Model Pengelolaan Dana Sosial Keagamaan: Sebuah Opsi Perbandingan untuk Indonesia Setyo Hari Priyono
A. PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibangun berdasarkan pada sebuah gagasan besar untuk menjadi negara kesejahteraan atau welfare state. Hal tersebut tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa salah satu tujuan dibentuknya NKRI adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Sebagai konsekuensinya, maka negara merupakan penanggung jawab utama dalam hal mensejahterakan rakyat dan mengentaskan mereka dari segala macam bentuk kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Salah satu contoh nyata adalah dengan disebutkannya secara eksplisit dalam UUD 1945 pasal 28, bahwa orang-orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun demikian, pada kenyataannya kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi salah satu masalah bagi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 angka kemiskinan di Indonesia masih mencapai 14,15 persen atau 32,5 juta dari total penduduk Indonesia.1 Menurut Kompas (15/04/2010)2, selama lima tahun terakhir anggaran penanggulangan kemiskinan yang meningkat hingga 250 persen hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sekitar 2 persen. Pada tahun 2010, pemerintah menargetkan untuk menurunkan angka kemiskinan pada kisaran 12 – 13,5 persen direvisi dari target sebelumnya sekitar 8 – 10 persen. Kenyataan tersebut, berimplikasi pada pemunduran target penurunan angka kemiskinan dari semula tahun 2010 menjadi tahun 2014. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan tidak hanya peran dari negara saja namun juga seluruh komponen bangsa. Masih terbatasnya anggaran pemerintah dalam upaya menanggulangi kemiskinan menjadi salah satu kendala utama. Pendanaan lain yang memiliki potensi sangat besar adalah melalui dana sosial keagamaan, salah satunya zakat. Sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, zakat
9
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
menyimpan potensi yang sangat besar khususnya dalam rangka pengentasan kemiskinan. Menurut Indonesia Magnificience of Zakat (IMZ), berdasarkan hasil penelitian zakat memiliki kemampuan untuk mengurangi jumlah orang miskin sebesar 10 persen.3 Selain itu, penyaluran zakat kepada kaum dhuafa yang membutuhkan dapat menurunkan kesenjangan kemiskinan sebesar Rp. 130.000,- dan mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat miskin dengan kaya sebesar 10 persen. Bahkan, menurut hasil penelitian tersebut, Indeks Keparahan Kemiskinan juga menunjukkan penurunan dari 46 persen menjadi 33 persen.
B. DANA SOSIAL KEAGAMAAN: TINJAUAN TEORITIS Aktivitas memberikan derma (charity) di dalam ajaran keagamaan dikenal dengan berbagai istilah dan nama, namun pada dasarnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda. Di dalam ajaran agama Islam dikenal dengan istilah Zakat, seperti memberikan derma kepada gereja atau tithe yaitu memberikan harta dengan jumlah yang telah ditentukan baik berupa uang, barang dagangan, hasil ternak, dan hasil bumi.5 Selain memberikan derma dengan jumlah yang telah ditentukan, ada juga yang diberikan secara sukarela atau voluntary gifts, dalam agama Islam dikenal dengan istilah sadaqah atau sedekah.
Namun demikian, masih terdapat permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan zakat. Beberapa tantangan penting yang dihadapi dalam pengelolaan dana sosial keagamaan selain terkait pada masalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, juga terkait dengan tenaga pengelola yang dianggap belum profesional. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat menjadi ragu bahkan sebagian dari masyarakat tidak percaya (distrust) kepada pengelola tersebut sehingga langsung menyalurkan dananya kepada individu-individu yang dianggap membutuhkan. Permasalahan lainnya yang terkait adalah program dan tujuan dalam proses pengelolaan dana sosial keagamaan itu sendiri masih terfokus pada masalah konsumtif, berorientasi jangka pendek, dan belum pada perencanaan dalam bentuk investasi jangka panjang yang menitikberatkan pada pemberdayaan umat.
Senada dengan hal tersebut, konsep dana sosial keagamaan juga dipraktikkan dalam agama lain yang tumbuh dan berkembang di Indonesia seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha dengan nama yang berbeda namun memiliki arti sama. Di dalam ajaran Hindu, umat Hindu mengenal istilah datra datrtva untuk memberikan derma kepada mereka yang membutuhkan. Para pemeluk agama Kristen Protestan mengenal istilah persepuluhan dan persembahan akhir tahun, sedangkan umat Katolik memberikan kolekte, aksi puasa pembangunan, aksi advent dan lain sebagainya. Umat Budha menyumbangkan hartanya dengan nama dana paramitha.6
Selain masalah tersebut di atas, pengelolaan zakat di Indonesia secara kelembagaan hingga saat ini juga belum tuntas. Walaupun secara legal formal telah ada UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, namun pembagian peran, fungsi, dan tugas antara berbagai lembaga seperti Departemen Agama, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), hingga ke tingkat kabupaten/ kota belum tergambar dengan jelas. Permasalahan tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa upaya untuk merevisi UU No. 38 Tahun 1999, ternyata menuai pertanyaan dari berbagai pihak. Dalam draft RUU tersebut, disebutkan bahwa dalam pengelolaan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) sepenuhnya dikelola oleh negara, melalui Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah dari tingkat nasional hingga tingkat Kelurahan/Desa. Implikasinya adalah bahwa berbagai lembaga amil zakat (LAZ) yang sudah tumbuh dan berkembang selama ini hanya akan menjadi unit pengumpul zakat yang akan menyatu dengan BAZ tersebut.4
Konsep mengeluarkan harta melalui zakat dalam ajaran Islam, merupakan perwujudan dari rasa belas kasih dan keadilan sosial. Inti dari zakat adalah bahwa pada harta kita ada hak orang-orang miskin. Oleh karena itu, tujuan zakat adalah untuk mencegah penumpukan modal pada individu/kaum tertentu saja, melindungi yang lemah (mustadh’afin). Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional yang mendasarkan diri pada sistem pasar yang saling menjatuhkan dan invidualistis, sistem ekonomi Islam mengedepankan kerjasama para individu agar nantinya memiliki sifat kedermawanan sosial dan mengedepankan keadilan.7 Di dalam sejarah Islam, dapat dilihat bagaimana kebutuhan masyarakat lebih diprioritaskan di atas kebutuhan individu, sehingga menjamin kesempatan yang sama bagi semua anggota masyarakat. Menurut Engineer, semua hal tersebut menggambarkan ajaran Islam merupakan ajaran yang berbelas kasih terhadap sesama dan tidak menyukai keserakahan.8
Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk melihat pengelolaan dana sosial keagamaan ditinjau dari sudut teoritis, beberapa model pengelolaan zakat yang ada pada saat ini, serta rekomendasi terhadap model pengelolaan dana sosial keagamaan di Indonesia. Pada akhirnya dari penjelasan tersebut, diharapkan dapat diketahui sebuah opsi perbandingan dalam rangka kebijakan pengelolaan dana sosial keagamaan pada masa yang akan datang.
