legislasi hukuman rajam dalam qanun syariat di Aceh, maka tak bisa diabaikan pula garis hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebab bagaimanapun, pelaksanaan syariat Islam di Aceh meski telah diberi keistimewaan dan otonomi khusus lewat sejumlah undang-undang yang telah lahir sebelumnya14 tetaplah harus dibangun dalam bingkai (frame) dan lingkup sistem hukum nasional, sehingga sedikit banyak—qanun syariat itu nantinya—harus mengalami berbagai “penyesuaian” dengan realitas hukum yang berlaku di Indonesia.15 Tuntutan penyesuaian inilah kemudian yang pernah dikritisi oleh peneliti senior hukum Islam asal Australia, Hooker, yang menyatakan bahwa dalam proses legislasi syariat di Aceh akan menemui banyak kendala dan hambatan di mana hukum syariat yang ingin diterapkan mestilah “sejalan dan konsisten” dengan 13
Al Yasa' Abubakar, "Hukuman Rajam", p. 24. Setidaknya ada 3 (tiga) Undang-undang yang telah lahir untuk menyatakan keistimewaan Aceh dan memperlakukan Aceh secara khusus, masing-masing: Undangundang tentang Keistimewaan Aceh (UU No. 44/1999); Undang-undang tentang Otonomi Khusus untuk Aceh (UU No. 18/2001); dan terakhir Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA No. 11/2006). 15 Al Yasa' Abubakar, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), pp. 116-117. 14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun… 835
sistem hukum nasional, sekalipun pada kenyataannya, penyebutan kata “syariat” dan “konsisten” tak pernah diberikan pengertian yang definitif.16 Tidak dapat disangkal bahwa upaya positivisasi dan legislasi hukum Islam di Indonesia menguat, membuncah dan menemukan momentumnya pasca runtuhnya Orde Baru (Orba) pada tahun 1998. Seperti kran yang telah lama tersumbat, terkatup dan kemudian pecah, beberapa peraturan dan undang-undang yang disarikan dari hukum Islam segera dilegislasi dan diundang-undangkan tak selang lama setelah kejatuhan Soeharto seperti dalam masalah zakat dan haji. Merujuk pada kajian Daniel E. Price, seperti dikutip Azra dan Salim, penerapan syariat Islam yang komprehensif mungkin disusun dalam lima tingkatan perundang-undangan yang menunjuk pada susunan hierarkis, mulai terendah sampai tertinggi:17 Pertama, hukum kekeluargaan (perkawinan, perceraian dan kewarisan). Kedua, masalah ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat. Ketiga, praktik ritual keagamaan, seperti kewajiban berjilbab, larangan alkohol dan judi. Keempat, hukum pidana Islam, termasuk hukuman dan sanksinya. Kelima, penggunaan Islam sebagai dasar negara. Level pertama dan kedua telah terserap dalam legislasi hukum nasional, yaitu: Hukum Kekeluargaan, sejak 1974, terserap dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 serta Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perbankan Islam mendapat payung hukum sejak 1992 sampai diundang-undangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ritual agama seperti haji dan zakat juga sudah diundang-undangkan dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Manakala unsur dari level pertama dan kedua itu telah terserap dalam peraturan perundang-undangan nasional, beberapa daerah di Indonesia yang diberi izin dan keleluasaan untuk memberlakukan hukum syariat Islam secara formil di wilayahnya, seperti Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan dan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mulai merambah ke level ketiga. Ini dibuktikan dengan keluarnya beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur masalah busana Islami, larangan alkohol dan judi. Seperti yang berlangsung di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Perda No. 3 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Beralkohol dan Perda No. 5 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah); dan Qanun Aceh (Qanun Provinsi NAD Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam 16 M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law, (Singapore: ISEAS, 2008), p. 246. 17 Azyumardi Azra dan Arsekal Salim, Shari’a and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), p. 11.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
836 Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun…
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam; Qanun Provinsi NAD Nomor 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya; Qanun Provinsi NAD Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian); Qanun Provinsi NAD Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Kini Aceh mulai merambah ke level keempat di bidang jinayat (pidana) berkat otoritas dan otonomi di bidang hukum yang luas diberikan kepadanya di bawah payung UUPA No. 11/2006. Menjadi pertanyaan kemudian, sejauh mana hukum syariat Islam mengenai pidana itu dimungkinkan terintegrasi dalam qanun dengan tetap melihat kedudukan dan jurisdiksi qanun Aceh dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia? Kalau ditinjau dari aspek kesejarahan, untuk konteks Aceh sendiri, pemberlakuan hukuman pidana (jinayat) yang berlandaskan syariat Islam bukanlah barang