MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR KOTA BOGOR
Oleh : SUCI NUR AINI ZAIDA F152080021
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Model Bantaran Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Ekohidraulika di Lokasi Kelurahan Sempur, Kota Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing akademik dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hanya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Maret 2012
Suci Nur Aini Zaida NRP F152080021
ABSTRACT
SUCI NUR AINI ZAIDA. Model of Ciliwung Riverbank with the Ecohydraulics Approach in Kelurahan Sempur, Bogor. Supervised by ERIZAL, M. YANUAR, dan PRASTOWO.
The effort to control and flood prevention can be started with managing and structuring the area of the river, as known river restoration. River restoration is an attempt to restore the functions of the river physically, ecologically, socially and economically so that it becomes a natural stream (nature-like river) and resemble the initial conditions in order to reduce the danger of flooding and damage the river. The purpose of this study are : 1) Identifyied the damage along the riverbanks of the Ciliwung River in Kelurahan Sempur, 2) Made the river restoration concept with ecohydraulics approach. The result of this research was design of riverbank restoration with ecohydraulics approach using plants. From the research, it is found that Ciliwung River which passing Kelurahan Sempur have a significant function for flooding retention. Based on the research, there is some damage to the river in this section, for example the erosion and sedimentation in the downstream. This is because the slope of the riverbed is very small. The design of river management is by adding vegetation on the riverbanks and flood plain areas. Keywords: river restoration, ecohydraulics, roughness coeficient, plants
RINGKASAN SUCI NUR AINI ZAIDA. Model Bantaran Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Ekohidraulika di Lokasi Kelurahan Sempur, Kota Bogor. Dibimbing oleh ERIZAL, M. YANUAR, dan PRASTOWO. Upaya pengendalian dan pencegahan banjir dapat dimulai dengan pengelolaan dan penataan kawasan sungai atau yang dikenal dengan istilah restorasi sungai. Restorasi sungai adalah upaya mengembalikan fungsi-fungsi sungai baik secara fisik, ekologi, sosial maupun ekonomi sehingga menjadi sungai yang alami (nature-like river) dan menyerupai kondisi awalnya dalam rangka mengurangi bahaya banjir dan kerusakan sungai yang lebih parah. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi kerusakan sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang melintas di lokasi Kelurahan Sempur Kota Bogor, 2) Membuat konsep perencanaan restorasi bantaran Sungai dengan pendekatan Ekohidraulika. Pengelolaan sungai secara berkelanjutan yang berbasis konsep ekohidraulika dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kondisi eksisting sungai yaitu kondisi hidraulika dan ekologi. Kondisi hidraulika terkait dengan profil sungai, muka air banjir dan luas genangan. Sedang kondisi ekologi terkait dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai. Konsep pengelolaan sungai diterapkan dengan melakukan rekayasa hidraulika pada sungai yaitu dengan memperbesar penampangnya dan memperkecil kecepatan air serta melakukan penataan pada bantaran sungai. Penelitian ini dilakukan di Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur, Bogor sepanjang ± 1 Km. Penelitian dilakukan dengan pengukuran langsung di lapang. Pengambilan data di lapangan antara lain untuk pengambilan sampel tanah, pembuatan profil hidraulik sungai dan pengukuran faktor friksi tanaman. Profil hidraulik sungai dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang luas penampang sungai pada potongan tertentu, kecepatan air dan debit. Hasil perhitungan profil tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan luas areal banjir dan muka air banjir pada sungai. Hasil akhir dari penelitian ini yaitu berupa konsep restorasi bantaran sungai dengan pendekatan ekohidraulika dan penggunaan tanaman. Untuk penentuan bantaran sungai di Kota Bogor didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Yang dimaksud dengan bantaran atau sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk pada sungai buatan/kanal/saluran/irigasi yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Lebar bantaran sungai di lokasi penelitian seharusnya atau sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai. Dan untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 3 meter maka seharusnya memiliki bantaran atau sempadan sungai sekurang-kurangnya 20 meter. Namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sempadan sungai tidak sesuai dengan peraturan daerah tersebut. Dalam penelitian ini daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung yang mengalir melewati Kelurahan Sempur sepanjang 1 km dibagi menjadi 4 segmen wilayah penelitian. Pembagian ini didasarkan pada wilayah yang lebih di atas sampai ke wilayah yang lebih di bawah dari Sungai Ciliwung yang mengalir di
Kelurahan Sempur tersebut. Adapun keempat segmen tersebut adalah Segmen 1, yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai dengan Jembatan Lebak Kantin; Segmen 2, yaitu wilayah antara Jembatan Lebak Kantin sampai dengan Jembatan Sempur Kidul; Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul sampai dengan Jembatan Sempur Kaler; dan Segmen 4, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kaler sampai dengan Lebak Pilar. Selanjutnya pada bantaran sungai yang melintas di Kelurahan Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan tutupan vegetasi yang berbeda yaitu Tipe A merupakan hamparan atau bantaran yang bervegetasi riparian masih utuh; Tipe B merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang telah terokupasi oleh penduduk 2154% dan Tipe C merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%. Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur termasuk bantaran dengan Tipe B dan Tipe C. Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Dengan diketahui kecepatan aliran dan luas penampang sungai pada kedua lokasi pengukuran tersebut, dapat diketahui debit pada masing-masing titik pengamatan. Kondisi tebing Sungai Ciliwung di lokasi penelitian dideskripsikan dengan kejadian erosi atau tidak erosi. Gambaran kejadian erosi tebing di Segmen 3 dan Segmen 4 terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada wilayah pengukuran sepanjang 1 km terdapat 33% dari panjang sungai yang dasarnya dibentuk oleh batuan besar dengan ukuran 5 – 20 mm. Nilai koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi dan sedimentasi. Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan pengelolaan. Konsep pengelolaan sungai secara ekohidraulik dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan air.Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidraulika maka dibuat desain pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulik adalah mendesain vegetasi tanaman pada bantaran sungai. Adapun pengaruh vegetasi pada bantaran dan dataran banjir sungai tergantung pada tingkat kekasarannya. Desain pengelolaan sungai yang dibuat dengan menambahkan vegetasi pada bantaran sungai dan tebing sungai untuk menurunkan kecepatan aliran pada saat banjir. Sebagai bahan pertimbangan dalam hal biaya dan adaptasi dengan lingkungan lokal lebih cepat, maka disarankan menggunakan vegetasi yang ada saat ini di lokasi. Kata Kunci : restorasi sungai, ekohidraulika, koefisien kekasaran, tanaman
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR, KOTA BOGOR
SUCI NUR AINI ZAIDA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
:
Nama NRP Mayor
: : :
Model Bantaran Sungai Ciliwung Dengan Pendekatan Ekohidraulika Di Lokasi Kelurahan Sempur, Kota Bogor Suci Nur Aini Zaida F152080021 Teknik Sipil dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Erizal, M. Agr Ketua
Dr. Ir. Prastowo, M. Eng Anggota
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS Anggota
Mengetahui,
Ketua Mayor Teknik Sipil dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nora H. Panjaitan, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 19 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya hingga penulisan tesis: MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR KOTA BOGOR dapat diselesaikan. Tesis ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Program Magister di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan tesis ini dapat terlaksana dan terwujud melalui proses arahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Komisi Pembimbing selalu memberikan dorongan, arahan, dan saran selama proses penelitian dan penyusunan tesis ini berlangsung. Berbagai pihak juga telah banyak membantu mulai dari saat proses penelitian berlangsung hingga tersusunnya tesis ini. Dengan ketulusan hati disampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Erizal, M.Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, dan nasehatnya. 2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr. Ir. Prastowo, M.Eng sebagai anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya. 3. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA sebagai Ketua Program Studi SIL yang dengan penuh perhatian dan dedikasi tinggi senantiasa mendorong para mahasiswa untuk dapat menyelesaikan studi dengan baik. 4. Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng selaku dosen penguji di luar komisi atas segala masukan dan perbaikan yang diberikan. 5. Ir. Izhar Chaidir, MA selaku Kepala Bidang Perencanaan Ruang Kota Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta yang senantiasa memberi perhatian dan motivasi demi selesainya tesis ini. 6. Teman-teman SIL Angkatan 2008, Pak Tusi, Pak Taufik, Mba Donna, Titin dan Wahid, terimakasih atas inspirasi, dan semangat yang telah diberikan. 7. Teman-teman Bidang Perencanaan Ruang Kota, Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, khususnya Seksi Perencanaan Mikro Ruang Kota yang telah membantu mengolah data dan memberikan semangat.
Kepada Ibunda (almarhumah) Sri Daryati dan ayahanda Sjamsul Hadi dipersembahkan rasa hormat dan cinta yang mendalam. Juga kepada kakak-kakak Susi Nur Era Badia, SE, Hadzik Muhanik Prabowo, Amd. dan Muhammad Wahyu Hendra Maysuri, SE atas segala perhatian dan motivasinya. Suami tercinta Alim Setiawan S, STP, M.Si dan ananda Ayesha Humaira Majid, yang merupakan inspirator dan pendorong bagi selesainya tesis ini. Disadari masih banyak yang harus disempurnakan dalam tesis ini. Untuk itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi perkembangan pengetahuan restorasi sungai.
Bogor, Penulis
Maret 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari orang tua tercinta Bapak Sjamsul Hadi dan Almarhumah Ibu Sri Daryati. Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1983 di Kota Boyolali, Jawa Tengah. Pada tahun 1994, penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Mojo 1 Boyolali. Pada tahun 1997 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Andong dan pada tahun 2000 lulus dari SMU Batik 1 Surakarta. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000 dan belajar di Fakultas Pertanian, jurusan Arsitektur Lanskap hingga lulus pada tahun 2005. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis melanjutkan program master di program studi Teknik Sipil dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penulis menikah dengan Alim Setiawan S, STP, MSi pada tanggal 6 Juli 2008 dan telah dikaruniai seorang putri bernama Ayesha Humaira Majid yang lahir pada tanggal 2 April 2009.
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA .................................................................................................. x DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvii PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2. Rumusan Permasalahan ........................................................ 3 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 4 1.4. Hipotesis ................................................................................ 5 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 6 2.1.
Sungai Ciliwung ................................................................... 6
2.2.
Longsoran Tebing ................................................................ 7
2.3.
Stabilisasi Tebing ................................................................ 8
2.4.
Restorasi Sungai .................................................................. 9
2.5.
Vegetasi riparian dan floodplain dan pengaruhnya terhadap hidrologi aliran .................................................... 11
2.6.
Ekohidraulika Sungai ........................................................ 18
METODE PENELITIAN .......................................................................... 24 3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 24
3.2.
Metode Penelitian .............................................................. 25 3.2.1. Survey Sungai .......................................................... 25 3.2.2. Survey Tanaman ..................................................... 26 3.2.3. Studi Literatur .......................................................... 26 3.2.4. Analisis dan Strategi Restorasi ................................ 26
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ....................................... 28 4.1.
Gambaran Umum DAS Ciliwung ...................................... 28 4.1.1. Bentuk dan Wilayah DAS Ciliwung ......................... 28 4.1.2. Pembagian DAS Ciliwung ....................................... 29 4.1.3. Penggunaan Lahan .................................................... 30 xii
4.2. Sungai Ciliwung di KelurahanSempur ................................ 33 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 35 5.1.
Batas Sempadan atau Bantaran Sungai .............................. 35
5.2.
Penentuan Tipe Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur .............................................................. 37
5.3. AnalisisKondisi Tebing Sungai, DasarSungai Dan Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai .............................. 41 5.3.1. Kondisi Tebing Sungai ............................................. 41 5.3.2. Kondisi Dasar Sungai ............................................... 43 5.3.3. Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai ................... 44 5.3.4. Vegetasi di Bantaran Sungai ..................................... 45 5.4. Analisa Hidraulika Sungai .................................................. 46 5.5. Perhitungan Koefisien Kekasaran ....................................... 55 5.6. Desain Pengelolaan Sungai Berbasis Konsep Ekohidraulika ...................................................................... 62 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 70 6.1. Kesimpulan ........................................................................... 70 6.2. Saran ..................................................................................... 71 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 72 LAMPIRAN ............................................................................................. 76
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap run off ...............................................................................................................
12
2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur ..........................
17
3. Penentuan tipe bantaran ............................................................................
39
4. Jenis-jenis vegetasi pada bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur .....................................................................................
45
5. Profil hidraulik Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ...........................
46
6. Kedalaman Sungai Ciliwung .....................................................................
47
7. Kecepatan aliran sungai pada saat pengukuran .........................................
48
8. Kecepatan Aliran di lokasi penelitian .......................................................
49
9. Nilai koefisien kekasaran pada kondisi tidak banjir .................................
55
10. Nilai koefisien kekasaran berdasarkan jenis kekasaran permukaan .................................................................................................
57
11. Nilai koefisien kekasaran kumulatif ..........................................................
57
12. Simulasi debit banjir di Segmen 1 ............................................................
58
13. Simulasi debit banjir di Segmen 2 ............................................................
58
14. Simulasi debit banjir di Segmen 3 ............................................................
58
15. Simulasi debit banjir di Segmen 4 ............................................................
59
16. Perubahan nilai koefisien kekasaran pada kondisi banjir di Segmen 2 ...............................................................................................
62
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan perumusan masalah ........................................................................
4
2. Desain kanal dua tingkat ...........................................................................
10
3. Bagian-bagian dari sebuah sistem akar tanaman ......................................
16
4. Bentuk atau morfologi suatu sistem akar ..................................................
16
5. Kuat tarik dari beberapa jenis tanaman .....................................................
17
6. Integralisasi komponen ekologi-hidraulik (profil sungai)..........................
22
7. Peta lokasi penelitian .................................................................................
24
8. Tahapan analisis hidraulika .......................................................................
25
9. Opsi desain kanal sungai ...........................................................................
26
10. Penutupan lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 .......................................
38
11. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 1996 ........................................
31
12. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 – 2002 ............................
31
13. Prosentase tutupan vegetasi dan bangunan ...............................................
39
14. Lokasi Segmen 1 merupakan Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur .................................................................
40
15. Lokasi Segmen 2 yang merupakan Tipe B bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur dan Lokasi Segmen 3 yang merupakan Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur .................................................................
40
16. Lokasi Segmen 4 yang termasuk dalam Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ......................................
41
17. Kejadian erosi tebing di Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ......................................................................................................
42
18. Variasi kondisi dasar sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ......................................................................................................
43
19. Distribusi tata guna lahan pada bantaran sungai .......................................
44
20. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 1 .......................................................
49
21. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 2 .......................................................
50
22. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 3 .......................................................
50
23. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 4 .......................................................
50
24. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 1 ...............................
51
25. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 2 ..............................
52
xv
26. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 3 ...............................
53
27. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 4 ..............................
54
28. Hubungan antara tinggi muka air dengan debit sungai .............................
60
29. Hubungan antara koefisien kekasaran eksisting dengan debit sungai ...............................................................................................
61
30. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika pada bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur .....................................................................................
64
31. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 1 .............................................................
65
32. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 2 .............................................................
66
33. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 3 .............................................................
67
34. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 4 .............................................................
68
35. Contoh desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulik ...............................................................................................
69
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Debit sungai pada lokasi penelitian ............................................................
76
2. Simulasi debit banjir di Segmen 1 ..............................................................
77
3. Simulasi debit banjir di Segmen 2 ...............................................................
79
4. Simulasi debit benjir di Segmen 3 ..............................................................
81
5. Simulasi debit banjir di Segmen 4 ..............................................................
83
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di Indonesia adalah degradasi fungsi ekosistem daerah aliran sungai.
Dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air diuraikan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Fungsi ekosistem tersebut sangat penting terhadap ketersediaan sumber daya air. Namun demikian, fungsi ini menurun akibat kegiatan manusia. Peningkatan jumlah DAS kritis yaitu data pada tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, tahun 1992 meningkat menjadi 39, dan
tahun 1998
menjadi 59 DAS. Pada 2005, jumlah DAS yang kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis yaitu di Pulau Jawa sebanyak 116 DAS dari 141 DAS, sedang di luar Pulau Jawa terdapat 175 DAS yang rusak dari 326 DAS (Murtilaksono, 2009). Adapun kriteria penetapan DAS kritis antara lain dipengaruhi oleh prosentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya rasio debit sungai maksimum dan debit minimum, serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan (Suripin, 2002). Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS
terhadap banjir.