Isu keadilan sosial dalam ilmu ekonomi juga telah didengungkan oleh Adam Smith, seorang pemikir ekonomi pada jaman merkantilisme yang memiliki perhatian terhadap berbagai isu yang terkait dengan keadilan distribusi ekonomi, yang dikenal dengan The Theory of Moral Sentiments (TMS).9 Smith seringkali berbicara akan berbagai manfaat dari aktivitas berderma, terutama kaitannya dengan sistem ekonomi kapitalis pada saat itu. Smith sadar sepenuhnya, bahwa ekonomi pasar tidak akan sepenuhnya benar-benar bersaing secara adil. Hasil dari analisisnya, perkembangan dari sistem perdagangan pada saat itu malah semakin menambah jumlah masyarakat
10
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
miskin. Untuk itulah pendistribusian ekonomi kepada kaum miskin menjadi diperlukan untuk mencegah mereka semakin terpinggirkan.10 Ada banyak perintah untuk melaksanakan Zakat baik secara eksplisit maupun implisit yang terdapat dalam Kitab Suci Alqur’an, diantaranya adalah Surat Al-Baqarah ayat 4311, 11012, 17713; Surat At-Taubah:10315. Sebagai pilar ketiga dari ajaran agama Islam, Zakat merupakan ibadah yang pelaksanaannya bersifat wajib bagi umat muslim.15 Setiap umat Muhammad SAW, berkewajiban untuk ikut meyisihkan sebesar 2.5 persen dari pendapatannya dalam rangka membantu orang-orang yang dhuafa.16 Menurut sejarah Islam, zakat baru disyari’atkan secara eksplisit pada tahun kedua hijriyah, yaitu setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah. Pengelolaan dana sosial keagamaan, khususnya zakat, dalam sejarah Islam tidak dapat terlepas dari pengelolaan zakat pada masa Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW mengumpulkan sekaligus mendistribusikan zakat. Pada masa sesudah beliau, yaitu jaman kekhalifahan, mereka mempekerjakan para petugas zakat dan menggaji mereka berdasarkan aturan syar’i.17 Pada masa awal sejarah Islam, para petugas zakat langsung mendatangi para muzaki (pemberi zakat), lalu mereka menghitung jumlah harta kekayaan mereka, lalu mengambil sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam.18 Intervensi negara sangat dominan dalam pengelolaan zakat ini. Contohnya khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddieq. Ketika pungutan zakat oleh negara ditolak oleh suatu kaum (golongan masyarakat), maka kaum tersebut langsung diperangi. Metode lain diperkenalkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Al-Khattab. Ia memperkenalkan sistem pemungutan zakat lintaswilayah.19 Konsep Baitul Maal mulai dibangun, pengelolaan manajemen zakat menjadi terpusat atau tersentralisasi dan adanya pajak (jizyah) bagi para penduduk yang non-muslim sebagai pengganti dari kewajiban membayar zakat. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, pada awalnya melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh kekhalifahan sebelumnya, namun karena dilihatnya banyak harta tersembunyi maka pembayaran zakat diserahkan kepada para pemilik harta itu sendiri.20 Pada zaman pemerintahan kekhalifahan Ustmaniyah (Ottoman) hingga kejatuhannya pada tahun 1928, selain negara memiliki rekening khusus di keuangan negara bagi para pembayar pajak dan didistribusikan berdasarkan ketentuan syari’ah, negara juga membolehkan para pemberi zakat untuk memberikan langsung zakatnya kepada yang berhak, sepanjang itu sesuai dengan syariat agama.21 Sejarah pengelolaan zakat pada masa pemerintahan dinasti Islam bukan tanpa cela, sejak jaman dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan hingga yang terakhir kesultanan Turki Utsmaniyah yang menganut pengelolaan zakat secara terpusat terjadi beberapa penyimpangan. Tingkat korupsi yang sangat tinggi di dalam tubuh pemerintahan, ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, hingga pemungutan zakat dengan cara-cara yang represif merupakan beberapa contoh dari sejarah hitam pengelolaan zakat pada zaman itu.21
11
Pengelolaan zakat di Indonesia, secara historis (termasuk infak dan sedekah) selama berabad-abad telah dikelola masyarakat sendiri. Menurut Azra, seperti yang dikutip oleh Susetyo, pada Abad ke - 19, zakat fitrah di Banten dibayarkan masyarakat kepada guru agama, atau pengajar Al-Qur’an di desa. Sedangkan di Jawa Timur, zakat maal dibayarkan dan dikelola kyai dan para ulama lainnya.22 Ketika Ormas-ormas keagamaan (Islam) bermunculan sejak awal abad ke-20, salah satu pendukung kegiatannya diperoleh dari dana zakat, infak dan shadaqah. Begitupun pada jaman pemerintah Kolonial Belanda yang melarang intervensi dari pejabat pribumi (priyayi), mencoba untuk membedakan antara ranah publik dan ranah negara. Pada awal kemerdekaan, Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa tidak berkehendak