“Apabila kamu bersyukur, niscaya akan Kami tambahkan nikmat dari Kami; dan apabila kamu kufur, maka sesungguhnya ‘adzab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim, 14:7)
Beramal dengan Landasan Syukur
itu dia berkata, “Setiap perilaku Rasulullah saw. berkesan bagiku.” Aisyah melanjutkan, “Pada suatu saat Rasulullah saw. datang kepadaku dan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Aisyah, apakah engkau memberikan izin kepadaku untuk bnu Athara. dan‘Ubaid bin Umair ra. suatu ketika mendatangi rumah ‘Aisyah ra. Ketika itu, menyembah Tuhan-ku?” Saya menjawab, “Demi Allah, aku sangat menghargai keinginan engkau dan menyukai Rasulullah saw. telah wafat. kedekatan dengan engkau. Aku mengizinkan!” ‘Ubaid bin Umair ra. lalu bertanya, “BeritahuSetelah itu Rasulullah saw. bangkit lalu berwudhu kanlah kepada kami kisah Rasulullah saw. yang paldan berdiri untuk melakukan shalat. Beliau mulai ing mengesankan bagimu?” Mendengar pertanyaan itu, melakukan shalat sehingga air mata beliau bercucuran ‘Aisyah menjadi tampak se- membasahi dada. Setelah shalat, sambil bersandar (berbaring) ke dih dan menangis. Setelah
I
1
sebelah kanan, sedemikian rupa beliau duduk (berbaring) sehingga tangan kanan beliau berada di bawah pipi sebelah kanan. Kemudian beliau menangis lagi sehingga air matanya berjatuhan ke lantai. Pada waktu shalat Subuh, Bilal datang ke rumah. Melihat keadaan Rasulullah saw. sedemikian rupa, Bilal pun bertanya, “Ya Rasulullah saw., mengapa Anda menangis, sedangkan Allah telah memaafkan semua kesalahan Anda, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak menangis, sebab Rabbku telah menurunkan ayat ini kepadaku.” Lalu Nabi saw. membacakan surah Ali ‘Imrân ayat 191-192. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi [seraya berkata], ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (HR Ibnu Hibban, No. 620, dalam AshShahihah Al-Albani, No. 68) *** Kisah mengharukan ini mengajarkan bahwa motivasi terbaik dalam beribadah adalah rasa syukur. Dengan landasan syukurlah, orang akan berbahagia dalam mengabdi pada Allah. Seberat apapun perintah, dia akan berusaha melaksanakannya dengan senang. Adapun syukur, dia erat kaitannya dengan nikmat. Maka, untuk menumbuhkan rasa syukur, kita harus mampu membangun kesadaran akan besarnya nikmat yang telah Allah karuniakan. Tanpa hal ini, kita tidak akan bisa optimal mengabdi kepada-Nya. Nikmat atau ni’mah itu sendiri asal katanya adalah “kelebihan” atau “pertambahan”. Jika pada awalnya kita tidak memiliki sesuatu, kemudian kita memperoleh sesuatu; maka kondisi memperoleh sesuatu itu adalah pertambahan atau kelebihan. Dari sini, kita bisa melihat bahwa segala yang kita miliki adalah nikmat dari Allah yang harus kita syukuri. Harta benda, anak istri, saudara, teman, kedudukan, kesehatan, dan apapun yang kita miliki, hakikatnya adalah nikmat dari Allah. Bukankah ketika lahir kita tidak memiliki apa pun? Bahkan, hadirnya kita di dunia ini termasuk pula nikmat. (QS Al-Insân, 76:1) Maka, yang namanya nikmat dari Allah itu teramat banyaknya, sehingga tidak mungkin manusia bisa
menghitungnya. “… jika kamu menghitung nikmat Allah, maka tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ibrahim, 14:34) Di antara limpahan nikmat tersebut, ada satu nikmat yang hanya Allah berikan kepada hamba terpilih saja, yaitu nikmah hidayah. “Siapa yang diberi petunjuk (hidayah) oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang rugi.” (QS Al-A’râf, 7:178) *** Hakikatnya, syukur lahir dari rasa cinta kepada Allah (mahabatullâh). Makin tinggi rasa cinta pada Allah, makin besar pula rasa syukur yang dilahirkan. Rasulullah saw. adalah pribadi yang amat mencintai Allah. Maka, tidak heran apabila beliau menjadi hamba yang paling bersyukur kepada Allah. Inilah tingkat tertinggi dari bakti seorang hamba kepada Tuhannya. Sebenarnya, ada dua hal lain yang memotivasi seseorang beribadah, yaitu karena takut dan karena ingin mendapat pahala. Imam Al-Ghazali menyebut orang yang beribadah karena rasa takut sebagai “kategori budak”. Seperti halnya budak, dia akan mengerjakan sebuah pekerjaan sebaik mungkin, walau sebenarnya dia tidak suka dengan pekerjaan tersebut. Dia beramal karena rasa takut mendapatkan siksa Tuhannya. Orang yang beribadah hanya karena mengharap pahala, oleh