Menurut Maryono (2002), terdapat limafaktor penyebab banjir. Kelimafaktor tersebut adalah faktor tingginya curah hujan, perubahan fisik di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS), kesalahan pembangunan alur sungai, pendangkalan sungai, dan tata wilayah dan pembangunan sarana-prasarana di daerah-daerah rawan banjir. Dari kelima faktor tersebut, terhadap keempat faktor terakhir dapat
1
dilakukan tindakan koreksi. Fenomena DAS kritis pun menuntut adanya pengelolaan sungai yang tepat sehingga dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia dapat diperkecil. Hasil penelitian beberapa kejadian banjir menunjukkan bahwa banjir terjadi apabila lebih dari 60 persen curah hujan tidak dapat disimpan oleh DAS dengan kecepatan aliran permukaan lebih dari 1.2 meter/detik. Penurunan besaran banjir secara bertahap kecepatan aliran permukaan harus diturunkan menjadi lebih kecil dari 0.7 meter/detik agar cukup waktu bagi tanah dan vegetasi untuk menyerap air hujan. Apabila kecepatan limpasan dapat diturunkan menjadi kurang dari 0.1 meter/detik maka air hujan akan menjadi aliran bawah permukaan. Bahkan jika dapat diturunkan lagi menjadi kurang dari 0.01 meter/detik dapat menjadi penyumbang terbentuknya mata air tanah. Untuk menurunkan kecepatan aliran permukaan dan volume limpasan harus dilakukan pemanenan aliran permukaan
(run
off
harvesting) baik secara sipil teknis maupun vegetatif.
Supaya penurunan kecepatan aliran permukaan pemanen dan aliran permukaan efektif, maka lahan di zona prioritas harus bervegetasi, sehingga penanaman di zona ini menjadi agenda utama. Pembangunan sungai dengan konsep hidraulik murni berupa pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai banyak dijumpai di sungai-sungai yang melalui Bogor. Sebagai contoh Sungai Ciliwung yang melewati Kebun Raya Bogor -sungai yang dianggap penyebab banjir di Jakarta- juga tidak luput dari kanalisasi di sepanjang alur sungai. Pola penanganan banjir yang dilakukan dengan mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras kehilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir, merupakan kesalahan pembangunan alur sungai yang harus dilakukan koreksi. Pendapat umum bahwa kanalisasi sungai dianggap dapat menanggulangi banjir serta longsor, akan tetapi dengan berkembangnya keilmuan baru yaitu ekohidrologi dan ekohidraulika, kanalisasi sungai banyak ditinggalkan, dan restorasi sungai dilakukan untuk mengembalikan fungsi alami sungai (lihat Maryono, 2002; Stromberg, 2001; Huang et al., 2009; Mulatsih dan Kirno, 2007). Maryono (2002) mengemukakan terjadinya banjir tahunan di banyak negara maju dapat disebabkan oleh kesalahan perencanaan alur sungai. Pola
2
penanganan banjir dengan pendekatan Ekohidraulika untuk mengatasi longsoran dapat diterapkan di Sungai Ciliwung, yaitu melihat permasalahan sungai sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen fisik dan non fisik, biotic maupun abiotik, dari hulu sampai hilir sungai. Setiap kali Jakarta dilanda banjir, Kota Bogor selalu dicap sebagai penyebabnya. Pembangungan hotel dan lapangan golf
serta Rumah Potong
Hewan di bantaran sungai adalah beberapa kasus perubahan fisik DAS di Kota Bogor. Belum lagi banyaknya perumahan di bantaran dan tebing sungai. Hal ini menyebabkan retensi DAS tersebut berkurang secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan DAS ke arah hilir yang pada akhirnya menyebabkan banjir di daerah hilir (Maryono, 2002). Selain itu, kebiasaan warga perumahan di bantaran dan tebing sungai membuang sampah ke sungai menyebabkan pendangkalan sungai. Banjir menyebabkan kerugian materiil yang tidak sedikit sehingga perlu dilakukan tindakan pengelolaan sungai. Sehubungan dengan upaya pengendalian dan pencegahan banjir ini dapat dimulai dengan pengelolaan dan penataan kawasan sungai atau yang dikenal dengan istilah restorasi sungai. Restorasi sungai adalah upaya mengembalikan fungsi-fungsi sungai baik secara fisik, ekologi, sosial maupun ekonomi sehingga menjadi sungai yang alami (nature-like river) dan menyerupai kondisi awalnya dalam rangka mengurangi bahaya banjir dan kerusakan sungai yang lebih parah.
1.2. Rumusan Permasalahan Pengelolaan
sungai
secara
berkelanjutan
yang
berbasis
konsep
ekohidraulika dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kondisi eksisting sungai yaitu kondisi hidraulika dan ekologi. Kondisi hidraulika terkait dengan profil sungai, muka air banjir dan luas genangan. Sedang kondisi ekologi terkait dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai. Konsep pengelolaan sungai diterapkan dengan melakukan rekayasa hidraulika pada sungai yaitu dengan memperbesar penampangnya dan memperkecil kecepatan air serta melakukan penataan pada bantaran sungai. Selain itu, konsep pengelolaan sungai secara ekohidraulika juga dapat diterapkan dengan partisipasi masyarakat.
3
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah : 1. Bagaimana kondisi bantaran sungai yang ada? 2. Seberapa besar muka air banjir, luas genangan yang terjadi serta tata guna lahan pada bantaran sungai? 3. Bagaimana model
restorasi bantaran sungai dengan pendekatan konsep
ekohidraulika?
Gambaran tentang rumusan masalah dalam penelitian ini secara detail diuraikan pada Gambar 1 : Profil hidrolik sungai
TGL pada bantaran sungai
Kedalaman, lebar, kemiringan lereng, kemiringan sungai , lebar genangan
Vegetasi lereng dan vegetasi bantaran
Restorasi sungai dengan konsep ekohidraulika
Model restorasi sungai dengan konsep ekohidraulika Gambar 1. Bagan perumusan masalah
1.3. Tujuan Penelitian a. Mengidentifikasi kerusakan sepanjang bantaran
Sungai
Ciliwung yang
melintas di lokasi Kelurahan Sempur Kota Bogor. b. Membuat
konsep
pengelolaan
bantaran
Sungai
dengan
pendekatan
Ekohidraulika.
4
1.4. Hipotesis a. Pembangunan Sungai Ciliwung dengan konsep hidraulika murni menyebabkan menurunnya fungsi retensi banjir b. Ekohidraulika dan eko-engineering dapat diterapkan untuk mengatasi erosi dinding sungai. c. Kompilasi data fisik dan biologi sungai dapat digunakan untuk membuat perencanaan restorasi Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut : a. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih lanjut terhadap model restorasi bantaran sungai yang mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, ekologi dan teknologi. b. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk landasan pengelolaan sungai secara berkelanjutan. c. Memberikan data-data yang dibutuhkan untuk melakukan restorasi Sungai Ciliwung di lokasi KelurahanSempur, Bogor d. Membantu masyarakat Kelurahan Sempur mengatasi erosi dinding Sungai Ciliwung dengan dana yang terjangkau e. Memberikan rancangan restorasi
Sungai
Ciliwung di Kelurahan Sempur,
Bogor
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sungai Ciliwung Berdasarkan pemantauan terhadap kualitas air sungai di Indonesia pada
tahun 2004 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan air sungai telah tercampuri dengan limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limbah peternakan. Dari seluruh sungai yang dipantau, hilir Sungai Ciliwung mendapatkan tekanan polusi terberat. Bagian hulu sungai tercemari dengan fecal coli dan total coliform yang melebihi baku mutu yang ditetapkan. Bakteri tersebut berpengaruh sangat besar terhadap status mutu air sungai.Bila parameter itu dapat dikendalikan, status mutu air sungai dapat meningkat menjadi lebih baik. Berdasar parameter biologi (fecal coli dan total coliform), DO (dissolfed oxygen), BOD (biochemical oxygen demand), dan COD (chemical oxygen demand), tidak ada segmen Sungai Ciliwung yang mutu airnya memenuhi kriteria kelas I, yang layak digunakan sebagai air baku untuk air minum. Sungai Ciliwung dibagi dalam lima segmen menurut wilayah administratif yang dilintasi, yakni segmen 1 (Kabupaten Bogor), segmen 2 (Kota Bogor), segmen 3 (Kabupaten Bogor), segmen 4 (Kota Depok), dan segmen 5 (DKI Jakarta). Pada segmen 1 di titik pemantauan Cisarua (Kabupaten Bogor), air Sungai Ciliwung masuk kriteria kelas II yaitu kualitas airnya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, perikanan, peternakan, dan pertamanan. Pada Segmen 2 (Ciawi, Kota Bogor) dan 4 (Cimanggis, Kota Depok), kondisi kualitas airnya termasuk kelas IV yang pemanfaatannya hanya layak untuk mengairi pertamanan. Segmen 3 di Cibinong (Kabupaten Bogor) berkualitas kelas III, bisa untuk perikanan, peternakan, dan pertamanan. Sedangkan segmen 5 di wilayah DKI Jakarta, tidak termasuk dalam kelas mana pun sehingga tidak layak dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun. Dengan teknologi tinggi, kualitas air dapat ditingkatkan. Persoalan umum yang dihadapi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung adalah pencemaran limbah domestik, limbah industri, limbah peternakan, erosi, dan kurangnya resapan air.Saat ini sedang dibahas upaya peningkatan kualitas sungai
6
di Indonesia yang kondisinya kritis. Proyek percontohan untuk sekitar 19 sungai kritis itu dilakukan pada Sungai Ciliwung, dan sebanyak 12 institusi terkait telah menyepakati sebuah program terpadu peningkatan kualitas air Sungai Ciliwung. Fokus utamanya adalah mengatasi beban pencemaran serta memulihkan dan meluaskan daerah konservasi. Dalam jangka panjang, menurut rencana induk (master plan) yang disepakati, seluruh segmen Sungai Ciliwung akan menjadi kelas I, yang artinya dapat digunakan sebagai air baku air minum. Namun, dalam 15 tahun ke depan diperkirakan kualitas air kelas I hanya bisa tercapai sampai pada segmen 4 (Kota Depok), dan pada saat itu segmen 5 (DKI Jakarta) baru sampai pada kelas II, baru layak digunakan untuk sarana rekreasi air dan perikanan. Perlu tambahan sedikitnya lima tahun lagi untuk meningkatkan kualitas air Sungai Ciliwung di Jakarta menjadi kelas I. Itu pun bila pemerintah daerah berhasil membenahi tata ruang, membebaskan bantaran sungai dari permukiman, dan yang lebih penting adalah kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sungai.
2.2. Longsoran tebing Longsoran tebing dan erosi pada dinding penahan tanah merupakan konsekuensi dari meningkatnya kecepatan air dan debit air yang melewati suatu wilayah tertentu di sungai. Meningkatnya kecepatan aliran dengan pembangunan fisik dengan sudetan, pelurusan kanal, pembetonan tebing merupakan usaha campur tangan manusia untuk mempercepat pembuangan air banjir. Akan tetapi hal tersebut berdampak pada terjadinya percepatan arus air yang menuju hilir. Peningkatan kecepatan aliran akan berdampak pada peningkatan erosi dasar sungai dan tanah longsor di kanan-kiri sungai (Maryono 2000a). Menurut sebabnya, longsoran tebing dapat dibedakan menjadi: longsoran karena abrasi, longsoran karena banjir/kenaikan kecepatan aliran dan longsoran karena berat tanah (sliding).
7
2.3. Stabilisasi tebing Stabilisasi tebing sungai merupakan salah satu cara untuk melihat campur tangan manusia terhadap sungai. Meskipun erosi bersifat alami, tingkat erosi dapat dipercepat oleh kegiatan manusia misalkan dengan menghilangkan tanaman riparian, stabilisasi tebing, atau dengan manipulasi kanal sungai di bagian hulu.Pengukuran untuk menstabilkan tebing dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori; armor, struktur kanal, dan metode vegetasi.
a. Armor Ada dua bentuk yaitu bank armor dan levees.Bank armor adalah selimut bahan resisten yang ditempatkan sepanjang tebing sungai.Riprap merupakan bentuk yang umum dari bank armor. Jika air menerjang permukaan keras riprap maka air tersebut tidak dapat membersihkan tebing sungai sehingga erosi tebing ditekan. Levees adalah struktur yang terdiri dari batuan atau material yang dibangun di dataran banjir.Levees mencegah dan menekan erosive force dari aliran banjir.
b. Struktur kanal Adalah dinding yang dibangun pada sisi aktif dari kanal sungai.Tujuannya untuk menghindarkan sungai dari longsoran tebing. Yang termasuk struktur ini antara lainbarbs, jetties, vanes, dan weirs. Sepintas struktur ini mirip bank armor karena menggunakan sedikit batuan, tidak terlalu merusak fungsi alami sungai dan habitat riparian, dan lebih banyak dataran banjir yang berfungsi menopang sungai.Akan tetapi efek kanalisasi memberikan dampak yang lebih serius daripada bank armor. Dalam jangka panjang bangunan hidrolika murni (armor dan struktur kanal) akan meningkatkan erosi di daerah hilir dan mempercepat aliran air. Dalam pandangan hidrolika murni sungai dipandang sebagai suatu saluran hidraulik pembuangan air kelebihan menuju ke laut (Maryono 2000a).Dengan konsep ini, semua sungai sebaiknya diluruskan atau ditalud sehingga air secara cepat dapat mengalir ke hilir.Selanjutnya Maryono (2000a) menggambarkan dampak buruk dari rekayasa hidraulik murni yang terjadi di Amerika. Pelurusan Sungai
8
Kissimmee, Florida yang semula bermeander sepanjang 150Km diluruskan menjadi 70Km menyebabkan kepunahan satwa hingga 75%. Akibat lain yaitu menurunnya kualitas air di Danau Okeechoobee. Pelurusan Sungai Rhine di Eropa menyebabkan hilangnya ikan Salmon.Untuk kasus Indonesia, pelurusan Bengawan Solo di Kab.Sukoharjo telah menyebabkan hancurnya flora dan fauna di riparian sungai, sungai yang terputus menjadi sungai mati tempat bersarangnya nyamuk.Sehingga dalam pengelolaan DAS terpadu yang berwawasan lingkungan hal tersebut tidak sustainable.
c. Metode vegetasi Yaitu menggunakan batang pohon yang dipasang membentuk sudut sehingga dapat mengalihkan arus sungai menjauh dari tebing. Metode ini juga menstabilkan tebing yang meliputi: rootwads, tree revetments, dan live vegetation. Meskipun rootwads dan tree revetments “lebih halus” dari riprap atau struktur kanal, metode tersebut berprinsip sama yaitu mengganggu fungsi alami sungai untuk mengurangi erosi tebing. Penanaman vegetasi alami riparian adalah tolak ukur terbaik yang selaras dengan fungsi alami sungai.
2.4. Restorasi sungai Aliran air dalam sistem hidrologi fluvial berperan dalam 4 hal: longitudinal, lateral, vertikal dan temporal.
Kanalisasi sungai banyak diterapkan untuk
membuat kanal lebih dalam dan lurus untuk memaksimumkan aliran air, mengurangi koneksi lateral antara floodplain/riparian sistem dengan sungai (Huang et al., 2009). Dalam konsep ekohidrologi, pertukaran air antara sungai dan riparian merupakan faktor kunci untuk menjamin fungsi sungai dan ekosistem riparian.Sehingga restorasi yang berlangsung selama ini berusaha untuk membuka dinamika fisik yang selama ini dibeton atau diberi penguat tebing lainya untuk menghubungkan kembali sungai dengan riparian. Restorasi sungai selalu menghadapi kendala: ketersediaan lahan (terkait dengan tata ruang) dan fasilitas struktur yang ada. Terkait dengan ketersediaan lahan, masalah yang dihadapi yaitu daerah riparian telah menjadi area pemukiman atau daerah non-vegetasi.Sedangkan kendala struktur berhubungan dengan
9
bangunan struktur pada sungai seperti kanalisasi dengan beton, riprap dan sejenisnya. Huang et al. (2009) melakukan restorasi sungai di GraveCreek, Ohio State University sepanjang 0.8 Km dengan dua tahapan yaitu restorasi kanal sungai (stream restoration) dan restorasi riparian.
a. Restorasi kanal sungai Tahapan restorasi yaitu;
Desain kanal dua tingkat (Gambar 2) untuk restorasi proses alluvial alami dan menciptakan sistem yang berkelanjutan. Sistem ini dapat memperbaiki fungsi drainase dan fungsi ekologis sekaligus.
Gambar 2.Desain kanal dua tingkat.
Opsi desain kanal yang tergantung pada dimensi sungai dan dimensi area floodplain. Opsi desain terdiri dari self design dan desain perluasan floodplain (floodplain expansion design). Maksud dari self design yaitu floodplain dan kanal sungai terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Sedangkan desain yang kedua ada peran manusia untuk merencanakan luasan area floodplain dan kanal.
