MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAERAH ALIRAN SUNGAI Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG
RAYMOND MARPAUNG P062034064
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengeloaan Air Baku Air Minum Berasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus : DAS Babon Semarang) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Raymond Marpaung NRP: P 062034064
ABSTRACT RAYMOND MARPAUNG. Raw Water for Drinking Water Management Model Based on Watershed. Case Study at Babon Semarang Watershed, Central Java Province, supervised by M. YANUAR J.PURWANTO, ASEP SAPEI, SRI HARTOYO and I WAYAN ASTIKA Growth of population at Babon watershed area has influenced the demand of raw water significantly and it also causes burden to land use. Population growth consequently will rise the demand for housing, for this reason paddy cultivation and forest area were converted to be a housing area. The effect of housing development will escalate the degree of coefficient run off (CRO). Accordingly, infiltrations of rain fall decreases and it affects the lessening of soil water contain. Besides, population growth and housing development contribute significantly to the decease of water quality surrounding Babon watershed area. Study published by Ministry of Public Work described that in the last 10 years, the damage of watershed is critical and it significantly increase drastically. Data shows that in year of 1995, 20% of watersheds which located in Java island are in critical condition. Extensively in year 2005, the number of critical watershed increase to be 60%. To overcome this situation, conservation of watershed is extremely required, otherwise, in the future population in jawa island will face the lack of raw water. The Raw Water for Drinking Water Management Model Based on Watershed is created in order to overcome the impact of critical watershed condition which influence lack of water quantity and to increase the quality of water. The Model consists of three sub model such as: sub model of raw water supply, sub model of raw water demand and sub model of water quality which has been validated based on structural validation and performance validation. Hence, this model will relevant to apply at other watersheds. By designing a “Raw Water for Drinking water Management Model Based on Watershed”, it is identified that conservation will increase the index of Coeffisient Run off (CRO). If CRO increase, it will influence water infiltration. Hence, supply of raw water as base flow will increase accordingly. The increasing of base flow, will reduce debit of surface water. Along with inceasing of debit, conservation will also increase the index of water quality. hence raw water supplied by watershed will be in category of raw water for drinking water which is called ABAM. If water quality getting better, it will minimize the cost of drinking water production. As a result, the profit of PDAM will increase significantly and it will contribute to fund conservation. In order to ensure that this model can be implemented by stake holders, It also completed by institutional mechanism. By designing institutional mechanism, consequently all stakeholders which are responsible for watershed conservation will work simultaneously. Keyword: Watershed, Model, Raw Water, Conservation, CRO
RINGKASAN RAYMOND MARPAUNG. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus : DAS Babon Semarang), di bawah bimbingan M. YANUAR J PURWANTO, ASEP SAPEI, SRI HARTOYO dan I WAYAN ASTIKA Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun menjadi penyebab utama meningkatnya permintaan akan sumberdaya air, dilain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumber daya yang keberadaannya semakin tak berketentuan, dimana setiap tahun ketersediaannya semakin menurun. Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan fenomena peningkatan kebutuhan air. Perubahan fungsi lahan atau konversi lahan telah mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Sementara itu, akibat deforestasi dan kerusakan lahan, kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air makin rendah. Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan atau coefficient run off atau CRO, (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan pengelolaan air baku yang berbasis DAS. Pengelolaan air baku yang berbasis DAS didasari karena DAS ditentukan oleh hidrologi alami, dimana mewakili basis paling logis untuk mengelola sumber daya air. Disamping itu, DAS merupakan suatu mega sistem yang terdiri dari sub system sub sistem, sehingga penyelesaian dengan pendekatan DAS akan menyentuh permasalahan mendasar yang harus ditangani. Sumber daya air menjadi titik fokus karena permasalahan sumberdaya air adalah permasalahan yang tidak bisa dilepaskan dari masalah lingkungan, ekonomi dan sosial. Pengelolaan yang berbasis DAS akan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan semua kegiatan yang mempengaruhi ketersediaan air baku suatu DAS dan kualitas air bakunya. Hasil kualitas air menunjukan bahwa air baku yang berasal dari DAS sudah mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya, dimana kualitas air baku kondisi sekarang sudah termasuk dalam kategori tercemar berat dan sangat tidak layak sebagai air baku untuk air minum, sehingga, apabila digunakan sebagai air baku untuk air minum, biaya produksinya menjadi besar. Studi yang dilakukan oleh ADB menjelaskan bahwa dengan kualitas air yang buruk, maka biaya produksi air minum meningkat sebesar 25% s/d 40%/tahun. Tujuan penelitian ini untuk (1) menetapkan atribut-atribut kunci yang akan dijadikan variabel dalam membangun model pengelolaan ABAM berbasis DAS; (2) membangun model pengelolaan ketersediaan dan kualitas air baku air minum berbasis DAS, khususnya untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel; dan (3) menghasilkan mekanisme kerjasama kelembagaan dalam mengelola DAS. Penelitian ini dilakukan di DAS Babon Semarang mulai bulan Oktober 2009 dan selesai pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini meninjau tiga dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial dengan menggunakan pendekatan sistem dan dibatasi dalam sistem hidrologi DAS. Model yang dibangun dalam penelitian ini telah divalidasi baik melalui validasi struktur
maupun validasi kinerja. Disamping itu telah dilakukan analisis sensitivitas dan menghasilkan parameter sensitife terhadap ketersediaan air baku. Selanjutkan dilakukan simulasi dan dilanjutkan dengan membuat skenario penanganan kedepan agar kelestarian DAS terjaga. Hasil pembahasan menetapkan 5 (lima) atribut kunci untuk dijadikan sebagai variable dalam membangun model. Kelima atribut kunci tersebut adalah: BOD, COD, debit ekstrim pada musim kemarau, perubahan fungsi lahan dan kekurangan biaya konservasi. Hasil membangun model pengelolaan air baku air minum dihasilkan 3 sub model yaitu: submodel kebutuhan air, submodel ketersediaan air dan sub model kualitas air. Untuk mendukung sub model kualitas air yang salah satu tujuannya untuk mendapatkan biaya untuk konservasi, dilakukan analisis WTP untuk mengetahui keinginan membayar masyarakat terhadap tarif air minum sejauh kelestarian DAS terjaga dan ketersediaan air baku air minum terjamin. Selanjutnya dilakukan skenario dengan memakai tiga pendekatan yaitu skenario pesimis, skenario moderat dan skenario optimis. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa pada skenario pesimis, dimana tidak dilakukan kebijakan reuse, reduce dan recycle dalam pemakaian air baku dan juga tidak menekan laju pertumbuhan penduduk, ketersediaan air baku akan terpenuhi sampai dengan tahun 2039. Apabila dilakukan pendekatan dengan skenario moderat dengan melakukan kebijakan reuse, reduce dan recycle dan menekan laju pertumbhan penduduk,maka kebutuhan air baku akan menurun sehingga suplai air baku akan terpenuhi sampai ahun 2052. Skenario optimis dapat diimplementasikan dengan prasyarat bahwa laju pertumbuhan penduduk ditekan menjadi zero growth dan konservasi terhadap air tanah diberlakukan dengan hanya menggunakan 40% dari total kebutuhan air baku. Apabila skenario optimis dilaksanakan, maka ketersediaan air baku untuk kebutuhan domistik, industri dan hotel akan lestari. Dari hasil simulasi terlihat bahwa skenario optimis adalah yang terbaik, namun sulit untuk diimplementasikan. Oleh sebab, skenario moderat sangat realistis untuk dilaksanakan dimana pertumbuhan penduduk ditekan hanya 1% pertahun disamping itu kebijakan konservasi tetap dilakukan seperti reboisasi untuk kawasan hutan, terasering untuk tegalan, mewajibkan sumur resapan untuk kawasan permukiman dan menggunakan metode SRI untuk persawahan. Dengan demikan ketersediaan air baku tetap terjaga dan kebutuhan air baku terpenuhi. Konservasi akan memperbaiki coeffisien run off (CRO) dan akan meningkatkan ketersediaan air baku. Dampak positif lain dari konservasi akan meningkatkan kualitas air baku dimana akan berpengaruh terhadap biaya produksi air minum karena air baku yang tersedia berkualitas air baku untuk air minum (ABAM), sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP.82. Tahun 2001. Agar skenario dapat dilaksanakan ada satu prasyarat yang harus dipenuhi yaitu kerjasama para stake holder yang terintegrasi. Dengan membangun mekamisme kerjasama stake holder, maka setiap stakeholder/lembaga mengetahui tugas masing masing dan stakeholders yang mempunyai driver force besar dan ketergantungan yang rendah dapat berinisitif dan bergerak untuk melakukan konservasi. Agar keakuratan model ini lebih terjamin, perlu menambah jumlah atribut atribut yang akan didiskusikan dan dievaluasi dalam forum group discussion (FGD). Disamping itu, responden yang
berpartisipasi dalam FGD harus ditambah baik secara keragaman disiplin ilmu maupun jumlah pesertanya. Terlihat dari hasil analisis prospective, dimana atribut logam berat tidak termasuk sebagai atribut kunci, walaupun secara ilmu pengetahuan terbukti bahwa logam berat lebih berbahaya dibandingkan dengan parameter pencemaran yang lain seperti BOD, COD atau kekeruhan.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAERAH ALIRAN SUNGAI Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG
RAYMOND MARPAUNG
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PELAKSANAAN UJIAN
Ujian Tertutup Dilaksanakan pada tanggal
:
1 Desember 2011
Penguji Luar Komisi
:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB)
:
2. Dr. Ir. Etty Riani, M.S. (Staf Pengajar Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB)
Ujian Terbuka Dilaksanakan pada tanggal
:
5 Januari 2012
Penguji Luar Komisi
:
1. Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc. (Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum)
:
2. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. (Guru Besar Fakultas Pertanian, IPB)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus: DAS Babon Semarang)”. Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik moril maupun materil serta bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1.
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan, Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S., Dr. Ir. Sri Hartoyo M.S., serta Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta memberi saran demi kemajuan penulis dan lebih sempurnanya tulisan ini. 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB periode 20102015 yang selalu memacu, memberi semangat dan solusi atas setiap permasalahan yang penulis hadapi serta meluangkan waktu, agar penulis cepat selesai dalam studi ini. 3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan jajaran administrasinya yang telah berkenan menerima dan mengasuh serta selalu mendukung penulis untuk kelancaran dan kesuksesan studi ini. 4. Direktur, serta para pejabat dan staf di lingkungan Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta karya, yang telah berkenan memberi ijin dan kelonggaran waktu serta dukungan untuk penyelesaian dan kesuksesan studi ini. 5. Dr. Etty Riani, M.S. serta para staf Program studi PSL IPB yang terus mendukung dan memberikan semangat penulis untuk terus melanjutkan penyelesaian studi ini. 6. Dinas Sumber Daya Air Propinsi Jawa Tengah Semarang yang memberikan ijin dan data penelitian Tentang DAS Babon serta mengisi kuestioner untuk FGD. 7. Bappedal Propinsi Jawa Tengah yang telah memberikan data tentang DAS Babon serta mengisi kuestioner untuk FGD. 8. PDAM Tirta Moedal Semarang yang telah membantu dalam menyediakan data serta mengisi kuestioner untuk FGD. 9. Teman teman kelompok kerja air minum dan penyehatan lingkungan, Pokja AMPL, yang telah membantu penulis mengisi kuestioner dan melaksanakan FGD 10. Teman-teman tim surveyor dan operator komputer yang membantu survai lapangan dan penyusunan penelitian ini.
11. Semua pihak yang terlibat dalam proses FGD dan telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, baik moril maupun materiil. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Isteri tercinta, Daruwati, SE, yang telah membantu dengan penuh kesabaran dan memberi semangat penulis untuk menyelesaikan penelitian ini, serta ibunda tercinta Hj. Nurhana Harahap atas doanya terhadap penulis. Permohonan maaf penulis sampaikan kepada keluarga yaitu isteri dan anak-anakku, Dara Fitriana, Tiara A Sharfina dan Lena Chairani, yang berkurang untuk mendapat perhatian penulis selama menyelesaikan penelitian ini. Akhir kata, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat berdoa semoga diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah S.W.T. dan dinilai sebagai amal shaleh. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan dengan segala kerendahan hati menerima masukan, kritikan, dan saran agar tulisan ini dapat disempurnakan sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta masyarakat yang berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air, dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2012 Raymond Marpaung
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 September 1958, sebagai anak tunggal dari pasangan H.Sutan Marpaung (Alm) dengan Hj. Nurhana Harahap. Pendidikan S1 diselesaikan pada tahun 1987 pada jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti, Jakarta. Pada tahun 1994, penulis mendapat beasiswa dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Overseas Training Office (OTO) Bappenas untuk melanjutkan studi S2 pada jurusan Public Administration di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat dan menyelesaikan studinya pada tahun 1994 sebagai Master of Public Administation. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1988, penulis bekerja pada Kementerian Pekerjaan Umum dan telah beberapa kali berpindah Unit Kerja atau Direktorat antara lain: Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, Direktorat Pelaksanaan Wilayah dan saat ini pada Direktorat Pengembangan Air Minum. Semua Unit Kerja atau Direktorat tersebut berada dalam naungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum. Karya ilmiah yang berjudul “Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Air Baku DAS Babon Semarang (Studi Kasus: DAS Babon Semarang)” akan diterbitkan pada jurnal ilmiah Hidrosfir Indonesia, BPPT, pada Vol. 6, No. 3, bulan Desember 2011.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xxvii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................xxix. DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxxi I. PENDAHULUAN ..................................................................................... ..
1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ......... ........................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................
6
1.4. Kerangka Pikir Penelitian ......................................................................
7
1.5. Manfaat Penelitian .............................................................................. ..
8
1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty) ............................................................ ..
9
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ ..
11
2.1. Sumberdaya Air ................................................................................
11
2.1.1. Ketersediaan Air Baku.. ..........................................................
13
2.1.2. Kebutuhan Air. ........................................................................
15
2.1.2.1. Kebutuhan Air Domestik ...........................................
15
2.1.2.2. Kebutuhan Air Non Domestik ...................................
20
2.2. Daerah Aliran Sungai .......................................................................
21
2.3. Pendekatan dan Pemodelan Sistem ...................................................
25
2.4. Pembangunan Berkelanjutan .............................................................
29
2.5. Kelembagaan .....................................................................................
32
2.6. Analisis Prospektif .............................................................................
35
2.7. Permodelan Sistem Dinamik .............................................................
36
2.8. Validasi dan Analisis Sensitivitas......................................................
40
2.9. Analisis dan Perumusan Kebijakan ...................................................
41
2.10. Hasil Penelitian Terdahulu ...............................................................
42
xxi
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................
49
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ..............................................................
49
3.2. Pendekatan Penelitian .........................................................................
50
3.3. Metode Pengumpulan Data ...............................................................
52
3.3.1. Data Primer ..............................................................................
52
3.3.2. Data Sekunder .........................................................................
53
3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel ...................................................
53
3.3.4. Jenis dan Sumber Data ...........................................................
54
3.4. Analisis Data .....................................................................................
54
3.4.1. Penetapan Atribut-Atribut Kritis. ............................................
55
3.4.1.1. Menyusun Atribut dari Aspek Tiga Dimensi ............
55
3.4.1.2. Analisis Atribut Kritis ...............................................
57
3.4.2. Menetapkan Atribut-Atribut Kunci .........................................
58
3.4.3. Model Sistem Dinamis. ...........................................................
60
3.4.3.1. Analisis Kebutuhan ....................................................
60
3.4.3.2. Formulasi Masalah .....................................................
60
3.4.3.3. Identifikasi Sistem......................................................
61
3.4.3.4. Permodelan Sistem ....................................................
61
3.4.3.5. Validasi Model ...........................................................
62
3.4.3.6. Analisis Sensitivitas Model ........................................
62
3.4.3.7. Simulasi Model ..........................................................
62
3.4.3.8. Analisis Kebijakan Berdasarkan Skenario .................
62
3.4.4. Analisis Willingness to Pay .....................................................
63
3.4.5. Menetapkan Mekanisme Kelembagaan . .................................
63
IV. KONDISI SUMBERDAYA ALAM DAS BABON .............................
69
4.1. Letak, Batas, dan Luas .......................................................................
69
4.2. Kondisi Iklim, Tanah, dan Hidrologi.................................................
70
4.2.1. Kondisi Iklim ..........................................................................
70
4.2.2. Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan ......................................
72
4.2.2.1. Kondisi Tanah ............................................................
72
4.2.2.2. Tata Guna Lahan ........................................................
73
4.2.3. Kondisi Hidrologi ....................................................................
74
xxii
4.2.3.1. Hidrologi Permukaan (Sungai) ..................................
74
4.2.3.2. Kondisi DAS Babon ..................................................
78
4.2.3.3. Hidrologi Bawah Permukaan (Air Tanah).................
79
4.2.3.4. Kualitas Air................................................................
82
4.2.3.5. Cekungan Air Tanah ..................................................
84
4.2.4. Geologi dan Geomorfologi .....................................................
88
4.2.5. Kondisi dan Permasalahan Lingkungan ..................................
93
4.2.5.1. DAS Babon Bagian Hulu ..........................................
93
4.2.5.2. DAS Babon Bagian Tengah ......................................
95
4.2.5.3. DAS Babon Bagian Hilir ...........................................
97
4.3. Kependudukan dan Sosial Ekonomi .................................................
99
4.3.1. Jumlah Penduduk ....................................................................
99
4.3.2. Kepadatan Penduduk ..............................................................
99
4.3.3. Mata Pencaharian .................................................................... 103 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 105 5.1. Analisis Atribut Kritis Pengelolaan Air Baku DAS Babon ............... 105 5.1.1. Atribut Kritis Dimensi Ekologi ................................................ 105 5.1.1.1. Kadar COD .................................................................. 106 5.1.1.2. Debit Air Pada Musim Kemarau Selama Lima Tahun Terakhir ............................................................ 107 5.1.1.3. Kandungan Logam Berat ............................................ 108 5.1.1.4. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan DAS Babon Semarang ..................................................................... 109 5.1.1.5. Kadar BOD .................................................................. 109 5.1.2. Atribut Kritis Dimensi Ekonomi .............................................. 110 5.1.2.1. Pangsa Pasar ................................................................ 111 5.1.2.2. Tingkat Keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum . 112 5.1.2.3. Subsidi yang Diterima ................................................. 113 5.1.2.4. Kebutuhan Modal untuk Pengembangan Perusahaan Air Minum ................................................................... 113 5.1.2.5. Ketersediaan Dana untuk Kegiatan Pelestarian Lingkungan.................................................................. 114 5.1.3. Atribut Kritis Dimensi Sosial ................................................... 115 xxiii
5.1.3.1. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumber Air Minum dari PDAM .................................. 116 5.1.3.2. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumber Air Baku dari DAS Babon untuk Kebutuhan Non Domestik ........................................... 117 5.1.3.3. Pemahaman dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kelestarian Sumberdaya Alam .................................... 118 5.1.3.4. Tingkat Keluhan Pelanggan Air Minum...................... 118 5.1.3.5. Ketergantungan Kelompok Masyarakat terhadap Tokoh Panutan ............................................................. 119 5.2. Strategi Peningkatan Pengelolaan Air Baku DAS Babon ................... 120 5.2.1. Penyusunan Skenario ................................................................ 121 5.2.1.1. Skenario Konservatif-Pesimistik ................................. 123 5.2.1.2. Skenario Moderat-Optimistik ...................................... 124 5.2.1.3. Skenario Progresif-Optimistik ..................................... 125 5.3. Permodelan Sistem Dinamik ............................................................... 126 5.3.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku ............................................... 128 5.3.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku............................................ 134 5.3.3. Sub Model Kualitas Air Baku ................................................... 137 5.4. Validasi Model Pengelolaan Air Baku DAS Babon ............................ 140 5.4.1. Validasi Struktur Model ............................................................ 140 5.4.1.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku ................................. 140 5.4.1.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku .............................. 142 5.4.1.3. Sub Model Kualitas Air Baku...................................... 143 5.4.2. Validasi Kinerja Model ............................................................ 144 5.4.3. Analisis Sensitivitas Model ....................................................... 146 5.5. Simulasi Model .................................................................................... 147 5.5.1. Kondisi Eksisting ...................................................................... 147 5.5.2. Skenario Kebijakan ................................................................... 148 5.5.2.1. Skenario Pesimis .......................................................... 149 5.5.2.2. Skenario Moderat......................................................... 150 5.5.2.3. Skenario Optimis ......................................................... 151 5.6. Analisis Willingness to Pay (WTP) ................................................... 153
xxiv
5.7. Analisis Kelembagaan yang Terkait dalam Pengelolaan DAS Babon Semarang ................................................................................ 158 5.7.1. Mekanisme Kelembagaan Pengelolaan ABAM di DAS Babon ....................................................................................... 163 5.7.2. Penerapan BMP (Best Management Practise) dalam Pengelolaan ABAM DAS Babon ............................................. 166 5.7.3. Program Produksi Bersih atau GHK (good house keeping) ..... 169 5.7.4. Program Perlindungan dan Konservasi Daerah Bantaran Sungai ....................................................................................... 169 5.7.5. Program Pembangunan Sarana Pengolahan Limbah Sistem Sentralisasi`..............................................................................
170
5.8. Role Sharing (Bagi Peran) Pengelolaan Kualitas Air........................ 170
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 173 6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 173 6.2. Saran .................................................................................................. 174
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 175
xxv
xxvi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk ....................................................................................
19
2
Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan ..........................
22
3
Matriks pembangunan berkelanjutan . .....................................................
30
4
Pedoman penilaian analisis prospektif. ....................................................
36
5
Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek dan metodologi penelitian model pengelolaan air baku untuk kebutuhan air minum secara berkelanjutan .....................................................................
44
6
Pendekatan sistem model pengelolaan sumber air baku DAS Babon .....
52
7
Rincian jumlah responden penelitian ....................................................... .
54
8
Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ........................ .
55
9
Contoh matriks SSIM ............................................................................... .
65
10
Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM…………………………
66
11
Wilayah kelurahan yang termasuk DAS Babon.......................................
70
12
Curah hujan rata tahunan DAS Babon. ....................................................
71
13
Jenis tanah di DAS Babon. ......................................................................
72
14
Tata guna lahan DAS Babon .................................................................
74
15
Debit rata-rata bulanan efektif Sungai Babon di stasiun Pucang Gading (m3/dt) ......................................................................................................
78
16
Penggunaan air di DAS Babon ................................................................
79
17
Jenis industri yang potensial mencemari Sungai Babon ..........................
82
18
Konsentrasi beban pencemar yang masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) .
82
19
Perkembangan jumlah sumur dan volume pengambilannya ....................
87
20
Luasan kemiringan lereng DAS Babon....................................................
98
21
Distribusi penduduk di DAS Babon ......................................................... 101
22
Atribut-atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan air baku DAS Babon ....................................................................................................... 120
23
Keadaan masing-masing faktor kunci pengelolaan air baku.................... 122
24
Hasil analisis skenario strategi pengelolaan air baku DAS Babon .......... 123
25
Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku untuk kebutuhan air minum... 127
26
Validasi kinerja model ............................................................................. 145
xxvii
27
Skenario kebijakan ................................................................................... 149
28
Nilai ekonomi air dalam satu tahun .......................................................... 156
29
Nilai ekonomi air dalam satu tahun berdasarkan survey WTP ................ 156
30
Stakeholders yang dikaji dalam pengelolaan DAS Babon secara berkelanjutan ............................................................................................ 158
31 Role sharing pengelolaan ABAM di DAS Babon .................................... 171
xxviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pikir penelitian model pengelolaan air baku untuk kebutuhan air minum secara berkelanjutan. . ...........................................
8
2
Tahapan kerja dalam pendekatan sistem. .................................................
39
3
Peta administrasi DAS Babon . ................................................................
50
4
Diagram alir sistematika pendekatan penelitian. .....................................
51
5
Tahapan analisis pada atribut kritis DAS Babon Semarang untuk kebutuhan air minum ...............................................................................
59
6
Matriks tingkat kepentingan faktor . ........................................................
60
7
Diagram alir diskriptif teknik ISM.........................................................
68
8
Peta komposisi tataguna lahan DAS Babon .............................................
73
9
Peta daerah aliran sungai (DAS) Babon ..................................................
77
10
Peta airan air tanah DAS Babon. . ...........................................................
81
11
Peta kualitas air DAS Babon. . .................................................................
83
12
Peta kedudukan DAS Babon terhadap CAT Semarang Demak. .............
85
13
Grafik volume pengambilan air tanah. . ...................................................
87
14
Laju penurunan muka tanah Kota Semarang. ..........................................
88
15
Peta geologi DAS Babon. . ......................................................................
92
16
Peta jenis tanah DAS Babon. . .................................................................
94
17
Tingkat bahaya erosi DAS Babon ............................................................
96
18
Peta kemiringan lereng DAS Babon. . .....................................................
98
19
Peta distribusi penduduk di DAS Babon.................................................. 100
20
Peran masing-masing atribut aspek ekologi ............................................ 106
21
Peran masing masing atribut aspek ekonomi ........................................... 111
22
Peran masing masing atribut aspek sosial ................................................ 116
23
Hasil analisis tingkat kepentngan yang berpengaruh pada sistem yang dikaji......................................................................................................... 121
24
Diagram input-output (I-O) sistem model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS di DAS Babon ....................................................... 129
25
Causal loop. . ........................................................................................... 130
26
Causal loop sub model kebutuhan air baku ............................................. 131
27
Diagram alir sub model kebutuhan air baku . .......................................... 132
28
Causal loop sub model ketersediaan air baku. ......................................... 135 xxix
29
Diagram alir sub model ketersediaan air baku ......................................... 136
30
Causal loop sub model kualitas air .......................................................... 138
31
Diagram alir sub model kualitas air.......................................................... 139
32
Validasi struktur sub model kebutuhan air baku ...................................... 141
33
Validasi struktur sub model kebutuhan air baku dengan kebijakan reduse, reuse, dan recycle ........................................................................ 141
34
Validasi struktur ketersediaan air baku .................................................... 143
35
Validasi struktur sub model kualitas air baku .......................................... 144
36
Hasil analisis sensitivitas model ............................................................... 146
37
Simulasi kondisi existing DAS Babon ..................................................... 148
38
Hasil simulasi skenario pesimis................................................................ 150
39
Hasil simulasi skenario moderat ............................................................... 151
40
Hasil simulasi skenario optimis ................................................................ 152
41
Hasil simulasi kualitas air skenario optimis ............................................. 152
42
Diagram hirarki dari elemen-elemen stakeholders ................................... 160
43
Matriks DP-D untuk elemen prioritas ...................................................... 160
xxx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Atribut-atribut dan skor Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis Daerah Aliran Sungai ................................................................ 181
2
Source Code: Stella. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS.. ........................................................................................................ 185
3
Kuisioner Survei Nilai ekonomi air. ........................................................ 190
4
Kuisioner Survei Analisis sensivitas model . . ......................................... 194
5
Kuisioner Survei Identifikasi kebutuhan prioritas dalam pengelolaan air baku air minum berbasis DAS. ........................................................... 195
xxxi
xxxii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Sejalan dengan pertambahan penduduk serta perkembangan industri, maka kebutuhan terhadap air baku semakin meningkat. Namun peningkatan kebutuhan akan air ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah air yang tersedia, karena sumberdaya air di dunia ini tidak akan pernah bertambah jumlahnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya keberadaan sumber-sumber air yang ada perlu dijaga dan dilestarikan. Bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun menjadi penyebab utama meningkatnya permintaan akan sumberdaya air, di lain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumberdaya yang keberadaannya semakin berkurang, dimana setiap tahun ketersediaannya semakin menurun. Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan fenomena peningkatan kebutuhan air. Penurunan ketersediaan air berkaitan erat dengan kesalahan pengelolaan lingkungan sehingga menyebabkan terganggunya suplai air baku di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan terganggunya suplai air antara lain: perubahan tataguna lahan, pencemaran oleh limbah domestik serta eksploitasi sumberdaya air akibat tekanan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi sehingga menyebabkan perubahan siklus hidrologi (Candra Samekto dan Ewin Sofian Winata 2010). Berdasarkan sektor kegiatan kebutuhan air dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian, dan kebutuhan industri. Pada tahun 1990, kebutuhan untuk domestik, irigasi, dan industri berturut-turut adalah: 3.2 x 109 m3/tahun; 74.9 x 109 m3;
dan 0.70 x 109
m3/tahun. Pada tahun 2000 kebutuhan air masing masing sektor 3.5 x 109 m3/tahun; 82.4 x 109 m3/tahun; dan 0.79 x 109 m3/tahun (Isnugroho 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun kebutuhan air untuk sektor domestik dan irigasi meningkat sekitar 9%/tahun dan sektor industri meningkat 11%/tahun. Penurunan ketersedian air dan peningkatan kebutuhan air juga terjadi di Provinsi Jawa Tengah pada umumnya, termasuk juga di daerah aliran sungai
2
(DAS) Babon yang berlokasi di 3 (tiga) kabupaten kota yaitu: Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Demak. Hal ini diduga disebabkan oleh perubahan fungsi lahan atau konversi lahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan peningkatan aliran permukaan. Konversi lahan tersebut menyebabkan peningkatan aliran permukaan, akibatnya jumlah air yang hilang ke laut akan meningkat pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan air. Perubahan fungsi lahan atau konversi lahan telah mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Sementara itu, akibat deforestasi dan kerusakan lahan, kemampuan lahan untuk menahan dan menyimpan air semakin rendah. Deforestasi dan kerusakan lahan telah meningkatkan koefisien limpasan (perbandingan antara volume limpasan dan volume curah hujan), dan menurunkan kemampuan tanah menahan air hujan. Berdasarkan studi yang dilakukan Departemen Kimpraswil pada tahun 2003, permasalahan air di Indonesia cukup kritis. Untuk menjamin ketersediaan air yang berkesinambungan diperlukan usaha-usaha pengelolaan sumberdaya air yang baik, terpadu, dan handal. Adapun permasalahan pokok mengenai sumberdaya air yang sering dihadapi di Indonesia adalah, antara lain: (1) adanya kelangkaan lokal (local scarcity) dalam alokasi air untuk berbagai sektor akibat dari bertambahnya penduduk dan bertambahnya kebutuhan air minum, khususnya di daerah perkotaan (urban areas). Walaupun ketersediaan air tawar di Indonesia dalam skala global melimpah, yaitu sekitar 13 000x109 m3, tapi kelimpahan tersebut tidak merata di tiap wilayah. Contohnya di Pulau Jawa yang hanya mempunyai 4.5% potensi air tawar nasional, tapi harus menopang 65% jumlah penduduk Indonesia yang seluruhnya berjumlah kurang lebih 230 juta orang. Akibatnya Pulau Jawa mengalami krisis air pada musim-musim kemarau. Padahal, permintaan akan air baku, terutama di Pulau Jawa, tiap tahunnya semakin meningkat. Menurut proyeksi Kimpraswil, pertambahan permintaan air minum ini dari tahun 1990 sampai 2020 mencapai 220%; (2) akses supply air minum dari institusi pengelola (PDAM) tidak memadai, sementara itu prasarana penyedia air minum perkotaan tidak mampu melayani perkembangan permintaan yang pesat.
3
Dalam dokumen water sector adjustment loan (WATSAL 1999) disebutkan, bahwa pada daerah perkotaan, hanya sebesar 40% dari seluruh penduduk perkotaan yang mendapatkan air minum (piped water). Akibatnya, air tanahlah yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari dan kebutuhan industri. Diperkirakan, 80% kebutuhan air minum masyarakat perkotaan dan perdesaan masih mengandalkan air tanah, sedangkan untuk industri hampir mencapai 90% yang mengandalkan air tanah, dan (3) adanya tekanan terhadap
lingkungan,
yang
disebabkan
oleh
perencanaan
yang
tidak
memperhatikan pelestarian lingkungan dan faktor budaya setempat. Dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi, kedua faktor tersebut menambah tekanan terhadap lingkungan. Kondisi existing menunjukkan bahwa ketersediaan air baku untuk air minum di kota-kota besar saat ini menjadi permasalahan serius dan perlu mendapat perhatian secara khusus dan terpadu oleh pemerintah. Data menunjukkan bahwa air baku yang berasal dari DAS sudah mengalami penurunan kualitas dan ketersediaannya, sehingga mengakibatkan ketersediaan air minum semakin terbatas dan biaya produksi sesemakin tinggi. Hampir semua air sungai di Indonesia sudah tercemar dimana kualitas air bakunya sudah termasuk dalam kategori tercemar berat. Daerah aliran sungai yang selanjutnya disingkat DAS merupakan suatu mega sistem yang saling terkait secara keruangan. Daerah aliran sungai merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya tanah, air, vegetasi, dan sumberdaya manusia yang pada konteks ini sebagai pelaku pemanfaat atau pengguna sumberdaya alam tersebut. Menurut Hariadi Kartodihardjo et al. (2004), Daerah aliran sungai dapat dibagi menjadi tiga sistem antara lain: physical system, biological system, dan human system. Physical system dibagi menjadi tiga sub sistem antara lain: atmospheric sub system, hydrological sub system, dan physiographic sub system. Dalam penelitian ini yang ditekankan adalah keberadaan DAS sebagai hydrological sub system dimana komponen-komponennya terdiri antara lain: presipitasi, aliran permukaan, pengisian air atau water discharge, air tanah, evapotranspirasi, turbidity atau kelembaban dan salinitas. Begitu bervariasinya komponen-komponen sub sistem
4
yang ada pada DAS, oleh sebab itu permasalahan air baku perlu dikelola melalui pendekatan yang berbasis DAS dengan pendekatan sistem. Saat ini kondisi DAS di sebagian besar daerah di Indonesia mulai menurun, kritis, baik ketersediaan maupun kualitasnya. Hal itu terindikasi dengan meningkatnya bencana di sekitar DAS, seperti: tanah longsor, erosi dan sedimentasi, kekeringan, dan kualitas air baku yang buruk. Meningkatnya kepadatan penduduk di sekitar DAS berimplikasi terhadap peningkatan pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan dapat dipastikan kondisi DAS telah mengalami penurunan. Disamping itu, peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi mengakibatkan permintaan terhadap air baku sesemakin bertambah. Dalam suatu sistem DAS, hulu, tengah, dan hilir merupakan kesatuan DAS yang mempunyai keterkaitan baik secara biofisik maupun hidrologis. Pemanfaatan lebih besar oleh sumberdaya manusia pada umumnya terjadi di hulu yang kondisi biofisiknya merupakan daerah tangkapan dan daerah resapan air. Status itulah yang menjadikan hulu rawan akan gangguan eksploitasi secara besar-besaran oleh manusia. Kenyataan semacam itu menandakan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh perilaku sosial masyarakat sekitar dan juga pengelolaan DAS itu sendiri secara kelembagaan. Secara kelembagaan di sini, dimaksudkan bahwa DAS sebagai sebuah kesatuan yang utuh mencakup beberapa wilayah yang secara administratif terpisah, dalam pengelolaannya harus ada keterpaduan antar sektor dan wilayah yang tercakup dalam DAS tersebut. Pengelolaan DAS lintas daerah secara terpadu, sebenarnya diawali dengan perumusan kesepakatan dan pembagian peran antar daerah yang tercakup ke dalamnya. Secara hidrologis, DAS adalah sistem hidrologi alami sehingga dimanapun kita berada pasti berada dalam suatu DAS (Burrell E. Montz 2008). Atas dasar itu, membangun model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS merupakan solusi yang dapat menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini, yaitu ketersediaan air baku yang sudah menurun dan kualitas air baku yang tercemar. Daerah aliran sungai (DAS) Babon merupakan salah satu DAS di Jawa Tengah yang selama ini dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk pertanian, industri, air minum, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Aliran sungai DAS
5
Babon berasal dari beberapa anak sungai yang berasal dari Gunung Butak, di Kabupaten Ungaran. DAS Babon terdiri atas 3 (tiga) Sub DAS yaitu: di bagian hulu adalah Sub DAS Gung (seluas 4 207 ha) dan Sub DAS Pengkol (seluas 3 438 ha), sedangkan di bagian hilir adalah Sub DAS Babon hilir (seluas 6 712 ha) yang bagian Barat di batasi oleh saluran Banjir Kanal Timur. DAS Babon juga berbatasan dengan DAS Garang di sebelah Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan DAS Tikung. PDAM Semarang yang selama ini memanfaatkan sumber air baku air minum dari DAS Babon, tidak berkewajiban dalam melakukan pelestarian sumberdaya air baku. Kewajiban yang diamanatkan kepada PDAM hanya sebatas pengolahan air baku menjadi air minum dan mendistribusikannya kepada masyarakat pelanggan air minum. Dengan tidak adanya kewajiban dari PDAM dalam melestarikan DAS, mengakibatkan keberlanjutan ketersediaan air baku air minum menjadi tidak terjamin. Saat ini PDAM dihadapkan pada masalah air baku yang semakin terbatas ketersediaannya dan kualitas yang semakin menurun, sehingga diperlukan biaya yang semakin besar dan permintaan akan kebutuhan masyarakat menjadi tidak dapat dipenuhi. Untuk itu, PDAM perlu dilibatkan dalam pengelolaan DAS secara terpadu dengan pendekatan sistem, agar ketersediaan air baku tetap terjamin. Pengelolaan air baku yang bersumber dari DAS sebagai sumber air baku dilakukan dengan pendekatan sistem, diawali dengan cara melakukan identifikasi dan evaluasi secara cepat, tepat, objektif, holistik, dan terkuantifikasi tentang pengelolaan DAS yang terjadi selama ini (existing condition) untuk mendapatkan atribut-atribut kritis yang harus segera ditangani agar keberlanjutan air baku tetap terjamin. Selanjutnya dilakukan analisis leverage untuk menentukan atributatribut yang sangat sensitif dari masing masing aspek seperti: aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Dengan menggunakan analisis prospektif, atribut-atribut kritis tersebut dianalisis kembali untuk menghasilkan atribut-atribut kunci yang mewakili ketiga aspek tersebut. Atribut-atribut kunci tersebut dijadikan variabel dalam membangun Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS. Selanjutnya, agar model tersebut dapat diimplementasikan,
6
dirumuskan mekanisme kelembagaan dengan menggunakan analisis interpretative struktural modelling (ISM). 1.2. Rumusan Masalah Pengelolaan air baku untuk air minum belum dikelola secara terpadu melalui pendekatan sistem. Hal tersebut berakibat pada ketersediaan air baku yang berkurang dan kualitas air baku yang tercemar (berat) sehingga diperlukan biaya produksi yang semakin tinggi untuk pengolahan air baku menjadi air minum. Adapun pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana potensi DAS Babon sebagai sumber air baku air minum pada saat ini?
2.
Bagaimana model pengelolaan air baku agar ketersediaan air baku dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang dan kualitas air baku dapat memenuhi kategori air baku air minum (ABAM)?
3.
Bagaimana mekanisme kerjasama antar lembaga yang terkait agar model pengelolaan ABAM berbasis DAS dapat diimplementasikan?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS, studi kasus di DAS Babon Semarang, agar ketersediaan dan kebutuhan air baku dapat memenuhi kebutuhan dan kualitas air baku dapat memenuhi kategori air baku air minum (ABAM). Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain: 1.
Menetapkan atribut-atribut kunci yang akan dijadikan variabel-variabel dalam membangun model pengelolaan ABAM berbasis DAS.
2.
Membangun model pengelolaan ketersediaan dan kualitas air baku air minum berbasis DAS, khususnya untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel.
3.
Menghasilkan mekanisme kerjasama kelembagaan dalam mengelola DAS agar masing-masing instansi yang berkepentingan pada DAS Babon, dapat memahami perannya dalam mengimplementasikan model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS.
7
1.4. Kerangka Pikir Penelitian Penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem melalui studi kasus pada daerah aliran sungai (DAS) Babon Semarang Provinsi Jawa Tengah. Sebagai suatu sistem yang sangat kompleks, DAS memberikan manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama sebagai sumber air baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia, seperti: untuk keperluan air baku air minum (ABAM), pertanian, peternakan, perikanan, irigasi, transportasi, dan lainlain. Air baku air minum berdasarkan PP 82/2001 adalah air baku yang termasuk dalam kategori 1 (satu) dan peruntukannya untuk air minum. Dalam penelitian ini, fokus penelitian diarahkan pada pengelolaan air baku berbasis DAS untuk memenuhi kriteria atau kategori air baku air minum untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel. Agar tercapai tujuan tersebut, pengelolaan
air
baku
harus
dilakukan
secara
holistik/terpadu
dengan
memperhatikan kaidah/prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu solusinya adalah dengan membangun model pengelolaan air baku air minum yang dapat meningkatkan ketersediaan air baku serta meningkatkan kualitas air baku yang
secara
ekologis
diperlukan
dimana
secara
ekonomi
akan
lebih
menguntungkan, mengingat biaya produksi untuk mengolah air minum akan lebih efisien. Disamping itu, secara sosial akan bermanfaat karena masyarakat mengkonsumsi air baku yang tidak tercemar. Secara skematis kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
8
Kebutuhan Industri
Pertumbuhan Penduduk
Tekanan Terhadap Kawasan
Peningkatan Aktivitas di Kawasan
Intensitas Penggunaan Lahan
Peningkatan Kebutuhan Air Baku
Degradasi Lahan dan Air
Kebutuhan Domestik
Kebutuhan Hotel
Fluktuasi Debit
Air Baku Tercemar
Model Pengelolaan ABAM Berbasis DAS
Tidak Valid ?
Ya
Simulasi Dengan Berbagai Skenario
Rekomendasi
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian model pengelolaan air baku air minum untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Tersedianya model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan agar kebutuhan air baku terpenuhi untuk jangka panjang.
2.
Tersusunnya mekanisme kerjasama antara Pemerintah Daerah sebagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
3.
Sebagai acuan Pemerintah Daerah Jawa Tengah dalam penentuan kebijakan pengelolaan sumber air baku serta penentuan skenario untuk menentukan prioritas program yang diperlukan agar kebutuhan air baku dalam jangka panjang dapat terpenuhi.
