DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)
OLEH IDA NUR’AINI H14070051
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
IDA NUR’AINI, Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan) (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI) Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah. Otonomi daerah sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif. Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam pembangunan daerah sejak dimulainya desentralisasi fiskal, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola penerimaan dan pengeluarannya yang diharapkan mampu menggerakkan perekonomian daerah. Hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) termasuk Provinsi Jawa Tengah sejak dimulainya otonomi daerah pada tahun 2001. Desentralisasi fiskal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan seharusnya mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Pada kenyataannya, Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur ternyata memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemiskinan di Jawa Tengah memang memiliki tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa. Pengangguran diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja fiskal pemerintah daerah, perekonomian, pengangguran dan kemiskinan serta menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan analisis ekonometrika sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007-2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah belum mampu dicapai. Dari segi penerimaan, peran PAD dalam penerimaan masih sangat kecil dan mengindikasikan ketergantungan pemerintah daerah masih sangat tinggi. Rata-rata rasio PAD di seluruh kabupaten dan kota hanya 8,94 persen dari total penerimaan yang ada pada tahun 2009. Penerimaan terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu mencapai
70,42 persen pada tahun 2009. Bahkan terjadi kecenderungan semakin kecilnya peran PAD dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Kecilnya PAD ini mengakibatkan tidak signifikannya PAD terhadap pengeluaran pemerintah sektor pendidikan serta sektor pendidikan dan kesehatan. Pertanian menjadi sektor yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. PDRB sektor pertanian ternyata dipengaruhi oleh pengeluaran sektor pertanian sehingga dengan ditingkatkannya pengeluaran sektor pertanian diharapkan mampu meningkatkan PDRB pertanian. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap pengangguran dan kemiskinan jika dihubungkan melalui PDRB. Pertanian menjadi sektor utama yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. Kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah memengaruhi perekonomian yang diukur dengan PDRB. Peningkatan PDRB tidak mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan karena semakin tinggi PDRB justru meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Sementara itu, PDRB pertanian hanya mampu mengatasi pengangguran, tetapi belum mampu mengatasi kemiskinan. Tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian menjadi tidak menganggur, tetapi walaupun bekerja tenaga kerja sektor pertanian tetap miskin. Tenaga kerja di sektor pertanian didominasi oleh petani kecil dan buruh tani yang berpenghasilan rendah. Selain itu, produktivitas di sektor pertanian masih rendah karena masih mengandalkan pertanian tradisional. Hal inilah yang menyebabkan petani tetap miskin walaupun sudah bekerja.
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)
Oleh IDA NUR’AINI H14070051
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Ida Nur’aini
Nomor Registrasi Pokok : H14070051 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah (Model
Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. NIP. 19620816 198701 2 001 Mengetahui Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP.19641022 198903 1 003 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Bogor,
Mei 2011
Ida Nur’aini H14070051
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ida Nur’aini lahir pada tanggal 20 Februari 1989 di Rembang, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Drs. Hari Riyadi MM, dan Dra Chotimah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 2 Rembang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Rembang dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan studinya pada tahun 2007 ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai organisasi, pada tahun 2009 penulis menjadi sekretaris utama Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (DPM FEM) dan pada tahun 2010 menjadi ketua komisi administrasi dan keuangan DPM FEM.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah ”Dampak Kebijakan Fiskal pada Masa Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (Model Ekonometrika Sistem Persamaan Simultan)”. Penulis tertarik dengan isu kebijakan fiskal setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2.
Dr. Muhammad Findi A., M.E. dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi,M.Si. selaku dosen penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan kritikan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3.
Orang tua penulis, Bapak Hari Riyadi dan Ibu Chotimah serta saudarasaudara penulis Rifky Wirya Amiharja dan Kharisma Nur Anisa. Berkat doa dan dukungan mereka yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4.
Para staf BPS Pusat, BPS Jawa Tengah, Pemprov Jawa Tengah dan BPMD Jawa Tengah yang telah memberikan kemudahan dalam memperoleh data penelitian.
5.
Pakde Taufik, Pakde Dedy dan Bude Endang yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.
6.
Sari Rina Fitriyah yang telah banyak membantu penulis dari pengumpulan data sampai penulis menyelesaikan skripsi.
7.
Sahabat-sahabat penulis (Riri, Risya, Destia, Winda, Suhaila, Fery, Siska) yang telah memberikan semangat dan tenaganya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8.
Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
9.
Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 dan semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
10. Teman-teman di kosan Nabila Cempaka (Yeni, Mia, Alifa, Ika, Ica, Rini, Esti, Pipit, Fifi) atas dukungan semangat kepada penulis Akhirnya setelah penyelesaian skripsi ini, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan. Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempuraan.
Bogor, Mei 2011
Ida Nur’aini H14070051
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................vii I.
PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................10 1.3. Tujuan .............................................................................................11 1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................................11 1.5. Ruang Lingkup ...............................................................................12 II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................13 2.1.
Tinjauan Teori dan Konsep.............................................................13 2.1.1. Kebijakan Fiskal...................................................................13 2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ...........................16 2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi .........................................................22 2.1.4. Pengangguran.......................................................................24 2.1.5. Kemiskinan ..........................................................................27 2.1.6. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Ketenagakerjaan.........................31
2.2. Penelitian - Penelitian Terdahulu .....................................................33 2.3. Kerangka Pemikiran ........................................................................36 2.4. Hipotesis ........................................................................................39 III. METODE PENELITIAN..........................................................................42 3.1. Jenis dan Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...........................42 3.2. Metode Analisis Data .....................................................................44 3.2.1. Analisis Deskriptif ...............................................................44 3.2.2. Model Ekonometrika............................................................44 3.2.2.1. Spesifikasi Model ...................................................45 3.2.2.2. Pengujian Model.....................................................49
3.2.2.3. Identifikasi Model ..................................................50 3.3. Defini Operasional Variabel ............................................................52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................53 4.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Perekonomian, Pengangguran dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah .................53 4.1.1. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ....................53 4.1.1.1. Penerimaan Pemerintah Daerah ..............................55 4.1.1.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah .............................62 4.1.2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi ...........................................65 4.1.3. Analisis Ketenagakerjaan .....................................................67 4.1.4. Analisis Kemiskinan ............................................................70 4.2. Hasil Estimasi Model Ekonometrika................................................73 4.2.1. Keragaan Penerimaan Daerah...............................................73 4.2.1.1. Pajak Daerah ..........................................................73 4.2.1.2. Dana Alokasi Umum ..............................................75 4.2.1.3. PAD dan Total Penerimaan Daerah (TPD)..............77 4.2.2. Keragaan Pengeluaran Daerah..............................................78 4.2.2.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ...............79 4.2.2.2. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ........................................................81 4.2.2.3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya.................82 4.2.3. Keragaan Output ..................................................................83 4.2.3.1. PDRB Sektor Pertanian ..........................................83 4.2.3.2. PDRB Sektor Lainnya ............................................85 4.2.4. . Keragaan Pengangguran dan Kemiskinan.............................86 4.2.4.1. Pengangguran .........................................................86 4.2.4.2. Kemiskinan ............................................................92 4.2.5. Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan ...................................................................95 V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................97 5.1. Kesimpulan .....................................................................................97
5.2. Saran ...............................................................................................98 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 100 LAMPIRAN ................................................................................................ 103
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1
Pertumbuhan PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah) ........................................................................................... 4
1.2
Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2005-2009............................................................................ 6
1.3
Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah) ...........................................................................................9 9
3.1.
Pengujian Order ..............................................................................................60 51
4.1
Rasio Penerimaan terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Tengah....................... 53
4.2
Realisasi Penerimaan Berdasarkan Komponen Penerimaan .............................60 56
4.3
Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ...................................................................... 58
4.4
Kontribusi PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Provinsi Jawa Tengah...................................................................
59
Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil Terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) .............................
60
4.5 4.6
Rasio DAU terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.................................................................................................... 61
4.7
Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Jenis Belanja .........................................................................................
62
4.8
Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Fungsi .............................63 63
4.9
Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah .........................................................................................
64
Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Miliar Rupiah) ............................................................................
65
Distribusi Persentase PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi Jawa Tengah (%) ............................................................
66
4.10 4.11 4.12
Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah (%)............................................................................................. 67
4.13.
Perkembangan Persentase Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) ............................................................................... 72
4.14.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pajak Daerah dan
Dana 78
Rasio Penerim
Alokasi Umum ............................................................................. 4.15.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Sektor Pertanian, Pendidikan dan Kesehatan serta Lainnya ......................................................... 79
4.16.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi PDRBP dan PDRBL .................................. 86
4.17
Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ......................93 91 91
4.18
Perbandingan PDRB Pertanian dengan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten pada Tahun 2009 ........................................................................... 93
4.19
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengangguran dan Kemiskinan ......................................................................................... 94...........60
4.20
Persentase Alokasi Anggaran Sektor Pertanian (%) ......................... 96
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1. 1.2.
Halaman Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, 2005-2009................................................................
6
Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah), 2004-2009 ....................................................................................
9
2.1.
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output ............................................ 15
2.2.
Fungsi Produksi................................................................................................. 23
2.3.
Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan Permintaan Agregat......................................................................................... 33
2.4.
Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan.....................................................
38
Persentase Penerimaan Daerah Menurut Jenis Komponen Penerimaan, 2007-2009 ................................................................
57
4.2.
Perkembangan Jumlah Pengangguran di Provinsi Jawa Tengah ....
68
4.3.
Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Usaha, 2009........................ 69
4.4.
Perkembangan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah ...................
4.1.
71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Hasil Estimasi Output Persamaan Pajak Daerah............................ .................. 103
2.
Hasil Estimasi Output Dana Alokasi Umum .................................................... 104
3.
Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian ........................................................................... 105
4.
Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan ................................................. ..................106 106
5.
Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya ............................................................................. 107
6.
Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Pertanian........... 108
7.
Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Lainnya............. 109
8.
Hasil Estimasi Output Persamaan Pengangguran ................... ........................ 110
9.
Hasil Estimasi Output Persamaan Kemiskinan............................. 111
10.
Komposisi Penerimaan Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 ...................................... 112
11.
Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah 2007-2009........................................................................ 119
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Isu desentralisasi fiskal sedang mendapatkan perhatian
pemerintah,
masyarakat maupun kalangan akademisi saat ini. Indonesia mulai era baru penyelenggaraan pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001 yaitu perubahan sistem pemerintahan dari terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi. Pada sistem pemerintahan terpusat, pemerintah pusat memiliki peran yang sangat besar dalam seluruh pembangunan daerah. Program - program pembangunan daerah yang dibuat pemerintah pusat harus diterima oleh pemerintah daerah walaupun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah sehingga akan menyebabkan ketidakefisienan kebijakan. Penyelenggaraan pemerintahan terpusat menyebabkan kurang terlihatnya
peran
dari
pemerintah daerah
dalam
melaksanakan
pembangunan daerah. Sistem pemerintahan sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari negara kesatuan sedangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat dijamin hak-hak otonom bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Keanekaragaman budaya, perbedaan kondisi geografis dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antar daerah semakin menyulitkan pendekatan sistem pemerintahan sentralistik di Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menjadi titik balik perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Krisis ekonomi ini dianggap beberapa ahli sebagai kegagalan pemerintah dalam membaca perubahan dan berbagai kecenderungan global di bidang ekonomi dan keuangan. Penyebabnya adalah
pemerintah pusat banyak menggunakan waktunya untuk mengurus masalah domestik yang seharusnya dapat diurus oleh pemerintah daerah. Akibatnya pemerintah pusat tidak cukup waktu untuk memperhatikan kecenderungankecenderungan global ini dan ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem pemerintahan sentralistik (Rasyid, 2005). Tujuan utama kebijakan desentralisasi 1999 berdasarkan penjelasan di atas adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro yang bersifat strategis dan memberikan kesempatan kepada daerah untuk meningkatkan kemandirian dan kreatifitas. Pemerintah daerah ditantang agar mampu menemukan solusi-solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan solusi dari sistem pemerintahan yang sentralistik untuk mengoptimalkan pembangunan daerah. Otonomi daerah
sebagai strategi paling efektif karena pembangunan daerah
dilakukan oleh masyarakat lokal yang lebih tahu kebutuhan dan kondisi daerah sehingga menghasilkan kebijakan pembangunan yang efektif. Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hampir seluruh kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah kecuali enam
bidang yaitu
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, moneter dan fiskal nasional. Menurut Sidik (2003), otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara
khususnya dalam rangka
memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Pelaksanaan otonomi
daerah harus didukung dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar efektivitas penyelenggaraan pemerintah dapat tercapai. Kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memampukan keuangan daerah dan memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengelola segala potensi keuangan daerah secara optimal. Penyelenggaraan pembangunan daerah perlu mendapat dukungan pendanaan seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi hasil, pinjaman maupun dana bantuan dari pemerintah pusat. Selama hampir delapan tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) positif. Pencapaian tingkat PDRB merupakan salah satu indikator kemajuan perekonomian suatu daerah. Pada tabel 1.1. memperlihatkan perkembangan PDRB di tiap provinsi tahun 2004 sampai tahun 2008. Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal angka pertumbuhan PDRB
memiliki kecenderungan meningkat. Pada data ini juga
terlihat bahwa Pulau Jawa memiliki angka PDRB paling tinggi diantara semua pulau di Indonesia. Tumbuhnya perekonomian di Pulau Jawa yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain di luar Pulau Jawa disebabkan karena Pulau Jawa masih menjadi pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif adalah Jawa Tengah. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama lima tahun terakhir selalu mengalami peningkatan dari 135 Triliun pada tahun 2004 menjadi 167, 7 Triliun pada tahun 2008, tetapi pertumbuhan ekonomi tidak selalu mencerminkan kesejahteraan masyarakat.
Provinsi Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi belum tentu mampu menyelesaikan masalah paling mendasar di daerah yaitu pengangguran dan kemiskinan. Tabel 1.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah) Provinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
17. 18. 19. 20. 21.
22. 23. 24. 25. 26. 27 . 28.
29.
30. 31. 32. 33.
2004
2005
2006
2007
2008
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten
28.509.063,10
30.381.500,21
32.441.003,07
34.713.813,64
37.021.427,75
356.878.953,88 278.524.822,00 230.003.495,86 135.789.872,31 16.146.423,77 242.228.892,17 54.880.406,50
369.611.700,57 295.270.547,00 242.883.881,74 143.051.213,88 16.910.876,87 256.442.606,28 58.106.948,22
408.321.074,15 332.971.253,84 274.180.307,83 159.110.253,77 18.291.511,71 287.814.183,92 65.046.775,77 1.137.414.286,8 3 23.497.047,07 1.160.911.333,9
428.403.023,28 353.539.057,43 290.171.128,80 167.790.369,85 19.208.937,56 304.798.966,41 68.830.644,80 1.204.339.104,8 6 24.900.571,98 1.229.239.676,8
40.374.282,31
36.287.915,29
36.853.868,66
35.983.090,79
34.085.478,71
83.328.948,58
87.897.791,21
93.347.404,39
99.792.273,27
106.172.360,10
27.578.136,56
29.159.480,53
30.949.945,10
32.912.968,59
35.007.921,57
75.216.719,28 11.953.885,48
79.287.586,75 12.619.972,18
83.370.867,24 13.363.620,73
86.213.259,46 14.275.161,32
91.085.381,81 15.296.726,80
47.344.396,00
49.633.536,00
52.214.848,00
55.262.114,00
58.080.027,00
5.896.253,00 28.262.288,65
6.239.361,00 29.397.248,40
6.610.628,00 30.861.360,40
7.008.964,58 32.694.889,35
7.354.468,47 34.414.653,24
8.414.980,93
8.707.309,00
9.053.553,48
9.464.539,15
9.884.577,83
Jawa
957.573.912,62
1.012.666.073,99
Bali Jawa & Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
19.963.243,81 977.537.156,42
21.072.444,79 1.033.738.518,78
389.067.099,06 312.826.712,74 257.499.445,75 150.682.654,75 17.535.749,31 271.249.316,69 61.341.658,64 1.071.135.537,8 8 22.184.679,28 1.093.320.217,1
22.483.015,34
23.538.350,41
24.768.374,85
26.260.647,97
27.682.852,51
13.253.081,16
14.034.632,14
14.853.726,14
15.754.508,67
16.725.514,29
22.171.332,06
23.292.544,50
24.452.264,79
25.922.287,52
27.538.451,50
Nusa Tenggara, Maluku & Papua
Jumlah 33 Provinsi
91.050.428,92
93.938.002,00
96.612.842,00
98.428.543,00
103.168.022,00
148.957.857,48 12.149.501,26
154.803.529,06 12.744.549,77
160.687.207,78 13.473.113,84
166.365.987,16 14.344.302,42
175.114.840,29 15.428.425,31
10.925.464,69
11.752.235,68
12.671.548,92
13.683.882,46
14.746.021,73
34.345.080,50
36.421.787,37
38.867.679,22
41.332.426,29
44.549.824,55
7.480.180,34
8.026.856,22
8.643.330,06
9.331.719,95
10.010.586,35
1.891.763,26 2.922.477,60 69.714.467,66
2.027.722,84 3.120.765,24 74.093.917,12
2.175.815,19 3.321.147,32 79.152.634,55
2.339.217,51 3.567.816,14 84.599.364,77
2.520.673,36 3.872.522,88 91.128.054,18
14.928.174,68
15.183.788,94
15.603.774,90
16.369.220,46
16.799.829,81
9.537.095,13
9.867.308,52
10.368.504,89
10.902.404,44
11.426.425,24
3.101.995,92 2.128.208,25 4.969.210,33 16.282.967,57
3.259.244,35 2.236.803,64 5.307.329,12 22.209.192,69
3.440.114,10 2.359.483,02 5.548.900,50 18.402.197,42
3.633.475,12 2.501.175,13 5.934.315,82 19.200.297,43
3.787.103,94 2.650.760,09 6.369.374,22 18.914.877,30
50.947.651,89
58.063.667,26
55.722.974,84
58.540.888,40
59.948.370,59
1.604.036.087,3
1.690.311.332,78
1.777.950.133,3
1.878.738.648,3
1.983.833.965,1
Sumber : BPS, 2004-2008 (Diolah).
Kinerja perekonomian Provinsi Jawa Tengah yang diukur dari PDRB secara makro menunjukkan hasil yang baik. Namun, di sisi lain masih ada hal penting
yang
perlu
diperhatikan
dalam
mengukur
keberhasilan
suatu
perekonomian yaitu pengangguran dan kemiskinan. Masalah pengangguran dan kemiskinan penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal dan desentralisasi fiskal. Jika peningkatan PDRB tidak dapat mengatasi pengangguran dan kemiskinan maka pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan untuk menciptakan PDRB yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Perekonomian bukan hanya semata-mata untuk meningkatkan PDRB, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi masyarakat yaitu keluar dari kemiskinan dan memiliki penghasilan yang layak untuk dapat hidup sejahtera. Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah mendasar yang harus diatasi untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar. Dampak sosial yang ditimbulkan seperti tingkat kejahatan yang terus meningkat karena orang berusaha mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rasa aman masyarakat pun akan terganggu dan pada akhirnya akan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah krisis politik sehingga berdampak pada kepercayaan dunia terhadap negara. Begitu besarnya dampak yang akan ditimbulkan apabila masalah pengangguran dan kemiskinan tidak dapat diatasi mengharuskan pemerintah untuk mencari solusi terhadap kedua masalah ini. Pada Tabel 1.2. dan Gambar 1.1., Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi di Pulau Jawa. Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin ketiga setelah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah memang memiliki tren menurun, tetapi masih belum dapat mengubah posisi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa. Tabel 1.2. Perbandingan Jumlah Penduduk, Persentase Kemiskinan dan Penganguran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur Provinsi
2005
2006
2007
2008
2009
Jawa Tengah
32.908.850
32.177.730
32.380.279
32.626.390
32.864.563
Jawa Barat
39.960.869
40.737.594
41.483.729
42.194.869
42.693.951
Jawa Timur
36.481.779
36.390.600
36.895.571
37.094.836
37.286.246
Sumber : BPS, 2005-2009.
25% 20% 15%
Jawa Tengah Jawa Barat
10%
Jawa Timur 5% 0% 2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : BPS, 2005-2009.
Gambar 1.1. Perbandingan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur Tahun 2005-2009 Kemiskinan akan berpengaruh pada indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Menurut penelitian dari
Blank and Card (1993) pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat di masa kini menjadi tidak sensitif dengan kemiskinan artinya tidak mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 1960an. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih belum berkualitas karena belum mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan pertumbuhan sektoral yang semakin besar antara sektor perdagangan, komunikasi dan jasa dengan sektor riil (pertanian, manufaktur, pertambangan). Sektor non riil tumbuh sangat cepat dan pertumbuhannya selalu lebih tinggi dari PDB sedangkan sektor riil yang mampu menyerap banyak tenaga kerja malah tumbuh lambat (BPS, 2009). Pengangguran merupakan pangkal persoalan terciptanya kemiskinan. Ketika individu tidak memiliki pendapatan maka tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari desentralisasi fiskal seharusnya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Semakin besar kegiatan ekonomi maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga akan semakin besar. Pada tahun 2001 jumlah pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,70 persen, jumlahnya menurun pada awal penerapan desentralisasi fiskal. Walaupun di tahun-tahun tertentu mengalami penurunan jumlah pengangguran, kecenderungan mengarah pada peningkatan. Pada tahun 2009 jumlah pengangguran di Jawa Tengah mencapai 7,33 persen. Tren kenaikan ini salah satunya diakibatkan karena pertumbuhan penduduk yang tinggi sementara lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menyesuaikan dengan cepat terhadap semakin bertambahnya angkatan kerja.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan lebih mendekati keinginan masyarakat dan mampu meningkatkan perekonomian daerah. Penyelenggaraan desentralisasi fiskal diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang - Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan. Desentralisasi fiskal yang diatur oleh Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menegaskan bahwa penyerahan wewenang pelaksanaan pemerintahan ini dilakukan dengan tujuan agar pemerintah dapat melakukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah dapat mengembangkan perekonomian daerah sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah juga merubah secara fundamental tentang pengelolaan keuangan negara. Pemerintah pusat harus menyalurkan dana kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari penyerahan wewenang tersebut. Transfer dana ke daerah dari tahun ke tahun semakin meningkat yang secara otomatis meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Transfer dana sebagai bentuk koordinasi keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dikenal dengan dana perimbangan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana bagi hasil.