Desain pola aliran sungai yaitu pemilihan area dimana pola aliran dirancang meandering dan straight pattern
Vegetasi yang digunakan sesuai dengan keperluan desain
10
b. Restorasi riparian Untuk
restorasi
riparian
diperlukan
data
historis
penggunaan
lahan.Selanjutnya survey dilakukan untuk mengetahui tipe tanah, bulk density, dan prosentase bahan organik tanah.
2.5. Vegetasi riparian dan floodplain dan pengaruhnya terhadap hidrologi aliran Pada bantaran sungai, penutupan vegetasinya spesifik “riparian”, membentuk satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk fisiografi dan jenis batuannya (Sandy, 1976).Menurut Hough (1978) bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan ekoton antara ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian dengan ekosistem daratan (Hough, 1978; dan Swol 1986).Bantaran sungai dalam lansekap ekologi perkotaan, merupakan elemen struktur lansekap dalam bentuk koridor hijau (vegetasi riparian), selain memberikan manfaat kesejukan dan keindahan (Hough, 1978), juga memainkan pernanan fungsinya atas jasa bio-ekohidrologis di wilayah perkotaan (Hough, 1978; Forman dan Gordon, 1986). Secara hidrologis, seperti halnya peranan fungsi vegetasi secara umum telah banyak diungkap oleh beberapa akhli hidrologi (Forman dan Gordon, 1986; Reis 1990), namun secara spesifik lebih mampu dalam pengaturan tata air. Besaran laju limpasan air pada waktu musim penghujan dapat dikendalikan oleh jajaran pepohonan yang rapat, hingga luapan air akan tercegah, namun sebaliknya pada musim kemarau potensi air tanah tersedia dapat menjamin lajunya debit aliran sungai yang bermanfaat bagi kepentingan hidup biota perairan. Arsyad (1989), menyebutkan bahwa tutupan vegetasi berperan dalam siklus hidrologi, dalam proses infiltrasi dan perkolasi melalui sistem perakaran, hingga terjaminnya pelestarian air tanah dalam (ground water) yang sangat esensial dalam pengaturan tata air secara alamiah. Adapun pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap limpasan air (run off) adalah seperti pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap run off Riparian Zone
Pengurangan : 100 x (Input - Output)/Input Sedimen (%)
Nitrogen (%)
Phosphorus
Lebar (m)
Vegetasi
4.6*a
Herbs
61.0
4.0
28.5
9.2*a
Herbs
74.6
22.7
24.2
19.0*b
Trees
89.8
74.3
70.0
23.6*a
Herbs + tress*c
96.0
75.3
78.5
28.2*a
Herbs + Tress*d
97.4
80.1
77.2
(%)
Catatan : a) input : sediment 7.3mg/L, nitrogen 14.1 mg/L, phosphorus 11.3 mg/L b) input : sediment 6.5 mg/L, nitrogen 27.6 mg/L, phosphorus 5.0 mg/L c) lebar herbs 4.6 m dan poho/tree 19 m d) lebar herbs 9.2 m dan pohon/tree 19 m Sumber : Modifikasi dari Lowrance et al. 1995
Vegetasi riparian yang berada di bantaran sungai kian berkurang baik dari jumlah
maupun
jenisnya
akibat
berbagai
aktivitas
manusia.Kegiatan
mengendalikan arus sungai seringkali menghilangkan vegetasi riparian ini.Upaya memindahkan arus sungai yang berkelok-kelok hingga menjadi arus lurus telah menyebabkan deforestasi vegetasi riparian (Johnson et al., 1995). Aktivitas lain yang menghancurkan vegetasi riparian yaitu pertambangan, jalan, pembuangan sampah, urbanisasi dan kehutanan (Johnson et al., 1995; Petts, 1996; Salinas et al., 2000;). Upaya menghilangkan rawa banjir untuk mencegah banjir dan pemanfaatan tanah di rawa banjir untuk pertanian turut menghilangkan vegetasi riparian (Sparks, 1995). Di Indonesia, hilangnya vegetasi riparian juga disebabkan oleh kegiatan pemindahan aliran sungai. Selain itu disebabkan lahan yang berada di rawa banjir dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, dan irigasi.Pertambahan penduduk akibat urbanisasi telah meningkatkan jumlah penduduk di perkotaan.Penduduk yang tidak dapat membeli rumah memanfaatkan lahan basah di bantaran sungai yang menyebabkan hilangnya vegetasi riparian.
12
Vegetasi riparian adalah vegetasi yang tumbuh di tepian sungai. Vegetasi ini memiliki banyak fungsi antara lain menjaga kualitas air sungai, habitat kehidupan liar, menjaga longsor dan mengatur pertumbuhan flora akuatik baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Fungsi vegetasi riparian dalam menjaga kualitas air sungai telah banyak dilaporkan (Bayley, 1995; Binkley et al., 1999; Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000; Sparks, 1995). Air yang masuk ke sungai yang berasal dari pertanian dan pemukiman penuh dengan bahan-bahan pencemar misalnya pestisida, pupuk dan minyak. Pencemar tersebut sebelum memasuki sungai akan diserap oleh vegetasi riparian dan diubah menjadi bahan-bahan yang tidak berbahaya. Hal tersebut membantu meningkatkan kualitas air sungai. Dalam hal ini, vegetasi riparian berperan dalam purifikasi alamiah air sungai. Sayangnya, vegetasi riparian telah hilang sehingga fungsinya sebagai pengendali kualitas air sungai juga turut hilang. Penurunan kualitas air sungai di Indonesia terus terjadi seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan industri. Peningkatan konsentrasi di sungai-sungai juga dapat disebabkan oleh hilangnya tumbuhan yang dapat menyaring pencemar tersebut. Jika vegetasi riparian di bantaran sungai dipertahankan maka kualitas air sungai juga dapat dipertahankan. Kualitas air sungai akan meningkat jika vegetasi riparian juga meningkat. Peningkatan konsentrasi N dan P akibat pupuk dari kegiatan pertanian dan pemukiman terjadi di sungai yang tidak memiliki vegetasi riparian. Kandungan nitrat yang terlalu banyak di air sungai akan membahayakan kesehatan manusia yang meminumnya (Binkley et al., 1999). Vegetasi riparian juga mengendalikan erosi tebing sungai.Akar tumbuhan yang hidup di tepian sungai mencengkeram tanah di tepian sungai.Vegetasi riparian juga mengendalikan air permukaan. Mekanisme tersebut dapat mencegah longsoran tebing sungai yang sangat sering terjadi saat turun hujan (Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000) Vegetasi riparian mampu menyerap padatan terlarut yang dibawa air permukaan.Deforestasi di bagian atas sungai telah menyebabkan erosi tanah.Butiran tanah dibawa oleh air permukaan menuju sungai.Akar-akar vegetasi riparian dapat mengikat padatan terlarut tersebut sehingga air sungai tampak jernih.Partikel tanah yang tertangkap oleh vegetasi riparian mencegah terjadinya
13
sedimentasi di sungai. Hal ini sangat menguntungkan hewan-hewan seperti ikan yang menyukai dasar sungai tidak berlumpur (Jones et al., 1999; Loomis et al.,2000). Vegetasi riparian sangat bermanfaat dalam mengatur suhu air dan mengendalikan masuknya cahaya matahari ke sungai (Loomis et al., 2000; Mitsch & Gosselink, 1993). Cahaya yang masuk akan meingkatkan suhu permukaan air sungai. Hal ini sangat membahayakan kehidupan akuatik yang telah beradaptasi dengan suhu rendah.Jika suhu air sungai meningkat maka hanya beberapa hewan saja yang dapat hidup. Peningkatan suhu air akan mengurangi keanekaragaman jenis biota akuatik. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan akuatik dan alga untuk kegiatan fotosintesis.Kehadiran vegetasi riparian dapat mengurangi cahaya yang masuk ke sungai.Cahaya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan organism fotosintetik tersebut.Jika cahaya kurang akibat kehadiran vegetasi riparian maka pertumbuhan organisme fotosintetik dapat dikendalikan. Namun, jika cahaya terlalu banyak maka pertumbuhan organisme tersebut akan sangat cepat (Loomis et al., 2000). Peningkatan organisme fotosintetik yang berlebihan akan membahayakan kehidupan hewan-hewan akuatik. Organisme fotosintetik akan menghabiskanoksigen terlarut dalam air saat melakukan respirasi. Penurunan oksigen akan merugikan hewan-hewan akuatik seperti ikan yang membutuhkan oksigen dalam melakukan kegiatan metabolisme. Selain itu, oksigen terlarut dengan jumlah sedikit akan mengurangi laju dekomposisi materi organik (Bayley, 1995). Jika hal ini terjadi maka pencemar organik akan sulit diuraikan sehingga akan menurunkan kualitas air sungai. Vegetasi yang tumbuh di tepian sungai bermacam-macam jenisnya baik itu berupa pohon, semak, herba dan rumput. Vegetasi riparian di S.Gangsal, misalnya kasai (Pometia pinnata), ketapang (Terminalia catappa), gumbahang (Colocasia antiquorum), kumpai (Hymenachne aurita) dan teberau (Saccharum sp.) (Siahaan, 2000).Vegetasi riparian ini menjadi sumber materi organik yang penting bagi organisme akuatik.Bagian-bagian vegetasi misalnya buah, biji, bunga dan daun yang jatuh ke sungai menjadi sumber organik allochthonous yang sangat diperlukan dalam produktivitas perikanan sungai (Allan, 1995; Johnson et al.,
14
1995). Vegetasi riparian juga sangat dibutuhkan hewan-hewan sebagai tempat mencari perlindungan, kawin dan memijah (Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000; Mitsch & Gosselink, 1993; Salinas et al., 2000; Sparks, 1995). Tanaman di daerah riparian berfungsi untuk: memperkaya keragaman hayati, nutrient enrichment (akan menyaring contaminant), mengurangi kecepatan aliran, menciptakan daur makanan dan menyediakan tempat lindung bagi biota riparian. Akar tanaman di tebing dapat berfungsi sebagai „buttressing’ bagi tanah sehingga partikel tanah dapat tertahan.Mulatsih dan Kirno (2007) menyatakan struktur akar vegetasi dapat berpengaruh pada stabilitas tanah terutama dengan meningkatkan kuat geser tanah melalui perkuatan akar. Kekuatan akar ini tergantung dari jenis akar dan kondisi tanah. Tanaman sebagai pelindung tebing sungai yang tahan terhadap serangan arus aliran air tergantung salah satunya adalah dari bentuk akar tanaman. Bentuk akar serabut yang berkembang ke dalam akan lebih kuat dari pada akar serabut yang berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas. Bentuk akar tunjang yang berkembang ke dalam akan lebih kuat dari pada akar tunjang yang berkembang yang mengambang di lapisan tanah bagian atas. Jenis tanaman dan bentuk akar tersebut dikriteriakan sbb (Mulatsih dan Kirno, 2007): a) Rumput Gajah (Pennisetum purpureum), bentuk akar serabut berkembang kedalam b) Rumput Alang-alang, (Imperata cylindrical), bentuk akar serabut, putih kotor berkembang dan mengambang di lapisan tanah bagian atas c) Karangkungan (Ipomoea crassicaulis), bentuk akar tunjang berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas d) Rumput Glagah (Saccharum spontaneum), bentuk akar serabut berkembang kedalam e) Akar Wangi (Andropogon zizanioides), bentuk akar serabut tumbuh lebat menancap kebawah dapat mencapai ± 3 meter f) Pandan berduri (Pandanus furcatus), bentuk akar serabut, coklat berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas g) Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), bentuk akar tunggang, putih kekuningan berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas.
15
Beberapa istilah khusus telah diambil untuk menjelaskan bagian-bagian dari sebuah sistim akar tanaman. Tap root (akar pokok vertikal) merupakan bagian akar utama vertikal yang letaknya tepat dibawah batang tanaman, lateral root (akar pokok horisontal) merupakan bagian akar utama dibawah batang namun arahnya horisontal, sedangkan sinker root merupakan bagian akar vertikal yang merupakan percabangan dari akar batang atau akar lateral (Gambar 3). Secara umum akar yang kuat adalah akar yang menerobos dalam ke arah vertikal atau sinker roots yang menembus permukaan geser adalah meningkatkan tingkat stabilitas tanah terhadap sliding. Secara keseluruhan bentuk atau morfologi suatu sistim akar dapat pula dikelompokkan kedalam tiga bentuk dasar akar yaitu bentuk dasar taproot, heartroot dan plateroot (Gambar 4).
Gambar 3. Bagian-bagian dari sebuah sistem akar tanaman (Mulatsih dan Kirno, 2007)
Gambar 4. Bentuk atau morpologi suatu sistem akar (Mulatsih dan Kirno, 2007)
Upaya
penghijauan
kembali
bantaran
sungai
tidaklah
mudah
dilaksanakan.Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam upaya relokasi aktivitas manusia di tepian sungai.Faktor tersebut misalnya faktor ekonomi dan social penduduk.Walaupun demikian, upaya mengembalikan vegetasi riparian tetap penting untuk dilaksanakan agar manfaat sungai dan rawa banjir dapat
16
dipertahankan
untuk
kesejahteraan
manusia.Juga
untuk
mempertahankan
kelestarian hidupan liar yang sangat tergantung pada vegetasi riparian.
Table 2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur (Mulatsih dan Kirno, 2007) Umur Tanaman 1 Bulan No
Jenis Tanaman
3 Bulan
6 Bulan
Tunas
Akar
(cm)
(cm)
(kg)
(cm)
(cm)
(kg)
(cm)
(cm)
(kg)
(cm)
(cm)
(kg)
Tunas
Akar
Kuat Tarik
Tunas
12 Bulan
Kuat Tarik
Akar
Kuat Tarik
Tunas
Akar
Kuat Tarik
1
Rumput gajah
15
10
24
50
20
75
100
38
100
130
55
115
2
Alang - alang
5
3
3
15
10
7
30
15
14
50
25
21
3
Karangkungan
2
5
4
20
30
13
100
50
20
95
75
32
4
Glagah
1
3
15
35
21
54
100
20
93
115
55
107
5
Akar Wangi
4
7
5
20
30
25
50
55
37
90
76
56
6
Pandan Berduri
6
16
4
19
45
29
50
53
35
83
70
48
7
Pandan Wangi
5
14
4
11
17
12
48
38
28
76
60
42
Mulatsih dan Kirno (2007) telah mengidentifikasi jenis-jenis tanaman penguat tebing berdasarkan kekuatan tarik tanaman.Rumput gajah dan gelagah direkomendasikan sebagai
tanaman penguat
tebing.Tabel
2
menyajikan
karekteristik tanaman dimaksud dan Gambar 5 menyajikan grafik kekuatan tarik tanaman.
Gambar 5. Kuat tarik dari beberapa jenis tanaman berdasarkan umur (Mulatsih dan Kirno, 2007)
17
Dataran banjir sungai identik dengan vegetasi riparian. Dataran banjir berikut vegetasi yang kompleks didalamnya berfungsi untuk: a.
Mengurangi tinggi banjir dengan mengurangi, menyimpan, dan melepas perlahan air banjir.
b.
Menurunkan kecepatan aliran sungai dan erosi tanah
c.
Memperbaiki kualitas air dengan cara menyaring dan mengurangi nutrien, pestisida, garam, sedimen, sampah organik, dan polutan lainnya yang bergerak ke sungai.
d.
Menyediakan tempat ikan dan habitat liar yang paling baik
Informasi kecepatan sungai diperlukan untuk menentukan jenis tanaman yang akanditanam di area dataran banjir. Adanya tanaman akan mengurangi kecepatan aliran sungai pada saat aliran tinggi (banjir) sehingga daya rusak banjir dapat dikurangi. Vegetasi pada floodplain dapat menurunkan kecepatan aliran pada kasus aliran tinggi dan memperbaiki pertukaran antara sungai dengan riparian (Huang et al., 2009). Selain bermanfaat untuk memperkuat tebing, tanaman tersebut punya nilai ekonomi antara lain: sebagai pakan ternak (rumput gajah, alang-alang), kayu bakar (Krangkungan), kerajinan tangan (pandan berduri, akar wangi), bahan bumbu masak (pandan wangi).
2.6.
Ekohidraulika Sungai Ekohidraulika berasal dari kata ecological hydraulics sehingga konsep
ekohidraulika adalah konsep pengelolaan sungai yang bertujuan untuk menanggulangi banjir secara ekologis. Herricks dan Suen (2003) menguraikan bahwa ekohidraulika merupakan konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi dalam analisa hidrolika lingkungan yang memperhitungkan keberadaan organisme pada saluran. Selanjutnya Dong (2009) menguraikan bahwa rekayasa ekohidraulika adalah cabang dari ilmu rekayasa hidraulik.Prinsip-prinsip dan metode teknik pada rekayasa hidraulik dikaitkan dengan syarat kesehatan dan keberlanjutan ekosistem akuatik.
