MOBILE PAYMENT SEBAGAI INSTRUMEN PEMBAYARAN NON- TUNAI BERKAITAN DENGAN HUKUM, EKONOMI DAN SOSIAL DI INDONESIA SKRIPSI

UNIVERSITAS INDONESIA

MOBILE PAYMENT SEBAGAI INSTRUMEN PEMBAYARAN NONTUNAI BERKAITAN DENGAN HUKUM, EKONOMI DAN SOSIAL DI INDONESIA

SKRIPSI

ANDO DANIEL HABINSARAN HUTABARAT 0806342195

FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JANUARI 2015

Mobile payment sebagai ..., Ando Daniel Habisaran Hutabarat, FH UI, 2015


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Ando Daniel Habinsaran Hutabarat

NPM

: 0806342195

Program Kekhususan : Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi Fakultas

: Hukum

Jenis karya

: Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Mobile Payment Sebagai Instrumen Pembayaran Non-tunai Berkaitan Dengan Hukum, Ekonomi dan Sosial di Indonesia beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalamm bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 16 Januari 2015


MOBILE PAYMENT SEBAGAI INSTRUMEN PEMBAYARAN NONTUNAI BERKAITAN DENGAN HUKUM, EKONOMI DAN SOSIAL DI INDONESIA Ando Daniel Habinsaran Hutabarat, Bapak Abdul Salam Fakultas Hukum, Program Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia e-mail: [email protected]

ABSTRAK Skripsi ini membahas metode pembayaran mobile payment yang terdiri dari mobile banking dan mobile money terhadap kondisi hukum, ekonomi dan sosial di Indonesia dengan menitikberatkan kepada ketidakkonkruen pendekatan hukum terhadap sistem elektronik yang mengakibatkan ketidakseimbangan di antara keduanya berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi dalam penerapan masyarakat non-tunai di Indonesia untuk mengetahui sejauh mana mobile payment dapat diterima menjadi sebuah intrumen pembayaran non-tunai di Indonesia agar terciptanya perdagangan secara elektronik yang lebih mudah dan nyaman serta aman.

Mobile Payment for Non - cash Payment Instruments Relating to Legal , Economic and Social in Indonesia ABSTRACT This minithesis discusses the mobile payment as payment method that consists of mobile banking and mobile money for the legal, economic and social conditions in Indonesia with an emphasis on unmacthed legal approach to the electronic system which resulted in an imbalance between them relating to the social and economic conditions in the application of cash less society in Indonesia to determine the extent to which mobile payment can be accepted as a non-cash payment instruments in Indonesia for the creation of electronic commerce easier and comfortable as well as safe . Key words:Mobile payment; non-cash payment

1. Pendahuluan Kita tentu sudah mengenal istilah mobile payment di berbagai iklan baik media cetak maupun elektronik. Dengan perkembangan pesat dalam dunia mobile payment, penyelenggara telekomunikasi, bank dan perusahaan berbasis teknologi informasi, seperti Google dan Apple, mulai merambah bisnis ini. Namun, apakah aman menganti dompet dengan ponsel? Bagaimana hukum dapat melindungi pengguna mobile payment? Dan


apakah terdapat resiko-resiko yang mungkin muncul dalam penerapan mobile payment?. Pertanyaan-pertanyaan ini akan muncul dalam benak kita ketika baru pertama kali menggunakan mobile payment. Mobile payment adalah suatu sistem keuangan secara elektronik bedasarkan perangkat ponsel. Mobile payment sendiri bukanlah suatu ide yang muncul sendiri, namun merupakan pemanfaatan teknologi telekomunikasi selular yang semakin canggih dengan penerapan teknologi digital yang menggantikan teknologi analog1. “Penggunaan sistem digital memungkinkan data yang dikirim menjadi beragam”2. Akibat hasil keluaran dari sistem digital ini, yang diterapkan dalam telekomunikasi selular, membuat setiap ponsel dapat mengirimkan data selain suara. Namun, pembahasan kita tidak hanya berfokus kepada mobile payment sebagai suatu sistem pembayaran secara elektronik. Tetapi, pembahasannya juga akan menyentuh aspek teknologi sebagai salah satu pendorong perubahan dalam masyarakat (agent of social change). Dimana, perubahan ini akan menyebabkan hukum harus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan, salah satu akibat dari perkembangan masyarakat dalam era digital adalah tindak kejahatan yang semakin mudah dilakukan. Tindak kejahatan ini (cybercrime) hampir mirip dengan dunia nyata namun diaplikasikan dalam sistem elektronik dengan konsekuensi bahwa penyidikan dan penaganannya harus dilakukan bedasarkan prosedur-prosedur yang sejalan sistem elektronik yang digunakan untuk melakukan tindak kejahatan. Hal inilah yang membuat lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, membutuhkan suatu prosedur yang baru dalam menangani kasus cybercrime yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mobile payment adalah hasil dari berkembang pesatnya penggunaan perangkat telepon selular (ponsel) di akhir tahun 1990. Tahap pertama dari mobile payment adalah bank mulai menggunakan fasilitas telekomunikasi selular sebagai jalur untuk