mencampuri pengumpulan dan distribusi zakat, namun hanya mendorong umat untuk berzakat dan mengawasi pendistribusian zakat agar tepat sasaran.23 Namun, pada masa Orde Baru, mulai dirancang sistem sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara. Mulai tahun 1968, telah dibentuk Badanbadan Amil Zakat di beberapa provinsi. Namun, sistem ini hanya bertahan tiga tahun.24 Pada dekade 1990-an, mulai muncul lembaga-lembaga swasta yang secara professional mengelola dana zakat, infak, dan shadaqah. Menurut Azra, terlepas dari masih konvensionalnya pengelolaan zakat di Indonesia, keberadaan badan/lembaga amil zakat (LAZIS) yang ada pada setiap organisasi Islam dan LSM, maupun dari masjid-masjid dan lingkungan sekitar, namun berkat ZIS itu mereka dapat mendirikan pesantren, madrasah, sekolah Islam, rumah sakit, klinik, dan bahkan dalam batas tertentu juga operasional kegiatan dakwah mereka. Lembaga tersebut menjadi independen dan tidak tergantung pada bantuan negara, dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi penguatan demokrasi terutama dalam hal peran sebagai masyarakat madani berbasis Islam.25
C. MODEL PENGELOLAAN ZAKAT Merujuk berbagai literatur tentang sejarah pengelolaan dana sosial keagamaan berdasarkan ajaran Islam, dapat diketahui bahwa model pengelolaan zakat bersifat dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban dengan berlandaskan syar’i. Model pengelolaan zakat yang dipraktikkan di negaranegara berpenduduk muslim hingga kini setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) Negara tidak menginstitusikan zakat (No Zakat Institutionalization); (2) Negara memfasilitasi pengelolaan dan pendistribusian zakat (voluntary system); dan (3) Negara memungut zakat sebagai pajak (mandatory).26 1. Negara tidak menginstitusikan Zakat (No Zakat Institutionalization) Pada kelompok pertama ini, negara tidak mengatur tentang pengelolaan zakat termasuk juga mekanisme pendistribusian. Pada negara-negara yang tidak menginstitusionalisasikan zakat secara formal, pengelolaan
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
dan pendistribusian zakat bersifat sukarela, dilakukan secara independen, dan terdesentralisasi. Menurut Powell, dari 40 negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, sebanyak 24 negara tidak mengatur mengenai pengelolaan zakat di dalam sistem hukum mereka (legal system).27
kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam mengelola dan memberdayakan zakat dari masyarakat. Jadi, adanya peran pemerintah tidak serta merta mematikan peran masyarakat dalam rangka pengelolaan zakat. 3. Negara mewajibkan zakat (Mandatory System) Pengelolaan zakat pada negara yang mewajibkan zakat, menempatkan zakat sebagai pajak warga negara dalam rangka pembangunan. Standarisasi dari model ini berbeda antara satu negara dengan negara yang lain, walaupun semua negara sepakat bahwa dasar pijakan sebagai legitimasi adalah didasarkan dari fiqh. Berdasarkan sirah (sejarah) Islam, pemungutan zakat sebagai sesuatu hal yang memaksa dimulai pada zaman Abu Bakar bin AsShiddiq, kemudian dilanjutkan dan dipertegas pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab. Pada zaman Umar, luas wilayah kekhalifahan Islam sudah mencapai Yaman, dan semua hasil pengumpulan zakat yang tersisa setelah didistribusikan akan dikumpulkan kembali ke Baitul Maal. Pada zaman Umar juga diperkenalkan sistem jizyah (pajak) bagi non muslim sebagai pengganti zakat.31
Beberapa contoh negara tersebut adalah Oman, Qatar, dan Turki. Oman dan Qatar tidak menginstitusionalisasi zakat dan hanya memiliki sebuah lembaga zakat (zakat fund) yang memungut dan mengelola zakat.28 Turki sebagaimana diketahui memang dalam sejarahnya memisahkan antara urusan agama dengan negara (menganut sistem sekuler). Terdapat kenyataan yang menarik dari Turki, yaitu berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada tahun 2004, masyarakat Turki yang membayar zakat mencapai 69% dan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan masyarakat Pakistan (yang melembagakan zakat) yang hanya sebesar 60%.29 2. Negara memfasilitasi pengelolaan dan pendistribusian zakat (Voluntary System) Pada model kedua ini terdapat variasi tingkatan keterlibatan dan pengawasan dari pemerintah dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat. Pada negara Mesir, pengelolaan dan pendistribusian zakat dilakukan oleh lembaga keuangan yang bernama Bank Sosial Nasser (Nasser Social Bank/ NSB), yang memiliki departemen zakat. NSB bekerja sama dengan para komite lokal dalam mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. NSB melaporkan seluruh kegiatannya kepada Kementerian Jaminan dan Urusan Sosial.
