MOBILITAS DAN ALIH STATUS NELAYAN SKALA KECIL DI PROVINSI SULAWESI UTARA
VICTORIA ERA NICOLINE MANOPPO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Pebruari 2013
Victoria E N Manoppo C462080031
ABSTRACT VICTORIA E N MANOPPO. 2013. Mobility and Exchange Over The Status of Small Scale Fisherman in North Sulawesi Province. Under Direction DOMU SIMBOLON, RUDY C TARUMINGKENG and VICTOR P H NIKIJULUW Fisherman in North Sulawesi Province divided to 2 categories, those are: small scale fisherman (traditional fisherman) and big scale fisherman (modern fisherman). They do arrest of fish in same fishing ground, so that cause various problem for example decreasing the result of cached, followed by decreasing their earnings. For increase of haul, they conducted variously. Which is conducted by fisherman in North Sulawesi Province that is mobility. Target of this research are to; 1) mapping fisherman’s mobility types in North Sulawesi Province; 2) determining factors having an effect on to fisherman mobility; 3) determining the impact of fisherman mobility; 4) formulating strategic solution to quicken to displace fisherman status toward better. Data analysis which is used in this research cover: (a) descriptive-qualitative analysis; (b) structure equation modeling (SEM) analyses; and (c) SWOT analyses. Type of fisherman in North Sulawesi Province are: 1) mobility of geography that is fisherman that conducting mobility of its residence countryside to other place, but linger as fisherman; 2) mobility of geography fisherman and mobility of profession that is fisherman that conducting mobility of its residence countryside to other place, but nonliving as a fisherman; 3) profession mobility that is fisherman which do not conduct mobility of its residence countryside to other place, but linger as non-fisherman ;and 4) do not mobility fisherman that is fisherman which do not conduct any mobility. Factors that having an effect on to fisherman mobility in North Sulawesi Province: a) job experience; b) family responsibility; c) earnings; d) supply of fish; e) saturation; and f) capital. Mobility of fisherman in North Sulawesi Province do not affect significantly to small scale fisherman status, because it does not change to displace their status up at better. Strategic solution to quicken to displace fisherman status toward better, those are: a) SO: to get fishermen who could operate a new modern technology to make finding new fish catching-area become easier; make local role that easy to do by small scale fisherman; b) WO: the government should give easiness to the fishermen to get loan for them; The government provide fisheries extension to make them know about weakness of geography mobility or job changing ; c) ST: Rebserve the law of sharing system; d) WT: giving hard dubious to government officer who is making Illegal fishing for the shake of advantage of person. Keyword : Mobility, displace status, small scale fisherman.
RINGKASAN VICTORIA E N MANOPPO. 2013. Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON, RUDY C TARUMINGKENG dan VICTOR P H NIKIJULUW. Mobilitas merupakan salah satu alternatif yang dipilih nelayan untuk menyiasati berbagai masalah yang timbul akibat paceklik, yaitu diantaranya padatnya persaingan antara nelayan skala besar dan nelayan skala kecil di area penangkapan ikan sehingga hasil tangkapan ikan dan pendapatan menurun. Fenomena serupa pula terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, dimana nelayan melakukan mobilitas dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan dan perubahan alih status ke arah yang lebih baik. Maka dari itu dilakukan penelitian dengan tujuan: 1) memetakan tipe mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. 2) menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan. 3) menentukan dampak terkait perubahan alih status nelayan ke arah yang lebih baik. 4) memformulasikan solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Adapun jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a) analisis deskriptif-kualitatif; b) analisis SEM; dan c) analisis SWOT. Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa terdapat empat tipe nelayan yang bermobilitas yaitu: 1) mobilitas geografi: nelayan yang melakukan perpindahan wilayah penangkapan ikan, 2) mobilitas geografi dan profesi: nelayan yang melakukan perpindahan lokasi penangkapan ikan dan nelayan yang melakukan perubahan pekerjaan, 3) mobilitas profesi: nelayan yang melakukan perubahan pekerjaan, 4) tidak mobilitas: nelayan yang tidak melakukan perpindahan lokasi penangkapan ikan maupun melakukan perubahan pekerjaan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan skala kecil untuk bermobilitas yaitu: a) pengalaman kerja, b) tanggungan keluarga, c) pendapatan, d) persediaan ikan, e) kejenuhan, dan f) modal. Mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara tidak berdampak secara signifikan terhadap status nelayan skala kecil, karena tidak merubah alih status mereka ke arah yang lebih baik. Solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik, yaitu: a) kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang (SO): menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru; membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil, b) pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang (WO): pemerintah memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal; pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan, c) kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST): meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini, d) kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman (WT): memberi sangsi yang keras terhadap aparat yang menjadikan illegal fishing demi keuntungan pribadi. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik adalah: 1) memberikan pemahaman ecology approach kepada nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, 2) mengatasi konflik nelayan di
Provinsi Sulawesi Utara, 3) meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, 4) mengembangkan pola usaha perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Utara, 5) menganalisa pengaruh alih teknologi terhadap mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, 6) mempelajari pengaruh budaya terhadap dinamika mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, dan 7) mempelajari faktor penarik dan pendorong pada mobilitas profesi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. Tipe Nelayan Provinsi Sulawesi Utara yaitu 1) mobilitas geografi, 2) mobilitas geografi dan profesi, 3) mobilitas profesi, 4) tidak mobilitas. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh yaitu 1) pengalaman kerja, 2) tanggungan keluarga, 3) pendapatan, 4) persediaan ikan, 5) kejenuhan, 6) modal. Dampak mobilitas nelayan bagi status nelayan bisa dikatakan tidak berpengaruh secara signifikan. Solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik yaitu 1) menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru; membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil, 2) pemerintah memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal, pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan, 3) meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini, 4) memberi sangsi yang keras terhadap aparat yang menjadikan illegal fishing demi keuntungan pribadi. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara, dapat disarankan sebagai berikut: 1) menyediakan penyuluh yang lebih bertanggung jawab dan memahami aspek sosial-ekonomi nelayan, 2) memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang bisa dilakukan oleh nelayan ketika musim paceklik tiba, 3) sebaiknya nelayan tidak melakukan mobilitas baik lokasi maupun profesi, dan tetap tinggal di desa/wilayah masing-masing kemudian mengusahakan penangkapan dengan alat yang lebih baik dan komitmen waktu yang lebih banyak, 4) meninjau ulang dan merevisi Undang-undang Sistem Bagi Hasil, 5) menyediakan lembaga yang memberikan pinjaman modal dengan mudah dan tidak memberatkan, 6) menindak keras aparat yang menjadikan illegal fishing demi keuntungan pribadi, 7) memberikan pemahaman ecology approach kepada nelayan demi kelangsungan sumberdaya alam, dan 8) membantu nelayan dalam pengadaan dan penggunaan teknologi tepat guna seperti alat pendeteksi daerah penangkapan ikan, motorisasi yang lebih tepat sasaran dan lain sebagainya. Kata kunci : Mobilitas, alih status, nelayan skala kecil.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan
sumbernya.
Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
MOBILITAS DAN ALIH STATUS NELAYAN SKALA KECIL DI PROVINSI SULAWESI UTARA
OLEH : VICTORIA ERA NICOLINE MANOPPO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
: 1. Dr.Eko Sri Wiyono, S. Pi, M.Si 2. Dr.Ir.Sugeng Hari Wisodo, M.Si
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
: 1. Prof.Dr.Ir. Daniel Monintja, MSc 2. Dr.Ir.Husni Manggabarani, M.Si
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara : Victoria Era Nicoline Manoppo : C462080031 : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Domu Simbolon. MSi Ketua
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng,MF
Dr. Ir. Victor P H Nikijuluw, MSc.
Anggota
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi SPT
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro ,MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
Tanggal Ujian: 19 Pebruari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul Mobilitas dan Alih Status Nelayan Skala Kecil di Provinsi Sulawesi Utara dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada: Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si, Bapak Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng, M.F, Bapak Dr. Ir. Victor P H Nikijuluw, M.Sc atas kesediannya membimbing penulis. Terima kasih pula kepada Bapak Dr. Eko Wiyono, S.Pi, M.Si dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisodo, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R O Monintja, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Husni Manggabarani, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku mantan Ketua Mayor SPT, Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. selaku Ketua Departemen PSP, Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc selaku Ketua Program Studi SPT, Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc selaku Dekan FPIK IPB dan Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh Dosen Civitas Akademika Departemen PSP IPB atas segala bantuannya; juga terima kasih disampaikan kepada Civitas Akademika FPIK UNSRAT atas segala kesempatan yang diberikan kepada kami selama ini. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada mama dan papa (Alm.), anak-anakku Jiandrie dan Jereniel, adik-adikku: Stephanny, Olivia, Maudy dan Esther dan juga Mamawoed atas segala bantuan dan kesabaran, dorongan dan pengertian secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman: Indra Erwinda, Marwah, Babe, Gladys dan Senly atas doa dan bantuannya. Penulis menyadari disertasi ini jauh dari sempurna, untuk itu dengan penuh kerendahan hati, penulis berharap semoga dapat dimaklumi dan mohon bantuan untuk perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Bogor, Pebruari 2013
Victoria E N Manoppo C462080031
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Manado, pada tanggal 17 September 1961 dari ayah Sigfried B Manoppo (Almarhum) dan ibu Prof. Dr. Geraldine Y J Watupongoh (Almarhummah). Penulis merupakan putri tertua dari lima bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT Manado), lulus pada tahun 1988. Pada tahun 2004 penulis diterima di program studi Ilmu Perairan pada Program Pascasarjana UNSRAT. Pada tahun 2008 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap (SPT) Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS DIKTI. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar (dosen tetap) sejak tahun 1992 pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sampai sekarang.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. iii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………… iv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………. vi DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………………. vii 1 PENDAHULUAN ...............................................................................................1 1.1 Latar Belakang...............................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah .....................................................................................11 1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................................12 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................12 1.5 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................13 2 TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................17 2.1 Mobilitas dan Alih Status ............................................................................17 2.2 Sumber daya Perikanan ...............................................................................21 2.3 Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap.......................................................23 2.4 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil .............................................29 2.5 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap ..................................................35 2.6 Pengaruh Kegiatan Perikanan Tangkap Terhadap Lingkungan ..................39 2.7 Wilayah Pesisir ............................................................................................40 2.8 Konsep Pendapatan dan Kelayakan Investasi .............................................43 2.9 Nelayan dan Pendapatan..............................................................................44 2.10 Karakteristik Kemiskinan Nelayan ............................................................52 2.11 Analisis Deskriptif .....................................................................................71 2.12 Analisis SEM .............................................................................................72 2.13 Analisis SWOT ..........................................................................................74 3 METODOLOGI PENELITIAN.........................................................................77 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................................77 3.2 Pengambilan Sampel ...................................................................................77 3.3 Jenis dan Sumber Data ................................................................................80 3.4 Analisis Data ...............................................................................................81 3.4.1 Penentuan status mobilitas nelayan ...................................................81 3.4.2 Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan mobilitas nelayan ..............................82 3.4.3 Strategis untuk alih status nelayan ke arah yang lebih baik .............93 4 HASIL ................................................................................................................96 4.1 Kondisi Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ..............................................96 4.2 Mobilitas Nelayan Provinsi Sulawesi Utara ..............................................103 4.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan ...................111 4.4 Dampak yang diakibatkan oleh mobilitas nelayan ...................................115 i
4.5 Solusi Strategis untuk Mempercepat Alih Status Nelayan Kearah yang Lebih Baik .................................................................................................118 5 PEMBAHASAN .............................................................................................122 5.1 Kondisi Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ............................................122 5.1.1 Karakteristik nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara ........122 5.1.2 Tipe dan jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara .....................124 5.1.3 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara .............................128 5.1.4 Perumahan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara .............................133 5.2 Potensi dan Produksi Perikanan di Provinsi Sulawesi Utara.....................135 5.3 Tipe Mobilitas Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara .................................137 5.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Mobilitas Nelayan ................151 5.5 Dampak Mobilitas Nelayan Terhadap Status Nelayan .......................... 157 5.6 Solusi Strategis untuk Mempercepat Alih Status Nelayan Kearah yang Lebih Baik .......................................................................................162 5.7 Tindakan konkrit untuk Mempercepat Alih Status Nelayan ke Arah yang Lebih Baik ……………………………………………………………. 167 5.7.1 Memberikan pemahaman ecosystem approach nelayan.................167 5.7.2 Mengatasi konflik nelayan. .............................................................168 5.7.3 Meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil yang berkeadilan .............................................................................174 5.7.4 Meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan pada daerah penangkapan yang potensial……………………………………. 178 5.7.5 Menentukan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna......... 181 5.7.6 Merubah kebiasaan nelayan yang cenderung melakukan mobilitas geografi ketika musim paceklik tiba............................................. 182 5.7.7 Faktor penarik dan pendorong pada mobilitas profesi nelayan….183 6 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................185 6.1 Kesimpulan ................................................................................................185 6.2 Saran ..........................................................................................................186 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................188 LAMPIRAN .........................................................................................................201
ii
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional dengan nelayan industri ...................................................................................32 2 Hasil penelitian terkait dengan mobilitas ......................................................... 86 3 Goodness of fit index........................................................................................ 91 4 Kerangka analisis yang dipakai dalam analisis SWOT ................................... 95 5 Karateristik mobilitas nelayan berdasarkan indikator jenis profesi dan lokasi ............................................................................................................... 104 6 Karakteristik nelayan berdasarkan tipe mobilitas di Sulawesi Utara…….... 105 7
Komposisi jumlah nelayan (orang) yang melakukan mobilisasi geografi di Provinsi Sulawesi Utara ............................................................................... 110
8 Hasil Kriteria Kesesuaian Model SEM tahap 1 ............................................. 111 9 Hasil Kriteria Kesesuaian Model SEM tahap 2 ............................................. 114 10 Dampak X1, X2, X3, X4 terhadap Y ........................................................... 116 11 Matriks faktor strategi eksternal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan kearah yang lebih baik.....................................................118 12 Matrix faktor strategi internal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan kearah yang lebih baik ............................................................119 13 Strategi kebijakan SWOT .............................................................................. 121
iii
DAFTAR GAMBAR 1 Lingkaran setan kemiskinan Ragnar Nurkse (1953) yang diacu dalam (Satria 2002) ....................................................................................................56 2 Lokasi penelitian mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ...................... 77 3 Tahap pengambilan sampel penelitian .............................................................79 4 Konseptualisasi mobilitas profesi dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara ...................................................................................88 5 Diagram Analisis SWOT .................................................................................. 94 6 Komposisi gambaran nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ............................... 96 7 Persentase nelayan pemilik versus nelayan buruh di Provinsi Sulawesi Utara............................................................................................................... 99 8 Jumlah perahu / kapal perikanan di Provinsi Sulawesi Utara .......................... 101 9 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara .............................................. 101 10 Prosentasi nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara .................................. 102 11 Komposisi Jenis Perumahan Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ................. 103 12 Arah/tujuan mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ............................106 13 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang melakukan mobilitas geografi ..........................................................................................................107 14 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang melakukan mobilitas geografi tipe mobilitas geografi dan profesi .................................................. 108 15 Komposisi nelayan yang melakukan mobilitas profesi tipe mobilitas geografi dan profesi ...................................................................................................... 108 16 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang bermobilitas profesi 109 17 Mobilitas profesi nelayan ................................................................................ 109 iv
18 Estimasi model non-fit .................................................................................... 112 19 Estimasi model fit ........................................................................................... 113 20 Perahu Londe .................................................................................................. 131 21 Pembuatan kapal pelang di Desa Kema, Bitung ............................................ 132 22 Perahu Bolotu/Jukung .................................................................................... 132 23 Pemetaan tujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara...... 142 24 Pemetaan tujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara...... 145
DAFTAR LAMPIRAN
v
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tahapan 1 Analisis Structure Equation Modeling (SEM) .............................. 202 2 Tahapan 2 Analisis Structure Equation Modeling (SEM) .............................. 216
vi
DAFTAR ISTILAH
ABK
Anak buah kapal atau dapat pula berarti seseorang yang mengemudikan kapal atau membantu dalam operasi, perawatan atau pelayanan dari sebuah kapal. Hal ini mencakup seluruh orang yang bekerja di atas kapal.
Alih Status
Alih berarti pindah, tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang.
BBM
Bahan bakar minyak yang berupa materi cair yang bisa diubah menjadi energi dan digunakan oleh nelayan pada saat operasional penangkapan.
Berkelanjutan
Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu dimana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumberdaya tersebut.
BPS
Badan Pusat Statistik , dahulu Biro Pusat Statistik, adalah Lembaga non Pemerintah di Indonesia yang mempunyai fungsi pokok sebagai penyedia data statistik dasar, baik untuk pemerintah maupun untuk masyarakat umum, secara nasional maupun regional.
Cold storage
Media pendingin/merupakan salah satu sarana penunjang dalam proses penanganan pasca penangkapan.
Devisa
Semua barang yang dapat pembayaran internasional.
DKP
Departemen dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kelautan dan perikanan. Sekarang disebut sebagai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Door to door
Cara pemasaran langsung “menjemput bola” dari pintu ke pintu, cara penjualan langsung oleh pemilik barang kepada pembeli dari rumah ke rumah.
DPI
Daerah Penangkapan Ikan yaitu suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis.
Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. vii
digunakan
sebagai
alat
Ekosistem
Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tak terpisahkan antara mahluk hidup dengan lingkungannya.
Faktor Internal
Pengaruh yang berasal dari dalam lingkungan.
Faktor Eksternal
Pengaruh yang berasal dari luar lingkungan sekitar.
Fish Finder
Alat yang digunakan untuk mendeteksi besarnya gerombolan ikan pada lokasi yang ditunjukkan pada peta zona potensi ikan. Dapat mudah digunakan nelayan untuk mengetahui posisi ikan.
Geografi
Ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan dan perbedaan (variasi) keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi.
GPS
Global Positioning System adalah sistem satelit dimana alat ini dipasang di kapal, biasanya dilengkapi dengan sounder untuk mengukur kedalaman, radar atau alat pelacak ikan.
GT
Gross Ton adalah satuan volume dalam palka dan kompartemen kapal, biasanya dipakai untuk kapal perikanan.
Hasil Tangkapan
Semua ikan yang tertangkap oleh suatu alat penangkap ikan.
Investasi
Istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.
IUU Fishing
Illegal Unreported Unregulated Fishing diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.
JTB
Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah banyaknya sumber daya alam hayati yang boleh ditangkap dengan memperhatikan pengamanan konservasinya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Jukung
Perahu tanpa motor yang banyak digunakan oleh sebagian besar nelayan tradisional khususnya di Provinsi Sulawesi Utara. viii
Kapal Perikanan
Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan, untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan survei atau eksplorasi perikanan.
Kebijakan
Arah kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan; atau investasi pemerintah untuk mencari pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik.
Kemiskinan
Keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Konflik
Persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Konservasi
Sumber daya alam adalah segala upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Konsumsi
Suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
MEY
Maximum economic yields keuntungan maksimum dalam usaha penangkapan.
Miskin
Keadaan yang serba kurang mampu dan termasuk di dalamnya adalah lingkungan ketidakberdayaan.
Mobilitas
Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.
MSY
Maximum sustainable yield adalah hasil tangkapan maksimum lestari.
Nelayan
Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan diartikan sebagai orang yang melakukan penangkapan ikan di laut atau perairan umum. ix
Nelayan Penuh
Orang yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Nelayan Sambilan Utama
Orang yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Di samping melakukan pekerjaan penangkapan/pemeliharaan, nelayan ini dapat mempunyai pekerjaan lain.
Nelayan Sambilan Tambahan
Orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Nelayan Tradisional Nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Overfishing
Jumlah upaya penangkapan yang besar dan berlebihan terhadap stok ikan.
Patron-Klien
Hubungan antara masyarakat sosial atas/juragan (patron) dan sosial bawah/buruh (klien).
PDB
Pendapatan domestik bruto adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu.; PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.
Pembangunan
Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengganggu kemampuan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhan generasi mendatang.
Penangkap Ikan
Penangkapan ikan atau organisme air lainnya. Kapal pengangkut tidak termasuk kapal penangkap.
Pengalaman Melaut
Lamanya nelayan melakukan usaha penangkapan ikan di laut.
Perahu/Kapal
Perahu atau kapal yang langsung dipergunakan dalam operasi.
Pengelolaan Perikanan
Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai x
kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah di sepakati. Perikanan
Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi yang terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.
PK
Paardenkracht adalah tenaga mesin dengan satuan daya kuda. Istilah ini berasal dari James Watt, ilmuwan abad 19 asal Skotlandia yang menemukan bahwa pada masa itu, seekor kuda poni miliknya ratarata mampu mengangkat beban seberat 550 pounds (249,4 kg) sejauh 1 kaki (30,48 cm) per detik. Dari 550 pounds dikali 60 detik lalu keluarlah angka sebesar 33.000 foot pounds per min (ft lbs/min)m istilah inilah yang lalu disebut 1 horsepower (daya kuda); 1 PK adalah gaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan benda seberat 75 kg sejauh 1 meter dalam waktu 1 detik. 1 PK = 75 kg.m/s 1 PK = 735,5 W
PMA
Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
Potensi
Merupakan sesuatu yang mungkin dicapai atau dikembangkan atau dimiliki atau terjadi pada seseorang maupun pada sesuatu.
Potensi Lestari
Jumlah atau bobot ikan maksimum dalam suatu stok yang dapat diambil oleh penangkap tanpa mengganggu kelestarian stok tersebut.
PPI
Pangkalan Pendaratan Ikan pada hakekatnya merupakan prasarana ekonomi perikanan yang dibangun dengan maksud untuk memperlancar kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran ikan serta merupakan pusat pengembangan masyarakat perikanan.
xi
Produktivitas
Perbandingan antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang terdiri dari beberapa faktor.
Profesi
Pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan terhadap suatu pengetahuan khusus.
penguasaan
Pungutan Perikanan Pungutan perikanan adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh perusahaan perikanan asing yang mendapat izin penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia. RTP
Rumah tangga perikanan adalah rumah tangga yang melakukan kegiatan penangkapan ikan atau organisme air lainnya dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual.
SDM
Sumberdaya manusia adalah sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi.
SEM
Structur Equation Modeling adalah teknik statistik yang digunakan untuk membangun dan menguji model statistik yang biasanya dalam bentuk model-model sebab akibat.
Soma Pajeko
Alat tangkap ikan di Sulawesi Utara yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan.
Soma Dampar
Pukat yang dioperasikan di tepi pantai untuk penangkapan ikan-ikan atau gerombolan ikan yang bermigrasi menyusur pantai, alat penangkap ikan ini terdiri dari lembaran jaring dan tali-temali baik tali untuk pelampung maupun untuk pemberat. Pada prinsipnya alat ini dioperasikan untuk mengurung ikan dan menarik jaring ke arah pantai.
Stakeholder
Pihak yang berkepentingan atau para pemangku kepentingan.
Stok Ikan
Bagian dari suatu populasi ikan yang berada dalam suatu wilayah sebar yang kontinu dan memiliki parameter populasi yang sama.
Sumberdaya Ikan
Potensi semua jenis ikan.
SWOT
Analisis SWOT yang terdiri atas kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities), dan ancaman (threats) artinya adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, xii
peluang, dan ancaman dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Tauke
Juragan nelayan yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli.
Trip
Perjalanan pergi melakukan operasi penangkapan dan kembali ke darat.
Unit Penangkapan Ikan
Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
UUBHP
Undang-undang Bagi Hasil Perikanan adalah konsekuensi yang secara ekonomis sesuai dengan dasar pembagian hasil usaha bersama, yaitu keseimbangan antara yang diberikan dengan yang didapatkan..
Wilayah Pesisir
Suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
ZEE
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.
xiii
1
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 11 daerah kabupaten dan 4 daerah
kota, yang terdiri dari 150 kecamatan, 306 kelurahan dan 1.200 desa. Luas daerah kab/kota sekitar 15.273,10 (BPS 2008). Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.265.937 orang, yang terdiri atas 1.157.559 lakilaki dan 1.108.378 perempuan. Mata pencaharian pendudukan di Provinsi Sulawesi Utara meliputi bidang pertanian/perikanan (22%), angkutan (8%), bidang jasa-jasa besar (37.57%) dan buruh (31.80%). Terdapat 85,867 orang yang menjadi nelayan dari total jumlah penduduk Sulawesi Utara (BPS-PSU 2010). Nelayan yang berjumlah 85,867 orang tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan skala usaha, menjadi nelayan skala besar dan nelayan skala kecil. Nelayan skala besar menurut Pollnac (1988) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) diorganisir dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro-industri di negara-negara maju, 2) relatif lebih padat modal, 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana bagi pemilik maupun awak perahu dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku berorientasi ekspor. Mereka lebih berorientasi kepada keuntungan (profit-oriented). Nelayan skala kecil termasuk buruh dan anak buah kapal (ABK) tidak mempunyai modal sendiri dalam menjalankan usaha perikanan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Memiliki skala usaha relatif kecil (modal terbatas) dan bersifat usaha keluarga.
2)
Menggunakan armada penangkapan ikan yang berukuran relatif kecil yang digerakkan dengan tenaga penggerak seperti dayung dan layar dan beberapa dengan motor tempel bertenaga kecil (ketinting 8 PK, motor tempel 15/25 PK), dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang berukuran kecil dan relatif sederhana dengan biaya murah.
3)
Produktivitas relatif rendah karena sederhananya teknologi armada dan alat penangkapan ikan yang digunakan.
2
4)
Daerah operasi penangkapan ikan (fishing ground) terbatas pada pantai yang relatif padat tangkap.
5)
Operasi penangkapan ikan tergantung cuaca dan kondisi perairan laut.
6)
Dikelola dengan pengetahuan dan pemahaman manajemen usaha yang sangat terbatas. Berdasarkan
penangkapan,
waktu
Ditjen
yang
Perikanan
digunakan yang
untuk
diacu
melakukan
operasi
Satria
(2002)
dalam
mengklasifikasikan tiga kategori nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan. Pertama, nelayan penuh yaitu orang yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Kedua, nelayan/petani ikan sambilan utama yaitu orang yang sebagian besar waktunya digunakan
untuk
ikan/binatang
air
melakukan
profesi
lainnya/tanaman
operasi air.
penangkapan/pemeliharaan
Selain
melakukan
profesi
penangkapan/pemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai profesi lain. Ketiga, nelayan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya
digunakan
untuk
melakukan
profesi
penangkapan/pemeliharaan
ikan/binatang lainnya/tanaman air. Berdasarkan data yang diperoleh jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara adalah 85.867 orang, sebanyak 39.727 (46%) diantaranya adalah nelayan pemilik. Hal ini menjelaskan bahwa nelayan buruh lebih dominan yaitu 46.140 orang (54%) dibandingkan dengan nelayan pemilik. Diantara nelayan buruh tersebut, terdapat nelayan penuh sebanyak 17.521 orang (20%), nelayan sambilan utama sebanyak 13.014 orang (15%) dan nelayan sambilan tambahan sebanyak 15.605 orang (18%) (DKP 2010). Menurut Kusnadi (2002), dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Dilihat dari sisi kepemilikan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi dua kategori menurut Tarigan (2002) yaitu nelayan
3
tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel dan bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan gross ton (GT), kapal motor dibagi menjadi: kapal kecil, yaitu < 5GT– 10GT, kapal sedang, yaitu 10GT–30GT, kapal besar, yaitu > 30GT. Berdasarkan tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional (Kusnadi 2002). Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya dengan nelayan modern atau non-tradisional, sebagai penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik (Bailey dan Zerner 1992). Nelayan tradisional pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan ciri-ciri yang melekat pada mereka yaitu suatu kondisi yang subsisten,
dengan
modal
yang
kecil,
teknologi
yang
digunakan
dan
kemampuan/skill serta perilaku yang tradisional baik dari segi ketrampilan, psikologi dan mentalitas nelayan, di samping itu degradasi lingkungan yang terjadi juga memprihatinkan. Salah satu penyebab rendahnya kinerja perikanan adalah karena terjadinya economic overfishing, bukan Malthusian overfishing (Fauzi 2001). Nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara sangat dominan dengan jumlah 78.612 orang (92%) sedangkan nelayan tidak miskin hanya berjumlah 7.255 orang (8%). Selanjutnya untuk status nelayan pemilik, di Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 39,727 orang (DKP 2012). Rendahnya penghasilan nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara merupakan masalah yang sudah lama, namun masalah ini masih belum dapat
4
diselesaikan hingga sekarang, karena terlalu kompleks. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan sosial ekonomi, namun terkait pula dengan lingkungan, pendidikan nelayan dan anak nelayan, kesejahteraan nelayan dan keluarganya dan juga teknologi yang digunakan nelayan tradisional. Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu, baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu penyebabnya ialah pendidikan yang rendah. Sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat
proses
pembangunan.
Manusia
mampu
menciptakan
dan
menggunakan teknologi hingga produktifitas meningkat. Pengembangan sumber daya manusia perikanan dapat ditempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Namun sayangnya, masyarakat nelayan lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Utara umumnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Hal tersebut terbukti dari jenjang pendidikan yang ditempuh tertinggi hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), itupun hanya sebagian kecil, sebagian besarnya hanya sampai di Sekolah Dasar (SD), terkadang juga tidak lulus. Dengan tingkat pendapatan nelayan tradisional yang begitu rendah dan kendala biaya yang terbatas, maka sangat masuk akal apabila tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan tradisional yang harus berhenti sebelum lulus Sekolah Dasar atau kalaupun lulus ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama. Kendala ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Dengan demikian nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, mutlak
5
menggantungkan mata pencahariannya pada sektor perikanan, termasuk perikanan tangkap yang pendapatannya tidak menentu. Usaha perikanan merupakan komoditas unggulan yang diusahakan oleh nelayan, yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga. Pendapatan nelayan adalah hasil yang diterima oleh seluruh rumah tangga nelayan setelah melakukan kegiatan penangkapan ikan pada waktu tertentu. Namun ikan yang ditangkap belum bisa dikatakan sebagai pendapatan, jika belum terjadi transaksi jual beli. Transaksi yang dimaksud yaitu transaksi jual beli antara nelayan (produsen) dengan pembeli (konsumen) dan transaksi antara nelayan (produsen) dengan bandar ikan (distributor). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat nelayan Sulawesi Utara digunakan untuk memenuhi segala kebutuhannya dalam setiap rumah tangga mereka, misalnya membeli perlengkapan rumah tangga, membayar listrik bulanan, membayar bunga atas pinjaman atau utang lainnya, membeli sarana dan prasarana penangkapan ikan, biaya untuk melaut (seperti bensin bagi yang punya mesin, es, rokok dan lain-lain) dan bahkan digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Berdasarkan hasil prasurvei, diperoleh informasi bahwa, para nelayan sangat kesulitan mengatur rumah tangga dan keluarganya disebabkan karena pendapatan yang tidak mencukupi. Hal ini terjadi karena banyak hal antara lain, ikan bersifat musiman, alat tangkap yang kurang memadai, daerah penangkapan potensial yang dikuasai oleh nelayan asing, kebijakan kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak bagi nelayan dan lain-lain. Pendapatan nelayan Sulawesi Utara banyak dipengaruhi oleh tingkat teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan seperti alat pancing dan kapal atau perahu. Semakin tradisional alat tangkap dan perahu yang digunakan, semakin rendah pendapatan yang mereka dapat, begitu juga sebaliknya. Teknologi penangkapan yang umum digunakan di Provinsi Sulawesi Utara untuk memanfaatkan potensi sumber daya ikan adalah purse seine dan pancing (pole and line,pancing tonda, pancing ulur dan long line). Kendala teknologi penangkapan ikan berhubungan dengan alat tangkap, mesin, motor atau infrastruktur pendorong lainnya seperti panjang kapal, fasilitas
6
cool storage, atau peralatan pemrosesan yang dapat meningkatkan kualitas ikan. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai (offshore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai. Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (inshore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip). Beberapa contoh nelayan yang termasuk tradisional adalah nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang dan nelayan teri nasi (Kusnadi, 2002). Namun sayangnya teknologi yang lebih modern, membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Teknologi juga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Menurut Kusnadi (2002), tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat nelayan dimanapun dia berada. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi. Menurut Sayogyo (1997), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu: 1)
Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota.
2)
Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota.
3)
Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah kota.
7
Bagi warga masyarakat Provinsi Sulawesi Utara yang berada di pesisir pantai seperti keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Kondisi sumber daya laut di sekitar perairan Manado umumnya sudah over exploited. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Hasil tangkapan yang mereka dapat hanya mampu untuk makan seharihari. Dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan laut, berbagai usaha dilakukan oleh nelayan untuk beradaptasi. Usaha yang dilakukan nelayan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan, namun bisa juga gagal. Apapun usaha yang dilakukan untuk “menaklukan” lingkungan, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua: 1) diversifikasi, yaitu perluasan alternatif pilihan matapencaharian dan 2) intensifikasi, yaitu strategi untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan yang lebih eksploitatif, agar produksi ikan yang dipeoleh bisa lebih banyak. Ketidakberdayaan nelayan juga disebabkan oleh usaha mereka yang sangat bergantung pada alam, yang penuh ketidakpastian (uncertainly). Dengan tergantung pada kondisi alam yang tidak menentu, maka hasil tangkapannya juga tidak menentu. Dalam kondisi yang demikian maka bentuk-bentuk penyesuaian matapencaharian yang dilakukan oleh nelayan adalah diversifikasi usaha di luar kenelayanan, seperti menjadi tukang ojek, sopir, penjual sayur dan lain-lain. Kondisi seperti ini terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, karena alternatif profesi lain hampir tidak ada, maka usaha lain yang dilakukan adalah kecuali berkebun atau menjadi buruh nelayan pada kelompok usaha penangkapan purse seine. Penyesuaian lain yang dilakukan nelayan adalah penggunaan bahan kimia atau peledak dalam kegiatan penangkapan ikan, yang dampaknya sangat merusak habitat ikan dan kerusakan fungsi lingkungan laut. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan kimia ini jelas merupakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan menghadapi nelayan yang lebih maju alat tangkapnya.
8
Dengan ketidakberdayaan yang dialami, maka para nelayan berupaya untuk selalu meningkatkan pendapatannya. Berbagai cara yang ditempuh antara lain adalah berusaha untuk meningkatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta mencari peluang pasar yang lebih menguntungkan atau dengan melakukan mobilitas baik secara geografi ataupun profesi demi meningkatan kesejahteraan dan beralih status ke arah yang lebih baik. Mobilitas penduduk adalah semua bentuk perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lainnya yang terjadi dalam jarak yang berbeda-beda, baik perpindahan tersebut bersifat permanen atupun sementara. Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua, yaitu: mobilitas penduduk permanen atau disebut migrasi dan mobilitas penduduk non permanen. Migrasi adalah perpindahan penduduk menuju wilayah lain dengan maksud untuk menetap, sedangkan mobilitas penduduk non permanen adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk tidak menetap. Mobilitas geografi penduduk merupakan suatu gerak penduduk dari suatu tempat menuju tempat lain karena adanya perbedaan insentif antara wilayah asal dengan wilayah tujuan. Mantra (2000), mengungkapkan mobilitas penduduk adalah suatu gerak penduduk melintasi batas wilayah menuju wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Daerah-daerah yang dituju oleh para migran pada umumnya adalah daerah perkotaan yang mengalami pertumbuhan ekonomi, misalnya ibukota kabupaten atau provinsi. Disamping itu intensitas arus migrasi juga dipengaruhi faktor biaya migrasi, aksesibilitas dan sarana transportasi antara daerah asal dengan daerah tujuan. (djoko) Pada dasarnya terdapat dua pola mobilitas (berpindah tempat) yang dikenal di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu yang disebut pindah dan merantau. Pindah diartikan sebagai berpindah tempat tinggal untuk selama-lamanya (permanen), sedangkan merantau berarti berpindah tempat untuk mencari kerja atau berdagang, biasanya tidak membawa keluarga. Bentuk migrasi merantau tersebut bersifat sementara karena mereka masih memiliki harapan untuk kembali ke kampung asalnya, jika harta benda yang terkumpul sudah cukup banyak. Secara sosiologis, merantau paling sedikit mengandung enam unsur pokok, yaitu
9
meninggalkan kampung halaman; dengan kemauan sendiri; untuk jangka waktu panjang atau pendek;dengan tujuan mencari nafkah, menuntut ilmu, atau mencari pengalaman; biasanya dengan maksud kembali pulang; dan merantau sebagai pranata sosial yang membudaya. (kusnadi) Menurut Suryana (1989) mobilitas profesi adalah perpindahan mata pencaharian
tanpa
memperhatikan
adanya
perpindahan
geografi,
yaitu
perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata alih berarti pindah atau tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang. Jadi, alih status adalah perpindahan atau pertukaran status seseorang. Penelitian terdahulu terkait dengan mobilitas sudah pernah dilakukan, tetapi jumlahnya masih relatif terbatas. Armin Ginting (1994) melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor penentu keputusan mobilitas profesi sektor pertanian ke non pertanian” yang bersifat studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktorfaktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan mobilitas profesi desa kota adalah rasio pendapatan desa kota, usia dan pengusahaan lahan. Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan luas lahan milik pada tingkat kepercayaan α=10% tidak berpengaruh nyata terhadap peluang mobilitas profesi, sedangkan faktor-faktor lain berpengaruh nyata. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mobilitas profesi tersebut, ternyata pengaruh ekonomi terhadap migran terjadi karena adanya perbedaan pendapatan desa kota dan jumlah beban tanggungan. Dengan demikian maka dalam penelitian tersebut faktor ekonomi masih dianggap dominan pengaruhnya terhadap keputusan
10
mobilitas profesi. Disarankan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja di desa guna menambah keterkaitan antara penduduk kota dengan desa, sehingga menurunkan keinginan untuk melakukan mobilitas profesi di kota atau desa lain. Bagi masyarakat disarankan untuk mencari profesi di bidang industri pedesaan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat. Maria (1996) melakukan penelitian judul “Mobilitas profesi nelayan ke non-nelayan di Kelurahan Kali Baru” yang bersifat survei. Hasil survei menunjukkan bahwa faktor yang signifikan terhadap mobilitas profesi adalah: pendidikan, jumlah tanggungan dan pendapatan
(juga faktor
usia
dan
pengalaman). Faktor pendorong dalam mobilitas kerja adalah: pendapatan nelayan, persediaan ikan, kejenuhan, modal, profesi yang terlalu berat, ingin mencari
pengalaman, kondisi fisik
nelayan (kesehatan
dan
usia). Faktor
penariknya adalah: peningkatan pendapatan, kenyamanan kerja dan jaminan hari tua. Jenis jenis profesi non-nelayan adalah: dagang, supir, bengkel, wiraswasta, pelayaran dan karyawan pabrik. Akibat dari mobilisasi kerja ini 60% dari pelaku mobilisasi tersebut kondisi perumahannya, mengalami peningkatan dan, 40% sisanya tetap. Widodo
(2002)
melakukan
penelitian
dengan
judul
”Pengaruh
industrialisasi terhadap mobilitas sosial masyarakat pedesaan” yang bersifat studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pencetus mobilisasi sosial masyarakat adalah: pendidikan, penguasaan modal, tingkat ketrampilan dan hubungan dengan elit Wanaherang memberi pengaruh pada munculnya peluang kerja dan usaha yang berakibat pada peningkatan pendapatan, penguasaan kekayaan materil dan status sosial. Hal ini membuat masyarakat terobsesi untuk menjadi karyawan/pegawai di sektor industri, karena selain peningkatan pendapatan juga peningkatan prestise/penghormatan. Tapi untuk menjadi karyawan dipengaruhi pendidikan, pengalaman kerja, ketrampilan dan hubungan dengan elit desa maupun manajemen perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Djoko Joewono (2003) dengan judul penelitian “Mobilitas penduduk dalam wilayah Jabotabek” yang bersifat survei. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat bermobilisasi adalah sebagai berikut: faktor demografi (jenis kelamin,
11
pendidikan) berikut mengaharapkan pendapatan lebih tinggi di perkotaan dari pada di desa, kecilnya lahan di desa bahkan tidak ada/terbatasnya kerja di bidang pertanian. Faktor penariknya adalah: ada kesempatan kerja di sektor lain dengan teknologi komunikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Armin Ginting, Widodo dan Djoko Joewono sulit diterapkan pada bidang perikanan tangkap, karena nelayan sebagai pelaku utama pada perikanan tangkap memiliki karakteristik sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang berprofesi di darat. Selanjutnya, penelitian Maria hanya mengkover faktor-faktor penarik dan pendorong bagi nelayan untuk melakukan mobilitas profesi pada wilayah yang terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang terintegrasi untuk dapat memetakan tipe mobilitas nelayan, baik secara geografi, maupun kombinasi profesi dan geografi; faktor yang berpengaruh pada setiap tipe mobilitas; dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas terhadap alih status yang lebih baik; serta solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.
1.2
Perumusan Masalah Pertanyaan mendasar yang timbul dengan adanya mobilitas nelayan adalah
apakah mobilitas berpengaruh positif terhadap perubahan status nelayan? Hal ini perlu dikaji, mengingat mobilitas yang dilakukan oleh nelayan membutuhkan tenaga, waktu dan biaya, bahkan kehilangan berbagai kesempatan padahal belum tentu mobilitas tersebut membawa dampak yang positif, sebagaimana yang diharapkan oleh nelayan. Beberapa implikasi negatif yang akan timbul jika mobilitas gagal diantaranya adalah waktu terbuang sia-sia akibat mobilitas padahal belum tentu hasilnya positif, kebersamaan keluarga akan hilang. Perhatian terhadap anak juga akan berkurang atau hilang, mengingat waktu yang dihabiskan lebih banyak di tempat lain akibat mobilitas nelayan itu sendiri. Ketika musim paceklik tiba, hasil tangkap nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara cenderung berkurang, sehingga mereka seringkali berpindah ke perairan lain sebagai nelayan andun. Sebagian dari mereka dapat melakukan mobilitas profesi ke bidang pekerjaan yang tidak membutuhkan ketrampilan
12
khusus, yang memadai. Hal ini mengindikasikan bahwa mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara cukup beragam dan informasi tentang tipe mobilitas nelayan ini masih sangat terbatas. Banyak hal yang menyebabkan nelayan bermobilitas dan untuk itu perlu dikaji faktor apa saja yang mempengaruhi atau memotivasi nelayan melakukan mobilitas, baik secara geografi sebagai nelayan andun, profesi, maupun kombinasi geografi dan profesi. Selain itu, informasi tentang dampak dari mobilitas nelayan Sulawesi Utara terhadap perubahan alih status nelayan itu sendiri (positif atau negatif) belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas nelayan itu sendiri, seyogyanya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah: untuk mengkaji mobilitas dan alih
status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara. Untuk melengkapi tujuan umum tersebut, secara lebih spesifik tujuan khusus penelitian ini adalah: 1)
Memetakan tipe mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara.
2)
Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan.
3)
Menentukan dampak terhadap perubahan alih status nelayan ke arah yang lebih baik.
4)
Memformulasikan solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu-
ilmu dalam bidang sosial ekonomi perikanan, terkait dengan masalah pendapatan nelayan yang akhirnya menuju pada tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan tangkap. Hasil penelitian ini juga dapat memberi manfaat praktis bagi para penentu kebijakan dan stakeholders lainnya dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi nelayan secara optimal. Selain itu, hasil penelitian ini
13
dapat dijadikan acuan untuk menentukan penting tidaknya mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. 1.5
Kerangka Pikir Penelitian Pembangunan sektor perikanan di Indonesia sesungguhnya adalah sektor
yang memberikan sumbangan/devisa yang cukup tinggi bagi negara, tetapi sungguh dilematis karena tenaga kerja yang bekerja di sektor ini adalah tenaga kerja terbelakang (pendidikan dan pendapatan sangat rendah) termasuk nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. Akibatnya, nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, belum mampu berperan dalam mengelola potensi perikanan yang begitu besar dikarenakan rendahnya kualitas sumber daya manusianya, padahal jika dikelola dengan baik, maka taraf hidup para nelayan dan keluarganya bisa lebih baik lagi. Strategi yang ditempuh dalam rangka pencapaian program pembangunan perikanan di Provinsi Sulawesi Utara adalah upaya peningkatan pendapatan, kebutuhan pokok dan taraf hidup masyarakat nelayan. Cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat nelayan, antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapannya. Produksi ini dapat ditingkatkan dengan mengusahakan unit penangkapan yang produktif, yakni yang tinggi dalam jumlah dan nilai hasil tangkapannya. Namun, hal ini belum berhasil disebabkan beberapa faktor antara lain alat tangkap yang masih tradisional, daerah penangkapan yang sulit dijangkau dan lain-lain. Nelayan sangat kesulitan mengatur rumah tangga dan keluarganya disebabkan karena pendapatan yang tidak mencukupi. Nelayan mengeluh ingin mengubah kondisi perekonomian mereka ataupun ingin beralih status dari nelayan buruh menjadi nelayan pemilik, namun situasi dan kondisi sampai sekarang belum memungkinkan. Akibatnya, nelayan di Provinsi Sulawesi Utara banyak melakukan mobilitas geografi dengan cara melakukan mobilitas geografi sampai ke perairan desa tetangga atau dengan kata lain mereka melakukan perpindahan wilayah penangkapan ikan karena di wilayah perairan mereka sendiri tidak atau sulit menemukan ikan untuk dikonsumsi sehari-hari apalagi untuk dijual. Nelayan-nelayan ini bergerak dari tempat tinggal mereka untuk mencari daerah penangkapan yang diharapkan masih memberikan harapan baru bagi mereka. Ada sebagian nelayan justru mengatasi kesulitan tidak adanya ikan dengan
14
mengadakan mobilitas ke profesi yang lain, misalnya: menjadi tukang, buruh, ojek, baik di wilayah mereka sendiri maupun di wilayah lain. Sebagian dari nelayan dapat tinggal berlama-lama di daerah tetangga sampai wilayah perairan mereka kembali normal, tapi ada yang tidak kembali lagi karena berbagai alasan. Sebagian nelayan ada yang tetap tinggal di desanya dan mencari profesi baru sampai musim paceklik/sulit ikan berlalu. Banyak pula yang tetap tinggal di daerahnya sambil menunggu musim paceklik berlalu tanpa mencari profesi baru. Data utama yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah antara lain: 1) nelayan mana saja yang mengadakan dan atau pernah mengadakan mobilisasi geografi atau mobilitas profesi di Sulawesi Utara; 2) jenis-jenis nelayan yang ada di Sulwesi Utara; 3) jenis-jenis alat penangkapan ikan yang dominan digunakan oleh nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara, 4) keadaan umum nelayan skala kecil yang berpengaruh terhadap mobilitas profesi, seperti pendapatan, pendidikan, umur,pengalaman, jumlah tanggungan keluarga dan lain-lain dan 5) apa dampak mobilitas terhadap perubahan status nelayan, serta 6) kebijakan strategis dan program-program pemerintah khususnya dalam rangka upaya memperbaiki usaha perikanan nelayan skala kecil. Adapun analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif kualitatif, SEM dan SWOT. Analisis deskriptif-kualitatif yaitu kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Seperti penelitian sejarah tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang telah terjadi demikian pula penelitian deskriptif tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang sementara terjadi dan hanya dapat mengukur apa yang ada (exist). Salah satu kegunaan analisis deskriptif adalah dapat memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan melalui pemberian informasi keadaan muktahir dan dapat membantu kita dalam mengindentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk pelaksanaan penelitian, juga dapat menganalisis keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu (Sevilla et al. 1993).
15
Analisis SEM dimaksudkan untuk memperoleh suatu gambaran tentang mobilitas nelayan skala kecil yang meliputi mobilisasi kerja dan hidup sebagai nelayan di tempat lain, mobilisasi kerja dan hidup sebagai non-nelayan di tempat lain, mobilisasi kerja dari nelayan ke non-nelayan tapi tetap di desa sendiri, tidak melakukan mobilisasi kerja maupun mobilisasi tempat tinggal. Analisis ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas dan dampak yang ditimbulkan oleh mobilitas tersebut. Dengan adanya mobilitas profesi nelayan skala kecil ini apakah bisa tercapai pengalihan status mereka ke tingkat yang lebih baik untuk memperoleh pendapatan yang layak sehingga menjamin kesejahteraan nelayan dan keluarganya. Analisis
Strengths,
Weaknesses,
Opportunities,
Threats
(SWOT)
dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman dengan tujuan mencari solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Pembangunan merupakan suatu upaya yang dilakukan secara sadar untuk mengubah kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik, yang disusun dalam suatu rencana pembangunan. Secara umum pembangunan mencakup segi ekonomi, sosial budaya dan politik, karena pembangunan pada prinsipnya meniadakan ketimpangan, mengurangi ketidakmerataan dan menghalau kemiskinan. Proses pembangunan seperti ini tidak hanya mencakup segi fisik mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan barang dan jasa tapi juga mencakup segi nilai, mengubah sistem nilai manusia dan masyarakat agar serasi dengan perkembangan pembangunan. Pembangunan berorientasi pada perhatian terhadap masyarakat dan keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan yaitu, orang atau keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan materiil dan kepada kelompok kaya akan sumber-sumber pendapatan untuk dapat disalurkan kepada keluarga yang masih tertinggal dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Umumnya keluarga nelayan dianggap kelompok yang dikategorikan miskin. Kegiatan pembangunan nasional diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dan keluarga untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan kesenjangan
16
sosial yang sudah menjadi fenomena utama (Usman 1998). Pembangunan yang selama ini dilaksanakan tidak mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan keluarga tetapi lebih merupakan suatu spectrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakat dan keluarga dapat mandiri, percaya diri, tidak tergantung dan dapat lepas dari belenggu struktural yang membuat hidup jadi sengsara. Paradigma pembangunan nasional seperti ini timbul secara ilmiah dari berbagai kenyataan seperti; pertumbuhan pendidikan, pemanfaatan sumber daya alam potensi sumber daya yang ada (Anonim 1998). Sejalan dengan hal tersebut, pembangunan sumber daya nelayan di Provinsi Sulawesi Utara perlu diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin, guna membentuk manusia dan masyarakat yang sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai individu, keluarga dan warga masyarakat terutama keluarga nelayan yang statusnya lebih baik.
17
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Mobilitas dan Alih Status Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah
dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Alih berarti pindah, tukar; sedangkan status berarti keadaan atau kedudukan seseorang (Pusat Bahasa Indonesia 2001). Tumin (1978) yang diacu dalam Satria (2000) telah menyumbangkan kerangka bahwa ada beberapa hal yang perlu dibatasi berkaitan dengan studi mobilitas, seperti: 1) aspek-aspek apa saja yang akan diukur, apakah ekonomi, pendidikan, atau prestise profesi, 2) bagaimana unit analisisnya, apakah individu, keluarga atau strata, 3) siapa yang akan dibandingkan: ayah dengan anak, kelompok anak dengan kelompok anak lainnya, kelompok orang pada suatu waktu dibandingkan dengan yang lain, 4) dari mana starting point pengukurannya dan sampai mana terminating point, 5) klasifikasi apa dalam profesi atau faktor lainnya yang akan diukur; sensus klasifikasi profesi; blue collar vs white collar, tingkat pendidikan dan 6) apakah analisis mencakup dimensi objektif dan subjektif dalam mobilitas. Selanjutnya Turner (1960) yang diacu dalam Satria (2000) menulis bahwa dilihat dari tipenya mobilitas terdiri atas 2 tipe, masing-masing adalah: 1) contest mobility yakni mobilitas yang terjadi karena kemampuannya dalam persaingan dan 2) sponsored mobility yakni mobilitas yang terjadi berdasarkan dukungan. Apabila pola contest mobility yang dominan maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut terbuka. Sebaliknya bila sponsored mobility yang dominan maka hal ini menunjukkan bahwa keahlian atau kemampuan seseorang tidak selamanya mampu membawanya ke status yang lebih tinggi. Penguasaan kapital semakin besar, maka semakin besar kesempatan mobilitas ke kelas atas. Kelas sosialnya semakin ke atas, maka semakin besar pula
18
kesempatan untuk mempengaruhi proses politik, kebijakan publik dan seterusnya (Satria 2002). Herwantiyoko dan Katuuk (1991) mendefinisikan mobilitas sosial sebagai perpindahan posisi dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain atau dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Mobilitas sosial menurut arahnya terdiri atas mobilitas horizontal dan vertikal. Mobilitas vertikal adalah perpindahan posisi dari yang rendah ke lapisan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Mobilitas sosial vertikal dapat terjadi secara intra-generasi ataupun inter-generas, sedangkan mobilitas horizontal merupakan perpindahan posisi antar bidang-bidang suatu dimensi atau antar dimensi dalam lapisan yang sama. Pada konsep mengenai pelapisan sosial dalam sistem pelapisan sosial di masyarakat, Lawang (1989) melihat adanya peluang-peluang dari individu untuk meningkatkan posisinya pada lapisan yang lebih tinggi di masyarakat. Usaha untuk meraih posisi yang lebih tinggi ini dapat terjadi dalam satu generasi (intragenerasi) ataupun pada keturunannya/generasi berikutnya (inter-generasi). Suryana (1989) menyatakan mobilitas profesi sebagai perpindahan mata pencaharian
tanpa
memperhatikan
adanya
perpindahan
geografi,
yaitu
perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada. Proses-proses sosial, yang disertai dengan perbedaan-perbedaan alamiah antara satu orang dengan orang lain, segera menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pemilikan atau kontrol terhadap sumber-sumber alam serta alat-alat produksi. Pemilikan atas kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama bagi
19
kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat bangsa primitif sampai kapitalisme modern (Johnson 1988). Ossowski (1972) diacu dalam Amaluddin (1987), menyatakan bahwa gradasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gradasi sederhana dan gradasi sintetik. Pembagian kelas menurut model gradasi sederhana didasarkan atas satu kriteria objektif tertentu, misalnya berdasarkan kriteria tingkat pendapatan maka suatu masyarakat dapat dibagi menjadi: 1)
Rumah tangga berpendapatan per kapita kurang dari Rp 10.000,00 per bulan.
