MODAL SOSIAL1: MASYARAKAT HIGH TRUST DAN LOW TRUST SERTA TRUST DAN MOTIVASI EKONOMI Oleh: Dance J. Flassy2, Sasli Rais3, Agus Supriono4,
ABSTRAK
Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah trust. Pada masyarakat (atau bangsa) yang memiliki kapabilitas trust yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Keberadaan potensi modal sosial di tengah-tengah masyarakat yang demikian ini adalah merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi dan perciptaan tatanan ekonomi yang unggul. Hal demikian ini sebagimana yang terjadi di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. Masyarakat di ketiga negara ini adalah masyarakat high trust dan keberadaan potensi terbukti mampu menguatkan motivasi ekonomi negara yang lebih unggul dibandingkan dengan di negara-negara lainnya. PENDAHULUAN
Dewasa ini tidak bisa memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Adam Smith sebagaimana dikutip Muller (1992) menegaskan, adalah suatu kemustahilan memahami ekonomi terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya. Adapun Fukuyama (1995) di dalam bukunya ’Trust The Social Virtues and The Creation
of
Prosperity’
meyakinkan,
kesejahteraan
sebuah
negara,
seperti
kemampuannya untuk bersaing, ditentukan oleh karakteristik budaya pervasiv yang melekat inheren dalam masyarakat. Karakteritik budaya pervasif yang melekat inheren dalam masyarakat ini adalah trust. Adapun trust, disepadankan dengan istilah kepercayaan atau rasa percaya (mempercayai), melekat di dalam kebudayaan sebuah komunitas (atau bangsa).
1
Artikel Bagian-3 (dimuat di http://p2dtk.bappenas.go.id pada 24 Juni 2009) Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Papua Barat, Mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) – Universitas Indonesia. 3 Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen - Jakarta, Tim Teknis Project Management Unit – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus – Bappenas – Jakarta. 4 Staf Pengajar Sosial Ekonomi Pertanian – Fakultas Pertanian – Universitas Jember. 2
1
Trust pada tingkatan individual merupakan kekayaan batin, norma, dan nilai individual yang merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Merujuk Nahapiet dan Ghosal (1998), pada tingkatan individual trust bersumber dari nilai-nilai, diantaranya dari: (a) agama atau kepercayaan yang dianut, (b) kompetensi seseorang, dan (c) keterbukaan, yang telah menjadi norma di masyarakat dan diyakini oleh seseorang. Trust di dalam tingkatan relasi sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok yang didasari oleh semangat altruism, social resiprocity, dan homo ets homo homini. Dinyatakan oleh Coleman (1988), pada tingkatan relasi sosial sumber trust berasal dari norma sosial yang memang telah melekat pada stuktur sosial komunitas (masyarakat/bangsa) yang diikat dengan nilainilai budaya. Hal ini terutama berkaitan dengan kepatuhan anggota komunitas terhadap berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis pada komintas tersebut. Trust pada tingkatan sistem sosial, merupakan nilai publik komunitas, atau masyarakat, atau bangsa, yang perkembangnya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada, dimana sistem sosial tersebut didasari pada nilai-nilai budaya unggul. Sebagaimana diungkapkan oleh Hasbullah (2006) dengan memijam pendapat Putman (1993), di tingkat sistem sosial trust bersumber dari karakteristik sistem sosial tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota komunitas (masyarakat/bangsa). Ditegaskan oleh Putman (993), bahwa trust memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas (bangsa). Fukuyama (1995) bahkan sangat meyakini, bahwa trust sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan ekonomi unggul. Digambarkannya trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perililaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-normayang dianut bersama-sama. Artikel ini disusun dengan tujuan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya potensi trust di tengah-tengah suatu masyarakat (atau bangsa) dan bagaimana kaitan antara trust dengan motovasi ekonomi. Harapan penulis semoga altikel ini dapat
2
bermanfaat sebagai bahan masukan pada diskusi-diskusi dan kajian-kajian ilmiah lebih lanjut terkait dengan keberadaan potensi trust di tengah-tengah suatu masyarakat sebagai pembentuk utama modal sosial guna membangun perekonomian yang unggul.