1

Sistem digital atau sistem biner adalah sebuah sistem elektronika yang hanya mengenal dua kondisi harga saja, yaitu “1” dan “0”, sedangkan sistem analog memiliki kondisi beragam dalam nilai yang sinambung. Sistem digital dapat dicontoh dalam sistem komputer, sedangkan sistem analog dapat dicontoh dalam frekuensi sinyal radio analog, yaitu: misal 100Khz. Rudy Wawolumaja, “ Sistem Digital” (Ditkat Kuliah Elektronika Industri & Otomatisasi),http://rudy-wawolumaja.lecturer.maranatha.edu/wpcontent/uploads/2013/01/bab-5-Sistem-Digital.pdf. , diunduh pada tanggal 13 Desember 2014. 2 Taylor L. Booth, Digital Network and Computer Systems, Cet.2, (Canada :John Wiley & Sons Inc., 1978), hlm 11. Sistem digital dibentuk dari persamaan matematika menggunakan metode alur logika yang direpresentasikan dengan susunan/sequence nilai tertentu.


menyediakan pelayanan perbankan yang sederhana, seperti : mengetahui saldo rekening, dan secara perlahan memperluas pelayanannya seperti pelayanan transaksi. Fasilitas ini dikenal sebagai mobile banking (m-banking). Pada tahap pertama ini, mobile payment dikategorikan dalam model yang disebut bank-centric3. Perkembangan mobile banking pada tahap ini berjalan perlahan dari fasilitas yang bersifat komunikasi langsung melalui pembicaraan seperti telephone banking untuk pelayanan perbankan sederhana. Dengan perkembangan jaringan telekomunikasi selular, maka penyelenggara telekomunikasi selular mulai menggunakan standar Global System for Mobile Communication (GSMC) atau yang lebih dikenal masyarakat umum sebagai GSM. Sistem dalam standar GSMC memungkinkan penggunaan ponsel yang lebih besar untuk satu sel4 (dalam satu wilayah base transceiver station/BTS) dan fasilitas pengiriman teks, gambar, dan video secara elektronik. Sejak saat itulah mulai diterapkannya SMS banking. Selain itu, internet banking yang dahulu digunakan melalui perangkat komputer sekarang telah beralih ke ponsel. Di Indonesia, tahap ini dimulai sejak digunakan fasilitas jaringan komunikasi selular untuk melakukan pelayanan perbankan melalui telephone banking. Pada September 1999, Bank Internasional Indonesia (BII) mengeluarkan fasilitas pelayanan internet banking. Selanjutnya, diikuti oleh Bank Niaga (2000), Bank Bukopin (2001) dan Bank Sentral Asia (2003)5. Melihat perkembangan ini, Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum jo. Surat Edaran No. 6/18/DPNP Kepada Semua Bank Umum Di Indonesia Perihal : Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui

3

Financial Action Task Force on Money Laundering, “Guidance For A Risk-Based Approach Prepaid Cards, Mobile Payments and Internet-Based Payments Services”, http://www.bi.go.id/id/perbankan /keuanganinklusif/berita/Documents/ FATF%20Guidance%20for%20a%20Risk-Based%20Approach-Prepaid%20 Cards, 20Mobile%20Payments%20and%20Internet-Based%20Payment%20Services.pdf, diunduh pada tanggal 9 Oktober 2014. 4 Telepon seluler bekerja dengan metode sel. Metode ini membagi penggunaan ponsel atau mobile subscriber menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri bedasarkan luas jaringan dari satu menara jaringan/base station. Signal elektronik dari satu ponsel akan diterima oleh menara jaringan terdekat dan dikirimkan lagi ke tujuannya yang dapat berada dalam satu wilayah menara jaringan (sel) atau berada diwilayah menara jaringan lainnya. Marshall Brain, Jeff Tyson dan Julia Layton, “ How Cell Phones Work”, http://electronics.howstuffworks.com/cell-phone2.htm, diakses pada tanggal 13 Desember 2014. 5 “Sejarah Internet Indonesia/e-banking”, http://id.wikibooks.org/wiki/Sejarah_Internet Indonesia/e-banking, diakses pada tanggal 13 Desember 2014.


Internet (Internet Banking). Peraturan ini dikeluarkan untuk menjamin kemanan nasabah dan juga menerapkan peraturan UU Perlindungan Konsumen dalam pelayanan perbankan melalui dunia virtual. Salah satu kasus terkenal pada masa awal berkembangnya e-banking di Indonesia adalah kasus typosquatting yang dilakukan oleh Steven Haryanto terhadap situs internet klikbca. Salah satu yang perlu dicermati dari kasus ini adalah pernyataan Steven dalam surat permintaan maafnya yaitu: “…para pemakai dapat … menjadi lebih sadar akan isu keamanan ini. Ingat iklan Internet Banking Anda? “Pengamanan berlapis-lapis. SSL 128 bit… Disertifikasi oleh Verisign…Firewall untuk membatasi akses… Userid dan PIN.” Apakah seseorang harus menciptakan teknologi canggih, menyewa hacker jempolan, menjebol semua teknologi pengaman itu untuk memperoleh akses ke rekening pemakai? Tidak. Yang Anda butuhkan hanyalah 8 USD. Ironis memang”6.

