Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN
Badaruddin
Volume 17 ( 1) 2005
MODAL SOSIAL DAN REDUKSI KEMISKINAN NELAYAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA Badaruddin Staf Pengajar FISIPOL Universitas Sumatera Utara
Abstract This research result shows that was met by some social capital potency, both for have died, experiencing of erosion, and still strong in fisherman community, like patron-client; cooperation, Serikat Tolong Menolong (STM), and rotating credit association (arisan). The potency of social capital is represent the asset which require to be continued to wokw up to grow the awareness will the importance of collective action in face of structural pressure to go out from poverty shackle which they face. The rotating credit association (arisan) is representing one of the potency of social capital exploiting of social capital element in more effective and efficient, and show the very positive result to fisherman community, good in social meaning gain trength his feel the solidarity, and in economic meaning. Keywords: Social capital, Poverty
A. Latar Belakang Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi kelautan cukup besar, seharusnya mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup pada potensi kelautan (maritim) tersebut. Realitasnya, kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan sering diidentikkan dengan “kemiskinan”. Menurut Dahuri (1999), tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk sektor pertanian agraris. Kebijakan pemerintah yang dikenal dengan modernisasi perikanan atau revolusi biru (blue revolution), belum mampu memberikan hasil yang memuaskan secara berkeadilan untuk semua lapisan, bahkan cenderung menimbulkan persoalan baru pada komunitas nelayan. Kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam juga menjadi kondusif bagi persistennya kelembagaan sosial-ekonomi tradisional yang eksploitatif seperti kelembagaan patron-klien dan tengkulak sebagai “katub pengaman” subsistensi mereka. Lahir dan berkembangnya kelembagaan tradisional seperti patron-
43
klien di tengah komunitas nelayan menunjukkan kemampuan suatu komunitas memanfaatkan beberapa aspek dari potensi modal sosial, di antaranya, kemampuan merajut atau membangun pranata dan norma-norma (crafting institutions) dan adanya sikap saling percaya (trust) di antara warga komunitas. Namun dalam konteks kelembagaan patron-klien, tidak ditemui unsur potensi modal sosial lainnya, yaitu adanya partisipasi yang setara dan adil (equal participation). Tidak adanya unsur partisipasi yang setara dan adil dalam kelembagaan patron-klien menyebabkan kelembagaan tersebut menjadi eksploitatif. Meskipun demikian, kelembagaan patron-klien memberi indikasi awal bahwa dalam komunitas nelayan masih ditemui adanya potensi modal sosial. Kepercayaan masyarakat terhadap koperasi menjadi hilang karena kegagalan misi mereka untuk mensejahterakan anggotanya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen modal sosial, yaitu kepercayaan (Fukuyama, 1995) telah memudar bahkan mengalami penghancuran. Selain dari perspektif struktural, fenomena kemiskinan nelayan juga telah banyak dilihat dari perspektif kultural. Perspektif kultural (Lewis, 1981) mengasumsikan
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
bahwa kemiskinan persisten karena berlakunya budaya kemiskinan pada rumah tangga miskin tersebut. Perspektif kultural ini juga tidak sepenuhnya berhasil mengeluarkan nelayan dari kemiskinannya, yang terbukti dari tetap persistennya kemiskinan nelayan. Atas dasar latar belakang tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Modal Sosial dan Reduksi Kemiskinan Nelayan” dengan setting penelitian pada masyarakat nelayan di provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan deskripsi latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah ada potensi modal sosial yang dapat mereka (komunitas nelayan) kembangkan untuk meningkatkan posisi tawar ekonomi dan beradaptasi terhadap kekuatan dan pengaruh luar. 2. Bagaimana potensi modal sosial tersebut dapat ditumbuhkan dan dikreasi sedemikian rupa sehingga ditemukan model kreasi modal sosial yang mampu memberdayakan ekonomi komunitas nelayan yang pada akhirnya dapat mereduksi kemiskinan nelayan dan memecahkan segala persoalan yang mereka hadapi melalui tindakan kolektif yang demokratis. B. Tinjauan Pustaka Konsep modal sosial yang dijadikan fokus penelitian ini pertama kali dikemukakan oleh Coleman (1988) yang mendefinisikannya sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilainilai baru. Coleman sebagaimana dikutip Ostrom (1992:13) membedakan antara modal sosial (social capital) dengan modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Konsep ini menjadi populer setelah dielaborasi oleh sejumlah sarjana dalam kajian mereka seperti Ostrom (1992); Putnam (1993, 1995, 1999); Fukuyama (1995); Adams dan Someshwar (1996); Babbingtone (1998); Pretty dan Ward (1999); Krishna dan Uphoff (1999); dan
