PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 2 2006
Sistem Minapadi dalam Perspektif Produktivitas Lahan, Pendapatan, dan Lingkungan J. Johari Sasa1 dan O. Syahromi2
1 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Kotak Pos 5 Jakenan, Pati, Jawa Tengah 2 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
ABSTRACT. Rice-Fish System in Perspectives of Land Productivity, Farm Income, and Environmental Conservation. The average fish yield on rice-fish system is commonly low. Azolla planted in paddy field can reduce the cost for fertilizer and fish feed. At the same time, rice-fish system increases O2 content in the water and reduces methan gas released by azolla. An experiment was conducted at Sukamandi Experimental Farm, West Java, from May to August 2002. The objective of the experiments were to determine appropriate fish species for rice-fish culture. Azolla is used as source of nutrition for fish. It is axpected that this system would increase land productivity, farmers income, and conserve environment. The experiment consisted of three replications, arranged in a randomized block design. Treatments were rice without azolla and fish, rice with azolla without fish, and rice with azolla in combination with: Golden fish (Cyprinus carpio), Tawes (Puntius javanicus), Nilem (Osteorchilus hasselti), Nila (Tilapia nilatica), Kancra (Labeobarbus trombroides), and Karper (Ctenopharyngodon idellus). Among the fish species incorporated into rice and azolla system, Golden fish was the best in the system’s productivity, economic income, and environmenal conservation. These were expressed by increased rice yield into 5.7 t/ha giving net profit of Rp 5,15 million/ha/season. The emission of methane from the plot was 51.2 kg CH4/ha/season. Keywords: Rice-fish systems, land productivity, environment ABSTRAK. Hasil ikan dalam sistem usahatani minapadi masih rendah. Azola yang diintegrasikan ke dalam sistem minapadi di lahan sawah diharapkan dapat menekan biaya pemupukan dan pakan ikan. Adakalanya sistem minapadi meningkatkan O2 di air sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ikan. Selain sebagai pakan ikan dan sumber N, azola juga dapat menekan pelepasan gas metan yang berasal dari lahan sawah. Penelitian sistem minapadi dalam perspektif produktivitas lahan, pendapatan, dan lingkungan telah dilakukan di KP Sukamandi pada jenis tanah Aeric Vertic Epiaqualfs, sejak Mei sampai Agustus 2002. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis ikan yang sesuai diintegrasikan ke dalam sistem minapadi. Azola digunakan sebagai pakan ikan dan sumber hara N pada tanaman padi. Dampak lanjutan yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan produktivitas lahan, pendapatan, dan pelestarian lingkungan. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah jenis ikan yaitu: tanpa ikan dan azola, tanpa ikan dengan azola, ikan mas, tawes, nilem, nila, kancra, dan karper. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan mas adalah jenis ikan terbaik dalam sistem minapadi. Hal ini tercermin dari tingginya hasil padi yang mencapai 5,7 t/ha pada petak minapadi yang menggunakan ikan mas sebagai perlakuan, dengan keuntungan bersih tertinggi sebesar Rp 5,15 juta/ha/musim. Emisi gas metan yang berasal dari petak minapadi yang menggunakan ikan mas adalah 51,2 kg CH4/ha/musim. Kata kunci: Minapadi, produktivitas lahan, lingkungan
M
inapadi telah dipraktekkan oleh petani di Indonesia terutama di Jawa Barat sejak satu abad yang lalu. Minapadi merupakan salah satu subsistem usahatani padi-ikan di lahan sawah irigasi. Sistem usahatani ini bervariasi antardaerah, bergantung pada ketersediaan air irigasi, curah hujan, benih ikan, pasar dan status sosial ekonomi masyarakat umumnya, sehingga masih terbuka peluang untuk memperbaiki teknologinya (Suriapermana et al. 1989). Budi daya ikan bersama padi berbeda dengan sistem kolam atau air deras. Budi daya ikan pada sistem tersebut umumnya lebih dari satu jenis, sedangkan pada minapadi umumnya satu jenis ikan. Jenis ikan yang umum dibudidayakan dalam sistem minapadi adalah ikan mas (Cyprinus carpio), tawes (Puntius javanicus), nilem (Osteohilus hasselti), merah mata (Puntius orphiodes), nila (Tilapia nilatica), kancra (Labeobarbus trombroides) dan karper (Ctenophary-ngodon idellus). Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis ikan adalah volume air, ketersediaan benih, pakan, pasar, dan kebiasaan petani. Pada minapadi, ketinggian air genangan tanaman padi terbatas antara 10-15 cm, dan pada bagian caren ketinggian airnya 20-30 cm (Suriapermana et al. 1989). Rata-rata hasil ikan pada minapadi di tingkat petani masih rendah, yakni sekitar 50 kg/ha. Hal ini disebabkan antara lain oleh pemilihan jenis ikan yang kurang tepat dan mahalnya benih ikan (Syamsiah et al. 1988). Petani belum mempunyai pedoman tentang jenis ikan yang adaptif untuk minapadi. Menurut Suriapermana et al. (1989), faktor yang menghambat produksi ikan dalam sistem minapadi di antaranya adalah petani enggan membuat caren, rendahnya kualitas benih ikan, dan tidak ada pakan tambahan. Salah satu upaya memperoleh pakan yang murah adalah memanfaatkan azolla dalam sistem minapadi. Menurut Lales et al. (1989), azolla dapat men-substitusi pakan ikan sekitar 30%. Oleh karena itu, minapadi-azolla dalam suatu hamparan dapat meningkatkan kesuburan tanah, mengendalikan gulma dan hama padi, serta meningkatkan hasil padi (Fagi et al. 1992). Selain itu, penggunaan azolla sebagai pakan ikan di sawah berpeluang meningkatkan produktivitas dan pendapatan. 135
SASA DAN SYAHROMI: SISTEM MINAPADI
Menurut Sasa et al. (2003), azolla pada minapadi mempengaruhi hasil ikan dan padi. Makin tinggi takaran azolla makin tinggi hasil ikan dan padi. Hasil ikan mas dari takaran azolla 1 t, 2 t, 3 t, dan 4 t/ha masing-masing lebih tinggi 5%, 13%, 14%, dan 15% dibandingkan dengan minapadi tanpa azolla. Dengan takaran azolla yang sama seperti di atas, hasil padi lebih tinggi 2%, 5%, 11%, dan 13% dibandingkan dengan minapadi tanpa azolla. Azolla sebagai pupuk organik merupakan sumber gas CH 4 (metan), yang lepas ke atmosfer melalui degradasi anaerobik bahan organik (biogenik) dan nonbiogenik (Cicerone and Oremland 1988). Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik menghasilkan N2, H2, CH4 dan C2H6. Bahan organik dirombak dengan cepat dalam kondisi reduktif sehingga meningkatkan emisi CH4 (Wihardjaka et al. 1999). Sistem minapadi-azolla dapat meningkatkan kadar O2 di dalam air sawah, kondisi oksidasi dan reduksi pada tanah menjadi lebih baik, dan gas CH4 berkurang 2030% dibanding minapadi tanpa azolla (Chu and Boqi 1955). Lebih jauh Sasa et al. (2003) mendapatkan bahwa emisi CH4 terendah terjadi pada sistem minapadi dengan 2 t/ha azolla yaitu 45 kg/ha, sedangkan tertinggi pada minapadi dengan 4 t/ha azolla, disusul oleh minapadi dengan 3 t/ha azolla masing-masing 152 dan 127 kg/ha. Besar kecilnya emisi CH4 dari minapadi berkaitan erat dengan takaran azolla, O2 terlarut dalam air dan C/N rasio. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan jenis ikan dalam sistem minapadi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan, pendapatan dan memperbaiki lingkungan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2002 di Kebun Percobaan (KP) Sukamandi, Subang, pada jenis tanah Aeric Vertic Epiaqualfs. Percobaan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah jenis ikan pada minapadi-azolla yaitu: 1. Padi 2. Padi + tanpa ikan + azolla 3. Padi + ikan mas + azolla 4. Padi + ikan tawes + azolla 5. Padi + ikan nilem + azolla 6. Padi + ikan nila + azolla 7. Padi + ikan kancra + azolla 8. Padi + ikan karper + azolla Pengolahan tanah dilakukan tiga kali sampai kedalaman ± 15 cm. Pematang diusahakan mencapai ukuran tinggi 30 cm dan lebar bagian bawah 40 cm. 136
Pembuatan caren tengah hanya pada petak-petak yang ditebari ikan, dengan lebar 40 cm dan dalam 30 cm. Pada saat tanaman berumur 1-7 HST, air dikondisikan macak-macak, setelah itu air dinaikkan sampai ketinggian 15 cm. Pada pipa pemasukan dan pengeluaran air, dipasang saringan yang terbuat dari kawat untuk mencegah ikan terbawa arus air. Pengairan dilakukan secara stagnan dengan selang 7 hari sekali. Benih ikan mas, tawes, nilem, nila, kancra dan karper ditebar masing-masing dengan padat penebaran 2000 ekor/ha dengan bobot ikan 20 g/ekor pada petak berukuran 10 x 10 m. Benih ikan ditebar pada saat tanaman padi berumur 7 HST dan dipanen pada umur 63 hari. Bibit padi varietas Ciherang berumur 21 hari ditanam 2-3 batang/rumpun dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Pada umur 3-5 HST dilakukan penyulaman. Pupuk