9
1.6. Kebaruan Penelitian (Novelty) Penelitian mengenai pengelolaan sumber air baku dari aspek teknis dan operasional telah banyak dilakukan oleh lembaga penelitian maupun institusi yang bergerak dalam bidang tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Bab II Tinjauan Pustaka. Namun penelitian dengan membuat model pengelolaan air baku air minum (ABAM) yang berbasis DAS belum pernah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan tersebut sifatnya masih parsial dan belum terintegrasi. Dengan demikian, nilai kebaruan (novelty) penelitian ini adalah: 1.
Model pengelolaan air baku air minum dengan mempertimbangkan: a. Sub model kebutuhan air baku untuk kebutuhan domestik, industri, dan hotel. b. Sub model ketersediaan air baku melalui pendekatan konservasi untuk mengurangi air limpasan dengan pendekatan reboisasi untuk hutan, terasering untuk tegalan, SRI untuk sawah, dan sumur resapan untuk perumahan. c. Sub model kualitas air baku air minum agar kualitas air baku mencapai kualitas air baku air minum.
2.
Tersusunnya
kerangka
kerjasama
dan
program
antara
stakeholders/kelembagaan dalam mengimplemenasikan model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS. 3.
Sebagai tools untuk menetapkan kapasitas DAS dalam menyediakan ABAM.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Air Sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan air sendiri memiliki pengertian semua air yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaaan, air tanah, dan air hujan. Sebagai suatu sumberdaya, air memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (UU Sumberdaya Air Nomor 7 Tahun 2004). Air baku adalah air yang diambil dari lingkungan, dan kemudian diperlakukan atau dimurnikan untuk menghasilkan air minum. Air baku untuk air minum rumah tangga yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Air baku tidak boleh dianggap aman untuk minum atau mencuci tanpa perawatan lebih lanjut. Air minum adalah air minum rumah tangga yang sudah melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Potensi ketersediaan sumberdaya air baik yang berasal dari air permukaan maupun potensi air tanah sangat besar. Data menunjukan bahwa potensi air permukaan di Indonesia sebesar 1 789 milyar m3 tersebar di berbagai badan air, sedangkan potensi air tanah sebesar 4.7 x 109 m3 tersebar di 224 cekungan air tanah (Sudodo dan Prastowo 2005). Sampai dengan tahun 1990, potensi air di Indonesia yang dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian (irigasi) sebesar 74.9 x 109 m3/tahun dengan peningkatan 6.7% per tahun; kebutuhan domestik 3.1 x 109 m3/tahun dengan peningkatan 6.7 % per tahun; kebutuhan industri 0.7 x 109 m3/tahun, dengan peningkatan 12.5 % per tahun (Sudodo dan Prastowo 2005). Ada 3 (tiga) masalah utama yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya air, yaitu: 1.
Rusaknya daerah resapan air.
2.
Buruknya kualitas dan kuantitas air yang ada di badan sungai.
12
3.
Pemenuhan kebutuhan air baku, baik untuk masyarakat maupun industri yang semuanya mengambil dari air tanah dalam jumlah besar dan berakibat turunnya tinggi permukaan tanah dan terjadinya intrusi air laut. Menurut Sudodo dan Prastowo (2005), beberapa indikator kerusakan
sumberdaya air dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1) rasio debit sungai maksimum; (2) koefisien aliran permukaan (limpasan, run off); (3) erosi dan sedimentasi; (4) muka air permukaan; dan (5) muka air tanah. Sebagai bukti telah terjadi kerusakan daerah resapan air adalah bertambahnya daerah aliran sungai (DAS) yang kritis tiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 24 (dua puluh empat) DAS kritis dan kemudian meningkat menjadi 39 (tiga puluh sembilan) DAS kritis pada tahun 1992, meningkat lagi menjadi 59 (lima puluh sembilan) DAS kritis pada tahun 1998, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 62 (enam puluh dua) DAS kritis. Dari 62 (enam puluh dua) DAS kritis tersebut sebanyak 26 (dua puluh enam) DAS kritis berada di Pulau Jawa (Sudodo dan Prastowo 2005). Dengan demikian, rehabilitasi daerah hulu sebagai daerah resapan air menjadi faktor penting untuk mencegah banjir di musim hujan dan kelangkaan air pada musim kemarau. Penggunaan air di kawasan perkotaan antara lain adalah untuk air minum (permukiman), industri, usaha perkotaan (perdagangan/pertokoan), transportasi, dan lainnya. Melihat besarnya peran dan fungsi air serta untuk mengantisipasi semakin tingginya kebutuhan air khususnya air minum di kawasan perkotaan, maka air baku air minum harus mendapat perhatian yang serius. Pada saat ini dipastikan kinerja pelayanan air minum di kawasan perkotaan masih sangat kurang terutama di Kota Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang, dan Kota Kecil. Sebagai contoh pelanggan air minum perkotaan di Indonesia baru mampu dilayani sebanyak 50% kebutuhan air minum penduduk Indonesia (Dirjen Cipta Karya, DPU, 1998). Kota Semarang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2008 jumlah penduduk yang terlayani air minum baru sekitar 56% atau sekitar 860 000 jiwa. Jika dicermati ada beberapa permasalahan besar yang terkait dengan perencanaan sistem air minum di kawasan perkotaan, seperti: 1.
Sumber air baku untuk air minum di kawasan perkotaan mengalami penurunan baik kualitas dan kuantitas.
13
2.
Kebutuhan air minum yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.
3.
Rendahnya cakupan pelayanan air minum di kawasan perkotaan.
4.
Kinerja pengelolaan air minum PDAM yang menurun akibat tingginya kebocoran, biaya operasi, dan pemeliharaan yang meningkat.
2.1.1 Ketersediaan Air Baku Pengertian ketersediaan sumberdaya air adalah air yang dapat dimanfaatkan untuk hidup dan kehidupan manusia dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Ketersediaan air baku dapat berupa air hujan, air sungai, mata air, dan air bumi baik air bumi dangkal (unconfined aquifer), maupun air bumi dalam (confined aquifer). Air hujan diasumsikan sebagai masukan tunggal dalam sistem hidrologi DAS, sedangkan air sungai, mata air, dan air bumi adalah bentuk lain dari air hujan. Menurut Todd (1980), air merupakan sumberdaya alam yang terpulihkan dan keberadaannya mengikuti suatu kaidah atau sistem yng disebut daur hidrologi. Dalam mempelajari sistem hidrologi, Asdak (2007) mengemukakan bahwa model daerah aliran sungai (DAS) merupakan model yang baik guna menelusuri sumberdaya air, karena DAS merupakan suatu sistem hidrologis sehingga dapat terjadi proses masukan luaran. Dengan demikian pengelolaan DAS secara umum dapat didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam pulih (seperti air, tanah, dan vegetasi) dalam sebuah DAS dengan tujuan adalah untuk memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS agar secara kontinyu meningkatkan hasil air (water yield) untuk keperluan air minum, industri, pertanian, tenaga listrik, dan lain sebagainya. Tujuan sistem hidrologi DAS umumnya lebih menekankan pada aliran air permukaan, sedangkan untuk air bumi mempunyai pendekatan agak berbeda, dapat dikatakan bahwa wilayah DAS tidak identik dengan cekungan air bumi sehingga pendekatan yang komprehensif diharapkan akan lebih memadai tetapi juga lebih kompleks. Cekungan air bawah tanah adalah suatu daerah yang dijumpai lapisan mengandung air (aquifer) dengan pasokan air bawah tanah yang memiliki perilaku air bawah tanah yang tertentu dan kualitas yang tertentu pula. Pasokan air
14
bawah tanah tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor curah hujan, sifat fisik batuan yang berupa kesarangan dan kelulusannya, morfologi, dan struktur geologi. Pada cekungan air bawah tanah Semarang terdapat 2 (dua) sistem akuifer (Sihwanto dan Sukirno 2000) yaitu: 1.
Sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir. Sistem ini dijumpai pada batuan sedimen lepas berupa endapan alluvium (lapisan batuan hasil pelapukan) yang terdiri atas pasir lanau dan lempung, dengan kelulusan sedang sampai tinggi.
2.
Sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir dan rekahan. Sistem ini disamping dipengaruhi sifat fisik batuan berupa produk gunung api; batuan sedimen laut juga dipengaruhi oleh adanya struktur geologi yang sangat mempengaruhi aliran dan akumulasi air bawah tanah, terutama pada daerah yang batuannya padu. Struktur patahan memegang peranan yang penting dalam menentukan produktivitas akuifer serta keterdapatan air bawah tanah, terutama pembentukan celah-celah dan rekahan pada batuan yang kompak/padu (Todd 1980). Daerah resapan cekungan Semarang utamanya di Kabupaten Semarang dikontrol oleh sistem akuifer dengan aliran air bawah tanah melalui ruang antar butir dan rekahan ini. Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di
atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah ada yang langsung masuk ke dalam tanah atau disebut air infiltrasi. Sebagian lagi tidak sempat masuk ke dalam tanah dan oleh karenanya mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah. Ada juga bagian dari air hujan yang telah masuk ke dalam tanah, terutama pada tanah yang hampir atau telah jenuh, air tersebut ke luar ke permukaan tanah lagi dan lalu mengalir ke bagian yang lebih rendah. Aliran air permukaan yang disebut terakhir sering juga disebut air larian atau limpasan. Bagian penting dari air larian dalam kaitannya dengan rancang bangun pengendalian air larian adalah besarnya debit puncak, Q (peak flow atau debit air yang tertinggi) dan waktu tercapainya debit puncak, volume, dan penyebaran air larian. Curah hujan yang jatuh terlebih dahulu memenuhi air untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan mengisi cekungan tanah
15
baru kemudian air larian berlangsung ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah. Semakin lama dan semakin tinggi intensitas hujan akan menghasilkan air larian semakin besar. Namun intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat menghancurkan agregat tanah sehingga akan menutupi pori-pori tanah akibatnya menurunkan kapasitas infiltrasi. Volume air larian akan lebih besar pada hujan yang intensif dan tersebar merata di seluruh wilayah DAS dari pada hujan tidak merata, apalagi kurang intensif. Disamping itu, faktor lain yang mempengaruhi volume air larian adalah bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan. Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan air larian. Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air larian sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat. Vegetasi dapat menghalangi jalannya run off dan memperbesar jumlah air infiltrasi dan masuk ke dalam tanah (Asdak 2007). 2.1.2. Kebutuhan Air Kebutuhan air yang dimaksud adalah kebutuhan air yang digunakan untuk menunjang segala kebutuhan manusia meliputi air bersih domestik dan non domestik, air irigasi baik pertanian maupun perikanan, dan air untuk penggelontoran kota. Air bersih digunakan untuk memenuhi kebutuhan: 1.
Kebutuhan air domestik, keperluan rumah tangga.
2.
Kebutuhan air non domestik, untuk industri, pariwisata, tempat ibadah, tempat sosial, serta tempat-tempat komersil, dan tempat-tempat umum lainnya.
2.1.2.1. Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi per kapita. Kecenderungan populasi dan sejarah populasi dipakai sebagai dasar perhitungan kebutuhan air domestik terutama dalam penentuan kecenderungan laju pertumbuhan (growth rate trends). Estimasi populasi untuk masa mendatang merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kebutuhan air domestik. Laju penyambungan juga menjadi parameter yang dipakai untuk analisis. Propensitas untuk penyambungan
16
perlu diketahui dengan melakukan survei kebutuhan nyata, terutama di wilayah yang sudah ada sistem penyambungan air bersih dari PDAM. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri terdapat pengertian mengenai air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, didapat beberapa pengertian mengenai: 1.
Air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.
2.
Air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
3.
Air limbah adalah air buangan yang berasal dari rumah tangga termasuk tinja manusia dari lingkungan permukiman.
4.
Penyediaan air minum adalah kegiatan menyediakan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif.
5.
Sistem penyediaan air minum yang selanjutnya disebut SPAM merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non fisik dari prasarana dan sarana air minum.
6.
Pengembangan SPAM adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.
7.
Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah kegiatan merencanakan, melaksanakan konstruksi, mengelola, memelihara, merehabilitasi, memantau,
17
dan/atau mengevaluasi sistem fisik (teknik) dan non fisik penyediaan air minum. 8.
Penyelenggara
pengembangan
SPAM
yang
selanjutnya
disebut
Penyelenggara adalah badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta, dan/atau kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Berdasarkan petunjuk Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu perihal Pedoman Perencanaan dan Desain Teknis Sektor Air Bersih, disebutkan bahwa sumber air baku yang perlu diolah terlebih dahulu adalah: 1.
Mata air, yaitu sumber air yang berada di atas permukaan tanah. Debitnya sulit untuk diduga, kecuali jika dilakukan penelitian dalam jangka beberapa lama.
2.
Sumur dangkal (shallow wells), yaitu sumber air hasil penggalian ataupun pengeboran yang kedalamannya kurang dari 40 meter.
3.
Sumur dalam (deep wells), yaitu sumber air hasil penggalian ataupun pengeboran yang kedalamannya lebih dari 40 meter.
4.
Sungai, yaitu saluran pengaliran air yang terbentuk mulai dari hulu di daerah pegunungan/tinggi sampai bermuara di laut/danau. Secara umum air baku yang didapat dari sungai harus diolah terlebih dahulu, karena kemungkinan untuk tercemar polutan sangat besar.
5.
Danau dan penampung air (lake and reservoir), yaitu unit penampung air dalam jumlah tertentu yang airnya berasal dari aliran sungai maupun tampungan dari air hujan. Air bersifat universal dalam pengertian bahwa air mampu melarutkan zat-
zat yang alamiah dan buatan manusia. Untuk menggarap air alam, meningkatkan mutunya sesuai tujuan, pertama kali harus diketahui dahulu kotoran dan kontaminan yang terlarut di dalamnya. Pada umumnya kadar kotoran tersebut tidak begitu besar. Dengan berlakunya baku mutu air untuk badan air, air limbah dan air bersih, maka dapat dilakukan penilaian kualitas air untuk berbagai kebutuhan. Di Indonesia ketentuan mengenai standar kualitas air bersih mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
18
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 mengelompokkan
klasifikasi
mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas: 1.
Kelas satu, air yang peruntukannya dapat
digunakan untuk air baku air
minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2.
Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
3.
Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4.
Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Pada hakikatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki
tujuan sebagai berikut: 1.
Mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia, dan biologi.
2.
Membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai dengan peruntukannya menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001.
3.
Menilai kelayakan suatu sumberdaya air untuk kepentingan tertentu (Effendie 2003). Mengingat betapa pentingnya air bersih untuk kebutuhan manusia, maka
kualitas air tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu: 1.
Syarat fisik, antara lain: a. Air harus bersih dan tidak keruh. b. Tidak berwarna. c. Tidak berasa. d. Tidak berbau.
19 e. Suhu antara 10o-25 o C (sejuk). 2.
Syarat kimiawi, antara lain: a. Tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun. b. Tidak mengandung zat-zat kimiawi yang berlebihan. c. Cukup yodium. d. pH air antara 6.5 – 9.2.
3.
Syarat bakteriologi, antara lain: tidak mengandung kuman-kuman penyakit seperti Disentri, Tipus, Kolera, dan bakteri patogen penyebab penyakit. Pada umumnya kualitas air baku akan menentukan besar kecilnya investasi
instalasi penjernihan air dan biaya operasi serta pemeliharaannya. Sehingga semakin jelek kualitas air semakin berat beban masyarakat untuk membayar harga jual air bersih. Kebutuhan air domestik dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, kebutuhan air per kapita dan proyeksi waktu air akan digunakan (Yulistiyanto dan Kironoto 2008). Standar kebutuhan air domestik adalah dari Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Tahun 2003 dan SNI Tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk Jumlah Penduduk >2 000 000 1 000.000 - 2 000 000 500 000 - 1 000 000 100 000 - 500 000 20 000 - 100 000 3 000 - 20 000
Jenis Kota Metropolitan Metropolitan Besar Besar Sedang Kecil
Jumlah Kebutuhan Air (l/orang/hari) >210 150-210 120-150 100-150 90-100 60-100
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU dalam Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2006
Kebutuhan air domestik akan dipengaruhi juga oleh pola konsumsinya seperti penduduk kota menggunakan air lebih banyak dibandingkan penduduk desa. Berdasarkan SNI Tahun 2002 tentang sumberdaya air penduduk kota membutuhkan 150 liter/hari/kapita, sedang penduduk perdesaan memerlukan 60 liter/hari/kapita. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat diformulasikan kebutuhan air penduduk desa maupun kota (SNI 2002).
20
2.1.2.2. Kebutuhan Air Non Domestik Kebutuhan air non domestik meliputi pemanfaatan komersial, kebutuhan institusi, dan kebutuhan industri. Kebutuhan air komersial untuk suatu daerah cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan penduduk dan perubahan tata guna lahan. Kebutuhan ini bisa mencapai 20 sampai 25% dari total suplai (produksi) air. Kebutuhan institusi antara lain meliputi kebutuhan air untuk sekolah, rumah sakit, gedung-gedung pemerintah, tempat ibadah, dan lain lain. Untuk penentuan kebutuhan tersebut cukup sulit karena sangat tergantung dari perubahan tataguna lahan dan populasi. Pengalaman menyebutkan angka 5% cukup representatif. Kebutuhan untuk industri saat ini dapat diidentifikasikan, namun untuk kebutuhan industri yang akan datang cukup sulit untuk mendapatkan data akurat. Hal ini disebabkan beragamnya jenis dan macam kegiatan. Untuk estimasi angka 2 sampai 5% dari total produksi dapat dipakai sebagai dasar dan acuan perhitungan. Kebutuhan air untuk industri merupakan kebutuhan untuk kegiatan produksi meliputi bahan baku, pekerja, industry, dan kebutuhan pendukung industri lainnya. Menurut Erwan et al. (1996) dalam SNI Tahun 2002, untuk memperoleh data yang akan digunakan untuk menghitung kebutuhan air industri diperlukan kuesioner dan wawancara langsung, namun jika datanya terbatas maka prediksi penggunaan air dapat menggunakan standar dari Direktorat Teknik Penyehatan, Ditjen Cipta Karya Depertemen Pekerjaan Umum. Besar kebutuhan rata-ratanya adalah 2 000 liter/unit/hari atau 500 liter/hari/karyawan (Nippon Koei 1995 dalam SNI 2002). Proyeksi kebutuhan air industri sangat kompleks dengan segala faktorfaktor yang ikut mendukungnya. Semakin besar suatu industri maka pemanfaatan air akan semakin banyak. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis industri yang diusahakan misalnya industri sedang minuman ringan lebih kecil kebutuhannya dibandingkan industri besar minuman ringan. Penelitian ini tidak menghitung kebutuhan air untuk kegiatan industrinya, namun hanya untuk kebutuhan pekerja yang ada dalam industri. Oleh sebab itu, tidak dibedakan antara kebutuhan industri besar, menengah, dan kecil. Air irigasi merupakan air yang diambil dari suatu sungai atau waduk melalui saluran-saluran irigasi yang disalurkan ke lahan pertanian guna menjaga
21
keseimbangan air dan kepentingan pertanian. Air sangat dibutuhkan untuk produksi pangan, seandainya pasokan air tidak berjalan baik maka hasil pertanian akan terpengaruh. Air irigasi dapat berasal dari air hujan maupun air permukaan atau sungai. Pemanfaatan air irigasi tidak hanya untuk pertanian saja melainkan dapat juga dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang lain seperti perikanan dan peternakan. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebutuhan untuk penyiapan lahan (IR), kebutuhan air konsumtif untuk tanaman (Etc), perkolasi (P), kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (RW), curah hujan efektif (ER), efisiensi air irigasi (IE), dan luas lahan irigasi (A) (SNI 2002). 2.2. Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai yang disingkat DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. DAS dibatasi oleh pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh dengan aktivitas daratan. Menurut Rahmadi (2005) DAS adalah suatu daerah yang dibatasi (dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu (1) komponen masukan yaitu curah hujan, (2) komponen output yaitu debit aliran dan polusi/sedimen, dan (3) komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi. Dengan pengertian tersebut berarti DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang besar dan luas yang di dalamnya terdapat sub sistem-sub sistem yang beragam dan saling ketergantungan membentuk satu fungsi. Sebagai suatu ekosistem, DAS merupakan suatu satuan wilayah pembangunan yang perlu ditata agar pemanfaatannya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti kegiatan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan, industri, pertambangan, pariwisata, dan permukiman. Koefisien run off atau air larian (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan.
22
Air larian (mm) C = ––––––––––––––––– Curah hujan (mm)
dalam suatu DAS
atau
Keterangan:
di = Jumlah hari dalam bulan ke-i. Q = Debit rata-rata bulanan (m3/detik) dan 86 400 = jumlah detik dalam 24 jam. P = Curah hujan rata-rata setahun (m/tahun). A = Luas DAS (m2).
Misalnya C untuk hutan adalah 0.1 artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka C ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C yang besar berarti sebagian besar air hujan menjadi air larian, maka ancaman erosi dan banjir akan besar. Besaran nilai C akan berbeda-beda bergantung pada topografi dan penggunaan lahan. Semakin curam kelerengan lahan semakin besar nilai C lahan tersebut. Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan bisa dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan Kondisi Daerah Pegunungan yang curam Pegunungan tersier Tanah bergelombang dan hutan Tanah dataran yang ditanami Persawahan yang diairi Sungai di daerah pegunungan Sungai kecil di dataran Sungai besar di dataran
Nilai C 0.75 - 0.90 0.70 - 0.80 0.50 – 0.75 0.45 – 0.60 0.70 – 0.80 0.75 – 0.85 0.45 – 0.75 0.50 – 0.75
Sumber : Dr. Mononobe dalam Suyono S. (1999)
Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat
23
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah (Asdak 2007). Ada beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat keberhasilan pengelolaan DAS, antara lain: 1.
Pengelolaan
yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi
kepentingan kehidupan (indikator ekonomi). 2.
Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan (sosial).
3.
Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi (indikator lingkungan).
4.
Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung (indikator teknologi). Menurut Rahmadi (2002), pada pengelolaan DAS indikator yang paling
memungkinkan untuk diukur secara objektif adalah melihat kondisi tata airnya, yang meliputi: 1.
Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuantitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai.
2.
Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.
3.
Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit
24
puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain. 4.
Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk ke dalam tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).
5.
Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini dipengaruhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya, sehingga apabila terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi. Ada 5 (lima) indikator biofisik yang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa
DAS dikatakan masih baik dan dapat berfungsi secara optimal, yaitu: (1) debit sungai konstan dari tahun ke tahun, (2) kualitas air baik dari tahun ke tahun, (3) fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil, (4) ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun, dan (5) kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu. Fokus perhatian utama dalam pengelolaan DAS adalah stabilitas sistem DAS, yang berkaitan dengan karakteristik setiap komponen DAS dalam hubungan saling terkait dan saling mempengaruhi. Dengan demikian maka strategi pengelolaan DAS mencakup: (1) penggunaan lahan sesuai kemampuannya, (2) proteksi tanah dari segala faktor perusak, (3) mengurangi banjir dan sedimentasi, (4) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah, (5) meningkatkan produktivitas tanah, (6) memperbaiki dan mempertahankan fungsi hidrologis DAS, dan (7) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
25
2.3. Pendekatan dan Pemodelan Sistem Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan. O’Brien (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, tiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang secara keseluruhan (holistik) dan akan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking) sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Sebuah sistem mempunyai asupan (input) yang akan berproses untuk menghasilkan luaran (output). Pada sebuah sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, dan sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu hirarki. Dengan demikian, sistem dapat berfungsi sebagai salah satu pendekatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang kompleks atau merumuskan kebijakan dan strategi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metode penyelesaian masalah yang dimulai dengan cara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources) (Eriyatno 1998). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno 2002). Menurut Manetch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi sebagai berikut:
26
1.
Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan.
2.
Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem konkrit adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya.
3.
Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Menurut Aminullah (2003), ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan
dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu; (1) analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pemangku kepentingan dalam sistem; (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem; (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka
memenuhi kebutuhan semua
pemangku kepentingan
dalam
sistem; (4) pemodelan abstrak, yang mencakup suatu proses interaktif antara analis sistem dan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem; (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan; dan (6) operasi, pada tahap ini
akan dilakukan validasi sistem
dan seringkali pada tahap ini
terjadi
modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Dalam ilmu manajemen secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu kesatuan antara asupan, proses, dan luaran. Sistem akan membentuk suatu siklus yang berjalan secara terus-menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik. Prinsip sistem ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sering dihadapi atau menyusun (merangkai) berbagai elemen sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat (Midgley 2000). Untuk menyelesaikan permasalahan melalui pendekatan sistem harus dilakukan identifikasi terhadap semua komponen yang terdapat dalam sistem dan menentukan hubungan dari tiap komponen tersebut. Perubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh
27
faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Sistem dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan asupan dan interaksi antar elemenelemen sistem. Dengan demikian nilai luaran sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel asupan (Djojomartono 2000). Menurut Manetsch dan Park (1977) model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif, dan ekonik (Aminullah 2003). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari asupan sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat memberikan penyelesaian dunia nyata yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap asupan atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno 2003). Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk pada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari asupan, proses, luaran, dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Menurut Muhammadi et al. (2001), untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal digunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow
28
chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika dua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis. Misalnya, Program Steella untuk memberikan gambaran tentang perilaku
sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari
sistem yang kita bangun. Setelah itu, dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang terjadi. Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut: 1.
Penyusunan konsep Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling tergantung. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan.
2.
Pembuatan model Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus.
3.
Simulasi Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab-akibat antar variabel
29
dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4.
Validasi hasil simulasi Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.
2.4. Pembangunan Berkelanjutan Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic et al. (1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut World Commision on Environment and Development (WCED 1987), pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greenland dan Szabalcs (1992), menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya pembangunan
energi
dan
proteksi
berkelanjutan
adalah
lingkungan konsep
secara
harmonis.
kegamangan
Konsep
terhadap
pola
pembangunan industri yang memuja efisiensi dan pengembangan besar-besaran modal, tanpa memperhitungkan atau hanya sedikit sekali mempertimbangkan kerusakan alam (Setiadi 2004). Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam
30
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jeneiro disepakati oleh semua negara di dunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program aksi dunia hasil konferensi Rio tersebut dikenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan, bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahan yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin pembangunan dalam konteks ekonomi tumbuh jika tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Salim (2004) menyatakan bahwa prasyarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah bahwa setiap proses pembangunan mencakup tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Tiga aspek tersebut dalam pembangunan harus berada dalam sebuah keseimbangan tanpa saling mendominasi. Lebih jauh Salim (2004) membuat matriks pembangunan berkelanjutan seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Matriks pembangunan berkelanjutan Ekonomi
Sosial
Quitable growth
Ekonomi input sosial
Sosial input ekonomi
Berantas Kemiskinan
Lingkungan Input ekonomi
Lingkungan Input sosial
Ekonomi Sosial Lingkungan
Lingkungan Ekonomi input lingkungan Sosial input lingkungan Lestarikan ekosistem
Sumber: Salim 2004.
Dari berbagai definisi tersebut secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
31
Konsep pembangunan berkelanjutan tidak sekedar sebuah terobosan baru yang dihasilkan para ahli pada dekade tahun 1970-an. Pembangunan berkelanjutan tersebut telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu keniscayaan dan kebutuhan dalam pembangunan ekonomi (Arief 2001). Dengan kata lain, kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap (fixed variable) dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan mudah dicerna. Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil ekstrasi sumberdaya alam tidak akan bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan (Arief 2001). Menurut Mitchell (1997), ada (2) dua prinsip keberlanjutan, yaitu sebagai berikut: 1.
Prinsip
lingkungan/ekologi:
kehidupan;
kedua,
pertama,
memelihara
melindungi
integritas
sistem
ekosistem
penunjang
dan;
ketiga,
mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global. 2.
Prinsip sosial politik: pertama, mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung atmosfer; kedua, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia; dan ketiga, menyakinkan adanya kesamaan sosial, politik, dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa konsep pembangunan
sumberdaya yang berkelanjutan mengandung aspek : 1.
Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini pemanfaatan sumberdaya alam hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama.
2.
Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial-ekonomi). Konsep ini mengandung
makna
bahwa
pembangunan
perlu
memperhatikan
32
keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya alam pada tingkat individu. 3.
Comunity
sustainability,
mengandung
makna
bahwa
keberlanjutan
kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan 4.
Institusional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Ada 4 (empat) prinsip pengelolaan sumberdaya alam guna mencapai
pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: 1.
Optimalisasi
pemanfaatan
sosial
sumberdaya
alam
didasarkan
harus
ekonomi; pada
Bahwa
pengembangan
strategi
yang
dapat
mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbarui. 2.
Koordinasi antar bidang sektoral; Ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan memadukan kebijakan-kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan guna mengoptimalisasi pemanfaatannya. Optimalisasi manfaat sosial ekonomi dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih baik dalam proses perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam.
3.
Multiguna
sumberdaya
alam;
Dalam
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbarui. 4.
Memperhatikan kapasitas ekosistem; Pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung pada kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumberdaya guna memenuhi permintaan.
2.5. Kelembagaan Kelembagaan atau institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan
33
yang tidak terlepas, serta lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu atau bagaimana individu mengerjakan sesuatu. Institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus dilakukan (Kartodihardjo 2001). Menurut Karin E. Kemper, USA (2005) kelembagaan adalah (1) aturan main dalam interaksi interpersonal, yaitu sekumpulan aturan mengenai tata hubungan
manusia
dengan
lingkungannya
yang
menyangkut
hak-hak,
perlindungan hak-hak dan tanggungjawabnya; (2) suatu organisasi yang memiliki hirarki yaitu adanya mekanisme administrasi dan kewenangan. Dalam prakteknya, institusi dapat merupakan gabungan dan kebijakan dan tujuan, hukum dan regulasi, rencana dan prosedur organisasi, mekanisme insentif, mekanisme akuntabilitas, norma, tradisi, dan adat istiadat. Marimin (2004) mendefinisikan institusi sebagai bentuk prosedur yang diakui, didirikan dan mempunyai sangsi untuk mengatur hubungan antar individu atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Eriyatno (2003) institusi merupakan serangkaian tata nilai, aturan, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi ruang dan waktu. Beberapa pengertian di atas, pemahaman kelembagaan diartikan sama dengan institusi. Seringkali pengertian institusi dan organisasi menjadi kabur, padahal pengertian institusi dan organisasi ada perbedaan. Ruttan (1986) dalam (Kartodiharjo 2001) mendefinisikan institusi sebagai “behavioral rules that govern of action and relationships”. Organisasi adalah “the decision making units - families, firms, bureaus - that exercise control of resources. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, dan organisasi pendidikan. Pengoperasian institusi diaktualisasikan melalui organisasi. Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang mendorong individu-individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktivitas anggotanya dan produktivitas masyarakat secara
34
keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat dan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di sekitamya (Kartodihardjo et al. 2000 dalam Ramdan 2006). Institusi yang berjalan baik dalam pengelolaan air memiliki fungsi yang penting, misalnya untuk memfasilitasi resolusi konflik (Bandaragoda 2000 dalam Ramdan 2006). Tujuan kelembagaan adalah untuk mengurangi ketidakpastian terhadap sumberdaya tertentu, karena setiap pihak memberikan pengakuan bahwa hak seseorang merupakan kewajiban bagi orang lain. Manfaat kelembagaan, adalah: (1)
Pedoman masyarakat untuk berperilaku dalam memenuhi kebutuhan hidupnya;
(2)
Menjaga keutuhan masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Prinsip dasar kelembagaan lingkungan adalah: (1) keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas administratif pemerintahan, (2) menyeluruh, yakni kewenangan mencakup tingkat lokal, regional, dan nasional, (3) koordinatif memiliki fungsi koordinasi antar lembaga lainnya (UPI & KLH 2003). Kelembagaan sosial atau kelembagaan masyarakat (social institution) adalah
suatu sistem yang mengatur hubungan antar manusia dan antar kelompok untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Menurut Biswasroy et al. (2010), sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya air mencakup tiga hal, yaitu: (1) aturan main (rule of the game) yang berlaku di masayarakat, (2) organisasi-organisasi, dan (3) kebijakan-kebijakan baik dari pemerintah pusat dan daerah yang berupa peraturan perundangan maupun pedoman untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Aturan main yang berlaku di masyarakat misalnya: tingkah laku, adat istiadat, tata nilai maupun hak-hak ulayat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengelolaan danau. Organisasi-organisasi yang merupakan perwujudan norma-norma dalam hubungan antar manusia mencakup: organisasi sosial, ekonomi dan budaya, misalnya untuk aras nagari adalah lembaga adat nagari, persatuan perantau nagari, LSM, dan lain sebagainya. Sedangkan kebijakan formal berupa peraturan perundangan maupun program dan pemerintah pusat maupun daerah.
35
2.6. Analisis Prospektif Analisis prospektif adalah suatu metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam sistem ahli yang dapat menggabungkan pembuat keputusan dalam rangka menyusun kembali beberapa perencanaan dengan pendekatan yang berbeda. Menurut Hardjomidjojo (2002), analisis prospektif digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena dari analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi di masa datang, baik yang bersifat positif (diinginkan) maupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Analisis prospektif dapat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan. Analisis prospektif merupakan pengembangan dari metode Delphi yang menggunakan pendapat kelompok pakar untuk pengambilan keputusan. Menurut Hardjomidjojo (2002) tahapan analisis prospektif pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menentukan tujuan sistem yang dikaji. Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup kajian dan penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji.
2.
Identifikasi faktor yang berpengaruh. Faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut.
3.
Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor, dengan pedoman penilaian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.
4.
Penyusunan keadaan yang mungkin terjadi (state) pada faktor. Berdasarkan faktor dominan yang diperoleh pada tahap 3, disusun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Setiap faktor boleh memiliki lebih dari satu keadaan, dengan ketentuan keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi
36
(bukan khayalan) dalam suatu waktu di masa yang akan datang. Keadaan bukan merupakan tingkatan atau ukuran suatu faktor, tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari sebuah faktor. Tabel 4 Pedoman penilaian analisis prospektif Skor
Pengaruh
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh kecil
2
Berpengaruh sedang
3
Berpengaruh sangat kuat
Sumber: Hardjomidjojo (2002)
5.
Membangun dan memilih skenario. Skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu keadaan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible.
6.
Analisis skenario dan penyusunan strategi. Penyusunan strategi didasarkan pada pencapaian skenario yang diinginkan ataupun menghindari skenario yang berdampak negatif pada sistem.
2.7. Pemodelan Sistem Dinamik Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah abstraksi dari realitas, pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri (Handoko 1994). Menurut Eriyatno (2003) kegunaan model antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Untuk menentukan atau menggambarkan sesuatu, misalnya sistem informasi manajemen.
2.
Untuk membantu dalam usaha menganalisis atau mengkaji sistem.
3.
Untuk menentukan, menjelaskan, dan menggambarkan hubungan-hubungan serta kegiatan-kegiatan (proses).
37
4.
Untuk menampakkan situasi atau keadaan melalui perlambang atau simbolsimbol yang bisa dimanipulasikan untuk menghasilkan suatu prediksi atau ramalan. Model simulasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.
Model simulasi statis dan dinamis Model simulasi statis merepresentasikan sistem pada satu titik waktu atau pada kondisi dimana waktu tidak memiliki pengaruh. Sedangkan model simulasi dinamis merepresentasikan sistem seiring dengan perubahan waktu.
2.
Model simulasi deterministik dan stokastik Jika suatu model simulasi tidak mengandung komponen probabilitas (misalnya random) maka model simulasi tersebut disebut model simulasi deterministik. Pada model simulasi deterministik output didapat bila besaran input dan hubungan-hubungan dalam model telah ditentukan sebelumnya. Sementara beberapa sistem harus dimodelkan dengan menggunakan input random, model simulasi pada kondisi demikian disebut stokastik.
3.
Model simulasi diskrit dan kontinu Jika perubahan status sistem hanya pada saat-saat tertentu maka model simulasi tersebut disebut diskrit. Sedangkan bila perubahan status sistem terus menerus sepanjang waktu disebut model simulasi kontinu. Permodelan mencakup suatu pemilihan dari karakteristik dari perwakilan
abstrak yang paling tepat pada situasi yang terjadi. Pada umumnya, model matematis dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Suatu model adalah bisa statik atau dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model dinamik lebih sulit dan mahal pembuatannya, namun memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata (Handoko 1994). Suatu sistem didefinisikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagianbagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Namun tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna.
38
Suatu kawasan dengan berbagai sumberdaya dan aktivitas di dalamnya merupakan suatu sistem yang kompleks (Eriyatno 2003). Dari beberapa batasan mengenai pengertian sistem, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah seperangkat obyek yang membentuk susunan tertentu dan menunjukkan sifat saling berhubungan, baik antara objek yang satu dengan yang lainnya
ataupun
antara bagian-bagian
dari
masing-masing
objek
yang
bersangkutan. Secara lebih sederhana dapat diungkapkan bahwa sistem adalah seperangkat objek yang merupakan kumpulan dari sub sistem-sub sistem yang saling berimbaldaya. Di dalam sub sistem terdapat banyak sub-sub sistem, dan di dalam sub-sub sistem terdapat pula sejumlah sub-sub sistem dan seterusnya (Sabari 1991). Secara umum ciri-ciri sistem adalah sebagai berikut (Awad 1979 dalam Budihardjo 1995): 1.
Pada hakekatnya sistem itu bersifat terbuka, selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
2.
Setiap sistem terdiri atas dua atau lebih sub sistem, dan setiap sub sistem terbentuk dari beberapa sub sistem yang lebih kecil.
3.
Antar sub sistem terjalin saling ketergantungan, dalam arti bahwa satu sub sistem membutuhkan masukan (input) dari sub sistem lain dan keluaran (output) dari sub sistem tersebut diperlukan sebagai masukan bagi sub sistem yang lain lagi.
4.
Setiap sistem memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya melalui mekanisme umpan balik (feed back).
5.
Setiap sistem mempunyai keandalan dalam mengatur diri sendiri (selft regulation) terutama dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan sistem.
6.
Setiap sistem mempunyai tujuan dan sarana tertentu yang ingin dicapai. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan
yang kompleks dengan pendekatan sistem melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pelaku dalam sistem, (2) fomulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem, (3) identifikasi sistem, bertujuan
39
untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua pelaku dalam sistem, (4) pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem, (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan, dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Menurut Forrester (1961) fokus utama dari metodologi sistem dinamik adalah pemahaman atas sistem, sehingga langkah pemecahan masalah memberikan umpan balik pada sistem. Enam tahap pemecahan masalah dengan metodologi sistem dinamik adalah: (1) identifikasi dan definisi masalah, (2) konseptualisasi sistem, (3) fomulasi model, (4) simulasi dan validasi model, (5) analisis kebijakan dan (6) implementasi. Menurut Pramudya (1989), pendekatan sistem dilakukan dengan tahapan kerja yang sistematis yang dimulai dari analisis kebutuhan hingga tahap evaluasi, seperti disajikan pada Gambar 2. Mulai
A
Analisis Kebutuhan
Pemodelan Sistem
Formulasi Permasalahan
Validasi Model
Identifikasi Sistem · Diagram Lingkar Sebab Akibat · Diagram Input-Output · Diagram Alir
Tidak Layak Ya Implementasi
A Evaluasi
Gambar 2 Tahapan kerja dalam pendekatan sistem.
40
Pengujian terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori (Forrester 1961): 1)
Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya.
2)
Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model.
3)
Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.
2.8.
Validasi dan Analisis Sensitivitas Model Pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif harus taat fakta. Validitas atau
keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah validasi struktur model, yaitu sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauhmana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi sistem nyata. Sedangkan validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana “kinerja” model (compatible) dengan “kinerja” sisem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk sejauh mana perilaku “output” model sesuai dengan perilaku data empirik (Muhammadi et al. 2001). Sensitivitas model adalah respon model terhadap stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakukan tertentu pada struktur model. Perlakukan tersebut disebut uji sensitivitas. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variable, dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji analisis sensitivitas ini dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Perlakuan/intervensi terhadap model, sebagai sebuah tindakan adalah berdasarkan kondisi yang mungkin terjadi dalam dunia nyata maupun berdasarkan pilihan
41
kebijakan yang mungkin dilakukan. Dengan kata lain tindakan tersebut bersifat layak. Ringkasnya uji sensitivitas adalah intervensi parameter input model dan/atau struktur model untuk melihat seberapa jauh kepekaannya terhadap perubahan output model (Muhammadi et al. 2001). 2.9. Analisis dan Perumusan Kebijakan Analisis kebijakan mengandung dua kata yaitu analisis dan kebijakan. Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam analisis pekerjaan intelektual tersebut adalah proses memilah dan mengelompokkan obyek ke dalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Bedakan dengan sintesis sebagai pekerjaan intelektual yang menggabungkan dan menyatukan bagian rinci ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga diperoleh pengetahuan tentang esensi dan keseluruhan bagian tersebut. Di lain pihak, dalam kebijakan upaya atau tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi
kerja
sebuah
sistem.
Oleh
karena
sasarannya
adalah
mempengaruhi sistem, maka tindakan tersebut bersifat strategis, yaitu yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh. Bedakan dengan program sebagai upaya atau tindakan yang bersifat peka untuk mempengaruhi kerja unsur tertentu dari sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi unsur tertentu dari sistem, maka tindakan tersebut bersifat taktis, bahkan rutin yang umumnya bersifat jangka pendek dan terbatas (Muhammadi et al. 2001). Quandun dalam Dunn (2000) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponenkomponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai.
