ABSTRAK Wijia Sista, Nim 0810015110, Tinjauan Hukum Mengenai Upaya Hukum Lessor Dalam Proses Eksekusi Objek Jaminan Kendaraan Bermotor Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Hukum Acara Perdata (studi kasus pada PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda), Dosen Pembimbing I Ibu Emilda Kuspraningrum S.H., K.N., M.H., dan dosen Pembimbing II Bapak M. Fauzi S.H., M.H. Hasil penelitian pada PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda adalah bahwa kedudukan jaminan fidusia dalam perjanjian leasing menjadi lemah dikarenakan perjanjian leasing tersebut membebankan jaminan secara fidusia, sedangkan jaminan fidusia tersebut tidak pernah didaftarkan, hanya sebatas klausula dalam perjanjian pokok leasing, sehingga Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mengeksekusi objek jaminan apabila lessee melakukan cidera janji atau wanprestasi. Salah satu cara untuk mengeksekusi benda jaminan tersebut adalah dengan cara perusahaan mengajukan gugatan pada peradilan perdata terhadap lessee apabila lessee merasa keberatan atas eksekusi sepihak yang dilakukan perusahaan, apabila hakim telah membuat putusan yang bersifat tetap dan gugatan menang, maka pihak PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda dapat mengajukan permohonan eksekusi pada majelis hakim dan lessor akan mendapatkan haknya dari hasil eksekusi tersebut. Kata kunci: Perjanjian Leasing, jaminan fidusia, eksekusi.
PENDAHULUAN Modal merupakan salah satu elemen penting dalam sebuah kegiatan usaha. Tanpa modal sebuah usaha tidak akan berjalan. Namun demikian, dalam realitasnya ada sementara orang yang sangat ingin memiliki usaha, mempunyai ide, akan tetapi itu hanya sekedar keinginan, karena yang bersangkutan tidak memiliki modal atau tidak mempunyai akses ke perbankan untuk memenuhi kebutuhan akan modal tersebut.1 Dalam konteks Indonesia dikenal adanya lembaga keuangan, baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Perbedaan diantara keduanya terletak pada kegiatan usaha yang dapat dilakukan, yakni 1
Umam Khotibul, Hukum Lembaga Pembiayaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, Halaman 1
1
bahwa bank adalah lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan usahanya dengan menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali
kepada masyarakat
dalam bentuk
kredit
atau
pembiayaan. Sementara lembaga keuangan bukan bank tidak dapat melakukan kegiatan penarikan dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan.2 Dalam suatu kegiatan bisnis, banyak masalah yang kadang – kadang muncul begitu saja. Badan usaha yang tadinya cukup mapan, tetapi karena perkembangan perekonomian, badan usaha tersebut memerlukan modal atau barang modal tambahan untuk lebih mengembangkan kegiatan bisnisnya.3 Penambahan modal dalam suatu kegiatan bisnis umumnya dapat dilakukan melalui pinjaman di lembaga perbankan. Namun karena lembaga ini memerlukan jaminan yang kadang kala tidak bisa dipenuhi oleh badan usaha yang bersangkutan, maka diperlukan suatu upaya lain, yang tanpa jaminan dan lebih mudah prosesnya. Upaya lain tersebut dapat dilakukan melalui suatu jenis badan usaha yang disebut lembaga pembiayaan.4 Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Lembaga pembiayaan merupakan alternatif pembiayaan di luar perbankan yang lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan rill masyarakat. Dalam hal ini, antara nasabah dan lembaga dimaksud terikat oleh hubungan kontraktual, yang mana ditunjukkan oleh adanya kontrak atau perjanjian yang ditandatangi oleh pihak
2 3
4
Ibid. Asyhadie Zaeni , Hukum Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Halaman 99
Ibid.
2
nasabah dan lembaga dimaksud. Dalam kontrak termuat hak dan kewajiban dari masing – masing pihak, berikut sanksi bagi siapa saja yang melakukan wanprestasi. Hal inilah yang perlu diketahui oleh siapa saja yang hendak memanfaatkan jasa yang diberikan oleh lembaga – lembaga tersebut.5 Perusahaan pembiayaan sebagai salah satu bentuk lembaga pembiayaan diatur
secara
khusus
melalui
peraturan
menteri
keuangan
nomor
84/PMK.12/2006 tentang perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan di definisikan sebagai badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. Kemudian dicarilah bentuk-bentuk penyandang dana untuk membantu pihak bisnis ataupun diluar bisnis dalam rangka penyaluran dana. Sehingga terciptalah lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dari bank. Inilah yang dikenal sebagai Lembaga Pembiayaan, yang menawarkan model-model formulasi baru terhadap pemberian dana, salah satu diantaranya adalah Leasing .6 Usaha Leasing mulai timbul di Indonesia sejak tahun 1974, yakni dengan adanya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: Kep-122/MK/IV/1974, Nomor : 32/M/SK/ 2/1974, Nomor : 30/Kpb/74, tertanggal 7 Februari 1974, tentang Perizinan
Usaha
Leasing.