yang digunakan adalah urea, SP36 dan KCl masing-masing dengan takaran 200 kg, 100 kg, dan 50 kg/ha. Pupuk SP36 dan KCl diberikan semuanya sebagai pupuk dasar. Urea masing-masing diberikan 1/3 bagian sebagai pupuk dasar, fase anakan maksimum dan fase primordia. Furadan 3G sebanyak 15 kg/ha diberikan tiga kali bersamaan dengan pemberian pupuk urea. Jenis azolla yang digunakan adalah Azolla microphylla No. 4074 yang diintroduksi dari IRRI. Inokulum azolla ditanam pada 7 HST padi masing-masing 2000 kg/ ha. Data yang dikumpulkan meliputi: (a) pertumbuhan dan bobot azolla, (b) perubahan oksigen terlarut dalam air sawah, (c) hasil ikan, (d) hasil padi, (e) hasil usahatani, (f) emisi gas metan, (g) sifat fisik dan kimia tanah, dan (h) serangan penggerek batang. Contoh gas metan diambil seminggu sekali pada pagi hari mulai pukul 06.00. Keluaran contoh gas ditampung dalam kotak fleksiglas ukuran 50 cm x 50 cm x 110 cm. Pengambilan contoh gas menggunakan jarum suntik polypropylen ukuran 5 ml dengan interval waktu 5’, 10’, 15’ dan 20’, kemudian dianalisis konsentrasi gas metannya dengan menggunakan gas kromatografi pada suhu injector 100oC dan suhu kolom 85oC. Emisi gas metan dihitung dengan rumus berikut (Khalil et al. 1991). Emisi gas CH4 (mg/m2/jam) = p
dC
V BM
dt
A Vm Tst + T
p : kepadatan udara (molekul/m3) V : volume kotak fleksiglas (m3) BM : berat molekul gas (g/mol) A : luas dasar sungkup (m2) dC/dt: laju emisi (ppbv/menit) Vm : volume molekul (mol/l) Tst : 273oC T : suhu rata-rata selama pengukuran (oC)
Tst
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 2 2006
Pengukuran O2 terlarut dalam air menggunakan alat ukur digital Dissolved Oxygen Measurement (DOM) Made Sample, tipe HI. 93732 N, USA. Caranya dengan mencelupkan bagian ujung alat tersebut ke dalam air pada kedalaman 5-10 cm. Setelah 1-2 menit, monitor akan memberikan informasi besarnya O2 terlarut dalam air (ppm). Dari tiap petak diambil lima titik pengukuran secara diagonal. Pengukuran dilakukan dua kali setiap 5 hari sampai menjelang panen ikan. Pengukuran pertama dilakukan pada air irigasi sebelum dialirkan ke petakan. Pengukuran kedua dilakukan setelah 7 hari pada tiap petakan pukul 08.00, 12.00, dan 16.00, kemudian data dirata-ratakan. Pengambilan sampel azolla berasal dari alat pengamatan yang terbuat dari papan sengon dengan ukuran 0,1 m x 1 m x 1 m. Sampel diambil dengan alat saringan dari tiap petak di lima pengamatan secara diagonal, kemudian azolla ditiriskan dan ditimbang, selanjutnya dirata-rata yang dinyatakan dengan kg/m3. Setelah diketahui rata-rata bobotnya, azolla disebar kembali di permukaan air sesuai perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan dengan interval 1 minggu sampai tanaman padi berumur 105 hari. Sampel tanah sebanyak 1 kg per petak diambil di lima titik secara diagonal, kemudian disatukan. Sampel tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label (lokasi, tanggal, perlakuan dan ulangan). Pengambilan sampel dilakukan sebelum dan setelah selesai percobaan. Semua sampel tanah dibawa ke laboratorium tanah Puslitbangtanak, Bogor, untuk dianalisis. Pengamatan serangan hama penggerek batang padi (Scirpophaga innotata) dilakukan terhadap 10 sampel
rumpun tanaman per petak yang tata letaknya ditetapkan secara random. Sampel diberi ajir setelah tanaman berumur 7 HST dan diberi nomor 1 sampai 10. Persentase serangan hama penggerek batang merupakan jumlah batang terserang hama tersebut dibagi seluruh batang dalam rumpun dikalikan 100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan Bobot Azolla
Jenis ikan berpengaruh nyata terhadap bobot azolla (Tabel 1). Bobot azolla tertinggi diperoleh dari perlakuan No. 2 yaitu 25,0 t/ha pada saat tanaman padi berumur 63 HST dan menurun sampai titik nol pada saat dan setelah tanaman padi berumur 105 HST. Tingginya bobot azolla pada perlakuan tersebut karena azolla tidak dikonsumsi ikan. Menurunnya bobot azolla ada kaitannya dengan fase pertumbuhan reproduktif tanaman padi. Pada fase ini, daun dan malai padi secara bertahap menutupi permukaan air sawah sehingga hampir tidak ada fotosintesis dan pada gilirannya azolla mati membusuk, kemudian masuk ke tanah sebagai bahan organik. Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik menghasilkan gas metan (Wihardjaka et al. 1999). Saat berumur 28 hari, bobot azolla pada perlakuan 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 mencapai puncaknya, masing-masing 12,7; 13,2; 12,6; 12,8; 12,6 dan 12,6 t/ha dan kemudian menurun sampai ke titik nol pada umur 63 hari (Tabel 1 dan Gambar 1). Menurunnya bobot azolla ada kaitannya