2)
Rumah tangga berpendapatan per kapita antara Rp 10.000,00 sampai Rp25.000,00 per bulan.
3)
Rumah tangga berpendapatan per kapita lebih dari Rp 25.000,00 per bulan. Pembagian kelas pada model gradasi sintetik didasarkan atas kombinasi
antara dua atau lebih kriteria objektif tertentu, misalnya berdasarkan kombinasi kriteria tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, nilai sewa rumah tinggal dan peringkat profesi, masyarakat dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Menurut Ibrahim (2000), mobilitas sosial adalah perubahan status yang terjadi pada diri seseorang. Mobilitas sosial terdiri dari dua bagian yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas sosial vertical merupakan perubahan status dari tingkatan yang lebih rendah ke tingkatan yang lebih tinggi atau sebaliknya dari yang tinggi ke yang lebih rendah. Seorang putra petani yang mempunyai tekad belajar yang tinggi sehingga mampu menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi dan akhirnya menduduki posisi vertikal intra-generasi. Orang-orang tua yang mendorong dan mengusahakan anaknya agar memperoleh pendidikan dan profesi yang lebih baik merupakan upaya mobilitas sosial vertikal inter-generasi. Hasil penelitian Kusnadi (2002) menyatakan bahwa dalam peta masyarakat Jawa Timur, nelayan-nelayan Madura tidak hanya ditemukan di pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Banyuwangi. Kehadiran nelayan-nelayan Madura mengadakan mobilitas kemaritiman karena etos kerja dan tradisi maritim. Sebaliknya pada saat musim ikan di Desa Pesisir, tidak hanya penduduk setempat
20
yang mengais rezeki dari sumber daya perikanan laut tetapi penduduk dari desadesa sekitarnya atau nelayan dari daerah lain yang disebut sebagai nelayan andun juga mencari penghasilan di perairan ini. Nelayan andun ini dengan kondisi peralatan tangkap yang sangat sederhana bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik disaat musim ikan di daerah tujuan andun. Menurut Kusnadi (2002), penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan, pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan
tradisional.
Nelayan-nelayan
modern
menggunakan
teknologi
penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup masyarakat tradisional. Pengetahuan tersebut didapatkan melalui proses “uji coba”, dengan meneruskan praktekpraktek yang dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan praktek-praktek yang dianggap merusak lingkungan dan sumber daya alam. Oleh karena itu hubungan mereka yang dekat dengan lingkungan, maka masyarakat lokal melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Masyarakat ini tidak selalu hidup secara harmoni dengan alam, karena mereka juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka bergantung pada dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang
21
sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah (Mitchell et al. 2003). Pengetahuan ekologis tradisional dan pengetahuan teknik tradisional membuat masyarakat memilih cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam (Sambo dan Woytek 2001). Teknik eksploitasi secara tradisional yang digunakan masyarakat merupakan sistem eksploitasi berkelanjutan, mengurangi kerusakan ekosistem dan penurunan keanekaragaman hayati (Pinedo-Vaquez et al. 2001). Jadi, pengetahuan dan teknik tradisional masyarakat nelayan mengeksploitasi sumberdaya alam secara berkelanjutan. 2.2
Sumber daya Perikanan Effendi et al. (2006) mengatakan bahwa sumber daya perikanan mencakup
sumber daya air (Sumber daya Alam), sumber daya ikan dan sumber daya manusia sebagai pelaku usaha perikanan (terdiri dari nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah hasil perikanan), serta sumber daya buatan yang mencakup fasilitas perikanan dan teknologi. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya alam yang didukung oleh sumber daya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi 1997). Pengelolaan sumber daya perikanan laut dihadapkan pada tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan penduduk, perkembangan sumber daya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup internasional (Salim 1984). FAO (1997) melaporkan bahwa potensi sumber daya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 5.649.600 ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (small pelagic) yaitu sebesar 4.041.800 ton (18,30%) dan perikanan skipjack sebesar 295.000 ton (5,22%). Tetapi di tengah sedikit rasa pesimisme tentang peranan perikanan tangkap ikan di laut sebagai pemasok utama ikan Indonesia, rasa tersebut ditepis dengan disadarinya bahwa Indonesia memiliki potensi pengembangan budidaya ikan yang cukup luas. Pembangunan perikanan tidak terlepas dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kalau begitu, maka sektor-sektor pendukung harus memberi
22
dukungan. Untuk itu, maka kabinet harus memutuskan bahwa perikanan merupakan sektor dan komoditas unggulan. Membangun perikanan tidak akan membuat negara makin miskin. Sebaliknya, membangun perikanan berarti memanfaatkan sumber daya yang tidak dilirik selama ini, membangun raksasa ekonomi yang sedang tidur, mengabdi kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta yang telah menganugrahi bangsa ini dengan laut dan perairan yang lebih luas dari daratan. Maka adalah dosa kepada Tuhan dan sesama manusia apabila sumber daya yang diberikan-Nya ini tidak dimanfaatkan dengan baik, apalagi ditelantarkan dan bahkan dirusak (Nikijuluw 2005). Sasaran pengelolaan perikanan secara lebih operasional dirumuskan oleh Gulland (1974) menjadi tiga sasaran yaitu untuk mencapai hasil: hasil tangkapan maksimum berimbang yang lestari atau ” Maximum Sustainable Yield ” (MSY); hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan yang maksimum atau ”Maximum Economic Yield” (MEY); kondisi sosial optimal atau mengurangi pertentangan yang terjadi dalam sektor perikanan. Memang masih sering dikatakan bahwa laut Indonesia memiliki peluang yang melimpah. Kata melimpah berarti berlebihan dan tidak bisa ditampung. Lebih tepat dikatakan bahwa laut Indonesia masih memiliki peluang untuk memberikan tambahan hasil perikanan. Peluang itu memang ada, namun tidak begitu banyak lagi. Data yang ada memberikan pertanda bahwa ekspansi penangkapan ikan masih bisa ditingkatkan. Pembenaran lainnya yaitu adanya fakta bahwa perairan Indonesia masih merupakan lahan subur bagi kegiatan penangkapan ikan ilegal oleh nelayan asing. Akhirnya timbul pemikiran, dari pada ditangkap dan dikuras habis oleh nelayan asing, lebih baik oleh nelayan sendiri. Pandangan ini benar, objektif dan nasionalis. Konsep pemanfaatan sumber daya ikan secara besar-besaran untuk menghindari illegal fishing barangkali akan dikritik oleh pemerhati lingkungan, LSM dan mereka yang ingin mengorbankan generasi sekarang demi anak cucu. Padahal tanpa generasi sekarang, tidak akan ada generasi anak cucu. Jadi apa yang harus diperbuat? Bila memang data masih valid untuk pengembangan kegiatan penangkapan tersebut harus terus dilakukan oleh nelayan sendiri. Tetapi di saat yang sama adalah keharusan untuk membangun sistem pengawasan perikanan
23
sehingga praktek ilegal dapat dikurangi atau ditiadakan. Kehendak politis pemerintah untuk meniadakan penangkapan illegal masih perlu lebih banyak lagi dimanisfestasikan dalam bentuk kegiatan nyata, terkoordinir, terpadu dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara (Nikijuluw 2005). 2.3
Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap Manajemen sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfaatan
sumber daya ikan, pengelolaan lingkungan, serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijiluw 2002). Perikanan
tangkap
merupakan
suatu
kegiatan
ekonomi
dalam
memanfaatkan sumber daya alam khususnya kegiatan penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang ada di lingkungan perairan (Diniah 2009). Dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: Per 05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa Usaha Perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi reproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, sedangkan Usaha Perikanan Tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan (JICA 2009). Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang menangkap meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan menangkap ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994). Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor perikanan merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidak-berdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha (Widiyanto et al. 2002). Usaha perikanan menurut Direktorat Jenderal Perikanan (Syafrin 1993), adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau
24
membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan, sedangkan perikanan laut sebagai salah satu sub-sektor dari usaha perikanan terbagi pula menjadi 2 aspek, yaitu: 1) penangkapan di laut, adalah semua kegiatan penangkapan yang dilakukan di laut dan muara-muara sungai, laguna dan sebagainya yang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya desa perikanan laut terletak di sekitar muara sungai, laguna dan lain-lain. Dalam hal demikian semua kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari perikanan laut dinyatakan sebagai penangkapan di laut dan 2) budidaya di laut adalah semua kegiatan memelihara yang dilakukan di laut atau di perairan antara lain terletak di muara sungai dan laguna. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumber daya perikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan meliputi: 1) pelaksanaan hak menangkap ikan disertai upaya konservasi; 2) pengelolaan berasaskan pada mempertahankan kualitas sumber daya, keanekaragaman hayati dan berkelanjutan; 3) pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumber daya; 4) perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti ilmiah; 5) pengelolaan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian; 6) pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumber daya; 7) mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) perlindungan dan
rehabilitasi
terhadap
habitat
sumber-sumber
perikanan
kritis;
9)
pengintegrasian pengelolaan sumber-sumber perikanan kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; serta 10) penegakan hukum melalui penerapan monitoring, controlling and survilliance (MCS) (Manggabarani 2006), pada sisi lain Gulland (1977) mengajukan enam pendekatan dalam pengelolaan perikanan: 1) pembatasan alat tangkap; 2) penutupan daerah penangkapan ikan; 3) penutupan musim penangkapan; 4) pemberlakuan kuota penangkapan; 5) pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap; dan 6) penetapan jumlah kapal serta jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap kapal. Pengelolaan penangkapan ikan meliputi; kontrol alat tangkap, aktifitas penangkapan, lokasi, musim dan kontrol nelayan. Menurut Welcomme (2003),
25
beberapa tujuan pengelolaan antara lain; eksploitasi untuk pangan atau keperluan rekreasi; tujuan sosial seperti pendapatan, distribusi pendapatan, mengurangi konflik sosial; tujuan fiskal seperti penerimaan export; dan tujuan koservasi seperti keberlanjutan dan keanekaragaman. Menurut Koeshendrajana dan Hoggart (1998), pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu tipe teknis dan tipe akses. Termasuk tipe akses adalah pelelangan (di Sumatera Selatan dan Jambi) dan undian (di Kalimantan Barat). Tipe teknis meliputi penutupan wilayah, penutupan musim dan pembatasan alat tangkap. Menurut Hoggart et al. (1999), keuntungan pembatasan akses adalah: meningkatkan keuntungan nelayan, efisiensi eksploitasi, mengurangi konflik nelayan dan kemudahan mengumpulkan uang dari nelayan yang mendapat akses. Kerugiannya adalah tidak adil bagi yang ditolak aksesnya, terutama bila tidak ada alternatif profesi lain. Bentuk kelembagaan pengelolaan perikanan rawa lebak di Kalimantan Barat terutama dilakukan dengan penerapan aturan pembatasan penangkapan dan kontrol aturan yang disertai sanksi adat. Pembatasan penangkapan meliputi pembatasan jenis alat tangkap, pembatasan penangkapan oleh masyarakat di luar desa, pembatasan penangkapan dengan sistem lelang dan pembatasan ukuran ikan tertentu yang boleh ditangkap. Sanksi pelanggaran aturan meliputi denda adat, masyarakat luar yang melanggar tidak boleh menangkap lagi, atau sanksi dimusyawarahkan dulu oleh masyarakat nelayan (Koeshendrajana dan Samuel 1999). Selanjutnya,
dalam
kaitannya
dengan
penyediaan
protein
untuk
masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan Indonesia haruslah dapat: 1)
Menyediakan kesempatan kerja yang banyak.
2)
Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan.
26
3)
Menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein.
4)
Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor.
5)
Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan. Penerapan teknologi baru tidak begitu mudah karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: 1) para nelayan kadang-kadang lambat dalam mengadopsi teknologi baru karena mereka segan untuk mengambil resiko dengan modal yang sangat terbatas, 2) para nelayan berperilaku tetap pada cara-cara yang lama (subsistence) dalam lingkungan ekonomi tertentu karena mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainity) dan 3) para nelayan yang subsistance-minded ini beranggapan bahwa keuntungan yang akan mereka peroleh dari pengguna teknologi baru kenyataannya akan lebih rendah dan dalam usaha peningkatan produksi dapat memakan waktu yang lama. Peningkatan pendapatan nelayan selain ditentukan oleh usaha-usaha peningkatan produksi, juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti harga dan lembaga tataniaga. Makin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran sesuatu barang, maka makin rendah tingkat harga yang diterima oleh produsen (Paul dan Jones 1993 diacu dalam Ihsan 2000). Pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan menurut FAO (1997), karena beberapa hal, yaitu: pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan adalah pemerintah, nelayan dan stakeholders lain yang terkait. Adapun manfaat pengelolaan adalah untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholders baik generasi sekarang maupun yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab. Menurut Nikijuluw (2002), sumber daya perikanan harus dikelola dengan baik, karena sumber daya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia memanfaatkan sumber daya, jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumber daya akan mengalami tekanan secara ekologi dan akan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumber daya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumber daya perikanan terdiri atas sumber daya ikan, sumber daya lingkungan, serta segala
27
sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungannya, serta pengelolaan kegiatan manusia. Secara lebih ekstrim dapat dikatakan, manajemen sumber daya perikanan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya. Pengelolaan sumber daya perikanan pada dasarnya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya bagi pencapaian sasaran-sasaran pembangunan perikanan yang berlanjut, secara sistematis dan berencana, berupaya mencegah terjadinya eksploitasi sumber daya secara berlebihan serta sekaligus berupaya menghambat menurunnya mutu dan rusaknya habitat/ekosistem penting akibat ulah manusia. Eksploitasi lebih dan rusaknya habitat penting pada gilirannya dapat menurunkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang dapat menjurus pada kemiskinan (Cholik dan Budihardjo 1993). Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang perikanan menyebutkan bahwa tujuan pengelolaan sumber daya ikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hasil tangkapan nelayan akan sangat tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya populasi atau persediaan ikan. Dalam hal ini ada dua pengertian upaya penangkapan, yaitu: 1) upaya penangkapan nominal dan 2) upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya, antara lain dengan satuan jumlah kapal, alat tangkap maupun trip penangkapan yang distandarisasikan dengan satuan baku. Sementara itu upaya penangkapan efektif diukur berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap kelimpahan persediaan ikan atau laju kematian karena kegiatan penangkapan (Purwanto 1990). Pengelolaan sumber daya perikanan didasari atas pemahaman yang luas dan mendalam akan semua proses dan interaksi yang berlangsung di alam, potensi yang terkandung, serta kemungkinan kerusakan. Dengan demikian pengelolaan sumber daya mencakup penetapan langkah-langkah dan kegiatan yang harus dilakukan guna mengantisipasi dan mengatasi masalah maupun menangani isu-isu yang berkembang, dalam wujud program pengelolaan (FAO 1997).
28
Pengertian pengelolaan perikanan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan (Monintja et al. 2006) didefinisikan sebagai berikut: Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan akan mencakup kebutuhan terhadap berbagai informasi yang mempengaruhi hasil dan proses produksi perikanan, yakni faktor fisik dan lingkungan perairan, biologi lingkungan, biologi ikan, sosial ekonomi, serta teknologi dan usaha perikanan. Pada Pasal 2 undang-undang No. 31 tahun 2004 tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan, sedangkan pengelolaan perikanan wajib dilaksanakan dengan tujuan: 1)
Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.
2)
Meningkatkan penerimaan dan devisa negara.
3)
Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.
4)
Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan.
5)
Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan.
6)
Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing.
7)
Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaan ikan.
8)
Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan
9)
Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Pengelolaan usaha perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh para nelayan dalam memperoleh pendapatan. Pada umumnya, pelaksanaan pengelolaan usaha perikanan tangkap tersebut dilakukan tidak langsung ditujukan pada ikannya, tetapi lebih cenderung pada usaha pengaturan aktivitas penangkapan dan perbaikan kondisi lingkungan (Rounsefel 1973).
29
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia
No.
Per
05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal atau memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya (JICA 2009). Kesulitan yang dihadapi para nelayan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap, antara lain disebabkan oleh adanya karakteristik yang spesifik dari sumber daya perikanan, yakni: 1) faunanya bersifat liar dan pada dasarnya jumlahnya terbatas; 2) faunanya bebas bergerak dan tidak terlihat secara langsung; 3) pada daerah tropis, ikannya terdiri dari bermacam-macam spesies sehingga alat tangkap yang digunakan juga bermacam-macam; dan 4) sumber daya bersifat terbuka untuk dimanfaatkan. Pengelolaan perikanan secara operasional ditujukan untuk mencapai hasil tangkapan maksimal yang berimbang lestari (MSY), hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan maksimum yang lestari (MEY) dan kondisi sosial yang optimal misalnya memaksimumkan tenaga kerja dan mengurangi pertentangan yang terjadi di antara nelayan (Gulland 1997). 2.4
Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil Seperti dikemukakan pada bab terdahulu bahwa klasifikasi perikanan
tangkap skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokan berdasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, jarak daerah penangkapan dari pantai (Smith 1983). Menurut Charles (2001), skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek di antaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah penangkapan, yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan skala kecil dengan perikanan skala besar, walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih lanjut karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith (1983) bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan
30
perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan nelayan tradisional (Tabel 1). Perikanan tradisional menurut Smith (1983), adalah di antaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.
2)
Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan.
3)
Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.
4)
Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.
5)
Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan.
6)
Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai sangat rendah.
7)
Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang teroganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual di laut.
8)
Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.
9)
Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal. Kesembilan ciri perikanan tradisional di atas bisa dijumpai pada
masyarakat nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara. Dalam struktur masyarakat nelayan terdapat hubungan antar fungsi dari faktor internal, faktor eksternal dan kapasitas diri nelayan terhadap tingkat keberdayaan mereka sebagai individu. Bekerjanya fungsi tersebut telah menyebabkan terjadinya stratifikasi dalam masyarakat nelayan itu sendiri, pada kenyataanya terdapat nelayan yang tingkat kesejahteraannya yang buruk (miskin). Kondisi demikian terjadi karena adanya perbedaan kemampuan dalam menjalankan fungsi tersebut masing-masing individu oleh karena tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang mereka miliki juga berbeda dalam kehidupan mereka sebagai nelayan.
31
Pada setiap struktur sosial terdapat fungsi di dalamnya, seperti dikemukakan
oleh
Dahrendorf
yang
diacu
dalam
Megawangi
(1999)
mengemukakan gambarannya mengenai pokok-pokok teori fungsionalisme, sebagai berikut: 1)
Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.
2)
Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.
3)
Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya suatu sistem masyarakat.
4)
Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai di kalangan para anggotanya. Dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial
merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional. Teori struktural ini memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada sistem stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan). Namun perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan tetapi untuk mencapai tujuan keluarga dan masyarakat nelayan secara keseluruhan. Kebiasaan masyarakat, budaya serta nilai yang berlaku dalam masyarakat akan berpengaruh juga terhadap bekerjanya fungsi tersebut. Seperti dikemukakan oleh Megawangi (1999) tentunya, struktur dan fungsi masyarakat tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilainilai yang melandasi sistem masyarakat itu. Menurut teori struktural fungsional, struktur sosial dan pranata sosial berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori struktural kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya (Poloma 2000).
32
Tabel 1 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional dengan nelayan industri Nelayan Industrial No.
Uraian
1
Unit penangkapan
Tepat, dengan divisi profesi dan prospek jelas.
2
Kepemilikan
3
Komitmen waktu
Dikonsentrasikan pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan. Biasanya penuh waktu
4
Kapal
5
Perlengkapan
6
Sifat profesi
7
Investasi
8
Penangkapan per unit Produktivitas per orang Pengolahan hasil tangkapan
9 10
11
Keberadaan ekonomi nelayan Kondisi sosial
12
Bertenaga, dengan peralatan yang memadai Buatan mesin, atau pemasangan lainnya Dengan bantuan mesin Tinggi, dengan proporsi yang besar diluar nelayan Besar Besar Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi atau bukan untuk manusia Sering kali kaya Terpadu
Tradisional Artisanal Subsisten
Tepat, kecil, spesialisasi dengan profesi yang tidak terbagi Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman, atau nelayan-nelayan gabungan Seringkali merupakan profesi sampingan Kecil; dengan motor di dalam atau motor tempel kecil diluar. Sebagian atau seluruhnya menggunakan material-material buatan mesin Bantuan mesin yang minim Rendah; penghasilan nelayan (seringkali diambil dari pembeli hasil tangkapan) Menengah Menengah atau rendah Beberapa dikeringkan, diasap, diasinkan; untuk kebutuhan manusia Golongan menengah kebawah Kadang terpisah
Tenaga sendiri, atau keluarga, atau grup masyarakat Tersebar di antara partisipanpartisipan Kebanyakan paruh waktu Tidak ada atau berbentuk kano. Material buatan tangan yang dipasang pemiliknya Dioperasikan dengan tangan Sangat rendah sekali Rendah hingga sangat rendah Rendah hingga sangat rendah Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi. Minimal Masyarakat yang terisolasi
Sumber: Kesteven (1973) yang diacu Smith (1983) Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya
patron-klien.
Kuatnya
ikatan
patron-klien
tersebut
merupakan
konsekuensi kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidak pastian sehingga tidak ada
33
pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Bagi nelayan menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Artinya, patron menguasai sumber daya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Mengacu pada struktur sosial tersebut, bahwa masyarakat nelayan kota Manado menunjukkan adanya pelapisan sosial, pelapisan sosial merupakan dimensi struktur sosial yang bersifat vertikal yang melihat masyarakat secara bertingkat yang nampak pada stratifikasi sosial, kelas sosial dan status sosial dalam masyarakat. Apakah seseorang berada pada lapisan atas, menengah, atau bawah dan apakah dia temasuk pada orang yang berada dikelas atas, menengah bawah (Satria 2009). Hal di atas sesuai dengan penjelasan dari Soekanto dan Soerjono (1990), menyatakan bahwa dengan mengamati polapola penguasaan aset produksi seperti modal, pelapisan sosial dalam komunitas nelayan. Klasifikasi usaha penangkapan ikan ke dalam skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial telah banyak dilakukan oleh berbagai badan atau lembaga pemerintah untuk keperluan pengembangan dan pencatatan (Haluan 1986). Selanjutnya disimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Unit penangkapan ikan dengan skala kecil yang seringkali terdiri dari kelompok keluarga nelayan yang menggunakan perahu dengan atau tanpa motor penggerak.
2)
Kegiatan penangkapan ikan seringkali tidak tetap atau musiman.
3)
Penghasilan dan pendapatan nelayan didasarkan atas sistem bagi hasil.
4)
Juragan atau nelayan pemilik kapal dan alat penangkapan ikan sering ikut operasi penangkapan ikan sendiri.
5)
Bahan alat penangkap ikan mungkin sudah dibuat oleh mesin di pabrik seperti jaring nilon, tetapi desain dan penyambungan bagian-bagiannya masih dilakukan oleh tangan nelayan sendiri dan dalam penauran serta penarikan umumnya tidak dibantu oleh tenaga mesin.
6)
Tingkat investasi rendah dan sistem ijon masih berlaku.
34
7)
Hasil tangkapan per unit penangkapan ikan dan produktivitas per nelayan mulai dari tingkat menengah sampai rendah sekali.
8)
Hasil tangkapan belum semuanya dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
9)
Sebagian atau kadang-kadang semua hasil tangkapan ikan dikonsumsi sendiri bersama keluargaya.
10)
Seringkali perkampungan nelayan tradisional agak terisolasi dan tingkat hidup nelayan tradisional rendah. Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk
menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya
dengan
nelayan
modern
atau
non-tradisional,
sebagai
penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik (Bailey dan Zerner 1992). Struktur sosial masyarakat beranekaragam corak. Ada yang sederhana dan adapula yang kompleks. Sederhana atau kompleksnya struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat. Masyarakat primitif atau terasing umumnya mempunyai struktur sosial yang sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Pada masyarakat yang sudah maju, struktur sosial umumnya sangat komplek dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatannya, tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagiannya yang merupakan kombinasi (Ibrahim 2000). Struktur sosial disusun dari status dan posisi anggota dalam suatu sistem. Pada hakekatnya dalam suatu sistem sosial selalu terdapat struktur. Permasalahannya, ada struktur yang dapat dengan jelas dimengerti anggota-anggotanya ada pula yang abstrak. Sistem-sistem sosial formal dapat dengan mudah diketahui, sedangkan struktur sosial yang non-formal atau tradisional memerlukan perenungan beberapa saat.
35
Pada hakekatnya struktur sosial berpengaruh pada tingkah laku dalam menjawab rangang dari luar. Begitu pula jalannya proses difusi inovasi, struktur sosial mempunyai hubungan saling pengaruh yang komplek dengan proses adopsi inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Struktur dapat merintangi atau memudahkan proses difusi dan sebaliknya difusi dapat mengubah struktur sosial suatu masyarakat (Ibrahim 2000). Masyarakat desa dalam melakukan kegiatan-kegiatan termasuk di dalamnya kegiatan mata pencaharian, masih tetap berpegang pada tradisi-tradisi yang dilandasi oleh kepercayaan tentang hari-hari baik dan buruk menurut sistem pengetahuan yang mereka miliki dan warisi dari nenek moyangnya, kemudian ditransformasikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam lingkungan sekitarnya. Koentjaningrat
(1977)
menyatakan
bahwa
pokok-pokok
sistem
pengetahuan terdiri atas: 1) Pengetahuan tentang sekitar alam. 2) Pengetahuan tentang alam flora. 3) Pengetahuan tentang alam fauna. 4) Pengetahuan tentang zat-zat dan bahan mentah. 5) Pengetahuan tentang kelakuan sesama manusia. 6) Pengetahuan tentang tubuh manusia. 7) Pengetahuan tentang ruang, waktu dan bilangan. 2.5
Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Menurut
lokasi
kegiatannya,
perikanan
tangkap
di
Indonesia
dikelompokan dalam 3 kelompok yaitu: 1) perikanan lepas pantai (offshore Fisheries); 2) perikanan pantai (Coastal Fisheries); dan 3) perikanan darat (Inland Fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir (Satria 2002). Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989). Dahuri (2003) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah dtinjau melalui bio-tecnico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat
36
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis alat penangkapan ikan untuk dikembangkan yaitu; 1) bila ditinjau dari aspek biologi, pengoperasian alat tangkap tersebut tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan, 2) secara teknis, efektif untuk dioperasikan, 3) ditinjau dari aspek sosial dapat diterima masyarakat nelayan, 4) secara ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan dan selain itu harus ada izin dari pemerintah. Keempat syarat tersebut tidak mutlak diharuskan, melainkan dipertimbangkan sesuai kepentingan. Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tersedia. Berdasarkan sifat sumber daya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut (Syafrin 1993). Mengingat tujuan utama pengembangan perikanan tangkap yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan, maka sejumlah aspek yang berkaitan dengan nelayan mendapat banyak perhatian, salah satu di antaranya ialah mengembangan perikanan tangkap untuk menciptakan lapangan kerja (Monintja 2000). Teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis perikanan tangkap yang dapat menyerap tenaga kerja relatif banyak, disertai dengan pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan sentra perikanan harus diawali dengan perbaikan sarana perikanan utama pelabuhan perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), serta fasilitas
paska
panen
lainnya,
sedangkan
kebijaksanaan
operasional
pengembangan produksi perikanan laut diterapkan juga pada perluasan dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut di wilayah pengembangan (Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI 1999). Menurut Monintja et al. (2006), perlu adanya pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi
dapat
dikelompokkan
dalam
tiga
kelompok
yaitu
teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan secara teknis,
37
ekonomis, rute dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki ciriciri sebagai berikut: 1)
Selektivitas
tinggi
artinya,
teknologi
yang
digunakan
mampu
meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. 2)
Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan.
3)
Tidak
membahayakan
nelayan
yang
mengoperasikan
dengan
menggunakan teknologi tersebut. 4)
Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan konsumen.
5)
Hasil tangkapan yang terbuang (discards) sangat minim.
6)
Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah.
7)
Dapat diterima, secara sosial, artinya di masyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik. Kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah:
1)
Menerapkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan.
2)
Jumlah hasil tangkapan yang tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
3)
Menguntungkan.
4)
Investasi rendah.
5)
Penggunaan bahan bakar minyak rendah.
6)
Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Simbolon et al. (2009) menyatakan bahwa keberhasilan suatu operasi
penangkapan ikan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: 1) nelayan yang mengoperasikan alat tangkap; 2) alat penangkap ikan; 3) kapal ikan dan perlengkapannya; 4) metode penangkapan ikan; 5) tingkah laku ikan; dan 6) daerah penangkapan ikan. Bahari (1989) mengungkapkan bahwa pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di
38
bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Status sumber daya perikanan laut dunia pada tahun 2004 menurut Garcia et al. (2002) yang diacu dalam Monintja et al. (2006), telah menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, karena 52% dari stok ikan dunia telah fully exploited, sekitar 17% telah mengalami over exploted dan 7% telah dinyatakan berada dalam status depletation. Disebutkan pula beberapa kecenderungan, bahwa: 1)
Stok yang dimanfaatkan pada tingkat MSY telah menurun sejak tahun 1974, namun cenderung naik lagi setelah tahun 1995.
2)
Peluang pengembangan pemanfaatan telah menurun dari 40% pada tahun 1974, menjadi 24% pada tahun 2004.
3)
Proporsi stok ikan yang mengalami over exploited telah meningkat dari 10% pada tahun 1974 menjadi 25% pada tahun 2000-an walaupun agak stabil pada tahun-tahun terakhir.
4)
Pemulihan stok (stock recover) tercatat sebesar 1% pada tahun 2004. Seluruh masyarakat perikanan dunia sebaiknya berfikir dan bertindak
secara lebih obyektif untuk segera meningkatkan kegiatan pengelolaan perikanan, guna menjamin keberlangsungan usaha penangkapan ikan dalam memenuhi kebutuhan umat manusia terhadap protein ikan. Salah satu penyebab lambatnya pemulihan stok ikan adalah karena terlambatnya implementasi pengeloaan perikanan dan bahkan sebelum adanya rencana pengelolaan yang dirancang secara terpadu dan konseptual. Dengan luasnya wilayah yang menjadi dasar evaluasi FAO maka dapat diduga bahwa gejala dan fakta global tidak selalu terjadi dalam lingkup yang lebih kecil. Khususnya, apa yang terjadi dengan perikanan Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang membuktikan bahwa gejala dan fakta perikanan di dunia ini belum atau tidak terjadi dengan perikanan Indonesia. Pertama, berdasarkan analisis ilmiah oleh tim ahli dari berbagai instansi pemerintah dan universitas, diperoleh bahwa potensi lestari sumber daya perikanan laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun. Ini berarti sekitar 6,4 juta ton ikan dapat diambil setiap tahun dari perairan laut Indonesia tanpa gangguan stabilitas dan kontinuitas bioekologi sumber daya. Namun baru sekitar 72%
39
potensi ini dimanfaatkan. Artinya bahwa masih besar peluang pengembangan bisnis industri ini. Kedua, kenyataan bahwa perairan Indonesia merupakan arena perburuan ikan oleh nelayan asing yang secara ilegal namun terkoordinir masuk dan menguras sumber daya ikan Indonesia. Fakta ini memberi indikasi bahwa sumber daya ikan di negara mereka memang sudah terkuras habis tetapi sebaliknya masih tersedia di perairan Indonesia. Ketersediaan itu menjadi daya tarik penangkapan ikan secara ilegal yang penuh dengan resiko. Ketiga, semaraknya pembangunan perikanan di daerah, utamanya di kabupaten dan kota pesisir. Kesemarakan pembangunan ini dilihat dari dijadikannya usaha perikanan sebagai usaha basis pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kontribusi pendapatan daerah dari sektor perikanan. Ini hanya bisa terjadi karena sumber daya ikan di perairan dekat pantai (inshore waters) masih cukup tersedia (Nikijuluw 2005). 2.6
Pengaruh Kegiatan Perikanan Tangkap Terhadap Lingkungan Penggunaan teknik atau alat tangkap untuk menangkap ikan yang bersifat
merusak sumber daya hayati laut, bukan saja merusak biota ikan yang menjadi sasaran namun juga mempengaruhi komponen ekosistem lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dahuri (1998) menyatakan bahwa penggunaan teknik dan alat tangkap, seperti: bahan peledak, bahan beracun (sodium atau potassium sianida) jauh lebih berbahaya, karena dapat memusnahkan beberapa spesies ikan karang. Selanjutnya, jaring trawl (pukat harimau) merupakan salah satu alat penangkapan ikan yang telah dilarang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Dicontohkan bahwa, kepunahan sumber daya perikanan di Bagan Siapi-api merupakan kerusakan sumber daya perikanan akibat penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Berdasarkan studi-studi kasus perikanan skala kecil dan kemiskinan di Bangladesh dan Tanzania, diklaim bahwa akar dari tragedi milik bersama adalah pembatasan kebebasan bukan kebebasan tanpa batas dan bahwa diperdebatkan apakah orang-orang yang tidak memiliki pilihan lain selain untuk melanjutkan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian mereka, bahkan dalam ekosistem over-exploited, bisa dipahami untuk bebas (Jentoft 2010).
40
Setyohadi (1997) menyatakan bahwa pemanfaatan secara optimal dan lestari merupakan upaya mendayagunakan sumber daya perikanan dengan memperhitungkan potensi dan daya dukung wilayah perairan untuk mendapatkan keuntungan tanpa merusak lingkungan dan kelangsungan jenis hayati yang ada, seperti: terumbu karang, hutan bakau atau biota laut lainnya. Dahuri (1998) menyatakan bahwa masalah lain yang berhubungan dengan teknik penangkapan ikan yang menyebabkan terganggunya kelestarian sumber daya hayati pesisir dan laut adalah pelanggaran terhadap peraturan mengenai waktu, ukuran dan jenis ikan yang ditangkap. Penangkapan ikan pada waktu dan ukuran yang tidak tepat berarti menghambat proses regenerasi sumber daya ikan. Jenis-jenis ikan yang telah tergolong langka, seperti: ikan napoleon masih banyak ditangkap secara ilegal. Jadi permasalahannya perlu pelaksanaan dan pengawasan dari peraturan yang berlaku.
2.7
Wilayah Pesisir Batas wilayah pesisir dan lautan tidak terlepas dari tujuan penggunaan atau
pengelolaannya. Membatasi wilayah dalam satuan pengelolaan berguna untuk mengidentifikasi segenap interaksi fungsional (seperti aliran materi dan energi) antar-komponen di dalam satuan (sistem) wilayah pengelolaan dan interaksinya dengan wilayah pengelolaan lainnya. Pengetahuan tentang batas ekologis tersebut menjadi dasar bagi perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Batas wilayah atas dasar kriteria ekologi, sekalipun dianggap mengikuti kaidah-kaidah konservasi, tidak dapat diberlakukan. Akibatnya, para perencana dan pengelola cenderung memilih batasan wilayah pesisir menurut kriteria garis lurus secara arbitrer dan administratif. Oleh karena itu, untuk kepentingan pengelolaan, sebaiknya batas wilayah pesisir ditetapkan secara kaku. Akan lebih bermakna jika penetapan batas wilayah adalah atas dasar tujuan pengelolaan itu sendiri. Tulungen (2002) menyatakan bahwa ciri-ciri wilayah pesisir adalah: 1) wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat, 2) tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif
41
yang beragam dan merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis spesies, 3) ekosistemnya yang terdiri atas terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara sungai merupakan pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai, serta dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut dan 4) sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, tempat berlibur atau rekreasi. Menurut Bengen (2004), terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas, yaitu: batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai. Untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir dan laut sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerahdaerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Kenyataannya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22% dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2009, penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta orang dan 63,47% di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian pengembangan kawasan pesisir, maka penanganan kawasan ini perlu memperhatikan pembangunan yang berorientasi kepada (DKP 2001): 1)
Kebijakan yang didasarkan kepada kesesuaian dengan adat istiadat dan budaya setempat.
2)
Berbasis kepada masyarakat.
42
3)
Berwawasan lingkungan dengan pengelolaannya yang berdasarkan pada azas lestari dan berkelanjutan.
4)
Tidak diskriminatif terhadap semua pelaku pembangunan dan stakeholder dikawasan pesisir, namun mempunyai orang kepeloporan dalam pembangunan. Data BPS (2009) menunjukkan, harga ikan naik, tetapi nilai tukar nelayan
pada Desember 2009 justru turun 0,29% dibanding bulan sebelumnya. Turunnya pendapatan nelayan itu dipicu kebutuhan rumah tangga dan biaya produksi yang semakin tinggi selama masa paceklik. Nasib nelayan seolah tak lepas dirundung malang. Kendala infrastruktur dan permodalan tidak hanya berpengaruh pada produktivitas, tetapi juga kesejahteraan nelayan. Sebagian besar nelayan sulit mempunyai mata pencarian alternatif untuk menghadapi musim paceklik yang datang selama empat bulan setiap tahun. Keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan menjadikan Indonesia produsen perikanan terbesar dunia, dengan target produksi perikanan budidaya 16,89 juta ton pada 2014, hanya jadi angan-angan apabila tanpa diimbangi penguatan usaha perikanan. Beberapa langkah perlu ditempuh untuk menuju ambisi itu adalah: 1) mempermudah akses permodalan bagi nelayan dan pembudidaya dengan menciptakan skema permodalan yang bisa diakses nelayan, 2) meningkatkan pasokan bahan bakar dan stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan dan pembudidaya ikan di seluruh wilayah Indonesia dan 3) memperkuat industri pengolahan ikan nasional agar mampu menyerap hasil produksi nelayan dan pembudidaya ikan. Jadi, tak ada lagi fluktuasi harga yang ekstrim. Menciptakan skema penyelamatan nelayan pada masa paceklik melaut, seperti tabungan dana paceklik dan asuransi nelayan, untuk menekan ketergantungan yang sangat besar dari pada nelayan terhadap para tengkulak dan menyediakan alternatif pakan dengan bahan yang murah dan mudah diperoleh. Sudah saatnya negeri bahari ini berpaling ke laut yang menghidupi dan menjadi penghidupan mayoritas penduduknya. Tatkala kekayaan perairan tak mampu membangkitkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya, negeri ini ibarat menggali kubur sendiri
43
2.8
Konsep Pendapatan dan Kelayakan Investasi Secara sederhana, ekonomi adalah sebuah ilmu yang mempelajari cara
menggunakan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan umat manusia yang tidak terbatas (Bramantyo 2008). Ekonomi sangat berkaitan dengan penerimaan atau pendapatan. Pendapatan atau penerimaan adalah jumlah produksi atau keluaran total dikalikan dengan nilai pasar luaran dalam usaha penangkapan, penerimaan adalah nilai penjualan hasil tangkapan. Besarnya penerimaan sangat tergantung dari banyaknya hasil tangkapan serta harga (Collier 1986). Dalam analisis usaha, pendapatan dan biaya merupakan faktor yang terpenting, faktor tersebut adalah Total Profit (TP) atau keuntungan total yang didapatkan per satuan waktu operasi, yang diperoleh dari hubungan antara total pendapatan yang didapat dari penjualan ikan yang dihasilkan (TR = Total Revenue) dan total biaya untuk produksi ikan tersebut (TC = Total Cost). Jadi TP = TR – TC. Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kelayakan finansial dari suatu usaha yaitu metode Average Rate of Return, Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return, Profitability Index, Net Benefit – Cost Ratio dan Gross Benefit – Cost Ratio. Masing-masing metode ini memerlukan data dan asumsi tertentu, sehingga dalam suatu analisis kelayakan finansial sering digunakan dua atau lebih metode (Kadariah 1978; Husnan dan Suwarsono 1994). Pendapatan didefinisikan sebagai penghasilan yang berupa upah/gaji, bunga, keuntungan dan suatu arus uang yang diukur dalam waktu tertentu (Kadariah et al. 1981), sedangkan Soekartawi (2002), mengatakan bahwa pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan selama melakukan usahanya. Adapun kriteria investasi dalam suatu investasi adalah analisa R/C yaitu singkatan dari return cost ratio, atau lebih dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Jika R/C = 1, maka proyek bersifat tidak untung dan tidak rugi hanya sekedar menutupi biaya saja. Jika R/C lebih besar dari 1 maka hasil yang diperoleh lebih besar dari pada biaya total sehingga proyek dapat dilaksanakan. Jika R/C lebih kecil dari 1, maka hasil yang diperoleh lebih kecil dari pada biaya total usaha maka proyek tidak
44
dapat dilaksanakan. Semakin tinggi R/C ratio, maka semakin tinggi prioritas yang dapat diberikan pada proyek tersebut. Pakar kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri menyatakan untuk mengetahui tingkat pendapatan nelayan, bisa dilakukan dengan melihat proporsi produksi ikan dengan jumlah nelayan per hari. Indonesia yang memiliki potensi ikan lestarinya 6,4 juta ton per tahun, namun produksi nelayan Indonesia per harinya hanya mencapai 5,5 kg/nelayan/hari, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang potensi perikanannya tidak sebesar Indonesia. Nelayan Rusia bisa mencapai 140 kg/nelayan/hari, Jepang memperoleh 70 kg/nelayan/hari, dan Amerika Serikat dapat memperoleh 100 kg/nelayan/hari. Angka-angka itu menunjukkan bahwa nelayan Indonesia belum mampu memanfaatkan sumber daya ikan yang dimilki Indonesia untuk kesejahteraan mereka (FPIK-IPB 2009). 2.9
Nelayan dan Pendapatan Menurut Pusat Bahasa Indonesia (2001), nelayan didefinisikan sebagai
orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Profesi sebagai nelayan menjadi pilihan masyarakat pesisir karena tidak adanya peluang kerja di daratan. Biasanya profesi ini dilakukan oleh nelayan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan disebabkan karena mereka hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi oleh ketidakpastian dalam menjalankan usahanya (Fahrudin 2004). Secara umum, yang disebut nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. Dalam arti alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Berbeda dengan nelayan modern yang acapkali mampu merespons perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi overfishing, nelayan tradisional seringkali justru mengalami proses marginalisasi dan menjadi korban dari program pembangunan dan modernisasi perikanan yang
45
sifatnya a-historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (inshore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip). Beberapa contoh nelayan yang termasuk tradisional adalah nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang dan nelayan teri nasi (Kusnadi 2002). Sejak krisis mulai merambah ke berbagai wilayah pada pertengahan tahun 1997, nelayan tradisional boleh dikata adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang terkesan tiba-tiba, namun berkepanjangan. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan nelayan tradisional untuk bertahan dan melangsungkan kehidupannya, jika dari hari ke hari potensi ikan di luat makin langka karena cara penangkapan yang berlebihan? Dengan hanya mengandalkan pada perahu tradisional dan alat tangkap ikan yang sederhana, jelas para nelayan tradisional ini tidak akan pernah mampu bersaing dengan nelayan modern yang didukung perangkat yang serba canggih dan kapal besar yang memiliki daya jangkau yang jauh lebih luas. Terkait dengan pendapatan masyarakat pesisir, Manggabarani (2006) dalam jurnalnya pula mengatakan sampai saat ini tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat pesisir masih rendah dengan kondisi pemukiman yang memprihatinkan. Selain itu, selama ini sengketa yang timbul, baik antar nelayan maupun antara nelayan dengan masyarakat pesisir lainnya diselesaikan melalui Hukum Adat yang berlaku di daerah setempat. Dalam buku Sejarah Perikanan Indonesia ditulis bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan, sedangkan petani ikan adalah orang yang mata pencahariannya membudidayakan ikan.Kegiatan nelayan/petani ikan, baik berkoperasi maupun secara perorangan bersifat subsistence, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Perkembangan perikanan laut relatif lebih ketinggalan dari pada perikanan darat yang pada waktu itu terbawa oleh perkembangan pertanian (Soewita 2000). Menurut Katiandagho et al. (1994), nelayan tradisional adalah orang yang melakukan penangkapan ikan menurut kebiasaan nenek moyangnya. Mereka belum menerapkan teknologi baru yang lebih baik dan semata-mata bekerja
46
menurut pembawaan dengan teknologi seadanya sesuai dengan yang diperoleh dari pengalaman nenek moyangnya. Nelayan tradisional ini mempunyai arti dan peranan yang sangat besar bagi perikanan Indonesia, karena walaupun mereka masih tergolong tradisional tapi mereka sudah bisa menambah pemasukan devisa negara walaupun hanya sedikit. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini antara lain mengenai taraf hidup yang masih rendah, masih bergelut dengan teknologi yang masih sederhana terutama menyangkut usaha-usaha peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional yang belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kemampuan untuk meningkatkan usaha karena pendidikan dan pengetahuan yang belum memadai. Ditjen Perikanan dalam Satria (2002) menyatakan bahwa, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan profesi dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan diartikan sebagai orang yang melakukan penangkapan ikan di laut atau perairan umum (Mantjoro dan Otniel 2003). Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia
No
Per
05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, sedangkan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (JICA 2009). Nelayan dapat dibedakan kedalam dua kelompok menjadi nelayan besar (large scale fishermen) dan nelayan kecil (small scale fishermen). Perbedaan keduanya dijelaskan oleh Pollnac (1988), yang menyebutkan bahwa ciri-ciri perikanan skala besar adalah: 1) diorganisir dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju, 2) relatif lebih padat modal, 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana bagi pemilik maupun awak perahu dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku berorientasi ekspor. Mereka lebih berorientasi kepada keuntungan (profitoriented). Nelayan kecil dapat dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya yang keduanya terkait satu sama lain. Misalnya seorang nelayan yang belum menggunakan alat tangkap maju, (masih menggunakan dayung dan motor tempel) biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
47
sendiri (subsistensi) sehingga sering disebut sebagai peasant-fisher. Perikanan skala kecil lebih beroperasi di daerah kecil yang bertumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya (Pollnac 1988 yang diacu dalam Satria 2002). Nelayan Indonesia sangat besar jumlahnya dan jika dihitung dengan seluruh keluarganya dan multiplier effects-nya akan dapat mencakup jumlah sekitar 20 juta manusia di seluruh Indonesia yang peranannya dalam pembangunan ekonomi cukup besar tapi dalam kehidupannya termasuk masyarakat terbelakang, khususnya di bidang ekonomi. Karena itu perlu benar meningkatkan kemampuan mereka bukan saja dalam kemampuan menangkap ikan, memproses dan memasarkannya tetapi juga dalam memelihara kelestarian lingkungan laut dan keamanan pada umumnya. Potensi ini masih belum banyak yang digali (FPIK-IPB 2009). Saat ini kondisi nelayan Indonesia sangat memprihatinkan. Mereka masih terjerat oleh kemiskinan, baik kemiskinan kultural maupun struktural. Mereka juga masih terbelenggu oleh kemiskinan ekonomi, kemiskinan informasi, kemiskinan permodalan, kemiskinan pendidikan, kemiskinan kesehatan dan bahkan kemiskinan politik. Apabila kita berbicara tentang nelayan, selalu terbayang dibenak kita sebuah komunitas masyrakat yang miskin, kukuh, terbelakang, tidak berpendidikan dan tidak sehat (FPIK-IPB 2009). Panayotou (1985) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu. Pendapat Panayotou ini dijelaskan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang dengan memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi peda peningkatan pendapatan. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya. Dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan laut, berbagai usaha dilakukan nelayan untuk beradaptasi. Usaha yang dilakukan bisa saja sesuai dengan apa yang diharapkan, namun bisa juga gagal. Apapun usaha yang
48
dilakukan untuk ”menaklukkan” lingkungan, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua: 1) diversifikasi, perluasan alternatif pilihan mata pencaharian dan 2) intensifikasi strategi untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan yang lebih eksploitatif, agar produksi ikan lebih banyak (Wahyono 2001). Kusnadi (2002) mengatakan bahwa masyarakat nelayan di Pesisir Kabupaten Situbondo yang melakukan diversifikasi profesi pada umumnya merasa puas dengan penghasilan yang diterima. Sebagian dari mereka justru melakukan konversi profesi secara total, seperti menjadi tukang becak. Smith (1979) menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan adalah alasan utama nelayan tetap terperangkap dalam kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas rendah, nelayan tidak mampu mengalihfungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang mungkin tidak efektif secara ekonomis. Campbell (2000) mengenalkan konsep kerangka mata pencaharian yang berkelanjutan (The Sustainable Livelihoods Framework). Dalam kerangka tersebut
dikatakan
bahwa
untuk
membangun
mata
pencaharian
yang
berkelanjutan, perlu diperhatikan aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir (nelayan), di antaranya 1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; 2) natural assets, aset sumber daya yang disekitarnya; 3) sosial assets, dukungan yang didapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; 4) physical assets infrastruktur yang dapat dimanfaatkan seperti jalan, suplai air bersih, pelabuhan dan sebagainya; serta 5) financial assets, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan. Sebagaimana diketahui secara luas, komunitas nelayan yang berjumlah kira-kira 4 juta rumah tangga, hingga kini masih tergolong miskin. Indikasinya, pendapatan per kapita per bulan mereka masih sekitar Rp 300.000 sampai Rp 400.000, tingkat pendidikan rata-rata sekolah dasar dan pemukiman yang kumuh. Akar kemiskinan nelayan teridentifikasi, antara lain, akses permodalan yang terbatas dan belum tumbuhnya kultur kewirausahaan (enterprenuership).
49
Pertumbuhan kultur kewirausahaan berkaitan dengan tingkat pendidikan, baik manajemen maupun teknologi (Saad 2007). Ditjen Perikanan, yang diacu dalam Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan, yaitu: Nelayan/petani ikan penuh adalah orang yang seluruh
waktunya
digunakan
untuk
melakukan
profesi
operasi
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan/petani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktunya digunakan untuk melakukan profesi operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang
air
lainnya/tanaman
air.
Di
samping
melakukan
profesi
penangkapan/pemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai profesi lain. Nelayan/petani ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan profesi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang lainnya/tanaman air. Wahyuningsih et al. (1997) membagi masyarakat nelayan menjadi tiga kelompok dilihat dari sudut pemilikan modal, yaitu: 1)
Nelayan juragan. Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sabagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai tanah yang digarap pada waktu musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke (toke) atau cukong.
2)
Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap atau sawi (awak perahu nelayan). Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan dan bahan makanan untuk dapur
50
keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi. 3)
Nelayan pemilik merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana, karena itu disebut juga nelayan per-orangan atau nelayan miskin. Nelayan ini tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik (angin barat). Nelayan ini sebagian besar tidak mempunyai modal kerja sendiri, tetapi meminjam dari pelepas uang dengan perjanjian tertentu. Nelayan yang umumnya memulai usahanya dari bawah, semakin lama meningkat menjadi nelayan juragan. Hubungan sosial masyarakat nelayan terkait dengan karakteristik sosial nelayan tersebut. Karakteristik masyarakat nelayan dan petani berbeda secara sosiologi. Masyarakat petani menghadapi sumber daya terkontrol, yaitu lahan untuk
produksi suatu komoditas. Nelayan menghadapi sumber daya yang bersifat terbuka dan menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Resiko profesi yang relatif besar menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka (Satria 2002 ). Purwanti (1994) menyatakan bahwa nelayan dapat debedakan berdasarkan status hubungan kerja dan kepemilikan modal, yaitu: 1)
Nelayan pemilik alat produksi (perahu dan alat tangkap) yang tidak ikut melaut. Nelayan ini disebut dengan juragan darat. Juragan darat umumnya memiliki profesi lain diluar bidang perikanan, seperti sopir, guru, aparat desa dan pedagang pengumpul ikan.
2)
Nelayan pemilik alat produksi yang ikut melaut, nelayan ini disebut dengan juragan laut.