Industri
Leasing
dalam
pertumbuhan
dan
perkembangan dapat dibagi 2 ( dua ) tahap yaitu tahap I sampai dengan 1988, dan tahap selanjutnya setelah 1988 atau tahap setelah deregulasi Paket 5 6
Umam Khotibul, Op. Cit, Halaman 2 Fuady Munir, Hukum Tentang Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Halaman 2
3
Desember 1988. Dalam tahap I sampai dengan 1988, Leasing dapat dikatakan sebagai industri yang masih balita sampai tahap remaja. Pertumbuhan pada masa ini masih dapat dikatakan merangkak dan jumlah perusahaan masih sedikit. 7
Leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu kegiatan pembiayaan yang disediakan oleh lessor dalam bentuk peralatan atau barang modal yang diperlukan
oleh
lessee guna menjalankan usahanya. Dilihat dari segi
pengaturannya, peraturan perundangan yang mengatur tentang Leasing masih belum memadai. Sampai sekarang belum ada peraturan setingkat undang – undang yang secara khusus mengatur tentang Leasing. Sebagai lembaga bisnis di bidang pembiayaan, Leasing bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik berupa perjanjian ( bersifat perdata) maupun perundang – undangan (bersifat publik) terutama yang relevan dengan kegiatan Leasing. Meskipun pengaturan
Leasing belum cukup memadai, namun perkembangan Leasing di Indonesia relatif cukup pesat. Hal ini tidak terlepas dengan adanya beberapa keunggulan meskipun tetap saja masih ada Kelemahannya, baik di tinjau dari segi pengaturan, proses, biaya maupun resiko dalam sewa guna usaha.8 Sebagai kegiatan bisnis, Leasing tidak terlepas dari adanya resiko. Untuk itulah dalam transaksinya,
lessor
menetapkan beberapa persyaratan dan
prosedur tertentu yang harus dipenuhi oleh
lessee. Selanjutnya transaksi
tersebut diikat dalam suatu perjanjian tertulis yang disebut Lease Agreement. Adapun isi perjanjian, dalam pasal 9 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 7
Budi Rachmat, multi finance Handbook ( Leasing . Faktoring,Consumer Finance) Indinesian Perspective, PT. PradnyaParamita, Jakarta, 2004, halaman 57. 8 Sunaryo . Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 69
4
1169/KMK.01/1991 menentukan hal – hal apakah yang minimal harus dimuat dalam perjanjian Leasing. Berdasarkan perjanjian Leasing itulah para pihak terutama lessor dan lessee terikat akan hak – hak dan kewajiban masing – masing.9 Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau kepentingan secara wajar, manusia membutuhkan interaksi dengan pihak lain (person atau badan hukum). Karena kepentingan dan kebutuhan atau kepentingan manusia itu demikian banyaknya, maka sangat terbuka kepentingan antara orang satu dengan orang yang lainnya. Benturan kepentingan ini menimbulkan sengketa, yang dinamakan sengketa perdata. Sengketa perdata adalah perkara perdata dimana paling sedikit ada dua pihak, yaitu pengugat dan tergugat. Jika di dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang memberikan sengketa tersebut.10 Pelaksanaan kontrak leasing dalam prakteknya tidak dapat dihindari dari terjadinya wanprestasi baik yang terjadi karena kesengajaan atau kelalaian lesse maupun yang terjadi di luar kehendak lesse atau (force majure). Tidak jarang hubungan antara lessor dan lessee hanya harmonis pada awal perjanjian, pada saat satu pihak membutuhkan modal pembiayaan sedangkan pihak lain berusaha mendapatkan keuntungan selanjutnya hubungan lessor dan lessee diliputi berbagai permasalahan terutama tertundanya pemenuhan kewajiban dari lessee
9
Ibid. Halaman 70 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2002, Halaman 84
10
5
kepada lessor. Tidak terlaksananya kewajiban lesse terhadap lessor seperti yang di perjanjikan merupakan tindakan wanprestasi yang dalam perusahaan leasing merupakan resiko usaha. Jika dicermati lebih mendalam sesuai fakta, perlu di akui lessor
yang
lebih banyak memberikan prestasi, karena selain barang lessor dibawah kekuasaan lessee juga kekuatan lessor hanya pada perjanjian yang ada. Sehingga
memungkinkan
adanya
penggelapan
benda
lessor
bahkan
memungkinkan untuk pemusnahan benda tersebut seperti menjual atau merubah bentuk benda dengan mengabaikan isi perjanjian. Bentuk
permasalahan
seperti
diatas
berimplikasi
pada
kesulitan
mengeksekusi objek jaminan, tidak heran hanya sedikit konflik antara pihak
leasing dengan lesse yang diteruskan ke tingkat pengadilan mengingat keberadaan lembaga leasing di Indonesia belum diatur dalam peraturan setara Undang-Undang untuk menentukan dasar hukum apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa tersebut, sehingga sering di selesaikan secara damai yang pada akhirnya merugikan pihak leasing. Melihat kondisi tersebut, maka kita perlu melihat Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dimana undang – undang tersebut menjadi acuan dasar hukum dalam penyelesaian masalah wanprestasi oleh
lessee. Oleh sebab itu, maka Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah dalam perjanjian leasing yang terjadi di Indonesia. Dalam hal ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkaitan dengan permasalahan-permasalahan diatas pada PT. Indomobil Finance Cabang
6
Samarinda dikarenakan pihak perusahaan Leasing tersebut menggunakan pembebanan jaminan secara fidusia namun tidak pernah mendaftarkan jaminan fidusia tersebut pada kantor pendaftaran jaminan fidusia sehingga kedudukan hukum jaminan fidusia patut dipertanyakan kepastian hukumnya apabila pihak perusahaan melakukan eksekusi secara sepihak tanpa adanya dasar hukum yang kuat, selain itu PT. Indomobil bersifat terbuka dalam memberikan informasi – informasi berkaitan dengan permasalahan – permasalahan yang terjadi antara
lessor
dan lesse di dalam perusahaan tersebut, sehingga untuk kedepannya
penulis tidak megalami kesulitan dalam memperoleh data – data yang dianggap perlu dalam penelitian ini. Berdasarkan permasalahan – permasalahan diatas, Oleh karena itu penulis tertarik menulis dan melakukan penelitian dengan judul : “TINJAUAN HUKUM MENGENAI UPAYA LESSOR DALAM PROSES EKSEKUSI OBJEK JAMINAN KENDARAAN BERMOTOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAN HUKUM ACARA PERDATA ( STUDI KASUS PADA PT. INDOMOBIL FINANCE CABANG SAMARINDA)” Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana
kedudukan
hukum jaminan fidusia dalam perjanjian leasing kendaraan bermotor pada PT. Indomobil Finance Cabang Samarinda di tinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia?
Dan bagaimana
upaya hukum lessor dalam proses eksekusi objek jaminan kendaraan bermotor
7
ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Hukum Acara Perdata? Perjanjian Menurut teori klasik, yang disebut perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.11 Sementara menurut Salim, perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.12 Sedangkan di dalam pasal 1233 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memberikan gambaran singkat tentang perikatan, dengan menyatakan bahwa : “Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik dengan persetujuan, baik karena undang – undang.” Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam pasal 1234 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa : “ tiap – tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu Berbagai macam pelaksanaan dari perikatan disebut sebagai prestasi atau kontra prestasi tergantung dari sudut mana pelaksanaan prestasi itu dipandang. Dipandang dari sudut pelaksana, maka tindakan utntuk melaksanakan suatu 11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, PT Liberty, Yogyakarta, 2003, halaman 118 12 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Inominaat di Indonesia, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2003, halaman 17.