Rose (1999). The World Bank sebagai salah satu institusi finansial dunia yang banyak menyalurkan bantuan, khususnya bagi negara-negara dunia ketiga, juga tertarik dengan hasil kajian yang menggunakan konsep modal sosial (lihat Dasgupta dan Serageldin, 1999). Dari hasil kajian terhadap berbagai proyek pembangunan di dunia ketiga, Ostrom (1992) sampai pada suatu kesimpulan bahwa modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu proyek pembangunan. Putnam (1993) yang mengkaji tentang kehidupan politik di Italia menemukan bahwa modal sosial merupakan unsur utama pembangunan masyarakat madani (civic community). Lebih lanjut Putnam (1993:167) menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringanjaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitasi bagi tindakantindakan yang terkoordinasi. Menurut Putnam, kerjasama sukarela lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik (reciprocity), dan jaringan-jaringan kesepakatan antar-warga. Fukuyama (1995) yang mengkaji bidang ekonomi menyebutkan bahwa modal sosial yang berintikan kepercayaan (trust) merupakan dimensi budaya dari kehidupan ekonomi (cultural dimension of life) yang sangat menentukan dalam keberhasilan pembangunan ekonomi. Berbeda jauh dengan modal material atau modal ekonomi, maka modal sosial menurut Fukuyama (1995) justru semakin bertambah bobotnya apabila semakin intensif didayagunakan. Karena itu, penggunaan modal sosial akan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan suatu kegiatan, seperti program pembangunan. Sementara itu Rose (1999) dalam penelitiannya di Rusia menemukan bahwa modal sosial merupakan unsur utama bagi bekerjanya organisasi informal dalam masyarakat sebagai alternatif dari organisasi formal.
44
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN
Badaruddin
Volume 17 ( 1) 2005
Dari hasil kajian yang telah dilakukan beberapa sarjana tersebut di atas memberi pemahaman bahwa modal sosial tersebut berintikan elemen-elemen pokok yang mencakup: (1) saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity); (2) jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (colaboration/ cooperation), dan keadilan (equity); (3) pranata (institutions), yang meliputi nilainilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan (rules) [Lubis, 2002]. Elemen-elemen pokok modal sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan ditransmisikan melalui mekanismemekanisme sosial budaya di dalam sebuah unit sosial seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, negara dan sebagainya. C. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif dengan model kombinasi “dominant-less dominant design” dari Creswell (1994). Pendekatan kualitatif dijadikan sebagai pendekatan utama (dominant) dan pendekatan kuantitatif sebagai pendekatan pendukung (less dominant). Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga nelayan miskin (nelayan tradisional dan nelayan buruh) yang telah menetap di lokasi penelitian sekurang-kurangnya lima tahun dengan alasan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang seluk beluk kehidupan nelayan, termasuk pengetahuan tentang pranata-pranata sosial-ekonomi yang masih eksis maupun yang telah mengalami pelemahan dan penghancuran (mati) yang merupakan bagian dari potensi modal sosial yang mereka miliki.
45
Besarnya sampel untuk masing-masing desa tiap kabupaten ditetapkan secara proporsional yaitu, kabupaten Langkat berjumlah 39 rumah tangga; kabupaten Deli Serdang berjumlah 35 rumah tangga; kotamadya Medan berjumlah 48 rumah tangga; dan kabupaten Asahan berjumlah 38 rumah tangga. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah tokoh adat, tokoh agama, aparat desa, nelayan, dan toke (patron). Di samping itu, yang menjadi informan adalah tokoh LSM yang peduli dengan persoalan nelayan. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan berpartisipasi (participant observation).