3)
Buruh nelayan, yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Nelayan Ini hanya
mengandalkan
tenaga
dan
ketrampilannya
dalam
operasi
penangkapan ikan dilaut. Kelompok nelayan ini disebut nelayan pandega. Jalinan sosial antar nelayan membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Hubungan sesama kerabat, saudara
51
sedarah dan bentuk-bentuk afinitas merupakan contoh pola horizontal. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Interaksi nelayan membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya (juragan) dan tengkulak dengan nelayan miskin (buruh). Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak. nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Bagi hasil ini berlaku pada setiap tingkat skala usaha penangkapan, bahkan dalam unit penangkapan modern, tingkat kesenjangan perolehan pendapatan antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh sangat besar. Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan buruh semakin kecil karena biaya operasi dan pemeliharaan peralatan tangkap cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung bersama antara nelayan pemilik dan nelayan buruh (Kusnadi 2002). Pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan struktural yang membelenggu nelayan tradisional di berbagai segi kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional, selain dipengaruhi sejumlah kelemahan internal, juga karena pengaruh faktor eksternal. Keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan untuk mengakses dan menguasai teknologi yang lebih modern dan tidak dimilikinya modal yang cukup adalah faktor-faktor internal yang seringkali menyulitkan usaha-usaha untuk memberdayakan kehidupan para nelayan tradisional. Faktor–faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau Revolusi Biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Pendapatan rumah tangga nelayan merupakan penjumlahan pendapatan sektor perikanan dan bukan sektor perikanan. Pendapatan dari sektor perikanan diperoleh dari kepemilikan aset perikanan seperti alat tangkap, perahu dan mesin; atau dari kepemilikan atau hak atas sumber daya ikan. Pendapatan bukan sektor perikanan dapat bersal dari kepemilikan lahan yang produktif, kepemilikan aset
52
bukan perikanan seperti bangunan, alat transportasi; tenaga kerja keluarga yang bekerja di lahan sendiri, lahan orang lain, sektor industri, sektor pelayanan masyarakat (Panayotou 1985). Tingkat pendapatan atau konsumsi merupakan salah satu indikator tingkat kemiskinan. Pada umumnya tingkat pendapatan diukur berdasarkan pendapatan per kapita atau tingkat konsumsi per kapita. Selanjutnya tingkat pendapatan atau konsumsi dibandingkan dengan garis kemiskinan. Indikator bukan pendapatan antara lain tingkat kejahatan, diskriminasi dan pengangguran (Hentschel dan Seshagiri 2000). Menurut Kepetsky dan Barg (1997), pada perikanan tangkap skala kecil biasanya hasil tangkap sekitar 1 – 2 ton/orang/tahun. Jika kurang dari itu maka merupakan indikasi terjadinya penangkapan berlebih atau penurunan kualitas lingkungan yang menyebabkan penurunan potensi perikanan. 2.10
Karakteristik Kemiskinan Nelayan Tingkat sosial ekonomi yang rendah merupakan ciri umum kehidupan
nelayan dimanapun berada. Nelayan kecil atau nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang miskin. Perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh suatu karakteristik yang kompleks. Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasikan dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantaikan tanah berpasir, beratap daun rumbia dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan tradisional. Selain gambaran fisik di atas, untuk mengidentifikasikan kehidupan nelayan tradisional yang miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan dari anakanak nelayan, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan. Nelayan yang umumnya rendah pendidikan dan pengetahuan ini hanya memikirkan tentang kebutuhan hari ini dan cara memenuhinya, biasanya mereka tidak memikirkan tentang hari esok, padahal hari esok memiliki memiliki masalah dan kesusahan
53
tersendiri. Oleh karena hanya memikirkan hari ini, bagi mereka kerusakan sumber daya bukan menjadi tanggung jawabnya (Nikijuluw 2008). Dikarenakan tingkat pendapatan nelayan tradisional yang begitu rendah maka sangat masuk akal apabila tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah dan ini dikarenakan oleh faktor biaya. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus Sekolah Dasar atau kalaupun lulus ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama. Selain itu, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar atau kebutuhan primer bagi rumah tangga nelayan tradisional karena merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan tersebut dapat bertahan walaupun keadaan keuangan sangat terbatas. Kebutuhan yang lain yaitu kelayakan perumahan, sandang yang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder (Kusnadi 2002). Secara sosial, kemiskinan terjadi karena manusia terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Secara ekonomi, kemiskinan terjadi karena keserakahan (greedy). Ingin cepat kaya, manusia berfikir instan, eksploitasi sumber daya alam pesisir secara besar-besaran. Terjadilah kelebihan investasi, kelebihan kapital, ketidak-efisienan, penurunan produktivitas, kerusakan lingkungan, penurunan (penipisan) sumber daya alam dan pada akhirnya kemiskinan. Hubungan kausalitas antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan pun tercipta. Miskin membuat lingkungan rusak dan sebaliknya lingkungan rusak mengakibatkan kemiskinan (Nikijuluw 2005). Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural. Berbagai faktor yang menjadi penyebab kemiskinan sangat kompleks dan seringkali berhubungan satu sama lain. Faktorfaktor tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), penguasaan teknologi dan keahlian lain, pemilikan modal, produktivitas, nilai tukar hasil produksi dan pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan dan faktor-faktor yang berkaitan dengan lemahnya peranan lembaga-lembaga masyarakat, akses pada fasilitas dan hasil pembangunan disertai dengan kesenjangan antara yang kaya dan miskin (Nikijuluw 2001).
54
Dalam kehidupan nelayan banyak faktor yang menyebabkan mereka miskin. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan non-alamiah.
Faktor
alamiah
berkaitan
dengan
fluktuasi
musim-musim
penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Faktor nonalamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Selain itu juga salah satu penyebab miskinnya nelayan yaitu masih banyak yang mempergunakan alat tangkap atau jaring yang sederhana. Karena masih mempergunakan alat tangkap tersebut sehingga jarak daerah penangkapan dari nelayan tradisional hanya beberapa kilometer saja dari pantai dan hal ini menyebabkan rata-rata hasil tangkapan nelayan per kapita relatif sedikit dan pada saat dijual tidak banyak memperoleh uang yang cukup untuk menunjang kehidupan yang layak. Pada saat ini, armada perikanan tangkap didominasi armada tradisional, mencakup: perahu tanpa motor (50,1%), motor tempel (26, 2%) dan kapal motor kurang dari lima gross ton (GT) sebanyak 16, 4%, jadi totalnya 92,7%. Jumlah armada tersebut tidak otomatis menggambarkan jumlah nelayan, karena setiap kategori armada terdiri dari jumlah nelayan yang berbeda. Diperkirakan jumlah nelayan di bawah lima GT sebanyak 1,3 juta orang atau 66,8%. Sulit untuk mengatakan bahwa nelayan di bawah lima GT pasti miskin atau di atas lima GT pasti tidak miskin. Nelayan perahu tempel menangkap ikan kerapu tentu hasilnya relatif lebih baik dari seorang ABK biasa yang ikut di kapal 50–100 GT selama 40 hari. Jadi alat tangkap belum bisa menjadi indikator kemiskinan (Satria 2009). Di samping sebab-sebab di atas, yang juga memberi kontribusi terhadap akselerasi kemiskinan di kalangan nelayan adalah dampak negatif dari kebijakan motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap yang populer disebut dengan istilah “Revolusi Biru” (Blue Revolution). Kebijakan ini telah mendorong timbulnya tingkat pendapatan nelayan tradisional menurun. Kesenjangan sosial ekonomi di kalangan masyarakat nelayan semakin melebar dan kemiskinan menjadi tidak terhindarkan. Bagi nelayan modern, munculnya modernisasi perikanan telah
55
menjadikan berkah tersendiri sedang bagi nelayan tradisional tampaknya harus membayar mahal harga sebuah kemajuan teknologi. Dalam arti mereka tidak bisa menikmati kemudahan dan sumbangan kemajuan. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan nelayan tradisional yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam usaha meningkatkan teknologi untuk mengefisienkan kegiatan ekonomi mereka. Dengan demikian sebenarnya keadaan sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional boleh dikatakan belum menginginkan adanya keterlibatan mereka dalam kancah pembangunan, terutama pembangunan dengan menggunakan padat modal dan yang mempergunakan teknologi maju. Nelayan tradisional tampak merupakan korban dari keterbelakangan dan kemiskinan. Keadaan tersebut sudah barang tentu menjadi suatu mata rantai yang tidak ada putusnya. Oleh karena itu hasilnya pun sementara ini akan terus berputar di sekitar itu. Hampir sebagian besar nelayan kita masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari USUS$ 10/kapita/bulan. Jika dilihat dalam kontes millenium develpment goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari USUS$ 1 per hari (Satria 2002). Berkaitan dengan masalah kemiskinan, maka pada umunya masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir sering identik dengan kemiskinan. Sejak tahun 1980 sejumlah penelitian tentang kehidupan sosial ekonomi rumah tangga nelayan telah dilakukan di desa pesisir Sulawesi Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa rumah tangga nelayan yang profesinya semata-mata tergantung pada usaha menangkap ikan atau nelayan penuh memperoleh pendapatan hanya untuk membeli konsumsi minimum. Sedikit jika ada uang yang tersisa, itu untuk biaya sekolah anak dan membeli pakaian dan memperbaiki tempat tinggalnya. Meskipun hanya berdasarkan indikator sederhana ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa mereka masih dikungkung oleh masalah kemiskinan. Kemiskinan ini juga pada umumnya dialami oleh sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia. Temuan studi pada berbagai komunitas nelayan di luar negri menunjukkan bahwa organisasi sosial ekonomi maupun lembaga tekait lainnya yang ada di desa pesisir memegang peranan penting dalam perbaikan taraf hidup masyarakat pesisir. Dengan kata lain bahwa organisasi sosial ekonomi bisa jadi
56
penunjang dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir. Tanpa organisasi sosial ekonomi nelayan akan bekerja dan hidup sendirian tanpa ada yang memperjuangkan dan melindungi kepentingan mereka (Mantjoro 1988). Ada satu pandangan yang menyatakan bahwa suatu masyarakat sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan apabila tanpa ada uluran tangan dari pihak lain. Ini terjadi karena mereka sudah terjebak dalam suatu lingkaran, yang hanya bisa diterobos melalui bantuan pihak lain. Hal ini terjadi juga pada masyarakat nelayan. Walaupun sebagian dari mereka tidak bisa dikatakan miskin, namun untuk bisa meningkat lebih baik lagi tidak mungkin dilakukan tanpa ada peraturan pemerintah yang mendukungnya, ataupun campur tangan langsung dari pihak luar (Wahyono 2001). Upaya mensejahterahkan nelayan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Pemerintah masih menganggap bahwa wilayah pesisir nusantara adalah halaman belakang. Dengan pengertian belum adanya political will pemerintah untuk permasalahan minimnya infrastruktur, berbelitnya prosedur atau peraturan yang ada dan lain sebagainya. Pola ini diperkuat dengan skema “Lingkaran Setan Kemiskinan” yang dikenalkan oleh Ragnar Nurkse, 1953 yang diacu Satria (2002) yang dapat dilihat pada Gambar 1:
Kekurangan Modal
Produktivitas Rendah
Investasi Rendah
Tabungan Rendah
Pendapatan Riil Rendah
Gambar 1 Lingkaran setan kemiskinan Ragnar Nurkse (1953) yang diacu dalam (Satria 2002) Berdasar bentuk lingkaran seperti pada Gambar 1 sukar ditentukan awal putaran dimulai. Jika berpegang pada teori ekonomi maka awal putaran dimulai
57
dari investasi. Dimulai dari investasi karena seseorang tidak perlu menabung lebih dahulu untuk mendapatkan modal uang. Modal tersebut bisa diperoleh dari pinjaman pada lembaga keuangan seperti bank atau koperasi (Mantjoro 1993). Berdasarkan Gambar 1, dengan investasi (modal) yang rendah maka otomatis
mengakibatkan
kekurangan
modal
sehingga
mengakibatkan
produktivitas yang rendah dari nelayan. Dampak dari produktivitas yang rendah ini yaitu pendapatan rendah sehingga kemampuan untuk menabung juga rendah. Kemiskinan masyarakat nelayan adalah suatu simfoni yang terus bersenandung hampir seluruh kawasan Indonesia. Meskipun pembangunan negara ini sudah berlangsung selama 60 tahun, simfoni kemiskinan nelayan itu tetap bersaudara, bahkan cenderung semakin keras dan bergema. Nelayan memang sering dicap sebagai the poorest of the poor, alias kelompok termiskin di antara yang miskin. Mereka miskin ide, gagasan, serta tindakan dan aksi pendidikan, pengetahuan dan kemampuan usaha. Mereka tinggal ditengah lingkungan yang miskin sarana, prasarana,serta pranata sosial ekonomi yang seharusnya adalah prasyarat atau modal dasar bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk sosial ekonomi. Mereka hidup di antara sesama masyarakat yang juga miskin perhatian dan empati. Mereka dipimpin, dibina dan dinaungi oleh suatu sistem kepemerintahan yang juga miskin gagasan dan kebijakan yang berpihak bagi mereka. Jadilah masyarakat nelayan secara terstruktur hidup dalam kemiskinan. Kelemahan-kelemahan
dari
aspek
lingkungan
dan
sumber
daya
alam,
kelembagaan dan organisasi, pemerintahan, serta ekonomi dan pasar secara bersama menciptakan strukur yang membuat nelayan tinggal dan terbenam dalam kemiskinan, kalau tidak harus mengatakan bahwa struktur itu justru memiskinkan nelayan. Maka nelayan yang sudah miskin menjadi bertambah miskin, terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan (poverty vicious circle) yang tidak jelas ujung pangkalnya, yang saling terkait sebab-musababnya (Nikijuluw 2005). Perspektif sosial ekonomi pembangunan kelautan nasional masa lalu menciptakan kesenjangan tingkat kemakmuran antara pelaku pembangunan perikanan tradisional dan pelaku skala besar. Sebagian besar nelayan (sekitar 70%) masih hidup di bawah garis kemiskinan, hanya sekitar 15% pelaku perikanan laut tergolong maju dan makmur (Dahuri 2001).
58
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan adalah sesuatu yang nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari karena mereka merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan. Orang-orang yang termasuk ke dalam golongan miskin antara lain disebabkan oleh pendapatan, pendidikan serta ketrampilan yang rendah dan juga kepemilikan modal yang rendah pula. Kemiskinan antara lain ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan seakan-akan tidak dapat diubah lagi, yang semuanya tercermin di dalam lemahnya kemampuan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Apabila kondisi seperti yang telah diuraikan di atas tadi dilihat dari pola hubungan sebab-akibat, maka orang miskin adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkungan ketidakberdayaan. Rendahnya pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apapun melainkan orang yang mempunyai sesuatu walaupun hanya sedikit. Kondisi sosial ekonomi nelayan yang hidup di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bervariasi. Nelayan di daerah perkotaan sudah memiliki sarana penangkapan ikan yang modern sedangkan nelayan di daerah pedesaan sarana penangkapan ikannya masih tradisional. Dapat dilihat bahwa keberadaan kondisi kehidupan rumah tangga nelayan yang berada di desa nelayan sangatlah memprihatinkan, dimana rumah tangga nelayan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan konsumsi untuk hidup secara layak, baik fisik maupun mental spiritual. Pada umumnya nelayan yang hidup di pedesaan memiliki taraf hidup yang masih rendah dan dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka miskin dalam hal pengetahuan dan teknologi, alat penangkapan ikan yang masih tradisional, transportasi tidak lancar, kelembagaan ekonomi tidak ada dan kondisi alam yang tidak menunjang sehingga rumah tangga nelayan tetap berada pada garis kemiskinan. Dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional sederhana harus menuju ke tengah-
59
tengah lautan yang tidak terlepas dari benturan badai lautan sehingga belum tentu hasil yang dicapai bisa untuk menghidupi keluarganya, mengingat alat yang digunakan relatif sederhana walaupun kekayaan laut yang seharusnya dicapai masih melimpah (Anonim 1995). Menurut Nikijuluw (2005), pembangunan yang berhasil diindikasikan dengan peningkatan produksi perikanan tangkap tetapi akhirnya kegiatan penangkapan harus dikendalikan karena over-capacity, over-investment dan overfishing. Sumber daya ikan yang ada di perairan tertorial harus dikendalikan eksploitasinya karena peningkatan eksploitasi tidak akan secara signifikan meningkatkan produksi rata-rata, bahkan sebaliknya bisa menurunkan produksi. Tragedi milik bersama mulai menampakkan dirinya pada eksploitasi sumber daya ikan di perairan teritorial. Produksi rata-rata per nelayan sulit ditingkatkan dan akhirnya nelayan terperangkap oleh kemiskinan. Lalu bagaimana caranya Indonesia bisa mendapatkan tambahan produksi ikan? Bagaimana caranya agar nelayan bisa bekerja? Bagaimana masyarakat yang nenek moyangnya pelaut bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai pelaut. Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari USUS$ 2 atau sekitar Rp 19.000,– per hari. BPS, dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank Dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42%). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar USUS$ 1,55. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdebatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Banyak studi empiris yang menyoroti hal kemiskinan. Bailey et al. (1987) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) melakukan telaah komperhensif tentang perikanan Indonesia, tiba pada kesimpulan bahwa memang nelayan Indonesia secara umum tergolong miskin. Hasil studi Mubayarto dan Dove (1984) di Jepara, Jawa Tengah, mengelompokan nelayan ke dalam kelompok kaya dan kaya sekali disatu pihak serta kelompok ekonomi sedang, miskin dan miskin sekali dipihak
60
lain. Kelompok miskin umumnya berusia 40 tahun, mereka menilai diri mereka telah hilang kesempatan untuk memperbaiki status ekonomi keluarganya. Mereka sering mendramatisir kehidupan mereka dengan sukarnya penghidupan dan profesi mereka serta kecilnya pendapatan yang mereka peroleh. Mereka mengeluh bahwa pendapatan mereka hanya cukup atau bahkan kurang untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kusnadi (2002) dalam melakukan beberapa studi di Jawa Timur, khususnya di Madura, juga muncul dengan kesimpulan tentang kemiskinan nelayan, khususnya nelayan buruh. Kemiskinan tersebut bisa dilihat dengan cepat dari kondisi pemukiman nelayan. Menurut Mulyadi (2005), kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan dengan ketidaktersediaan prasarana pedesaan untuk menghasilkan air bersih, pasar dan bahan bakar. Kemiskinan prasarana ini secara tidak langsung memiliki andil munculnya kemiskinan keluarga. Misalnya tidak tersedia air bersih memaksa keluarga nelayan mengeluarkan uang lebih untuk membeli air bersih. BPS (2009) Sulawesi Utara mengatakan, penurunan tingkat kemiskinan lebih signifikan terjadi di daerah rural (pedesaan) yakni mencapai 0,91% sebanyak 9,97 ribu orang, dibandingkan daerah perkotaan turun 0,39% (2,88 ribu orang). Penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 ini merupakan lanjutan dari trend yang terjadi sejak tahun 2007, yang merupakan titik balik setelah terjadi peningkatan pada beberapa periode sebelumnya. Kendati terjadi penurunan penduduk miskin di desa, tetapi jumlah penduduk desa masih mendominasi penduduk miskin yakni mencapai 130.350 orang sedangkan di perkotaan 76.370 orang. Tingkat kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Pada kehidupan nelayan tradisional, masalah kemiskinan seakan sudah menjadi warisan yang turun-temurun bagi kehidupan mereka. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan beserta keluarganya menyebabkan mereka sukar untuk menerima teknologi baru di bidang penangkapan sehingga otomatis mereka selalu menggunakan alat tangkap yang masih tradisional. Selain itu juga produktivitas yang rendah dan modal yang kurang menyebabkan mereka selalu berada pada
61
keadaan yang ada dari nenek moyang mereka. Kondisi ini menyebabkan mereka terus menerus terperangkap ke dalam jeratan lingkaran setan kemiskinan. Kemiskinan yang telah melanda nelayan telah mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baik dari keadaan mereka saat ini. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah bahkan ada yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal dikarenakan ketidakmampuan ekonomi orang tua mereka. Dengan kondisi generasi yang demikian, maka anak-anak tersebut akan tetap mewarisi profesi dan tingkat kesejahteraan hidup seperti yang dialami oleh orang tuanya. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia tetap rendah dan kemiskinan dikalangan nelayan akan diwariskan serta diabadikan dari generasi ke generasi. Menurut Bank Dunia, seseorang dikatakan miskin apabila pengeluarannya di bawah US$ 2 per hari. Dikatakan miskin absolut bila pengeluaran di bawah US$ 1 per hari. Dengan demikian mereka digolongkan miskin apabila mereka membelanjakan US$ 60 per bulan. Miskin absolut jika membelanjakan US$ 30 per bulan. Berdasarkan indikator ini dan dengan pendapatan nelayan per kapita hanya sekitar US$15 per bulan, dengan tertinggi US$ 41 dan terendah US$ 4.5 per bulan, maka dapat disimpulkan bahwa umumnya nelayan Indonesia adalah miskin absolut. Apa yang menyebabkan nelayan miskin? Bukankah mereka menangkap ikan yang hidup liar? Bukankah setiap saat mereka dapat turun ke laut? Bukankah ikan masih menjadi menu utama keluarga Indonesia? Bukankah ikan masih merupakan komiditi ekspor yang dapat mendongkrak harga di tingkat nelayan? Semuanya ini memang benar tetapi bukan merupakan alasan utama kemiskinan atau kesejahteraan nelayan. Lalu apa alasan utama itu? Jawabannya Malthusian Overfishing. Iclaram (1992) yang diacu Nikijuluw (2005) memperkenalkan gradasi overfishing kedalam 6 tahap yaitu: growth overfishing, recuiretment overfishing, biological overfishing, economic overfishing, ecosistem overfishing dan malthusian overfishing. Overfishing sendiri adalah jumlah upaya penangkapan yang besar dan berlebihan terhadap stok ikan. Dunia yang percaya dan yang tidak percaya akan prediksi Malthus memang melihat perkembangan populasi yang begitu cepat, sementara disisi lain ilmu dan teknologi baru mendorong pertumbuhan produksi pangan. Gejela
62
pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah pangan yang diproduksi ini jugalah terjadi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan. Sumber daya ikan yang tersedia terbatas jumlahnya, pertumbuhan alami sumber daya ikan tidak terlalu besar, sementara disisi lain jumlah nelayan bertambah dengan sangat cepat. Pertambahan jumlah nelayan ini terjadi karena tenaga kerja beralih dari sektor non-perikanan ke perikanan. Bagi sebagian nelayan, bekerja di bidang perikanan adalah pilihan terakhir kegiatan ekonomi yang diharapkan dapat menghidupi diri mereka karena sudah tidak tersedia lagi kesempatan kerja di sektor lain. Akses menuju sektor perikanan yang terbuka membuat pengalihan tenaga kerja lancar dan tanpa halangan. Namun yang terjadi selanjutnya adalah terlalu banyak nelayan, sementara stok ikan tetap bahkan semakin sedikit jumlahnya karena lingkungan yang sudah rusak. Karena begitu banyak nelayan yang sudah ada sebelumnya dan yang baru masuk, berkompetisi secara bebas maka mereka cenderung menggunakan segala cara dan upaya guna memperoleh ikan. Dari sini munculah penggunaan alat-alat dan metode penangkapan ikan yang destruktif yang merusak sumber daya. Kompetisi membuat nelayan sering melanggar hukum dan aturan tentang batas wilayah penangkapan ikan. Bagi kapal ukuran besar yang seharusnya tidak boleh menangkap ikan di perairan dekat pantai cenderung masuk ke perairan yang dilarang. Akhirnya timbul kompetisi yang tidak berimbang yang akhirnya melahirkan konflik yang diwarnai dengan isu pelanggaran hak penangkapan ikan oleh nelayan pendatang dari daerah lain atau daerah tetangga. Sehingga hasil tangkapan setiap nelayan semakin berkurang. Sebagai dampak akumulasinya adalah ikan yang dihasilkan pun adalah ikan yang tidak begitu tinggi harganya. Akhir dari semuanya, sangat kecilnya pendapatan, kemiskinan dan nelayan yang terperangkap dalam kemiskinan itu. Situasi ini dikenal dengan sebutan Malthuism Overfishing. Seseorang bisa menyalahkan sistem ekonomi yang dianut yang tidak memperhatikan orang kecil. Yang lain bisa mengatakan bahwa itu terjadi karena pemerintah yang tidak memberikan perhatian kepada orang kecil karena terlalu disibukan dengan persoalan-persoalan berprespektif makro. Mungkin juga ada yang menyalahkan sistem hukum dan kelembagaan yang selama ini dianut yang
63
tidak memberikan perlindungan kepada orang kecil. Demikian juga ada yang meletakan kesalahan kepada sistem pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan yang terlanjur salah yang membuat telah terjadinya gradasi sumber daya alam. Memang banyak alasan yang bisa dibuat. Tapi pada skala global dan internasional, Rick Warren dengan konsep Purpose-Driven memvonis Five Global Giants sebagai biang kerok terjadinya ketidak beresan di bawah kolong langit ini. Pada skala nasional, barangkali pandangan Rick Warren ini perlu dicermati. The Five Global Giants tersebut adalah 1) lostness, 2) lack of servant leader, 3) poverty, 4) sickness, 5) ignorance. Disebut giants (raksasa) karena kekuatan, kuasa dan pengaruhnya sangat kuat. Menurut Simbolon (2006), usaha penangkapan yang didominasi oleh nelayan tradisional masih menerapkan cara-cara tradisional yang turun-temurun dari nenek moyang mereka dalam kegiatan penangkapan ikan. Kebanyakan nelayan khususnya nelayan tradisional, berangkat ke laut kemudian mencari scooling ikan dan setelah mereka menemukan ikan baru menurunkan alat tangkap. Waktu pencarian ikan akan lebih lama lagi apabila nelayan tidak menemukan tanda-tanda alamiah yang mengindikasikan keberadaan ikan, seperti burungburung laut yang menyambar ikan pelagis di permukaan air, gelembunggelembung udara dalam bentuk buih perairan dan bongkahan-bongkahan kayu yang terapung dipermukaan air. Sebagai konsekuensi logis dari pada sistem penangkapan tersebut di atas, maka lama trip akan lebih lama lagi, tenaga, bahan dan biaya operasi lebih tinggi, namun tingkat ketidakpastian hasil tangkapan tetap tinggi. Nelayan Indonesia dewasa ini masih didominasi oleh kategori nelayan radisional dan mereka melakukan operasi penangkapan di seitar perairan pantai. Dengan terkonsentrasinya unit penangkapan skala trdisional di perairan pantai, maka akan terjadi konflik sosial di antara nelayan dalam memperebutkan daerah penangkapan. Dampak negatif lainnya adalah terjadinya kelebihan tangkap di wilayah tertentu, sementara di wilayah perairan lain belum tentu telah termanfaatkan. Untuk itu perlu dilakukan alokasi unit penangkapan dan sumber daya ikan secara optimum agar tercapai pemanfaatan daerah penangkapan yang seimbang antar wilayah perairan. Upaya yang strategis dilakukan untuk meningkatkan kemampuan nelayan tradisional adalah sebagai berikut: 1)
64
pemberdayaan nelayan melalui wadah koperasi, 2) motorisasi nelayan tradisional, 3) pola kemitraan inti plasma dan 4) pengaturan zonasi penangkapan ikan untuk meminimumkan friksi sosial antar nelayan dan menghindari kepunahan sumber daya ikan (Simbolon 2006). Haluan dan Rakhmadevi (2006) menuliskan dalam buku yang berjudul Teknologi Perikanan Tangkap yang bertanggung jawab, bahwa pengelolaan sedemikian banyak aspek sumber daya laut dan pesisir ditekankan pada suatu hal yang esensial yaitu ”berbasis masyarakat”. Berbasis masyarakat ini juga dapat dikatakan ”oleh dan untuk masyarakat; tentunya dengan bimbingan dan dukungan awal dari pemerintah”, ini merupakan suatu proses yang ”bottom up”. Pengelolaan ini dengan sendirinya mempunyai tujuan utama untuk pemberdayaan, pengembangan dan memajukan berbagai aspek kehidupan masyarakat pesisir. Namun terdapat berbagai keterbatasan yang dapat menghambat kemajuan ekonomi masyarakat wilayah pesisir atau pantai. Oleh karena itu diperlukan suatu cara yang dapat membantu membuka wawasan, pengetahuan dan menjadi bekal atau dapat diterapakan dalam mengelola dan mengembangkan usaha bidang perikanan yang mereka lakukan. Menurut Satria (2002), berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi menjadi dua jenis yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan (poverty line).Sampai saat ini definisi baku tentang garis kemiskinan (poverty line) untuk mengklasifikasikan seseorang itu miskin atau tidak sejauh ini memang belum ada. Tetapi Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini menggunakan kriteria penetapan nilai rupiah kebutuhan minimum makanan sebesar 2100 kalori per kapita per hari, nilai kemudian ditambah dengan nilai rupiah kebutuhan makanan yang mencakup kebutuhan perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Definisi ini selalu berubah dari waktu ke waktu dan juga berbeda antara wilayah. Tahun 1996 misalnya, BPS menentukan batas garis kemiskinan senilai Rp. 38.246 untuk daerah perkotaan dan Rp. 27.413 untuk daerah pedesaan di Indonesia. Sesuai dengan perubahan berbagai indikator sosial ekonomi sebagai akibat krisis moneter saat ini, batas garis kemiskinan pada pertengahan tahun 1998 juga mengalami perubahan, yaitu Rp. 52.470 untuk daerah perkotaan dan
65
Rp. 41.588 untuk daerah pedesaan. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan untuk orang desa yaitu apabila pendapatannya kurang dari 50 dolar pertahun, maka mereka digolongkan miskin. Menurut Rahardjo (2001), dikatakan bahwa berdasarkan standar tahun 1992 Bank Dunia menggolongkan sebuah negara dikatakan miskin bila PDB per kapitanya lebih kecil dari pada US US$ 450,00 dan negara dapat dikatakan makmur jika PDB per kapitanya lebih besar dari US US$ 8,000.00. Meski demikian, hingga saat ini masih sulit ditemukan data kemiskinan absolut terbaru, padahal data tersebut sangatlah penting sebagai dasar pertimbangan bagi programprogram penanggulangan kemiskinan nelayan. Basri (1999) menyatakan bahwa kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dulu menetapkan garis tingkat pendapatan minimum. Orang-orang yang berpendapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut dikategorikan sebagai bukan orang miskin, sedangkan orang-orang yang pendapatannya kurang dari itu disebut sebagai orang miskin. Dengan demikian, masalah penentuan jumlah penduduk miskin sangat erat kaitannya dengan persoalan dimana garis kemiskinan diletakkan. Menurut Satria (2002), kemiskinan relatif merupakan kemiskinan yang diukur dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya. Misalnya, suatu kelompok nelayan berpenghasilan Rp. 1.000.000/bulan, jelaslah mereka tidak tergolong miskin berdasarkan ukuran garis kemiskinan. Meski demikian, boleh jadi kelompok nelayan tersebut dapat dikatakan miskin jika dibandingkan dengan pengusaha cold storage. Selain itu juga, kemiskinan relatif diartikan sebagai suatu kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara tingkat pendapatan suatu kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan kelompok masyarakat lainnya (Basri 1999). Banyak penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional, sesungguhnya disebabkan oleh faktor -faktor yang kompleks. Faktor–faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau
66
Revolusi Biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Proses demikian masih terus berlangsung hingga sekarang dan dampak lebih lanjut yang sangat terasakan oleh nelayan adalah semakin menurunnya tingkat pendapatan mereka dan sulitnya memperoleh hasil tangkapan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk di atasi. Contohnya di Provinsi Jawa Timur, menurut catatan,dari sekitar 1,7 juta orang penduduk yang menekuni profesi sebagai nelayan (10,6% dari total nelayan di Indonesia) diperkirakan sekitar 70% masih tergolong miskin. Di berbagai desa dan kota pantai di Provinsi Jawa Timur, modernisasi perikanan selain menyebabkan terjadinya proses marginalisasi nelayan tradisional dan nelayan kecil, kebijakan ini juga telah mendorong timbulnya situasi overfishing di sejumlah kawasan perairan. Gejala demikian dan tidak terkontrolnya penggunaan peralatan tangkap yang bisa merusak kelestarian lingkungan telah menimbulkan kompetisi yang semakin ketat dalam memperebutkan sumber daya perikanan, sehingga ujungujungnya bisa ditebak, yaitu konflik menjadi terbuka, pembakaran kapal trawl terjadi di berbagai perairan, kesenjangan sosial ekonomi makin menjadi-jadi dan kemiskinan bertambah meluas di kawasan pesisir. Nelayan perkotaan nasibnya lebih parah dibandingkan dengan nelayan yang berada di pedesaan, karena nelayan perkotaan acapkali selalu dalam posisi yang terpinggirkan dalam program pembangunan kota, dengan alasan bukan merupakan jenis profesi yang mayoritas dilakukan oleh penduduk kota. Keadaan ini justru memperparah kemiskinan para nelayan kota, sehingga mereka terperangkap dalam kubangan kemiskinan. Ada juga yang disebut dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang
67
berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya, sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahuntahun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar (Kusnadi 2002). Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat dimana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya-raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apaapa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya, sedangkan minoritas kecil masyarakat yang kaya-raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya-raya itu masih menguasai berbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan kemiskinan struktural. Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu, terdiri atas para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau kaum migran di kota yang bekerja di sektor informal dengan hasil yang tidak menentu, sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh, pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh, pedagang asongan dan lain-lain yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled labour. Golongan miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah struktural ialah tidak terjadinya kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya, sedangkan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya. Hal tersebut dikarenakan pendekatan struktural, adalah terletak pada kungkungan struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
68
Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Umpamanya kelemahan ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial ekonomi di atasnya. Adanya ketergantungan inilah yang selama ini berperan besar dalam memerosotkan kemampuan si miskin untuk bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan penggarap, antara majikan dan buruh. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual, pendek kata, pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan menentukan nasib ke arah yang lebih baik. Inti dari masalah yang berhubungan dengan kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut dengan deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur: 1) kemiskinan itu sendiri; 2) kelemahan fisik; 3) keterasingan atau kadar isolasi; 4) kerentanan; dan 5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan oleh nelayan, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. yang namanya komunitas nelayan umumnya bisa digolongkan menjadi empat kelompok. Pertama, peasantfisher atau nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional seperti dayung, sampan yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota keluarga sendiri sebagai tenaga kerja utama (Satria 2002). Secara lebih rinci, ciri-ciri usaha nelayan tradisional: 1) teknologi penangkapan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas dan perahu dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber PK kecil; 2) besaran modal usaha terbatas; 3) jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang,
69
dengan pembagian peran bersifat kolektif (non-spesifik) dan umumnya berbasis kerabat, tetangga dekat dan atau teman dekat; dan 4) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari (Kusnadi 2002). Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant-fisher menjadi post-peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modern. Meski mereka masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lebih luas dan memilki surplus untuk diperdagangkan di pasar. Ketiga, commercial fisher, yakni nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Keempat, industrial fisher yang memiliki ciri-ciri: 1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara maju; 2) lebih padat modal; 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana; dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar -benar berorientasi pada keuntungan. Kusnadi (2002), membedakan faktor penyebab kemiskinan nelayan dalam dua kelompok yaitu akibat faktor eksternal dan internal. Penyebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal, mencakup: 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan; 2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkap-an; 3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang meng-untungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; 5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Penyebab kemiskinan yang bersifat eksternal, mencakup: 1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan
70
dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; 4) penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6) terbatasnya teknologi pengolahan paska panen; 7) terbatasnya peluang kerja di sektor non-perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia. Kemiskinan yang diderita masyarakat nelayan bersumber dari dua hal. Pertama, faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Kedua, faktor nonalamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini (Kusnadi 2002). Secara lebih mendalam, Adiwibowo (2000) membedakan paling sedikit ada 6 (enam) macam kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsisten (penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal), 2) kemiskinan perlindungan (lingkungan buruk, sanitasi, sarana pembungan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, 3) kemiskinan pemahaman kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan, 4) kemiskinan partisipasi, 5) kemiskinan identitas (terbatasnya pembauran, terfragmentasi anatara kelompok sosial) dan 6) kemiskinan kebebasan (stres, rasa tidak perdaya, tidak aman baik tingkat pribadi maupun komunitas). Menurut Sayogyo (1997), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu: 4)
Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota.
71
5)
Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota.
6)
Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah kota. Kebijakan modernisasi perikanan perlu digaris-bawahi, karena tekanan
kemiskinan dan terjadinya polarisasi sosial yang makin mencemaskan di lingkungan komunitas desa pantai sesungguhnya banyak dipicu oleh kebijakan seperti ini. Studi yang dilakukan Siahaan dan Singgih (1990), pernah menemukan kebijakan negara tentang modernisasi perikanan (blue revolution) di kawasan Pesisir Utara Jawa Timur yang dicanangkan pada awal tahun 1970-an, telah mempengaruhi secara signifikan kondisi sumber daya setempat. Kebijakan yang berorientasi ekspor dan hanya menekankan aspek peningkatan produktivitas ini telah mendorong perairan Pesisir Utara Jawa Timur berada dalam situasi lebih tangkap (overfishing). Hasil yang relatif sama juga ditemukan Kusnadi ketika mengkaji kehidupan masyarakat nelayan di Jawa Timur. Dalam struktur sosial keluarga nelayan tradisional ini umumnya tergolong keluarga miskin atau maksimal mereka berada sedkit di atas garis kemiskinan atau near poor. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika hasil sehari-hari yang mereka peroleh tidak menentu, sementara kebutuhan sehari-hari terus melambung tak terkendali? Jika selama ini banyak kajian menyatakan bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin, maka yang namanya keluarga nelayan tradisional boleh jadi adalah lapisan yang lebih miskin lagi. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dan mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi perikanan dan tekanan krisis. (Mubyarto 1984; Kusnadi 2002) 2.11
Analisis Deskriptif Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang
keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan utama metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Travers 1978).
72
Gay (1976) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Seperti penelitian sejarah tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang telah terjadi demikian pula penelitian deskriptif tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang sementara terjadi dan hanya dapat mengukur apa yang ada (exist). Salah satu kegunaan analisis deskriptif adalah dapat memberikan sumbangan kepada ilimu pengaetahuan melalui pemberian informasi keadaan muktahir dan dapat membantu kita dalam mengindentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk pelaksanaan penelitian; juga dapat menganalisis keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu (Sevilla et al. 1993). 2.12
Analisis SEM Structural equation modeling, yang untuk selanjutnya akan disebut SEM,
adalah suatu teknik modeling statistik yang bersifat sangat cross-sectional, linear dan umum. Termasuk dalam SEM ini ialah analisis faktor (faktor analysis), analisis jalur (path analysis) dan regresi (regression). SEM adalah penggabungan antara dua konsep statistika, yaitu konsep analisis faktor yang masuk pada model pengukuran (measurement model) dan konsep regresi melalui model struktural (structural model). Model pengukuran menjelaskan hubungan antara variabel dengan indikator-indikatornya dan model struktural menjelaskan hubungan antar variabel. Model pengukuran merupakan kajian dari psikometrika sedangkan model struktural merupakan kajian dari statistika. Definisi lain menyebutkan Structural Equation Modeling (SEM) adalah teknik analisis multivariat yang umum dan sangat bermanfaat yang meliputi versiversi khusus dalam jumlah metode analisis lainnya sebagai kasus-kasus khusus. Definisi berikutnya mengatakan bahwa Structural Equation Modeling (SEM) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk membangun dan menguji model statistik yang biasanya dalam bentuk model-model sebab akibat. SEM sebenarnya merupakan teknik hibrida yang meliputi aspek-aspek penegasan (confirmatory) dari analisis faktor, analisis jalur dan regresi yang dapat dianggap sebagai kasus khusus dalam SEM.
73
Sedikit
berbeda
dengan
definisi-definisi
sebelumnya
mengatakan
structural equation modeling (SEM) berkembang dan mempunyai fungsi mirip dengan regresi berganda, sekalipun demikian nampaknya SEM menjadi suatu teknik analisis yang lebih kuat karena mempertimbangkan pemodelan interaksi, nonlinearitas, variabel-variabel bebas yang berkorelasi (correlated independents), kesalahan
pengukuran,
gangguan
kesalahan-kesalahan
yang
berkorelasi
(correlated error terms), beberapa variabel bebas laten (multiple latent independents) dimana masing-masing diukur dengan menggunakan banyak indikator dan satu/dua variabel tergantung laten yang juga masing-masing diukur dengan beberapa indikator. Dengan demikian menurut definisi ini SEM dapat digunakan alternatif lain yang lebih kuat dibandingkan dengan menggunakan regresi berganda, analisis jalur, analisis faktor, analisis time series dan analisis kovarian. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa SEM mempunyai karakteristik yang bersifat sebagai teknik analisis untuk lebih menegaskan (confirm) dari pada untuk menerangkan. Maksudnya, seorang peneliti lebih cenderung menggunakan SEM untuk menentukan apakah suatu model tertentu valid atau tidak dari pada menggunakannya untuk menemukan suatu model tertentu cocok atau tidak, meski analisis SEM sering pula mencakup elemen-elemen yang digunakan untuk menerangkan. Salah satu keunggulan SEM ialah kemampuan untuk membuat model konstruk-konstruk sebagai variabel laten atau variabel–variabel yang tidak diukur secara langsung, tetapi diestimasi dalam model dari variabel-variabel yang diukur yang diasumsikan mempunyai hubungan dengan variabel–variabel laten tersebut. Dengan demikian hal ini memungkinkan pembuat model secara eksplisit dapat mengetahui ketidak-reliabilitas suatu pengukuran dalam model yang mana teori mengizinkan relasi–relasi struktural antara variabel-variabel laten yang secara tepat dibuat suatu model. Ferdinand (2006) mengungkapkan bahwa SEM merupakan sekumpulan teknik-teknik yang memungkinkan pengujian beberapa variabel dependen dengan beberapa variabel independen secara simultan, SEM memungkinkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat regresif maupun dimensional.
74
Pada saat menghadapi pertanyaan penelitian berupa identifikasi dimensi-dimensi sebuah konsep atau konstruk dan pada saat yang sama ingin mengukur pengaruh atau derajat hubungan antar faktor yang telah diidentifikasi dimensi-dimensinya, maka SEM akan memungkinkan untuk melaksanakannya. SEM juga merupakan pendekatan terintegrasi antara analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis) (Solimun 2002). 1) Ukuran sampel Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan SEM adalah minimum berjumlah 100, selanjutnya menggunakan perbandingan 5 observasi untuk setiap parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, bila mengembangkan model dengan lebih dari 20 parameter maka minimum di gunakan 100 sampel. 2) Normalitas dan Linearitas Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas terpenuhi, sehingga data dapat diolah lebih lanjut dengan pemodelan SEM. Normalitas dapat di uji dengan melihat gambar histogram data atau dapat diuji dengan model statistik. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji skewness yang menunjukkan bahwa hampir seluruh variabel normal pada tingkat signifikansi 0,01 (1%). Hal ini terlihat pada nilai CR dari skewness yang berada di bawah + 2.58 (Arbuckle 1997). 3) Outliners (data pencilan) Outliners adalah obsrevasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariate yaitu yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya. 2.13
Analisis SWOT Analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris yang artinya terdiri atas
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats) adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
75
Teknik ini dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaan-perusahaan. Budiharsono (2003) menyebutkan bahwa salah satu metode yang bisa digunakan untuk menentukan kebijakan, adalah metode KeKePan atau analisis Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats (SWOT). Dengan analisis ini akan ditentukan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil ke depan yang didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut: 1)
Pembuatan Matriks strategic faktors analysis summary matriks (SFAS). Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi faktual di lapangan dan kecenderungan yang mungkin terjadi untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
ancaman
dan
peluang
dalam
implementasi
program
pemberdayaan yang sudah dilaksanakan pada beberapa wilayah kajian. Faktor-faktor dalam kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang tersebut dimasukan kedalam matriks SFAS kemudian dilakukan perhitungan atas bobot, rating dan nilai masing-masing faktor. Nilai rating didapatkan dari jawaban responden pada kuisioner yang dibagikan. Adapun nilai didapatkan dari hasil perkalian bobot dan rating. 2)
Penentuan koordinat S-W-O-T. Berdasarkan nilai-nilai total skor masingmasing pada faktor SWOT yaitu kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T), selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan titik pada sumbu ordinat (X) dan sumbu axis (Y) pada kuadran SWOT. Sisi atas pada sumbu Y adalah peluang (O) dan sisi bawah adalah ancaman (T) sedangkan sisi kiri pada sumbu X adalah kelemahan (W) dan sisi kanan adalah kekuatan (S). Total Skor S-Total Skor W=Titik pada sumbu Y, Total Skor O-Total Skor T=Titik pada sumbu X.
3)
Strategi Kebijakan. Alternatif kebijakan pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang (SO), kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST); pengurangan kelemahan yang ada
76
dengan memanfaatkan peluang (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman (WT), kebijakan yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif.
77
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data selama 6 bulan, yakni
bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011 yang terbagi atas beberapa tahap: 1) studi pendahuluan selama 2 bulan sampai dengan, 2) pengumpulan data primer selama 3 bulan dan sampai dengan 3) pengumpulan data sekunder selama 1 bulan. Penelitian dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara dan pengambilan data primer difokuskan pada 13 desa pantai (Gambar 2). Kota/Desa:
Belang Kema Bitung Likupang Bulo Manado Tanawangko Tumpaan Amurang Blongko Poigar Inobonto Lolak
Gambar 2 Lokasi penelitian mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara 3.2
Pengambilan Sampel Mengingat daerah penelitian yang luas, maka ditentukan beberapa wilayah
contoh yang mempunyai usaha perikanan tangkap yang dapat mewakili seluruh populasi yang ada di wilayah penelitian. Menurut Parel (1973), metode penarikan
78
contoh yang sesuai untuk populasi yang menyebar pada wilayah yang luas adalah dengan metode penarikan contoh bertingkat (multi stage sampling). Pengambilan contoh rumah tangga nelayan dilakukan dengan cara penarikan contoh acak secara “cluster” dan bertingkat (multi-stages) mengacu pada strategi pengambilan sampel dari Sevilla et al. (1993) sebagai berikut: Tingkat pertama: dari 15 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara, diidentifikasikan 13 kabupaten/kota yang memiliki desa, pantai atau yang memiliki penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Tingkat kedua: dengan menggunakan teknik purposive sampling (Sevilla et al. 1993) ditentukan desa yang menjadi lokasi penelitian dengan karakteristik berikut: 1) desa pantai, 2) terdapat kegiatan nelayan yang intensif dan 3) efektif dan mudah dijangkau. Dengan demikian, lokasi penelitian ditetapkan sebanyak 13 desa/kota yang tersebar di 5 kabupaten/kota yaitu Kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bola’ang Mongondow, adapun desa/kota yang yang ditetapkan menjadi lokasi penelitian adalah: Desa Belang, Desa Kema, Kota Bitung, Desa Likupang, Desa Bualo, Kota Manado, Desa Tanawangko, Desa Tumpaan, Kota Amurang, Desa Blongko, Desa Poigar, Desa Inobonto dan Desa Lolak. Tingkat ketiga: memilih responden nelayan yang berasal dari desa/kota yang menjadi lokasi penelitian, setiap desa diambil responden secara variatif antara 40-50 responden dan responden tersebut mewakili nelayan skala kecil, baik nelayan pemilik maupun nelayan buruh. Penentuan responden ini dilakukan dengan cara snowball sampling. Menurut Mcall dan Simmons dalam Babbie (1994), snowball sampling adalah teknik pencarian sampel dengan dimulai dari satu orang kemudian dari orang tersebut dicari tahu responden berikutnya dan seterusnya. Berdasarkan hasil dari snowball sampling ini diperoleh sekitar 700an responden, kemudian dipilih 400 responden nelayan yang dianggap mewakili dan mereka diwawancarai untuk mengetahui mobilitas nelayan, faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan mobilitas nelayan itu sendiri. Bagan tahapan pengambilan sampel penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
79
Gambar 3 Tahap pengambilan sampel penelitian
Ukuran sampel responden memegang peranan penting dalam estimasi dan interpretasi hasil analisis Structural Equation Modelling (SEM). Menurut Ferdinand (2006) bahwa ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100–200. Bila ukuran sampel menjadi terlalu besar, misalnya lebih dari 400, maka metode menjadi sangat sensiitif sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran-ukuran Goodness of Fit yang baik. Ferdinand (2006) juga menyarankan bahwa ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated parameter. Dengan demikian bila estimated parameter 12, maka jumlah sampel minimum adalah 60. Adapun pedoman ukuran sampel adalah sebagai berikut: 1)
Untuk teknik Maximum Likelihood Estimation (ML) menggunakan jumlah sample 100–200.
2)
Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi. Pedomannya adalah 5–10 jumlah parameter yang diestimasi.
3)
Tergantung pada jumlah indikator yang digunakan dalam seluruh variabel laten. Jumlah sampel adalah jumlah indikator dikali 5–10. Bila terdapat 20 indikator, maka besarnya sampel 100–200.
80
Bila sampelnya sangat besar, maka peneliti dapat memilih teknik estimasi. Misalnya bila jumlah sampel diatas 2500 maka teknik estimasi Asymtoticaly Distribution Free Estimation (ADF) dapat digunakan. Mengacu pada Maximum Likelihood Estimation (MLE), maka jumlah sampel yang dibutuhkan untuk analisis SEM adalah 100-200 sampel. Ukuran sampel ini dengan pertimbangan syarat-syarat keterwakilan aspek kajian dan kebutuhan analisis. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, hal ini dilakukan mengingat jumlah populasi penelitian yang terlalu besar dan tersebar tidak merata di 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara. Responden penelitian terdiri atas mereka yang berprofesi sebagai nelayan terutama nelayan-nelayan yang telah atau pernah dan bahkan sedang melakukan mobilisasi kerja dan demografis. Lebih dikhususkan kepada nelayan skala kecil. Responden yang lain juga termasuk Pemda, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Akademisi. 3.3
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dasar penelitian survei, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan, menyidik dan menafsirkan data secara umum sebagaimana yang tersedia di lapangan (Mantjoro dan Manus 1986). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan (observasi), wawancara dan pengisian kuisioner oleh responden serta diskusi kelompok nelayan. Data primer yang dikumpulkan menyangkut kegiatan usaha penangkapan ikan yang dilakukan selama satu tahun terakhir, yang mencakup investasi, kegiatan operasi penangkapan, pajak, bahan bakar, produksi tangkapan, musim penangkapan, jumlah dan lama trip penangkapan, daerah penangkapan ikan, tenaga kerja, pemeliharaan dan perawatan kapal dan alat penangkapan ikan, pemasaran hasil tangkapan, serta sumber pendanaan. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci yang dianggap sebagai pihak yang mampu memberikan informasi secara menyeluruh dan mengetahui fenomena sosial nelayan yang sesungguhnya terjadi. Observasi atau pengamatan secara langsung pada obyek yang diteliti yang dilakukan meliputi hubungan sosial masyarakat nelayan dan tingkah laku masyarakat nelayan di lokasi penelitian. Diskusi kelompok nelayan dilakukan untuk mengetahui pendapat nelayan secara
81
umum tentang pelapisan sosial dan hubungan kerjanya. Responden memberi informasi berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian yang meliputi mobilitas nelayan, faktorfaktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak mobilitas nelayan itu sendiri. Data sekunder yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari Pemerintah Daerah, Dinas Perikanan, Kantor Statistik dan Lembaga-lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari publikasi hasil penelitian yang pernah dilakukan. Data sekunder yang dikumpulkan mencakup data penduduk, nelayan, produksi perikanan 5 tahun terakhir dan pemasarannya, sarana dan prasarana yang ada, kebijakan pengembangan sektor perikanan, kegiatan ekonomi di wilayah penelitian dan lain-lain. Data sekunder juga dilakukan melalui studi kepustakaan untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan gambaran umum nelayan di Provinsi Sulawesi Utara yang menjadi lokasi penelitian. 3.4
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) analisis
deskriptif-kualitatif; 2) analisis SEM; dan 3) analisis SWOT. 3.4.1
Penentuan status mobilitas nelayan Status mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk mengetahui status sekelompok manusia, suatu objek, set kondisi, sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari analisis deskriptif ini adalah untuk membuat deksripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar-fenomena yang diselidiki (Nazir 2000), selanjutnya analisis ini mencari fakta-fakta dengan interprestasi yang tepat, mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Analisis ini juga membandingkan fenomena-fenomena tertentu,
82
sehingga merupakan studi komparatif, mengadakan klasifikasi serta analisis terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu. Dengan analisis ini, dapat diselidiki kedudukan (status), fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara suatu faktor dengan faktor yang lain (Whitney 1960 diacu dalam Nazir 2000). Analisis deskriptif biasanya menggunakan statistik sederhana, seperti persentase, diagram, komparasi (perbedaan) dengan menggunakan uji t untuk dua kelompok pengaruh dengan menggunakan analisis jalur (path analysis). Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi struktur mobilitas nelayan ini adalah perubahan jenis profesi dan perubahan geografis/lokasi tempat nelayan bekerja. Analisis deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis data/informasi yang disampaikan oleh responden nelayan terkait dengan ada tidaknya perubahan profesi dan perubahan geografis/lokasi tempat mereka bekerja. Kemudian kedua indikator perubahan tersebut, baik perubahan jenis
profesi
maupun
geografis
dikombinasikan
untuk
mengidentifikasi/mengelompokkan tipe mobilitas nelayan. Data/informasi terkait dengan latar belakang nelayan melakukan mobilitas direduksi, disimpulkan (diberi makna) dan diverifikasi (dikonsultasikan kembali) kepada responden dan teman sejawat. Mobilitas yang dilakukan oleh nelayan sangat mempengaruhi status nelayan di lokasi dimana nelayan tersebut bermukim. Dari analisis yang dilakukan akan diketahui status nelayan berdasarkan mobilisasi geografi melakukan penangkapan ikan dan mobilisasi profesi. 3.4.2
Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan mobilitas nelayan Pemetaan faktor-faktor/komponen yang berpengaruh terhadap mobilitas
nelayan dan dampak mobilitas nelayan itu sendiri dianalisis dengan structural equation modelling (SEM). Pada saat seorang peneliti menghadapi pertanyaan penelitian berupa identifikasi dimensi-dimensi sebuah konsep atau konstruk dan pada saat yang sama ingin mengukur pengaruh atau derajat hubungan antar faktor yang telah diidentifikasi dimensi-dimensinya, maka SEM akan memungkinkan untuk melaksanakannya. SEM juga merupakan pendekatan terintegrasi antara analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis) (Solimun 2002).