42
Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Ada dua tahap untuk analisis kebijakan, yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, dan (2) analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu proses berpikir kreatif, yaitu menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem mencapai tujuan. Sedangkan analisis kebijakan alternatif, seperti yang telah dijelaskan analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Dalam rangka mempengaruhi sistem tersebut ada dua pilihan, yaitu sistemnya tetap atau berubah. Jika sistemnya tetap, maka analisis terhadap langkah-langkah yang diambil menghasilkan alternatif langkah yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem atau disebut sebagai kebijakan fungsional. Sebaliknya apabila sistemnya diubah, maka analisis terhadap langkah-langkah yang diambil menghasilkan alternatif langkah yang menciptakan variasi struktur sistem yang berbeda dengan sistem semula atau disebut kebijakan perubahan struktural. Pada umumnya pemilihan langkah ini dikaitkan dengan prakiraan kecenderungan lingkungan sistem ke depan (Muhammadi et al. 2001). 2.10. Hasil Penelitian Terdahulu Sudah ada beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan topik penelitian ini, baik dari sisi objek penelitian (DAS, air baku permukaan, dan air minum) maupun metodologi yang digunakan (MDS, valuasi ekonomi, dan ISM). Namun, secara metodologi, belum ada penelitian yang mengkombinasikan antara metode MDS, Prospektif dan permodelan dengan sistem dinamis. Kebanyakan penelitian yang dilakukan berhenti sampai model konseptual. Namun belum ada yang mengkombinasikan antara model kualitatif dengan model analitikal. Disamping itu belum ada penelitian tentang Model Pengelolaan Air Baku Air Minum yang Berbasis DAS. Banyak penelitian tentang ketersediaan, kebutuhan dan kualitas air serta banyak pula penelitian tentang DAS. Namun penelitian penelitian yang telah ada dilakukan secara parsial dan tidak terintegrasi. Penelitian ini mempunyai nilai novelty karena topiknya tentang ketersediaan air baku, kebutuhan air baku dan kualitas air baku air minum yang diteliti secara bersamaan dan diintegrasikan dalam bentuk Model Sitem Dinamis berbasis DAS.
43
Secara rinci hasil penelitian terdahulu dalam bentuk nama peneliti, judul penelitian, tahun penelitian, motodologi yang digunakan, dan kesimpulan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5.
44
No.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Waktu Penelitian 2002
Metode Penelitian
Kesimpulan
“Rapid appraisal multidimensional: dengan menggunakan aplikasi Rapfish
1.
Fauzi dan Anna
Evaluasi Status Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta)
Menghasilkan atribut yang sensitif mempengaruhi status keberlanjutan masing-masing dimensi adalah: 1. Dimensi ekonomi: marketable right, sector employment, dan other income; 2. Dimensi sosial: education level, environmental knowledge, fishing income; 3. Dimensi teknologi: selective gear, on-board handling Ice 1.5, dan gear; 4. Dimensi etika: just management, illegal fishing, dan alternative; dan 5. Dimensi ekologi: range collapse, change in level, dan size of fish caught. Rapid appraisal Ada lima dimensi yang dikaji (ekologi, ekonomi, sosial, multidimensional: teknologi, hukum dan kelembagaan) didapatkan bahwa dengan dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan paling rendah menggunakan dan kondisi ekonomi dan ekologi di lokasi tersebut dalam aplikasi Rapfish dan kondisi tidak seimbang. simulasi model ekonomi-ekologis.
2.
Susilo
Keberlanjutan Pembangunan PulauPulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
2003
3.
Syaukat dan Glen
Model Pengelolaan Air Tanah dan Air Permukaan di Wilayah Jakarta
2004
Pendekatan system dengan menggunakan tools GAMS Software
4.
Ansofino
Peranan Kebijakan Penentuan Harga Air Bagi Pemanfaatan Sumberdaya Air ke arah Berkelanjutan dengan Fokus Studi Wilayah Jakarta
2005
Pendekatan system dengan menggunakan analisis ekonometrika, dalam membangun fungsi permintaan
Meneliti keberadaan air tanah dan air permukaan secara terintegratif, conjunctive water. Diperoleh 3 driven faktor skenario kebijakan yang harus dilakukan yaitu; meningkatkan investasi dalam infrastruktur perpipaan; meningkatnya permintaan terhadap air dan memperhatikan nilai bunga investasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa permintaan air di wilayah perkotaan lebih besar dari pada penawarannya dan telah mengalami decreasing return to scale. Faktor yang sangat menentukan permintaan (demand) air di wilayah penelitian adalah jumlah penduduk pada tahun sekarang (2.6%), jumlah penduduk pada periode dua tahun lalu (t-2) (4.4%), jumlah sumur bor (3.5%), jumlah pelanggan
44
Tabel 5 Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek dan metodologi penelitian model pengelolaan air baku untuk kebutuhan air minum secara berkelanjutan
45 No.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Waktu Penelitian
Metode Penelitian dan penawaran air secara dinamik. Software
5.
Nurandani Hardyanti dan Nurmeta Diana Fitri
Studi Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Bersih untuk Kebutuhan Domestik dan Non Domestik (Studi Kasus Perusahaan Tekstil Bawen Kabupaten Semarang)
2006
Analisis kualitatif dan deskriptif
6.
Retno Sulistiyaning Asih
Kajian Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Penyediaan Air Bersih Secara Individual di Kawasan Kaplingan Kota Blora
2006
Analisis deskriptif kuantitatif.
7.
Ariya Asghara
Strategi Peningkatan Kapasitas Pelayanan Air Bersih di Kota Bangko Kabupaten Merangin
2007
Analisis deskriptif, Analisis SWOT dan Superimpose
Kesimpulan
45
rumahtangga (final demand) (2.2%), dan nilai rumah pada tahun sebelumnya (1.13%). Faktor (input) yang mempengaruhi penawaran air kepada penduduk di wilayah DKI Jakarta adalah: harga marginal pada tahun sebelumnya, pengambilan air sungai waktu sekarang dan satu tahun sebelumnya, jumlah karyawan teknis, nilai pajak perolehan air yang harus dibayar ke hulu, jumlah pengambilan air tanah, dan luas lahan kritis di wilayah DAS Citarum. Kinerja bangunan pengolahan air secara keseluruhan belum memenuhi kriteria desain yang berlaku, yaitu koagulasi, flokulasi, dan clarifier sehingga menyebabkan proses pengolahan air kurang optimal. Kualitas air baku dan air bersih yang digunakan telah memenuhi standar baku mutu untuk air baku Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 maupun standar baku mutu untuk air bersih Permenkes RI No.907/MENKES/SK/VII/2002, kecuali satu parameter berasal dari air sungai yaitu warna yang belum memenuhi standar baku mutu air bersih. Aspek yang mempengaruhi kontinuitas penyediaan air bersih individual adalah jumlah pemakaian air bersih, pola pemakaian air bersih dan ketersediaan air bersih. Untuk menjaga pemanfaatan penyediaan air bersih secara individual perlu adanya pengendalian agar pemanfaatan air tanah dapat dikurangi serta agar penyediaan air bersih secara individual tidak diterapkan dengan bebas di kawasan yang lain. Strategi yang perlu dilakukan untuk meningkatan kapasitas pelayanan air bersih di Kota Bangko Kabupaten Merangin guna pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat adalah untuk wilayah Desa Sungai Ulak dapat memanfaatkan Sungai Tantan sebagai sumber air baku dan jaringan air bersih PDAM
46
8.
Nama Peneliti
Muhammad Dicky
Judul Penelitian
Implikasi Perubahan Guna Lahan terhadap Kualitas Air Baku Kota Batam
Waktu Penelitian
2008
Metode Penelitian
Kesimpulan
melalui IPA Sumur Bor II dengan menggunakan sistem pompa, untuk wilayah Desa Salam Buku dapat memanfaatkan Sungai Masumai sebagai sumber air baku dan jaringan air bersih PDAM melalui IPA Waskita Karya dengan menggunakan sistem gravitasi, untuk wilayah Selatan dan Timur Kota Bangko dapat memanfaatkan jaringan air bersih PDAM melalui IPA RPD Bangko Tinggi dengan menggunakan sistem pompa, untuk masyarakat yang yang berada didalam wilayah pelayanan air bersih PDAM dapat memanfaatkan jaringan pipa distribusi induk yang sudah ada dengan cara menambah jaringan pipa distribusi secara langsung ke tiap sambungan rumah, melakukan pemanfaatan kelebihan kapasitas produksi air bersih PDAM, memperluas wilayah/cakupan pelayanan pada wilayah atau daerah yang berpotensial membutuhkan air bersih PDAM. Analisis kualitas air Nilai kandungan bakteri Coliform sudah di atas ambang baku, analisis batas yang diizinkan. Perairan Dam Duriangkang termasuk penggunaan lahan dalam ambang batas yang kurang memenuhi baku mutu air sebagai sumber air baku air minum yang mensyaratkan nilai E-coli di bawah 100 MPN/100 ml. Produksi limbah domestik yang turut andil mencemari Dam Duriangkang merupakan hasil dari aktifitas penduduk di perumahan-perumahan di sekitar. Dam Duriangkang, terutama yang berasal dari perumahan-perumahan di Batam Centre. Untuk itu, perlu pengawasan dan pengendalian yang sangat ketat dari pemerintah dengan melibatkan masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber air baku.
46
No.
47 No.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
9.
Lily Montarcih L
Analisa Ketersediaan Air untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Baku Dalam Perencanaan Embung Tambak Pocok Bangkalan
10.
Febrihan Akmal
Analisis Kebutuhan Air Baku Kabupaten Rejang Lebong
Waktu Penelitian 2009
2010
Metode Penelitian
Kesimpulan
Analisis Curah Hujan NRECAH
Hasil simulasi keandalan embung dengan melakukan proses simulasi tiap data debit hasil bangkitan sepanjang 20 tahun dengan masa proyeksi selama 20 tahun, diketahui bahwa data debit untuk NRECA mengalami kegagalan pada data debit tahun 2004 dengan peluang keandalan 100% pada tahun 2007 dan 25% pada tahun 2026. Sedangkan untuk data debit F.J Mock peluang keandalan 100% pada tahun 2007 sampai tahun 2026 untuk semua simulasi data debit. Dikarenakan tidak adanya data debit di lapangan, maka pemilihan data debit dilakukan dengan mengambil Qmin untuk masing-masing data debit dari 2 metode didapatkan untuk Qmin F.J Mock embung memiliki tingkat keandalan 100% pada tahun 2007 sampai 2026. Untuk Qmin NRECA embung embung hanya mampu melayani seluruh penduduk (100%) pada tahun 2007 sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan hingga 25% pada tahun 2026. Analisis Tingkat Pada tahun 2014 kebutuhan air baku domestik yaitu 35 268.88 Pertumbuhan m3/hari. Kebutuhan air baku non domestik yaitu 30 344.75 m3/hari, kebutuhan air harian rata-rata yaitu 65 613.63 m3/hari, kebutuhan air harian maksimum yaitu 78 736.36 m3/hari, kehilangan air yaitu 19 684.09 m3/hari , dan jumlah kebutuhan air per tahun yaitu 23 948 974.95 m3/tahun.
47
48
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada Bulan November 2010 dan selesai Bulan Oktober 2011. Penelitian dilakukan di daerah aliran sungai (DAS) Babon Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Adapun dasar pertimbangan lokasi penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1.
DAS Babon Semarang melintasi tiga wilayah kabupaten/kota (Kabupaten Semarang, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak) dengan topografi wilayah yang berbeda, yaitu perbukitan, lembah, dan daerah pesisir (transboundary watershed).
2.
Badan sungai DAS Babon Semarang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain: untuk irigasi pertanian, kebutuhan domestik,
perikanan (tambak), air baku untuk
industri, dan sebagai sumber air baku PDAM
Semarang. 3.
Daerah bagian hulu dan tengah DAS Babon Semarang merupakan daerah pertanian, permukiman, dan industri sedangkan bagian hilir merupakan areal tambak dan sumber air baku PDAM Semarang.
4.
Pengelolaan air baku di DAS Babon Semarang belum dilakukan secara terpadu, hulu-hilir, sehingga fungsi DAS sebagai sumber air baku air minum tidak terjamin kelestariannya (unsustainable).
50
Gambar 3 Peta administrasi DAS Babon.
3.2.
Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan dengan pendekatan sistem dalam rangka merumuskan
model pengelolaan air baku air minum serta mekanisme kerjasama kelembagaan instansi terkait dalam pengelolaan DAS Babon Semarang, agar keberlanjutan sumber air baku air minum tetap terjaga (lestari). Secara sistematis pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 6.
51
DAS Babon
Identifikasi Masalah Pengelolaan ABAM DAS Babon (Ekologi, Ekonomi & Sosial
Menetapkan Atribut Sensitif (Analisis DS/ Leverage)
Menetapkan Atribut Kunci
Analisis WTP Air Minum
Membangun Model dengan Pendekatan Sistem
Mekanisme Kerjasama Kelembagaan (ISM)
Gambar 4 Diagram alir sistematika pendekatan penelitian.
52
Tabel 6 Pendekatan sistem model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS No 1.
2.
Tujuan Khusus Menentukan Atribut Atribut Kritis
Menentukan Atribut Atribut Kunci
3.
Model Pengelolaan Air Baku
4.
Mekanisme Kerjasama Kelembagaan
Jenis Data Primer
Bentuk Data Hasil Wawancara dan Penyebaran Kuisioner
Sekunder
Laporan Tahunan Dinas/Instan si Terkait
Primer
Hasil Wawancara dan Penyebaran Kuestioner
Sekunder
Sekunder
Primer
Sekunder
Sumber Data • Dinas/ Instansi Terkait • Pendapat Pakar
• FGD
Metode Analisis
Output yang diharapkan
• Multidime n sional Scaling (MDS)
Menghasilkan Atribut Atribut Kritis dari Aspek Lingkungan, Ekonomi dan Sosial
• Monte Carlo
• Prospek tif
Menghasilka n Atribut Atribut Kunci yang Mewakili Aspek Lingkungan, Aspek Ekonomi dan Aspek Sosial
Text Book, Studi, BPS, PP dan Kepmen PU
• Dinas/Ins tansi Terkait
• Sistem Dinamik dengan Stella
Terbangun Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS
Hasil Wawancara dan Penyebaran Kuisioner
• FGD
• Interpre ta tive Struc tural Mode ling (ISM)
Menghasilka n Model Struktur Pemangku Kepentingan DAS
3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, diskusi kelompok terarah dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
53
3.3.2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara mencari referensi dari berbagai sumber, seperti: hasil penelitian terdahulu, studi pustaka, peta dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. 3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan data dilakukan melalui proses FGD (focus group discussion). Secara purposive responden ditetapkan yang terdiri atas pakar di bidang sumberdaya air dan air minum, pejabat yang berwenang dalam pengelolaan sumberdaya air, dan juga tokoh masyarakat. FGD dilakukan dalam rangka menetapkan atribut atribut yang mewakili permasalahan pengelolaan air baku di DAS Babon. Disamping, secara purposive, juga dilakukan diskusi dan pengisian kuesioner oleh masyarakat untuk mengetahui kesediaan membayar konsumen terhadap tarif air minum dengan analisis willingness to pay (WTP). Jumlah sampel yang diambil sebanyak 50 responden. Wawancara dilakukan untuk memperoleh gambaran kesediaan membayar masyarakat terhadap tarif air baku agar PDAM dapat berperan dalam menjaga kelestarian DAS Babon. Apresiasi masyarakat terhadap kesediaan membayar tarif air minum dalam rangka ikut menjaga kelestarian DAS Babon akan dijadikan input pada saat simulasi model. Responden untuk analisis ISM adalah para pakar yang berhubungan dengan pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku permukaan untuk air minum. Teknik pengambilan contoh dalam rangka menggali informasi dan pengetahuannya (akuisisi pendapat pakar) ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 17 orang. Rincian jumlah responden penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Dasar pertimbangan dalam penentuan pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakan kriteria sebagai berikut. 1. Keberadaan responden dan kesediaan untuk dijadikan responden. 2. Memiliki reputasi, kedudukan atau jabatan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti. 3. Telah memiliki pengalaman dalam bidangnya.
54
Tabel 7 Rincian jumlah responden penelitian No. I
Responden Unit Contoh Responden: A. Pakar (expert) 1. Bappeda 2. DPRD 3. LSM Lingkungan 4. Tokoh Masyarakat 5.Dosen (Pengelolaan DAS/ Sumberdaya Air). 6. Dinas Instansi Terkait 7. Ahli tata ruang. 8. Ahli Air bersih
Teknik Pengambilan Contoh
Jumlah Contoh
Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive
2 orang 2 orang 1 orang 1 orang 1 orang 10 orang 1 orang 1 orang 17 orang
B. Responden Masyarakat Analisis Valuasi Ekonomi
Random Sampling
50 orang
3.3.4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, pengisian kuesioner, diskusi kelompok terarah dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari dari berbagai sumber, seperti: hasil penelitian terdahulu, studi pustaka, peta, dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. Rincian jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. 3.4. Analisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan lima tahapan utama, yaitu: (1) menetapkan atribut-atribut dari dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial serta menetapkan atribut-atribut kritis dengan analisis multidimensional scaling (MDS) dan leverage; (2) analisis prospektif untuk memperoleh variabel variabel kunci; (3) analisis model sistem dinamis untuk mengetahui kebutuhan dan ketersediaan air baku; (4) analisis nilai ekonomi untuk mengetahui WTP masyarakat terhadap tarif air minum; dan (5) analisis interpretative structural modeling (ISM) untuk memperoleh mekanisme kerjasama antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum.
55
Tabel 8 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian I.
Jenis Data Data Primer: 1. Analisis kebutuhan stakeholders 2. Identifikasi faktor strategis (ISM) 3. Perbandingan antar faktor (ISM) 4. Data sosial ekonomi konsumen PDAM
II. Data Sekunder: 1. Kondisi kependudukan 2. Kondisi sosial ekonomi 3. Peta wilayah DAS Babon 4. Topografi 5. Luas areal DAS Babon 6. PDRB sektor air minum 7. Jawa Tengah dalam angka 8. Struktur kelembagaan DAS dan PDAM. 9. Peraturan perundang-undangan 10. Kebutuhan suplay air minum Kota Semarang 11. Adat-istiadat (budaya masyarakat) 12. Pangsa pasar air minum 13. SDM bidang sumberdaya air 14. PAD dari sektor Air Minum 15. Data kualitas dan kuantitas air DAS Babon 16. Data pemanfatan lahan di sekitar badan sungai DAS Babon. 17. Data debit maksimum dan mimimum DAS Babon
Sumber Data Responden (Expert/Pakar) Responden (Expert/Pakar) Responden (Expert/Pakar) Responden (Masyarakat)
BPS Jateng BPS Jateng Bappeda Jateng Bappeda Jateng BPS dan BPN BPS Jateng Bappeda Jateng Setda Jateng dan PDAM Satda Prov. Jateng PDAM Semarang Dinas Pariwisata Jateng PDAM Jateng Setda Prov. Jateng Dispenda Jateng PDAM Semarang dan Bapedalda Jateng. Bappeda Jateng. Dep PU dan Dinas PU Prov. Jateng
3.4.1. Penetapan Atribut-Atribut Kritis 3.4.1.1. Menyusun Atribut-Atribut dari Aspek Tiga Dimensi Analisis keberlanjutan pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum dilakukan secara holistik dan terpadu yang meliputi tiga aspek utama, yaitu: (1) aspek ekologi, (2) aspek ekonomi, dan (3) aspek sosial. Pada aspek ekologi kajian difokuskan untuk melihat tingkat kelestarian fungsi DAS sebagai sumber air baku sehingga DAS Babon tetap dapat berfungsi
secara
berkelanjutan, misalnya kualitas dan kuantitas air pada badan sungai DAS Babon. Pada aspek ekonomi kajian difokuskan untuk melihat tingkat kelayakan secara ekonomi (economic feasibility) perusahaan air minum yang menggunakan DAS Babon sebagai bahan bakunya, misalnya biaya produksi per meter kubik air
56
minum. Pada aspek sosial difokuskan untuk melihat tingkat keadilan dan pemerataan dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya DAS Babon sebagai sumber bahan baku air minum, misalnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian DAS babon dan apresiasi masyarakat yang direfleksikan dalam keinginan masyarakat membayar terhadap kondisi air baku air minum yang berkualitas. Dengan demikian, dari ketiga aspek tersebut akan terlihat sejauh mana pengelolaan DAS Babon sebagai sumber air baku air minum secara ekologi tidak terjadi
penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya airnya. Secara
ekonomi layak, dan secara sosial masyarakat memiliki kesadaran dalam pelestarian DAS Babon. Analisis data dilakukan menggunakan metode “multidimensional scaling” (MDS), dengan tiga tahapan sebagai berikut: 1.
Tahapan penentuan atribut pada setiap aspek yang dianalisis Pada tahap ini disusun atribut yang dapat menggambarkan kondisi setiap aspek yang dikaji. Atribut disusun berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan
yang menyatakan bahwa pengelolaan suatu sumberdaya
dikatakan berkelanjutan jika secara ekologi tidak terjadi penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dimaksud, secara ekonomi layak dan menguntungkan, dan secara sosial berkeadilan. 2.
Tahapan penilaian setiap atribut dalam skala ordinal Pada tahap ini, setiap atribut yang telah disusun pada tahap satu selanjutnya diberi skor sesuai dengan kondisi atribut yang bersangkutan berdasarkan skala ordinal. Skala ordinal disusun berdasarkan ketersediaan sumber pustaka, hasil penelitian terdahulu atau pendapat para pakar dalam bidang tersebut. Pembuatan peringkat (skor) disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke
nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai dari yang terburuk ke nilai yang terbaik, misalnya: atribut debit air badan sungai DAS Babon pada musim kemarau selama lima tahun terkahir disusun skala ordinalnya; (0) terjadi penurunan kurang dari 10 persen; (1) terjadi penurunan 10 persen – 25 persen; (2) terjadi penurunan 25 persen – 50 persen; (3) terjadi penurunan lebih dari 50 persen. Pada atribut ini skor nol merupakan skor terbaik dan skor tiga merupakan skor terburuk. Skor serupa juga berlaku
57
untuk atribut debit air badan sungai DAS Babon pada musim penghujan selama lima tahun terakhir disusun skala ordinalnya; (0) terjadi peningkatan kurang dari 10 persen; (1) terjadi peningkatan 10 persen – 25 persen; (2) terjadi peningkatan 25 persen – 50 persen; (3) terjadi peningkatan lebih dari 50 persen. Atribut untuk menggambarkan kondisi kualitas air badan sungai DAS Babon, salah satunya adalah parameter BOD disusun dengan skala: (0) di bawah ambang batas; (1) sama dengan ambang batas; (2) sedikit di atas ambang batas; dan (3) jauh di atas ambang batas, maka skor nol merupakan skor terbaik dan skor tiga merupakan skor terburuk. Namun, atribut untuk menggambarkan tingkat pemanfaatan lahan di sekitar badan sungai DAS Babon untuk fungsi lain disusun dengan skala: (0) tidak dimanfaatkan (dijadikan daerah resapan air); (1) dimanfaatkan sedikit untuk pemukiman, pertanian, dan industri; (2) sebagian besar dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, dan industri; (3) seluruhnya dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, dan industri, maka skor nol merupakan skor terbaik dan skor tiga merupakan skor terburuk. Atribut serupa juga disusun untuk menggambarkan kondisi aspek ekonomi dan sosial. Dengan analisis leverage attribut, dapat di gambarkan secara rinci atribut-atribut kritis dan sensitif pada pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum. 3.4.1.2. Analisis Atribut Kritis Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber bahan baku air minum. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square” (RMS) ordinasi (Alder et al. 2000). Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan tingkat keberlanjutan pengelolaan sistem yang dikaji. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber bahan baku air
58 minum digunakan analisis “Monte Carlo”. Menurut Kavanagh (2001) dalam Fauzi dan Anna (2002) analisis “Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini. 1.
Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.
2.
Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda.
3.
Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi).
4.
Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data).
5.
Tingginya nilai ”stress” hasil analisis keberlanjutan, (nilai “stress” dapat diterima jika < 25%). Secara skematis tahapan analisis pada setiap atribut kritis terkait dengan
keberlanjutan pengelolaan DAS Babon Semarang untuk kebutuhan air minum disajikan pada Gambar 5. 3.4.2. Menetapkan Atribut-Atribut Kunci Sebagai umpan balik dan tindak lanjut dari kajian pengelolan DAS Babon tersebut, maka dilanjutkan dengan perumusan strategi pengembangan untuk mempersiapkan tindakan strategis dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan dan alternatif skenario strategi berdasarkan kondisi yang ada, dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif adalah suatu metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam sistem ahli yang dapat menggabungkan pembuat keputusan dalam rangka menyusun kembali beberapa perencanaan dengan pendekatan yang berbeda. Masing-masing solusi yang dihasilkan berasal dari pendekatan yang direncanakan dan bukan dari suatu rumusan yang bisa masing-masing kasus (Munchen 1991 dalam Bourgeois 2002).
59
Kondisi DAS Babon Pada Saat Ini
Analisis Atribut (Leverage Attribute)
Gambar 5 Tahapan analisis pada atribut kritis DAS Babon Semarang untuk kebutuhan air baku.
Tahapan analisis prospektif menurut Bourgeois (2002), yaitu: (1) menerangkan tujuan studi; (2) melakukan identifikasi kriteria; (3) mendiskusikan kriteria yang telah ditentukan; (4) analisis pengaruh antar kriteria; (4) merumuskan kondisi faktor; (5) membangun dan memilih skenario, dan (6) implikasi skenario. Dalam metode prospektif, menentukan elemen kunci masa depan dilakukan dengan tahapan yaitu: (1) mencatat seluruh elemen penting; (2) mengidentifikasi keterkaitan; (3) membuat tabel yang menggambarkan keterkaitan; dan (4) memilih elemen kunci masa depan. Metode ini didasarkan pada suatu penggandaan matriks bujur sangkar (matriks dengan jumlah baris dan kolom yang sama) yang berpangkat satu dalam beberapa tahapan iterasi untuk menyusun hirarki variabelvariabelnya. Analisis variabel sistem dilakukan berdasarkan klasifikasi langsung dimana hubungan antar variabel diperoleh secara langsung dari hasil identifikasi para pakar dan stakeholders. Variabel-variabel dibedakan atas variabel pengaruh dan variabel ketergantungan serta memperhitungkan jarak dan umpan balik dari setiap
60
variabel terhadap variabel lainnya. Identifikasi hubungan antar variabel dilakukan dengan menggunakan data kategori skala berjenjang yang menunjukkan intensitas hubungan. Hasil analisis diplotkan ke dalam diagram tingkat kepentingan faktorfaktor yang berpengaruh seperti terlihat pada Gambar 6.
Pengaruh Variabel Penentu INPUT
Variabel Autonomous UNUSED
Variabel Penghubung STAKES
Variabel Terikat OUTPUT
Ketergantungan
Gambar 6 Matriks tingkat kepentingan faktor (Hardjomidjojo 2002)
3.4.3. Model Sistem Dinamis 3.4.3.1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan dilakukan berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian di lapangan serta hasil wawancara dengan pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum. 3.4.3.2. Formulasi Masalah Tahap formulasi permasalahan merupakan perumusan permasalahan dalam pengelolaan DAS Babon. Formulasi masalah dilakukan berdasarkan hasil wawancara dan observasi. Menurut Eriyatno (2003), formulasi permasalahan disusun dengan cara mengevaluasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (limited of resources) dan atau adanya konflik atau perbedaan kepentingan (conflict of interest) diantara pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan sistem.
61
3.4.3.3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem adalah tahap menentukan variabel-variabel yang tercakup di dalam sistem dan mempengaruhi kinerja sistem tersebut.Variabel-variabel tersebut ditentukan berdasarkan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan yang telah dilakukan. Setelah itu ditentukan hubungan antara variabel-variabel tersebut, hubungan antara variabel dapat bersifat positif dan bersifat negatif. Hubungan tersebut kemudian diinterpretasikan dalam bentuk diagram sebab akibat. Identifikasi sistem juga mencakup penentuan variabel input dan variabel output yang terdapat dalam model yang akan dibangun. Variabel input terbagi tiga yaitu input lingkungan, input terkendali, dan input tak terkendali. Input lingkungan merupakan variabel dari luar sistem namun mempengaruhi kenerja sistem tersebut, input terkendali adalah variabel yang terdapat di dalam sistem yang nilainya dapat dikendalikan agar hasil kerja sistem baik, sedangkan input yang tak terkendali adalah variabel yang nilainya mempengaruhi kinerja sistem namun nilainya tidak dapat dikendalikan. Variabel output terbagi dua yaitu output dikehendaki dan output tak dikehendaki. Output dikehendaki adalah variabel output yang nilainya sesuai dengan tujuan sistem sedangkan output tak dikehendaki adalah nilai variabel output yang tidak sesuai denga tujuan sistem. Dari nilai pada parameter input yang ditentukan maka diharapkan output yang dihasilkan adalah output yang dihendaki, jika output yang dihasilkan adalah output yang tak dikehendaki maka perlu dilakukan manajemen pada input terkendali. Hal ini bertujuan agar output yang dihasilkan adalah output yang dikehendaki. Hubungan antara input dan output tersebut disajikan dalam diagram input-output (black box diagram). 3.4.3.4. Pemodelan Sistem Variabel-variabel yang terlibat di dalam sistem digabungkan dalam bentuk bagan alir sebagai persiapan melakukan simulasi. Variabel-variabel tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa sub model. Model dinamik ini akan dibangun dengan menggunakan Software Stella.
62
3.4.3.5. Validasi Model Model yang telah dibangun akan diuji keakuratannya dengan menggunakan data-data yang didapatkan dari Daerah Aliran Sungai Babon, Semarang. Validasi dilakukan dua tahap yaitu validasi struktur model dan validasi perilaku model.Validasi struktur model dilakukan untuk melihat interaksi antara variabel. Validasi ini dilakukan pada beberapa variabel model yang dianggap dapat mewakili kerja sistem. Validasi perilaku model dilakukan untuk mengetahui kinerja model dalam merepresentasikan sistem nyata. Validasi dilakukan dengan menggunakan uji t dua arah (two tail) pada taraf nyata 5 %. Jika hasilnya melebihi 5 % maka dilakukan pengecekan ulang terhadap identifikasi variabel sistem. 3.4.3.6. Analisis Sensitivitas Model Sensitivitas model adalah respon model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan prilaku/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas ini dalam bentuk perubahan perilaku atau kinerja model digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Pada model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS, sensitivitas analisis dilakukan untuk existing condition DAS dan kebutuhan serta ketersediaan air baku ke depan. 3.4.3.7. Simulasi Model Model ini diaplikasikan dengan menggunakan data DAS Babon. Simulasi dilakukan untuk kondisi terkini dan simulasi skenario optimis pengelolaan air baku air minum berbasis DAS. Tolok ukur desain pengelolaan air baku air minum berbasis DAS yang optimal adalah persentase konservasi yang dilakukan agar ketersediaan air bakunya optimum. Disamping itu dilakukan pendekatan efisiensi kebutuhan air baku agar tingkat kebutuhan air baku dapat ditekan. 3.4.3.8. Analisis Kebijakan Berdasarkan Skenario Analisis kebijakan dilakukan dengan beberapa skenario yang diambil berdasarkan analisis sensitivitas yang telah dilakukan. Skenario tersebut dibuat
63
untuk mempengaruhi kerja sistem dalam mencapai tujuan. Dalam skenario tersebut terdapat kebijakan-kebijakan agar penghematan kebutuhan air dilakukan dan juga melaksanakan konservasi agar ketersediaan air meningkat. Dalam penyusunan skenario terdapat beberapa asumsi yaitu reuse, reduce, dan recycle untuk kebutuhan air baku dan juga melaksanakan konservasi agar ketersediaan air baku meningkat. Kualitas air juga perlu ditingkatkan agar biaya produksi mengolah air minum dapat ditekan. Desain yang direkomendasikan adalah desain optimum yang dapat dihasilkan oleh model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS. Desain optimum ini didapatkan berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan nilai parameter input DAS Babon. Output yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan air baku, terpeliharanya kelestarian DAS dengan melakukan konservasi dan meningkatnya kualitas air baku. 3.4.4. Analisis Willingness To Pay (WTP) Analisis WTP didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Metode ini digunakan untuk mengetahui besarnya biaya yang mau dikeluarkan oleh masyarakat dalam memperoleh pelayanan air minum dari PDAM. Dengan metode ini akan diperoleh gambaran berapa nilai tarif air minum yang layak bagi masyarakat konsumen air minum. Pada prinsipnya metode ini didasarkan kepada WTP (willingness to pay) masyarakat dan pengguna air baku lainnya terhadap kelestarian DAS Babon agar air bakunya dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri, domestik, usaha komersial, serta usaha yang lainnya. Disamping itu, WTP bertujuan untuk mengetahui dana yang dapat dikeluarkan oleh masyarakat dalam membayar tarif air minum yang air bakunya diperoleh dari DAS Babon. 3.4.5. Menetapkan Mekanisme Kerjasama Kelembagaan Salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk merumuskan perencanaan strategis dari suatu sistem adalah “interpretative structural modeling“ (ISM), yakni teknik pemodelan deskriptif yang merupakan alat stukturisasi untuk suatu hubungan langsung, dalam hal ini hubungan antar lembaga, yang bersangkut paut
64
dengan interpretasi dari suatu objek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan iteraktif (Saxena et al. 1992). Eriyatno (1998) menyatakan bahwa teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis dan kalimat. Teknik ISM terutama ditujukan untuk pengkajian suatu tim, namun biasa juga dipakai oleh seorang peneliti. Teknik ISM dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen. Teknik ISM memberi basis analisis yang bisa menghasilkan informasi yang berguna dalam merumuskan kebijakan
dan
perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) dalam Marimin (2004) program ISM dibagi menjadi 9 (sembilan) elemen, yaitu: 1.
Sektor masyarakat yang terpengaruhi.
2.
Kebutuhan program.
3.
Kendala utama.
4.
Perubahan yang dimungkinkan.
5.
Tujuan program.
6.
Tolok ukur guna menilai tujuan.
7.
Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan.
8.
Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas.
9.
Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Setiap program yang dikaji dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen
menggunakan masukan dari pakar, lalu ditetapkan hubungan kontekstual antar sub elemen yang memungkinkan pengarahan tertentu. Keseluruhan proses tahapan teknik ISM dari mulai tahap penyusunan hirarki sampai analisis dapat dilihat pada Gambar 7. Melalui teknik ISM, model mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi sistem yang tampak (Eriyatno 2002). Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual maka disusunlah structural self-interction matrix (SSIM). Contoh matriks SSIM dapat dilihat pada Tabel 9.
65
Tabel 9 Contoh matriks SSIM Sub Elemen Tujuan ke-j Sub Elemen Tujuan ke-i 1 2 3 4 5 6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
V
V
A
A
O
O
X
V
O
O
X
V
V
V
V
A
A
X
X
V
V
V
O
O
O
O
V
V
V
A
A
A
O
X
X
7 8
O
9
Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X, dan O. Pengertian dari simbol-simbol tersebut adalah: V : kendala (1) mempengaruhi kendala (2), tapi tidak sebaliknya. V: eij = 1 dan eij = 0 A : kendala (2) mempengaruhi kendala (1), tapi tidak sebaliknya. A: eij = 0 dan eij = 1 X : kendala (1) dan kendala (2) saling berhubungan. V: eij = 1 dan eij = 1 O : kendala (1) kendala (2), tidak saling mempengruhi. V: eij = 0 dan eij = 0 Simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol O tidak terdapat atau tidak ada hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya. Setelah SSIM terbentuk, kemudian dibuat tabel reachability matrix dengan mengganti simbol V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 atau 0. Klasifikasi sub elemen mengacu pada hasil olahan dari reachability matrix (RM) yang telah memenuhi aturan transitivitas. Hasil olahan didapatkan nilai driver-power (DP) dan nilai dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Secara garis besar klasifikasi sub elemen digolongkan dalam 4 (empat) sektor, yaitu : a.
Sektor 1; weak driver – weak dependence variabel (autonomus). Sub elemen yang termasuk dalam sektor ini pada umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan
66 tersebut bisa saja kuat. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika; nilai DP ≤ 0.5X dan nilai D ≤ 0.5X, X adalah jumlah sub elemen. Sektor 2; weak driver – strongly dependence variabel
b.
(dependent).
Umumnya sub elemen yang masuk pada sektor ini adalah sub elemen yang tindakan bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 2; jika nilai nilai DP ≤ 0.5X dan nilai D > 0.5X, X adalah jumlah sub elemen. Sektor 3; strong driver – strongly dependent variabel (lingkage). Sub elemen
c.
yang termasuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk sektor 3; jika nilai DP > 0.5X dan nilai D > 0.5X, X adalah jumlah sub elemen. d.
Sektor 4; strong driver–weak dependence variables (independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen yang masuk sektor 4 jika: nilai nilai nilai DP > 0.5X dan nilai D ≤ 0.5X, X adalah jumlah sub elemen. Untuk mengetahui keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM dapat
dilihat pada Tabel 10 dan tahapan pada teknik ISM dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 10 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM No. 1. 2.
Jenis Perbandingan (comparatif) Pernyataan (definitive)
3.
Pengaruh (influence)
4.
Keruangan (spatial)
5.
Kewaktuan (temporal/time scale)
Interpretasi A lebih penting/besar/indah, daripada B. A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B A meneyebabkan B A adalah bagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B A adalah selatan/utara B A di atas B A sebelah kiri B A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
67
Secara
ringkas deskripsi tahapan-tahapan teknik ISM adalah sebagai
berikut: a.
Indentifikasi elemen; Elemen sistem diidentifikasi dan di daftar, yang diperoleh melalui penelitian, brainstorming, dan sebagainya.
b.
Hubungan kontekstual: sebuah hubungan kontekstual antar elemen dibangun, tergantung pada tujuan pemodelan.
c.
Matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self-interaction matrix/SSIM) dengan menggunakan simbol V, A, X, dan O.
d.
Matriks Reachability (Reachability Matrix/RM): Dengan mengubah simbolsimbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner.
e.
Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM.
f.
Matriks Coninical; Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama.
g.
Digraph; Adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung, dan level hirarki.
h.
Interpretative Structural Modeling; ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.
68
PROGRAM Uraikan program menjadi perencanaan program
Uraikan setiap elemen menjadi sub elemen
Tentukan hubungan kontekstual antara sub elemen pada setiap elemen
Susunlah SSIM untuk setiap elemen
Bentuk reachability matix setiap elemen
Uji matriks dengan aturan transtivity
Ok Tidak
Modifikasi SSIM
Ya Tetapkan drive dan drive power setiap sub elemen
Tentukan level melalui pemilihan
Susun ISM dari setiap elemen
Ubah RM menjadi format lower triangular RM
Tentukan rank dan hirarki dari sub elemen
Susun diagram dari lower triangular RM
Tetapkan drive dependence matrix setiap elemen
Plot sub elemen pada empat sektor
Klasifikasi sub elemen pada empat peubah kategori
Gambar 7 Diagram alir deskriptif teknik ISM (Saxena 1992 dalam Marimin 2004).
IV. KONDISI SUMBERDAYA ALAM DAS BABON
4.1. Letak, Batas, dan Luas Daerah aliran sungai (DAS) Babon merupakan salah satu DAS di Jawa Tengah yang terletak pada lereng Utara Gunung Ungaran. Aliran Sungai Babon berasal dari beberapa anak-anak sungai yang berasal dari Gunung Butak, di Kabupaten Ungaran. DAS Babon terdiri atas tiga sub DAS yaitu di bagian hulu adalah Sub DAS Gung (seluas 4 207 ha) dan Sub DAS Pengkol (seluas 3 438 ha) sedangkan di bagian hilir adalah Sub DAS Babon Hilir (seluas 6 712 ha) yang bagian Barat dibatasi oleh saluran Banjir Kanal Timur. DAS Babon juga berbatasan dengan DAS Garang (Kota Semarang) di sebelah Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan DAS Tikung (Kabupaten Demak). Sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Hulu (Kabupaten Semarang). DAS Babon terletak pada ketinggian antara 2 meter di atas permukaan laut di bagian Utara (hilir) hingga sekitar 200 meter di bagian hulu, meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Semarang (Kecamatan Ungaran dan Kecamatan Bergas), Kota Semarang (Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gajah Mungkur, Kecamatan Candisari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Genuk, dan Kecamatan Semarang Utara), dan Kabupaten Demak (Kecamatan Sayung dan Kecamatan Mranggen). Wilayah yang dilalui DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 11.