Negara-negara muslim yang mempraktikkan model ketiga ini adalah Kerajaan Saudi Arabia, Pakistan, Libya, Sudan, dan Yaman. Pada negara-negara tersebut, persoalan manajemen zakat diatur di dalam konstitusi negara. Kerajaan Saudi Arabia mengatur pengelolaan zakat didalam konstitusi. Para pembayar zakat harus mengisi sejenis formulir yang menunjukkan barang-barang kena zakat seperti harta benda, properti, uang, dan hasil laba dari perniagaan, dan nantinya petugas zakat akan mengumumkan berapa besaran yang harus dibayarkan. Kerajaan Saudi merupakan contoh negara yang memiliki pengaturan yang sistematis seperti halnya pada negaranegara maju dalam hal memungut pajak pendapatan dari para warga negaranya.32
Negara-negara seperti Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Libanon, Bangladesh, dan Oman memiliki sebuah lembaga zakat (Zakat Fund) yang bersifat independen namun berada di bawah otoritas Kementerian yang berwenang menangani Zakat, Infak, Shadaqah, dan Wakaf (ZISWAF). Pada negara-negara tersebut, pembayaran zakat dapat mengurangi kewajiban pembayaran zakat profesi (deductible from income tax).30
4. Negara Pakistan mulai mewajibkan zakat pada tahun 1980 pada masa pemerintahan Zia ul Haq. Pembayaran zakat merupakan pajak atas kekayaan dari warga negara Pakistan yang beragama Islam. Terdapat sebuah badan khusus yang mengurus soal zakat ini, baik ditingkat pusat, provinsi, dan tingkat kota. Fenomena menarik dari pengalaman negara Pakistan yang menetapkan zakat sebagai pungutan yang bersifat memaksa, adalah kenyataan bahwa hukum yang bersifat memaksa tidak berbanding lurus dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar zakat. Bahkan sistem pendebitan otomatis melalui rekeningrekening warga muslim yang memiliki tabungan dan telah mencapai nisab terbukti tidak efektif, karena masyarakat akan berbondong-bondong untuk melakukan penarikan tabungan pada saat waktu dilakukan penarikan zakat tiba. Selain itu, masalah perbedaan mazhab antara fikih sunni dan syi’ah, dan rasa ketidakadilan bagi warga negara nonmuslim juga menjadi perdebatan yang belum selesai.33
Apabila dilihat dari sudut pandang hukum (legal system), Malaysia dan Indonesia dapat dimasukkan ke dalam kategori model kedua. Namun berbeda dengan negaranegara Islam lainnya, Malaysia dan Indonesia memiliki beberapa karakteristik khusus terkait manajemen pengelolaan zakat. Malaysia sejak tahun 1991 telah melaksanakan pengelolaan zakat dengan sistem korporasi, jadi pusat pungutan zakat (PPZ) bersifat seperti badan usaha yang bersifat independen namun tetap di bawah koordinasi Majelis Agama Islam yang bertanggungjawab langsung ke Perdana Menteri. Sedangkan di Indonesia, salah satu karakateristik tersebut adalah bahwa masih dilibatkannya peran masyarakat di dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat, seperti pengelolaan berbasis korporasi, termasuk diantaranya penyaluran langsung kepada individu-individu. Adanya Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah, juga memberi ruang
Pemungutan zakat di Libya hanya diperuntukkan pada hewan ternak dan hasil pertanian, namun tidak termasuk
12
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
asset-aset keuangan. Zakat dipungut oleh Direktorat Jenderal Zakat, namun didistribusikan melalui Departemen Kesejahteraan Sosial. Menariknya, untuk membiayai pegawai tidak lebih dari 10 persen, sedangkan lebih dari 50 persen diperuntukkaan bagi mereka yang miskin dan membutuhkan, dan sisanya dialokasikan untuk Organisasi keislaman yang bertugas berdakwah tentang Islam ke seluruh penjuru dunia. Negara Sudan sebelum mengatur zakat pada tahun 1998, telah menguji coba sejak tahun 1980 dengan dibentuknya badan zakat yang dilanjutkan dengan peraturan tentang kewajiban untuk membayar zakat pada tahun 1984. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Yaman mengadopsi sudut pandang fikih tradisional yang tidak mengikutsertakan harta kekayaan seperti properti, pendapatan, dan simpanan investasi dalam pembayaran zakat.34
D. MODEL PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA: SEBUAH SOLUSI ALTERNATIF Berbicara pengelolaan zakat di Indonesia, sebelumnya ada baiknya kita dapat berkaca dari pengalaman Malaysia dalam hal pengelolaan zakat. Malaysia sebelum tahun 1991, Majelis Agama Islam (MAI) merupakan penanggung jawab dalam hal pengelolaan zakat pada 13 negara bagian dan wilayah federal (Kuala Lumpur dan Labuan). Namun terjadi perubahan semenjak tahun 1991, yaitu dengan dibentuk lembaga zakat yang beroperasi dengan mengadopsi cara korporasi, yang dikenal dengan nama Pusat Pengumpul Zakat (PPZ) wilayah Federal yang pertama kali di bentuk di Kuala Lumpur. Pendekatan baru tersebut membawa dampak positif terhadap kenaikan jumlah zakat yang terkumpul setiap tahunnya. Pembentukan PPZ di wilayah Federal, kemudian diikuti oleh negara-negara bagian lain seperti Penang, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, dan Malaka. Keenam negara-negara bagian lain seperti Kedah, Perlis, Kelantan, Trengganu, Perak, dan Johor masih menggunakan cara-cara konvensional. Misalnya, Negara Bagian Kedah pengelolaan zakat dilakukan oleh Departemen Zakat dibawah supervisi langsung dari Sultan.35