8
perikatan disebut sebagai prestasi, tetapi bila dipandang dari lawan pelaksanaan suatu perikatan dapat dikatakan sebagai kontra prestasi bagi pihak lawan untuk juga melaksanakan perikatan itu. Dalam
hukum
13
perjanjian,
prestasi
atau
kontra
prestasi
dapat
merupakan:14 a. Kewajiban ( obligation/duty) merupakan kewajiban bila para pihak membuat suatu janji untuk pemenuhannya. Pihak yang berkewajiban melakukan prestasi biasanya disebut debitur sedangkan pihak yang berhak atas prestasi itu disebut kreditur. b. Syarat (condition) merupakan suatu syarat bila pihak yang melakukan prestasi tidak berjanji untuk melaksanakannya, melainkan sebagai kondisi tangguh dimana suatu prestasi harus dilakukan terlebih dahulu untuk menimbulkan adanya suatu kewajiban untuk memenuhi kontra prestasi dsri pihak lawan. Prestasi atau kontra prestasi yang merupakan syarat tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya secara hukum bila tidak dilakukan. c. Kewajiban dan syarat (promissory condition) merupakan suatu kewajiban dan syarat disebut sebagai promissory condition. Dalam hal ini seorang debitur harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu untuk memintakan pelaksanaannya dari pihak lawan janji. Menurut pasal 1230 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, syarat sahnya sebuah perjanjian antara lain :15
13
Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama,Bandung, 2004, Halaman 83 14 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, Halaman 32
9
a. Sepakat
mereka
yang
mengukatkan
dirinya.
Ketentuan
yang
mengatur tentang kesepakatan tercantum dalam pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. b. Kecakapan
untuk
membuat
suatu
perikatan.
Ketentuan
yang
mengatur tentang kecakapan tercantum dalam pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. c. Suatu hal tertentu. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 1332 sampai 1334 kitab Undang – Undang Hukum Perdata. d. Suatu sebab yang halal. Ketentuan yang mengatur tentang suatu sebab yang halal tercantum dalam pasal 1335 sampai dengan pasal 1337 kitab undang – undang hukum perdata. Syarat pertama dan kedua diatas dinamakan syarat – syarat subjektif; apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat – syarat objektif, yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian menjadi batal demi hukum. Jika syarat – syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang – undang.16
15 16
Johannes Ibrahim, Op. Cit, Halaman 84 - 87 Ibid. halaman 88
10
Asas asas hukum perjanjian sebagai landasan pemikiran dalam hukum perjanjian terdapat baik dalam sistem hukum Indonesia ataupun sistem common
law. Dalam hukum perjanjian Indonesia dikenal beberapa asas hukum yaitu :17 a. Asas kebebasan berkontrak Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang undang bagi pembuatnya. rumusan ini di temukan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal dimana oleh undang – undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu. b. Asas konsensualitas/ kesepakatan yaitu suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Asas kesepakatan ini merupakan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1329 KUHPerdata. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi hukum. c. Asas kepribadian, yaitu suatu asas yang menyatakan seseorang hanya boleh melakukan perjanjian untuk dirinya sendiri. d. Perjanjian batal demi hukum, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian akan batal demi jika tidak memenuhi syarat objektif.
17
Asyhadie Zaeni, Op. CIt, halaman 28-30
11
e. Keadaan memaksa, yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan terjadi diluar kemampuannya sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti kerugian. f.
Asas canseling, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalan.
g. Asas obligatoir adalah suatu kontrak maksudnya bahwa setelah sahnya suatu kontrak, kontrak tersebut sudah mengikat tetapi harus sebatas menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. h. Asas pacta sunt servanda artinya suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak yang membuatnya. i.
Zakwaarneming (1345 KUHPerdata), dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus mengurusnya sampai selesai.
Leasing sebagai lembaga hukum perjanjian Istilah sewa guna usaha merupakan terjemahan yang diambil dari bahasa inggris leasing yang berasal dari kata lease yang berarti sewa atau lebih umum sebagai sewa – menyewa. Meskipun demikian, antara sewa guna usaha (leasing) dan sewa – menyewa biasa tidak sama. Ada beberapa persyaratan dan kriteria tersendiri yang membedakan antara sewa guna usaha dengan sewa – menyewa, karena dalam pengertian sewa guna usaha mengandung ciri – ciri objeknya berupa barang modal, pembayarannya secara berkala dalam jangka waktu tertentu, adanya hak opsi serta perhitungan nilai sisa atas objeknya.
18
18
Sunaryo, Op. Cit. . Halaman 47
12
Secara umum sewa guna usaha merupakan suatu equipment funding, yaitu satu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi. Mengenai definisi sewa guna usaha ini ada banyak pendapat, berikut ini adalah kutipan dari beberapa pendapat tersebut, the Equipment Leasing Associaton di London, Inggris sebagaimana disitir oleh Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal memberikan definisi sebagai berikut:
Leasing
adalah perjanjian (kontrak) antara lessor dan
lessee untuk
menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak atas pemilikan barang modal tersebut ada pada lessor. Adapun lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.19 Adapun dalam pasal 1 angka (9) Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan ditentukan , bahwa perusahaan sewa guna usaha (leasing
company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease maupun operating
lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.20 Pengertian leasing menurut pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang dimaksud leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) 19 20
Ibid. Pasal 1 angka (9) Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan
13
untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.21 Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dalam pengertian Leasing terkandung enam unsur, yaitu:22 1. Pembiayaan perusahaan. Pembiayaan di sini tidak dilakukan dalam bentuk sejumlah dana, tetapi dalam bentuk peralatan atau barang modal yang akan digunakan dalam proses produksi. 2. Penyediaan barang modal. Peralatan atau barang modal ini biasanya disediakan oleh pabrikan atau supplier atas biaya dari lessor untuk dipergunakan oleh lessee. 3. Pembayaran sewa secara berkala. Lessee membayar harga barang modal kepada lessor secara angsuran, sebagai imbalan penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa guna usaha. 4. Jangka waktu tertentu, yaitu lamanya waktu sewa guna usaha yang dimulai sejak diterimanya barang modal oleh lessee sampai dengan perjanjian sewa guna usaha berakhir. 5. Adanya hak pilih (opsi) bagi lessee. Pada akhir masa leasing, lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah dia ingin membeli barang modal tersebut, memperpanjang perjanjian sewa guna usaha ataukah mengembalikan barang modal tersebut kepada lessor.