PEMBAHASAN
Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat. Trust memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas atau bangsa (Putman, 1999). Oleh karena itu Fukuyama (1995) menyatakan, trust sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan ekonomi unggul. Digambarkannya trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perililaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama-sama oleh anggota masyarakat. Norma-norma tersebut dapat berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada niai-nilai luhur, seperti hakekat Tuhan atau keadilan, ataupun norma-norma sekuler seperti standar profesional dan kode etik perilaku. Pada masyarakat memiliki kapabilitas trust yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial yang lemah. 6 Masyarakat High Trust dan Low Trust: Di dalam bukunya “Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity”, Fukuyama (1995) membagi serangkaian kebudayaan negara-negara di dunia secara dikotomis, yaitu: (a) high trust society (masyarakat dengan tingkat trust yang tinggi), dan (b) low trust society (masyarakat dengan tingkat trust yang rendah). Masyarakat
3
yang tergolong high trust adalah masyarakat dengan radius of trust yang panjang (lebar). Masyarakat yang tergolong low trust adalah masyarakat dengan radius of trust yang pendek (sempit). Mengikuti Knack dan Keefer (1997), secara umum masyarakat high trust adalah masyarakat yang memiliki solidaritas komunal yang sangat tinggi. Solidaritas komunal yang tinggi ini pada gilirannya mengakibatkan anggota-anggota masyarakat mereka mau bekerja mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Sementara itu masyarakat low trust adalah masyarakat yang lebih inferior dalam perilaku kolektifnya. Masyarakat high trust dicirikan dengan mereka dapat mengorganisasikan kerjanya dengan basis yang lebih fleksibel dan berorientasi kelompok, dengan pertanggung-jawaban yang lebih banyak didelegasikan pada tingkat-tingkat organisasi yang lebih rendah (Woolcok, 1998). Sebaliknya masyarakat yang low trust harus mengekang dan mengisolasikan diri mereka dengan aturan-aturan adat, sosial, dan bahkan birokrasi. Secara lebih tegas Gambetta (2000) menyatakan, masyarakat low trust adalah masyarakat familistik. Pada masyarakat yang demikian, wahana utama (dan sering menjadi satu-satunya) untuk sosiabilitas adalah keluarga dan bentuk-bentuk kekerabatan yang lebih luas, seperti klan atau suku. Masyarakat yang demikian ini, sering kali memiliki asosiasi-asosiasi sukarela yang lemah. Hal ini terjadi karena hubungan dengan orang-orang yang tidak terkait dengan keluarga mereka tidak memiliki basis untuk saling percaya satu sama lain. Gambetta (2000) yang merilis pendapat Fukuyama (1995) mencontohkan, masyarakat yang tergolong familistik ini adalah masyarakat China (meliputi Taiwan, Hong Kong, dan Republik Rakyat China). Orientasi familistik pada masyarakat China ini terbentuk dari hakekat ajaran Konfusianisme yang dianut oleh mereka. Hakekat ajaran Konfusianisme adalah peningkatan ikatan-ikatan keluarga di atas seluruh kesetiaan sosial lainnya. Sebagaimana yang diungkapkan Fukuyama (1995), para pendeta Budha di lingkungan masyarakat China seringkali dicacimaki karena membujuk anak-anak atau generasi muda untuk menjauhi (memisahkan diri) dari ikatan keluarga mereka.