Imam Al-Ghazali disebut “katagori pedagang”. Seperti pedagang yang menjual barang apa saja, fokus mereka hanya keuntungan belaka. Amal mereka bukan berdasar pada pilihan hatinya, akan tetapi karena dia suka dengan keuntungan yang telah dijanjikan. Tidak salah pula orang beribadah karena mengharap pahala, karena Allah Ta’ala sendiri sudah menjanjikan. Namun, terlalu perhitungan dengan pahala bisa menyebabkan seseorang memilah-milah pahala. Dia hanya akan memilih amal yang dianggap benar-benar menguntungkan. Andaipun melakukannya, dia tidak bersemangat dan kehilangan ke-istiqamahannya. Padahal, tidak ada amal yang kecil di sisi Allah. Yang kecil adalah amal yang tidak ikhlas. Tidak ada pilihan terbaik bagi kita selain beramal dengan landasan syukur. Artinya, kita beribadah adalah sebagai tanda terima kasih kita atas segala rahmat dan karunia Allah. Bukan sekadar takut atau hanya mengharapkan pahala yang banyak, walau hal itu pun tetap diperbolehkan. Allâhu a’lam. (Abie Tsuraya/TasQ) ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
2
Ensikopedi Islam
Mengenal Wakaf
W
akaf termasuk istilah yang sangat familiar bagi kita. Kita seringkali mendengar istilah wakaf disandingkan dengan kata-kata lain sehingga membentuk sebuah frasa. Ada wakaf bangunan, wakaf tanah, wakaf mobil, wakaf pesantren, dan lainnya. Lalu, apa sebenarnya “wakaf” itu, bagaimana hukumnya, seperti apa ketentuannya, dan apa saja yang terkait dengannya? Mari kita lihat. Apa Itu Wakaf?
Wakaf atau waqaf secara bahasa, berasal dari bahasa Arab, al-waqf yang bermakna “menahan”. (Mu’jam AlWasith, 2/1051). Imam As-Sarkhasi mengartikan wakaf menurut bahasa sebagaimana hal tersebut, lalu berdalil dengan salah satu firman Allah Ta’ala, “Waqifûhum innahum mas-ûlûn. Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (QS Ash-Shaffat, 37:24). (Al-Mabsuth, 12/39). Maksud pengambilan ayat ini karena ada kalimat waqafa, artinya menahan. Adapun menurut istilah, wakaf berarti “menahan benda yang pokok dan menggunakan hasil atau manfaatnya untuk kepentingan dinul Islam”. (AlMughni, 8/184; Fiqhus Sunnah, 3/377; Subulus Salam, 3/87). Atau, menurut istilah yang lain, yaitu menahan barang yang dimiliki, tidak untuk dimiliki barangnya, akan tetapi untuk dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan orang lain. (Al-Mabsuth, 12/39) Dalil Disyariatkannya Wakaf Wakaf termasuk ibadah terkait harta benda yang telah disyariatkan sejak Rasulullah saw. masih hidup. Apa yang beliau lakukan kemudian diikuti oleh para sahabat dan generasi setelahnya. Ibnu Umar berkata bahwa (ayahnya, yaitu) Umar bin Khathab ra. telah memperoleh bagian tanah di Khaibar. Dia kemudian datang kepada Nabi saw. seraya berkata, “Aku telah mendapatkan bagian tanah. Aku tidak memperoleh harta selain ini. (Inilah) yang aku nilai paling berharga bagiku. Maka bagaimana engkau, wahai Nabi? Apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan sebidang tanah ini?” Rasulullah saw. menjawab,”Jika engkau menghendaki, engkau wakafkan tanah itu (engkau tahan tanahnya) dan engkau sedekahkan hasilnya,” lalu Umar menyedekahkan hasilnya. Susunan Redaksi
Sesungguhnya, tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwaris, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk kepentingan di jalan Allah, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil. Orang yang mengurusinya, tidak mengapa apabila dia makan sebagian hasilnya menurut yang ma’ruf, atau memberi makan temannya tanpa ingin menimbunnya. (HR Al-Bukhari, No. 2565 dan Muslim, No. 3085) Imam An-Nawawi berkata bahwa hadis ini menunjukkan asal disyariatkannya wakaf. Hal ini menjadi pendapat jumhur ulama, serta menunjukkan kesepakatan kaum muslimin bahwa mewakafkan masjid dan sumber mata air adalah sah. (Syarah Shahih Muslim, 11/86) Dalam hadis lain, Anas bin Malik ra. berkata, “Ketika Rasulullah saw. datang di Madinah, beliau menyuruh agar membangun masjid. Lalu beliau berkata, ‘Wahai, Bani Najjar! Juallah kebunmu ini kepadaku!’ Lalu Bani Najjar berkata, ”Tidak kujual. Demi Allah, tidaklah kami jual tanah ini, kecuali untuk Allah.” (HR Al-Bukhari) Berdasarkan hadis ini, jelaslah bahwa Bani Najjar mewakafkan tanah kepada Nabi saw. untuk dibangun masjid di atasnya. (Bersambung) *** Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M.
