Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
BERILMU AMALIAH, BERAMAL ILMIAH: SUDAHKAH DIPRAKTEKKAN DI UII? [caption id="attachment_278" align="alignleft" width="150"]
Berilmu Amaliah, Beramal Ilmiah[/caption] Oleh: Moh. Bahrun Naser* Muqaddimah Pandangan Islam terhadap ilmu berbeda dengan pandangan syariat lain atau undang-undang dan peraturan buatan manusia. Islam sangat memperhatikan, menghormati, dan menjunjung tinggi martabat ilmu dan orang yang memiliki ilmu. Berdasarkan al-Qur’ân yang artinya,“Niscaya Allâh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orangorang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS al-Mujâdilah [58]: 11), berdasarkan ayat ini dapat dikemukakan bahwa dalam ajaran Islam pengertian ilmu bukan hanya didasarkan pada jumlah ilmu yang dipelajarinya, tetapi ilmu yang benar adalah ilmu yang dapat dirasakan oleh manfaatnya oleh manusia pada umumya, sebagaimana halnya ilmu menyempurnakan hikmah bagi pemiliknya hingga menjadi suatu sikap dan sifat yang menyatu dalam dirinya juga dalam perilakunya tanpa ada paksaan. Di samping itu, ilmu dapat menjadi cahaya jalan yang menerangi jalan dalam mencapai petunjuk dan kebaikan.[1] Dalam ajaran Islam banyak anjuran untuk menuntut ilmu. Selain derajat yang ditinggikan, keutaman orang yang berilmu daripada yang tidak berilmu sangat berbeda. Bahkan kalau samasama dinilai, amal orang berilmu jauh lebih baik daripada amal orang yang tak berilmu, meskipun kuantitas amal orang yang berilmu jauh dibawah orang yang tidak berilmu. Seperti yang disampaikan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam: “Dua rakaat shalat orang alim lebih baik daripada ibadah seribu rakaat shalat orang bodoh.” Begitulah Rasûlullâh memberikan keutamaan bagi orang yang berilmu. [2] Adapun ilmu yang bisa menjadikan taat kepada Allâh akan membuat seseorang menjdi tawadhu dan rendah hati dihadapan orang lain. Ibarat padi, semakin bersi semakin merunduk. Semakin bertambah ilmu seseorang semakin bersih pula hatinya dari perbuatan tercela seperti terpeliharabnya dari sikap ujub, riya’, takabur, dengki, dan sifat tercela yang lainnya. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Imam Ghozali mengatakan: “Wahai hamba Allâh yang rajin menuntut ilmu. Jika kalian menuntut ilmu, maka niatkanlah dengan ikhlas karena Allâh semata. Di
1 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
samping itu, juga dengan niat melaksanakan kewajiban karena menuntut ilmu wajib hukumnya, sebagaiman disabdakan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan.” (HR Ibnu Abdul Bar).”[3]
Urgensi Ilmu dalam Perspektif Islam Ilmu merupakan pijakan dalam beramal, sebagai landasan berbuat dan mengarahkan perbuatan ke arah kebaikan. Adapun definisi ilmu itu sendiri dari segi bahasa adalah pengetahuan dan dari segi istilah adalah pengetahuan yang sebenar terhadap sesuatu perkara. Maksud ilmu yang benar disini adalah pengetahuan yang membawa manusia mengenal Allâh Subhânahu wa Ta’âla dan mengakui bahwasannya Allâh Subhânahu wa Ta’âla Maha Pencipta, tidak ada Tuhan lain yang patut diperhambakan diri melainkan kepada-Nya. Karena akan pentingnya sebuah ilmu, Imam Syafi’i pernah berkata: “Barang siapa menginginkan dunia harus dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya harus dengan ilmu”.[4] Ibnu Abbas berkata: “Nabi Sulaiman AS disuruh memilih antara ilmu, harta, dan kekuasaan. Dia memilih ilmu, maka Allâh memberinya harta dan kekuasaan beserta ilmu itu”. Dalam hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, banyak disinggung tentang urgensi ilmu dan belajar dalam kehidupan manusia serta pentingnya setiap orang yang membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan peranan penting yang dimilikinya untuk mengantarkan manusia menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.