18
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
ETIKA, INTEGRITAS DAN KEARIFAN LOKAL (MENCIPTAKAN TRUST MASYARAKAT)* Andi Pitono Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor
[email protected]
Abstract The essence of government is Leadership and ethics; talking about government cannot be separated from governmental leader, and talking about what hope that we can lean on this government’s leader, the answer would be ethics (Ryaas Rasyid, 2001: 10). Moreover, a leader should place himself that he talks to any level of society. He should have ability to educate society, be the first person who helps society, be the first who come to solve the problem and be able to prevent social disharmony in the society. A leader should have more integrity than his people have. To make it happen, a leader needs to have populist leadership quality based on ethics that honor highly local culture and always firm hold local wisdom. The purposes are to strengthen the character of local government apparatus and society as well as to strengthen local competitiveness to create Prosperous, Religious, and Democratic Society in line with cultural and local wisdom based ethics. The example of Values embodied in local wisdom of Sumedang Regency are: 1) Philosophical Value is “INSUN MEDAL INSUN MADANGAN”, meaning that I Born to Give Enlightenment and Be Meaningful; 2) Value of Managerial is “RAWAYAN JATI SUNDA”, meaning that character that should be kept by Sumedang society as bridge in process of governance, development and social; 3) Operational Values is DASA MARGA RAHARJA”, meaning that there are ten behavior or trait that every people of Sumedang should have in order to conduct in implementation of governance, development and social, therefore they would give effectiveness and efficiency. The essences of these values are taken from social cultural values of Sundanesse that grow and develop in its society. Keywords: government, ethics, leadership, integrity, local wisdom .
*
Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIII, tanggal 28-29 Juni 2013, dan disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
19
1. Pendahuluan Negara Indonesia akhir-akhir ini dihadapkan dengan terjadinya suatu ledakan permasalahan yang sangat besar bagi kelangsungan berbangsa dan bermasyarakat. Permasalahan tersebut bukan lagi menjadi domain masalah pemerintah semata tetapi merupakan masalah publik secara universal, meliputi: korupsi, transparansi, akuntabilitas, tata kelola pemerintahan yang tidak berpihak pada masyarakat, perilaku elit jauh dari harapan dan menurutnya berbagai fasilitas pelayanan publik atau kurang memperhatikan standart pelayanan. Sehingga dampak permasalahan ini tidak saja merugikan masyarakat secara nasional tetapi juga berdampak pada kepercayaan internasional yang dicerminkan pada rendahnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan puncaknya Indonesia dinilai termasuk ketegori suatu negara yang mengarah kepada Negara gagal (fail nations). Berdasarkan fenomena dimaksud, kita mencoba memandang dan mefokuskan pada kepemimpinan moral penyelenggara negara dan pemerintahan atau tepatnya Birokrasi pemerintahan. Sissela Bok seorang filsafat dari Brandeis University dalam artikelnya menekankan pada kepemimpinan moral sebagai sesuatu yang utama dikedepankan bagi mereka yang berada dalam organisasi publik: “Aristotle said that people in government exercise a teaching function. Among other things, we see what they do and think that is how we should act. Unfortunately, when they do things that are enderhanded or dishonest, that teaches us too”.
Dengan perkataan lain diantara aktor lain, aktor-aktor publik di pemerintahan itu ibarat seorang guru. Ia melihat apa yang mereka kerjakan dan mereka menghimbau bagaimana kita harus bertindak. Tiba-tiba ketika mereka mengerjakan sesuatu yang licik, curang atau tidak jujur secara sadar atau tdak sadar mereka sedang mengajarkannya kepada kita semua (LAN RI, 2002). Seorang pemimpin seyogianya memiliki kemampuan memahami dinamika masyarakat, sehingga dapat menjadi orang pertama yang menolong masyarakat, orang pertama yang datang untuk mengatasi masalah dan mampu mencegah terjadinya disharmoni sosial di tengah masyarakat. Saat-saat seperti ini seorang pemimpin mempunyai integritas yang lebih dibanding dengan yang dipimpinnya. Pembentukan integritas dimulai dari seorang pemimpin, terutama para pemimpin lembaga publik yang menerima mandat dari rakyat untuk menjalankan penyelenggaraan negara, seorang pemimpin yang berintegritas Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
20
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