4
Menurut Fukuyama (1995), masyarakat Perancis dan daerah-daerah Italia juga memiliki karakteristik low trust, meskipun ikatan familisme yang terbentuk di masyarakatnya tidak sejelas yang terjadi di masyarakat China. Akan tetapi di masyarakat Perancis dan daerah-daerah Italia dijumpai ada defisit kepercayaan (kemiskinan trust) di antara orang-orang yang tidak terkait dengan satu sama lain. Oleh karena hal ini maka komunitas sukarela yang tumbuh di lingkungan masyarakatnya keberadaannya menjadi lemah. Masyarakat di negara-negara Amerika Latin, juga dikatagorikan oleh Fukuyama (1995) termasuk dalam kataori low-trust. Berada dalam katagori low-trust, karena kepercayaan yang tumbuh terbatas di dalam keluarga, sesama keluarga besar mereka, atau dalam lingkaran kecil pertemanan yang bersifat sangat personal. Kepercayaan yang terbangun cenderung ke arah group solidarity atau ethnic solidarity dan cenderung kuat menganut budaya klan dan feodal. Orang di luar keluarganya, di luar kelompoknya, atau di luar sukunya, dianggap orang asing yang memiliki cara hidup kurang dibandingkan dengan cara hidup keluarga, kelompok, atau sukunya. Mereka cenderung memberikan bobot yang rendah terhadap orang lain, kelompok lain, atau suku lain. Berbalikan dengan familistik adalah masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial umum yang tinggi, sehingga mereka memiliki kecenderungan yang kuat terhadap sosiabilitas spontan. Masyarakat yang demikian ini adalah masyarakat dengan katagori high trust. Fukuyama (1995) menyatakan, masyarakat Jepang dan Jerman dinyatakan berada dalam katagori high trust ini. Kearifan konvesional telah mencetak masyarakat Jepang dan Jerman menjadi masyarakat yang berorietasi kelompok. Masyarakat Jepang dan Jerman kaya akan asosiasi-asosiasi sukarela kuat. Solidaritas komunal yang mereka miliki sebagai sebuah nilai luhur, menyebabkan anggota-anggota masyarakat mereka mau bekerja mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa kebersamaan. Masyarakat Amerika Serikat juga dikatagorikan termasuk masyarakat high trust. Masyarakat Amerika Serikat, sebagaimana diyakini oleh banyak orang, bahkan juga diyakini oleh sebagian besar masyarakatnya sendiri, adalah sebagai masyarakat individualistik. Akan tetapi menurut Fukuyama (1995), hal ini ini tidak benar adanya. Pada kenyataanna sejak awal pendirian negara ini, masyarakatnya tidak pernah menjadi masyarakat individualistik. Masyarakat Amerika Serikat selalu kaya dengan potensi
5
jaringan asosiasi sukarela serta memiliki struktur komunitas dimana individu-individu rela men-subordinatkan kepentingan - kepentingan mereka yang sempit. Di Amerika Serikat asosiasi-asosiasi sukarela dapat lebih kuat untuk dipergunakan menarik orang keluar dari keluarga mereka. Misalnya, koversi agama seringkali mendorong orang untuk meninggalkan keluarga mereka guna mengikuti panggiran dari sekte agama baru, atau setidaknya membebankan kewajiban-kewajiban baru kepada mereka yang bersaing dengan kewajiban terhadap keluarga mereka. Barangkali anggapan yang benar adalah, bahwa orang-orang Amerika Serikat secara tradisional jauh lebih anti-statis apabila dibandingkan dengan orang-orang Jerman atau Jepang. Sesungguhnya
memang
ada
masyarakat-masyarakat
yang
benar-benar
individualistik dengan kemampuan berasosiasi yang sangat lemah. Di dalam masyarakat seperti ini, baik keluarga maupun asosiasi-asosiasi sukarela sangat lemah. Pada masyarakat yang seperti ini justru (malahan) seringkali yang terjadi bahwa organisasiorganisasi yang paling kuat adalah geng-geng. Masyarakat demikian ini dicontohkan oleh Fukuyama (1995), adalah masyarakat Rusia dan masyarakat di bekas negaranegara komunis tertentu (bekas Unisovyet). Atau juga contoh spesifik di lingkungan masyarakat yang ada di pusat-pusat kota di Amerika Serikat. 6 Trust dan Motivasi Ekonomi Trust, adalah merupakan energi kolektif masyarakat atau bangsa untuk mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat atau bangsa (Hasbullah, 2006). Energi kolektif masyarakat atau bangsa, disebut oleh Durkheim (1973) sebagai solidaritas organik (organic solidarity), atau banyak juga disebutkan oleh para penganut aliran ekonomi baru sebagai solidaritas spontan. Trust merupakan energi kolektif masyarakat atau bangsa untuk mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat atau bangsa. Hal demikian ini menurut Fukuyama (1995), terbangun karena sikap saling mempercayai (trust) di masyarakat atau bangsa memungkinkan masyarakat atau bangsa tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada paningkatakan kemajuan ekonomi.