[5] Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai orang yang berilmu, berbuatlah dengan ilmumu, bersedekahlah dengan kelebihan hartamu, dan tahanlah lisanmu dari berbicara kecuali dalam hal-hal yang berguna menurut pandangan Rabbmu. Wahai orang yang berilmu ketahuilah bahwa sesungguhnya jika engkau tidak mengamalkan ilmu yang engkau miliki, maka ia tidak akan dapat membelamu kelak di hadapan (pengadilan) Rabbmu. (HR Darimi) Dalam pandangan Islam, tujuan utama bagi penuntut ilmu adalah mengambil manfaat ilmunya guna melayani dan menjadi rujukan bagi orang lain dalam melaksanakan kebaikan. Bila tujuan tersebut bukan tujuan yang utama berarti telah melakukan sebuah kesalahan. Sebagaimana Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang paling menyesal kelak pada hari kiamat adalah orang yang memiliki kesempatan menuntut ilmu, namun ia tidak menuntutnya dan orang yang mengetahui suatu ilmu sehingga orang lain dapat mengambil manfaatnya, sedangkan dirinya sendiri tidak dapat mengambil manfaatnya.” (HR Ibnu ‘Asakir). Dengan demikian, ilmu yang haq adalah ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain dalam membersihkan jiwa, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan mendekatkan diri kepada Allâh.[6] Kedudukan dan Keutamaan Orang yang Berilmu Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan tersebut dikarenakan manusia diberikan potensi yang lebih dibandingkan dengan makhluk yang lainnya yaitu berupa akal pikiran yang mampu melahirkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan lain
2 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
sebagainya. Tentang keutamaan orang yang berilmu, Allâh berfiman dalam QS Ali Imrân [3]: 18 yang artinya, “Allâh menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Adil. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga yang menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Pada ayat di atas dinyatakan dengan jelas keutamaan ilmu dan kemuliaan orang yang berilmu. Allâh menempatkan ulama (orang-orang yang berilmu) pada urutan ketiga setelah Diri-Nya dan para malaikat dalam menyaksikan ketuhanan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan orang yang berilmu sangat tinggi dihadapan Allâh Subhânahu wa Ta’âla. Tidak ada satu makhluk yang dapat melebihi derajatnya. Ayat tersebut juga mengadung makna kemuliaan ilmu.[7] Jika ada yang lebih mulia dari ilmu pengetahuan, Allâh akan memerintahkan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk meminta dilebihkan dari hal itu seperti Allâh memerintahkannya untuk meminta dilebihkan dalam ilmu pengetahuan. Sabda Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam: “Para malaikat akan menundukkan sayap-sayap mereka karena keridhaan mereka pada para penuntut ilmu, seorang yang berilmu akan dimintakan ampunan (oleh malaikat) yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan ikan-ikan yang ada di air. Keutamaan orang yang berilmu dibanding dengan orang yang beribadah seperti keutamaan bulan purnama dibanding semua bintang-bintang. Orang-orang yang berilmu adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan sedinar atau sedirhampun, tetapi mereka mewariskan ilmu pengetahuan. Maka barang siap mengambilnya, dia mengambilnya dengan banyak keuntungan.”(HR. Abu Daud dan Turmudzi) Para malaikat memandang orang yang menuntut ilmu dengan mata penuh kekaguman dan kemuliaan. Di dalam diri mereka ada perasaan menghormati dan menyanjungnya. Mereka memperlakukan seperti memperlakukan para nabi karena orang yang menuntut ilmu itu adalah pewaris para nabi. Para penuntut ilmu itu kedudukannya dibandingkan dengan orang bodoh adalah seperti kedudukan orang yang hidup diantara orang yang mati. Orang yang tidak mau menuntut ilmu itu tidak berpengetahuan dan tidak berpikir seperti orang mati.