18
Paradigma pembangunan sungai pada saat ini belum memperhatikan faktor-faktor lingkungan sebagai masukan yang diperlukan dalam rekayasa strukturnya.Rekayasa pembangunan sungai dirancang hanya berdasarkan kajiankajian fisik hidraulik tanpa memperhatikan aspek-aspek ekosistem yang berlaku pada sebuah sistem perairan sungai (Maryono, 2005).Kondisi yang ada menunjukkan bahwa upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air sering memberikan
dampak
berubahnya
kondisi
fisik
sungai
dari
kondisi
alamiahnya.misalnya untuk tujuan pengendalian banjir, alur sungai mungkin harus dipindah atau diluruskan atau diubah slope dasarnya dan dibuat dengan konstruksi beton atau batu kali pada tebing atau dasar sungai. Dengan adanya permasalahan tersebut di atas, maka dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya air yang disertai dengan pendirian bangunanbangunan air pada sungai, perlu dipikirkan upaya-upaya pelestarian alam guna mendukung kelestarian populasi ikan dan organisme perairan lainnya. Dengan laju perkembangan kesadaran lingkungan dan kesadaran berfikir holistik dunia internasional dewasa ini serta ditemukannya berbagai dampak negatif yang sangat besar dari rekayasa hidraulik murni.Maka pola pikir rekayasa hidraulik secara parsial mulai ditinggalkan.Kemudian berkembang pola rekayasa interdisipliner baru dengan memadukan antara
rekayasa
hidraulik dan
pertimbangan
ekologi/lingkungan pada setiap penyelesaian masalah keairan. Teknologi atau rekayasa bangunan air yang ramah lingkungan yang mendasarkan pada konsepkonsep eko-hidraulik (eco hydraulics) perlu dikembangkan tanpa mengurangi tujuan
pengembangan
atau
pemanfaatan
sumber
daya
air
yang
bersangkutan.Untuk tujuan tersebut perlu diupayakan sosialisasi atau pengenalan konsep design bangunan air yang ramah lingkungan kepada masyarakat dan pemerintah, baik daerah maupun pusat, terutama instansi pengelola sungai dan instansi terkait lainnya Ekohidraulik merupakan ilmu interdisipliner yang memadukan antara komponen ekologi dan komponen hidrolika (Maryono, 2005).Perpaduan dua disiplin tersebut justru dalam perkembangannya dapat saling sinergis mutualisme yang menguntungkan secara ekologis dan hidraulis.Pendekatan interdisipliner
19
eko-hidraulik ini dipandang sebagai suatu pola pendekatan yang bisa diterima dan serta memiliki efek kelanjutan yang tinggi, karena memasukan faktor ekologi. Dalam konsep eko-hidraulik tidak ada satu faktor apapun yang tidak penting.Maka diperlukan banyak data pendukung seperti data social, fisik hidraulik, ekologi.Pada konsep hidraulik murni hanya memperhatikan dua unsur yaitu aliran air dan aliran sedimen.Sedangkan pada konsep eko-hidraulik disamping dua itu juga memperhatikan pula komponen vegetasi.Dalam perkembanganya eko-hidraulik, telah menghasilkan rekayasa-rekayasa baru yang dapat digunakan dalam penyelesaian masalah keairan dengan memanfaatkan faktor ekologi yang ada. Penerapan eko-engineering dengan konsep ekohidraulik dapat diterapkan misalnya penanganan longsoran tebing dengan melakukan penanaman bambu, rumput dan karangkungan atau perlindungan tebing dengan menggunakan ikatan batang atau dengan batu tanah yang ada. Dan bisa juga dengan menggunakan bending rendah pada dasar sungai dengan kayu mati yang akan membuat menurunnya tingkat erosi di dasar sungai. Dalam kaitan dengan eko-hidraulik, konservasi atau pemeliharaan sungai didefinisikan sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan mekanisme ekosistem sungai (perpaduan antara habitat dan organisme sungai) secara mikro maupun secara makro dari hulu hingga hilir, sehingga sungai dapat bermanfaat dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Komponen yang menjadi dasar dalam pemeliharaan sungai terdiri dari: 1. Komponen hidraulik, meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran air dan sedimen. Misalnya yang paling dominan adalah debit aliran, kecepatan aliran, tinggi permukaan, tekanan air, turbulensi makro, distribusi kecepatan mikro pada lokasi tertentu dan lain-lain. Dalam konsep eko hidraulik aliran bukan hanya berhububungan energi potensial tetapi juga dengan flora dan fauna di sekitar sungai dan juga mata air di sekitar sungai 2. Komponen sedimen dan morfologi sungai semua sedimen yang ada di sungai termasuk sedimen organik dan anorganik 3. Komponen ekologi, yaitu segala komponen biotic yang hidup di sungai (flora dan fauna )
20
4. Komponen sosial, yaitu persepsi masyarakat yang ada disekitar bantaran sungai terhadap komponen-komponen di atas pemeliharaan sungai intergratif.
Konsep restorasi sungai dengan pendekatan ekohidraulika berbeda dengan konsep konvensional penanganan masalah sungai yang selama ini banyak dianut seperti pembuatan talud, dinding parapet, pembangunan tanggul, pelurusan, sudetan, relokasi sungai, pembangunan bendung tanpa fish way, dan lain sebagainya.Konsep integralistik antara ekologi dan hidraulik, semua faktor yang terkait perlu mendapatkan perhatian dengan porsi yang sesuai sehingga tidak ada komponen dalam ekosistem sungai yang hancur. Kehancuran salah satu rantai ekosistem sungai (misalnya flora) maka akan menyebabkan kehancuran komponen yang lain misalnya fauna, retensi hidraulik, dan erosi tebing sungai. Gambar 6 menunjukkan komponen-komponen penyusun sungai.
21
1. Karakteristik fisik sungai dan perubahannya 2. Profil melintang dan memanjang 3. Topografi alur dan dasar sungai Fisik Hidraulik
4. Fluktuasi debit, muka air, sedimen 5. Sempadan sungai (bantaran banjir, longsor, ekologi, dan bantaran keamanan) 6. Karakteristik hujan – aliran
1. BOD, COD, pH, CT, Fe, Mn, dll Kimia
2. Sumber limbah cair dan padat 3. Frekuensi debit limbah cair dan volume limbah padat
Integralistik Ekologi dan Hidraulik
1. Jenis, formasi dan jumlah flora atau vegetasi Biologi
2. Jenis dan jumlah fauna pada sempadan sungai 3. Jenis dan jumlah fauna pada badan sungai
1. Permukiman dan aktivitas terkait dengan sungai 2. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Sosial
3. Persepsi masyarakat
Gambar 6. Integralisasi komponen ekohidraulika (profil sungai)
Gambaran berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa restorasi sungai dengan pendekatan ekohidraulika dapat diterapkan dengan penanaman vegetasi pada bantaran sungai. Hal ini akan mempengaruhi fungsi ekologi sungai, sebagaimana diuraikan oleh Newson (2002) menguraikan bahwa hidromorfologi ekosistem sungai merupakan unsur dinamis. Dinamika dari kondisi fisik habitat fluktuatif mempengaruhi kawasan bantaran sungai (river bed and bank), hidrolika saluran, aliran permukaan, aliran dasar dan angkutan sedimen. Peningkatan dan restorasi habitat pada bantaran sungai akan meningkatkan stabilitas sungai dan
22
pola meandering. Sehingga kontribusi geomorfologis dalam pengelolaan sungai akan mempengaruhi pola aliran dan angkutan aliran. Sebagai bagian pengelolaan sumber daya air, maka pengelolaan sungai yang
memperhitungkan lingkungan fisik dinilai mampu mempertahankan
dinamika sungai sebagai ekosistem yang stabil. Mathuwatta dan Chemin (2002) menguraikan bahwa perencanaan sumber daya air tergantung pada lingkungan fisik yaitu vegetasi dan kondisi hidrologi sungai.Pertumbuhan vegetasi baik secara alami maupun dengan campur tangan manusia berpengaruh terhadap dinamika sungai. Zonasi pertumbuhan vegetasi lebih baik dibandingkan dengan zonasi agroekologi eksisting dan pemetaan land use pada permukaan sungai.
23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian terdiri dua bagian; survey lapangan dan pengukuran. Survey
lapang dilakukan di Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur, Bogor sepanjang ± 1 km. Pengambilan data di lapangan antara lain untuk pengambilan sampel tanah, pengukuran kecepatan aliran sungai, pengukuran kedalaman sungai, pengukuran lebar sungai untuk pembuatan profil hidraulik sungai dan perhitungan faktor friksi tanaman.
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
24
3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Survey sungai Profil hidraulik sungai dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang luas penampang sungai pada potongan tertentu, kecepatan air dan debit.Hasil perhitungan profil tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan luas areal banjir dan muka air banjir pada sungai. Potongan melintang sungai diukur dengan menggunakan theodolith dan water pass, sedang kecepatan air diukur dengan menggunakan current meter sebanyak tiga kali pada setiap lokasi. Informasi tinggi muka air secara cepat dapat diamati dari bekas genangan yang terjadi. Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh muka air banjir untuk berbagai periode di setiap lokasi penelitian.Adapun tahapan yang dilakukan pada analisis disajikan pada Gambar 8.
Perhitungan Luas Penampang Sungai
Perhitungan kecepatan air (V)
Perhitungan kapasitas sungai (Q)
Data : Lebar sungai Kedalaman sungai Sungai Tinggi tanggul
Perhitungan geometri
Luas Penampang sungai (A)
Pengukuran kecepatan air aktual menggunakan current meter
Q = V.A
Simulasi kapasitas banjir (Rumus Manning)
Nilai koefisien kekasaran untuk setiap titik pembacaan
Gambar 8. Tahapan analisis hidraulika
25
3.2.2. Survey tanaman Survey dilakukan untuk mendapatkan informasi jenis tumbuhan lokal yang hidup di daerah riparian dan floodplain Sungai Ciliwung. Jenis vegetasi pelindung tebing yang dipilih dapat memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Mulatsih dan Kirno (2007) yaitu: ada manfaat ekonomi, kemudahan mencari bibit, tingkat ketahanan hidup, dan fisik tanaman termasuk bentuk akar yang terkait dengan kuat tarik terhadap serangan arus sungai.
3.2.3. Studi literatur Dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik tanaman tertentu.Mulatsih dan Kirno (2007) merekomendasikan rumput gajah dan gelagah untuk penguat tebing di Kali Andong Bengawan Solo. Informasi tentang flow resistance akan dikompilasi dari publikasi ilmiah terutama untuk kasus Indonesia.
3.2.4. Analisis dan strategi restorasi
Opsi desain kanal Gambar
9
menyajikan
opsi
pilihan
desain
kanal
yang
akan
direkomendasikan.
Gambar 9. Opsi desain kanal sungai
Pemilihan vegetasi Dari data survey vegetasi dan informasi faktor friksi atau kekuatan kuat
tarik tanaman yang diperoleh melalui pengukuran dan studi literatur, maka dilakukan pemilihan tanaman lokal dan tanaman non-lokal untuk restorasi bantaran sungai sesuai kebutuhan setempat. Pemilihan tanaman lokal lebih diutamakan untuk pelindung tebing karena vegetasi yang hidup di suatu tempat sangat spesifik tergantung pada faktor tanah, dinamika aliran air, penyinaran matahari serta temperatur dan iklim mikro lainnya. Untuk kepentingan
26
pengembangan daerah Kelurahan Sempur, tanaman non-lokal yang bernilai ekonomi tinggi juga dapat dikembangkan dengan syarat menyesuaikan karakter lokal seperti dinamika aliran, iklim mikro dan jenis tanah. Tanaman yang dipilih harus dapat mengurangi kecepatan arus pada saat banjir. Sedangkan restorasi di riparian bertujuan untuk mendapatkan kombinasi tanaman yang cocok untuk mengatasi erosi di riparian dan mengurangi kecepatan aliran air yang masuk ke tebing sehingga tebing sungai tetap terjaga. Jenis tanaman harus mampu memperkuat tebing sungai. Untuk daerah riparian, tanaman yang dipilih dapat mengurangi erosi dan kecepatan aliran permukaan. Hasil akhir dari penelitian ini yaitu berupa desain restorasi bantaran sungai dengan pendekatan ekohidraulika dengan menggunakan tanaman.
27
BAB IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum DAS Ciliwung 4.1.1. Bentuk dan Wilayah DAS Ciliwung DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang sedikit banyak berbeda. Distribusi penutupan lahan di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 10 yang diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat ETM tahun 2001 oleh Fakultas Kehutanan IPB.
Gambar 10. Penutupan lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 (Fakultas Kehutanan IPB, 2001)
28
Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan deliniasi wilayah sebagai berikut : a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji). c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
4.1.2. Pembagian DAS Ciliwung 1.
Bagian Hulu DAS Ciliwung Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang
merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, danKatulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.
2.
Bagian Tengah DAS Ciliwung Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah
bergelombang danberbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m di atas permukaan laut. Di bagian tengah terdapat dua anak sungai, yaitu:
29
Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di sungai Ciliwung. Bagian tengah Ciliwung didominasi area dengan kemiringan lereng 2-15%.
3.
Bagian Hilir DAS Ciliwung Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai mencakup
areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Dalam kondisi demikian batas DAS menjadi tidak tegas.
4.1.3. Penggunaan Lahan Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Berdasarkan hasil kajian Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Ditjen RRL, Departemen Kehutanan (1997), pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu danbagian tengah secara garis besar dibedakan menjadi 4 (empat) jenis pemanfaatan lahan yaitu hutan, pertanian, pemukiman (termasuk diantaranya industri, perdagangan, dll), dan lain-lain (termasuk situ). Baik DAS bagian hulu maupun bagian tengah masih didominasi oleh kawasan pertanian yaitu masing-masing sebesar 63,9% dan 72,2%. Akan tetapi, DAS bagian hulu masih terdapat kawasan hutan sekitar 25 % sedangkan DAS
bagian
tengah
sudah
tidak
mempunyai
kawasan
hutan
sama
sekali.Berdasarkan penggunaan lahan tahun 1996, ternyata daerah permukiman (11.590 ha) merupakan penggunaan lahan terluas di DAS Ciliwung dan diikuti secara berurutan oleh pertanian tegalan (7.770 ha), kebun campuran (5.730), hutan (5.094 ha), sawah (1.665 ha), dan penggunaan lainnya (724 ha).
30
Gambar 11. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 1996
Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2001-2002, jenis pemanfaatan lahannya semakin bertambah yaitu antara lain sawah, tegalan, perkebunan, kebun campuran, hutan, pemukiman, dan kawasan industri. Pada tahun 2001, daerah pemukiman masih merupakan penggunaan lahan terluas dari DAS Ciliwung namun prosentasenya meningkat drastis yaitu menjadi 64%, sedangkan luasan hutan menurun secara drastis yaitu menjadi hanya 0,17%. Prosentase penggunaan lahan pada tahun 2001-2002 dapat dilihat dalam Gambar 12 berikut.
Gambar 12. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 – 2002
31
Karena setiap tipe penggunaan lahan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menginfiltrasikan (meresapkan) air hujan ke dalam tanah, maka jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah dan yang mengalir di atas permukaan tanah akan berbeda pada setiap tipe penggunaan lahan. Proporsi air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah pada setiap penggunaan lahan dikenal
dengan
istilah
koefisien
aliran
permukaan
atau
koefisien
limpasan.Besarnya koefisien aliran permukaan itu memang masih dipengaruhi oleh tipe tanah dan pengelolaan (manajemen) lahan. Perbedaan manajemen lahan dan permukaan lahan, menyebabkan nilai koefisien limpasan di daerah permukiman berkisar dari 25-40 % di pinggiran kota dan pedesaan, 35-70 % di perkotaan, 50-90 % di daerah industri, 50-95 % di daerah perkotaan dan perdagangan. Di daerah pertanian besarnya koefisien limpasan berkisar 21-65 %, daerah penggembalaan 17-23 %, dan di daerah hutan adalah 2-15 %.Berdasarkan luas dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang terbesar, maka kontribusi daerah permukiman adalah yang terbesar mengakibatkan banjir Ciliwung, disusul oleh daerah pertanian (tegalan dan kebun campuran). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa PS DAS IPB melalui simulasi model, dengan data penggunaan lahan tahun 1996 dan curah hujan 88 mm pada 11 Februari 1996, maka debit Stasiun Katulampa hanya 205 m3 debit di Stasiun Ratujaya 320 m3dan debit diStasiunManggarai383m3.Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi bagian hulu sekitar 33 %, tengah 35 %, dan hilir 32 %. Proyeksi penggunaan lahan sampai tahun 2012 yang didasarkan pada kecenderungan perubahan 1990-1996 menunjukkan bahwa daerah permukiman akan meningkat menjadi 48 %, tetapi kebun campuran dan tegalan menurun menjadi hanya 12 % dan 17 %. Hal ini akan meningkatkan koefisien limpasan meningkat menjadi 48 % di bagian hulu, 60 % di bagian tengah, dan 65 % di bagian hilir. Perubahan penggunaan lahan dari pertanian (tegalan dan kebun campuran) menjadi permukiman di bagian tengah dan hilir DAS Ciliwung tampaknya lebih cepat daripada proyeksi tahun 2012 karena besarnya tekanan penduduk. Hal ini
32
akan mengakibatkan kontribusi bagian tengah DAS terhadap banjir Jakarta semakin besar. Apabila tidak ada inisiatif mengatasi perubahan itu, maka aliran Ciliwung akan menjadi lebih tidak terkendali. Jakarta dapat terhindar dari amukan banjir yang lebih dahsyat dengan cara Sungai Ciliwung harus diatur dengan debit aliran di Stasiun Ratujaya Depok tidak melebihi 350 m3.
