Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
HAKIKAT DAN DESAIN MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM ERA REFORMASI Alauddin STAIN Palopo Abstrak: Jika hakikat manajemen pendidikan dipahami dengan baik dan juga di desain dari aspek Undang-Undangnya, perekrutan guru-gurunya, konsep kurikulumnya maupun strategi pembelajarannya dengan baik pula dalam era reformsi ini, maka kualitas pendidikan yang sangat terpuruk sebagai dilaporkan oleh Human Development Indeks, yakni Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvei, satu tingkat di bawah Vietnam, sedikit demi sedikit akan biasa teratasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Kata Kunci
: Manajemen Pendidikan, era reformasi
Banyak indikator telah menunjukkan bahwa mutu pendidikan dewasa ini masih sangat memprihatinkan. Rendahnya rerata NEM yang dapat dicapai oleh siswa dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) memberi petunjuk betapa rendahnya mutu pendidikan terhadap penguasaan bahan ajar yang dapat diserap. Kesenjangan yang bertingkat juga terjadi dan dirasakan oleh masing-masing jenjang pendidikan, seperti halnya seiring dilansir kalangan Perguruan Tingggi yang merasa bahwa bekal kemampuan lulusan SMA masih dipandang kurang memadai, selanjutnya dikalangan guru-guru SMA dirasakan betapa rendahnya kemampuan lulusan SMA, demikian selanjutnya guru-guru SMP juga mengeluh betapa lemahnya kemampuan para lulusan SD. Belum lagi adanya 88,4% lulusan SMA tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan 34,4% lulusan SMP tidak dapat melanjutkan ke SMA (Depdiknas, 2000 : 10).Hal ini tentunya juga berlanjut yakni betapa masih
banyaknya lulusan SD yang tak dapat melanjutkan ke SMP. Keterpurukan pendidikan juga akan tampak semakin jelas bila kita mengacu pada komparasi internasional, dimana diketahui betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebagaimana yang dilaporkan oleh Human Development Indeks yakni Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvei, satu peringkat dibawah Vietnam. Semantara itu hasil survei the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvei, juga satu peringkat di bawah Vietnam (Balitbang Depdiknas, 2000 : 12) Ketika mutu pendidikan belum dapat teratasi, tantangan lain juga tengah muncul seperti angka putus sekolah sebagaimana yang telah disinggung di atas yang relatif tinggi, daya tampung sekolah yang masih sangat terbatas, angka pengangguran yang terus meningkat, lapangan kerja yang masih terbatas, dan seterusnya. Kesan sementara yang dapat ditangkap adalah bahwa pendidikan 1
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
baru pantas dinikmati oleh sekelompok orang yang berduit. Kesan semacam ini tampak mencolok ketika sebuah sekolah dan perguruan tinggi favorit secara terbuka memberikan “kesempatan kepada siapapun” untuk menjadi siswa/mahasiswa sejauh mampu memberikan sejumlah dana yang ditawarkan. Sementara itu masyarakat awam tidak banyak memiliki informasi tentang hak dan kreterianya untuk menuju kesana. HAKIKAT MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM ERA REFORMASI Reformasi dalam dunia pendidikan dan manajemen pendidikan bukanlah, sesuatu yang baru, sebab dalam dunia pendidikan menata, mengembangkan, memantapkan proses pendidikan beserta menejemennya adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan secara terpadu, dan serasi. Baik antara berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan, maupun antara sektor pendidikan satu dengan yang lainnya. Penataan seperti ini dilakukan dengan menggunakan proses manajemen yang mutakhir (terbaru) yang efektif, efisien, dan mengutamakan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, serta profesionalisme. Perwujudan ini tertuang dalam Undag-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu hakikat dari implementasi Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah pelaksanaan pengelolaan sekolah model baru yang diberi nama “School Based Management” (Manajemen 2