[8] Dikisahkan bahwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju masjid. Setiba di pintu masjid, setan berada di dekat pintu. “Hai iblis, mengapa engkau berada disini? Apa maksudmu?” Tanya Nabi Muhammad. “Sebenarnya aku hendak masuk masjid dan akan menggoda orang yang tengah shalat. Tapi aku gemetar dan takut terhadap seseorang yang sedang tidur. Karena itu aku disini, tidak berani masuk,” jawab iblis. “Hai iblis, mengapa engkau tidak takut dengan orang yang tengah shalat, padahal dia tengah beribadah dan bermunajat kepada Tuhan? Tetapi engkau malah takut kepada orang yang tengah tidur?” Tanya Rasûlullâh lagi. “Dia yang tengah mengerjakan shalat itu bodoh, mudah diperdaya. Tetapi orang yang tengah tidur itu orang alim, maka jika aku memperdaya dia yang sedang shalat, aku khawatir jika orang alim itu bangun dan membetulkan shalat si bodoh itu.” Kemudian Nabi Muhammad bersabda: “Naumul ‘alimi khairun min ‘ibadatil jahili.” Artinya tidurnya orang alim lebih utama dari ibadahnya orang bodoh. Dari kisah diatas dapat diambil hikmah bahwa kualitas seorang itu ditentukan oleh keilmuan dan amaliah yang dilakukannya. Seseorang melakukan ibadah tentu didasari oleh pemahaman dan pengetahuannya mengenai sesuatu. Akan halnya orang yang minim pengetahuan tentang
3 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
agama, maka landasan pengetahuannya itu lemah, tidak sedalam orang yang berilmu. Allâh mengilustrasikan dalam ayat al-Qur’ân, “Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?” Perbedaan antara orang pandai dengan orang tidak pandai, tentu karena tidak sama kualitas antara keduanya. Kualitas seseorang memang ditentukan oleh akal pikirannya yang bisa membedakan antara hak dan bathil sekaligus dapat mengamalkan ilmu yang dimilikinya itu, bukan justru karena ilmunya itu untuk berbuat membodohi orang lain. Karenanya, tidurnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya orang bodoh. Tentu yang dimaksud dengan ‘alim disini adalah ‘alim yang sekaligus ‘amil (mengamalkan ilmunya itu). Terhadap orang alim, setan akan merasa takut untuk menggoda, karena dia mengetahui kesalahan-kesalahan jika ternyata digoda oleh setan. Sedang bagi orang bodoh yang melakukan ibadah, setan tidak merasa takut, karena pemahaman dan keilmuan yang dimiliki dia tidak dikuasainya betul. Bisa jadi dia melakukan ibadah dengan dasar yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang sebenarnya, sehingga setan mudah untuk menggoda dan membengkokkannya.[9] Ilmu Merupakan Syarat Sahnya Amal Allâh memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman Allâh: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allâh, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allâh mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu” (QS. Muhammad [47]:19). Sehubungan dengan ini Allâh memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal yaitu berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita lihat dari susunan ayat di atas, yaitu “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allâh.......” Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah ini diikuti perintah beramal, yaitu “.....Dan mohonlah ampunan bagi dosamu.....” . Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa urutan ilmu mendahului urutan amal. Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan perbuatan.