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan teknik survei melalui pendistribusian seperangkat daftar pertanyaan semi terbuka (semi open ended questionary) kepada para responden penelitian. Untuk pendekatan kualitatif, analisis data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data (on going analysis). Untuk pendekatan kuantitatif digunakan teknik analisis statistika deskriptif. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.
Potensi Modal Sosial dalam Komunitas Nelayan di Sumatera Utara Untuk dapat melihat dan mengidentifikasi potensi modal sosial yang ada dalam suatu masyarakat (komunitas) maka terlebih dahulu harus diketahui elemen-elemen dari modal sosial (social capital) tersebut. Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa modal sosial berintikan elemen-elemen pokok, yaitu (1) saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity); (2) jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
partisipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (colaboration/ cooperation), dan keadilan (equity); (3) pranata (institutions), yang meliputi nilainilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan (rules). Dari elemen-elemen pokok modal sosial tersebut, maka dapat diidentifikasi beberapa potensi modal sosial yang ada dalam komunitas nelayan. Potensi modal sosial tersebut terwujud dalam bentuk kelembagaan, baik yang masih eksis maupun tidak eksis lagi dalam komunitas nelayan. Potensi modal sosial yang terwujud dalam bentuk kelembagaan tersebut antara lain: Patron - Klien (Toke - Anak Buah) Dilihat dari elemen-elemen pokok modal sosial (social capital), maka kelembagaan sosial ekonomi patron-klien yang ditemui pada komunitas nelayan di Sumatera Utara, merupakan salah satu potensi modal sosial yang ada. Meskipun tidak sepenuhnya elemen-elemen pokok modal sosial tersebut ditemui dan berjalan sebagaimana mestinya, tetapi sejumlah elemen modal sosial merupakan dasar bagi lahirnya kelembagaan patron-klien. Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial merupakan salah satu dasar bagi lahirnya hubungan patron-klien. Adanya sikap saling percaya yang terbangun antar-beberapa golongan komunitas nelayan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks), yang akhirnya dimapankan dalam wujud pranata (institutions), yang dikenal dengan pranata patron-klien (toke – anak buah). Secara umum pranata patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas nelayan, yaitu pertama, golongan pemilik kapal (modal ekonomi), yang di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “toke”, yang berperan sebagai patron. Kedua, yaitu golongan
komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain, di antaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki keahlian di antaranya, nakhoda dan teknisi, sedangkan yang memiliki modal tenaga adalah yang berperan sebagai pekerja selain nakhoda dan teknisi. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga ini biasanya dikenal dengan sebutan “buruh”, yang berperan sebagai klien. Golongan komunitas nelayan yang hanya mengandalkan modal tenaga inilah yang termasuk dalam kategori nelayan miskin, dan merupakan yang terbesar jumlahnya. Adanya saling percaya di antara beberapa golongan komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial. Jaringan sosial tersebut terbentuk antar-golongan nelayan yang berperan sebagai “patron” dan golongan nelayan yang berperan sebagai “klien”. Jaringan sosial juga terbentuk antarsesama golongan “klien”. Koperasi Selain pranata patron-klien, ditemui pula pranata koperasi (KUD Mina). Sungguhpun pranata patron-klien dianggap eksploitatif terhadap klien, namun kemunculan koperasi (KUD Mina) sebagai alternatif belum mampu mengurangi dominasi pranata patron-klien. Secara konseptual, pranata koperasi merupakan potensi modal sosial yang ditemui pada beberapa komunitas nelayan di Sumatera Utara, karena beberapa elemen pokok dari modal sosial ditemui pada koperasi. Sikap saling percaya merupakan dasar bagi berdirinya koperasi, terutama saling percaya antara anggota koperasi dengan pengurus koperasi. Sikap saling percaya tersebut membentuk jaringan sosial dalam bentuk partisipasi anggota terhadap keberlangsungan koperasi yang diwujudkan dalam suatu wadah pranata koperasi (KUD Mina). Kegagalan koperasi menunjukkan bahwa unsur-unsur dari elemen modal sosial tidak dipraktekkan dalam pranata koperasi. Kejujuran pengurus misalnya, merupakan elemen inti dari bekerjanya modal sosial (Fukuyama, 1995), yang oleh Pretty dan
46
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
Ward (1999) disebut sebagai pelumas yang sangat penting bagi kerjasama, termasuk dalam kerjasama koperasi. Ketidakjujuran pengurus koperasi membuat partisipasi dan kerjasama anggota akan menjadi hilang, yang pada akhirnya akan meruntuhkan koperasi itu sendiri.