70
Tabel 11 Wilayah kelurahan yang termasuk DAS Babon Kabupaten/Kota Kabupaten Semarang
Kecamatan Ungaran Bergas
Kota Semarang
Tembalang
Banyumanik
Gajah Mungkur Candisari Semarang Selatan Gayamsari Semarang Timur Pedurungan
Genuk
Kabupaten Demak
Semarang Utara Mranggen Sayung
Kelurahan Bandarjo, Susukan, Mluweh, Kalikayen, Kawengen, Kalirejo, Kalongan, Leyangan, Beji Gondoriyo Rowosari, Meteseh, Bulusan, Tembalang, Jangli, Tandang, Sendangguwo, Kedungmundu, Sambiroto, Mangunharjo, Sendangmulyo, Kramas Pudakpayung, Gedawang, Jabungan, Banyumanik, Padangsari, Pedalangan, Srondol Wetan, Sumurboto, Ngesrep, Tinjomoyo Karangrejo Jatingaleh, Karanganyar, Jomblang Lamper Kidul, Lamper Tengah, Lamper Lor, Peterongan Pandean Lamper, Gayamsari, Sambirejo, Siwalan, Sawahbesar, Kaligawe, Tambakrejo Karangturi, Karangtempel, Sarirejo, Rejosari, Kebonagung, Bugangan, Mlatiharjo, Mlatibaru, Rejomulyo, Kemijen Gemah, Pedurungan Kidul, Plamongansari, Palebon, Pedurungan Lor, Penggaron Kidul, Pedurungan Tengah, Kalicari, Tlogosari Kulon, Tlogosari Wetan, Tlogomulyo, Muktiharjo Kidul Terboyo Wetan, Terboyo Kulon, Muktiharjo Lor, Gebangsari, Trimulyo, Genuksari, Bangetayu Kulon, Bangetayu Wetan, Sembungharjo, Penggaron Lor, Banjardowo, Karangroto, Kudu Tanjungmas Kebonbatur, Batursari, Banyumeneng, Jamus, Wringin Jajar Sriwulan, Sayung, Jetaksari, Kalisari
Sumber: Pramono, 2010
4.2. Kondisi Iklim, Tanah, dan Hidrologi 4.2.1. Kondisi Iklim Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang lama. Kondisi iklim biasanya terkait dengan temperatur, curah hujan dan tipe iklim. Kondisi iklim di DAS Babon berdasarkan data dari enam stasiun hujan, yaitu
71
Stasiun Pandean Lamper (6 mdpal), Susukan (330 mdpal), Ungaran (318 mdpal), Sayung (2 mdpal), Genuk (3 mdpal) dan Banyumeneng (43 mdpal) yang dilakukan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jawa Tengah. Berdasarkan analisis data iklim menunjukkan bahwa wilayah DAS Babon mempunyai suhu udara rata-rata 27.5oC, dengan temperatur udara pada bulan terdingin sebesar 21.5oC dan temperatur udara pada bulan terpanas sebesar 35.0 o
C, sedang curah hujan rata-rata tahunan selama 15 tahun terakhir adalah 2 210
mm. Dengan demikian menurut klasifikasi iklim Koppen termasuk tipe Am. Sementara menurut klasifikasi curah hujan Schmidt & Ferguson daerah studi mempunyai jumlah rata-rata bulan kering selama 3 bulan, dan jumlah rata-rata bulan basah 8 bulan, sehingga mempunyai tipe B dan C di bagian hilir. Data curah hujan rata-rata di DAS Babon pada enam stasiun dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Curah hujan rata-rata tahunan DAS Babon (mm/tahun) Stasiun No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata
Pandean Lamper 2 540 2 965 2 383 1 968 1 839 1 919 1 493 1 858 1 987 1 792 1 411 1 650 1 745 415 2 295 1 884
Susukan
Ungaran
Sayung
Genuk
2 834 3 555 2 482 2 305 2 709 2 269 2 470 1 839 1 367 2 186 2 046 2 299 1 363 553 2 621 2 193
3 533 4 201 3 174 2 715 2 993 3 120 3 036 2 815 2 721 2 446 744 2 495 1 745 1 171 2 636
2 292 3 126 2 127 2 191 2 146 2 805 1 806 2 476 2 017 1 419 1 922 2 073 2 201 575 2 596 2 118
3 086 2 872 1 994 2 282 2 158 2 410 1 399 1 653 2 397 2 661 2 157 2 311 2 284 485 2 704 2 190
Sumber: Data Hujan Periode Tahun 1993-2008, BMG Jawa Tengah
Banyu meneng 3 349 3 426 4 025 1 856 1 226 2 856 2 666 1 958 1 619 1 626 1 797 2 109 1 844 867 2 430 2 244
72
4.2.2. Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan 4.2.2.1. Kondisi Tanah Berdasarkan data jenis tanah yang diperoleh dari Peta Tanah yang ada, menggambarkan bahwa jenis tanah yang terdapat di DAS Babon terdiri atas aluvial hidromorf, asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan, mediteran coklat tua, latosol coklat tua, latosol coklat kemerahan, regosol kelabu dan grumusol kelabu tua (BP-DAS Pemali-Jratun 2002). Jenis tanah aluvial hidromorf terletak pada daerah dataran dengan bahan induk liat yang mempunyai sifat tidak peka terhadap erosi atau termasuk dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi yang sangat rendah. Jenis tanah asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan tersebar di daerah dataran rendah pada kecamatan-kecamatan Genuk dan Sayung dengan bahan induk liat dan pasir, yang mempunyai sifat tidak peka terhadap erosi atau termasuk dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi yang sangat rendah.Tanah dengan jenis mediteran coklat tua banyak dijumpai di wilayah Kecamatan Ungaran, Tembalang, Banyumanik dan Genuk, dengan jenis tanahnya mempunyai sifat peka terhadap erosi atau termasuk dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi sedang. Latosol coklat tua kemerahan banyak terdapat di wilayah Kecamatan Ungaran dan Banyumanik dengan tingkat kepekaan tanah terhadap erosi sedang. Jenis tanah lainnya yang terdapat di DAS Babon adalah regosol kelabu dan grumusol kelabu tua, yang tersusun dari bahan induk abu/pasir dan tuff intermediate serta memiliki sifat yang sangat peka terhadap erosi atau dapat dikategorikan sebagai tanah dengan kepekaan tanah terhadap erosi tinggi. Kedua jenis tanah ini mempunyai penyebaran di Kecamatan Mranggen dan Sayung. Jenis tanah yang ada di DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis tanah di DAS Babon No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Tanah Aluvial coklat kemerahan Latosol Mediteran coklat Regosol grumusol Aluvial hidromorf Jumlah
Sumber: BPDAS Pemali-Jratun, 2009
Luas (ha) 8 190.61 4 381.15 2 353.61 2 757.03 1 102.31 18 784.71
Proporsi (%) 43.60 23.32 12.53 14.68 5.87 100.00
73
4.2.2.2. Tata Guna Lahan Daerah Aliran Sungai Babon mempunyai berbagai macam tipe tata guna lahan dari sawah, tegalan/lahan kering, hutan negara dan permukiman yang meliputi, pemukiman, industri, dan daerah urban. Tataguna lahan pada sub DAS Babon dapat dilihat seperti pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta komposisi tataguna lahan DAS Babon
74
Tipe tata guna lahan berdasarkan pada data statistik tahun 2004 dalam setiap sub DAS dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Tata guna lahan DAS Babon
%
Tegal/Lahan Kering (ha) %
Hutan dan Perkebunan (ha) %
183.70
12.05
251.90
16.53
947.00
Bb 02
42.10
2.08
692.10
Bb 03
58.00
5.40
Bb 04
45.20
Bb 05
Sub DAS
Sawah/Tambak (ha)
Bb 01
Permukiman (ha)
%
62.13
84.60
7.87
34.13 1 171.40
57.76
245.60
18.51
377.20
35.11
554.70
51.62
706.00
27.53
3.41
509.10
38.36
527.30
39.73
98.30
9.16
154.80
14.42
705.00
65.67
115.50
10.76
141.60
9.29
Bb 06
303.90
11.85 1 083.80
42.26
470.90
18.36
122.50
6.04
Bb 07
135.80
6.88
961.80
48.75
294.00
14.90
898.30
66.58
Bb 08
361.20
17.82
616.00
30.39
494.60
24.40
555.20
27.39
Bb 09
50.40
4.19
141.00
11.73
630.30
52.43
380.50
31.65
Bb 10
47.70
4.83
420.60
42.65
250.20
25.37
267.60
27.14
Bb 11
394.80
53.44
271.60
36.76
29.90
4.05
42.50
5.75
Bb 12
584.10
17.56
627.30
18.86
112.10
3.37 2 002.90
60.21
Bb 13
0
0
157.90
17.42
195.70
21.59
552.90
60.99
Bb 14
0
0
376.20
27.88
74.70
5.54
898.30
66.58
Sumber: ProLH-GTZ. 2005
Dengan diketahuinya komposisi tipe tataguna lahan di masing-masing sub DAS, dapat digunakan untuk menganalisa sumber polusi dan penyebab polusi yang dominan di sub DAS yang bersangkutan. Dari tabel tersebut di atas, terlihat pada sub DAS Babon bagian atas masih terdapat tipe tataguna lahan sawah/tambak, tegal/lahan, hutan, perkebunan, dan sedikit permukiman, sedangkan pada sub DAS Babon bagian bawah di dominasi oleh tipe tataguna lahan untuk permukiman. 4.2.3. Kondisi Hidrologi 4.2.3.1. Hidrologi Permukaan (Sungai) Secara umum sistem sungai-sungai di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub DAS seperti disajikan peta sistem Sungai DAS Babon, yaitu:
75
a.
Sub DAS Gung, yang merupakan bagian hulu DAS Babon dengan sungai utama Sungai Gung yang bersifat perenial (mengalir sepanjang tahun), beserta anak-anak sungainya: Sungai Lutung, Jaten, Porang, Klangit, dan Sungai Sinanas.
b.
Sub DAS Pengkol, yang merupakan bagian tengah DAS Babon dengan sungai utama Sungai Pengkol yang juga bersifat perenial, dengan anak-anak sungainya: Sungai Wideng, Watukodok, dan Sungai Seketok.
c.
Sub DAS Babon Hilir, yang merupakan bagian hilir DAS Babon dengan sungai utama Sungai Babon dan Banjir Kanal Timur. Banjir Kanal Timur merupakan sedutan dari Sungai Babon di daerah Pucung. Anak-anak sungai yang masuk ke Banjir Kanal Timur antara lain: Sungai Candi, Mongkong, dan Sungai Dungadem; sementara sungai-sungai yang langsung bermuara ke Laut Jawa, yang berada di antara Banjir Kanal Timur dan Sungai Babon adalah: Sungai Tenggang, Siringin, Leles, Doro, Kaidin, dan Prih. Secara keseluruhan, sistem sungai-sungai yang terdapat di DAS Babon
membentuk pola aliran dendritik. Sungai Gung, Pengkol, dan Babon sendiri sebenarnya sebagai satu sungai besar, yang merupakan sungai utama di DAS Babon. Sungai-sungai ini merupakan sungai perenial, yang mengalir sepanjang tahun, dan pada musim kemarau masih mempunyai air walaupun dalam volume yang kecil. Berdasarkan kondisi tersebut, DAS Babon termasuk dalam kategori sungai perenial. Aliran sungai di dalam DAS dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dengan cabang dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola ini tergantung pada kondisi topografi, geologi, iklim, dan vegetasi yang terdapat di dalam DAS yang bersangkutan. Sungai yang ada di DAS Babon membentuk pola aliran radial. Pola aliran ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah. Berdasarkan SK Walikota Kepala Daerah Tingkat II Semarang No. 880.2/992/94 menetapkan peruntukan Sungai Babon di Kota Semarang adalah sebagai berikut :
76
a.
Air Sungai Babon dari bagian hulu di Kelurahan Mateseh, Kecamatan Tembalang sampai dengan bendung Pucanggading ditetapkan sebagai air golongan B (air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga).
b.
Air Sungai Babon setelah melewati bendung Pucanggading sampai dengan bendung Karangroto ditetapkan sebagai air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan).
c.
Air Sungai Babon setelah melewati bendung Karangroto sampai dengan muara di pantai Utara ditetapkan sebagai air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan). Evaluasi kondisi hidrologi DAS juga dapat diketahui dari pola fluktuasi air
sungainya. Sungai Babon berdasarkan pada ketersediaan airnya termasuk dalam kategori sungai perenial yaitu sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun, meskipun terjadi fluktuasi musiman (seasonal water regime). Dengan demikian bahwa DAS Babon telah mengalami gangguan (enviromental disturbances), misalnya terjadinya perubahan pola/bentuk penggunaan lahan, meningkatnya erosi, menurunnya kapasitas infiltrasi tanah, dan sebagainya. Pemanfaatan Sungai Babon selama ini selain untuk pembuangan limbah, juga untuk pengendalian banjir Kota Semarang melalui pembangunan saluran Banjir Kanal Timur, untuk irigasi, perikanan, dan bahan baku air minum. Beberapa permukiman padat membuang limbah rumah tangga ke saluran sungai. Gambaran mengenai daerah aliran sungai DAS Babon dapat dilihat pada Gambar 9.
77
Gambar 9 Peta daerah aliran sungai (DAS) Babon
78
4.2.3.2. Kondisi DAS Babon DAS Babon mempunyai morfologi: berbentuk memanjang, pola aliran denritik dengan ordo sungai sampai 4 artinya merupakan zone hidrologi yang sungainya merupakan alur-alur kecil dengan sifat aliran intermitten yaitu sungai yang ada airnya hanya pada musim penghujan. Secara keseluruhan Sungai Babon mempunyai sifat aliran perenial (ordo 1 sampai 3) artinya airnya mengalir sepanjang tahun dengan fluktuasi antara musim penghujan dan musim kemarau sangat besar. Berdasarkan hasil pencatatan tinggi muka air dan debit di bendungan Pucang Gading selama 11 tahun terakhir (1999 – 2009) menunjukkan bahwa: debit rata-rata bulanan berkisar antara 0.74 m3/dt – 5 048 m3/dt, dan rata-rata bulanannya sebesar 4 205 m3/dt. Ketersediaan air DAS Babon merupakan debit rata-rata bulanan dikurangi losses (kehilangan) air yang besarnya sama dengan 80% dari debit rata-rata bulanan yang selanjutnya disebut debit rata-rata bulanan efektif atau debit andalan. Hasil perhitungan debit rata-rata bulanan efektif disajikan dalam Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa ketersediaan air bulanan sungai Babon sebesar 0.91 m3/dt. Debit terbesar terjadi pada bulan Maret sebesar 1.96 m3/dt, dan terkecil jatuh pada bulan Agustus yaitu sebesar 0.06 m3/dt. Dengan memperhatikan kontinuitas air sungai tersebut, maka debit air yang dapat digunakan adalah debit rata-rata yang besarnya 0.91 m3/dt. Tabel 15 Debit rata-rata bulanan efektif Sungai Babon di stasiun Pucang Gading (m3/dt) Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Spt
Okt
Nov
Des
Rataan
2000
212
252
2.57
2.10
1.21
0.60
0.28
0.10
0.26
0.83
0.93
1.58
1.26
2001
2,12
2.27
2.43
2.08
1.15
0.57
0.25
0.09
0.26
0.40
0.88
1.45
1.15
2002
1.97
2.27
2.35
2.05
1.13
0.51
0.22
0.08
0.24
0.35
0.85
1.24
1.10
2003
1.92
2.23
2.34
1.98
1.02
0.47
0.21
0.07
0.23
0.32
0.79
1.15
1.06
2004
1.86
2.16
2.15
1.91
0.99
0.46
0.21
0.07
0.12
0.27
0.77
0.99
1.00
2005
1.73
2.06
2.15
1.78
0.95
0.44
0.19
0.07
0.07
0.24
0.74
0.96
0.95
2006
1.58
1.81
2.06
1.66
0.89
0.43
0.18
0.04
0.07
0.22
0.63
0.92
0.87
2007
1.41
1.66
1.55
1.56
0.83
0.41
0.17
0.04
0.06
0.17
0.51
0.70
0.75
2008
0.88
1.05
1.26
1.29
0.71
0.35
0.16
0
0.03
0.03
0.30
0.65
0.56
2009
0.59
0.94
0.81
0.74
0.48
0.27
0.14
0
0.01
0
0.25
0.44
0.39
Rata2
1.61
1.89
1.96
1.71
0.94
0.45
0.20
0.06
0.13
0.28
0.67
1.01
0.91
Sumber : Stasiun AWLR Pucang Gading. 1999 – 2009
79
Sampai saat ini, penggunaan air Sungai Babon berdasarkan ProLH-GTZ (2005) ada tiga jenis, yaitu sebagai air irigasi, bahan baku air minum (PDAM), dan pengglontoran Kota. Sedangkan untuk kebutuhan air baku dari sektor industri dan lain-lain dengan memanfaatkan air tanah. Debit yang diperlukan untuk penggunaan air tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Penggunaan air di DAS Babon No
Penggunaan Air
Debit
1
PDAM Sendang Mulyo
60 – 100 l/detik
2
Bendung Pucang Gading, Daerah Irigasi
50 – 800 l/detik
3
Bendung Karang Roto, Daerah Irigasi
100 l/detik
Sumber: ProLH-GTZ. 2005
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa penggunaan air DAS Babon baru sekitar 210 l/detik atau 0.21 m3/detik (31.34%) di musim kemarau, dan 1 000 l/detik atau 1 m3/detik (27.25%) di musim penghujan, sehingga masih banyak kemungkinan untuk dikembangkan sebagai sumber air baku. Namun satu hal yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan air sungai hanya diijinkan 0.5 dari debit andalan. 4.2.3.3. Hidrologi Bawah Permukaan (Air Tanah) Kajian hidrologi air tanah untuk mendukung pengelolaan DAS Babon ditekankan pada pola aliran air tanah kaitannya dengan suplai air tanah ke dalam aliran air sungai, dan kondisi hidrogeologi secara umum untuk mendukung aspek pemanfaatan air tanah sebagai sumber air minum penduduk. Berdasarkan hasil pengukuran lapangan dan analisis kontur air tanah, arah aliran air tanah di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian seperti disajikan pada Peta Arah Aliran Air Tanah (Gambar 10), yaitu: a.
Kelompok air tanah pada satuan dataran aluvial dan dataran aluvial bekas rawa. Air tanah mengalir dari perbukitan ke daerah-daerah yang lebih rendah, dengan konsentrasi air tanah pada satuan dataran aluvial dan dataran aluvial bekas rawa. Secara umum air tanah mengalir ke arah Timur dan Utara menuju wilayah pesisir,
80
b.
Kelompok air tanah pada satuan cekungan antar perbukitan. Air tanah juga mengalir dari perbukitan-pegunungan di sekitarnya menuju pusat cekungan, sebagai konsentrasi air tanah dan akuifer. Ditinjau dari Peta Hidrogeologi skala 1:250.000 Tahun 1985 yang
diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, dan didukung dengan data hasil pengukuran lapangan, secara umum kondisi hidrologi air tanah di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: a.
Akuifer dengan permeabilitas tinggi, produksi sedang dan penyebaran luas, yang terdapat pada satuan dataran aluvial dengan kedalaman muka air tanah berkisar 2 - 5 meter dpt dan daya hantar listrik berkisar 846 – 1 339 mhos/cm; serta pada cekungan antar perbukitan dengan kedalaman air tanah 4-8 meter dpt. Air tanah relatif berkualitas baik, masih berasa tawar, jernih, tidak berbau dan masih sesuai untuk air minum.
b.
Akuifer dengan permeabilitas sedang, produksi sedang dan penyebaran sempit, terdapat pada satuan dataran aluvial bekas rawa. Kedalaman air tanah mencapai 7.5 meter dpt dengan nilai daya hantar listrik berkisar 256 mhos/cm. Air tanah berkualitas baik, tawar, jernih, tetapi pada beberapa tempat sedikit agak berbau lumpur.
c.
Daerah air tanah dengan produksi sedang, penyebaran sempit dan terdapat air tanah asin. Kelompok ini umumnya terdapat pada satuan rataan pasang surut, yang masih dipengaruhi oleh aktivitas air laut. Asinnya air tanah disebabkan oleh intrusi air laut ke dalam air tanah, khususnya saat air laut pasang dan musim kemarau. Air tanah dangkal dan tidak sesuai untuk air minum, namun demikian pada beberapa tempat masih dijumpai air tanah dengan kualitas baik, berasa tawar dengan nilai DHL berkisar 783 mhos/cm, seperti yang terdapat di Desa Sriwulan Kabupaten Demak.
d.
Daerah langka air tanah, yang meliputi satuan-satuan perbukitan-pegunungan volkanik dan igir-igir struktural lipatan. Langkanya air tanah disebabkan oleh kedudukan satuan ini pada topografi yang tinggi, lereng curam, lapisan tanah relatif tipis, dan berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan. Namun demikian, pada tekuk-tekuk lerengnya (khususnya pada kontak antar lapisan batuan),
81
banyak dijumpai mata air yang muncul baik sebagai rembesan (seepage) maupun contact spring atau topographic spring.
Gambar 10 Peta aliran air tanah DAS Babon.
82
4.2.3.4. Kualitas Air Diskripsi tentang kondisi kualitas air juga sangat diperlukan dalam hubungannya dengan peruntukan air Sungai Babon. Selama ini Sungai Babon dimanfaatkan selain sebagai pengendali banjir melalui saluran banjir Kanal Timur, juga digunakan untuk irigasi, mandi cuci kakus (MCK), industri, dan penambangan bahan galian golongan C. Dengan demikian sumber-sumber pencemaran air Sungai Babon adalah bersumber dari kegiatan-kegiatan penduduk (MCK), pertanian (penggunaan pupuk, pestisida, dan insektisida), penambangan, perikanan, dan industri. Keenam usaha industri yang potensial menimbulkan pencemaran di Sungai Babon dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18, serta peta mengenai kualitas air DAS Babon pada Gambar 11. Tabel 17 Jenis industri yang potensial mencemari Sungai Babon No
Nama Perusahaan
Jenis Kegiatan
1
PT. Bintang Buana sakti
Penyamakan Kulit
2 3
PT. Condro Purnomo Cipto PT. Puspita Abadi
Sda Sda
4
PT. Rodeo
Tekstil
5
CV. Sumber Baru
Pulp dan Kertas
6
Puskud Mina Baruna
Cold Storage
Polutan BOD, COD, DS, Chrom, Sulfida, Phenol, Amoniak, Minyak dan Lemak Sda Sda BOD, COD, TDS, Chrom, Amoniak, Sulfida BOD, COD, TDS, Amoniak, Sulfida BOD, COD, TDS, Amoniak, Bebas
Sumber : Bappedalda Semarang (1996/1997)
Tabel 18 Konsentrasi beban pencemar yang masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) No
Parameter
Tahun
1
BOD5
2
COD
609 607.89
242 679.52
167 167.50
3
TSS
220 401.19
54 040.14
72 027.75
4
Sulfida (H2S)
1 615.62
126 133.30
299.68
5
Amoniak (NH3)
5 922.30
246.49
3 001.25
6
Chrom Total
710.96
185.67
20.19
7
Minyak
11.39
Sumber : Bappedalda Semarang (1996/1997)
1996/1997 86 666.63
Target Diperbolehkan
1995/1996 194 337.78
Tidak teramati
76 923.75
1 811.13
83
Gambar 11 Peta kualitas air DAS Babon. Berdasarkan pada Surat Keputusan Walikota Semarang No.660.2992/1994 tentang peruntukan Sungai Babon, bahwa ruas Sungai Babon bagian hilir adalah untuk perikanan (golongan B atau kelas 2), yang menyatakan bahwa nilai ambang
84 batas untuk kadar Cr = 0.0 – 0.05 ppm dan Pb = 0.0 – 0.03 ppm, sementara hasil penelitian Kartikasari (2002) di muara Sungai Babon terdapat kandungan Cr = 58.6 – 96.4 ppm dan Pb = 23 – 24.5 ppm. Dengan demikian kualitas air Sungai Babon masih sangat jelek untuk perikanan. Pada umumnya kualitas air Sungai Babon mempunyai pH antara 7.3 – 8.1 (termasuk netral), tetapi nilai oksigen terlarut dalam air (dissolved oxygen) ada yang masih di bawah angka netral untuk hidup biota air (sekitar 5-6 ppm) dan yang paling rendah mencapai 1.4 ppm yaitu di Banjir Kanal Timur dan muara Sungai Babon. Nilai BOD, COD masih aman untuk berbagai peruntukan, hanya kadar bakteri Coliform ada yang mencapai 460 MPN/100 ml yaitu didekat permukiman padat di Jatingaleh. 4.2.3.5. Cekungan Air Tanah Air tanah di Kota Semarang terdapat pada 2 (dua) lapisan pembawa air (aquifer), yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal (unconfined aquifer), dan air tanah dalam atau air tanah tertekan (confined aquifer). Keberadaan kedua lapisan pembawa air tanah tersebut berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air adalah cekungan air tanah (CAT). Berdasarkan pasal 1 ayat 12 CAT adalah: suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Air tanah Kota Semarang berdasarkan Permen ESDM No. 13 Tahun 2009 berada pada CAT Semarang – Demak, dan CAT Ungaran. Untuk jenis air tanah pertama yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air (aquifer), dimana bagian atasnya tidak tertutup oleh lapisan kedap air, tetapi bagian bawahnya dilapisi oleh lapisan tanah yang kedap air, sehingga permukaan air tanah bebas (muka air tanah) ini sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Penduduk Kota Semarang yang berada di dataran rendah, banyak memanfaatkan air tanah ini dengan membuat sumur-sumur gali (dangkal) dengan kedalaman rata-rata 3 - 18 m. Sedangkan untuk peduduk di dataran tinggi hanya dapat memanfaatkan sumur gali pada musim penghujan dengan kedalaman berkisar antara 20 - 40 m.
85
Kedudukan muka air tanah dangkal (bebas) di Kota Semarang bervariasi antara 0 meter sampai 20 meter di bawah muka laut, ke arah Utara atau ke arah laut kedudukan muka air tanahnya makin dalam yaitu ± 20 meter, dan makin ke arah atas atau daerah perbukitan muka air tanah (mat) makin tinggi. Untuk lebih jelasnya kedudukan muka air tanah dangkal (bebas) disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Kedudukan DAS Babon terhadap CAT Semarang, Demak, dan Ungaran. Air tanah tertekan adalah air yang terkandung di dalam suatu lapisan pembawa air yang berada diantara 2 lapisan batuan kedap air, sehingga debitnya hampir selalu tetap. Disamping itu, kualitasnya juga memenuhi syarat sebagai air bersih. Debit air tanah dalam (tertekan) ini sedikit sekali dipengaruhi oleh musim dan keadaan di sekelilingnya. Untuk daerah Semarang bawah lapisan aquifer di dapat dari endapan alluvial dan delta Sungai Garang. Kedalaman lapisan aquifer ini berkisar antara 50 - 90 meter, terletak di ujung Timur Laut Kota dan pada mulut Sungai Garang lama yang terletak di pertemuan antara lembah Sungai
86
Garang dengan dataran pantai. Kelompok aquifer delta Garang ini disebut pula kelompok aquifer utama karena merupakan sumber air tanah yang potensial dan bersifat tawar. Untuk daerah Semarang yang berbatasan dengan kaki perbukitan terdapat air tanah artesis yang terletak pada endapan pasir dan konglomerat formasi damar yang mulai diketemukan pada kedalaman antara 50 - 90 m. Pada daerah perbukitan kondisi artesis masih mungkin ditemukan karena adanya formasi damar yang permeable dan sering mengandung sisipan-sisipan batuan lanau atau batu lempung. Pengambilan air tanah baik air tanah bebas maupun air tanah tertekan/dalam di Kota Semarang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengambilan air diakibatkan oleh: 1. Bagi penduduk: PDAM Tirta Moedal tidak mampu melayani kebutuhan air minum penduduk. Jangkauan pelayanan PDAM hanya mampu melayani 56.1% 2. Bagi industri: a. Pajak pengambilan air tanah dalam lebih murah dibandingkan dengan tarif PDAM (SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003) yaitu sebesar Rp 161/m3. b. Monitoring dari pihak yang berwajib (Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah) kurang ketat. Terbukti dengan inkonsistensi data tentang pengguna air tanah dari industri maupun hotel per bulan. Berdasarkan fenomena tersebut, maka jumlah sumur bor dalam dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada periode tahun 1996 jumlah sumur bor sebanyak 230 buah, dan meningkat cukup tajam pada tahun 2003, jumlah sumur bor mencapai 540 buah dengan volume pengambilan mencapai 15.31 x 106 m3/tahun, dan terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2005 yaitu sebesar 8 315 sumur bor. Namun jumlah pengambilan air tanahnya malah turun yaitu 8.5 x 106 m3/tahun. Setelah periode tersebut yaitu mulai periode tahun 2006 hingga tahun 2008, tercatat pada tahun 2008 jumlah sumur dalam sebanyak 544 buah dan volume pengambilan sebesar 9.6 x 106 m3/tahun. Perkembangan jumlah sumur dan pengambilan air tanah di Kota Semarang disajikan dalam Tabel 19 dan Gambar 13.
87
Tabel 19 Perkembangan jumlah sumur dan volume pengambilan di Kota Semarang No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1996 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Sumur 230 543 3 111 8 315 5 409 449 544
Volume yang Diambil (m3) 15 310 000 6 198 635 8 539 940 12 115 193 7 137 555 9 617 198
NPA (Rp) 6 670 280 595 24 022 100 840 22 951 798 869 17 753 863 855 26 412 586 708
Sumber: Dinas ESDM Jawa Tengah, 2009
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2003
2004
2005
Volume Yang Diambil (1000 m³/th)
2006
2007
2008
Jumlah Sumur (unit)
Gambar 13 Grafik volume pengambilan air tanah dengan jumlah sumur. Pengambilan air tanah yang terus meningkat tanpa memperhatikan aspek daya dukungnya dalam hal ini adalah safe yield nya, maka akan mengakibatkan resiko lingkungan yaitu penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah dapat terjadi karena pengambilan air tanah yang jauh melebihi kapasitas akuifernya, maka terjadilah penurunan muka air tanah yang mencapai 15 hingga 22 m dbpts (1996). Penurunan muka air tanah akan menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada tanah, dan apabila besarnya tegangan efektif melampaui tegangan yang diterima tanah sebelumnya maka tanah akan mengalami konsolidasi dan kompaksi yang mengakibatkan amblesan tanah pada daerah konsolidasi normal. Amblesan
88
tanah yang terjadi di dataran pantai Semarang diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (a) penurunan muka air tanah akibat pemompaan dan (b) peningkatan beban karena pengurugan tanah. Penimbunan tanah urug untuk reklamasi daerah pantai di daerah penelitian dimulai pada tahun 1980, yaitu meliputi kompleks PRPP, Tanah Mas, Bandarharjo, Pelabuhan Tanjung Mas dan Tambaklorog yang diikuti oleh daerah- daerah lainnya secara tersebar pada tahun 1996. Ketebalan timbunan tanah tersebut berkisar antara 1-5 m, dan diikuti pembangunan perkantoran atau kompleks perumahan. Daerah-daerah yang mengalami penurunan muka air tanah disajikan dalam Gambar 14.
Sumber: Direktorat Tata Lingkungan Geologi Kawasan Pertambangan, Departemen ESDM, 2004
Gambar 14 Laju penurunan permukaan tanah Kota Semarang periode 2001- 2003. 4.2.4. Geologi dan Geomorfologi
Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh Pannekoek (1949), secara umum geomorfologi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu: zona utara, tengah, dan selatan. Jika ditinjau dari konsepsi tersebut, maka DAS Babon termasuk dalam zona utara dan tengah dari Pulau Jawa, yang dimulai dari gisik (beach) dan dataran aluvial pesisir (coastal alluvial plain) bagian Utara ke arah Selatan meliputi perbukitan struktural lipatan (folded hills) hingga deretan perbukitan-pegunungan bergunung api (volcanic) di bagian selatan wilayah studi yang merupakan bagian dari zona tengah Pulau Jawa.
89
Menurut Peta Geologi lembar Semarang skala 1:100.000 tahun 1989 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, maka secara geologis wilayah studi dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok atau satuan, yaitu: a.
Bagian Utara (DAS Babon Hilir) dan tengah (DAS Babon Tengah) wilayah studi merupakan dataran aluvial pantai Semarang dan Demak serta dataran aluvial yang tersusun oleh material endapan cekungan berupa lempung dan pasiran yang terbentuk zaman Holosen dan Pleistosen Bawah.
b.
Bagian Selatan wilayah studi (DAS Babon Hulu) berupa deretan perbukitan hingga pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) Perbukitan rendah struktural lipatan yang merupakan bagian dari ujung-ujung Barat Perbukitan Kendeng, tersusun oleh material batugamping dengan sisipan lempung tufaan dan konglomerat yang terbentuk sejak zaman Pleistosen Bawah; (2) Bukit-bukit sisa dan perbukitan denudasional di bagian hulu DAS Babon tersusun oleh material sedimen berupa batu pasir tufaan, konglomerat dan breksi tufaan yang terbentuk pada zaman Pliosen, serta di beberapa tempat dijumpai pula singkapan batuan dari Formasi Damar; dan (3) Deretan pegunungan volkanik bagian dari Gunung Api Ungaran, yang tersusun oleh material piroklastik berupa aliran lahar, pasir, kerikil, dan kerakal. Secara geomorfologis, keseluruhan wilayah studi terdiri atas 9 (sembilan)
satuan bentuk lahan (landform) yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian DAS yang terdiri atas: a.
DAS Babon Hilir, meliputi: dataran pasang-surut, dataran aluvial dan tanggul alam.
b.
DAS Babon Tengah, meliputi: satuan bentuk lahan dataran aluvial bekas rawa dan ledok antar perbukitan.
c.
DAS Babon Hulu, meliputi: deretan perbukitan-pegunungan volkanik terdenudasi, dan igir-igir struktural lipatan Formasi Kendeng (hogback). Satuan dataran pasang surut (tidal flat) merupakan dataran pantai yang
masih dipengaruhi oleh aktivitas pasang tertinggi dan surut terendah air laut. Satuan ini terdapat di bagian paling bawah di sekitar muara-muara sungai dengan
90
kemiringan lereng 0-3%, tersusun oleh material sedimen lempung (darat) dan pasir halus (fluvio-marine). Material penyusun yang berukuran halus (berlumpur) dan sering tergenang air laut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mangrove, seperti Rhyzopora sp. (bakau) dan Avicennia sp. (api-api), sehingga satuan ini lebih spesifik disebut sebagai rawa garaman (salt marsh). Sebagian besar muara-muara sungai tertutup oleh sedimentasi dari darat (lumpur) dan lebih diperparah lagi (khususnya di muara Banjir Kanal Timur) oleh bertumpuknya sampah-sampah domestik, sehingga terjadi penyempitan muara sungai. Akibat penyempitan muara dan debit aliran mengecil (khususnya di musim kemarau), menyebabkan intrusi air laut melalui permukaan jauh ke dalam, dan proses erosi pantai di sekitar muara banyak terjadi. Satuan yang terdapat di kanan-kiri aliran Sungai Babon dan sering mengalami penggenangan adalah satuan dataran banjir (flood plain), yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan tambak. Pada beberapa tempat yang lebih tinggi akibat penimbunan sedimen sungai secara alami dan dimanfaatkan sebagai lahan permukiman penduduk disebut sebagai tanggul alam (levee). Kedua satuan ini mempunyai penyebaran yang sempit, dan tersusun oleh perselingan material antara lempung, pasir, dan kerikil. Dua satuan bentuk lahan yang terdapat di bagian tengah DAS Babon adalah satuan dataran aluvial bekas rawa (swamp-alluvial plain) dan cekungan antar perbukitan (intermountain basin). Ditinjau dari aspek morfologi, kedua satuan ini mempunyai kenampakan sama, yaitu berupa dataran dengan lereng datar (0-3%) membentuk suatu cekungan. Perbedaan keduanya terletak pada genesis dan material penyusunnya. Dataran aluvial bekas rawa merupakan dataran aluvial yang terbentuk akibat sedimentasi secara intensif pada daerah yang dulunya berupa rawa-rawa, dengan material penyusun lebih didominasi oleh lempung rawa, sedikit pasir hasil sedimentasi sungai yang mengalir melalui rawa tersebut, dan masih banyak dijumpai cangkang siput rawa, serta pada beberapa tempat juga dijumpai lapisan lempung laut abu-abu (yang diperkirakan bagian dari Formasi Kalibeng, zona lipatan sinklinorium Kendeng). Satuan ini terdapat di daerah Rawasari, bagian tengah Sungai Pengkol ke arah Timur, dan banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian subur. Sementara satuan cekungan antar perbukitan
91
berupa suatu dataran aluvial yang dikelilingi oleh jajaran perbukitan-pegunungan volkanik di bagian Barat wilayah studi. Satuan ini tersusun oleh material lempung-berpasir hasil sedimentasi fluvial dari sungai-sungai yang berhulu di puncak-puncak gunung di sekitarnya. Satuan ini merupakan konsentrasi air permukaan dan air tanah dengan permeabilitas material yang baik, sehingga termasuk dalam tipe akuifer yang baik pula. Satuan ini terdapat di sekitar daerah Srondol dan Ngembak, yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian irigasi dan permukiman. Dua satuan lain berupa deretan perbukitan-pegunungan volkanik dan igirigir struktural lipatan terdapat di DAS Babon bagian hulu. Satuan-satuan ini pada umumnya mempunyai lereng miring (8-15%) hingga curam (15-30%), dan hanya pada igir-igir pegunungan saja yang mempunyai lereng sangat curam (30-45%), yang mempunyai luasan yang relatif sempit dan lokal-lokal. Pada satuan perbukitan rendah dan bukit-bukit sisa di bagian tengah, banyak terjadi proses erosi alur (riil erosion) dan erosi parit (gully erosion), akibat banyak lahan yang gundul dengan lapisan tanah tipis, serta pada lereng-lereng yang curam telah banyak dijumpai singkapan batuan (outcrop). Lahan-lahan gundul dengan lereng 15-30% terjadi akibat konversi lahan yang seharusnya sebagai kawasan penyangga dan daerah tangkapan hujan diubah ke lahan-lahan permukiman mewah (real estate) dan pusat-pusat pelayanan fasilitas, seperti yang terdapat di sekitar Bukit Gombel (Jatingaleh dan Ngesrep), dan di sekitar Meteseh dan kawasan Universitas Diponegoro. Permasalahan alih fungsi lahan inilah yang berpotensi menciptakan erosi dan longsor lahan di daerah perbukitan, serta sedimentasi dan penyempitan aliran-aliran sungai di bagian muara di seluruh DAS Babon. Sementara pada satuan perbukitan-pegunungan volkanik di bagian selatan dan igir-igir struktural lipatan (hogback) dengan lereng >30% pada umumnya masih banyak dimanfaatkan sebagai kawasan hutan, baik berfungsi lindung maupun penyangga. Alih fungsi lahan ke peruntukan lainnya belum nampak terjadi di satuan ini, dan anya pada beberapa tempat dengan lereng curam, seperti di belokan jalan yang memotong dinding tebing dan pada tebing-tebing sungai, masih dijumpai adanya proses longsor lahan (landslide) khususnya pada saat musim penghujan. Satuan-satuan ini umumnya tersusun oleh material batupasir
92
tufaan, konglomerat, dan breksi tufaan, kecuali pada igir struktural lipatan yang tersusun oleh batu gamping dengan sisipan lempung dan berselang-seling dengan batupasir tufaan dan konglomerat.
Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 15 Peta geologi DAS Babon.
93
4.2.5. Kondisi dan Permasalahan Lingkungan 4.2.5.1. DAS Babon Bagian Hulu Wilayah DAS babon Hulu secara hidrologis meliputi Sub DAS Gung dan Sub DAS Pengkol yang luasnya mencapai hampir 50% dari luas total DAS Babon, oleh karena itu kawasan hulu ini perlu mendapatkan prioritas penanganan dari berbagai aspek lingkungan. Bagian hulu DAS Babon secara geomorfologis termasuk ke dalam wilayah yang tingkat bahaya erosinya berat hingga sangat berat. Hal ini sesuai dengan peta yang dihasilkan oleh Departemen Kehutanan (Pola RLKT DAS Babon 1991). Untuk wilayah Sub DAS Gung yang wilayahnya meliputi Kabupaten Semarang, Kota Semarang bagian Selatan (Desa Banyumanik, Kramas, Pudakpayung, Pedalangan, Kedawangan, dan Jabungan). Menurut perkiraan BRLKT (1991) tingkat erosi yang paling berat mencapai angka di atas 500 ton/ha/tahun atau sekitar 15 mm/tahun yaitu pada kawasan hutan rakyat berupa tegalan, pada kemiringan lereng klas IV (15-40%) bentuk wilayah perbukitan dan sebagian besar jenis tanahnya regosol dengan ketebalan solum tanah sekitar 75 cm. Menurut hasil penelitian sebagian besar Sub DAS Gung didominasi oleh satuan lahan D IV Re Tg (perbukitan denudasional, lereng 15-30%, jenis tanah regosol dan penggunaan lahan tegalan) yang menurut Peta Tingkat Bahaya Erosi termasuk sangat berat (SB). Untuk wilayah Sub DAS Pengkol hampir mirip dengan kondisi Sub DAS Gung, perbedaannya terletak pada jenis tanahnya yang sebagian besar didominasi tanah latosol, dan sedikit tanah regosol di bagian hilirnya. Satuan lahan didominasi oleh perbukitan denudasional, kemiringan lereng klas II dan III (antara 3-8% dan 8-15%). Perkiraan tingkat bahaya erosi bervariasi dari ringan, berat, hingga sangat berat. Tingkat bahaya erosi sangat berat terutama terjadi pada kawasan hutan rakyat atau tegalan, pada lereng klas III dengan perkiraan erosi mencapai angka 500 ton/ha/tahun atau sekitar 15 mm/tahun. Tekanan penduduk terhadap lahan juga sangat tinggi terutama pada Desa-desa Banyumanik, Kramas, dan Srondol. Besarnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian ini telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Salah satu indikator menurunnya daya dukung lingkungan antara lain meningkatnya laju erosi tanah,
94
wilayahnya rentan terhadap kekeringan (beberapa mata air telah menyusut debitnya sangat tajam terutama pada musim kemarau), dan berkembangnya erosi lembar menjadi erosi parit, bahkan kemungkinan dapat berkembang menjadi erosi jurang (gulley erosion).
Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 16 Peta jenis tanah DAS Babon. Selain itu, proses perubahan (konversi) penggunaan lahan dari tegalan/lahan kering menjadi kawasan permukiman elit di kawasan Srondol, Banyumanik, dan
95
sekitarnya telah menyebabkan menurunnya biodiversitas baik jenis flora/vegetasi dan fauna daratnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan biodiversitas akibat hilangnya habitat satwa darat, burung, dan sebagainya. Meningkatnya kawasan terbangun di daerah hulu menyebabkan pula menurunnya kawasan (fungsi) resapan air hujan, sehingga meningkat pula koefisien aliran (direct run off). Gejala ini dapat dilihat pada kenampakan-kenampakan berkembangnya erosi permukaan di lahan-lahan tegalan, kebun campuran, dan lahan kosong yang tidak terpelihara (terlantar). 4.2.5.2. DAS Babon Bagian Tengah Bagian tengah dari DAS Babon adalah Sub DAS Pengkol yang luasnya sekitar 3 438 hektar. Sebagian besar bentuk penggunaan tanahnya berupa lahan tegalan, permukiman, dan lahan terbuka dengan vegetasi yang jarang; sedangkan pada lahan pekarangan, perkebunan, dan hutan rakyat relatif masih baik penutupan lahannya. Berdasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa Sub DAS Pengkol ini merupakan salah satu penyumbang sedimen yang terbesar. Hasil perkiraan Departemen Kehutanan Tahun 1991 menunjukkan bahwa Sub DAS Pengkol memiliki potensi erosi mencapai ± 911 379.42 ton/tahun atau 265 ton/ha/tahun (22 mm/tahun tanah yang hilang), jauh lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Gung yang mencapai sekitar ± 630 ton/tahun (149.77 ton/ha/tahun atau sekitar 12 mm/tahun), dan Sub DAS Babon hilir sebesar ± 118 ton/tahun (17.59 ton/ha/tahun atau sekitar 1.47 mm/tahun). Bila dibandingkan dengan Sub DAS Gung, maka Sub DAS Pengkol mempunyai tekanan penduduk yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai angka 3055, artinya dalam luas wilayah 1 hektar harus mampu menopang sekitar 30-55 jiwa. Pola ini mengalami peningkatan yang sangat tinggi, karena pada tahun 1991 BRLKT Departemen Kehutanan justru menadapatkan nilai tekanan penduduk tinggi, sekitar 30 di Sub DAS Babon Hilir. Hal ini berarti ada perkembangan permukinan yang sangat cepat di daerah Sub DAS Pengkol atau DAS Babon Tengah. Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat menonjol antara lain terjadinya alih fungsi lahan dari tegalan menjadi lahan terbangun untuk kawasan permukiman, terutama pada lereng-lereng perbukitan antara 8-15% bahkan di
96
beberapa tempat pada lereng sekitar 25%. Akibat dari tidak terkendalinya lahan permukiman tersebut sangat dikhawatirkan terjadi kerusakan fungsi kawasan resapan air bagi Kota Semarang di bagian hilirnya. Erosi tebing sungai dan meningkatnya sedimentasi pada Sungai Pengkol turut menyumbang proses banjir yang terjadi di Kota Semarang.
Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 17 Tingkat bahaya erosi DAS Babon.
97
Penggunaan lahan tegalan juga sangat dominan pada kawasan tengah DAS Babon ini. Tegalan termasuk kebun campuran sebenarnya merupakan lahan yang subur yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lahan produktif. Namun kenyataannya masih banyak lahan serupa yang terlantar dan kondisinya kurang terpelihara. Di lereng perbukitan Semarang Selatan misalnya pada hulu Sungai Penggung pepohonan di lahan tegalan sangat jarang dan bahkan terlihat gundul karena dipenuhi semak-semak dan rerumputan. 4.2.5.3. DAS Babon Bagian Hilir Berbeda dengan Sub DAS Pengkol maupun Sub DAS Gung yang berada di wilayah DAS Babon hulu, maka Sub DAS Babon hilir hampir seluruhnya terletak pada zone dataran fluvial (F), dan dataran aluvial marin (Fm) pada lereng datar hingga landai (kemiringan lahan 0-3%). Jenis tanah yang dominan adalah latosol di bagian atas dan tanah aluvial di bagian hilirnya. Sebagian besar mencakup wilayah Kota Semarang dan sedikit Kabupaten Demak di wilayah Kecamatan Sayung. Masalah utama yang sejak dahulu terjadi di wilayah hilir ini antara lain masalah-masalah lingkungan seperti: (1) Pencemaran air sungai baik oleh limbah domestik, limbah industri, maupun limbah pabrik skala “home industry”, (2) Pendangkalan atau sedimentasi pada Sungai Babon yang menyebabkan aliran air sungai tidak lancar dan menimbulkan banjir, dan (3) Gangguan sampah yang dibuang di sepanjang Kali Banjir Kanal Timur terutama pada daerah permukiman padat di perkotaan Semarang dan wilayah dekat muara Kali Banjir Kanal Timur. Berdasarkan topografi, DAS Babon memiliki ketinggian bervariasi, mulai dari dataran rendah di bagian Utara yang merupakan muara DAS di wilayah Kecamatan Genuk dan dataran tinggi atau pegunungan di sebelah Selatan di wilayah Kecamatan Ungaran. Ketinggian DAS Babon di daerah muara sekitar 2 meter dari permukaan laut di bagian Utara, dan mencapai ketinggian 382 meter di sebelah Selatan di wilayah Kecamatan Ungaran. Dataran rendah tersebut merupakan daerah lahan permukiman penduduk, pertanian dan tambak, sedangkan dataran tinggi sendiri merupakan kawasan hutan dan pegunungan kecil. Kondisi kemiringan lahan di DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 18.
98
Tabel 20 Luasan kemiringan lereng DAS Babon No 1. 2. 3. 4.
Kemiringan Datar (0 - 3%) Landai (3 - 8%) Agak miring (8 - 15%) Miring (15 - 30%) Jumlah
Lereng Luas (ha) 11 917.79 2 179.15 1 474.41 3 213.37 18 784.71
Proporsi (%) 63.44 11.60 7.84 17.10 100.00
Sumber: BPDAS Pemali-Jratun, 2009
Sumber: BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 18 Peta kemiringan lereng DAS Babon
99
4.3. Kependudukan dan Sosial Ekonomi 4.3.1. Jumlah Penduduk Aspek kependudukan yang perlu diperhatikan antara lain menyangkut jumlah penduduk. Jumlah penduduk pada suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk terhadap kelestarian sumberdaya lahan. Data yang digunakan adalah data Potensi Desa (Podes) Tahun 2008 yang diperoleh dari BP DAS Pemali-Jratun, Departemen Kehutanan. Dari jumlah penduduk pada setiap desa selanjutnya diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu kelas I (desa dengan jumlah penduduk tinggi), kelas II (desa dengan jumlah penduduk sedang), dan kelas III (desa dengan jumlah penduduk rendah). Secara keseluruhan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di wilayah DAS Babon mencapai 1 219 382 jiwa yang tersebar di 82 desa. Dari data Podes 2008, diketahui bahwa ada 21 desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi yaitu di atas 10 000 jiwa, dimana jumlah penduduk terbanyak berada di Desa Tlogosari Kulon, Kecamatan Gayamsari. Desa yang termasuk pada klasifikasi rendah memiliki jumlah penduduk kurang dari 4.000 jiwa seperti Desa Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur sebagai desa berpenduduk rendah yaitu sebesar 254 jiwa. 4.3.2. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah merupakan cerminan besarnya tekanan penduduk terhadap lahan, semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Kepadatan penduduk tertinggi di wilayah DAS Babon mencapai 184 jiwa/ha yaitu pada Desa Lamper Lor. Desa yang memiliki kepadatan penduduk paling rendah adalah Desa Terboyo Kulon yang hanya memiliki kepadatan penduduk sebesar 2 jiwa/ha. Hasil perhitungan data diketahui bahwa ada 26 desa yang memiliki kepadatan penduduk yang termasuk dalam kategori tinggi dengan kepadatan penduduk di atas 83 jiwa/ha. Desa-desa dengan kepadatan rendah, hanya dihuni oleh kurang dari 32 jiwa/ha. Dalam rangka pengelolaan DAS, perlu adanya perhatian khusus pada 26 desa tersebut di mana di daerah itu terjadi tekanan penduduk yang lebih besar terhadap lahan. Aktivitas manusia yang membutuhkan lahan bukan tidak mungkin akan mengganggu
100
keseimbangan ekosistem DAS. Distribusi penduduk DAS Babon dapat dilihat pada Gambar 19 dan Tabel 21.
Sumber: Studi Kualitas Air oleh GTZ
Gambar 19 Peta distribusi penduduk di DAS Babon.
101
Tabel 21 Distribusi penduduk di DAS Babon No
Sub DAS Bb 01
2 3
Bb 02 Bb 03
4
Bb 04
5
Bb 05
6
Bb 06
7
Bb 07
8
Bb 08
9
Bb 09
10
Bb 10
11
Bb 11
12
Bb 12
Luas (Km2)
Kab/ Kota
Pemanfaatan
Klepu Ungaran Ungaran Ungaran Banyumanik Banyumanik Tembalang Ungaran Mranggen Tembalang Banyumanik Ungaran Mranggen Tembalang Banyumanik Semarang U Pedurungan Mranggen Pedurungan Genuk Sayung Pedurungan Genuk Genuk Sayung Genuk Sayung Genuk
0.861 12.419 14.49 5.174 2.031 9.69 12.49 9.94 0.64 13.91 6.40 3.81 0.961 10.56 3.79 2.052 1.49 10.13 4.6 3.09 2.33 6.43 5.526 9.601 0.091 6.549 0.607 10.915
Kab. Semarang Kab. Semarang Kab. Semarang Kab. Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kota Semarang Kab. Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang
Kebun Kebun Belukar Belukar Pemukiman Permukiman Permukiman Permukiman Persawahan/irigasi Kota Semarang Kota Semarang Belukar Persawahan/irigasi Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Persawahan/irigasi Permukiman Permukiman Permukiman Persawahan/irigasi Permukiman Persawahan/irigasi Permukiman
Penduduk Kota Semarang 10 938
Penduduk Kabupaten Semarang
Penduduk Kebupaten Demak
7 861 11 094 49 692 5 550 71 596
71 067
409 750
60 590 30 240 11 732 252 792
101
1
Kecamatan
102
Sub DAS
13
Bb 13
14
Bb 14
Kecamatan
Kab/ Kota
Pemanfaatan
Semarang U Pedurungan Gayamsari Candisari Semarang U Semarang S Gayamsari G Mungkur Tembalang
8.9 6.53 2.31 6.30 4.42 2.18 0.45 0.39 0.018
Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang
Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman
Distribusi Penduduk DAS BABON Tahun 2005
Sumber: Bappedalda Semarang dan GTZ, 2006
Penduduk Kota Semarang
Penduduk Kabupaten Semarang 106 690 107 329
29 893
1 177 028
Penduduk Kebupaten Demak
102
No
Luas (Km2)
103
4.3.3. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk di wilayah DAS Babon di sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan. Namun demikian, pada sebagian besar desa sektor pertanian tidak lagi menjadi sektor yang dominan. Hal itu ditunjukkan dengan rasio rumah tangga tani terhadap jumlah rumah tangga yang menunjukkan angka yang sangat bervariasi dimana terdapat desa yang memiliki rasio lebih dari 50%. Sebagian besar rumah tangganya bergerak di bidang pertanian, namun ada desa yang rasionya 0% atau sama sekali tidak ada yang bergerak di bidang pertanian. Kebanyakan desa yang memiliki rasio rumah tangga tani 0% merupakan desa yang berstatus perkotaan. Desa yang ada pada wilayah perkotaan ini memiliki industri pengolahan sebagai mata pencaharian utama penduduk setempat. Perbedaan jenis mata pencaharian penduduk baik pada desa yang terletak di perdesaan dan di perkotaan, menyebabkan adanya perbedaan kecenderungan penggunaan lahan. Seiring dengan adanya perkembangan wilayah maka terjadi pula pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dan itu berarti terjadi perubahan penggunaan lahan. Aspek penggunaan lahan sangat penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS. Penggunaan lahan yang melebihi kemampuan lahannya mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan industri merupakan kegiatan yang mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap kondisi lingkungan, terutama industri pengolahan. Di wilayah DAS Babon secara keseluruhan terdapat 1 507 industri pengolahan, baik yang berskala besar maupun yang berskala kecil. Jenis industri makanan paling banyak ditemukan pada wilayah DAS Babon, kemudian disusul oleh industri kerajinan dari kain. Jenis industri lainnya seperti kerajinan dari kulit, logam dan keramik kurang berkembang, akan tetapi masih dapat dijumpai di beberapa desa yang memiliki industri kerajinan dari kain, namun jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan dominasi industri pengolahan makanan. Wilayah yang paling banyak terdapat kegiatan industri pengolahan adalah di wilayah Kecamatan Mranggen terutama di Desa Kebonbatur, Batursari, dan Menur. Pengolahan industri yang ada di wilayah Kecamatan Mranggen mencapai 815 unit yang merupakan sumber potensi terjadinya pencemaran lingkungan.
104
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri secara langsung adalah berupa limbah pabrik, kebisingan, dan polusi udara.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Atribut Kritis Pengelolaan Air Baku DAS Babon Penilaian atribut kritis pengelolaan air baku DAS Babon ditetapkan pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: Dimensi Ekologi, Dimensi Ekonomi, dan Dimensi Sosial dengan atribut dan nilai skoring hasil pendapat para pakar seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting DAS. Analisis-atribut kritis dari masing-masing dimensi dapat dijelaskan sebagai berikut.
5.1.1. Atribut Kritis Dimensi Ekologi Atribut yang diprakirakan memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dari dimensi ekologi terdiri atas 9 (sembilan) atribut, yaitu: (1) Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terkahir; (2) Debit air pada musim penghujan selama lima tahun terkahir; (3) Tingkat kekeruhan air; (4) Kadar BOD; (5) Kadar COD; (6) Kandungan logam berat; (7) Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon Semarang; (8) Kondisi daerah resapan air di DAS bagian hulu; dan (9) Tingkat pemanfaatan lahan di sekitar badan sungai Babon. Untuk mengetahui atribut-atribut kritis yang mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekologi tersebut, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh lima (5) atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) Kadar COD; (2) Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terkahir; (3) Kandungan logam berat; (4) Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon Semarang; dan (5) Kadar BOD. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 20.
106 Atribut pengungkit yang perlu segera diperbaiki
Tingkat pemanfaatan lahan disekitar badan sungai
0.99
Kondisi daerah resapan air DAS bagian hulu
1.84
Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS
3.62
Attribute
Kandungan logam berat
3.79
kadar COD
4.47
kadar BOD
3.54
Tingkat kekeruhan air
3.35
Debit air pada musim hujan selama lima tahun terakhir
3.31
Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir
4.11 0
1
2
3
4
5
Atribut Kritis dari Aspek Ekologi
Gambar 20 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
5.1.1.1. Kadar COD Chemical oxygen demand (COD) merupakan total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara
biologi
(biodegradable)
maupun
yang
sukar
didegradasi
(non
biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut Kadar COD memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 4.47. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Kadar COD terkait dengan kualitas air sungai di DAS Babon telah ”jauh di atas ambang batas”, dimana rata-rata besaran konsentrasi beban pencemar (kadar COD) yang masuk ke Sungai Babon adalah sebesar 426 143.71 kg/tahun, sedangkan besaran konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) adalah sebesar 167 167.5 kg/tahun (Bappedalda Semarang 1996/1997). Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Bappedalda Semarang pada tahun 2005 terhadap 14 (empat belas) titik sampel menunjukkan bahwa sebagian besar
107
nilai COD melebihi ambang batas yang diijinkan. Tingginya nilai COD berasal dari buangan limbah cair industri dan rumah tangga mengandung berbagai senyawa yang sulit terurai sehingga akan menyebabkan nilai COD lebih tinggi dari BOD (Kristanto 2005). Penggunaan desinfektan dalam rumah tangga saat ini cukup banyak digunakan antara lain penggunaan pembersih lantai, sabun mandi, dan sabun cuci yang di dalamnya terdapat desinfektan. Besarnya konsentrasi beban pencemar (polutan COD) yang masuk ke Sungai Babon sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri yang terdapat di wilayah DAS Babon, seperti industri penyamak kulit, tekstil, pulp, kertas, serta cold and storage yang merupakan sumber potensi sebagai pencemaran di Sungai Babon. Selain kondisi tersebut, peruntukan air sungai di wilayah DAS Babon juga dipengaruhi oleh aktivitas kegiatan penduduk seperti (MCK), pertanian (penggunaan pupuk/pestisida/insektisida), penambangan, perikanan, dan industri. 5.1.1.2. Debit Air pada Musim Kemarau Selama Lima Tahun Terkahir Debit air sungai adalah, tinggi permukaan air sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan pengertian yang lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Debit air merupakan komponen yang penting dalam pengelolaan suatu DAS. Debit air sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Intensitas hujan, (2) Pengundulan hutan, (3) Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian, (4) Intersepsi, dan (5) Evaporasi dan transpirasi. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 4.11. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa debit air badan sungai di DAS Babon telah ” terjadi penurunan lebih dari 50%”. Perubahan fungsi lahan di sekitar DAS babon yang tidak sesuai dengan peruntukannya seperti pembangunan perumahan menyebabkan dampak terhadap fungsi dari ekologi DAS berupa penyempitan lebar sungai dan pendangkalan. Permasalahan yang menonjol di DAS Babon pada musim kemarau adalah debit air. Pada musim kemarau debit sungai mengecil, sehingga akan berdampak pada
108
akumulasi berbagai bahan polutan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas air. Kegiatan pembangunan di dalam DAS akan berdampak pada komponen hidrologi, seperti koefisien aliran permukaan, koefisien regim sungai, nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah (Wibawa 2010). Bangunan rumah, industri, dan kurangnya hutan di sekitar sungai menyebabkan pendangkalan dan menurunnya debit air sungai. Fluktuasi debit juga mengalami peningkatan yang besar, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau merupakan bukti rusaknya kondisi wilayah hulu seperti yang terjadi pada DAS Citarum (Tampubolon 2007). 5.1.1.3. Kandungan Logam Berat Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Dampak logam berat secara langsung sangat merugikan organisme perairan dan secara tidak langsung berbahaya terhadap kesehatan masyarakat. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut kandungan logam berat memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 3.79. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pencemaran dan atau kandungan terhadap kualitas air badan sungai di DAS Babon telah ” jauh di atas ambang batas”, dimana rata-rata besaran konsentrasi beban pencemar (kandungan logam berat) yang masuk ke Sungai Babon adalah berkisar antara 448.32 - 63 874.46 kg/tahun, sedangkan besaran konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) adalah berkisar antara 20.195 - 3 001.25 kg/tahun (Bappedalda Semarang, Tahun 1996/1997). Besarnya kandungan logam berat yang masuk ke Sungai Babon sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri yang terdapat di wilayah DAS Babon, seperti: industri penyamak kulit, tekstil, pulp dan kertas, serta cold and storage yang merupakan sumber potensi sebagai pencemaran di Sungai Babon. Aktivitas pertambangan, peleburan, penyulingan minyak, dan penggunaan bahan bakar dapat menimbulkan pencemaran logam berat yang masuk ke lingkungan perairan.
Penggunaan pembasmi hama dan pembuangan limbah
109
pabrik dan rumah tangga yang banyak menggunakan logam dapat pula menyebabkan pencemaran lingkungan. 5.1.1.4. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan DAS Babon Semarang Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di sekitar DAS Babon memberikan pengaruh terhadap perubahan tataguna lahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sistem hidrologi yang ada terkait dengan ketersediaan air di DAS Babon. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut kesesuaian pemanfaatan lahan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 3.62. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kesesuaian pemanfaatan lahan di wilayah Das Babon tidak sesuai. Kondisi lahan di sekitar DAS Babon pada umumnya berupa lahan tegalan atau lahan kering, hutan negara, dan sawah irigasi. Namun demikian seiring dengan bertambahnya waktu dan jumlah penduduk, lahan tersebut banyak beralih fungsi menjadi perumahan, pemukiman, dan industri. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan yang besar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar DAS Babon terutama terhadap perubahan lahan dan konversi hutan di daerah hulu. 5.1.1.5. Kadar BOD BOD sering digunakan untuk menentukan karakteristik zat polutan dalam limbah cair, maka BOD bisa digunakan untuk mengetahui kekuatan suatu pencemar dan secara tidak langsung juga datanya dapat menentukan perkiraan kadar bahan organik yang terdapat pada suatu limbah. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut Kadar BOD memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 3.54. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kadar BOD terkait dengan kualitas air sungai di DAS Babon telah ”jauh di atas ambang batas”, dimana rata-rata besaran konsentrasi beban pencemar (kadar BOD) yang masuk ke Sungai Babon adalah sebesar 140 502.21 kg/tahun, sedangkan besaran konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke
110
Sungai Babon (kg/tahun) adalah sebesar 76 923.75 kg/tahun (Bappedalda Semarang, Tahun 1996/1997). Besarnya konsentrasi beban pencemar (polutan BOD) yang masuk ke Sungai Babon sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri yang terdapat di wilayah DAS Babon, seperti industri penyamak kulit, tekstil, pulp dan kertas, serta cold and storage yang merupakan sumber potensi sebagai pencemaran di Sungai Babon. Selain kondisi tersebut, tingginya nilai BOD diduga berasal dari buangan limbah cair rumah tangga di sepanjang bantaran sungai dan aktivitas pertanian di daerah hulu. 5.1.2. Atribut Kritis Dimensi Ekonomi Atribut yang diprakirakan memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri atas 10 (sepuluh) atribut, yaitu: (1) Biaya produksi pengolahan air minun; (2) Tingkat keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); (3) Tingkat pemenuhan permintaan konsumen; (4) Subsidi yang diterima; (5) Pangsa pasar (demand); (6) Teknologi pengolahan air minum; (7) Tingkat efisiensi pengolahan air minum; (8) Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum; (9) Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan; (10) Transfer cost untuk biaya pengelolaan lingkungan antar stakeholders. Untuk mengetahui kondisi yang mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekonomi tersebut, dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis
leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif
terhadap nilai indeks
keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: (1) Pangsa pasar (demand); (2) Tingkat keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); (3) Subsidi yang diterima; (4) Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum; dan (5) Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 21.
111 Atribut Pengungkit yang perlu segera diperbaiki
Transfer cost untuk biaya pengelolaan lingkungan
0.87
Ketersediaan dana untuk pelestarian lingkungan
1.84
kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air miunum
2.45
Attribute
Tingkat efisiensi pengolahan air minum
0.51
Teknologi pengolahan air minum
1.50 5.74
Permintaan air minum 2.67
Subsidi yang diterima Tingkat pemenuhan permintaan konsumen
0.65
Tingkat keuntungan PDAM Biaya produksi pengolahan air minum
3.14 0.03 0
1
2
3
4
5
6
7
Atribut Kritis dari Aspek Ekonomi
Gambar 21 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). 5.1.2.1. Pangsa Pasar Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut
pangsa
pasar
memberikan
pengaruh
signifikan
terhadap
status
keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 5.74. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pangsa pasar terkait dengan jumlah pelanggan (konsumen) dan atau tingkat permintaan (demand) air di wilayah DAS Babon masuk dalam peringkat ”besar”. Kondisi tersebut dapat dilihat dari jumlah pelanggan sebanyak 136 634 sambungan rumah dengan tingkat cakupan pelayanan 55.46%, dan dalam sehari air dapat mengalir mencapai 160 099 m3. Angka itu sebenarnya melebihi kebutuhan warga kota yang mencapai 117 083 m3 per harinya. Sedangkan jumlah pelanggan layanan swasta, seperti sektor usaha yang meliputi hotel dan industri mencapai 80%. Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aspek pangsa pasar. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa para pelanggan sering mengeluhkan pelayanan PDAM yang kurang profesional misalnya air selalu macet, air kotor, pipa sering bocor tidak segera diperbaiki sehingga sering macet, air sering mati, air sering tidak mengalir dan sistem yang buruk dalam pengelolaan air.
112
5.1.2.2. Tingkat Keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum Secara umum PDAM berbeda dengan perusahaan swasta murni yang selalu berorientasi pada keuntungan. Namun demikian dalam menjalankan fungsinya PDAM harus mampu membiayai sendiri dan harus berusaha mengembangkan tingkat pelayanannya disamping mampu memberikan sumbangan pembangunan kepada Pemda. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut tingkat keuntungan perusahaan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 3.14. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tingkat keuntungan perusahaan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih telah ”jauh di atas titik impas”. Kondisi tingkat keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dilihat dari Jumlah pemakaian air melalui PDAM Kota Semarang dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2008, yaitu sebesar 7.17% atau sebanyak 8 484 pelanggan dari jumlah keseluruhan pelanggan yang ada sebanyak 126 749 dengan nilai penjualan air sebesar Rp 78 270 539 090,- pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 100 171 115 760,- pada tahun 2008, atau sebesar 27.98% (BPS Kota Semarang 2009). Mengingat tidak adanya subsidi, dan beban produksi yang sangat besar serta kewajiban membayar hutang menyebabkan keuntungan yang diperoleh menjadi lebih kecil sehingga sumbangan PAD tidak signifikan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Subsidi yang diterima perusahaan terkait dengan usaha kondisi tersebut di atas disebabkan biaya produksi yang terus mengalami kenaikan setiap tahun. Setiap bulan PDAM selalu mendistribusikan air sebesar 708 900 m3 (10.57%) atau Rp 815 juta dari biaya produksi langsung kepada berbagai institusi sosial dan umum. Selanjutnya tingkat kebocoran setiap bulan mencapai 46-49% atau Rp 3.3 miliar – Rp 3.5 miliar. Dengan demikian subsidi yang ditanggung PDAM Kota Semarang setiap bulan 43%. Beban tersebut sangat membebani keuangan PDAM sehingga menyebabkan pemanfaatan sumber air baku bersih ”sangat tinggi” PDAM terus merugi (Radar Semarang 2010).
113
5.1.2.3. Subsidi yang Diterima Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut subsidi yang diterima perusahaan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 2.67. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa subsidi yang diterima perusahaan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih ”sangat tinggi”. Kondisi tersebut di atas disebabkan biaya produksi yang terus mengalami kenaikan setiap tahun. Setiap bulan PDAM selalu mendistribusikan air sebesar 708 900 m3 (10.57%) atau Rp 815 juta dari biaya produksi langsung kepada berbagai institusi sosial dan umum. Selanjutnya tingkat kebocoran setiap bulan mencapai 46-49% atau Rp 3.3 milyar – Rp 3.5 milyar. Dengan demikian subsidi yang ditanggung PDAM Kota Semarang setiap bulan 43%. Beban tersebut sangat membebani keuangan PDAM sehingga menyebabkan PDAM terus merugi (Radar Semarang 2010). 5.1.2.4. Kebutuhan Modal untuk Pengembangan Perusahaan Air Minum Modal adalah sebagai hasil produksi yang digunakan untuk memproduksi lebih lanjut. Modal biasanya menunjuk kepada kekayaan finansial, terutama dalam penggunaan awal atau menjaga kelanjutan bisnis. Kebutuhan modal dalam pengembangan usaha perusahaan air minum mutlak dibutuhkan. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 2.45. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”tersedia”. Kebutuhan modal menjalankan kegiatan usaha pemanfaatan sumber air baku telah tersedia, akan tetapi yang dibutuhkan saat ini sangat besar yang digunakan untuk analisis laboratorium, perawatan instalasi, bendungan, meter air, dan biaya
114
operasional lainnya. Pencemaran air sungai (sumber air baku) akan meningkatkan kebutuhan bahan kimia, kebutuhan akan peralatan pengolahan (water treatment plant) yang lebih canggih akan menimbulkan biaya yang besar. Kondisi ini akan menaikkan harga jual sehingga menurunkan margin keuntungan dan di sisi lain menurunkan pangsa pasar (market share) konsumen air. Oleh karena itu diperlukan alternatif lain untuk menambah modal guna mengembangkan usaha perusahaan air minum. 5.1.2.5. Ketersediaan Dana untuk Kegiatan Pelestarian Lingkungan Pemasokan air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir, terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan, dan aktivitas masyarakat lainnya diduga sebagai pendorong terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas air sungai sebagai sumber air baku. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk menyelamatkan DAS melalui rehabilitasi dan konservasi terutama di daerah hulu. Untuk melakukan kegiatan tersebut diperlukan suatu dana yang besar dan waktu yang dibutuhkan cukup lama. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 1.84. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”kurang tersedia”. Keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan laju degradasi kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan lingkungan yang selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum memadai sehingga perlu dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa lingkungan (users pay principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan lingkungan merupakan tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders). Pelibatan pengguna jasa lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga, industri, dan pertanian dalam menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah hulu) merupakan alternatif yang sangat konstruktif dalam pembiayaan pengelolaan DAS (Agus et al. 2004).
115
5.1.3. Atribut Kritis Dimensi Sosial Atribut-atribut yang memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial terdiri atas 11 (sebelas) atribut, yaitu: (1) Tingkat keluhan (masyarakat) pelanggan terhadap PDAM; (2) Tingkat
keluhan masyarakat terhadap
ketersediaan air baku; (3) Frekuensi konflik pemanfaatan sumber air baku; (4) Ketersediaan kelompok masyarakat dalam pengelolaan air; (5) Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan; (6) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kebutuhan air minum; (7) Ketersediaan aturan hukum/adat/agama; (8) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan non domestik; (9) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan air minum (domestik); (10) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM; dan (11) Pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA. Untuk mengetahui kondisi yang mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi sosial tersebut, selanjutnya dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: (1) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM; (2) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan non domestik; (3) Pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA; (4) Tingkat keluhan masyarakat terhadap ketersediaan air baku dan (5) Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 22.
116
Atribut Pengungkit yang perlu segera diperbaiki
Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian SDA
0.58 0.32
Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap air baku untuk air minum
0.81
Attribute
0.59 Ketersediaan hukum/adat/agama
0.29 0.08
Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan
0.46 0.29
Frekuensi konflik Pemanfaatan air baku
0.20 0.57
Tingkat keluhan pelanggan terhadap PDAM
0.02
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 Atribut Kritis dari Aspek Sosial
Gambar 22 Peran masing-masing atribut aspek sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
5.1.3.1. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumber Air Minum dari PDAM Kebutuhan ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan tingkat penambahan jumlah penduduk. Air menjadi kebutuhan primer yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, masak, mandi sampai kebutuhan pengolahan industri, sehingga fungsi air tidak hanya terbatas untuk menjalankan fungsi ekonomi saja, namun juga sebagai fungsi sosial. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan
nilai
sebesar
0.46.
Kondisi
tersebut
menggambarkan
bahwa
ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”rendah”. Rendahnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM sangat dipengaruhi oleh jangkauan dan distribusi jumlah penduduk yang ada di wilayah DAS Babon. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM sebagian besar terdapat pada daerah hilir,
117
khususnya penduduk yang bertempat tinggal di kota. Bila melihat dari distribusi kepadatan penduduk, maka persentase jumlah penduduk pada wilayah hulu sebesar 32.53% atau sebesar atau 132 236 jiwa, dimana jangkauan dan atau pelayanan sambungan air bersih PDAM dapat dikatakan tidak terjangkau. Tingkat ketergantungan sumber air bersih dari PDAM untuk wilayah hilir dapat dilihat dari jumlah pelanggan PDAM Kota Semarang, yaitu mencapai 136 634 sambungan rumah dengan tingkat cakupan pelayanan sebesar 55.46%, dan dalam sehari air dapat mengalir mencapai 160 099 m3. Angka itu sebenarnya melebihi kebutuhan warga kota yang mencapai 117 083 m3 per harinya (Wulandari 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan sumber air bersih dari PDAM untuk wilayah hilir, khususnya Kota Semarang sangat tinggi. 5.1.3.2. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumber Air Baku dari DAS Babon untuk Kebutuhan Non Domestik Menurut Bappedal Provinsi Jawa Tengah (2005) tipe tata guna lahan di sekitar DAS Babon terdiri atas sawah, tegalan/lahan kering, hutan negara, dan pemukiman yang meliputi: pemukiman, industri, dan daerah urban. Penggunaan air di DAS Babon selain digunakan untuk air baku PDAM Kota Semarang juga digunakan untuk pengairan/irigasi. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku untuk kebutuhan non domestik memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.81. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku untuk kebutuhan non domestik terkait dengan pemanfaatan sumber air baku air minum adalah ”rendah”. Penggunaan air untuk irigasi berasal dari Bendung Puncang Gading dengan kapasitas 50-800 l/detik dan Bendung Karang Roto dengan kapasitas 100 l/detik. Tingkat ketergantungan masyarakat di sekitar DAS Babon untuk pengairan cukup tinggi. Namun demikian seiring dengan pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan perubahan lahan persawahan menjadi permukiman dan industri yang berakibat pada pencemaran perairan dan terjadinya sedimentasi sehingga menyebabkan tingkat penggunaan air DAS Babon untuk irigasi menjadi lebih kecil.
118
5.1.3.3. Pemahaman dan Keperdulian Masyarakat terhadap Kelestarian Sumberdaya Alam (SDA) Peran DAS Kali Babon terhadap Kota Semarang dan sekitarnya antara lain adalah sebagai sumber air untuk keperluan pertanian, sumber air baku untuk air minum, daerah tangkapan air, dan pengendali banjir. Peran tersebut saat ini terancam oleh mulai menurunnya kualitas DAS Kali Babon akibat kegiatankegiatan penduduk yang cenderung merusak lingkungan DAS Kali Babon. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.58. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih adalah cukup perduli. Pembuangan
limbah
industri
dan
limbah
domestik
menimbulkan
pencemaran air sungai; Kegiatan penggalian bahan galian golongan C yang cenderung merusak badan Kali Babon dan memicu terjadinya tanah longsor; Penebangan pohon-pohon di hulu Kali Babon turut memberikan andil dalam menyumbangkan banjir ke Kota Semarang; dan pengelolaan bantaran sungai atau daerah sempadan sungai yang tidak sesuai dengan ketentuannya dan berbagai aktivitas manusia yang merusak lainnya merupakan gambaran bahwa masih rendahnya tingkat pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA. 5.1.3.4. Tingkat Keluhan Pelanggan Air Minum Sistem pelayanan yang baik terhadap para pelanggan akan memberikan citra produk yang baik yang pada akhirnya sangat mempengaruhi tingkat permintaan atas produk atau jasa yang ditawarkan. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut tingkat keluhan pelanggan air minum memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.02. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tingkat keluhan pelanggan air minum terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”rendah”
119
Air sering macet berhari-hari tanpa pemberitahuan jelas, air kotor, dan keluhan yang “tidak segera ditangani” merupakan fenomena permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan PDAM.
Berdasarkan pada hasil opname di lapang
diperoleh gambaran bahwa rata-rata keluhan pelanggan di antaranya adalah: meteran belum dicatat sehingga tidak ada pedoman yang jelas untuk bayar tagihan rekening air, pipa bocor tidak segera diperbaiki sehingga sering macet, air sering mati, air sering tidak mengalir, dan sistem yang buruk dalam pengelolaan air. Kurang berkualitasnya layanan PDAM pada pelanggan dapat dilihat dari tekanan air yang rendah, aliran tidak kontinyu, tingginya angka kebocoran dalam system perpipaan (unaccounted for water), dan tidak digarapnya pasar potensial (Suhandjaja 2006). 5.1.3.5. Ketergantungan Kelompok Masyarakat terhadap Tokoh Panutan Perwujudkan kearifan lokal masyarakat terhadap lingkungan dapat dialami dalam nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan, pola penataan ruang tradisional, serta peralatan dan teknologi sederhana ramah lingkungan yang diterapkan. Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.46. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih tidak tinggi. Ini menunjukkan tingkat kemandirian mereka cukup tinggi Dari opname di lapang diperoleh gambaran bahwa upaya untuk mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pengelolaan lingkungan di sekitar DAS Babon membutuhkan kesabaran karena proses mengikutsertakan masyarakat secara aktif membutuhkan waktu lama, yang menggunakan metode yang berpusat pada peserta/masyarakat akan menggali penyadaran, pengetahuan dan keterampilan. Ketergantugan masyarakat di sekitar DAS Babon terhadap tokoh masyarakat untuk melakukan pengelolaan lingkungan masih cukup tinggi. Hal tersebut terbukti dengan turut andilnya tokoh masyarakat terkait beberapa kegiatan yang ada di sekitar DAS.
120
5.2. Strategi Peningkatan Pengelolaan Air Baku DAS Babon Strategi pengelolaan air baku DAS Babon dilakukan menggunakan analisis prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu meningkatkan pengelolaan DAS Babon. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan, (2) menentukan
tujuan
strategis
dan
kepentingan
pelaku
utama,
dan
(3)
mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya. Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis diambil dari faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 15 faktor (atribut) yang sensitif dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan selanjutnya dianalisis prospektif. Hasil analisis prospektif diperoleh 5 (lima) faktor kunci seperti tertera pada Tabel 22. Tabel 22 Atribut-atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan air baku DAS Babon No. Faktor Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi (5 Faktor Kunci) 1. Kadar COD. 2. Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir. 3. Kandungan logam berat. 4. Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon . 5. Kadar BOD.
6. 7. 8. 9. 10.
Dimensi Ekonomi (5 Faktor Kunci) Pangsa pasar. Tingkat keuntungan PDAM. Subsidi yang diterima. Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum. Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan.
Dimensi Sosial Budaya (5 Faktor Kunci) 11. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum PDAM. 12. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air DAS Babon untuk kebutuhan non domestik. 13. Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian SDA. 14. Tingkat keluhan masyarakat terhadap ketersediaan air baku. 15. Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan.
121
Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar faktor diperoleh 5 (lima) faktor kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tidak terlalu kuat seperti terlihat pada Gambar 23, yaitu: 1)
Kadar COD.
2)
Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir.
3)
Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon.
4)
Kadar BOD.
5)
Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Dengan demikian kelima faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan
dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa yang akan datang agar terwujud pengelolaan air baku DAS Babon secara berkelanjutan. Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Gambaran Tingkat Kepentingan-Atribut Atribut Kunci Dikaji
Y 2.50
Variable Penentu (input) Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS
Debit Air
2.00
Variabel penghubung (stakes)
Ketersediaan dana untuk pelestarian lingkungan Kadar BOD
Kandungan Logam Berat
Pengaruh
Kadar COD
1.50
Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian SDA Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum PDAM
Variabel autonomous (unused))
1.00
Variable terkait (output)
kebutuhan modal untuk pengembangan PDAM
0.50
Pangsa pasar Tingkat keuntungan PDAM Subsidi yang diterima Tingkat ketergantuan masyarakat Tingkat keluhan masyarakat terhadap sumber air dari DAS untuk terhadap ketersediaan air baku kelompok Ketergantuangan non domestik masyarakat terhadap tokoh panutan
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
X
1.80
Ketergantungan
Gambar 23 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji. 5.2.1. Penyusunan Skenario Berdasarkan analisis prospektif ada lima atribut kritis yang harus dikelola agar keberlanjutan DAS Babon terjamin. Oleh sebab itu perlu dirumuskan skenario strategi pengelolaan air baku kedepan. Berdasarkan hasil analisis terhadap pengaruh antar faktor, maka faktor kunci yang berpengaruh dan saling ketergantungan tersebut selanjutnya didefinisikan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Pada Tabel 23 disajikan hasil prospektif faktor kunci pengelolaan
122
air baku dengan berbagai keadaan untuk setiap faktor. Dari hasil tersebut dirumuskan berbagai skenario strategi pengelolaan air baku, yaitu: (1) Skenario Konservatif-Pesimistik (bertahan pada kondisi yang ada sambil mengadakan perbaikan seadanya); (2) Skenario Moderat-Optimistik (melakukan perbaikan tapi tidak maksimal) dan (3) Skenario Progresif-Optimistik (melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu). Berdasarkan analisis prospektif ada lima atribut kritis yang harus dikelola agar keberlanjutan DAS Babon terjamin. Kelima atribut kunci tersebut akan dijadikan variabel-variabel dalam membangun model dengan pendekatan sistem dinamis. Dengan mempertimbangkan kelima atribut kunci tersebut, akan dirumuskan skenario pengelolaan DAS ke depan. Berdasarkan hasil analisis terhadap pengaruh antar faktor, maka faktor kunci yang berpengaruh dan saling ketergantungan tersebut selanjutnya didefinisikan kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan. Pada Tabel 23 disajikan hasil prospektif faktor kunci pengelolaan air baku dengan berbagai keadaan untuk setiap faktor. Dari hasil tersebut dirumuskan berbagai skenario strategi pengelolaan air baku, yaitu: (1) Skenario Konservatif-Pesimistik (bertahan pada kondisi yang ada sambil mengadakan perbaikan seadanya); (2) Skenario Moderat-Optimistik (melakukan perbaikan tapi tidak maksimal) dan (3) Skenario Progresif-Optimistik (melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu). Tabel 23 Keadaan masing-masing faktor kunci pengelolaan air baku No.
Faktor
1.
Kadar COD
2.
Debit pada musim kemarau selama 5 tahun
3.
Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS
4.
Kadar BOD
5.
Ketersediaan dana untuk pelestarian lingkungan
1A Jauh diatas 2A Lebih dari 50% 3A Tidak sesuai
4A Jauh diatas 5A Tidak tersedia
Keadaan di Masa Depan 1B 1C Sedikit diatas sama 2B 2C Terjadi Terjadi Penurunan Penurunan 25%-50% 10%-25% 3B 3C sesuai Sangat sesuai 4B Sedikit diatas 5B Kurang tersedia
4C sama 5C Tersedia
1D dibawah 2D Terjadi Penurunan 10% 3D
4D dibawah 5D Tersedia tak terbatas
123
Berdasarkan Tabel 23 di atas, terdapat keadaan yang peluangnya kecil atau tidak mungkin untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible). Ini ditandai oleh garis yang menghubungkan antara satu keadaan dengan keadaan lainnya seperti kesesuian pemanfaatan lahan DAS tidak mungkin terjadi secara bersamaan dengan debit air pada musim kemarau. Demikian pula dengan hubungan keadaan lainnya, namun karena faktor kunci yang diskenariokan banyak sehingga hubungan yang tidak mungkin dapat terjadi bersamaan tidak bisa ditampilkan pada lembaran yang sama, tetapi dalam penyusunan skenario, hubungan ini tetap diperhatikan. Dari berbagai kemungkinan yang terjadi seperti tersebut di atas, dapat dirumuskan tiga kelompok skenario pengelolaan air baku DAS Babon secara berkelanjutan yang berpeluang besar terjadi di masa yang akan datang, yaitu : (1) Konservatif-Pesimistik dengan melakukan perbaikan seadanya terhadap atribut-atribut (faktor) kunci. (2) Moderat-Optimistik dengan melakukan perbaikan sekitar 50 % atributatribut (faktor) kunci. (3) Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan terhadap seluruh atributatribut (faktor) kunci. Adapun skenario yang dapat disusun seperti Tabel 24. Tabel 24 Hasil analisis skenario strategi pengelolaan air baku DAS Babon No. 0. 1. 2. 3.