83
Untuk menganalisis besarnya pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan masyarakat nelayan digunakan metode Uji analisis structural equation modelling (SEM). Uji validitas konstruk dengan menggunakan SEM yaitu suatu model yang juga disebut ”A Covariance Structural Model” yang digunakan untuk menguji model-model empiris untuk menjelaskan varian dan korelasi antara satu set peubah-peubah yang diobservasi dalam suatu sistem kausal (sebab-akibat) dari faktor-faktor yang tidak diobservasi. Dengan demikian pengukuran model menspesifikasikan seberapa jauh peubah-peubah yang diobservasi berhubungan dengan suatu set faktor-faktor yang dihipotesiskan. Soft ware yang digunakan adalah program LISREL atau Linier Structural Relationship (Agresti dan Finlay 1986; Hayduk 1987; Joreskog dan Sorbon 1996; Joreskog dan Sorbon 1999). Structural Equation Modelling (SEM) atau Model Persamaan Struktural adalah model statistik yang umumnya digunakan dalam penelitian ilmu perilaku manusia. SEM dapat dikelompokkan sebagai analisis faktor dan regresi atau analisis jalur. Konsep teoritis yang diwakili oleh faktor laten (tidak bisa diamati secara langsung) merupakan hal yang penting dalam pemodelan menggunakan SEM. Hubungan antar faktor laten ditunjukkan oleh koefisien regresi atau jalur antar faktor (Hox and Bechger 1998). Analisis SEM adalah teknik analisis multivariate yang dapat menguji hubungan antar variabel yang kompleks untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model (Ghozali dan Fuad 2005). SEM juga dapat menguji model secara bersama-sama, baik model structural (hubungan atau nilai loading antara konstruk independen atau dependen), maupun model measurement (hubungan/nilai loading antara indikator dengan konstruk/variabel laten). Keunggulan-keunggulan SEM lainnya dibandingkan dengan regresi berganda di antaranya ialah; pertama, memungkinkan adanya asumsi-asumsi yang lebih fleksibel; kedua, penggunaan analisis faktor penegasan (confirmatory faktor analysis) untuk mengurangi kesalahan pengukuran dengan memiliki banyak indikator dalam satu variabel laten; ketiga, daya tarik interface pemodelan grafis untuk memudahkan pengguna membaca keluaran hasil analisis; keempat, kemungkinan adanya pengujian model secara keseluruhan dari pada koefisien-
84
koefisien secara sendiri-sendiri; kelima, kemampuan untuk menguji model–model dengan menggunakan beberapa variabel tergantung; keenam, kemampuan untuk membuat model terhadap variabel-variabel perantara; ketujuh, kemampuan untuk membuat model gangguan kesalahan (error term); kedelapan, kemampuan untuk menguji koefisien-koefisien di luar antara beberapa kelompok subyek; kesembilan, kemampuan untuk mengatasi data yang sulit, seperti data time series dengan kesalahan otokorelasi, data yang tidak normal dan data yang tidak lengkap. Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan pendekatan teoritis. Pendekatan teoritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap konsep-konsep yang dikembangkan, sehingga model akhir yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat kebenaran secara alamiah. Dalam kaitan ini, telaah pustaka, eksplorasi terhadap hasil-hasil penelitian yang berkaitan dan diskusi pakar menjadi hal penting untuk dilakukan. Komponen-komponen yang dominan dalam rangka masyarakat/nelayan bermobilisasi adalah aspek pendapatan, aspek persediaan ikan yang terus menurun, aspek kejenuhan, aspek modal berkurang dan aspek profesi yang terlalu berat. Namun faktor-faktor dominan yang berpengaruh untuk aspek pendapatan adalah aspek pendidikan, aspek prestise kerja, aspek umur, aspek pengalaman kerja dan aspek jumlah tanggungan keluarga. Hasil penelitian yang terkait dengan mobilitas dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Todaro (1992), faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi pada umumnya berbeda-beda dan sangat kompleks dan faktor-faktor tersebut secara umum dapat dikategorikan menjadi: 1)
Faktor Demografis, dalam banyak kasus di dunia ketiga sebagian besar migran terdiri atas laki-laki muda belum kawin berusia antara 15 dan 25 tahun. Akan tetapi migran wanita juga mulai berkembang terutama karena kemajuan tingkat pendidikan. Perkembangan mobilitas profesi wanita lebih rendah dari pria karena wanita ini banyak dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi seperti sosial budaya. Kondisi atau tatanan sosial yang berlaku dapat menekan atau mengurangi mobilitas profesi wanita. Peranan
85
wanita sebagai ibu rumah tangga menghambat untuk melakukan mobilitas profesi desa-kota. 2)
Faktor Pendidikan, faktor pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat kuat dalam menentukan keputusan untuk melakukan migrasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan meningkatkan kemungkinan seseorang melakukan migrasi (mobilitas profesi). Ini menunjukkan suatu gejala backwash process dimana orang-orang yang berpotensi di desa justru meninggalkan desa untuk mencari sumber penghasilan lain. Gejala ini secara umum dapat berdampak positif dan negatif bagi desa. Kalau para migran dapat memberikan kontribusi yang sesuai bagi pembangunan desa hal ini merupakan gejala yang positif, tetapi kecenderungan yang terjadi mereka tidak lagi tertarik untuk tinggal di desa dan menetap di daerah lain sehingga desa kekurangan orang yang berpotensi untuk membangun desa.
3)
Faktor Ekonomi, perbedaan tingkat upah antara desa dan kota adalah variabel ekonomi yang sangat menentukan keputusan untuk melakukan migrasi desa-kota. Penelitian terakhir menunjukkan perbedaan tingkat upah menjadi faktor penentu keputusan untuk melakukan migrasi. Pertimbangan individu mengambil keputusan untuk bermigrasi atas pertimbangan untuk mengoptimalkan penghasilan dan atas persepsi mereka tentang arus pendapatan yang diharapkan di pedesaan dan kota. Selanjutnya diasumsikan pula individu memilih bermigrasi menyesuaikan tingkat individu memilih bermigrasi menyesuaikan tingkat pendidikan dan ketrampilan mereka di kota. Para migran dianggap mengetahui peluang mereka untuk memperoleh profesi dan peluang menganggur di kota dalam selang waktu tertentu. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, sebagaimana yang diuraikan di
dalam Tabel 2, faktor-faktor yang berpengaruh pada mobilitas nelayan adalah tingkat pendidikan, prestise kerja, umur, pengalaman melaut dan tanggungan keluarga, pendapatan, persediaan ikan, kejenuhan, modal, profesi yang terlalu berat yang sebelumnya sudah dianalisis melalui analisis SEM. Analisis SEM dalam penelitian ini dikembangkan untuk melihat terjadinya interaksi di antara
86
komponen tersebut dan mengetahui interaksi mana yang paling berperan dalam mobilitas profesi nelayan. Gambaran interaksi di antara komponen tersebut kemudian diilustrasikan dalam rancangan awal path diagram. Tabel 2 Hasil penelitian terkait dengan mobilitas Author
Thn
Armin Ginting
1994
Analisis faktor Studi Kasus penentu keputusan mobilitas profesi sektor pertanian ke non pertanian
Judul
Metologi
Maria
1996
Mobilitas profesi nelayan ke nonnelayan di Kelurahan Kali Baru
Widodo
2002
Pengaruh Studi Kasus industrialisasi terhadap mobilitas sosial masyarakat pedesaan
Djoko Joewono
2003
Mobilitas penduduk dalam wilayah Jabotabek
Survei
Survei
Hasil-kesimpulan Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan mobilitas profesi desa kota adalah rasio pendapatan desa kota, usia dan pengusahaan lahan. Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan luas lahan milik pada tingkat kepercayaan α=10% tidak berpengaruh nyata terhadap peluang mobilitas profesi, sedangkan faktorfaktor lain berpengaruh nyata. Dari faktor-faktor yang mempengaruh keputusan mobilitas mobilitas profesi tersebut, ternyata mempunyai pengaruh ekonomi terhadap migran terutama perbedaan pendapatan desa kota dan jumlah beban tanggungan. Dengan demikian maka dalam penelitian ini faktor ekonomi masih dianggap dominan pengaruhnya terhadap keputusan mobilitas profesi. Disarankan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja di desa guna menambah keterkaitan antara penduduk dengan desa, sehingga menurunkan keinginan untuk melakukan mobilitas profesi di kota atau desa lain. Bagi masyarakat disarankan untuk mencari profesi di bidang industri pedesaan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat Faktor yang signifikan terhadap mobilitas profesi adalah: pendidikan, jumlah tanggungan dan pendapatan (juga faktor usia dan pengalaman), yang menjadi faktor pendorong dalam mobilitas kerja adalah: pendapatan nelayan, persediaan ikan, kejenuhan, modal, profesi yang terlalu berat, ingin mencari pengalaman, kondisi fisik nelayan (kesehatan dan usia). Faktor penariknya adalah: peningkatan pendapatan, kenyamanan kerja dan jaminan hari tua. Jenis jenis profesi non-nelayan adalah: dagang, supir, bengkel, wiraswasta, pelayaran dan karyawan pabrik. Akibat dari mobilisasi kerja ini 60% dari pelaku mobilisasi tersebut kondisi perumahannya, mengalami peningkatan dan, 40% sisanya tetap Faktor-faktor pencetus mobilisasi sosial masyarakat adalah: pendidikan, penguasaan modal, tingkat ketrampilan dan hubungan dengan elit Wanaherang memberi pengaruh pada munculnya peluangkerja dan usaha yang berakibatkan pada peningkatan pendapatan, penguasaan kekayaan materil dan status sosial. Hal ini membuat masyarakat terobsesi untuk menjadi karyawan/pegawai di sektor industri, karena selain peningkatan pendapatan juga peningkatan prestise/penghormatan. Tapi untuk menjadi karyawan dipengaruhi pendidikan, pengalaman kerja, ketrampilan dan hubungan dengan elit desa maupun manajemen perusahaan Faktor yang mendorong masyarakat bermobilisasi adalah sebagai berikut: faktor demografi (jenis kelamin, pendidikan) berikut mengaharapkan pendapatan lebih tinggi di perkotaan dari pada di desa, kecilnya lahan di desa bahkan tidak ada/terbatasnya kerja di bidang pertanian. Faktor penariknya adalah: ada kesempatan kerja di sektor lain dengan teknologi komunikasi.
Sumber: Hasil Olahan Data Setelah menyusun model berbasis teori, langkah selanjutnya adalah menerjemahkan model tersebut kedalam diagram jalur (path diagram) agar dapat diestimasikan dengan menggunakan program LISREL. Pembuatan path diagram
87
merupakan
kegiatan
penggambaran
interaksi
komponen-komponen
yang
dikembangkan secara teoritis dan kemudian menjadi konstruk penelitian. Dalam penggambaran ini, konstruk/variabel laten penelitian tersebut harus dilengkapi dengan dimensi/variabel terukur. Dalam model struktural dikenal dua variabel, yaitu eksogen dan endogen, sedangkan persamaan-persamaan untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk, persamaan tersebut pada dasarnya dibangun dengan pedoman sebagai berikut (Ferdinand 2002: 167):
......................................... 1) Keterangan: : (beta) variabel laten endogen : (beta) matriks koefisien jalur untuk hubungan antar variabel endogen : (gamma) matriks koefisien jalur hubungan variabel endogen dan eksogen : (ksi) variabel laten eksogen : (zeta) kesalahan (eror) dalam persamaan struktural
Variabel eksogen adalah variabel yang nilainya ditentukan di luar model, seperti variabel bebas dan variabel instrumen (juga disebut predetermined variables), sedangkan variabel endogen adalah variabel yang nilainya ditentukan berdasarkan model, seperti variabel tidak bebas. Dalam kaitan ini, telaah pustaka menjadi hal penting untuk menetapkan variabel terukur yang tepat. Path diagram dibuat dengan menggunakan program LISREL 8.30 Professional. Rancangan path diagram sebagai konseptualisasi mobilitas profesi dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar 4. Persamaan struktural dalam penelitian ini adalah persamaan rekursif dimana memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut: 1)
Antara galat (εij) saling bebas (independent).
2)
Antara εij dengan Y, X1, X2, X3 dan X4 saling bebas.
88
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7
X1
X1.8
Keterangan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian: Y = Status Nelayan X1 = Mobilitas geografi X2 = Mobilitas geografi dan mobilitas profesi X3 = Mobilitas profesi X4 = Tidak melakukan mobilitas profesi dan lokasi
X1.9 X1.10
X2.1 X2.2
X1.1 = Aspek pendidikan X1.2 = Aspek prestise kerja X1.3 = Aspek umur X1.4 = Aspek pengalaman kerja X1.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X1.6 = Aspek Pendapatan X1.7 = Aspek Persediaan ikan X1.8 = Aspek Kejenuhan X1.9 = Aspek Modal X1.10= Aspek Profesi yang terlalu berat
X2.3 X2.4 X2.5
X2
X2.6 X2.7 X2.8
Y
X2.9 X2.10
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5
X3
X3.6 X3.7 X3.8
X2.1 = Aspek pendidikan X2.2 = Aspek prestise kerja X2.3 = Aspek umur X2.4 = Aspek pengalaman kerja X2.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X2.6 = Aspek Pendapatan X2.7 = Aspek Persediaan ikan X2.8 = Aspek Kejenuhan X2.9 = Aspek Modal X2.10= Aspek Profesi yang terlalu berat X3.1= Aspek pendidikan X3.2= Aspek prestise kerja X3.3 = Aspek umur X3.4 = Aspek pengalaman kerja X3.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X3.6 = Aspek Pendapatan X3.7 = Aspek Persediaan ikan X3.8 = Aspek Kejenuhan X3.9 = Aspek Modal X3.10= Aspek Profesi yang terlalu berat X4.1 = Aspek pendidikan X4.2 = Aspek prestise kerja X4.3 = Aspek umur X4.4 = Aspek pengalaman kerja X4.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X4.6 = Aspek Pendapatan X4.7 = Aspek Persediaan ikan X4.8 = Aspek Kejenuhan X4.9 = Aspek Modal X4.10= Aspek Profesi yang terlalu berat
X3.9 X3.10
X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5
X4
X4.6 X4.7 X4.8 X149 X4.10
Gambar 4 Konseptualisasi mobilitas profesi dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara
89
Variabel yang diuji dalam analisis SEM terdiri dari struktur mobilitas nelayan dan dampak yang ditimbulkan mobilitas nelayan. Variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan mobilitas nelayan adalah aspek ekonomi, pendidikan, prestise kerja, umur, pengalaman kerja, ketrampilan dan kepemilikan alat produksi dan jumlah tanggungan keluarga. Pengujian apakah variabel-variabel ini dapat digunakan untuk membentuk faktor atau konstruk dilakukan dengan melihat nilai probabilitas (p) dari nilai koefisien lambda (λ). Jika nilai probabilitas (p) koefisien lambda lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka indikator tersebut dapat digunakan untuk membentuk faktor atau konstruk. Sebaliknya, jika nilai p dan λ lebih besar dari nilai α = 0,05, maka indikator tersebut tidak dapat digunakan untuk membentuk konstruk. Pemilihan matriks input dan estimasi model sangat dibutuhkan dalam analisis SEM. Matriks input yang digunakan dalam analisis SEM terdiri dari matriks kovarian dan matriks korelasi. Dalam beberapa penelitian, matriks kovarian lebih sering digunakan karena memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda. Setelah model dispesifikasikan secara lengkap, langkah berikutnya adalah memilih jenis input. Matriks input yang dipilih dalam penelitian ini adalah matriks kovarians. Alasan memilih input data matrix covarians adalah karena matriks kovarian memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda. Selain itu matriks kovarian lebih sesuai untuk memvalidasi hubungan kausal. Selanjutnya untuk memilih teknik analisis dengan mempertimbangkan ukuran sampel. Setelah memilih matriks input, maka perangkat lunak (LISREL) akan melakukan estimasi koefisien path. Dalam melakukan estimasi model, ukuran sampel memegang peranan yang cukup penting. Teknik-teknik estimasi yang tersedia adalah: 1) Maximum Likelihood Estimation (ML), 2) Generalized Least Square Estimation (GLS), 3) Unweighted Least Square Estimation (ULS), 4) Scale Free Least Square Estimation (SLS) dan 5) Symtotically DistributionFree Estimation (ADF). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Maximum Likelihood Estimation (ML), yang meliputi:
90
Identifikasi model. Masalah identifikasi merupakan masalah ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Masalah identifikasi dapat muncul melalui gejala sebagai berikut: i.
Standard error untuk satu sampai beberapa koefisien sangat besar.
ii.
Program tidak mampu menghasilkan matriks informasi yang seharusnya.
iii.
Munculnya angka-angka yang tidak diinginkan, seperti varians error yang negatif.
iv.
Munculnya angka korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang diperoleh.
Asumsi-asumsi SEM yang harus dipenuhi adalah: 1)
Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan SEM adalah minimum berjumlah 100, selanjutnya menggunakan perbandingan 5 observasi untuk setiap parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, bila mengembangkan model dengan lebih dari 20 parameter maka minimum digunakan 100 sampel.
2)
Normalitas dan Linearitas: sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas terpenuhi, sehingga data dapat diolah lebih lanjut dengan pemodelan SEM. Normalitas dapat diuji dengan melihat gambar histogram data atau dapat diuji dengan model statistik. Uji normalitas
dilakukan
dengan
menggunakan
uji
skewness
yang
menunjukkan bahwa hampir seluruh variabel normal pada tingkat signifikansi 0,01 (1%). Hal ini terlihat pada nilai Coefficient Ratio (CR) dari skewness yang berada di bawah + 2,58 (Arbuckle 1997;78). Nilai mutivariat pada uji normalitas adalah koefisien kurtosis multivariate, apabila hasil yang diperoleh masih di bawah nilai batas + 2,58, ini berarti bahwa ada data yang digunakan berdistribusi multivariate normal. 3)
Outliners (data-data pencilan): outliners adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariate yaitu yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya. Model hubungan antara variabel dependent dan independent perlu diuji
kelayakannya dengan menggunakan berbagai indikator. Adapun jenis indikator
91
dan nilai indeks yang digunakan untuk menentukan kelayakan sebuah model dapat dilihat pada Tabel 3 dan Lampiran 1. Tabel 3 Goodness of fit index Goodness of fit index
Cut of value
Chi Square Significance Probability CMIN/DF GFI TLI CFI RMSEA
diharapkan kecil > 0,05 < 2 atau 3 > 0,90 > 0,95 > 0,95 < 0,08 – 0,09
Sumber: Ferdinand 2006 1)
Degree of freedom (derajat kebebasan) harus bernilai positif
2)
Chi Square Statistik (X²) dan probabilitas alat uji fundamental untuk mengukur overall fit adalah likelihood ratio chi square statistik. Model yang baik harus mempunyai chi square = 0 berarti tidak ada perbedaan. Tingkat signifikan penerimaan yang direkomendasikan adalah apabila p > 0,005 (Hair 1998) yang berarti matriks input sebenarnya dengan matriks input yang diprediksi tidak berbeda secara statistik.
3)
CMIN/DF adalah ukuran yang diperoleh dari nilai chi square dibagi dengan degree of freedom. Menurut Hair et al. (1998) nilai yang sebenarnya adalah nilai CMIN/DF yang < 2,0 atau 3,0
4)
Goodness of Fit Index (GFI), digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang diprediksi dibandingkan dengan data yang sebenarnya. Nilai Goodness of Fit Index biasanya dari 0-1. Semakin besar jumlah sampel penelitian maka nilai GFI akan semakin besar. Nilai yang lebih baik mendekati 1 mengindikasikan model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik. Nilai GFI dikatakan baik adalah > 0, 90.
5)
Tucker-Lewis Index (TLI) adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya
92
sebuah model adalah > 0,9 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit. TLI merupakan index fit yang kurang dipengaruhi oleh ukuran sampel. 6)
Comparative Fit Index (CFI) dikenal sebagai Bentler Comparative Index. CFI merupakan indeks kesesuaian incremental yang juga membandingkan model yng duji dengan mull model. Indeks ini dikatakan baik untuk mengukur kesesuaian sebuah model karena tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel. Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik adalah apabila CFI > 0,90.
7)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA), nilai RMSEA menunjukkan Goodness of Fit yang diharapkan bila model diestimasikan dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu didasarkan degree of freedom. RMSEA merupakan indeks pengukuran yang tidak dipengaruhi oleh besarnya sampel sehingga biasanya indeks ini digunakan untuk mengukur fit model pada jumlah sampel besar. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji signifikansi regresi
berdasarkan uji F pada α = 0,05 untuk setiap koefisien persamaan, secara langsung ataupun parsial. Setelah dilakukan pengujian terhadap asumsi dasar SEM dan terhadap uji kesesuaian dan uji statistik, langkah berikutnya adalah melakukan modifikasi terhadap model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang telah dilakukan. Setelah model diestimasi, residualnya haruslah kecil atau mendekati 0 dan distribusi frekuensi dari kovarans residual harus bersifat simetrik. Sebuah pedoman untuk mempertimbangkan perlu tidaknya modifikasi terhadap sebuah model, yaitu dengan melihat sejumlah residual yang dihasilkan oleh model. Bila jumlah residual lebih besar dari 5% dari semua residual kovarians yang dihasilkan oleh model, maka modifikasi perlu dipertimbangkan. Bila ditemukan nilai residual yang dihasikan oleh model cukup besar (> 2,58), maka cara lain dalam memodifikasi adalah dengan mempertimbangkan untuk menambah jalur baru terhadap model yang diestimasi.
93
Nilai residual lebih besar atau sama dengan 2,58 diintreprestasikan sebagai signifikan secara statistik pada tingkat 5% dan residual yang signifikan ini menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang indikator. 3.4.3
Strategis untuk alih status nelayan ke arah yang lebih baik Analisis SWOT digunakan untuk mencari solusi strategis untuk
mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Budiharsono (2003) menyebutkan bahwa salah satu metoda yang bisa digunakan untuk menentukan kebijakan,
adalah
metoda
KeKePan
atau
analisis Strength-Weaknesses-
Opportunities-Threats (SWOT). Dengan analisis ini akan ditentukan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil ke depan yang didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut: 1)
Pembuatan Matriks Strategic Faktors Analysis Summary Matriks (SFAS). Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi faktual di lapangan dan kecenderungan yang mungkin terjadi untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
ancaman
dan
peluang
dalam
implementasi
program
pemberdayaan yang sudah dilaksanakan pada beberapa wilayah kajian. Faktor-faktor dalam kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang tersebut dimasukan
kedalam
matriks
SFAS
untuk
selanjutnya
dilakukan
perhitungan atas bobot, rating dan nilai masing-masing faktor. Nilai rating didapatkan dari jawaban responden pada kuisioner yang dibagikan. Adapun nilai didapatkan dari hasil perkalian bobot dan rating. Adapun caranya adalah sebagai berikut; menyusun matriks dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman); 2) memberi bobot masingmasing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor stretegis; 3) menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif sedangkan untuk faktor ancaman bersifat negatif; 4) kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating
94
pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4; 5) menggunakan kolom 5 untuk memberikan catatan atau komentar. 2)
Penentuan koordinat S-W-O-T. Berdasarkan nilai-nilai total skor masingmasing pada faktor SWOT yaitu kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T), selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan titik pada sumbu ordinat (X) dan sumbu axis (Y) pada kuadran SWOT. Sisi atas pada sumbu Y adalah peluang (O) dan sisi bawah adalah ancaman (T) sedangkan sisi kiri pada sumbu X adalah kelemahan (W) dan sisi kanan adalah kekuatan (S). Total Skor S-Total Skor W=Titik pada sumbu Y, Total Skor O-Total Skor T=Titik pada sumbu X.
3)
Strategi kebijakan. Alternatif kebijakan pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang (SO), kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST); pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Kebijakan yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif.
BERBAGAI PELUANG Mendukung
Mendukung
Strategi
Strategi
KELEMAHAN
Turn Around
Agresif
KEKUATAN
INTERNAL
Mendukung
Mendukung
INTERNAL
Strategi
Strategi
Defensif
Diversifikasi
BERBAGAI ANCAMAN Gambar 5 Diagram Analisis SWOT
95
Analisis
Strengths,
Weaknesses,
Opportunities,
Threats
(SWOT)
dilakukan dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman, seperti disajikan pada Gambar 5. Proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan pemerintah. Dengan demikian perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis yang ada (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini. Dalam analisis SWOT, struktur mobilitas profesi dan alih status nelayan harus mencakup analisis situasi sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kerangka analisis yang dipakai dalam analisis SWOT Tahapan Kegiatan Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
Memahami situasi dan informasi yang ada Memahami permasalahan yang terjadi, baik masalah yang bersifat umum maupun spesiflk Menciptakan dan memberikan berbagai alternatif pemecahan. Evaluasi pilihan alternatif yang terbaik
Sumber: Budiharsono (2003) Analisis SWOT digunakan untuk memilih beberapa alternatif kebijakan yang ditempuh, namun metode ini sangat kualitatif dan hubungan matriknya hanya dua variabel seperti: SO, ST, WO dan WT. Sedangkan dalam pengambilan kebijakan harus mempertimbangkan keempat variabel tersebut. Berdasarkan analisis tersebut disusun suatu kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam menganalisis data digunakan teknik deskriptif kualitatif guna menjawab perumusan permasalahan mengenai apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan yang ada pada objek penelitian dan apa saja yang dapat menjadi peluang serta ancaman yang berasal/bersumber dari luar. Dalam penelitian dilakukan identifikasi variabel-variabel yang merupakan kekuatan dan peluang yang kemudian digunakan skala likert, kemudian penelitian dilanjutkan dengan identifikasi variabel-variabel yang merupakan kelemahan dan ancaman dari luar yang kemudian digunakan skala likert juga.
96
4 HASIL
4.1
Kondisi Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara sebagian besar pencahariannya
tergantung pada sumber daya perikanan dan laut. Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara terdiri atas nelayan pemilik dan nelayan buruh. Berdasarkan waktu kerjanya, nelayan buruh dapat dibagi menjadi nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Kategori-kategori nelayan berdasarkan waktu kerjanya di Provinsi Sulawesi Utara dan jumlah nelayan untuk setiap kategori disajikan pada Gambar 6.
Nelayan Penuh
Sambilan Tambahan 2853
3,000
Jumlah nelayan (orang)
Sambilan Utama
2643
2,500 2,000
1,924
1814 1562
1,500 1,000
1194
1643
1671
1752 1515
1214
1530
1551
1595
1405 1,201
1169 1082 1071 1039 772 778
1104 798 730
500
1106 910
1205
1199
1367 1091
673 651 268
503 330 489 436 302
0
Kabupaten/Kota Gambar 6 Komposisi gambaran nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara tercatat 85.867 orang, sebanyak 39.727 (46%) diantaranya adalah nelayan pemilik. Hal ini menjelaskan bahwa nelayan buruh lebih dominan yaitu 46.140 orang (54%) dibandingkan dengan nelayan pemilik. Nelayan buruh dikategorikan menjadi nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, yang jumlahnya masing-masing sebanyak 17.521 orang (21%), 13.014 orang (15%) dan 15.605 orang (18%). Untuk kategori nelayan penuh, jumlah terbanyak ada di Kepulauan
97
Sangihe 2.643 orang atau sebanyak 43% dari jumlah total nelayan di kepulauan tersebut, diikuti oleh Kepulauan Talaud sebanyak 1.924 orang atau 41%, kemudian Kota Bitung dengan jumlah nelayan 1.752 orang atau 30%, lalu Kepulauan Sitaro dengan jumlah 1.671 orang nelayan atau sebesar 38%, selanjutnya Kota Manado dengan jumlah nelayan sebanyak 1.595 atau sebesar 39%, kemudian Bolaang Manggondow dengan jumlah nelayan sebanyak 1.530 orang atau sebesar 42%, lalu Minahasa Utara dengan jumlah nelayan sebanyak 1.405 atau sebesar 42% dan tiga daerah dengan jumlah nelayan terkecil masingmasing adalah Minahasa Selatan dengan jumlah nelayan 772 (28%), Bolaang Mangondow Timur sebanyak 489 orang (34%) dan terakhir adalah Bolaang Mangondow Selatan sebanyak 268 orang (30%). Sedangkan untuk kategori nelayan sambilan utama yang berada di Kepulauan Talaud adalah 1.194 orang nelayan (25,5%), di Kepulauan Sangihe adalah 1.814 orang nelayan (30%), selanjutnya di Kepulauan Sitaro sebanyak 1.214 orang nelayan (27,5%), kemudian Bolaang Mangondow sebanyak 1.071 orang nelayan (29%), lalu di Bolaang Mangondow Utara sebanyak 1.551 orang nelayan (41%), Minahasa Selatan adalah sebanyak 778 orang nelayan (28%), Minahasa 730 orang nelayan (28%), Minahasa Utara adalah 910 orang nelayan (27%), Minahasa Tenggara adalah 651 orang nelayan (26%), Kota Bitung adalah 1.205 orang nelayan (21%), Kota Manado adalah 1.091 orang nelayan (27%), terakhir untuk Bolaang Mangondow Timur dan Bolaang Mangondow Selatan masing-masing adalah 489 orang nelayan (34%) dan 268 orang nelayan (30%). Selanjutnya untuk kategori nelayan sambilan tambahan yang terbanyak dari seluruh jumlah total nelayan di Provinsi Sulawesi Utara ada di Kota Bitung yaitu 2.853 orang, disusul oleh Kepulauan Sangihe yaitu 1.643 orang, disusul oleh Kepulauan Talaud yaitu 1.562 orang, selanjutnya Sitaro yaitu 1.515 orang, kemudian Kota Manado 1.367 orang, lalu Minahasa Selatan yaitu 1.201 orang, Minahasa Utara yaitu 1.106 orang, Bolaang Mangondow Utara yaitu 1.082 orang, Bolaang Mangondow yaitu 1.039 orang dan tiga daerah dengan jumlah nelayan sambilan tambahan yang terkecil adalah Minahasa Tenggara, Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mangondow Selatan dengan masing-masing jumlah adalah 673 orang, 436 orang dan 330 orang. Kondisi tersebut
98
mengindikasikan bahwa nelayan sambilan lebih banyak dibandingkan dengan nelayan penuh (Gambar 6). Nelayan buruh lebih dominan dibanding nelayan pemilik, dengan jumlah 46.140 orang (54%) untuk nelayan buruh sedangkan nelayan pemilik hanya berjumlah 39.727 orang (46%). Nelayan pemilik yang berjumlah terbanyak ada di Kepalauan sangihe yaitu sebanyak 9.558 orang (61%), diikuti oleh Kota Bitung yang berjumlah 8.398 orang (59%), kemudian Kepulauan Sitaro dengan jumlah 4.548 orang (51%) dan nelayan pemilik yang paling sedikit adalah nelayan di Kabupaten Bolaang Mangondow Selatan sebanyak 534 orang (37%). Untuk nelayan buruh yang terbanyak ada di Kepulauan Sangihe dengan jumlah 6.100 orang (7,10%) dan yang paling sedikit ada di Kepulauan Bolaang Mangondow Selatan yaitu 900 orang (1,05%). Persentase nelayan pemilik versus nelayan buruh untuk masing-masing daerah sebagai berikut, untuk Kepulauan Talaud jumlah nelayan pemilik yaitu 2.188 orang (32%) sedangkan nelayan buruh adalah 4.680 orang (68%) dari total nelayan sebanyak 6.868 orang nelayan, kemudian Kepulauan Sangihe dengan jumlah nelayan pemilik yaitu 9.558 orang (61%) sedangkan nelayan buruh 6.100 orang (39%) dengan jumlah total nelayan di kepulauan tersebut adalah 15.658 orang, selanjutnya Kepulauan Sitaro yaitu 4.548 orang nelayan pemilik (51%) dan 4.400 orang nelayan buruh (49%) dengan total nelayan sebanyak 8.948 orang nelayan, kemudian Bolaang Mangondow yaitu 2.610 orang nelayan pemilik (42%) dan 3.640 orang nelayan buruh (58%) dengan jumlah total nelayan sebanyak 6.250 orang nelayan, lalu Bolaang Mangondow Utara yaitu 3.332 orang nelayan pemilik (47%) dan 3.802 orang nelayan buruh (53%), selanjutnya Minahasa Selatan yaitu 761 orang nelayan pemilik (22%) dan 2.751 orang nelayan buruh (78%), lalu Minahasa dengan jumlah nelayan pemilik sebanyak 1.410 orang (35%) dan nelayan buruh sebanyak 2.632 orang (65%), Minahasa Utara yaitu 2.513 orang nelayan pemilik (42%) dan 3.421 orang nelayan buruh (58%), kemudian Minahasa Tenggara 556 orang nelayan pemilik (18%) dan 2.523 orang nelayan buruh (82%), Kota Bitung 8.398 orang nelayan pemilik (59%) dan 5.810 orang nelayan buruh (41%), Kota Manado yaitu 2.229 orang nelayan pemilik (35%) dan 4.053 orang nelayan buruh (64.5%), terakhir untuk Kabupaten
99
Bolaang Mangondow Selatan dan Bolaang Mangondow Timur masing-masing adalah 534 orang nelayan pemilik (37%), 900 orang nelayan buruh (63%) dan 1.090 orang nelayan pemilik (43%) dan 1.428 orang nelayan buruh (57%). Hasil olahan data tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah nelayan terbanyak berada di daerah Kepulauan Sangihe (15.658 nelayan) dan yang paling sedikit berada di Bolaang Mangondow selatan (1.434 nelayan). Kemudian jumlah nelayan buruh lebih dominan dari nelayan pemilik secara keseluruhan yaitu 46.140 orang nelayan (54%) dan 39.727 orang nelayan (46%). Berdasarkan hasil olahan data dapat kita prediksi daerah mana saja yang nelayannya berpotensi melakukan mobilitas dilihat dari banyaknya jumlah nelayan buruh dibandingkan nelayan pemilik, beberapa daerah tersebut adalah Kabupaten Minahasa Tenggara yang memiliki 2.523 orang nelayan buruh (82%), Kabupaten Minahasa Selatan yang memiliki 2.751 orang nelayan buruh (78%), Kepulauan Talaud yang memiliki 4.680 orang nelayan buruh (68%), Kabupaten Minahasa yang memiliki 2.632 orang nelayan buruh (65%) dan Kota Manado yang memiliki nelayan buruh sebanyak 4.053 orang (64.5%) (Gambar 7).
Jumlah Nelayan (orang)
18,000 Pemilik
15,658
16,000
Buruh
Total
14,208
14,000 12,000 9,558
10,000 8,000
8,948
8,398 7,134
6,868
6,250
6100
6,000
4680
2,188
2,000
4,548 4400 3640
4,000
2,610
5,934
3802 3,332
4,042
3,512 2751 761
2632
4053
3421 2,513
1,410
6,282
5810
3,079 2523 556
2,229
2,518 1,434 1428 900 1,090 534
0
Kabupaten / Kota Gambar 7 Persentase nelayan pemilik versus nelayan buruh di Provinsi Sulawesi Utara
100
Usaha perikanan di lokasi penelitian tergolong ke dalam usaha skala kecil, menengah dan besar. Hal itu terlihat dari jenis perahu yang digunakan. Berdasarkan Gambar 8, dapat disimpulkan bahwa jumlah perahu/kapal terbanyak yaitu jukung dengan jumlah 4.351 unit, diikuti dengan motor tempel dengan jumlah 3.562 unit selanjutnya perahu papan dengan jumlah 395 unit, berikutnya kapal motor < 5 GT dengan jumlah 255 unit, kapal motor > 30 GT dengan jumlah 131 unit, kapal motor 5–10 GT 122 unit, kapal motor 10–20 GT dengan jumlah 112 unit dan terakhir yang paling sedikit adalah kapal motor 20–30 GT dengan jumlah 51 unit. Jumlah perahu jukung yang terbanyak berada di daerah Kepulauan Sangihe dengan jumlah 1.507 unit, disusul oleh Bolaang Mangondow dengan jumlah 822 unit, Bolaang Mangondow Utara dengan jumlah sebanyak 771 unit dan yang paling sedikit adalah 130 unit yang berada di daerah Bolaang Mangondow Selatan. Selanjutnya untuk motor tempel yang terbanyak berada di daerah Kepulauan Sangihe dengan jumlah 2.151 unit dan yang paling sedikit di daerah Bolaang Mangondow Timur sebanyak 170 unit. Kemudian untuk perahu papan yang terbanyak berada di daerah Kepulauan Sitaro dengan jumlah sebanyak 157 unit dan yang paling sedikit di daerah Bolaang Mangondow Selatan dengan jumlah 9 unit. Berikutnya adalah kapal motor < 5 GT yang paling banyak berada di daerah Kepulauan Sangihe dengan jumlah 167 unit dan yang paling sedikit di daerah Kota Manado dengan jumlah 3 unit. Untuk kapal motor > 30 GT yang terbanyak berada di daerah Kota Bitung dengan jumlah sebanyak 121 unit dan yang paling sedikit adalah Minahasa Utara dengan jumlah 4 unit kapal. Untuk kapal motor 5-10 GT yang terbanyak berada di Kepulauan Sangihe dengan jumlah 66 unit kapal dan yang paling sedikit berada di daerah Kota Manado dengan jumlah 4 unit kapal. Untuk kapal motor 10–20 GT yang terbanyak berada di daerah Kota Bitung dengan jumlah sebanyak 95 unit kapal dan yang paling sedikit terdapat di Kepulauan Talaud sebanyak 1 unit kapal. Terakhir, untuk kapal motor ukuran 20–30 GT yang terbanyak berada di daerah Kota Bitung dengan jumlah kapal sebanyak 35 unit kapal dan yang paling sedikit terdapat di daerah Kota Manado dan Minahasa Utara dengan jumlah kapal masing-masing 1 unit.
Jumlah Kapal / Motor (unit)
101
2300 2200 2100 2000 1900 1800 1700 1600 1500 1400 1300 1200 1100 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
2151
< 5
5 10
20 30
> 30
10 20 Jukung 1822
Perahu Papan
Motor Tempel
1621 1507 1356
1301
1245
978 822
797
771
731
655 550 453 302
14 13 0
167 66
29
12
37
0 0
0
4
0
0
00
32
281
229
157 16 6
63
272
220 130
131 00
21
1615
0
34
0
00
9
153170 00
0
Kabupaten / Kota Gambar 8 Jumlah perahu/kapal perikanan di Provinsi Sulawesi Utara
Besarnya perahu/kapal yang digunakan nelayan akan mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut. Dibawah ini disajikan pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 9).
Jumlah Pendapatan Nelayan (Rp.)
120 100
105 84
94 74
80 60
43
250.000 – 500.000 500.000 – 750.000
40
750.000 – 1.000.000
20
1.000.000 – 1.250.000 > 1.250.000
0
Pendapatan Nalayan Gambar 9 Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
102
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara yang berkisar antara Rp.500.000–Rp.750.000/bulan menduduki persentasi terbesar (26,25%) dan pendapatan Rp.1.000.000Rp.1.250.000/bulan menduduki persentasi terendah (10,75%). Hasil tersebut menunjukkan betapa nelayan di Provinsi Sulawesi Utara masih miskin. Nelayan-nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara enggan terus menerus berkubang dalam kemiskinan, akhirnya mereka mencari alternatif untuk keluar dari lingkaran setan tersebut, alternatif pilihan mereka adalah mobilitas dengan harapan dapat menaikan jumlah pendapatan yang pada akhirnya akan
Jumlah Nelayan (Orang)
meningkatkan kesejahteraan mereka.
16,000
14,245
13,983
14,000
Miskin
12,000
Tidak Miskin
10,000 8,000
7,780 6,238
6,099
5,871
6,000
6,016
3,231
4,000 2,000
5,853
5,156
1,775 430
668
427
735
2,496 1,403
380
478
283
263
129
903
131
741
153
0
Kabupaten / Kota Gambar 10 Persentasi nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara
Gambar 10 menunjukkan persentasi nelayan miskin dan tidak miskin di Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah diantara keduanya memiliki selisih yang sangat banyak, nelayan miskin sangat dominan dengan jumlah 78.612 orang (92%) sedangkan nelayan tidak miskin hanya berjumlah 7.255 orang (8%). Jumlah nelayan miskin terbanyak ada di Kota Bitung dengan jumlah nelayan sebanyak 14.245 orang (18,1%) selanjutnya Kepulauan Sangihe dengan jumlah 13.983 orang (17.8%), diikuti oleh Kepulauan Sitaro dengan jumlah nelayan sebanyak
103
7.780 orang (9,8%), selanjutnya Kepulauan Talaud yaitu 6.238 orang (7,9%), kemudian Bolaang Mangondow Utara yaitu 6.099 (7,7%), Bolaang Mangondow yaitu 5.871 orang (7,5%), lalu Kota Manado yaitu 5.853 orang (7,4%), Minahasa Utara yaitu 5.156 orang (6,6%), sedangkan yang paling sedikit ada di Bolaang Mangondow Selatan dan Mangondow Timur dengan jumlah masing-masing adalah 903 orang (1,2%) dan 741 orang (0,9%). Untuk nelayan tidak miskin terbanyak ada di Kepulauan Sangihe dengan jumlah nelayan sebanyak 1.775 orang (11%), selanjutnya di Minahasa dengan jumlah 1.403 orang (19%), diikuti oleh Bolaang Mangondow Utara yaitu 735 orang (11%), kemudian Kepulauan Sitaro yaitu 668 (8%), Bolaang Mangondow yaitu 427 orang (7%), Minahasa Selatan yaitu 380 orang (11%), Minahasa Tenggara 283 orang (10%) dan yang paling sedikit berada di Kota Bitung dan Kota Manado dengan jumlah masing-
Jumlah Rumah (dalam unit)
masing sebanyak 263 orang (2%) dan 169 orang (2%).
350 300 250 200 150 100 50 0
296
67
57 6
1
Jenis Rumah Gambar 11 Komposisi Jenis Perumahan Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
4.2
Mobilitas Nelayan Provinsi Sulawesi Utara Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara melakukan mobilitas baik secara
geografis ataupun profesi. Mobilitas geografis adalah perpindahan lokasi daerah penangkapan sampai ke desa tetangga, sedangkan mobilitas profesi adalah perpindahan dari nelayan menjadi non nelayan.
104
Identifikasi status mobilitas nelayan, baik secara geografis maupun profesi disajikan pada Tabel 5, yang terdiri dari 4 tipe mobilitas, yaitu: 1)
Nelayan tipe pertama memilih untuk berpindah-pindah mencari daerah yang baru yang sangat jauh dari desanya, tetapi tetap hidup sebagai nelayan.
2)
Nelayan tipe ke dua berpindah-pindah mencari daerah yang baru yang sangat jauh dari desanya, tetapi bukan sebagai nelayan melainkan sebagai petani dan buruh, sopir/tukang bangunan/tukang bongkar muat/ojek/petani kelapa/penjual sayur. Alasan mereka pindah profesi lain adalah untuk mencari pendapatan tambahan yang menurut mereka dapat menghidupi keluarga mereka disaat musim paceklik atau tidak ada penangkapan ikan.
3)
Nelayan tipe ke tiga memilih untuk tetap tinggal di desanya pada musim paceklik dan mereka tetap sebagai nelayan karena tidak tertarik untuk mencari profesi lain. Nelayan tipe ini mengisi kesibukannya dengan memperbaiki jaring, memperbaiki perahu dan memperbaiki mesin kapal.
4)
Nelayan tipe ke empat memilih untuk tetap tinggal di desanya pada musim paceklik, tetapi mereka bukan sebagai nelayan melainkan sebagai petani dan buruh. Alasan mereka adalah untuk mencari pendapatan tambahan. Namun keterbatasan pilihan profesi bagi mereka karena keahlian mereka yang terbatas.
Tabel 5 Karateristik mobilitas nelayan berdasarkan indikator jenis profesi dan lokasi Nelayan Lokasi lain Lokasi sama
Bukan Nelayan
1. Mobilitas geografi
2. Mobilitas geografi dan mobilitas profesi
4. Tidak mobilitas
3. Mobilitas profesi
Sumber: Hasil Olahan Data Nelayan yang bermobilitas geografi, melakukan mobilitas ke Laut Sulawesi, Australia, Laut Maluku, Laut Arafura, Sorong, Merauke, Ambon, Laut Bali, Ternate, Bunaken dan Riau (Gambar 23). Nelayan yang melakukan
105
mobilitas geografi dan mobilitas profesi berpindah ke Laut Sulawesi, Bitung, Belang, Likupang, Rontena, Bantenan, Pantai Karang dan Laut Arafura (Gambar 24). Nelayan yang tidak melakukan mobilitas geografi namun melakukan mobilitas profesi beralih profesi sebagai tukang ojek, petani kepala, tukang sayur, buruh, satpam, kuli dan kuli perahu. Nelayan yang tidak melakukan mobilitas profesi maupun geografi bertahan di daerah masing-masing yaitu di sekitar Laut Sulawesi, Kota Manado dan daerah sekitar Pantai Karang. Adapun arah/tujuan nelayan yang bermobilitas dapat dilihat pada Gambar 12. Keadaan sosial dan keadaan perikanan di Provinsi Sulawesi Utara memiliki ciri masing-masing untuk setiap tipenya, hal tersebut bergantung pada keadaan di desa asal mereka. Berikut disajikan tabel karakteristik keadaan sosial dan perikanan nelayan yang bermobilitas di Provinsi Sulawesi Utara (Tabel 6). Tabel 6 Karakteristik nelayan berdasarkan tipe mobilitas di Provinsi Sulawesi Utara Tipe nelayan Mobilitas Mobilitas Tidak Mobilitas geografi dan profesi mobilitas Ciri-ciri geografi profesi nelayan Keadaan Sosial Usia Pengalaman melaut Rumah Keperluan sandang Jumlah Tanggungan Keluarga Pendidikan Frekuensi Makan/Hari Keadaan Perikanan Alat tangkap
Jenis Ikan Tangkapan
Jumlah tangkapan/trip Pendapatan/bulan
30-60 tahun 5-30 tahun semi permanen 1-2 kali/Tahun
20-60 tahun 5-30 tahun permanen 1-2 kali/Tahun
20-65 tahun 5-30 tahun Papan 1-2 kali/Tahun
20-65 tahun 5-30 tahun Permanen 1-2 kali/Tahun
3 Orang SD, SMP
2 Orang SD, SMP, SMA
3 Orang SD
4 Orang SMP, SMA
3 kali
3 kali
3 kali
3 kali
pancing dasar
pukat cincin pancing ulur soma dampar soma paka-paka jubi Deho, Cakalang, Malalugis dan Tude
pajeko pancing pukat hand line jubi Kerapu, Malalugis, Baronang, Demersal, Goropa, Bobara, Tude, Kakap, Deho, ikan kuwe, Suntung, Cakalang, ikan dasar
pukat cincin mini purse seine pancing ulur soma paka-paka
70 kg – 2,5 ton Rp.250.0001.250.000
20 kg Rp. 250.000750.000
50 kg – 4 ton Rp. 250.000750.000
Kakap, Blambangan, Kerapu, Ekor Kuning, Gerot, Bobara, Kursi Bali, Cakalang, Malalugis dan Tude 2 ton – 35 ton Rp.250.0001.250.000
Sumber: Hasil Olahan Data
Deho, Cakalang, Malalugis dan Tude
106
Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa nelayan di Provinsi Sulawesi Utara mengadakan mobilitas ke berbagai daerah yaitu Maluku, Laut Arafura, Sorong, Merauke, Ternate, Papua, Bunaken, Riau, Tagulandang, Sitaro, Manado, Siau, Sangihe, Talaud, Batam, Poigar, Kema, Bitung, Likupang, Rotena, Bentenan, Maluku/Arafura,
Maluku/Tual/Papua,
Maluku/Arafura/Bali,
Maluku/Ambon,
Likupang/Rotena,
Likupang/Bentenan,
Bali/Arafura, Kema/Belang,
Kema/Bitung/Belang dan Tagulandang/Sitaro.
Tipe Mobilitas
Mobilitas Geografi
Mobilitas geografi
Bunaken, Ternate, Tual, Laut Arafura, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Sorong, Merauke,Riau, Laut Bali
Mobilitas geografi, Mobilitas Profesi
Laut Sulawesi, Bitung, Belang, Likupang, Rontena, Bantenan, Pantai Karang dan Laut Arafura
Mobilitas Profesi
Ojek, petani kepala, tukang sayur, buruh, satpam, kuli dan kuli perahu
Mobilitas profesi
Petani, Buruh Bangunan, Tukang bongkar muat, Ojek, Sopir, Kuli dan Penjual sayuran
Tidak mobilitas
Gambar 12 Arah/tujuan mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Nelayan yang melakukan mobilisasi geografi umumnya berpindah ke daerah yang jauh dari desanya yaitu Maluku, Laut Arafura, Ternate, bahkan
107
sampai ke Papua dan Bali (Gambar 13). Nelayan tersebut melakukan perpindahan dikarenakan musim di tempat mereka biasanya melaut paceklik ataupun keadaan geografis di perairan tersebut tidak mendukung untuk melakukan penangkapan ikan. Nelayan Sulawesi Utara melakukan mobilisasi ke suatu lokasi tertentu tetapi ada beberapa nelayan yang akan kembali ke tempat awal mereka melakukan penangkapan apabila keadaan musim penangkapan sudah kembali normal, tetapi ada pula nelayan yang tidak kembali ke Sulawesi. Hal ini disebabkan nelayan tersebut lebih banyak mendapatkan pendapatan sehingga mereka menetap di lokasi baru.
Jumlah nelayan (orang)
25
21
21
20 15 10 5
8
8 3 1
1
3
3
1
0
Tujuan Mobilisasi Gambar 13 Komposisi Tujuan Mobilisasi dan Jumlah nelayan yang melakukan mobilitas geografi Komposisi jumlah sampel nelayan yang melakukan mobilitas baik geografi maupun mobilitas profesi berdasarkan daerah tujuan disajikan pada Tabel 7. Nelayan tipe mobilitas geografi ada 21 nelayan yang bermobilitas ke Maluku, 21 nelayan yang bermobilitas sampai ke Laut Arafura, 8 nelayan yang bermobilitas ke Sorong, 8 nelayan yang bermobilitas ke Merauke, 1 nelayan yang bermobilitas ke Ternate, 1 nelayan yang bermobilitas ke Papua, 30 nelayan yang pernah bermobilitas ke 2 daerah yaitu Maluku dan Arafura, kemudian ada 3 nelayan yang pernah bermobilitas ke 3 daerah yaitu Maluku, Tual dan bali, lalu ada 1 nelayan yang pernah bermobilitas ke 3 tempat yaitu Maluku, Arafura dan Bali, ada juga nelayan yang pernah bermobilitas ke 2 daerah yaitu Bali dan
108
Arafura sebanyak 3 orang nelayan dan ke Maluku dan Ambon ada 3 orang nelayan (Gambar 13). Selanjutnya, nelayan yang bermobilitas geografi dan profesi ada 7 nelayan yang bermobilitas dengan tujuan Sorong, 36 nelayan dengan tujuan Manado, 11 nelayan ke Merauke, 19 nelayan ke Bitung, 13 nelayan ke Papua dan 14 nelayan
Jumlah nelayan (orang)
ke Batam (Gambar 14). 40 35 30 25 20 15 10 5 0
36
19 14
13
11 7
Tujuan Mobilisasi
Jumlah nelayan (orang)
Gambar 14 Komposisi tujuan mobilisasi dan jumlah nelayan yang melakukan mobilitas geografi tipe mobilitas geografi dan mobilitas profesi
60 50 40 30 20 10 0
54
19 6
8
9 3
1
Perubahan profesi Gambar 15 Komposisi nelayan yang bermobilitas profesi pada tipe mobilitas geografi dan mobilitas profesi Berdasarkan Gambar 15, nelayan yang memilih menjadi petani ketika musim paceklik atau musim tidak ada ikan, sebanyak 54 nelayan, profesi yang paling sedikit diminati nelayan adalah penjual sayur, hal tersebut dapat terlihat
109
pada jumlah nelayan yang melakukan perubahan profesi menjadi penjual sayur hanya berjumlah 1 orang. Jumlah nelayan yang melakukan mobilitas profesi dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Nelayan tipe mobilitas profesi lebih dominan di lokasi pantai karang. Lokasi Kema Bitung, Rotena dan Bantenan merupakan lokasi yang paling
Jumlah nelayan (orang)
sedikit dikunjung oleh nelayan.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
68
3
2
5
3
7
3
2
Tujuan Mobilisasi
Jumlah nelayan (orang)
Gambar 16 Komposisi Tujuan Mobilisasi dan Jumlah nelayan yang bermobilitas profesi
35 30 25 20 15 10 5 0
32
18 14
15
13 5 2
1
Perubahan profesi Gambar 17 Mobilitas profesi nelayan Nelayan yang melakukan mobilitas profesi lebih dominan memilih sebagai buruh bangunan yaitu sebesar 32%. Mobilitas profesi yang paling sedikit adalah pedagang. Hal ini dikarenakan profesi pedagang membutuhkan modal yang cukup besar.