tinggi akan membantu mengentaskan negara ini dari penyakit korupsi yang menahun. Seorang pemimpin selain dituntut untuk menunjukkan kinerja yang tinggi, juga harus mengedepankan etika dan integritas birokrasi. Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada usia negara itu. Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Lalu, apa perbedaannya? Perbedaannya adalah pada sikap atau perilaku yang mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan yang salah satu dari prinsip dasar itu adalah integritas. Makna integritas (Samuel T. Gunawan) berarti : a) Komitmen dan loyalitas, yaitu suatu janji pada diri sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan-tindakan seseorang. Seseorang yang berkomitmen adalah mereka yang dapat menepati sebuah janji dan mempertahankan janji itu sampai akhir, walau pun harus berkorban. b) Tanggung jawab, adalah tanda dari kedewasaan pribadi. Orang yang berani mengambil tanggung jawab adalah mereka yang bersedia mengambil risiko, memperbaiki keadaan, dan melakukan kewajiban dengan kemampuan yang terbaik. c) Dapat dipercaya, jujur dan setia, kehidupan dipercaya, apabila perkataan sejalan dengan perbuatan; tentunya dalam hal ini yang dipandang baik atau positif. d) Konsisten, berarti tetap pada pendirian. Orang yang konsiten adalah orang yang tegas pada keputusan dan pendiriannya tidak goyah. Konsisten bukan berarti sikap yang keras atau kaku. Orang yang konsisten dalam keputusan dan tindakan adalah orang yang memilih sikap untuk melakukan apa yang benar dengan tidak bimbang, karena keputusan yang diambil beradasrkan fakta yang akurat, tujuan yang jelas, dan pertimbangan yang bijak. e) Menguasai dan mendisiplin diri. Banyak orang keliru menggambarkan sikap disiplin sehingga menyamakan disiplin dengan bekerja keras tanpa istirahat. Padahal sikap disiplin berarti melakukan yang seharusnya dilakukan, bukan sekedar hal yang ingin dilakukan. Disiplin mencerminkan sikap pengendalian diri, suatu sikap hidup yang teratur dan seimbang. f) Berkualitas, kualitas menentukan kuantitas. Integritas hidup berkualitas adalah kehidupan yang membiarkan orang luar menilai diri kita. Birokrasi dengan jiwa kepemimpinan dan integritas diharapkan mampu dan memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan undangundang yang diarahkan untuk kepentingkan publik. Hal-hal yang ilakukan oleh birokrasi dalam menyangkut integritas secara umum adalah :
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
21
a) Selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk memenuhi standar kinerja dan persyaratan organisasi lainnya; b) Memperlakukan diri di depan umum dengan cara yang tidak akan mencerminkan buruk, salah dan tidak tepat pada sektor publik, lembaga atau pegawai sektor publik secara umum. c) Memastikan berperilaku mencerminkan harapan masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam tujuan dan standar Undang-Undang yang berorientasi pada Publik. Integritas yang dimiliki birokrasi, sebagai upaya untuk membangun kepercayaan publik dan bentuk pelayanan, yang sampai saat ini dirasakan masih sangat kurang sehingga publik kurang percaya lagi (distrust) terhadap pemerintahan yang dikelola oleh birokrat. Melalui etika yang bersumber dari kearifkan lokal dapat memberikan ikatan yang kuat bagi pemimpin untuk memiliki prinsip-prinsip dasar kehidupan di antaranya adalah integritas. Wujud kearifkan lokal sebagai sumber etika adalah budaya masyarakat yang mengandung nilai-nilai agung sebagai dasar kehidupan menuju ke arah yang lebih baik dan dapat membantu pemerintah memiliki nilai lebih di dalam mengelola pemerintahan dan bersinergis denga kehidupan bermasyarakat setempat. Menurut Osborne dan Plastrik (2001: 49) bahwa Budaya merupakan bagian lima strategi untuk memperbarui organisasi pemerintah, yaitu: Strategi Budaya (culture strategy), yang mempunyai tujuannya untuk mengubah perilaku, perasaan, dan cara berpikir pegawai negeri. Strategi Budaya ini lebih jauh bertujuan untuk meletakkan nilai, norma, sikap, dan harapan pegawai yang sesuai dengan tujuan organisasi, sistem insentifnya, sistem akuntabilitasnya dan sistem struktur kekuasaan. 2. Pemerintahan Daerah dan Kepercayan Publik 2.1. Pemerintahan Daerah Pemerintah Daerah dibentuk sebagi wujud desentralisasi, dalam arti devolusi. Hal ini sebagaimana menurut Rondinelli (Made Suwandi, 2004: 9) bahwa Desentralisasi mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pusat yang ditugaskan ke daerah. Pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan yang terbaik kepada publik serta sebagai upaya untuk dekat dengat masyarakat. Selanjutnya argument implementasi desentralisai menurut Rondinelli & Cheema (1983) diantaranya bahwa Desentralisasi dapat meningkatkan jumlah pemberian pelayanan barang dan jasa publik, dan dengan biaya yang
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
22
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
lebih rendah serta Desentralisasi perencanaan pembangunan, fungsi manajemen memungkinkan pemimpin lokal utk menentukan pelayanan dan fasilitas secara lebih efektif dengan komunitas. Sampai sekarang proses penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dilaksanakan melalui tiga asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Idealnya ketiga asas tersebut berjalan secara seimbang agar proses pemerintahan dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah otonom dimaksudkan untuk mencapai keseimbangan dan bukan menggeser kewenangan kepada daerah, meskipun hampir sebagian besar kewenangan pemerintahan ada pada daerah otonom, sementara sisanya masih dipegang pemerintah pusat. Penyerahan kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah lebih merupakan teknis administrasi pemerintahan dalam mengelola tugas-tugas public untuk mencapai tujuan Negara. Penyerahan kewenangan yang lebih luas merupakan tuntutan obyektif dalam mengelola pemerintahan agar lebih efektif dan efisien dan memudahkan tercapainya tujuan organisasi pemerintahan. Kewenangan luas yang dimiliki daerah