Pemerintah daerah diharapkan
mampu mengalokasikan anggaran yang sangat besar tersebut secara bijaksana melalui kebijakan fiskal.
Tabel 1.3. Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah (Juta Rupiah) 2004 DAU DAK DBHPBP
2005
2006
2007
2008
2009
9.541.771
9.951.345
14.959.952
16.334.593
17.805.526
18.183.827
208.983
295.970
895.974
1.273.938
1.647.883
1.966.734
945.548
994.383
824.003
943.705
1.679.241
1.536.385
Sumber : BPS, 2004-2009. 20,000,000 15,000,000 DAU
10,000,000
DAK BHPBP
5,000,000 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : BPS, 2004-2009 (Diolah).
Gambar 1.2. Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Tengah (Juta Rupiah), 2004-2009 Pada Tabel 1.3. dan Gambar 1.2.
terlihat bahwa setiap tahun dana
perimbangan Provinsi Jawa Tengah selalu mengalami peningkatan sehingga penerimaan daerah pun terus meningkat dan dapat digunakan untuk kegiatan yang mampu menggerakkan perekonomian daerah terutama melalui kebijakan fiskal yang sudah didesentralisasikan. Kebijakan fiskal daerah diarahkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan akhir desentralisasi fiskal. Dari data-data ekonomi dan sosial yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin meneliti hubungan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Tengah dengan berbagai variabel ekonomi dan sosial serta
bagaimana kebijakan fiskal diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor riil yaitu sektor pertanian yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan pemerintahan
Undang-Undang
daerah,
desentralisasi
Nomor fiskal
32
Tahun
diharapkan
2004
akan
tentang
mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengoptimalkan segala potensi-potensi ekonomi di daerah dan menggali potensi keuangan
daerah.
Kebijakan
fiskal memegang peranan
penting dalam
desentralisasi fiskal terkait dengan pengalokasian pengeluaran pemerintah terhadap sektor-sektor unggulan daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga wajib meningkatkan penerimaan daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat tiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sejak desentralisasi fiskal seharusnya mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah . Pada akhirnya desentralisasi fiskal akan mampu mengatasi segala permasalahan ekonomi dan sosial masyarakat daerah. Berdasarkan penjelasan tersebut maka perumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana
kinerja
keuangan
pemerintah
daerah,
perekonomian,
pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada masa desentralisasi fiskal? 2.
Bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Manganalisis
kinerja
keuangan
pengangguran dan kemiskinan di
pemerintah
daerah,
perekonomian,
Provinsi Jawa Tengah pada masa
desentralisasi fiskal? 2.
Menganalisis
dampak
kebijakan
fiskal
terhadap
pengangguran
dan
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah? 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, baik bagi peneliti, kalangan akademis, pemerintah dan masyarakat Jawa Tengah khususnya. 1.
Bagi peneliti, mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah serta mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi pengambil keputusan dalam pemerintahan pada khususnya.
2.
Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan terkait kebijakan fiskal daerah guna mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa tengah.
3.
Bagi kalangan akademisi, dapat melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
4.
Bagi masyarakat dan pembaca pada umumnya, memperoleh informasi tentang desentralisasi fiskal dan sebagai media untuk mengawasi kinerja pemerintah.
1.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis peran kebijakan fiskal terhadap kinerja perekonomian yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta dampaknya terhadap pengangguran dan kemiskinan di daerah. Ruang lingkup wilayah penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Tahun analisis yang digunakan dimulai dari tahun 2007 sampai 2009. Alasan pemilihan tahun analisis adalah untuk melihat kinerja perekonomian setelah enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu berbagai kendala dalam memperoleh data yang akan dipakai karena perubahan definisi dan format statistik keuangan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Teori dan Konsep
2.1.1. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian. Menurut John. F. Due (1968) dalam buku Pengantar Kebijakan Fiskal (2010) disebutkan bahwa kebijakan fiskal sebenarnya ditujukan untuk tiga hal, antara lain ; menjamin pertumbuhan perekonomian yang sebenar-benarnya menyamai laju pertumbuhan potensial, dengan mempertahankan kesempatan kerja yang penuh, mencapai suatu tingkat harga umum yang stabil dan wajar, dan meningkatkan laju pertumbuhan potensial tanpa mengganggu pencapaian tujuan-tujuan lain dari masyarakat. Dari penjelasan diatas maka secara umum tujuan dari kebijakan fiskal menurut John F. Due (1968) adalah : 1.
Meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi atau memperbaiki keadaan ekonomi.
2.
Memperluas
lapangan
kerja
dan
mengurangi
pengangguran
atau
mengusahakan kesempatan kerja dan menstabilkan harga-harga secara umum. 3.
Mengatasi inflasi
Kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam rangka
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
dengan
cara
menyesuaikan
pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pengeluaran negara jika ditinjau dari berbagai segi adalah sebagai berikut : 1.
Pengeluaran yang merupakan investasi, yaitu yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi pada masa yang akan datang.
2.
Pengeluaran yang secara langsung dapat memberikan kegembiraan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
3.
Pengeluaran yang merupakan pengehematan untuk pengeluaran yang akan datang.
4.
Pengeluaran untuk menyediakan kesempaan kerja yang lebih banyak dan penyebaran tenaga kerja yang lebih luas. Dalam
teori
ekonomi,
pada
saat
perekonomian
berada
dalam
keseimbangan, diasumsikan bahwa pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran yang direncanakan. Kondisi keseimbangan dapat ditulis sebagai berikut : Pengeluaran aktual = Pengeluaran yang direncanakan Y = AE Kebijakan fiskal melalui peningkatan
pengeluaran
pemerintah (ΔG)
menyebabkan bergesernya keseimbangan dari titik A ke titik B dan output akan meningkat sebesar
ΔY (Gambar 2.1.). Dengan demikian kebijakan fiskal
memiliki dampak terhadap output. Peningkatan output diharapkan akan meningkatkan permintaan tenaga kerja karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi besar kecilnya output yang dihasilkan.
Tenaga kerja yang diserap dari semakin banyaknya output ini diharapkan akan mengurangi jumlah pengangguran.
AE
Y = AE = C + I + G + N x B
AE1 = C1 + I1 + G1 + Nx1 ΔG AE0 = C0 + I0 + G0 + Nx0
A
Y0
ΔY
Y1
Y
Sumber : Mankiw,2003
Gambar 2.1. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah memiliki perbedaan dengan kebijakan otonomi sebelum otonomi daerah. Pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan, kebijakan fiskal daerah sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya tinggal melaksanakan semua kebijakan tersebut. Setelah otonomi daerah, pemerintah pusat menyerahkan banyak kewenangan kepada pemerintah daerah termasuk pengelolaan keuangan. Kebijakan fiskal nasional tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Dana perimbangan disalurkan oleh pemerintah pusat dalam jumlah yang besar untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dana perimbangan dan dana yang diusahakan sendiri oleh pemerintah daerah melalui kebijakan fiskal daerah. Pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Ada beberapa sektor perekonomian yang terpengaruh karena
pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal daerah antara lain sektor produksi, sektor konsumsi masyarakat dan keseimbangan perekonomian. Pada sektor produksi, pengeluaran pemerintah dapat menunjang tersedianya faktor-faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja. Misal pengeluaran pemerintah sektor pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terdidik. Sumber daya manusia yang terdidik itu memperbesar faktor produksi yang berupa tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produksi. Pada sektor distribusi, pengeluaran negara akan berpengaruh baik itu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi distribusi barang dan jasa. Misal pengeluaran pemerintah untuk subsidi barang dan jasa akan mempermudah masyarakat yang berdaya beli rendah menjadi mudah untuk memperoleh barang dan jasa tertentu. Di sektor konsumsi, pengeluaran pemerintah dapat mengubah atau memperbaiki pola dan tingkat konsumen masyarakat terhadap barang dan jasa yang disediakan langsung oleh pemerintah maupun mekanisme pasar. Misal penambahan penyediaan barang yang bersifat kolektif maupun barang-barang lain yang harganya disubsidi oleh pemerintah.
2.1.2. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi terutama dalam bidang politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik otonomi daerah
adalah
hasil
dari
kebijakan
desentralisasi
dan
demokratisasi.
Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas. Di bidang ekonomi, otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan ekonomi regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola dengan baik demi menciptakan dan memelihara kehidupan sosial serta nilai-nilai lokal. Pemerintahan daerah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sedangkan perimbangan keuangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan dari kedua Undang-Undang otonomi daerah di atas, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintahan daerah provinsi yang terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi serta pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri dari pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaran urusan pemerintahan yang bersifat wajib
berpedoman pada standar pelayanan minimal. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur
kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan
umum,
kesehatan,
pendidikan
dan
kebudayaan,
pelayanan
kependudukan dan catatan sipil, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja serta urusan wajib lainnya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hak dan kewajiban daerah yang timbul karena adanya otonomi daerah diwujudkan dengan rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan seluasluasnya untuk menggali potensi keuangan daerah masing-masing dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal asal tidak melanggar peraturan yang ada. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal harus memperhatikan prinsip money function
follow
artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan
membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Perlimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah mengindikasikan kecenderungan semakin besar biaya yang
dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Semakin besar biaya yang dikelola membuat tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar pula. Komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang penting pada pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang merupakan konsekuensi dari pelimpahan kewenangan ke daerah. Dana perimbangan terdiri atas sebagai berikut : 1.
Dana bagi hasil, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penetapan bagi hasil pajak dan bukan pajak didasarkan pada persentase yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diatur dalan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
2.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kegiatan daerah.
3.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional. Dalam pelaksanaan pemerintahan suatu negara pada dasarnya memiliki
tiga fungsi utama yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Fungsi alokasi meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan terhadap masyarakat. Fungsi alokasi tercermin dari pengeluaran pemerintah dimana sangat menentukan keberpihakan pemerintah daerah kepada sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan yang mampu menjadi roda perekonomian daerah. Fungsi distribusi terkait dengan pendapatan dan kekayaan masyarakat serta pemerataan pembangunan. Ketiga, fungsi stabilisasi yang meliputi stabilisasi pertahanan dan keamanan, stabilisasi ekonomi dan moneter dan lain-lain. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, fungsi distribusi dan stabilisasi biasanya lebih tepat bila dilakukan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi lebih efektif dilakukan oleh pemerintah daerah. Ada dua asumsi yang setidaknya harus ada dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal (Tiebot 1956), antara lain : 1.
Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat daerah dapat dengan cepat disediakan oleh pemerintah daerah.
2.
Perpindahan penduduk akan membuat pemerintah daerah berkompetisi untuk menyediakan pelayanan barang publik sesuai dengan keinginan masyarakat agar masyarakat tidak meninggalkan daerah serta menarik penduduk lain untuk datang ke suatu daerah. Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain menandakan preferensi masyarakat akan barang publik. Tiebout menilai
bahwa
pemerintah
meningkatkan pelayanan publik.
daerah
harus
berkompetisi
agar
dapat
Otonomi daerah bukan tanpa konsekuensi negatif. Seiring berjalannya pelaksanaan desentralisasi fiskal ada beberapa dampak negatif yang timbul antara lain : 1.
Integrasi Nasional Otonomi daerah memiliki potensi besar mengancam integrasi nasional. Kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial antar daerah.
2.
Primordialisme Kecenderungan beberapa daerah untuk mengutamakan putra daerah dalam proses
rekrutmen
untuk
jabatan-jabatan
pemerintahan.
Apabila
promodialisme ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan mengganggu berjalannya otonomi daerah secara sehat. Jabatan-jabatan yang membutuhkan keahlian tertentu mungkin akan diisi oleh orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam bidang tertentu karena orang yang memiliki kualifikasi dikalahkan oleh pertimbangan primordialisme. Seharusnya otonomi daerah mampu didefinisikan secara tepat oleh pemimpin daerah sehingga tidak merugikan rakyat. 3.
Otonomi Bertingkat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memiliki kelemahan karena secara eksplisit dijelaskan bahwa tidak ada hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten dan kota. Hal ini mengakibatkan bupati dan walikota merasa tidak punya kepentingan dengan gubernur. Tidak berjalannya koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota
tentu akan menghambat berjalannya pemerintahan secara sinergis di tingkat nasional. Kelemahan ini disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Mankiw (2003), Ukuran pertumbuhan ekonomi yang biasa digunakan adalah produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi PDB maka dapat disimpulkan bahwa negara tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. PDB mengukur output barang dan jasa serta pendapatan total suatu negara. PDB yang besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi menjadi variabel makroekonomi yang mampu menggambarkan keadaan ekonomi suatu negara. Dalam perekonomian, PDB dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dengan harga barang dan jasa tersebut. Harga yang digunakan untuk mengukur PDB ada dua yaitu dihitung dengan harga berlaku dan harga konstan. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku disebut dengan PDB nominal. Ukuran PDB nominal tidak mampu mencerminkan sejauh mana perekonomian mampu memuaskan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini karena kenaikan PDB tidak hanya diakibatkan karena terjadi peningkatan barang dan jasa yang dihasilkan. Akan tetapi dapat terjadi karena ada kenaikan harga tiap tahunnya. Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung barang dan jasa yang dihasilkan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Nilai barang dan jasa yang diukur dengan menggunakan harga konstan yaitu PDB riil.
PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tetap. Karena harga dipertahankan konstan, maka PDB riil akan bervariasi dari tahun ke tahun hanya jika jumlah yang diproduksi berbeda. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sangat bergantung pada barang dan jasa yang diproduksi. Hal inilah yang menyebabkan PDB riil memberikan ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik daripada PDB nomial. Output barang dan jasa suatu perekonomian (PDB) bergantung pada jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output. Faktor produksi adalah input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja. Modal adalah seperangkat sarana yang dipergunakan oleh para pekerja. Tenaga kerja adalah orang yang bekerja pada waktu tertentu. Sedangkan fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Output, Y F (K,L) MPL
Tenaga Kerja, L Sumber : Mankiw, 2003
Gambar 2.2. Fungsi Produksi
Pada Gambar 2.2. memperlihatkan fungsi produksi untuk memperlihatkan produk marginal tenaga kerja (marginal product of labor, MPL). Output tergantung pada pada input tenaga kerja dengan menganggap modal tetap. MPL adalah perubahan output ketika input tenaga kerja ditambah 1 unit. Model pertumbuhan Solow (Solow growth model) merupakan salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang mampu menjelaskan bagaimana perekonomian berproduksi
dan
menggunakan
outputnya
pada
waktu
tertentu.
Model
pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian dan pengaruhnya terhadap output barang dan jasa di suatu negara. Penawaran dan permintaan terhadap barang memiliki peran penting dalam model pertumbuhan Solow. Dengan melihat penawaran dan permintaan terhadap barang, maka dapat ditentukan banyaknya output yang diproduksi pada waktu tertentu. Penawaran barang dalam model Solow berdasarkan pada fungsi produksi yang menyatakan bahwa output (Y) bergantung pada persediaan modal (K) dan angkatan kerja (L) seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 2.1. sebagai berikut : Y = F(K,L)
(2.1.)
Pada model pertumbuhan Solow diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constant return to scale).
2.1.4. Pengangguran Pengangguran merupakan masalah yang akan selalu ada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kependudukan menjadi persoalan penting, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan
lapangan pekerjaan setiap tahunnya. Apabila pemerintah tidak mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan menimbulkan masalah sosial lain seperti kemiskinan terus meningkat karena penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, selanjutnya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kejahatan dan masalah sosial lainnya. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dan ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap tenaga kerja yang senantiasa bertambah tiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk (BPS,2007). BPS membagi pengangguran berdasarkan penyebabnya, pada dasarnya hampir sama dengan pengangguran dilihat dari perspektif ekonomi tetapi definisi dari BPS lebih mudah dipahami. Berikut adalah beberapa jenis pengangguran dikelompokkan berdasarkan penyebabnya : 1.
Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga menganggur. Contoh petani menganggur karena daerahnya berubah menjadi daerah industri.
2.
Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja.
3.
Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.
4.
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
5.
Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan tenaga kerja manusia.
Perdebatan para ahli ekonomi tentang faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran masih selalu ada karena perbedaan kondisi masyarakat di suatu masing-masing negara. Kekakuan upah merupakan hal sering terjadi di pasar tenaga kerja, biasanya pada pasar tenaga kerja yang dipengaruhi oleh serikat kerja upah akan lebih kaku lagi. Upah ditetapkan untuk periode waktu tertentu tanpa penyesuaian sesuai dengan kesepakatan antara serikat pekerja dan perusahaan. Misalnya dalam waktu tiga tahun upah telah ditetapkan dan tidak akan dilakukan penyesuaian walaupun terjadi kelebihan penawaran maupun penawaran pada jenis pekerjaan tertentu. Teori kekakuan upah dan pengangguran terpaksa menyatakan bahwa penyesuaian upah yang amat lamban menimbulkan kelebihan maupun kekurangan dalam masing-masing pasar tenaga kerja. Ada
beberapa
konsep pengangguran
menurut
BPS,
antara
lain
pengangguran terbuka dan pengangguran setengah terbuka. Konsep yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
konsep
pengangguran
terbuka.
Pengangguran terbuka (open unemployment) adalah orang yang masuk dalam
angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada saat yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Pengangguran dengan definisi di atas disebut dengan pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: TPT = (UE/AK)*100%
(2.2)
dimana : UE
= jumlah orang usia kerja yang tidak berkerja
AK
= total angkatan kerja
Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah pengangguran setengah terbuka (Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
2.1.5. Kemiskinan Masalah kemiskinan merupakan masalah yang akan selalu ada di setiap negara terutama negara berkembang seperti Indonesia. Indikator kemiskinan di setiap negara berbeda-beda, kemiskinan yang ada di negara maju akan berbeda definisi dengan kemiskinan di Indonesia sehingga penanganan kemiskinan di setiap negara pun pasti berbeda. Dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan dan
ketidakberdayaan. Kemiskinan juga terkait dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik bahkan pada akhirnya kemiskinan akan menimbulkan masalah sosial dan politik. Penanggulangan kemiskinan di Indonesia harus tepat sasaran sehingga langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerjemahkan definisi dan konsep kemiskinan. Menurut BPS, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. BPS melihat kemiskinan dari pengeluaran suatu rumah tangga untuk membelanjakan komoditi pokok makanan dan non makanan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan, penduduk miskin diartikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Komoditi kebutuhan terdiri atas 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll). Garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen. Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Suvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) :
1.
Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein.
2.
Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.
3.
Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air.
4.
Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).
5.
Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obatobatan. Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembanglan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004) . Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya
kebutuhan
pangan,
(b)
kesehatan,
pendidikan,
pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Jenis-jenis Kemiskinan adalah sebagai berikut : 1.
Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.
2.
Kemiskinan
absolut
ditentukan
berdasarkan
ketidakmampuan
untuk
mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan/pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Terminologi kemiskinan yang lain adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Tatanan tersebut tidak hanya menciptakan kemiskinan tetapi juga membuat kemiskinan tetap langgeng di dalam masyarakat. Kemiskinan struktural tidak disebabkan oleh sebab-sebab alami atau sebab-sebab pribadi melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya karena tatanan sosial yang tidak adil ini sehingga menjadi serba kekurangan dan miskin. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap menjadi miskin. Padahal seharusnya kemiskinan tersebut dapat dikurangi dengan mengabaikan faktorfaktor adat yang menghalangi seseorang melakukan perubahan ke tingkat kehidupan yang lebih baik lagi. Kemiskinan kultural biasanya dialami oleh sukusuku pedalaman di Indonesia seperti yang terjadi dengan suku Badui dan suku Dayak.
2.1.6. Kaitan Kebijakan Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketenagakerjaan
Pertumbuhan
Ekonomi,
Desentralisasi fiskal diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pada akhirnya mampu mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Ravallion dan Datt (1996) dalam BPS (2009) melakukan studi dengan menggunakan kasus India mendapatkan hasil bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani (2001) dalam BPS (2009) juga menyimpulkan hasil penelitiannya di Filipina bahwa peningkatan 1 persen output di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1 persen. Sebaliknya peningkatan 1 persen output di sektor industri dan jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan sekitar 0,25 – 0,30 persen. Berdasarkan penelitian di dua negara ASEAN yang merupakan negara berkembang bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja secara efektif
yaitu sektor primer. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi belum tentu mampu mengurangi kemiskinan secara efektif karena berbagai alasan sebagai berikut (Rajasa, 2007) : 1. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah sehingga tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Keberpihakan pada sektor-sektor tertentu walaupun tidak mampu menyerap tenaga kerja yang banyak akan menghambat berkembangnya sektor-sektor yang seharusnya mampu membuka peluang kesempatan kerja yang lebih banyak.
2. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh industri milik negara yang memiliki proteksi dari pemerintah. Pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak menjamin dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan. 3. Pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh industri canggih justru akan berpotensi memperparah kemiskinan dan pengangguran jika struktur tenaga kerja yang ada didominasi oleh tenaga kerja berkemampuan rendah. 4. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi. Teori ekonomi tentang kaitan antara kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat melalui Gambar 2.3. dimana kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah (ΔG) menggeser AE ke atas sehingga keseimbangan bergeser dari titik A ke titik B dan meningkatkan output sebesar ΔY. Kurva yang menunjukkan pengeluaran pemerintah ini berhubungan dengan kurva permintaan dan penawaran agregat. Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat terhadap sehingga meningkatkan output sebesar
ΔY. Pertumbuhan ekonomi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan PDB atau PDRB. Apabila pada periode awal (t=0) output (PDB) sebesar Y0, maka pertumbuhan ekonomi terjadi apabila pada periode berikutnya menghasilkan output sebesar Y1. Peningkatan output ini diharapkan akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang digunakan sebagai salah satu faktor produksi yang memengaruhi output. Dengan diserapnya tenaga kerja maka akan mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Pengeluaran, AE
AE = Y AE1 = C1 + I1 + G1 + Nx1 B
ΔG AE0 = C0 + I0 + G0 + Nx0
A ΔY
Output, Y
Y0
Y1
Harga,P
AD1 AD0 Output, Y Y0
Y1
Sumber : Mankiw,2003
Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Pengeluaran Pemerintah dengan Permintaan Agregat
2.2. Penelitian Terdahulu Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan kemiskinan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model diduga dengan persamaan 2SLS kemudian hasil pendugaan parameter digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario
kebijakan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Fakhru (2007) melakukan penelitian tentang dampak otonomi daerah terhadap pengurangan kemiskinan dengan studi kasus Provinsi Riau. Hasil dari penelitian adalah tingkat kesejahteraan masyarakat Riau terus mengalami peningkatan, kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung dengan rakyat miskin seperti pembukaan lapangan pekerjaan, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan. Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan tingkat kemandirian daerah sesudah desentralisasi fiskal yang ditunjukkan dengan menurunnya rasio PAD dan meningkatnya Dana Alokasi Umum (DAU). Laju kemiskinan di kabupaten dan kota sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal menunjukkan kenaikan dan penurunan jumlah atau cenderung berfluktuasi. Sasana (2009) melakukan penelitian peran desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Dari penelitian tersebut
didapatkan kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah kabupaten/kota. Pertumbuhan ekonomi positif ini memengaruhi penyerapan tenaga kerja dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat kemiskinan. Waluyo (2007) melakukan studi tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia. Asumsi utama yang digunakan adalah tidak ada keterkaitan antar daerah. Hasil yang didapat adalah desentralisasi fiskal mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya dengan sumber daya alam daripada daerah yang bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Di samping itu desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah
antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Namun demikian dampak desentralisasi fiskal untuk mengurangi kesenjangan antar daerah lebih terasa di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dibandingkan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Kesimpulan secara umum adalah kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antar daerah. Usman (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal
terhadap
distribusi
pendapatan
dan tingkat
kemiskinan.
Peneliti
menggunakan seluruh provinsi di Indonesia dan didisagregasi berdasarkan kawasan dan pulau-pulau besar di Indonesia. Hasil penelitian yang didapat oleh peneliti adalah sebagai berikut :
1. Menjelang desentralisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan disertai dengan program-program jaring pengaman sosial yang menguntungkan kelompok masyarakat berpendapatan bawah. Setelah desentralisasi fiskal, kebijakan ekonomi pada awalnya terlihat lebih menguntungkan kelompok masyarakat kalangan atas, namun pada tahun berikutnya ada indikasi mulai menguntungkan kelompok masyarakat ekonomi bawah. 2. Dari analisis determinan diperoleh kesimpulan bahwa sektor-sektor yang bersentuhan dengan masyarakat ekonomi bawah atau miskin adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur. 3. Desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif dengan kinerja fiskal dan perekonomian, desentralisasi fiskal memiliki pengaruh negatif dengan distribusi pendapatan tetapi secara statistik pengaruhnya tidak nyata. Terhadap kemiskinan, desentralisasi fiskal memiliki arah positif dengan indeks kemiskinan dengan pengaruh nyata. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan tiga jenis pengeluaran pemerintah yaitu sektor pertanian, sektor pendidikan dan kesehatan, serta sektor perumahan dan kesejahteraan ternyata berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penurunan tingkat kemiskinan. Pengeluaran pemerintah sektor pertanian memiliki pengaruh paling besar dan signifikan.
2.3.
Kerangka Pemikiran Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang
luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan. Transfer kewenangan yang diikuti dengan transfer anggaran kepada pemerintah daerah diharapkan dapat berjalan efektif. Pengelolaan potensi keuangan yang dipegang langsung oleh pemerintah daerah akan meningkatkan penerimaan daerah untuk dapat mencapai kemandirian daerah. Apabila penerimaan daerah meningkat maka pemerintah daerah mampu membiayai berbagai kegiatan pembangunan daerah. Masalah mendasar seperti kemiskinan dan pengangguran diharapkan dapat dengan cepat diatasi sejalan dengan pemberian kewenangan pusat ke daerah untuk mengelola potensi ekonomi dan keuangan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah diarahkan kepada sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta sektor lainnya. Sektor pendidikan dan kesehatan digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian dan lainnya. Sektor lainnya yang dimaksud adalah sektor selain sektor pertanian dan pendidikan serta kesehatan. Sektor pertanian dipilih karena sektor pertanian merupakan sektor penyerap tenaga kerja paling banyak di Provinsi Jawa Tengah. Banyaknya tenaga kerja di sektor pertanian seharusnya menjadi salah satu
pertimbangan
pemerintah
daerah
dalam
mengalokasikan
anggaran
pengeluaran di sektor pertanian. Alokasi anggaran di sektor pertanian diduga akan meningkatkan PDRB sektor pertanian dan mempengaruhi pembentukan PDRB total. Tujuan akhir untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan diharapkan dapat dicapai dengan menggerakkan sektor pertanian.
UU No. 32 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
Kinerja keuangan daerah : PAD, Bagi Hasil, Dana Transfer
Pengeluaran Fungsional Pemerintah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan dan lainnya
PDRB sektor pertanian
PDRB sektor lainnya
PDRB kabupaten dan kota meningkat tiap tahun.
Penciptaan lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran
Kemiskinan berkurang
Analisis Ekonometrika : Model Persamaan Simultan (Metode 2SLS)
Analisis deskriptif kualitatif
Implikasi kebijakan fiskal untuk mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan
Gambar
2.4.
Kerangka Pemikiran Analisis Pengangguran dan Kemiskinan
Kebijakan
Fiskal
terhadap
2.4.
Hipotesis Penelitian Dari perumusan masalah dan tujuan penelitian
di atas maka dapat
dihipotesiskan sebagai berikut : 1.
Desentralisasi fiskal dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah. Potensi keuangan bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dalam penelitian ini diwakili oleh pajak daerah sedangkan dana perimbangan diwakili oleh Dana Alokasi Umum (DAU). 1.1. Jumlah hotel, total pengeluaran pemerintah, investasi dan dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak daerah. Kemiskinan diduga berpengaruh negatif terhadap pajak daerah. 1.2. Variabel PDRB, PAD dan variabel dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh negatif terhadap DAU, sedangkan variabel jumlah penduduk miskin diduga berpengaruh positif terhadap DAU.
2.
Pemerintah daerah mampu mengalokasikan anggaran kepada sektor-sektor yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. 2.1. Variabel PAD dan DAU diduga berpengaruh positif terhadap pengeluaran
pemerintah di sektor pertanian sedangkan dummy
kabupaten/kota memiliki pengaruh negatif. 2.2. Variabel PAD dan DAU diduga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan dan pendidikan sedangkan dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh negatif.
2.3. Variabel PAD dan dana perimbangan diduga berpengaruh positif terhadap
pengeluaran
pemerintah
lainnya,
sedangkan
dummy
kabupaten/kota diduga berpengaruh negatif . 3.
Pengeluaran Pemerintah di sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta lainnya akan berpengaruh pada peningkatan output melalui Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). 3.1. Variabel pengeluaran pemerintah sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan diduga memiliki pengaruh positif terhadap PDRB sektor pertanian sedangkan dummy kabupaten/kota memiliki pengaruh negatif. 3.2. Variabel
pengeluaran
pemerintah
daerah
lainnya,
pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan dan tenaga kerja sektor lainnya diduga berpengaruh positif terhadap PDRB sektor lainnya serta dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh negatif. 4.
Kebijakan desentralisasi fiskal mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan mengurangi jumlah pengangguran dan jumlah kemiskinan di daerah. 4.1. Variabel PDRB total, persentase PDRB sektor pertanian
dan Upah
Minimum Kabupaten (UMK) diduga berpengaruh negatif terhadap jumlah pengangguran sedangkan dummy kabupaten/kota berpengaruh positif terhadap pengangguran di Provinsi Jawa Tengah.
4.2. Variabel PDRB total, persentase PDRB sektor pertanian, pengangguran dummy kabupaten/kota diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Tingkat ketergantungan diduga berpengaruh positif terhadap kemiskinan.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, data
panel berupa data time series dari tahun 2007 sampai 2009 dan data cross section dari 35 kabupaten/kota. Data panel (pooled data) atau data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang memiliki banyak unit analisis yang dikumpulkan dalam satu waktu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap satu unit pengamatan. Data panel digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak dapat dilakukan hanya menggunakan data cross section atau time series. Keuntungan menggunakan data panel adalah sebagai berikut : 1. Dapat mengendalikan keheterogenan antar individu 2. Memberikan informasi yang lebih lengkap, lebih beragam, mengurangi kolinearitas antar variabel, derajat bebas lebih besar dan lebih efisien. 3. Dapat diandalkan untuk studi dynamic of adjustment 4. Mampu menganalisis dan mengurai perilaku model yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan model data cross section atau model data time series 5. Panel data lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak bisa dideteksi oleh model data cross section atau model data time series 6. Dapat meminimalkan bias
Pemilihan tahun analisis yang berkisar antara tahun 2007 sampai 2009 karena ingin melihat dampak kebijakan fiskal setelah enam tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu, adanya kendala seperti berbagai perubahan definisi dari variabel-variabel yang digunakan dalam model. Format data statistik keuangan pemerintah daerah juga mengalami perubahan dimana data pengeluaran pembangunan dan rutin pemerintah daerah diganti menjadi pengeluaran langsung dan tidak langsung. Perubahan format keuangan ini menyebabkan data yang dibutuhkan tidak tercantum dalam data statistik keuangan pemerintah daerah. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi literatur. Data pengeluaran sektor pertanian, sektor pendidikan dan kesehatan serta sektor lainnya didapatkan dengan melakukan metode ekstrapolasi. Metode ini diperlukan karena dalam data realisasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dari tahun 2007 sampai 2009 tidak disajikan pengeluaran pembangunan dan rutin. Oleh karena itu, data pengeluaran sektor yang akan dianalisis berasal dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Data APBD ini kemudian dibandingkan dengan realisasi pengeluaran pemerintah daerah dengan metode ekstrapolasi sehingga didapatkan realisasi pengeluaran sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta lainnya pada tahun analisis. Data yang digunakan berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik Pusat (BPS Pusat),
Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah,
BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bagian keuangan .
3.2.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis, yaitu
analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data yang dilakukan menggunakan bantuan software Microsoft Excel dan SAS 9.1.3
3.2.1. Analisis Deskriptif Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan alat analisis bantuan berupa software yaitu Microsoft Exel 2007.
3.2.2. Model Ekonometrika Menurut Gujarati (2004) analisis dengan model ekonometrika terdiri dari spesifikasi model, identifikasi dan metode estimasi, serta validasi model. Model desentralisasi dalam penelitian ini dibangun dengan model ekonometrika karena model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-ubahnya. Kelebihan model ekonometrika adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan untuk mengetimasikan perubahan peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika terdapat permasalahan yang tidak dapat diselesaikan maka persamaan baru dapat ditambahkan kedalam model. Model persamaan simultan baik digunakan untuk mengestimasi variabel yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain. Ciri yang paling menonjol
dalam persamaan simultan adalah variabel tak bebas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan lain dalam sistem.
3.2.2.1. Spesifikasi Model Model sistem persamaan simultan diharapkan mampu menangkap fenomena kebijakan fiskal pada masa desentralisasi fiskal dan dampaknya terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Model dibagi dalam empat blok yaitu (1) blok penerimaan daerah, (2) blok pengeluaran daerah, (3) blok output, (4) blok pengangguran dan kemiskinan. Model terdiri dari I. Blok Fiskal-Penerimaan Daerah 1.
Pajak Daerah PDit = a0 + a1 HTLit+ a2 INV + a3 TEXP + a4 KMSit + a5 DKKit + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : a1, a2, a3, a5 > 0 ; a4 < 0
2.
Pendapatan Asli Daerah PADit = PD + RED + HPMD + OLGOR
3.
Dana Alokasi Umum DAU = b0 + b1 PDRBit + b2 PADit + b3KMSit + b4 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : b3 > 0 ; b1, b2, b4 < 0
4.
Dana Perimbangan DAPER = TS + NTS + DAU + DAK
5.
Total Penerimaan Daerah TPD = PAD + DAPER + OTHREC
II. Blok Fiskal- Pengeluaran Daerah 6.
Pengeluaran Fungsional Pemerintah Daerah Sektor Pertanian PPSPER = c0 + c1 PADit + c2 DAUit + c3 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : c1, c2 > 0 ; c3 < 0
7.
Pengeluaran Fungsional Pemerintah Daerah Sektor Pendidikan dan Kesehatan PPSPK = d0 + d1 PADit + d2 DAUit + d3 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : d1, d2 > 0 ; d3 < 0
8.
Pengeluaran Fungsional Pemerintah Daerah Lainnya PPDLit = e0 + e1 PADit + e2 DAPERit + e3 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : e1, e2, e3 > 0
9.
Pengeluaran Total Pemerintah Daerah TEXP = PPSPER + PPSPK + PPDL
III. Blok Output 10. Produk Domestik Regional Bruto sektor Pertanian PDRBPit = f0 + f1 PPSPERit + f2 TKSPit + f3 PPSPKit + f4 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : f1, f2, f3 > 0 ; f4 < 0 11. Produk Domestik Regional Bruto sektor Lainnya PDRBLit = g0 + g1 PPDL + g2 TKSLit + g3 PPSPK + g4 DKK + Uit
Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : g1, g2, g3, g4 > 0 12. PDRB Total = PDRB pertanian + PDRB lainnya IV. Blok Pengangguran dan Kemiskinan 13. Pengangguran UEit = h0 + h1 PDRBTit + h2 P_PDRBPit + h3 UMKit + h4 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : h1, h2 < 0 ; h3, h4 > 0 14. Jumlah Penduduk Miskin KMSit = i0 + i1 PDRBTit + i2 P_PDRBP it + i3 UEit + i4 DPCY + i5 DKK + Uit Parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut : i1, i2 i3, i5 < 0 ; i4 > 0 Keterangan variabel dalam model : i
= menyatakan unit daerah (kabupaten/kota)
t
= menyatakan unit waktu
u
= menyatakan komponen error
DAU
= Dana Alokasi Umum (ribu rupiah/thn)
DAK
= Dana Alokasi Khusus (ribu rupiah/thn)
DAPER
= Dana Perimbangan (ribu rupiah/thn)
DKK
= Dummy kabupaten/kota, 0= kabupaten, 1 = kota
DPCY
= Tingkat ketergantungan (%)
HPMD
= Hasil perusahaan milik daerah & pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (ribu rupiah/thn)
HTL
= Jumlah hotel (unit)
INV
= Investasi (ribu rupiah/thn)
KMS
= Kemiskinan (orang)
NTS
= Bagi hasil bukan pajak/sumber daya alam (ribu rupiah/thn)
OLGOR
= PAD lain yang dipisahkan (ribu rupiah/thn)
OTHREC
= Penerimaan lain yang sah (ribu rupiah/thn)
PD
= Pajak daerah (ribu rupiah/thn)
PAD
= Pendapatan Asli Daerah (ribu rupiah/thn)
PDRBP
= Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (juta rupiah/thn)
P_PDRBP
= Persentase PDRB sektor pertanian terhadap PDRB total (%)
PDRBL
= Produk Domestik Regional Bruto sektor lainnya (juta rupiah/thn)
PDRBT
= Produk Domestik Regional Bruto total (juta rupiah/thn)
PPSPER
= Pengeluaran pemerintah sektor pertanian (ribu rupiah/thn)
PPSPK
= Pengeluaran pemerintah daerah sektor pendidikan dan kesehatan (ribu rupiah/thn)
PPDL
= Pengeluaran pemerintah daerah lainnya (ribu rupiah/thn)
POP
= Populasi (orang)
RED
= Retribusi daerah (ribu rupiah/thn)
TKSP
= Jumlah tenaga kerja sektor pertanian (orang)
TKSL
= Jumlah tenaga kerja sektor lainnya (orang)
TS
= Bagi hasil pajak (ribu rupiah/thn)
TPD
= Total penerimaan daerah (ribu rupiah/thn)
TEXP
= Total pengeluaran pemerintah daerah (ribu rupiah/thn)
UE
= Pengangguran (orang)
UMK
= Upah Minimum Kabupaten (rupiah)
3.2.2.2. Pengujian Model Dalam model ekonometrika sistem persamaan simultan diperlukan beberapa pengujian model yang penting yakni sebagai berikut : 1. Uji Kesesuaian Model a. Uji Koefisien Determinasi (R2) Presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas dapat dilihat menggunakan pengujian R2. Nilai R2 berkisar dari nol sampai 1 ( 0 ≤ R2 ≥ 1). Jika nilainya mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara peubah bebas dengan peubah tak bebas. Namun jika nilainya 0 maka tidak ada hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas. b.
P-Value Pengaruh masing-masing peubah bebas terhadap peubah tak bebas dapat
dilihat dengan menggunakan nilai P-Value. Tingkat kesalahan yang ditolerir adalah 10 persen (α = 0,10). Jika nilai P-Value lebih besar daripada nilai α maka peubah bebas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas. Namun, jika nilai P-Value lebih kecil daripada α maka peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak nyata. 2.
Pengujian Autokorelasi Autokorelasi terjadi jika error dari periode waktu (time series) yang berbeda
saling berkorelasi. Autokorelasi membuat estimasi standar eror dan varian
koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate, R2 akan besar dan uji-t dan uji-F menjadi tidak valid. Autokorelasi akan menyebabkan model menjadi tidak efisien tetapi masih tidak bias dan konsisten. Uji yang biasanya digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.
3.2.2.3. Identifikasi Model Menurut Koutsoyiannis (1977) agar dapat dilakukan pendugaan parameter, suatu persamaan di dalam model simultan harus teridentifikasi. Kondisi yang harus dipenuhi agar suatu model dapat diidentifikasi adalah : K-M ≥ G-1 dimana : K = Total variabel dalam model (variabel endogen dan variabel predeterminan ) M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan tertentu dalam model. G = Total persamaan (jumlah variabel endogen) Apabila K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly Identified); jika K-M lebih kecil dari G-1, maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (underidentified);sedangkan jika K-M lebih besar dari G-1 maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi berlebih (overidentified). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi exactly identified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi overidentified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Two Stage Least Square
(2SLS). Sedangkan jika persamaan simultan tidak teridentifikasi maka tidak dapat diduga. Model kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah dibangun dari 14 persamaan yang terdiri dari 9 persamaan struktural dan 5 persamaan identitas. Dalam identifikasi model secara keseluruhan perlu syarat bahwa model harus bersifat lengkap dan setiap persamaan dalam model harus teridentifikasi. Model persamaan simultan dikatakan lengkap apabila mengandung banyaknya persamaan bebas sekurang-kurangnya peubah endogen dalam sistem. Pada pengujian order di Tabel 3.1. terlihat bahwa 9 persamaan struktural dalam model telah over identified sehingga variabel-variabel di atas telah memenuhi syarat dalam model persamaan simultan dan dapat dilakukan pendugaan. Metode pendugaan yang paling tepat untuk persamaan simultan dalam penelitian ini adalah Two Stage Least Square (2SLS). Tabel 3.1. Pengujian Order Persamaan K-M
<, >, =
G-1
Identified
(1-1)
30 - 6
>
14 -1
Over identified
(1-2)
30 - 5
>
14 -1
Over identified
(2-1)
30 - 4
>
14 -1
Over identified
(2-2)
30 - 4
>
14 -1
Over identified
(2-3)
30 - 5
>
14 -1
Over identified
(3-1)
30 - 5
>
14 -1
Over identified
(3-2)
30 - 5
>
14 -1
Over identified
(4-1)
30 - 4
>
14 -1
Over identified
(4-2)
30 - 5
>
14 -1
Over identified
3.3. Definisi Operasional Variabel 3.3.1. Produk Domestik regional Bruto (PDRB) PDRB adalah jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB menurut harga konstan tahun 2000 non migas yang dinyatakan dalam rupiah 3.3.2. Tingkat Pengangguran terbuka Tingkat pengangguran terbuka adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada saat yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless) 3.3.3. Penduduk Miskin Penduduk miskin adalah penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2.100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan dasar non makanan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, Perekonomian, Pengangguran dan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah 4.1.1.
Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengelola keuangan daerah secara maksimal untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan daerah. Kebijakan fiskal pada masa desentralisasi fiskal diharapkan mampu menggerakkan perekonomian jika alokasi anggarannya tepat sasaran. Adanya kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola potensi keuangan daerah diharapkan mampu meningkatkan total penerimaan daerah sehingga pengeluaran daerah pun dapat meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan keuangan daerah. Tabel 4.1. Rasio Penerimaan Terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Tengah
Total Penerimaan (Milyar Rupiah) Total Pengeluaran (Milyar Rupiah)
2007
2008
2009
23.048
25.991
25.907
26490
28.387
98.11627
91.26361
22.555
Rasio Penerimaan terhadap
102.1858
Pengeluaran (%)
Sumber : BPS, 2007-2008 (Diolah).
Sejak
diberlakukannya
desentralisasi
fiskal
penerimaan
daerah
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, total penerimaan daerah daerah mencapai Rp. 23.048 milyar kemudian meningkat sebesar 11,3 persen menjadi Rp. 25.991 milyar pada tahun 2008 dan mengalami penurunan
sebesar 0,32 persen menjadi Rp.25.907 milyar. Total pengeluaran pada tahun 2007 Rp. 22.555 milyar dan tahun 2008 meningkat sebesar 14,8 persen menjadi Rp. 26.490 milyar dan meningkat kembali pada tahun 2009 sebesar 6,7 persen menjadi Rp. 28.387 milyar. Peningkatan pengeluaran pemerintah dalam tiga tahun terakhir ini ternyata lebih besar daripada persentase peningkatan penerimaan. Pengeluaran pemerintah daerah lebih cepat meningkat dibandingkan dengan penerimaan pemerintah daerah. Pengeluaran daerah cepat mengalami peningkatan karena peran pemerintah yang semakin besar kepada masyarakat. Semakin luasnya peran pemerintah diakibatkan karena adanya perkembangan teknologi di berbagai bidang, hubungan sosial masyarakat menjadi semakin berkembang dan luas. Pada Tabel 4.1. menunjukkan rasio total penerimaan terhadap pengeluaran pemerintah di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan dari tahun 2007 samapai 2009. Pada tahun 2007 rasio mencapai 102 persen, tahun 2008 menurun menjadi 98 persen dan hingga tahun 2009 menurun lagi menjadi 91 persen. Penurunan rasio penerimaan terhadap pengeluaran mengindikasikan bahwa kemampuan penerimaan daerah dalam memenuhi pengeluaran daerah semakin rendah sehingga rasio nya kecil. Menurut BPS dalam Hasugian, semakin besar
rasio
penerimaan
terhadap
pengeluaran
maka
semakin
efisien
pengeluarannya. Berarti penurunan rasio penerimaan terhadap pengeluaran pada tahun 2007 sampai tahun 2009 mengindikasikan bahwa pengeluaran pemerintah semakin tidak efisien.