Skenario Strategi Kondisi Eksisting Konservatif-Pesimistik Moderat-Optimistik Ideal
5.2.1.1.
Susunan Faktor 1A, 2A, 3A, 4A, 5A. 1B, 2B, 3A, 4A, 5A. 1C, 2C, 3B, 4C, 5C. 1D, 2D, 3C, 4D, 5D.
Skenario Konservatif-Pesimitik
Skenario konservatif-pesimistik dibangun atas dasar kondisi saat ini dari sistem pengelolaan air baku dengan memperbaiki seadanya. Skenario ini mengandung pengertian bahwa strategi yang dirumuskan masih berdasarkan konsep
pengembangan
secara
tradisional
dan
tidak
memiliki
prospek
pengembangan sistem yang berpandangan jauh ke depan. Skenario konservatifpesimitik dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi: (1) Tidak adanya monitoring terhadap limbah cair industri yang dibuang ke sungai dan belum adanya pemukiman memiliki IPAL secara komunal menyebabkan
124
limbah yang dibuang ke badan air penerima belum memenuhi baku mutu lingkungan, (2) Hilangnya vegetasi yang ada di daerah hulu akibat perambahan hutan sehingga tidak adanya daerah yang menampung air ketika hujan yang berdampak pada sistem tata air. Hal tersebut terlihat dari debit air yang semakin kecil pada musim kemarau, (3) Perubahan konversi lahan untuk perumahan dan industri menyebabkan peruntukan lahan tidak sesuai dengan fungsinya dan menyebabkan berbagai dampak ekologi terhadap kondisi DAS, (4) Tidak adanya monitoring terhadap limbah cair industri yang dibuang ke sungai dan belum adanya pemukiman memiliki IPAL secara komunal menyebabkan limbah organik yang dibuang kebadan air penerima belum memenuhi baku mutu lingkungan sehingga berpengaruh terhadap nilai BOD yang berada di atas BML, dan (5) Belum adanya kebijakan yang berpihak pada lingkungan menyebabkan belum tersedia dana untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan. Penerapan Skenario Konservatif-Pesimistik ini akan berimplikasi pada: (1) Nilai kadar COD masih di atas baku mutu lingkungan, (2) Debit air setiap tahun pada musim kemarau akan semakin kecil, (3) Pemanfaatan lahan setiap tahun meningkat tidak sesuai peruntukannya, (4) Kadar BOD meningkat seiring dengan waktu dan berada di atas baku mutu lingkungan, dan (5) Kurangnya peran pemerintah dalam menyediakan dana untuk pelestarian lingkungan. 5.2.1.2. Skenario Moderat-Optimistik Skenario Moderat-Optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki serta berkeyakinan bahwa usaha kegiatan pengelolaan DAS Babon dapat menjamin ketersediaan air baku dan menekan biaya produksi air minum, memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar DAS Babon dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Skenario ini dibangun berdasarkan keadaan dari faktor penentu dengan kondisi: (1) Melakukan pengolahan limbah cair sehingga kadar COD lebih tinggi sedikit atau sama dengan baku mutu dan turun secara bertahap, (2) Melakukan penghijauan di daerah hulu dan kesadaran penduduk meningkat untuk tidak membuang sampah di sungai, (3) Penataan kembali penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya terutama daerah tampungan air, (4) Mengolah limbah cair
125
industri dan permukiman secara intensif sebelum dibuang ke sungai, dan (5) Pemerintah daerah mulai peduli terhadap lingkungan dengan menyediakan dana untuk pelestarian meskipun masih terbatas. Penerapan strategi Moderat-Optimistik secara terencana akan dapat meningkatkan kinerja dari sistem pengelolaan air baku di DAS Babon. Dukungan pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk rehabilitasi DAS Babon sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas air baku serta meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat di sekitar DAS untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan. Penerapan Skenario Moderat-Optimistik akan memberikan implikasi berupa: (1) Kadar COD sama atau lebih kecil dari baku mutu lingkungan, (2) Debit air pada musim kemarau semakin naik, (3) penggunaan lahan turun sesuai dengan peruntukannya, (4) Kadar BOD sama atau lebih kecil dari baku mutu lingkungan, dan (5) tersedianya dana yang cukup untuk kegiatan pelestarian DAS Babon. 5.2.1.3.
Skenario Progresif-Optimistik
Skenario Progresif-Optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi mendapat dukungan secara maksimal dari setiap faktor kunci dan para pelaku utama berkeyakinan bahwa kegiatan tersebut dapat memperbaiki DAS Babon dan kualitas air baku sehingga dapat memberikan manfaat pada penduduk yang ada disekitar DAS dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Skenario Progresif-Optimistik dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi: (1) Bahwa kadar COD akan turun atau di bawah baku mutu lingkungan jika dilakukan pengolahan limbah cair industri dan pemukiman secara terpadu serta melakukan monitoring limbah cair setiap sebulan sekali yang dilakukan oleh pemrakarsa dan dipantau oleh Bapedal Kabupaten/Kota, (2) Melakukan kegiatan penghijauan di daerah hulu dan pengerukan DAS yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang bekerjasama dengan masyarakat setempat; (3) Melakukan pengawasan terhadap penggunaan lahan disekitar DAS Babon terutama untuk pemukiman, industri dan pertambangan serta pemberian sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya, (4) Kadar BOD dibawah BML jika dilakukan
126
pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pertanian didaerah hulu, pembuatan septick tank secara komunal pada perumahan yang ada disekitar DAS, melakukan pengawasan limbah cair industri dan perumahan, dan (5) Kepedulian pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk pelestarian lingkungan dan pemberian insentif kepada masyarakat yang ada disekitar DAS dalam menjaga lingkungan. Penerapan Skenario Progresif-Optimistik akan memberikan implikasi berupa: (1) kadar COD yang dibuang ke sungai jauh di bawah baku mutu lingkungan, (2) debit air meningkat pada musim kemarau, (3) penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya, (4) kadar BOD dari limbah cair industri dan pemukiman lebih rendah di bawah BML sebelum dibuang ke sungai, dan (5) Dana yang tersedia untuk peletarian DAS Babon agar diprioritaskan. 5.3. Pemodelan Sistem Dinamik A.
Analisis Kebutuhan Berdasarkan hasil diskusi dengan pemangku kepentingan yang terlibat dan
kajian literatur, maka dilakukan analisis kebutuhan yaitu: 1. Masyarakat, yaitu masyarakat yang memanfaatkan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum di samping untuk kebutuhan lainnya seperti: pertanian, peternakan, perikanan, air bersih untuk keperluan domestik dan industri. 2. Dinas dan instansi terkait, yaitu semua dinas dan instansi pemerintah daerah yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku, antara lain: Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah
Kabupaten,
Pemerintah
Kota,
BPSDA
(Balai
Pengelolaan Sumber Daya Air) Jratun (Jragung –Tuntang ). 3. Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 4. Perusahaan Daerah Air Minum Semarang (PDAM Tirta Moedal Semarang) sebagai perusahaan yang mengolah air baku menjadi air minum untuk kebutuhan masyarakat Semarang dan sekitarnya. Pada Tabel 25 disajikan kebutuhan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku permukaan untuk air minum.
127
Tabel 25 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum No. 1.
Pelaku Sistem Masyarakat
2.
Dinas dan Instansi terkait
3.
Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PDAM Semarang
4.
B.
Kebutuhan Pelaku Sistem Terpenuhinya kebutuhan air minum dengan harga yang terjangkau. Terpeliharanya fungsi DAS. Terpenuhinya kebutuhan air baku untuk berbagai kepentingan masyarakat. Tetap berfungsinya DAS Babon sesuai peruntukannya. DAS Babon memberikan manfaat yang optimal dalam menunjang pelaksanaan pembangunan Provinsi Jawa Tengah. Tidak terjadi kelangkaan air pada musim kemarau. Dapat memenuhi kebutuhan air baku air minum masyarakat. Terbentuknya kelembagaan dan mekanisme kerjasama antar lembaga yang terpadu dalam pengelolaan DAS babon. Terjaganya kelestarian DAS. Tidak terjadi konflik kepentingan dalam pemanfaatan DAS Babon. Terjaminnya kesetaraan (equity) dalam pemanfaatan air baku bagi masyarakat. Tercapainya kualitas air baku air minum agar biaya operasional pengolahan air baku menjadi air minum layak secara ekonomis. Dapat memenuhi permintaan konsumen dengan harga yang terjangkau. Keuntungan yang layak bagi perusahaan.
Formulasi Masalah Menurut Eriyatno (2003), formulasi permasalahan disusun dengan cara
mengevaluasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (limited of resources) dan atau adanya konflik atau perbedaan kepentingan (conflict of interest) diantara pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan sistem. Berdasarkan analisis kebutuhan dan kondisi sumberdaya DAS Babon saat ini, permasalahannya diformulasikan sebagai berikut: 1. Kualitas air baku telah mengalami penurunan yang sangat signifikan, dimana indikator pencemaran seperti BOD, COD telah melebihi batas ambang, demikian juga dengan kuantitas air bakunya. Akibat perubahan tata guna lahan, menyebabkan ketersediaan air baku menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari pebedaan debit maksimum dan debit mínimum.
128
2. Biaya operasional pengolahan air minum yang semakin meningkat karena penurunan kualitas air baku dan tidak terpenuhinya permintaan masyarakat karena penurunan debit dan kualitas air DAS Babon. 3. Pemanfaatan DAS yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan, dimana telah terjadi perubahan fungsi lahan yang cukup signifikan. 4. Belum terbentuk mekanisme kerjasama pemerintah daerah secara terpadu dalam pengelolaan DAS Babon dengan pendekatan sistem sehingga pengelolaan yang terjadi masih bersifat parsial yang berdampak terjadinya penurunan kualitas sumberdaya DAS Babon sebagai suatu ekosistem DAS.
C.
Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dilakukan untuk melihat variabel-variabel penyusun
sistem yang dikelompokkan menjadi jenis variabel, yaitu: (1) Varibel input yang tidak terkontrol, (2) Variabel input yang terkontrol, (3) Variabel input lingkungan, (4) Variabel output yang dikehendaki, dan (5) Variabel output yang tidak dikehendaki. Formulasi masalah terkait dengan variabel penyusunan sistem dapat digambarkan dalam Diagram I-O (black box) dan causal loop seperti yang disajikan pada Gambar 24 dan Gambar 25. Model pengelolaan air baku air minum di daerah aliran Sungai Babon merupakan ilustrasi dari sistem pengelolaan air baku yang dipengaruhi oleh variabel-variabel yang saling berkaitan. Model ini terdiri atas 3 (tiga) sub model yaitu: (1) sub model kebutuhan air baku, (2) sub model ketersediaan air baku, dan (3) sub model kualitas air baku. 5.3.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku Sub model kebutuhan air baku ini mendeskripsikan kebutuhan air baku dari beberapa aspek kebutuhan yaitu kebutuhan domestik, kebutuhan industry, dan kebutuhan perhotelan. Kebutuhan domestik dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu populasi penduduk, laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan standar fasilitas umum, kebutuhan standar domestik, reduce dan reuse. Kebutuhan air baku kegiatan industri dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu jumlah industri, laju
129
pertumbuhan industri, kebutuhan standar industri, reduce, reuse, dan recycle. Kebutuhan air baku sektor perhotelan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan hotel, kebutuhan standar perhotelan, reduce, dan reuse. Dalam menghitung kebutuhan air baku masyarakat, industri, dan hotel menggunakan standar yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum. Keterkaitan antara variabel dapat dilihat pada Gambar 26 dan Gambar 27.
INPUT LINGKUNGAN Peranan/ Regulasi pemerintah Peranan Konsumen
OUTPUT DIKEHENDAKI Terpenuhinya Kebutuhan Air Baku Kualitas Air Baku Meningkat Terpeliharanya Kelestarian DAS Babon
INPUT TAK TERKENDALI Debit Andalan Jumlah Air Tanah Jumlah Penduduk Luas Land Use
Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS di DAS Babon
INPUT TERKENDALI Persentase Pemakaian Air Tanah Reduce, Reuse dan Recycle Persentase Konservasi Laju Pertumbuhan Penduduk Laju Pertumbuhan Industri Laju Pertumbuhan Hotel
OUTPUT TAK DIKEHENDAKI Meningkatnya Tarif Air Baku Penurunan Muka Air Tanah Kekurangan Air Baku Degradasi Fungsi DAS
Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS di DAS Babon
Gambar 24 Diagram input-output (I-O) sistem model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS di DAS Babon.
130 130
Gambar 25 Causal loop.
131
Laju Pertumbuhan Hotel +
+ Hotel Berbintang
Hotel Melati +
+
Kebutuhan Standar Perhotelan
Jumlah Hotel
Laju Pertumbuhan Industri
+ Kebutuhan Perhotelan
-
+
Kebutuhan Standar Domestik Reduce dan Reuse +
+
+
Indstri Kecil
Kebutuhan Standar Indusri +
+
+
+
Kebutuhan Industri
Populasi Penduduk +
+ Masyarakat Kelas Menengah
+
+ Jumlah Industri
Kebutuhan Air Baku
Masyarakat Kelas Atas
Industri Sedang dan Besar
+
-
Kebutuhan Domestik
+
+ Laju Pertumbuhan Populasi
+
Reduce Reuse dan Recycle + Masyarakat Kelas Bawah +
Gambar 26 Causal loop sub model kebutuhan air baku. 131
132 132
Kebutuhan Fas ilitas Um um Laju Pertum buhan Penduduk Populas i
Laju Pertum buhan Hotel kebutuhan s tandart Fas um
Pertum buhan Penduduk
Hotel
Pertum buhan Hotel
Reduce & Reus e Reduce & Reus e
Total Keb Dom es tik
Total Keb Perhotelan Kebutuhan Standar Kebutuhan Standar Perhotelan
Total Kebutuhan
Laju Pertum buhan Indus tri Indus tri
Pertum buhan Indus tri
Reduce Reus e and Recycle Total Keb Indus tri Kebutuhan Standar Indus tri
Gambar 27 Diagram alir sub model kebutuhan air baku.
133
Dari Gambar 26 dan Gambar 27 dapat dilihat bahwa kebutuhan sektor domestik dipengaruhi oleh variabel penentu yaitu populasi penduduk. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk maka jumlah populasi penduduk juga semakin tinggi. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan air baku sektor domestik. Untuk menghitung total kebutuhan sektor domestik, jumlah penduduk dikalikan dengan kebutuhan standar per orang per hari. Dalam hal ini, kebutuhan standart menggunakan ketentuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum yaitu 150 liter/orang/hari. Dalam menghitung kebutuhan air baku sektor domestik, tidak dibedakan kebutuhan air baku untuk kelompok masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Di dalam sub model terdapat variabel reduce dan reuse yang merupakan variabel kebijakan dalam upaya peningkatan efisiensi penggunaan air. Kebutuhan sektor industri dipengaruhi oleh variabel penentu yaitu jumlah industri. Jumlah industri dipengaruhi oleh laju pertumbuhan industri, jika laju pertumbuhan industri tinggi maka jumlah industri tiap tahunnya akan meningkat dimana kebutuhan air baku di sektor ini juga akan meningkat. Dalam menghitung Kebutuhan air baku sektor industri tidak dibedakan antara kebutuhan Industri besar, sedang dan kecil. Karena kebutuhan air industri yang dihitung bukan untuk proses produksi. Untuk industri terdapat variabel kebijakan untuk peningkatan efisiensi pemakaian air yaitu reduce, reuse, dan recycle. Dalam analisis penelitian ini penggunaan air bakunya tidak dibedakan antara industri besar/sedang dan industri kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku industri, kebutuhan air untuk industri besar/sedang adalah sebesar 222.5 m3/unit/tahun, sedangkan untuk industri kecil sebesar 180 m3/unit/tahun. Namun dalam analisis penelitian ini tidak dibedakan kebutuhan air antara industri besar/sedang dan industri kecil, karena air digunakan sebagai bahan proses industri, bukan sebagai bahan baku industri, sehingga kebutuhan akan air baku diasumsikan hampir sama. Kebutuhan air untuk industri ditentukan berdasarkan rata-rata timbang kebutuhan air antara kedua jenis industri tersebut dan berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku industri yaitu sebesar 201.25 m3/unit/tahun (Susanto 2010). Untuk kebutuhan air baku di sektor perhotelan juga dipengaruhi oleh variabel penentu yaitu jumlah hotel. Jumlah hotel dipengaruhi oleh laju
134
pertumbuhan hotel yang juga mempengaruhi kebutuhan air baku pada sektor ini. Kebutuhan air baku sektor perhotelan tidak membedakan antara kebutuhan air baku hotel melati dan kebutuhan air baku hotel berbintang. Kebutuhan air baku masing-masing golongan dihitung dengan menggunakan persamaan yaitu perkalian antara jumlah kamar hotel dikali 2 orang per kamar dan diasumsikan tingkat huniannya 80%. Dalam hal ini kebutuhan air per orang per hari diasumsikan sama dengan penggunaan air baku per orang per hari berdasarkan Paraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18 Tahun 2007. 5.3.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku Sub model ketersediaan air baku merupakan deskripsi ketersediaan air baku di DAS Babon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel. Ketersediaan air dihitung dari sumber air yang tersedia yaitu air permukaan dan air tanah. Ketersediaan air permukaan dihitung berdasarkan debit andalan Sungai Babon yang digunakan oleh PDAM Tirta Moedal. Sedang ketersediaan air tanah dihitung berdasarkan kapastas CAT Semarang Demak. Ketersediaan air dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu luas DAS, land use, koefisien run off, debit andalan, konservasi, biaya konservasi, ketersediaan air tanah, persentase pemakaian air tanah dan populasi. Keterkaitan antara variabel dapat dilihat pada Gambar 28 dan Gambar 29. Berdasarkan Gambar 28 dan Gambar 29 dapat dijelaskan bahwa ketersediaan air akan meningkat dengan meningkatnya debit andalan. Debit andalan dapat ditingkatkan dengan melakukan upaya-upaya konservasi pada setiap land use. Untuk kawasan hutan dilakukan konservasi seperti reboisasi, kawasan pemukiman dilakukan konservasi berupa pembuatan sumur resapan, kawasan persawahan dilakukan konservasi dengan menerapkan metode System Rice Intensificasion dan untuk daerah tegalan dilakukan konservasi berupa terasering. Upaya konservasi bertujuan untuk meningkatkan debit andalan dengan penurunan koefisien run off masing-masing land use. Jadi semakin tinggi persentase konservasi maka koefisien run off akan semakin rendah sedangkan debit andalan akan semakin tinggi. Namun persentase konservasi ini harus memperhitungkan biaya yang dibutuhkan dengan dana yang tesedia. Pada sub model ini ketersediaan air tanah tidak dihitung lebih rinci, variabel ini hanya berupa nilai masukan (input).
135
Air Tanah +
Persentase Pemakaian Air Tanah
Ketersediaan Air Baku +
Air Permukaan + Debit Andalan + Sumur Resapan
Koefisien Run Off +
-
+
Konservasi
Reboisasi
+ + Terasering SRI Gambar 28 Causal loop sub model ketersediaan air baku.
135
136
Total Volume Sumur Resapan C Pemukiman Existing
C Pemukiman
Luas Pemukiman
CRO Permukiman
Penurunan C Pemukiman
KK
Total Biaya Sumur Resapan per Ha Biaya Sumur Resapan
Persentase Jumlah Sumur Resapan
C Hutan Biaya Sumur Resapan per Tahun Total Biaya Reboisasi
Luas Pemukiman CRO Hutan
luas hutan
Penurunan C Hutan
C Hutan Existing Persentase Reboisasi
C Tegalan CRO Tegalan
luas DAS Babonluas Tegalan
Biaya Terasering per Tahun Penurunan C Sawah
CRO Hutan
Persentase SRI
C Sawah Existing
CRO Permukiman
CRO Kumulatif
Biaya Terasering per Ha Biaya SRI per Ha Total Biaya SRI
CRO Tegalan
luas sawah
Luas Pemukiman
Biaya SRI per Tahun Debit Andalan Debit Model
CRO Pemukiman Existing CRO Eksisting Kumulatif
Total ketersediaan air Persentase Debit Andalan
C Hutan Existing CRO Hutan Existing luas hutan
Persentase Pemakaian Air Tanah C Sawah Existing Ketersediaan Air Tanah
C Tegalan Existing CRO Sawah Existing
luas Tegalan CRO Tegalan Existing
luas Tegalan
luas hutan
Total Biaya Terasering
C Tegalan Existing
CRO sawah
C Pemukiman Existing
Biaya Reboisasi per Tahun
Persentase Terasering
Penurunan C Tegalan C Sawah
luas sawah
Biaya Reboisasi per Ha
luas sawah
Gambar 29 Diagram alir sub model ketersediaan air baku.
136
Populasi
137
Dalam sub model ini ketersediaan air tanah hanya difokuskan kepada persentase pemakaian dengan tujuan pemakaian air tanah dapat dikurangi dengan adanya konservasi terhadap ketersediaan air permukaan sehingga ketersediaan air tanah tetap tersedia secara berkelanjutan. Sub model ini berkaitan dengan sub model kebutuhan air melalui variabel populasi. Populasi merupakan variabel yang dipertimbangkan dalam konservasi pada daerah permukiman dengan pembuatan sumur resapan. 5.3.3. Sub Model Kualitas Air Baku Sub model kualitas
air baku merupakan salah satu bagian dari model
pengelolaan air baku yang mendeskripsikan kualitas air baku yang tersedia. Sub model Kualitas air baku dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu parameter kualitas air, indeks kualitas air, biaya produksi, harga jual air, biaya konservasi, persentase peningkatan kualitas air, keuntungan PDAM dan debit andalan. Keterkaitan antara variabel dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31. Dari Gambar 30 dan Gambar 31 dapat dilihat bahwa kategori kualitas air akan meningkat dengan meningkatnya persentase kualitas air. Persentase peningkatan kualitas air merupakan variabel kebijakan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas air melalui penurunan konsentrasi beberapa parameter kualitas air yaitu BOD, COD, DO dan kekeruhan. Jika konsentrasi parameter ini menurun maka indeks kualitas air akan semakin baik. Kualitas air juga mempengaruhi biaya produksi yang harus dikeluarkan PDAM. Semakin baik kualitas air maka biaya produksi akan semakin kecil. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB, kualitas air baku air minum yang buruk membuat biaya produksi meningkat antara 25% s/d 40%. Dengan demikian seharusnya biaya produksi PDAM dapat dikurangi sebesar 25% dari biaya produksi saat ini. Biaya produksi tidak hanya mempengaruhi keuntungan yang dapat diperoleh PDAM namun juga mempengaruhi biaya untuk konservasi karena berdasarkan peraturannya biaya konservasi adalah 15 % dari kentungan yang diperoleh. Sub model ini berkaitan dengan sub model ketersediaan air melalui variabel debit andalan. Pada sub model kualitas air, debit andalan digunakan untuk menghitung biaya produksi dan penjualan air.
138 138
Keuntungan
Biaya Konservasi +
KualitasAir Baku
+
-
Biaya Produksi
+ -
BOD
Ketersediaan Air
Indeks Kulaitas Air
+
+
Kekeruhan +
COD DO
-
-
-
Persentase Peningkatan Kualitas Air Gambar 30 Causal loop sub model kualitas air.
139
Harga jual air per m3 Kekeruhan Maksimum
DO Maksimum
Penurunan DO Max
BOD Max
Penurunan Kekeruhan Max
Penurunan BOD Max
Biaya Produksi per m3
Debit Model Hasil Penjualan Air
Indeks Kekeruhan
Indeks DO
Indeks COD
Peningkatan Kualitas Air Indeks Kekeruhan
DO
Kekeruhan
Penurunan DO
Indeks BOD
Peningkatan Kualitas Air
Indeks DO
BOD
Penurunan Kekeruhan
Total Biaya Produksi
Konservasi
Kualitas Air Baku
Indeks BOD
Benefit Persentase Alokasi Dana Reboisasi
Penurunan BOD
COD Maksimum
Pnurunan COD Max
Indeks COD
Peningkatan Kualitas Air
COD
Penurunan COD
Gambar 31 Diagram alir sub model kualitas air. 139
140
5.4. Validasi Model Pengelolaan Air Baku DAS Babon Validasi adalah proses untuk melihat seberapa jauh model dapat merepresentasikan sistem nyata. Teknik validasi yang utama dalam metode berfikir sistem adalah validasi struktur model, yaitu sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauhmana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi sistem nyata. Sedangkan validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berfikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana “kinerja” model (compatible) dengan “kinerja” sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk sejauh mana perilaku “output” model sesuai dengan perilaku data empirik (Muhammadi et al. 2001).
5.4.1. Validasi Struktur Model Validasi struktur model dilakukan terhadap 3 sub model yaitu sub model kebutuhan air baku, ketersediaan air dan kualitas air. Interaksi antara variabelvariabel di dalam masing-masing sub model harus sesuai dengan sistem nyata atau tidak berlawanan dengan teori pengetahuan. 5.4.1.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku Sub model kebutuhan air baku adalah sub model yang menggambarkan kebutuhan air baku dalam tiga sektor yaitu domestik, industri dan perhotelan. Untuk melihat interaksi antara variabel di dalam sub model kebutuhan air baku maka dilakukan simulasi dengan menggunakan data Daerah Aliran Sungai Babon sebagai data input. Beberapa variabel yang digunakan untuk validasi struktur yaitu populasi, total kebutuhan air baku dan kebijakan reduce, reuse, dan recycle. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 32. Berdasarkan Gambar 32 dapat diketahui bahwa dengan bertambahnya populasi tiap tahunnya, total kebutuhan air baku juga terus meningkat. Hal ini sesuai dengan keadaan sistem nyata yang dapat dibuktikan dengan data populasi dan total kebutuhan air baku di DAS Babon yang dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Berdasarkan simulasi model terlihat bahwa apa yang terjadi dalam
141
dunia model memiliki keserupaan dengan dunia nyata, karena secara logika bila jumlah penduduk bertambah maka kebutuhan air akan meningkat. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa model ini dapat dikatakan valid. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan penduduk dalam kurun waktu 50 tahun mencapai 3 029 528 jiwa dengan total kebutuhan air baku sebesar 137 000 000m3. Namun hasil simulasi ini adalah hasil simulasi dengan menggunakan nilai variabel reduce, reuse, dan recycle sebesar 0%. Variabel ini adalah salah satu kebijakan dalam rangka efisiensi penggunaan air. Hasil simulasi menggunakan variabel reduce, reuse, dan recycle dapat dilihat pada Gambar 33.
Gambar 32 Validasi struktur sub model kebutuhan air baku.
Gambar 33 Validasi struktur sub model kebutuhan air baku dengan kebijakan reduce,reuse dan recycle.
142
Berdasarkan hasil simulasi seiring bertambahnya jumlah penduduk, total kebutuhan air baku juga meningkat tiap tahunnya. Namun dengan adanya kebijakan reduse dan reuse dalam sektor domestik dan perhotelan sebesar 15% dan kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam sektor industri sebesar 15% maka total kebutuhan air baku akan berkurang. Pada Gambar 33 dapat dilihat bahwa dengan jumlah penduduk 3 029 528 jiwa dengan total kebutuhan air baku yang dibutuhkan adalah sebesar 137 000 000 m3/tahun. Namun dengan adanya kebijakan reduce, reuse, dan recycle maka total kebutuhan air berkurang menjadi 121 000 000 m3/tahun atau berkurang sebesar 16 000 000 m3/tahun. Validasi struktur model tidak hanya dilakukan dengan cara melihat kesesuaian interaksi antara variabel model melalui simulasi. Tetapi validasi struktur juga dapat dilihat dari kesetaraan satuan antara variabel model. Kesetaraan ini dilihat dengan pengecekan terhadap persamaan yang digunakan dalam model. Untuk sub model kebutuhan air baku persamaan yang digunakan adalah: Jumlah Penduduk x Kebutuhan standar (0.150 m/detik) x 365 hari = m3/tahun. Total kebutuhan air sangat dipengaruhi dari laju pertumbuhan penduduk, laju pertumbuhan hotel dan laju pertumbuhan industri. Semakin besar laju pertumbuhan penduduk, hotel dan industri maka kebutuhan air akan semakin meningkat. Semakin tinggi kelas masyarakat dan hotel maka kebutuhan standarnya pun semakin meningkat. Begitu juga dengan industri, semakin besar skala industrinya maka kebutuhannya pun semakin besar. Salah satu upaya mengimbangi semakin meningkatnya jumlah penduduk, hotel dan industri adalah dengan menerapkan program reduce, reuse, dan recycle. Program ini diharapkan dapat mengurangi kebutuhan masing-masing sektor. 5.4.1.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku Validasi struktur pada sub model ketersediaan air dilakukan dengan melakukan simulasi untuk melihat pengaruh tindakan konservasi terhadap debit model dan total ketersediaan air. Ketersediaan air pada sub model ini berasal dari air permukaan dan air tanah. Pada model ini pemakaian air tanah diminimalisir agar keberlangsungannya tetap terjaga, maka dilakukan upaya konservasi agar air
143
permukaan tetap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Upaya konservasi dilakukan berdasarkan land use. Pada DAS Babon land use dibagi 4 yaitu pemukiman, tegalan, sawah dan hutan. Pada simulasi ini dilakukan konservasi seperti pada sumur resapan, terasering, System Rice Intensificasion sebesar 5% per tahun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 34. Total ketersediaan air semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan menurunnya nilai koefisien run off. Nilai koefisien run off sangat mempengaruhi jumlah air permukaan yang tersedia. Semakin kecil nilai koefisien run off maka debit air permukaan akan semakin besar. Berdasarkan Gambar 34 total ketersediaan air meningkat dari tahun 2010 sampai tahun 2030 dan konstan untuk tahun > 2030. Hal ini disebabkan oleh target konservasi dalam kurun waktu 20 tahun dengan persentase konservasi 5% pertahun. Jadi persentase konservasi akan menjadi 100% pada tahun 2030. Koefisien run off dan debit model juga berada dalam kondisi maksimal pada tahun 2030. Kondisi ini akan konstan dari tahun ke tahun jika konservasi dilakukan secara berkelanjutan.
Gambar 34 Validasi struktur ketersediaan air baku. 5.4.1.3. Sub Model Kualitas Air Baku Kualitas air baku dilihat dari sebuah indeks yang menggambarkan kualitas air yang dipengaruhi oleh parameter seperti COD, BOD, DO dan kekeruhan. Nilai masing-masing parameter dapat berubah dengan adanya upaya peningkatan
144
kualitas air. Kualitas air akan mempengaruhi biaya produksi air baku yang harus dikeluarkan oleh PDAM. Besarnya biaya produksi juga akan mempengaruhi harga jual air baku dan biaya yang dikeluarkan untuk konservasi. Semakin besar keuntungan PDAM maka alokasi dana untuk konservasi akan semakin besar. Artinya dengan alokasi dana untuk konservasi yang besar ketersediaan air akan dapat dijaga secara berkelanjutan. Untuk validasi struktur pada sub model ini dilakukan simulasi untuk mengetahui pengaruh antara beberapa variabel seperti indeks kualitas air dan biaya produksi air. Berdasarkan Gambar 35 dapat diketahui bahwa indeks kualitas air baku terus menurun hingga tahun 2027 dan konstan setelah tahun 2027. Penurunan indeks kualitas air baku mengindikasikan bahwa kualitas air baku semakin baik. Indeks kualitas air baku pada model ini memiliki range 1- 4. Peningkatan kualitas baku terjadi karena terdapat kebijakan peningkatan kualitas air sebesar 15% per tahun. Biaya produksi yang dibutuhkan menurun seiring penurunan indeks kualitas air. Namun biaya produksi akan meningkat jika ketersediaan air baku terus meningkat. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan pada tiga sub model maka struktur model ini dapat dikatakan valid secara teoritis.
Gambar 35 Validasi struktur sub model kualitas air baku. 5.4.2. Validasi Kinerja Model Setelah model dapat mengilustrasikan kerja sistem atau valid secara teoritis maka dilakukan validasi kinerja model untuk melihat seberapa akurat model dapat
145
merepresentasikan kinerja sistem nyata. Validasi ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang terdapat di dalam 3 sub model. Validasi dilakukan dengan cara membandingkan data output model dengan data aktual yang telah diperoleh. Metoda yang digunakan dalam validasi kinerja ini adalah Uji t (two tail) dengan taraf kepercayaan 5%. Hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Validasi kinerja model Keterangan
Populasi (jiwa)
Kebutuhan Domestik (m3/tahun) 3
Debit m /tahun
Tahun
Data
Nilai t
Aktual
Model
2005
1 280 790
1 276 613
2006
1 294 001
1 300 231
2007
1 312 599
1 324 285
2008
1 337 054
1 348 784
Mean
1 306 111
1 312 478
2005
73 455 911
67 450 653
2006
73 194 658
70 148 679
2007
72 783 387
72 954 627
2008
74 891 810
75 872 812
Mean 2005 2006 2007 2008 2009
73 581 442 57 231 360 59 408 640 31 104 000 79 626 240 74 027 520
71 606 693 57 077 912 59 412 785 61 747 657 64 082 529 66 417 401
2010 Mean
57 853 440 59 875 200
68 752 274 62 915 093
Hitung
Kritis
-0.32
2.132
1.06
2.132
-0.43
2.228
Berdasarkan hasil uji t sub model kebutuhan air baku, sub model ketersediaan air dan sub model kualitas air, maka disimpulkan bahwa model ini valid atau dapat merepresentasikan sistem nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai t yang lebih kecil dari nilait t kritis. Jadi model ini dapat digunakan dalam pengelolaan air baku karena telah valid secara struktur maupun kinerja. Secara deskriptif uji t menjelaskan bahwa populasi (jiwa) antara data real dan data model berbeda, dimana jumlah populasi lebih besar pada data model hal ini sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk setiap tahunnya. Sedangkan untuk kebutuhan domestik data real lebih besar daripada data model hal ini dipengaruhi oleh persepsi masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya menjaga
146
kelestarian sumberdaya air dengan melakukan penghematan dan langkah-langkah strategis pelestarian sumberdaya air. Demikian juga dengan debit, data lebih kecil daripada data model. 5.4.3. Analisis Sensitivitas Model Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan nilai parameter input terhadap nilai parameter output model. Parameter input yang digunakan adalah parameter input terkendali yaitu persentase pemakaian air tanah, reduce, reuse dan recycle, persentase terasering, persentase SRI, persentase reboisasi, persentase sumur resapan, laju
pertumbuhan penduduk, laju
pertumbuhan industri dan laju pertumbuhan hotel. Analisis sensitivitas dari parameter input terkendali dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36 Hasil analisis sensitivitas model. Terhadap semua parameter yang berperan dalam ketersediaan air tanah, dilakukan analisis sensitivitas agar diketahui parameter apa yang paling sensitive terhadap kebijakan yang akan diambil dalam rangka menjaga ketersediaan air baku. Berdasarkan analisis sensitivas, terlihat bahwa parameter yang paling krits adalah parameter air tanah. Setiap kebijakan yang diambil baik berupa peningkatan pemakaian air tanah maupun pengurangan pemakaian air tanah, berdampak sangat signifikan terhadap ketersedian air baku. Dalam Gambar 36 di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan mengurangi pemakaian air tanah, maka
147
ketersediaan air baku akan meningkat tajam. Tidak demikian halnya dengan parameter input lainnya seperti parameter reuse, reduce, dan recycle. Kebijakan terhadap parameter tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan air baku. Dengan demikian, kebijakan terhadap pemanfaatan parameter air tanah harus dilakukan dengan cermat agar ketersedian agar ketersediaan air baku dapat terjaga dan lestari. 5.5. Simulasi Model 5.5.1. Kondisi Eksisting DAS Babon adalah salah satu DAS kritis dengan fluktuasi debit air sungai yang sangat signifikan. Artinya ketersediaan air di musim kemarau sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat bergantung dengan air tanah yang jumlahnya juga terbatas. Belum ada upaya yang dilakukan agar DAS Babon dapat mencukupi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan dengan meminimalisasi ekplorasi air tanah. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data kondisi existing di DAS Babon. Simulasi dilakukan untuk kurun waktu 50 tahun yaitu dari tahun 2010-2060. DAS Babon memiliki luas 35 598.4 ha terbagi atas 4 land use yaitu pemukiman seluas 10 000 ha, sawah seluas 2 361.7 ha, hutan seluas 5 868.3 ha dan tegalan seluas 17 368.4 ha. Air sungai DAS Babon digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam 3 sektor yaitu domestik, perhotelan dan indusri. Untuk sektor domestik DAS babon harus memenuhi kebutuhan masyarakat dengan populasi 1 280 790 jiwa dengan laju pertumbuhan 1.5% per tahun, sektor perhotelan sebanyak 85 hotel dengan laju pertumbuhan 1% per tahun dan sektor industri sebanyak 16 528 unit industri besar/kecil dengan laju pertumbuhan 0.025% per tahun. Ketersediaan air baku DAS Babon berasal dari air permukaan dan air tanah. Pengelolaan air baku di DAS Babon dilakukan oleh beberapa PDAM. PDAM hanya mengambil air permukaan sebagai sumber air baku. Debit andalan yang diambil untuk air baku dari air permukaan sebesar 1.76 m3/detik. Besarnya debit andalan juga dipengaruhi oleh besarnya limpasan yang dapat dilihat dari koefisien run off masing-masing land use. Koefisien run off masing-masing land use yang relatif besar mengindikasikan bahwa limpasan di DAS Babon juga relatif besar.
148
Kualitas air di DAS Babon sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi BOD, COD, DO, dan kekeruhan yang sangat tinggi dan melebihi ambang batas. Agar kualitas air memenuhi syarat baku mutu maka PDAM membutuhkan biaya produksi Rp 2 000,-/m3. Biaya produksi yang relatif tinggi juga menyebabkan harga jual meningkat, untuk mendapatkan air baku masyarakat dikenakan biaya sebesar Rp 2 250,-/m3. Untuk memprediksi ketersediaan air dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat di DAS Babon, maka dilakukan simulasi dengan output pada Gambar 37. Siklus hidrologi akan menyebabkan ketersediaan air di DAS Babon dianggap konstan dari tahun ke tahun. Jumlah air yang tersedia di DAS Babon dengan kondisi DAS kritis adalah sebesar 137 237 040 m3/tahun. Namun ketersediaan ini tidak akan mencukupi kebutuhan penduduk karena jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi yang terus meningkat. Berdasarkan hasil simulasi kebutuhan penduduk di DAS Babon akan tercukupi hingga tahun 2038 dengan total kebutuhan air baku sebesar 136 608 746 m3. Setelah tahun 2038 kebutuhan penduduk tidak akan tercukupi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kebijakan konservasi untuk memperbaiki kondisi DAS.
Gambar 37. Simulasi kondisi existing DAS Babon.
5.5.2. Skenario Kebijakan Ketersediaan air di DAS Babon perlu ditingkatkan agar kebutuhan penduduk dapat tercukupi secara berkelanjutan. Peningkatan ketersediaan air
149
dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi DAS. Perbaikan kondisi DAS dapat dilakukan dengan melakukan konservasi land use DAS Babon. Beberapa skenario yang dapat didesain berdasarkan kebijakan-kebijakan yang dapat diambil untuk memenuhi kebutuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Skenario kebijakan Skenario
Keterangan
Pesimis
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Laju pertumbuhan penduduk meningkat 2%. Laju pertumbuhan industri 0.03%. Laju pertumbuhan perhotelan 1.5%. Koefisien run off maksimum. Tidak ada program peningkatan kualitas air. Tidak ada kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam pemanfaatan air baku. 7. Pemakaian air tanah 90%.
Moderat
1. 2. 3. 4.
Optimis
1. 2. 3. 4.
Laju pertumbuhan penduduk turun menjadi 1%. Laju pertumbuhan industri 0.02 %. Laju pertumbuhan perhotelan 0.7%. Koefisien run off menurun karena ada program reboisasi pada kawasan hutan dan terasering pada tegalan. 5. Adanya peningkatan kualitas air sebesar 2% per tahun 6. Ada kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam pemanfaatan air baku untuk industry. 7. Pemakaian air tanah 65%. Laju pertumbuhan penduduk turun menjadi 0.5%. Laju pertumbuhan industri 0.015%. Laju pertumbuhan perhotelan 0.3%. Koefisien run off minimum karena ada program reboisasi pada kawasan hutan, terasering pada tegalan, pengembangan metode SRI untuk sawah dan pembuatan sumur resapan untuk kawasan pemukiman. 5. Adanya program peningkatan kualitas air sebesar 5% per tahun. 6. Kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam pemanfaatan air baku untuk domestik, perhotelan, dan industri. 7. Pemakaian air tanah 40%.
5.5.2.1. Skenario Pesimis Skenario pesimis adalah desain dari kondisi variabel penentu kinerja sistem yang memberikan dampak yang tidak diinginkan. Desain skenario pesimis adalah membiarkan kondisi yang ada saat ini terjadi tanpa ada usaha pencegahan.
150
Skenario pesimis yaitu meningkatnya laju pertumbuhan penduduk tanpa ada upaya untuk menekan pertumbuhan penduduk, demikian juga dengan
laju
pertumbuhan hotel dan laju pertumbuhan industri. Koefisien run off ber nilai maksimum karena tidak ada upaya melakukan konservasi, eksploitasi air tanah secara berlebihan dan tidak ada kebijakan mengenai keberlangsungan ketersedian air dan peningkatan kualitasnya. Hasil simulasi skenario pesimis dapat dilihat pada Gambar 38.