baru. Setidaknya dalam catatan Reid, kodifikasi hukum syariat telah berlangsung sejak awal abad ke-17, di mana pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan kanan. Jika mengulangi perbuatan pada kali berikutnya, maka dihukum potong kaki kiri, tangan kiri, kaki kanan, hingga dibuang dan diasingkan ke pulau Sabang.18 Hukuman ini sejalan dengan yang difirmankan Allah dalam Al-Qur'an (Q.S. Al-Maidah ayat 38) dan dapat dijumpai dalam pelbagai literatur fiqh. Namun perlu digarisbawahi, bahwa pemberlakuan hukum Islam di Aceh kala itu masih menganut pola pemerintahan kesultanan yang berdiri sendiri. Sementara realitas sekarang, Aceh merupakan bagian dan berada dalam konteks negara-bangsa (nation-state) yang telah memiliki sistem hukum nasional dan perundang-undangan tersendiri. Seperti dimaklumi bahwa untuk menerapkan aturan hukum yang berlaku dibutuhkan proses kodifikasi dan legislasi hukum syariat Islam dalam qanun guna menghasilkan aturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat (binding) bagi segenap masyarakat Muslim di Aceh. Namun, tidak bisa diketepikan pula bahwa kedudukan dan jurisdiksi qanun Aceh berada pada level terendah dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia setingkat Peraturan Daerah (Perda). Sekiranya jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan pelaksanaan syariat Islam dibandingkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional akan terlihat sebagai berikut:19 18 Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of 1450-1680, Volume One: The Lands below the Winds, (New Haven: Yale University Press, 1988), p. 143. 19 Al Yasa' Abubakar, "Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Otonomi…", pp. 14.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun… 837 Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan Nasional UUD 1945 Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota/ Peraturan desa
Jenis dan Hirarki Peraturan Perundangundangan Pelaksanaan Syariat Islam UUD 1945 Undang-undang/PERPPU/Syariat Islam (al-Qur’an/Sunnah/Ijtihad/Madzhab)
Qanun Aceh Qanun Kabupaten/Kota/Reusam Gampong
Sekalipun qanun Aceh diberikan wewenang untuk menyusun qanun syariat, termasuk di bidang hukum pidana, namun kedudukan qanun Aceh yang setara Perda tak bisa mengabaikan pula UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa Perda hanya dapat memuat ancaman pidana maksimal 6 (enam) bulan penjara atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Di atas realitas seperti inilah, segala hal yang berkaitan dengan pembuatan qanun syariat sejatinya dipertimbangkan. Di samping, meski dengan segala kelonggaran, keleluasaan, otonomi luas dan keistimewaan yang diberikan, qanun tentang syariat Islam di Aceh bisa saja dibatalkan, meski tidak serta-merta melalui uji materil (judicial review) yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya di bawah Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya. Pada sisi lain, merujuk pada proses pembuatan qanun syariat di Aceh sekarang, di mana setiap qanun dihasilkan atas inisiatif ataupun kerjasama antara badan legislatif (DPR Aceh) dan eksekutif (Pemerintah Aceh), maka dalam tahapan kodifikasi dan legislasi hukum syariat Islam itu tak bisa mengenyampingkan pula konfigurasi politik yang mengitari proses pembuatan qanun tersebut. Sebab penetapan hukum melalui jalur legislasi pada akhirnya adalah kristalisasi dari aspirasi politik yang saling berinteraksi, berjalin berkelindan dan saling berebut dominasi, khususnya dalam masalah interpretasi hukum syariat. Jadi pada gilirannya, hukum tidak lagi dianggap sebagai pasal-pasal yang berisikan perintah, “titah” dan hukum Tuhan an sich, melainkan sejatinya lebih dilihat sebagai subsistem yang dalam realitasnya lebih dipengaruhi oleh nuansa politik, baik itu berkenaan dengan proses perumusan isi qanun itu sendiri, maupun dalam tahap pelaksanaannya.20 Dengan lain kata, transformasi hukum syariat
20
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), p. 4-6. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
838 Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun…
dalam bentuk perundang-undangan (qanun) lebih merupakan produk politik. Nasib demikianlah yang dialami Rancangan Qanun Jinayat Aceh yang memuat dalam salah satu pasalnya hukuman rajam sebagai sanksi ('uqubat) bagi pezina yang telah menikah (muhshan). Sekalipun dalam Rapat Paripurna DPR Aceh tanggal 14 September 2009 silam, mayoritas pembicara, baik yang menyampaikan pandangan umum atau pendapat akhir fraksi, menyetujui dan mendukung hukuman rajam minus fraksi Partai Demokrat yang secara tersirat meminta agar hukuman rajam ditukar dengan ta'zir empat bulan penjara ditambah dengan dikawinkan21, namun ditolak untuk ditandatangani oleh pihak eksekutif (Pemerintah Aceh) dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di awal tulisan. Berangkat dari sini menjadi pertanyaan pula, mengapa Rancangan Qanun Jinayat Aceh yang telah disiapkan sejak 2007 itu baru disahkan dan diketok palu di penghujung masa kerja DPR Aceh 2004-2009? Apakah