Berbasis Sekolah) yang disingkat dengan MBS. Tujuan penerapan MBS ini adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di sekolah. Dengan pemberian otonomi yang sebesarbesarnya kepada sekolah untuk mengelola urusan, dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing sekolah (Achmad S & Supriono, 2001 : 5-6). Dari tujuan penerapan “Manajemen Berbasis Sekolah” dapat dipahami, bahwa jika setiap sekolah objek memahami hakikat menejemen pendidikan, maka mutu pendidikan yang selama ini terpuruk sedikit demi sedikit akan bisa teratasi dengan baik. DESAIN MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM ERA REFORMASI Pengakuan terhadap hak asasi setiap imdividu anak bangsa untuk menuntut pendidikan pada dasarnya telah mendapatkan pengakuan secara legal sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa yang mencakupi orang tua, masyarakat, dan pemerintah memiliki kewajiban dalam bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Mengenai tanggung jawab pemerintah secara tegas telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang. Terkait dengan pernyataan tersebut, sejak tanggal 8 juli 2003 pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggangtikan UndangUndang No. 2 Tahun 1989 yang dianggap sudah tidak memadai lagi. Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut secara tegas memperkuat tentang amanat UndangUndang Dasar 1945 Pasal 31 tentang pendidikan. Secara retorik kedua ayat tersebut, telah cukup dapat dipergunakan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pendidikan yakni diberinya peluang bahkan dalam batas tertentu diberikan kebebasan, kepada keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan kondisi dan tuntutan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan perlu ditiadakan, dikurangi atau setidaknya ditinjau kembali hal-hal yang sudah tidak relevan. Dalam kaitannya dengan masyarakat belajar (learning society) perlu diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk dapat memilih belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan falsafah negara. Demikian pula halnya
dengan pelaksanaan prinsip belajar seumur hidup (Long Life Education). Desain manajemen pendidikan dalam era reformasi dimulai dengan pelaksanaan program wajib belajar pada pendidikan dasar. Program wajib belajar secara menyeluruh pada level pendidikan dasar di Indonesia merupakan keputusan politik yang tak dapat diabaikan. Asumsi yang mendasari pentingnya keputusan politk tersebut, secara legal formal tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Hal ini penting sebagai suatu batas minimal bagi seseorang agar dapat hidup secara efektif, efisien dan produktif di dalam masyarakat. Melalui wajib belajar sembilan tahun berarti bahwa semua warga negara yang berumur 9-15 tahun akan dipersiapkan sedemikian rupa melalui pendidikan untuk kelak menjadi warga negara yang dapat memainkan perannya secara terbuka dan demokratis. Mengingat strata kelompok ini cukup besar dan cenderung bertambah, maka kehadirannya menjadi penting untuk diperhitungkan. Kelompok tersebut merupakan basis yang cukup memadai bagi proses sosialisasi dan kualifikasi dalam pembentukan well informed rulers an leader sebagai suatu ciri yang penting dalam masyarakat informasi masa depan. Sehubungan dengan hal ini tentunya juga perlu dipikirkan model program wajib belajar yang tepat sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup versi Indonesia. Hal ini mengingatkan kompleksitas problema yang dihadapi oleh siswa dalam 3
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
konteks kehidupan dan budaya yang menyatu dalam kehidupannya. Untuk menghadapi hal ini tentang usia wajib belajar sebaiknya tidak merupakan harga mati, sehingga memungkinkan terjadinya model pembelajaran multy-entry-multy-exit khususnya pada pelaksanaan wajib belajar. Dengan demikian seseorang dapat dengan fleksibel mengatur kondisi dirinya dengan peluang yang tersedia pada masa-masa dimana dia dapat belajar dan bekerja. Mengacu pada model ini diharapkan dapat memberikan peluang kepada siapa yang hendak memasuki dunia kerja terlebih dahulu atau sebaliknya, karena ada jaminan bagi dirinya untuk memilih dan mengikuti pendidikan tertentu sesuai dengan kurun waktu yang diaturnya sendiri. Artinya bahwa dalam rangka menuntaskan program wajib belajar pada pendidikan dasar tidak lagi disekat dengan kurun waktu tertentu oleh para pengambil kebijakan, tetapi juga dimanfaatkan kapan saja mereka mau. Sebagai konsekuensi logis dari penerapan model ini adalah hilangnya garis pemisah antara masyarakat terdidik, setengan terdidik, maupun tidak terdidik (Beane, dkk, 1986 : 45). Yang kedua adalah, guru dan desain kurikulum pada pendidikan dasar. Disadari bahwa secara konseptual pemahaman terhadap kurikulum mendapatkan pemaknaan yang sangat beragam. Para pakar kurikulum pun memberikan jawaban yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandang kajian maupun aspek materinya yang sedemikian luas untuk dapat dijelajahi. Bahkan dari hal yang paling konkret hingga yang paling abstrak sekalipun dapat dijadikan
4