110
Tabel 7 Komposisi jumlah nelayan (orang) yang melakukan mobilitas geografi dari Provinsi Sulawesi Utara Daerah Tujuan Maluku Laut Sulawesi Laut Arafura Sorong Merauke Ternate Papua Bunaken Riau Tagulandang Sitaro Manado Siau Sangihe Talaud Batam Poigar Kema Bitung Likupang Rotena Bentenan Maluku/Arafura Maluku/Tual/Papua Maluku/Arafura/Bali Bali/Arafura Maluku/Ambon Likupang/Rotena Likupang/Bentenan Kema/Belang Kema/Bitung/Belang Tagulandang/Sitaro TOTAL Profesi Petani Buruh Bangunan Tukang Bogkar Muat Ojek Sopir Penjual Sayur Kuli Pedagang Abstein TOTAL
Sumber: Hasil Olahan Data
Jumlah Nelayan Jumlah nelayan (orang) (Orang) Mobilitas geografi dan Mobilitas geografi mobilitas profesi 21 0 0 0 21 0 8 7 8 11 1 0 1 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36 0 0 0 0 0 0 0 14 0 0 0 0 0 19 0 0 0 0 0 0 30 0 3 0 1 0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 Jumlah(Orang) nelayan (orang) Jumlah Nelayan Mobilitas geografi Mobilitas profesi dan mobilitas profesi 54 14 19 32 6 15 8 18 3 5 1 2 9 13 0 1 2 0 100 100
111
4.3
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan dan dampak
yang diakibatkan oleh mobilitas profesi nelayan dapat dilihat pada hasil analisis Structural Equation Modelling (SEM) sebagaimana disajikan pada Gambar 18. Namun demikian, analisis SEM tahap satu ini masih belum sesuai dengan kriteria kesesuaian model SEM. Hal ini disebabkan karena indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian model (goodness of fit) belum memenuhi kriteria yang berlaku (bad fit) sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan nilai P-hitung = 0,00000 < 0,05, nilai root mean square error of approximation (RMSEA) = 0,110 > 0,08 dan nilai comparative fit index (CFI) = 0,46 < 0,90. Kondisi tersebut menunjukkan model yang diuji tidak mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi atau hasil estimasi parameter model tidak dapat diberlakukan pada populasi penelitian, dengan demikian hasil pengujian kesesuaian model menunjukkan model pengukuran tidak fit dengan data, maka model perlu diperbaiki. Tabel 8 Hasil Kriteria Kesesuaian Model SEM tahap 1 Cutt-offGoodness-of-Fit Value Chi-square
Keterangan
1695.94
Bad Fit
779
Bad Fit
0.0000
Bad Fit
0,08
0.111
Bad Fit
0,90 0,90 0,90
0.61 0.58 0.46
Bad Fit Bad Fit Bad Fit
Kecil Sebaiknya lebih besar dari (χ2) 0,05
Degree of Freedom (df) Significance Probability(P-value) RMSEA(Root Mean square Error Approximation) GFI(Goodness of Fit) AGFI(Adjusted Goodness of Fit Index) CFI (Comparative Fit Index)
Hasil
of
Sumber: Hasil Olahan Data Hair et al. dalam Kusnendi (2008) menyatakan apabila pada model ditemukan ada indikator yang tidak valid, maka indikator tersebut didrop atau dikeluarkan dari model pengukuran. Artinya, model pengukuran diperbaiki dan koefisien bobot faktor diestimasi ulang.
112
X1.1
0,07
X1.2
0
X1.3
0,02
X1.4
0,09
X1.5
0,03 0,35
X1.6 X1.7
0,09
X1
Keterangan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian: Y = Status Nelayan X1 = Mobilitas geografi X2 = Mobilitas geografi dan mobilitas profesi X3 = Mobilitas profesi X4 = Tidak melakukan mobilitas profesi dan lokasi
0,10
X1.8
0,51
X1.9
0,08
X1.10
X2.1
0,01
X2.2
0,07
X2.3
0,08
X2.4
0,23
X2.5
0,03
X2.6
X2.8
0,52 0,19 0,10 0,39
X2.9
0,10
X2.7
X1.1 = Aspek pendidikan X1.2 = Aspek prestise kerja X1.3 = Aspek umur X1.4 = Aspek pengalaman kerja X1.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X1.6 = Aspek Pendapatan X1.7 = Aspek Persediaan ikan X1.8 = Aspek Kejenuhan X1.9 = Aspek Modal X1.10= Aspek Profesi yang terlalu berat
X2
X2.10
Y X3.1
0,05
X3.2
0,03
X3.3 X3.4
0,02 0,50
X3.5
0,12
X3.6
0,47
X3.7
X3
0,1 0,14
X3.8
0,83
X3.9
0,07
X3.10
X4.1
0,09
X4.2
0,07
X4.3
0,07
X4.4
0,10
X4.5
0,10
X4.6
0,04 0,1
X4.7
X4
X2.1 = Aspek pendidikan X2.2 = Aspek prestise kerja X2.3 = Aspek umur X2.4 = Aspek pengalaman kerja X2.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X2.6 = Aspek Pendapatan X2.7 = Aspek Persediaan ikan X2.8 = Aspek Kejenuhan X2.9 = Aspek Modal X2.10= Aspek Profesi yang terlalu berat X3.1= Aspek pendidikan X3.2= Aspek prestise kerja X3.3 = Aspek umur X3.4 = Aspek pengalaman kerja X3.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X3.6 = Aspek Pendapatan X3.7 = Aspek Persediaan ikan X3.8 = Aspek Kejenuhan X3.9 = Aspek Modal X3.10= Aspek Profesi yang terlalu berat X4.1 = Aspek pendidikan X4.2 = Aspek prestise kerja X4.3 = Aspek umur X4.4 = Aspek pengalaman kerja X4.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X4.6 = Aspek Pendapatan X4.7 = Aspek Persediaan ikan X4.8 = Aspek Kejenuhan X4.9 = Aspek Modal X4.10= Aspek Profesi yang terlalu berat
0,11
X4.8
0,61
X4.9
0,10
X4.10
Gambar 18 Estimasi model non-fit Suatu indikator dikatakan valid dan reliable mengukur variabel latennya apabila secara statistik koefisien bobot faktor nyata pada tingkat kesalahan sebesar
113
0,05 (5%) dan besarnya estimasi koefisien bobot faktor masing-masing indikator tidak kurang dari 0,40 atau 0,50. Selanjutnya, mengacu pada kedua kriteria tersebut, maka kemudian dengan analisis SEM lanjutan untuk perbaikan model, model yang sudah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 19. X1.6
0,26
X1.7
0,26 0,11
X1.8
0,06
X1.9
X1
Keterangan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian: Y = Status Nelayan X1= Mobilitas geografi X2 = Mobilitas geografi dan mobilitas profesi X3 = Mobilitas profesi X4 = Tidak melakukan mobilitas profesi dan lokasi
0,33
0,17 X2.4
0,33
X2.6
0,42
X2.7
0,27 0,48
X2 0,08
X2.9
X3.4 X3.5
Y 0,69
0,49
X3.6 X3.7 X3.8
0,21
0,16
X3
0,21 0,19
0,19
0,62
X3.9 X3.4
0,20
X3.5
0,20
X3.6
0,47
X4
X1.6 = Aspek Pendapatan X1.7 = Aspek Persediaan ikan X1.8 = Aspek Kejenuhan X1.9 = Aspek Modal X2.4 = Aspek pengalaman kerja X2.6 = Aspek Pendapatan X2.7 = Aspek Persediaan ikan X2.9 = Aspek Modal X3.4 = Aspek pengalaman kerja X3.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X3.6 = Aspek Pendapatan X3.7 = Aspek Persediaan ikan X3.8 = Aspek Kejenuhan X3.9 = Aspek Modal X4.4 = Aspek pengalaman kerja X4.5= Aspek jumlah tanggungan keluarga X4.6 = Aspek Pendapatan X4.7 = Aspek Persediaan ikan X4.8 = Aspek Kejenuhan X4.9 = Aspek Modal
0,21
X3.7 0,17
X3.8 0,51
X3.9
Gambar 19 Estimasi model fit
Gambar 19 menunjukkan model hasil analisis SEM tahap 2 yang sudah sesuai dengan kriteria kesesuaian. Hasil uji kebermaknaan terhadap masingmasing estimasi parameter model faktor-faktor/komponen yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan semuanya nyata pada tingkat kesalahan 0.05. Status nelayan dipengaruhi oleh beberapa tipe nelayan yaitu mobilitas geografi (X1),
114
mobilitas geografi dan mobilitas profesi (X2), mobilitas profesi (X3) dan tidak melakukan mobilitas apapun, baik profesi maupun geografi (X4). Hasil uji kesesuaian model memberikan nilai statistik chi-square sebesar 140,32 dengan derajat kebebasan 159 dengan nilai P-hitung 0,85405 yang lebih besar dari 0,05; nilai RMSEA 0,000 lebih kecil dari 0,08 serta nilai CFI 1,00 lebih besar dari 0,90 dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model yang diusulkan fit dengan data. Hasil SEM menunjukkan bahwa estimasi koefisien bobot faktor seluruhnya nyata pada tingkat kesalahan 5% dengan nilai koefisien bobot faktor yang distandarkan seluruhnya lebih besar dari nilai minimal yang disyaratkan sebesar 0.05. Selanjutnya kriteria kesesuaian model SEM tahap 2 yang telah mengalami modifikasi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil Kriteria Kesesuaian Model SEM tahap 2 Goodness-of-Fit
Cutt-off-Value
Hasil
Keterangan
Chi-square
Kecil Sebaiknyalebih besar dari (χ2)
140.32
Good Fit
159
Good Fit
0.85405
Good Fit
0.078
Good Fit
0,08
0.000
Good Fit
0,90
0.93
Good Fit
AGFI(Adjusted Goodness of Fit Index)
0,90
0.90
Good Fit
CFI (Comparative Fit Index)
0,90
1.00
Good Fit
Degree of Freedom (df) Significance Probability(P-value) RMR(Root Mean Square Residual) RMSEA(Root Mean square Error Approximation) GFI(Goodness of Fit)
0,05 0,05 atau of
0,1
Sumber: Hasil Olahan Data Variabel-variabel yang mempengaruhi X1, X2, X3 dan X4 berbeda-beda sesuai keadaan/situasi daerah perairan tersebut. Variabel tersebut dapat disajikan lengkap dengan persamaan stukturalnya, yaitu: 1)
Mobilitas nelayan (X1), yaitu nelayan yang melakukan mobilitas geografi dipengaruhi oleh pendapatan (X1.6) persediaan ikan (X1.7) kejenuhan (X1.8) dan modal (X1.9). Persamaan struktural yang menunjukkan keterkaitan antara nelayan tipe mobilitas geografi terhadap variabel-variabel/faktorfaktor yang mempengaruhinya adalah X1 = 0,26 X1.6 + 0,11 X1.7 + 0,06 X1.8 + 0,33 X1.9
115
2)
Mobilitas nelayan (X2), yaitu nelayan yang melakukan mobilitas geografi dan mobilitas profesi dipengaruhi oleh aspek pengalaman kerja (X2.4) pendapatan (X2.6) persediaan ikan (X2.7) dan modal (X2.9). Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap mobilitas geografi dan mobilitas profesi dengan nilai T-hit sebesar 0,26. Persamaan stuktural antara X2.4, X2.6, X2.7 dan X2.9 terhadap tipe mobilitas geografi dan mobilitas profesi adalah X2 = 0,33 X2.4 + 0,42 X2.6 + 0,27 X2.7 + 0,48 X2.9
3)
Mobilitas nelayan (X3), yaitu nelayan yang melakukan mobilitas profesi dipengaruhi oleh aspek pengalaman kerja (X3.4) aspek jumlah tanggungan keluarga (X3.5) pendapatan (X3.6) persediaan ikan (X3.7) kejenuhan (X3.8) dan modal (X3.9). Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap tipe mobilitas profesi dengan nilai T-hit sebesar 0,04. Persamaan stuktural antara X3.4, X3.5, X3.6, X3.7, X3.8 dan X3.9 terhadap mobilitas tipe mobilitas profesi adalah X3 = 0,69 X3.4 + 0,16 X3.5 + 0,49 X3.6 + 0,21 X3.7 + 0,19 X3.8 + 0,62 X3.9
4)
Mobilitas nelayan (X4), yaitu nelayan yang tidak melakukan mobilitas profesi dan geografi dipengaruhi oleh aspek pengalaman kerja (X4.4) aspek jumlah tanggungan keluarga (X4.5) pendapatan (X4.6) persediaan ikan (X4.7)
kejenuhan
(X4.8)
dan
modal
(X4.9).
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi secara signifikan terhadap mobilitas nelayan tipe tidak mobilitas dengan nilai T-hit sebesar 0,32. Persamaan stuktural antara X4.4, X4.5, X4.6, X4.7, X4.8 dan X4.9 terhadap mobilitas tipe tidak mobilitas adalah X4 = 0,20 X4.4 + 0,20 X4.5 + 0,47 X4.6 + 0,21 X4.7 + 0,17 X4.8 + 0,51 X4.9 4.4
Dampak yang diakibatkan oleh mobilitas nelayan Dampak yang diakibatkan oleh mobilitas nelayan terhadap status nelayan,
baik secara profesi maupun geografi dapat dicerminkan dalam Tabel 10. Berdasarkan tabel tersebut dapat kita simpulkan untuk setiap tipe nelayan apakah faktor-faktor yang terpapar sebelumnya berpengaruh banyak atau tidak terhadap pendapatan nelayan itu sendiri yang nantinya akan merubah status para nelayan.
116
Tabel 10 Dampak X1, X2, X3, X4 terhadap Y Tipe Koefisien |T-Hitung| Nelayan Konstruk X1 X2 X3 X4
0,02 0,37 0,02 0,57
0,05 0,26 0,04 0,32
T-table 1.96 1.96 1.96 1.96
Keterangan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan
Sumber: Hasil Olahan Data Hasil uji kebermaknaan terhadap masing-masing estimasi parameter model struktural faktor persepsi semuanya nyata pada tingkat kesalahan 0,05 dengan estimasi prsamaan struktural sebagai berikut: X1 = 0,26 X1.6 + 0,11 X1.7 + 0,06 X1.8 + 0,33 X1.9 1) Jika pendapatan (X1.6) naik 1 satuan maka mobilitas geografi (X1) akan meningkat 0,26. 2) Jika persediaan ikan (X1.7) naik 1 satuan maka mobilitas geografi (X1) akan meningkat 0,11. 3) Jika kejenuhan (X1.8) naik 1 satuan maka mobilitas geografi (X1) akan meningkat 0,06. 4) Jika modal (X1.9) naik 1 satuan maka mobilitas geografi (X1) akan meningkat 0,33. X2 = 0,33 X2.4 + 0,42 X2.6 + 0,27 X2.7 + 0,48 X2.9 1) Jika aspek pengalaman kerja (X2.4) naik 1 satuan maka mobilitas geografi dan profesi (X2) akan meningkat 0,33. 2) Jika pendapatan (X2.6) naik 1 satuan maka mobilitas geografi dan profesi (X2) akan meningkat 0,42. 3) Jika persediaan ikan (X2.7) naik 1 satuan maka mobilitas geografi dan profesi (X2) akan meningkat 0,27. 4) Jika modal (X2.9) naik 1 satuan maka mobilitas geografi dan profesi (X2) akan meningkat 0,29. X3 = 0,69 X3.4 + 0,16 X3.5 + 0,49 X3.6 + 0,21 X3.7 + 0,19 X3.8 + 0,62 X3.9 1) Jika aspek pengalaman kerja (X3.4) naik 1 satuan maka mobilitas profesi (X3) akan meningkat 0,69. 2) Jika aspek jumlah tanggungan keluarga (X3.5) naik 1 satuan maka mobilitas profesi (X3) akan meningkat 0,16.
117
3) Jika pendapatan (X3.6) naik 1 satuan maka mobilitas profesi (X3) akan meningkat 0,49. 4) Jika persediaan ikan (X3.7) naik 1 satuan maka mobilitas profesi (X3) akan meningkat 0,21. 5) Jika kejenuhan (X3.8) naik 1 satuan maka mobilitas profesi (X3) akan meningkat 0,19. 6) Jika modal (X3.9) naik 1 satuan maka mobilitas profesi (X3) akan meningkat 0,62. X4 = 0,20 X4.4 + 0,20 X4.5 + 0,47 X4.6 + 0,21 X4.7 + 0,17 X4.8 + 0,51 X4.9 1) Jika aspek pengalaman kerja (X4.4) naik 1 satuan maka tidak mobilitas profesi dan goegrafi (X4) akan meningkat 0,20. 2) Jika jumlah tanggung keluarga (X4.5) naik 1 satuan maka tidak mobilitas profesi dan goegrafi (X4) akan meningkat 0,20. 3) Jika pendapatan (X4.6) naik 1 satuan maka tidak mobilitas profesi dan goegrafi (X4) akan meningkat 0,47. 4) Jika persediaan ikan (X4.7) naik 1 satuan maka tidak mobilitas profesi dan goegrafi (X4) akan meningkat 0,21. 5) Jika kejenuhan (X4.8) naik 1 satuan maka tidak mobilitas profesi dan goegrafi (X4) akan meningkat 0,17. 6) Jika modal (X4.9) naik 1 satuan maka tidak mobilitas profesi dan goegrafi (X4) akan meningkat 0,51. Untuk nelayan tipe mobilitas geografi (X1), didapatkan hasil T-hitung = 0,05 , mengartikan bahwa tidak signifikan dalam pengertian bahwa tidak ada dampak yang diakibatkan oleh mobilisasi terhadap status mereka. Begitu juga dengan mobilitas geografi dan profesi (X2) didapatkan hasil T-hitung = 0,26 mengartikan bahwa tidak signifikan dalam pengertian bahwa tidak ada dampak yang diakibatkan oleh mobilisasi terhadap status mereka. Sedangakan hasil dari mobilitas profesi (X3), dimana T-hit = 0,04 juga mengisyaratkan bahwa hubungan ini tidak signifikan dalam arti tidak ada dampak yang diakibatkan dari bermobilisasinya mereka. Selanjutnya untuk nelayan tipe tidak mobilitas (X4) dengan T-hitung = 0,32 memberi makna bahwa juga tidak signifikan dalam pengertian bahwa dengan tinggalnya mereka di desa asal dan tidak berpindah
118
profesi atau tetap sebagai nelayan juga tidak memberikan hasil yang lebih baik dari keadaan mereka yang selama ini dijalani. 4.5
Solusi Strategis untuk Mempercepat Alih Status Nelayan Ke arah yang Lebih Baik Untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik,
diperlukan suatu solusi yang strategis, yang merupakan hasil analisis SWOT. Analisis SWOT dilakukan dengan cara mengidentifiksi faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam merumuskan kebijakan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matriks strategi eksternal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan disajikan melalui Tabel 11. Tabel 11 Matriks strategi eksternal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik Faktor Eksternal Peluang: Mengadopsi teknologi baru Potensi sumber daya ikan belum dimanfaatkan secara optimal Peningkatan kualitas alat penangkapan ikan Dukungan pemerintah daerah untuk meningkatkan usaha perikanan Ancaman: Sistem bagi hasil Adanya tengkulak Illegal fishing Kejenuhan dalam pekerjaan Pengrusakan habitat perairan pada saat penangkapan ikan Total
Bobot
Rating
Score
0,15
4
0.60
0,20 0,20
4 4
0,80 0,80
0,25
3
0,75
0,02 0,05 0,05 0,05
2 2 2 1
0,04 0,10 0,05 0,05
0,03 1,00
1
0,03 3,17
Sumber: Hasil Olahan Data Berdasarkan Tabel 11, strategi eksternal memiliki peluang dan ancaman untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Adapun unsur peluang meliputi perkembangan pesat teknologi penangkapan yang lebih efektif dan efisien. Sehubungan dengan berjalannya waktu, banyak ahli yang menemukan
119
alat-alat yang canggih dalam kegiatan penangkapan ikan seperti global positioning system dan echo-saunder. Nelayan memiliki peluang lain seperti dukungan penuh dari pemerintah dalam pengembangan usaha perikanan tangkap, meningkatnya alat penangkapan ikan dan perluasan daerah penangkapan ikan yang produktif melalui pengetahuan tentang daerah penangkapan ikan. Pengetahuan mengenai daerah penangkapan ikan yang semakin meningkat membuat nelayan akan semakin efektif dan efisien dalam penangkapan ikan. Semakin besarnya peluang yang dilaksanakan maka semakin cepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Sementara itu, unsur ancaman meliputi adanya illegal fishing yang semakin marak memasuki daerah wilayah penangkapan nelayan-nelayan setempat, ketidakmampuan nelayan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang merugikan nelayan, batas-batas penangkapan belum diterapkan, kurangnya modal dan tidak adanya kepercayaan dari penyandang dana (seperti Bank). Kurangnya pengetahuan nelayan dalam peminjaman modal ke Bank sehingga mereka melakukan peminjaman dengan rentenir dengan bunga yang besar. Apabila ancaman tersebut dapat dikendalikan dengan peluang yang ada maka status nelayan akan lebih baik. Strategi internal berupa strategi untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Matriks strategi internal solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik Faktor Internal Kekuatan: Keinginan kuat nelayan untuk merubah status Faktor penarik dan pendorong untuk mobilitas Jumlah nelayan skala kecil masih cukup banyak Pengalaman kerja (melaut) yang cukup baik Kelemahan: Alih profesi dan lokasi Pendapatan nelayan yang minim Faktor budaya masyarakat nelayan Rendahnya teknologi penangkapan Ketidakmampuan memprotes kebijakan pemerintah Peraturan pemerintah yang sulit diterapkan Total
Sumber: Hasil Olahan Data
Bobot
Rating
Score
0,15 0,15
4 4
0,60 0,60
0,10 0,05
4 3
0,40 0,15
0,15 0,05 0,05 0,15
3 2 2 1
0,45 0,10 0,10 0,30
0,10 0,05 1,00
1 1
0,10 0,05 2,85
120
Keinginan kuat nelayan untuk merubah status, faktor penarik dan pendorong untuk mobilitas, jumlah nelayan skala kecil masih cukup banyak dan pengalaman kerja (melaut) yang cukup baik merupakan kekuatan dalam rangka perubahan status nelayan ke arah yang lebih baik. Perairan Sulawesi Utara memiliki sumber daya perikanan yang potensial sehingga masih dapat dieksploitasi dengan baik. Sehingga apabila kekuatan yang ada pada nelayan Provinsi Sulawesi Utara dipertahankan ataupun ditingkatkan maka status nelayan Provinsi Sulawesi Utara akan semakin baik. Alih profesi dan lokasi, pendapatan nelayan yang minim, faktor budaya masyarakat nelayan, rendahnya teknologi penangkapan, ketidakmampuan memprotes kebijakan pemerintah, peraturan pemerintah yang sulit diterapkan merupakan unsur kelemahan dalam rangka perubahan status nelayan ke arah yang lebih baik. Adapun hasil identifikasi faktor internal dan eksternal (IE) berada pada kuadran pertama. Kondisi peluang dan kekuatan dengan skor yang lebih tinggi sehingga rekomendasi strategi yang diberikan adalah progresif, dimana dengan kondisi tersebut dapat mengubah status nelayan menjadi lebih baik. Strategi SO dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan dan peluang yang tersedia di Provinsi Sulawesi Utara untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Sedangkan strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. Mengenai strategi WO diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi WT didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Matriks strategi ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki yang membutuhkan kebijakan untuk diimplementasikan seperti Tabel 13.
121
Tabel 13 Pilihan strategi untuk mempercepat alih status nelayan diProvinsi Sulawesi Utara IFAS
Kekuatan: ¾ Keinginan kuat nelayan untuk merubah status ¾ Faktor penarik dan pendorong untuk mobilitas ¾ Jumlah nelayan skala kecil masih cukup banyak ¾ Pengalaman kerja (melaut) yang cukup baik
EFAS Peluang: ¾ Mengadopsi teknologi baru ¾ Potensi sumber daya ikan belum dimanfaatkan secara optimal ¾ Dukungan pemerintah daerah untuk meningkatkan usaha perikanan ¾ Peningkatan kualitas alat penangkapan ikan
Strategi SO ¾ Menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru ¾ Membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil
Ancaman: ¾ Sistem bagi hasil yang merugikan nelayan skala kecil ¾ Adanya tengkulak ¾ Illegal fishing ¾ Kejenuhan dalam pekerjaan ¾ Pengrusakan habitat perairan pada saat penangkapan ikan
Strategi ST ¾ Meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini
Sumber: Hasil Olahan Data
Kelemahan: ¾ Alih profesi dan lokasi ¾ Pendapatan nelayan yang minim ¾ Faktor budaya masyarakat nelayan ¾ Rendahnya teknologi penangkapan ¾ Ketidakmampuan memprotes kebijakan pemerintah ¾ Peraturan pemerintah yang sulit diterapkan Strategi WO ¾ Pemerintah memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal ¾ Pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan Strategi WT ¾ Memberi sanksi keras bagi oknum yang melakukan illegal fishing demi keuntungan pribadi
122
5 PEMBAHASAN
5.1
Kondisi Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
5.1.1
Karakteristik nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara Alih status secara keseluruhan baik sosial maupun ekonomi diperlukan
bagi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara demi menaikan pendapatan dan kesejahteraan nelayan beserta keluarganya, agar mereka terlepas dari belenggu kemiskinan, mampu mengelola usaha perikanannya dengan lebih baik. Namun, dengan karakteristik nelayan di Provinsi Sulawesi Utara diantaranya kurangnya modal untuk pengembangan usaha perikanan, persaingan ketat di daerah penangkapan ikan yang sering menyebabkan konflik, sikap mental yang sulit untuk menerima inovasi teknologi baru, pemahaman ecosystem approach yang kurang memadai pada saat melakukan penangkapan ikan, sistem bagi hasil yang tidak berpihak kepada nelayan skala kecil dan lain sebagainya. Karakteristik-karakteristik tersebut menyebabkan proses alih status nelayan di Provinsi Sulawesi Utara menjadi sulit, maka dari itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendorong terjadinya/mempercepat alih status ke arah yang lebih baik. Salah satu ciri nelayan skala kecil menurut Pollnac (1988) yaitu menggunakan armada penangkapan ikan yang berukuran relatif kecil yang digerakkan dengan tenaga penggerak seperti dayung dan layar dan beberapa dengan motor tempel bertenaga kecil (ketinting 8 PK, motor tempel 15 PK dan 25 PK), dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang berukuran kecil dan relatif sederhana dengan biaya murah. Berdasarkan tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional (Kusnadi 2002). Bertolak dari pendapat kedua pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara termasuk nelayan skala kecil. Selanjutnya, istilah nelayan tradisional menurut Katiandigho et al. (1994) adalah orang yang melakukan penangkapan ikan menurut kebiasaan nenek moyangnya. Mereka belum
123
menerapkan teknologi baru yang lebih baik dan semata-mata bekerja menurut pembawaan dengan teknologi seadanya sesuai dengan yang diperoleh dari pengalaman nenek moyangnya. Nelayan tradisional ini mempunyai arti dan peranan yang sangat besar bagi perikanan Indonesia, karena walaupun mereka masih tergolong tradisional tapi mereka sudah bisa menambah pemasukan devisa negara walaupun hanya sedikit. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini antara lain mengenai taraf hidup yang masih rendah, masih bergelut dengan teknologi yang masih sederhana terutama menyangkut usaha-usaha peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional yang belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kemampuan untuk meningkatkan usaha karena pendidikan dan pengetahuan yang belum memadai. Secara umum menurut Kusnadi yang disebut nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dalam arti alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Berbeda dengan nelayan modern yang acapkali mampu merespons perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi overfishing, nelayan tradisional seringkali justru mengalami proses marginalisasi dan menjadi korban dari program pembangunan dan modernisasi perikanan yang sifatnya a-historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (inshore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip). Beberapa contoh nelayan yang termasuk tradisional adalah nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang dan nelayan teri nasi (Kusnadi 2002). Keadaan seperti ini juga dapat kita lihat di Provinsi Sulawesi Utara dimana masih banyak nelayan yang menggunakan perahu-perahu tradisional seperti jukung, ketinting, londe, pelang, bolotu ataupun perahu motor tempel seperti yang sudah diuraikan pada Gambar 8 sebelumnya.
124
Nelayan tradisional merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, disamping kepemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan relatif rendah dan miskin, umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor, dengan alat tangkap yang sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya
dengan
nelayan
modern
atau
non-tradisional,
sebagai
penyederhanaan gambaran klasik sistem ekonomi dualistik (Bailey dan Zerner 1992). Kondisi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara sangat memprihatinkan. Mereka masih terjerat oleh kemiskinan, baik kemiskinan kultural, struktural terlebih lagi kemiskinan ekonomi. Apabila berbicara tentang nelayan, selalu terbayang dibenak sebuah komunitas masyarakat yang miskin, kukuh, terbelakang, tidak berpendidikan dan tidak sehat (FPIK-IPB 2009). Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu. Pendapat Panayotou ini dijelaskan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang dengan memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Way of life sangat sukar dirubah. Maka itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya. Secara lebih rinci, ciri-ciri usaha nelayan tradisional yaitu: 1) teknologi penangkapan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas dan perahu dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber PK kecil; 2) besaran modal usaha terbatas; 3) jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang, dengan pembagian peran bersifat kolektif (non-spesifik) dan umumnya berbasis kerabat, tetangga dekat dan/atau teman dekat; dan 4) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari (Kusnadi 2002).
125
5.1.2
Tipe dan jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
Tipe nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dikategorikan atas 3 jenis yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan tambahan yang jumlahnya secara keseluruhan hampir sama namun angka terbanyak untuk status nelayan penuh terdapat di Kota Bitung dan Kabupaten Kepulauan Sangihe demikian juga dengan nelayan sambilan utama dan sambilan tambahan dan jumlah terkecil yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur karena kedua kabupaten tersebut baru saja mengalami pemekaran pada tahun 2010. Sumber daya perikanan di Provinsi Sulawesi Utara lebih dari cukup untuk memperkaya para nelayan sehingga dapat menjadikan mereka sebagai nelayan pemilik, tetapi sebaliknya nelayan kurang mengeksploitasi sumber daya perikanan yang ada. Dominasi nelayan penuh disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah kurangnya pendidikan, kurangnya keahliah di bidang lain dan menjadi nelayan adalah profesi turun temurun, meskipun demikian, umumnya mereka mengaku bangga menjadi nelayan. Nelayan yang umumnya rendah pendidikan dan pengetahuan ini hanya memikirkan tentang kebutuhan hari ini dan cara memenuhinya, biasanya mereka tidak memikirkan tentang hari esok, padahal hari esok memiliki masalah dan kesusahan tersendiri (Nikijuluw 2008). Untuk dominasi jumlah nelayan terdapat di Kota Bitung dan Sangihe hal tersebut dikarenakan beberapa hal diantaranya karena Kota Bitung adalah kota industri, industri perikanan, kota pelabuhan, yang menyebabkan profesi nelayan menjadi berkembang, itu menarik bagi nelayan skala kecil. Akhirnya mereka berdatangan dari berbagai daerah, untuk mengadu nasib di Kota Bitung sebagai nelayan. Nelayan Bitung adalah nelayan multi etnis, para nelayan tersebut bukan seluruhnya penduduk asli Bitung, ada yang dari Maluku, Sangihe, Ambon, Talaud dan lain-lain. Hal tersebut yang menyebabkan Kota Bitung memiliki nelayan terbanyak di Provinsi Sulawesi Utara. Selanjutnya Kota Sangihe sebagai daerah dengan jumlah nelayan terbanyak, hal tersebut dikarenakan profesi nelayan adalah profesi turun temurun, keahlian turun temurun, sehingga sebagian besar penduduk menjadi nelayan, karena orang tua mereka adalah nelayan yang menurunkan
126
keahlian mereka kepada anak cucunya. Menjadi nelayan telah mendarah daging pada nelayan di Sangihe, hal itulah yang menyebabkan Sangihe menjadi daerah dengan jumlah nelayan terbanyak setelah Bitung. Selanjutnya untuk status nelayan pemilik, di Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 39,727 orang. Hasil di lapangan sebagian besar dari nelayan pemilik ini berada di Kota Bitung karena Bitung sebagai kota industri perikanan di Provinsi Sulawesi Utara. Untuk kategori nelayan sambilan utama berada di posisi pertama dengan jumlah 25,306 orang, namun mereka bukanlah nelayan yang memiliki kapal sendiri biasanya mereka adalah ABK yang mendapat penghasilan terendah karena dampak dari sistem bagi hasil yang cukup merugikan mereka dan keluarganya. Apapun kategori dari pada nelayan ini, mereka seluruhnya termasuk pada tipe nelayan skala kecil artinya tidak mempunyi modal sendiri dalam menjalankan usaha perikanannya dan mereka termasuk para buruh dan ABK. Berdasarkan kondisi seperti ini maka hasil yang mereka peroleh tidak sanggup membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari bahkan seringkali mereka terlibat dalam lingkaran utang yang berkepanjangan, kadang-kadang nelayan juga menggadaikan barang-barang yang mereka miliki jika tingkat kebutuhan keuangan tidak terlalu banyak, jika tingkat kebutuhan uang relatif banyak maka mereka akan mengambil jalan terakhir yaitu meminjam pada rentenir. Hal tersebut dikarenakan pendapatan yang diperoleh dari usaha melaut belum menjamin kesejahteraan mereka dan keluarganya. Kegiatan-kegiatan ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggotaanggota keluarga nelayan (istri dan anak) merupakan sebagian dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Ragam peluang kerja yang bisa dimasuki mereka sangat bergantung pada sumber-sumber daya yang tersedia di desa-desa nelayan tersebut. Setiap desa nelayan memiliki karakteristik kondisi sosial ekonomi yang berbeda dengan desa-desa lainnya. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh anggota-anggota rumah tangga nelayan seperti di atas, semata-mata untuk memenuhi tuntutan kebutuhan konsumtif yang bersifat subsistensi dan bukannya yang bersifat produktif.
127
Menurut Kusnadi (2002), tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat nelayan dimanapun dia berada. Bahkan secara kuantitatif, dibandingkan dengan masyarakat lain seperti petani, masyarakat nelayan pada umumnya terkategori masyarakat yang berpenghasilan rendah (marjinal). Disadari sepenuhnya bahwa ada beberapa faktor kompleks yang menyebabkan terciptanya tingkatan sosial ekonomi yang rendah dari para masyarakat nelayan atau pesisir pantai ini, seperti adanya fluktuasi musim ikan, modernisasi dan motorisasi unit penangkapan ikan, serta adanya eksploitasi yang berlebihan yang dapat berdampak pada pemiskinan atau destruktifikasi sumber daya perikanan laut yang ada. Meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah tujuan pembangunan perikanan dibanyak negara, khususnya negara berkembang, dalam situasi ketika tidak ada atau kurang alternatif profesi di sektor lain, profesi sebagai nelayan menjadi penampung terakhir (last resort) bagi banyak penduduk pedesaan yang umumnya kurang ketrampilan dan pengetahuan. Oleh karena itu, pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, menaruh perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang mengandalkan sumber daya ikan sebagai sandaran nafkah hidupnya (Nikijuluw 2003). Hasil-hasil studi terdahulu tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan masyarakat nelayan menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi oleh nelayan hingga saat ini. Hal ini sulit diatasi karena selalu berdampak pada pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah (daerah dan pusat) sehingga pada akhirnya masalah kemiskinan telah menjadi suatu fenomena kendala dalam pencapaian tujuan pembangunan. Tingkat kesejahteraan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat nelayan dimanapun berada (Kusnadi 2002). Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan melaut nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dapat dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Jumlah nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara secara administratif terdiri dari 11 kabupaten dan 4 kota. Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan wilayah terluas dengan luas
128
3.547,49 Km² atau 23,22% dari wilayah Sulawesi Utara dan Kota Tomohon merupakan wilayah dengan luas terkecil dengan 146,60 Km² (0,96%). Persentase distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari yang terendah sebesar 2,51% di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan hingga yang tertinggi sebesar 18,08% di Kota Manado. Jumlah nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara hanya sekitar 78.000 orang, sebagian terdapat di Sangihe dan Talaud. Kehidupan nelayan kota termarjirnalkan oleh kegiatan pembangunan jalan pantai, sehingga mereka perlu mendapat prioritas (DKP 2012). Sayangnya selama ini perhatian pemerintah Provinsi Sulawesi Utara terhadap kehidupan nelayan lokal sangat minim. Banyak nelayan menganggur, karena tergusur pembangunan jalan pantai. Nelayan tidak mendapat jaminan hidup saat tidak melaut karena ombak tinggi. Padahal pemerintah telah mencanangkan pemberian beras kepada nelayan yang gagal melaut karena ombak. Tetapi sampai hari ini hal tersebut belum terealisasikan. 5.1.3
Pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Pendapatan Nasional disebut juga pendapatan masyarakat, pada umumnya
dipergunakan sebagai tolak ukur keberhasilan, kemakmuran dan kemajuan perekonomian suatu masyarakat. Namun ukuran tersebut bukan merupakan satusatunya alat ukur, melainkan pula digunakan tolak ukur lain, seperti tingkat kesempatan kerja, lapangan kerja, tingkat harga, volume penjualan dan sebagainya. Selain itu pendapatan (uang) disebut juga dengan “income” yaitu imbalan yang diterima oleh seluruh rumah tangga pada lapisan masyarakat dalam suatu negara/daerah, dari penyerahan faktor-faktor produksi atau setelah melakukan kegiatan perekonomian. Pendapatan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan sisanya merupakan tabungan (saving) untuk memenuhi hari depan. Sementara itu yang dimaksud dengan pendapatan nelayan adalah hasil yang diterima oleh seluruh rumah tangga nelayan setelah melakukan kegiatan penangkapan ikan pada waktu tertentu. Namun hasil tangkap ikan yang diperoleh belum bisa dikatakan sebagai pendapatan, jika belum terjadi transaksi jual beli. Transaksi yang dimaksud yaitu transaksi jual beli antara nelayan
129
(produsen) dengan pembeli (konsumen) dan transaksi antara nelayan (produsen) dengan bandar ikan (distributor). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat nelayan Provinsi Sulawesi Utara digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan konsumen dalam setiap rumah tangga mereka, misalnya membeli perlengkapan rumah tangga, membayar listrik bulanan, membayar bunga atas pinjaman atau utang lainnya, membeli sarana dan prasarana penangkapan ikan, biaya untuk melaut (seperti bensin bagi yang punya mesin, es, rokok dan lain-lain) dan bahkan digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Akan tetapi pendapatan yang diperoleh para nelayan tidak seluruhnya berasal dari hasil penangkapan ikan saja, melainkan dapat diperoleh dari hasil kegiatan ekonomi lainnya sebagai profesi sampingan untuk mengisi waktu luang. Selain itu peran istri dan anak juga dibutuhkan untuk mendukung profesi untuk meningkatkan jumlah pendapatan serta campur tangan pemerintah juga sangat penting dalam mengatasi masalah peningkatan pendapatan nelayan, misalnya menciptakan program kerja nelayan dan sekaligus memberikan bantuan kepada nelayan berupa perahu, mesin dan rakit. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara yang berkisar antara Rp.500.000-Rp.750.000/bulan menduduki persentasi terbesar (26.25%) dan pendapatan Rp.1.000.000Rp.1.250.000/bulan menduduki persentasi terendah (10.75%) (Gambar 9). Hasil tersebut menunjukkan betapa nelayan di Provinsi Sulawesi Utara masih miskin. Gambar 10 menunjukkan jumlah nelayan miskin (78.612 orang) lebih banyak dibanding nelayan tidak miskin (7.255 orang). Nelayan-nelayan miskin di Provinsi Sulawesi Utara enggan terus menerus berkubang dalam kemiskinan, akhirnya mereka mencari alternatif untuk keluar dari lingkaran setan tersebut, alternatif pilihan mereka adalah mobilitas dengan harapan dapat menaikan jumlah pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Pendapatan nelayan Sulawesi Utara banyak dipengaruhi oleh alat bantu yang digunakan dalam penangkapan ikan seperti alat pancing dan kapal atau
130
perahu. Semakin tradisional alat/kapal dan perahu mereka, semakin rendah pendapatan yang mereka dapat, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan gross ton (GT), kapal motor dibagi menjadi: kapal kecil, yaitu < 5GT – 10GT, kapal sedang, yaitu 10GT – 30GT, kapal besar, yaitu > 30GT (Tarigan 2002). Kapal yang dipakai nelayan Sulawesi Utara ada dua macam yaitu kapal tanpa motor dan kapal dengan motor. Gambar 8 menunjukkan bahwa nelayan tradisional/non tradisional Provinsi Sulawesi Utara yang menggunakan kapal dengan atau tanpa motor terbanyak di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah: kapal tanpa motor: jukung atau disebut perahu bolotu (Gambar 22) (1.507 buah), perahu papan kecil (157 buah) dan motor tempel (2.151 buah); untuk kapal dengan motor < 5 GT (161 buah), 5-10 GT (62 buah) dan 10-20 GT (4 buah). Rumah tangga perikanan (RTP) yang memiliki kapal motor berjumlah 373 RTP, sebagian besar (217 RTP) motor tempelnya berukuran sangat kecil, yaitu kurang dari 5 GT. Ukuran 5-10 GT dimiliki oleh 96 RTP. Selanjutnya di Bolaang Mangondow, perahu jukung sebanyak 822 buah dan yang paling sedikit di Kota Manado sebanyak 131 buah. Pemakaian jukung tetap dipertahankan karena memang sudah menjadi tradisi, lagipula minimnya modal menyebabkan mereka tidak mampu memiliki perahu motor tempel apalagi kapal motor. Sebagian besar nelayan di Manado menggunakan perahu jukung hanya untuk konsumsi hari itu juga. Ini menunjukkan bahwa kepemilikan kapal motor yang berukuran kecil mengakibatkan sulit terjangkaunya daerah penangkapan ikan yang lebih jauh, sehingga kadang-kadang nelayan tidak membawa ikan, walaupun mereka seharian melaut. Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa masih cukup banyak jumlah nelayan yang menggunakan perahu jukung padahal jenis perahu ini terlalu rawan bencana di laut. Jenis perahu yang masih tradisional, sangat mudah terbawa arus
131
dan dihantam gelombang, sehingga nelayan sangat sulit mencapai daerah penangkapan ikan (DPI) dan memburu ikan target, akhirnya nelayan hanya bisa beroperasi di daerah sekitar desa tempat bermukim dan itu menghasilkan hasil tangkapan yang sedikit dan pendapatan yang rendah. Padahal bila nelayan mampu menentukan daerah penangkapan ikan secara baik tentunya akan berdampak kepada peningkatan pendapatan yang akan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan akan bahan bakar minyak sangat menentukan fishing ground menjadi pertimbangan utama para nelayan dalam menentukan daerah pengoperasian alat tangkap. Simbolon (2009) mengatakan bahwa kendala yang sering ditemukan pada masyarakat nelayan, mereka sering sekali bertumpuk pada satu area penangkapan sehingga sering menimbulkan konflik dan ketersediaan sumber daya menjadi langka akibat eksploitasi secara terus menerus.
Gambar 20 Perahu Londe Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa motor tempel sangat besar jumlahnya dibandingkan dengan perahu jukung dan perahu tanpa motor. Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kota Bitung paling banyak jumlah motor tempelnya dibandingkan daerah-daerah lainnya. Ini juga terkait dengan banyaknya industri perikanan di Kota Bitung yang memerlukan pasokan ikan segar dari nelayan. Pembuatan kapal pelang di desa Kema, Bitung dapat dilihat pada Gambar 21.
132
Gambar 21 Pembuatan kapal pelang di Desa Kema, Bitung Sebagian besar motor tempel berukuran 15 PK dan 40 PK, tetapi masih banyak pula perahu yang hanya dilengkapi dengan satu motor tempel saja. Sehingga daerah penangkapan hanya berkisar di wilayah pesisir dan ini mengakibatkan hasil tangkapan sangat kurang dan kadang-kadang tidak ada sama sekali.
Gambar 22 Perahu Bolotu/Jukung Selain itu pula nelayan tradisional yang masih menggunakan perahu kecil mengakibatkan rendahnya tingkat pemanfaatan perikanan laut. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data tahun terakhir yaitu tahun 2009, dimana potensi perikanan laut adalah 691.4 ribu ton/tahun, dengan MSY sebesar 345.7 ribu ton/tahun dan jumlah produksi adalah 210 ribu ton/tahun sehingga didapatkan
133
hasil tingkat pemanfaatan sebesar 60.74%. Besarnya perahu/kapal yang digunakan nelayan akan mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut. Hasil pemanfaatan yang rendah mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. Selain tingkat pemanfaatan ada juga beberapa faktor utama yang saling berhubungan yakni: 1)
Kualitas sumber daya manusia (nelayan) masih rendah, serta mereka masih kurang kesadaran untuk mengembangkan kegiatan ekonomi.
2)
Ketergantungan (campur tangan) dari luar terutama dari pemerintah.
3)
Manajemen usaha yang masih bersifat kekeluargaan yang dilakukan secara turun-temurun.
4)
Cara penangkapan ikan masih bersifat tradisional. Dikarenakan beberapa faktor di atas yang masih mendominasi kondisi
nelayan di Provinsi Sulawesi Utara menyebabkan para nelayan sulit untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga mereka terus berputar pada lingkaran setan (Gambar 1) yang menyebabkan kemiskinan berkepanjangan. Gambar 10 menunjukkan bahwa nelayan miskin masih banyak terdapat di Kabupaten Kepulauan Sangihe sebanyak 13.983 orang (89%) dari total jumlah nelayan 15.758 orang. Gambar 10 memperlihatkan bahwa hampir setiap daerah di Provinsi Sulawesi Utara nelayannya masih miskin (> 80%). Meskipun telah banyak program pembangunan perikanan dan kelautan yang
telah
dilaksanakan
mengembangkan
kemampuan
oleh
pemerintah
wilayah
khususnya
penangkapan,
dalam
meningkatkan
upaya hasil
tangkapan serta mengembangkan manajemen usaha penangkapan ikan, antara lain berupa kegiatan motorisasi perahu/kapal penangkapan ikan dan pengembangan skala usaha penangkapan ikan, namun kehidupan perekonomian nelayan tetap saja selalu termarjinalkan. Kondisi yang terjadi adalah ombak besar, disertai turunnya hujan dan angin bersamaan. Saat ini nelayan tidak turun ke laut dan alat tangkap seperti bagan tancap biasanya sudah dicabut terlebih dahulu agar tidak roboh. Hasil tangkapan menjadi sedikit bahkan seringkali tidak ada. Bulan Maret sampai Mei kembali menjadi musim pancaroba, ombak dan angin sudah mulai mereda sehingga nelayan mulai turun ke laut dan menurunkan alat tangkapnya dan hasil tangkapanpun sudah mulai meningkat.
134
5.1.4
Perumahan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia. Bagi masyarakat Indonesia, perumahan merupakan pencerminan dari jati diri manusia, baik secara perseorangan maupun dalam suatu kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya. Perumahan dan pemukiman juga mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sehingga perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang pesat menjadikan kebutuhan tempat tinggal semakin meningkat pula. Program pemerintah yang menyangkut perumahan terus ditingkatkan, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Status kepemilikan/penguasaan bangunan tempat tinggal di Provinsi Sulawesi Utara paling banyak adalah milik sendiri. Perumahan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara sangat variatif jenisnya yaitu bambu, papan, semi tembok, tembok dan lainnya. Untuk jenis rumah bambu ada sebanyak 6 buah, untuk jenis rumah papan ada sebanyak 57 buah, untuk rumah jenis semi tembok sebanyak 296 buah dan ini adalah yang paling banyak ditemui di lokasi dan untuk rumah jenis tembok permanen ada sebanyak 67 buah. Berdasarkan data olahan didapatkan angka sekitar 1.5% jenis rumah adalah rumah bambu, para nelayan yang menempati rumah bambu tersebut mengaku dalam wawancara bahwa mereka merasa baik-baik saja tinggal disana, mereka bersyukur masih memiliki tempat bernaung. Berdasarkan analisa didapatkan fakta bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan minimnya pendapatan hasil melaut, hasil yang didapat hanya cukup untuk konsumsi harian, bahkan terkadang kurang apalagi untuk membangun rumah yang lebih layak. Rumah-rumah semi tembok pun awalnya adalah rumah bambu, mereka merenovasinya dari generasi ke generasi (Gambar 11). Nicholson dalam Sugianto (2005) mengartikan bahwa proses penyediaan perumahan perlu adanya keleluasaan bagi masyarakat (penghuni) baik menyangkut perangkat lunak (prosedur, peraturan), maupun perangkat keras (unit hunian, sarana dan prasarana). Salah satu perilaku yang dimiliki manusia adalah keberadaan manusia dalam lingkungan yang tidak bisa dikendalikan yang mengakibatkan keterasingan serta mahalnya biaya pembenahan (Sugianto 2005).
135
Perilaku tersebut juga mempengaruhi proses peruntukan perumahan bagi manusia. Kesalahan dalam mengantisipasi perilaku tersebut dan ketidak sesuaian dalam sistem penyediaan perumahan mengakibatkan tenaga dan dana lebih banyak terbuang dan masa pakai rumah menjadi lebih pendek. Baik program tersebut disusun atas perpaduan perilaku, sumber daya dan keinginan masyarakat (penghuni). Kondisi-kondisi yang telah disebutkan di ataslah merupakan bagian dari faktor-faktor yang mendorong mereka melakukan mobilitas dengan harapan dapat memperbaiki status melalui keadaan perumahan atau tempat tinggal yang lebih layak, atau paling tidak mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
5.2
Potensi dan Produksi Perikanan di Provinsi Sulawesi Utara
Potensi perikanan Potensi pelagis sebanyak 629,7 ribu ton/tahun memberikan isyarat bahwa kedua alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan di Provinsi Sulawesi Utara masih bisa memberikan hasil tangkapan yang lebih besar sesuai dengan JTB untuk pelagis yang diisyaratkan yaitu berjumlah 503,8 ribu ton per tahun. Karena seperti yang diketahui bersama bahwa produksi ikan secara keseluruhan yang mampu diproduksi hanya sekitar 380.000 ton/tahun (Dinas Perikanan 2009). Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa dari 1,88 juta ton potensi ikan lestari, yang diperbolehkan untuk ditangkap hanya berkisar 1,49 juta ton, jumlah tersebut masih jauh dibandingkan produksi ikan tangkap yang hanya berkisar 230 ribu ton. Produksi perikanan Provinsi Sulawesi Utara berkisar 230 ribu ton, masih sangat kecil dibandingkan perkiraan potensi ikan lestari mencapai 1,88 juta ton per tahun di wilayah pengelolaan 715 dan 716.