4.1.1.1. Penerimaan Pemerintah Daerah Penerimaan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah. Menurut Ani S. (2010) sumber pendapatan utama yang dijadikan parameter untuk menentukan derajat desentralisasi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah pendapatan yang bersumber dari pengelolaan pemerintah daerah sendiri atau sering disebut Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pakar World Bank berpendapat bahwa batas PAD yang harus dimiliki oleh suatu daerah agar dikatakan mandiri dan merupakan batas minimum untuk menjalankan pemerintah daerah adalah sebesar 20%. Menurut Musgrave (1984) dalam Hermawan selain PAD derajat desentralisasi fiskal juga memperhitungkan rasio PAD ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap penerimaan daerah. Bagi hasil menjadi ukuran kemandirian daerah karena merupakan pungutan yang ditarik oleh pemerintah pusat kemudian dibagikan kembali kepada daerah sesuai dengan potensi daerah masing-masing yang telah diusahakan oleh pemerintah daerah. Dana bagi hasil terdiri dari dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh) serta bagi hasil sumber daya alam. Pembagian dana bagi hasil ditentukan oleh ketentuan UndangUndang Perimbangan Keuangan. Kinerja keuangan pemerintah dapat diketahui melalui berbagai ukuran antara lain rasio PAD terhadap penerimaan, rasio PAD dan bagi hasil terhadap penerimaan serta rasio DAU terhadap penerimaan. Ketiga ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur kinerja keuangan dan kemandirian daerah.
1.
Rasio PAD terhadap Total Penerimaan
Tabel 4.2. Realisasi Penerimaan Berdasarkan Komponen Penerimaan
PAD (Juta)
Non PAD (Juta)
Total
2007
2008
2009
2.099
2.354
2.316
(9,11%)
(9,06%)
(8,94%)
20.949
23.635
23.590
(90,89%)
(90,94%)
(91,06%)
23.048
25.989
25.906
Sumber : BPS, 2007-2009 (Diolah).
Penerimaan daerah Provinsi Jawa Tengah jika dibagi menurut jenis komponen penerimaan dapat dibagi menjadi dua yaitu PAD dan non PAD yang dapat dilihat di Tabel 4.2. Kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah dapat dikatakan masih kecil. Pada tahun 2007 kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah hanya sebesar 9,11 persen dan mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 9,06 persen dan terus menurun di tahun 2009 yaitu 8,94 persen. Peranan non PAD yang terdiri dari dana perimbangan dan pendapatan lain yang sah masih sangat besar dan mendominasi. Tujuan desentralisasi fiskal yang menginginkan kemandiran fiskal daerah menjadi sangat jauh dicapai karena justru pemerintah daerah masih sangat tergantung kepada pemerintah pusat dan bahkan dalam rentang waktu 2007 sampai 2009 kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah semakin menurun.Pada Gambar 4.1. memperlihatkan persentase penerimaan daerah yang masih sangat didominasi oleh jenis komponen non PAD. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola potensi keuangan daerahnya masih belum menunjukkan hasil yang maksimal walaupun sudah sembilan tahun sejak dimulainya desentralisasi fiskal.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
PAD Non PAD
2007
2008
2009
Sumber : BPS 2007-2009 (Diolah).
Gambar 4.1. Persentase Penerimaan Daerah Menurut Jenis Komponen Penerimaan, 2007-2009 Secara umum dapat disimpulkan bahwa PAD Jawa Tengah masih sangat kecil kontribusinya terhadap penerimaan daerah. Jika dilihat menurut kabupaten dan kota yaitu pada Tabel 4.3. maka ada daerah yang terus mengalami peningkatan kontribusi PAD tetapi lebih dominan daerah yang terus mengalami penurunan kontribusi PAD. Selama tiga tahun berturut-turut Kontribusi PAD terbesar ada di Kota Semarang walaupun cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sedangkan kontribusi PAD terkecil bergantian tiap tahunnya. Pada tahun 2007 Kabupaten Brebes hanya memiliki kontribusi PAD sebesar 4,33 persen terhadap penerimaan. Kabupaten Klaten memiliki kontribusi PAD terendah yaitu sebesar 5,07 persen tahun 2008. Walaupun kecenderungan wilayah kota memiliki kontribusi PAD yang lebih besar dibandingkan wilayah kabupaten tetapi Kota Pekalongan memiliki kontribusi yang paling kecil dibandingkan wilayah kota lain dan bahkan kontribusi PAD di wilayah kabupaten lebih tinggi dibandingkan dengan Kota
Pekalongan. Umumnya PAD daerah kota lebih besar dari pada daerah kabupaten. Hal ini wajar karena perekonomian daerah kota lebih berkembang dibandingkan wilayah kabupaten. Investasi yang ditanamkan di kota lebih banyak jika dibandingkan wilayah kabupaten sehingga mampu meningkatkan penerimaan pajak . Tabel 4.3.
Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (%)
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2007 7,00 9,90 7,73 6,04 6,90 6,41 4,92 8,10 6,47 4,75 6,46 6,06 7,89 7,13 6,36 5,04 10,00 7,40 7,96 8,11 5,01 9,89 6,64 8,44 5,30 6,79 6,83 8,31 4,33 9,21 14,59 10,44 20,77 6,12 17,61
Sumber : BPS Tahun 2007-2009 (Diolah).
2008 8,83 11,09 9,33 6,75 6,84 7,21 6,28 9,68 8,14 5,07 6,09 6,43 8,36 8,15 7,37 7,05 8,83 9,10 9,23 9,33 6,31 11,09 6,55 9,99 7,10 7,45 8,82 7,38 7,78 11,23 13,70 11,56 20,03 7,76 17,99
Provinsi
2009 9,22 10,20 9,88 7,24 7,08 6,66 7,38 8,38 7,67 6,79 6,50 7,38 8,90 7,66 6,01 7,00 9,70 8,23 8,68 9,41 6,13 12,10 6,91 8,51 6,37 7,35 7,54 8,13 6,74 13,16 13,81 11,20 18,94 5,98 16,71
2.
Rasio PAD dan Bagi Hasil terhadap Penerimaan Selain PAD, dana bagi hasil juga dapat menentukan kemandirian suatu
daerah. Bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam merupakan salah satu penerimaan daerah yang cukup penting. Di beberapa daerah yang kaya dengan sumber daya alam maka bagi hasil non pajak sangat berperan dalam penerimaan daerah sehingga akan memperkuat kemandirian daerah. Dana bagi hasil Provinsi Jawa Tengah masih sangat kecil karena
sumber daya alam strategis seperti
minyak bumi, pertambangan dan gas bumi hanya dimiliki oleh beberapa kabupaten seperti Cilacap dan Blora. Berikut adalah peran dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam terhadap penerimaan daerah. Tabel 4.4. Kontribusi PAD dan Dana Bagi Hasil terhadap Penerimaan Provinsi Jawa Tengah
PAD dan Dana Bagi Hasil (%)
2007
2008
2009
15.3
15.5
14.9
Sumber : BPS, 2007-2009 (Diolah).
PAD dan dana bagi hasil Provinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah yakni hanya 15,3 persen pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2009 menjadi sebesar 14,9 persen. Provinsi Jawa Tengah tidak terlalu kaya dengan migas sehingga dana bagi hasil pajak lebih besar dibandingkan dengan bagi hasil sumber daya alam. Pada tahun 2009,
Kota Semarang merupakan daerah dengan
kontribusi PAD dan bagi hasil tertinggi yaitu sebesar 33,23 persen sedangkan Kabupaten Sragen merupakan daerah dengan kontribusi PAD dan dana bagi hasil terendah yaitu sebesar 10,78 persen. Wilayah kota rata-rata memiliki jumlah PAD dan bagi hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah kabupaten.
Tabel 4.5. Rasio PAD dan Dana Bagi Hasil terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah (%) Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2007 11.23 14.19 11.48 9.34 9.12 9.87 8.18 11.87 8.84 7.05 10.49 8.59 10.96 9.26 6.86 14.90 15.04 10.85 17.00 12.12 7.96 13.66 8.94 12.92 8.62 11.04 10.37 12.69 8.76 12.70 21.96 14.36 32.21 9.86 22.82
2008 16.74 17.10 14.75 12.59 11.13 12.28 11.73 14.79 12.61 9.59 11.75 10.75 13.20 12.24 14.01 18.39 15.10 14.20 19.96 15.79 11.30 17.13 11.47 14.80 13.06 13.26 14.54 12.46 13.26 16.13 21.88 16.85 37.21 14.44 24.13
2009 16.05 15.19 15.30 11.39 10.87 11.50 13.10 13.01 11.55 11.59 11.72 11.81 12.95 10.78 12.14 19.72 15.72 12.92 19.25 15.20 11.56 16.92 10.31 13.78 10.89 12.13 12.02 13.31 11.61 18.30 21.35 17.19 33.23 13.44 22.60
Sumber : BPS, 2007-2009 (Diolah).
3.
Rasio DAU terhadap Penerimaan Total Dana Alokasi Umum (DAU) memberikan kontribusi terbesar bagi
kabupaten dan kota mengingat rendahnya kontribusi PAD terhadap penerimaan di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2007, DAU mencapai 71,5 persen kemudian mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 68,5 persen dan naik kembali
pada tahun 2009 menjadi 70,2 persen. Hal ini menunjukkan pentingnya peran DAU dalam penerimaan daerah dan mencukupi ketersediaan fiskal daerah dalam rangka penyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Tabel 4.6. Rasio DAU terhadap Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2007 74.29 77.80 73.46 74.87 79.61 75.73 75.06 73.56 79.25 80.94 79.31 78.90 74.38 72.36 82.06 73.42 70.90 74.50 63.71 69.38 73.42 70.67 73.89 73.09 75.02 75.27 80.38 78.79 83.54 75.68 63.30 72.98 52.58 75.27 74.29
2008 66.44 72.47 67.04 70.92 71.96 72.71 70.40 70.10 74.44 76.23 72.55 71.18 65.62 68.55 75.66 67.20 68.78 68.05 59.45 67.00 69.57 65.65 73.04 68.42 69.25 69.13 76.35 75.41 77.48 71.07 56.03 57.68 47.46 68.11 66.44
2009 71.56 73.94 66.28 73.63 73.94 73.90 70.76 71.85 71.63 74.62 73.45 74.38 71.98 73.61 78.87 68.25 69.58 72.36 57.37 67.55 71.60 68.24 74.33 69.67 72.60 72.59 81.18 75.70 74.21 68.44 56.35 67.98 50.20 70.34 71.56
Sumber : BPS, 2007-2009 (Diolah).
Kabupaten Pemalang merupakan daerah yang menerima DAU terbesar pada tahun 2009 yaitu mencapai 81,18 persen dari total penerimaan daerah. Dapat
dikatakan bahwa Kabupaten Pemalang memiliki ketergantungan paling tinggi kepada pemerintah pusat. Sedangkan daerah penerima DAU terkecil pada tahun 2009 adalah Kota Semarang yaitu sebesar 50,2 persen sehingga Kota Semarang memiliki ketergantungan paling kecil kepada pemerintah pusat. 4.1.1.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah Pengeluaran pemerintah pada masa desentralisasi fiskal cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut jenis belanja pemerintah, belanja pegawai mendominasi belanja pemerintah pada tahun 2007 yaitu Rp. 11.904 milyar atau sebesar 52,8 persen. Dominasi belanja pegawai semakin kuat pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp. 14.931 milyar atau 56,4 persen dan mengalami peningkatan kembali menjadi Rp. 17.257 milyar atau 60,8 persen. Belanja barang dan jasa, belanja modal dan belanja lainnya mengalami terus penurunan dari tahun 2007 sampai 2009. Tabel 4.7. Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Jenis Belanja Jenis Belanja
2007
2008
2009
(Milyar Rp)
%
(Milyar Rp)
%
(Milyar Rp)
%
Belanja Pegawai
11904
52,8
14931
56,4
17257
60,8
Belanja Barang dan jasa
3399
15,1
3858
14,6
3845
13,5
Belanja modal
4829
21,4
5045
19,0
4537
16,0
Belanja lainnya
2423
10,7
2656
10,0
2748
9,7
Total Belanja
22555
100
26490
100
28387
100
Sumber : BPS, 2007-2009 (Diolah).
Walaupun belanja pegawai mendominasi pengeluaran pemerintah tetapi jika dibagi menurut fungsi, justru belanja daerah yang digunakan untuk melakukan fungsi pendidikan mendominasi setiap tahunnya. Pada Tabel 4.8. dapat dilihat bahwa pendidikan mendominasi pengeluaran pemerintah Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, belanja pendidikan mencapai
Rp. 9.063 milyar atau sebesar 39,3 persen, tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi Rp. 10.536 milyar atau 40,5 persen dan terus meningkat di tahun 2009 menjadi Rp. 11.566 milyar atau sebesar 44,6 persen. Pelayanan umum menempati urutan kedua dalam belanja fungsi tetapi memiliki kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 sebesar Rp. 6.580 milyar atau 28,5 persen dan tahun 2009 turun menjadi Rp. 6.658 milyar atau 25,7 persen. Belanja fungsi ekonomi menempati urutan ketiga kemudian berturut-turut fungsi kesehatan, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, pariwisata dan kebudayaan dan terakhir perlindungan sosial. Tabel 4.8. Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Menurut Fungsi
Fungsi
2007 (milyar Rp)
%
2008 (milyar Rp) %
2009 (milyar Rp) %
Pendidikan
9063
39,3
10537
40,5
11566
44,6
Pelayanan Umum
6580
28,5
7266
28,0
6658
25,7
Ekonomi
4184
18,2
4488
17,3
3830
14,8
Kesehatan
2351
10,2
2649
10,2
2772
10,7
Lingkungan Hidup
423
1,8
433
1,7
356
1,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
208
0,9
298
1,1
315
1,2
Pariwisata dan Kebudayaan
157
0,7
216
0,8
206
0,8
Perlindungan Sosial
83
0,4
104
0,4
203
0,8
23048
100
25991
100
25908
100
Total Pengeluaran
Sumber : Pemprov Jawa Tengah, Tahun 2007-2009 (Diolah).
Analisis data pada Tabel 4.9. (data terlampir lengkap) menunjukkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah sangat memprioritaskan pendidikan. Pemerintah daerah berusaha untuk mengalokasikan belanja sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Rata-rata seluruh kabupaten dan kota di Jawa Tengah mengalokasikan belanja fungsi terbesar untuk pendidikan. Kabupaten yang memiliki belanja fungsi pendidikan terbesar adalah Kabupaten Klaten yaitu
sebesar 59 persen pada tahun 2009. Kabupaten Pekalongan mengalokasikan 34,5 persen belanja untuk fungsi pelayanan masyarakat dan hampir sama dengan fungsi pendidikan. Pengalokasian
setiap
daerah
akan
berbeda-beda
karena
prioritas
pemerintah daerah juga berbeda-beda diesuaikan dengan kondisi daerahnya. Secara umum pemerintah daerah sangat memprioritaskan pendidikan karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang serta mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang untuk menghadapi tantangan dan persaingan di masa depan yang lebih besar. Tabel 4.9. Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap
Kab.Banyumas
Belanja Fungsi
2007 (Juta Rp) %
2008 (Juta Rp) %
2009 (Juta Rp) %
Pendidikan
397004
38.8
485092
41.7
455888
41.7
Pelayanan Umum
324234
31.7
359020
30.9
352556
32.3
Ekonomi
190473
18.6
190482
16.4
130244
11.9
Kesehatan
83557
8.2
94479
8.1
97064
8.9
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
12056
1.2
12597
1.1
25795
2.4
5642
0.6
6274
0.5
12981
1.2
Pariwisata dan Kebudayaan
2776
0.27
4335
0.37
3801
0.35
Perlindungan Sosial
8680
0.8
11260
1.0
14631
1.3
Pendidikan
373129
42.9
302731
31.2
435985
43.9
Pelayanan Umum
249578
28.7
373239
38.5
219096
22.0
Ekonomi
122563
14.1
149636
15.4
179641
18.1
Kesehatan
101252
11.6
105440
10.9
97654
9.8
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
11372
1.3
14034
1.4
14584
1.5
3290
0.4
14417
1.5
9649
1.0
Pariwisata dan Kebudayaan
8202
0.94
9418
0.97
25322
2.55
0
0.0
0
0.0
12316
1.2
Perlindungan Sosial
Sumber : Pemprov Jawa Tengah, Tahun 2007-2009 (Diolah).
4.1.2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Desentralisasi fiskal memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Kewenangan pemerintah daerah dalam mengurus daerahnya diduga mampu mendongkrak perekonomian daerah. Hampir semua kabupaten dan kota terus mengalami kenaikan PDRB dari tahun ke tahun. Tabel 4.10. Perkembangan PDRB Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah (Miliar) Kabupaten/kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2003 9.179 3.347 1.785 2.111 2.264 2.125 1.487 2.982 3.211 3.791 3.629 2.238 3.746 2.105 2.373 1.554 1.686 3.332 9.382 3.147 2.301 4.283 1.845 4.062 1.880 2.396 2.557 2.548 3.956 812 3.468 665 14.793 1.575 903
Sumber : BPS, 2003-2009.
2004 9.631 3.487 1.845 2.191 2.291 2.214 1.522 3.103 3.321 3.976 3.786 2.329 3.970 2.208 2.463 1.613 1.763 3.473 10.199 3.273 2.379 4.346 1.918 4.168 1.919 2.501 2.655 2.683 4.148 842 3.669 693 15.403 1.639 956
2005 10.145 3.598 1.922 2.278 2.364 2.322 1.570 3.246 3.456 4.158 3.942 2.430 4.188 2.322 2.579 1.678 1.826 3.610 10.647 3.411 2.471 4.481 1.994 4.277 1.973 2.601 2.762 2.809 4.346 878 3.858 722 16.194 1.701 1.003
2006 10.624 3.760 2.019 2.377 2.461 2.443 1.621 3.405 3.601 4.254 4.120 2.529 4.401 2.443 2.682 1.743 1.927 3.770 10.912 3.554 2.571 4.652 2.060 4.434 2.022 2.710 2.865 2.955 4.551 900 4.068 752 17.119 1.753 1.054
2007 11.141 3.969 2.144 2.496 2.572 2.592 1.679 3.583 3.748 4.395 4.331 2.657 4.654 2.582 2.800 1.812 2.000 3.966 11.243 3.723 2.677 4.871 2.143 4.625 2.093 2.835 2.993 3.120 4.769 946 4.304 793 18.143 1.820 1.109
2008 11.689 4.173 2.257 2.620 2.716 2.737 1.741 3.761 3.899 4.567 4.541 2.770 4.921 2.729 2.949 1.914 2.093 4.162 11.659 3.890 2.788 5.079 2.219 4.807 2.170 2.970 3.143 3.286 4.999 994 4.549 832 19.157 1.888 1.167
2009 12.303 4.401 2.384 2.754 2.828 2.873 1.808 3.939 4.101 4.761 4.757 2.902 5.077 2.893 3.097 2.011 2.187 4.357 12.126 4.085 2.901 5.301 2.310 5.020 2.251 3.098 3.293 3.467 5.248 1.045 4.818 869 20.058 1.967 1.225
Terus meningkatnya PDRB yang dicapai oleh semua kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah diduga karena pemerintah daerah mampu mengelola potensi ekonomi dan keuangan daerah
masing-masing. Desentralisasi fiskal
memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengelola kebijkan fiskal masingmasing daerah dan mampu melihat sektor-sektor yang dominan di masing-masing daerah sehingga mampu dikembangkan dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Pertumbuhan ekonomi ini diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat daerah dan pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan di Jawa Tengah. Tabel 4.11. Distribusi Persentase PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi Jawa Tengah (%) No.
Lapangan Usaha
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1.
Pertanian
19,67
20,92
20,92
20,57
20,03
19,96
2.
Pertambangan dan galian
0,97
0,98
1,02
1,11
1,12
1,10
3.
Industri Pengolahan
32,60
32,40
32,23
31,98
31,97
31,68
4.
Listrik, gas, air bersih
1,17
0,78
0,82
0,83
0,84
0,84
5.
Bangunan
5,17
5,49
5,57
5,61
5,69
5,75
6.
Perdagangan,
20,75
20,87
21,01
21,11
21,30
21,23
hotel
dan
restoran 7.
Pengangkutan dan komunikasi
5,76
4,79
4,89
4,95
5,06
5,16
8.
Keuangan
3,75
3,55
3,54
3,58
3,62
3,71
9.
Jasa
10,16
10,06
10,01
10,25
10,36
10,57
Sumber : BPS, 2003-2008.
Berdasarkan lapangan usaha, sektor industri
pengolahan memberikan
sumbangan terbesar terhadap pembentukan PDRB, disusul oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (Tabel 4.11.). Ketiga sektor ini merupakan sektor-sektor unggulan yang mendominasi pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Tengah selama enam tahun terakhir.
4.1.3. Analisis Ketenagakerjaan Penduduk Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 berjumlah 32,9 juta jiwa dengan 8.451.150 rumah tangga dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahun. Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur. Penduduk Provinsi Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah. Pada umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan dibandingkan kabupaten. Menurut pendidikan, hampir 50 persen penduduk hanya menamatkan pendidikan sampai tingkat sekolah dasar. Tingkat pengangguran terbuka di Jawa Tengah memiliki tren yang fluktuatif dari sejak dimulainya desentralisasi fiskal pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2009. Tabel 4.12. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah (%) 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
3,70
5,94
9,29
6,54
5,89
7,30
7,70
7,35
7,33
Sumber : BPS, 2001-2009.