Pada tahap awal ini, masyarakat dihadapkan kepada kemudahan dalam bertransaksi namun di sisi lain teknologi yang digunakan tidak semudah itu. Kasus typosquatting Steven diatas memperlihatkan penerapan teknologi tidak sejalan dengan pengetahuan dari penggunanya. Sebuah paradoks dari masyarakat pada tahap awal era digital yang harus diluruskan dengan perangkat hukum yang memadai agar terciptanya sebuah masyarakat berbasis teknologi. Artinya pada tahap ini hukum masih mencari bentuknya. Tahap kedua dari mobile payment adalah berkembangnya uang elektronik (emoney) yang mendorong berbagai pihak untuk bereksperimen dalam penggunaannya melalui ponsel. Dalam tahap ini pihak-pihak selain lembaga keuangan, seperti penyelenggara telekomunikasi, memasuki pasar mobile payment. Selain itu, selama tahap ini, beberapa negara telah mengatur bahwa penyelenggaraan uang elektronik oleh pihakpihak selain bank dizinkan atau dilarang. Model ini disebut mobile network operatorcentric (MNO-centric) vs bank-centric7. 6

Untuk

surat

permohonan

maaf

Steven

selengkapanya

dapat

http://tonnymarezco.wordpress.com/2014/04/17/sejarah-internet-banking/. 7

Financial Action Task Force on Money Laundering,, Op. Cit.


ditemukan

di

Pada tahap ini, hal yang paling signifikan terlihat adalah bagaimana negara bertindak melihat perkembangan mobile payment. Salah satu tanggapan yang positif dari negara terhadap mobile payment dapat dilihat di Kenya dengan M-PESA. Dimana, pemerintah Kenya mendukung mobile payment sebagai suatu instrumen keuangan untuk menciptakan ekonomi inklusif. Namun, hal ini berbeda dengan di Cina, dimana Bank Sentral Cina melarang penggunaan QR Code dalam mobile payment. Hal ini karena “Bank Sentral Cina menganggap proses identifikasi melalui QR Code tidak menjamin keamanan dalam transaksi”8. Yang perlu dicermati pada tahap ini adalah faktor-faktor sosial, ekonomi, dan keamanan teknologi yang mulai ditinjau oleh negara terhadap mobile payment. Analisis resiko dan manfaat mulai menjadi suatu penilaian penting atas keberlanjutan penerapan teknologi baru dalam pembayaran. Di satu sisi, Negara tidak melihat mobile payment sebagai penggangu, namun Negara lain dapat menganggapnya sebagai sebuah resiko yang terlalu besar jika diterapkan. Di sisi lain, dengan transaksi secara elektronik yang sudah melintasi berbagai negara (borderless) kita akan berhadapan dengan negara-negara yang memiliki pandangan berbeda terhadap mobile payment, yang terlihat dari hukum yang mengaturnya. Masalah ini akan menjadi celah bagi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. Lebih lanjut, pengguna mobile payment yang melakukan transaksi secara internasional akan terlibat dengan berbagai masalah hukum yang mungkin mereka sendiri tidak mengetahuinya. Tahap ketiga dari mobile payment adalah interoperabilitas dari sistem mobile payment terhadap sistem keuangan yang telah ada. Tahap ini ditandai oleh bergabungannya lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga non-keuangan dalam sistem pembayaran melalui mobile payment. Interoperabilitas mobile payment pada tahap ini ditandai dengan fasilitas yang ditawarkan oleh mobile payment yang semakin luas, seperti transfer dana secara internasional. Walaupun seperti itu, kedua lembaga tersebut

8

Will

Hernandez,

“Is

China's

QR-code

ban

about

security

or

lost

revenue?”,

http://www.mobilepaymentstoday.com/articles/is-chinas-qr-code-ban-about-security-or-lost-revenue/, diakses pada tanggal 16 November 2014.