Produksi Perikanan Berdasarkan data produksi perikanan di Provinsi Sulawesi Utara, produksi perikanan didominasi oleh ikan pelagis kecil antara lain ikan kembung, tembang, layang, teri, tongkol dan lain-lain. Begitu pula ikan demersal yang bernilai
136
ekonomis penting antara lain ikan merah, kerapu, lencam termasuk udang putih produskinya cukup tinggi. Dominannya ikan-ikan pelagis kecil di dalam hasil tangkapan di daerah ini erat hubungannya dengan alat penangkapan yang digunakan nelayan, alat tangkap seperti pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan adalah alat tangkap yang bertujuan untuk menangkap ikan-ikan kecil. Sampai dengan Juni 2012, produksi ikan di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 6700 ton. Untuk tahun 2011 Sulawesi Utara mampu memproduksi ikan sebanyak 10 ribu ton, lebih tinggi 500 ton dari tahun 2010 yang hanya 9500 ton (DKP 2012). Besarnya peningkatan produksi ikan di Provinsi Sulawesi Utara membuktikan bahwa laut Sulawesi Utara kaya akan sumber daya ikan (SDI). Sayangnya masih banyak kasus pencurian ikan atau ilegal fishing dan penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di daerah perairan Sulawesi Utara. Untuk itu perlu ada tindakan tegas dari pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan masyarakat juga bersama menjaga keamanan dan stabilitas laut. Produksi sektor kelautan dan perikanan Sulawesi Utara bukan saja telah ikut memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional tetapi juga turut meningkatkan ekonomi para nelayan dan masyarakat pesisir, apalagi produksi kelautan dan perikanan domestik bukan saja menjadi konsumsi lokal tetapi telah diekspor ke mancanegara. Produksi perikanan yang mampu dioptimalkan diantaranya terbanyak ikan cakalang, disusul ikan layang, ikan tuna, ikan tongkol dan kembung. Melihat potensi
yang
sangat
besar
tersebut,
maka
pemerintah
daerah
telah
memprogramkan kebijakan pengelolaan dan pengembangan sumber daya perikanan tangkap dalam upaya mendorong peningkatan produksi. Hal ini mungkin disebabkan karena nelayan-nelayan di Provinsi Sulawesi Utara belum mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada disebabkan karena teknologi yang tidak memungkinkan, daerah penangkapan yang lebih jauh tidak mampu lagi dijangkau oleh nelayan skala kecil, peraturan perundangan yang sulit diterima oleh nelayan ukuran skala kecil. Contohnya peraturan perundangan UU No 27/2007 tentang Manajemen Daerah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengangkat isu soal hak dasar komunitas nelayan tradisional. Mahkamah Konstitusi telah
137
memutuskan bahwa memberikan lisensi kepada pihak swasta untuk mengelola daerah pesisir dan pulau-pulau kecil akan mematikan hajat hidup nelayan skala kecili. Namun banyak kendala yang muncul sejak subsidi minyak tanah dicabut, dari 20 perahu yang berbahan bakar minyak tanah, tinggal 3 perahu yang masih sering melaut, sisanya sudah tidak mencari ikan lagi, karena tidak mampu membeli minyak tanah, karena mesin pelang dan katinting nelayan di Manado kebanyakan menggunakan minyak tanah, hanya beberapa saja yang menggunakan premium. 5.3
Tipe Mobilitas Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Suryana (1989) menyatakan mobilitas profesi sebagai perpindahan mata
pencaharian
tanpa
memperhatikan
adanya
perpindahan
geografi,
yaitu
perpindahan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang digunakan adalah batas administrasi seperti provinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Perpindahan mata pencaharian ini senantiasa disebabkan oleh faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor penarik adalah sutu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada. Mobilitas yang terjadi pada nelayan Sulawesi Utara adalah mobilitas geografis yang disebut juga mobilitas lateral, karena mobilitas yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara melibatkan perpindahan daerah, mobilitas profesipun dilakukan bersamaan dengan mobilitas geografi atau mobilitas lateral, dengan mobilitas lateral diharapkan akan terjadi mobilitas vertikal naik, dalam arti bahwa status sosial nelayan berubah ke arah yang lebih baik. Mobilitas terjadi karena ada faktor pendorong dan penarik, seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Menurut Ransford dalam Sunarto (2001) mobilitas dibedakan menjadi empat yaitu mobilitas sosial vertikal, horizontal, lateral dan struktural. 1)
Mobilitas sosial vertikal
138
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Jadi pergerakannya vertikal; dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Mobilitas ini dibedakan menjadi dua yaitu; 1) mobilitas sosial naik (social climbing mobility atau upward mobility). Dua bentuk utama dalam mobilitas ini adalah masuknya individu yang mulanya memiliki kedudukan lebih rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi dan pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat
yang
lebih
tinggi
dari
kedudukan
individu
pembentuk
kelompok tersebut; 2) mobilitas sosial turun (social sinking mobility atau downward mobility) Mobilitas vertikal turun artinya perpindahan seseorang ke kelas sosial yang lebih rendah dari sebelumnya. Dalam mobilitas ini juga terdapat dua bentuk utama, yaitu; Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah dari sebelumnya;Turunnya derajat suatu kelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok dalam suatu kesatuan. 2)
Mobilitas sosial horizontal Mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau kelompok sosial dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Mobilitas sosial horizontal tidak menimbulkan pengaruh sosial secara langsung terhadap status sosial seseorang dan skala wibawanya tidak berubah menjadi naik atau turun. Selain itu dalam mobilitas sosial horizontal dapat pula terjadi perpindahan objek-objek sosial lainnya.
3)
Mobilitas sosial lateral Mobilitas lateral disebut juga mobilitas geografis. Mobilitas lateral mengacu pada mobilitas perpindahan orang-orang, baik secara individual maupun kelompok, dari wilayah satu ke wilayah lain yang secara tidak langsung mengubah status sosial seseorang. Mobilitas lateral dibagi menjadi dua, yaitu; Mobilitas permanen, yaitu mobilitas yang bermaksud melakukan perpindahan permanen; Mobilitas tidak permanen, segala bentuk mobilitas individu atau kelompok yang bersifat sementara. Ciri khas dari mobilitas sosial lateral adalah adanya permobilitasan atau
139
perpindahan individu atau kelompok secara fisik dari satu tempat ke tempat lain. 4)
Mobilitas struktural Menurut Basis, mobilitas struktural adalah mobilitas yang disebabkan oleh inovasi teknologi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, peperangan dan kejadian-kejadian lainnya yang mengubah struktur dan jenis kelompokkelompok dalam masyarakat. Jadi mobilitas struktural meliputi kesatuan yang luas dan kompleks. Mobilitas struktural juga dapat mengarah pada mobilitas ke atas dan dapat pula mobilitas ke bawah, dengan kata lain, mobilitas struktural cenderung mengarah pada mobilitas sosial vertikal. Bagi tenaga kerja nelayan, beberapa orang telah mengalami perpindahan
kerja. Secara pasti jumlah ini belum diketahui disebabkan antara lain belum ada pendataan dan sebagian nelayan yang berpindah kerja juga melakukan perpindahan tempat tinggal. Sebelumnya menurut keterangan beberapa tokoh setempat di lokasi penelitian, sekitar tahun 1970-an masyarakat yang bekerja sebagai nelayan masih banyak. Kemudian seiring dengan berkembangnya daerah tersebut yang diikuti dengan berdirinya industri di sekitarnya, mulai terbuka lapangan kerja baru. Adanya kesempatan tersebut mendorong minat penduduk untuk bekerja di darat. Sebagian dari masyarakat pekerja di sektor perikanan, terutama golongan usia muda, merasa tertarik untuk bekerja di industri/pabrik. Hal ini disebabkan bekerja di sektor industri mempunyai resiko yang relatif lebih kecil, juga mereka memperoleh penghasilan yang kontinu setiap bulan dengan tidak ada resiko gagal panen atau hasil tangkapan kosong seperti yang dialami oleh masyarakat nelayan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa bekerja di bidang industri memberikan prestise tersendiri yang lebih tinggi di kalangan masyarakat setempat, meskipun pada prakteknya mereka hanya menempati posisi buruh yang pendapatannya seringkali lebih kecil dari hasil pada profesi sebelumnya. Tidak dipungkiri juga bahwa untuk bekerja di pabrik terutama saat sekarang ini dibutuhkan ketrampilan dan pendidikan formal yang memadai. Bukti empiris terbaru menunjukkan bahwa terdapat komplementaritas antara investasi dalam adopsi teknologi baru dan akumulasi modal manusia/investasi di
140
pendidikan dan bahwa pekerja berpendidikan memiliki keunggulan komparatif dalam memperoleh dan menerapkan teknologi baru (Chander dan Thangavelu 2003). Masyarakat nelayan lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Utara umumnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Keadaan ini menyebabkan kesempatan kerja yang ada menjadi terbatas dan banyak dimanfaatkan oleh para pendatang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Namun demikian, ada juga beberapa pemuda dari keluarga nelayan yang memilih bekerja di pabrik dari pada harus pergi melaut. Tetapi secara keseluruhan, masih sangat banyak nelayan yang tetap memilih bekerja sebagai nelayan. Masyarakat yang tetap bekerja di sektor perikanan adalah mereka yang tetap memilih bidang perikanan atau nelayan sebagai sumber utama pendapatannya. Sebagian dari mereka melakukan profesi nelayan karena terpaksa, disebabkan mereka tidak mampu untuk mendapatkan jenis profesi baru. Nelayan Sulawesi Utara yang memilih bekerja sebagai nelayan menyatakan bahwa profesi sebagai nelayan sudah dilakukan bertahun-tahun mulai dari orang tua mereka, sehingga mereka sudah terbiasa dengan profesi tersebut. Nelayan yang demikian percaya bahwa penghasilan mereka datang dari laut sehingga sudah siap bila suatu saat tidak mendapatkan apa-apa. Nelayan yang bertahan atau terpaksa bekerja sebagai nelayan disebabkan karena mereka tidak memiliki pendidikan formal dan juga ketrampilan/keahlian cukup. Sementara untuk menjadi buruh pabrik saja saat ini sudah membutuhkan ijazah minimal SMP. Alasan lain yang membuat nelayan masih mempertahankan profesinya adalah faktor usia. Selama nelayan masih sanggup bekerja keras dan usia memungkinkan, nelayan masih sanggup bekerja di laut. Sama halnya seperti yang dinyatakan oleh Rahim (2011) di daerah wilayah pesisir pantai Sulawesi Selatan, bahwa umur nelayan perahu motor berpengaruh nyata positif terhadap pendapatan artinya, meningkatnya umur nelayan akan meningkatkan pendapatan per trip selama musim penangkapan. Pengambilan keputusan seseorang untuk berpindah mata pencaharian didasarkan pada beberapa alasan. Ada yang disebabkan jenis profesi lain yang dinilai lebih menguntungkan bukan hanya secara ekonomis. Selanjutnya akan
141
diuraikan secara lebih terinci faktor-faktor yang menyebabkan seseorang untuk berpindah. Terbukanya peluang kerja dipengaruhi oleh karakteristik dari masingmasing individu, antara lain: tingkat pendidikan, ketrampilan, pengalaman kerja, penguasaan modal dan hubungan dengan manajemen perusahaan atau hubungan dengan elit desa. Maka demikian tidak semua individu mempunyai peluang yang sama untuk bekerja atau membuka usaha. Sebab hanya mereka yang berasal dari lapisan atas yang mempunyai peluang kerja dan usaha yang cukup besar, akibatnya terjadi kesenjangan dalam penguasaan kekayaan meteriil seseorang. Semakin tinggi tingkat penguasaan kekayaan materiil seseorang, maka semakin besar peluangnya untuk naik pada lapisan sosial yang lebih tinggi. Berkembangnya sektor industri memberikan peluang pada individuindividu tertentu untuk meningkatkan penguasaan kekayaan materiilnya sehingga posisinya dapat naik pada lapisan sosial yang lebih tinggi. Sedangkan pada orangorang yang tidak dapat menguasai akses ekonomi keadaannya akan lebih buruk dari masa lalu sehingga posisinya menjadi turun pada lapisan yang lebih rendah. Selain itu ada juga orang-orang yang kedudukannya tidak jauh berbeda dari masa sebelumnya meskipun profesinya mengalami perubahan. Berdasarkan hasil identifikasi status mobilitas nelayan baik secara geografi maupun profesi yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara maka didapatkan 4 tipe nelayan di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu: 1) Mobilitas geografi Berdasarkan Gambar 23 didapatkan bahwa tipe nelayan yang melakukan mobilitas geografi melakukan mobilitas ke Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafura, Sorong, Merauke, Papua, Ternate. Tujuan mobilitas terbanyak adalah ke Laut Arafura, terbukti dari 100 responden ada 21 responden yang melakukan mobilitas ke Laut Arafura dan tujuan mobilitas yang paling sedikit adalah ke Ternate dan Laut Sulawesi, hanya 1 nelayan yang menyatakan pernah bermobilitas ke Ternate dan Laut Sulawesi. Jarak tempuh yang jauh bukan faktor penghalang bagi para nelayan untuk bermobilitas, hal tersebut dikarenakan faktor pendorong dan penarik yang kuat sehingga faktor jarak bukan menjadi masalah. Adapun faktor penarik yang kuat adalah informasi dari nelayan lain yang sudah berpengalaman
142
bermobilitas, informasi tentang musim ikan di tempat lain misalnya, jadi meskipun jauh jarak tempuhnya asalkan ada informasi tentang musim ikan mereka tetap berusaha mendatangi daerah tersebut. Faktor pendorong yang kuat dari nelayan itu sendiri adalah motivasi untuk menaikan pendapatan demi merubah keadaan ekonomi ke arah yang lebih baik, baik untuk nelayan itu sendiri maupun keluarganya. Tujuan mobilitas geografi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 23).
Gambar 23 Pemetaan tujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara Beberapa faktor internal lainnya yaitu kurangnya persediaan ikan dan kejenuhan. Selanjutnya sebagai faktor eksternal yang cukup berpengaruh adalah modal yang terkait dengan ukuran kapal yang mereka gunakan untuk bermobilitas. Biasanya yang melakukan mobilitas adalah nelayan buruh (ABK), mereka bermobilitas mengikuti kapal nelayan juragan, sehingga sejauh apapun mereka bermobilitas tetap saja penghasilan mereka tidak banyak berubah, karena dengan ikut kapal nelayan juragan mereka terjebak sistem bagi hasil yang tidak memihak para nelayan buruh (ABK). Nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang sangat tidak berpihak pada
143
nelayan selalu terjadi pada pola patron-klien di lokasi penelitian. Sistem bagi hasil dikalangan masyarakat nelayan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan penangkap (klien) masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan sebagian besar masih menggunakan hukum adat tidak tertulis (konvensi), dimana hukum yang dipertahankan sebagai peraturan kebiasaan masa ke masa. Jadi, sistem bagi hasil tidak bisa dihilangkan secara penuh dari dunia kenelayanan, namun harus dimodifikasi agar menjadi sistem yang lebih baik, yang memihak kepada nelayan buruh, yang tidak merugikan nelayan juragan. Upah nelayan didapat dari sistem bagi hasil antara pemilik kapal/modal dengan ABK adalah 60:40 persen hasil penjualan bersih (laba bersih). Dari bagian 40% untuk ABK tersebut dibagi untuk juru mudi 50%, juru mesin 30% dan ABK mendapat 20%. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemilik yang tidak ikut melaut akan mengikut sertakan anggota keluarganya sebagai jurumudi sehingga
pendapatan
yang
diperoleh
pemilik
akan
bertambah
besar.
Kecenderungan ini menyebabkan posisi ABK semakin lemah dengan perbedaan pendapatan yang diperoleh semakin besar. Maka dibutuhkan sistem bagi hasil alternatif yang lebih baik. Sistem bagi hasil tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dimodifikasi dari jumlah persentase yang paling memungkinkan hanya dari segi perhitungan keuntungan, tidak dari laba bersih, namun dari laba kotor. Dengan perhitungan seperti itu akan sedikit lebih menguntungkan ABK. Bagi hasil alternatif harus menunjukkan keseimbangan pembagian hasil tangkapan antar alat tangkap dan kesesuaian dengan prinsip-prinsip ekonomi. Perbaikan-perbaikan lainnya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
Biaya operasi dan biaya bekal tidak perlu dikurangi dari nilai produksi kotor.
2)
Biaya tetap berupa penyusutan, bunga modal, sedekah laut, pajak dan perizinan harus dikurangi dari nilai produksi dengan cara dibagi-bagi pada setiap trip.
3)
Kompensasi modal yang dikeluarkan oleh pemilik dihitung 50% dari hasil kotor dan kompensasi tenaga pemilik dalam mengelola modal (biaya
144
manajemen) dihitung 10% dari hasil kotor sehingga jumlah bagian pemilik menjadi 60% hasil kotor. 4)
Bila pemilik ikut melaut maka biaya manajemen (10% dari hasil kotor) akan hilang dan dimasukkan menjadi bagian penggarap sehingga bagian penggarap menjadi 50%. Kompensasi pemilik yang ikut melaut dihitung sebagai bagian penggarap sesuai dengan posisinya saat melaut. Pendapatan penggarap dengan bagi hasil alternatif yang lebih kecil dari
pada dengan bagi hasil lokal dan bagi hasil UUBHP merupakan konsekuensi yang secara ekonomis sesuai dengan dasar pembagian hasil usaha bersama, yaitu keseimbangan antara yang diberikan dengan yang didapatkan. Namun demikian, perbedaan pendapatan antara pemilik dan penggarap dengan bagi hasil aIternatif akan terlihat wajar karena pemilik terdorong untuk tidak ikut melaut sehingga bagian yang akan diterima penggarap sesuai dengan pengorbanan yang diberikan. Selain itu dengan bagi hasil alternatif keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan menjadi lebih merata antar pelaku usaha perikanan (pemilik dan penggarap) dan antar alat tangkap yang berbeda atau keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan terjadi antara pemilik alat tangkap yang berbeda dan antara penggarap alat tangkap yang berbeda. Sehubungan dengan pengetahuan nelayan Sulawesi Utara tentang illegal fishing dan UU Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti. Tapi pada kenyataannya, nelayan tipe inilah yang sering terjebak dalam masalah illegal fishing. Sebagai contoh nelayan-nelayan di Kema, Minahasa Utara sering melakukan penangkapan ikan sampai ke batas perairan Australia, sehingga kerap kali mereka ditangkap oleh petugas, dalam kondisi ini mereka dipaksakan untuk membayar denda sampai Rp. 25.000.000,-barulah kapal dilepas. Namun, seringkali nelayan-nelayan ini menyembunyikan diri sampai berhari-hari lamanya untuk menghindari petugas. Alat tangkap yang digunakan tipe nelayan ini adalah pancing dasar dengan jumlah ABK 15-20 orang. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang besar atau perusahaan ikan yang menjadi langganan mereka dengan harga terendah Rp15.000/kg dan harga tertinggi sebesar Rp25.000/kg. Nelayan tipe ini berusia antara 30-60 tahun, sebagian besar dari mereka berpendidikan SD dan SMP dan hanya jumlah yang kecil saja yang berpendidikan SMA. Kemudian
145
pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5-30 tahun, pengalaman ini sangat menunjang dalam memperoleh jumlah hasil tangkapan, makin lama pengalaman melaut makin besar peluang mendapat jumlah yang besar. Padahal dalam jurnal, Lassen (1998) mengatakan bahwa teknis interaksi antara penangkapan spesies yang berbeda tergantung pada teknologi dan bagaimana subsistem biologinya. Teknologi yang tersedia dapat meninggalkan spesies tertentu yang tidak ekonomis untuk dieksploitasi, misalnya seperti ikan pelagis kecil. Selanjutnya, rumah yang mereka tempati, sebagian besar semi permanen dan sebagiannya lagi papan dan berukuran kecil dan menengah. Nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun dan itupun di kala hari raya. Pendapatan sebagai nelayan antara Rp250.000 – Rp1.250.000. 2) Mobilitas geografi dan mobilitas profesi Berdasarkan Gambar 24 didapatkan bahwa tipe nelayan yang melakukan mobilitas geografi pada tipe nelayan mobilitas geografi dan mobilitas profesi namun tetap sebagai nelayan melakukan mobilitas ke Manado, Bitung, Sorong, Papua, Merauke dan Batam. Tujuan mobilitas geografi dan profesi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 24).
Gambar 24 Pemetaan tujuan mobilitas geografi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara
146
Jarak yang ditempuh memang cukup jauh namun itu bukan merupakan penghalang bagi para nelayan untuk tetap bermobilitas, hal tersebut dikarenakan adanya faktor pendorong dan penarik yang kuat sehingga faktor jarak tidak jadi masalah. Informasi dari nelayan lain yang sudah berpengalaman bermobilitas menjadi kunci utama, faktor penarik yang kuat tentang adanya musim ikan target di tempat lain yang jauh dari tempat domisili asli mereka dan motivasi untuk menaikan pendapatan demi merubah keadaan ekonomi ke arah yang lebih baik menjadi faktor pendorong yang kuat dari nelayan itu sendiri maupun keluarganya. Sedangkan yang melakukan mobilitas geografi namun berubah profesi bermobilitas dengan tujuan ke Maluku, Rotena, Bentenan, Manado, Kema, Bitung, Likupang. Tujuan mobilitas terbanyak adalah ke Bentenan, terbukti dari 100 responden ada 27 responden yang melakukan mobilitas ke Bentenan dan tujuan mobilitas yang paling sedikit adalah ke Kema, hanya 3 nelayan yang menyatakan pernah bermobilitas ke Kema. Hal tersebut dimotifasi oleh beberapa faktor, yaitu minimnya pendapatan, kurangnya persediaan ikan, pengalaman kerja, minimnya lapangan kerja non nelayan di tempat asal dan modal. Faktor yang paling berpengaruh pada nelayan tipe ini adalah modal. Nelayan tipe mobilitas geografi dan profesi di Provinsi Suawesi Utara tetap melakukan mobilitas geografi meskipun ke daerah tujuan yang jauh dan berubah profesi menjadi bukan nelayan di tempat lain, dikarenakan informasi dari nelayan lain tentang banyaknya lahan profesi di tempat tersebut, menjadi pelayan toko misalnya atau menjadi satpam, buruh bangunan, kuli pelabuhan dan lain sebagainya. Hal tersebut memberi harapan bagi mereka untuk mendapatkan tambahan pendapatan demi menopang perekonomian para nelayan dan keluarganya, paling tidak sampai musim paceklik di desa asal mereka berlalu. Berdasarkan Gambar 15 sebelumnya didapat angka sebesar 54 orang nelayan yang alih profesi menjadi petani. Hal tersebut dikarenakan nelayan Sulawesi Utara memiliki keahlian dalam bertani sehingga mereka akan menjadi petani apabila kondisi perairan tidak mendukung untuk melakukan penangkapan ikan. Nelayan tipe mobilitas geografi dan mobilitas profesi lebih sedikit menjadi penjual sayur dikarenakan hasil pendapatan dari profesi ini sangat sedikit.
147
Pada umumnya nelayan Sulawesi Utara tidak termasuk dalam kelompok nelayan. Sehubungan dengan pengetahuan mereka tentang illegal fishing dan UU Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti. Tapi pada kenyataannya, nelayan tipe inilah yang sering terjebak dalam masalah illegal fishing. Kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan Sulawesi Utara adalah: a) penangkapan ikan tanpa izin; b) penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu; c) penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; d) penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh nelayan Sulawesi Utara adalah penangkapan ikan tanpa izin. Alat tangkap yang digunakan nelayan tipe ini sebagian besar adalah pukat cincin, pancing ulur, soma dampar, soma paka-paka dan jubi, dengan jumlah ABK 15-20 orang. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang eceran, pedagang besar, pedagang kecil, petibo dan sebagian kecil ke perusahaan perikanan dan ke TPI dengan harga ikan terendah Rp. 5000/kg dan tertinggi Rp. 25.000/kg. Nelayan tipe ini berusia antara 20-60 tahun, sebagian besar dari mereka berpendidikan SD dan SMP dan hanya sedikit yang berpendidikan SMA. Pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5-30 tahun. Selanjutnya, rumah yang mereka tinggali, sebagian besar permanen, semi permanen dan sebagiannya lagi papan dan berukuran kecil dan menengah. Nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Seperti yang dikatakan oleh Wasak (2012) dalam jurnalnya, menyatakan bahwa dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa mereka yang bekerja sebagai nelayan pada umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka yaitu mencari makan. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun dan itupun di kala hari raya karena pendapatan sebagai nelayan hanya antara Rp 250.000–Rp1.250.000/bulan, mereka tidak mampu membeli keperluan sandang sesering yang mereka inginkan dan pendapatan itu pula tidak menentu, tetapi pendapatan sebagai non-nelayan Rp250.000– Rp 1.250.000/bulan bisa dikatakan pasti.
148
3) Mobilitas profesi Berdasarkan Gambar 17, ada 54 nelayan yang alih profesi menjadi petani, 19 nelayan menjadi buruh bangunan, 6 nelayan menjadi tukang bongkar muat, 8 orang menjadi tukang ojek, 3 orang sebagai sopir, 1 orang menjadi penjual sayur, 9 orang memilih menjadi kuli dan tidak ada yang memilih menjadi pedagang karena modal untuk menjadi pedagang cukup besar. Para nelayan beralih profesi menjadi non-nelayan karena adanya faktor penarik dan pendorong, informasi pengalaman nelayan lain yang beralih profesi merupakan faktor kuat yang menarik mereka melakukan alih profesi ketika musim paceklik ikan, biasanya nelayan lain yang dianggap akrab mengajak nelayan tersebut untuk melakukan alih profesi yang sama dengan mereka, contohnya jika seorang nelayan beralih profesi menjadi buruh bangunan maka nelayan tersebut akan mengajak nelayan lain yang se desa untuk alih profesi menjadi buruh bangunan pula, mereka menganggap akan lebih mudah memasukan nelayan lain di profesi yang sama karena pengalaman dan kedekatan mereka dengan mandor atau lainnya, namun alih profesi ini biasanya tidak lama, mereka hanya melakukan peralihan profesi ini selama dua atau tiga musim paceklik ikan, setelah itu pasti mereka kembali menjadi nelayan. Mobilitas profesi adalah hal lumrah dikalangan nelayan seperti yang dikatakan oleh Wasak (2012) yaitu bahwa di samping berprofesi sebagai nelayan, nelayan juga mempunyai profesi sampingan, seperti petani, buruh, pedagang dan tukang yang dilakukan bila tidak melakukan usaha penangkapan di laut karena faktor cuaca yang tidak memungkinkan untuk melaut menangkap ikan. Hal tersebut dikarenakan nelayan Sulawesi Utara memiliki sedikit ketrampilan dalam profesi di bidang bangunan di sekitar wilayah mereka sehingga mereka akan menjadi buruh bangunan apabila kondisi perairan tidak mendukung untuk melakukan penangkapan ikan. Nelayan tipe mobilitas profesi lebih sedikit menjadi pedagang dikarenakan butuh modal yang besar. Pada umumnya nelayan Sulawesi Utara tidak termasuk dalam kelompok nelayan. Sehubungan dengan pengetahuan mereka tentang illegal fishing dan UU Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti. Adapun yang dimaksud illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan: 1) yang
149
dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional; 3) yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Nelayan tipe ini memutuskan untuk bermobilisasi ke profesi lain karena sering terlibat masalah-masalah illegal fishing namun tidak mampu mengatasi permasalah yang muncul akibat illegal fishing. Alat tangkap yang digunakan sebagian besar nelayan tipe ini adalah pukat cincin, pukat cincin berukuran mini purse seine, pancing ulur dan soma pakapaka, dengan jumlah ABK 10-20 orang. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang eceran, pedagang besar, petibo dan TPI dengan harga ikan terendah Rp. 10.000/kg dan tertinggi Rp. 15.000/kg. Nelayan tipe ini berusia antara 20-65 tahun, sebagian besar dari mereka berpendidikan SD dan SMP dan hanya sebagian kecil saja yang berpendidikan SMA. Pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 5-30 tahun. Rumah yang nelayan tipe ini tinggali, sebagian besar permanen, semi permanen dan sebagiannya lagi papan dan ada juga yang masih tinggal di rumah bambu dengan ukuran kecil dan menengah. Nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun dan itupun di kala hari raya. Pendapatan nelayan tipe ini sebagai nelayan antara Rp250.000 – Rp750.000/bulan, tapi hal itu tidak menentu dan pendapatan sebagai non-nelayan Rp250.000 – Rp500.000/bulan bisa dikatakan pasti. 4) Tidak mobilitas Nelayan tipe tidak mobilitas adalah tipe nelayan yang pasif dan bersikap masa bodo, ketika datang musim paceklik yang terjadi selama 4 bulan seperti yang dikatakan oleh Kekenusa (2006) dalam jurnalnya musim tangkap ialah pada bulan Januari sampai April, Juni, Juli dan September, sedangkan bulan Mei,
150
Agustus dan Oktober sampai Desember bukan musim tangkap, pada musim tersebut mereka lebih memilih tetap di lokasi asal mereka dan mereka hanya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan perawatan perahu, memperbaiki jaring atau mengecat kapal. Mereka beranggapan tidak perlu melakukan mobilitas karena kebutuhan hidup mereka sehari-hari didapat dengan berhutang yang akan dibayar jika kelak mereka kembali melaut. Mereka merasa cukup dengan pola seperti itu dan memang pada kenyataannya pendapatan nelayan tipe tidak mobilitas ini hampir sama dengan pendapatan nelayan yang bermobilitas, baik yang geografi maupun yang profesi. Selanjutnya, dikaitkan dengan masalah illegal fishing dan UU Perikanan, sebagian besar dari mereka menjawab sudah tahu dan mengerti dan sebagian besar dari mereka menjawab belum pernah terlibat dengan perkara illegal fishing. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan tipe ini adalah pajeko, pancing, pukat, hand line, jubi. Bagi nelayan yang menggunakan pukat cincin membutuhkan ABK sebanyak 10-20 orang, sedang untuk nelayan pancing ulur hanya dibantu satu orang saja, terkadang hanya mereka sendiri. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang eceran, pedagang besar, petibo dan TPI bahkan ada yang menjualnya dengan cara door to door dengan harga ikan terendah Rp5.000/kg dan tertinggi Rp15.000/kg. Nelayan tipe ini berusia antara 20-65 tahun namun bahkan ada yang sudah 70 tahunan dan nelayan tipe inilah yang masih menggunakan perahu molotu. Sebagian besar dari mereka berpendidikan SD dan SMP dan hanya jumlah yang kecil saja yang berpendidikan SMA. Pengalaman melaut nelayan tipe ini antara 530 tahun. Kemudian, rumah yang mereka tinggali, sebagian besar permanen, semi permanen dan sebagiannya lagi papan dan ada juga yang masih tinggal di rumah bambu dengan ukuran kecil dan menengah. Selanjutnya, nelayan tipe ini dan keluarganya makan 3 kali sehari, dimana nasi sebagai makanan pokok dan ubi atau jagung atau pisang sebagai makanan tambahan atau pengganti. Nelayan tipe ini membeli keperluan sandang hanya 1-2 kali dalam setahun dan itupun di kala hari raya karena pendapatan mereka sebagai nelayan antara Rp250.000–Rp 750.000/bulan dan hal itu juga tidak menentu.
151
Meskipun dua pilar paradigma lama tentang perikanan dikutip oleh Bene (2003) "miskin karena menjadi nelayan" dan "menjadi nelayan karena miskin", namun kenyataannya bahwa eksploitasi berlebihan tidak menyebabkan pemiskinan, dengan ikan yang dibawa pulang untuk keluarga untuk dikonsumsi, sedangkan jika ikan yang tertangkap memiliki nilai komersial tinggi, seluruh tangkapan akan diperdagangkan (untuk membeli item lainnya seperti daging sapi) demi meningkatkan pendapatan final (Carvalho AR 2008). 5.4
Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Mobilitas Nelayan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas nelayan dapat
dianalisis melalui analisis SEM yang dapat memperjelas keterkaitan antara memetakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas profesi nelayan dan memetakan dampak yang diakibatkan oleh mobilitas profesi nelayan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 19. Berdasarkan estimasi model fit (Gambar 19) diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan berbeda antar tipe nelayan. 1) Mobilitas geografi Nelayan tipe ini, yang selanjutnya pada analisis SEM disebut nelayan tipe X1 (Gambar 19), melakukan mobilitas geografi yaitu mobilitas yang dilakukan oleh para nelayan pada dasarnya adalah mobilitas non permanen yakni suatu perpindahan penduduk atau mobilitas penduduk dari daerah asal ke daerah penangkapan (fishing ground) dengan tujuan menangkap ikan dalam batas waktu tertentu atau selama musim ikan dan kembali ke daerah asal setelah musim ikan sudah rendah (musim paceklik). Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pendapatan (X1.6) dengan nilai 0,26 yang artinya berpengaruh sebesar 6.76% terhadap mobilitas nelayan, persediaan ikan (X1.7) dengan nilai 0,11 atau 1.21% berpengaruh terhadap mobilitas, faktor kejenuhan (X1.8) berpengaruh sebesar 0,36% terhadap mobilitas nelayan dan faktor modal (X1.9) dengan nilai 0,33 memiliki pengaruh sebesar 10,89% terhadap mobilitas nelayan dan faktor yang paling berpengaruh terhadap X1 adalah faktor modal berkurang (X1.9) karena memiliki nilai koefisien yang paling besar, yaitu 0,33 atau persentasi tertinggi yaitu 10,89%. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor pendapatan,
152
persediaan ikan terus menurun, modal berkurang dan kejenuhan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap nelayan tipe X1. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut memotivasi mereka untuk bermobilisasi. Modal adalah faktor yang dominan bagi nelayan tipe ini, tanpa modal mereka tidak bisa bermobilisasi, dalam hal ini modal bersumber dari nelayan pemilik yang memperkerjakan mereka, tanpa nelayan pemilik, mereka tidak dapat bermobilisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 42% nelayan mengalami kenaikan pendapatan setelah bermobilitas.
2) Mobilitas geografi dan mobilitas profesi Untuk tipe nelayan ini, yang selanjutnya dalam SEM disebut nelayan tipe X2, yaitu nelayan yang melakukan mobilitas geografi dan profesi, faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pengalaman melaut (X2.4) dengan nilai 0,33 yang artinya berpengaruh sebesar 10,89% terhadap mobilitas nelayan, pendapatan (X2.6) dengan nilai 0,42 atau 17,64% berpengaruh terhadap mobilitas, faktor persediaan ikan (X2.7) berpengaruh sebesar 7,89% terhadap mobilitas nelayan dan faktor modal (X2.9) dengan nilai 0,48 memiliki pengaruh sebesar 23,04% terhadap mobilitas nelayan dan faktor yang paling berpengaruh terhadap X2 adalah faktor modal (X2.9) karena memiliki nilai koefisien yang paling besar, yaitu 0.48 atau persentasi tertinggi yaitu 23,04%. Nelayan tipe ini memutuskan untuk bermobilitas disebabkan oleh empat hal berturut yaitu modal, pendapatan, pengalaman melaut dan persediaan ikan. Karena kesulitan dalam permodalan untuk mendapatkan alat tangkap yang lebih baik agar mereka dapat menjangkau daerah penangkapan yang berpotensi ikan sehingga mereka termotivasi untuk berganti profesi seperti tukang ojek/buruh kelapa/petani/tukang
sayur/satpam
dan
lain-lain
dengan
harapan
bisa
memperbaiki perekonomian mereka. Profesi melaut ditinggalkan untuk beberapa waktu meskipun pengalaman melaut mereka cukup lama dari pengalaman melaut tersebut justru mempengaruhi mereka untuk bermobilitas karena mereka merasa selama melaut pendapatan mereka tidak banyak peningkatan.
153
3) Mobilitas profesi Untuk tipe nelayan ini, yang selanjutnya disebut X3 dalam analisis SEM, yaitu yang melakukan Mobilitas profesi, faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pengalaman melaut (X3.4) dengan nilai 0,69 yang artinya berpengaruh sebesar 47,61% terhadap mobilitas nelayan, tanggungan keluarga (X3.5) dengan nilai 0,16 yang artinya berpengaruh sebesar 2,56% terhadap mobilitas nelayan, pendapatan (X3.6) dengan nilai 0,49 atau 24,1% berpengaruh terhadap mobilitas, faktor persediaan ikan (X3.7) berpengaruh sebesar 4,41% terhadap mobilitas nelayan, kejenuhan (X3.8) dengan nilai 0,19 yang artinya berpengaruh sebesar 3,61% terhadap mobilitas nelayan dan faktor modal (X3.9) dengan nilai 0,62 memiliki pengaruh sebesar 38,44% terhadap mobilitas nelayan dan faktor yang paling berpengaruh terhadap X3 adalah faktor pengalaman melaut (X3.4) karena memiliki nilai koefisien yang paling besar, yaitu 0,69 atau persentasi tertinggi yaitu 47,61%. Nelayan tipe ini sebagian besar memiliki pengalaman melaut lebih dari 30 tahun, tetapi justru mereka ingin berpindah profesi seperti tukang ojek/buruh kelapa/petani/tukang sayur/satpam dan lain-lain dengan harapan dapat menaikan tingkat pendapatan sehingga dapat mengumpulkan modal apabila mereka kembali menjadi nelayan. Borjas (1994) dalam Chander dan Thangavelu (2003) menyatakan bahwa keputusan untuk mobilitas profesi dari nelayan ke non nelayan dipengaruhi oleh perbandingan pendapatan, lamanya pendidikan, usia, jumlah beban tanggungan dan prestise kerja sebagai nelayan, sebagai pengaruh imigrasi terhadap kesejahteraan rumah tangga nelayan. Mempertimbangkan pengaruh imigrasi terhadap kesejahteraan rumah tangga nelayan. 4) Tidak mobilitas Untuk tipe nelayan ini, yang selanjutnya disebut X4 dalam analisis SEM, yaitu yang tidak mobilitas, faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pengalaman melaut (X4.4) dengan nilai 0,20 yang artinya berpengaruh sebesar 4% terhadap mobilitas nelayan, tanggungan keluarga (X4.5) dengan nilai 0,20 yang artinya berpengaruh sebesar 4% terhadap mobilitas nelayan, pendapatan (X4.6) dengan nilai 0,47 atau 22,09% berpengaruh terhadap mobilitas, faktor persediaan ikan (X4.7) berpengaruh sebesar 4,41% terhadap mobilitas nelayan, kejenuhan (X4.8)
154
dengan nilai 0,17 yang artinya berpengaruh sebesar 2,89% terhadap mobilitas nelayan dan faktor modal (X4.9) dengan nilai 0,51 memiliki pengaruh sebesar 26,01% terhadap mobilitas nelayan dan faktor yang paling berpengaruh terhadap X4 adalah faktor modal berkurang (X4.9) karena memiliki nilai koefisien yang paling besar, yaitu 0,51 atau persentasi tertinggi yaitu 26,01%. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor modal memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap nelayan tipe ini. Hasil penelitian menunjukkan alasan di balik faktor ini adalah mereka tidak ingin melakukan mobilitas profesi ataupun demografis dengan alasan kurangnya modal untuk memulai profesi baru, selain itu pula kurang
ketrampilan
mereka
tidak
mencukupi.
Mereka
berfikir
bisa
mengumpulkan modal hanya dengan tetap dengan menjadi nelayan dengan harapan bisa tinggal di desanya tanpa harus berganti profesi, tapi tipe nelayan inilah yang bersikap ”masa bodo” terhadap perbaikan pendapatan mereka, padahal usia mereka berkisar antara 30-49 dimana rentang usia tersebut adalah rentang usia produktif. Profesi mereka di masa paceklik hanyalah memperbaiki jaring, memperbaiki perahu atau membuat umpan buatan dan lain-lain karena mereka merasa sangat bangga menjadi nelayan dan tidak ingin berganti profesi. Secara umum ternyata faktor modal adalah faktor yang paling mempengaruhi keputusan bermobilitas bagi nelayan tipe mobilitas geografi, nelayan mobilitas geografi dan mobilitas profesi dan nelayan tidak mobilitas. Mereka membutuhkan modal yang cukup untuk bisa merubah alat tangkap/perahu agar menjadi lebih baik, namun perubahan alat tangkap tersebut tidak bisa melenceng dari kemampuan dasar mereka, misalnya jika alat tangkap tersebut milik nelayan pemancing ikan kembung, maka tidak bisa dirubah menjadi alat tangkap pancing udang, secanggih apapun tidak akan berfungsi bagi mereka. Keputusan untuk bermobilitas adalah keputusan yang dipilih dengan harapan akan memperoleh tambahan pendapatan agar dapat disisihkan untuk keperluan penambahan modal untuk membeli alat tangkap yang lebih baik dari sebelumnya. Namun modal selama ini menjadi masalah bagi nelayan kecil, jika hendak meminjam ke bank sering terkendala dengan jaminan. Soal modal ini bagi nelayan sangat mendasar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Partosuwirjo et al. (2008) bahwa aspek keuangan merupakan aspek paling sensitif dalam menentukan
155
strategi pengembangan usaha perikanan tangkap. Hal ini karena usaha yang ada umumnya sangat lemah secara finansial. Maka dari itu sebaiknya digalakan program sertifikasi kepemilikan tanah atas lahan yang mereka diami selama ini, dengan adanya sertifikat, mereka akan mendapatkan akses yang lebih mudah ke bank untuk meminjam sejumlah uang demi keperluan modal. Sebab di wilayah pesisir, yang umumnya dihuni oleh para nelayan kecil, wilayah ini sering dianggap sebagai tanah tak bertuan, padahal nelayan mendiami wilayah tersebut secara turun temurun. Bahkan terkadang terjadi hilangnya aset tanah milik mereka akibat tidak adanya kepastian hukum atas kepemilikan. Selanjutnya faktor pendapatan yang merupakan faktor yang berpengaruh bagi semua tipe nelayan untuk tujuan mobilitas mereka. Nelayan ingin mendapatkan pendapatan yang lebih untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan keluarganya sehari-hari. Hal tersebut berlangsung sepanjang tahun, karena kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Sedangkan dalam masa-masa sepi penghasilan, biasanya istri dan anakanak nelayan buruh harus berjuang keras ikut mencari nafkah dengan melakukan segala profesi yang mendatangkan penghasilan. Demikian juga jika sedang tidak melaut, nelayan buruh dapat bekerja apa saja di darat untuk memperoleh penghasilan sehingga kelangsungan hidup rumah tangganya dapat terjamin. Akan tetapi, sejauh mana peluang-peluang kerja tersebut bisa diperoleh oleh anggotaanggota rumah tangga nelayan buruh sangat ditentukan oleh karakteristik struktur sumber daya ekonomi desa setempat. Desa-desa pesisir yang struktur sumber daya ekonominya bergantung sepenuhnya pada produksi perikanan laut, peluangpeluang kerja yang ada sangat terbatas. Sektor-sektor usaha lain yang umumnya bertumpu pada pengadaan bahan baku dari hasil laut, ketika musim sepi penghasilan, akan berhenti beroperasi sehingga peluang-peluang kerja yang bisa dimanfaatkan tidak dapat berlangsung secara kontinu. Sebaliknya, jika struktur sumber daya ekonomi desa cukup beragam, pilihan peluang-peluang kerja yang dimasuki akan terbuka lebar. Begitu pula faktor ketersediaan ikan juga merupakan faktor yang menyebabkan nelayan bermobilitas baik mobilitas geografi maupun profesi. Hal
156
ini berkaitan erat dengan cara mereka mencari ikan yang masih tradisional sehingga nelayan akan lebih banyak menggunakan waktunya untuk mencari daerah penangkapan ikan (DPI) dibandingkan untuk produksi (menangkap ikan), sehubungan dengan masalah ini ada baiknya jika mereka dilengkapi dengan fish finder dan global positioning system (GPS) yang dapat mendeteksi koordinat lintang, bujur dan kecepatan angin. Atau juga mereka dibantu dalam penyediaan kapal berkekuatan 5 GT bagi satu atau lebih kelompok nelayan dengan alat tangkap yang lebih baik kualitasnya dari alat tangkap yang mereka miliki sekarang. Global positioning system sangat bermanfaat bagi nelayan untuk mengetahui posisi saat di laut, menentukan rute perjalanan, menandai tempattempat yang banyak ikan, tempat yang dangkal dan sebagainya, sehingga dapat menghemat bahan bakar minyak (BBM) dan biaya melaut. Penentuan DPI yang umum dilakukan oleh nelayan di Provinsi Sulawesi Utara sejauh ini masih menggunakan cara-cara tradisional. Akibatnya, nelayan tidak mampu mengatasi perubahan kondisi oseanografi dan cuaca yang berkaitan erat dengan perubahan DPI yang berubah secara dinamis. Ekspansi nelayan besar ke DPI nelayan kecil mengakibatkan terjadinya persaingan yang kurang sehat bahkan sering terjadi konflik antara nelayan besar dan nelayan kecil. Selain hal-hal tersebut di atas, bisa juga disediakan rumpon bagi nelayan setempat. Rumpon juga bisa dipakai nelayan Sulawesi Utara sebagai alat bantu penangkapan ikan yang fungsinya sebagai pembantu untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul disuatu tempat yang selanjutnya diadakan penangkapan. Rumpon telah menjadi salah satu alternatif nelayan di Provinsi Sulawesi Utara sebagai DPI buatan dan manfaat keberadaan rumpon sebenarnya cukup besar. Sebelum mengenal rumpon, nelayan menangkap ikan dengan cara mengejar ikan atau menangkap kelompok ikan di laut, tapi kini dengan adanya rumpon, tempat penangkapan ikan menjadi lebih pasti posisinya. Secara teori rumpon ini bisa membantu nelayan setempat, namun pada kenyataannya para nelayan buruh belum mampu memiliki rumpon sendiri sehingga seringkali mereka menangkap ikan dengan cara menyewa atau membayar rumpon milik nelayan skala besar. Adakalanya rumpon hanyut terbawa
157
arus sampai jauh ke laut lepas sehingga mereka tidak mampu lagi untuk mencapainya dengan perahu yang mereka miliki. Selanjutnya adalah faktor kejenuhan, faktor kejenuhan berpengaruh pada nelayan yang bermobilitas geografi, mobilitas profesi dan tidak mobilitas. Sebaliknya bagi nelayan yang bermobilitas geografi dan mobilitas profesi, faktor kejenuhan tidak berpengaruh bagi mereka, umumnya mereka bermobilitas hanya sementara ketika musim paceklik saja, ketika musim penangkapan kembali, mereka kembali menjadi nelayan. Selain itu, penggunaan kapal yang lebih canggih akan meningkatkan hasil tangkapan dan mencegah kejenuhan. Selama ini nelayan banyak yang hanya memanfaatkan kapal-kapal kecil yang mempunyai keterbatasan wilayah operasi, yakni hanya mampu beroperasi pada jalur I dengan jarak 3 mil laut, sehingga berakibat overfishing, Dengan kapal berteknologi canggih yang berkapasitas lebih besar, misalnya kapal 5 GT, maka diharapkan nelayan mampu berlayar ke area yang lebih jauh sehingga hasil tangkapan lebih meningkat. Selanjutnya faktor pengalaman melaut dan tanggungan keluarga menjadi faktor-faktor penyebab nelayan bermobilitas baik mobilitas geografi ataupun mobilitas profesi. Dengan adanya pengalaman melaut yang lebih dari 30 tahun mereka bisa mengatur waktu kapan harus melaut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Faktor tanggungan keluarga mempengaruhi semua tipe mobilitas nelayan, meskipun pengaruhnya sangat kecil, namun faktor tanggungan keluarga memotivasi nelayan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik bagi keluarga, dengan cara bermobilitas mereka berharap dapat menaikan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan seluruh anggota keluarga. 5.5
Dampak Mobilitas Nelayan Terhadap Status Nelayan Hasil analisis SEM (Gambar 19) menunjukkan bahwa mobilitas geografi
(X1), mobilitas geografi dan profesi (X2), mobilitas profesi (X3) dan tidak mobilitas (X4) memiliki dampak terhadap status nelayan (Y) meskipun nilainya relatif kecil, selanjutnya diuraikan penjelasan tentang dampak untuk masingmasing tipe mobilitas, seperti di bawah ini.
158
1) Mobilitas geografi Mobilitas geografi (X1) berdampak sebesar 0,17 terhadap perubahan status nelayan (Y) artinya mobilitas profesi nelayan (X1) hanya berpengaruh sebesar 2,89% terhadap perubahan status nelayan (Y). Nilai tersebut mengindikasikan bahwa mobilitas profesi (X1) tidak berdampak secara signifikan terhadap perubahan status nelayan (Y) dari nelayan skala kecil menjadi nelayan skala besar dikarenakan beberapa hal, diantaranya biaya untuk perjalanan menangkap ikan, jadi meskipun para nelayan ini mendapatkan hasil yang banyak di daerah tujuan mobilitas, namun karena jarak tempuh yang jauh dan memakan biaya besar juga, maka hasil pendapatannya pun tetap sedikit. Saat musim kemarau ketika temperatur panas air laut cukup tinggi, ikan sulit diperoleh karena nelayan tidak melakukan penangkapan ikan maka mengakibatkan tingkat penghasilan nelayan menurun. Apabila diperairan pantai pesisir sedang tidak musim ikan atau tidak ada penghasilan yang baik, nelayan akan melakukan andun (migrasi musiman) ke darat yang dapat memberikan penghasilan. Lama masa andun nelayan pesisir tersebut sangat bergantung pada tingkat penghasilan yang ada, artinya, jika tingkat penghasilan yang diperoleh dalam dua-tiga hari melaut dari masa-masa akhir mereka andun sudah dianggap sedikit berarti mereka harus menyudahi masa andunnya (Kusnadi 1997). Setelah bermobilisasi geografi penangkapan nelayan tipe ini ternyata tidak atau belum mampu merubah statusnya, artinya status sebagai nelayan kecil dalam hal ini buruh nelayan (ABK) belum bisa diubah menjadi nelayan pemilik apalagi nelayan besar. Pada awalnya mereka berharap mendapatkan keuntungan lebih dengan melakukan mobilisasi ke daerah lain, tetapi kenyataan tidak sesuai harapan, seringkali daerah yang mereka tuju juga keadaannya serupa dengan daerah yang mereka tinggalkan dan karena keterbatasan kapal/perahu mereka tidak dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Seandainya pun mereka mampu menjangkau daerah yang lebih jauh, seringnya hasil yang didapat digunakan untuk menutup pengeluaran yang telah dipakai untuk ongkos melaut seperti ransum dan bahan bakar minyak (BBM). Bagi nelayan yang dalam hal ini disebut ABK hasil yang didapatkan dari bermobilisasi ke tempat lain belum mampu merubah status mereka karena terjebak dalam sistem bagi hasil yang tidak
159
berpihak kepada mereka. Sistem bagi hasil dikalangan masyarakat nelayan antara nelayan pemilik dan nelayan penangkap (buruh) masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan sebagian besar masih menggunakan hukum adat tidak tertulis (konvensi), dimana hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dari masa ke masa dan satusatunya yang diuntungkan adalah nelayan juragan (tauke) yang mendapatkan bagian terbesar dalam sistem tersebut. Nelayan yang bermobilitas (andun) ada dimana-mana mereka melakukan mobilitas dengan berbagai alasan, selain di Provinsi Sulawesi Utara nelayan andun juga ada di Madura. Hasil penelitian Kusnadi (2002) menyatakan bahwa dalam peta masyarakat Jawa Timur, nelayan-nelayan Madura tidak hanya ditemukan di pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Banyuwangi. Kehadiran nelayan-nelayan Madura mengadakan mobilitas kemaritiman karena etos kerja dan tradisi maritim (Kusnadi 2002). Sebaliknya pada saat musim ikan di desa pesisir, tidak hanya penduduk setempat yang mengais rezeki dari sumber daya perikanan laut tetapi penduduk dari desa-desa sekitarnya atau nelayan dari daerah lain yang disebut sebagai nelayan andun juga mencari penghasilan di perairan ini. Nelayan andun ini dengan kondisi peralatan tangkap yang sangat sederhana bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik disaat musim ikan di daerah tujuan andun. 2) Mobilitas geografi dan mobilitas profesi. Mobilitas geografi dan mobilitas profesi (X2) berdampak sebesar 0,08 terhadap perubahan status nelayan (Y), artinya mobilitas geografi dan profesi nelayan (X2) hanya berpengaruh sebesar 0,64% terhadap perubahan status nelayan (Y). Pengaruh sebesar 0,64% ini menunjukkan bahwa pengaruh mobilitas geografi dan profesi terhadap dampak perubahan status dari nelayan skala kecil menjadi nelayan skala besar sangat kecil, beralih profesi di daerah tujuan baru merupakan hal baru yang membutuhkan adaptasi yang berbeda bagi nelayan, meskipun mungkin penghasilan mereka sebagai non nelayan cukup besar, namun pengeluaran akan jauh lebih besar, misalnya nelayan Sangihe yang beralih profesi menjadi buruh bangunan di Manado dengan penghasilan sebesar Rp. 750.000,perbulan, jika pendapatan tersebut dibelanjakan di daerah pesisir mungkin masih
160
cukup, namun jika dibelanjakan di kota besar seperti Manado yang harga kebutuhan sehari-harinya tinggi, maka pendapatan dengan angka sebesar itu kurang bernilai, jadi pada akhirnya tetap saja status mereka tidak berubah secara signifikan ke arah yang lebih baik. Maka, setelah bermobilisasi atau berpindah lokasi penangkapan pun nelayan tipe ini ternyata tidak atau belum mampu merubah statusnya, artinya status sebagai nelayan kecil dalam hal ini buruh nelayan (ABK) belum bisa diubah menjadi nelayan pemilik apalagi nelayan besar. Jenis alih profesi nelayan di lokasi penelitian meliputi sektor perdagangan, perindustrian, perhubungan, jasa dan sektor informal. Sebagian nelayan melakukan mobilitas geografis yakni melakukan perpindahan wilayah kerja bahkan tempat tinggal. Proses perpindahan kerja tidak selalu dilakukan langsung setelah berhenti melaut tetapi ada yang sudah dirintis sejak menjadi nelayan. Pendapatan yang diterima dari profesi yang baru ini tidak selalu lebih tinggi, namun kontinu setiap bulan untuk semua jenis profesi. Meskipun begitu tidak selamanya penilaian ditujukan dari ekonomi tetapi dari nilai-nilainya yang hanya bisa dirasakan, yaitu suasana kerja, keamanan dan curahan jam kerja. Maka dari itu, biasanya sebagian nelayan tipe ini akan kembali menjadi nelayan, jika akibat dari alih profesi itu tidak bisa menopang kehidupan mereka. 3) Mobilitas profesi Mobilitas profesi (X3) berdampak sebesar 0,21 terhadap perubahan status nelayan (Y), artinya mobilitas profesi (X3) hanya berpengaruh sebesar 4,41% terhadap perubahan status nelayan (Y). Dampak dari mobilitas tipe mobilitas profesi ini adalah dampak dengan nilai presentasi tertinggi, hal ini disebabkan mereka berubah profesi di tempat asal mereka, sehingga tidak banyak membutuhkan biaya untuk hal-hal tidak terduga, misalnya transportasi atau sewa rumah. Namun, tetap saja angka tersebut belum memberikan pengaruh atau dampak yang signifikan terhadap perubahan status nelayan itu sendiri ke arah yang lebih baik. Setelah berpindah profesi, selama musim paceklik, sebagai tukang ojek, buruh kelapa, kuli bangunan, penjual sayur dan lain-lain ternyata nelayan tipe ini tidak atau belum mampu merubah statusnya, artinya mereka tidak mendapatkan
161
modal tambahan untuk membeli alat baru jika kelak kembali menjadi nelayan setelah musim paceklik berlalu, kehidupan nelayan yang miskin ini, memang tak lepas dari penghasilan mereka yang sangat kecil. Bahkan kalau dirata-ratakan, pendapatan per bulan nelayan di Provinsi Sulawesi Utara hanya sekitar Rp 500.000 per bulan. Jumlah yang sangat kecil, bila kemudian dihubungkan dengan nilai rupiah yang harus dikeluarkan dalam situasi harga-harga kebutuhan hidup saat ini, dengan pendapatan sekecil itu, nyaris tak ada yang bisa disimpan oleh mereka, karena semuanya habis untuk kebutuhan makanan dan pengeluaran rutin harian rumah tangga, serta biaya pemeliharaan alat tangkap yang sudah ada, artinya status sebagai nelayan kecil dalam hal ini buruh nelayan (ABK) belum bisa diubah menjadi nelayan besar. Barangkali masih ada strategi lain yang bisa digunakan oleh nelayan untuk menghadapi ketidakpastian penghasilan, seperti mengkombinasikan profesi, dalam masyarakat-masyarakat tribal dan pertanian, kegiatan menangkap ikan jarang menjadi profesi yang eksklusif. Penangkapan ikan selalu dikombinasikan dengan profesi berburu, bertani, atau profesi-profesi lainnya. Petani-petani di Swedia misalnya, sering menggabungkan profesi menangkap ikan dan berkebun sehingga sulit dibedakan mana profesi yang lebih utama, dalam masyarakat nelayan modern, hal-hal seperti itu sangat umum dimana kegiatan menangkap ikan dilakukan secara bergantian dengan profesi-profesi lain (Kusnadi 2002). 4) Tidak mobilitas Tidak mobilitas (X4) berdampak sebesar 0,19 terhadap perubahan status nelayan (Y), artinya tidak mobilitas (X4) hanya berpengaruh sebesar 3,61% terhadap perubahan status nelayan (Y). Tipe tidak mobilitas nelayan ini berdampak sebesar 3,61% terhadap perubahan status nelayan, angka yang relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pendapatan nelayan di musim paceklik ikan, karena nelayan tidak melakukan profesi yang mendatangkan pemasukan bagi perekonomian nelayan dan kelurganya. Maka, keadaan ini tetap tidak merubah status para nelayan tipe ini, artinya status sebagai nelayan kecil dalam hal ini buruh nelayan (ABK) belum bisa diubah menjadi nelayan pemilik apalagi nelayan besar.