6
Fukuyama (2000) lebih jauh menegaskan bahwa, rasa percaya dan saling mempercayai (trust) menentukan kemampuan suatu bangsa untuk membangun masyarakat dan institusi-institusi di dalamnya guna mencapai kemajuan. Rasa saling mempercayai juga akan mempengaruhi semangat dan kemampuan berkompetisi secara sehat di tengah masyarakat. Rasa saling percaya ini tumbuh dan berakar dari nilai-nilai yang melekat pada budaya kelompok. Sejalan dengan hal ini Gambetta (2000) menyatakan, berbagai tidakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi (high trust) akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi, terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama dan terutama kemajuan dalam bidang ekonomi. Para penganut aliran ekonomi baru yang dewasa ini berada di balik konsep modal sosial (social capital) mensepakati akan peranan penting trust sebagai energi pembangunan masyarakat, terutama guna meraih kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi. Pandangan para penganut aliran ekonomi baru ini mendasarkan pada pendapat Adam Smith di dalam bukunya ”Theory of Moral Sentiments” sebagaimana dikutip Muller (1992) yang menggambarkan bahwa, motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks dan tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial yang lebih luas. Sebagai salah satu penganut aliran ekonomi baru, Coleman (1999) yakin benar bahwa tatanan ekonomi yang terbentuk dari rasa saling percaya (trust) merupakan basis dari kewajiban-kewajiban harapan masa depan akan kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi. Demikian pula Putnam (1993) meyakini, bahwa trust merupakan sumber kekuatan bangsa atau masyarakat (energi kolektif bangsa atau masyarakat) yang dapat mempertahankan kelangsungan perekonomian yang dinamis dan kinerja perekonomian yang efektif. Suatu bangsa atau masyarakat yang kurang memiliki rasa saling mempercayai (low trust) atau telah kehilangan rasa saling mempercayai (zero trust), akan menjadi lemah dan sulit keluar dari berbagai krisis ekonomi yang melanda dan dihadapinya. Dinamika kehidupan ekonomi di dalam masyarakat atau bangsa menjadi tumpul. Kegiatan-kegiatan di dalam lembaga-lembaga ekonomi masyarakat, ataupun asosiasi-
7
asosiasi yang berbasis kepentingan ekonomi di tengah masyarakat akan kehilangan orientasi dan jati diri. Woolcock (1998) menyatakan, asosiasi spontan yang terbentuk dari keberadaan trust di dalam masyarakat atau bangsa, dapat dengan subur memupuk kemampuannya untuk membentuk korporasi-korporasi bisnis besar, profesional dan modern. Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan, jika di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, dimana masyarakatnya memiliki nilai high trust, tumbuh dan berkembang dengan baik perusahaan-perusahaan bersekala besar dan dikelola secara profesional. Ketiga negara tersebut adalah yang memprakarsai (terdepan) pembangunan perusahaan-perusahaan besar dan dikelola secara profesional. Seiring dengan pendapat Fukuyama (1995), pada masyarakat yang high trust seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, dengan kemampuannya mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis swasta yang besar. Masyarakat Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, bisa membangun organisasi-organisasi bisnis besar tanpa perlu dukungan (campur tangan) negara. Ketiga masyarakat ini adalah yang pertama, baik dalam skala waktu absolut maupun relatif terhadap perkembangan sejarah mereka, mengembangkan perusahaan-perusahaan besar, modern, dan secara profesional diatur secara hierarkis. Sebaiknya pada masyarakat low trust seperti Perancis, Italia, dan negara-negara China non-komunis seperti Taiwan dan Hong Kong, sebagaimana diungkapkan Woolcock dan Narayan (2000), relatif terlambat dalam bergerak melampaui bisnisbisnis besar menuju korporasi-korporasi modern. Dikatakan oleh Fukuyama (1995), di masyarakat Taiwan, Hong Kong, Perancis, dan Italia, secara tradional telah dipadati oleh bisnis keluarga. Di negara-negara Taiwan, Hong Kong, Perancis, dan Italia ini keengganan nonkerabat untuk mempercayai satu sama lain sudah melampaui batas dan dalam beberapa kasus mencegah munculnya perusahaan-perusahaan modern yang dimanajemeni secara profesional. Jika sebuah masyarakat low trust dan familistik ingin memiliki bisnis bersekala besar, maka negara harus ikut campur untuk membantu menciptakannya melalui subsidi, bimbingan, atau bahkan sekaligus kepemilikan. Hasilnya adalah distribusi perusahaan yang berbentuk pelana (saddle-shaped), dengan sejumlah besar
