BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang. Modal merupakan salah satu elemen pentingdalam sebuah kegiatan usaha. Tanpa modal sebuah usaha tidak akan berjalan. Namun demikian, dalam realitasnya ada sementara orang yang sangat ingin memiliki usaha, mempunyai ide cemerlang, akan tetapi itu hanya sekadar mengawang ngawang, karena yang bersangkutan tidak memiliki modal atau tidak mempunyai akses ke lembaga perbankan untuk memenuhi kebutuhan akan modal tersebut. Indonesia dikenal dengan adanya lembaga keuangan, baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Perbedaan diantara keduanya terletak pada kegiatan usaha yang dapat dilakukan, yakni bahwa bank adalah lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan usahanya dengan menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Sementara lembaga keuangan bukan bank tidak dapat melakukan kegiatan penarikan dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan.1 Dalam rangka upaya meningkatkan proses pembangunan nasional, pada tulisan kali ini penulis mencoba membahasnya melalui peran Lembaga Pembiayaan yang saat ini secara hukum diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang. Dan salah satu bentuk khusus dari Lembaga Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha yang termasuk didalamnya bidang usaha Lembaga
1
Khotibul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan, Yogyakarta : Penerbit Pustaka yustisia, 2010, hlm 1 1
Pembiayaan yaitu Perusahaan Pembiayaan yang secara hukum diatur didalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 84 / PMK. 012 / 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Berdasarkan pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan nomor 84 / PMK. 012 / 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, telah diatur dalam menjalankan kegiatan usahanya berupa : Sewa Guna usaha, Anjak Piutang, usaha Kartu Kredit; dan atau Pembiayaan Konsumen. Penulis mencoba untuk mempersempit kembali pembahasan ruang lingkup kegiatan usaha yang dijalankan oleh Perusahaan Pembiayaan yang akan dikhususkanpada kegiatan Pembiayaan Konsumen. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Pasal 6 PMK Nomor 84 / PMK .012 / 2006 , Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kebutuhan konsumen dimaksud pada ayat (1), antara lain meliputi : a. Pembiayaan kendaraan bermotor ; b. Pembiayaan alat - alat rumah tangga ; c. Pembiayaan barang barang elektronik ; d. Pembiayaan Perumahan. Dalam praktiknya mekanisme transaksi pembiayaan konsumen melibatkan tiga pihak, yaitu pihak perusahaan pembiayaan selaku kreditur , pihak konsumen selaku debitur dan pihak supplier. Mekanisme transaksi pembiayaan tersebut diatur didalam hubungan hukum yang terpisah satu dengan yang lain, sebagaimana dapat dijelaskan hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan dengan debitur dituangkan dalam suatu perjanjian pembiayaan konsumen, dan hubungan hukum antara debitur dengan supplier dituangkan dalam perjanjian jual beli sedangkan hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan dengan supplier biasanya dituangkan dalam suatu perjanjian kerjasama. Mekanisme Pembiayaan Konsumen adalah
2
merupakan transaksi utang piutang antara kreditur dengan debitur berdasarkan asas Kepercayaan yang mana Perusahaan Pembiayaan yang menyetujui atau memberikan fasilitas pembiayaan kepada debitur memberikan kepercayaan kepada debituruntuk tetap dapat menguasai benda yang telah dibiayai oleh perusahaan pembiayaan namun sebagai jaminan yang telah disepakati didalam perjanjian pokok, debitur mengalihkan hak kepemilikan terhadap benda / barang bergerak tersebut kepada perusahaan pembiayaan selaku penerima jaminan. 2 Undang - Undang telah mengatur mengenai hal hal yang berhubungan dengan second way outbagi pemberian utang oleh kreditur kepada debitur yang diatur didalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa segala harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun berupa benda tetap (benda tak bergerak), baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi jaminan atau agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitur dengan para krediturnya. Dengan kata lain, Pasal 1131 KUHPerdata itu memberikan ketentauan bahwa apabila debitur cidera janji atau wanprestasi tidak dapat melunasi utang yang diperoleh dari para krediturnya, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitur tanpa kecuali merupakan sumber pelunasan bagi utangnya itu. Ketentuan pasal 1131 KUHPerdata tersebut merupakan ketentuan yang memberikan perlindungan bagi seorang kreditur.Seandainya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1131 KUHPerdata itu tidak ada, maka sulit dapat membayangkan ada kreditur yang bersedia memberikan utang bagi debitur.Ketentuan pasal 1131KUHPerdata tersebut sudah merupakan asas yang bersifat universal, yang terdapat pada system hukum pada setiap negara.Mengenai hasil penjualan harta kekayaan debitur itu dibagikan di antara para kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji. Menurut pasal 1132 KUHPerdata, harta kekayaan debitur tersebut menjadi jaminan atau agunan secara bersama