dalam pranata tersebut. Dalam konteks seperti itu terlihat bahwa apa yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995) dan Pretty & Ward (1999) tentang peran kepercayaan (trust) sebagai elemen inti dan pelumas dalam modal sosial menjadi relevan.
Ditemukannya elemen modal sosial dalam koperasi, meskipun unsur-unsurnya tidak bekerja dan berfungsi secara efektif menunjukkan bahwa koperasi merupakan salah satu potensi modal sosial yang hidup atau pernah ada dalam komunitas nelayan, khususnya pada komunitas nelayan di lokasi penelitian.
Arisan Untuk mensiasati perangkap kemiskinan yang senantiasa melanda kaum nelayan (nelayan tradisional dan nelayan buruh), para nelayan miskin tersebut menjalankan berbagai strategi melalui pembentukan pranata. Menurut Kusnadi (1997; 2000), salah satu strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi situasi ekonomi yang tidak pasti adalah menciptakan, mengembangkan, dan memelihara hubungan-hubungan sosial yang membentuk suatu jaringan sosial. Fungsi jaringan sosial ini adalah untuk memudahkan anggota-anggotanya memperoleh akses ke sumber daya ekonomi yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial yang anggota-anggotanya memiliki tingkat kesamaan kemampuan sosial ekonomi (bersifat horizontal) akan mewujudkan aktivitasnya dalam hubungan tolong menolong. Dalam bentuk konkritnya, jaringan sosial tersebut di antaranya adalah pranata “arisan”.
Serikat Tolong Menolong (STM) Dilihat dari unsur-unsur yang ada pada elemen modal sosial, maka pranata STM merupakan salah satu pranata di mana unsur-unsur elemen modal sosial bekerja secara lebih efektif. Unsur-unsur dari elemen saling percaya, seperti kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati, kesemuanya bekerja relatif baik. Kejujuran pengurus dan anggotanya juga relatif baik, hal ini terkait dengan sanksi sosial yang akan diterima apabila berlaku tidak jujur. Sikap egaliter juga tercermin ketika mereka bermusawarah dalam memutuskan sesuatu, meskipun yang hadir terdiri dari berbagai lapisan sosial masyarakat. Kemurahan hati juga tercermin ketika ada anggota yang terkena musibah, mereka akan membantu semampu mereka, baik itu berupa tenaga maupun yang bersifat materi. Unsur dari elemen jaringan sosial seperti partisipasi, solidaritas dan pertukaran timbal balik juga berkerja dengan baik. Sedangkan unsur-unsur dari elemen pranata seperti nilai-nilai, norma-norma, sanksi-sanksi, dan aturan-aturan juga bekerja dengan baik. Meskipun ada juga beberapa anggota yang kurang disiplin dalam menjalankan aturanaturan, tetapi adanya sanksi yang tegas dari pengurus yang didukung oleh anggota lainnya membuat orang yang kurang disiplin akan segera sadar akan kelakuannya
47
Pranata sosial-ekonomi dalam bentuk “arisan” ini juga ditemui pada komunitas nelayan di Sumatera Utara. Yang menjadi basis dari arisan tersebut cukup bervariasi, yaitu: arisan yang berbasis pada kerabat (keluarga dekat dan marga); arisan yang berbasis pada hubungan pertemanan (satu toke); dan arisan yang merupakan percampuran dari basis satu toke dan basis ketetanggaan. Meskipun kegiatan ini dirasakan sangat membantu rumah tangga nelayan untuk dapat berhemat, namun dari kuesioner penelitian dapat diketahui bahwa uang yang diperoleh dari hasil arisan tersebut umumnya dipergunakan untuk membeli barang-barang konsumtif seperti televisi, VCD, dan tape recorder. Jarang sekali yang memanfaatkan uang tersebut untuk usahausaha produktif seperti untuk modal usaha,
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