[10] Dalam ayat yang lain Allâh berfirman: “Dan janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. (Karena) sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati (akal pikiran) semuanya itu akan ditanya” (QS al-Isrâ’ [17]: 36). Tentang hal ini dalam tafsirnya, Imam Syaukani mengatakan: “Sesungguhnya ayat-ayat ini menunjukkan atas tidak bolehnya beramal dengan tanpa ilmu”. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Islam mewajibkan ilmu terlebih dahulu sebelum berkata dan berbuat. Inilah pendidikan yang sangat tinggi dalam Islam yang mendasari segala sesuatunya dengan ilmu.[11] Allâh Subhanahu wa Ta’âla juga memerintahkan agar kita bertanya kepada ahli ilmu jika kita tidak mengetahui, sebagaimana firman-Nya, “Tanyalah ahli ilmu jika memang kamu tidak tahu” (QS al-Nahl [16]: 43 dan QS al-Anbiyâ’ [21]: 7). Al-Imâm Ibnul Qoyyim di kitabnya miftahu dâris sa’âdah menafsirkan ahludz dzikri dengan ahli ilmu. Dan dari ayat yang mulia ini Allâh Subh anahu wa Ta’âla mewajibkan dua golongan manusia yaitu ahli ilmu yang wajib bagi mereka menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya serta orang-orang jahil (bodoh) yang wajib bagi mereka bertanya kepada ahli ilmu bukan kepada orang-orang yang jahil (bodoh) juga.[12] Sebagaimana sabda Rasûlullâh “Sesungguhnya Allâh tidak mencabut ilmu dengan serta merta
4 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan satu orang alimpun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu orang alim pun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orangorang yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari dalam al Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223). Beramal tanpa ilmu jelas sangat tidak rasional bagaikan kapal yang di ombang-ambingkan gelombang di tengah samudra luas sementara keinginan untuk cepat sampai ke daratan sangatlah tinggi, maka hanya mu’jizat Allâh-lah yang paling berperan ketika itu. Begitu juga di dalam kehidupan ini, ibadah bukan hanya sekedar berdiri, rukuk ataupun sujud dalam shalat saja. Namun, setiap diri akan dituntut untuk melaksanakan apa sesungguhnya hikmah di balik perintah shalat itu. Begitu juga ibadah-ibadah lainya selain menunaikanya dengan ikhlas penerapan dari hikmah yang terkandung di dalamya harus menjadi prioritas utama dan tidak bisa di kesampingkan sama sekali. Jelasnya, raihlah keingginan dunia dan akhirat itu sebanyak-banyaknya dan imbangi ilmu itu dengan amaliah ikhlas dan penuh kekhusyukkan. Intinya manusia dapat menilai dan melakukan sesuatu dengan cermat dan hati-hati dan tidak ada kebajikan dalam ibadah kecuali diiringi dengan tafakur, tawakal, maupun perbuatan makruf lainya. Demikian pula didalam menunaikan ibadah-ibadah yang di wajibkan oleh agama, semuanya harus diiringi dengan ilmu dan pemikiran, yaitu memperhatikan dengan cermat dan penuh kehati-hatian segala tingkah laku kita dari a wal hingga akhir ibadah tersebut.[13] Orang yang selalu menggunakan ilmu dan pemikiran akan menghasilkan ladang amal dan akan selalu menjaga amalanya itu dari perbuatan-perbuatan tercela dalam hidup bersosialisasi dengan masyrakatnya. Sedangkan seseorang yang beramal tanpa di landasi ilmu dan pemikiran, jelas akan di ombang-ambingkan oleh hawa nafsu sehingga akan melahirkan kerugian dan kesia-siaan dalam amaliah tersebut. Amal tanpa ilmu akan rapuh ibarat orang yang perutnya kosong dari bacaan al-Qur’ân, karena itu kita harus membentengi amal ibadah kita dengan lebih memperkaya lagi ilmu pengetahuan khususnya tentang keagamaan dan membuang segala hal yang akan membuat amal ibadah kita tadi tidak bernilai di mata Allâh Subhanahu wa Ta’âla.[14] Kewajiban Untuk Mengamalkan Ilmu yang Didapatkan Mengamalkan ilmu merupakan kewajiban yang paling utama atas seorang Muslim. Hal ini termasuk adab yang paling agung, bahkan inilah hakikat ilmu yaitu seorang Muslim yang mengamalkan ilmunya sehingga menjadi bermanfaat, benar dan dapat menuntun pemiliknya ke surga. Sebab, ilmu pada hakikatnya adalah untuk diamalkan hingga dapat menyampaikan pemiliknya kepada keridhaan Allâh Subhanahu wa Ta’âla. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa setiap manusia akan ditanya apa yang telah diamalkan dari ilmunya. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: ..... dan ilmunya, apa yang telah diamalkan darinya.”[15] ((HR Tirmidzi). Sebagai seorang muslim, hendaklah beramal dengan tuntunan ilmu yang telah Allâh berikan kepadanya karena hal itu merupakan
5 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
kewajiban yang paling utama atasnya. Adapun jika dia tidak mengamalkan ilmu yang dia miliki, maka dia berhak mendapatkan celaan. Orang seperti itu mirip dengan orang-orang Yahudi yang tersesat sementara mereka memiliki ilmu.[16] Berkenanaan dengan mengamalkan ilmu, Ali bin Abi Thalib mengatakan: ”Ada dua kelompok orang yang membuat punggungku patah. Pertama, orang bodoh yang puas dengan kebodohannya. Dan kedua, orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.”[17] Dalam riwayat lain Abu Darda’ berkata: “Seorang tidak dapat menjadi alim kecuali harus belajar dan tidak menjadi alim kecuali jika ia mengamalkan ilmunya”. Katanya lagi, “Ancaman terhadap orang yang tidak mengetahui hanya satu kali, dan ancaman terhadap orang yang mengetahui tetapi tidak mengamalkan ilmunya tujuh kali”. Ia juga berkata: “Saya tidak takut jika ditanya pada hari kiamat, apakah yang kamu ketahui, tetapi saya takut jika ditanya, apakah yang kamu kerjakan dalam ilmumu itu?” Sehingga sebagai orang Islam, sudah menjadi kewajibkan untuk menuntut ilmu dan segera mengamalkannya. Itu akan menjadi senjata ampuh untuk melindungi diri kita dari ancaman godaan setan maupun kejahatan manusia. Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ilmu itu ruhnya Islam dan tiangnya iman. Barangsiapa yang mengajarkan ilmu, maka Allâh akan menyempurnakan pahalanya. Barangsiapa belajar satu ilmu lalu mengamalkannya, maka Allâh mengajarinya ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui sebelumnya.” (HR Abu Syaikh). Hadits yang lain mengatakan: “Pelajarilah oleh kamu sekalian berbagai macam ilmu, sekehendak hati kalian. Maka demi Allâh, kalian tidak akan mendapatkan pahala, hanya semata-mata mengumpulkan ilmu sehingga kalian berusaha untuk mengamalkannya.” (HR Abu al-Hasan dari Anas) Sehubungan dengan mengamalkan ilmu juga, ada sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwasaanya beliau berkata: “Ilmu memanggil untuk diamalkan, jika panggilannya dipenuhi niscaya ilmu itu akan tetap ada, namun jika tidak diamalkan maka dia akan hilang.” Ini sangat jelas sekali karena jika engkau selalu mengamalkan ilmumu, maka berarti engkau selalu mengingatnya setiap kali mengamalkannya.[18] Ada pepatah mengatakan Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a yang artinya, “Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”.[19] Itulah salah satu di antara do’a nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bagaimana nabi meminta penjagaan diri kepada Allâh dari ilmu yang tidak bermanfa’at (tidak mengamalkan ilmu). Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan ketika beliau dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, beliau bertemu dengan sekelompok orang memotong lidahnya dengan gunting yang terbuat dari api. Kemudian nabi bertanya: “siapa kalian? mereka pun menjawab: kami suka memerintah kebaikan, tapi kami enggan melaksanakan, dan kami melarang kejelekan, tapi malah kami melakukan.[20] Itulah gambaran hikmah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya serta celaan bagi orang yang berilmu tetapi enggan mengamalkankan ilmunya.