2
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2008, hlm 106 3
sama bagi semua pihak yang memberikan utang kepada debitur. Artinya apabila debitur wanprestasi maka hasil dari penjulan harta kekayaan debitur tersebut dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang masing masing kreditur. 3 Perkembangannya, Perusahaan pembiayaan selaku kreditur masih mengalami kesulitan didalam memenuhi pelunasan dari debitur debitur yang beritikad tidak baik yang menimbulkan kerugian bisnis bagi Perusahaan Pembiayaan selaku kreditur dengan mengalihkan benda tersebut ke pihak ketiga atau dijadikan jaminan lagi kepada kreditur kreditur lain tanpa persetujuan perusahaan pembiayaan selaku kreditur dan juga kondisi perekonomian debitur tanpa sepengetahuan kreditur yang mengalami pailit sehingga seluruh asset harta kekayaan debitur di sita dan dijual guna membayar hutang hutangnya bagi para kreditur kreditur lainya. Ketidak pastian terhadap kedudukan hukum kreditur atas benda yang telah dijaminkan inilah yang sering banyak terjadi dilapangan dimana perusahaan pembiayaan selaku kreditur seharusnya dapat memenuhi pelunasan hutangnya dari benda yang telah dijaminkan namun hal tersebut tidak dapat dipenuhi.Dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 42 Tahun 1999 diharapkan sejalan dengan dengan prinsip memberikan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima fidusia maupun kepada pihak ketiga. Pemberian sifat hak kebendaan kepada hak kreditur Penerima fidusia, dapat dikeluarkanya grosse sertifikat jaminan fidusia, diberikannya hak parate eksekusi dan diberikan status kebagai kreditur preferen menunjukan maksud pembuat undang undang untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada kreditur. Di dalam proposal ini penulis mengambil judul perbedaan penafsiran hukum pada pasal 11 uu no42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang menimbulkan ketidakpastian hukum pada
3
Sutan Remy Sjahdeini, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta: Penerbit Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis, 2000, hlm5 4
perusahaan pembiayaan.Hal ini berdasarkan dengan adanya suatu peristiwa hukum digeledahnya dan disitanya dokumen - dokumen perjanjian pembiayaan konsumen PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk oleh Kejaksaan Negeri Lampung terhadap dugaan tindak pidana penggelapan atau korupsi karena tidak didaftarkannya jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan selaku kreditur. 4
Penggeledahan kantor PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk cabang lampung itu
bermula dari tuduhan korupsi yang dilayangkan pihak kejaksaan setempat. PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk dituding menyelewengkan uang yang dipungut dari konsumen untuk jaminan fidusia karena uang itu tidak diteruskan untuk pendaftaran fidusia yang dianggap telah merugikan negara lantaran tidak menggunakan jaminan fidusia dari perjanjian - perjanjian kredit yang telah disepakati. Namun kasus yang menimpa PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk cabang lampung belum selesai begitu saja walaupun sampai dengan saat ini belum ditemukan kesalahan seperti yang dituduhkan pihak kejaksaan setempat. Kejadian ini menimbulkan perdebatan antara Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam - LK) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKPN). BPKN beranggapan multifinance wajib mendaftarkan atau mengikuti jaminan fidusia agar tidak merugikan konsumen. Sebaliknya Bapepam - LK menganggap, multifinance sudah berada di jalur yang tepat dan tidak wajib mendaftarkan manusia. Berdasarkan Undang - Undang (UU) Nomor 42 Tahun 1999, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. UU ini sebenarnya lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan kreditur, yakni multifinance sebab kasus “debitur
4
Manfaat di Balik Polemik Jaminan Fidusia, Jakarta : Penerbit Info Bank , Maret 2011, hlm 92 5
nakal” acap kali membuat para kreditur tidak berdaya. Kemudian munculah Undang Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia untuk melindungi industri pembiayaan. Selain agar kreditur tidak rugi, kehadiran Undang Undang ini untuk menjaga iklim Usaha sehingga investor baru
tidak 5
ragu
ataupun
khawatir
berinvestasi
di
Indonesia.