saja tanpa memiliki kewenangan mendistribusikan. Pada saat yang sama, tidak ada jaminan BAZ bentukan pemerintah akan bekerja secara profesional, akuntabel, dan transparan. Selain itu, Indonesia sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dijajah oleh bangsa asing tentu menjadikannya unik dan istimewa. Model pengelolaan zakat yang telah dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia menjadi berbeda dengan negara-negara lain. Kenyataan bahwa sejak dahulu Pemerintah tidak ikut campur tangan dalam pengelolaan zakat menjadi keniscayaan, karena Pemerintah Kolonial Belanda suka tidak suka memiliki perbedaan keyakinan dengan masyarakat Indonesia yang dijajahnya. Perjalanan selanjutnya ketika negara Indonesia merdeka tidak serta merta langsung mengubah keinginan negara langsung mengambil alih peran untuk mengelola dan mendistribusikan zakat. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Agama pada tanggal 8 Desember 1951, yang menyatakan bahwa Pemerintah tidak berkehendak untuk ikut mencampuri urusan pengumpulan dan pendistribusian zakat, misinya hanya mensupervisi agar pendistribusiannya sesuai dengan peruntukan.36 Pertanyaan yang timbul kemudian adalah model pengelolaan seperti apakah yang cocok untuk negara seperti Indonesia. Apakah negara tidak mengatur sama sekali mengenai pengelolaan zakat, sehingga zakat dikelola dan didistribusikan oleh organisasi masyarakat, atau negara hanya memfasilitasi pengelolaan zakat dan pengelolaan dilakukan oleh badan independen, atau secara legal formal di kelola dan didistribusikan oleh negara. Perlu diingat bahwa Indonesia bukan negara Islam. Selain itu, penduduk Indonesia memiliki beragam suku, budaya, dan agama. Permasalahan lainnya adalah terbentangnya wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke dengan banyaknya pulau-pulau sehingga menyulitkan pengumpulan zakat apabila harus dikelola dan didistribusikan langsung secara terpusat. Sistem pengelolaan zakat yang berlangsung selama ini bukan tidak memiliki kelemahan. Ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab dan kepada siapa, karena BAZ sebagai bentukan pemerintah juga bertindak sebagai operator yang memiliki peran dan fungsi yang sama dengan LAZ. Kondisi
Pengelolaan zakat di Indonesia, berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dibentuk Badan Amil Zakat (BAZ) oleh negara dalam hal ini pemerintah pada tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten dan kota. Dilain pihak, terdapat pula Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat, yang juga memiliki fungsi mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Saat ini, sedang dibuat revisi terhadap undang-undang tentang pengelolaan zakat tersebut, namun LAZ nantinya hanya sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan BAZ milik pemerintah. Hal tersebut masih menjadi perdebatan karena pada nantinya LAZ yang saat ini telah tumbuh dan berkembang di Indonesia dan telah dipercaya oleh masayarakat dalam mengumpulkan dan menyalurkan zakat mereka akan menjadi pengumpul zakat
13
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
tersebut, yang menyebabkan masing-masing lembaga seperti berjalan sendiri-sendiri tanpa ada yang mengontrol. Selain itu, BAZ sebagai bentukan pemerintah ternyata masih kurang transparan apabila dibandingkan dengan LAZ, seperti Dompet Dhuafa, PKPU, dan lain sebagainya. Mereka telah mencantumkan rincian neraca keuangan mereka baik yang dikirimkan kepada para donator, maupun yang dicantumkan di dalam website mereka.
kebijakan makro, yaitu yang mengatur kebijakan perzakatan sekaligus mensupervisi agar pengelolaan dan pendistribusian zakat berjalan sebagaimana mestinya. Hal yang menarik untuk didiskusikan adalah bagaimana peran Lembaga Zakat Independen tersebut sama seperti BI dan mensupervisi BAZ dan LAZ, sebagaimana BI mensupervisi bank-bank pemerintah dan banks swasta. Lembaga tersebut bertugas untuk membuat standarisasi baik prosedur pengoperasian maupun sumber daya manusia yang akan mengelola dan mendistribusikan zakat. Zakat nantinya harus bisa menjadi pengurang pajak (deductible tax) dan bersifat otomatis seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Kondisi ideal untuk Indonesia adalah bahwa negara memfasilitasi pengelolaan zakat namun tidak mewajibkan zakat kepada setiap warga negara, serta tidak dikelola dan didistribusikan oleh negara. Hal tersebut dikarenakan, secara historis Indonesia berbeda dengan negara-negara berpenduduk muslim lainnya. Negaranegara muslim di negara jazirah Arab tidak mengenal lembagalembaga keagamaan yang secara independen mengelola dana zakat. Dana-dana dari kegiatan filantropis terutama yang berbasis keagamaan menjadi salah satu faktor yang menyubur kembangkan berbagai lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Masjid-masjid, organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama (NU), serta lembaga pendidikan berbasis Islam di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang tanpa bantuan pemerintah salah satunya dibiayai melalui kontribusi zakat. Demikian pula panti asuhan anak yatim dan organisasi relawan sosial, mereka dapat survive dengan hasil pembayaran zakat. Perlu menjadi catatan juga bahwa LAZ yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia, beroperasi secara profesional. LAZ seperti Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat telah melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam rangka meningkatkan fundraising kepada para muzakki (pemberi zakat), diantaranya dengan meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban pengelolaan pendanaan dilakukan secara transparan.