4.2. Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur Kelurahan Sempur merupakan salah satu wilayah yang yang dilalui oleh Sungai Ciliwung.Pada beberapa kejadian banjir Sungai Ciliwung, Kelurahan Sempur termasuk wilayah yang memiliki dampak yang paling parah karena melintasi
perkampungan,
perumahan
padat,
dan
pemukiman-pemukiman
kumuh.Sepanjang kanan kiri Sungai Ciliwung yang melintas di Sempur sebagian besar adalah pemukiman padat penduduk.Dari masa ke masa, jumlah penduduk yang bermukim dan berusaha di sepanjang tepian Ciliwung tersebut terus tumbuh dan berkembang.Kini, daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup di sepanjang tepiannya tampaknya sudah melampaui ambang batas.Okupasi lahan bahkan sampai ke badan sungai yang dipastikan bakal dibanjiri air kala sungai meluap pada musim hujan. Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur sudah tidak memiliki bantaran sungai yang ideal.Bantaran sungai di sebelah sisi timur Sungai Ciliwung ini telah penuh dengan perumahan padat penduduk. Sedangkan bantaran sebelah barat Sungai Ciliwung hanya sekitar 1 meter. Hasil survey yang dilakukan menunjukkan sungai Ciliwung ini pun telah mengalami banyak yang mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan Sungai Ciliwung memiliki potensi terbesar penyebab banjir.Dinding atau tebing sungaipun banyak yang telah mengalami penggerusan dikarenakan aliran yang deras. Dari sisi kualitas air, air sungai itu bahkan tak layak lagi dipakai untuk konsumsi sehari-hari (mandi, cuci dan sanitasi) . Pada Bulan Januari 2010, banjir bandang melanda sebagian wilayah Bogor yang disebabkan oleh meluapnya Sungai Ciliwung. Akibat luapan air Sungai Ciliwung tersebut menyebabkan longsor tebing sungai yang mengakibatkan beberapa rumah masyarakat yang dibangun dipinggir aliran sungai Ciliwung
33
hanyut bersama aliran air. Longsor terjadi di sepanjang aliran sungai Ciliwung diantaranya kawasan Lebak Kantin.Ketinggian air Sungai Ciliwung pada saat itu adalah 3 meter. Banjir yang terjadi tersebut diperkirakan menjadi banjir terbesar selama kurun waktu 10 tahun terakhir.
34
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Batas Sempadan atau Bantaran Sungai Dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dinyatakan bahwa sungai merupakan salah satu bentuk alur air permukaan yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu berwawasan lingkungan hidup dengan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan dampak negatif terhadap lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan kemanfaatan sungai serta mengendalikan kerusakan sungai, perlu ditetapkan garis sempadan sungai, yaitu garis batas perlindungan sungai. Garis sempadan sungai ini selanjutnya akan menjadi acuan pokok dalam kegiatan pemanfaatan dan perlindungan sungai serta sebagai batas permukiman di wilayah sepanjang sungai. Lebar sempadan sungai, dapat ditentukan berdasarkan hitungan banjir rencana dan berdasarkan kajian fisik ekologi, hidraulik dan morphologi sungai langsung di lapangan. Penentuan lebar sempadan sungai dengan metode banjir rencana pada umumnya mengalami kesulitan implementasi di masyarakat, karena masyarakat kesulitan dalam memahami arti hitungan banjir rencana. Sementara di era otonomi, pihak yang berwenang tidak dapat mengimplementasikan segala sesuatu tanpa persetujuan masyarakat. Penentuan berdasarkan data ekologi, morphologi dan hidraulik, dapat lebih mudah dimengerti oleh masyarakat, karena batasan morphologi, ekologi dan hidraulik dapat dilihat secara langsung di lapangan. Untuk penentuan sempadan sungai di Kota Bogor didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Yang dimaksud dengan Sempadan Sungai adalah Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk pada sungai buatan/kanal/saluran/irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Penetapan sempadan sungai ini dimaksudkan untuk pengamanan prasarana fisik sungai/saluran serta penataan dan
35
penertiban terutama akibat keberadaan pengembangan bangunan-bangunan yang dapat berakibat terganggunya daerah aliran air dalam saluran. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi fungsi sungai darikegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai serta mengamankan aliran sungai. Dalam peraturan tersebut, pada Bagian Kedua tentang Kawasan Perlindungan Setempat Paragraf 2 tentang Sepadan Sungai Pasal 14 menyatakan bahwa kriteria sempadan sungai untuk wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut : 1. Sekurang-kurangnya 5 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul pada sungai bertanggul di kawasan perdesaan dan sekurang-kurangnya 3 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul pada sungai bertanggul di kawasan perkotaan; 2. Sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar dari 3 meter; 3. Sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 3 meter sampai dengan 20 meter; 4. Sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter; 5. Sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut; 6. Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan, adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan.
Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No 2 Tahun 2006 tersebut, Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur seharusnya memiliki sempadan atau bantaran sungai ssekurang-kurangnya 15 meter di hitung dari tepi sungai. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur tidak memenuhi peraturan tersebut. Pada
36
sempadan sebelah kiri sungai, pada daerah ini sudah tidak memiliki sempadan sungai karena bangunan berdiri secara langsung di tepi sungai. Sedangkan sempadan di sebelah kanan meskipun masih memiliki sempadan sungai sekitar 2 meter sampai dengan 3 meter, namun tetap tidak memenuhi kriteria sempadan menurut peraturan tersebut.
5.2. Penentuan Tipe Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur Sempadan sungai atau bantaran sungai merupakan kawasan (buffer) penyangga daerah pengelolaan air berfungsi sebagai tanggul sungai, berada pada kanan dan kiri badan sungai. Penutupan vegetasinya spesifik riparian, membentuk satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk fisiografi dan jenis batuannya. Bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan ekoton antara ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian dengan ekosistem daratan (Swol 1986). Terganggunya ekositem bantaran sungai menyebabkan peranan fungsinya terganggu, pada hal seperti halnya hutan, komunitas vegetasi riparian secara teoritis berfungsi sebagai pusat terjadinya keanekaragaman genetik, dan tempat berlangsungnya evolusi secara alamiah. Lebih jauh bahwa dampak penting pengembangan wilayah terhadap kondisi fisik bantaran sungai menyebabkan perubahan-perubahan terhadap habitat dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Perubahan yang terjadi dicirikan oleh bentuk-bentuk degradasi habitat, akibat okupasi penduduk seperti yang terjadi di bantaran sungai. Dalam penelitian ini, daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung yang mengalir melewati Kelurahan Sempur sepanjang 1 km dibagi menjadi 4 segmen wilayah penelitian. Pembagian ini didasarkan pada wilayah yang lebih hulu sampai ke hilir dari Sungai Ciliwung yang mengalir di Kelurahan Sempur. Adapaun keempat segmen tersebut adalah : 1. Segmen 1, yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai dengan Jembatan Lebak Kantin; 2. Segmen 2, yaitu wilayah antara Jembatan Lebak Kantin sampai dengan Jembatan Sempur Kidul;
37
3. Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul sampai dengan Jembatan Sempur Kaler; 4. Segmen 4, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kaler sampai dengan Lebak Pilar.
Selanjutnya pada bantaran Sungai Cilliwung yang melintas di Kelurahan Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penutupan vegetasi yang berbeda. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyebutkan bahwa terkendalinya neraca keseimbangan air sangat ditentukan oleh penutupan vegetasi dan ketersediaan serasah di lapisan tanah teratas, karena berpengaruh langsung terhadap premabilitas dan porositas tanahnya. Adapun ketiga tipe tersebut yaitu : 1.
Tipe A merupakan hamparan atau bantaran yang bervegetasi riparianmasih utuh.
2.
Tipe B merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang telahterokupasi oleh penduduk 21-54%.
3.
Tipe C merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%.
Tipe A merupakan tipe bantaran dengan tutupan vegetasi yang masih utuh, sedangkan pada Tipe B dan Tipe C cenderung dipengaruhi oleh okupasi pemukiman penduduk yang berpengaruh langsung terhadap luasan bantaran hingga terganggunya peluang infiltrasi air kedalam tanah. Sehubungan dalam penentuan tipe bantaran ini yang didasarkan pada prosentase tutupan vegetasi dan tutupan bangunan yang ada di sepanjang kanan dan kiri sungai, maka berdasarkan data yang ada dapat dibuat perbandingan tutupan vegetasi dan bangunan pada masing-masing segmen area penelitian seperti disajikan pada Gambar 13 berikut.
38
Gambar 13. Prosentase tutupan vegetasi dan bangunan
Dari gambar di atas maka dapat dibuat kesimpulan mengenai tipe bantaran Sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan. Dimana bantaran sungai di sepanjang lokasi tersebut adalah termasuk dengan Tipe B dan Tipe C. Yang termasuk dalam Tipe B yaitu lokasi di Segmen 3, sedangkan yang termasuk dalam Tipe C adalah lokasi Srgmen 1, Segmen 2 dan Segmen 4. Adapun pembagian tipe bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Penentuan tipe bantaran No.
Lokasi
1.
Tipe Bantaran Tipe A
Tipe B
Tipe C
Segmen 1
-
-
√
2.
Segmen 2
-
-
√
3.
Segmen 3
-
√
-
4.
Segmen 4
-
-
√
Untuk lebih jelas mengetahui kondisi di lapangan mengenai perbandingan tutupan vegetasi dan banguan yang ada di bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur dapat dilihat pada Gambar 14 sampai dengan Gambar 16 berikut.
39
Lapangan Sempur
Gambar 14. Lokasi Segmen 1 merupakan Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Gambar 15. Lokasi Segmen 2 yang merupakan Tipe C Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur dan Lokasi Segmen 3 yang merupakan Tipe B Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
40
GOR Pajajaran
Gambar 16. Lokasi Segmen 4 yang termasuk dalam Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur 5.3. Analisis Kondisi Tebing Sungai, Dasar Sungai Dan Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai 5.3.1. Kondisi Tebing Sungai Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul sungai disebut dengan tebing sungai. Tebing sungai umumnya membentuk lereng atau sudut lereng. Semakin terjal akan semakin besar sudut lereng yang terbentuk. Tebing sungai merupakan habitat dari komunitas vegetasi riparian, kadangkala sangat rawan longsor karena batuan dasarnya sering berbentuk cadas. Kondisi tebing dalam pengelolaan sungai merupakan salah satu indikator penting. Newson (2002) menguraikan bahwa dalam kegiatan pengelolaan sungai (river engineering project) terdapat empat hal yang dipertimbangkan yaitu disain saluran, penampang melintang sungai, perlindungan erosi tebing dan perlindungan aliran sungai. Stabilitas tebing (bank stability) disebutkan mempengaruhi dua aspek yaitu penampang melintang dan erosi tebing. Terjadinya erosi tebing dipengaruhi akibat kondisi tanah yang jenuh pada musim hujan dan menyebabkan meningkatnya massa tanah. Akibatnya beban pada tanah meningkat dan akan terjadi kelongsoran. Erosi tebing sungai juga dipengaruhi oleh kecepatan air, vegetasi di sepanjang tebing sungai, kegiatan
41
bercocok tanam di pinggir sungai, kedalaman dan lebar sungai, bentuk alur sungai dan tekstur tanah. (Asdak, 2004). Kondisi tebing Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur dideskripsikan dengan kejadian erosi dan tidak erosi. Kejadian erosi tebing dapat diamati dua cara yaitu berdasarkan adanya akar pohon yang nampak pada tebing sungai (Walker, et al, 1992) serta kondisi tidak adanya vegetasi pada tebing. Berdasarkan hasil pengamatan pada beberapa titik pembacaan, diperoleh gambaran bahwa pada sisi kanan sungai erosi tebing yang terjadi lebih besar dibandingkan pada sisi kiri sungai. Hal ini diantaranya karena pada sisi sebelah kiri sungai telah dilakukan perlindungan tebing. Secara detail kejadian erosi tebing disepanjang sungai dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Kejadian erosi tebing Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Gambaran kejadian erosi tebing di Segmen 2 dan Segmen 4 terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada lokasi ini terdapat belokan dimana merupakan faktor utama penyebab erosi tebing. Kondisi morfologi sungai yang memiliki belokan inimengakibatkan aliran air yang terjadi mengarah ke daerah tertentu di sisi luar belokan. Pada kondisi ini, aliran air akan berusaha bergerak keluar, sehingga kecepatan air di sisi luar belokan akan lebih besar dibanding di sisi dalam belokan. Akibatnya, pada sungai yang memiliki tebing
42
dengan kondisi tanah yang tidak stabil akan cenderung terjadi kelongsoran pada tebing di bagian luar belokan sungai. Proses kelongsoran tebing ini terjadi akibat adanya proses gerusan yang terus menerus di dasar tebing sebagai reaksi perubahan dasar terhadap kondisi pola aliran di belokan.
5.3.2. Kondisi Dasar Sungai Dasar sungai tersusun oleh material yang terangkut secara alamiah oleh aliran air dan mengendap pada daerah tertentu.
Forman dan Gordon (1983)
menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan material yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya. Kondisi dasar sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur bervariasi. Pada wilayah pengukuran sepanjang 1 kilometer terdapat 33% panjang sungai yang dasarnya terbentuk oleh batuan besar dengan ukuran 5 mm – 20 mm. Hal ini sesuai dengan Gambar 18.
Gambar 18. Variasi kondisi dasar Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
43
Adapun perbedaan sedimen dasar dapat diuraikan bahwa semakin ke hilir, maka sedimen sungai semakin halus. Dasar sungai pada lokasi Segmen 1 yang terletak di hulu sungai didominasi oleh batuan dengan diameter yang lebih besar 20 mm. Dasar sungai pada lokasi Segmen 2 didominasi dengan batuan kerikil diameter 5 mm hingga 20 mm.
5.3.3. Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai Bantaran sungai merupakan daerah yang rawan banjir namun dengan letaknya yang strategis dan terdekat dengan sumber air, maka bantaran dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi tata guna lahan pada bantaran sungai di sepanjang Sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan Sempur terbagi atas empat jenis yaitu tanah kosong/semak, kebun dan pemukiman, dan tidak ditemukan adanya hutan di bantaran sungai. Adapun distribusi pemanfaatan lahan pada bantaran sungai di sisi kiri dan kanan sungai disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19. Distribusi tata guna lahan pada bantaran sungai
Pada gambar 19 nampak bahwa bantaran sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur sebagian besar lahan digunakan untuk pemukiman. Pada sisi kanan sungai, lahan pemukiman sebesar 82%, sedang pada sisi kiri lahan pemukiman sebanyak 91%. Kebun atau tanah kosong juga masih dapat ditemukan pada sisi kanan kiri bantaran. Pada sisi kiri bantaran, kebun atau tanah kosong sebagian
44
berada di lokasi Segmen 3 dan Segmen 4. Sedangkan di sisi sebelah kanan bantaran sungai, tanah kosong masih dapat ditemukan di lokasi Segmen 4. Tanah kosong merupakan lahan yang tidak dikelola secara intensif oleh masyarakat. Pada bantaran sungai Ciliwung di sepanjang Kelurahan Sempur tanah kosong pada umumnya ditumbuhi oleh semak belukar atau tanaman bambu. Sedangkan kebun dikelola oleh masyarakat di bantaran sungai yang pada umumnya menanam tanaman jagung dan pisang.