memperbaiki dan memperbaharui peralatan nelayan yang rusak dan telah usang. Dilihat dari elemen pokok modal sosial, maka pranata arisan ini juga merupakan contoh dari dimanfaatkannya potensi modal sosial (Geertz, 1962) dalam masyarakat dalam mensiasati kehidupan, baik dalam dimensi ekonomi, maupun dalam dimensi sosial. Arisan tidak akan pernah ada tanpa adanya elemen rasa saling percaya (trust). Trust yang menjadi elemen inti bagi berlangsungnya kerjasama (Fukuyama, 1995) juga berjalan dengan baik dalam arisan, karena kalau elemen ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka arisan akan bubar. Dalam arisan tidak ada sanksi tertulis, yang ada hanyalah sanksi sosial berupa pengucilan dan cemoohan bagi anggota yang berlaku tidak jujur, dan sanksi ini dirasakan sangat berat bagi komunitas nelayan yang hidupnya saling berdekatan. Unsur-unsur dari elemen jaringan sosial seperti partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama, dan keadilan juga tercermin dari pranata arisan. Ini menunjukkan bahwa “arisan” merupakan salah satu potensi modal sosial yang dimiliki oleh komunitas nelayan. 2.
Membangun Modal Sosial dalam Kasus “Arisan” Modal sosial (social capital) hanya satu dari empat modal (natural capital, human capital, physical capital, dan financial capital) yang semestinya ada dan fungsional dalam setiap pengelolaan sumber daya alam. Kemampuan komunitas mendayagunakan modal sosial membuat penggunaan modal menjadi lebih efektif dan efisien sehingga memungkinkan terciptanya sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Dengan tidak mengecilkan arti modal lainnya dalam pengelolaan “arisan” uraan di bawah ini lebih menyoroti bagaimana bekerjanya modal sosial dalam pengelolaan “arisan”. Ada sejumlah faktor yang saling terkait yang menyebabkan pendayagunaan modal sosial dalam “arisan” dapat bertahan, di antaranya adalah:
(1) Kemampuan Membangun Konsensus Semua pengelolaan “arisan” yang dapat bertahan memperlihatkan fakta adanya kemampuan warganya untuk merumuskan konsensus bersama dalam menentukan cara pengelolaan “arisan”. Ketika konsensus akan dibuat, warga komunitas dihadapkan pada suatu keharusan untuk melakukan tindakan kolektif (collective action) atau perilaku kerjasama kolektif (cooperative collective behavior). Konsensus bulat pada kasus “arisan” yang dapat bertahan ditandai oleh pilihan mereka pada tindakan kerjasama kolektif atas dasar sukarela dan saling percaya. (2) Kemampuan Menetapkan Tujuan Suatu hal yang paling penting sejalan dengan terbangunnya konsensus membentuk “arisan” adalah kemampuan menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari pembentukan “arisan” tersebut. Tujuan yang dimaksud tentu bukan saja hanya berupa sasaran terkumpulnya sejumlah uang yang ingin diraihnya nanti, tetapi suatu misi yang disepakati untuk diemban bersama warga komunitas yang dengan itu mereka terdorong untuk bekerjasama satu sama lain. Kekeliruan dalam menetapkan tujuan bisa berakibat pada runtuhnya komitmen warga komunitas untuk mendukung sistem pengelolaan “arisan” tersebut. (3) Kemampuan Membangun Jaringan Sosial yang Kompak Keputusan untuk membentuk “arisan”, menentukan tujuan, membangun sistem aturan main, dan lain sebagainya tidak ditetapkan dari atas (top down), tetapi diproses dari bawah (bottom up) dengan melibatkan semua anggota dalam kedudukan yang setara. Pelibatan setiap orang di dalam komunitas dalam menentukan suatu tindakan kolektif yang akan dibuat merupakan bagian penting dari “civic participation” sebagaimana dikemukakan oleh Putnam (1993; 1995) dan sesuai dengan prinsip-prinsip partisipasi seperti dimaksud oleh Uphoff (1988). Dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal, maka terciptalah apa
48
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