Negara Malaysia telah melakukan terobosan dengan membuat pusat-pusat pengumpulan zakat di setiap negara bagian dan pengelolaannya dilakukan secara korporat dan profesional. Negara Federal melalui MAI yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri hanya bertanggung jawab untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pengelolaan zakat yang telah dilakukan oleh pusat-pusat pengumpul zakat pada setiap negara bagian. Lebih dari itu, yang juga penting diperhatikan oleh Pemerintah adalah peningkatan profesionalisme tenaga pengelola dana sosial keagamaan (zakat). Ada baiknya pemerintah menyuguhkan alternatif agar para pengelola zakat ini dianalogikan seperti para pegawai BUMN. Hal ini penting untuk meningkatkan profesionalisme mereka, sekaligus menjaminkan kesejahteraan sehingga diharapkan meningkatnya kinerja, akuntabilitas, serta transparansi.
E. PENUTUP
Terlepas dari perdebatan ideologis dan politis, perlu diupayakan agar terjadi sinergi antara negara dengan masyarakat. Selain itu, persoalan membayar zakat merupakan hal yang bersifat wajib dan untuk itu harus ada unsur pemaksaan, seharusnya saat ini yang lebih difokuskan adalah pada upaya edukasi kepada masyarakat akan urgensi zakat, serta kontribusinya terhadap perbaikan kesejahteraan umat. Apabila saat ini sudah ada upaya edukasi tersebut, barangkali harus lebih dibuat suatu sistem agar upaya tersebut lebih bersifat terpadu, terkoordinasi, dan merata di seluruh wilayah nusantara, dan bukan parsial hanya menampilkan organisasi-organisasi tertentu saja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam sejarah ajaran Islam pengelolaan zakat berubah-ubah mengikuti perkembangan dan tuntutan yang ada dengan tetap berlandaskan hukum syariah. Satu-satunya pijakan sentralisasi pengelolaan zakat pada negara adalah prektek yang dicontohkan Rasulullah SAW, serta para khulafaur rasyidin yang mengelola zakat dalam kapasitas sebagai pemimpin negara. Namun dilain pihak, Utsman bin Affan pada masa pemerintahannya pernah pula menyerahkan pemungutan zakat kepada pemilik harta. Hal tersebut ditambah dengan perbedaan penafsiran manhaj fikih dari empat Imam besar Sunni mengenai pilihan pengelolaan zakat apakah dikelola dan didistribusikan oleh negara atau dapat diserahkan kepada masayarakat itu sendiri.
Strategi optimaslisasi pengelolaan dana zakat, menurut Ari Sudewo, ada beberapa skenario. Pertama, Membentuk Kementerian Zakat dan Wakaf. Kedua, Apabila ide untuk membentuk kementerian tidak memungkinkan, diturunkan jadi Dirjen Zakat. Ketiga, Lembaga independen yang berfungsi seperti Bank Indonesia (BI) dalam dunia perbankan dan berkoordinasi dengan Presiden RI.38 Yang paling realistik saat ini, tampaknya, adalah pilihan ketiga dengan berbagai modifikasinya. Sebagai jalan tengah, ada baiknya pemerintah membentuk badan yang nantinya bertugas hanya di tataran
Sedangkan berdasarkan model pengelolaan zakat yang dipraktekkan pada negara-negara berpenduduk muslim di dunia terdapat paling tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga model pengelolaan zakat, yaitu: 1) Negara tidak menginstitusionalisasi zakat; 2) Negara memfasilitasi zakat; dan 3) Negara mewajibkan zakat. Tiga model tersebut dilaksanakan dengan berbagai variasi yang berbeda antara satu negara dengan
14
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
negara yang lainnya. Perbedaan model tersebut sesuai dengan latar belakang keadaan sosial masyarakat dan faktor kesejarahan dari negara tersebut. Usulan dari Arie Sudewo mengenai tiga model lembaga zakat, yaitu berupa Kementerian, Dirjen ZISWAF dan badan yang berperan sebagai regulator serta pengawas ZISWAF, hanyalah usulan tata kelola Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf (ZISWAF). Sejatinya, inti dari ketiga lembaga tersebut adalah sama-sama fokus pada pengelolaan dana masyarakat berbasis agama dan bagaimana agar pengelolaannya benar-benar optimal guna mesejahterakan dan memberdayakan masyarakat terutama mereka yang benar-benar membutuhkan. Pengalaman negara Malaysia dalam pengelolaan zakat dapat dijadikan salah satu rujukan. Bagaimana mereka membuat terobosan dengan membuat pusat-pusat pengumpulan zakat di setiap negara bagian dan pengelolaannya dilakukan secara korporat sehingga lebih transparan dan akuntabel. Walaupun terdapat perbedaan karena sistem negara Malaysia adalah negara federal dimana puncak dari pengumpulan zakat berada di masing di masing-masing negara bagian, namun hal tersebut justru harus menjadikan sistem pengelolaan zakat kita sebagai negara kesatuan menjadi lebih merata dan dapat menyentuh hingga masyarakat di daerah terpencil yang masih berkutat dengan persoalan kemiskinan. l Setyo Hari Priyono adalah staf Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.