5.3.4. Vegetasi di Bantaran Sungai Vegetasi di sepanjang bantaran sungai dan dataran banjir terdapat beberapa jenis vegetasi. Beberapa jenis vegetasi yang ada di bantaran dan daratan banjir seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis-jenis vegetasi pada bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur No.
Jenis
Suku
Nama Lokal
Kegunaan
1.
Agathis damara
Araucariaceae
Damar
TP & TK
2.
Areca cathecu L.
Arecaceae
Pinang
TB
3.
Artocarpus heterophyllus
Moraceae
Nangka
TB & TK
4.
Calliandra calothyrsus
Fabaceae
Kaliandra
TP
5.
Casuarina sumatrana
Casuarinaceae
Cemara
TP
6.
Cocos nucifera
Arecaceae
Kelapa
TB & TK
7.
Erythryna fusca
Fabaceae
Dadap
TP
8.
Ficus benjamina
Moraceae
Beringin
TP
9.
Gigantochloa apus
Poaceae
Bambu tali
10.
Hevea brassiliensis
Euphorbiaceae
Karet
TG
11.
Lagerstroemia flos-reginae
Lythraceae
Bungur
TP
12.
Mangifera caesia
Anacardiaceae
Kemang
TB
13.
Mangifera indica
Anacardiaceae
Mangga
TB
14.
Muntingia calabura
Elaeocarpaceae
Ceri
TP
15.
Nephelium lappaceum
Sapindaceae
Rambutan
TB & TK
16.
Pterocarpus indicus
Fabaceae
Angsana
TP
17.
Swietenia mahagoni
Meliaceae
Mahoni
TB & TK
45
18.
Tamarindus indica
19.
Tectona grandis
Keterangan
Fabaceae
Asam Jawa
TB
Verbenaceae
Jati
TB
:
TB
: Tanaman Buah
TK
: Tanaman Kayu
TP
: Tanaman Peneduh
5.4. Analisis Hidraulika Sungai Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Sebagai saluran terbuka, maka sungai yang memiliki penampang alami diidealisasikan dengan bentuk trapesium. Pengukuran lebar saluran dilakukan di empat titik pengamatan. Hasil pengukuran lapangan menujukkan variasi karakteristik penampang sungai pada daerah hulu, tengah dan daerah hilir sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Profil hidraulik Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
Lokasi
Tipe Bantaran
Lebar Sungai (meter) Lebar
Lebar
Dasar
Atas
Kemiringan (%)
Luas Penampang (m2)
Segmen 1
Tipe C
29,4
35,8
2,9
14,50
Segmen 2
Tipe C
11,7
35,7
1,2
12,61
Segmen 3
Tipe B
20
27,8
0,9
36,16
Segmen 4
Tipe C
12
40,5
1,6
5.44
Tabel 5 menunjukkan bahwa lebar sungai pada lokasi Segmen 1 yang berada pada daerah hulu lebih besar dibandingkan dengan lebar sungai pada lokasi Segmen 2. Hal ini disebabkan karena pada daerah Segmen 1 nampak terjadi erosi tebing yang tinggi sedang pada daerah Segmen 2 terjadi banyak tumpukan sediman batuan sehingga lebar sungai menyempit. Pada daerah Segmen 4 terjadi pengikisan akibat erosi tebing tanpa adanya tindakan perkuatan sehingga terjadi pelebaran sungai.
46
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa lokasi Segmen 1 dan Segmen 2 memiliki luas penampang sungai yang relatif sama, sedangkan pada lokasi Segmen 3 luas penampang mengalami peningkatan, dan di lokasi Segmen 4 memiliki luas penampang yang lebih rendah dibandingkan di lokasi lainnya. Karakteristik hidraulika lain adalah kemiringan sungai. Dasar sungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa persen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air. Daerah dengan kemiringan memanjang yang tinggi akan menyebabkan terjadinya kecepatan yang tinggi dan memungkinkan terjadinya erosi tebing. Sedangkan pada daerah dengan kemiringan kecil akan menyebabkan terjadinya sedimentasi. Dari Tabel 5 Sepanjang lokasi Segmen 2 menuju ke Segmen 3 memang tidak ditemukan tumpukan sedimentasi. Kecepatan air di sepanjang lokasi ini terhitung cepat sehingga di beberapa titik terdapat erosi dinding akibat tergerus air. Kondisi hidraulika lain yang juga mempengaruhi kapasitas sungai adalah kedalaman sungai. Hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut yang menunjukkan bahwa kedalaman sungai bervariasi. Data tersebut juga menunjukkan bahwa lokasi yang lebih di bawah yaitu di Segmen 2 dan Segmen 3 lebih dalam dibandingkan dengan kedalaman sungai di lokasi Segmen 1, dan pada lokasi Segmen 4 sungai kembali mengalami pendangkalan.
Tabel 6. Kedalaman Sungai Ciliwung No
Titik
Kedalaman (m)
Pengamatan
Segmen 1
Segmen 2
Segmen 3
Segmen 4
1
1
1.25
1.40
2,205
0.27
2
2
0.73
1.45
2.545
0.53
3
3
0.35
1.11
2.555
0.53
4
4
0.64
0.80
1.775
-
5
5
0.29
0.50
0.895
-
6
6
0.19
-
-
-
7
7
0.27
-
-
-
47
Kemiringan sungai akan berpengaruh terhadap kecepatan aliran. Kecepatan aliran diseluruh penampang melintang sungai dalam satu sungai tidaklah seragam. Semakin tidak teratur tampang saluran maka semakin tidak seragam distribusi kecepatan alirannya. Sehingga kecepatan rata-rata yang diperoleh dapat memiliki derajat penyimpangan besar dengan kecepatan real yang ada. Besarnya kecepatan rata-rata secara kasar dapat ditentukan dengan mengukur kecepatan di permukaan air. Pengukuran kecepatan aliran dalam penelitian ini dilakukan menggunakan current meter. Hasil pengukuran kecepatan aliran pada kedua penampang melintang sungai disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Kecepatan aliran sungai pada saat pengukuran Bagian
Kecepatan Air (V) m/det Segmen 1
Segmen 2
Segmen 3
Segmen 4
1
0,731
1,286
0,52
1,87
2
0,860
0,943
0,49
2,56
3
1,089
1,473
0,48
1,623
4
1,370
1,226
0,3
-
5
1,348
-
0,11
-
6
2,161
-
-
-
Berdasarkan tabel di atas, diketahui kecepatan aliran dan luas penampang sungai pada kedua lokasi pengukuran tersebut, maka dengan menggunakan hitungan hidraulis sungai dapat ditentukan debit pada masing-masing titik pengamatan.
(5.1)
Dimana Q adalah debit air (m3/det), V adalah kecepatan aliran sungai (m/det) dan A adalah luas penampang sungai (m2). Adapun hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran. Berdasarkan nilai debit sungai yang telah diperoleh, dengan menggunakan persamaan (5.1) dapat diperoleh kecepatan (Vm) yaitu sebagai berikut :
48
(5.2) (5.3)
Tabel 8. Kecepatan aliran pada lokasi penelitian
No.
Lokasi
Luas Penampang
Debit
(m2)
(m3/det)
Kecepatan Rata-rata (m/det)
1
Segmen 1
14,50
15,61
1,08
2
Segmen 2
12,61
15,34
1,22
3
Segmen 3
36,16
15,97
0,42
4
Segmen 4
5,44
11,21
2,06
Adapun gambaran kondisi sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan Senpur seperti pada Gambar 20 – 23 sebagai berikut :
Gambar 20.Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 1
49
Gambar 21. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 2
Gambar 22. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 3
Gambar 23. Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 4 Sedangkan Gambar 24 – 27 berikut merupakan penampang melintang sungai yang menggambarkan kondisi sungai di masing- masing segmen.
50
Gambar 24. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 1
51
51
Gambar 25. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 2
52
52
Gambar 26. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 3 53 53
Gambar 27. Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 4
54
54
5.5. Perhitungan Koefisien Kekasaran Sungai sebagai saluran alamiah memiliki kondisi kekasaran dinding yang tidak seragam, sedang variabel ini mempengaruhi kecepatan air di sungai. Nilai koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi dan sedimentasi. Sungai alamiah umumnya memiliki angka kekasaran dinding yang tinggi. Jika dibandingkan dengan sungai yang telah diluruskan.Sungai alamiah memiliki kemampuan mengalirkan debit lebih kecil pada tinggi muka air yang sama. Pada penelitian ini, angka kekasaran dinding ditentukan dengan menggunakan rumus Manning-Strickler (Maryono, 2005), yaitu sebagai berikut : (5.4) (5.5)
Dimana, n adalah koefisien kekasaran, V adalah kecepatan aliran (m/det), R adalah jari-jari hidraulis (m) dan i adalah kemiringan saluran.
Berdasarkan persamaan 5.5, diperoleh koefisien kekasaran seperti pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Nilai koefisien kekasaran pada kondisi tidak banjir No
Lokasi
Koefisien Kekasaran (n)
1.
Segmen 1
0,437
2.
Segmen 2
0,173
3.
Segmen 3
1,992
4.
Segmen 4
0,096
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa tingkat kekasaran pada Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur berada diantara 0,096 hingga 1,992. Pada kondisi tidak banjir di lokasi Segmen 3 memiliki koefisien kekasaran paling tinggi yaitu 1,992. Hal ini memungkinkan bahwa di lokasi tersebut memiliki
55
hambatan yang lebih besar di bandingkan dengan lokasi lainnya. Sedangkan di lokasi Segmen 4 memiliki koefisien paling kecil. Koefisien kekasaran yang besar menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut memiliki hambatan yang besar. Selanjutnya pada kejadian banjir, berdasarkan pengamatan bekas genangan di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur bahwa kejadian banjir, muka air banjir adalah 4,20 – 6,29 meter dan berdasarkan hasil data pengamatan di stasiun Katulampa, pada kejadian banjir debit sungai adalah sebesar 740 m3/det. Dengan data yang diperoleh maka dapat dibuat simulasi mengenai debit banjir yang terjadi di lokasi penelitian. Simulasi dilakukan berdasarkan rumus Manning dan Stickler (persamaan 5.5). Nilai koefisien kekasaran yang digunakan dalam perhitungan ini adalah nilai koefisien kekasaran eksisting pada saat pengukuran di lapangan dan nilai koefisien kekasaran kumulatif berdasarkan referensi dari berbagai sumber. Penentuan koefisien kekasaran kumulatif ini pada dasarnya tidak ada cara yang tertentu. Pada tingkat pengetahuan saat ini, memilih suatu nilai koefisien kekasaran berarti meperkirakan hambatan aliran pada saluran tertentu yang benarbenar tidak dapat diperhitungkan sehingga memerlukan sedikit latihan penentuan teknis serta pengalaman dan setiap orang akan memiliki hasil yang berbeda. Adapun dalam penelitian ini nilai koefisien kekasaran kumulatif ditentukan berdasarkan jenis kekasaran permukaan dengan ketinggian muka air yang berbeda pada masing-masing segmen. Jika dalam satu segmen dengan ketinggian muka air yang berbeda memiliki nilai koefisien kekasaran yang sama maka nilai koefisien kekasaran kumulatif dapat lamgsung menggunakan nilai koefisien kekasaran yang telah diketahui tersebut. Namun jika dalam suatu segmen dengan ketinggian muka air yang berbeda memiliki nilai koefisien kekasaran yang berbeda-beda maka penentuan nilai koefisien kekasaran kumulatif adalah nilai koefisien kekasaran rata-rata yaitu dengan menjumlahkan seluruh nilai koefisien kekasaran pada masing-masing ketinggian dibagi dengan jumlah bagian ketinggian. Selanjutnya untuk mempermudah dalam penentuan nilai koefisien keksaran kumulatif yang akan digunakan, Tabel 10 berikut menyajikan nilai koefisien kekasaran berdasarkan jenis kekasaran permukaan.
56
Tabel 10. Nilai koefisien kekasaran berdasarkan jenis kekasaran permukaan No 1
Nilai koefisien
Jenis kekasaran permukaan
kekasaran (n)
Bersih lurus, terisi penuh, tanpa rekahan atau
0,030
ceruk dalam 2
Seperti di atas, banyak batu-batu, tanaman
0,035
pengganggu 3
Bersih, berkelok-kelok, berceruk, bertebing
4
Seperti di atas, dengan tanaman pengganggu,
0,040 0,045
batu-batu 5
Seperti di atas, tidak terisi penuh, banyak kemiringan dan penampang yang kurang efektif
6
Seperti nomor 4, berbatu lebih banyak
7
Tenang pada bagian lurus, tanaman pengganggu,
0,050
ceruk dalam 8
0,048
Banyak tanaman pengganggu, ceruk dalam atau jalan air penuh kayu dan ranting
0,070
0,100
Sumber : Ven Te Chow (1985)
Berdasarkan nilai koefisien kekasaran pada tabel di atas, maka dibuat perhitungan nilai koefisien kekasaran kumulatif yang didasarkan pada perbedaan ketinggian muka air.
Tabel 11. Nilai koefisien kekasaran kumulatif No
Nilai koefisien kekasaran kumulatif
Tinggi Muka Air (cm)
Segmen 1
Segmen 2
Segmen 3
Segmen 4
1
0 – 100
0,269
0,173
1,992
0,066
2
100 – 200
0,100
0,173
1,992
0,035
3
200 – 300
0,079
0,109
1,800
0,035
4
300 – 400
0,035
0,050
0,070
0,035
5
400 – 500
0,032
0,041
0,049
0,035
6
500 – 600
0,030
0,030
0,030
0,030
57
Adapun hasil simulasi debit banjir pada masing-masing segmen dapat dilihat pada tabel berikut dan selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2.
Tabel 12. Simulasi debit banjir di Segmen 1 h (cm)
A (m2)
i
R
Q
n
V
(m3/det)
kumulatif
(m/det)
100
28,684
0,029
0,898
0,417
0,269
0,015
200
43,884
0,029
1,334
8,462
0,100
0,144
300
58,584
0,029
1,729
32,353
0,079
0,368
400
73,284
0,029
2,100
155,589
0,035
1,325
500
87,984
0,029
2,452
300,211
0,032
2,045
600
102,684
0,029
2,784
502,140
0,030
2,850
Q
n
V
(m3/det)
kumulatif
(m/det)
Tabel 13. Simulasi debit banjir di Segmen 2 h (cm)
A (m2)
i
R
100
9,170
0,012
0,63
0,042
0,173
0,005
200
18,352
0,012
1,26
0,337
0,173
0,018
300
30,032
0,012
1,68
1,555
0,109
0,052
400
41,712
0,012
1,93
6,215
0,050
0,149
500
172,710
0,012
6,31
605,555
0,041
1,942
600
344,500
0,012
10,43
2498,427
0,030
7,252
Tabel 14. Simulasi debit banjir di Segmen 3 h (cm)
A 2
(m )
i
R
Q 3
n
(m /det)
kumulatif
V (m/det)
100
14,464
0,009
0,63
0,004
1,992
< 0,001
200
28,928
0,009
1,26
0,034
1,992
0,001
300
47,368
0,009
1,51
2,314
1,800
0,049
400
68,096
0,009
2,04
6,073
0,070
0,089
500
105,803
0,009
2,99
47,294
0,049
0,536
600
164,295
0,009
4,40
159,038
0,030
0,968
58
Tabel 15. Simulasi debit banjir di Segmen 4 h (cm)
A (m2)
i
R
Q (m3/det)
n eksisting
V (m/det)
100
31,356
0,016
0,77
0,751
0,066
0,024
200
70,856
0,016
1,66
14,876
0,035
0,210
300
110,356
0,016
2,47
51,297
0,035
0,465
400
149,856
0,016
3,21
117,648
0,035
0,785
500
189,356
0,016
3,89
218,313
0,035
1,153
600
228,856
0,016
4,51
413,774
0,030
1,808
Dari Tabel 13 menunjukkan bahwa di lokasi Segmen 2 debit banjir terjadi pada ketinggian di atas 500 cm dengan debit sebesar 781,156 m3/det dan kecepatan 2,271 m/det (Lampiran 2). Pada Tabel 12, Tabel 14 dan Tabel 15 sampai pada 600 cm belum mencapai debit banjir. Hal ini dikarenakan pada Segmen 1, Segmen 3 dan Segmen 4 terjadi pelebaran sungai dan kedalaman yang lebih tinggi sehingga debit banjir banjir masih dapat tertampung. Keempat tabel diatas juga menggambarkan bahwa semakin tinggi muka air sungai maka nilai koefisien kekasaran nya semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke atas, permukaan sungai semakin halus atau tanpa hambatan. Selain itu juga bahwa semakin tinggi muka air maka semakin besar kecepatan dan debit air (Gambar 28). Sehingga bisa dikatakan bahwa pada saat sungai dalam keadaan banjir, maka kecepatan air yang terjadi sangat besar.