Gambar 38 Simulasi skenario pesimis. Gambar 38 menjelaskan bahwa kebutuhan air baku penduduk meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan penduduk dapat tercukupi hingga tahun 2038 dengan kebutuhan sebesar 137 094 302 m3/tahun dan air yang tersedia sebesar 137 237 040 m3. Setelah tahun 2038 kebutuhan penduduk tidak akan tercukupi walaupun eksploitasi air tanah dilakukan secara berlebihan. Jika kondisi ini terjadi maka kondisi DAS akan semakin kritis, yang berakibat terjadinya intrusi laut dan krisis air. Pada kondisi ini kualitas air baku sangat buruk. Agar kualitas air baku memenuhi standar baku mutu maka dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp 109 486 080 000,-/tahun. 5.5.2.2. Skenario Moderat Skenario moderat disusun berdasarkan kondisi terjadinya penurunan laju pertumbuhan penduduk, hotel dan industri. Koefisien run off menurun karena ada
151
program reboisasi pada kawasan hutan dan terasering pada tegalan, peningkatan kualitas, adanya kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam pemanfaatan air baku untuk industri dan pemakaian air tanah 65%. Hasil simulasi skenario ini dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39 Hasil simulasi skenario moderat.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk, hotel dan industri sangat mempengaruhi terpenuhinya kebutuhan air baku. Dari Gambar 39 dapat dilihat bahwa ketersediaan air baku dapat memenuhi kebutuhan penduduk hingga tahun 2052 dengan kebutuhan masyarakat sebesar 122 171 844 m3/tahun dan air yang tersedia sebesar 122 204 588 m3/tahun. 5.5.2.3. Skenario Optimis Skenario optimis didesain berdasarkan kondisi laju pertumbuhan penduduk turun menjadi 0.5%, laju pertumbuhan industri 0 015% dan laju pertumbuhan perhotelan 0.3%. Koefisien run off minimum karena ada program reboisasi pada kawasan hutan, terasering pada tegalan, pengembangan metode SRI untuk sawah dan pembuatan sumur resapan untuk kawasan pemukiman. Adanya program peningkatan kualitas air sebesar 5% per tahun, kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam pemanfaatan air baku untuk domestik, perhotelan dan industri dan pemakaian air tanah 40%. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 40.
152
Gambar 40. Hasil simulasi skenario optimis. Dari Gambar 40 dapat dilihat bahwa pada kondisi optimis ketersediaan air baku dapat memenuhi kebutuhan air penduduk hingga tahun 2060. Pada tahun 2060 kebutuhan penduduk mencapai 96 382 670 m3/tahun dan air yang tersedia sebesar 107 329 839 m3/tahun. Kondisi ini akan bertahan jika dilakukan konservasi secara berkelanjutan. Dengan adanya peningkatan kualitas air 10% per tahun maka kualitas air juga meningkat dan biaya produksi menurun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 41.
Gambar 41 Hasil simulasi kualitas air skenario optimis
153
Kualitas air baku meningkat dari kualitas 4 menjadi kualitas 1 dalam kurun waktu 26 tahun. Pada tahun 2010 biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi air baku adalah sebesar Rp 109 486 080 000,-. Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi air baku meningkat pada tahun 2020 sebesar Rp 115 855 199 726,-. Hal ini disebabkan oleh jumlah air baku yang terus meningkat karena adanya upaya konservasi. Walaupun kualitas air baku meningkat namun dibutuhkan biaya yang lebih karena jumlah air baku yang diolah juga bertambah banyak. Dari Gambar 38 dapat dilihat bahwa kualitas air baku mencapai kualitas 1 pada tahun 2036 dengan biaya produksi yang dibutuhkan sebesar Rp 70 900 757 599,-. Namun karena kuantitasnya terus bertambah, biaya produksi juga bertambah hingga tahun 2060 menjadi Rp 79 499 069 229,-. 5.6. Analisis Willingness to Pay (WTP) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang di batasi punggungpunggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungaisungai kecil ke sungai utama (Asdak 2007). Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai air baku air minum, pembangkit listrik, irigasi sawah, sumber air minum, pemandian dan sebagainya. Salah satu fungsi DAS yang utama adalah sebagai pemasok air baku dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir (Farida dan Noordwijk 2004). Ketersediaan air baku sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan di hulu DAS karena daerah ini merupakan pintu utama dalam menjaga ketersediaan suplai air. Air sangat penting nilai manfaatnya bagi semua proses kehidupan. Untuk itu perlu pengendalian dan pemantauan terhadap sumberdaya air mengenai potensi cadangan dan penggunaan air dengan memperhitungkan nilai degradasinya. Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya air merupakan perhitungan nilai rupiah dari stok sumberdaya air yang mengalami penyusutan atau mengalami alih fungsi setalah dieksploitasi dalam jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan sumberdaya air ketika terjadi penurunan terhadap kualiatas lingkungan perlu sekali untuk diperhitungkan. Dengan demikian dapat diketahui sumberdaya air
154
yang dikelola dalam waktu tertentu apakah menguntungkan atau merugikan bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerah dilihat dari keseimbangan nilai rupiah yang didapat dan biaya yang ditanggung akibat degradasi lingkungan. DAS Babon merupakan salah satu DAS di Jawa Tengah yang berada di tiga kabupaten/kota, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Demak. Keberadaan DAS tersebut sangat penting sekali dalam menunjang ketersediaan air baku khususnya untuk masyarakat Kota Semarang dimana oleh PDAM Kota Semarang akan diolah menjadi air Minum. Selain itu juga masyarakat di sekitar DAS juga banyak memanfaatkanya air baku DAS Babon seperti irigasi dan air minum. Namun demikian seiring dengan pertambahan waktu dan jumlah penduduk yang semakin banyak, menyebabkan berbagai tekanan terhadap kondisi ekologis DAS Babon tersebut. Banyak lahan yang beralih fungsi tidak sesuai peruntukkanya seperti berdirinya bangunan perumahan yang tidak memperhatikan sempadan sungai, kegiatan pembukaan lahan di bagian hulu, pertambangan yang merusak lingkungan serta pembuangan sampah, limbah cair industri dan rumah tangga di sungai sehingga menyebabkan menyempitnya badan sungai dan sedimentasi. Dampak yang kian dirasakan masyarakat sekitar DAS berupa berkurangnya debit air pada musim kemarau dan terjadinya banjir pada musim penghujan. Selain itu juga berpengaruh terhadap kualitas air DAS Babon yang digunakan sebagai air baku untuk PDAM Kota Semarang. Kualitas air DAS Babon menjadi tercemar, baik yang berasal dari limbah organik, anorganik dan logam-logam berat yang berasal dari buangan limbah cair industri dan rumah tangga. Mengingat pentingnya peranan DAS Babon sebagai sumber air baku air minum bagi penduduk sekitar Kota Semarang, maka perlu dilakukan perhitungan terhadap nilai ekonomi terhadap sumberdaya air di DAS Babon untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya air dengan cara mengetahui nilai ekonomi air yang sesungguhnya. Dalam pemanfaatan sumber daya alam menyebabkan timbulnya biaya yang dijadikan nilai nominal dari sumberdaya alam tersebut. Biaya nominal akan diukur manfaat ketersediaan sumberdaya alam. Untuk mengukur nilai pasar sumberdaya alam itu perlu dilakukan pemberian nilai (harga) sumber daya alam sesuai dengan pemanfaatan jasa lingkungan sumber
155
daya alam tersebut. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Menurut Munasinghe (1993) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup faktor-faktor nilai sosial dan politik. Seiring dengan perubahan waktu, kondisi kualitas dan kuantitas air DAS Babon sudah mengalami penurunan sehingga tidak layak lagi untuk digunakan atau perlu biaya yang sangat tinggi untuk memperbaiki kualitas air tersebut. Oleh karena itu mengingat pentingnya peran DAS Babon dan untuk mengembalikan kondisi kualitas air DAS Babon sesuai dengan peruntukannya perlu segera dilakukan penataan terhadap kondisi DAS Babon sesuai dengan tata ruang yang ada. Selain itu diperlukan suatu kompensasi terhadap sumberdaya air DAS Babon yang airnya banyak digunakan oleh masyarakat setempat. Pemberian kompensasi kepada sumberdaya air didasarkan pada kemampuan masyarakat untuk membayar (willingness to pay= WTP) atas penggunakan air DAS Babon untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan data sebaran penduduk yang ada di sekitar DAS Babon terdapat lebih kurang 241 382 KK yang mempunyai peran dalam menggunakan air DAS Babon baik langsung maupun tidak langsung. Apabila rata-rata pemanfaatan air oleh setiap rumah tangga sebesar 12.83 m3 per bulan atau 153.58 m3 air per tahun, dan apabila dilakukan pendekatan dengan harga tarif air PDAM Kota Semarang yang berlaku sekarang maka termasuk ke dalam golongan IIA Klasifikasi Langganan Rumah Tangga I. Hasil pendekatan perhitungan ekonomi tersebut dapat dilihat pada Tabel 28. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai air yang dirasakan oleh masyarakat yang memanfaatkan air disekitar DAS sebesar Rp 243 603 724 000,per tahun. Berdasarkan survei WTP, keinginan membayar masyarakat (WTP) atas penggunakan air baku DAS Babon yang diolah menjadi air minum sebesar Rp 3 000,- per m3, apabila kualitas air meningkat dan ketersediaan air terjamin. Dengan asumsi nilai Tarif berdasarkan WTP, maka nilai ekonomi dalam satu tahun dapat dilihat pada Tabel 2.29.
156
Tabel 28 Nilai ekonomi air dalam satutahun Gol
Klasifikasi Langganan
Jumlah rata-rata Penggunaan (m3)
Tingkat Pemakaian (m3) 0-10 10-20
Non Niaga Rumah A 22.4 m3/bulan Rp 22 500,- Rp 61 600,Tangga I Nilai Ekonomi Air Per Bulan Penggunaan Air 268.8 m3/tahun Selama Setahun Jumlah Pengguna Air Sebanyak 241 383 KK
Jumlah
II
Rp 84 100,Rp 84 100,Rp 1 009 200,Rp 243 603 724 000
Asumsi : 1) Penduduk yang memanfaatkan air adalah 1 206 912 jiwa 2) Harga Air 0 – 10 m3 = Rp 2 250,3) Harga Air 11 – 20 m3 = Rp 2 750,-
Tabel 29 Nilai ekonomi air dalam satu tahun Gol
Klasifikasi Langganan
Jumlah Rata-rata Penggunaan (m3)
Tingkat Pemakaian (m3) 0-10 10-20
Non Niaga Rumah 32.4 A Rp 30 000,Tangga I m3/bulan Nilai Ekonomi Air Per Bulan Penggunaan Air 388.8 Selama Setahun m3/tahun Jumlah Pengguna Air Sebanyak 241 383 KK
Jumlah
II
Rp 84 000,-
Rp 114 000,Rp 114 000,Rp 1 368 000,Rp 330 211 900 000
Asumsi : 1. Penduduk yang memanfaatkan air adalah 1 206 912 jiwa 2. Harga Air 0 – 10 m3 = Rp 3 000,3. Harga Air 11 – 20 m3 = Rp 3 750,-
Dengan demikian nilai air yang dirasakan oleh masyarakat di DAS Babon sebesar Rp 330 211 900 000,- dan nilai air tanah berdasarkan Perda Provinsi Jawa Tengah tentang tarif penggunaan air sebesar Rp 29 842 564 738.56. Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa apresiasi masyarakat terhadap nilai air berdasarkan WTP lebih besar daripada nilai ekonomi penggunaan air dari PDAM dan Perda Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya ketergantungan masyarakat terhadap air sangat tinggi sehingga ketersediaan air dalam kehidupan mereka sangat penting dan vital. Sehubungan dengan hal
157
tersebut maka keberlanjutan akan ketersediaan air sangat penting dan hal ini dapat dicapai dengan melakukan berbagai upaya. Peninjauan kembali akan kebijakan yang ada tentang PERDA penetapan penggunaan air tanah perlu dilakukan mengingat terlalu kecilnya standard tarif yang ditetapkan, mengingat konsumen pengguna air tanah terbesar adalah industri. Upaya menaikan standar harga air tanah dapat dilakukan dengan skenario bahwa selisih dana yang ada selain sebagai PAD Provinsi Jawa Tengah dapat dijadikan dana jasa lingkungan dalam upaya pelestarian wilayah hulu sebagai suplier air bagi kawasan DAS Babon, sehingga keberlanjutan ketersediaan air sebagai sumberdaya yang esensial bagi kehidupan masyarakat di Provinsi Semarang dapat sustainable. Demikian pula dengan tarif PDAM memungkinkan untuk dilakukan evaluasi ulang terhadap standard harga air yang ada dengan skenario peruntukan yang sama. Implikasi dari keadaan yang ada adalah perlu dilakukannya perubahan Peraturan Daerah tentang penetapan tarif penggunaan air tanah dan juga tarif PDAM. Hal ini dilakukan guna adanya kesadaran dan kerjasama yang baik terhadap daerah hulu agar ketersediaan air dapat tetap sustainable dengan memberikan bantuan dana ataupun insentif pengelolaan kawasan hulu sebagai kawasan konservasi tangkapan air. Penetapan besaran tarif dilakukan berdasarkan seberapa banyak dan frekuensi penggunaan air dari setiap industri atau bila perlu diberlakukan suatu gerakan community development berupa CSR (community social responsibility) bagi setiap industri bagi daerah hulu agar daerah hulu ikut menikmati hasil atas kenikmatan yang dirasakan oleh daerah hilir. Selain itu perlu peraturan yang mengatur soal penggunaan air tanah agar penggunaannya dapat terkontrol sesuai dengan daya dukung yang ada, sehingga tidak terjadi pemborosan penggunaaan air tanah, bila diperlukan dibuat aturan penggunaan kombinasi sumber air yaitu 50% menggunakan PDAM dan 50% menggunakan air tanah. Hal ini bertujuan selain menghemat akan ketersediaan air tanah juga suatu upaya pendapatan PAD dari komuditas air yang nantinya juga dapat dijadikan sumber dana dalam kegiatan konservasi air.
158
5.7. Analisis Kelembagaan yang terkait dalam Pengelolaan DAS Babon Vidula Arun Swami dan Sushma (2011) menjelaskan bahwa salah satu definisi pengelolaan DAS adalah proses terhadap perencanaan, pelaksanaan dalam rangka meningkatkan fungsi dari DAS yang mempengaruhi ekologi, sosial dan ekonomi dari kehidupan yang berada dalam batas DAS tersebut. Berdasarkan difinisi tersebut, maka pengelolaan DAS bukan masalah yang sederhana karena mencakup banyak sektor. Oleh sebab itu pengelolaan DAS harus dilakukan dengan pendekatan multi sektor. DAS Babon merupakan salah satu DAS kritis di Jawa Tengah yang menjadi prioritas
untuk
dikembalikan
fungsinya.
DAS
Babon
melewati
tiga
kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Semarang, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dan kolaborasi antara ketiga wilayah tersebut untuk menangani permasalahan DAS Babon. Permasalahanpermasalahan yang menyangkut DAS Babon antara lain peningkatan jumlah penduduk di daerah hilir, konversi lahan dari hutan menjadi perumahan dimana hal tersebut telah menyebabkan koefisien limpasan menjadi besar yang berimplikasi terhadap ketersediaan air baku. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilahan stakeholders yang berwenang untuk mengkaji dalam mengatasi permasalahan tersebut. Berdasarkan pendapat para pakar ada delapan stakeholders yang dikaji terkait dalam pengelolaan DAS Babon secara berkelanjutan seperti yang terlihat pada Tabel 30. Tabel 30 Stakeholders yang dikaji dalam pengelolaan DAS Babon secara berkelanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Stakeholders Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Pemerintah Kab/Kota Balai Pengelola Sumberdaya Air Wilayah Sungai (BPSWAS) PDAM Perguruan Tinggi LSM Masyarakat
Driver Power 7 1 8
Rank 2 4 1
1
4
7 2 7 7
2 3 2 2
159
Berdasarkan hasil analisis ISM, Tabel 30, nilai driver power stakeholders tertinggi terdapat pada nomor 3 atau pemerintah kab/kota untuk pengelolaan DAS sedangkan yang memiliki nilai driver power terendah adalah stakeholders nomor 2 dan 4 atau Pemerintah Provinsi dan BPSWAS. Interpretasi dalam bentuk hirarki disajikan pada Gambar 42, dan Gambar 43. Permasalahan dikelompokkan kedalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Analisis data ISM disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan Gambar 42 stakeholders prioritas dalam pengelolaan air baku DAS Babon berkelanjutan adalah Pemerintah Kab/Kota, Pemerintah Pusat LSM, PDAM dan masyarakat. Satu stakeholders prioritas berada pada sektor independent, Pemerintah Kabupaten/Kota dan empat stakeholders berada pada sektor linkage, Pemerintah Pusat, PDAM. LSM dan masyarakat, Gambar 43, berarti dalam pengelolaan air baku DAS Babon berkelanjutan berperan sebagai peubah bebas berkekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem. Level yang termasuk pada elemen independent adalah level 4 yaitu pemerintah daerah. Sektor linkage memberikan makna bahwa setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Posisi elemen prioritas menumbuhkan kemampuan mandiri dalam upaya hidup sehat berada di dekat sektor linkage, yang berarti faktor tersebut dapat berubah menjadi sektor linkage apabila faktorfaktor yang lain mendukung sub elemen tersebut. Hasil analisis di sektor linkage berisi elemen pada level ketiga yaitu pemerintah pusat, masyarakat, PDAM, dan LSM. Pada sektor dependent yangberisi elemen pada level 2 hingga level 1, memberikan makna bahwa ketiga elemen prioritas tersebut sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Level 2 adalah perguruan tinggi. Terakhir pada level 1 adalah pemerintah provinsi dan BPSWAS Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa prioritas stakeholders dalam pengelolaan air baku DAS Babon terdiri dari komponen struktur. Komponen struktur tersebut dibagi menjadi tiga elemen utama yaitu elemen dependent, elemen linkage dan elemen independent.
160
2
4
Sektor Dependent
6
1
5
Sektor Dependent
7
8
Sektor Linkage
Sektor Independent
3
Gambar 42 Diagram hirarki dari elemen-elemen stakeholders.
Y
9
Driver Force
Sector IV (independent)
3
Sector III (lingkage)
8 7
1, 5, 7, 8
6 5 0
1
2
3 Sector 1 (autunomus)
4 4
5
6
7 Sector II (dependent)
3 2
6
1
2
8
4
0
Gambar 43 Matriks DP-D untuk elemen prioritas.
X Dependence
Hasil analisis di atas memperlihatkan bahwa Pemerintah Kota/Kabupaten dianggap hal yang utama oleh responden dalam kegiatan pengelolaan air baku DAS Babon. Keterlibatan antar pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan DAS cukup bervariasi. Pada umumnya keterlibatan pemangku kepentingan dari instansi pemerintah di tataran provinsi hanya pada kegiatan perencanaan dan rekomendasi, sedangkan pemangku kepentingan pemerintah dan pemangku kepentingan BUMD di tataran kabupaten pada umumnya terlibat pada seluruh kegiatan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan monev) DAS.
161
Pemerintah Kabupaten/Kota beserta instansi teknis terkait di dalamnya berperan sebagai koordinator/fasilitator/regulator/supervisor penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota dan memberi pertimbangan teknis penyusunan rencana Pengelolaan DAS di wilayah kabupaten/kota serta dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Prioritas stakeholders berikutnya Pemerintah Pusat dapat berperan aktif dalam pengelolaan DAS Babon, diantaranya adalah Departemen Kehutanan terutama berperan dalam penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS. Departemen Pekerjaan Umum berperan dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang. Bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum aktif dalam program pemberdayaan masyarakat serta pemberdayaan masyarakat untuk penerapan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) yang salah satu programnya diberi nama SANIMAS atau sanitasi berbasis masyarakat. Departemen Dalam Negeri berperan dalam pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah. Departemen Pertanian berperan dalam pembinaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan irigasi. Departemen ESDM berperan dalam pengaturan air tanah serta mengeluarkan rekomendasi terhadap wilayah cekungan air tanah yang layak untuk dimanfaatkan, reklamasi kawasan tambang. Departemen Perikanan dan Kelautan berperan dalam pengelolaan sumberdaya perairan, sedangkan KLH dan Departemen Kesehatan berperan dalam pengendalian kualitas lingkungan. Prioritas stakeholders berikutnya PDAM sebagai Badan Usaha Milik Daerah. PDAM merupakan salah satu bentuk lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1962 tentang BUMD. Berdasarkan PP No.16 Tahun 2005,
PDAM
sebagai
perusahaan
daerah
diberi
tanggungjawab
untuk
mengembangkan dan mengelola sistem pengembangan air minum (SPAM) serta melayani semua kelompok konsumen dengan harga yang terjangkau. PDAM menggunakan sumber air baku yang berasal dari sungai, danau, mata air dan air tanah. Meskipun pengambilan air baku dari DAS Babon oleh PDAM lebih kecil dibandingkan dengan DAS Gung atau DAS Tikung, namun tidak disertai dengan pemberian kompensasi kepada masyarakat hulu. Oleh karena iti sebaiknya PDAM dalam menjalankan fungsinya tidak hanya berbasis pada komersial saja,
162
melainkan juga harus berbasis pada misi sosial dengan memperhatikan aspek lingkungan. Dengan keuntungan yang diperoleh dari penjualan air baku, sebaiknya PDAM memberikan kompensasi dalam bentuk jasa lingkungan kepada masyarakat didaerah hulu untuk melakukan konservasi agar ketersediaan air baku DAS Babon baik secara kualitas maupun kuantitas tetap terjaga. Menurut Shiva (2002), air merupakan sumber daya komunitas yang diperlukan oleh seluruh anggota komunitas masyarakat dan merupakan tanggung jawab komunitas. Prioritas stakeholders berikutnya LSM. LSM merupakan organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri, ditengah masyarakat, dan berminat serta bergerak dalam bidang lingkungan hidup. (UU No. 4 Tahun 1982 Pasal 1 Ayat 12). LSM ini biasanya dibentuk oleh masyarakat lokal yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. LSM juga harus ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan DAS Babon melalui berbagai program alternative dalam mengelola dan melestarikan DAS Babon seperti mendirikan sekolah lapangan. Dengan adanya sekolah lapangan diharapkan masyarakat mampu menerapkan ketrampilan dalam merehabilitasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati, air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat serta perubahan perilaku kesehatan dan kebersihan. Disamping itu, LSM juga berperan sebagai mitra kerja pemerintah dalam melaksanakan program program yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Prioritas stakeholders berikutnya masyarakat, merupakan unsur yang utama dalam pengelolaan DAS Babon. Menurut Piers Blake dan Harold Broofield (1987), perlu memposisikan masyarakat sebagai land manager atau menjadi pusat pengaturan setiap permasalahan dan berdasarkan persepsi dasar masyarakat. Menurut Kartasasmita (1995) dalam Rukmana (1995), pembangunan memang dapat juga berjalan dengan mengandalkan kekuatan yang ada pada pemerintah, namun hasilnya tidak akan sama jika dibandingkan dengan pembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian perjalanan dalam pembangunan menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, sangat diperlukan partisipasi masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan kebijakan yang ada dalam pengelola DAS Babon lebih memberikan manfaat kepada kesejahteraan masyarakat.
163
5.7.1
Mekanisme Kelembagaan Pengelolaan ABAM di DAS Babon Skenario Optimis yang disimulasikan dalam model pengelolaan ABAM
berbasis DAS di DAS Babon menunjukkan bahwa ketersediaan air akan lestari untuk jangka waktu 50 tahun ke depan. Skenario optimis memang menjanjikan untuk mencapai ketersediaan air baku yang lestari, namun untuk mencapai skenario optimis akan banyak kendala yang harus dihadapi. DAS Babon yang pertumbuhan penduduknya 1.8% per tahun, mendekati pertumbuhan penduduk secara nasional, sulit untuk ditekan pertmbuhannya menjadi 0.5% per tahun seperti yang digariskan dalam skenaro optimis. Lebih realistis untuk mengimplementasikan skenarion moderat, dimana pertumbuhan perduduk yang ditetapkan sebesar 1% per tahun. Berdasarkan simulasi model, kebutuhan akan air baku didominasi leh kebutuhan domestik. Kebutuhan air baku untuk indutri dan perhotelan, hanya kurang 20% dari kebutuhan air baku domestik. Oleh sebab itu, menekan laju pertumbuhan penduduk harus menjadi perioritas utama apabila ingin mencapai ketersediaan air baku yang lestari. Kualitas air baku akan berada pada kategori 1 (satu), PP.82/2001, yaitu kualitas air baku air minum pada tahun 2037 atau kira-kira 25 tahun ke depan. Apabila target kualitas air baku air minum tercapai, maka akan berimplikasi terhadap biaya produksi air minum yang diproduksi oleh PDAM. Apabila biaya produksi dapat ditekan, maka keuntungan PDAM akan meningkat dan kontribusi sebagai bentuk tanggungjawab sosial sebuah koporasi, CSR, akan lebih besar terhadap pelestarian lingkungan. Dalam skenario optimis, ditargetkan peningkatan kualitas air baku sebesar 5% per tahun, dimana dalam periode 25 tahun ke depan, akan tercapai kualitas air baku air minum (ABAM). Adapun target yang harus dicapai dalam skenario optimis sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan penduduk turun menjadi 0.5 %/tahun. 2. Laju pertumbuhan industri 0.015 %/tahun. 3. Laju pertumbuhan perhotelan 0.3 %/tahun. 4. Koefisien run off minimum karena ada program reboisasi pada kawasan hutan, terasering pada tegalan, pengembangan metode SRI untuk sawah dan pembuatan sumur resapan untuk kawasan pemukiman. 5. Adanya program peningkatan kualitas air sebesar 5% per tahun.
164
6. Kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam pemanfaatan air baku untuk domestik, perhotelan, dan industri. 7. Pemakaian air tanah 40%. Salah satu upaya mengurangi kebutuhan air adalah dengan mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Kebutuhan air baku untuk pelayanan penduduk, domestik, jauh lebih besar dibandingkan dengan pelayanan untuk industri dan hotel. Target yang akan yaitu laju pertumbuhan penduduk sebesar 0.5%. Perlu dijustifikasi kembali agar skenario ini lebih realistis. Oleh sebab itu, target pertumbuhan penduduk yang digariskan dalam skenario moderat, 1%/tahun, lebih mungkin untuk dilaksanakan. Agar target tersebut dapat dicapai, progam KB harus dilakukan dengan baik, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keluarga berencana. Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk tetap harus menjadi inisiatif pemerintahan kabupaten kota dengan cara berkoordinasi dengan BKKBN sebagai pemerintah pusat. Disamping itu harus dilakukan upaya efisiensi pemanfaatan air baku untuk kebutuhan domestik, industri dan hotel dengan melaksanakan program reduce dan reuse untuk kegiatan domestik dan hotel serta reduce, reuse, dan recycle untuk kegiatan industri. Demikian juga kegiatan dalam rangka meningkatkan ketersediaan air baku. Upaya yang harus dilakukan adalah memperbaiki tutupan lahan untuk kawasan hutan dengan melakukan reboisasi, terasering untuk tegalan, melaksanakan program SRI dan sumur resapan untuk kawasan perumahan. Perbaikan kualitas air di DAS Babon mutlak diperlukan, guna melindungi pemakai dan pengguna air yang berada di DAS Babon. Agar program diatas dapat tercapai, semua stakeholders, diinisiatifi dan dikoordinasi Pemerintah Kabupaten Kota, sebaiknya berkoordinasi secara rutin untuk melakukan identifikasi dan evaluasi. Program reduce dan reuse untuk kebutuhan domestik dapat dilakukan dengan cara sosialisasi dan kampanye publik agar kesadaran masyarakat meningkat terhadap pentingnya menghemat pemakaian air. Sebagai contoh, masyarakat diberi kesadaran bahwa reuse pemakaian air dapat dilakukan dengan cara menampung air yang digunakan untuk mencuci sehingga air tersebut dapat digunakan untuk menyiram tanaman.
165
Dalam rangka meningkatkan kualitas air baku perlu dilaksanakan program pemberdayaan masyarakat berupa pemahaman bahwa kualitas air sangat penting bagi kesehatan. Tujuan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tidak membuang limbah rumah tangga ke dalam drainase atau sungai. Dengan demikan, diharapkan, mereka akan membuat septic tank di rumah masing-masing. Bersamaan dengan kegiatan pemerdayaan masyarakat, pihak Pemerintahan Kabupaten Kota harus berinisiatif untuk membuat peraturan daerah tentang kewajiban masyarakat untuk mengolah limbah padat dengan cara mewajibkan membuat septic tank. Pemerintahan Kabupaten/Kota harus senantiasa melakukan monitoring kualitas air agar baku mutu air baku tetap terjaga. Metode yang digunakan bermacam macan antara lain dengan menggunakan metode stored dan atau metode index pencemaran dengan menggunakan data monitoring kualitas air yang rutin dilakukan setiap bulan. Tercemarnya air baku juga diakibat oleh aktifitas industri. Oleh sebab itu Pemerintah Kabupaten/Kota harus bertindak secara hukum apabila industri membuang limbahnya ke badan sungai. Peraturan terhadap kualitas lingkungan sudah ada, jadi yang diperlukan adalah pelaksanaan dan penegakan dari peraturan peraturan yang sudah ada. Peran LSM dan masyarakat sangat diperlukan sebagai kontrol agar penegakan hukum atau law enforcement berjalan. Untuk meningkatkan ketersediaan air inisiatif harus dimulai oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota dengan cara melakukan koordinasi dengan institusi yang berwenang. Sebagai contoh untuk melakukan reboisasi hutan, Pemerintahan Kabupaten/Kota harus berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini Kementerian Kehutanan, agar pelaksanaan program reboisasi hutan dapat terkoordinasi. Masyarakat dan LSM harus terlibat dalam mereboisasi hutan, agar pelaksanaan
reboisasi
dapat
terawasi.
Sejalan
dengan
reboisasi
hutan,
Pemerintahan Kabupaten/Kota harus segera mengevaluasi tarif air tanah agar pemakaian air tanah dapt terkendali. Rencana Walikota Semarang untuk menaikkan air tanah sebesar 1 000% atau sepuluh kali dari harga saat ini harus didukung agar diperoleh dana untuk melakukan konservasi air tanah. Demikian juga dengan tarif air minum dari PDAM. Berdasarkan survey WTP, masyarakat bersedia membayar lebih dari tarif yang ada saat ini sejauh ketersediaan air
166
minum terjadi dan kualitas baik. Dalam simulasi dapat dilihat bahwa apabila kualitas air baku diperbaiki, biaya produksi akan banyak berkurang dimana pada tahun 2010 biaya produksi PDAM sebesar Rp 109 486 080 000,-/tahun namun dengan memperbaiki kualitas air baku menjadi kualitas ABAM, maka biaya biaya produksi per tahun menjadi hanya sebesar Rp 79 499 069 229,-/tahun dengan pertambahan volume produksi yang lebih besar. 5.7.2 Penerapan BMP (Best Management Practise) dalam Pengelolaan ABAM DAS Babon Pengurangan kebutuhan air, peningkatan ketersediaan air dan perbaikan kualitas air berhubungan erat dengan menejemen pengelolaan DAS Babon, oleh sebab itu perlu dirumuskan panduan menejemen (best management practice) yang siap diterapkan sebagai rencana tindak dari Model Pengelolaan ABAM di DAS Babon, Semarang. Penerapan BMP harus disesuaikan dengan kondisi permasalahan yang ada, biaya yang tersedia dan kondisi sosial masyarakat yang setempat. BMP menyangkut banyak hal tidak terbatas pada masalah konstruksi sebagai misal IPAL (instalasi pengolahan air limbah), bronjong penguat tebing, terasering lahan, reboisasi hutan, tetapi juga bersangkutan dengan regulasi emisi limbah cair, program poduksi bersih (clean production) dan GHK (good house keeping) untuk industri, menejemen aplikasi pemupukan di lahan pertanian dan menejemen pengelolaan peternakan untuk mengurangi beban nutrient (nitrogen dan phospat) dari sumber polusi non point source. Program program yang harus dilakukan sebagai berikut:
Program Pembangunan Sarana Pengolahan Limbah Cair Sistem Desentralisasi (DEWATS) Pada masa yang lalu pembangunan IPAL (instalasi pengolah air limbah)
selalu diasosiasikan dengan polusi industri, tetapi sejalan dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan perumahan, pada saat kini sudah waktunya menerapkan pengembangan aplikasi IPAL komunal bagi perumahan-perumahan yang baru tumbuh tersebut. Laju perkembangan hunian perumahan real estate yang telah dibangun maupun yang sedang dibangun atau masih dalam tahap perencanaan
167
perkembangannya sangat pesat. Perumahan-perumahan tersebut pada akhirnya membuang limbah cair secara kolektif ke lingkungan dengan menggunakan saluran drainase yang akhirnya akan menuju ke anak sungai atau sungai yang terdekat. Apabila laju kecenderungan pembuangan limbah cair yang tanpa pengolahan berkembang pesat, maka dimungkinkan kondisi Sungai Babon pada saaat debit rendah dimasa yang akan datang akan menjadi black atau grey river (sungai limbah). Untuk menghindari situasi tersebut seyogyanya setiap komplek perumahan diwajibkan mempunyai instalasi pengolah limbah. DEWATS (decentralized water treatment system) adalah sistem teknologi pengolahan limbah yang cocok untuk kondisi perumahan. DEWATS merupakan sistem pengolahan limbah yang tersdesentralisasi, sistem ini terdiri dari modul modul pengolahan yang sesuai untuk diaplikasikan dan mudah dirawat dan dioperasikan. Sistem ini telah dikembangkan oleh BORDA (Bremen overseas research development agency) untuk pengolahan limbah domestik rumah tangga, rumah sakit, industri kecil di Kota Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Denpasar.
Program Pengurangan Laju Erosi untuk Mengurangi Beban Nutrient Salah satu sumber polusi non point source adalah berasal dari erosi lahan.
Nutrient dalam hal ini adalah Phospat, terbawa oleh aliran limpas permukaan (run off). Sediment yang membawa nurient tersebut akhirnya akan terangkut ke sungai. Proses selanjutnya adalah interaksi antara sedimen dengan kolom air yang mana Phospat dari sediment akan terlarut sebagai Phospart Organik atau Ortho Phospat dan proses sebaliknya dapat terjadi yang mana Phospat terlarut akan mengalami pengendapan dan masuk dalam lapisan sediment. Terdapat berbagai cara untuk mengurangi laju erosi yang berasal dari lahan kering perkebunan, tegalan, dan pedesaaan dengan cara cara : a) Sistem pertanaman lorong atau alur (alley croping) yang mana kombinasi tanaman semusim diselingi tanaman keras pada larikan, jenis tanaman keras yang digunakan biasanya adalah Lamtoro (Leucena leucocepala ), Gamal (Gliricidia sepium), Kaliandra (Calliandra tetragona) dan lainlain. b) Terasering pada lahan dengan kemiringan lebih dari 45% disertai dengan tanaman penguat teras.
168
c) Pembuatan Rodal (rorak pengendali), rorak adalah konstruksi parit buntu dengan ukuran lebar 0.5 s/d 1.5 m dan panjang disesuikan kebutuhan (5 – 10 m) yang berfungsi untuk menampung run off dan sediment. Dengan Rodal didapat berbagai manfaat yaitu: mengurangi banjir dan menambah imbuhan (recharge) air tanah, mengurangi erosi, dan jumlah sediment yang masuk ke sungai. d) Konservasi lahan dengan tanaman penutup tanah. e) Pembuatan chek dam pada sub DAS kecil untuk menahan sediment erosi.
Program Pembangunan Sarana Septic Tank Di daerah pedesaaan terutama penduduk yang bermukim di dekat daerah
bantaran sungai sebagian penduduk membuang limbah cair dan padat langsung ke badan air sungai, apabila kecenderungan hal ini dibiarkan terus sejalan dengan pertambahan populasi akan menyebabkan meningkatnya beban polusi domestik. Untuk mengurangi beban polusi domestik tersebut, diperlukan program pembangunan sarana fasilitas sanitasi di daerah pedesaan, terutama di daerah pemukiman di dekat bantaran sungai. Diperlukan juga penyuluhan dari Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten untuk merubah perilaku masyarakat. Sarana fasilitas sanitasi yang dikembangkan di pedesaan dapat berupa septic tank secara komunal atau individua, atau dalam bentu yang lebih sederhana sebagai misal pit latrine (WC Gali). Selain fasilitas sarana sanitasi berupa septic tank, BORDA dengan melalui Program WASPOLA dan SANIMAS di Kementerian Pekerjaan Umun dan Kementerian Kesehatan telah mengembangkan fasilitas sarana sanitasi imhoff tank di beberapa Provinsi di Indonesia.
Program Regulasi Pembuangan Limbah Cair Industri Pada saat kini dipasaran telah tersedia berbagai alternatif teknologi IPAL
(instalasi pengolahan air limbah). Pihak industri dapat memilih teknologi yang sesuai dengan jenis industri yang bersangkutan. Dengan selalu mengoperasikan sarana IPAL nya secara benar dan bertanggung jawab akan dihasilkan effluent yang sesuai dengan baku mutu.
169
5.7.3
Program Produksi Bersih atau GHK (good house keeping) Pengaturan pembuangan effluent yang dibuang oleh industri agar memenuhi
baku mutu perijinan dengan mendayagunakan IPAL disebut sebagai pendekatan end of pipe system. Ada cara pendekatan yang lain yang disebut sebagai pendekatan produksi bersih, pendekatan ini bersifat lebih pada pendekatan pada proses internal industri dengan cara menghemat bahan, air, energy, penggunaan kembali bahan (daur ulang), sehingga diharapkan menghasilkan limbah yang sedikit. Program produksi bersih pada tingkat Pemerintah Pusat didukung oleh PPPBN (Pusat Pengembangan Produksi Bersih Nasional). Sedangkan pada tingkat daerah program produksi bersih didukung oleh PPPBD (Pusat Pengembangan Produksi Bersih Daerah). Fungsi lembaga ini sebagai wadah tukar pengalaman, konsultasi dan pelatihan yang bersangkutan dengan poduksi bersih dan eko efisiensi antar stakeholder yang terdiri dari birokrat, industri, praktisi, dan perguruan tinggi. 5.7.4. Program Perlindungan dan Konservasi Daerah Bantaran Sungai Perlindungan bantaran sungai (river corridor) sumber polusi bermaksud untuk melindungi lahan bantaran sungai dari proses erosi oleh aliran sungai maupun run off. Dengan melakukan perlidungan bantaran sungai diharap dapat mengurangi beban polusi diffuse/non point source. Pada saat kini telah berkembang wacana eko hydraulic (hidrolika yang berwawasan lingkungan) sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah tidak melakukan pelurusan (sudetan) pada kondisi sungai yang berbelok-belok. Dan tidak selalu mengandalkan bangunan berdinding beton untuk menahan banjir. Banjir tidak dilawan tetapi dikelola dengan menyediakan dan mengkonservasi daerah dataran banjir. Stabilisasi tebing untuk mencegah erosi tidak selalu dibangun dengan konstruksi beton tetapi diutamakan dengan pendekatan bio engineering dengan menanan Bambu, Vetiver (rumput akar wangi), Krangkungan dan atau kombinasi dengan menggunakan bronjong. Melakukan perlindungan vegetasi dan habitat di daerah bantaran sungai dari peruntukan yang lain sebagai misal pemukiman, pertanian, dan lain-lain.
170
Dengan tidak melakukan pembelokan sungai, air akan mempunyai waktu lebih lama untuk mengalami proses purifikasi, vegetasi yang berada di daerah bantaran sungai berfungsi untuk menyerap nutrient (Nitrogen, Phospat, dan unsur lainnya) yang berasal dari bahan bahan polutant. Dengan melindungi daerah dataran banjir diharap akan mempertahankan ekosistem rawa yang mempunyai jejaring pangan (food web) yang pada akhirnya akan membantu mengurangi beban polusi. 5.7.5.
Program Pembangunan Sentralisasi
Sarana
Pengolahan
Limbah
Sistem
Jaringan Sistem Pengolahan Limbah Sentralisasi (Terpusat) adalah terdiri atas sambungan sambungan rumah tangga dan non rumah tangga, jaringan pengumpul, sistem pengglontor dan IPAL (instalasi pengolah air limbah) yang berfungsi untuk mengolah air limbah. Jaringan IPAL sentralisasi mencakup daerah luasan tertentu. Daerah yang telah menetapkan IPAL sentralisasi adalah Kota Tanggerang (blac water dan grey water), Kota Cirebon (black water dan grey water), Yogyakarta (black water dan grey water), Surakarta (hanya grey water). Jaringan IPAL tersentralisasi pada kota kota tersebut pada umumnya sebagian kecil yang dilayani jaringan tersebut. Biaya konstruksi dan biaya operasi dan pemeliharan sistem sentralisasi sangat mahal sehingga menjadi problem bagi Pemerintah Daerah untuk keberlanjutannya. 5.8. Role Sharing (Bagi Peran) Pengelolaan Kualitas Air Menejemen kualitas air sungai tidak dapat mengandalkan lembaga yang tunggal, menejemen kualitas air di era sekarang ini harus berdasar pada prinsipprinsip good governance (tata pemerintahan yang baik), yaitu dengan melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan dalam proses pengelolaan kualitas air. Institusi inti dan usulan role sharing atau bagi peran dalam menejemen kualitas air adalah dapat diringkas dalam Tabel 31.
171
Tabel 31 Role sharing (bagi peran) pengelolaan ABAM berbasis DAS No 1.
Institusi Pemerintahan Kabupaten Kota
2.
Pemerintah Pusat
3.