Pengangguran terbuka merupakan rasio antara jumlah pencari kerja dan jumlah angkatan kerja, pada Tabel di atas terlihat bahwa pada awal desentralisasi fiskal tingkat pengangguran terbuka masih relatif kecil yaitu sebesar 3,70 persen dan pada tahun 2003 mencapai 9,29 persen. Pada tahun 2005 mengalami penurunan dan meningkat lagi tahun 2006 setelah itu menunjukkan tren yang terus menurun. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2009 tertinggi ada di Kota Magelang yaitu sebesar 15 persen sedangkan terendah ada di Kabupaten Pekalongan. Jumlah pengangguran di Jawa Tengah juga fluktuatif, sama seperti tingkat pengangguran terbuka.
Walaupun tingkat pengangguran terbuka semakin kecil sejak tahun 2007, tetapi jumlah pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Tahun 2007 merupakan jumlah tertinggi pengangguran di Jawa Tengah yakni mencapai 1,36 juta orang. Kenaikan ini kemungkinan karena imbas kenaikan harga bahan minyak pada tahun 2005 yang mengakibatkan bertambahnya beban biaya di segala sektor lapangan uasaha. Bertambahnya beban biaya menimbulkan dampak menurunnya produksi sehingga jumlah tenaga kerja pun harus dikurangi.
Pengangguran juga dipengaruhi oleh
bertambahnya jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah tiap tahunnya. Pada tahun 2008, pengangguran menurun dan meningkat kembali pada tahun 2009 (Gambar 4.2.).
Pengangguran 2,000,000 1,500,000 1,000,000 Pengangguran
500,000
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Sumber : BPS, 2000-2009.
Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Pengangguran di Provinsi Jawa Tengah Penduduk yang tergolong angkatan dan bekerja dominan bekerja di sektor sektor primer yaitu pertanian dan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan dan lainnya. Berdasarkan lapangan usaha, pada tahun 2007 penduduk yang bekerja di sektor pertanian berkisar sekitar 37,7 persen dan mengalami penurunan
pada tahun 2008 menjadi 36,6 persen dan meningkat kembali pada tahun 2009 menjadi 37 persen dan turun lagi pada agustus 2010 menjadi 35,53 persen. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang fluktuatif dan memiliki kecenderungan turun lebih besar kemungkinan disebabkan karena adanya penurunan lahan pertanian dan pengaruh musim yang tidak menentu. Lapangan usaha pertanian menyumbang pembentukan PDRB ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan (Gambar 4.3.). Walaupun demikian pertanian
masih mendominasi penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah.
Lapangan usaha perdagangan sebagai sektor penyerap tenaga kerja ternyak kedua di Jawa Tengah memiliki ciri-ciri informalitas sehingga menyebabkan orang dapat dengan mudah masuk dan keluar di sektor ini tanpa ada hambatan. Lapangan usaha industri pengolahan merupakan sektor menyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Tengah, tetapi menjadi sektor ketiga yang mampu menyerap tenaga kerja. Industri pengolahan tidak hanya mencakup pabrik-pabrik tetapi juga kerajinan rumah tangga (BPS,2009).
Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Keuangan Komunikasi
Jasa Pertanian
Perdagangan
Konstruksi
Pertambangan dan Galian Listrik, gas dan Industri air bersih
Sumber : BPS, 2009.
Gambar 4.3. Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Usaha, 2009 (%)
4.1.4. Analisis Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah merupakan jumlah tertinggi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki jumlah penduduk terbanyak pertama dan kedua di Indonesia, tetapi jumlah penduduk miskinnya berada di bawah Provinsi Jawa Tengah. Banyaknya penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan (GK). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan biasanya ditentukan dari besarnya uang yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kecukupan pangan dan non pangan agar dapat hidup layak. Garis kemiskinan terus meningkat dari tahun 2005 sebesar Rp.130.013,- menjadi Rp.201.651,- pada tahun 2009. Garis kemiskinan sendiri adalah jumlah minimal pendapatan yang harus dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan (GKM) jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan garis kemiskinan non makanan (GKBM). Pada tahun 2007, pengeluaran masyarakat miskin terhadap komoditi makanan lebih besar dibandingkan pengeluaran komoditi bukan makanan (perumahan, pendidikan, kesehatan, sandang) yaitu sebesar 75,17 persen. Hal inilah yang menyebabkan penduduk miskin sulit keluar dari garis kemiskinan karena kebutuhan utama yang mampu meningkatkan pendapatan mereka tidak dipenuhi yakni pendidikan dan kesehatan. Masyarakat miskin lebih memilih menghabiskan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka dibandingkan memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Pada Gambar 4.4. terlihat perkembangan kemiskinan pada tahun 2006 terjadi peningkatan persentase penduduk miskin di Jawa Tengah. Hal ini diakibatkan karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 September 2005 yang memacu kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya. Pada tahun 2006 persentase kemiskinan menunjukkan tren yang menurun hingga tahun 2009 menjadi 17,48 persen.
Kemiskinan 25% 20% 15% 10% 5% 0% 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Kemiskinan
Sumber : BPS, 2003-2009
Gambar 4.4. Perkembangan Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Jika dilihat pada Tabel 4.13. pada tahun 2009 Kota Semarang memiliki persentase penduduk miskin terkecil yaitu sebesar 4,84 persen sedangkan persentase penduduk miskin tertinggi sebesar 25,91 persen di Kabupaten Wonosobo.
Kemiskinan
di
wilayah
kabupaten
cenderung
lebih
besar
dibandingkan wilayah kota. Hal ini wajar terjadi karena aktivitas ekonomi yang lebih banyak di perkotaan. Akses terhadap pelayanan publik masyarakat kota pun lebih besar terutama di Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kemiskinan di wilayah kabupaten rata-rata berada di atas 10 persen bahkan ada
yang berada di atas 20 persen. Hal ini tentu saja harus dilakukan langkah-langkah penanganan pengurangan kemiskinan yang tepat agar kesenjangan antar daerah mampu dikurangi. Walaupun kecenderungan kemiskinan di Jawa Tengah mengalami penurunan, tetapi Provinsi lain di Pulau Jawa juga mampu mengurangi kemiskinan sehingga Jawa Tengah masih menjadi provinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di Pulau Jawa. Tabel 4.13. Perkembangan Persentase Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (%) Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2003 20,9 21,5 31,27 26,88 31 24,79 32,96 17,45 18,48 23,84 15,17 24,09 17,45 27,01 29,19 23,38 32,06 20,66 12,34 10,11 24,43 14,04 15,69 22,84 20,68 23,66 24,02 21,42 31,18 14,8 15 11,59 6,61 7,64 9,53
Sumber : BPS, 2003-2009
2004 20,9 21,47 31,2 26,91 30,95 23,51 33,15 16,1 18,47 23,38 14,38 24,43 16,14 26,06 29,3 22,97 32 20,67 11,44 9,88 24,94 13,68 15,22 20,87 19,01 21,5 22,31 20,53 29,1 14,01 13,72 9,68 5,6 6,81 9,49
2005 22,25 22,02 29,95 27,35 29,83 22,77 31,68 15,42 17,75 22,48 13,67 25,21 16,14 24,28 28 21,73 30,72 19,82 10,93 10,39 23,6 13,16 14,5 20,06 18,15 20,47 22,59 19,6 27,79 12,94 13,34 8,81 4,22 6,37 8,96
2006 24,93 24,44 32,38 29,4 32,49 22,75 34,43 17,36 20 22,99 15,63 27,01 18,69 23,72 27,6 23,95 33,2 22,14 12,05 11,75 26,03 13,62 16,62 21,59 19,99 22,8 25,3 20,71 30,36 11,19 15,21 8,9 5,33 7,38 10,4
2007 22,59 22,46 30,24 27,18 30,25 20,49 32,29 17,37 18,06 22,27 14,02 24,44 17,39 21,24 25,14 21,46 30,71 19,79 10,73 10,44 23,5 12,34 16,55 20,7 20,79 20,31 22,79 18,5 27,93 10,01 13,64 9,01 5,26 6,62 9,36
2008 21,4 22,93 27,12 23,34 27,87 18,22 27,72 16,49 17,08 21,72 12,13 20,71 15,68 20,83 19,84 18,79 27,21 17,9 12,58 11,05 21,24 11,37 16,39 17,87 18,08 19,52 23,92 15,78 25,98 11,16 16,13 8,47 6 10,29 11,28
2009 19,88 21,52 24,97 21,36 25,73 17,02 25,91 15,19 15,96 19,68 11,51 19,08 14,73 19,7 18,68 17,7 25,86 15,92 10,8 9,6 19,7 10,66 15,05 16,02 16,61 17,93 22,17 13,98 24,39 10,11 14,99 7,82 4,84 8,56 9,88
4.2.
Hasil Estimasi Model Ekonometrika Keragaan umum hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dalam
empat blok secara umum menunjukkan hasil yang baik. Parameter estimasi sebagian besar telah sesuai dengan yang diharapkan dan sesuai dengan teori walaupun ada beberapa yang tidak sesuai dengan dugaan awal. Evaluasi hasil estimasi berdasarkan kriteria statistika yaitu semua persamaan memiliki R2 lebih dari 0,50, DW berkisar antara 0,6 – 1,5 sehingga tidak ada autokorelasi dan secara umum peubah penjelas signifikan pada taraf nyata α ≤ 10%. Secara umum variabel bebas yang dimasukkan dalam persamaaan mampu menjelaskan keragaman setiap variabel tak bebasnya. Secara keseluruhan hasil estimasi model cukup representatif menggambarkan fenomena kebijakan fiskal pada masa otonomi daerah di Provinsi Jawa Tengah.
4.2.1. Keragaan Penerimaan Daerah Keragaan blok penerimaan daerah ditunjukkan oleh Pajak Daerah (PD) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Kedua variabel tersebut digunakan untuk mewakili penerimaan daerah di Provinsi Jawa Tengah. 4.2.1.1. Pajak Daerah Total pengeluaran pemerintah (TEXP), investasi (INV) dan jumlah hotel (HTL) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pajak daerah (PD). Kemiskinan (KMS) berpengaruh nyata dan berhubungan negatif terhadap pajak daerah. Dummy kabupaten dan kota memiliki parameter estimasi bertanda positif dan signifikan yang berarti pungutan pajak daerah di daerah kota jumlahnya lebih banyak dibandingkan pungutan pajak kabupaten.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin besar
total pengeluaran
pemerintah (TEXP) akan berpengaruh terhadap pajak artinya pengeluaran pemerintah yang semakin besar membuat pemerintah daerah berusaha menjaga ketersediaan fiskal melalui peningkatan pajak agar mampu memenuhi peningkatan pengeluaran pemerintah. Investasi (INV) berpengaruh positif terhadap pajak daerah, semakin besar investasi di suatu daerah maka semakin besar penerimaan pajak. Investasi dalam negeri maupun luar negeri oleh perseorangan maupun badan hukum harus membayar biaya kompensasi karena melakukan suatu kegiatan di suatu daerah dalam wilayah negara kesatuan kepada pemerintah daerah yaitu berupa pajak. Jumlah hotel (HTL) di suatu daerah juga berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Semakin banyak hotel yang ada di kabupaten dan kota maka penerimaan pajak akan meningkat karena pajak hotel merupakan pajak yang menjadi hak milik pemerintah daerah sehingga menjadi sumber penerimaan daerah yang cukup penting. Demikian pula dengan jumlah penduduk miskin di suatu daerah akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah. Parameter estimasi bertanda negatif artinya semakin banyak penduduk miskin di suatu daerah akan menurunkan penerimaan pajak. Dalam hal ini penduduk miskin tidak memiliki cukup pendapatan dalam mengeluarkan uang untuk membayar pajak serta tidak terhitung sebagai objek pajak. Pajak daerah menjadi salah satu sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang penting dalam masa desentralisasi fiskal untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah daerah.
4.2.1.2. Dana Alokasi Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Persentase penduduk miskin (KMS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU). Dummy kabupaten dan kota juga tidak signifikan terhadap DAU, artinya DAU yang diterima oleh kabupaten maupun kota tidak memiliki perbedaan yang signifikan. PDRB merupakan ukuran peningkatan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin tinggi perekonomian daerah maka kebutuhan fiskal pun akan meningkat sehingga diperlukan ketersediaan fiskal yang cukup melalui peningkatan DAU. Kinerja ekonomi yang semakin baik di suatu daerah akan meningkatkan pengeluaran pemerintah terutama pengeluaran pelayanan publik. Semakin besar pengeluaran publik maka pelayanan kepada masyarakat juga akan terus meningkat. Akan tetapi ketika suatu daerah memiliki kemandirian fiskal yang kuat maka DAU yang diterima seharusnya menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah yang belum cukup memiliki kemandirian fiskal. Meningkatnya PAD akan meningkatkan jumlah DAU bagi daerah. PAD merupakan salah satu indikator kemandirian daerah, semakin besar PAD maka ketersediaan fiskal menjadi semakin kuat. Seharusnya ketika suatu daerah memiliki kemandirian fiskal maka DAU yang diterima pun semakin sedikit. Pengaruh positif PAD terhadap DAU dalam persamaan ini disebabkan walaupun PAD suatu daerah semakin bertambah, tetapi daerah tersebut belum memiliki kemandirian fiskal yang kuat karena kontribusi PAD terhadap total penerimaan masih kecil sehingga masih memerlukan DAU yang cukup besar. PAD menjadi
ukuran peran pemerintah daerah dalam menggali potensi daerah masing-masing. Selama hampir 10 tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah masih belum dapat menjadikan PAD sebagai sumber penyumbang penerimaan daerah yang dominan. Kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah hanya berkisar 8,9 persen sampai 9,1 persen tiap tahunnya sedangkan sisanya masih mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat. Dalam pembagian DAU, pemerintah pusat tidak hanya ingin mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah, tetapi juga memperhatikan asas keadilan. Walaupun diharapkan dalam jangka panjang DAU akan semakin berkurang seiring dengan kemandirian fiskal, tetapi akan menjadi sulit ketika asas keadilan ini diterapkan. Pada kenyataannya, daerah yang memiliki PAD besar akan mendapatkan transfer lebih besar dari pemerintah pusat karena sumbangan dari hasil PAD secara tidak langsung terhadap perekonomian nasional. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari DAU, pemerintah daerah menginginkan kompensasi dari peningkatan kinerja daerahnya melalui transfer dana dari pusat. Di sisi lain, DAU sebenarnya beresiko menimbulkan ketergantungan pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah kurang mengoptimalkan peningkatan pendapatan asli daerah dari pajak dan retribusi sehingga formulasi DAU harus benar-benar sesuai dengan kondisi daerah yang akan menerima dana alokasi umum. Jumlah penduduk miskin juga memengaruhi jumlah DAU yang diterima daerah. Semakin besar penduduk miskin di suatu daerah maka jumlah DAU yang diterima semakin besar. Hal ini mengindikasikan bahwa DAU yang diterima dialokasikan untuk mengurangi jumlah orang miskin dengan berbagai
program-program daerah yang mampu membantu masyarakat di bawah garis kemiskinan sehingga tetap mampu bertahan hidup bahkan meningkatkan kesejahteraannya sehingga pada suatu saat dapat keluar dari garis kemiskinan. Penduduk miskin memiliki daya beli yang rendah sehingga menjadi tugas utama pemerintah daerah terutama pada masa desentralisasi fiskal untuk mengalokasikan anggaran yang berpihak pada rakyat terutama rakyat miskin. Bantuan sosial dan subsidi biasanya menjadi kebijakan yang melindungi rakyat miskin. Variabel dummy kabupaten dan kota tidak signifikan terhadap DAU, yang artinya alokasi DAU kabupaten maupun kota tidak ada perbedaan. Pembagian DAU tidak dipengaruhi oleh kabupaten/kota, tetapi tergantung keadaan daerah masing-masing, baik itu jumlah penduduk, kinerja perekonomian, luas wilayah, angkatan kerja dan hal lain yang menjadi pertimbangan lain. Pada Tabel 4.14. tertera hasil regresi dari model-model persamaan pada blok penerimaan daerah. 4.2.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Total Penerimaan Daerah (TPD) Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah yang diupayakan oleh pemerintah daerah dalam berbagai cara pengumpulan dana untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah daerah yang terdiri dari Pajak Daerah (PD), Retribusi Daerah (RED), Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan (HPMD) serta PAD lain yang sah (OLGOR) Total Penerimaan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DAPER) yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi Hasil Pajak (TS), Bagi Hasil Bukan
Pajak/Sumber Daya Alam (NTS). Penerimaan daerah lainnya berasal dari pendapatan lain yang sah (OTHREC). Tabel 4.14. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pajak Daerah dan Dana Alokasi Umum Model
Variabel
Parameter Estimasi
Pr > t
Kepatutan Statistik
Pajak
Total Pengeluaran
0,857128
0,0001
Daerah
Pemerintah (TEXP)
(PD)
Jumlah Hotel (HTL)
0,135216
0,0018
Investasi (INV)
0,012615
0,0069
Kemiskinan (KMS)
-0,34831
0,0178
Dummy
1,341678
0,0001
0,052948
0,0001
R2 = 0,7085 DW = 1,266323
Kabupaten/Kota (DKK) Dana
Produk Domestik
Alokasi
Regional Bruto
Umum
(PDRB)
(DAU)
Pendapatan Asli
R2 = 0,89858 DW = 1,053509
0,062967
0,0001
0,239255
0,0001
0,064232
0,3342
Daerah (PAD) Kemiskinan (KMS) Dummy Kabupaten/Kota (DKK)
4.2.2. Keragaan Pengeluaran Daerah Blok pengeluaran daerah ditunjukkan oleh pengeluaran fungsional pemerintah sektor pertanian (PPSPER), pengeluaran fungsional pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan (PPSPK), dan pengeluaran fungsional pemerintah sektor lainnya (PPSL). Pada Tabel 4.15. dapat dilihat sstimasi model pengeluaran sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta lainnya.
Tabel 4.15. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Sektor Pertanian, Pendidikan dan Kesehatan serta Lainnya Model
Variabel
Parameter
Prob > t
Kepatutan
Estimasi Pengeluaran
Pendapatan Asli
sektor
Daerah (PAD)
pertanian
Dana Alokasi Umum
(PPSPER)
(DAU) Dummy
-0,02387
Statistik 0,4817
2
R = 0,71059 DW = 1,563156
0,635000
0,0099
-0,73713
0,0001
0,022493
0,1191
Kabupaten/Kota (DKK) Pengeluaran
Pendapatan Asli
sektor
Daerah (PAD)
pendidikan
Dana Alokasi Umum
dan
(DAU)
kesehatan
Dummy
(PPSPK)
Kabupaten/Kota (DKK)
Pengeluaran
Pendapatan Asli
sektor
Daerah (PAD)
lainnya
Dana Perimbangan
(PPDL)
(DAPER) Dummy
R2 = 0,90008 DW = 1,411913
0,959572
0,0001
-0,13132
0,0367
0,151773
0,0001
R2 = 0,64972 DW = 1,301528
0,009813
0,2093
-0,24347
0,0001
Kabupaten/Kota (DKK)
4.2.2.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian (PPSPER) DAU memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran pemerintah sektor pertanian (PPSPER), dummy kabupaten/kota memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran sektor pertanian. Hal ini berarti pengeluaran sektor pertanian di kabupaten lebih besar dari kota. pendapatan asli daerah tidak signifikan terhadap pengeluaran sektor pertanian. Sedangkan PAD tidak signifikan terhadap pengeluaran sektor pertanian.
Tidak signifikannya PAD terhadap PPSPER menandakan bahwa tidak ada pengaruh antara PAD dengan PPSPER. Hal ini tidak sesuai dengan dugaan parameter yang diharapkan. Sektor pertanian merupakan sektor penyerap lapangan pekerjaan terbesar di Provinsi Jawa tengah sehingga setiap terjadi peningkatan pendapatan asli daerah diduga alokasi pengeluaran sektor pertanian pun akan meningkat. Tidak adanya pengaruh antara PAD dengan PPSPER mungkin disebabkan karena pemerintah daerah memprioritaskan alokasi PAD untuk sektor lain berbeda tiap tahunnya sehingga pengeluaran sektor pertanian tidak konsisten mengalami kenaikan tiap tahunnya bahkan cenderung turun atau fluktuatif. Selain itu kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah masih sangat kecil yaitu sekitar 8,94 – 9,1 persen sehingga PAD dialokasikan untuk urusan pemerintah yang bersifat wajib. DAU memiliki pengaruh nyata dan positif terhadap pengeluaran sektor pertanian. Meningkatnya DAU akan meningkatkan pengeluaran sektor pertanian, hal ini mengindikasikan salah satu sumber pembiayaan sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah berasal dari DAU yang merupakan prioritas pembangunan daerah masing-masing dalam batas-batas arahan pemerintah pusat. Dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal pemerintah daerah memiliki wewenang
mengalokasikan
anggaran
DAU
untuk
sektor
pertanian
agar
dapat
memaksimalkan potensi daerah masing-masing Variabel dummy kabupaten dan kota memiliki parameter estimasi yang negatif dan signifikan. Pengeluaran pemerintah sektor pertanian di kabupaten lebih besar daripada kota. Daerah kabupaten di Jawa Tengah sebagian besar masih
memiliki lahan untuk bertani dan mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani. Pertanian masih menjadi sektor utama di kabupaten sehingga alokasi pengeluarannya akan lebih besar. Daerah perkotaan memilik lahan pertanian yang sempit karena lahan dibuka untuk industri, pusat perbelanjaan, perumahan dll sehingga kegiatan bertani di daerah perkotaan sangat sedikit. 4.2.2.2. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan (PPSPK) DAU berpengaruh nyata terhadap pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan. Sedangkan PAD tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan. Dummy kabupaten dan kota juga tidak memiliki pengaruh . Meningkatkannya DAU akan diikuti dengan meningkatnya pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih mengandalkan DAU untuk membiayai sektor pendidikan dan kesehatan karena sektor pendidikan dan kesehatan rata-rata mendominasi pengeluaran pemerintah daerah sebesar 40 persen tiap tahunnya dan dengan jumlah PAD yang masih sangat kecil tidak mungkin mampu membiayai seluruh pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan. Sumberdaya manusia yang berkualitas adalah sumberdaya manusia yang sehat dan pintar. Alokasi anggaran sektor ini sangat penting karena akan memiliki dampak jangka panjang karena akan meningkatkan kualitas manusia yang berimbas pada peningkatan kesejahteraan seseorang. Variabel dummy kabupaten dan kota berpengaruh nyata dan bertanda negatif artinya pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan di kabupaten lebih
besar dibandingkan di perkotaan. Pemerintah kabupaten melihat pentingnya sektor pendidikan
dan
kesehatan
sebagai
investasi
jangka
panjang
sehingga
mengalokasikan dengan jumlah yang sangat besar di kedua sektor tersebut. 4.2.2.3. Pengeluaran Pemerintah Lainnya (PPDL) PAD memiliki pengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah sektor lainnya sedangkan dummy kabupaten/kota memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran pemerintah daerah lainnya. Sedangkan dana perimbangan (DAPER) tidak punya pengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah sektor lainnya. Pengeluaran pemerintah daerah lainnya akan meningkat apabila PAD mengalami peningkatan. Ketersediaan fiskal yang semakin besar melalui PAD akan memperbesar anggaran pengeluaran fungsi lainnya. Pelayanan masyarakat merupakan salah satu dari sektor lainnya yang bersifat urusan wajib pemerintah daerah. Dalam analisis kinerja keuangan, pelayanan umum menempati urutan kedua dalam prioritas pengeluaran daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah cenderung mengalokasikan PAD untuk membiayai sektor lainnya. Dana perimbangan tidak memiliki pengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah daerah lainnya, kemungkinan pemerintah daerah lebih ingin membiayai pengeluaran fungsi lainnya dengan pendapatan yang diusahakan sendiri karena kegiatannya atas wewenang dan tanggung jawab penuh pemerintah daerah. Walaupun dana perimbangan tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah sektor lainnya bukan berarti dana perimbangan tidak dialokasikan
untuk
membiayai
fungsi
lainnya.