REFERENSI: Alfitri, The Law of Zakat Management and Non-Governemntal Zakat Collectors in Indonesia. International Journal of Not-for-Profit Law/ Vol. 8 no. 2/ January 2006. Ahmad Bello Dogarawa, Poverty Alleviation Through Zakah and Waqf Institution: A Case for The Muslim Ummah in Ghana. Being Text of Paper Presented at the First National Muslim Summit organized by Al-Furqon Foundation, Tamale, Ghana. 3rd October 2009. Al-Qur’an Al-Karim, Syaamil Al-Qur’an Edisi Khat Madinah dan terjemahannya. PT. Syaamil Cipta Media Asad Zaman, Islamic Economics: A Survey of The Literature. International Development Department, University of Birmogham, UK. 2008. pp. 30. Juga lihat Azaf Ahmed Khan, Translating Faith into Development. Islamic Relief June 2009. Asghar Ali Engineer, Compassion in Islam – Theology and History, 2009. Institute of Islamic Studies, Mumbai, India. www.csss-isla.com/IIS/archive/archive. php?article=2009/january.htm Azyumardi Azra, Memotret Filantropi di Indonesia (Kata Pengantar dalam Zaim Saidi dan Hamid Abidin, Menjadi Bangsi Pemurah: Wacana dan Praktek
15
Kedermawanan Sosial di Indonesia). PIRAMEDIA 2004 Azyumardi Azra, Negara dan Pengelolaan Zakat. Republika, 30 April 2010 BPS, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2009. Draft Kedua RUU Pengelolaan Zakat, Perubahan Atas UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. http:// www.imz.or.id/?imz=11&dm=16&dr=122 Eri Sudewo, PENATAAN ZISWAF INDONESIA: Strategi Pengelolaan Dana Sosial Berbasis Agama. Makalah yang disajikan dalam Roundtable Discussion dalam rangka penyusunan RPJMN 2010-2014, tanggal 18 Nopember 2008 oleh Direktorat Agama dan Pendidikan. Grace Clerk, Islamic Reaasertion in Pakistan: The Application of Islamic Laws in a Modern State Weiss, Anita M. (Editor), Syracuse, New York, Syracuse University Press, 1986 Heru Susetyo, “Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek NegaraNegara Tetangga”. www.imz.or.id Indonesian Magnificience of Zakat (IMZ). Zakat Terbukti Mampu Mengurangi Kemiskinan.http://www.imz. or.id/?imz=11&dm=17&dr=126 Ismail A said, Sejarah Kegemilangan Zakat. Harian Republika 20 Agustus 2009. Jatindra Moha Datta, Zakat: The Economic Basis of Islam. The Economic Journal, Col 49, No. 194, June 1939. Kompas (15/04/2010) http://nasional.kompas.com/ read/2010/04/15/20244758/Anggaran.Naik.250. Persen.Kemiskinan.Cuma.Turun.2.Persen. Dr. Rahmatullah, Zakat and Economic Empowerment of Indian Muslims. (Reader and Head, Department of Business Economics, A.P. College of Commerce & Economics, Affiliate to Mumbai University) presented this paper in a National Seminar on Zakat, organized by Zakat Foundation of India, Delhi on September 3 & 4, 2005. http://www.aicmeu.org/Zakat_and_ Economic_Empowerment.htm Republika, Minggu, 19/07/2009. Laporan Utama. Russel Powell, Zakat: Drawing Insight for Legal Theory and Economic Policy From Islamic Jurisprudence. Published in University of Pittsburgh Tax Review. 2009. Syawal Kaslam, Governing Zakat as Social Institution: The Malaysian Perspective. Institut Kajian Zakat Malaysia (IKaZ) Universiti Teknologi Mara. Yusuf Al Qardawi, Fiqh Al Zakah: Comparative Study of Zakah, Regulation and Philosophy in The Light of Qur’an and Sunnah. FIQH AL ZAKAH (Volume I). Scientific Publishing Centre. King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia. Thomas D. Birch, An analysis of Adam Smith’s Theory of Charity and The Problems of The Poor. Eastern Economic Journal. 1998.
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
The Zakat Foundation of America, The Zakat Handbook: A Practical Guide for Muslims in the West.
15 16
Note :
17 18
1 BPS, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2009. 2 Kompas (15/04/2010). http://nasional.kompas.com/read/2010/04/15/20244758/Anggaran. Naik.250.Persen. Kemiskinan.Cuma.Turun.2.Persen. 3 Zakat Terbukti Mampu Mengurangi Kemiskinan. http://www.imz. or.id/?imz=11&dm=17&dr=126 4 Draft Kedua RUU Pengelolaan Zakat, Perubahan Atas UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. http://www.imz.or.id/?imz=11&dm=16&dr=122 5 Lihat Jatindra Moha Datta, Zakat- The Economic Basis of Islam (The Economic Journal, Col 49, No. 194, June 1939) hal. 365-366. Menurut Yusuf Qardhawi, kata ‘zakat’ dari sudut pandang bahasa (etimologis) berarti suci, berkembang, dan barokah. Hal tersebut dapat dilihat dalam QS. Maryam:3, penggunaan kata zakat memiliki arti suci. Sedangkan menurut kaidah fikih, zakat memiliki pengertian harta yang wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya sesuai yang telah ditetapkan berdasarkan Qur’an dan Hadits. Lihat Yusuf Al Qardawi, Fiqh Al Zakah: Comparative Study of Zakah, Regulation and Philosophy in The Light of Qur’an and Sunnah. FIQH AL ZAKAH (Volume I). Scientific Publishing Centre. King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia. Hal. xxxix 6 Azyumardi Azra, Memotret Filantropi di Indonesia (Kata Pengantar dalam Zaim Saidi dan Hamid Abidin, Menjadi Bangsi Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia, PIRAMEDIA 2004). 