yang disebut Putnam (1995) sebagai “dense networks of interaction probably broaden the participant’s sense of self, devoloping the ‘I’ into the ‘We. Dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar-warga. (4) Kemampuan Merajut Pranata Dalam sistem “arisan” terkandung seperangkat aturan-aturan, norma-norma, dan sanksi-sanksi. Dalam kasus “arisan” yang dapat bertahan, ditandai oleh adanya ketegasan dalam menegakkan aturan dan norma-norma. Kemampuan suatu kolektif atau komunitas merajut aturan-aturan, yang oleh Ostrom (1992) disebut dengan “crafting institution” merupakan prakondisi untuk mengembangkan pengelolaan arisan yang berkelanjutan. Aturan-aturan tersebut diperkuat pula oleh sistem norma dan nilainilai yang dianut bersama oleh warga komunitas, yang menjadi panduan moral bagi mereka dalam bertindak. Hal itu bersifat kontekstual dan dikreasi bersama oleh warga komunitas secara partisipatif. Dalam konteks negara, kepatuhan warga terhadap aturan-aturan yang ada biasanya bersifat satu arah, karena warga tidak disertakan dalam proses pembuatan aturan-aturan itu sehingga kepatuhan yang demikian biasanya dilandasi oleh suatu paksaan (coercion) melalui badan-badan negara yang diberi wewenang untuk itu. (5) Kemampuan Membangun Kepercayaan Kepercayaan antar-anggota dan antaranggota dengan pengurus “arisan” merupakan perekat kuat untuk terjalinnya kerjasama yang lebih baik. Anggota percaya kepada pengurus karena mereka jujur, bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan anggota (bukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok individu), dan menjaga kepercayaan itu ketika ditunjuk sebagai pengurus dalam musyawarah anggota. Beberapa faktor tersebut merupakan prasyarat agar modal sosial dapat lebih efektif dan efisien didayagunakan dalam bentuk kerjasama kolektif. Faktor tersebut
49
juga menjadi prasyarakat bagi suatu model alternatif kreasi modal sosial. E. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, dan dikaitkan dengan permasalahan penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ditemui beberapa potensi modal sosial, baik yang telah mati, sedang mengalami erosi, dan masih kuat dalam komunitas nelayan, seperti patron-klien; koperasi; Serikat Tolong Menolong (STM); perwiritan; bakri dan “koperasi”; “arisan”, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Potensi modal sosial tersebut merupakan aset yang perlu terus dibangun untuk menumbuhkan kesadaran dan tindakan kolektif dalam menghadapi tekanan struktural untuk keluar dari belenggu kemiskinan yang mereka hadapi. 2. “Arisan” merupakan salah satu potensi modal sosial yang memanfaatkan elemen-elemen modal sosial secara lebih efektif dan efisien, dan menunjukkan hasil yang sangat positif bagi komunitas nelayan, baik dalam arti sosial semakin kuatnya rasa solidaritas, dan dalam arti ekonomi sebagai strategi adaptasi mensiasati penghasilan yang tak pasti. Saran Sesuai dengan temuan penelitian dan hasil analisis yang dilakukan, maka disarankan: 1. Perlu dilakukan perubahan terhadap paradigma pembangunan, dari paradigma pembangunan yang “top down” ke arah paradigma pembangunan yang “bottom up” dengan keterlibatan pemerintah sebagai penghantar sumber daya ekonomi (modal) dan sebagai fasilitator setiap program pembangunan. 2. Kolaborasi, merupakan model alternatif kreasi modal sosial yang dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan alternatif bagi pembangunan, khususnya bagi upaya
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
reduksi kemiskinan masyarakat nelayan. Kolaborasi dimaksud adalah keterlibatan berbagai pihak antara lain: komunitas nelayan miskin dalam wadah organisasi kerjasama kolektif, pemerintah, swasta, dan LSM. 3. Terkait dengan pembenahan terhadap mekanisme penerimaan atas tambahan sumber daya yang datang dari luar, agar pengelolaan tambahan sumberdaya tersebut tidak hanya berefek pada
perbaikan kehidupan ekonomi secara sesaat, melainkan berefek pada peningkatan kapabilitas (capability building) di tingkat individu dan penguatan kelembagaan (institutional strenghtening) di tingkat struktur dan sistem bagi rakyat miskin, maka peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam penyadaran dan pengorganisasian masyarakat akan sangat menentukan.