tetap saling bersaing dalam menawarkan fasilitas mobile payment miliknya. Model ini yang disebut sebagai win-win model atau comparative model9. Pada tahap ini, sudah terciptanya sebuah budaya elektronik, yaitu budaya masa depan yang dapat menyelengarakan sebuah manajemen komunikasi/informasi yang berbias ruang dan waktu sekaligus mengubah budaya penggambaran informasi melalui kulit kayu (kertas) yang tidak berbias ruang dan waktu10. Dengan kata lain, mobile payment telah menjadi tulang punggung perekonomian sebagai sebuah akses ke pasar secara mobile dan/atau virtual. Namun, tahap ini sedang dalam perkembangan sekarang, oleh karena itu masyarakat masih dihadapkan dengan dua pilihan pembayaran yaitu tunai dan non-tunai. Secara umum, tahap ini ditandai dengan semakin pedulinya masyarakat atas perdagangan secara elektronik dan negara pun mulai mengatur perdagangan secara elektronik secara detail yang tidak mencakup kepada penyelenggara namun juga pengguna. Dari setiap tahap, terlihat kompleksitas mobile payment jika dihadapkan dengan faktor sosial, ekonomi dan hukum. Negara sebagai pembentuk hukum positif juga harus melihat hukum yang hidup di dalam masyarakat (autonomous legal system11) di era digital. Pengaturan ini akan membawa kepada kesesuaian antara negara dan warga negaranya dalam hal penerapan mobile payment sebagai suatu instrumen dalam sistem pembayaran. Sejalan dengan program ekonomi inklusif di dunia internasional, Bank Indonesia juga mulai meluncurkan program ekonomi inklusif yang diberi nama cashless society. Program ini mendukung penerapan teknologi dalam bidang perdagangan untuk 9

Elham Ramezani, “Mobile Payment (E-Bussines Technology, Prof. Dr.Eduard Heindl)”,

http://webuser.hs-furtwangen.de/~heindl/ebte-08-ss-mobile-payment-Ramezani.pdf, diunduh pada tanggal 1 November 2014. 10

Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Cet.2, (Yogyakarta : PT. LKis

Pelangi Aksara, 2007), hlm. 150 11

autonomous legal system dapat dilihat sebagai salah satu sumber dari kekuasaan dan wewenang dalam kehidupan sosial. Richard Lempert dan Joseph Standers berpendapat bahwa autonomous system adalah berlaku dengan sendirinya (self-legitimating). Keberlakukannya diterima karena itu merupakan hukum yang hidup di masyarakat dan bukan karena alasan-alasan lainnya, sebagai contoh bukan bedasarkan pertimbangan politik, sosial, atau etika . “Reading Materials Anthropology of Law”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013, hlm. 6.


menggantikan penggunaan uang tunai yang membutuhkan biaya dalam setiap penggunaannya (biaya produksi dan biaya transaksi). Perekonomian inklusif diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Asumsi ini diambil dari perhitungan pemindahan nilai biaya penggunaan uang tunai dalam transaksi ke dalam pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, mobile payment sebagai salah satu instrumen pembayaran nontunai dapat menjadi terobosan dalam menciptakan ekonomi inklusif di Indonesia. Alasannya, penetrasi ponsel di Indonesia sangat tinggi bahkan jumlah subscriber melebihi jumlah penduduk Indonesia12. Kondisi ini akan memudahkan penerapan mobile payment sebagai alternatif pembayaran non-tunai. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah yang akan diteliti, yaitu : a. Bagaimanakah pengaturan hukum terkait mobile payment di Indonesia? b. Bagaimanakah perbandingan antara mobile payment M-PESA di

Kenya dengan

Telkomsel T-Cash di Indonesia? c. Apakah peraturan hukum terkait mobile payment di Indonesia sudah dapat mendukung perkembangan perdagangan secara elektronik? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk memperjelas tujuan penelitian yang dilakukan maka tujuan dibagi dua yaitu tujuan umum yang menjelaskan tujuan penelitian secara luas dan tujuan khusus yang menjelaskan tujuan penelitian secara spesifik.Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan mobile payment dapat mengubah kondisi sosial, ekonomi dan hukum di masyarakat Indonesia berkaitan dengan program cashless society oleh Bank Indonesia. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah a. untuk mengetahui pandangan Pemerintah Indonesia terhadap penyelenggaraan mobile payment di Indonesia dibandingkan dengan pandangan Pemerintah Kenya terhadap penyelenggaraan mobile payment M-PESA di Kenya; dan,

12

Tom Boellstorff, Op. Cit.


b. untuk mengetahui hubungan peraturan mobile paymet di Indonesia terhadap perdagangan secara elektronik di Indonesia. 2. Definisi Operasional Bedasarkan judul skripsi yaitu “ mobile payment sebagai instrumen pembayaran non-tunai berkaitan dengan hukum, ekonomi dan sosial ” maka dalam penelitian ini akan menggunakan definisi operasional tipe B yaitu disusun berdasarkan perumusan dalam bentuk deskripsi tentang bagaimana suatu objek (benda tertentu) beroperasi, yakni apa yang dilakukan atau terdiri dari apa ciri-ciri dinamis objek tersebut, yaitu : a. Mobile; Merupakan kata sifat yang berarti dapat bergerak atau dapat digerakkan dengan bebas dan mudah. Namun, mobile dalam penelitian ini diartikan sebuah benda yang berteknologi tinggi dan dapat bergerak tanpa menggunakan kabel, contoh: ponsel reguler, smartphone, personal digital assistant (PDA), dan tablet PC. b. Payment; Didefinisikan sebagai transfer dana yang dapat bertujuan untuk pembayaran atas barang atau jasa. Ponsel terlibat baik dalam inisiasi dan konfirmasi pembayaran. Lokasi pembayar dan infrastruktur pendukung tidak penting: ia mungkin mobile atau mungkin tidak mobile atau menggunakan Point of Sale (POS); pembayaran dapat diproses oleh kartu kredit atau e-wallet, contoh: dana ditransfer dan dipotong dari jumlah prabayar atau ditagihkan oleh penyelenggara telekomunikasi. c. Instrumen Pembayaran Non-tunai; Pembayaran non-tunai melibatkan jasa perbankan dalam penggunaannya. Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat pada umumnya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran bagi nasabahnya. Sedangkan, untuk mobile money, penggunaan uang elektronik melalui perangkat ponsel, tidak hanya dapat diselenggarakan oleh Bank namun juga oleh


