PENELITIAN P ERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL , 22 NO. 2 2003
Azolla pada Minapadi dan Pengaruhnya terhadap Produktivitas dan Emisi Gas Metan di Lahan Sawah Irigasi 1
2
J. Johari Sasa , Soetjipto Partohardjono , dan A.M. Fagi
2
1 2
Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian, Jakenan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
ABSTRACT. Effect of Azolla Dosage by Rice-Fish Farming Systems on Productivity and Methane Gas Emission on Irrigated Lowland Rice. Experiment was conducted at the Sukamandi Experimentation Farm from May 16 to August 15, 2002. The experiment consisted of six treatments and three replications, arranged in a randomized block design. The objectives of the research are to find: (a) optimum dosage for azolla which can decrease methane gas emission and increase productivity, (b) N, P and K content before and after research, and (c) farm income from rice-fish-azolla farming systems. The result of the research showed that the optimum dosage for azolla by rice-fish farming systems, which can decrease methane gas emission and increase productivity of rice and fish come from rice-fish-2 t/ha azolla. C and N-organic content before research was lesser than after research, but P2O 5 and K2O content before research was higher than after research for each treatment. The benefits from the rice-fish-4 t/ha azolla treatment is higher (Rp5.985.000) than the other rice-fish-4 t/ha azolla and rice-fish-2 t/ha azolla treatment (Rp5.830.500 and Rp5.794.000/ha/season respectively). Key word: Azolla, rice-cum-fish, productivity, CH4 emission. ABSTRAK. Pengaruh takaran azolla pada sistem usahatani minapadi terhadap produktivitas dan emisi gas metan di lahan sawah irigasi diteliti di Kebun Percobaan Balitpa Sukamandi, Jawa Barat, sejak 26 Mei sampai 15 Agustus 2002. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan enam perlakuan yang diulang tiga kali. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan: (a) takaran optimum azolla yang dapat menekan emisi gas metan dan meningkatkan produktivitas, (b) kandungan unsur N, P dan K sebelum dan sesudah penelitian dan (c) nilai tambah yang diperoleh dari sistem minapadiazolla. Hasil penelitian menunjukkan bahwa takaran optimum azolla pada sistem minapadi yang dapat menekan emisi gas metan, meningkatkan hasil ikan dan padi berasal dari perlakuan minapadi + 2 t/ha azolla. Kandungan C dan N-organik sebelum penelitian lebih kecil dibanding setelah penelitian, sebaliknya P2O 5 dan K2O tanah sebelum penelitian lebih tinggi dibanding setelah penelitian. Keuntungan tertinggi dicapai oleh perlakuan minapadi + 4 t/ha azolla, disusul oleh minapadi + 3 t/ha azolla, dan minapadi + 2 t/ha azolla masing-masing sebesar Rp5.985.000, Rp5.830.500 dan Rp5.794.000/ha/musim. Kata kunci: Azolla, minapadi, produktivitas, emisi gas CH4 .
M
inapadi merupakan salah satu subsistem usahatani padi-ikan di lahan sawah irigasi. Ikan disebar 5-7 hari setelah tanam padi dan dipanen umur 50-60 hari. Sistem usahatani ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, bergantung kepada ketersediaan air irigasi, curah hujan, ketersediaan benih ikan, pasar, dan status sosial ekonomi masyarakat. Minapadi telah dipraktekkan oleh petani di Indonesia terutama di Jawa Barat sejak satu abad yang lalu (Ardiwinata 1987). Praktek minapadi oleh petani
86