Penanggung Jawab: H. Dudung Abdulghani. Dewan Redaksi: Teh Ninih Muthmainnah, H. Dudung Abdulghani, Dr. Tauhid Nur Azhar, Yudi Firdaus. Pemimpin Redaksi: Emsoe Abdurrahman. Redaktur/ Reporter: Inayati Ashriyah, Abie Tsuraya. Layouter/Desainer: Mang Ule. Publikasi/Dokumentasi: Fajar Fakih, Yana Saputra. Sekretaris: Nita Yuliawati. Keuangan: Astri Febriyanty. Marketing/Sirkulasi: Dadi Suryadi. email:
[email protected].
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
3
Asmaul Husna
AL-HÂDI’ Allah Yang Maha Memberi Petunjuk
S
alah satu nama Allah Ta’ala adalah Al-Hâdi’ atau Allah Yang Maha Memberi Petunjuk. Al-Hâdi’ terdiri dari huruf ha, dal, ya. Kata yang terangkai dari huruf-huruf ini memiliki makna “tampil ke depan memberi petunjuk”. Tongkat disebut hâdi karena tongkat biasanya lebih depan daripada kaki. Arti kedua adalah “menyampaikan dengan lemah lembut”. Dari sini lahirlah kata “hadiah”. Bukankah yang namanya hadiah disampaikan dengan lemah lembut? Pengantin wanita disebut juga al-hâdiyu’ karena dia menjadi hadiah yang lembut bagi suaminya. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan Allah sebagai Al-Hâdi; Allah Yang Maha Memberi Petunjuk bermakna bahwa Allah bisa memberi petunjuk dengan sangat lemah lembut sehingga tidak dirasakan oleh orang yang mendapatkan petunjuk tersebut. *** Pada kenyataannya, petunjuk (hidayah) Allah memiliki beberapa jenis dan bertingkat kedudukannya. Hidayah tingkat pertama disebut insting atau naluri. Contohnya bayi, dia akan langsung menangis saat pertama kali lahir ke dunia. Dia mampu menangis bukan karena belajar, akan tetapi karena insting membuatnya refleks menangis untuk mendapatkan air susu yang dibutuhkan. Namun, naluri tidak dirancang untuk memecahkan persoalan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberi hidayah tingkat kedua, yaitu pancaindra. Inilah hidayah yang membuat kita bisa melihat, mendengar, merasa, dan
mendapatkan banyak informasi. Pancaindra membuat kita mampu mengambil sikap dengan baik. Sayangnya, indra ini tidak selamanya benar dan akurat. Dia seringkali tertipu. Lihatlah kayu yang lurus, dia akan terlihat bengkok saat sebagiannya dimasukkan ke dalam air. Artinya, indra tidak selalu mampu memberi informasi yang paling benar. Di atas pancaindra, ada hidayah tingkat ketiga yaitu akal. Dengan akal kita bisa menganalisis, melihat dengan cermat, dan mengambil keputusan dengan lebih tepat. Namun demikian, akal sering menyesatkan. Maka, untuk membimbing akal, Allah Ta’ala menghadirkan hidayah jenis keempat, yaitu hidayah agama. Hidayah inilah yang menjadikan akal memuliakan dan menuntun manusia ke jalan yang benar. Yang pintar banyak, akan tetapi yang pintar sekaligus benar tidak begitu banyak. Hidayah agama pun bertingkat-tingkat bentuknya. Dari mulai hidayah berupa pengetahuan tentang Islam, lalu hidayah berupa kemampuan untuk mengamalkan Islam, dan hidayah yang menjadikan hati kita selalu terpaut kepada Allah ketika beramal (keikhlasan). Inilah hidayah yang paling tinggi dan paling mahal harganya. Kita sering menyebutnya sebagai hidayah taufik. Hidayah itu sendiri adalah hak prerogatif Allah. Tidak seorang pun yang memiliki hak memberi hidayah kepada orang lain, tanpa seizin Allah, termasuk para rasul sekalipun. Tugas mereka adalah menyampaikan risalah. Adapun manusia mau menerima atau tidak, itu ada dalam kuasa Allah Al-Hâdi’. ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