memang perampungan rancangan qanun tersebut memakan waktu lama dan baru bisa diselesaikan jelang akhir masa jabatan DPR Aceh; ataukah pengesahannya oleh parlemen yang hanya dua pekan sebelum anggota DPR Aceh baru dilantik yang dipimpin Partai Aceh.22 Hasil Pemilihan Umum 2009 lalu ingin menjadikan permasalahan qanun jinayat ini sebagai "bola liar politik" dan "pekerjaan rumah" bagi parlemen Aceh yang akan datang (2009-2014). Selain itu akibat selanjutnya yaitu menghakiminya ke dalam segregasi masyarakat secara lebih luas dan terang: pro dan kontra hukuman rajam para "pendukung" dan "penentang" syariat Islam, menyetujui hukuman rajam berarti mendukung syariat Islam, menolaknya berarti menentangnya. Pada akhirnya, barangkali tepat pesan dan komentar yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD, yang memberi tanggapan diplomatis terkait pengesahan sepihak Rancangan Qanun Jinayat Aceh oleh DPR Aceh itu bahwa pemberlakukan syariat Islam di Aceh tidak masalah dan tidak dilarang oleh undangundang, mengingat Aceh telah punya UUPA No. 11/2006 sebagai undang-undang khusus. Namun, yang terpenting harus adanya sinkronisasi dengan ketentuan lain yang lebih tinggi agar nanti ketika ada pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) tidak terjadi benturan
21 Lihat "DPRA Sahkan Raqan Jinayat Penzina Dihukum Mati" dalam Serambi Indonesia, 15 September 2009, p. 1. 22 Partai lokal di Aceh yang dihuni oleh para mantan kombatan dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memenangi suara mayoritas Pemilu legislatif 2009 di Aceh.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun… 839
dengan ketentuan yang ada lainnya.23 Oleh karena itu, perbaikan kelemahan dan penyempurnaan Rancangan Qanun Jinayat Aceh, baik dari sisi hukum materil dan formilnya menjadi sangat urgen dilakukan agar tidak membawa kesan bahwa legislasi hukum syariat Islam hanya berarti penulisan dan pengkodifikasian hukum Islam secara mentah apa adanya dalam qanun tanpa adanya suatu proses negosiasi dengan segala peraturan perundang-undangan lain yang berlaku secara nasional. Di samping itu, rumusan hukum rajam yang tertera dalam Rancangan Qanun Jinayat sekarang tanpa disertai pengertian rajam dan rumusan yang jelas akan memberi peluang kepada pihak luar untuk berfantasi dan berimajinasi secara liar dan sensasional, yang umumnya akan menimbulkan imej negatif dan tidak menguntungkan bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. D. Penutup Otonomi luas di bidang hukum yang diberikan kepada Aceh untuk merumuskan qanun syariat di bidang pidana (jinayat) mestilah disikapi dengan arif dan bijak serta dirumuskan secara matang dengan tetap mempertimbangkan realitas kedudukan qanun dalam hierarki perundangundangan nasional yang ada. Sebab dimaklumi bahwa qanun syariat di Aceh dalam kedudukan dan wewenangnya memiliki jurisdiksi terbatas, terlebih dalam kapasitasnya sebagai peraturan setingkat Peraturan Daerah (Perda). Oleh karena itu, dalam perumusan dan penyusunan qanun syariat Islam di Aceh sejatinya menggunakan skala prioritas mana persoalan yang mesti terlebih dahulu pantas untuk diqanunkan serta mempertimbangkan perumusan qanun yang mampu mengakomodir aturan-aturan dalam hukum Islam serta menyinkronkannya dengan peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi yang ada, sehingga tidak terjadi benturan manakala diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) baik menyangkut isi hukum materil maupun hukum formilnya. Daftar Pustaka Abu Zahrah, Muhammad, al-'Uqubat fi al-Fiqh al-Islamiy, Cairo: Dar el-Fikr, t.t. Abubakar, Al Yasa', "Hukuman Rajam", dalam Serambi Indonesia, 13 November 2009.
23
Ibid., p. 11.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
840 Husni Mubarrak A. Latief: Sengkarut Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun…
_______, "Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Otonomi Khusus di Bidang Hukum", Makalah dipresentasikan pada Sharia International Conference di Banda Aceh, 20 Juli 2007. _______, Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006. al-Khafif, Ali, Muhadharat fi Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha', Cairo: Arab League, 1956. al-Maududi, Abu A'la, Tafsir Surah al-Nur, Damascus: Dar al-Fikr, t.t. al-Razi, Muhammad, al-Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, 1985. al-Shabuniy, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Damascus: Maktabah al-Ghazali, 1977. al-Syafi'iy, Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Tanwirul Hawalik Syarh Muwaththa' Malik, Beirut: Dar el-Fikr, 1994. Azra, Azyumardi dan Arskal Salim, Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003. Hooker, M.B., Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law, Singapore: ISEAS, 2008. Imarah, Musthafa, Quthuf min al-Huda al-Nabawiy, Cairo: Al-Azhar University, 2003. Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of 1450-1680, Volume One: The Lands below the Winds, New Haven: Yale University Press, 1988.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010