Penyelenggara Telekomunikasi untuk memberikan jasa layanan pembayaran kepada pelanggannya. c. Hukum; Hukum dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan yang dibuat oleh Negara bedasarkan kekuasaan legislatif yang dimilikinya. d. Ekonomi; dan, Ekonomi adalah cabang ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ekonomi dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu sistem yang bekerja sesuai prinsip dan teori ilmu ekonomi. e. Sosial Adalah kata sifat yang menggambarkan suatu hubungan antara dua individu atau lebih. Sosial dalam penelitian ini diartikan sebagai hubungan antara dua individu atau lebih melalui perangkat ponsel yang berkaitan dengan perdagangan dan secara khusus berkaitan dengan pembayaran dan transfer dana. Lebih lanjut, definisi sosial disini mencakup juga tipping point, yaitu titik kritis dalam sebuah situasi, proses atau sistem dimana perubahan tidak dapat dihentikan dan berpengaruh secara signifikan. Tipping point digunakan untuk menggambarkan fenomena-fenomena baru yang sebelumnya belum pernah terjadi, contoh : penetrasi ponsel yang pesat di dunia pada tahun 1990-an yang menyebabkan perubahan besar terhadap proses berkomunikasi. 3. Metode Penelitian Untuk penerapan mobile payment M-PESA maka digunakan data sekunder berupa: artikel dan jurnal serta laporan dari Bank Sentral Kenya yang terdapat di internet. Untuk mobile payment T-Cash digunakan data sekunder berupa: artikel, jurnal, laporan dari Bank Sentral Indonesia yang terdapat di Internet serta observasi langsung atas penggunaan T-Cash secara individu, observasi dilakukan untuk menjawab keingintahuan peneliti atas sistem kerja T-Cash berkaitan interoperabilitas proses pengisian ulang dan pembelian barang menggunakan T-Cash serta fitur-fitur dalam T-Cash. Untuk data-data statistik digunakan data-data sekunder dari internet, dibagi menjadi :


a. Data-data tentang fasilitas pendukung mobile payment seperti jumlah penggunaan ponsel dan infrastruktur telekomunikasi, dan; b. Data-data tentang prefensi penggunaan fasilitas pembayaran non-tunai. Untuk data-data sekunder dari internet diperhatikan mengenai aspek otoritas, waktu dan biaya, akurasi, keobjektivitisan, dan cakupan pencarian13, yaitu: a. Aspek otoritas ditinjau dari sumber data di internet, apakah berasal dari suatu institusi yang kredibel, dipertimbangkan antara URL sumber data dan penulis, agar mendapatkan data yang dapat dipercaya. b. Aspek waktu digunakan karena sedikitnya waktu dan kurangnya biaya untuk melakukan melakukan survei dan observasi secara mandiri, oleh karena itu digunakan data-data sekunder, dengan penekanan kepada waktu survei dan observasi yang dilakukan oleh peneliti dari data yang digunakan. c. Aspek akurasi ditinjau dari proses pengumpulan data, metodologi, teori, dan teknik analisis yang digunakan dalam pembuatan data yang digunakan, karena internet adalah ruang yang saling terkait maka data yang digunakan harus dihubungkan dengan data lain yang saling beruhubungan, seperti referensi, data statistik dari penelitian lainnya dan tinjauan peneliti lain atas suatu masalah yang sama. d. Aspek keobjektivitasan ditinjau dari apakah suatu data terdapat prefensi atas suatu subjektifitas dalam penelitiannya, hal ini karena siapa saja bisa menaruh hasil penelitiannya di internet, oleh karena itu dipilih data-data yang sebisa mungkin objektif dalam pembahasannya dan penyusutan data yang digunakan untuk menghilangkan aspek subjektivitas.