Tabel 1. Rata-rata bobot azolla segar per minggu dari beberapa jenis ikan pada minapadi-azolla. Sukamandi, MK 2002. Umur
Bobot azolla per minggu (t/ha) dari perlakuan
Padi
Ikan (hari)
Azolla
21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 120
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 -
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 -
Tanpa ikan
2 3,7 a 6,8 a 11,2 a 14,6 a 19,8 a 25,0 a 21,0 a 16,4 a 11,2 5,5 2,0 0 0 0
Mas
2 3,6 a 6,6 a 10,8 a 12,76 b 9,5 b 5,5 b 2,8 b 1,1 b 0 0 0 0 0 0
Tawes
2 3,4 a 6,5 a 11,0 a 13,2 b 9,6 b 5,6 b 2,8 b 1,2 b 0 0 0 0 0 0
Nilem
Nila
2 3,5 a 6,6 a 11,1 a 12,6 b 9,4 b 5,4 b 2,7 b 1,2 b 0 0 0 0 0 0
2 3,6 a 6,7 a 11,0 a 12,8 b 9,7 b 5,8 b 2,9 b 1,4 b 0 0 0 0 0 0
Kancra
2 3,5 a 6,4 a 10,8 a 12,6 b 9,5 b 5,5 b 2,8 b 1,3 b 0 0 0 0 0 0
Karper
2 3,4 a 6,4 a 10,8 a 12,6 b 9,5 b 5,4 b 2,7 b 1,3 b 0 0 0 0 0 0
Angka sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
137
SASA DAN SYAHROMI: SISTEM MINAPADI
Bobot azolla per minggu (t/ha)
30 25 Tanpa ikan Ikan Mas Ikan Taw es Ikan Nilem Ikan Nila Ikan Kancra Ikan Karper
20 15 10 5 0 A
0
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
77
-
-
B
0
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
77
-
C
21
28
35
42
49
56
63
70
77
84
91
98
105
vegetatif
reproduktif
-
hari
-
-
hari
112
120
hari
pematangan
A: umur azolla, B: umur ikan, C: um ur padi
Gambar 1. Fluktuasi bobot azolla segar per minggu selama fase pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman padi di Sukamandi, MK. 2002.
dengan umur ikan. Nafsu makan ikan meningkat saat berumur satu bulan. Makin bertambah umur ikan makin banyak azolla dikonsumsi untuk meningkatkan bobot badannya. Ini berarti bahwa azolla yang dihasilkan tidak seimbang dengan yang dikonsumsi ikan. Pada fase vegetatif-reproduktif tanaman padi (umur padi 84 hari) dari perlakuan 3 sampai perlakuan 8, azolla habis dimakan ikan, sedangkan pada perlakuan 2 azolla masih menumpuk menutupi permukaan air sawah. Perubahan Oksigen Terlarut dalam Air Sawah
Hasil Analisis menunjukkan bahwa jenis ikan berpengaruh nyata terhadap O2 terlarut dalam air sawah (Tabel 2). Rata-rata O2 terlarut yang paling kecil berasal dari perlakuan sebesar 5,8 ppm, disusul oleh perlakuan 1 sebesar 6,2 ppm. Selama tanaman padi dalam fase vegetatif, daunnya masih belum menutupi permukaan air sawah, sehingga organisme termasuk azolla yang berfotosintesis tumbuh subur, karena mendapat sinar matahari dan menyebabkan permukaan air mendapat O2 yang cukup. Pada fase reproduktif, daun dan malai padi secara bertahap mulai menutupi permukaan air sawah sehingga hampir tidak ada fotosintesis dan hampir tidak ada produksi O2. Kondisi O2 ini menjadi lebih parah karena adanya aktivitas bakteri pengurai yang terus berlangsung, yang disebabkan oleh azolla dan organisme lainnya meng138
alami proses dekomposisi, kemudian bakteri-bakteri pengurai dengan cepat mengurangi O2 terlarut (Anwar et al. 1984). Rata-rata O2 terlarut yang paling besar berasal dari perlakuan 6 sebesar 7,9 ppm. Besarnya O2 terlarut disebabkan karena ikan nila telah mulai memijah, yang menyebabkan air sawah bergolak, sehingga terjadi difusi dan turbulensi O2 dari udara. Dalam hal ini O2 terlarut menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Anwar et al. 1984). Hasil Ikan
Jenis ikan pada minapadi berpengaruh nyata terhadap hasil ikan pada musim kemarau (Tabel 3). Hasil ikan tertinggi dicapai dari jenis ikan mas sebesar 170 kg/ha, disusul oleh tawes 167 kg/ha. Tingginya hasil ikan mas dan tawes disebabkan karena tingkat kematian ikan masing-masing hanya 7,5%. Tingkat kematian ikan berbeda nyata menurut jenis ikan, walaupun tidak ada pola tertentu. Tingkat kematian tertinggi berasal dari jenis kancra sebesar 15%, disusul oleh jenis karper sebesar 12%. Besarnya tingkat kematian ikan ini disebabkan oleh lambannya gerakan ikan sehingga mudah dimangsa ular. Jenis ikan berpengaruh nyata terhadap bobot ikan saat panen, kenaikan bobot ikan per ekor per hari, dan pertumbuhan relatif bobot ikan (Tabel 4).