merupakan respon atas kondisi pemerintahan yang dirasakan mendistorsi tujuan bernegara. Pola pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip Negara kesatuan tetapi dengan semangat mengarah ke federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani oleh pemerintah pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh pemerintah pusat di negara federal, yaitu: Hubungan luar negeri; Pertahanan dan keamanan; Peradilan; Moneter; Agama. Selanjutnya berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara dan pengembangan sumber daya manusia. Cerminan kongkret dari paradigma baru berotonomi itu adalah perubahan struktur kewenangan pemerintahan dari piramida terbalik menjadi piramida normal. Artinya, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang sangat luas sangat luas bulat dan utuh, sementara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sangat limitatif. Pelaksanaan terhadap kewenangan yang ditangani oleh pemerintah pusat dengan prinsip dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta secara sendiri oleh pemerintah pusat. Adapun Kewenangan daerah provinsi dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah ganda dalam kedudukannya sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Gubernur sebagai kepala wilayah di provinsi menjalankan tugas dan fungsi pemerintah pusat di
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
23
daerah, sedangkan sebagai kepala daerah gubernur merupakan pemegang hak otonomi di daerahnya. Kewenangan ganda ini ternyata banyak menimbulkan persoalan dalam implementasinya, karena tidak mudah membedakan batasan antara kapasitasnya sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai daerah otonom, terjadi tumpah tindih kewenangan dan bahkan konflik antara provinsi dengan kabupaten/kota. Disamping daerah otonom provinsi juga merupakan daerah administratif, sehingga kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentraisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup : a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)
Koordinasi pemprov dengan Instansi Vertikal dan antar instansi vertikal Koordinasi Pemprov dengan PemKab/Kota; Koordinasi Pemkab/kota; Koordinasi penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi RPJPD, RPJMD, RKPD; Koordinasi Tugas Pembantuan di Prov dan kab/kota Pembinaan & Pengawasan Pemkab/kota; Menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara; Menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan demokrasi; Memelihara stabilitas politik; Menjaga etika dan norma pemerintahan di daerah
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan provinsi dapat: menyelenggarakan sendiri; atau menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan kabupaten/kota dani atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, Jumlah dan jenis yang diberikan terlihat jelas betapa luas dan besarnya kewenangan, karena luasnya dalam implementasinya sulit dihindari atau sering terjadi tumpang tindih atau semacam ekspansi kewenangan yang tidak semestinya. Luasnya kewenangan kabupaten/kota meliputi : a) b) c) d) e) f) g)
Perencanaan dan pengendalian pembangunan; Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; Penyediaan sarana dan prasarana umum; Penanganan bidang kesehatan; Penyelenggaraan pendidikan; Penanggulangan masalah sosial; Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
24 h) i) j) k) l) m) n) o) p)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
Pelayanan bidang ketenagakerjaan; Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; Pengendalian lingkungan hidup; Pelayanan pertanahan; Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; Pelayanan administrasi umum pemerintahan; Pelayanan administrasi penanaman modal; Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
2.2. Kepercayaan Publik Pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah merupakan sebuah kepercayan publik oleh masyarakat kepada aparatur, oleh karenanya pelayanan yang diberikan merupakan bentuk jaminan dari pemerintah kepada masyarakat sehingga menimbulkan kepercayaan dari masyarakat. Pelayanan yang diberikan kepada publik tidak sekedar memberikan pelayanan secara minimal, tetapi merupakan pelyanan yang optimal dan mempunyai nilai yang lebih, hal ini dapat menciptakan kepercayaan yang sesungguhnya dari publik kepada pemerintah. Menurut David G. Carnevale (1995: 4, 5) bahwa: kepercayaan dapat meninggatkan kinerja tinggi, hal ini karena : a). Trust is essential. There is no organization without trust, trust is what holds fabric of organizations together, trust is an essential aspect of community. Authoritarianism cannot substitute for trust. It can influence only what it can control and there are limits to control in organizations. b). Trust is truth. Trust enables employees and managers to face up to the truth of their working situation. Organizations make choices about how they will structure and manage work processes, and those choices influence levels of trust and the extent that employees have cpntrol over their work. c). Trust is survival, Facing up to the truth through trust enables people to reduce defensive behaviors and open themselves up to learning. Membangun kepercayaan, merupakan kunci bagi organisasi dan manajemen dalam mencapai tujuan. Kepercayaan hal yang penting untuk dipahami oleh semua anggota organisasi jika ingin pekerjaan dapat diselesaikan secara baik. Oragnisasi membuat bagaimana anggota organisasi mempunyai rasa yang besar untuk memiliki kemauan untuk sebuah kejujuran atau memberdayakan para pegawai untuk menabur dan menuai kejujuran ke dalam komitmen (commitment), keterlibatan (involvement),