Dummy
kabupaten/kota
menunjukkan parameter estimasi bertanda negatif yang dapat diartikan bahwa pengeluaran pemerintah daerah lainnya lebih besar jumlahnya di wilayah kabupaten daripada kota. 4.2.3. Keragaan Output Blok output ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (PDRBP) dan lainnya (PDRBL). 4.2.3.1. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRBP) Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian (PPSPER), tenaga kerja sektor pertanian (TKSP) berpengaruh
positif dan nyata terhadap PDRBP. Dummy
kabupaten dan kota (DKK) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (PDRBP). Sedangkan pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan (PPSPK) tidak berpengaruh nyata terhadap PDRBP. Pengeluaran pemerintah di sektor pertanian yang semakin besar akan meningkatkan PDRB sektor pertanian. Pengeluaran ini digunakan untuk menunjang
segala
kegiatan
pertanian
sehingga
mampu
meningkatkan
produktifitas dan efisiensi serta melindungi petani. Produktivitas dan efisiensi yang tinggi akan melipatgandakan hasil pertanian dengan kualitas yang bersaing. Secara otomatis diharapkan ada peningkatan kesejahteraan petani karena menghasilkan produk pertanian yang berkualitas. Output yang dihasilkan oleh sektor pertanian disumbang merata di semua kabupaten dan kota karena pertanian masih mendominasi struktur ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Tengah. Pengeluaran sektor pertanian sangat penting untuk meningkatkan PDRB
pertanian.
Selain
itu,
pengeluaran
sektor
pertanian
diperlukan
untuk
mengembangkan sektor pertanian itu sendiri. Semakin banyak jumlah tenaga kerja di sektor pertanian maka akan meningkatkan PDRB sektor pertanian. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting sehingga sangat menunjang segala kegiatan produksi. Pertanian mampu menyerap tenaga kerja paling banyak di Jawa Tengah, tenaga kerja di sektor pertanian diharapkan sudah memiliki pengetahuan tentang cara bertani yang efektif dan efisien sehingga memiliki daya saing yang tinggi. Peran pemerintah sangat penting dalam melakukan edukasi kepada tenaga kerja di sektor pertanian sehingga akan mendongkrak PDRB sektor pertanian. Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan (PPSPK) ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap PDRB pertanian. Tidak ada pengaruh PPSPK ini disebabkan karena petani tidak punya akses langsung terhadap sektor pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan tidak memiliki dampak langsung terhadap petani, mungkin akan berdampak tetapi dampak jangka panjang. Pengeluaran sektor kesehatan juga diduga tidak berpengaruh langsung terhadap petani. Akses petani terhadap pelayanan kesehatan tidak serta merta dapat dijangkau dengan mudah walaupun terus terjadi peningkatan pengeluaran kesehatan. Dummy kabupaten dan kota berpengaruh negatif dan nyata terhadap PDRBP, artinya PDRB pertanian daerah kabupaten lebih besar dibandingkan kota. Hal ini wajar terjadi karena luas lahan pertanian di daerah kabupaten masih lebih besar dibandingkan daerah perkotaan. Selain itu, jumlah petani di daerah
kabupaten lebih besar daripada daerah kota yang pada akhirnya akan menentukan besarnya hasil pertanian sebagai salah satu faktor produksi yang penting. 4.2.3.2. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Lainnya (PDRBL) Pengeluaran
Pemerintah
Daerah
Lainnya
(PPDL),
pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan (PPSPK) dan tenaga kerja sektor lainnya (TKSL) signifikan dan memiliki pengaruh positif terhadap Produk Domestik Regional Bruto Lainnya (PDRBL). Sedangkan dummy kabupaten/kota tidak berpengaruh nyata terhadap PDRBL. PPDL signifikan dan berhubungan positif terhadap PDRBL. Semakin besar pengeluaran pemerintah sektor lainnya akan meningkatkan PDRB lainnya. Pembentukan PDRBL sangat tergantung dari alokasi pengeluaran pemerintah di sektor ini karena kegiatan di sektor lainnya bergantung pada pengeluaran pemerintah di sektor ini. Kegiatan sektor lainnya tidak akan berjalan tanpa adanya alokasi anggaran untuk pengeluaran sektor lainnya seperti pemerintahan umum, ketahanan negara, sosial dll. Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan yang semakin besar akan meningkatkan PDRB sektor lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan di sektor lainnya harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas sebagai dampak dari pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat. Tenaga kerja sektor lainnya (TKSL) memiliki pengaruh positif terhadap PDRBL, semakin tinggi jumlah tenaga kerja maka akan meningkatkan PDRBL. Bertambahnya jumlah tenaga kerja akan menghasilkan peningkatan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dan pada akhirnya meningkatkan PDRBL. Hal ini karena
tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting selain modal dalam produksi. Dummy kabupaten dan kota tidak punya pengaruh bagi pembentukan PDRBL. Hal ini mengindikasikan bahwa PDRBL yang dihasilkan oleh kabupaten dan kota tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Tabel 4.16. Faktor-Faktor yang Memengaruhi PDRBP dan PDRBL Model
Variabel
Parameter
Prob > t
Estimasi
Produk
Pengeluaran Pemerintah
Domestik
Sektor Pertanian
Regional
(PPSPER)
Bruto
Pengeluaran Pemerintah
Sektor
Sektor Pendidikan dan
Pertanian
Kesehatan (PPSPK)
(PDRBP)
Tenaga Kerja Sektor
1,557216
Kepatutan Statistik
0,0001
R2 = 0,75754 DW = 1,055883
-0,07888
0,8098
1,364086
0,0240
-0,80232
0,0480
0,810980
0,0318
Pertanian (TKSP) Dummy Kabupaten/Kota (DKK) Produk
Pengeluaran Pemerintah
Domestik
Daerah Lainnya (PPDL)
Regional
Pengeluaran Pemerintah
Bruto
Sektor Pendidikan dan
Lainnya
Kesehatan (PPSPK)
(PDRBL)
Tenaga Kerja Sektor
R2 = 0,70968 DW = 0,691502
1,044264
0,0167
2,655565
0,0001
-0,11329
0,6562
Lainnya (TKSL) Dummy Kabupaten dan Kota (DKK)
4.2.4. Keragaan Pengangguran dan Kemiskinan 4.2.4.1. Pengangguran (UE) Produk Domestik Regional Bruto Total (PDRBT) dan dummy kabupaten dan kota berpengaruh positif dan nyata terhadap pengangguran. Upah Minimum
Kabupaten (UMK) dan persentase produk domestik regional bruto pertanian (P_PDRBP) berpengaruh negatif dan nyata terhadap pengangguran (UE). Hasil yang didapat tidak sesuai dengan hipotesis karena justru dengan meningkatnya
pendapatan domestik regional bruto total akan semakin
meningkatkan tingkat pengangguran terbuka di suatu daerah. Perekonomian yang semakin tinggi seharusnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
sehingga
mengurangi
pengangguran.
Peningkatan
tingkat
pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Tengah seiring dengan peningkatan PDRB mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tercipta tidak menyentuh masyarakat secara langsung dan belum mampu menyelesaikan masalah pengangguran. Ada berbagai alasan yang menyebabkan hal yaitu pembentukan PDRB ditopang oleh kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi di beberapa daerah, pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 42,57 persen disumbang hanya tiga daerah yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus dan Kota Semarang sedangkan sisanya disumbang 32 kabupaten dan kota lainnya. Kabupaten Cilacap memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah dan industri pengolahan menjadi sektor penyumbang PDRB
yang dominan. Kabupaten Kudus juga
memiliki industi yang maju di tingkat nasional terutama industri rokok sehingga menyumbang PDRB yang dominan. Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah tentu saja sebagai pusat perekonomian dan juga didominasi oleh sektor industri dan jasa.
Industri-industri yang menyumbang pembentukan PDRB sudah mulai beralih menjadi industri padat modal dan bukan padat karya. Perkembangan zaman yang semakin maju akan menciptakan teknologi canggih yang mungkin digunakan oleh sektor-sektor lapangan usaha untuk meningkatkan efisiensi agar mendapat hasil yang optimal. Dampak negatif dari penggunaan teknologi di berbagai sektor kehidupan akan berpotensi meningkatkan tingkat pengangguran. PDRB pertanian yang seharusnya ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja banyak ternyata belum mampu memengaruhi PDRB total untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Hal ini diakibatkan karena pengaruh PDRB sektor industri lebih kuat hubungannya dengan PDRB total dibandingkan dengan sektor pertanian. PDRB sektor pertanian disumbang oleh hampir semua kabupaten/kota di Jawa Tengah tetapi tiga kabupaten dan kota yang menyumbang PDRB terbesar berasal dari PDRB sektor industri sehingga peran sektor pertanian tidak akan sekuat sektor industri. P_PDRBP berpengaruh nyata dan memiliki parameter estimasi yang bernilai negatif. Walaupun PDRB total semakin meningkatkan jumlah tingkat pengangguran terbuka, tetapi sektor pertanian mampu mengurangi jumlah tingkat pengangguran terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian bukan sektor yang
meningkatkan
tingkat
pengangguran
terbuka.
Peningkatan
tingkat
pengangguran terbuka seiring dengan peningkatan PDRB total disebabkan oleh sektor lain selain sektor pertanian. Upah Minimum Kabupaten (UMK) memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengangguran terbuka. Semakin tinggi UMK maka akan menurunkan
tingkat penggaruran. Hubungan negatif antara UMK dengan pengangguran tidak sesuai dengan teori karena seharusnya ketika pemerintah menetapkan upah minimum maka investasi ke daerah dengan tingkat upah yang tinggi akan menurun dan mencari daerah lain yang memiliki tingkat upah lebih rendah. Upah minimum menciptakan kondisi di atas keseimbangan pasar tenaga kerja sehingga terjadilah pengangguran karena perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja untuk menekan biaya produksi. Tidak sesuainya hasil penelitian ini dengan hipotesis mengindikasikan bahwa peran pemerintah daerah menjadi lebih kuat artinya investasi tetap ditanamkan di daerah dengan UMK tinggi. Investor tetap berinvestasi karena pemerintah daerah mampu meyakinkan investor untuk tetap menyerap tenaga kerja dengan upah minimum dengan berbagai kompensasi yang telah dijanjikan. Kompensasi yang diberikan oleh pemerintah daerah biasanya berupa subsidi untuk meringankan beban biaya produksi yang semakin tinggi karena harus ada kenaikan upah. Peran serikat buruh juga memengaruhi hubungan negatif antara UMK dengan pengangguran. Upah yang tinggi akan meningkatkan keinginan seseorang mendapatan pekerjaan di suatu daerah. Upah yang rendah dan tidak setimpal dengan pekerjaan akan membuat orang mencari pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi sehingga menciptakan pengangguran. Walaupun dari sisi perusahaan akan mengurangi jumlah pekerja apabila upah semakin tinggi, tetapi secara rasional seseorang akan terus mencari pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi dan meninggalkan pekerjaan dengan upah rendah.
Dummy kabupaten/kota berpengaruh nyata dan positif terhadap tingkat pengangguran, artinya tingkat pengangguran di kota lebih besar daripada di kabupaten. Kegiatan ekonomi yang tinggi dan terpusat di kota membuat orang berbondong-bondong mencari pekerjaan di kota dan mereka berfikir akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kepadatan penduduk menunjukkan preferensi penduduk terhadap suatu wilayah. Pada Tabel 4.17. terlihat bahwa kepadatan di wilayah kota lebih besar dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Kepadatan di wilayah kota disebabkan karena kota memiliki kegiatan ekonomi yang lebih tinggi sehingga orang lebih memilih untuk tinggal di kota. Berbagai pelayanan dan fasilitas publik yang tersedia di kota juga menjadi pertimbangan seseorang dalam memilih tempat tinggal. Walaupun dengan berbagai masalah yang ada di perkotaan, banyak orang datang ke kota untuk mencari pekerjaan yang membuat wilayah kota di Provinsi Jawa Tengah semakin padat. Semakin bertambahnya jumlah pencari kerja sementara sektor formal dan sektor informal tidak mampu untuk menyerap seluruh pencari kerja akan menyebabkan pengangguran. Selain itu, banyak orang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan tanpa memiliki bekal ketrampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan-pekerjaan dan tidak mampu bersaing. Sektor-sektor industri di kota sudah tidak lagi membutuhkan banyak tenaga kerja karena peningkatan output tidak harus dicapai dengan penambahan jumlah tenaga kerja. Selain itu, sektor industri membutuhkan banyak input serta adanya tekanan kenaikan upah membuat produsen semakin tidak mau menambah jumlah tenaga kerja. Sektor industri mampu mencapai efisiensi dan menambah
jumlah output dengan menggunakan teknologi. Pada umumnya teknologi yang digunakan merupakan teknologi yang padat modal sehingga mengurangi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri.
Hal inilah yang mengakibatkan
pengangguran di wilayah kota lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Tabel 4.17. Kepadatan Penduduk Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
Sumber : BPS, 2007-2009
2007 759 1.127 1.057 808 942 695 766 1.070 919 1.722 1.756 538 1.043 906 671 464 565 783 1.822 1.069 1.143 951 805 936 861 1.010 1.343 1.603 1.071 7.295 11.755 3.299 3.984 6.080 6.954
2008 761 1.132 1.065 813 948 698 770 1.078 925 1.728 1.772 539 1.052 909 676 465 568 786 1.849 1.086 1.152 962 813 950 865 1.019 1.359 1.609 1.079 7.429 11.877 3.370 4.044 6.122 6.973
2009 762 1.137 1.073 818 953 701 773 1.087 930 1.734 1.786 541 1.061 912 681 467 570 788 1.876 1.103 1.162 974 821 964 870 1.027 1.375 1.615 1.086 7.564 11.996 3.441 4.104 6.162 6.990
4.2.4.2. Kemiskinan (KMS) Produk Domestik Regional Bruto Total (PDRBT), persentase produk domestik regional bruto pertanian (P_PDRBP) dan tingkat ketergantungan (DPCY)
memiliki pengaruh positif terhadap kemiskinan (KMS) sedangkan
dummy kabupaten/kota memiliki pengaruh negatif dan nyata terhadap kemiskinan. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. PDRB total signifikan dan berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Semakin tinggi PDRB maka akan meningkatkan jumlah kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Sama seperti dengan pengangguran, masalah kemiskinan juga belum mampu diatasi walaupun PDRB semakin meningkat. P_PDRBP juga signifikan dan berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Sektor pertanian yang mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka ternyata tidak mampu mengurangi kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini diakibatkan karena tenaga kerja yang masuk ke sektor pertanian semakin besar, tetapi produktivitas di sektor pertanian masih kecil sehingga upah yang diterima oleh petani pun kecil. Orang yang bekerja di sektor pertanian kebanyakan bukan pemilik lahan, tetapi petani kecil dan buruh tani yang berpenghasilan rendah. Walaupun para petani ini bekerja, upah yang mereka terima kecil sehingga belum mampu keluar dari garis kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan data PDRB kabupaten yang didominasi oleh sektor pertanian ternyata tingkat kemiskinannya sangat tinggi. Pada Tabel 4.14. menunjukkan bahwa kabupaten yang sektor pertaniannya mendominasi PDRB kabupaten justru memiliki tingkat kemiskinan di atas 20
persen. Kabupaten yang tertera pada Tabel 4.14. merupakan delapan kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009. Delapan kabupaten ini merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas 20 persen dan PDRB di delapan kabupaten ini didominasi oleh sektor pertanian. Tingkat pengangguran terbuka tidak signifikan terhadap kemiskinan. Orang yang bekerja belum tentu mampu keluar dari kemiskinan. Hal ini karena upah yang didapatkan rendah sedangkan kebutuhan hidup terus bertambah, terutama penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Tabel 4.18.
Perbandingan PDRB Pertanian dengan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten pada Tahun 2009
Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Wonosobo Kab. Rembang Kab. Pemalang Kab. Brebes Sumber : BPS, 2009
PDRB Pertanian (Juta Rupiah) 927 782 1.016 1.076 884 1.008 849 2.772
PDRB Pertanian (%) 21,06 32,80 36,91 38,03 48,86 46,09 25,78 52,81
Tingkat Kemiskinan (%) 21,52 24,97 21,36 25,73 25,91 25,86 22,17 24,39
Dummy kabupaten dan kota berpengaruh nyata dan memiliki parameter estimasi bernilai negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan di kabupaten lebih besar dibandingkan kota. Kemiskinan di kabupaten disebabkan oleh berbagai hal seperti investasi yang biasanya dilakukan di daerah perkotaan sebagai pusat perekonomian sedangkan investasi ke kabupaten hanya pada daerah tertentu yang memiliki sumber daya alam melimpah. Infrastruktur di wilayah kota lebih baik daripada wilayah kabupaten yang akan berpengaruh pada distribusi ekonomi yang lambat terutama pada daerah-daerah yang masih terpencil dan tidak
memilki infrastruktur yang layak. Selain itu, di kebanyakan negara berkembang orang yang bekerja di bidang pertanian dan yang berhubungan erat dengan sektor ekonomi tradisional merupakan penduduk miskin. Pada Tabel 4.19. menunjukkan estimasi model persamaan tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan. Tabel 4.19. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengangguran dan Kemiskinan Model
Variabel
Parameter
Prob > t
Estimasi
Tingkat
Pendapatan Domestik
Pengangguran
Regional Bruto Total
Terbuka (UE)
(PDRBT) Persentase Pendapatan
0,004004
Kepatutan Statistik
0,0241
R2 = 0,58757 DW = 1,086565
-0,05675
0,0002
-0,04872
0,0021
0,046185
0,0001
0,152588
0,0014
Domestik Regional Bruto Pertanian (P_PDRBP) Upah Minimum Kabupaten (UMK) Dummy Kabupaten/Kota (DKK) Kemiskinan
Pendapatan Domestik
(KMS)
Regional Bruto Total
DW = 0,980775
(PDRBT) Persentase Pendapatan
1,398094
0,0035
5,596739
0,2397
0,015954
0,1166
-1,14362
0,0004
Domestik Regional Bruto Pertanian (P_PDRBP) Tingkat Pengangguran Terbuka (UE) Tingkat Ketergantungan (DPCY) Dummy Kabupaten/Kota (DKK)
R2 = 0,74671
4.2.5. Analisis Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Pada analisis struktural yang telah dilakukan maka terlihat bahwa kebijakan fiskal dapat memengaruhi pengangguran dan kemiskinan. Kebijakan fiskal pemerintah melalui penerimaan memengaruhi pengeluaran pemerintah di sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta lainnya. Pengeluaran di tiga sektor ini akan mempengaruhi perekonomian yang diukur melalui PDRB pertanian dan PDRB lainnya. Secara umum, PDRB belum mampu untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan karena semakin tinggi PDRB justru meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Sektor pertanian merupakan sektor utama yang diamati dan diharapkan mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa sektor pertanian mampu mengatasi masalah pengangguran, tetapi belum mampu untuk mengatasi masalah kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Sektor pertanian dapat menyerap tenaga kerja dengan mudah, tetapi orang yang bekerja di sektor pertanian tetap miskin. Hal ini dikarenakan orang yang bekerja di sektor pertanian kebanyakan merupakan buruh tani atau petani kecil yang berpenghasilan rendah. Produktivitas di sektor pertanian pun masih kecil karena pertanian di Indonesia belum maju dan masih mengandalkan cara tradisional. Kebijakan fiskal memiliki peranan penting terhadap pengembangan sektor pertanian. Pada Tabel 4.20. terlihat bahwa pengeluaran pemerintah sektor pertanian kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah masih rendah. Alokasi anggaran sektor pertanian penting digunakan untuk mengembangkan dan
memperbaiki berbagai kelemahan sektor pertanian yang menyebabkan petani tetap miskin. Dengan demikian, selain mampu mengatasi masalah pengangguran, sektor pertanian mampu mengatasi masalah kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 4.20. Persentase Alokasi Anggaran Sektor Pertanian (%) Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2007 2,5 2,0 3,0 3,2 4,1 3,4 3,2 3,8 3,8 2,4 3,4 3,8 3,4 3,5 3,2 3,5 5,3 4,3 1,8 3,2 3,1 4,9 3,6 3,4 5,1 3,1 1,9 2,6 2,7 2,7 1,4 2,1 1,1 2,8 2,0
2008 2,3 2,5 3,3 3,3 3,1 6,1 3,3 3,7 4,0 2,4 3,3 3,3 2,8 3,5 3,0 3,4 4,0 3,8 2,3 2,8 3,3 4,5 3,3 3,4 3,7 3,3 2,0 2,4 2,7 1,9 1,2 1,8 1,1 2,6 1,9
Sumber : Divisi Keuangan Pemprov Jawa Tengah, 2007-2009 (Diolah).