13

Terry Anderson dan Heather Kanuka, E-Research Methods, Strategies, and Issues, (Perason

Education, Inc, 2003), hlm. 41-43.


e. Aspek cakupan pencarian ditinjau dari sumber-sumber data yang terkait dengan mobile payment, seperti situs Bank Sentral, situs jurnal akademis dan situs khusus mengenai mobile payment, contoh mobilepaymentstoday.com, penentuan cakupan pencarian untuk mengfokuskan pada masalah yang diteliti dan tidak biasnya pembahasan. Untuk peraturan hukum berkaitan dengan M-PESA digunakan data primer berupa peraturan hukum terkait mobile payment di Kenya yang berasal dari situs resmi Bank Sentral Kenya, yaitu https://www.centralbank.go.ke, oleh karena itu, peraturan yang digunakan merupakan terjemahan resmi pemerintah Kenya ke bahasa Inggris. Untuk peraturan hukum berkaitan dengan T-Cash digunakan data primer berupa peraturan hukum terkait mobile payment di Indonesia yang berasal dari situs resmi Bank Sentral Indonesia, yaitu http://www.bi.go.id/, oleh karena itu peraturan yang digunakan adalah terjamin dari aspek otoritas, akurasi, dan cakupan pencarian. 3.1 Permasalahan Terkait Pengaturan Hukum Terkait Mobile Payment Di Indonesia Menjelaskan peraturan hukum terkait mobile banking dan uang elektronik, selanjutnya dilihat hubungan peraturan-peraturan tersebut dalam ruang lingkup mobile payment yaitu sebagai metode pembayaran melalui perangkat ponsel. Hal ini untuk menghindari terjadi bias dengan metode pembayaran non-tunai lainya seperti kartu uang elektronik. Untuk menjawab permasalahan pertama telah ditentukan variabel berupa mobile banking dan uang elektronik. Untuk bahan hukum yang berkaitan dengan mobile payment dibagi dua bagian, yaitu : a. Mobile Banking;dan, •

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum;

•

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 Tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, dan;


•

Surat Edaran Bank Indonesia Kepada Semua Bank Umum Di Indonesia Perihal : Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum.

SEBI Nomor 9/30/DPNP Tertanggal 12

Desember 2007. b. E-money. •

Peraturan Bank Indonesia Tentang Uang Elektronik (Electronic Money), PBI Nomor: 11/12/PBI/2009;

•

Peraturan Bank Indonesia

Tentang

Perubahan Atas Peraturan Bank

Indonesia, PBI Nomor 16/8/PBI/2014 Tentang Uang Elektronik (Electronic Money); •

Surat Edaran Bank Indonesia Perihal : Uang Elektronik (Electronic Money), SEBI Nomor 11/11/DASP Tertanggal 13 April 2009, dan;

•

Surat Edaran Bank Indonesia Perihal : Penyelenggaraan Uang Elektronik (Electronic Money), SEBI Nomor 16/11/DKSP Tertanggal 22 Juli 2014. Untuk memperjelas pengertian dalam peraturan perundang-undangan diatas

juga digunakan peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti UndangUndang Tentang Transfer Dana/ UU No. 3 Tahun 2011 dan UU Tentang Transaksi dan Informasi Elektronik/UU No. 11 Tahun 2008. Sedangkan, untuk ruang lingkup mobile payment akan dijelaskan pada Bab tersendiri. Hal ini karena pembahasan ruang lingkup mobile payment sangat penting untuk memperjelas pembahasanpembahasan selanjutnya. 3.2 Permasalahan Terkait Perbandingan Antara Mobile Payment M-PESA di Kenya Dengan Telkomsel T-Cash di Indonesia Untuk menjawab permasalahan ini ditetapkan penerapan mobile payment MPESA dan T-Cash sebagai variabel tetap. Sedangkan, untuk variabel bebas digunakan


peraturan hukum untuk melihat bagaimana penerapan mobile payment dapat mempengaruhi hukum positif di Kenya dan Indonesia. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan kedua yaitu metode perbandingan, diperhatikan bahwa M-PESA dan T-Cash adalah mobile payment dengan uang elektronik, selain itu M-PESA diselenggarakan sebelum adanya pengaturan terkait uang elektronik di Kenya sedangkan T-Cash setelah adanya pengaturan terkait uang elektronik di Indonesia, oleh karena itu, analisis T-Cash difokuskan kepada materi perubahan PBI No. 11/12/PBI/2009 dengan PBI Nomor 16/8/PBI/2014, agar didapat variabel bebas yang digunakan. 3.3 Permasalahan Terkait Peraturan Hukum Terkait Mobile Payment di Indonesia Sudah Dapat Mendukung Perkembangan Perdagangan Secara Elektronik di Indonesia Untuk menjawab permasalahan ketiga ditetapkan varibel tetap yaitu peraturan hukum yang terkait mobile payment di Indonesia dan variabel bebas yaitu perdagangan secara elektronik di Indonesia. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan ketiga adalah induktif, pernyataan khusus diambil dari kesimpulan atas permasalahan pertama dan kedua, untuk mendapatkan pernyataan umum, dengan ketentuan, kedua pernyataan khusus dikaitkan dengan perdagangan secara elektronik di Indonesia, agar mendapat gambaran luas pengaruh mobile payment terhadap perdagangan elektronik di Indonesia, selanjutnya hasil ini akan dihubungkan dengan UU Perdagangan di Indonesia. 4. Pembahasan Mobile payment atau pembayaran melalui perangkat selular adalah sebuah instrumen pembayaran non-tunai yang diinsiasikan melalui ponsel. Berbeda dengan pembayaran non-tunai lainnya, mobile payment memiliki ciri khusus yaitu ponsel adalah pusat dari segala proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen. Ponsel dapat bertindak layaknya kartu, contoh kartu kredit, kartu debit dan kartu uang elektronik, dan juga sebagai alat perintah pembayaran, contoh pembayaran melalui perintah transfer dana antar bank.