PDAM
Peran Berinisiatif untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi saat ini. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait lintas kabupaten/kota serta mendiskusikan permasalahan yang ada dan penetapan klas kualitas air sungai lintas Kabupaten/Kota dan lintas Provinsi. Melakukan evaluasi status mutu air sungai lintas Kabupaten/Kota dan lintas Provinsi. Menerapkan law enforcement bagi pelaku pencemaran lingkungan. Mewajib Industri melaksanakan progam reduce, reuse, dan recycle dengan cara membuat instalasi pengolahan limbah industri dan mengolahnya kembali. Mewajibkan hotel melakukan progam reduce dan reuse dengan cara mengganti equipment kamar mandi menjadi yang otomatic. Menaikkan tarif air tanah akan diperoleh dana untuk konservasi air tanah. Menaikkan tarif air minum PDAM agar PDAM dapat berperan dalam pelestarian lingkungan di wilayah hulu. Berkoordinasi dengan BKKBN untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk melaksanakan reboisasi. Melasanakan program terasering pada tegalan. Memfasilitasi Pemerintah Kabupaten Kota untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat antara lain. Kementerian Kesehatan dengan program pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Kementerian Pekerjaan Umum dengan program sanitasi masyarakat (SANIMAS). Kementerian Kehutanan dengan program pelestarian hutan. BKKBN program KB untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kementerian Lingkungan Hidup untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh Industri. Mengurangi kebocoran. Meningkatkan pelayanan dan menambah jumlah sambungan rumah. Ikut terlibat dalam program pelestarian DAS hulu.
172
No 4.
Institusi LSM
5.
Masyarakat
6.
Perguruan Tinggi
7.
Pemerintah Provinsi
8.
BPSDA
Peran Ikut terlibat dalam proses pemerdayaan masyarakat. Mengawasi pemanfaatan lahan dan mencegah konversi lahan serta terlibat dalam proses reboisasi. Terlibat langsung dalam pelaksanaan reboisasi hutan, terasering pada tegalan. Ikut mencegah pencemaran dengan tidak lagi. memuang limbah rumah tangga kedalam sungai atau selokan. Mendesain metoda metoda sosialisasi pemberdayaan masyarakat. Melakukan penelitian baik teknis maupun non teknis untuk dijadikan bahan evaluasi bagi Pemerintah Kabupaten/Kota. Memfasilitasi koordinasi antara Pemerintah Kabupaten/Kota (Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Demak. Memfasilitasi koordinasi antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Pusat Melaksanakan kebijakan yang sudah digariskan
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS memerlukan atribut kunci untuk menjamin ketersediaan air baku di suatu DAS. Atribut kunci tersebut adalah : BOD, COD, kekeruhan, debit air pada musim kemarau dan kekurangan dana untuk konservasi. 2. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS mempunyai 3 sub model antara lain: a. Sub model kebutuhan air, Sub model ini mempunyai variabel : laju pertumbuhan penduduk, laju pertumbuhan industri, dan laju pertumbuhan hotel serta kebijakan 2R untuk sektor kegiatan domestik dan hotel, dan kebijakan 3R untuk sektor kegiatan industri b. Sub model ketersediaan air, Sub model ini mempunyai variabel luas DAS, land use, koefisien run off (CRO), debit andalan, konservasi, biaya konservasi, ketersediaan air tanah, persentase pemakaian air tanah dan populasi. c. Sub model kualitas air. Sub model ini mempunyai variabel indeks kualitas air, biaya produksi air minum dan total penjualan air minum serta persentasi alokasi dana konservasi. 3. Aplikasi model di DAS Babon dapat disimpulkan: a. Air tanah merupakan variabel yang paling sensitif, sehingga melalui penggunaan model ini, pemanfaatan air tanah dapat dievaluasi untuk menghasilkan pengelolaan air baku air minum yang berkelanjutan dengan memanfaatkan air tanah 40% dari ketersediaannya. b. Pada tahun 2038 akan terjadi defisit ketersediaan air baku, sehingga penggunaan model ini dapat menambah ketersediaan air dengan cara menerapkan kebijakan, antara lain: 1) laju pertumbuhan penduduk; 2) CRO untuk perbaikan ketersediaan air baku berbasis DAS; 3) pendekatan 3R untuk mengurangi kebutuhan air baku; dan 4) pengelolaan air tanah. c. Untuk meningkatkan nilai total penjualan air minum dapat dilakukan dengan menerapkan harga WTP sampai dengan Rp 3 000/m3. Dengan
174
demikian keuntungan PDAM akan meningkat dan alokasi dana untuk melakukan konservasi akan semakin besar. 4. Pengelolaan ABAM di DAS Babon mengindikasikan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki driver force yang tinggi dan ketergantungannya rendah, sehingga pemerintah kabupaten/kota harus menjadi inisiator dalam pengelolaan air yang berbasis DAS. Selain itu pemerintah Kabupaten/Kota teridentifikasi sebagai sektor yang independent dan memiliki driving force yang tinggi, sehingga dapat bertindak secara bebas. Oleh sebab itu keberhasilan pengelolaan ABAM sangat berhubungan dengan kinerjanya.
6.2. Saran 1.
Untuk mencapai keberhasilan pengelolan ABAM di DAS Babon diperlukan kebijakan dari skenario optimis dan memperkuat peran kelembagaan pemerintah kabupaten/kota terutama memperioritaskan perbaikan CRO dengan mengalokasikan biaya untuk reboisasi dan konservasi.
2.
Dalam menerapkan kriteria kualitas air minum, parameter logam berat harus dimasukkan sebagai parameter yang harus dievaluasi, karena logam berat mempunyai dampak yang lebih berbahaya dibandingkan dengan parameter lain yang sudah menjadi kriteria.
3.
Peran pemerintah pusat khususnya dalam Pengembangan SPAM yang terkait dengan sektor lain perlu melakukan koordiasi didalam penyusunan JAKNAS sumberdaya air dan pola rencana sumberdaya air.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., Meine Van Noordwijk dan R. Subekti. 2004. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestry, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. ICRAF. Bogor. Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschener, K., and Feriss, B. 2000. How Good is Good? A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of the North Atlantic. In Pauly and Pither (eds). Methods for Evaluation the Impact of Fisheries on the Allantic Ecosystem. Fisheries Center Research Reports, 2000 Vol (8) No. 2. Aminullah, E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Makalah Kuliah Umum. Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. GadjahMada University Press. Yogyakarta. Asyiawati Y. 2002. Pendekatan Sistem Dinamik dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bapedal Provinsi Jawa Tengah. 2005. Rencana Pengelolaan Kualitas Air Daerah Aliran Sungai Babon. Kerjasama Teknis Pemerintah Republik Indonesia – Republik Federal Jerman. Program Lingkungan Hidup Indonesia – Jerman. Biswasroy, N.R., Samal P.K. Roy. and A. Mazumdar. 2010. Watershed management with special emphasis on Fresh water wetland. A case study of a flood plain wetland in west bengal, india. School of Water Resources Engineering, Jadavpur University. Kolkata-700 032, West Bengal, India. Global NEST Journal, Vol X, No X, pp XX-XX, 2010. Copyright© 2010 Global NEST. Printed in Greece. All rights reserved. Bond, Richard, Curran, Jahanna, Kirk Patrick, Lece, Norman, Francis, Paul. 2001. Integrated Impact Assessment for Sustainnable Development. A Case Study Approach. University of Mancherter. UK. Bourgeois, R. 2002. Expetr Meeting Methodology for Prospective Analysis. CIRAD Amis Ecopol. BP DAS Pemali-Jratun, 2002, Laporan Penyusunan Profil Lingkungan DAS Babon, Balai Pengelolaan DAS Pemali-Jratun, Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan.
176
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Kota Semarang Dalam Angka 2009. Pemerintah Kota Semarang. Kerjasama BPS dan BAPPEDA Kota Semarang. Budihardjo E. 1995. Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: UGM Press. Burrell E. Montz. 2008. Introduction to the Issue: The Role of Science in Watershed Management. Universities Council on Water Resources Journal of Contemporary Water Research & Education. Department of Geography, Binghamton University. Issue 138, Pages 3-6. Candra Samekto dan Ewin Sofian Winata, 2010. Potensi Sumber Daya Air di Indonesia; Disampaikan pada Seminar Nasional: Aplikasi Teknologi Penyediaan Air Bersih untuk Kabupaten/Kota di Indonesia. Djojomartono M. 2000. Dasar-Dasar Analisis Sistem Dinamik. Program Pascasarjana Ilmu pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Dunn W. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi 2. Jogyakarta. Gajah Mada University Press Effendie, H. 2003. Telaahan kualitas air bagi pengelola sumberdaya dan lingkungan perairan. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid I Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Eriyatno. 2002. Ilmu Sistem; Apa dan Bagaimana. Centre for System Studies and Development (CSSD) Indonesia. Gedung Jaya 2nd Floor, Jl. Thamrin 12. Jakarta. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid I Edisi Ketiga. IPB Press. Bogor. Farida and M.V. Noordwijk. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat alih Guna Lahan dan Aplikasi Model GenRiver Pada DAS Way Besai Sumberjaya. World Agroforestry Centre. Bogor. Fauzi, A. dan Anna, S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus: Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. 4 (3) : 14 – 21. Fauzi, A. dan Anna, S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 343 hal.
177
Forrester JW. 1961. The Industrial Dynamics. New York: The MIT Press - John Wiley & Sons, Inc. Greend, D.J. and Szabalcs, I. 1992. Soil Resiliance and Sustainable Land Use. Procedings of a Symposium Held in Budafest. 28 September to 2 October 1992. Including the Second Workshop on the Ekological Foundations of Sustainable Agriculture (WEFSA II). Research Institute for Soil Science and Agricultural Chemistry Hungarian Academy of Sciences. Budafest. Habb, T., and McConnel ,K. E. 2002. Valuing Environmental and Natural Resources . The Econometric of Non-Market Valuation. Edward Elgar, USA. Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Hardjomidjojo H. 2002. Metode Analisis Prospektif. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Hariadi Kartodihardjo, Kukuh Murtilaksono dan Untung Sudadi, 2004. Institusi Pengelolaan Daerag Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Isnugroho, 2002, “Sistem Pengelolaan sumberdaya air. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, Jakarta Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsof Exel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP. 2000. Membuat Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta. Karin E. Kemper, USA (2005). Instrument and Institution for Water Management. http://www.iwmi.cgiar.org/publications/CABI_Publications/CA_CABI_Serie s/Ground_Water/protected/Giordano_1845931726-Chapter8.pdf Katodihardjo, H., Murtilaksono, K.,Pasaribu. H.S., Sudadi, Untung., Nuryantono. N. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. K3SB. Bogor. Kartodihardjo, H. 2001. Membangun dan Memperkuat Institusi Pengelolaan Sumberdaya Alam: Pendekatan Bioregion sebagai Dasar Pijakan. Makalah dalam workshop yang dilaksanakan oleh Walhi, 2001, di Jakarta.North 1990. Keputusan Menteri Kesehatan 1405/Menkes/SK/XI/2002.
Republik
Indonesia
Nomor
178
Kristanto. 2005. Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Lucas, H.C. 1993. Analisis, Desain dan Implementasi Sistem Informasi (Penerjemah: Abdul Basith). Erlangga. Jakarta. Marimin. 2004. Teknik Pengambilan Keputusan Kriteria Jamak. IPB Press. Bogor. Manetch, T.J., and Park G.L. 1977. Sistem Analysis and Simulation With Application to Economic and Social System Part I. Third Edition, Departement of Electrical Engineering ang System Science. Michigan State University. East Lansing. Michigan. Marten, G.G. 2001. Human Ecology, Basic, Concept for sustainable development. Earthscan Publication Ltd. London-Sterling, VA. 238p. Midgley, G. 2000. Systemic Intervention: Philosophy, Methodology, and Practice. Kluwer Academic/Plenum Publisher. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. Mitchel, B. 1997. Resources and Environmental Management. University of Waterlo. Waterlo. Ontario. Muhammadi, E., Aminullah, B., dan Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Valuation in Development Decisionmaking. The World Bank, Sector Policy and Research Staf, Environment Working Paper No.51. Washington D.C. O’Brien, J.A. 1999. Management Information System. McGraw Hill. Arizona. USA. Pannekoek.1949. Garis Besar Geomorfologi Pulau Jawa. Diterjemahkan Budi Busri Jakarta : tanpa penerbi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Pramono, J. 2010. Evaluasi Pemanfaatan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Babon Provinsi Jawa Tengah. Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Diponegoro. Semarang.
179
Pramudya B. 1989. Permodelan Sistem Pada Perencanaan Mekanisasi Dalam Kegiatan Pemanenan Tebu Untuk Industri Gula [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. ProLH-GTZ. 2005. Rencana Pengelolaan Kualitas Air Daerah Aliran Sungai Babon. Kerjasama Teknis Pemerintah RI – Republik Federal Jerman. Program Lingkungan Hidup Indonesia – Jerman. Bappedal Provinsi Jawa Tengah. Radar Semarang. 2010. 5 Perusda Digerojok Rp 100 M. http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=176005. diambil pada tanggal 29 Agustus 2010. Rahmadi A, 2005. Konsep konsep Dasar air dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/dasdan-pengelolaannya-3/. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi. Pascasarjana. IPB. Roderic, G. Meppem, Tony. 1997. Planning for Sustainability as a Learning Concept. New England Ecological Economic Group. Center for Water Policy Research. University of New England. Armidale. Australia. Rukmana, Deden. 1995. Partisipasi Masyarakat dalam Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah Terbelakang. Jurnal PWK Nomor 19/Juni 1995. Sabari H. 1991. Konsepsi Planalogi : Pendekatan Sistem dan Survai Terpadu, Yogyakrta : PT. Hardana. Salim, E. 2004. Membangun Indonesia 2005-2020. Jurnal Ekonomi Lingkungan. Edisi 13 tahun 2004. Saxena, JP, Sushil and P Vrat. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Elements Using Interpretative Structural Modelling. System Practice Vol 5(6): 651-670. Setiadi. 2004. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Vol 3 (1). Sihwanto dan Sukirno. 2000. Konservasi Air Tanah Daerah Semarang. Direktorat Geologi Tata Lingkunga. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Jakarta. Shiva, V. 2002. Water Wars. South End Press. Third World Traveler. [SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. 2002. Penyusunan neraca sumber daya Bagian 1: Sumber daya air spasial .Standar Nasional Indonesia, SNI 196728.1-2002
180
Sudodo dan Prastowo. 2005. Masalah Sumberdaya Air di Indonesia : Kerusakan DAS dan Rendahnya Kinerja Pemanfaatan Air. http ://www.google.co.id/search DAS (27 Mei 2008). Suhandjaja, Andrian. 2006. Lambannya Pelibatan Swasta dalam Pengelolaan Air Minum.http://www.pu.go.id/bapekin/buletin%20jurnal/buletin%208/buletin 85. html. Susanto, A. 2010. Strategi Kebijakan Pemanfaatan Air Tanah Sebagai Sumber Air Bersih Di Kota Semarang Yang Berkelanjutan. Tesis tidak dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor. Tampubolon, R. 2007. Pengaruh Kualitas Lingkungan Terhadap Biaya Eksternalitas Pengguna Air Citarum. Disertasi. Pascasarjana. IPB. Tampubolon, R., B. Sanim, M. Sri Saeni, dan R. Boer. 2007. Analisis Perubahan Kualitas Lingkungan Daerah Aliran Sungai Citarum Jawa Barat dan Pengaruhnya Terhadap Biaya Produksi PLTA dan PDAM (Studi Kasus PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur, PDAM Purwakarta, dan PDAM DKI Jakarta). J. Tanah dan Iklim. Nomor 26: 47-62. Todd, D.K., 1980, Ground-water hydrology (Second Edition): John Wiley and Sons, New York, 535 p. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Vidula Arun Swami dan Sushma (2011). Watershed development programmes, Engineering measures, Biological measures, Watershed management techniques, ground water storage, Social forestry. International Journal of Engineering Science and Technology (IJEST). Vol 3 (3) : 2105-2112 [WATSAL] Water Sector Adjustment Loan. 1999. International Bank for Reconstruction Development. [WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Oxford Univ. Press. New York. Wibawa, W.D. 2010. Disain Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Berbasis Tanaman Holtikultura Tahunan di DAS Ciliwung Hulu. Disertasi. Pascasarjana. IPB. Wulandari, E. 2007. Analisis Kepuasan Pelanggan Terhadap Kualitas Pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. 166 hal. Yulistiyanto dan Kironoto, 2008. Konsepsi perhitungan air dan cara perhitungannya.http://younggeomorphologys.wordpress.com/2011/03/19/kon sepsi -kebutuhan-air-batasan-dan-cara-perhitungannya/
LAMPIRAN
181 Lampiran 1. Atribut-atribut dan skor Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis Daerah Aliran Sungai
KUESIONER PENELITIAN DISERTASI ( Analisis Keberlanjutan)
MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAERAH ALIRAN SUNGAI (STUDI KASUS: DAS BABON SEMARANG)
Oleh : RAYMOND MARPAUNG NRP : P 06203 4064 PROGRAM STUDI : ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
IDENTITAS PAKAR No. Kuesioner
:………………………………………………………………
Nama Pakar
:………………………………………………………………
Pekerjaan
:………………………………………………………………
Hari/ Tanggal
:………………………………………………………………
Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Semua data dan informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun disertasi dan dijamin kerahasiaannya. Atas kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
182
PETUNJUK PENGISIAN 1. Bapak/ Ibu dapat memberi skor setiap atribut keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan sesuai dengan kondisi saat ini. 2. Skor setiap atribut dapat dipilih sesuai dengan kriteria atribut keberlanjutan yang telah ditentukan.
Aspek dan Atribut Aspek Ekologi Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terkahir
ANALISIS KEBERLANJUTAN Skor Baik Buruk (1) terjadi penurunan 10 persen – 25 persen
0
3
Debit air pada musim penghujan selama lima tahun terkahir
(2) Terjadi peningkatan 25% - 50%
0
3
Tingkat kekeruhan air
(2) keruh
0
3
Kadar BOD
(3) jauh diatas ambang
0
3
Kadar COD
(3) jauh diatas ambang
0
3
Kandungan logam berat
(3) jauh di atas ambang batas
0
3
Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon Semarang Kondisi daerah resapan air di DAS bagian hulu
(0) tidak sesuai
2
0
(2) Rusak
0
3
Tingkat pemanfaatan lahan di sekitar badan sungai Babon
(2) sebagian besar dimanfaatka n untuk pemukiman, pertanian, dan industri
0
3
Keterangan
(0) terjadi penurunan kurang dari 10 persen; (1) terjadi penurunan 10 persen – 25 persen; (2) terjadi penurunan 25 persen – 50 persen; (3) terjadi penurunan lebih dari 50 persen (0) terjadi peningkatan kurang dari 10 persen; (1) terjadi peningkatan 10 persen – 25 persen; (2) terjadi peningkatan 25 persen – 50 persen; (3) terjadi peningkatan lebih dari 50 persen (0) jernih; (1) agak keruh; (2) keruh; (3) sangat keruh. (0) di bawah ambang batas; (1) sama dengan ambang batas ; (2) sedikit di atas ambang batas; dan (3) jauh di atas ambang batas (0) di bawah ambang batas; (1) sama dengan ambang batas ; (2) sedikit di atas ambang batas; dan (3) jauh di atas ambang batas (0) di bawah ambang batas; (1) sama dengan ambang batas ; (2) sedikit di atas ambang batas; dan (3) jauh di atas ambang batas (0) tidak sesuai; (1) sesuai; (2) sangat sesuai. (0) masih dalam kondisi lestari; (1) rusak ringan; (2) rusak ; (3) rusak berat. (0) tidak dimanfaatkan (dijadikan daerah resapan air); (1) dimanfaatkan sedikit untuk pemukiman, pertanian, dan industri; (2) sebagian besar dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, dan industri; (3) seluruhnya dimanfaatkan.
183
Aspek Ekonomi Aspek dan Atribut Biaya produksi pengolahan air minun Tingkat keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Skor saat ini (2) tinggi
Baik Buruk 0 3
(0) Rugi
3
0
Tingkat pemenuhan permintaan konsumen
(1) kurang terpenuhi
3
0
Subsidi yang diterima
0
3
Pangsa pasar (demand)
(3) Sangat Tinggi (2) Besar
2
0
Teknologi pengolahan air minum
(1) teknologi sedang
2
0
Tingkat efisiensi pengolahan air minum
(1) kurang efisien
3
0
Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan Transfer cost untuk biaya pengelolaan lingungan antar stakeholders
(2) tersedia
3
0
(0) Tidak tersedia
3
0
(1);Tidak ada
2
0
Keterangan (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi; dan (3) terus meningkat. (0) rugi ; (1) berada pada titik impas; (2) sedikit di atas titik impas; dan (3) jauh di atas titik impas. (0) tidak terpenuhi; (1) kurang terpenuhi; (2) terpenuhi; dan (3) sangat terpenuhi (0) tidak ada; (1) ada sedikit; (2) ada; dan (3) sangat tinggi (0) kecil; (1) sedang; dan (2) besar. (0) teknologi sederhana; (1) teknologi sedang; dan (2) teknologi tinggi (0) tidak efisien; (1) kurang efisien; (2) efisien; dan (3) sangat efisien. (0) tidak tersedia; (1) kurang tersedia; (2) tersedia; dan (3) tersedia tak terbatas. (0) tidak tersedia; (1) kurang tersedia; (2) tersedia; dan (3) tersedia tak terbatas. (0) tidak ada; (1) ada tapi belum berjalan dengan baik; (2) ada dan sudah berjalan dengan baik.
184
Aspek Sosial Aspek dan Atribut
Skor saat ini
Baik Buruk
Tingkat keluhan (masyarakat)pelanggan Terhadap PDAM Tingkat keluhan masyarakat Terhadap ketersediaan air baku Frekuensi konflik pemanfaatan sumber air baku Ketersediaan kelompok masyarakat dlm pengelolaan air
(2) Sedang
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
(2) Sedang
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
(1) rendah
0
3
(0) tidak ada; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi.
(1) ada tapi tidak berfungsi optimal
2
0
(0) tidak ada; (1) ada tapi tidak berfungsi optimal; (2) Ada dan berfungsi optimal.
Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap Tokoh Panutan (champion) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kebutuhan air minum Ketersediaan aturan hukum/ adat/ agama
(1) ada ketergantung an
0
2
(0) tidak tergantung; (1) ada ketergantungan; (2) Sangat tergantung
(1) ada tapi tidak berjalan optimal (1) ada tapi kurang dipatuhi (1) Sedang
2
0
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi
2
0
(0) tidak ada; (1) ada tapi kurang dipatuhi; (2) ada dan dipatuhi
0
3
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi; dan (3) sangat tinggi
(2) Tinggi
0
3
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi; dan (3) sangat tinggi
(2) Tinggi
0
3
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi; dan (3) sangat tinggi
(1) sedang
0
3
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi; dan (3) sangat tinggi
Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan non domestik Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan air minum (domestik) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM. Pemahaman dan keperdulian Masyarakat terhadap kelestarian SDA
Keterangan
185
Lampiran 2. Source Code: Stella. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS Kebutuhan Air Hotel(t) = Hotel(t - dt) + (Pertumbuhan_Hotel) * dt INIT Hotel = 85 INFLOWS: Pertumbuhan_Hotel = Hotel*(Laju_Pertumbuhan_Hotel/100) Industri(t) = Industri(t - dt) + (Pertumbuhan_Industri) * dt INIT Industri = 16528 INFLOWS: Pertumbuhan_Industri = Industri*(Laju_Pertumbuhan_Industri/100) Populasi(t) = Populasi(t - dt) + (Pertumbuhan_Penduduk) * dt INIT Populasi = 1280785 INFLOWS: Pertumbuhan_Penduduk = Populasi*(Laju_Pertumbuhan_Penduduk/100) Kebutuhan_Fasilitas_Umum = Populasi/4*(kebutuhan_standart_Fasum)*365 Kebutuhan_Standar = (120*365)/1000 kebutuhan_standart_Fasum = (600*12.5)/100 Kebutuhan_Standar_Industri = 201.25*(Reduce_Reuse_and_Recycle/100) Kebutuhan_Standar_Perhotelan = 253*(Reduce_&_Reuse/100) Laju_Pertumbuhan_Hotel = 1 Laju_Pertumbuhan_Industri = 0.025 Laju_Pertumbuhan_Penduduk = 1.5 Reduce_&_Reuse = 10 Reduce_Reuse_and_Recycle = 20 Total_Kebutuhan = Total_Keb_Domestik+Total_Keb_Industri+Total_Keb_Perhotelan Total_Keb_Domestik = Populasi*Kebutuhan_Standar Total_Keb_Industri = Industri*Kebutuhan_Standar_Industri Total_Keb_Perhotelan = Hotel*Kebutuhan_Standar_Perhotelan Ketersediaan Air C_Hutan(t) = C_Hutan(t - dt) + (- Penurunan_C_Hutan) * dt INIT C_Hutan = C_Hutan_Existing OUTFLOWS: Penurunan_C_Hutan = IF(C_Hutan<=0.2)THEN(0)ELSE((C_Hutan_Existing0.2)/(1/(Persentase_Reboisasi/100))) C_Pemukiman(t) = C_Pemukiman(t - dt) + (- Penurunan_C_Pemukiman) * dt INIT C_Pemukiman = C_Pemukiman_Existing
186
OUTFLOWS: Penurunan_C_Pemukiman = IF(C_Pemukiman<=0.3)THEN(0)ELSE((C_Pemukiman_Existing0.3)/(1/(Persentase_Jumlah_Sumur_Resapan/100))) C_Sawah(t) = C_Sawah(t - dt) + (- Penurunan_C_Sawah) * dt INIT C_Sawah = C_Sawah_Existing OUTFLOWS: Penurunan_C_Sawah = IF(C_Sawah<=0.2)THEN(0)ELSE((C_Sawah_Existing0.2)/(1/(Persentase_SRI/100))) C_Tegalan(t) = C_Tegalan(t - dt) + (- Penurunan_C_Tegalan) * dt INIT C_Tegalan = C_Tegalan_Existing OUTFLOWS: Penurunan_C_Tegalan = IF(C_Tegalan<=0.2)THEN(0)ELSE((C_Tegalan_Existing0.2)/(1/(Persentase_Terasering/100))) Total_Biaya_Reboisasi(t) = Total_Biaya_Reboisasi(t - dt) + (Biaya_Reboisasi_per_Tahun) * dt INIT Total_Biaya_Reboisasi = 0 INFLOWS: Biaya_Reboisasi_per_Tahun = IF((time<=(2010+(100/Persentase_Reboisasi))))THEN(Biaya_Reboisasi_per_Ha*luas_ hutan*(Persentase_Reboisasi/100))ELSE(0) Total_Biaya_SRI(t) = Total_Biaya_SRI(t - dt) + (Biaya_SRI_per_Tahun) * dt INIT Total_Biaya_SRI = 0 INFLOWS: Biaya_SRI_per_Tahun = IF((time<=(2010+(100/Persentase_SRI))))THEN(Biaya_SRI_per_Ha*luas_sawah*(Per sentase_SRI/100))ELSE(0) Total_Biaya_Sumur_Resapan(t) = Total_Biaya_Sumur_Resapan(t - dt) + (Biaya_Sumur_Resapan__per_Tahun) * dt INIT Total_Biaya_Sumur_Resapan = 0 INFLOWS: Biaya_Sumur_Resapan__per_Tahun = IF((time<=(2010+(100/Persentase_Jumlah_Sumur_Resapan))))THEN(Biaya_Sumur_R esapan_per_Ha*Luas_Pemukiman*(Persentase_Jumlah_Sumur_Resapan/100))ELSE(0) Total_Biaya_Terasering(t) = Total_Biaya_Terasering(t - dt) + (Biaya_Terasering_per_Tahun) * dt INIT Total_Biaya_Terasering = 0 INFLOWS: Biaya_Terasering_per_Tahun = IF((time<=(2010+(100/Persentase_Terasering))))THEN(Biaya_Terasering_per_Ha*lua s_Tegalan*(Persentase_Terasering/100))ELSE(0)
187
Biaya_Reboisasi_per_Ha = 1500000 Biaya_SRI_per_Ha = 2000000 Biaya_Sumur_Resapan_per_Ha = 500000 Biaya_Terasering_per_Ha = 1000000 CRO_Eksisting_Kumulatif = (CRO_Hutan_Existing+CRO_Pemukiman_Existing+CRO_Sawah_Existing+CRO_Teg alan_Existing)/luas_DAS_Babon CRO_Hutan = luas_hutan*C_Hutan CRO_Hutan_Existing = C_Hutan_Existing*luas_hutan CRO_Kumulatif = (CRO_Tegalan+CRO_Hutan+CRO_sawah+CRO_Permukiman)/luas_DAS_Babon CRO_Pemukiman_Existing = C_Pemukiman_Existing*Luas_Pemukiman CRO_Permukiman = Luas_Pemukiman*C_Pemukiman CRO_sawah = C_Sawah*luas_sawah CRO_Sawah_Existing = C_Sawah_Existing*luas_sawah CRO_Tegalan = C_Tegalan*luas_Tegalan CRO_Tegalan_Existing = C_Tegalan_Existing*luas_Tegalan C_Hutan_Existing = 0.35 C_Pemukiman_Existing = 0.5 C_Sawah_Existing = 0.5 C_Tegalan_Existing = 0.4 Debit_Andalan = 0.06 Debit_Model = ((1-CRO_Kumulatif)/(1CRO_Eksisting_Kumulatif))*(Debit_Andalan*(Persentase_Debit_Andalan/100))*(8640 0*30*12) Ketersediaan_Air_Tanah = 91660000*(Persentase_Pemakaian_Air_Tanah/100) KK = Populasi/5 luas_DAS_Babon = 35598.4 luas_hutan = 5868.3 Luas_Pemukiman = 10000 luas_sawah = 2361.7 luas_Tegalan = luas_DAS_Babon-luas_hutan-luas_sawah-Luas_Pemukiman Persentase_Debit_Andalan = 100 Persentase_Jumlah_Sumur_Resapan = 0 Persentase_Pemakaian_Air_Tanah = 40 Persentase_Reboisasi = 15 Persentase_SRI = 0 Persentase_Terasering = 5 Total_Ketersediaan = Debit_Model+ketersediaan_air_tanah Total_Volume_Sumur_Resapan = KK*(Persentase_Jumlah_Sumur_Resapan/100)*10 Kualitas Air dan Biaya Produksi BOD(t) = BOD(t - dt) + (- Penurunan_BOD) * dt INIT BOD = 1.5 OUTFLOWS: Penurunan_BOD = BOD*(Peningkatan_Kualitas_Air/100)
188
BOD_Max(t) = BOD_Max(t - dt) + (- Penurunan_BOD_Max) * dt INIT BOD_Max = 3 OUTFLOWS: Penurunan_BOD_Max = BOD_Max*(Peningkatan_Kualitas_Air/100) COD(t) = COD(t - dt) + (- Penurunan_COD) * dt INIT COD = 35 OUTFLOWS: Penurunan_COD = COD*(Peningkatan_Kualitas_Air/100) COD_Maksimum(t) = COD_Maksimum(t - dt) + (- Pnurunan_COD_Max) * dt INIT COD_Maksimum = 10 OUTFLOWS: Pnurunan_COD_Max = (COD_Maksimum*(Peningkatan_Kualitas_Air/100)) DO(t) = DO(t - dt) + (- Penurunan_DO) * dt INIT DO = 25.58 OUTFLOWS: Penurunan_DO = DO*(Peningkatan_Kualitas_Air/100) DO_Maksimum(t) = DO_Maksimum(t - dt) + (- Penurunan_DO_Max) * dt INIT DO_Maksimum = 57 OUTFLOWS: Penurunan_DO_Max = (DO_Maksimum*(Peningkatan_Kualitas_Air/100)) Kekeruhan(t) = Kekeruhan(t - dt) + (- Penurunan_Kekeruhan) * dt INIT Kekeruhan = 4 OUTFLOWS: Penurunan_Kekeruhan = Kekeruhan*(Peningkatan_Kualitas_Air/100) Kekeruhan_Maksimum(t) = Kekeruhan_Maksimum(t - dt) + (Penurunan_Kekeruhan_Max) * dt INIT Kekeruhan_Maksimum = 5 OUTFLOWS: Penurunan_Kekeruhan_Max = Kekeruhan_Maksimum*(Peningkatan_Kualitas_Air/100) Benefit = Hasil_Penjualan_Air-Total_Biaya_Produksi Biaya_Produksi_per_m3 = IF(Kualitas_Air_Baku=0)THEN(884)ELSE IF(Kualitas_Air_Baku=1)THEN(1125)ELSE IF(Kualitas_Air_Baku=2)THEN(1500)ELSE(2000) Harga_jual_air_per_m3 = 2250 Hasil_Penjualan_Air = Debit_Model*Harga_jual_air_per_m3 Indeks_BOD = ((((BOD_Max/2)^2)+((BOD/2)^2))/2)^0.5 Indeks_COD = ((((COD_Maksimum/6)^2)+((COD/6)^2))/2)^0.5 Indeks_DO = ((((DO_Maksimum/6)^2)+((DO/6)^2))/2)^0.5 Indeks_Kekeruhan = ((((Kekeruhan_Maksimum/2)^2)+((Kekeruhan/2)^2))/2)^0.5 Konservasi = Benefit*(Persentase_Alokasi_Dana_Reboisasi/100)
189
Kualitas_Air_Baku = IF(((Indeks_BOD+Indeks_DO+Indeks_Kekeruhan +Indeks_COD))<=1)THEN(1) ELSE IF ( ((Indeks_BOD+Indeks_DO+Indeks_Kekeruhan+Indeks_COD)) <=5)THEN(2) ELSE IF ( ((Indeks_BOD+Indeks_DO+Indeks_Kekeruhan+Indeks_COD)) <=10)THEN(3)ELSE(4) Peningkatan_Kualitas_Air = 5 Persentase_Alokasi_Dana_Reboisasi = 20 Total_Biaya_Produksi = Debit_Model*Biaya_Produksi_per_m3 Not in a sector
190
Lampiran 3. Kuisioner Survei Nilai Ekonomi Air
KUESIONER PENELITIAN DISERTASI SURVEY WTP MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAS
Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG
Nama Mahasiswa: RAYMON MARPAUNG NRP
: P 062034064
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Data dan semua informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun disertasi dan saya akan jamin kerahasiaannya. Atas berkenannya Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
191
Kuisioner Nilai Ekonomi Industri MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAS Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG Identitas Responden 1. Nama Responden 2. Alamat
: __________________________Umur _________Tahun : RT/RW ___/_____ Desa/Kelurahan_________________ Kecamatan__________________ Kabupaten/Kota ______________
3. Nama perusahaan
:
4. Jenis kegiatan pokok dan tambahan perusahaan No
Pokok
Jenis Pekerjaan Tambahan
Keterangan
Jumlah Pendapatan (Rp/bulan) 5. Berapakah jumlah karyawan ? Jumlah karyawan adalah _____ orang, terdiri dari : Laki :……………, Perempuan : ……… 6. Bagaimana status perusahaan yang dikelola ? a. BUMN b. BUMD c. Swasta murni d. Koperasi e. Lainnya : _________________ 7. Untuk keperluan kegiatan industri darimanakah Anda memperoleh air ? Uraikan sebagaimana tabel berikut ini. Sumber Air yang Jumlah Air Digunakan (m3) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Keterangan : Sumber air yang digunakan terdiri dari 1 = mata air/sungai; 2 = sumur/pompa; dan 3 = sumber air PDAM No
Jenis Penggunaan Air
192
8. Jika pengambilan air dilakukan dengan menggunakan alat-alat tertentu (seperti pompa, ember, pipa,dan sebagainya); berapakah biaya pengadaan, biaya perawatan atau biaya pemeliharaan, biaya operasi, dan umur pakai (umur teknis) alat-alat tersebut ? Biaya Sumber Biaya No Nama Alat Perawatan/operasi Umur Pakai (tahun) Air Pengadaan (Rp) (Rp)
Jumlah Biaya
9. Adakah usaha-usaha yang dilakukan untuk pembersihan/penjernihan air sebelum dikonsumsi ? (Ada/Tidak Ada). Jika ada, usaha-usaha apa yang dilakukan dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk usaha tersebut ? No
Jenis Penggunaan Air
Upaya Penjernihan Air
Biaya Penjernihan Air (Rp)
Jumlah Biaya (Rp) 10. Jika air yang digunakan berasal dari sumber air yang dikelola oleh perusahaan air minum, berapakah rata-rata pengeluaran Anda untuk membayar air itu ? Pengeluaran bulan terakhir : Rp.____________/bulan Rata-rata pengeluaran 6 bulan terakhir : Rp________/bulan 11. Bagaimana status ketersediaan air yang Anda gunakan ? a. tersedia dan mencukupi dan mencukupi sepanjang tahun. b. tersedia sepanjang tahun tapi tidak mencukupi selama musim kemarau. c. tersedia seama musim hujan dan mencukupi kebutuhan d. tersedia selama musim hujan tetapi tidak mencukupi sepanjang tahun. 12. Jika air yang digunakan berasal selain dari perusahaan air minum (PDAM), berapakah rata-rata pengeluaran Anda untuk membayar air itu ? Pengeluaran bulan terakhir : Rp.____________/bulan Rata-rata pengeluaran 6 bulan terakhir : Rp________/bulan
193
13. Jika air yang anda konsumsi dari PDAM bagaimana menurut anda tentang fasilitas PDAM dalam mengelola air baku? a. Sangat memadai b. Memadai c. Cukup Memadai d. Tidak memadai 14. Berapakah kesediaan anda untuk membayar agar Pengelolaan air untuk menjamin ketersediaan dan kebutuhan air baku untuk masa yang akan datang tetap terjaga? a. Rp. 50.000 – Rp.100.000 b. Rp. 100.000 – Rp.500.000 c. Rp. 600.000 – Rp.1.000.000
60
40
127061743 117895743 100160206 99961385 101707691 100993042 100110357 99928152 100107029 99925934 101106738 100592406 98841430 99090691 99468539 99500558 99563599 99563648
20
0
108729743 99762564 100278392 99745948 99744838 100078075 99331375 99532292 99563696
99563743 99563743 99563743 99563473 99563473 99563473 99563473 99563473 99563473
194
Lampiran 4. Kuisioner Survei Analisis Sensivitas Model -20
-40
-60
90397743 81231743 99364923 99166102 98849094 98134445 99381539 99199335 99382648 99201553 99049412 98535081 99788054 100004556 99594914 99625807 99563790 99563836
72065743 98967281 97419796 99017130 99020458 98020749 100213492 99656424 99563881
Persentase Pemakaian Air Tanah Reduce, Reuse dan Recycle Persentase Terasering Persentase SRI Persentase Reboisasi Persentase Sumur Resapan Laju Pertumbuhan Penduduk Laju pertumbuhan Industri Laju pertumbuhan Hotel
104600000 103400000 Persentase Pemakaian Air Tanah
102200000
Reduce, Reuse dan Recycle Persentase Terasering
101000000
Pesentase SRI 99800000
Persentase Reboisasi Persentase Sumur Resapan
98600000
Laju Pertumbuhan Penduduk Laju Pertumbuhan Industri
97400000
Laju Pertumbuhan Hotel
96200000
-60
-40
95000000 -20 0
20
40
60
195
Lampiran 5 Kuisioner Survei Identifikasi Kebutuhan Prioritas Dalam Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS
MODEL PENGELOLAAN AIR BAKU AIR MINUM BERBASIS DAS Studi Kasus: DAS BABON SEMARANG
PETUNJUK PENGISIAN Kuis ini dibuat dalam rangka mendapatkan justifikasi mengenai aspek dan kriteria bagi kelembagaan rencana pengembangan kawasan minapolitan di wilayah Kabupaten Banyumas Pada kuisioner ini dibutuhkan penilaian Bapak/Ibu, selaku pakar air khususnya yang berkaitan dengan Elemen KELEMBAGAAN dalam pengelolaan air baku di DAS Babon di Kota Semarang, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Demak Atas berkenannya Bapak/Ibu, kami mengucapkan terima kasih. CARA PENGISIAN Untuk membandingkan antar sub-elemen pada setiap elemen, maka Bapak/Ibu dapat memilih huruf-huruf V, A, X, dan O dimana : V : Jika sub-elemen yang ke-1 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-2 A : Jika sub-elemen yang ke-2 lebih penting ataua harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-1 X : Jika kedua sub-elemen sama pentingnya atau keduanya harus ditangani bersama O : Jika kedua sub-elemen tidak sama penting atau kedua sub-elemen bukan prioritas yang harus ditangani.
196
Tabel 1. Penilaian Pembandingan Antar Sub-ElemenPada Setiap Elemen A. Elemen : Lembaga yang dibutuhkan dalam pengelolaan DAS Babon 1. Pemerintah Pusat 2. Pemerintah Provinsi (Dishut, PU, Bapedda, BLH, Pertanin, PDSA dan ESDM, Perikanan) 3. Pemerintah Kota/Kab (Dishut, PU, Bapedda, BLH, Pertanin, PDSA Subdan ESDM, Perikanan) Elemen 4. Balai Pengelola Sumberdaya Air Wilayah Sungai (BPSAWS) 5. PDAM 6. Perguruan Tinggi 7. Swasta 8 Perguruan Tinggi 9 Pemerintah Desa 10 Masyarakat Tabel 2. Diisi oleh Expert Sub elemen ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sub elemen aktifitas ke 10 9
8
7
6
5
4
3
2
1
Mohon diisi Cell atau kotak kecil pada table.2 diatas dgn V atau A atau X atau O dimana pengisian nya tergantung dari pendapat bapak/Ibu terhadap hubungan antara aktifitas pada table 1 ATAU A. Tingkat Kepentingan lembaga Dibandingkan dengan lembaga Lainnya 1. Bagaimana tingkat pentingnya pemerintah pusat dibandingkan pemerintah propinsi. Pemerintah pusat lebih penting dari pemerintah propinsi Pemerintah provinsi lebih penting dari pemerintah pusat Pemerintah pusat sama penting dengan Pemerintah provinsi Tidak ada kepentingan keberhasilan antara keduanya
dengan
197
2. Bagaimana tingkat pentingnya pemerintah pusat dibandingkan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat lebih penting dari pemerintah kabupaten/kota Pemerintah kabupaten/kota lebih penting dari pemerintah pusat Pemerintah pusat sama penting dengan pemerintah kabupaten/kota Tidak ada kepentingan keberhasilan antara keduanya 3. Dan seterusnya Contoh Sub elemen ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sub elemen aktifitas ke 10
9 8
7
6
5
4
3
2
V O A O A A O V O
V V X V X X V A
A X V X V V
A O A O A
X V X V
V O A X O
O
O A O A O O A
1