8
perusahaan keluarga yang relatif kecil pada salah satu ujung sekala itu, sejumlah kecil perusahaan-perusahaan perusahaan milik negara di ujung yang lain, serta relatif kecil diantara keduanya. Sebagaimana di Perancis yang menurut Fukuyama (1995) tergolong masyarakat (bangsa) yang low trust, dukungan negara telah membuat negara ini mampu mengembangkan sektor-sektor industri bersekala besar dan intensif modal. Akan tetapi bagaimanapun perusahaan-perusahaan milik negara secara tidak terhindarkan lebih tidak efektif dan kurang dimanajemeni dengan baik dibandingkan para pesaing sektor swasta mereka. Para ekonom aliran baru sekarang mulai yakin bahwa kemampuan perusahaanperusahaan untuk bergerak dari hierarki-hierarki besar ke jaringan fleksibel perusahaanperusahaan kecil, akan sangat tergantung pada tingkat kepercayaan (trust) yang hadir dalam masyarakat luas. Masyarakat berkepercayaan tinggi (high trust) seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat berhasil menciptakan berbagai jaringan dengan baik sebelum revolusi informasi memasuki kecepatan yang lebih tinggi. Masyarakat berkepercayaan rendah (low trust) mungkin tidak pernah mampu meningkatkan
efisiensi
yang
ditawarkan
teknologi
informasi.
Bagaimanapun
masyarakat bergantung pada kepercayaan (trust), kepercayaan ditentukan secara kultural (culture), maka komunitas spontan akan muncul dalam berbagai tingkatan yang berbeda dalam budaya yang berbeda pula. Hal ini bertentangan dengan kebayakan ekonom aliran lama, dimana secara tipikal berpendapat bahwa formasi kelompok-kelompok sosial bisa dijelaskan sebagai hasil kontak sengaja diantara individu-individu yang telah melakukan kalkulasi rasional, bahwa kerjasama itu sesuai dengan ’swa-kepentingan’ (self interest) jangka panjang mereka. Dengan pertimbangan ini, maka kepercayaan (trust) menjadi sesuatu yang tidak penting bagi sebuah kerjasama swa-kepentingan bersama dengan mekanisme hukum kontrak. Swa-kepentingan dengan mekanisme hukum kontrak diyakini bisa menjadi pengganti atas mangkirnya kepercayaan dan memungkinkan orang-orang asing bekerjasama menciptakan sebuah organisasi yang akan bekerja demi tujuan bersama. Menurut mereka, kelompok-kelompok dapat dibentuk setiap saat berdasarkan swa-
9
kepentingan dan formasi kelompok tidak selalu tergantung pada kebudayaan (culture dependent). Oleh karena itu Fukuyama (1995) benar-benar yakin, bahwa trust bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi unggul, karena bisa diandalkan untuk mengurangi biaya (cost). Di dalam bisnis, trust bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekakuan-kekakuan yang mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kontrak perjanjian, mengurangi (menghidari) situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan mengeliminasi keharusan akan proses hukum seandainya terjadi pertikaian. Oleh karena itu trust bisa diandalkan untuk mengurangi biaya dan waktu. Melalui trust orang-orang dapat bekerja sama secara lebih efektif. Hal ini dimungkinkan karena ada kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Sebagaimana masyarakat Jepang, Jerman dan Amerika Serikat sangat teguh dalam memegang komitmen, perjanjian-perjanjian yang dibuat dan kesepakatan-kesepakatan lainnya. Masyarakat di ketiga negara ini senang akan kepastian. Perjanjian untuk bertemu dan bernegosiasi antar individu dan antar kelompok senantiasa dipatuhi dengan tepat waktu. Trust yang terbentuk tidak hanya berkembang di dalam pergaulan antar individu atau antar kelompok, akan tetepi juga pada perusahaan-perusahaan industri di dalam negeri. Pola hubungan antara buruh dengan pemilik modal, antara buruh dengan pemimpin perusahaan berkembang dengan semangat kejujuran yang sangat tinggi. Mengikuti Fukuyama (1995), pada khususnya di Jepang perusahaan-perusahaan sangat memperhatikan kesulitan dan berbagai persoalan yang dihadapi para pekerjanya, mulai dari masalah-masalah yang berhubungan dengan
kesehatan, perumahan dan
kebutuhan hidup lainnya. Cara-cara demikian menyebabkan terus berkembangnya rasa saling mempercayai antara sesama karyawan, karyawan dengan manajemen, dan karyawan dengan pemilik modal. Pola interelasi yang demikian telah mendorong efisiensi produksi dan produktivitas yang tinggi dari perusahaan-perusahaan industri yang ada di negeri tersebut dan berkontribusi besar pada kemajuan bangsa Jepang secara keseluruhan.