Secara khusus, pemerintah tidak mengatur mobile payment. Oleh karena itu pengaturan mobile payment sendiri, tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Jika dilihat dari ruang lingkup mobile payment maka kita dapat membagi dua kategori yaitu mengenai m-banking (mobile banking) dan e-money (uang elektronik). M-banking adalah bagian dari e-banking (electronic banking) dimana m-banking terdiri dari phone banking, SMS banking, dan internet banking. Namun karena kriteria phone banking, SMS banking , internet banking tidak selamanya melalui perangkat telekomunikasi selular maka dalam peraturan perundang-undangan, m-banking dipisahkan tersendiri dari ketiga hal sebelumnya. Uang elektronik sendiri sebenarnya bukan cakupan dari mobile payment karena sebagian besar penggunaannya adalah melalui kartu. Seiring dengan perkembangan teknologi elektronik, khususnya di bidang perangkat telekomunikasi selular, uang elektronik akhirnya dapat diterapkan dalam perangkat telekomunikasi selular. Caranya, uang elektronik disimpan di dalam server penerbit uang elektronik yang dapat diakses melalui perangkat telekomunikasi selular. Selanjutnya, ditransaksikan di pedagangpedagang terdekat yang ada secara fisik atau di internet. 5. Kesimpulan Berdasarkan pada hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan atas permasalahan yang dibahas sebagai berikut: a. Bagaimanakah Pengaturan Hukum Terkait Mobile Payment di Indonesia? Mobile banking adalah salah satu fasilitas yang tersedia dalam electronic banking. Perkembangan mobile banking berkembang dari phone banking menjadi SMS banking. Definisi mobile banking sendiri adalah penggunaan jaringan internet (internet banking) menggunakan perangkat selular untuk mengakses pelayanan perbankan. Secara teknis, definisi ini kurang tepat karena phone banking dan, terlebih, SMS banking dapat dilakukan melalui perangkat selular. Penggunaan jaringan telekomunikasi selular lebih aman dibandingkan jaringan internet. Oleh karena itu, pengaturan mengenai mobile banking yang seharusnya mencakup penggunaan jaringan internet menjadi kabur karena manajemen resiko yang diterapkan oleh Bank Indonesia mencakup kedua wilayah


jaringan. Sedangkan, keduanya membutuhkan pendekatan berbeda dalam hal keamanan data nasabah. Mobile money adalah penggunaan uang elektronik melalui perangkat ponsel. Pengaturan mengenai uang elektronik terdapat bagian yang tidak sinkron dengan teknis penyelenggaran uang elektronik. Pengaturan mengenai uang elektronik memiliki sedikit permasalahan pada konsep uang elektronik. Hal ini dapat terlihat dari proses penerbitan uang elektronik yang menjadi tidak konsisten dengan konsep uang elektronik sebagai representasi uang tunai karena uang elektronik menjadi terbatas likuiditasnya khususnya untuk jenis unregistered. Selain masalah teknis, masalah hukum berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain tampaknya membuat pengaturan tentang uang elektronik menjadi semakin ambigu. Keambiguitas ini terlihat ketika pengaturan uang elektronik dihadapkan dengan waktu pengiriman dan penerimaan bedasarkan UU ITE dengan ketentuan pengaskepan perintah transfer dana bedasarkan UU Transfer Dana yaitu perintah transfer dana harus dianggap diaskep jika tidak ada konfirmasi atas pengaskepan yang melewati batas H+1 yang menyebabkan ketidakjelasan atas pengaskepan perintah transfer dana melalui perangkat ponsel karena tidak ada pengaturan di UU Transfer Dana mengenai waktu pengiriman konfirmasi pengaskepan perintah transfer dana melalui sistem elektronik. b. Bagaimanakah Perbandingan Antara Mobile Payment M-PESA di Kenya Dengan Telkomsel T-Cash di Indonesia? M-PESA adalah suatu produk mobile money yang sukses dalam dunia mobile payment yang disebabkan oleh faktor non-teknis yaitu faktor sosial politik di Kenya. Keenganan masyarakat Kenya menggunakan fasilitas perbankan karena isu etnis dan kondisi keamanan yang tidak kondusif jika menggunakan pengiriman uang secara fisik membuat M-PESA sebagai suatu pilihan terbaik yang ada dalam moetode transfer dana. T-Cash hadir ditengah “gempuran” mobile banking di Indonesia. Selain itu, fasilitas yang ditawarkan oleh T-Cash dapat ditemui di seluruh bank bahkan minimarket. Lebih lanjut, ketatnya pengaturan uang elektronik dan pembagian