21
Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1169/KMK.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha 22 Sunaryo, Op. Cit, halaman 48
14
6. Nilai sisa (residual value), yaitu nilai barang modal pada akhir masa sewa guna usaha yang telah disepakati oleh lessor dengan lessee pada awal masa sewa guna usaha. Pada lembaga leasing terdapat beberapa pihak, yaitu sebagai berikut :23 1. Lessor, yakni merupakan pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini
lessor bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat “multi finance”, tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang leasing. 2. Lessee, yaitu merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal mana dibayar oleh lessor kepada
supplier untuk kepentingan lessee. Dapat juga supplier ini merupakan penjual biasa. Tetapi ada juga jenis leasing yang tidak melibatkan
supplier, melaikan hubungan bilateral antara pihak lessor dengan pihak lessee. Misalnya dalam bentuk sale and lease back. Mekanisme terjadinya hubungan hukum antar para pihak, yaitu lessor,
lessee, dan supplier dapat melalui berbagai alternative, yaitu sbegai berikut :24 1. Lessor
membeli
barang
atas
permintaan
lessee,
selanjutnya
memberikan kepada lessee secara leasing. 2. Lessee membeli barang sebagai agennya lessor, dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor.
23 24
Fuady Munir , Op. Cit, Halaman 7-8 Umam Khotibul, Op.cit, Halaman 12
15
3. Lessee
membeli
barang
atas
namanya
sendiri,
tetapi
dalam
kenyataannya sebagai agen dari lessor, dan mengambil barang tersebut secara leasing dari lessor. 4. Setelah lessee membeli barang atas namanya sendiri, kemudian melakukan novasi, sehingga lessor kemudian mempunyai hak barang tersebut dan membayarnya. 5. Setelah lessee membeli barang untuk dan atas namanya sendiri, kemudian menjualnya kepada lessor dan mengambil kembali barang tersebut secara leasing atau yang dikenal dengan istilah sale and
lease back. 6. Lessor sendiri yang mendapatkan barang secara leasing dengan hak untuk melakuakn subleasing kepada lessee.
Leasing dilihat dari segi hukum Perdata Ada dua (2) sumber hukum perdata yang mendasari kegiatan Leasing, yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang undangan di bidang hukum perdata.
25
1. Asas kebebasan berkontrak Hubungan hukum yang terjadi dalam kegiatan sewa guna usaha selalu dibuat secara tertulis sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum. Konrtak leasing ini dibuat berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak yang memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban dari pihak lessor dan pihak lessee. Kontrak sewa guna usaha merupakan dokumen hukum utama yang dibuat secara
25
Sunaryo, Op.cit, Halaman 49
16
sah dengan memenuhi syarat – syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum kontrak yang dibuat secara sah, maka akan berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak – pihak, yaitu lessor dan lessee (pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Konsekuensi yuridis selanjutnya, maka kontrak tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Kontrak sewa guna usaha berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah bagi lessor dan lessee. 2. Undang – Undang di Bidang Hukum Perdata Sumber hukum sewa guna usaha yang berasal dari undang – undang di bidang perdata, yaitu ketentuan sewa – menyewa dalam buku III KUHPerdata, dan ketentuan dari berbagai undang – undang diluar KUHPerdata yang mengatur aspek perdata dari sewa guna usaha. Bentuk dan Isi Perjanjian Leasing Perjanjian tertulis atau kontrak dalam leasing ini tidak ditentukan atau tidak diwajibkan apakah harus dibuat dalam bentuk akta autentik/akta notaries atau akta dibawah tangan. Baik dalam bentuk akta autentik/ akta notaries maupun akta dibawah tangan sama – sama mempunyai kekuatan hukum , yang membedakan hanyalah pada segi hukum pembuktiannya. Menurut pasal 1870 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta autentik. Adapun akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian jika pihak yang menandatangani akta tersebut mengakui tanda tangannya dalam akta tersebut. Mengingat hal tersebut, dalam praktek
17
banyak
perusahaan
leasing
yang
membuat
kontrak
leasing
secara
notariil/autentik, apalagi jika nilai leasing dalam jumlah yang besar.26 Mengenai isi dari kontrak leasing, baik dalam pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng. 307/DJM/III.1/7/1974 maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha sudah menentukan hal – hal apakah yang minimal harus dimuat dalam kontrak sewa guna usaha . Namun demikian, menurut Eddy P. Soekadi suatu kontrak sewa guna usaha yang lengkap memuat hal – hal mengenai subjek perjanjian, objek perjanjian, jangka waktu, imbalan jasa sewa serta cara pembayarannya, hak opsi bagi lessee, kewajiban perpajakan, penutupan asuransi, tanggung jawab atas objek perjanjian, akibat kejadian lalai, serta akibat rusak atau hilangnya objek perjanjian sewa guna usaha.27 Jaminan Fidusia Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum berdasar kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.28 Dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, disebutkan bahwa : 26 27
Ibid., Halaman 61 Ibid.
28
Gunawan Wjaya dan Ahmad Yani,Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman. 113
18
”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam pengusaan pemilik benda.” Menurut A.Hamzah dan Senjun Manullang definisi fidusia adalah suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitor), berdasarkan adanya suatu perjanjian pokok (perjanjian hutangpiutang) kepada kreditor, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridische levering dan hanya dimiliki oleh kreditor secara kepercayaan saja (sebagai jaminan hutang debitor) sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitor tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun
bezitter melainkan hanya sebagai detentor atau houder untuk dan atas nama kreditor eigenaar”.29 Menurut
Munir
Fuady
Menyatakan
kadang-kadang
dalam
bahasa
Indonesia untuk fidusia ini disebut juga dengan istilah Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan.30 Sedangkan menurut Oey Hoey Tiong Fidusia atau lengkapnya Fiduciaire
Eigendoms Overdracht sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik Secara Kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak di samping gadai yang dikembangkan oleh yurisprudensi.31 Dalam jaminan fidusia benda yang diserahkan hak kepemilikannya tetap berada dalam penguasaan pemilik benda, sedangkan yang dialihkan hanyalah hak kepemilikiannya saja, secara yuridis hak atas benda tersebut sudah beralih kepemilikannya akan tetapi secara nyata benda yang masih dalam penguasaan 29
A.Hamzah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia Dan Penerapannya Di Indonesia, Indhill Co. Jakarta, 1987, halaman 37. 30 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti,Jakarta ,2003, halaman 3 31 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, halaman 21.