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 2 2006
Tabel 2. Rata-rata kandungan O2 terlarut dalam air sawah setiap minggu dari beberapa jenis ikan pada minapadi-azolla. Sukamandi, MK 2002. O2 terlarut (ppm) pada perlakuan: Umur tanaman padi (hari) 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 120 Rata-rata
padi
tanpa ikan
mas
tawes
nilem
nila
kancra
karper
8a 7,8 a 7,7 a 7,5 a 7,4 a 7,6 b 7,0 b 5,6 c 5,4 c 5,2 bc 5,0 bc 4,8 bc 4,5 bc 3,6 bc
8a 8,2 a 8,3 a 8,4 a 8,5 a 8,7 a 6,0 c 5,3 c 4,1 c 3,7 c 3,7 c 3,4 c 2,5 c 2,2 c
8a 8,1 a 8,2 a 8,4 a 8,0 a 7,6 b 7,4 b 7,2 b 7,0 b 6,8 b 6,4 b 6,1 b 5,5 b 5,6 b
8a 8,1 a 8,1 a 8,4 a 8,4 a 7,5 b 7,2 b 7,0 b 7,0 b 6,8 b 6,5 b 6,0 b 5,6 b 5,6 b
8a 8,0 a 8,1 a 8,3 a 8,0 a 7,8 b 7,6 b 7,0 b 6,5 b 6,5 b 6,5 b 6,0 b 5,7 b 5,5 b
8a 8,1 a 8,2 a 8,5 a 8,6 a 8,4 a 8,2 a 8,1 a 7,8 a 7,7 a 7,6 a 7,4 a 7,2 a 7,1 a
8a 8,1 a 8,2 a 8,4 a 8,0 a 7,5 b 7,4 b 7,2 b 7,0 b 6,8 b 6,4 b 6,2 b 5,6 b 5,7 b
8a 8,2 a 8,2 a 8,3 a 8,1 a 7,6 b 7,4 b 7,2 b 7,1 b 6,8 b 6,5 b 6,2 b 5,5 b 5,8 b
6,2 bc
5,8 c
7,2 b
7,2 b
7,1 b
7,9 a
7,2 b
7,2 b
Angka-angka sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Tabel 3. Hasil dan kehilangan ikan menurut jenis ikan pada minapadiazolla. Sukamandi, MK 2002. No.
1* 2** 3 4 5 6 7 8
Jenis ikan
0 0 Mas Tawes Nilem Nila Kancra Karper
Hasil ikan (kg/ha)
Jumlah ikan saat panen (ekor/ha)
Kematian ikan (%)
0 0 170 a 167 a 146 b 145 b 155 b 160 ab
0 0 1850 1850 1800 1830 1700 1750
0 0 7,5 c 7,5 c 10 bc 8,5 c 15 a 12,5 b
* Tanpa azolla, tanpa ikan ** Tanpa ikan Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Bobot ikan paling tinggi saat panen berasal dari jenis ikan mas dan tawes masing-masing 94,4 g dan 92,8 g/ ekor. Kedua jenis ikan ini paling gesit sehingga peluang untuk mendapatkan makanan dan O2 lebih besar yang berdampak terhadap kecepatan pertumbuhannya. Hal ini sejalan dengan kenaikan bobot ikan per ekor per hari maupun kenaikan relatif bobot ikan. Kenaikan bobot ikan per hari paling tinggi berasal dari ikan mas dan tawes masing-masing 1,2 g/ekor/hari. Pertumbuhan relatif bobot ikan paling tinggi juga berasal dari ikan mas dan tawes masing-masing 372% dan 363%.
Tabel 4. Rata-rata bobot ikan saat panen dan kenaikan bobot ikan dari berbagai jenis ikan pada minapadi-azolla. Sukamandi, MK 2002. No.
Jenis ikan
1* 2** 3 4 5 6 7 8
0 0 Mas Tawes Nilem Nila Kancra Karper
Bobot ikan saat panen (g/ekor) 0 0 94,4 92,8 78,9 79,2 91,2 91,4
Kenaikan bobot ikan (g/ekor/hari)
a a b b a a
0 0 1,2 a 1,2 a 0,9 b 0,9 b 1,1 a 1,1 a
Pertumbuhan relatif/bobot ikan (%) 0 0 372 a 364 a 294,5 b 296 b 356 a 357 a
* Tanpa azolla, tanpa ikan ** Tanpa ikan Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Hasil Padi
Jenis ikan tidak berpengaruh nyata terhadap hasil padi, kecuali dibandingkan dengan hasil padi monokultur (Tabel 5). Hasil padi terendah berasal dari monokultur padi yaitu 4.750 kg/ha, disusul oleh perlakuan 2 yakni 5.000 kg/ha. Rendahnya hasil terutama disebabkan karena tanaman padi pada kedua perlakuan terserang oleh hama penggerek batang masing-masing dengan intensitas 17% dan 15% (Tabel 6). Hasil tertinggi berasal dari perlakuan 3 yakni 5.710 kg/ha. Hasil padi, ikan, ikan setara padi, dan total setara padi disajikan pada Tabel 5. Hasil total setara padi paling tinggi diberikan oleh perlakuan ikan mas yakni 6.553 kg/ha. 139
SASA DAN SYAHROMI: SISTEM MINAPADI
Tabel 5. Hasil padi dan ikan menurut jenis ikan pada minapadi-azolla. Sukamandi, MK 2002.