umumnya bersifat tradisional, sehingga masih terbuka peluang untuk memperbaiki teknologinya. Perbaikan teknologi bertujuan untuk meningkatkan produksi padi dan ikan, produktivitas lahan, pendapatan, kesejahteraan petani dan menekan emisi gas metan. Sistem minapadi dapat menekan biaya penyiangan, karena genangan air dan ikan mampu mengendalikan gulma secara biologis (Liu 1974). Dengan adanya ikan pada pertanaman padi maka pertumbuhan gulma dapat ditekan sampai 30% (Satari 1962, Ruddle 1980). Lebih jauh Satari (1962) menerangkan bahwa keberadaan ikan di sawah dapat memperkaya tanah akan zat hara N dan P, aerasi permukaan tanah menjadi lebih baik akibat aktivitas ikan secara terus menerus untuk memperoleh pakan di lumpur. Rata-rata hasil ikan di tingkat petani masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh padat penebaran ikan masih rendah (kurang dari 1000 ekor/ha), rendahnya kualitas dan mahalnya benih ikan, dan ikan tidak diberi pakan (pellet) karena harganya mahal. Salah satu upaya untuk memperoleh pakan yang murah adalah memanfaatkan azolla dalam sistem minapadi. Menurut Lales et al. (1989), azolla dapat mensubstitusi pakan ikan sekitar 30%. Selain itu, azolla yang ditanam bersama padi dan ikan dapat menutupi permukaan air sehingga dapat menghambat pertumbuhan gulma (Liu 1987). Minapadi-azolla yang memadukan ikan, padi, dan azolla dalam suatu hamparan dapat meningkatkan kesuburan tanah, mampu mengendalikan gulma dan hama padi (Satari 1962, Fagi et al. 1992). Azolla adalah jenis tumbuhan paku air yang serbaguna, menambat nitrogen dan urea dengan bantuan Anabaena azollae, sehingga dapat berperan sebagai pupuk organik atau sumber pupuk nitrogen. Selain itu azolla banyak mengandung kalium. Azolla segar mengandung hara N yang lebih tinggi daripada azolla kering (Suria permana dan Syamsiah 1995). Azolla termasuk sumber gas metan, yang lepas ke atmosfer melalui degradasi anaerobik bahan organik (biogenik) dan nonbiogenik (Cicerone and Oremland 1988). Proses dekomposisi bahan organik (termasuk azolla) secara anaerobik menghasilkan N2, H2, CH4, C 2H 6 dan propana. Bahan organik yang dirombak
SASA ET AL.: A ZOLLA, MINAPADI DAN EMISI G AS METAN
dengan cepat dalam kondisi reduktif meningkatkan emisi CH4 (Wihardjaka et al. 1999). Bersama-sama gas metan (CH4), N2O yang juga termasuk gas rumah kaca dapat mengakibatkan pemanasan suhu global. Gas N2O merupakan salah satu gas di atmosfer yang aktif memancarkan panas (radioaktif), konsentrasi 310 ppb dengan peningkatan sekitar 0,25% per tahun. Di antara sumber-sumber biogenik yang dikenal, ekosistem dengan keadaan anaerobik merupakan sumber penting penghasil gas N2O, di antaranya lahan sawah. Walaupun demikian gas N2O dapat terbentuk pada kondisi aerobik dan anaerobik (Rennenberg et al. 1992). Sistem minapadi-azolla dapat meningkatkan kadar O2 di dalam air sawah, kondisi oksidasi dan reduksi pada tanah menjadi lebih baik, gas CH4 berkurang 20-30%. Selain itu, kandungan unsur P meningkat sebesar 40%, bahan organik meningkat dari 3,05% menjadi 4,25% dibanding nonminapadi-azolla (Chu and Boqi 1995). Untuk mengurangi emisi gas CH4 dari lahan sawah diperlukan komponen teknologi minapadi-azolla yang dapat mengurangi emisi gas tersebut tanpa mengurangi hasil padi dan ikan serta menguntungkan bagi petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh takaran azolla terhadap: (1) hasil ikan dan padi, (2) emisi gas metan dan (3) keuntungan usahatani minapadi + azolla.