19
pemilik benda tersebut. Pemakaian istilah fidusia di Indonesia sudah merupakan istilah yang umum, istilah fidusia merupakan istilah resmi dalam dunia hukum dan negara Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang fidusia disebutkan bahwa: “Pemberi Fidusia baik perorangan maupun korporasi haruslah pemilik dari harta benda yang menjadi obyek jaminan fidusia walaupun Pemberi fidusia tersebut dimaksud sebagai jaminan piutang untuk pihak ketiga adalah harus menjadi pemilik dari benda yang difidusiakan, walaupun pemberi fidusia yang dimaksud sebagai jaminan hutang untuk pihak ketiga mengenai letak benda mengenai letak benda itu tidak penting tetapi yang penting pihak yang memberi jaminan fidusia haruslah pihak yang memiliki benda obyek jaminan”. Tempat kedudukan pemberi fidusia akan berpengaruh pula pada tempat pendaftaran fidusia dimana akta pemberian jaminan yang diperuntukkan oleh notaris menurut ketentuan Pasal 6 UndangUndang Jaminan Fidusia harus memuat : a. Identitas para pihak baik pemberi maupun penerima fidusia. b. Penyebutan perjanjian pokok yang dijamin dengan jamianan fidusia c. Penyebutan secara jelas mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. d. Nilai penjamin fidusia e. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dalam akta jaminan fidusia, hal ini erat kaitannya dengan prinsip spesialitas yang dianut oleh Undang-Undang
20
Fidusia dan guna mendukung kepastian hukum dan kepastian hak yang menjadi salah satu tujuan Undang-Undang Fidusia. Adapun sifat-sifat jaminan fidusia adalah sebagai berikut: a. Sebagai suatu perjanjian accesoir yang memiliki sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokoknya. b.
Sifat mendahului (droit de preference), yaitu hak didahulukan penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia dari kreditor-kreditor lain.
c.
Sifat mengikuti benda yang menjadi jaminannya (droit de suite). Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan
fidusia di tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia. Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Karena pendaftaran fidusia dalam Buku Daftar dilakukan pada hari penerimaan permohonan, maka lahirnya jaminan fidusia adalah juga tanggal diterimanya permohonan pendaftaran. Pada prinsipnya, tidak bisa ada 2 (dua) kali berturut-turut atas benda jaminan fidusia yang sama, maka pada tanggal pendaftaran tersebut adalah juga tanggal lahirnya jaminan fidusia.32 Jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk perjanjian. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditor mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitor harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai jaminan pelunasan utangnya.33 Eksekusi 32 33
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, halaman.126 Oey Hoey Tiong, S.H. Op. Cit halaman. 21
21
Menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.34 Menurut Prof.R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).35 Menurut Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.36 Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.37
34
M. Yahya Harahap, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991), hal. 1 35 .Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, cet. 3, Bandung. Binacipta, 1989 halaman 130 36 Djazuli Bachar, S.H., Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal. 6 37 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 9, Jakarta . PT.Pradnya Paramita, 1986, halaman 119
22
Hal menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.38 Asas Asas Eksekusi antara lain: 1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap. 2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela. 3. Putusan mengandung amar comdemnatoir. 4. Eksekusi berdasarkan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadian. Eksekusi memiliki tiga macam menurut sifatnya antara lain: 1. Eksekusi riil merupakan eksekusi pengosongan atas objek perkara kepunyaan pemohon eksekusi yang berada di tangan termohon eksekusi, sehingga apa bila akan dilaksanakan eksekusi terhadap objek perkara, tidak diperlukan sita.(Pasal 1033 Rv) 2. Membayar sejumlah uang (Pasal 197 HIR/208 RBg) Dilaksanakan melalui penjualan lelang terhadap barang-barang milik yang kalah perkara.
38
Djazuli Bachar. Op.cit., halaman 12
23
3. Melakukan suatu perbuatan tertentu (Pasal 225 HIR/259 RBg). Eksekusi ini dapat dinilai dengan sejumlah uang dengan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang memutus perkara.
Proses pelaksanaan eksekusi antara lain: 1. Diajukan oleh pihak yang menang. 2. Diberitahukan kepada pihak yang kalah. 3. Jika pihak yang kalah lalai atau tidak mau melaksanakan di panggil ke pengadilan. 4. Selambat-lambatnya 8 hari putusan hakim harus dilaksanakan. 5. Jika tidak dilaksanakan maka dilakukan sita eksekutorial. 6. Jika putusan membayar sejumlah uang barang sita akan dilelang. 7. Pelelangan dapat dilakukan oleh pengadilan atau kantor lelang negara.
Tata cara sita eksekusi adalah sebagai berikut : a. Berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri Merupakan syarat formal pertama, surat perintah tersebut berupa surat penetapan sita ekseskusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul atau keluarnya Surat Penetapan tersebut adalah : a)
Termohon tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang syah.
b) Termohon tidak memenuhi putusan selama masa peringatan. b. Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita Surat perintah/penetapan sita eksekusi berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan
24
termohon yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) HIR Isi pokok surat perintah sita eksekusi adalah : a) Penunjukan nama pejabat yang diperintahkan b) rincian jumlah barang yang hendak disita eksekusi. c. Pelaksanaan dibantu dengan dua orang sanksi Merupakan syarat formal, baik pada sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai pasal 197 ayat (6) HIR. Bila syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah. Kedua orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu berkedudukan sebagai pembantu dan sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi. d. Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat Berdasarkan Pasal 197 ayat (5),(9) HIR tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak di sita.Hal ini disyaratkan agar panitera atau juru sita dapat melihat sendiri jenis atau ukuran dan letak barang yang akan disita bahkan harus dapat memastikan bahwa barang tersebut benar-benar milik termohon, hal ini disebabkan penyitaan berdasarkan rekaan tidak dibenarkan. e. Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi Merupakan satu-satunya bukti otentik kebenaran sita eksekusi. Sita eksekusi sebagai tahap awal menuju penyelesian eksekusi merupakan tindakan yustisial yang harus bisa dipertanggung jawabkan Ketua
25
Pengadilan Negeri dan juru sita. Tanpa berita acara, sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi.