2009 2,5 2,3 2,5 2,1 2,8 2,2 2,2 2,9 2,4 2,0 2,3 3,1 2,5 3,1 2,8 2,3 3,2 2,9 2,5 2,7 2,3 2,9 3,4 2,7 3,8 2,2 2,6 2,6 2,6 1,2 0,8 1,4 1,1 2,0 1,8
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Pada rentang waktu penelitian, kontribusi PAD dalam penerimaan daerah masih sangat kecil yakni berkisar antara 8,94 persen sampai 9,11 persen. Sedangkan rasio PAD dan bagi hasil terhadap penerimaan daerah berkisar antara 14,9 persen sampai 15,5 persen. Hal ini mengindikasikan ketergantungan pemerintah daerah masih sangat tinggi kepada pemerintah pusat. Dengan demikian, kemandirian daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah belum mampu dicapai.
2.
Kebijakan fiskal memiliki dampak terhadap pengangguran dan kemiskinan jika dihubungkan melalui PDRB. Pertanian menjadi sektor utama yang diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, tetapi alokasi anggaran untuk sektor pertanian masih sangat kecil. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah memengaruhi perekonomian yang diukur dengan PDRB. Peningkatan PDRB tidak mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan karena semakin tinggi PDRB justru meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Sementara itu, PDRB pertanian hanya mampu mengatasi pengangguran, tetapi belum mampu mengatasi kemiskinan. Tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian menjadi tidak menganggur, tetapi tetap miskin karena berbagai alasan. Tenaga kerja di sektor pertanian didominasi oleh petani kecil
dan buruh tani yang berpenghasilan rendah. Selain itu, produktivitas di sektor pertanian masih rendah karena masih mengandalkan pertanian tradisional.
5.2. Saran 1.
Pemerintah daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan meningkatkan investasi. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa invetasi memiliki hubungan positif dengan pajak daerah. Pemerintah daerah mampu meningkatkan penerimaan pajak dengan meningkatkan investasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang baik di daerah.
2.
Kebijakan fiskal harus menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada rakyat dan mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Kebijakan fiskal harus diarahkan pada sektor pertanian karena walaupun sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, tetapi tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian tetap miskin. Alokasi anggaran di sektor pertanian menjadi penting untuk mengatasi kemiskinan di sektor pertanian karena memiliki jumlah tenaga kerja terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan alokasi anggaran di sektor pertanian harus dilakukan dan digunakan untuk mengembangkan sektor pertanian agar tenaga kerja di sektor pertanian dapat keluar dari kemiskinan.
3.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan validasi model dan simulasi kebijakan sehingga dapat diketahui secara jelas kebijakan apa yang dapat digunakan untuk
mengurangi pengangguran dan kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, dalam penelitian selanjutnya dapat
ditambahkan tahun analisis dan variabel-variabel lain seperti PDRB sektor industri, dan PDRB sektor perdagangan. Pengeluaran pemerintah yang digunakan dapat menggunakan jenis pengeluaran lain selain pengeluaran fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Jawa Tengah . 2004. Profil Pengangguran Jawa Tengah. BPS Jawa Tengah, Semarang. Badan Pusat Statistik. 2007. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten-Kota di Indonesia. BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Distribusi Pendapatan. BPS. Jakarta. Badan
Pusat Statistik. 2009. Statistik Keuangan Kabupaten/Kota, 2008-2009. BPS. Jakarta
Pemerintah
Daerah
Badan
Pusat Statistik. 2008. Statistik Keuangan Kabupaten/Kota, 2007-2008. BPS. Jakarta
Pemerintah
Daerah
Badan Pusat Statistik. 2010. Jawa Tengah Dalam Angka 2010. BPS, Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka 2009. BPS, Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Tengah Dalam Angka 2008. BPS, Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik. 2007. Jawa Tengah Dalam Angka 2007. BPS, Jawa Tengah. Badan
Pusat Statistik. 2009. Tinjauan Regional Berdasarkan Kabupaten/Kota Pulau Jawa-Bali, 2006-2009. BPS. Jakarta
PDRB
BPS, 2006. Penduduk berusia 10 tahun ke atas yang bekerja Menurut Kabupaten/Kota dan Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Tengah. http://www.bpsjateng.go.id [28 Desember 2010] BPS. 2006. Pengangguran Jateng. http://www.bpsjateng.go.id [ 22 Januari 2011] Gujarati, Damodar N. 2004 . Basic Econometrics, Fourth Edition.McGraw-Hill, New York. Gujarati, Damodar N. 2004. Dasar-Dasar Ekonometrika Jilid 2. Julius A. Mulyadi dkk[penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Hasugian, A.M.P. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hermawan, Dudi. 2007. Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Koutsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrics : An Introductory Exposition of Econometric Methods. Macmillan Press. New York LIPI. 2005. Desentalisasi dan Otonomi Daerah : Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press. Jakarta Mailendra, F. 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat (Analisis Panel Data: Kabupaten/Kota di Jawa Barat Periode 2002-2006) [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyana, D., Rico, Y.E., Komariah, I., Kurnia. 2003. Penduduk dan Pengangguran. http://www.ekonomi.lipi.go.id/informasi [22 Januari 2011] Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi, Edisi Kelima. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Rahayu, A. S. 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal. Bumi Aksara. Indonesia. Jakarta. Rodrigues, A., Kroijer, A. 2009. Fiscal Decentralization and Economic Growth in Central and Eastern Europe. http://ssrn.com [12 Desember 2010] Rozi, M.F. 2007. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan : Kasus Provinsi Riau [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saragih, J. P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Otonom. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sasana, H. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 10 (1) : 103 -124. Sinaga, B.M., Sitepu R.K., 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. IPB. Bogor
Todaro, Michael P. dan Smith, S. 2006. Pembangunan Ekonomi. Penerjemah: Haris Munandar. Erlangga, Jakarta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan [ Tesis ]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widhiyanto, I. 2008. Fiscal Decentralization and Indonesia Regional Income Disparity. Jurnal Keuangan Publik, 5 (1) : 19-53. Wibowo, A. 2008. Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Jurnal Keuangan Publik, 5 (1) : 55 – 83. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal [ Disertasi ]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Hasil Estimasi Output Persamaan Pajak Daerah The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
PD
Dependent Variable
PD
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
5
35.04666
7.009332
48.14
<.0001
Error
99
14.41490
0.145605
104
45.90079
Corrected Total
0.38158
R-Square
0.70856
16.31848
Adj R-Sq
0.69384
Root MSE Dependent Mean
2.33834
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
-30.3753
5.057120
-6.01
<.0001
HOTEL
1
0.135216
0.042059
3.21
0.0018
TEXP
1
0.857128
0.101602
8.44
<.0001
INV
1
0.012615
0.004574
2.76
0.0069
KMS
1
-0.34831
0.144532
-2.41
0.0178
DKK
1
1.341678
0.196948
6.81
<.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.266323 105 0.366523
Lampiran 2. Hasil Estimasi Output Dana Alokasi Umum The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
DAU
Dependent Variable
DAU
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
4
8.861765
2.215441
221.50
<.0001
Error
100
1.000212
0.010002
Corrected Total
104
9.754097
0.10001
R-Square
0.89858
19.98754
Adj R-Sq
0.89452
Root MSE Dependent Mean
0.50036
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
13.26074
0.436307
30.39
<.0001
PDRBT
1
0.052948
0.011786
4.49
<.0001
PAD
1
0.062967
0.008737
7.21
<.0001
KMS
1
0.239255
0.026816
8.92
<.0001
DKK
1
0.064232
0.066199
0.97
0.3342
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.053509 105 0.46908
Lampiran 3. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
PPSPER
Dependent Variable
PPSPER
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
18.43189
6.143962
82.66
<.0001
Error
101
7.506874
0.074325
Corrected Total
104
25.65477
0.27263
R-Square
0.71059
16.61905
Adj R-Sq
0.70200
Root MSE Dependent Mean
1.64045
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
5.593012
3.170484
1.76
0.0807
PAD
1
-0.02387
0.033797
-0.71
0.4817
DAU
1
0.635000
0.241547
2.63
0.0099
DKK
1
-0.73713
0.146494
-5.03
<.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.563156 105 0.213297
Lampiran 4. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
PPSPK
Dependent Variable
PPSPK
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
12.12431
4.041437
303.27
<.0001
Error
101
1.345927
0.013326
Corrected Total
104
14.17216
0.11544
R-Square
0.90008
19.56117
Adj R-Sq
0.89711
Root MSE Dependent Mean
0.59014
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
-1.04682
1.342477
-0.78
0.4374
PAD
1
0.022493
0.014311
1.57
0.1191
DAU
1
0.959572
0.102278
9.38
<.0001
DKK
1
-0.13132
0.062030
-2.12
0.0367
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.411913 105 0.282923
Lampiran 5. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengeluaran Pemerintah Sektor Lainnya The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
PPDL
Dependent Variable
PPDL
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
6.893765
2.297922
62.45
<.0001
Error
101
3.716641
0.036798
Corrected Total
104
10.66450
0.19183
R-Square
0.64972
19.44896
Adj R-Sq
0.63931
Root MSE Dependent Mean
0.98632
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
9.027857
0.912230
9.90
<.0001
PAD
1
0.151773
0.012098
12.55
<.0001
DAPER
1
0.009813
0.007767
1.26
0.2093
DKK
1
-0.24347
0.049914
-4.88
<.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.301528 105 0.327952
Lampiran 6. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Pertanian The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
PDRBP
Dependent Variable
PDRBP
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
4
140.5494
35.13735
78.11
<.0001
Error
100
44.98546
0.449855
Corrected Total
104
175.7794
0.67071
R-Square
0.75754
13.26824
Adj R-Sq
0.74784
Root MSE Dependent Mean
5.05502
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
-11.3964
5.948301
-1.92
0.0582
PPSPER
1
1.557216
0.377841
4.12
<.0001
TKSP
1
1.364086
0.595067
2.29
0.0240
PPSPK
1
-0.07888
0.326868
-0.24
0.8098
DKK
1
-0.80232
0.400738
-2.00
0.0480
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.055883 105 0.4565
Lampiran 7. Hasil Estimasi Output Persamaan PDRB Sektor Lainnya The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
PDRBL
Dependent Variable
PDRBL
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
4
37.97964
9.494910
61.11
<.0001
Error
100
15.53722
0.155372
Corrected Total
104
52.89680
0.39417
R-Square
0.70968
14.66204
Adj R-Sq
0.69806
Root MSE Dependent Mean
2.68839
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
-23.2672
3.144475
-7.40
<.0001
PPDL
1
0.810980
0.372548
2.18
0.0318
TKSL
1
2.655565
0.335345
7.92
<.0001
PPSPK
1
1.044264
0.428852
2.44
0.0167
DKK
1
-0.11329
0.253736
-0.45
0.6562
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.691502 105 0.642897
Lampiran 8. Hasil Estimasi Output Persamaan Pengangguran The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
UE
Dependent Variable
UE
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
4
0.039500
0.009875
35.62
<.0001
Error
100
0.027726
0.000277
Corrected Total
104
0.067227
Root MSE
0.01665
R-Square
0.58757
Dependent Mean
0.07700
Adj R-Sq
0.57107
Coeff Var
21.62491
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
0.621079
0.201715
3.08
0.0027
PDRBT
1
0.004004
0.001749
2.29
0.0241
P_PDRBP
1
-0.05675
0.014843
-3.82
0.0002
UMK
1
-0.04872
0.015439
-3.16
0.0021
DKK
1
0.046185
0.008297
5.57
<.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.086565 105 0.409951
Lampiran 9. Hasil Estimasi Output Persamaan Kemiskinan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
KMS
Dependent Variable
KMS
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
5
55.37046
11.07409
58.37
<.0001
Error
99
18.78234
0.189721
104
74.40533
Corrected Total
Root MSE
0.43557
R-Square
0.74671
Dependent Mean
4.91053
Adj R-Sq
0.73392
Coeff Var
8.87011
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
1
-0.75382
1.355231
-0.56
0.5793
UE
1
5.596739
4.731684
1.18
0.2397
PDRBT
1
0.152588
0.046290
3.30
0.0014
P_PDRBP
1
1.398094
0.466781
3.00
0.0035
DPCY
1
0.015954
0.010078
1.58
0.1166
DKK
1
-1.14362
0.309133
-3.70
0.0004
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.980775 105 0.49541
Lampiran 10. Komposisi Penerimaan Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 Kabupaten/Kota
Penerimaan Daerah (Juta)
DAU
74,29%
66,44%
71,56%
DAK
6,77%
6,78%
6,86%
Bagi Hasil Pajak
4,21%
7,79%
6,83%
0,02% 0,12% 83242 107426 9,9% 11,09% 757622 861487 90,1% 88,91% Dana Perimbangan
0,00% 101414 10,20% 892832 89,90%
DAU
77,80%
72,47%
73,94%
DAK
1,21%
1,05%
3,78%
Bagi Hasil Pajak
4,25%
5,94%
4,86%
0,03% 0,07% 43780 63795 7,73% 9,33% 522746 619647 92,27% 90,67% Dana Perimbangan 73,46% 67,04% 6,99% 7,47% 3,64% 5,26%
0,13% 68866 9,88% 628294 90,12%
0,11% 0,16% 36524 46528 6,04% 6,75% 567911 642564 93,96% 93,25% Dana Perimbangan (%) 74,87 70,92 7,34 8,54 3,24 5,74
0,19% 49599 7,24% 635905 92,76%
0,06 0,10 50752 58599 6,90% 6,84% 684539 797941 93,10% 93,16% Dana Perimbangan (%) 79,61 71,96
0,00 61130 7,08% 802837 92,92%
Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD Kabupaten Purbalingga
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Kebumen
2009 100784 9,22% 992176 90,78%
Non PAD
Kabupaten Banyumas
2008
63270 102780 7% 8,83% 840298 1060760 93% 91,17% Dana Perimbangan (%)
PAD
Kabupaten Cilacap
2007
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
DAU
66,28% 7,43% 5,23%
73,63 9,62 4,15
73,94
DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak
7,10 2,15
7,75 4,22
8,59 3,76
0,06
0,07
0,04
PAD
39899 6,41%
51175 7,21%
47481 6,66%
583023 658182 93,59% 92,79% Dana Perimbangan (%)
665174 93,34%
Non PAD Kabupaten Purworejo
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Wonosobo
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Magelang
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Boyolali
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD
Kabupaten Klaten
Non PAD DAU DAK
75,73 7,13 3,33
72,71 8,00 4,88
0,14 0,20 25533 38158 4,92% 6,28% 493422 569300 95,08% 93,72% Dana Perimbangan (%) 75,06 8,84 3,22
70,40 9,43 5,23
0,04 0,22 60388 81203 8,10% 9,68% 685328 757632 91,90% 90,32% Dana Perimbangan (%) 73,56 6,52 3,66
70,10 5,80 5,02
73,90 9,65 4,65 0,19 45003 7,38% 565148 92,62% 70,76 10,98 5,65 0,08 69555 8,38% 760605 91,62% 71,85 9,72 4,53
0,11 0,09 43201 63733 6,47% 8,14% 624000 718795 93,53% 91,86% Dana Perimbangan (%) 79,25 74,44 6,15 6,91 2,32 4,36
0,10 62787 7,67% 755310 92,33%
0,04 0,10 40776 49550 4,75% 5,07% 816888 927362 95,25% 94,93% Dana Perimbangan (%) 80,94 76,23 5,93 6,43
0,10 66073 6,79% 907055 93,21%
71,63 8,54 3,77
74,62 7,40
Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak Kabupaten Sukoharjo
PAD Non PAD DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Wonogiri
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Karanganyar
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Sragen
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Grobogan
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak
2,24
4,42
4,17
0,06 0,10 37533 41898 6,46% 6,09% 543340 645831 93,54% 93,91% Dana Perimbangan (%) 79,31 72,55 3,72 7,35 3,96 5,56
0,64 45132 6,50% 648807 93,50%
0,07 0,09 42735 54129 6,06% 6,43% 663030 787273 93,94% 93,57% Dana Perimbangan (%) 78,90 71,18 7,69 8,39 2,43 4,18
0,12 60943 7,38% 765311 92,62%
0,10 0,13 48716 64471 7,89% 8,36% 568622 706894 92,11% 91,64% Dana Perimbangan (%) 74,38 65,62 6,99 7,12 2,97 4,76
0,10 64017 8,90% 655183 91,10%
0,10 0,08 50591 65561 7,13% 8,15% 659137 738573 92,87% 91,85% Dana Perimbangan (%) 72,36 68,55 6,30 6,75 2,07 4,01
0,10 57450 7,66% 692361 92,34%
0,06 0,08 43688 59922 6,36% 7,37% 643210 752929 93,64% 92,63% Dana Perimbangan (%) 82,06 75,66 1,50 2,46 0,35 6,47
0,11 46891 6,01% 732756 93,99%
0,14
0,17
73,45 9,09 5,10
74,38 8,51 4,34
71,98 9,47 3,95
73,61 6,42 3,01
78,87 3,44 5,95 0,17
PAD Non PAD Kabupaten Blora
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Rembang
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Pati
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Kudus
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Jepara
Kabupaten Demak
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD
30732 50203 5,04% 7,05% 579189 661498 94,96% 92,95% Dana Perimbangan (%) 73,42 67,20 7,11 7,97 8,94 9,80
50000 7,00% 664065 93,00%
0,93 1,54 51050 51151 10,00% 8,83% 459345 528122 90,00% 91,17% Dana Perimbangan (%) 70,90 68,78 8,03 8,82 4,89 6,02
3,00 56755 9,70% 528370 90,30%
0,15 0,25 55576 80678 7,40% 9,10% 695804 805768 92,60% 90,90% Dana Perimbangan (%) 74,50 68,05 6,65 7,45 3,41 4,96
0,23 70624 8,23% 787847 91,77%
0,05 0,14 52727 71520 7,96% 9,23% 609573 703119 92,04% 90,77% Dana Perimbangan (%) 63,71 59,45 5,77 6,11 8,94 10,65
0,09 71405 8,68% 751052 91,32%
0,10 0,08 53900 70427 8,11% 9,33% 610875 684256 91,89% 90,67% Dana Perimbangan (%) 69,38 67,00 7,28 8,12 4,01 6,40
0,12 72718 9,41% 700204 90,59%
0,00 29903 5,01%
0,11 41866 6,13%
0,06 43817 6,31%
68,25 7,32 9,71
69,58 9,68 5,79
72,36 8,84 4,60
57,37 7,28 10,45
67,55 9,85 5,68
Non PAD DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak Kabupaten Semarang
PAD Non PAD DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Temanggung