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
25
identifikasi (identification), loyalitas (loyality), motivasi (motivation) dan prestasi (achievement). Setiap Aparat dituntut memperlakukan organisasinya (kantor/tempat kerjanya) sebagai kepercayaan publik, mempergunakan kekuasaan dan sumber daya kantor untuk pengembangan kepentingan publik bukan untuk mencapai manfaat pribadi atau mengejar kepentingan pribadi dengan memanfaatkan sumber daya, parasarana dan sarana kantor. Mengejar ketetapan kepentingan umum sebagai prinsip dasar etika pelayanan publik. Sebagai prinsip dasar etika pemerintahan adalah “organisasi/tempat kerja adalah sebagai sebuat kepercayaan publil (public trust). Pegawai Publik wajib melayani kepada masyarakat dan menghindari kepentingan pribadi serta tidak mengijinkan mempergunakan kantor tempat kerjanya untuk kepentingan pribadi. Menurut Michael Josephson (2005: 3) terdapat lima (5) prinsip etika pelayanan publik untuk membangun kepercayaan publik, yaitu : a) Safeguard the public interest (Membangun dan melindungi kepentingan publik: menggunakan kepentingan kantor untuk perkembangan masyarakat) b) Use independent, Objective Judgment (Bersifat Netral dan berpikir obyektif: membuat keputusan berdasarkan prestasi, tidak memihak, tidak berprasangka negatif dan mengurangi konflik kepentingan); c) Be Publicly Accountable (Bertanggung jawab terhadap publik: Pemerintahan terbuka, effisien, adil dan terhormat). d) Lead with citizenship (Pimpin dengan Kenegarawan: Kehormatan dan peduli kepada publik). e) Show Respectability and Fitness for office (Tunjukan kepedulian dan kebaikan kantor: membangun konfiden masyarakat dalam integritas pemerintahan). 3. Etika dan Model Code of Conduct berbasis Kearifan Lokal menuju Pemerintahan Terpercaya. 3.1. Etika Pemerintahan Etika Pemerintahan tidak hanya sekedara membicarakan manajemen dan hukum, tetapi lebih dari semuanya. Etika Pemerintahan merupakan semangat, jiwa atau roh dari kode etik yang dipunyai jiwa suatu bangsa. Melalui Etika memungkinkan dapat menilai suatu kegiatan ke arah yang lebih dan juga menghasikan suatu kebijakan yang terbaik. Masalah etika disadari atau tidak setiap hari merupakan isu yang terus berkembang di dalam kehidupan termasuk di dalam pelayanan publik. Semua aparat akan
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
26
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
lalai jika tidak memahami tantangan secara filosofi dalam membelajari etika yang terjadi setiap harinya. Ada lima bentuk infrastruktur etika yang perlu diintegrasikan kedalam manajemen organisasi pemerintahan, yaitu : a) Mekanisme konsultasi etika (komisi penasihat etika yang independen); b) Saluran Pelaporan, prosedur menyampaikan keluhan, hotlines, informasi konfidensial, ombudsman; c) Perubahan sistem personalia, rotasi jabatan secara periodic dilakukan supaya pejabat pengganti bisa mengevaluasi kebijakan pejabat; d) Audit etika secara berkala (merevisi dokumen, kerentanan di dalam penaksiran, survey dan wawancara dengan karyawan, evaluasi terhadap sistem untuk memudahkan dalam menilai efektivitas program); e) Pengambil keputusan kunci harus setidaknya dua orang mengurangi kewenangan dan hasrat korupsi, infrastruktur etika menjamim integritas publik, memungkinkan mengukur kemampuan diri sehingga fair dan menciptakan suasatana keterbukaan. (Haryatmoko, 2011 :199). 3.2. Berbagai Code of Conduct Pemerintah Berbasis Kearifan Lokal Menuju Pemerintahan Terpercaya 3.2.1. Kode Etik Pemerintah Pusat Kode etik pemerintahan secara nasional diatur dalam peraturan menteri masing-masing kementerian. Kementerian dalam negeri memiliki kode etik yang berlaku untuk Pegawai yang bekerja di lingkungan kementerian dalam negeri berdasar peraturan menteri nomor 31 tahun 2011. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam peraturan menteri nomor 31 tahun 2011 sebagai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan baik dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk: a) Mendorong pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b) Meningkatkan disiplin baik dalam pelaksanaan tugas maupun hidup bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan bernegara; c) Lebih menjamin kelancaran dalam pelaksanaan tugas dan suasana kerja yang harmonis dan kondusif; d) Meningkatkan kualitas kerja dan perilaku Pegawai Negeri Sipil yang profesional; dan e) Meningkatkan citra dan kinerja Pegawai Negeri Sipil. Setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
27
bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, dan terhadap diri sendiri serta sesama Pegawai Negeri Sipil. Etika dalam bernegara meliputi: a) Turut serta memelihara rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia; b) Menghormati dan menjunjung tinggi toleransi antar sesama suku dan umat beragama; c) Memberikan dukungan baik moral maupun spiritual kepada bangsa dan rakyat indonesia dalam meraih prestasi di luar negeri dan/atau di dalam negeri; d) Tidak bersikap dan bertindak diskriminatif dalam menjalankan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; e) Transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugas agar penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; f) Tanggap, terbuka, jujur, teliti dan akurat serta tepat waktu dalam melaksanakan tugasnya; g) Melakukan perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia; h) Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah beserta perangkat daerah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan i) Menghormati nilai-nilai seni dan budaya bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku dan adat istiadat. Selanjutnya Etika dalam berorganisasi meliputi: a) Menjunjung tinggi institusi dan menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi atau golongan; b) Mematuhi jenjang kewenangan, dan bertindak disiplin berdasarkan aturan dan tata cara yang berlaku; c) Setiap atasan tidak dibenarkan memberikan perintah yang bertentangan dengan norma yang berlaku dan wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah kepada bawahannya; d) Dalam melaksanakan perintah kedinasan tidak melampaui batas kewenangannya dan wajib menyampaikan pertanggung jawaban tugas kepada atasannya langsung; e) Setiap Pegawai Negeri Sipil harus menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan serta melaksanakan keputusan pimpinan sesuai aturan yang berlaku guna mewujudkan tercapainya tujuan organisasi;
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
28
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
f) Dalam menjalankan tugas harus senantiasa menjaga kehormatan Instansi dengan memakai seragam lengkap dengan atributnya yang berlaku di lingkungan Kementerian Dalam Negeri; g) Tidak menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang bersifat rahasia negara kepada orang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; h) Tidak memberikan fotocopy surat keputusan pengangkatan dalam jabatan dan surat keputusan yang bersifat rahasia tanpa seizin pimpinan; i) Tidak melakukan pemerasan, penggelapan, dan penipuan yang dapat berpengaruh negatif terhadap harkat, martabat dan citra institusi Kementerian Dalam Negeri; j) Bersikap rasional dan berkeadilan, objektif, serta transparan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negeri; k) Membangun dan mengembangkan sikap toleran, tanggung jawab dan pengendalian diri dalam menghadapi perbedaan pendapat diantara sesama PNS dan pihak terkait lainnya; l) Menyimpan rahasia negara dan rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya serta tidak memanfaatkannya secara tidak sah; m) Melaporkan kepada atasan yang berwenang terhadap kemungkinan atau adanya tindakan pembocoran rahasia negara dan/atau rahasia jabatan yang patut diduga membahayakan atau merugikan bangsa dan negara; n) Tidak berkompromi dengan pihak manapun yang berpotensi merusak nama baik dan merugikan institusi Kementerian Dalam Negeri, bangsa dan negara; o) Tidak melakukan perbuatan yang bersifat melindungi kegiatan yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan khususnya di bidang penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negeri; p) Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan baik dalam melaksanakan tugas baik di lingkungan Kementerian Dalam Negeri maupun dengan instansi terkait; q) Menyampaikan keluhan atau pengaduan yang berhubungan dengan pekerjaan secara hirarki. Adapun Etika dalam bermasyarakat meliputi: a) Bersikap terbuka dan responsif terhadap kritik, saran, keluhan, laporan serta pendapat dari lingkungan masyarakat; b) Memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak dan kewajiban di bidang penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia;
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
29
c) Melaksanakan kegiatan sosial baik dilingkungan Rukun Tetangga maupun Rukun Warga dan membantu tugas sosial lainnya untuk kepentingan masyarakat umum; d) Menghormati dan menjaga kerukunan antar tetangga; dan e) Berperan aktif dalam menjaga keamanan lingkungan masyarakat. Etika terhadap diri sendiri meliputi: a) Tidak melakukan perbuatan perzinahan, prostitusi, perjudian dan minuman yang memabukkan; b) Tidak menggunakan dan/atau mengedarkan zat psikotropika, narkotika dan/atau sejenisnya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; c) Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi sesuai tugas dibidangnya masing-masing untuk menjaga citra institusi Kementerian Dalam Negeri, bangsa dan negara; d) Tidak melakukan penyalahgunaan wewenang, jabatan dan perbuatan kolusi, korupsi dan nepotisme; e) Tidak melakukan pungutan di luar ketentuan yang berlaku untuk kepentingan pribadi, golongan dan pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan masyarakat, bangsa dan negara; f) Tidak menerima hadiah, pemberian, dan gratifikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas; g) Loyalitas dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat; dan h) Menjaga keutuhan rumah tangga dengan tidak melakukan perbuatan tercela dan perbuatan tidak bermoral lainnya. Contoh lain kode etik, pada tingkat pemerintahan nasional pada Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. hakim konstitusi sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Selanjutnya dalam kementerian keuangan bahwa untuk lebih meningkatkan, mengaplikasikan, dan menegakkan disiplin dalam kinerja keseharian pegawai di Kementerian Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 29/PMK.01/2007. PMK tersebut mewajibkan setiap unit Eselon I Kementerian Keuangan menyusun kode etik pegawai negeri sipil yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing unit. Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