Tabel 6. Tinggi tanaman dan persentase serangan hama penggerek batang padi dari berbagai jenis ikan pada minapadi-azolla. Sukamandi, MK 2002.
Hasil (kg/ha) No.
1* 2** 3 4 5 6 7 8
Jenis ikan
0 0 Mas Tawes Nilem Nila Kancra Karper
Tinggi tanaman (cm) padi
4.750 5.000 5.710 5.680 5.550 5.580 5.620 5.580
ikan
b ab a a a a a a
0 0 170 a 167 a 146 b 145 b 155 b 160 ab
ikan setara padi
total setara padi
No
0 0 842,6 871,3 761,7 630,4 768,3 793,0
4.750 5.000 6.553 6.551 6.312 6.210 6.388 6.373
1* 2** 3 4 5 6 7 8
Harga padi (GKG) waktu panen: Rp 1.150/kg Harga ikan waktu panen: Ikan mas, kancra dan karper : Rp 5.700/kg Ikan tawes dan nilem : Rp 6.000/kg Ikan nila : Rp 5.000/kg * Tanpa azolla, tanpa ikan ** Tanpa ikan Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Jenis ikan
0 0 Mas Tawes Nilem Nila Kancra Karper
45 HST
60 HST
75,1 75,2 75,9 75,5 75,6 76,0 76,1 75,8
94,8 94,9 94,6 96,2 96,4 95,8 96,0 96,1
a a a a a a a a
a a a a a a a a
Serangan penggerek batang padi (%) 17 a 15 a 5b 6b 6b 5b 6b 6b
* Tanpa azolla, tanpa ikan ** Tanpa ikan Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Tabel 7. Rata-rata pendapatan kotor, biaya produksi, keuntungan dan B/C rasio minapadi. Sukamandi, MK 2002.
No
Jenis ikan
1* 2** 3 4 5 6 7 8
0 0 Mas Tawes Nilem Nila Kancra Karper
Biaya Pendapatan Keuntungan B/C kotor bahan tenaga kerja total bersih rasio .....................................................................(x Rp ‘000/ha/musim)............................................................... 5.462,5 5.750,0 7.535,5 7.534,0 7.258,5 7.142,0 7.346,5 7.329,0
b b a a a b ab ab
410,5 d 910,5 c 1.480,5 ab 1.510,5 a 1.510,5 a 1.310,5 b 1.480,5 ab 1.510,5 a
907,5 907,5 907,5 907,5 907,5 907,5 907,5 907,5
1.318,0 1.818,0 2.388,0 2.418,0 2.418,0 2.218,0 2.388,0 2.418,0
d c ab a a b ab a
4.144,5 c 3.932,0 d 5.147,5 a 5.116,0 a 4.840,5 bc 4.924,0 b 4.958,0 b 4.911,0 b
3,14 2,16 2,16 2,12 2,00 2,22 2,08 2,03
a b b b b b b b
Harga bibit ikan: Ikan mas dan kancra : Rp 285/ekor Ikan tawes, nilem dan karper : Rp 300/ekor Ikan nila : Rp 200/ekor * Tanpa azolla, tanpa ikan ** Tanpa ikan Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Jenis ikan tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada umur 45 dan 60 HST. Jenis ikan berpengaruh nyata terhadap populasi hama penggerek batang padi (Tabel 6). Larva terdiri dari 4-5 instar. Instar pertama biasanya bergantung pada benang yang dibuatnya, yang membawa larva ke permukaan air. Selanjutnya larva hanyut terbawa air. Bila bertemu tanaman padi, larva akan merayap ke pelepah daun padi dan hidup beberapa hari, 1-2 cm di atas permukaan air. Larva-larva ini menjadi makanan ikan, sehingga tingkat serangan hama penggerek batang padi menjadi rendah 140
(perlakuan 3-8). Sebaliknya pada perlakuan 1 dan 2 yang tidak ada ikannya, tingkat serangan hama tersebut cukup tinggi, berkisar antara 15-17% (Tabel 6).