Kedudukan Hukum Jaminan secara fidusia dalam Perjanjian Leasing kendaraan bermotor pada PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda ditinjau dari Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga yang sudah di akui eksistensinya dengan adanya Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang harus dibuat dengan suatu akta notaris yang isebut sebagai akta jaminan fidusia yang tercantum didalam penjelasan pasal 6 huruf b Undang–Undang Nomor 42 Tahun 1999. Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia yang permohonan pendaftarannya diajukan oleh penerima Fidusia dengan memperhatikan syarat – syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 dan atas dikabulkannya permohonan pendaftaran tersebut, maka kepada, penerima Fidusia diberikan sertifikat Jaminan Fidusia yang memakai irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
yang tanggalnya sama dengan tanggal diterimanya permohonan
pendaftaran fidusia.
26
Arti penting irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” bahwa pencantuman tersebut membawa konsekuensi bahwa sertifikat Jaminan Fidusia disamakan dengan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan didaftarkannya objek fidusia pada kantor pendaftaran fidusia, maka pihak-pihak didalam perjanjian jaminan fidusia mendapat perlindungan hukum terutama bagi penerima fidusia yang mendapat hak preferent dan memliliki hak eksekutorial. Dari data wawancara yang telah penulis peroleh, PT. Indomobil Finance
Indonesia
cabang
Samarinda
hanya
membuat
perjanjian
pembiayaan dengan menggunakan jaminan fidusia, dan tidak mendaftarkan objek jaminan fidusia pada kantor pendaftaran jaminan fidusia. Mereka hanya berfokus pada klausula dalam perjanjian pokok yang membebankan jaminan fidusia di dalamnya. Dibuatnya surat kuasa penarikan kendaraan bermotor
dianggap
menjadi
acuan
dasar
hukum
mereka
untuk
mengeksekusi objek jaminan apabila terjadi wanprestasi oleh lessee. Di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, pendaftaran merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagai syarat lahirnya jaminan fidusia untuk memenuhi asas publisitas, ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Perjanjian leasing yang membebankan jaminan secara fidusia bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Jaminan
27
fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat dengan timbulnya kesewenang-wenangan lessor untuk melakukan hak eksekusi objek fidusia tersebut. Perjanjian fidusia secara akta notarill tidaklah cukup, tetapi harus didaftarkan, akta notarill merupakan akta otentik namun apabila tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran jaminan fidusia maka penerima fidusia tidak mendapat hak preferent. Dalam kontrak perjanjian leasing
PT. Indomobil Finance
Indonesia cabang Samarinda, secara keseluruhan perjanjian tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana pembebanan dijaminkan secara fidusia. Dari perjanjian pokok pembiayaan dan surat pengakuan hutang telah tercantum klausula pernyerahan
jaminan
secara
fidusia,
terdapat
juga
surat
kuasa
membebankan jaminan fidusia yang menandakan bahwa perjanjian tersebut mengacu pada dasar hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Namun didalam prakteknya, akta fidusia yang telah di buat oleh pihak PT. Indomobil Fianance Indonesia Cabang Samarinda hampir seluruhnya tidak pernah didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Hal ini dianggap perusahaan biaya pendaftaran tersebut terlalu mahal dan tidak sebanding
dengan
objek
yang
akan
difidusiakan,
sehingga
dapat
mengakibatkan kenaikan harga pada objek lease dan berimplikasi pada persaingan usaha. Karena pada saat ini perusahaan-perusahaan leasing berlomba-lomba untuk menarik konsumen dengan strategi biaya leasing yang murah sehingga sebagian besar perusahaan leasing juga hampir tidak
28
pernah mendaftarkan objek fidusia di kantor pendaftaran fidusia agar tidak terlalu membebankan biaya tersebut kepada lessee. Selain itu proses pendaftaran dianggap proses yang sangat rumit terkait pula dengan beberapa oknum tertentu yang mempersulit pendaftaran objek fidusia, sehingga PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda hanya berfokus pada perjanjian pokok leasing dan surat kuasa pembebanan fidusia dari lessee kepada lessor.39 Dengan adanya fakta tersebut, maka kedudukan jaminan fidusia pada perjanjian pokok leasing
PT. Indomobil Finance Indonesia yang
menggunakan jaminan secara fidusia dan menjadikan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagai dasar hukum perjanjian tersebut akan menjadi gugur. Didalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pendaftaran jaminan fidusia mutlak harus dilakukan, karena apabila tidak dilakukan pendaftaran pada kantor pendaftaran jaminan fidusia, maka penerima fidusia tidak memiliki hak
preferent dan hak eksekutorial. Apabila benda jaminan dibebankan secara fidusia dengan akta dibawah tangan, maka PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda selaku lessor penerima fidusia merupakan kreditor biasa, apabila terjadi wanprestasi oleh lessee, lessor
tidak dapat menggunakan
hak eksekusi pada jaminan fidusia karena tidak memiliki kekuatan hukum untuk melakukan hal tersebut akibat tidak didaftarkannya jaminan fidusia pada kantor pendaftaran jaminan fidusia, sehingga lessor hanya mampu membuktikan surat pengakuan hutang dan mengajukan gugatan kepada 39
Hasil wawancara penulis pada Mussalehuddin, Divisi Dept Collection PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda pada tanggal 27 Juli 2012
29
peradilan perdata dikarenakan objek yang dijadikan jaminan fidusia masih menjadi milik lessee karena lessee telah melakukan kewajiban pembayaran hutang sebelumnya, sehingga sebagian objek jaminan tersebut masih milik
lessee dan lessee masih memiliki hak atas objek jaminan tersebut. Upaya hukum lessor dalam proses eksekusi kendaraan bermotor ditinjau dari Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dalam kegiatan leasing kendaraan bermotor PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda tidak dapat dihindari terjadinya wanprestasi. Wanprestasi yang dilakukan lessee sebagian besar tidak melakukan kewajiban pembayaran pada batas waktu yang telah di tentukan. Dengan terjadinya wanprestasi, maka pihak PT. Indomobil Finanace cabang Samarinda menggunakan kontrak leasing yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua pihak untuk melakukan penarikan jaminan fidusia. Dalam kontrak tersebut terdapat surat kuasa penarikan jaminan fidusia oleh PT. Indomobil Finance cabang Samarinda apabila
lessee melakukan wanprestasi. Surat kuasa tersebut dianggap cukup untuk dijadikan dasar hukum PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda. Berdasarkan
hasil
wawancara
penulis
pada
salah
satu
karyawan bidang dept collection di PT. Indomobil Finance Indonesia cabang
Samarinda
Bapak
Mussalehudin,
penarikan
dilakukan
berdasarkan surat kuasa yang telah disepakati oleh pihak lessee didalam kontrak leasing yang dibuat oleh pihak perusahaan, apabila terjadi
30
wanprestasi seperti contoh terlambat membayar angsuran, pihak perusahaan dapat langsung menarik kendaraan tersebut sehari setelah jatuh tempo. Penarikan tersebut dilakukan agar pihak lessee bisa melaksanakan
kewajibannya
untuk
membayar
angsuran
beserta
menebus kendaraan yang telah ditarik oleh perusahaan. Dengan kata lain, PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda melakukan penyelesaian masalah wanprestasi dengan cara penarikan kendaraan menggunakan surat kuasa yang diberikan oleh
lessee, dimana surat kuasa tersebut menjadi bagian dalam satukesatuan perjanjian leasing antara konsumen dengan PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda.