pemegang uang elektronik membuat Telkomsel bersusah payah untuk mendapatkan base pengguna T-Cash. Dapat disimpulkan, T-Cash tidak menjadi pilihan terbaik dalam metode pembayaran mobile payment seperti halnya MPESA. Dalam aspek hukum, M-PESA membuat Pemerintah Kenya harus membuat dasar hukum atas penyelenggaraan M-PESA yang telah menjadi fenomena baru di Kenya dalam pembayaran menggunakan instrumen non-tunai. Berbeda halnya dengan Indonesia, T-Cash adalah produk hasil peraturan Bank Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan hukum terkait uang elektronik di Indonesia lebih cenderung untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan hukum lain yang terkait dengan sistem pembayaran dan perdagangan. c. Apakah Peraturan Hukum Terkait Mobile Payment di Indonesia sudah Dapat Mendukung Perkembangan Perdagangan Secara Elektronik? Secara teori, cashless society sangat sulit untuk dicapai karena untuk menghilangkan kebiasaan penggunaan uang tunai di masyarakat tidaklah mudah. Secara statistik, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan instrumen pembayaran non-tunai. Oleh karena itu, mobile payment adalah suatu metode terbaik untuk mencapai cashless society disebabkan penetrasi ponsel yang tinggi di Indonesia. Perdagangan secara elektronik di Indonesia telah berkembang pesat karena penggunaan jaringan internet yang dapat diakses melalui perangkat ponsel. Tampaknya, bedasarkan hasil survei, mobile banking dan SMS banking menjadi pilihan utama dalam metode mobile payment. Sedangkan untuk mobile money, dari prefensi penggunaan T-Cash, masih didominasi pembayaran untuk air time, token PLN dan online game voucher. UU Perdagangan yang merupakan payung hukum dalam bidang perdagangan telah mengatur mengenai perdagangan secara elektronik. Dalam pengaturannya, UU Perdagangan melihat perdagangan ini sebagai suatu pasar virtual. Lebih lanjut, definisi perdagangan melalui sistem elektronik dapat menjadi landasan hukum bagi para pemain online game untuk mendapatkan haknya atas benda-benda virtual.


6. Saran Pengaturan mengenai uang elektronik perlu untuk membuat uang elektronik menjadi lebih likuid yaitu dapat ditarik tunai untuk pemegang uang elektronik unregistered. Selain itu, perlu adanya ketentuan khusus untuk menempatkan dana float sesuai dengan UU LPS, namun jika dana float tersebut terlalu besar untuk dijamin oleh LPS dan penempatan di berbagai bank tidak feasible dilakukan maka perlu suatu lembaga tertentu untuk menjamin keamanan nilai uang elektronik terhadap resiko moneter. Khusus untuk pengaturan transfer dana melalui uang elektronik, tampaknya perlu diadakan perubahan terhadap person to person transfer yaitu pemegang uang elektronik unregistered dapat melakukan transfer uang elektronik kepada pemegang uang elektronik unregistered lainnya karena jika pemegang uang elektronik unregistered tetap tidak diperbolehkan melakukan tarik tunai maka uang elektronik tidak dapat dijadikan salah satu metode pencucian uang karena tetap dapat dilacak transaksinya melalui data yang terdapat di server Penyelenggara Uang Elektronik. Sebagai penutup adalah perlu diadakan sistem penomoran seragam untuk pemegang uang elektronik agar mempermudah dalam pemeriksaan transaksi mencurigakan.


DAFTAR REFERENSI “Reading Materials Anthropology of Law”. (2013). Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alo Liliweri. (2007). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Cet.2. Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara Elham Ramezani. (1 November 2014). “Mobile Payment (E-Bussines Technology, Prof. Dr.Eduard Heindl)”, http://webuser.hs-furtwangen.de/~heindl/ebte-08-ss-mobile-payment-Ramezani.pdf. Financial Action Task Force on Money Laundering. (9 Oktober 2014) .“Guidance For A Risk-Based Approach Prepaid Cards, Mobile Payments and Internet-Based Payments Services”. http://www.bi.go.id/id/perbankan

/keuanganinklusif/berita/Documents/

FATF%20Guidance%20for%20a%20Risk-Based%20Approach-Prepaid%20

Cards,

20Mobile%20Payments%20and%20Internet-Based%20Payment%20Services.pdf. Taylor L. Booth, (1978), Digital Network and Computer Systems. Cet.2. Canada :John Wiley & Sons Inc. Terry Anderson dan Heather Kanuka. (2003). E-Research Methods, Strategies, and Issues. Perason Education. Inc. Will Hernandez. (16 November 2014) “Is China's QR-code ban about security or lost revenue?”. http://www.mobilepaymentstoday.com/articles/is-chinas-qr-code-ban-about-security-or-lostrevenue/.



MOBILE PAYMENT SEBAGAI INSTRUMEN PEMBAYARAN NON- TUNAI BERKAITAN DENGAN HUKUM, EKONOMI DAN SOSIAL DI INDONESIA SKRIPSI

Recommend Documents