± 25-30 g/ekor (panjang 10 cm) ditebar 5 hari setelah tanam padi dengan populasi 2000 ekor/ha. Ikan dipanen 1 minggu sebelum panen padi. Pupuk urea tablet, TSP dan KCl masing-masing diaplikasikan sebanyak 60 kg N, 35 kg P2O5 dan 15 kg K2O/ha. Pupuk urea tablet diberikan seluruhnya pada umur 7-10 HST dengan cara dibenamkan 5-10 cm ke tanah. Pupuk TSP dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar. Pengairan tanaman dilakukan selang 5 hari dengan mempertahankan kedalaman air setinggi 15 cm. Parameter yang diamati adalah emisi gas CH4 dan O2 terlarut, bobot kering jerami saat panen, komponen hasil (jumlah gabah/malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 butir), hasil padi, persentase ikan mati, hasil ikan, bobot azolla, dan iklim. Tanah percobaan dianalisis sebelum dan sesudah penelitian. Selain itu juga dilakukan analisis ekonomi usahatani. Contoh gas diambil 1 minggu sekali pada pagi hari mulai jam 06.00. Keluaran contoh gas ditampung dalam kotak pleksiglas ukuran 50 x 50 x 110 cm. Pengambilan contoh gas menggunakan jarum suntik ukuran 5 ml dengan interval waktu 5’, 10’, 15’, dan 20’, kemudian konsentrasi gas metan dianalisis dengan menggunao kan gas kromatografi pada suhu injektor 100 C dan o suhu kolom 85 C. Emisi gas CH4 dihitung dengan rumus (Khalil et al. 1991): Emisi gas CH4 (mg/m2/jam) = p
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang sebanyak 30 kg/ha, benih ikan Mas (Cyprinus carpio) dengan bobot 25-30 g/ekor, panjang 10 cm, pupuk urea tablet, TSP dan KCl, Furadan 2G (20 kg/ha), dan azolla 30 kg/unit. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2002 di Instalasi Balitpa di Subang, Jawa Barat, menggunakan lima takaran azolla dan satu kontrol. Percobaan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Jenis tanah percobaan adalah Aeric Vertic Epiaqualfs. Perlakuan: (1) padi, tanpa ikan, tanpa azolla, (2) minapadi + 0 t/ha azolla, (3) minapadi + 1 t/ha azolla, (4) minapadi + 2 t/ha azolla, (5) minapadi + 3 t/ha azolla, dan (6) minapadi + 4 t/ha azolla. Jenis azolla yang digunakan adalah Azolla microphylla No. 4074 yang diintroduksi dari IRRI. Inokulum azolla ditanam 2 hari setelah tanam padi. Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Pada petak minapadi yang berukuran 10 m x 10 m dibuat caren palang dengan lebar 40 cm dan dalam 20 cm. Ikan Mas ukuran
dC V
BM
dt
Vm
A
T st
(Tst+T) di mana: p V BM A dC/dt Vm Tst T
= kepadatan udara (molekul/m3) = volume kotak (m3) = berat molekul gas (g/mol) = Luas dasar kotak (m2) = laju emisi (ppbv/menit) = volume molekul (mol/l) = 273 oC = suhu rata-rata selama pengukuran (oC)
Pengukuran O2 terlarut dalam air menggunakan alat ukur digital Dissolved Oxygen Measurement (DOM) Made Sample, tipe HI.93732N buatan Hanna Instrument USA. Caranya dengan mencelupkan bagian ujung alat tersebut ke dalam air pada kedalaman 5-10 cm. Setelah 1-2 menit, monitor akan memberikan informasi besarnya O2 terlarut dalam air (ppm). Dari tiap petak diambil lima titik pengukuran secara diagonal. Pengukuran dilakukan dua kali setiap 5 hari sampai menjelang panen ikan. Pengukuran pertama dilakukan pada air irigasi sebelum dialirkan ke tiap petakan dan
87
PENELITIAN P ERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL , 22 NO. 2 2003
setelah air irigasi berada dalam petakan. Pengukuran kedua dilakukan setelah 5 hari kemudian di tiap petakan pukul 08.00, 12.00, dan 16.00, kemudian data yang dihasilkan dirata-rata. Sampel tanah diambil sebanyak 1 kg di tiap petakan pada kedalaman 20 cm. Pengambilan sampel ditiap petakan dilakukan di lima titik secara diagonal, kemudian disatukan. Sampel tanah dimasukkan kedalam kantong plastik dan diberi label (lokasi, tanggal, perlakuan dan ulangan). Pengambilan sampel dilakukan pada saat sebelum dan setelah selesai percobaan. Semua sampel tanah dibawa ke laboratorium tanah Puslitbangtanak Bogor untuk dianalisis. Pengambilan sampel azolla menggunakan alat yang terbuat dari papan Albizzia palcata dengan ukuran 0,1 x 1 x 1 m. Sampel diambil di tiap petak yang dilaku- kan di lima titik secara diagonal di tiga secara diagonal, kemudian azolla ditiriskan dan selanjutnya ditimbang. Setelah diketahui bobotnya, azolla disebar kembali di permukaan air sesuai perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan dengan interval 1 minggu sampai menjelang panen padi.