Ikhtitâm
6 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Berdasarkan pemaparan di atas, maka diambil kesimpulan bahwa setiap orang Islam mempunyai kewajiban untuk menuntut ilmu dan ilmu yang didapatkannya harus diamalkan dengan sungguh-sungguh. Adapun orang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkannya, maka ilmu tersebut tidak memberikan manfaat apapun kepada orang lain. Begitu juga sebaliknya orang yang beramal tanpa didasari dengan ilmu, maka amal yang dilakukannya tidaklah bernilai dan sia-sia belaka. Singkat kata, ilmu harus diikuti dengan amal demikian pula sebaliknya, amal harus didasarkan pada ilmu. Ilmu tanpa amal adalah kemandulan, sedangkan amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Secara subyektif, kita melihat bahwa sebagian besar civitas akademika UII telah mengamalkan salah satu misi UII yaitu “Berilmu Amaliah dan Beramal Ilmiah” yang berarti dengan ilmu untuk diamalkan dan dengan amal harus berdasarkan dengan ilmu. Namun di sisi yang lain sebagian juga masih belum menerapkan misi tersebut. Dapat diambil sebuah contoh bahwa banyak orang yang mengetahui kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan mempunyai pengetahuan tentang shalat, namun enggan untuk mengamalkannya entah disebabkan karena malas atau kesibukan yang lainnya. Ada juga orang yang melaksanakan shalat, tetapi tidak mempunyai pengetahuan tentang shalat seperti syarat wajib, syarat sah, dan rukun dalam shalat. Gambaran ini menunjukkan bahwa salah satu misi UII tersebut memang belum sepenuhnya dipraktekkan secara matang oleh civitas Akademika UII. Menyadari tantangan di atas, UII membutuhkan penanaman misi pembenahan keagamaan baik di dalam maupun di luar kampus, jika ingin misi tersebut dapat dilaksanakan oleh segenap civitas akademika UII. Untuk itu, unit yang menangani di bidang akademik dan keagamaan UII perlu membumikan nilai-nilai keislaman UII salah satunya “Berilmu Amaliah dan Beramal Ilmiah” karena nilai-nilai itulah yang menjadi ciri khas keislaman yang ada di UII. Marâji’ Amin, Samsul Munir. 2005. Sorga di Bawah Kaki Ibu. Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pesantren Al-‘Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. 2005. Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i Alaydrus, Habib Syarief Muhammad. 2009. Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih Ketentraman Hati dengan Hidup Penuh Berkah. Bandung: PT Mizan Pustaka Al-Syarqawi, Hasan Muhammad. 1994. Manhaj Ilmiah Islami. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press Affandi, Choer. 2007. La Tahzan InnAllâha Ma’ana: Bersama Allâh di Setiap Tempat dan Waktu. Bandung: PT Mizan Pustaka Endut, Muhamad. Johar Seman dan Mashitoh Ahmad. 2008. Pendidikan Islam. Selangor Daruh Ehsan: Penerbitan Pelangi Martias
Oyonk,
Pentingnya
Ilmu
dlam
Beramal
dalam
7 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
http://www.oocities.org/martias_oyonk/D.html yang diakses pada tanggal 13 April 2012 Masjid Al-Amanah. Pentingnya Menuntut http://www.masjidalamanah.com/2011/04/pentingnya-menuntut-ilmu/ tanggal 18 April 2012
Ilmu dalam yang diakses pada