Metode penarikan seperti ini
didasari oleh perjanjian leasing yang mengacu pada jaminan fidusia, dimana jaminan fidusia dapat di eksekusi oleh penerima fidusia apabila pemberi fidusia lalai dalam melakukan kewajibannya atau dapat dikatakan wanprestasi. Hal inilah yang mendasari PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda untuk melakukan penarikan kendaraan bermotor untuk menyelesaikan masalah lessee yang wanprestasi. Perjanjian leasing yang mengacu pada jaminan fidusia, maka akan menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia sebagai dasar hukumya. Seperti yang telah tertera pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, bahwa pendaftaran jaminan fidusia wajib di daftarkan. Karena apabila jaminan fidusia telah didaftarkan pada kantor pendaftaran jaminan fidusia, maka penerima fidusia memiliki hak preferent dan
31
memiliki hak eksekusi apabila terjadi wanprestasi karena jaminan fidusia yang telah didaftarkan akan memiliki sertifikat yang bersifat sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dengan demikian, PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda tidak dapat mengikutkan adanya jaminan fidusia yang telah diperjanjikan sebelumnya pada kontrak perjanjian leasing sebagai upaya eksekusi kendaraan bermotor karena tidak melakukan pendaftaran jaminan
fidusia
di
kantor
pendaftaran
jaminan
fidusia,
dimana
pendaftaran tersebut merupakan hal yang mutlak harus dilakukan demi mendapatkan perlindungan hukum. Apabila PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda masih tetap menggunakan metode eksekusi kendaraan bermotor guna menyelesaikan masalah wanprestasi oleh lessee, maka pihak PT. Indomobil
Finance
Indonesia
dianggap
melakukan
kesewenang-
wenangan dalam melakukan tindakan penarikan kendaraan tersebut oleh pihak lessee. Hal ini dikarenakan objek leasing
kendaraan bermotor
tersebut masih menjadi hak lessee karena lessee sebelumnya telah menjalankan kewajibannya membayar angsuran kendaraan motor tersebut, sehingga sebagian objek leasing masih menjadi milik lessee dan lessor tidak dapat melakukan penarikan kendaraan bermotor secara sepihak karena dapat dianggap melakukan tindakan kesewenangwenangan. Hal ini tentu dapat dijadikan alasan lessee untuk menolak adanya eksekusi sepihak oleh perusahaan.
32
Selain itu, terdapat surat kuasa penarikan kendaraan bermotor yang dilimpahkan kepada PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda. Dalam hal ini surat kuasa penarikan kendaraan bermotor dijadikan pegangan untuk melakukan penarikan yang bisa dikategorikan sebagai bentuk eksekusi rill. Padahal proses eksekusi tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang melainkan harus melalui keputusan hakim yang lalu mengutus juru sita serta didukung oleh aparat hukum yang legal, sehingga perbuatan PT. Indomobil Finance dalam hal melakukan penarikan kendaraan bermotor dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Namun didalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, tidak ada penegasan untuk mendaftarkan jaminan fidusia ke kantor pendaftaran jaminan fidusia. Hal ini terbukti dengan tidak adanya sanksi apabila jaminan fidusia tersebut tidak didaftarkan. Dengan tidak adanya sanksi yang jelas, maka akan semakin besar tindak kesewenang-wenangan perusahaan untuk melakukan eksekusi menggunakan akta fidusia dibawah tangan.
Upaya hukum lessor dalam proses eksekusi kendaraan bermotor ditinjau dalam Hukum Acara Perdata Pada kondisi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan yang tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk melakukan eksekusi penarikan kendaraan bermotor oleh PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda, maka upaya lessor dalam proses eksekusi objek jaminan
33
kendaraan bermotor apabila terjadi wanprestasi seharusnya adalah dengan cara mengajukan gugatan melalui jalur peradilan perdata apabila pihak lessee merasa memiliki hak atas objek jaminan tersebut dan merasa keberatan atas eksekusi objek jaminan. Dalam hal ini PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda akan menjadi kreditor biasa yang memiliki piutang dengan seorang debitor yang wanprestasi. Debitor dianggap wanpretasi oleh kreditor karena tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan pelunasan hutang secara angsuran untuk membeli kendaraan bermotor, dimana pembayaran hutang secara angsuran telah ditetapkan dalam perjanjian yang sebelumnya telah di sepakati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, kreditor memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan perdata pada debitor untuk mendapatkan haknya. Namun apabila PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda masih ingin mengeksekusi objek jaminan kendaraan bermotor tersebut untuk mendapatkan haknya, maka harus tetap melalui jalur perdata untuk didapatkan keputusan hakim secara adil, karena objek yang dijadikan jaminan tersebut tidak sepenuhnya milik PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda, masih ada hak lessee dalam kendaraan bermotor tersebut yang sebelumnya telah lessee bayar berupa angsuran. Maka, jalur perdata adalah solusi upaya hukum lessor dalam penyelesaian masalah wanprestasi oleh lessee guna mendapatkan keputusan
perdata
oleh
pengadilan
Negeri
Samarinda
untuk
34
mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.