4
Mutiara Kisah
Nasihat Fudhail bin ‘Iyadh
S
uatu kali Fudhail bin Iyadh rahimahullâh bertemu dengan seseorang lelaki. Beliau kemudian bertanya padanya, “Berapa umurmu wahai saudaraku?” “Enam puluh tahun,” jawabnya. “Kalau begitu sejak enam puluh tahun yang lalu dirimu sudah berjalan menuju Allah dan perjalananmu hampir saja tiba.” Inna lillaahi wa inna Ilaihi raaji’uun,” ujar lelaki itu. “Apakah engkau tahu maknanya?” tanya Fudhail. “Ya, aku tahu. Diriku adalah hamba Allah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali.” Fudhail lalu menasihatinya, “Saudaraku, siapa yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah dan hanya kepada-Nya dia kembali, hendaknya dia pun menyadari bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah dan akan ditanya (oleh-Nya). Dan siapa yang
menyadari bahwa dirinya akan ditanya, hendaknya dia mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan tersebut.” Laki-laki itu kemudian menangis, kemudian bertanya kepada Fudhail, “Lalu, apa yang harus aku perbuat?” “Mudah,” jawab Fudhail. “Apa? Semoga Allah merahmatimu,” tanya lakilaki itu lagi. “Berbuatbaiklah di sisa umurmu, niscaya Allah akan mengampuni apa yang telah lalu dan yang masih tersisa dari umurmu. Namun, apabila engkau berbuat keburukan pada apa yang masih tersisa (dari umurmu) niscaya engkau akan dihukum atas apa-apa yang telah lalu dan yang masih tersisa darimu.” (Abu Nu’aim, dalam Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab) ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
5
Kutipan Buku
Salah Satu Doa Teragung dalam Al-Quran
Rabbanaa zhalamnaa annfusanaa wa illam taghfir-lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minalkhaasiriin. (QS Al-A’raaf, 7:23) “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” • Inilah salah satu doa teragung dalam Al-Quran. Doa ini diucapkan oleh Nabi Adam as. dan Spesifikasi Buku: Judul Buku Penulis Ukuran Harga *
: Doa Menjemput Ridha Allah/ Edisi Revisi : Teh Ninih Muthmainnah/ Tim Tasdiqiya : 104x148 cm / 370 Hlm. : Rp 55.000
Pemesanan Hubungi: Tlp/WA : 0838.2090.5097 PIN BB : 24D267E8 – 5E9C13E8
istrinya sebagai bentuk pertobatan kepada Allah Ta’ala. • Redaksi doa ini menunjukkan bahwa sekecil apa pun dosa akan berakibat pada hadirnya balasan atau hukuman, kecuali kalau Allah Ta’ala mengampuni. Maka, siapa pun yang tidak mendapatkan ampunan dan rahmat Allah, niscaya dia akan menjadi orang yang rugi. (Tafsir Mazhari, 4:283) • Siapapun yang terjatuh ke dalam dosa dan maksiat, kemudian mengakui kesalahan, meminta ampunan, menyesalinya dan berhenti melakukan dosa, niscaya Allah Ta’ala akan memilihnya dan memberinya petunjuk sebagaimana Adam. Sebaliknya, siapa yang ketika terjatuh ke dalam dosa, kemudian berputus asa dan semakin bertambah dosanya, niscaya dia serupa dengan Iblis; dia semakin jauh dari Allah. (Tafsir Hidayatul Insan, 2:7) ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
6
INFO TEBAR WAKAF Pada Rabu, 28 September 2016, Tim TasQ melakukan aktivitas Tebar Wakaf Al-Quran di daerah Kalapasi, Tasikmalaya. Kegiatan ini dilaksanakan di Masjid Jami’ Al-Mushlih, DKM Kalapasi. Tim TasQ, yang diwakili oleh Ustaz Afifuddin, menyerahkan 250 mushaf yang diterima langsung oleh Ketua DKM Masjid Al-Mushlih, H. Daud Kohara.
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
7
e-NEWSLETTER TASDIQUL QUR’AN | EDISI 90 | Oktober 2016 | MINGGu ke-1
8