162
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa mobilitas nelayan (geografi/profesi) tidak berdampak banyak pada peralihan status nelayan, seperti hasil yang ditunjukan di lokasi penelitian, mereka melakukan mobilitas sejak bertahun-tahun lalu, namun tidak banyak perubahan signifikan dalam kehidupan mereka, mereka tetap miskin dan hidup dalam kesulitan. Maka mobilitas bukanlah alternatif satusatunya untuk proses peningkatan kesejahteraan nelayan. Oleh sebab itu maka perlu dicarikan solusi-solusi strategis untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik. Adapun solusi-solusi strategis yang dapat direalisasikan dijelaskan lebih terinci pada penjelasan selanjutnya.
5.6
Solusi Strategis untuk Mempercepat Alih Status Nelayan Ke arah yang Lebih Baik Strategi armada semut menjadi salah satu cara yang paling mungkin guna
meningkatkan kesejahteraan nelayan dalam waktu cepat. Sistem pengelolaan armada semut dilakukan secara berkelompok, dimana nantinya hasil tangkapan nelayan dikumpulkan di kapal penampung yang sudah disediakan oleh pemerintah setelah mencukupi baru kemudian dibawa untuk dijual ke pasar. Dengan kapal yang mereka gunakan sekarang seperti perahu jukung, perahu ketinting ataupun perahu motor tempel, hasilnya belum memadai, karena itu tak heran bila pendapatan nelayan belum mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dengan sistem armada semut pendapatan akan lebih besar dari sebelumnya karena jarak tempuh nelayan dengan kapal penangkap ikan cukup dekat dan nelayan bisa melakukan penangkapan lebih lama dengan produksi lebih banyak pula. Sistem armada semut, membuat nelayan harus rela berkelompok, karena hasil tangkapan menyatu di kapal penampung ikan yang beroperasi di sekitar nelayan. Agar program ini sukses, pemerintah membantu pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal penampung ikan. Selanjutnya, dikarenakan situasi kerja nelayan Sulawesi Utara yang menuntut kerja keras mereka menjadi rentan sakit, untuk itu sebaiknya pemerintah memberi jaminan kesehatan gratis, berupa pemeriksaan kesehatan gratis di puskesmas, rumah sakit swasta dan pemerintah. Jaminan kesehatan kepada nelayan, berupa obat dan perawatan rujukan rumah sakit luar daerah.
163
Dilihat dari kekuatan yang berupa keinginan kuat nelayan untuk merubah status, faktor penarik dan pendorong untuk mobilitas, jumlah nelayan skala kecil masih cukup banyak, pengalaman kerja (melaut) yang cukup baik maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa Strategi SO yang cocok diantaranya: Menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru; Membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil. Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologiteknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Dengan banyaknya nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi tepat guna, maka sangat diharapkan adanya perubahan hasil tangkapan yaitu menjadi lebih meningkat sehingga pendapatan pun akan meningkat. Dengan adanya peningkatan pendapatan, bisa berakhir dengan beralihnya status mereka dari nelayan skala kecil menjadi nelayan skala besar. Peningkatan pendapatan juga dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan investor baik asing maupun lokal, dimana para investor ini memberikan bantuan berupa kapal sekaligus perizinannya yang sesuai dengan kondisi geografis wilayah laut dimana para nelayan tersebut bermukim sehingga nelayannelayan ini bisa memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik, yang berakibat dapat membawa perubahan atas status mereka, dari nelayan kurang mampu menjadi nelayan mampu. Hal perizinan sangatlah penting bagi nelayan skala kecil seperti yang di katakan oleh Sulistiono et al. (2009) bahwa terkait dengan kebijakan pemerintah, kemudahan perizinan paling penting dibandingkan kebijakan lainnya karena sangat dibutuhkan terutama untuk ekspansi industri perikanan tangkap.
164
Yuliadi (2009) dalam jurnalnya menyatakan bahwa peranan investasi penanaman
modal
asing
(PMA)
sangat
penting
dalam pengembangan
perekonomian Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi barang dan jasa, mendorong peningkatan nilai tambah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan DPI sangatlah diharapkan para nelayan di Provinsi Sulawesi Utara agar mampu menggunakan teknologi tepat guna untuk mencari DPI yang strategis dan mampu menggunakan data-data DPI tahun sebelumnya untuk memprediksi DPI yang akan datang. Dilihat dari kelemahan yang berupa alih profesi dan lokasi, pendapatan nelayan yang minim, faktor budaya masyarakat nelayan, rendahnya teknologi penangkapan, ketidakmampuan memprotes kebijakan pemerintah, peraturan pemerintah yang sulit diterapkan dengan peluang yang meliputi mengadopsi teknologi baru potensi sumber daya ikan belum dimanfaatkan secara optimal, dukungan pemerintah daerah untuk meningkatkan usaha perikanan, peningkatan kualitas alat penangkapan ikan maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa strategi WO yang cocok diantaranya; pemerintah memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal, pemerintah mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan. Penyuluh
yang
melakukan
penyuluhan
haruslah
penyuluh
yang
bertanggung jawab. Penyuluh yang bertanggung jawab dimaksudkan adalah penyuluh yang benar-benar bertanggung jawab pada tugasnya untuk membantu nelayan dan keluarganya dalam meningkatkan kualitas hidup mereka dan bukan penyuluh yang hanya mementingkan diri sendiri yang semata-mata menjalankan tugas karena perintah dan semata-mata hanya tujuan finansial. Teknologi yang diadopsi dari luar adalah teknologi yang tepat guna bagi nelayan, bukan teknologi yang justru merugikan nelayan. Teknologi ini sangat diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi nelayan sehingga pendapatan mereka pun akan meningkat yang pada akhirnya akan merubah status mereka menjadi nelayan yang lebih mampu. Dilihat dari kekuatan yang berupa keinginan kuat nelayan untuk merubah status, faktor penarik dan pendorong untuk mobilitas, jumlah nelayan skala kecil
165
masih cukup banyak, pengalaman kerja (melaut) yang cukup baik, dengan ancaman yang berupa sistem bagi hasil yang merugikan nelayan skala kecil, adanya tengkulak, illegal fishing, kejenuhan dalam pekerjaan, pengrusakan habitat perairan pada saat penangkapan ikan maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa strategi ST yang cocok adalah meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini. Sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat proses pembangunan termasuk pembangunan perikanan tangkap. Teknologi, modal dan potensi sumber daya ikan merupakan faktor produksi yang pada dasarnya bersifat pasif. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan teknologi hingga produktifitas meningkat, oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia seharusnya mendapat prioritas dalam pembangunan perikanan tangkap. Pengembangan sumber daya manusia perikanan dapat diempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, pendidikan dan latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Suryani (2004) dalam jurnalnya menyatakan bahwa berdasarkan hasil pengujian statistik dengan menggunakan regresi linear berganda, ada tiga faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat pendidikan formal anak pada keluarga nelayan yaitu umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan jarak tempat tinggal dengan sarana pendidikan Selain faktor-faktor tersebut. faktor lain turut mempengaruhi tingkat pendidikan formal anak pada keluarga nelayan dan yang menjadi faktor utama adalah bersumber dari ketersediaan informasi tentang pendidikan relatif masih rendah. Kenyataan bahwa anak-anak nelayan akan meninggalkan bangku sekolah dan mengikuti ayahnya melaut pada saat menjelang usia remaja, maka perlu dibuat suatu kerangka pendidikan non formal bagi para nelayan pemula ini agar mereka dapat menjadi nelayan dengan kualitas hidup yang lebih baik dari orangtuanya, sekaligus memahami perlunya menjaga kelestarian lingkungan. Khusus bagi remaja perempuan mungkin perlu diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan ketrampilan informal seperti ketrampilan menjahit, ditambah pengetahuan mengenai kewirausahaan, kesehatan dan pengetahuan mengenai lingkungan, dengan demikian selain dapat mandiri dalam mencari
166
nafkah, para remaja putri ini diharapkan dapat turut serta berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan. Secara tidak langsung, kelak para remaja putri ini dapat menanamkan kebiasaan hidup sehat dan memelihara kebersihan lingkungan dalam lingkungan keluarga, khususnya anak-anak mereka. Pendidikan yang dirasa cocok dengan kehidupan nelayan yang sangat dinamis adalah pendidikan informal, atau bisa dibilang sekolah lapangan. Maka demikian maka penyelenggaraan pendidikan akan lebih fleksibel karena tidak terikat oleh waktu, jadwal dan bisa dilaksanakan dimana saja. Materi yang disampaikan dalam sekolah lapangan sama dengan yang diberikan pada sekolah formal biasa namun dalam kemasan yang lebih menarik sehingga siswapun menjadi betah. Mengenai hal ujian nasionalpun juga sama, siswa dari sekolah lapangan ini berhak untuk mengikuti uajian akhir nasional (UAN) dan mendapatkan Ijazah. Pendidikan lapangan ini tidak hanya ditujkan kepada anakanak saja tetapi juga ditujukan kedapa masyarakat nelayan secara luas. Misalnya dengan pendidikan menjahit, mengolah hasil laut, memasarkan hasil laut lewat internet dan lain-lain sehingga ketika tidak melaut akan tetap ada penghasilan yang didapat dari kegiatan tersebut. Berangkat dari situlah mulai ditanamkan nilai-nilai tentang pentingnya pendidikan. Sehingga di kemudian hari tidak ada lagi kalangan nelayan miskin atau kumpulan masyarakat yang menganggap pendidikan tidak penting. Penempatan aparat netral sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan karena selama ini nelayan diperlakukan sangat tidak adil, sebagai contoh banyak nelayan di Provinsi Sulawesi Utara yang justru mendapat kerugian yang diakibatkan oleh sanksi yang diberikan oleh aparat yang bersangkutan, padahal mereka belum mendapat hasil tangkapan sama sekali, adapula sanksi berupa pembayaran sejumlah uang yang harus juga ditanggung oleh nelayan yang berprofesi sebagai ABK yang diterapkan melalui sistem bagi hasil. Semua ini berakibat rendahnya pendapatan nelayan sehingga tidak dapat merubah status mereka. Modal merupakan masalah yang paling riskan bagi para nelayan, karena mereka tidak bisa memperoleh modal tanpa agunan atau apakah bisa mereka memperoleh modal dengan laut sebagai jaminannya? Maka dari itu memudahkan
167
proses pemberian modal bagi nelayan akan meningkatkan produksi hasil tangkapan, membeli alat baru yang lebih up to date dan lain sebagainya. Semua ini akan mengakibatkan peningkatan pendapaan dan peningkatan status. Dilihat dari kelemahan yang berupa alih profesi dan lokasi, pendapatan nelayan yang minim, faktor budaya masyarakat nelayan, rendahnya teknologi penangkapan, ketidakmampuan memprotes kebijakan pemerintah, peraturan pemerintah yang sulit diterapkan dengan ancaman: sistem bagi hasil yang merugikan nelayan skala kecil, adanya tengkulak, illegal fishing, kejenuhan dalam pekerjaan, pengrusakan habitat perairan pada saat penangkapan ikan, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa strategi WT yang cocok adalah memberi sanksi keras bagi oknum yang melakukan illegal fishing demi keuntungan pribadi. Pemberian sanksi yang keras terhadap oknum ”nakal” bisa memberikan hasil yang positif bagi nelayan, dalam arti sekurang-kurangnya hak nelayan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dapat terwujud, karena tidak akan ada lagi pungutan-pungutan diluar kemampuan nelayan untuk membayarnya. Dengan demikian pendapatan mereka bisa digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya atau bahkan dapat menaikan status nelayan itu sendiri menjadi lebih baik. 5.7
Tindakan Konkrit untuk Mempercepat Alih Status Nelayan ke Arah yang Lebih Baik di Provinsi Sulawesi Utara
5.7.1
Memberikan pemahaman ecosystem approach kepada nelayan Kehidupan
nelayan
bergantung
pada
dipertahankannya
integritas
ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah (Mitchell et al. 2003). Pengetahuan ekologis tradisional dan pengetahuan teknik tradisional membuat masyarakat memilih cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam (Sambo dan Woytek 2001).
168
Teknik eksploitasi secara tradisional yang digunakan masyarakat merupakan sistem eksploitasi berkelanjutan, mengurangi kerusakan ekosistem dan penurunan keanekaragaman hayati (Pinedo-Vaquez et al. 2001). Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapatlah disimpulkan bahwa melalui hasil penelitian nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara umumnya mereka memahami tentang permasalahan ekosistem/ekologi, dengan pengetahuan tersebut mendorong nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara untuk melakukan mobilitas, dengan tidak menggunakan bahan-bahan tidak ramah lingkungan demi mendapatkan ikan ketika tidak ada ikan dan mendorong mereka untuk mengingatkan sesama nelayan untuk tidak merusak lingkungan ketika menangkap ikan di suatu perairan, kemudian memberikan pemahaman tentang hal-hal lain lagi yang bisa mereka lakukan agar tidak merusak lingkungan pada saat melakukan penangkapan ikan di suatu area penangkapan ikan. 5.7.2
Mengatasi konflik nelayan Menurut Pruitt dan Rubin (2004) konflik adalah persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Sedangkan Fisher et al. (2001) berpendapat bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Selain
itu,
Wiradi
(2003)
memberikan
definisi
konflik
sebagai suatu situasi proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Dalam kata lain konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Dari berbagai definisi konflik di atas, maka pemahaman konflik secara umum melibatkan dua aspek. Pertama, aspek psikologis yang berkenaan dengan persepsi mengenai perbedaan kepentingan dan perbedaan cara pandang terhadap suatu objek tertentu (konflik laten). Kedua, aspek konfrontasi fisik berupa perkelahian, peperangan,dan perjuangan dimana ada upaya untuk menyingkirkan, menghancurkan dan membuat tidak berdaya oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain (konflik terbuka/manifes).
169
Nelayan sebagai pihak yang memanfaatkan sumber daya laut tidak selalu memiliki hubungan yang harmonis, baik dengan sesama nelayan maupun dengan pihak-pihak lain yang bukan nelayan. Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground) bagi armada dengan skala kecil atau perikanan rakyat dan armada dengan skala besar atau perikanan industri. Alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara adalah bagan, pajeko (mini purse seine) dan huhate (longline). Data sementara menunjukkan ketiga alat di atas mendominasi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara sehingga dapat menyebabkan konflik antara nelayan baik nelayan skala kecil dengan nelayan skala besar, maupun antar nelayan skala kecil seperti antar nelayan pancing, antar nelayan ikan cakalang, antar nelayan jaring. Konflik yang terjadi biasanya dalam perebutan daerah penangkapan karena nelayannelayan tersebut bersaing memanfaatkan daerah penangkapan ikan yang sama yang menyebabkan sebagian besar nelayan tidak mendapatkan hasil tangkapan atau tidak memperoleh ikan sama sekali. Mengenai pemanfaatan sumber daya perikanan laut, terjadi kompetisi baik antar nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang (andun). Kompetisi juga terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap dan perebutan sumber daya ikan di daerah penangkapan ikan (fishing ground). Hal ini kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan modal dan ketrampilan nelayan dalam menggunakannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai sumber daya milik bersama (common property resources) tidak memiliki batasan kawasan/wilayah yang jelas. Dengan demikian, terjadilah benturan atau konflik di antara para nelayan yang sangat bergantung secara ekonomis terhadap laut (Simbolon 2009). Konflik pada masyarakat nelayan dapat terjadi akibat faktor eksternal dan internal. Kasus konflik akibat faktor eksternal terjadi akibat terusiknya kelangsungan usaha masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-kapal besar seperti dari Philipina sehingga aktifitas keseharian nelayan setempat menjadi
170
terganggu. Masalah ini yang sering terjadi di banyak daerah di Provinsi Sulawesi Utara, dimana alat tradisional semakin terlindas oleh nelayan skala besar yang menggunakan alat tangkap yang dimodifikasi dan mempunyai catchability yang lebih tinggi. Seperti yang didapat dari hasil wawancara, nelayan tradisional dari Sangihe yang bermobilitas ke Bitung, mereka bentrok dengan nelayan Bitung karena bersaing memanfaatkan daerah penangkapan ikan yang sama di Bitung. Selanjutnya ada juga nelayan dari Kema yang bersaing dengan nelayan dari Philipina dan Taiwan dalam memperebutkan daerah penangkapan ikan di Amurang. Bahkan nelayan Philipina sampai berani masuk ke wilayah territorial 3 mil di perairan pantai Sangihe yang terletak di utara Sulawesi Utara. Konflik tersebut sering kali melibatkan dua kelompok nelayan berbeda teknologi dalam memperebutkan daerah dan target penangkapan yang sama. Konflik antar nelayan disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah meningkat. Kedua, luas wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang. Ketiga, perairan telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun. Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan
Undang-undang
mengenai
otonomi
daerah
yang
mengatur
kewenangan pengelolaan wilayah perairan laut (Simbolon 2009). Beberapa faktor yang kerap kali menjadi dasar pecahnya konflik sosial di kalangan nelayan Sulawesi Utara adalah adanya perbedaan penggunaan teknologi penangkapan ikan dan adanya kekuatan lain di luar kalangan nelayan yang mendesak kepentingan nelayan. Nelayan di Provinsi Sulawesi Utara terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan. Tidak jarang terjadi persinggungan wilayah penangkapan ikan (fishing ground ) yang kemudian memicu terjadinya konflik. Perbedaan teknologi yang digunakan juga menimbulkan perbedaan hasil tangkapan sehingga hal ini dapat memicu kecemburuan terhadap kelompok lain. Biasanya yang terjadi adalah ketidaksukaan nelayan “tradisional” terhadap nelayan “modern”. Hal ini juga dapat menjadi pemicu pecahnya konflik. Konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok ini merupakan kelompok internal karena melibatkan sesama nelayan. Selain itu terdapat juga konflik
171
eksternal yang merupakan konflik antara kalangan nelayan dengan pihak lain non-nelayan, dalam hal ini adalah pihak swasta. Berbagai faktor di atas mengarah kepada satu isu yaitu terganggunya aktivitas dan keberadaan para nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dalam usaha meningkatkan perekonomian hidupnya. Masing-masing individu nelayan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya yang sama yaitu laut. Konflik antar nelayan menjadi salah satu faktor yang memicu nelayan tradisional Sulawesi Utara melakukan mobilitas profesi menjadi petani kelapa, tukang ojek, supir, kuli bangunan, tukang bongkar muat dan lain-lain. Kejenuhan menghadapi konflik yang sering terjadi membuat nelayan Sulawesi Utara mengambil inisiatif untuk bermobilitas profesi, namun jika keadaan dirasa sudah membaik makan nelayan yang beralih profesi tersebut akan kembali menjadi nelayan, karna nelayan Sulawesi Utara sangat mencintai profesinya sebagai nelayan. Sama halnya di daerah lain, konflik antar nelayan adalah hal lumrah dimanapun. Contoh daerah lain yang sering terjadi konflik antar nelayannya adalah di daerah Kalimantan Barat sebagian besar kasus konflik yang terjadi dikalangan nelayan Balikpapan adalah bersifat konflik terbuka atau manifes dan hanya satu kasus saja yang merupakan konflik laten. Meskipun bersifat laten, kasus antara nelayan pejala dan pebagan perahu sangat berpotensi untuk berubah menjadi konflik terbuka yang sewaktu-waktu dapat meledak. Kedalaman konflik pada kasus-kasus konflik terbuka semuanya telah sampai pada tahap clash atau bentrok. Pada tahun 2010 lalu misalnya terjadi pembakaran dua atau tiga dogol/mini trawl setiap hari dalam kasus konflik antara nelayan dogol/mini trawl dengan
perengge,
hingga
diperkirakan
dogol/mini
trawl yang
dibakar mencapai 50 buah pada saat itu. Bentrokan terbesar yang terjadi dari contoh-contoh kasus konflik nelayan di Balikpapan di atas kemungkinan adalah peristiwa dibakarnya kapal milik nelayan purse seine dari Juwana (Jawa Tengah), KM Mutiara Sakti, oleh nelayan lokal pada tanggal 16 Januari 2006. Hal ini adalah puncak dari ketidak senangan nelayan terhadap keberadaan kapal-kapal “modern” tersebut di wilayah tangkap mereka
172
(fishing ground). Sedangkan pada konflik eksternal, bentrokan yang terjadi ditunjukkan
dalam bentuk
penyanderaan
dan
pemblokiran
kapal
perusahaan, pemukulan, penikaman oleh pisau, penghancuran rumah nelayan dan demonstrasi. Lain halnya dengan konflik yang terdapat di Kotabaru, menurut Yusmilyansari (2009) jenis-jenis konflik yang terdapat di Kotabaru Kalimantan Selatan dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1)
Konflik nelayan lokal dengan nelayan luar (konflik alat tangkap, konflik kapal penangkap ikan, penggunaan bom).
2)
Konflik nelayan lokal denga andun (konflik perusakan terumbu karang, konflik penggunaan bom dan bahan kimia berbahaya). Konflik lokal nelayan (konflik fishing ground, konflik jalur penangkapan,
konflik alat tangkap). Sehubungan dengan konflik internal sebenarnya persoalan pokok bukan terletak pada perbedaan jenis alat tangkap, melainkan adanya perbedaan yang mengandung unsur hierarkis yaitu ada pihak yang lebih superior dan ada yang lebih inferior dalam kemampuan memanfaatkan sumber daya alam. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi dominasi satu kelompok nelayan atas kelompok nelayan lain. Inilah yang sebenarnya memicu sebagian besar konflik sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam di kalangan nelayan di Indonesia khususnya Provinsi Sulawesi Utara. Resolusi konflik dipandang sebagai upaya meredakan dan mengurangi konflik yang telah dan sedang terjadi. Pada dasarnya konflik kenelayanan (terkait pemanfaatan sumber daya laut) bernuansa kekerasan (Adhuri et al. 2005). Konflik yang bernuansa kekerasan maupun yang tidak, bermanfaat dan tidak dapat dihilangkan dalam masyarakat karena hubungan-hubungan antar pihak-pihak (individu atau kelompok) dalam masyarakat tidak selamanya harmonis, setidaknya ada hal yang dipertentangkan. Akar konflik dalam pengeksploitasian sumber daya laut atau yang dikenal dengan istilah kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut tergolong sumber daya milik umum (public property resource) sehingga untuk mengatasinya dilakukan dengan penciptaan keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya (Hardin 1968 dalam Adhuri et al. 2005).
173
Upaya penyelesaian (resolusi) perlu segera dilakukan terutama pada konflik yang bernuansa kekerasan agar tidak semakin buruk dan diharapkan dapat menghasilkan keseimbangan (equilibrium) baru di masyarakat. Di pihak lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri suatu kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher et al. 2001). Adapun beberapa saran yang direkomendasikan sebagai alternatif pemecahan/penyelesaian konflik di Provinsi Sulawesi Utara adalah sebagai berikut: 1)
Mendorong
masyarakat
nelayan
dalam
menguatkan
kerjasama
kelembagaan antar Kabupaten/Kota, menetapkan armada dan kuota penangkapan, merealokasi wilayah penangkapan, sedangkan pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan dapat ditempuh dengan cara memberdayakan atau dengan cara memberi pinjaman modal yang ditujukan untuk alternatif usaha selain usaha penangkapan, seperti usaha pengolahan ikan, budidaya perikanan. 2)
Menyarankan
pemerintah
penangkapan
yaitu
untuk
dengan
mengkaji
memperhatikan
pengaturan jarak
zona
dominasi
pemberian pengakuan secara legal hak khusus sekelompok nelayan atas wilayah tangkap tertentu (pemberian status property right ). Hal ini merupakan langkah awal dari pengakuan secara legal “hak pemanfaatan tradisional” nelayan lokal. Sesuai dengan UU jalur penangkapan UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009, Jalur penangkapan ikan adalah wilayah perairan yang merupakan bagian dari WPP-NRI untuk pengaturan dan pengelolaan kegiatan penangkapan yang menggunakan alat penangkapan ikan yang diperbolehkan dan/atau yang dilarang. Jalur Penangkapan Ikan di WPP-NRI terdiri dari: a) Jalur penangkapan ikan I. Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, terdiri dari: -Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
174
-Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut. b) Jalur penangkapan ikan II. Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. c) Jalur penangkapan ikan III. Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. 3)
Memberdayakan badan yang mengawasi usaha penangkapan di setiap wilayah tangkap.
4)
Mengkombinasikan penguasaan pribadi/swasta dengan kolektivisme negara. Hal ini akan membuat semua pihak merasa dihargai kehadirannya dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam.
5.7.3
Meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil yang berkeadilan Jalinan sosial antar nelayan Sulawesi Utara membentuk pola hubungan
yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Hubungan sesama kerabat, saudara sedarah dan bentuk-bentuk afinitas merupakan contoh pola horizontal. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Interaksi nelayan di Provinsi Sulawesi Utara membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya (juragan) dan tengkulak dengan nelayan miskin (buruh). Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak. Nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang sangat tidak berpihak pada nelayan selalu terjadi pada pola patron-klien di lokasi penelitian. Sistem bagi hasil dikalangan masyarakat nelayan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan penangkap (klien) masih mengikuti pola kelembagaan tradisi masyarakat pantai dengan kebiasaan sebagian besar masih menggunakan hukum adat tidak tertulis (konvensi), dimana hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
175
dipertahankan dari masa ke masa. Jadi, sistem bagi hasil tidak bisa dihilangkan secara penuh dari dunia kenelayanan, namun harus memodifikasinya agar menjadi sistem yang lebih baik, yang memihak kepada nelayan buruh, yang tidak merugikan nelayan juragan. Upah nelayan didapat dari sistem bagi hasil antara pemilik kapal/modal dengan ABK adalah 60:40 persen hasil penjualan bersih (laba bersih). Bagian 40% untuk ABK tersebut masih dibagi untuk juru mudi 50%, juru mesin 30% dan ABK mendapat 20%. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemilik yang tidak ikut melaut akan mengikut sertakan anggota keluarganya sebagai jurumudi sehingga pendapatan yang diperoleh pemilik akan bertambah besar. Kecenderungan ini menyebabkan posisi ABK semakin lemah dengan perbedaan pendapatan yang diperoleh semakin besar. Maka dibutuhkan sistem bagi hasil alternatif yang lebih baik. Sistem bagi hasil tersebut tidak bisa dan tidak mungkin dimodifikasi dari jumlah persentase yang paling memungkinkan hanya dari segi perhitungan keuntungan, tidak dari laba bersih, namun dari laba kotor. Perhitungan seperti itu akan sedikit lebih menguntungkan ABK, namun demikian perlu penelitian yang lebih komperhensif dan sistematis untuk mengetahui komposisi sistem bagi hasil yang lebih optimal. Bagi hasil alternatif harus menunjukkan keseimbangan pembagian hasil tangkapan antar alat tangkap dan kesesuain dengan prinsip-prinsip ekonomi. Perbaikan-perbaikan lainnya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
Mengurangi biaya operasi dan biaya bekal dari nilai produksi dan mengembalikannya kepada yang mengeluarkan biaya tersebut secara langsung, tetapi kompensasinya tetap dihitung.
2)
Mengurangi biaya tetap yang berupa penyusutan, bunga modal, sedekah laut, pajak dan perizinan dari nilai produksi dengan cara membaginya pada setiap trip.
3)
Menghitung kompensasi modal yang dikeluarkan oleh pemilik sebesar 50% dari hasil bersih dan kompensasi tenaga pemilik dalam mengelola modal (biaya manajemen) dihitung 10 % dari hasil bersih sehingga jumlah bagian pemilik menjadi 60 % hasil bersih.
4)
Bila pemilik ikut melaut maka biaya manajemen (10% dari hasil bersih) akan hilang dan dimasukkan menjadi bagian penggarap sehingga bagian
176
penggarap menjadi 50%. Kompensasi pemilik yang ikut melaut dihitung sebagai bagian penggarap sesuai dengan posisinya saat melaut. Pendapatan penggarap dengan bagi hasil alternatif yang lebih kecil dari pada dengan bagi hasil lokal dan bagi hasil yang sesuai dengan Undang-Undang Bagi Hasil Perikanan No. 16 Tahun 1964 (UUBHP) yang berisi bahwa sistem bagi hasil UUBHP, biaya yang menjadi tanggungan bersama adalah biaya bekal dan sedekah laut (Pasal Ig UUBHP), sedangkan biaya operasi (BBM dan bahan tambahan), kompensasi modal (penyusutan dan bunga modal) dan biaya tetap lainnya (pajak dan perijianan) tidak diperhitungkan dalam menghitung hasil bersih, merupakan konsekuensi yang secara ekonomis sesuai dengan dasar pembagian hasil usaha bersama, yaitu keseimbangan antara yang diberikan dengan yang didapatkan. Namun demikian, perbedaan pendapatan antara pemilik dan penggarap dengan bagi hasil aIternatif akan terlihat wajar karena pemilik terdorong untuk tidak ikut melaut sehingga bagian yang akan diterima penggarap sesuai dengan pengorbanan yang diberikan. Selain itu dengan bagi hasil alternatif keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan menjadi lebih merata antar pelaku usaha perikanan (pemilik dan penggarap) dan antar alat tangkap yang berbeda atau keseimbangan antara yang diberikan dengan yang diterima akan terjadi antara pemilik alat tangkap yang berbeda dan antara penggarap alat tangkap yang berbeda. Struktur sosial dalam masyarakat nelayan Sulawesi Utara umumnya dicirikan dengan kuatnya patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi nelayan (klien) selain bergantung pada pemilik modal (patron). Satria (2009) menyatakan bahwa bagi nelayan menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Mengacu pada struktur sosial tersebut, bahwa masyarakat nelayan Sulawesi Utara menunjukkan adanya pelapisan sosial, pelapisan sosial merupakan dimensi struktur sosial yang bersifat vertikal yang melihat masyarakat secara
177
bertingkat yang nampak pada stratifikasi sosial, kelas sosial dan status sosial dalam masyarakat. Artinya, patron menguasai sumber daya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Hubungan patron-klien merupakan bentuk paling sering terjadi di Provinsi Sulawesi Utara, nelayan seringkali menjadi golongan yang terpinggirkan dan tidak menjadi prioritas pemerintah. Mereka adalah kaum yang terdesak pada keadaan, karena hanya punya kemampuan untuk melaut dan tidak punya pilihan lain dalam bekerja. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap dinamika mobilitas nelayan/alih status nelayan dikarenakan sistem patron klien ini sudah menjadi relasi yang sangat mendarah daging dan sulit untuk dilepaskan. Untuk mengatasi hal tersebut (hubungan patron-klien di Provinsi Sulawesi Utara) pemerintah meluncurkan beberapa program yang bertujuan untuk meminimalisir efek buruk dari pola hubungan patron-klien tersebut akan tetapi saat programprogram pemerintah tersebut berhenti, para nelayan kembali lagi ke tengkulak, karena itu satu-satunya pilihan yang mereka punya. Namun hal tersebut tidak baik bagi para nelayan di Provinsi Sulawesi Utara karena pola patron-klien sungguh merugikan bagi nelayan, sering terjadieksploitasi tak terkendali, bentuk eksploitasi yang terjadi adalah dalam bentuk akumulasi modal, penekanan terhadap harga, monosponi (satu pembeli) memaksa nelayan menjual hasilnya ke tengkulak. Biasanya tengkulak berani membayar di awal (ijon), sehingga nelayan tertarik untuk menjual kepada tengkulak. Kebiasaan nelayan yang seringkali menghabiskan uang muka dari tengkulak untuk hal yang berlebihan, sehingga bahkan sebelum musim panen uang tersebut sudah habis dan mereka terpaksa meminjam kepada tengkulak lagi, maka dari itu diperlukan penyuluhan yang berkaitan dengan manajemen uang bagi nelayan, agar mereka lebih mampu mengelola uang yang mereka miliki sehingga mereka bisa menentukan kebutuhan primer dan sekunder atau bahkan bisa menabung. Jadi, pola patron-klien ini tidak bisa dihilangkan secara total. Walaupun sangat merugikan nelayan akan tetapi sistem ini ternyata bukan hanya relasi ekonomi saja, akan tetapi ada relasi sosial yang terjadi, para tengkulak pun rela meminjamkan uang besar saat ada anggota keluarga dari nelayan yang sakit atau butuh uang lebih. Pola yang sama terjadi di setiap daerah.
178
5.7.4 Meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan pada daerah penangkapan yang potensial Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tersedia. Berdasarkan sifat sumber daya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut (Syafrin 1993). Memanfaatkan sumber daya alam di Provinsi Sulawesi Utara dalam hal ini ikan sudah terancam habis stok, karena sehubungan dengan hasil pengamatan di lapangan didapatkan bahwa nelayan-nelayan Sulawesi Utara yang berskala kecil melakukan pencarian daerah penangkapan baru yang jauh dari daerah tempat tinggalnya, misalnya nelayan dari Sangihe yang melakukan pencarian daerah penangkapan ikan (mobilitas geografi) sampai ke Ambon, Ternate atau Maluku bahkan sampai ke Philipina. Kelebihan pemanfaatan sumber daya alam di sekitar pesisir pantai juga di pengaruhi oleh beberapa faktor lain, diantaranya tidak ada sama sekali alat bantu bagi nelayan dalam menemukan daerah penangkapan ikan yang baru seperti fish finder atau global positioning system (GPS) sehingga mereka hanya berputarputar di sekitar pesisir pantai, selain itu juga tidak adanya armada yang memadai untuk mencapai daerah penangkapan ikan yang lebih jauh di lepas pantai mengakibatkan nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara hanya mampu menjangkau DPI-DPI di sekitar pantai yang semakin lama semakin berkurang stok ikannya. Budaya (malas/masa bodo) nelayan Sulawesi utara juga turut andil dalam mempengaruhi keadaan tersebut, karena sifat malas mereka membuat mereka tidak mau mencari inovasi-inovasi untuk memperbaiki alat tangkap menjadi lebih modern atau efisien dalam menangkap ikan. Alih status nelayan di Provinsi Sulawesi Utara seyogyanya tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor internal seperti konflik antar nelayan tradisional, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, pendapatan yang kurang memadai, keterbatasan kepemilikian modal dan biaya pendidikan bagi anak-anak nelayan di Provinsi Sulawesi Utara. Tetapi juga mempertimbangkan faktor eksternal seperti
179
keterbatasan lahan profesi, ketersediaan stok ikan yang menurun, harga bahan bakar minyak yang terus naik, daerah penangkapan ikan yang semakin tidak terjangkau, kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyulitkan dan tidak memihak nelayan tradisional skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara, kurang berperannya pihak investor dalam penyediaan permodalan bagi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara dan lain-lain. Maka dari itu Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara perlu mengadakan upaya pengembangan perikanan yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Seperti yang dikatakan oleh Charles (2001) bahwa sistem perikanan mencakup tiga subsistem yaitu; 1) sumber daya ikan dan lingkungannya, 2) sumber daya manusia beserta kegiatannya dan 3) manajemen perikanan. Sumber daya ikan dan lingkungannya meliputi 3 (tiga) komponen yaitu ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik. Sumber daya manusia meliputi 4 (empat) komponen yaitu nelayan dengan kegiatan memproduksi ikan; kegiatan paska panen, distribusi, pemasaran dan konsumen; rumah tangga nelayan dan masyarakat perikanan; serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Subsistem manajemen perikanan meliputi 3 (tiga) komponen yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan; pengelolaan perikanan; serta pengembangan dan penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen-komponennya mengalami perubahan sepanjang waktu (Charles 2001). Charles (2001) juga menyatakan bahwa perhatian penting dalam hal keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah perikanan tangkap dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan aspek perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Keberlanjutan secara ekologis terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap sumber daya. Keberlanjutan sosial ekonomi, tekait dengan manfaat makro bagi penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku pemanfaatan sumber daya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Keberlanjutan
kelembagaan
terkait
dengan
kelembagaan
keuangan,
penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka panjang.
180
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Dahuri (2003) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah dtinjau melalui bio-tecnico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis alat penangkapan ikan untuk dikembangkan yaitu; 1) bila ditinjau dari aspek biologi, pengoperasian alat tangkap tersebut tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan, 2) secara teknis, efektif untuk dioperasikan, 3) ditinjau dari aspek sosial dapat diterima masyarakat nelayan, 4) secara ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan dan selain itu harus ada izin dari pemerintah. Keempat syarat tersebut tidak mutlak diharuskan, melainkan dipertimbangkan sesuai kepentingan. Menurut lokasi kegiatannya, kami mengelompokan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Utara dalam 3 kelompok yaitu: 1) perikanan lepas pantai (offshore Fisheries); 2) perikanan pantai (Coastal Fisheries); dan 3) perikanan darat (Inland Fisheries). Komposisi armada di perairan pesisir pantai (coastal fisheries) Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh armada skala besar, sedangkan nelayan tradisional masih sendiri-sendiri dalam menangkap ikan, armada skala besar memilih beroperasi di perairan pantai karena jarak tempuh yang pendek menyebabkan mereka mampu menghemat biaya operasional. Namun, hal tersebut menyebabkan nelayan tradisional tidak kebagian lahan penangkapan ikan, sikap pemerintah saat ini terhadap permasalahan tersebut masih agak masa bodo atau menutup mata. Akses perizinan usaha tangkap pun masih lebih banyak diberikan kepada armada skala besar, karena dianggap lebih banyak hasil produksi dibandingkan nelayan tradisional. Namun demikian, ada program-program lain yang menunjang bagi nelayan tradisional skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu program motorisasi nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara agar bisa memanfaatkan daerah penangkapan ikan yang lebih jauh. Namun hasil dari program tersebut masih minim, karena kurangnya pengetahuan nelayan tentang maintenance kapal motor yang diberikan pemerintah, akhirnya kapal-kapal motor itu banyak terbengkalai. Belum lagi, adanya rumpon-rumpon illegal yang
181
meminta biaya sewa yang tinggi kepada nelayan skala kecil untuk mereka bisa menangkap ikan di sekitar rumpon. Jauh lebih baik jika pemerintah Sulawesi Utara menggalakan program yang berkaitan dengan investor asing atau mengajak investor asing untuk menanamkan modal di perairan pantai Provinsi Sulawesi Utara, misalnya dengan menyediakan rumpon legal tanpa dipungut biaya, namun hasilnya sebanyak 10% untuk investor, atau menyediakan kapal motor untuk menyeimbangkan armada di perairan Sulawesi Utara agar tidak didominasi oleh nelayan skala besar, atau bisa juga dengan menyediakan kapal penampung investor yang disubsidi oleh pemerintah. Melalui program-program yang disebutkan di atas diharapkan para nelayan tidak lagi perlu melakukan mobilitas geografi maupun profesi. Pemanfaatan yang tepat dan efisien akan menjadi insentif bagi nelayan untuk bertahan di desa asalnya. Pola pengembangan perikanan berkelanjutan yang sesuai di Provinsi Sulawesi Utara adalah pola coastal fisheries (perikanan pantai) mengingat kegiatan perikanan nelayan skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara yang terpusat di seputaran pantai-pantai Sulawesi Utara. Pola pengembangan yang disarankan adalah dari beberapa segi yaitu dari segi komitmen waktu, nelayan artisanal sebaiknya melakukan kegiatan perikanan dengan penuh waktu, tidak lagi paruh waktu. Dari segi investasi, sebaiknya nelayan artisanal berinvestasi lebih pada kegiatan perikanan/alat tangkap/kapal. Dari segi pengolahan hasil tangkapan, sebaiknya pemerintah menyediakan sarana khusus untuk nelayan agar mereka mampu mengolah hasil tangkapan dengan lebih baik, misalnya dengan menyediakan sarana swalayan khusus hasil tangkapan nelayan. 5.7.5
Menentukan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna Teknologi memang tidak mempengaruhi mobilitas nelayan, teknologi
adalah alat penunjang mobilitas, namun jika teknologi yang ada beralih ke teknologi yang lebih modern/baik, maka hasilnya nelayan tidak perlu melakukan mobilitas, karena selama ini nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara masih menggunakan cara-cara tradisional untuk menangkap sehingga menghabiskan lebih banyak waktu dalam mencari DPI dibanding untuk menangkap ikan, seperti
182
yang dinyatakan oleh Simbolon (2009) Waktu pencarian ikan akan lebih lama lagi apabila nelayan tidak menemukan tanda-tanda alamiah yang mengindikasikan keberadaan ikan seperti kawanan burung-burung laut yang menyambar ikan pelagis di permukaan, gelembung-gelembung udara dalam bentuk buih perairan dan bongkahan-bongkahan kayu terapung di permukaan air. Sebagai konsekuensi logis dari pada sistem penangkapan tersebut di atas, maka lama trip akan lebih lama, tenaga, bahan bakar dan biaya operasi lebih tinggi, namun tingkat ketidakpastian hasil tangkapan tetap tinggi. Maka dari itu alih teknologi bukanlah faktor mobilitas nelayan, namun sangat diperlukan oleh nelayan tradisional di Provinsi Sulawesi Utara untuk memudahkan mereka mendapatkan ikan (Simbolon, 2009). 5.7.6
Merubah kebiasaan nelayan yang cenderung melakukan mobilitas geografi ketika musim paceklik tiba Budaya dalam masyarakat nelayan Sulawesi Utara adalah pola adat
kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari dan mendarah daging di kehidupan para nelayan Sulawesi Utara diantaranya adalah budaya malas, budaya masa bodo pada kehidupan mereka, budaya boros dan budaya tidak suka menabung, budayabudaya yang disebutkan adalah budaya yang menjadi kebiasaan pada nelayan Sulawesi Utara bahkan sudah menjadi way of life atau cara hidup mereka, hal tersebut sangat sulit diubah, walaupun bisa berubah biasanya karena keadaan yang memaksa, misalnya karena keluarga nelayan membutuhkan uang lebih untuk suatu keadaan, barulah mereka memacu diri mereka untuk menjadi lebih rajin melaut agar mendapatkan penghasilan lebih dan memenuhi kebutuhan yang mendesak tersebut, namun jika kebutuhan tersebut sudah terpenuhi atau masalah sudah teratasi biasanya budaya tersebut kembali lagi dan mereka menjadi malas dan masa bodo kembali. Budaya ini terpelihara dari generasi ke generasi sehingga sudah menjadi gaya hidup para nelayan di Provinsi Sulawesi Utara dan sangat sulit untuk di minimalisir apalagi dihilangkan. 5.7.7 Mempelajari faktor penarik dan pendorong pada mobilitas profesi nelayan
183
Faktor penarik adalah suatu keadaan dimana para pekerja melihat kemungkinan kesempatan kerja di luar profesinya, yang diharapkan dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi atau lebih kontinu, sedangkan faktor pendorong diartikan sebagai keadaan yang mengharuskan para pekerja mencari alternatif lain karena jenis profesi yang ada sudah semakin sulit atau tidak ada (Maria 1996). Di Provinsi Sulawesi Utara faktor penarik bagi nelayan yang bermobilitas profesi adalah pendapatan yang diperoleh dari profesi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor pendorongnya adalah musim paceklik yang terjadi pada bulan September sampai dengan Pebruari yang bersamaan dengan harga kebutuhan hidup sehari-haripun semakin mahal, sehingga nelayan pada saat-saat paceklik harus mencari profesi lain, untuk memenuhi kebutuhan mereka dan keluarganya. Pada saat itu nelayan hanya bisa mencari profesi di luar profesi penangkapan ikan atau sejenisnya, karena tidak ada yang bisa di lakukan di laut, sehingga
mereka
memilih
profesi
lain
sebagai
tukang
ojek/buruh
kelapa/petani/tukang sayur/satpam/kuli bangunan/tukang bongkar muat/dan lainlain.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
nelayan
melakukan
mobilitas
geografi/profesi di Provinsi Sulawesi Utara adalah pendidikan, pengalaman melaut, potensi ikan menurun, kejenuhan, modal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga. Ada beberapa faktor eksternal penyebab mobilitas nelayan. Diantaranya adalah pertama, karena kebijakan yang tidak menguntungkan. Kedua, karena memang ada pengabaian baik oleh pemerintah maupun industri yang melakukan pencemaran di laut mereka. Ketiga, ada yang disebut dengan praktek pengusiran. Ini jelas sekali terlihat di kawasan industri pariwisata dimana nelayan-nelayan Sulawesi Utara tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah pariwisata seperi di Bunaken. Keempat kurangnya alat dan pengetahuan nelayan tentang laut dimana para nelayan hanya berbekal ilmu mitos dari nenek moyang mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara adalah pendidikan, pengalaman melaut, potensi ikan menurun, kejenuhan, modal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, kebijakan yang tidak menguntungkan dan praktek pengusiran. Hasil penelitian ini berbeda degan kajian yang dilakukan oleh Lestari (2011) di perairan Sendang Biru beberapa faktor yang
184
mempengaruhi mobilitas nelayan Pacitan, Jawa timur ke Sendang Biru yaitu: 1) fishing ground atau daerah penangkapan ikan (DPI); 2) pelabuhan kapal yang memadai; 3) tempat pelelangan ikan (TPI); 4) biaya operasional; 5) komoditas ikan berkualitas ekspor.
185
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Penelitian tentang mobilitas dan alih status nelayan skala kecil di Provinsi
Sulawesi Utara menyimpulkan bahwa: 1) Mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari: a) tipe nelayan mobilitas geografi yaitu nelayan yang melakukan mobilitas dari desa tempat tinggalnya ke tempat lain, namun tetap hidup sebagai nelayan; b) tipe nelayan mobilitas geografi dan mobilitas profesi yaitu nelayan yang melakukan mobilitas dari desa tempat tinggalnya ke tempat lain, namun tidak hidup sebagai nelayan; c) tipe nelayan mobilitas profesi yaitu nelayan yang tidak melakukan mobilitas dari desa tempat tinggalnya ke tempat lain, namun beralih profesi; dan d) tipe nelayan tidak mobilitas yaitu nelayan yang tidak melakukan mobilitas dari desa tempat tinggalnya ke tempat lain dan hidup sebagai nelayan. 2) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tipe mobilitas geografi adalah pendapatan, modal, kejenuhan dan persediaan ikan dengan persamaan struktural: X1 = 0,26 X1.6 + 0,11 X1.7 + 0,06 X1.8 + 0,33 X1.9. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tipe mobilitas geografi dan profesi adalah modal, pendapatan, persediaan ikan dan pengalaman kerja dengan persamaan struktural: X2 = 0,33 X2.4 + 0,42 X2.6 + 0,27 X2.7 + 0,48 X2.9. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tipe mobilitas profesi adalah pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan, modal dan kejenuhan dengan persamaan struktural: X3 = 0,69 X3.4 + 0,16 X3.5 + 0,49 X3.6 + 0,21 X3.7 + 0,19 X3.8 + 0,62 X3.9. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tipe mobilitas tidak mobilitas adalah persediaan ikan, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, persediaan ikan, pendapatan, kejenuhan dan modal dengan persamaan struktural: X4 = 0,20 X4.4 + 0,20 X4.5 + 0,47 X4.6 + 0,21 X4.7 + 0,17 X4.8 + 0,51 X4.9.
186
3) Mobilitas nelayan di Provinsi Sulawesi Utara tidak berdampak secara signifikan terhadap perubahan status nelayan skala kecil, ke arah yang lebih baik. 4)
Strategi-strategi untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik, adalah: 1) menghasilkan nelayan yang mampu mengoperasikan teknologi modern guna mempermudah pencarian DPI baru, 2) membuat peraturan daerah yang memihak nelayan skala kecil, 3) memberi kemudahan bagi nelayan untuk memperoleh modal, 4) mengadakan penyuluhan tentang kelemahan alih profesi atau pindah wilayah penangkapan, 5) meninjau kembali sistem bagi hasil yang sementara berlaku saat ini, dan 6) memberi sanksi yang keras terhadap oknum yang melakukan illegal fishing demi keuntungan pribadi. Tindakan konkrit untuk mempercepat alih status nelayan ke arah yang lebih baik di Provinsi Sulawesi Utara adalah: 1) memberikan pemahaman ecosystem approach kepada nelayan, 2) mengatasi konflik nelayan, 3) meninjau kembali pola hubungan patron-klien dan sistem bagi hasil yang berkeadilan, 4) meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan pada daerah penangkapan yang potensial, 5) menentukan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna, dan 6) merubah kebiasaan nelayan yang cenderung melakukan mobilitas geografi ketika musim paceklik tiba.
6.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian terhadap mobilitas dan alih status nelayan
skala kecil di Provinsi Sulawesi Utara, dapat disarankan sebagai berikut: 1)
Menyediakan penyuluh yang lebih bertanggung jawab dan memahami aspek sosial ekonomi nelayan.
2)
Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang bisa dilakukan oleh nelayan ketika musim paceklik tiba.
3)
Sebaiknya nelayan tidak melakukan mobilitas baik, mobilitas geografi maupun profesi dan tetap tinggal di desa/wilayah masing-masing kemudian mengusahakan penangkapan dengan alat yang lebih baik dengan komitmen waktu yang lebih banyak.
187
4)
Meninjau ulang dan merevisi undang-undang sistem bagi hasil.
5)
Menyediakan lembaga yang memberikan pinjaman modal dengan mudah dan tidak memberatkan.
6)
Menindak keras oknum yang melakukan illegal fishing demi keuntungan pribadi.