Sejak awal hal ini sudah diketahui dengan adanya perbedaan - perbedaan penafsiran
dikalangan masyarakat, instansi penegak hukum maupun para akademisi terhadap pasal 11 uu no 42 tahun 1999, Guru besar Hukum Perdata Universitas Lampung Abdulkadir Muhamad menyatakan kelompok mafia mengatur skenario agar jaminan fidusia leasing tidak didaftarkan ke Kanwil Kemenkumham Lampung. Abdulkadir mencurigai keterlibatan mafia setelah kasus PT.Adira Dinamika Multifinance, Tbk terungkap dan kini sedang di proses Kejari Bandar Lampung. Dalam kasus itu, dari 37.150 transaksi kredit sepeda motor 2007 - 2009, Adira hanya mendaftarkan 101 transaksi yang mengakibatkan kerugian negara Rp 935 Juta. Abdulkadir menjelaskan bahwa kewajiban mendaftarkan fidusia disebutkan dalam Undang - Undang Fidusia No.42 Tahun 1999. Dan Dalam PP 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) antara lain dicantumkan pendaftaran fidusia untuk transaksi dibawah Rp.50 Juta sebesar Rp 25 ribu / transaksi dan Rp 50 Juta - 100 juta sebesar Rp 50 ribu per transaksi.Abdulkadir menjelaskan pendaftaran fidusia wajib dilakukan agar para multifinance dapat menarik unit / barang dari konsumen tanpa harus melalui pengadilan. Namun pada kenyataanya masih banyak multifinance / leasing yang menarik kendaraan / barang secara semena semena dari konsumen penunggak kredit meski tidak mendaftarkan transaksi tersebut ke Kanwil Kemenkumham.