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Kendal
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Batang
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD
Kabupaten Pekalongan
Non PAD
567091 650747 94,99% 93,69% Dana Perimbangan (%) 73,42 69,57 8,73 9,15 2,88 4,75
640795 93,87%
0,07 0,24 63804 82943 9,89% 11,09% 581426 665187 90,11% 88,91% Dana Perimbangan (%) 70,67 65,65 7,11 7,73 3,70 5,89
0,38 90188 12,10% 655261 87,90%
0,06 0,14 34987 37774 6,64% 6,55% 491670 538690 93,36% 93,45% Dana Perimbangan (%) 73,89 73,04 7,53 8,35 2,30 4,80
0,00 39993 6,91% 538865 93,09%
0,00 0,12 52394 71685 8,44% 9,99% 568384 645773 91,56% 90,01% Dana Perimbangan (%) 73,09 68,42 7,53 8,36 4,31 4,64
0,15 62627 8,51% 673389 91,49%
0,17 0,16 25614 41193 5,30% 7,10% 457819 538707 94,70% 92,90% Dana Perimbangan (%) 75,02 69,25 9,23 9,58 3,25 5,74
0,22 36518 6,37% 537037 93,63%
0,07 0,22 37118 50137 6,79% 7,45% 509158 622936 93,21% 92,55% Dana Perimbangan (%)
0,16 48132 7,35% 606576 92,65%
71,60 10,53 5,05
68,24 8,73 4,83
74,33 8,84 3,25
69,67 10,18 5,06
72,60 11,92 4,36
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD Kabupaten Pemalang
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Tegal
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kabupaten Brebes
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kota Magelang
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kota Surakarta DAU DAK Bagi Hasil Pajak
75,27 8,50 4,15
69,13 8,71 5,72
72,59 9,27 4,69
0,10 0,10 45047 66737 6,83% 8,82% 614843 690173 93,17% 91,18% Dana Perimbangan (%) 80,38 76,35 1,50 1,31 3,50 5,55
0,09 53659 7,54% 658154 92,46%
0,05 0,17 58074 59371 8,31% 7,38% 640490 744810 91,69% 92,62% Dana Perimbangan (%) 78,79 75,41 1,41 3,54 4,24 4,87
0,12 67133 8,13% 758430 91,87%
0,14 0,21 34121 71897 4,33% 7,78% 753489 852737 95,67% 92,22% Dana Perimbangan (%) 83,54 77,48 1,31 1,12 4,31 5,33
0,23 65081 6,74% 900534 93,26%
0,12 0,15 28720 40550 9,21% 11,23% 283011 320388 90,79% 88,77% Dana Perimbangan (%) 75,68 71,07 7,35 7,74 3,41 4,72
0,09 49374 13,16% 325745 86,84%
0,07 0,17 86345 102930 14,59% 13,70% 505319 648339 85,41% 86,30% Dana Perimbangan (%) 63,30 56,03 4,48 4,13 7,28 7,99
0,21 106759 13,81% 666024 86,19%
81,18 1,39 4,36
75,70 5,61 4,95
74,21 4,06 4,78
68,44 7,98 4,93
56,35 5,02 7,28
Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD Kota Salatiga
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kota Semarang
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kota Pekalongan
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak PAD Non PAD
Kota Tegal
DAU DAK Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Non Pajak
0,08 0,19 30425 45150 10,44% 11,56% 260910 345571 89,56% 88,44% Dana Perimbangan (%) 72,98 57,68 8,12 7,94 3,70 4,88
0,26 38991 11,20% 309185 88,80%
0,22 0,42 231740 267914 20,77% 20,03% 884111 1069783 79,23% 79,97% Dana Perimbangan (%) 52,58 47,46 0,76 1,58 11,38 17,09
0,23 259411 18,94% 1110260 81,06%
0,06 0,10 19195 30098 6,12% 7,76% 294202 357581 93,88% 92,24% Dana Perimbangan (%) 75,27 68,11 9,15 9,07 3,64 6,52
0,08 22545 5,98% 354734 94,02%
0,10 0,16 58870 69567 17,61% 17,99% 275451 317187 82,39% 82,01% Dana Perimbangan (%) 65,90 61,07 7,40 8,14 5,17 5,99
0,22 65269 16,71% 325381 83,29%
0,05
0,16
67,98 9,20 5,76
50,20 3,05 14,21
70,34 10,26 7,24
61,89 9,70 5,69 0,20
Lampiran 11. Belanja Fungsi Pemerintah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah 2007-2009 Kabupaten/Kota Kab. Cilacap
%
(Juta Rp)
%
(Juta Rp)
%
397004
38,8
485092
41,7
455888
41,7
Pelayanan Umum
324234
31,7
359020
30,9
352556
32,3
Ekonomi
190473
18,6
190482
16,4
130244
11,9
Kesehatan
83557
8,2
94479
8,1
97064
8,9
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
12056
1,2
12597
1,1
25795
2,4
5642
0,6
6274
0,5
12981
1,2
Pariwisata dan Kebudayaan
2776
0,27
4335
0,37
3801
0,35
8680
0,8
11260
1,0
14631
1,3
Pendidikan
373129
42,9
302731
31,2
435985
43,9
Pelayanan Umum
249578
28,7
373239
38,5
219096
22,0
Ekonomi
122563
14,1
149636
15,4
179641
18,1
Kesehatan
101252
11,6
105440
10,9
97654
9,8
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
11372
1,3
14034
1,4
14584
1,5
3290
0,4
14417
1,5
9649
1,0
Pariwisata dan Kebudayaan
8202
0,94
9418
0,97
25322
2,55
0
0,0
0
0,0
12316
1,2
Pendidikan
294042
46,7
337342
49,0
358425
52,3
Pelayanan Umum
183420
29,1
175173
25,4
163579
23,9
Ekonomi
80580
12,8
85989
12,5
69679
10,2
Kesehatan
61086
9,7
71588
10,4
75888
11,1
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
6204
1,0
7121
1,0
5191
0,8
0
0,0
4242
0,6
6015
0,9
Pariwisata dan Kebudayaan
4607
0,73
6979
1,01
6564
0,96
0
0,0
658
0,1
165
0,0
Pendidikan
294042
46,7
337342
49,0
358425
52,3
Pelayanan Umum
183420
29,1
175173
25,4
163579
23,9
Ekonomi
80580
12,8
85989
12,5
69679
10,2
Kesehatan
61086
9,7
71588
10,4
75888
11,1
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
6204
1,0
7121
1,0
5191
0,8
0
0,0
4242
0,6
6015
0,9
Pariwisata dan Kebudayaan
4607
0,73
6979
1,01
6564
0,96
0
0,0
658
0,1
165
0,0
Perlindungan Sosial Kab. Banjarnegara
2009
(Juta Rp)
Perlindungan Sosial Kab. Purbalingga
2008
Pendidikan
Perlindungan Sosial Kab.Banyumas
2007
Belanja Fungsi
Perlindungan Sosial
Kab Kebumen
Kab Purworejo
Pendidikan
293376
39,0
371662
43,4
430065
49,8
Pelayanan Umum
185044
24,6
216765
25,3
184113
21,3
Ekonomi
187579
24,9
162865
19,0
129847
15,0
Kesehatan
64493
8,6
79968
9,3
103608
12,0
Lingkungan Hidup
7851
1,0
8878
1,0
5237
0,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
7223
1,0
6162
0,7
4922
0,6
Pariwisata dan Kebudayaan
5474
0,73
9340
1,09
5128
0,59
Perlindungan Sosial
1416
0,2
936
0,1
1048
0,1
Pendidikan
235884
36,9
333079
47,0
363731
51,0
Pelayanan Umum
220703
34,5
174273
24,6
173820
24,4
Ekonomi
114527
17,9
113937
16,1
86446
12,1
Kesehatan
61911
9,7
80308
11,3
71852
10,1
20
0,0
2181
0,3
4039
0,6
Lingkungan Hidup Perumahan dan Fasilitas Umum
Kab Wonosobo
Kab Magelang
Kab. Boyolali
0
0,0
0
0,0
6490
0,9
Pariwisata dan Kebudayaan
2559
0,40
1304
0,18
490
0,07
Perlindungan Sosial
4242
0,7
4276
0,6
5788
0,8
Pendidikan
216092
39,7
254651
41,9
277210
45,4
Pelayanan Umum
148187
27,3
156150
25,7
146479
24,0
Ekonomi
94856
17,4
113558
18,7
103982
17,0
Kesehatan
57176
10,5
59975
9,9
59603
9,8
Lingkungan Hidup
10353
1,9
8630
1,4
3887
0,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
7304
1,3
9023
1,5
14259
2,3
Pariwisata dan Kebudayaan
3642
0,67
5472
0,90
2472
0,41
Perlindungan Sosial
6060
1,1
0
0,0
2260
0,4
Pendidikan
313088
41,0
352251
42,0
403429
48,6
Pelayanan Umum
232471
30,4
231858
27,6
208880
25,2
Ekonomi
133490
17,5
138962
16,6
115013
13,9
Kesehatan
69633
9,1
84012
10,0
77844
9,4
Lingkungan Hidup
5946
0,8
7445
0,9
4926
0,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
2866
0,4
13287
1,6
14380
1,7
Pariwisata dan Kebudayaan
3969
0,52
5361
0,64
3430
0,41
Perlindungan Sosial
2956
0,4
5659
0,7
2257
0,3
Pendidikan
320340
45,2
353665
45,2
418909
51,2
Pelayanan Umum
191192
27,0
204862
26,2
176183
21,5
Ekonomi
103071
14,6
109030
13,9
117007
14,3
Kesehatan
66852
9,4
84249
10,8
92745
11,3
Lingkungan Hidup
7022
1,0
5232
0,7
3215
0,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
10416
1,5
15805
2,0
3842
0,5
Pariwisata dan Kebudayaan
8556
1,21
8872
1,13
5969
0,73
Perlindungan Sosial
534
0,1
814
0,1
227
0,0
Kab. Klaten
Pendidikan
445032
50,9
498346
51,0
574587
59,0
Pelayanan Umum
206498
23,6
251561
25,8
202412
20,8
Ekonomi
143316
16,4
141775
14,5
94285
9,7
Kesehatan
54969
6,3
65010
6,7
69780
7,2
Lingkungan Hidup
12826
1,5
2657
0,3
10948
1,1
Perumahan dan Fasilitas Umum
5776
0,7
7070
0,7
3335
0,3
Pariwisata dan Kebudayaan
4593
0,53
10491
1,07
10781
1,11
Perlindungan Sosial Kab. Sukoharjo
747
0,1
0
0,0
6999
0,7
Pendidikan
266672
43,3
310093
45,1
369059
53,2
Pelayanan Umum
192679
31,3
199540
29,0
174981
25,2
Ekonomi
92298
15,0
104158
15,1
68184
9,8
Kesehatan
52763
8,6
62813
9,1
66397
9,6
Lingkungan Hidup
3213
0,5
5314
0,8
3112
0,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
5199
0,8
3511
0,5
2189
0,3
0
0,00
0
0,00
2485
0,36
2602
0,4
2300
0,3
7532
1,1
Pendidikan
336978
46,4
379262
45,1
420466
50,9
Pelayanan Umum
193580
26,6
235609
28,0
188695
22,8
Ekonomi
114424
15,8
120462
14,3
115032
13,9
Kesehatan
58903
8,1
75944
9,0
75346
9,1
Lingkungan Hidup
11614
1,6
11969
1,4
7264
0,9
Perumahan dan Fasilitas Umum
5900
0,8
8761
1,0
5082
0,6
Pariwisata dan Kebudayaan
1636
0,23
4646
0,55
5347
0,65
Perlindungan Sosial
3368
0,5
4749
0,6
9022
1,1
Pendidikan
267450
41,7
318996
41,4
350473
48,7
Pelayanan Umum
207650
32,4
254909
33,0
212421
29,5
Ekonomi
97810
15,3
124940
16,2
74184
10,3
Kesehatan
55576
8,7
62166
8,1
61916
8,6
Lingkungan Hidup
3669
0,6
3249
0,4
7896
1,1
Perumahan dan Fasilitas Umum
3412
0,5
2216
0,3
2493
0,3
Pariwisata dan Kebudayaan
3597
0,56
3219
0,42
3514
0,49
Perlindungan Sosial
2152
0,3
1669
0,2
6303
0,9
Pendidikan
301786
40,8
381584
47,5
365427
48,7
Pelayanan Umum
192602
26,0
178332
22,2
146618
19,6
Ekonomi
160447
21,7
145183
18,1
138555
18,5
Kesehatan
62776
8,5
73963
9,2
75391
10,1
Lingkungan Hidup
8867
1,2
11454
1,4
10147
1,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
7816
1,1
8228
1,0
8198
Pariwisata dan Kebudayaan Perlindungan Sosial Kab. Wonogiri
Kab. Karanganyar
Kab. Sragen
Pariwisata dan Kebudayaan Perlindungan Sosial
4453 1802
0,60 0,2
3511 1878
0,44 0,2
3258 2217
1,1 0,43 0,3
Kab. Grobogan
Pendidikan
299829
40,0
330551
40,7
341268
43,8
Pelayanan Umum
208825
27,8
237646
29,2
193364
24,8
Ekonomi
154530
20,6
146133
18,0
128673
16,5
Kesehatan
58357
7,8
68505
8,4
82935
10,6
Lingkungan Hidup
7466
1,0
8417
1,0
5524
0,7
Perumahan dan Fasilitas Umum
11166
1,5
11636
1,4
13568
1,7
Pariwisata dan Kebudayaan
1076
0,14
686
0,08
3325
0,43
Perlindungan Sosial Kab. Blora
9256
1,2
9277
1,1
10991
1,4
Pendidikan
285712
44,4
317942
44,7
318883
44,7
Pelayanan Umum
187231
29,1
198700
27,9
213432
29,9
Ekonomi
94412
14,7
119142
16,7
102639
14,4
Kesehatan
60513
9,4
58653
8,2
60337
8,4
Lingkungan Hidup
11324
1,8
11557
1,6
1787
0,3
Perumahan dan Fasilitas Umum
2866
0,4
3423
0,5
7423
1,0
Pariwisata dan Kebudayaan
1845
0,29
2286
0,32
4405
0,62
Perlindungan Sosial Kab. Rembang
0
0,0
0
0,0
5159
0,7
Pendidikan
164735
32,3
221451
38,2
278334
47,6
Pelayanan Umum
149063
29,2
156946
27,1
145066
24,8
Ekonomi
131894
25,8
110371
19,1
77403
13,2
Kesehatan
56729
11,1
79251
13,7
79209
13,5
Lingkungan Hidup
5017
1,0
8007
1,4
1302
0,2
0
0,0
0
0,0
0
0,0
2811
0,55
3247
0,56
3811
0,65
0
0,0
0
0,0
0
0,0
Pendidikan
310292
40,0
352529
39,8
379285
44,2
Pelayanan Umum
181119
23,3
212479
24,0
209896
24,4
Ekonomi
184563
23,8
206045
23,2
146234
17,0
Kesehatan
91843
11,8
102079
11,5
107666
12,5
Lingkungan Hidup
4503
0,6
5580
0,6
3541
0,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
3959
0,5
5079
0,6
9072
1,1
Pariwisata dan Kebudayaan
0
0,00
940
0,11
1821
0,21
Perlindungan Sosial
0
0,0
1715
0,2
956
0,1
Pendidikan
248248
37,2
291544
37,6
310042
37,7
Pelayanan Umum
169468
25,4
201619
26,0
206854
25,2
Ekonomi
49729
7,5
126326
16,3
161621
19,7
Kesehatan
170223
25,5
124477
16,1
95142
11,6
Lingkungan Hidup
22832
3,4
19757
2,6
24362
3,0
Perumahan dan Fasilitas Umum Pariwisata dan Kebudayaan Perlindungan Sosial Kab. Pati
Kab. Kudus
Perumahan dan Fasilitas Umum Pariwisata dan Kebudayaan Perlindungan Sosial
0
0,0
3948
0,5
9778
1,2
6662
1,00
6846
0,88
8976
1,09
0
0,0
123
0,0
5681
0,7
Kab. Jepara
Pendidikan
203254
29,5
311084
41,2
334003
43,2
Pelayanan Umum
203540
29,5
202275
26,8
214582
27,8
Ekonomi
164539
23,9
101477
13,4
90797
11,7
Kesehatan
79107
11,5
89225
11,8
92212
11,9
Lingkungan Hidup
16502
2,4
13608
1,8
5507
0,7
Perumahan dan Fasilitas Umum
11088
1,6
14933
2,0
17256
2,2
Pariwisata dan Kebudayaan
9362
1,36
17878
2,37
7142
0,92
Perlindungan Sosial Kab. Demak
Kab. Semarang
2361
0,3
4203
0,6
11422
1,5
Pendidikan
216753
35,1
251028
36,1
298859
43,8
Pelayanan Umum
165147
26,7
196587
28,3
155005
22,7
Ekonomi
162722
26,3
142019
20,4
144901
21,2
Kesehatan
63184
10,2
65262
9,4
57759
8,5
Lingkungan Hidup
3182
0,5
7802
1,1
7183
1,1
Perumahan dan Fasilitas Umum
2116
0,3
23718
3,4
11094
1,6
Pariwisata dan Kebudayaan
2172
0,35
4285
0,62
2413
0,35
Perlindungan Sosial
2977
0,5
3864
0,6
5446
0,8
Pendidikan
257489
39,2
301374
40,3
324288
43,5
Pelayanan Umum
141213
21,5
157857
21,1
156175
21,0
Ekonomi
137453
20,9
157566
21,1
116615
15,6
Kesehatan
83589
12,7
91969
12,3
107076
14,4
Lingkungan Hidup
11955
1,8
10094
1,3
9385
1,3
Perumahan dan Fasilitas Umum
11754
1,8
11716
1,6
17013
2,3
Pariwisata dan Kebudayaan
12446
1,90
16244
2,17
7286
0,98
632
0,1
1310
0,2
7613
1,0
Pendidikan
205207
37,9
216433
37,5
268337
46,4
Pelayanan Umum
157202
29,0
185360
32,2
190275
32,9
Ekonomi
118455
21,9
115040
20,0
80307
13,9
Kesehatan
53321
9,8
54516
9,5
30113
5,2
Lingkungan Hidup
1980
0,4
1981
0,3
3548
0,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
3575
0,7
1907
0,3
2318
0,4
Perlindungan Sosial Kab. Temanggung
Pariwisata dan Kebudayaan
0
0,00
0
0,00
2508
0,43
1756
0,3
1227
0,2
1453
0,3
Pendidikan
250942
38,7
285921
39,9
330878
45,0
Pelayanan Umum
178152
27,4
205390
28,6
193940
26,4
Ekonomi
137964
21,3
108726
15,2
112242
15,2
Kesehatan
68637
10,6
76504
10,7
75363
10,2
Lingkungan Hidup
7429
1,1
23142
3,2
2864
0,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
1985
0,3
2471
0,3
2941
0,4
Pariwisata dan Kebudayaan
2496
0,38
4303
0,60
3827
0,52
Perlindungan Sosial
1557
0,2
11002
1,5
13960
1,9
Perlindungan Sosial Kab. Kendal
Kab. Batang
Kab. Pekalongan
Pendidikan
221782
44,1
248535
42,9
245624
42,8
Pelayanan Umum
115198
22,9
150418
25,9
158471
27,6
Ekonomi
92842
18,5
80720
13,9
75328
13,1
Kesehatan
53606
10,7
67144
11,6
70107
12,2
Lingkungan Hidup
13011
2,6
21593
3,7
13593
2,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
2732
0,5
4341
0,7
5474
1,0
Pariwisata dan Kebudayaan
3264
0,65
6083
1,05
3867
0,67
Perlindungan Sosial
566
0,1
1068
0,2
1091
0,2
Pendidikan
193933
34,8
219891
32,7
272887
41,7
Pelayanan Umum
195128
35,0
237702
35,3
171184
26,1
Ekonomi
76451
13,7
98529
14,6
88690
13,5
Kesehatan
73041
13,1
93645
13,9
98003
15,0
Lingkungan Hidup
8133
1,5
8452
1,3
2860
0,4
Perumahan dan Fasilitas Umum Pariwisata dan Kebudayaan Perlindungan Sosial Kab. Pemalang
Kab. Tegal
Kab. Brebes
0
0,0
0
0,0
2754
0,4
2607
0,47
3952
0,59
8298
1,27
7591
1,4
10902
1,6
10031
1,5
Pendidikan
280038
40,8
332136
43,9
300692
42,2
Pelayanan Umum
189424
27,6
210455
27,8
193196
27,1
Ekonomi
118537
17,3
86965
11,5
110905
15,6
Kesehatan
55864
8,1
80173
10,6
79920
11,2
Lingkungan Hidup
8316
1,2
8476
1,1
4729
0,7
Perumahan dan Fasilitas Umum
15022
2,2
13689
1,8
12803
1,8
Pariwisata dan Kebudayaan
17039
2,48
22966
3,03
6547
0,92
Perlindungan Sosial
2070
0,3
2050
0,3
3019
0,4
Pendidikan
288154
40,5
332899
41,4
379451
46,0
Pelayanan Umum
179456
25,2
217275
27,0
191858
23,2
Ekonomi
126440
17,8
153323
19,1
115830
14,0
Kesehatan
69857
9,8
70722
8,8
93911
11,4
Lingkungan Hidup
29193
4,1
14864
1,8
13664
1,7
Perumahan dan Fasilitas Umum
11407
1,6
15098
1,9
9524
1,2
Pariwisata dan Kebudayaan
5791
0,81
0
0,00
8400
1,02
Perlindungan Sosial
424
0,1
0
0,0
12925
1,6
Pendidikan
344093
41,4
359871
38,9
446361
46,2
Pelayanan Umum
244829
29,4
278097
30,1
245763
25,5
Ekonomi
162362
19,5
172057
18,6
138506
14,3
Kesehatan
70146
8,4
84296
9,1
110130
11,4
Lingkungan Hidup
1699
0,2
16155
1,7
13702
1,4
Perumahan dan Fasilitas Umum
2828
0,3
4115
0,4
3839
0,4
Pariwisata dan Kebudayaan
3362
0,40
7019
0,76
4541
0,47
Perlindungan Sosial
2081
0,3
3023
0,3
2774
0,3
Kota Magelang
Pendidikan
115877
35,6
119252
33,0
111380
29,7
Pelayanan Umum
87603
26,9
85972
23,8
123736
33,0
Ekonomi
50737
15,6
96239
26,7
78328
20,9
Kesehatan
43160
13,2
41684
11,5
43308
11,5
Lingkungan Hidup
24360
7,5
13701
3,8
10183
2,7
Perumahan dan Fasilitas Umum
1772
0,5
2048
0,6
4233
1,1
Pariwisata dan Kebudayaan
1098
0,34
1023
0,28
3952
1,05
Perlindungan Sosial Kota Surakarta
1222
0,4
1018
0,3
0
0,0
Pendidikan
206545
34,3
260812
34,7
283587
36,7
Pelayanan Umum
170345
28,3
205382
27,3
216027
28,0
Ekonomi
124057
20,6
151115
20,1
99741
12,9
Kesehatan
34936
5,8
52240
7,0
112403
14,5
Lingkungan Hidup
44381
7,4
46145
6,1
35272
4,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
6726
1,1
10761
1,4
12698
1,6
Pariwisata dan Kebudayaan
6307
1,05
14539
1,94
9412
1,22
Perlindungan Sosial Kota Salatiga
8133
1,4
10274
1,4
3644
0,5
Pendidikan
112416
37,1
111850
28,6
100546
28,9
Pelayanan Umum
79186
26,2
84484
21,6
97282
27,9
Ekonomi
45419
15,0
115819
29,6
71097
20,4
Kesehatan
40340
13,3
48647
12,5
49499
14,2
Lingkungan Hidup
20132
6,7
19033
4,9
1606
0,5
0
0,0
0
0,0
24022
6,9
Pariwisata dan Kebudayaan
3371
1,11
8487
2,17
0
0,00
Perlindungan Sosial
1825
0,6
2402
0,6
4123
1,2
Pendidikan
359247
30,6
448951
33,6
437052
31,9
Pelayanan Umum
445849
38,0
458212
34,3
443854
32,4
Ekonomi
198815
16,9
235047
17,6
231887
16,9
Kesehatan
84123
7,2
104817
7,8
112413
8,2
Lingkungan Hidup
43895
3,7
35018
2,6
76148
5,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
34404
2,9
45961
3,4
31204
2,3
Pariwisata dan Kebudayaan
6995
0,60
9692
0,72
16327
1,19
0
0,0
0
0,0
20786
1,5
Pendidikan
56988
17,2
143299
37,0
132007
35,0
Pelayanan Umum
141556
42,8
113444
29,3
130193
34,5
Ekonomi
57698
17,4
57135
14,7
61526
16,3
Kesehatan
43886
13,3
44771
11,5
36352
9,6
Lingkungan Hidup
17296
5,2
12233
3,2
3565
0,9
Perumahan dan Fasilitas Umum
3926
1,2
9746
2,5
5668
1,5
Pariwisata dan Kebudayaan
6217
1,88
3848
0,99
2070
0,55
Perlindungan Sosial
3493
1,1
3204
0,8
5898
1,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
Kota Semarang
Perlindungan Sosial Kota Pekalongan
Kota Tegal
Pendidikan
116793
34,1
124172
32,1
130067
33,3
Pelayanan Umum
75176
21,9
98687
25,5
94166
24,1
Ekonomi
57567
16,8
58316
15,1
58348
14,9
Kesehatan
61159
17,8
66538
17,2
66220
17,0
Lingkungan Hidup
16271
4,7
19233
5,0
8064
2,1
Perumahan dan Fasilitas Umum
10611
3,1
10315
2,7
15400
3,9
Pariwisata dan Kebudayaan
3554
1,04
7851
2,03
16671
4,27
Perlindungan Sosial
1855
0,5
1643
0,4
1714
0,4