F. Daftar Pustaka Badaruddin. 2001. Kelembagaan SosialEkonomi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Nelayan: Studi di Dusun Nelayan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Laporan Penelitian Dosen Muda. Dikti. Coleman, James S. 1988. Foundations of Social Theory. Cambridge: Harvad University Press. _______________. 1999. “Social Capital in The Creation of Human Capital”. Dalam Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin (ed.). Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington: The World Bank. Dasgupta, Partha dan Ismail Serageldin (ed.). 1999. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington: The World Bank. Fiszbein, Ariel dan Pamela Lowden. 1999. Working Together for a Change: Government, Business, and Civic Partnerships for Poverty Reduction in Latin America and Carribean. Washington: The World Bank. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: The Free Press. _______________. 1997. Social Capital. Institute of Public Policy. Oxford: George Mason University.
Geertz, Clifford. 1962. “The Rotating Credit Association: A ‘Middle Rung’ in Development. Economic Development and Cultural Change. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman. Kusnadi. 1997. Diversifikasi Pekerjaan di Kalangan Nelayan. Prisma. No.7. Jakarta: LP3ES. _______. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. _______. 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS. Lewis, Oscar. 1981. “Budaya Kemiskinan”. Dalam: Parsudi Suparlan (Ed.). Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Obor. Mubyarto; Loekman Soetrisno dan M. Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali. Jakarta. Ohama, Yutaka. 2001. “Conseptual Framework of Participatory Local Social Development (PLSD). Modul dalam training on PSLD. Theories and Practices. Nagoya: JICA. Ostrom, Elinor. 1992a. Crafting Institution, Self-Governing Irrigation Systems. San Fancisco: ICS Press.
50
Badaruddin
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
_____________. 1992b. “A Behavioral Approach to The Rational-Choice Theory of Collective Action”. Workshop in Political Theory and Policy Analysis. http://www. indiana.edu/-workshop/publications/ elinor_ostroms_address Prasodjo, Imam B. 2001. Menciptakan Harapan di Negeri Azab. Makalah. Tidak dipublikasikan. Jakarta: CERIC FISIP – UI. Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press. Putnam, Robert D. 1995. “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”. Dalam Journal of Democracy (6:1). _______________. 1999. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. http:/www.prospect.org/ archives/ 3/13putn.html Rose, Richard. 1999. “Getting Things Done in an Antomodern Society: Social Capital Networks in Rusia”. Dalam Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin (ed.). Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington: The World Bank.
51
Rotberg, Robert I. 2001. “Social Capital and Political Culture in Africa, America, Australia, and Europe”. Dalam Robert I Rotberg (ed.). Patterns of Social Capital. Cambridge: Cambridge University Press. Salman, Darmawan; Laude Sufri; Amin Daud Aidir; dan Mappinawang. 2001. Kreasi Modal Sosial Melalui Aksi Kolaborasi dalam Reduksi Kemiskinan. Makalah Seminar dan Lokakkarya. Makassar: Kerjasama LP3M, FE Unhas dan Oxfarm Jakarta. Soemardjan, Selo. 1981. “Kemiskinan Struktural”. Dalam: Alfian dan M.G.Tan (Ed.). Kemiskinan Struktural di Indonesia. Jakarta: Obor.