5
Mafia Kuasai Fidusia, Lampung : Penerbit Lampung Post, Januari 2011 6
6
Ketatnya persaingan bisnis membuat perusahaan pembiayaan / multifinance enggan
mendaftarkan jaminan fidusia pada setiap transaksi kreditnya ke Kementerian Hukum dan Ham. Untuk memperoleh jaminan fidusia, ada biaya pendaftaran dan pembuatan akta. Biaya pendaftaran disetor ke kas negara, sedangkan biaya pembuatan akta kepada notaris. Perusahaan Pembiayaan mengaku tidak mengutip biaya fidusia dan pembuatan akta dari debitur. Riyantono yang merupakan operasional PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk khusus area sumatera berpendapat dari segi bisnis, hal itu tidak kompetitif. Kalau kami membebankan biaya pendaftaran fidusia maka nasabah akan keberatan. Menurut Riyantono, sekita 80% penjualan sepeda motor dilakukan secara kredit. Jika dibebani lagi biaya pembuatan akta dan pendaftaran fidusia, debitur akan keberatan melakukan akad kredit dengan Adira. Persaingan multifinance semakin ketat, sehingga kami tidak mendaftarkan fidusia, Ujarnya. Jaminan Fidusia menurut Riyantono, baru didaftarkan jika debitur wanprestasi atau menunggak, itupun biaya pendaftaranya ditanggung oleh perusahaan yang seharusnya dibebankan kepada debitur. Namun Guru Besar Hukum Perdata Unila Abdul Kadir Muhammad menegaskan, tidak ada alasan perusahaan pembiayaan yang berlabel atau berjudul fidusia menghindar dari kewajiban mendaftarkan fidusia debiturnya ke Kementerian Hukum dan Ham. Dinyatakan bahwa Undang - Undang mewajibkan, jika tidak mendaftar berarti sengaja mengelak dari kewajiban menyetorkan dana fidusia kepada negara, “ Kata pakar masalah fidusia itu. Berbeda pendapat dengan Guru Besar Hukum Perdata Unila Abdul Kadir Muhammad, Advokat sekaligus akademisi, Robintan sulaiman berpendapat tidak ada unsur korupsi bila jaminan fidusia tidak didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Ham. Robintan mengungkapkan hal itu dalam
6
Perusahaan Leasing Berdalih Persaingan Bisnis, Lampung : Penerbit Lampung Post, 27 Januari 2011 7
konferensi pers yang diselenggarakan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) di jakarta pusat.
Acara yang dimoderatori Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan
Indonesia (APPI) dengan Wiwie Kurnia itu juga menghadirkan Kasubdit Harta Peninggalan Kementerian Hukum dan Ham Agus Subandriyo, dan Tatty S, dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Robintan menjelaskan tiga hal yang termasuk unsur korupsi, antara lain ada peristiwa melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan dilakukan pejabat yang bersenang. Sementara untuk fidusia tidak ada uang yang masuk ke kas negara apabila tidak didaftarkan. Menanggapi pernyataan Robintan, Guru Besar Hukum Pidana Sunarto mengatakan pendapat tersebut keliru. Katanya “Siapapun akan berusaha mengelak apabila ada sangkaan kejahatan”. Apalagi yang mengundang konferensi pers APPI yang ada kepentingannya, “katanya. 7
Menurut Sunarto, jika ditinjau dari Hukum Pidana jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan merupakan tindak pidana korupsi. Sebab biaya pendaftaran fidusia merupakan salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diatur dalam PP 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Ham. “Keliru bila dikatakan pendaftaran fidusia tidak wajib dan tidak masuk ranah pidana”, ujar Sunarto. Kepala Biro Pembiayaan Departemen Keuangan, Ihsanudin pun menegaskan, sesuai dialog dengan para pembuat Undang - Undang, dikonfirmasikan bahwa jaminan fidusia baru muncul ketika perusahaan penerimanya mendaftarkan jaminan nasabahnya. Jika tidak ada pendaftaran, maka transaksi tersebut tidak masuk kedalam mekanisme penjaminan fidusia. Lebih dari itu Undang Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pun tidak memuat sanksi ketentuan sanksi bagi perusahaan penerima jaminan yang tidak mendaftarkan fidusia.