7)
Memberikan pemahaman ecosystem approach kepada nelayan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan.
8)
Membantu nelayan dalam pengadaan dan penggunaan teknologi tepat guna seperti alat pendeteksi daerah penangkapan ikan.
188
DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo, S. 2000. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Makalah Pelatihan ICZPM Angkatan 1. PPLH IPB, Bogor. Agresti A, Finlay B. 1986. Statistical Methods for Sosial Sciences. Second edition. New Jersey: Dellen Publishing Company, Coller Macmillan Publishers. Amaluddin M. 1987. Kemiskinan dan Polaritas Sosial (Studi Kasus di Desa Bulugede Kabupaten Kendal Jawa Tengah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Anonim. 1995. Strategi Implementasi Program Pengentasan Kemiskinan dan Pembangunan Desa Tertinggal. . 2003. Profil Kegiatan Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Utara. Sub Dinas Bina Penangkapan Ikan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Utara. Manado. Arbuckle, J. L. 1997. Amos User’s Guide, Version 3.6. Chicago:Smallwaters Corporation. Ayodhyoa H. 1995. Studi Pengembangan Pemanfaatan Sumber daya Hayati Laut Nasional. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Fakultas Perikanan, IPB; Bogor. Aziz, K.A., M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M.H. Amarullah, B. Hasyim, A.Djamali dan B.E. Priyono, 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumber daya Ikan Laut di Perairan Indonesia, KOMNAS KAJIKALUT. Jakarta. [BPS-PSU] Badan Pusat Statistik-Provinsi Sulawesi Utara. 2008. Kota Provinsi Sulawesi Utara dalam Angka 2008. Kerjasama Badan Statistik Provinsi Sulawesi Utara dan Badan Perencanaan Provinsi Sulawesi Utara. [BPS-PSU] Badan Pusat Statistik-Provinsi Sulawesi Utara. 2009. Sulawesi Utara dalam Angka 2009. Editor Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. Sulawesi Utara. ________. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Sulawesi Utara. Data Agregat Per Kabupaten/Kota. Manado. Babbie, E. 1994. The Practice of Social Research. Fifth Edition. Wadsworth Publishing Company. California. 248 hal.
189
Bahari, R. 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Jakarta,18-19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 36 hal. Basri H. 1999. Pembangunan Ekonomi Rakyat Pedesaan. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Bailey and Zerner. 1992. Community-based fisheries management institutions in Indonesia. Maritime Anthropological Studies 5: 1-17. Béné C. 2003. When fishery rhymes with poverty: A first step beyond the old paradigm on poverty in small-scale fisheries. World Development Vol.31, No. 6 pp 949-975. Great Britain: Elsevier Science Ltd. www.elsevier.com. Bramantyo D. 2008. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro;Praktis Untuk Mahasiswa & Pebisnis. Jakarta: PPM Manajemen. Budiharsono S. 2003. Analisis Prioritas, Alokasi Anggaran,Monitoring dan Evaluasi Proyek Pembangunan. Makalah, disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZPM) diselenggarakan pada tanggal 11 Agustus – 25 Oktober 2003 di Bogor. Kerjasama DKP dan PKSPL IPB. Campbell J. 2000. Sustainable Coastal Livelihoods Research in the Bay of Benga. Sustainable Coastal Livelihoods Newsletter. Volume 1, Issue 1. IMM Ltd. 1 Southern Hay West. Charles AT. 2001. Sustainable Fisheries Sistems. Canada: Blakwell Science Ltd. Carvalho, AR. 2008. Profits and social performance of small-scale fishing in the Upper Paraná River floodplain (Brazil). Laboratório de Biodiversidade do Cerrado, Universidade Estadual de Goiás. Brazil. 87 Pages. Chander P, Thangavelu Shandre M. 2003. Technology adoption, education and immigration policy. Department of Economics, National University of Singapore.Singapore. 16 Pages. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. UK Cholik, Budihardjo. 1993. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Bidang Sumber daya Perikanan dan Penangkapan. Puslitbang PerikananISPIKANI. Jakarta. Hlm 120. Christopher J, at all. 1998. The value El Nino Forecasts in the Management of salmon: A Stochastic Dynamic Assement. American Agricultural Economics Association. Pacific Northwest. 23 Pages. Collier WL. 1986. Penelitian Ekonomi Budaya di Asia. Seri Pembangunan
190
Pedesaan. Jakarta: PT Gramedia. 121 hal. Conner B. 1992. Coastal Aquacultural Development in Indonesia.Central Research Institute for Fisheries (CRIFI) – Agency for Agricultural Research and Development (AARD), Departemen Pertanian, Jakarta. Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumber daya Perikanan. Jakarta: LISPI. ________. 2001. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Institut Pertanian Bogor; Bogor. ________. 2003. Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis kelautan. Orasi ilmiah guru besar tetap bidang pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. ________, Iwan N. 2004. Pembangunan Wilayah. Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Pengantar: Gunawan Sumodiningrat. LP3ES. Jakarta. Deaton A. 1998. The Analysis of Household Surveys. A Microeconometric Approach to Development Policy. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Departemen PSP. 2006. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab. Kenangan Purnabakti Prof. Dr Ir. Daniel R Monintja. Editor Fedi A Sondita dan Iin Solihin. Fakultas Peikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor; Bogor. Dietriech BG. 2004. Sinopsis; Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB; Bogor. [Disperik] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi. 2009. Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Utara Tahun 2009. Manado. Sulawesi Utara. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi (Disperik). 2009. Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Utara Tahun 2009. Manado. Sulawesi Utara. [Disperik] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Utara Tahun 2012. Manado. Sulawesi Utara. Diniah. 2008. Pengenalan Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI. 1999. Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.60 tahun 2001 tentang Penataan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Jakarta: DKP RI.
191
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan & Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. 2010. Penyusunan Model Perencanaan di Zona Penyangga dan Kawasan Sumber daya Pesisir (terumbu Karang, Mangrove, Pantai) yang berbasis masyarakat di Indonesia Jawa Barat. Hal 2-35. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2006. Pola Pemukiman dan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajou Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: CV. Maju Jaya Ujung Pandang. Effendi I, Wawan O. 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan. Jakarta: PS Penerbit Swadaya. Fahrudin A. 2004. Penelitian Sosial Ekonomi dalam Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir.BAPPEDA. Sulawesi Utara. Manado. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1997. Ketentuan Pelaksanaan Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code for Responsible Fisheried (tidak dipublikasikan). Dialihbahasakan oleh Daniel M, Badrudin M. Kerjasama Marine Recources Evaluation and Planning (MREP) dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Fauzi A. 2001. Mencari Penerimaan Negara Melalui Fishing Fee. 2 Nopember 2004. Jakarta: Media Indonesia. ________. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ferdinand A. 2006. Structural Equation Modeling (SEM) dalam penelitian manajemen. Program Magister Manajemen Universitas Diponogoero. Badan Penerbit Universitas Diponoegoroe. Semarang. [FPIK-IPB] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. 2009. Rembug Nasional Kelautan. Merajut Kejayaan untuk Membangun Bangsa. Bogor: PT. Karya Nenggala Satria. Fisher, Saludin S., Williams S, Smith R, Abadi DI. 2001. Mengelola Konflik:Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak (Edisi Bahasa Indonesia); Judul Asli Working With Conflict: Skill and Strategies for Action, Published by Zed Books Ltd. Uk. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra Gay LR. 1976. Educational Research. Columbus,Ohio: Charles E Merrill Publishing Company. Ghozali I, Fuad. 2005. Structural Equation Modelling: Teori, Konsep dan Aplikasi dengan program LISREL 8.54. Badan Penerbit Universitas Dipoenoegoro. Semarang.
192
Gulland JA. 1997. Fish Population Dynamic The Implication Management A Willey-Interscience Organization of The United Nation. Rome.Hal 82. Hair JF. 1998. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Haluan J.1986. Suatu Studi Tentang Sistem Motoritas pada Penangkapan Ikan Tradisional. Laporan Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. IPB; Bogor. Hlm. 1-6. Hayduk LA. 1987. Structural Equation Modelling with LISREL: Essentials and Advances. Baltimore and London: The John Hopkins University Press. Hentschel J, Seshagiri R. 2000. The City Poverty Assesment, A Primer. World Bank Technical Paper Number 490. Washington ; World Bank. Herwantiyoko, Neltje F, Katuuk. 1991. Pengantar Sosiologi dan Ilmu Sosial Dasar. Universitas Gunadarma; Depok. Hogarth, P. J. 1999. Adaptive learning for floodplain fishing communities in Asia. Stirling Aquaculture News 25: 19 – 22. Hox JJ, Bechger. 1998. An Introduction to Structural Equation Modeling. Family Science Review 11:354-373. Hossain I M., at all. 2009. Socio-economic Condition of Fishermen in Seasonal Floodplain Beels in Rajshahi District, Bangladesh. Institute for Environment and Development Selangor Darul Ehsan, Malaysia. 8 Pages. Husnan S, Suwarsono. 1994. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Ketiga. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Ibrahim JT. 2000. Sosiologi Pedesaan. Edisi Pertama.Universitas Muhamadiyah Malang; Malang. Ihsan. 2000. Kajian Model Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap dalam Rangka Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut Secara Optimal di Daerah Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Program Pascasarjana IPB; Bogor. Jentoft S. 2010. Internasional Journal of the Commons Vol 4, No 1. Freedom and poverty in the fishery commons. Norwegia , University of Tromsø, 9037. ISSN 1875 – 0281. 16 Pages. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Nomor Per.05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2009. Pengelolaan Sumber daya
193
Perikanan. Textbook. Jakarta Johnson DP. 1988. Teori Sosiologi (Klasik dan Modern) Di Indonesiakan Oleh Robert M. Z. Lawang. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Joreskorg KG, Sorbon D. 1996. LISREL 7: A Guide to the Programme and Applications. Second Edition. SPSS Inc. USA: Chicago. Jusuf N. 2005. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Sekolah Pascasarjana IPB; Bogor Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Jakarta. Karnadji D. 1989. Pergeseran Tenaga Kerja Nelayan ke Sektor Industri. Katiandagho E. 1994. Penyuluhan dan Pengembangan Perikanan skala Kecil, Seri Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan. Universitas Sam Ratulangi; Manado. Kekenusa, S.J, 2006. Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Di Perairan Sekitar Bitung Sulawesi Utara. Vol.13 No.1.Th.2006 Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang. 7 hal. Kepetsky JM, Barg U. 1997. Land quality indicators for the viewpoint of inland fisher and aquaculture. Proceding of The Workshop Land Quality Indicators Initiative. Rome: FAO, UNDP, UNEP & World Bank. www.fao.org/docrep/w4745E/w4745e00.htm Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1 – An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No. 118. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Koentjaraningrat. 1977. Gramedia.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Koeshendrajana S, Hoggarth DD. 1998. Harvest reserves in Indonesian river fisheries. Paperpresented at Fifth Asian Fisheries. Forum–International Conference of Fisheries and Food Security Beyond the Year 2000. Chiang May. 11–14 November 1998. Koeshendrajana S, Cacho O. 2001. Management Options for The Island Fisheries Resource in South Sumatera, Indonesia: Bioeconomic Model. Working Paper Series in Agricultural and Resource Economics. Armidela: University of New England.
194
Kusnadi. 2002a. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber daya Perikanan. Yogyakarta: LkiS. _______. 2002b. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LKiS. Lassen H. 1998. The Future Fisheries: Constraints and Possibilities Sustainability–Ecological Impact from Fisheries, The Political Environment and How This May Affect The Future of Capture Fisheries. Danish Institute for Fisheries Research. Denmark. 14 hal. Lane Daniel E, Stephenson Robert L. 1998. Fisheries Co-management: Organization, Process, and Decision Support. Faculty of Administration, University of Ottawa. Department of Fisheries and Oceans, Biological Station. Canada. 16 Pages. Lawang RMZ. 1989. Stratifikasi Sosial di Cancar: Manggarai-Flores Barat. [Disertasi]. Universitas Indonesia;Jakarta. Lubis B. 1983. Program Peningkatan Produksi Perikanan Indonesia.Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan. Deptan. Manggabarani H. 2006. Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijaksanaan Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggunjawab (CCRF) di Indonesia. Di dalam: Seminar Nasional Perikanan Tangkap. “menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab dalam Mendukung Revitalitas Perikanan, Bogor, 10 Agustus 2006. . H, Sondita. MFA, Sobari. MP, Simbolon. D, Puspito. G, Pane. AB (editor). 2006. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Hal. 1-25. Mantra I B. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar. Jogjakarta Mantjoro E. 1988. Sosial and Economic Organization of Rural Japanese Fishing Community A case of Nomaike. Departemen of Fisheries Sosial Economics Faculty of Fisheries, Sam Ratulangi University. Manado. Mantjoro E, Otniel P. 2003. Sosiologi Pedesaan Nelayan, Seri Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan. Universitas Sam Ratulangi; Manado. Martosubroto P, Naamin N. 1977. Relationship Between Tidal Forest (Mangrove) and Commersial Shrimp Production in Indonesia. Marine Fisheries Research Institute, Jakarta. Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda? Mizan; Bandung. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan. Jogjakarta: Gadjah mada University Press.
195
Monintja DR. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumber daya Hayati Laut di Indonesia. Buletin Jurusan PSP. Volume I No 1 Fakultas Perikanan IPB. Bogor. ______________.1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah Disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan Berwawasan Lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta. _____________. 2000. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor; Bogor. _____________. 2006. Editor; Sondita A. Fedi, Solihin Iin. Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab. Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; Bogor. Monintja D.R. 2006. Perspektif Pengelolaan Sumber daya Perikanan Tangkap laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Mubyarto, Dove M. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Yayasan Argo Ekonomika.Mubyarto, 1986. Perkembangan Kemakmuran Pedesaan Tahun 1981-1993. Harian Kompas, 5 Juni 1996, Jakarta. Mubyarto, Loekman S, Dove M. 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali Press. Mulyono S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Jakarta. Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nikijuluw VPH. 2001. Sumber daya Laut dan Pantai untuk Penanggulangan Kemiskinan. Makalah Seminar Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan Melalui Pelestarian Fungsi Sumber daya Alam. SOCSEA, 14 Agustus 2001. Nikijuluw VPH. 2003. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal.Blue Water Crime. Cidesindo. 2003 _______________. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan. Jakarta: Pustaka Cedecindo. _______________. 2005. Politik Ekonomi Perikanan; Bagaimana dan Kemana
196
Bisnis Perikanan? Jakarta: FERACO. Panayotou T. 1985. Socioeconomic conditions of small-scale fisherman; a conceptual framework. Editor: Small-scale Fisheries in Asia; Socioeconimic Analysis and Policy. Di dalam Panayotou T. Ottawa ;IDRC. HLM 31-35. Parel. 1973. Sampling Design and Procedures. The Agriculture Development Council, New York. Partosuwirjo M, Haluan J, Baskoro MS, Soemokaryo S. 2008. Kajian Struktur Industri Perikanan untuk Menyusun Model Pemberdayaan Usaha Perikanan Tangkap di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2. 139-149. Pinedo-Vasquez M, Pasqualle JB, Torres DDC. 2001. A tradition of change: the dynamic relationship between biodiversity and society in Sector Muyuy, Peru Paper presented at International Conference on Biodiversity and Society. Columbia. 22-25 Mei 2001. Columbia University Earth Institute and UNESCO. Pollnac, Richard B. 1988. Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan Berskala Kecil. Jakarta. UI Press. Poloma, Margareth M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press. Pruitt, D.G. dan J.Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial, Terjemahan dan diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Purwanti P. 1994. Curahan Waktu dan Produktivitas Kerja Nelayan di Kabupaten Pasuruan. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta. Purwanto. 1990. Bioekonomi Perubahan Teknologi Penangkapan Ikan. Jurnal Oseana 15: 115 – 126. Pusat Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Editor Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka; [Puslitbang-Oseanologi] Pusat Penelitian dan Pembangunan-Oseanologi. 1998. Strategi Dasar Pembangunan Kelautan di Indonesia. Kegiatan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Kelautan IPB dan Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. LIPI. Rahim, A, 2011. Analisis pendapatan usaha tangkap nelayan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di wilayah pesisir pantai Sulawesi selatan. Jurnal sosek KP 6 no.2 th 2011. Makassar. 13 hal.
197
Rangkuti F. 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia. Rosenberg A A. 1998. Controlling Marine Fisheries 50 Years from Now. Northw. Atl. Fish. Sci. 23: 95–103. Jurnal Northeast Regional Administrator, NOAA/National Marine Fisheries Service Gloucester, Massachusetts 01930, USA. 10 Pages. Rounsefel G. 1973. Ecologi, Utilization and Management of Marine Fisheries. The C.V. Wosby Co., St, Louis. Saad S. 2007. http://cetak. kompas.com/read/xml/2010/02/17/0259516/) Salim E. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Jakarta: Inti Idayu Press. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. . 2000. Modernitas Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah)[disertasi]. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor; Bogor. _______. 2001. Dinamika Modernitas Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. HUP; Bandung. Sayogyo. 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LSPS – IPB; Bogor. Setyohadi T. 1997. Pemberdayaan Nelayan dan Petani Ikan dalam Rangka Konsepsi Benua Maritim. Makalah. Disampaikan pada Simposium Perikanan II. Hotel Sahid Makassar, Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997. Sevilla, Consuelo G. Tuwu, Alimuddin Syah, Alam. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah Alimuddin Tuwu. Pendamping Alam Syah. Penerbit Universitas Indonesia; Jakarta. ________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. Siahaan, Hotman M, Doddy SS. 1990. Respons Struktural dan Kultural Terhadap Pembangunan Komunitas Nelayan Jawa Timur. PAU Studi Sosial UGM dengan Universitas Airlangga; Surabaya. Simbolon D, Irnawati R, Sitanggang LP, Ernaningsih D, Tadjuddah M, Manopp VEN, Karnan, Mohamad. 2009. Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
198
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S Smith IR. 1979. A Researches Framework for Traditional Fisheries. Jurnal ICLARM Studies and Reviews, 2:40 p. _________.1983. A Resource Framework for Traditional Fisheries. Jurnal ICLARM. Manila. __________. 2003. A Resource Framework for Traditional Fisheries. Jurnal ICLARM studies and reviews. Soegianto, Agoes.2005. Ilmu Lingkungan; sarana menuju MasyarakatBerkelanjutan. Surabaya;Airlangga University Press Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Manajemen PT. Raja Grafindo Persada. Soekartawi. 2002. Analisa Usaha Tani. Universitas Indonesia Press; Jakarta. ________. 1995. Programasi Tujuan Ganda Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Soewita. 2000. Sejarah Perikanan Indonesia. Jakarta: Yasamina. Solimun. 2002. Multivariate Analysis ; Structural Equation Modeling (SEM), LISREL dan AMOS. Universitas Brawijaya; Malang. Subade RF, NMR Abdullah. 1993. “Are Fisher Profit Maximizers? The Case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo, Philippines”. Jurnal Asean Fisheries Science 6: 39-49. Sulistiono, Kamal. MM, Butet NA, Nugroho T. 2009. Kegiatan Penangkapan dan Pemasaran Lokal Kepiting Kelapa di Pulau Yoi, Maluku Utara. Buletin PSP 18: 103-112. Suryana. 1989. Perkembangan Struktur Produksi Ketenagakerjaan dan Pendapatan Rumah tangga Pedesaan. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Suryani N. 2004. Analisis pendidikan formal anak pada kelurga nelayan di Desa Karangjalaori, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Buletin Ekonomi Perikanan 5. No.2 Tahun 2004. 11 Hal. Sutojo, Siswanto. 1995. Studi Kelayakan Proyek. Teori dan Praktek Seri Manajemen No.66. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Syafrin N. 1993. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB;
199
Bogor. Todaro. MP. 1992. Kajian Ekonomi Migrasi Internal di Negara Berkembang; Telaah atas beberapa model. Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta. Tulungen J. 2002. Program Pengelolaan Sumber daya Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat. Telaah Kasus di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Manado. Usman, Sunyoto. (1998). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman H, Akbar PS. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi ke-2. Jakarta: Bumi Aksara. Wahyono A.2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media Pressindo. Wahyuningsih, Elizabeth T, Gurning, Edhie W. 1997. Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Tengah (Kasus Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto Kulon Kecamatan Wiradesa. Kabupaten Pekalongan). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini. Jakarta. Wasak, M, 2012. Keadaan Sosial ekonomi Masyarakat Nelayan di Desa Kinabuhutan Kecamatan Likupang Barat. Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Socio-economic condition of fishermen community in Kinabuhutan village,West Likupang district of North Minahasa regency, North Sulawesi. Pacific Journal. Januari 2012. 1 7): 1339-J3*2 ISSN 1907 – 9672. Manado. 5 Pages. Welcomme RL. 2003b. River Fisheries in Africa, thir relationship for regimes. Jurnal NAGA World Fish Center Quarterly 26 3) ; 22-26. Widianto, Hairiah K, Widianto, Utami SR dan Lusiana B. 2002. WaNuLCAS Model Simulasi untuk Sistem Agroforestry. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), Bogor, Indonesia. Wilson B. 2009. Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Nelayan Tradisional (Studi pada Nelayan Tradisional di Pulau Siau Kabupaten Sitaro). Development of Model of the Economic Empowerment for Traditional Fisherman Journal Agritek, Vol 17 no 6, November 2009).ISSN. 0852 – 5426. Wisudo SH, Tri WN, Zulkarnain. 1994. Teknologi Penangkapan Ikan Pilihan yang Layak Dikembangkan di Labuan, Jawa Barat [disertasi]. Fakultas
200
Perikanan IPB; Bogor. Yuliadi, I, 2009. Analisis Kesenjangan Investasi Asing (PMA) di Provinsi Sulawesi Utara: Sebuah Evaluasi Kebijakan Pemekaran Wilayah. Volume 10, Nomor 1, April 2009: 1 ‐ 12. Yogyakarta. 12 hal. Yusmilyansari. 2009. Ancaman Sosial dan Keberlanjutan Perikanan Tangkap Akibat Konflik Nelayan Kalimantan Selatan. Prosiding. 139-146.
201
LAMPIRAN
202
Lampiran 1 Tahapan 1 Analisis Structure Equation Modeling (SEM) L I S R E L 8.30 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published eX3lusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Chicago, IL 60646-1704, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-99 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\SEMRIA\DATA3.SPJ: Observed Variables X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X2.7 X2.8 X2.9 X2.10 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10 Y Correlation Matriks From File D:\SEMRIA\DATA3.COR Sample Size = 100 Latent Variables X1 X2 X3 X4 X Relationships X1.1-X1.10 = X1 X2.1-X2.10 = X2 X3.1-X3.10 = X3 X4.1-X4.10 = X4 Y=X X = X1 X2 X3 X4 Path Diagram OPTIONS ME=UL AD=OFF IT=500 SET THE ERROR VARIANCE OF Y EQUAL TO FREE End of Problem Sample Size = 100
203
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed Y X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 -------- -------- -------- -------- -------- -------Y 1.00 X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X2.7 X2.8 X2.9 X2.10 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
-0.09 0.14 -0.12 0.32 0.03 -0.07 -0.05 0.12 -0.06 0.03 0.10 0.12 -0.27 0.22 -0.15 -0.06 -0.08 0.11 -0.14 0.25 0.21 -0.09 -0.12 -0.17 0.18 -0.09 -0.11 0.10 -0.11 0.12 -0.18 -0.03 0.12 0.18 -0.04 -0.10 0.10 0.03 -0.06 -0.03
1.00 0.11 0.43 -0.31 -0.02 -0.24 -0.05 0.06 0.00 -0.08 -0.08 -0.08 0.04 0.15 0.03 -0.19 0.00 0.04 0.00 -0.01 -0.10 -0.18 -0.22 0.07 0.03 -0.02 -0.08 0.10 0.02 0.01 0.16 0.10 0.02 -0.03 -0.17 -0.15 0.08 -0.01 0.00 -0.06
1.00 0.26 -0.26 -0.11 0.01 0.00 -0.03 -0.12 -0.05 0.03 -0.14 0.08 0.07 0.04 -0.02 -0.11 -0.14 -0.03 0.02 0.20 -0.06 -0.02 0.09 0.16 0.04 -0.02 0.06 -0.12 -0.01 0.00 -0.06 -0.01 0.03 0.02 0.00 0.15 -0.08 -0.12 -0.10
1.00 -0.36 1.00 -0.24 0.22 -0.12 0.17 -0.14 0.06 -0.11 0.05 0.15 0.11 -0.10 0.10 -0.01 -0.01 -0.18 0.25 0.05 -0.01 0.05 -0.02 0.06 -0.14 -0.10 0.07 -0.01 -0.15 0.02 0.14 0.14 -0.15 -0.10 0.21 0.04 0.11 -0.12 0.17 -0.03 0.18 0.07 0.00 0.07 0.14 -0.02 0.08 -0.15 0.04 -0.06 -0.06 0.09 0.16 -0.06 0.01 0.02 -0.14 0.04 0.12 0.11 0.06 -0.08 -0.03 0.02 -0.09 -0.14 0.08 -0.01 -0.05 -0.11 -0.01 0.15 0.11 -0.04 0.08
X1.5
1.00 0.15 0.14 0.18 -0.13 -0.16 0.04 0.07 -0.06 -0.17 -0.09 0.09 -0.01 0.24 -0.17 -0.07 -0.04 0.12 -0.01 -0.04 0.04 0.03 0.07 0.08 -0.10 -0.14 -0.09 -0.17 0.01 0.07 -0.02 0.15 -0.14 0.06 -0.13 -0.13
204
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed X1.6
X1.7
X1.8
X1.9
X1.10
X2.1
-------- -------- -------- -------- -------- -------X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X2.7 X2.8 X2.9 X2.10 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
1.00 -0.04 -0.08 0.10 0.09 0.24 0.12 0.06 -0.17 0.15 0.90 -0.03 -0.10 0.04 0.07 0.01 -0.02 0.07 0.24 -0.06 0.41 -0.02 -0.04 0.18 -0.24 -0.06 0.05 -0.01 -0.04 -0.09 0.65 -0.12 0.01 0.10 0.09
1.00 -0.07 0.00 -0.07 -0.11 0.00 -0.08 -0.08 -0.18 -0.07 0.40 0.14 -0.07 -0.17 0.14 -0.20 -0.06 0.30 0.02 0.02 0.93 -0.11 0.07 0.03 0.18 0.07 -0.04 -0.18 -0.14 0.00 -0.13 -0.10 0.00 -0.15
1.00 -0.07 -0.01 -0.10 -0.01 -0.18 0.20 0.05 -0.09 -0.07 0.56 0.16 0.02 -0.01 0.11 -0.02 -0.02 -0.18 -0.06 -0.06 0.59 -0.06 -0.10 -0.08 0.11 -0.08 -0.06 -0.03 -0.07 -0.08 0.31 -0.07 0.01
1.00 0.02 -0.05 0.00 0.04 -0.12 -0.01 0.14 0.09 -0.03 0.44 0.06 0.05 0.03 -0.06 0.30 -0.07 0.17 0.03 -0.11 0.89 0.08 -0.12 0.01 0.09 -0.04 -0.06 0.22 -0.08 -0.10 1.00 0.04
1.00 0.11 0.11 0.06 0.08 0.10 0.04 -0.05 -0.18 0.07 0.62 0.12 0.02 -0.06 0.03 0.07 0.06 0.03 0.02 0.05 0.55 0.00 0.14 -0.03 -0.01 0.01 0.02 0.12 0.10 0.02 0.87
1.00 -0.09 0.34 0.21 0.19 0.24 -0.06 -0.12 -0.03 0.06 0.00 -0.19 -0.09 -0.05 0.21 -0.07 -0.08 0.07 -0.03 -0.03 -0.13 0.18 -0.06 0.21 -0.01 -0.05 -0.07 -0.07 -0.05 0.11
205
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed X2.2
X2.3
X2.4
X2.5
X2.6
X2.7
-------- -------- -------- -------- -------- -------X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X2.7 X2.8 X2.9 X2.10 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
1.00 -0.32 -0.10 -0.15 0.13 0.08 0.06 -0.07 0.09 0.11 0.12 0.09 0.08 0.05 -0.04 -0.01 0.00 -0.02 0.00 0.14 0.07 0.12 0.07 0.01 0.13 -0.07 0.05 0.00 0.16
1.00 0.09 0.03 0.04 -0.07 -0.20 -0.02 -0.06 0.07 -0.14 0.10 0.08 0.30 0.09 -0.06 -0.13 0.10 0.04 -0.02 0.09 -0.27 0.18 -0.02 0.04 0.10 0.06 0.04 -0.02
1.00 0.25 -0.16 -0.21 0.00 -0.11 0.03 0.12 -0.03 -0.09 -0.15 0.13 -0.02 -0.05 0.09 -0.08 0.02 -0.06 0.17 -0.14 0.21 -0.08 -0.16 0.05 0.12 -0.12 0.12
1.00 0.13 -0.10 -0.16 -0.02 0.09 -0.01 -0.16 -0.04 -0.02 0.01 -0.02 -0.12 0.00 0.01 0.05 0.03 0.05 -0.02 -0.11 -0.12 0.04 0.05 0.01 -0.01 0.09
1.00 0.15 -0.11 0.11 0.06 -0.01 -0.05 0.06 0.21 -0.07 0.36 -0.04 -0.07 0.18 -0.22 0.02 0.10 0.00 -0.04 -0.12 0.60 -0.14 -0.02 0.14 0.06
1.00 0.02 0.21 -0.06 0.01 -0.21 -0.05 0.12 -0.01 0.00 0.37 -0.11 0.05 0.04 0.11 0.00 -0.03 -0.12 -0.17 0.09 -0.13 -0.10 0.09 -0.18
206
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed X2.8
X2.9
X2.10
X3.1
X3.2
X3.3
-------- -------- -------- -------- -------- -------X2.8 X2.9 X2.10 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
1.00 0.24 -0.08 -0.08 0.05 -0.01 -0.03 0.01 -0.08 0.01 0.30 -0.05 -0.14 0.04 0.19 -0.04 -0.05 -0.01 -0.08 -0.10 0.14 -0.03 -0.11
1.00 0.11 -0.09 -0.06 0.01 0.13 0.00 0.08 -0.05 0.16 0.39 0.12 0.00 0.12 0.05 -0.10 -0.04 0.21 -0.12 -0.03 0.44 0.08
1.00 0.13 0.01 -0.06 0.04 0.12 0.09 -0.13 0.06 0.08 0.30 -0.14 0.04 0.09 0.00 0.03 0.01 0.14 0.11 0.06 0.54
1.00 0.12 -0.12 -0.06 0.16 0.01 0.14 -0.03 0.07 0.16 -0.15 -0.02 0.04 -0.09 -0.12 0.05 0.14 0.00 0.05 0.08
1.00 0.42 -0.09 -0.04 -0.02 -0.20 0.09 0.07 -0.07 -0.09 -0.17 0.10 0.05 0.25 0.03 0.05 0.02 0.03 0.02
1.00 0.10 0.00 0.05 -0.04 -0.12 -0.03 -0.02 0.12 -0.01 0.03 0.03 0.26 0.07 0.01 -0.14 -0.06 -0.11
207
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed X3.4
X3.5
X3.6
X3.7
X3.8
X3.9
-------- -------- -------- -------- -------- -------X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
1.00 -0.01 0.32 0.36 -0.03 0.47 0.04 0.09 0.06 -0.02 -0.01 -0.01 0.30 -0.04 -0.03 0.30 0.03
1.00 -0.07 0.00 0.00 -0.07 0.01 -0.14 0.05 -0.01 0.23 -0.03 -0.17 0.33 0.22 -0.07 0.06
1.00 0.04 -0.10 0.28 0.03 -0.13 0.15 -0.18 -0.07 -0.31 0.60 0.00 0.13 0.17 0.07
1.00 -0.10 0.10 0.08 0.14 0.04 -0.01 -0.20 -0.13 0.03 -0.12 -0.10 0.03 0.00
1.00 -0.10 -0.08 -0.12 0.07 -0.01 0.04 -0.01 -0.11 0.10 0.22 -0.11 0.04
1.00 0.09 -0.09 0.05 -0.02 0.02 -0.06 0.29 -0.05 -0.09 0.89 0.06
Correlation Matriks to be Analyzed X3.10
X4.1
X4.2
X4.3
X4.4
X4.5
-------- -------- -------- -------- -------- -------X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
1.00 -0.07 -0.06 0.08 -0.05 0.03 -0.03 0.13 -0.06 0.08 0.47
1.00 0.25 -0.12 -0.08 -0.05 -0.06 -0.25 -0.10 -0.12 0.00
1.00 -0.22 -0.06 -0.23 -0.05 -0.14 0.00 0.01 0.12
1.00 -0.43 0.03 -0.05 0.15 -0.01 0.09 -0.01
1.00 0.38 -0.10 0.10 0.10 -0.04 -0.03
1.00 -0.19 0.01 0.17 -0.06 -0.03
208
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed X4.6
X4.7
X4.8
X4.9
X4.10
-------- -------- -------- -------- -------X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10
1.00 -0.08 -0.10 0.22 0.04
1.00 0.31 -0.08 0.11
Number of Iterations = 75
1.00 -0.10 0.09
1.00 0.04
1.00
209
Lampiran 1 (lanjutan) LISREL Estimates (Unweighted Least Squares) Y = 1.00*X,, R² = 1.00 (0.17) 6.03 X1.1 = 0.062*X1, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0039 (0.049) (0.14) 1.27 7.32 X1.2 = 0.066*X1, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0044 (0.043) (0.14) 1.55 7.05 X1.3 = -0.017*X1, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00029 (0.041) (0.14) -0.42 7.34 X1.4 = -0.085*X1, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0073 (0.049) (0.14) -1.75 7.14 X1.5 = 0.033*X1, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0011 (0.040) (0.14) 0.83 7.18 X1.6 = -0.35*X1, Errorvar.= 0.88 , R² = 0.12 (0.091) (0.16) -3.89 5.64 X1.7 = -0.093*X1, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0086 (0.046) (0.14) -2.02 6.97 X1.8 = 0.098*X1, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0096 (0.047) (0.14) 2.10 6.96 X1.9 = -0.51*X1, Errorvar.= 0.74 , R² = 0.26 (0.13) (0.19) -4.05 3.92 X1.10 = -0.084*X1, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0070 (0.049) (0.14) -1.70 6.97
210
Lampiran 1 (lanjutan) LISREL Estimates (Unweighted Least Squares) X2.1 = 0.014*X2, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00021 (0.062) (0.14) 0.23 7.31 X2.2 = 0.069*X2, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0047 (0.059) (0.14) 1.17 7.07 X2.3 = 0.076*X2, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0058 (0.059) (0.14) 1.30 7.15 X2.4 = -0.23*X2, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.052 (0.068) (0.14) -3.33 6.85 X2.5 = 0.034*X2, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0011 (0.056) (0.14) 0.60 7.18 X2.6 = 0.52*X2, Errorvar.= 0.73 , R² = 0.27 (0.11) (0.18) 4.81 4.08 X2.7 = 0.19*X2, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.036 (0.069) (0.14) 2.75 6.91 X2.8 = -0.10*X2, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.010 (0.062) (0.14) -1.61 6.99 X2.9 = 0.39*X2, Errorvar.= 0.85 , R² = 0.15 (0.080) (0.15) 4.87 5.63 X2.10 = 0.096*X2, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0092 (0.065) (0.14) 1.47 6.95
211
Lampiran 1 (lanjutan) LISREL Estimates (Unweighted Least Squares) X3.1 = 0.048*X3, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0023 (0.058) (0.14) 0.83 7.39 X3.2 = -0.028*X3, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00076 (0.059) (0.14) -0.47 7.11 X3.3 = 0.024*X3, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00059 (0.057) (0.14) 0.43 7.04 X3.4 = 0.50*X3, Errorvar.= 0.75 , R² = 0.25 (0.067) (0.15) 7.48 4.93 X3.5 = -0.12*X3, Errorvar.= 0.98 , R² = 0.016 (0.059) (0.14) -2.12 7.13 X3.6 = 0.47*X3, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.22 (0.065) (0.15) 7.24 5.23 X3.7 = 0.18*X3, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.032 (0.061) (0.14) 2.93 6.74 X3.8 = -0.19*X3, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.035 (0.057) (0.14) -3.24 6.74 X3.9 = 0.83*X3, Errorvar.= 0.31 , R² = 0.69 (0.086) (0.20) 9.67 1.59 X3.10 = 0.066*X3, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0044 (0.059) (0.14) 1.12 7.12
212
Lampiran 1 (lanjutan) LISREL Estimates (Unweighted Least Squares) X4.1 = 0.028*X4, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00080 (0.050) (0.14) 0.57 7.23 X4.2 = -0.072*X4, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0052 (0.047) (0.14) -1.53 7.05 X4.3 = -0.010*X4, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00010 (0.046) (0.14) -0.22 7.04 X4.4 = 0.11*X4, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.012 (0.050) (0.14) 2.16 7.03 X4.5 = 0.14*X4, Errorvar.= 0.98 , R² = 0.020 (0.052) (0.14) 2.71 6.96 X4.6 = -0.49*X4, Errorvar.= 0.76 , R² = 0.24 (0.078) (0.16) -6.27 4.82 X4.7 = 0.13*X4, Errorvar.= 0.98 , R² = 0.016 (0.052) (0.14) 2.43 7.12 X4.8 = 0.11*X4, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.012 (0.052) (0.14) 2.15 7.17 X4.9 = -0.61*X4, Errorvar.= 0.62 , R² = 0.38 (0.093) (0.18) -6.56 3.46 X4.10 = -0.10*X4, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.011 (0.053) (0.14) -1.94 7.00 X = 0.17*X1 + 0.081*X2 + 0.21*X3 + 0.19*X4, Errorvar.= 1.02, R² = 0.017 (0.17) (0.32) (0.42) (0.24) 1.04 0.25 0.50 0.77
213
Lampiran 1 (lanjutan) Correlation Matriks of Independent Variables X1 X2 X3 X4 -------- -------- -------- -------X1 1.00 X2
-1.63 (0.53) -3.09
1.00
X3
-1.44 0.72 (0.39) (0.19) -3.69 3.85
X4
1.98 -1.27 -1.23 (0.57) (0.33) (0.22) 3.46 -3.88 -5.49
1.00
1.00
Covariance Matriks of Latent Variables X X1 X2 X3 X4 -------- -------- -------- -------- -------X 1.00 X1 0.11 1.00 X2 -0.29 -1.63 1.00 X3 -0.21 -1.44 0.72 1.00 X4 0.17 1.98 -1.27 -1.23 1.00
214
Lampiran 1 (lanjutan) Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 770 Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 1695.94 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 925.94 90 Percent Confidence Interval for NCP = (810.65 ; 1048.94) Minimum Fit Function Value = 14.28 Population Discrepancy Function Value (F0) = 9.35 90 Percent Confidence Interval for F0 = (8.19 ; 10.60) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.11 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.10 ; 0.12) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 18.97 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (17.80 ; 20.21) ECVI for Saturated Model = 17.39 ECVI for Independence Model = 21.13 Chi-Square for Independence Model with 820 Degrees of Freedom = 2010.35 Independence AIC = 2092.35 Model AIC = 1877.94 Saturated AIC = 1722.00 Independence CAIC = 2240.17 Model CAIC = 2206.01 Saturated CAIC = 4826.05 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.13 Standardized RMR = 0.13 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.65 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.61 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.58 Normed Fit Index (NFI) = 0.30 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.42 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.28 Comparative Fit Index (CFI) = 0.46 Incremental Fit Index (IFI) = 0.48 RelatifFit Index (RFI) = 0.25 Critical N (CN) = 61.54
215
Lampiran 1 (lanjutan) The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate X3.8 X1 90.9 -12.41 X4.5 X2 33.9 2.16 The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate X1.3 X1.1 18.8 0.44 X1.4 Y 11.0 0.34 X1.4 X1.1 9.1 -0.30 X1.4 X1.3 13.1 -0.36 X2.3 X2.1 11.6 0.34 X2.3 X2.2 10.7 -0.33 X2.6 X1.6 83.1 1.40 X2.6 X1.9 18.0 -0.63 X2.7 X1.7 13.8 0.38 X2.8 X1.8 29.5 0.55 X2.9 X2.8 8.4 0.30 X2.10 Y 8.0 0.29 X2.10 X1.10 37.0 0.62 X3.3 X3.2 17.6 0.42 X3.5 X2.3 9.4 0.31 X3.7 X1.7 83.0 0.93 X3.7 X2.7 11.8 0.35 X3.7 X3.4 8.1 0.31 X3.8 X1.8 32.6 0.58 X3.8 X2.8 8.3 0.29 X3.9 X1.6 9.2 -0.38 X3.9 X1.9 40.7 1.47 X3.10 X1.6 8.0 -0.30 X3.10 X1.10 29.0 0.54 X3.10 X2.10 8.8 0.30 X4.4 X4.3 18.7 -0.43 X4.5 X4.4 13.0 0.36 X4.6 X1.6 15.6 0.51 X4.6 X1.9 12.2 -0.45 X4.6 X2.6 14.2 0.51 X4.6 X3.6 14.4 0.46 X4.7 X3.5 9.6 0.31 X4.8 X1.8 8.3 0.29 X4.8 X4.7 8.7 0.30 X4.9 X1.6 17.3 -0.53 X4.9 X1.9 77.9 2.07 X4.9 X2.6 11.5 -0.45 X4.9 X3.9 23.0 0.88 X4.10 X1.10 74.2 0.88 X4.10 X2.10 27.6 0.53
216
Lampiran 2 Tahap akhir L I S R E L 8.30 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published eX3lusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Chicago, IL 60646-1704, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-99 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\SEMRIA\DATA3.SPJ: Observed Variables X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X2.7 X2.8 X2.9 X2.10 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 X3.10 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 X4.10 Y Correlation Matriks From File D:\SEMRIA\DATA3.COR Sample Size = 100 Latent Variables A B C D X Relationships X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 = A X2.4 X2.6 X2.7 X2.9 = B X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9 = C X4.4 X4.5 X4.6 X4.7 X4.8 X4.9 = D Y =X X = X1 X2 X3 X4
217
Lampiran 2 (lanjutan) Path Diagram options ME=UL AD=OFF IT=1000 set the error variance of Y equal to free set the error variance of X equal to 0.05 set the error covariance between X2.6 and X1.6 to free set the error covariance between X2.6 and X1.9 to free set the error covariance between X2.7 and X1.7 to free set the error covariance between X3.7 and X1.7 to free set the error covariance between X3.7 and X2.7 to free set the error covariance between X3.8 and X1.8 to free set the error covariance between X3.9 and X1.6 to free set the error covariance between X3.9 and X1.9 to free set the error covariance between X4.5 and X4.4 to free set the error covariance between X4.6 and X1.6 to free set the error covariance between X4.6 and X1.9 to free set the error covariance between X4.6 and X2.6 to free set the error covariance between X4.6 and X3.6 to free set the error covariance between X4.6 and X3.9 to free set the error covariance between X4.7 and X3.5 to free set the error covariance between X4.8 and X1.8 to free set the error covariance between X4.8 and X4.7 to free set the error covariance between X4.9 and X1.6 to free set the error covariance between X4.9 and X1.9 to free set the error covariance between X4.9 and X2.6 to free set the error covariance between X4.9 and X3.9 to free End of Problem Sample Size = 100
218
Lampiran 2 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed Y X1.6 X1.7 X1.8 -------- -------- -------- -------- -------Y 1.00 X1.6 -0.07 1.00 X1.7 -0.05 -0.04 1.00 X1.8 0.12 -0.08 -0.07 1.00 X1.9 -0.06 0.10 0.00 -0.07 X2.4 0.22 -0.17 -0.08 0.20 X2.6 -0.06 0.90 -0.07 -0.09 X2.7 -0.08 -0.03 0.40 -0.07 X2.9 -0.14 0.04 -0.07 0.16 X3.4 -0.17 0.24 0.30 -0.02 X3.5 0.18 -0.06 0.02 -0.18 X3.6 -0.09 0.41 0.02 -0.06 X3.7 -0.11 -0.02 0.93 -0.06 X3.8 0.10 -0.04 -0.11 0.59 X3.9 -0.11 0.18 0.07 -0.06 X4.4 0.18 -0.04 -0.18 -0.06 X4.5 -0.04 -0.09 -0.14 -0.03 X4.6 -0.10 0.65 0.00 -0.07 X4.7 0.10 -0.12 -0.13 -0.08 X4.8 0.03 0.01 -0.10 0.31 X4.9 -0.06 0.10 0.00 -0.07
X1.9 --------
1.00 -0.12 0.14 0.09 0.44 0.30 -0.07 0.17 0.03 -0.11 0.89 -0.04 -0.06 0.22 -0.08 -0.10 1.00
X2.4
1.00 -0.16 -0.21 -0.11 -0.15 0.13 -0.02 -0.05 0.09 -0.08 0.21 -0.08 -0.16 0.05 0.12 -0.12
219
Lampiran 2 (lanjutan) Correlation Matriks to be Analyzed X2.6 X2.7 X2.9 -------- -------- -------- -------X2.6 1.00 X2.7 0.15 1.00 X2.9 0.11 0.21 1.00 X3.4 0.21 0.12 0.13 X3.5 -0.07 -0.01 0.00 X3.6 0.36 0.00 0.08 X3.7 -0.04 0.37 -0.05 X3.8 -0.07 -0.11 0.16 X3.9 0.18 0.05 0.39 X4.4 -0.04 -0.12 -0.10 X4.5 -0.12 -0.17 -0.04 X4.6 0.60 0.09 0.21 X4.7 -0.14 -0.13 -0.12 X4.8 -0.02 -0.10 -0.03 X4.9 0.14 0.09 0.44
X3.4 X3.5 -------- --------
1.00 -0.01 0.32 0.36 -0.03 0.47 -0.01 -0.01 0.30 -0.04 -0.03 0.30
1.00 -0.07 0.00 0.00 -0.07 0.23 -0.03 -0.17 0.33 0.22 -0.07
X3.6
1.00 0.04 -0.10 0.28 -0.07 -0.31 0.60 0.00 0.13 0.17
Correlation Matriks to be Analyzed X3.7 X3.8 X3.9 -------- -------- -------- -------X3.7 1.00 X3.8 -0.10 1.00 X3.9 0.10 -0.10 1.00 X4.4 -0.20 0.04 0.02 X4.5 -0.13 -0.01 -0.06 X4.6 0.03 -0.11 0.29 X4.7 -0.12 0.10 -0.05 X4.8 -0.10 0.22 -0.09 X4.9 0.03 -0.11 0.89
X4.4 X4.5 -------- --------
1.00 0.38 -0.10 0.10 0.10 -0.04
Correlation Matriks to be Analyzed X4.7 X4.8 X4.9 -------- -------- -------X4.7 1.00 X4.8 0.31 1.00 X4.9 -0.08 -0.10 1.00 Number of Iterations =149
1.00 -0.19 0.01 0.17 -0.06
X4.6
1.00 -0.08 -0.10 0.22
220
Lampiran 2 (lanjutan) LISREL Estimates (Unweighted Least Squares) Y = 4.44*X,, R² = 1.00 (0.59) 7.53 X1.6 = 0.26*X1, Errorvar.= 0.93 , R² = 0.066 (0.14) (0.16) 1.82 5.85 X1.7 = 0.11*X1, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.011 (0.070) (0.14) 1.54 6.92 X1.8 = -0.057*X1, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0032 (0.061) (0.14) -0.94 7.00 X1.9 = 0.33*X1, Errorvar.= 0.89 , R² = 0.11 (0.18) (0.19) 1.85 4.80 X2.4 = 0.33*X2, Errorvar.= 0.89 , R² = 0.11 (0.083) (0.15) 3.98 5.84 X2.6 = -0.42*X2, Errorvar.= 0.82 , R² = 0.18 (0.10) (0.17) -4.22 4.96 X2.7 = -0.27*X2, Errorvar.= 0.93 , R² = 0.073 (0.083) (0.15) -3.28 6.21 X2.9 = -0.48*X2, Errorvar.= 0.77 , R² = 0.23 (0.092) (0.17) -5.24 4.57 X3.4 = 0.69*X3, Errorvar.= 0.53 , R² = 0.47 (0.097) (0.19) 7.09 2.72 X3.5 = -0.16*X3, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.026 (0.070) (0.14) -2.33 6.76
221
Lampiran 2 (lanjutan) X3.6 = 0.49*X3, Errorvar.= 0.76 , R² = 0.24 (0.079) (0.16) 6.18 4.72 X3.7 = 0.21*X3, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.046 (0.074) (0.15) 2.89 6.55 X3.8 = -0.18*X3, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.033 (0.067) (0.14) -2.72 6.70 X3.9 = 0.62*X3, Errorvar.= 0.62 , R² = 0.38 (0.099) (0.19) 6.25 3.28 X4.4 = 0.20*X4, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.041 (0.075) (0.15) 2.71 6.59 X4.5 = 0.20*X4, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.041 (0.073) (0.15) 2.77 6.60 X4.6 = -0.47*X4, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.22 (0.10) (0.17) -4.62 4.48 X4.7 = 0.21*X4, Errorvar.= 0.96 , R² = 0.042 (0.072) (0.15) 2.84 6.59 X4.8 = 0.17*X4, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.030 (0.073) (0.14) 2.36 6.71 X4.9 = -0.51*X4, Errorvar.= 0.74 , R² = 0.26 (0.099) (0.17) -5.18 4.21
222
Lampiran 2 (lanjutan) Error Covariance for X2.6 and X1.6 = 0.75 (0.12) 6.40 Error Covariance for X2.6 and X1.9 = -0.04 (0.13) -0.33 Error Covariance for X2.7 and X1.7 = 0.36 (0.10) 3.48 Error Covariance for X3.7 and X1.7 = 0.89 (0.10) 8.71 Error Covariance for X3.7 and X2.7 = 0.33 (0.10) 3.24 Error Covariance for X3.8 and X1.8 = 0.58 (0.10) 5.70 Error Covariance for X3.9 and X1.6 = -0.06 (0.13) -0.46 Error Covariance for X3.9 and X1.9 = 0.59 (0.13) 4.40 Error Covariance for X4.5 and X4.4 = 0.33 (0.10) 3.24 Error Covariance for X4.6 and X1.6 = 0.50 (0.13) 3.94 Error Covariance for X4.6 and X1.9 = 0.032 (0.14) 0.23 Error Covariance for X4.6 and X2.6 = 0.38 (0.13) 3.00 Error Covariance for X4.6 and X3.6 = 0.43 (0.11) 3.70 Error Covariance for X4.6 and X3.9 = 0.064 (0.13) 0.51 Error Covariance for X4.7 and X3.5 = 0.30 (0.10) 2.99 Error Covariance for X4.8 and X1.8 = 0.30
223
Lampiran 2 (lanjutan) (0.10) 2.93 Error Covariance for X4.8 and X4.7 = 0.27 (0.10) 2.67 Error Covariance for X4.9 and X1.6 = -0.06 (0.13) -0.48 Error Covariance for X4.9 and X1.9 = 0.79 (0.14) 5.52 Error Covariance for X4.9 and X2.6 = -0.10 (0.13) -0.75 Error Covariance for X4.9 and X3.9 = 0.65 (0.12) 5.20 X = -0.0056*X1-0.083*X2-0.0040*X3 + 0.13*X4, Errorvar.= 0.050, R² = 0.013 (0.11) (0.32) (0.10) (0.40) -0.049 -0.26 -0.039 0.32
224
Lampiran 2 (lanjutan) Correlation Matriks of Independent Variables X1 X2 X3 X4 -------- -------- -------- -------X1 1.00 X2
-1.33 (0.80) -1.65
1.00
X3
1.48 -0.64 (0.83) (0.16) 1.78 -3.99
X4
-1.21 1.12 -0.76 (0.85) (0.30) (0.19) -1.42 3.74 -4.05
1.00
1.00
Covariance Matriks of Latent Variables X X1 X2 X3 X4 -------- -------- -------- -------- -------X 0.05 X1 -0.06 1.00 X2 0.07 -1.33 1.00 X3 -0.06 1.48 -0.64 1.00 X4 0.05 -1.21 1.12 -0.76 1.00
225
Lampiran 2 (lanjutan) Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 159 Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 140.32 (P = 0.85) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 11.43) Minimum Fit Function Value = 1.42 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.12) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.027) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 1.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 3.06 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (3.06 ; 3.18) ECVI for Saturated Model = 4.67 ECVI for Independence Model = 11.00 Chi-Square for Independence Model with 210 Degrees of Freedom = 1046.71 Independence AIC = 1088.71 Model AIC = 284.32 Saturated AIC = 462.00 Independence CAIC = 1164.41 Model CAIC = 543.89 Saturated CAIC = 1294.79 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.078 Standardized RMR = 0.078 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.90 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.64 Normed Fit Index (NFI) = 0.87 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.03 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.66 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.02 RelatifFit Index (RFI) = 0.82 Critical N (CN) = 144.51
226
Lampiran 2 (lanjutan) The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate X1.8 X2 16.2 3.35 X3.5 X1 13.9 -5.80 X3.5 X2 9.5 0.99 X3.9 X1 13.5 4.51 The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate X2.9 X1.9 11.5 0.52