Langkah pertama mengajukan gugatan perdata adalah dengan melakukan pendaftaran gugatan tersebut ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatifnya – berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian .
Gugatan
tersebut
hendaknya
diajukan
secara
tertulis,
ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran gugatan itu dapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Setelah gugatan diajukan di kepaniteraan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanya putusan pengadilan.
Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah adalah pihak yang menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pengadilan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara lain biaya kepaniteraan, meterai, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat, pemberitahuan, eksekusi, dan biaya lainnya yang diperlukan. Apabila Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka biaya perkara itu dipikul oleh Penggugat dan diambil dari panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara kurang,
35
maka Penggugat wajib menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut harus dikembalikan kepada Penggugat.
Bagi Penggugat dan Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, Hukum Acara Perdata juga mengizinkan untuk berperkara tanpa biaya (prodeo/free of charge). Untuk berperkara tanpa biaya, Penggugat dapat mengajukan permintaan izin berperkara tanpa biaya itu dalam surat gugatannya atau dalam surat tersendiri. Selain Penggugat, Tergugat juga dapat mengajukan izin untuk berperkara tanpa biaya, izin mana dapat diajukan selama berlangsungnya proses persidangan. Permintaan izin berperkara tanpa biaya itu disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat atau kepada desa tempat tinggal pihak yang mengajukan.
Registrasi perkara adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih lanjut. Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya
ke
Pengadilan
Negeri
namun
belum
dilakukan
pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga gugatan tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan karenanya belum dapat diproses lebih lanjut, dianggap belum ada perkara. Dengan demikian, pembayaran panjar biaya perkara merupakan syarat bagi registrasi perkara, dan dengan belum dilakukannya pembayaran maka
36
kepaniteraan tidak wajib mendaftarkannya ke dalam Buku Register Perkara.
Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam Buku Register Perkara, perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelimpahan tersebut harus dilakukan secepat mungkin agar tidak melanggar prinsip-prinsip penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan, selambat-lambatnya 7 hari dari tanggal registrasi. Setelah Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. Penetapan itu harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 hari setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim, dengan komposisi 1 orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim Anggota. Selanjutnya, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim tersebut kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara, atau selambat-lambatnya 7 hari setelah tanggal penerimaan berkas perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari sidang yang telah ditentukan itu.
37
Apabila Perusahaan menang dalam gugatannya di pengadilan, dan hakim membuat putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak yang menang yaitu pihak PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Samarinda
dapat mengajukan permohonan eksekusi pada majelis
hakim. Perusahaan dapat meminta eksekusi rill, yaitu eksekusi dengan penyerahan barang, eksekusi dengan pembayaran sejumlah uang dengan melelang barang yang dijadikan objek eksekusi, atau eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dengan membayar sisa hutang. Dengan demikian, perusahaan akan mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Proses eksekusi berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah
perintah
dan
pimpinan
Ketua
Pengadilan
Negeri
yang
bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera,
38
disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.40 Dengan proses peradilan acara perdata yang sangat panjang, memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak murah, maka upaya
lessor dalam proses eksekusi objek kendaraan bermotor melalui jalur peradilan akan menjadi kurang efektif. Disinilah pentingnya pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia, dengan didaftarkannya jaminan fidusia, maka lessor tidak perlu mengikuti jalur peradilan perdata untuk melakukan hak eksekusi. Karena hak eksekusi sudah menjadi milik lessor ketika terbit akta jaminan fidusia yang telah didaftarkan sesuai dengan pasal 29 ayat (1) yang berbunyi “ apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: 1) Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia; 2) Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3) Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
40
M. Yahya. Op.Cit Halaman 18
39
Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dapat dijadikan jembatan oleh lessor untuk melakukan eksekusi secara cepat dan biaya ringan tanpa harus melewati peradilan perdata sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali. PENUTUP Dari hasil uraian diatas, bahwa kedudukan hukum jaminan fidusia dalam perjanjian leasing antara PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda dengan konsumennya dapat dikatakan tidak sah secara hukum dikarenakan perjanjian tersebut menggunakan jaminan secara fidusia dan tidak didaftarkannya jaminan fidusia ke kantor pendaftaran jaminan fidusia. Hal ini mengacu pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dimana dalam pasal tersebut jaminan fidusia wajib di daftarkan, apabila tidak didaftarkan maka penerima fidusia tidak memiliki hak preferent dan tidak memiliki hak eksekutorial, karena akta jaminan fidusia yang telah di daftarkan dikantor pendaftaran jamianan fidusia memiliki sifat yang sama dengan keputusan pengadilan yang tetap. Upaya yang dilakukan PT. Indomobil Finance Indonesia untuk proses eksekusi objek jaminan kendaraan bermotor adalah dengan menggunakan surat kuasa penarikan kendaraan yang telah dibuat diawal perjanjian leasing dibentuk tanpa adanya akta fidusia yang telah didaftarkan. Apabila hal tersebut disadari oleh lessee bahwa hal itu bertentangan dengan undang-undang karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat akibat tidak didaftarkannya jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia sehingga lessee menolak adanya eksekusi sepihak
40
oleh perusahaan karena merasa masih memiliki haknya pada objek jaminan tersebut, maka dengan demikian PT. Indomobil Finance Indonesia cabang Samarinda harus melalui jalur peradilan perdata untuk mendapatkan mendapatkan hakporsi masing-masing kedua belah pihak, dan apabila putusan hakim memenangkan pihak perusahaan dan putusan bersifat tetap, maka perusahaan dapat mengajukan eksekusi kepada hakim.
41