59
(a)
(b) Gambar 28. Hubungan antara tinggi muka air dengan debit sungai untuk lokasi (a) Segmen 1, Segmen 3 dan Segmen 4; (b) Segmen 2
Selanjutnya dapat dibuat gambaran mengenai hubungan antara nilai koefisien kekasaran dan debit sungai seperti terlihat pada Gambar 29 berikut.
60
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 29. Hubungan antara koefisien kekasaran eksisting dan debit sungai untuk lokasi (a) Segmen 1; (b) Segmen 2; (c) Segmen 3 dan (d) Segmen 4
Untuk megurangi besaran kecepatan aliran dan debit pada saat sungai dalam keadaan banjir maka pada lokasi Segmen 2 maka dapat dilakukan dengan memperbesar nilai koefisien kekasaran. Dengan memperbesar nilai koefisien kekasaran tersebut, maka kecepatan air pada saat banjir akan berkurang sehingga air bisa lebih lama tertahan dan memungkinkan untuk berinfiltrasi ke dalam tanah, sehingga bisa mengurangi debit banjir dan dapat mengurangi atau mencegah kerusakan yang lebih besar (Tabel 16).
61
Tabel 16. Perubahan nilai koefisien kekasaran pada kondisi banjir di Segmen 2 V
Q
design
design
(m/det)
(m3/det)
-
-
-
0,018
-
-
-
0,109
0,052
-
-
-
6,215
0,050
0,149
-
-
-
605,555
0,041
1,942
-
-
-
344,500 0,012 10,43 2498,427
0,030
7,252
0,120
1,813
624,607
h
A
(cm)
(m2)
100
9,170
0,012
0,63
0,042
0,173
0,005
200
18,352
0,012
1,26
0,337
0,173
300
30,032
0,012
1,68
1,555
400
41,712
0,012
1,93
500
172,710 0,012
6,31
600
i
R
Q (m3/det)
n
V
n
kumulatif (m/det) design
Pada Tabel 16, banjir terjadi pada ketinggian diatas 500 cm. Pada ketinggian muka air 600 cm, debit air banjir mencapai 2498,427 m3/det dengan kecepatan 7,252 m/det dan nilai koefisien kekasaran 0,030. Untuk dapat mengurangi kecepatan air dan debit air maka nilai koefisien kekasaran harus diperbesar. Nilai koefisien kekasaran yang baru diperbesar menjadi 0,120 sehingga kecepatan aliran berkurang menjadi 1,831 m/det dan debit banjir berkurang menjadi 624,607 m3/det. Nilai koefisien kekasaran tersebut dapat diperbesar dengan memperbesar hambatan yang ada di sungai yaitu dengan menambahkan tanaman
5.6. Desain Pengelolaan Sungai Berbasis Konsep Ekohidraulika Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan pengelolaan. Konsep pengelolaan sungai secara ekohidraulik dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan air.Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidraulika maka dibuat desain pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulik adalah mendesain vegetasi tanaman pada bantaran sungai dan area dataran banjir, dan menjadikannya sebagai areal banjir. Adapun pengaruh vegetasi pada bantaran dan dataran banjir sungai tergantung pada tingkat kekasarannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin besar diameter pohon, maka kekasaran daerah bantaran semakin tinggi pula. Akibatnya kecepatan air
62
juga dapat direduksi. Hal ini sesuai dengan uraian Maryono (2005) bahwa pada sungai alamiah berbentuk mendekati trapesium, dimana bagian bantarannya bervegetasi lebat, akan terjadi interaksi yang lebar dan proses kehilangan energi akibat gesekan kecepatan dari antar tampang. Aliran yang relatif cepat pada sungai utama mendesak ke daerah bantaran dan keluar lagi dengan kecepatan yang lebih rendah. Adanya daerah interaksi ini maka akan terjadi reduksi kecepatan secara keseluruhan. Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi, jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada penelitian ini, pelebaran bantaran sungai akan sangat sulit dilakukan karena sepanjang kanan kiri sungai sudah merupakan kawasan permukiman padat penduduk. Oleh karena itu, desain pengelolaan sungai berbasis ekohidraulika, dilakukan dengan menafaatkan area dataran banjir (floodplain) dengan semaksimal mungkin. Salah satu hal yang dapat dilakukan di lokasi penelitian ini, dengan kondisi yang sama (luas penampang dan debit banjir yang sama) tetapi dapat menahan air selama mungkin di hulu sehingga bisa terserap atau infiltrasi ke dalam tanah maka harus menurunkan kecepatan air. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar koefisien kekasaran yang telah ada dengan cara menambahkan hambatan pada tebing sungai maupun pada bantaran sungai terutama pada lokasi Segmen 1 dan Segmen 2. Desain pengelolaan sungai yang dibuat dengan menambahkan vegetasi pada area dataran banjir untuk menurunkan kecepatan aliran pada saat banjir. Sebagai bahan pertimbangan dalam hal biaya dan adaptasi cepat dan sukses dari lingkungan lokal, disarankan menggunakan vegetasi yang saat ini dilokasi.
63
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
LEGENDA
Gambar 30. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika pada bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur
64
64
Penambahan tanaman di area dataran banjir
Penambahan tanaman di bantaran sungai
Badan sungai
Gambar 31. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 1
65
65
Penambahan tanaman di area dataran banjir Penambahan balok-balok kayu untuk mengurangi kecepatan aliran air
Penambahan tanaman di bantaran sungai Badan sungai
Gambar 32. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 2
62
66
66
Penambahan tanaman di area dataran banjir
Badan sungai Penambahan tanaman di bantaran sungai
Gambar 43. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 3
67
67
Penambahan tanaman di bantaran sungai Penambahan tanaman di area dataran banjir
Badan sungai
Pemasangan batu-batu besar untuk mengurangi kecepatan aliran air
Gambar 34. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika di lokasi Segmen 4
68
68
Gambar 35.Contoh desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika
69
69
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut : 1. Bantaran atau sempadan Sungai Ciliwung di sepanjang Kelurahan Sempur telah mengalami kerusakan. Hal ini ditandai dengan kondisi sempadan atau bantaran sungai yang telah mengalami perubahan. Pada sisi sebelah kiri sungai sudah tidak memiliki sempadan sungai. Hal ini melanggar Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dimana di lokasi tersebut seharusnya memiliki sempadan atau bantaran sungai sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai. Dan untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 3 meter maka seharusnya memiliki senpadan atau bantaran sungai sekurang-kurangnya 20 meter. Kerusakan bantaran Sungai Ciliwung juga terlihat dari kondisitebing Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur juga telah mengalami kejadian erosi. Erosi tebing sungai mencapai 84% di sisi kanan sungai dan mencapai 45% di sisi kiri sungai. Sedangkan berdasarkan tata guna lahan, bantaran sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur sebagian besar lahan digunakan untuk pemukiman. Pada sisi kanan sungai, lahan pemukiman sebesar 82%, sedang pada sisi kiri lahan pemukiman sebanyak 91%. 2. Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi, jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada penelitian ini, pelebaran bantaran sungai akan sangat sulit dilakukan karena sepanjang kanan kiri sungai sudah merupakan kawasan permukiman padat penduduk. Oleh karena itu, desain pengelolaan sungai berbasis ekohidraulika, dilakukan dengan memanfaatkan area dataran banjir (floodplain) dengan semaksimal mungkin. Salah satu hal yang dapat dilakukan di lokasi penelitian ini, dengan kondisi yang sama (luas penampang dan debit banjir yang sama) tetapi dapat menahan air selama mungkin di hulu sehingga bisa terserap atau infiltrasi ke dalam tanah maka harus menurunkan kecepatan air. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbesar
70
koefisien kekasaran yang telah ada dengan cara menambahkan hambatan pada tebing sungai maupun pada bantaran sungai. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulika menggunakan area dataran banjir dengan optimal. Hal ini dilakukan karena di sepanjang kanan kiri sungai Ciliwung yang melintas Kelurahan Sempur, tidak memiliki bantaran sungai. Desain pengelolaan sungai ini dilakukan dengan menambahkan vegetasi di area dataran banjir.
6.2. Saran Sesuai dengan konsep integralistik antara ekologi dan hidraulik dimana terdapat empat faktor yang harus diperhatikan yaitu fisik hidraulika, kimia, biologi dan sosial, maka dalam penelitian ini hanya memasukkan satu faktor saja yaitu fisik hidraulika. Selain itu, hasil dari penelitian hanya sampai pada seberapa besar nilai koefisien kekasaran yang dapat dibuat untuk mengurangi kecepatan sungai pada keadaan banjir, sehingga air dapat tertahan lebih lama dan debit air terkurangi untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Untuk lebih menyempurnakannya perlu ada penelitian lanjutan yang mengintegrasikan seluruh faktor yang ada dan penelitian lanjutan sehingga dapat diketahui berapa banyak tanaman dan seberapa rapat jarak tanam yang diperlukan untuk memperbesar nilai koefisien kekasaran bahkan sampai kepada jenis tanaman yang digunakan.
71
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor. Asdak. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Backer, C.A. 1907. Flora van Batavia. Mededeelingen uitgaande van het Departement van Landbouw No.4 Dicotyledones Diapetalae (Thalamiflorae en Disciflorae). G. Kolff & Co., Batavia. Backer, C.A. & R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of Java (Spermatophytes only). Vol. III. Angiospermae, Families 191-238 Addenda et corrigenda, General index to volume I-III. Wolters-Noordhoff N.V., Groningen. Bailey,
P.B. 1995. Understanding Large River-Floodplain Ecosystems: Significant Economic Advantages and Increased Biodiversity and Stability would Result from Restoration an Impaired Systems. BioScience. 45 (3):153-167.
Balcom, B.J. & R.H. Yahner. 1996. Microhabitat and landscape characteristics associated with the threatened allegheny woodrat. Conservation Biology 10(2): 515-525. Binkley, D.,H. Burnham & H.L.Allen. 1999. Water Quality Impacts of Forest Fertilization with Nitrogen and Phosphorous. 121:191-213. Briggs, M.K. 1996. Riparian ecosystem recovery in arid lands: Strategies and references. The University of Arizona Press, Tucson. Chow, V. T. 1959. Open Channel Hydraulics. McGraw-Hill Book Company. Departemen Pekerjaan Umum RI. 1993. Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai. Departemen PU. Jakarta. Dong,
Z. 2009. Ecological Compensation for Dammed http.www.hydro_dong_englishppt. (diakses: 5 Desember 2009).
Rivers.
Goeltenboth, F. 1996. Environmental destruction and overpopulation as triggers of migration the example of Indonesia. Applied Geography and Development 47: 7-15. Grime, J.P. 1979. Plant strategies and vegetation processes. John Wiley & Sons, Chichester. Heinrich, D., Hergt, M., 1998: dtv-Atlas Okologie (Atlas Ekologi), Deutscher Taschenbuch Verlag, Munchen.
72
Helmiö T. 2004. Flow resistance due to lateral momentum transfer in partially vegetated rivers. Water Resources Research, VOL. 40, XXXXXX, doi:10.1029/2004WR003058. Huang JC, WJ Mitsch, and Li Zhang. 2009. Ecological restoration design of a stream on a college campus in Central Ohio. Ecological engineering 3 5: 329–340. Irianto, 2006. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air, Agro Inovasi, Jakarta. Jaji Abdurrosyid dan Kirno, 2002. Banjir Bandang, Penyebab dan Solusinya di Situbondo Jawa Timur. Jurnal Teknik Gelagar, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vol.13 No.03 Desember 2002, Surakarta. Järvelä J. 2003. Influence of vegetation on flow structure in floodplains and wetlands. In: Sánchez-Arcilla, A. And Bateman, A. (eds.). RCEM 2003. IAHR, Madrid. P. 845–856.ISBN 9080564966. Järvelä J. 2004. Determination of flow resistance caused by non-submerged woody vegetation. Intl. J. River Basin Management Vol. 2, No. 1 (2004), pp. 61-70. Johnson, B.L., W.B.Richardson & T.J.Naimo. 1995. Past, Present, and Future Concepts in Large River Ecology: How Rivers Function and How Human Activities Influence River Processes. BioScience. 45 (3): 134-141. Jones, E.B.D., G.S.Helfman, J.O.Harper & P.V.Bolstad. 1999. Effects of Riparian Forest Removal on Fish Assemblages in Southern Appalachian Streams. Conservation Biology. 13 (6):1454-1465. Kodoatie, Robert J. dan Sugiyanto, 2002. Banjir, Beberapa penyebab dan metode pengendaliannya dalam perspektif Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Loomis, J., P.Kent, L.Strange, K.Fausch & A.Covich. 2000. Measuring The Total Economic Value of Restoring Ecosystem Services in an Impaired River Basin: Results from Contingent Valuation Survey. Ecological Economics. 33:103-117. Luthfi, 2007. Metode Inventaris Sumber Daya Lahan, Andi OffSet. Yogyakarta. Maryono, A., 2000 : Pembangunan Sungai, Dampak dan Restorasi Sungai (Studi Kasus di Jerman), Makalah pada Workshop Perencanaan dan Pengendalian Banjir, BAPPEDA Provinsi DIY, 12 – 13 September 2000, Yogyakarta. Maryono, Agus. 2002a. Eko-Hidraulik Pembangunan Sungai (Ecological Hydraulics of River Development): Menanggulangi banjir dan kerusakan lingkungan wilayah sungai. Program Magister Sistem Teknik, Fakultas Teknik UGM, Indonesia. Maryono, Agus. 2002b. Banjir yang Berlangsung Terus-Menerus di Indonesia. Artikel pada Harian Kompas, dimuat tanggal 20 Januari 2002. Jakarta, Indonesia.
73
Maryono, A., 2005 : Eko Hidraulik Pembangunan Sungai: Menanggulangi Banjir Dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai (edisi 2), Program Magister Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Maryono A., 2007 : Restorasi Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Mathuwatta, Lal, dan Chemin, Yan, 2002, Vegetation Growth Zonation of Sri Lanka for Improved Water Resources Planning, Agricultural Water Management. www.elsevier.com. Mulatsih US dan Kirno. 2007. Penelitian jenis tanaman bio-engineering yang efektif sebagai pelindung tebing sungai. PIT HATHI XXIV. Makasar, 31 Agustus – 2 September, 2007. Mulyanto, 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta. Murtilaksono, Kukuh, 2009, Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Daerah Alirab Sungai, Makalah dibawakan pada Lokakarya RPJMN 2010 – 2014, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Newson, D. Malcom, 2002, Geomorphological Concepts and Tools For Sustainable River Ecosystem Management. Aquatic Conservation. Marine and Freshwater Ecosystem Wiley Interscience (www.interscience.wiley.com). Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penglolaan Kawasan Lindung. Quinby, P.A., S. Willot & T. Lee. 2000. Determining the average width of the riparian zone in theCassels-Rabbit lakes area of Temagami, Ontario using Understory Indicator Species. Ancient Forest Exploration & Research, Toronto. Salinas, M.J., G.Blanca & A.T.Romero. 2000. Environmental Conservation. 27 (1): 24-35. Seta, AK. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia, Jakarta. Sparks, R.E.1995. Need for Ecosystem Management of Large Rivers and Their Floodplans: These Phenomenally Productive Ecosystems Produce Fish and Wildlife and Preserve Species. BioScience. 45 (3):168-182. Stromberg JC. 2001. Restoration of riparian vegetation in the south-western United States: importance of flow regimes and fluvial dynamism. Journal of Arid Environments (49): 17-34. doi:10.1006/jare.2001.0833, available online at http://www.idealibrary.com Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi Offset. Swol, J.H. 1986. Restoration of riparian wetlands along channelized river: Oxbow Lakes and theMiddle Missouri. Dalam: Berger, J.J. (ed.). Environmental restoration: Science andstrategies for restoring the earth. Island Press, Washington D.C.: 294-305.
74
Swol, J.H. 1990. Restoration of riparian wetlands along channelized river: Oxbow Lakes and the Middle Missouri. Dalam: Berger, J.J. (ed.). 1990. Environmental restoration: Science and strategies for restoring the earth. Island Press, Washington D.C.: 294-305. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber daya Air. Walker, B., Carpenter, S., Anderies, J., Abel, N., Cumming, G., Janssen, M., Lebel, L., Norberg, J., Peterson, G.D., Pritchard, R., 2002. Resilience management in social-ecological systems: a working hypothesis for a participatory approach. Conserv. Ecol.6, 14.