semacam argumen dalam memberikan pemaknaan terhadap kurikulum. Walau demikian, hal yang secara substansial perlu dicermati dan dijaga adalah adanya upaya pencegahan, sehingga tidak terjadi proses simplifikasi pemahaman terhadap makna kurikulum itu sendiri. Terjadinya keterjerumusan kita pada miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum antara lain sebagai akibat dari proses simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, sehingga terjabak memaknai kurikulum dalam arti yang sangat sempit. Sehubungan dengan ini, hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancangbangun kurikulum pendidikan dasar untuk masa depan. Sebagai konsekuensi dari miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum adalah terjadinya “malpraktek” pendidikan yang pada gilirannya berdampak pada rendahya peran serta guru dalam proses pembelajaran di kelas. Agar terhindar dari tindakan simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, maka ada baiknya jika secara singkat dibahas mengenai konsep kurikulum dalam arti luas, sehingga dapat dicemarti kapan dan bagaimana guru dapat memberikan kontribusinya dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam literatur memang banyak ditemukan definisi kurikulum yang sangat bervariasi, bergantung pada konteks tertentu saat para pakar mendefinisikannya. Namun demikian menurut Beane dkk (1986) menyatakan bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2) kurikulum sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
diinginkan dan; (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik. Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang untuk selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum dalam arti produk merupakan hasil yang konkret yang dapat diamati dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembangan kurikulum. Kiranya perlu juga diingat bahwa definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa perencanaan kurikulum dapat mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah. Untuk konteks lingkup pendidikan dewasa ini rasanya akan kesulitan untuk dapat mengakomodir semua fenomena kehidupan yang sangat dinamis. Kurikulum sebagai program secara esensial merupakan kurikulum yang berbentuk program-program pengejaran secara riil. Dalam bentuk yang ekstrim, kurikulum sebagai program dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu seperti halnya dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi
yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakupi aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam rangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu tertentu. Keuntungan yang dapat diambil dari cara pandang ini yaitu (1) dengan cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum dengan lebih konkret, (2) dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam setting yang berbeda pada jenjang yang berbeda. Sementara itu kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak dalam daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa. Sementara itu yang memandang kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh siswa, mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara pandang seperti ini berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata yang secara “ritual” harus diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural baik di sekolah maupun di masuarakat, (2) dapat menyusun kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope maupun sequennya. Adapun kelemahannya adalah adanya kesulitan 5
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
bagi para guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah ada yang harus dipelajari oleh siswa dan cara memperlajarinya. Untuk yang terakhir pemberian makna kurikulum sebagai pengalaman belajar, pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi belajar yang telah direncanakan. Sebgai konsekuensinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya sebaik apapun kurikulumnya bila tidak didukung oleh guru yang profesional tentu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya. Keuntungan dari pemaknaan tersebut setidaknya ada dua hal yaitu : (1) pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perjatiannya pada siswa dalam proses pembelajaran, (2) guru akan lebih melibatkan semua pengelaman siswa. Walau demikian ada pula kelemahannya yaitu : (1) kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak dapat diekspresikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai konsekuensinya muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan
6
implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Proses implementasi kurikulum di sekolah sangat dipengaruhi oleh peran guru, artinya tanpa profesionalitas guru yang baik, kurikulum hanya akan berwujud dokumen sekolah yang tidak terlalu bermakna bagi proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru perlu terlibat dalam pengembangan kurikulum. Tanpa adanya keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran disekolah hanya akan menghasilkan verbaslisme. Para siswa akhirnya tidak tahu akan berbuat apa dengan pengetahuan yang telah dihafalnya. Keberadaan semacam ini jika kita meminjam istilah Pauo Freire selanjutnya akan dapat “menjerumuskan” guru pada model pendidikan “banking” melalui ungkapannya: “Education thus becomes an act of depositing, in wich the student are the depositories and the teacher is the depositor. Instead of communicating, thew teacher issues communiques and makes deposits which students patiently receive, memorize, and repeat. This is the banking concept of education, ini which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filling, and storing the deposits” (Paulo Freire, 2003 : 58). Terkait dengan ungkapan tersebut. Scheerens memasukkan karakteristik pembelajaran pada masing-masing kelas sebagai salah satu determinan bagi efektivitas suatu sekolah. Sekolah dikatakan efektif bilamana proses pembelajarannya dapat mencapai tujuan yang ditetapkan dengan baik dan berimplikasi pada upaya guru dalam mengembangkan
Jurnal Pendidikan ‘IQRA’
sistem pembelajaran secara profesional berdasarkan kurikulum yang ditetapkan (Scheerens, 1998 : 8). Secara profesional sebenarnya guru tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melibatkan dalam proses pengembangan kurikulum, artinya dalam kinerjanya guru tidak sematamata mengejar target pencapaian kurikulum dalam arti produk. Dengan demikian siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman yang bersifat tekstual tetapi juga kontekstual dan kontemporer. Hubungan fungsional antara guru dan kurikulum sebagaimana yang telah disinggung di atas tampaknya masih kurang mendapatkan perhatian dalam praktek pendidikan kita selama ini. Guru masih sering dianggap sebagai pihak yang berada di luar proses pengembangan kurikulum, sehingga jarang atau bahkan tidak pernah merasa bahwa mereka seharusnya memiliki peran di dalamnya. Situasi semacam ini akan membuka peluang lahirnya “ritual” proses pembelajaran di sekolah yang secara kurikuler telah melakukan “malpraktek” atau “wan edukasi”. Agar siswa memiliki kemampuan dalam menganalisis persoalan-persoalan secara individual maupun kelompok, maka guru perlu dilibatkan dalam proses pengembangan kurikulum. Tanpa keikutsertaan guru dalam mengembangkan kurikulum ke dalam konseptualisasi dan eksperiensialisasi dala pembelajaran yang dilakukan, maka para siswa hanya akan dijadikan tempat “deposito” berbagai informasi yang tidak jelas menfaatnya bagi tantangan masa depan yang dihadapinya.
PENUTUP Dari berbagai pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hakikat manajemen pendidikan pada umumnya dan manajemen berbasis sekolah pada khususnya dalam era reformasi ini adalah terkait dengan bagaimana seorang pemimpin lembaga pendidikan formal memahami input, proses, dan output yang diharapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 secara umum dan UndangUndang Sisdiknas secara khusus. 2. Desain manajemen pendidikan adalah terkait dengan bagaimana cara menata Undang-Undang Pendidikan itu sendiri, menata kurikulumnya sesuai dengan perkembangan IPTEK, teknik perekrutan tenaga kependidikan, maupun strategi pembelajarannya. DAFTAR PUSTAKA Balitbang, Depdiknas. Statistik Pendidikan. Jakarta: Balitbang Depdiknas. 2000. Beane, J.A., Toepfer, C.F., Alessi, SJ. Curriculum Planning and Development. Boston: Allyn and Bacon Inc. 1986. Drucker, P.F. The New Realities: In Goverment and Politics/In ecoomics and Business/In Society and world View. New York: Harper & Row Publisher. 1989. Freire, Paulo., Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. Scheerens, J. Effective Schooling: Research Theory and Practice. London Willer House : Cassel. 1992. 7
Volume 2 No. 1 Agustus 2014
Tan. M.G. Pelapisan Sosial: Siapa yang Mendapat Apa, Kapan, Bagaimana. Dalam Pardede, S. (ed) 70 tahun Dr. I.B Simatupang; Saya Orang yang Berhutang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1990. Widarta, I. Naskah Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Yogyakarta: Pustaka Kendi. 2002. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. 2003.
8