30
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
Demi menjamin terpeliharanya integritas, akuntabilitas, dan nilainilai moral SDM yang profesional, Kementerian Keuangan menyusun pedoman peningkatan disiplin dan kode etik untuk setiap unit kerja eselon I, serta membentuk majelis kode etik, sebagaimana diatur dalam PMK No. 72/PMK.01/2007 tanggal 28 Juni 2007 tentang Majelis Kode Etik di lingkungan Kementerian Keuangan. Kode Etik menuntun pegawai dalam bersikap dan berperilaku. Pegawai dapat dikenakan sanksi moral apabila melanggar kode etik yang penyampaiannya dilakukan secara tertutup atau terbuka. Untuk itu telah ditetapkan KMK Nomor 293/KMK.01/2007 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepada Para Pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan Untuk Memberikan Sanksi Moral Atas Pelanggaran Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk kementerian dan non kementerian lainnya memiliki kode etik masing-masing yang dipergunakan sebagai ajuan dalam melaksanakan setiap kegiatan di lingkungan kementerian tersebut. Kode etik dimaksud diarahkan sebagai upaya untuk membangun kepercayan pada masyarakat dalam menuju pemerintahan yang terpercaya. 3.2.2. Code of Conduct Pemerintah Daerah Kode etik yang berlaku dalam pemerintahan daerah di Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, baik secara organisasi maupun sebagai Pegawai Pemerintah Daerah sesuai dengan kode etik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah masing-masing. Kode etik yang berlaku di pemerintahan daerah menjadi pedoman perilaku bagi organisasi dan seluruh pegawai di pemerintahan daerah tersebut. Kode etik masing-masing daerah cenderung berbasis pada budaya daerah yang hidup di sekitar kehidupan masyarakat dan memberi inspirasi pada pemerintahan daerah baik secara organisasi maupun pegawainya. Berikut contoh kode etik dari Pemerintah Kota Solok Provinsi Sumatera Barat yang disahkan ke dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok. Setiap penyelenggara pemerintahan pada Pemerintah Kota Solok bersama masyarakat dalam berinteraksi dan berinterelasi sesuai dengan fungsi dan peranannya masingmasing wajib menghormati, mengamalkan dan menegakkan norma etik guna menjaga kehormatan dan martabat serta harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai upaya mewujudkan tata pemerintahan daerah yang baik, oleh karena itu diperlukan pegangan etik bagi setiap penyelenggara pemerintahan maupun kelompok masyarakat;
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
31
Prinsip dasar Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok berdasarkan kepada nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat dan norma hukum yang berlaku. Adapun Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok bertujuan: a) Menegakkan norma etika penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat; b) Menegakkan martabat dan kehormatan penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat; c) Membangun sikap, perilaku, dan tindakan yang etis bagi penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat; d) Mewujudkan penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat yang amanah, disiplin, teladan dan berakhlak mulia; e) Memberikan pembelajaran kepada penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat untuk mewujudkan tata pemerintahan daerah yang baik; f) Membangun dan menumbuhkembangkan budaya organisasi yang baik bagi penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat; g) Menciptakan suasana saling menghormati dan saling membutuhkan antara penyelenggara Pemerintah Daerah dan warga masyrakat. Sedangkan Ruang lingkup Etika Pemerintahan Daerah meliputi pengaturan sikap, perilaku, tindakan dan ucapan baik tertulis maupun tidak tertulis bagi seluruh penyelenggara pemerintahan daerah dan warga masyarakat. Serta Norma etika pemerintahan daerah, terdiri dari: kejujuran dan keikhlasan; keadilan; tepat janji; taat aturan; tanggung jawab; kewajaran dan kepatutan; kecermatan dan kehati-hatian. Pelanggaran terhadap etika pemerintahan ini berupa sikap, perilaku, tindakan dan ucapan Penyelenggara Pemerintahan Daerah yang tidak sesuai terhadap ketentuan, dikenakan sanksi moral dan sanksi administratif. Sanksi moral, meliputi: pengumuman melalui media massa; meminta maaf secara terbuka; mengundurkan diri dari jabatan. Sedangkan Sanksi administratif meliputi: teguran lisan atau tulisan; pemberhentian sementara (skorsing); pemberhentian dengan tidak hormat; sanksi administratif lainnya, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Contoh implementasi etika pemerintahan lainnya adalah etika yang menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Etika ini diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur (Pusat) Budaya Sunda (SPBS). Melalui Peraturan ini penyelenggaraan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah kabupaten dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kearifan budaya daerah sebagai landasan moral dan etika dalam kehidupan masyarakat.