7 Lihat Asad Zaman, Islamic Economics: A Survey of The Literature. International Development Department, University of Birmogham, UK. 2008. pp. 30. Juga lihat Azaf Ahmed Khan, Translating Faith into Development. Islamic Relief June 2009. Hal. 4. Keadilan dalam Islam paling tidak mencakup tiga aspek, yaitu distribusi kekayaan yang sesuai, penyediaan kebutuhan hidup bagi yang miskin dan yang membutuhkan, dan proteksi kaum lemah dari eksploitasi kaum yang memiliki kekuasaan (baik harta, maupun kekuasaan). 8 Asghar Ali Engineer, Compassion in Islam – Theology and History, 2009. Institute of Islamic Studies, Mumbai, India. www.csss-isla.com/IIS/archive/archive.php?article=2009/january.htm 9 Thomas D. Birch, An analysis of Adam Smith’s Theory of Charity and The Problems of The Poor. Eastern Economic Journal. 1998. Hal. 25. 10 Ibid. hal. 36 11 Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (QS. Al-Baqarah:43). 12 Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat. Dan segala kebakan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah melihat apa yang kamu kerjakan. 13 Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkah hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan (Al Baqarah [2] : 245 ). 14 Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi
19 20 21 22 23 24 25 26 27
28
29 30 31 32 33 34 35 36
37 38
16
ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (QS. AtTaubah:103). Lima pilar dalam ajaran Islam adalah Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Lihat Datta, op.cit. Hal. 365; Supardi, Zakat Organization and Poverty Alleviation. 2005. Unpublished Paper. Hal. 2. Lihat Datta, op.cit. hal. 366. Ada dua tipe zakat dalam Islam, yaitu zakat yang jumlahnya sama untuk setiap orang yaitu Zakat Fitrah, dan Zakat Harta (Zakat Mal) yaitu pungutan atas kekayaaan umat muslim yang sudah memiliki nisab. Lihat Alfitri, The Law of Zakat Management and Non-Governemntal Zakat Collectors in Indonesia. International Journal of Not-for-Profit Law/ Vol. 8 no. 2/ January 2006. Hal. 2 Syar’i adalah sesuai syari’ah. Menurut Qardhawi, syari’ah berarti “the total legal system of Islam” atau sistem hukum yang komprehensif berdasarkan ajaran Islam. Lihat Qardhawi, op.cit. hal. Xxxi. Ahmad Bello Dogarawa, Poverty Alleviation Through Zakah and Waqf Institution: A Case for The Muslim Ummah in Ghana. Being Text of Paper Presented at the First National Muslim Summit organized by Al-Furqon Foundation, Tamale, Ghana. 3rd October 2009. Hal. 9. Dan lihat The Zakat Foundation of America, The Zakat Handbook: A Practical Guide for Muslims in the West. Hal. 77. Khalifah merupakan Kepala negara di dalam sistem pemerintahan Islam. Lihat Qardhawi, op.cit. hal. X. Heru Susetyo, Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga. Hal. 3 Ibid. hal 10. Juga lihat Ismail A said, Sejarah Kegemilangan Zakat. Harian Republika 20 Agustus 2009. Ahmad Bello dogarawa, op.cit. hal 12 Heru Susetyo, op. cit. Hal.1 Ibid. Hal 2. Irfan Abu Bakar. “Zakat dan Pembangunan Civil Society di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Diskusi Buku Filantrofi Islam di Pusat Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Agustus 2010. Azyumardi Azra, Republika, 30 April 2010. Lihat Russel Powell, Zakat: Drawing Insight for Legal Theory and Economic Policy From Islamic Jurisprudence. Published in Universoty of Pittsburgh Tax Review. 2009. Hal. 15. Powell menganalisa sistem pengelolaan zakat dari sudut legal system pada negara-negara muslim yang dibagi menjadi tiga kategori: 1) negara yang tidak menginstitusikan zakat; 2) negara yang membuat peraturan untuk membentuk sistem voluntir dalam mengelola dan mendistribusikan zakat; dan 3) negara yang memberlakukan zakat sebagai pajak. Powell, Ibid. Hal. 16. Negara-negara tersebut adalah Afghanistan, Algeria, Azerbaijan, Burkina Faso, Chad, Guinea, Iraq, Kazakhstan, Mali, Mauritania, Morocco, Niger, Nigeria, Oman, Qatar, Senegal, Sierra Leone, Somalia, Syria, Tajkistan, Gambia, Tunisia, Turki, Turkmenistan, dan Uszbekistan. Khusus untuk Afghanistan dan Iraq tidak menginstitusikan zakat, diduga karena kedua negara tersebut diinvasi AS pada tahun 2001 sehingga sempat terjadi kevakuman pemerintahan. http://www.arabianbusiness.com/500208-gcc-can-rake-billions-in-zakat-income-tax-?ln=en Lihat Powell, Ibid. Hal. 16. Powell, op.cit. hal. 17-23. Dogarawa, op.cit. hal. 10 Powell, op.cit 23, 44. Ibid, hal. 46. Ibid. Hal. 27-30 Lihat Hudayati dan Tohirin, Management of Zakah: Centralised Vs Decentralised Approach. http:// pkukmweb.ukm.my/hadhari/sites/default/files/prosiding/p18.pdf.hal.363. dan Shawal Kaslam, Governing Zakat as Social Institution: The Malaysian Perspective. Institut Kajian Zakat Malaysia (IKaZ) Universiti Teknologi Mara. Hal. 5-6. Lihat Heru Susetyo, op.cit. Hal. 2. Eri Sudewo, PENATAAN ZISWAF INDONESIA: Strategi Pengelolaan Dana Sosial Berbasis Agama. Makalah yang disajikan dalam Roundtable Discussion dalam rangka penyusunan RPJMN 2010-2014, tanggal 18 Nopember 2008.
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0