Analisis Usahatani
Jenis ikan berpengaruh nyata terhadap pendapatan kotor, biaya produksi, dan B/C rasio (Tabel 7). Pendapatan kotor tertinggi berasal dari minapadi menggunakan ikan mas yaitu sebesar Rp 7.535.500/ha/musim,
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 2 2006
Tabel 8. Sifat fisik dan kimia tanah Aeric Vertic Epiaqualfs pada lokasi percobaan sebelum dan sesudah penelitian. Sukamandi, MK 2002. Sesudah penelitian pada perlakuan Sifat fisik dan kimia tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH-H2O pH-KCl C-org (%) N (%) C/N P-HCl (mg/100 g) K-HCl (mg/100 g) P-Bray I (ppm) K-Morgan (ppm) Ca (me/100 g) K (me/100 g) Mg (me/100 g) Na (me/100 g) KTK KB (%) Al3+ (me/100g) H+ (me/100 g)
Sebelum penelitian 6 48 46 5,4 4,1 1,35 0,15 9 46 11 9,6 99,5 8,07 2,18 0,21 0,32 14,16 76 0,31 0,44
padi
padi + azolla
6 47 47 4,8 3,8 1,38 0,15 9,2 32 5 10,0 47,6 7,27 1,97 0,10 0,30 13,44 72 0,91 0,75
6 48 46 4,9 3,8 1,47 0,15 9,8 37 5 9,5 42,5 8,40 2,20 0,09 0,38 15,29 72 0,65 0,41
mas
tawes
6 48 46 4,7 3,9 1,43 0,16 8,9 36 5 9,8 42,6 7,14 1,86 0,09 0,31 9,40 70 0,53 0,43
6 48 48 4,8 4,0 1,42 0,16 8,9 42 4 10,4 33,2 7,88 1,93 0,07 0,26 13,32 76 0,40 0,31
nilem 6 48 46 4,8 3,9 1,42 0,16 8,9 39 4 9,8 33,5 7,49 1,95 0,07 0,28 13,44 73 0,63 0,44
nila 6 47 47 4,8 4,0 1,37 0,16 8,6 43 7 10,0 56,9 8,20 2,21 0,12 0,58 13,95 80 0,29 0,29
kancra 6 47 47 4,8 4,0 1,44 0,16 8,9 40 6 9,9 45,1 7,50 1,90 0,10 0,41 9,50 75 0,55 0,45
karper 6 48 46 4,8 3,9 1,44 0,16 8,9 39 5 10,0 33,5 7,50 1,90 0,08 0,28 12,50 73 0,65 0,45
Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Puslitbangtanak, Bogor.
disusul oleh padi + jenis ikan tawes Rp 7.534.000/ha/ musim. Tingginya pendapatan kotor dari perlakuan 3 disebabkan karena hasil padi dan ikan lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (Tabel 5). Biaya tenaga kerja pada setiap perlakuan sama. Total biaya tertinggi berasal dari jenis ikan tawes, nilem dan karper masing-masing Rp 2.418.000/ha/musim. Besarnya biaya pada ketiga perlakuan ini disebabkan oleh harga bibit ikan yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (Tabel 7). Keuntungan bersih tertinggi berasal dari jenis ikan mas yakni Rp 5.147.500/ha/musim, disusul oleh ikan tawes Rp 5.116.000/ha/musim. Keuntungan terendah berasal dari perlakuan 2 yakni Rp 3.932.000/ha/musim, disusul oleh monokultur padi Rp. 4.144.500/ha/musim. Faktor yang menyebabkan penurunan keuntungan dari perlakuan 2 dan 1 adalah: (a) karena tidak ada ikan, maka produktivitas tanaman lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, (b) tingkat serangan hama penggerek batang padi lebih tinggi, (c) tidak menghasilkan ikan, sehingga pendapatan kotor lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Nilai B/C rasio tertinggi berasal dari monokultur padi yakni 3,14, sedangkan terendah berasal dari perlakuan jenis ikan nilem 2,0. Hal ini menunjukkan bahwa semua jenis ikan pada minapadi-azolla layak untuk dikembangkan.
Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Tanah percobaan di KP Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat dapat dikalisifikasikan ke dalam jenis Aeric Vertic Epiaqualfs (Fagi et al. 1992) dengan status P, K, Ca, Mg, dan bahan organik tanah termasuk rendah (Tabel 8). Sebelum penelitian dilaksanakan, tanah bersifat masam sampai sangat masam. Setelah penelitian dilaksanakan pH tanah makin rendah pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan oleh kondisi air yang jenuh, sedangkan sebelum penelitian kondisi air macakmacak. Kandungan C dan N organik setelah penelitian pada setiap perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penelitian. Hal ini diduga karena terjadi dekomposisi dari azolla dan kotoran ikan. Rasio C/N terendah berasal dari perlakuan jenis ikan nila sebesar 8,6 disusul oleh perlakuan jenis ikan lainnya masing-masing 8,9. Rasio C/N tertinggi berasal dari perlakuan padi + azolla sebesar 9,8 disusul oleh perlakuan padi 9,2. Kandungan P2O5 dan K2O tanah sebelum penelitian lebih tinggi dibanding setelah penelitian. Hal ini diduga karena kedua unsur tersebut terserap dan terangkat jerami dan gabah saat panen.
141
SASA DAN SYAHROMI: SISTEM MINAPADI
Emisi gas metan (kg/ha/muism)
200
183
180 160
145
140 120 100 80 50.8
60
51.2
51.7
54.4
55.6
7
8
30.3
40 20 0 1
2
3
4
5
6
Perlakuan Gambar 2. Emisi gas metan dari berbagai sistem minapadi dengan jenis ikan berbeda. Sukamandi, MK 2002.