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
32
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
Peraturan ini SPBS dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya Sunda dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Serta bertujuan untuk memperkokoh jatidiri aparatur pemerintah daerah dan masyarakat serta menguatkan daya saing daerah menuju terwujudnya Kabupaten Sumedang Sejahtera, Agamis dan Demokratis pada Tahun 2025. Adapun Nilai yang terkandung dalam SPBS yaitu: a) Nilai Filosofis adalah “INSUN MEDAL INSUN MADANGAN”, yang berarti Saya Lahir untuk Memberi Penerangan dan bermakna: Makna dari Nilai Filosofis ini adalah setiap warga masyarakat Sumedang harus memiliki semangat dan tekad untuk memberikan sumbang pikiran dan karya nyata yang terbaik dan tanpa pamrih bagi kepentingan bangsa dan negara, kapan pun dan dimana pun berada. Warga masyarakat Sumedang harus memiliki mental baja sebagai pejuang pembangunan, memiliki keberanian untuk menegakkan kebenaran serta mampu meraih prestasi atau kemenangan tanpa harus mengalahkan. Warga asyarakat Sumedang harus memiliki kharakter keberanian tapi rendah hati. b) Nilai Manajerial adalah “RAWAYAN JATI SUNDA”. yaitu jati diri yang harus dijaga oleh masyarakat Sumedang sebagai jembatan antara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, mulai dari fase perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan fase pengawasan dan pertanggungjawaban, menuju tercapainya masyarakat yang Sejahtera, Agamis dan Demokratis. c) Nilai Operasional adalah “DASA MARGA RAHARJA”. artinya adalah sepuluh perilaku atau sifat yang harus dimiliki oleh masyarakat Sumedang untuk dilaksanakan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, sehingga dapat memberikan daya guna dan hasil guna. Esensi dari nilai operasional SPBS ini diambil dari nilai-nilai sosial budaya Sunda yang tumbuh kembang di tengahtengah masyarakat Sumedang. Sepuluh perilaku atau sifat dimaksud adalah sebagai berikut : (1). Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (2). Selalu bersikap ramah, tulus dalam tekad, ucap dan segala perbuatan serta tidak berlaku Diskriminatif; (3). Merasa empati dan simpati, tidak suka menyakiti orang lain, bijak dan memiliki “sense of crisis”; (4). Berwawasan luas; (5). Jujur dan transparan; (6). Memegah teguh komitmet dan bekerja keras;
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
(7). (8). (9). (10).
Volume 5, November 2013: 18-35
33
Kreatif, Inovatif dan selalu dinamis; Profesional dan waspada, Cermat serta teliti dalam mengerjakan sesuatu; Mengerjakan dan melakukan sesuatu sampai tuntas;
Selanjutnya etika dalam Kearifan lokal di Pemerintah Kabupaten: Karakter Sabilulungan Ki Sunda di Pemerintah Kabupaten yang digagas oleh Bupati Bandung, H. Dadang Mohamad Naser, SH, S.Ip. bahwa dalam perspektif kebudayaan, otonomi daerah harus dipahami sebagai peluang untuk membangkitkan kembali nilai-nilai budaya dan karakter masyarakat lokal yang dianggap sudah mulai memudar, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung mempunyai komitmen untuk mewujudkan hal tersebut, sebagaimana di amanatkan dalam visi pembangunan yang berkehendak untuk menjunjung aspek-aspek kultural kesundaan dalam prosesi pembangunan, dalam hal ini karakter Sabilulungan merupakan bagian dari nilai-nilai Ki Sunda yang juga harus kembali dibangkitkan. Adapun menurut Prof. A. Chaedar Alwasilah (2006: 18) setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan karakter Sabilulungan merupakan bagian dari nilai-nilai Ki Sunda, yaitu: (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, (3) pembangkitan kreatifitas kebudayaan. Pemahaman yang kaffah terhadap budaya sunda, Ki Sunda akan sulit merumuskan etos budaya sunda yang mantap, jika bangsa Jepang memiliki etos bushido, lantas etos apa yang dimiliki Ki Sunda? semangat atau karakter Sabillulungan Ki Sunda bisa dijadikan salah satu alternatif. Sabilulungan mengandung makna silih asah, silih asuh, silih asih, silih wawangi yang kesemuanya akan berkontribusi pada pembentukan kondisi masyarakat yang mempunyai karakter dan ber-etos kerja tinggi, sabilulungan merupakan kata dalam bahasa sunda yang dapat disepadankan dengan kata gotong royong dalam bahasa Indonesia dengan makna yang lebih luas, dalam kata sabilulungan terkumpul sekumpulan nilai-nilai luhur yang berkembang dalam masyarakat sunda, yaitu "sareundek saigel sabobot sapihanean, rempug jukung sauyunan rampak gawe babarengan", yang memiliki makna seia sekata, seayun selangkah, sepengertian sepemahaman, senasib sepenanggungan, saling mendukung, saling menyayangi, saling membantu, bekerja sama, rasa persaudaraan yang sedemikian erat dan kebersamaan. Sabilulungan bisa hidup tumbuh dan berkembang di berbagai dimensi kehidupan masyarakat:
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
34
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
a) Dimensi ekonomi ada budaya yang disebut leuit yaitu menyimpan sebagian hasil panen di lumbung padi untuk cadangan pangan yang digunakan bagi masyarakat yang membutuhkan; b) Dimensi sosial ada yang disebut dengan beas perelek semacam sistem jaring pengaman sosial yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, dimensi pembangunan ada istilah kerja bakti yaitu bekerja bersama-sama membangun fasilitas umum; c) Dimensi keamanan dan ketertiban, Ngaronda operasi keamanan kampung secara bergiliran setiap malam dan lain sebagainya. D. Penutup Kearifan Lokal yang mengandung Nilai-nilai, karakter dan filosofi yang hidup di daerah merupakan sumber etika bagian dari kekayaan kultural bangsa yang harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan sebagai dasar pegangan hidup dalam bermasyarakat dan berpemerintahan. Eksistensi nilainilai budaya dan karakter nasional tidak akan berarti banyak tanpa ditopang oleh eksistensi nilai dan budaya yang ada di daerah, keduanya saling melengkapi dan menjadi isu strategis yang sama pentingnya, jikalau kita berasumsi bahwa nasionalisme perlu dipelihara oleh semua warga negara untuk keberlangsungan martabat bangsa, maka di daerah selain nasionalisme, juga perlu dikembangkan nilai-nilai budaya lokal yang dianggap bisa memberi dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya yang ada di masyarakat, gerakan revitalisasi karakter sabilulungan, Sumedang Puser Budaya, Etika Solok, dan masih banyak lagi, layak untuk dipertimbangkan menjadi aset bangsa dan menjadi sumber inspirasi pemerintah, pemerintah daerah dalam melindungi dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Daftar Pustaka Ciulla, Joanne B. Ethics, The Heart of Leadership. The United States of America: Praeger Publishers, Inc. 2004. Cooper, Terry L. The Responsible Administrators, An Approach to Ethics for the Administrative Role. The United States of America: JoseeyBass Publishers Inc. 2006. Coody, W.J. Michael and Lynn, Richardson R. Honest Government. An Ethics Guide for Public Service. The United States of America: Praeger Publishers Inc. 1992.
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)
JURNAL ETIKA
Volume 5, November 2013: 18-35
35
Carnevale, David G. Trustworthy Government (Leadership and Management Strategies for Building Trust and High Performance. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. 1995. Coox III, Raymond W. Ethichs and Integrity in Public Administration, Conceps and Cases. London, England : M.E. Sharpe. 2009. Haryatmoko. Etika Publik (untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi). Jakarta: Kompas Gramedia. 2011. __________. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas Gramedia. 2003. Josephson, Michael. Preserving the Public Trus (The Five Principles of Public Service Ethics. Los Angeles, California: Josephson Institute of Ethics. 2007. Gilman, Stuart C, & Lewis, Carol W. The Ethics Challenge in Public Service. A Problem Solving Guide. The United States of Amerika: Joseey-Bass Publishers, Inc. 2005. Leo W. J. C. Huberts, Jeroen Maesschalck, Carole L. Jurkiewicz. Ethics and Integrity of Governance: Perspectives Across Frontiers, (New Horizons in Public Policy). Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc. 2008. Naser, Dadang. Revitalisasi Karakter Sabilulungan. Bandung: Pemerintah Kabupaten Bandung. 2012. Rohr, John A. Public Service Ethics Primer & Constitutional Practice, Kansas: The University Press of Kansas. 1998. Rasyid, Ryaas, Penjaga Hati Nurani Pemerintahan, Jakarta: MIPI. 2001. Shafer L, Russ. The Fundamentals of Ethics. New York :Oxford University Press. 2011. __________. The Ethical Life: Fundamental Readings in Ethics and Moral Problems. New York :Oxford University Press. 2011. Suwandi, Made. Menganggas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama. 2004. Svara, James. The Ethics Primer. For Public Administrators in Government and Nonprofit Organiszations. The United States of Amerika : Jones and Bartlett Publishers, Inc. 2007.
Etika, Integritas dan Kearifan Lokal (Menciptakan Trust Masyarakat)