10
KESIMPULAN
Berdasarkarkan paparan sebelumnya dapat diambil beberapa poin simpulan antara lain: (1)
Masyarakat yang tergolong high trust adalah masyarakat dengan radius of trust yang panjang (lebar), sedangkan masyarakat yang tergolong low trust adalah masyarakat dengan radius of trust yang pendek (sempit).
(2)
Masyarakat high trust, seperti halnya masyarakat Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, adalah masyarakat yang memiliki solidaritas komunal yang sangat tinggi, sehingga pada gilirannya mendorong anggota-anggotanya mau bekerja mengikuti aturan, memperkuat rasa kebersamaan, serta dapat mengorganisasikan kerjanya dengan basis yang lebih fleksibel dan berorientasi kelompok dengan pertanggungjawaban yang lebih banyak didelegasikan pada tingkat-tingkat organisasi yang lebih rendah. Oleh karena itu masyarakat Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, bisa membangun organisasi-organisasi bisnis besar, modern, dan secara profesional diatur secara hierarkis, tanpa perlu dukungan (campur tangan) negara.
(3)
Masyarakat low trust, seperti halnya masyarakat Amerika Latin, China, ataupun Perancis, adalah masyarakat yang lebih inferior dalam perilaku kolektifnya, sehingga harus mengekang dan mengisolasikan diri mereka dengan aturan-aturan familistik, adat, sosial, dan bahkan birokrasi, serta wahana utama (dan sering menjadi satu-satunya) untuk sosiabilitas adalah keluarga dan bentuk-bentuk kekerabatan yang lebih luas, seperti klan atau suku. Oleh karena itu relatif terlambat dalam bergerak membangun bisnis-bisnis besar menuju korporasikorporasi modern (dimanana secara umum organisasi bisnis didominasi oleh bisnis-bisnis keluarga).
DAFTAR PUSTAKA
Coleman, J., 1999. Social Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge Mass: Harvard University Press. Durkheim, E. 1973. Moral Education: Study in the Theory and Application of the Sociology of Education. New York: Free Press.
11
Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: Free Press. ---------------. 1995. Social Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. --------------. 2000. Social Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. Gambetta, D. 2000. Trust: Making and Breaking Cooperative Relations. Electronic Edition. Chapter 13. Oxford: Department Sociology, University of Oxford, 213-37. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. ---------------. 2000. Can We Trust Trust ?. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press. Knack, S. and Philip Keefer. 1997. Does Social Capital Have an Economic Payoff? A Cross-Country Investigation. Quarterly Journal of Economics, 112(4), November, 1251-88. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. Nahapiet.J., Ghosal S. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and The Organization Advantage. The Academy of Management Review, 23(2): 242-276. Muller. 1992. Adam Smith and His Time and Ours, Fukuyama. 2002. Trust Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran Terjemahan Ruslani. Yogjakarta: CV. Qalam. . Partha D., Ismail S. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank. Putnam, R.D. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American Prospect, 13, Spring, 35- 42. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. --------------. 1993. Making Democracy Work: Civil Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press. Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, 27 (1),151-208. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited. ----------------, D. Narayan. 2000. Social Capital: Implication for Development Theory, Research, and Policy. World Bank Research Observer, 15(2), August, 22549. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
12