Emisi Gas Metan
Emisi gas metan dari perlakuan berbagai jenis ikan pada minapadi-azolla pada MK 2002 tertera pada Gambar 2. Emisi gas metan terendah berasal dari perlakuan 6 (nila) yaitu 30,3 kg/ha/musim, disusul oleh perlakuan 3, 4, 5, 7, dan 8 masing-masing 50,8; 51,2; 51,7; 54,5 dan 55,6 kg/ ha/musim. Hal ini disebabkan karena azolla habis dimakan ikan pada umur 63 hari (Gambar 1), sehingga hampir tidak terjadi proses dekomposisi bahan organik. Akibat lebih jauh, O2 terlarut menjadi tinggi (Tabel 2) yang pada gilirannya kondisi air dan tanah sawah menjadi oksidatif dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Kondisi demikian menyebabkan aktivitas bakteri metanogen terganggu sehingga emisi gas metan berkurang. Emisi gas metan tertinggi berasal dari perlakuan 2 sebesar 183 kg/ha/musim. Hal ini disebabkan karena azolla tidak dikonsumsi ikan (Gambar 1), sehingga terjadi proses dekomposisi oleh bakteri pengurai, kemudian bakteri tersebut dengan cepat mengurangi O2 terlarut (Anwar et al. 1984). Pada gilirannya, rata-rata O2 terlarut dalam air sawah menjadi lebih rendah (Tabel 2) dan nilai C/N tertinggi (Tabel 8). Akibatnya, kondisi air dan tanah sawah menjadi reduktif dan bakteri metanogen menjadi lebih aktif untuk menghasilkan gas metan.
KESIMPULAN
1. Hasil ikan tertinggi diperoleh dari perlakuan minapadi menggunakan ikan mas (170 kg/ha), disusul oleh ikan tawes (167 kg/ha). 142
2. Hasil padi tertinggi berasal dari perlakuan minapadi menggunakan ikan mas yaitu (5.710 kg/ha), disusul oleh ikan tawes (5.680 kg/ha). 3. Keuntungan bersih tertinggi berasal dari minapadi menggunakan ikan mas (Rp 5.147.500/ha/musim), disusul oleh minapadi dengan ikan tawes (Rp 5.116.000/ha/musim). 4. Emisi gas metan terendah berasal dari perlakuan minapadi dengan jenis ikan nila (30,3 kg CH4/ha/ musim), disusul oleh ikan mas dan tawes (masingmasing 51,2 dan 51,7 kg CH4/ha/musim). 5. Tingkat serangan hama penggerek batang padi terendah berasal dari minapadi dengan jenis ikan mas dan nila (masing-masing 5%). 6. Sistem minapadi yang menggunakan ikan mas meningkatkan produktivitas lahan, pendapatan dan mengurangi emisi gas metan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. A.M. Fagi atas saran-sarannya dan Sdr. Titi Sopiawati yang melaksanakan analisis emisi gas metan dan menyelesaikan pengetikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA Ardiwinata, R.D. 1987. Rice fish culture on paddy fields in Indonesia. In: Proceeding of Indo Pacific Fish Coun. J (II-III). p. 119-154.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 2 2006 Anwar, A., S.J. Damanik, dan A.J. Whiteen. 1984. Ekologi ekosistem Sumatera. Gajah Mada University Press. p. 635.
Cicerone, R.J. and R.S. Oremland. 1988. Biogeochemical aspect of atmospheric methane. Global Biogeochem. Cycles 2:299327.
Chu, L.C. and W. Boqi. 1955. How farmer accept the achievements of techniques developed through agricultural science: the case of large-scale demonstration of rice-azolla-fish system. Progress and problem in extention of integrated plant nutrition system (IPNS) at farm level in Asia. Report of the expert consulattion of the Asian Network on bio and organic fertilizers. In: Dent, F.J. and S. Gongwani (Eds). FAO, Regional office for Asia and the Pasific. FAO. p. 63-70. Fagi, A.M., S. Suriapermana, dan I. Syamsiah. 1992. Rice-fishfarming research in lowland area: the West Java case: In: Dela Cruz, C.R., C. Lihtfoot, B.A. Costa Pierce, V.R. Carangal and M.P. Bimbo (Eds). Rice-fish research and development in Asia. ICLARM conf. Proc. p. 273-286.
Khalil, M.A.K., R.A. Rasmussen, M.X. Wang and Ren. 1991. Methane emission from rice fields in China. Environ. Sci. Technol. 25: 979-981.
Lales, J.S., M.A. Lapitan, and R.S. Marte. 1989. Azolla-rice-fish culture. In: azolla: Its culture, management and utilization in the Philippines. Nasional Azolla Action Program. Syamsiah, I., S. Suriapermana, and A.M. Fagi. 1988. Research on rice-fish culture: post experiences and future research programs. Paper presented at the Workshop on Rice-Fish Farming Research and Dev., Ubon, Thailand, 21-25 March 1988.
Suriapermana. S., I. Syamsiah, P. Wardana, dan A.M. Fagi. 1989. Petunjuk praktis sistem usahatani padi ikan dan padi-ikanitik di lahan sawah. Balittan Sukamandi.
Sasa, J.J., S. Partohardjono, dan A.M. Fagi. 2003. Azolla pada minapadi dan pengaruhnya terhadap produktivitas dan emisi gas metan di lahan sawah irigasi. Penelitian Pertanian 22(2):86-95. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh penggunaan bahan organik terhadap hasil padi dan emisi gas metan pada lahan sawah. Menuju sistem produksi padi berwawasan lingkungan. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Bogor 24 April 1999. Puslitbang Tanaman Pangan.
143