7
Pro - Kontra Fidusia Bergulir, Lampung : Penerbit Lampung Post, Februari 2011
8
8
Agus Subandriyo, dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian
Hukum dan Ham RI mendandaskan, Fidusia tergolong dalam bidang hukum perdata, bukan pidana. Sesuai ketentuan Hukum Perdata, Pasal 131, segala kekayaan kita baik yang sudah ada maupun belum ada bisa menjadi jaminan. Konstruksi hukum untuk Fidusia, barang yang dijaminkan itu harus hak milik peminjam, tidak boleh milik orang lain. Selama mau jadi jaminan maka hak kepemilikannya nanti ada sertifikat fidusia. Hak kepemilikannya beralih tetapi secara ekonomis barang itu masih dikuasai oleh pemilik barang. Menurut Agus Subandriyo, Undang Undang Jaminan Fidusia lahir untuk memberikan perlindungan kepada pemberi pinjaman atau kreditur bukan debitur atau penerima pinjaman. Dengan memfidusiakan suatu benda berarti yang dilindungi adalah hak kreditur. Oleh karena itu, kreditur atau pemberi pinjaman mempunyai hak untuk memilih menggunakan fasilitas perlindungan yang telah disediakan oleh pemerintah atau tidak. Fidusia itu lahir karena pemerintah mau memberikan perlindungan kepada kreditur dan itu adalah hak kreditur untuk digunakan / dipakai atau tidak. Dari segi biaya , jaminan fidusia memang memungut biaya yang tidak sedikit. Keperluan akta dan notaris sudah pasti menelan biaya besar, Belum lagi kantor pendaftaran fidusia seringkali hanya terletak di ibukota provinsi, padahal konsumen multifinance / perusahaan pembiayaan tersebar di pelosok daerah sehingga tidak mudah untuk dijangkau. Unsur kebutuhan dan resiko pembiayaan pun menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha multifinance untuk memutuskan apakah perlu dijaminkan fidusia atau tidak. Disini tiap perusahaan mempunyai kebijakan bisnis sendiri sendiri yang didasarkan pada bisnis yang mereka jalankan.
8
Multifinance Tidak Harus Daftarkan Fidusia, Jakarta : Penerbit Multifinance, Februari 2011 9
9
Kesimpulannya tidak ada keharusan bagi perusahaan pembiayaan selaku kreditur untuk
mendaftarkan jaminan fidusia ke Kanwil Kementerian Hukum dan Ham. Disampaikan juga oleh Wiwie Kurnia Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dengan mendaftarkan fidusia ada beban
tambahan buat perusahaan dan alasan inilah yang membuat Asosiasi
Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) beberapa kali menyelenggarkan acara dengan para instansi instansi penegak hukum agar Undang Undang Jaminan Fidusia tidak salah ditafsir. Namun pada faktanya sejak terjadinya peristiwa penggeledahan dan penyitaan pada PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk oleh kejaksaan negeri bandar lampung yang kemudian ditindaklanjuti dengan klarifikasi oleh kementerian keuangan bersama sama dengan Tim Penyusun Undang Undang untuk kembali mempertegas Undang - Undang Fidusia no 42 Tahun 1999 belum juga memberikan kepastian hukum pada Perusahaan Pembiayaan dengan kembali diperiksanya PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk cabang Malang yang mana berdasarkan berita yang disampaikan surat kabar Media Indonesia atas pemeriksaan tersebut menjelaskan Kejaksaan Negeri kota Malang, Jawa Timur akan menyeret kepala cabang PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk cabang malang sebagai tersangka. Isyarat itu dilontarkan Kepala Kejaksaan Negeri Malang Moch Nasrun, setelah pihaknya mengusut kasus dugaan korupsi penggelapan jaminan fidusia yang dilakukan PT.Adira Dinamika Multi Finance, Tbk cabang malang tersebut. Sudah dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan calon tersangka adalah kepala cabang PT.adira dinamika Multi Finance, Tbk cabang malang,” Kata Nasrun. Kasus ini terungkap saat intel kejari menyelidiki dugaan korupsi uang negara dari penerimaan
negara bukan pajak yang bersumber dari jaminan fidusia. Modus kejahatan
dilakukan dengan tidak menjaminkan fidusia terhadap semua kontrak jual beli kendaran
9
Multifinance Tidak Harus Daftarkan Fidusia, Jakarta : Penerbit Jakarta, Februari 2011 10
bermotor dimana Jaminan setiap sepeda motor besarnya Rp 25.000,00. Akibatnya kerugian negara untuk sementara tercatat mencapai Rp 1 Miliar yang diduga terhadap pembayaran pendaftaran fidusia dari tahun 2008 - 2011.
2. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang sebagaimana telah diuraikan maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penafsiran hukum pada undang - undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia khususnya Pasal 11 mengenai kewajiban pendaftaran Fidusia ? 2. Apakah perbuatan perusahaan pembiayaan yang tidak melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia ke kantor Pendaftaran Fidusia di Kementerian Hukum dan Ham dapat melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang Undang No 31 tahun 1999 Jo Undang Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan alasan Negara mengalami kerugian karena Penerimaan Negara bukan Pajak menjadi berkurang ? 3. Apakah suatu perjanjian pokok antara Kreditur dengan Debitur dalam suatu perusahaan pembiayaan yang tidak dibuat dalam Akta Notaris dapat dikaitkan dengan Kerugian Negara dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai yang diatur dalam PP No 38 tahun 2009 ?
11
3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui penafsiran Pasal 11 Undang - Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang kewajiban pendaftaran Jaminan Fidusia. 2. Mengetahui dasar Yuridis Perusahaan Pembiayaan yang tidak membebankan Jaminan Fidusia tidak termasuk dalam korupsi. 3. Mengetahui alasan bahwa perjanjian pokok yang dibuat di bawah tangan tidak dapat dikaitkan dengan kerugian Negara dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak. 4. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat dan perusahaan pembiayaan pada khususnya mengenai kedudukan dan kepastian hukum didalam menjalankan kegiatan pembiayaan. 2. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan kajian ilmu hukum lembaga pembiayaan yang akan mengakomodasi kegiatan usaha yang dijalankan oleh lembaga pembiayaan khususnya dalam bidang hukum yang menjadi dasar lahirnya kegiatan pembiayaan konsumen. 5. Keaslian Penelitian Permasalahan dalam penulisan tesis ini diteliti berdasarkan fakta fakta hukum yang terjadi dan dialami di tempat penulis bekerja dan sehubungan dengan permasalahan tersebut 12
penulis turut mendampingi para pihak selaku karyawan perusahaan tempat penulis bekerja didalam menjalani pemeriksaan - pemeriksaan di instansi instansi penegak hukum. Penulisan tesis kali ini juga didukung oleh data data baik yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan para pihak yang memiliki kompetensi hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti dan tinjauan tinjauan pustaka dan peraturan peratauran hukum terkait.
6. Sistematika Penulisan Dalam penulisan tesis ini agar para pembaca dapat memahaminya, penulis akan mennguraikan dan membahasnya kedalam 5 (lima) bab, yaitu :
1.
Bab I
: Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang mengapa penulis mengangkattopik tentang perbedaan penafsiran hukum pada pasal 11 uu no 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang menimbulkan ketidakpastian hukum pada perusahaan pembiayaan.
2.
Bab II
: Tinjauan Pustaka, yang akan menguraikan tentang bagaimana penafsiran hukum terhadap pasal 11 uu no 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia dan tinjauan tentang hukum jaminan dan hukum perjanjian yang menjadi dasar terjadinya perjanjian pembiayaan konsumen.
3.
Bab III : Metode Penelitian, dalam penelitian hukum ini penulis akan mengambil data dengan menggunakan metode kepustakaan (library research) dimana penulis mencari data - data dengan menggunakan buku serta artikel - artikel lain di luar buku. Dan juga akan mengumpulkan data dari nara sumber langsung yang berhubungan dengan topik yang diangkat terhadap fakta fakta permasalahan yang ada di lapangan.
13
4.
Bab IV
: Hasil Penelitian dan Pembahasan, Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan di lapangan, yang menyebakan terjadinya perbedaan penafsiran undang undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia dan juga metode penafsiran hukum yang benar terhadap undang undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
5.
Bab V
: Penutup, Penulis akan menarik suatu kesimpulan yang telah dibahas pada bab bab sebelumnya. Disamping itu penulis akan memberikan saran yang diperlukan bagi para pihak terkait agar dapat dijadikan suatu langkah perbaikan.
14