Nada, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi al-Sayyid. 2007. Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’ân dan alSunnah. Jakarta: Pustaka Imâm al-Syâfi’i Sanusi, Anwar. 2007. Pohon Rindang: Upaya Menggapai Makna Hidup Sejati. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press Tharsyah, Adana. 2006. 16 Jalan Kebahagiaan Sejati: Menggapai Keseimbangan dan Kebermaknaan Kehidupan Pribadi, Keluarga dan Sosial. Cet. 1. Jakarta: Penerbit Hikmah Pondok Pesantren El-Hasani. Al-Amal dalam http://elhasani.com/ahdaf/amal yang diakses pada tanggal 18 April 2012 Riyadh, Sa’ad. 2007. Jiwa dalam Bimbingan Rasûlullâh. Cet.1. Jakarta: Gema Insani Press
* Penulis adalah Alumni Pondok pesantren UII dan saat ini sebagai Staf di Badan Perencana UII
[1] Hasan Muhammad Asy Syarqawi, 1994, Manhaj Ilmiah Islami, Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 21-22
[2] Anwar Sanusi, 2007, Pohon Rindang: Upaya Menggapai Makna Hidup Sejati. Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 31
[3] Habib Syarief Muhammad Alaydrus, 2009, Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih Ketentraman
8 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Hati dengan Hidup Penuh Berkah, Bandung: PT Mizan Pustaka, hlm. 349
[4] Muhamad Endut, Johar Seman dan Mashitoh Ahmad, 2008, Pendidikan Islam, Selangor Daruh Ehsan: Penerbitan Pelangi, hlm. 126
[5] Sa’ad Riyadh, 2007, Jiwa dalam Bimbingan Rasûlullâh, Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 216
[6] Hasan Muhammad Asy Syarqawi, 1994, Manhaj Ilmiah Islami, Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, hlm.22-23
[7] Choer Affandi, 2007, La Tahzan InnAllâha Ma’ana: Bersama Allâh di Setiap Tempat dan Waktu, Bandung: PT Mizan Pustaka, hlm. 182
[8] Adana Tharsyah, 2006, 16 Jalan Kebahagiaan Sejati: Menggapai Keseimbangan dan Kebermaknaan Kehidupan Pribadi, Keluarga dan Sosial, Cetakan 1, Jakarta: Penerbit Hikmah, Hlm. 46-47
[9] Samsul Munir Amin, 2005, Sorga di Bawah Kaki Ibu, Cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, hlm. 111-113
9 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[10] Masjid Al Amanah, Pentingnya Menuntut Ilmu dalam http://www.masjidalamanah.com/2011/04/pentingnya-menuntut-ilmu/ yang diakses pada tanggal 18 April 2012
[11] Ibid
[13] Martias Oyonk, Pentingnya Ilmu dlam Beramal dalam http://www.oocities.org/martias_oyonk/D.html yang diakses pada tanggal 13 April 2012
[14] Martias Oyonk, Pentingnya Ilmu dlam Beramal dalam http://www.oocities.org/martias_oyonk/D.html yang diakses pada tanggal 13 April 2012
[15] HR. At Tirmidzi (2417) dan dishahihkannya, ad-Darimi (I/131), Abu Ya’la (II/303), al-Khatib dalam Iqtidhaa-ul ‘Ilmi al-‘Amal (no.1), dan lainnya dari Abu Hurairah RA. Disebutkan juga dari Ibnu Mas’ud dan Mu’adz. Silahkan lihat kitab Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (946)
[16] ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as Sayyid Nada, 2007, Ensiklopedi Adab Islam Menurut al Quran dan as Sunnah, Jakarta: Pustaka Imam Asy Syafi’i, hlm. 191-192
10 / 11
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[17] Anwar Sanusi, 2007, Pohon Rindang: Upaya Menggapai Makna Hidup Sejati. Cetakan 1, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 31
[18] Syaikh Muhammad bin Shlmih al-‘Utsaimin, 2005, Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hlm. 27-28
[19] HR. Muslim : 1295, At-Tirmidzi dan An Nasai (8/263) dari hadits Zaid bin Arqom
[20] Pondok Pesantren El-Hasani, Al-Amal dalam http://elhasani.com/ahdaf/amal yang diakses pada tanggal 18 April 2012.
11 / 11 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)