lakuan No.2 (minapadi), hanya 145 kg/ha. Ikan pada perlakuan No. 4 lebih gesit daripada perlakuan No. 2 dan No. 3. Rendahnya hasil ikan pada perlakuan No. 2 dan No. 3 disebabkan karena ikan kekurangan pakan. Azolla sebanyak 1 t/ha sebagai pakan tidak cukup untuk populasi 2000 ekor ikan/ha. Pakan ikan pada perlakuan No. 2 diharapkan berasal dari air irigasi yang banyak mengandung bahan organik, ganggang, dan lumut. Penambahan bobot badan ikan pada setiap perlakuan merupakan bobot ikan pada waktu panen dikurangi bobot pada awal tanam. Makin tinggi takaran azolla, makin tinggi penambahan bobot badan ikan. Penambahan bobot badan ikan pada perlakuan No. 2, No. 3, No. 4, No. 5 dan No. 6 masing-masing adalah 107, 114, 125, 127 dan 128 kg/ha/musim. Selain sebagai pakan ikan, azolla dapat menambat N dari udara melalui bakteri Anabaena azollae, sehingga berperan penting sebagai sumber protein. Azolla juga banyak mengandung unsur P dan K (Suriapermana dan Syamsiah 1995). Hasil dan Komponen Hasil Padi
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Komponen Hasil Ikan Bobot awal benih ikan Mas tidak berbeda nyata (Tabel 1). Analisis statistik menunjukkan bahwa azolla mempengaruhi hasil ikan. Makin tinggi takaran azolla, makin tinggi hasil ikan. Hasil ikan tertinggi berasal dari perlakuan No.6 (minapadi + 4 t/ha azolla) yakni 166 kg/ha, disusul oleh perlakuan No.5 (minapadi + 3 t/ha azolla) dan perlakuan No.4 (minapadi + 2 t/ha azolla) masing-masing 165 kg dan 163 kg/ha. Walaupun demikian, hasil ikan antara perlakuan No.6, No.5, dan No.4 tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa takaran optimum azolla adalah 2 t/ha untuk 2000 ekor ikan/ha/musim. Hasil ikan terendah terdapat pada per-
Bobot jerami dan hasil gabah tertera pada Tabel 2. Analisis statistik menunjukkan bahwa azolla berpengaruh terhadap bobot jerami kering konstan (JKK) dan hasil gabah. Bobot JKK tertinggi berasal dari perlakuan No.6 yaitu 4,70 t/ha, disusul oleh perlakuan No.5 dan No.4 masing-masing 4,66 dan 4,37 t/ha. Bobot JKK terendah berasal dari perlakuan No. 1 dan No. 2 masingmasing 3,80 dan 3,93 t/ha. Perlakuan No. 1 dan No. 2 tidak menggunakan azolla, sehingga gulma lebih berkembang dan terjadi persaingan dengan tanaman padi dalam pengambilan unsur hara, yang berakibat pada rendahnya bobot JKK. Takaran azolla mempengaruhi hasil padi. Makin tinggi takaran azolla, makin tinggi hasil gabah. Hasil tertinggi diraih oleh perlakuan No. 6, disusul perlakuan No. 5 dan No. 4 masing-masing 5,96; 5,89 dan 5,55 t/ha.
Tabel 1. Penambahan bobot badan ikan Mas sejak 26 Mei sampai 15 Agustus 2002 pada percobaan minapadi-azolla di Sukamandi 2002. Awal tanam No.
Jumlah (ekor/ha) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Padi Minapadi Minapadi + 1 t/ha azolla Minapadi + 2 t/ha azolla Minapadi + 3 t/ha azolla Minapadi + 4 t/ha azolla
2000 2000 2000 2000 2000
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
88
Waktu panen
Perlakuan Bobot (kg/ha) 38,0 a 37,8 a 38,1 a 38,3 a 37,9 a
Jumlah (ekor/ha) 1850 a 1830 a 1830 a 1800 a 1800 a
Bobot (kg/ha) 145 b 152 ab 163 a 165 a 166 a
SASA ET AL.: A ZOLLA, MINAPADI DAN EMISI G AS METAN
Hasil padi pada perlakuan No. 1 hanya 5,21 t/ha. Tinggi hasil padi pada perlakuan No. 4, No. 5, dan No. 6 disebabkan oleh adanya ikan yang dapat menambah ketersedian unsur hara bagi tanaman. Kotoran ikan mengandung unsur N, P, K, Ca, dan Mg (Satari 1962). Data komponen hasil padi disajikan pada Tabel 3. Analisis statistik menunjukkan bahwa takaran azolla mempengaruhi jumlah malai, jumlah gabah per malai,
dan gabah hampa. Makin tinggi takaran azolla makin banyak jumlah malai, jumlah gabah per malai, dan persentase gabah hampa lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan karena azolla adalah jenis tumbuhan yang dapat memfiksasi N dengan bantuan bakteri azollae. Selain itu azolla banyak mengandung hara K. Bahan organik yang berasal dari azolla yang terdekomposisi dapat menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman padi (Satari 1962).