75
Lampiran 1. Debit sungai pada lokasi penelitian No
1
Lokasi
Segmen 1
Total
2
Segmen 2
Total
3
Segmen 3
Total
4
Segmen 4
Total
LuasPenampang
Kecepatan
Q
A (m2)
V (m/dtk)
(m3/dtk)
4,85
0,73
3,55
2,65
0,86
2,27
2,43
1,09
2,64
2,28
1,37
3,12
1,18
1,35
1,58
1,13
2,16
2,43
14,50
15,60
4,17
1,29
5,36
3,74
0,94
3,53
2,79
1,47
4,11
1,90
1,23
2,33
12,61
15,34
9,50
0,52
4,940
10,20
0,49
4,998
8,66
0,48
4,157
5,34
0,3
1,602
2,46
0,11
0,271
36,16
15,967
1,60
1,87
2,992
2,12
2,56
5,427
1,72
1,623
2,792
5,44
11,211
76
Lampiran 2. Simulasi debit banjir di Segmen 1 h
A
i
R
Q
n kumulatif
V
10
2,901
0,029
1,970
0,125
0,269
0,043
20
5,617
0,029
3,940
0,964
0,269
0,172
30
8,703
0,029
5,910
3,362
0,269
0,386
40
11,804
0,029
7,880
8,107
0,269
0,687
50
14,504
0,029
9,860
15,596
0,269
1,075
60
17,805
0,029
2,350
1,358
0,269
0,076
70
20,176
0,029
1,480
0,610
0,269
0,030
80
23,012
0,029
1,170
0,435
0,269
0,019
90
25,848
0,029
1,000
0,357
0,269
0,014
100
28,684
0,029
0,898
0,320
0,269
0,011
110
31,524
0,029
0,981
0,419
0,100
0,013
120
34,764
0,029
1,076
0,556
0,100
0,016
130
37,804
0,029
1,163
0,706
0,100
0,019
140
40,644
0,029
1,243
0,867
0,100
0,021
150
43,884
0,029
1,334
1,079
0,100
0,025
160
46,824
0,029
1,414
1,293
0,100
0,028
170
49,764
0,029
1,494
1,535
0,100
0,031
180
52,704
0,029
1,574
1,804
0,100
0,034
190
55,644
0,029
1,654
2,103
0,100
0,038
200
58,584
0,029
1,729
2,418
0,100
0,041
210
61,524
0,029
1,803
2,761
0,079
0,045
220
64,464
0,029
1,877
3,135
0,079
0,049
230
67,404
0,029
1,951
3,542
0,079
0,053
240
70,344
0,029
2,025
3,982
0,079
0,057
250
73,284
0,029
2,100
31,256
0,079
0,427
260
76,224
0,029
2,170
34,713
0,079
0,455
270
79,164
0,029
2,240
38,414
0,079
0,485
280
82,104
0,029
2,310
42,369
0,079
0,516
290
85,044
0,029
2,380
46,586
0,079
0,548
300
87,984
0,029
2,452
36,512
0,079
0,415
77
Lampiran 2. Lanjutan 310
90,924
0,029
2,516
39,742
0,035
0,437
320
93,864
0,029
2,582
43,208
0,035
0,460
330
96,804
0,029
2,648
46,868
0,035
0,484
340
99,744
0,029
2,714
50,729
0,035
0,509
350
102,684
0,029
2,784
54,937
0,035
0,535
360
105,624
0,029
2,848
59,138
0,035
0,560
370
108,564
0,029
2,912
63,547
0,035
0,585
380
111,504
0,029
2,976
68,169
0,035
0,611
390
114,444
0,029
3,040
73,009
0,035
0,638
400
117,384
0,029
3,098
77,795
0,035
0,663
410
120,324
0,029
3,160
82,961
0,032
0,689
420
123,264
0,029
3,220
88,246
0,032
0,716
430
126,204
0,029
3,280
93,750
0,032
0,743
440
129,144
0,029
3,340
99,475
0,032
0,770
450
132,084
0,029
3,396
210,415
0,032
1,593
460
135,024
0,029
3,456
222,709
0,032
1,649
470
137,964
0,029
3,512
234,992
0,032
1,703
480
140,904
0,029
3,568
247,715
0,032
1,758
490
143,844
0,029
3,624
260,884
0,032
1,814
500
146,784
0,029
3,680
384,270
0,032
2,618
510
149,724
0,029
3,734
403,596
0,030
2,696
520
152,664
0,029
3,788
423,510
0,030
2,774
530
155,604
0,029
3,842
444,061
0,030
2,854
540
158,544
0,029
3,896
465,259
0,030
2,935
550
161,484
0,029
3,949
486,948
0,030
3,015
560
164,424
0,029
4,002
509,127
0,030
3,096
570
167,364
0,029
4,054
531,785
0,030
3,177
580
170,304
0,029
4,106
555,098
0,030
3,259
590
173,244
0,029
4,158
579,074
0,030
3,343
600
176,184
0,029
4,206
753,210
0,030
4,275
78
Lampiran 3. Simulasi debit banjir di Segmen 2 h
A
i
R
Q
n kumulatif
V
10
0,917
0,012
0,06
0,000042
0,173
0,000046
20
1,834
0,012
0,13
0,000337
0,173
0,000184
30
2,751
0,012
0,19
0,001136
0,173
0,000413
40
3,668
0,012
0,25
0,002693
0,173
0,000734
50
4,585
0,012
0,32
0,005259
0,173
0,001147
60
5,502
0,012
0,38
0,009088
0,173
0,001652
70
6,419
0,012
0,44
0,014432
0,173
0,002248
80
7,336
0,012
0,50
0,021543
0,173
0,002937
90
8,253
0,012
0,57
0,030673
0,173
0,003717
100
9,170
0,012
0,63
0,042076
0,173
0,004588
110
10,087
0,012
0,69
0,056003
0,173
0,005552
120
11,004
0,012
0,76
0,072707
0,173
0,006607
130
11,921
0,012
0,82
0,092441
0,173
0,007754
140
12,838
0,012
0,88
0,115457
0,173
0,008993
150
13,755
0,012
0,95
0,142
0,173
0,010
160
14,672
0,012
1,01
0,172
0,173
0,012
170
15,589
0,012
1,07
0,207
0,173
0,013
180
16,506
0,012
1,13
0,245
0,173
0,015
190
17,423
0,012
1,20
0,289
0,173
0,017
200
18,352
0,012
1,26
0,337
0,173
0,018
210
19,520
0,012
1,30
0,380
0,109
0,019
220
20,688
0,012
1,34
0,427
0,109
0,021
230
21,856
0,012
1,37
0,477
0,109
0,022
240
23,024
0,012
1,41
0,531
0,109
0,023
250
24,192
0,012
1,45
2,035
0,109
0,084
260
25,360
0,012
1,50
2,270
0,109
0,090
270
26,528
0,012
1,54
2,523
0,109
0,095
280
27,696
0,012
1,59
2,794
0,109
0,101
290
28,864
0,012
1,63
3,083
0,109
0,107
300
30,032
0,012
1,68
2,422
0,109
0,081
79
Lampiran 3. Lanjutan 310
31,200
0,012
1,71
2,607
0,050
0,084
320
32,368
0,012
1,74
2,800
0,050
0,087
330
33,536
0,012
1,77
3,002
0,050
0,090
340
34,704
0,012
1,80
3,213
0,050
0,093
350
35,872
0,012
1,83
3,432
0,050
0,096
360
37,040
0,012
1,85
3,622
0,050
0,098
370
38,208
0,012
1,87
3,817
0,050
0,100
380
39,376
0,012
1,89
4,019
0,050
0,102
390
40,544
0,012
1,91
4,226
0,050
0,104
400
41,712
0,012
1,93
4,439
0,050
0,106
410
48,032
0,012
2,18
6,546
0,041
0,136
420
54,352
0,012
2,44
9,230
0,041
0,170
430
60,672
0,012
2,69
12,562
0,041
0,207
440
66,992
0,012
2,95
16,612
0,041
0,248
450
73,315
0,012
3,20
42,900
0,041
0,585
460
93,191
0,012
3,82
77,789
0,041
0,835
470
113,070
0,012
4,44
127,602
0,041
1,129
480
132,949
0,012
5,07
194,974
0,041
1,467
490
152,828
0,012
5,69
282,543
0,041
1,849
500
172,710
0,012
6,31
550,131
0,041
3,185
510
190,786
0,012
6,90
726,666
0,030
3,809
520
208,865
0,012
7,49
937,388
0,030
4,488
530
226,944
0,012
8,08
1185,309
0,030
5,223
540
245,023
0,012
8,67
1473,449
0,030
6,014
550
263,105
0,012
9,26
1804,850
0,030
6,860
560
279,381
0,012
9,49
2014,584
0,030
7,211
570
295,660
0,012
9,73
2238,359
0,030
7,571
580
311,939
0,012
9,96
2476,582
0,030
7,939
590
328,218
0,012
10,20
2729,682
0,030
8,317
600
344,500
0,012
10,43
3747,640
0,030
10,878
80
Lampiran 4. Simulasi debit banjir di Segmen 3 h
A
i
R
Q
n kumulatif
V
10
1,446
0,009
0,06
0,0000043
1,992
0,000003
20
2,893
0,009
0,13
0,00003
1,992
0,00001
30
4,339
0,009
0,19
0,00012
1,992
0,00003
40
5,786
0,009
0,25
0,00027
1,992
0,00005
50
7,232
0,009
0,31
0,00054
1,992
0,00007
60
8,678
0,009
0,38
0,00093
1,992
0,00011
70
10,125
0,009
0,44
0,00147
1,992
0,00015
80
11,571
0,009
0,50
0,00220
1,992
0,00019
90
13,018
0,009
0,57
0,00313
1,992
0,00024
100
14,464
0,009
0,63
0,00430
1,992
0,00030
110
15,910
0,009
0,69
0,00572
1,992
0,00036
120
17,357
0,009
0,75
0,00742
1,992
0,00043
130
18,803
0,009
0,82
0,00944
1,992
0,00050
140
20,250
0,009
0,88
0,01179
1,992
0,00058
150
21,696
0,009
0,94
0,01450
1,992
0,00067
160
23,142
0,009
1,00
0,01759
1,992
0,00076
170
24,589
0,009
1,07
0,02110
1,992
0,00086
180
26,035
0,009
1,13
0,02505
1,992
0,00096
190
27,482
0,009
1,19
0,02946
1,992
0,00107
200
28,928
0,009
1,26
0,03436
1,992
0,00119
210
30,374
0,009
1,32
0,03978
1,800
0,00131
220
31,821
0,009
1,38
0,04574
1,800
0,00144
230
33,267
0,009
1,44
0,05226
1,800
0,00157
240
34,714
0,009
1,51
0,05938
1,800
0,00171
250
36,160
0,009
1,57
0,067
1,800
0,002
260
38,402
0,009
1,58
0,072
1,800
0,002
270
40,643
0,009
1,59
0,078
1,800
0,002
280
42,884
0,009
1,61
0,083
1,800
0,002
290
45,125
0,009
1,62
0,089
1,800
0,002
300
47,368
0,009
1,51
2,314
1,800
0,049
81
Lampiran 4. Lanjutan 310
49,366
0,009
1,56
2,581
0,070
0,052
320
51,366
0,009
1,61
2,867
0,070
0,056
330
53,366
0,009
1,67
3,174
0,070
0,059
340
55,366
0,009
1,72
3,502
0,070
0,063
350
57,368
0,009
1,77
3,851
0,070
0,067
360
59,512
0,009
1,82
4,243
0,070
0,071
370
61,658
0,009
1,88
4,660
0,070
0,076
380
63,804
0,009
1,93
5,103
0,070
0,080
390
65,950
0,009
1,99
5,574
0,070
0,085
400
68,096
0,009
2,04
6,073
0,070
0,089
410
71,408
0,009
2,12
6,903
0,049
0,097
420
74,720
0,009
2,21
7,806
0,049
0,104
430
78,032
0,009
2,29
8,784
0,049
0,113
440
81,344
0,009
2,38
9,840
0,049
0,121
450
84,657
0,009
2,46
21,956
0,049
0,259
460
88,885
0,009
2,57
25,082
0,049
0,282
470
93,114
0,009
2,67
28,491
0,049
0,306
480
97,343
0,009
2,78
32,195
0,049
0,331
490
101,572
0,009
2,88
36,207
0,049
0,356
500
105,803
0,009
2,99
56,753
0,049
0,536
510
111,670
0,009
3,14
65,893
0,030
0,590
520
117,539
0,009
3,28
75,964
0,030
0,646
530
123,408
0,009
3,43
87,011
0,030
0,705
540
129,277
0,009
3,57
99,079
0,030
0,766
550
135,149
0,009
3,72
112,215
0,030
0,830
560
140,975
0,009
3,86
125,767
0,030
0,892
570
146,804
0,009
3,99
140,369
0,030
0,956
580
152,633
0,009
4,13
156,055
0,030
1,022
590
158,462
0,009
4,26
172,866
0,030
1,091
600
164,295
0,009
4,40
238,556
0,030
1,452
82
Lampiran 5. Simulasi debit banjir di Segmen 4 h
A
i
R
Q
n kumulatif
V
10
1,079
0,016
0,09
0,00024
0,066
0,00023
20
2,158
0,016
0,18
0,002
0,066
0,001
30
3,237
0,016
0,27
0,007
0,066
0,002
40
4,317
0,016
0,36
0,016
0,066
0,004
50
5,396
0,016
0,45
0,030
0,066
0,006
60
10,588
0,016
0,51
0,213
0,066
0,020
70
15,780
0,016
0,58
0,402
0,066
0,025
80
20,972
0,016
0,64
0,659
0,066
0,031
90
26,164
0,016
0,71
0,994
0,066
0,038
100
31,356
0,016
0,77
1,416
0,066
0,045
110
35,306
0,016
0,86
1,999
0,035
0,057
120
39,256
0,016
0,95
2,722
0,035
0,069
130
43,206
0,016
1,05
3,602
0,035
0,083
140
47,156
0,016
1,14
4,653
0,035
0,099
150
51,106
0,016
1,23
5,891
0,035
0,115
160
55,056
0,016
1,32
7,265
0,035
0,132
170
59,006
0,016
1,40
8,837
0,035
0,150
180
62,956
0,016
1,49
10,620
0,035
0,169
190
66,906
0,016
1,57
12,629
0,035
0,189
200
70,856
0,016
1,66
14,876
0,035
0,210
210
74,806
0,016
1,74
17,296
0,035
0,231
220
78,756
0,016
1,82
19,963
0,035
0,253
230
82,706
0,016
1,91
22,892
0,035
0,277
240
86,656
0,016
1,99
26,093
0,035
0,301
250
90,606
0,016
2,07
20,706
0,035
0,229
260
94,556
0,016
2,15
23,311
0,035
0,247
270
98,506
0,016
2,23
26,126
0,035
0,265
280
102,456
0,016
2,31
29,158
0,035
0,285
290
106,406
0,016
2,39
32,416
0,035
0,305
300
110,356
0,016
2,47
25,648
0,035
0,232
83
Lampiran 5. Lanjutan 310
114,306
0,016
2,55
28,226
0,035
0,247
320
118,256
0,016
2,62
30,971
0,035
0,262
330
122,206
0,016
2,70
33,888
0,035
0,277
340
126,156
0,016
2,77
36,982
0,035
0,293
350
130,106
0,016
2,85
40,259
0,035
0,309
360
134,056
0,016
2,92
43,603
0,035
0,325
370
138,006
0,016
2,99
47,127
0,035
0,341
380
141,956
0,016
3,07
50,836
0,035
0,358
390
145,906
0,016
3,14
54,733
0,035
0,375
400
149,856
0,016
3,21
58,824
0,035
0,393
410
153,806
0,016
3,28
63,036
0,035
0,410
420
157,756
0,016
3,35
67,444
0,035
0,428
430
161,706
0,016
3,42
72,052
0,035
0,446
440
165,656
0,016
3,49
76,865
0,035
0,464
450
169,606
0,016
3,56
163,773
0,035
0,966
460
173,556
0,016
3,63
173,858
0,035
1,002P
470
177,506
0,016
3,69
184,347
0,035
1,039
480
181,456
0,016
3,76
195,248
0,035
1,076
490
185,406
0,016
3,82
206,567
0,035
1,114
500
189,356
0,016
3,89
305,638
0,035
1,614
510
193,306
0,016
3,95
322,365
0,030
1,668
520
197,256
0,016
4,02
339,687
0,030
1,722
530
201,206
0,016
4,08
357,615
0,030
1,777
540
205,156
0,016
4,15
376,159
0,030
1,834
550
209,106
0,016
4,21
395,330
0,030
1,891
600
228,856
0,016
4,51
620,661
0,030
2,712
84