Tabel 2. Bobot jerami kering konstan dan hasil gabah kering giling pada percobaan minapadi. Sukamandi, 2002. Bobot jerami kering konstan (t/ha)
No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Padi Minapadi Minapadi + 1 t/ha azolla Minapadi + 2 t/ha azolla Minapadi + 3 t/ha azolla Minapadi + 4 t/ha azolla
Bobot Azolla
Hasil padi (t GKG/ha)
3,80 b 3,93 b 4,14 ab 4,37 a 4,66 a 4,70 a
Rata-rata bobot azolla tiap minggu dari setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4. Pada saat berumur 28 hari, bobot azolla pada perlakuan No. 3 dan No. 4 mencapai puncaknya masing-masing 10,1 t dan 12,4 t/ha dan kemudian menurun hingga titik nol pada umur 49 dan 56 hari. Menurunnya bobot azolla berkaitan dengan umur ikan. Menurut Hickling (1971) nafsu makan ikan Mas akan meningkat saat berumur 1 bulan.
5,21 a 5,29 a 5,38 a 5,55 a 5,89 a 5,96 a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
Tabel 3. Komponen hasil padi pada percobaan minapadi-azolla. Sukamandi, 2002. Tinggi tanaman (cm)
No.
Perlakuan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Padi Minapadi Minapadi + 1 t/ha azolla Minapadi + 2 t/ha azolla Minapadi + 3 t/ha azolla Minapadi + 4 t/ha azolla
108,7 a 110,0 a 108,9 a 108,3 a 108,7 a 107,8 a
Jumlah malai per m2 (tangkai)
Jumlah gabah Gabah per malai (butir)
185 a 196 ab 198 ab 209 ab 220 a 222 a
106 c 114 b 114 b 120 a 122 a 130 a
Gabah hampa per malai (%)
Bobot 1000 butir gabah isi (g)
8,2 b 7,5 b 7,7 b 6,5 a 6,0 a 5,5 a
25,9 a 25,6 a 25,7 a 26,0 a 25,8 a 26,1 a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
Tabel 4. Rata-rata bobot azolla dari tiap perlakuan pada percobaan minapadi-azolla.Sukamandi 2002. Umur (hari)
Bobot azolla pada perlakuan (t/ha)
Padi
Ikan
Azolla
Padi
Minapadi
23 30 37 44 51 58 65 72 79 86 93 100 107 115
12 19 26 33 40 47 54 61 68 75 82 89 96 -
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 -
-
-
Minapadi + 1 t/ha azolla 1 2,6 4,1 6,2 10,1 7,2 3,0 0 0 0 0 0 0 0
Minapadi + 2 t/ha azolla
Minapadi + 3 t/ha azolla
Minapadi + 4 t/ha azolla
2 3,5 6,6 10,7 12,4 9,3 5,3 1,0 0 0 0 0 0 0
3 4,8 8,6 12,8 17,0 20,5 24,1 17,6 10,1 3,1 0 0 0 0
4 6,8 11,0 16,6 21,0 24,1 28,0 22,2 15,4 7,1 1,0 0 0 0
89
PENELITIAN P ERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL , 22 NO. 2 2003
Makin berumur ikan makin banyak azolla dikonsumsi. Azolla yang dihasilkan tampaknya tidak sebanding dengan yang konsumsi ikan. Pada fase vegetatifreproduktif (umur tanaman padi 72-79 hari), azolla pada perlakuan No. 3 dan No. 4 habis dimakan ikan, sedangkan pada perlakuan No. 5 dan No. 6 azolla masih menumpuk menutupi permukaan air sawah. Bobot azolla pada perlakuan No. 5 dan No. 6 mencapai puncaknya pada umur 42 hari, masing-masing 24,1 dan 28,0 t/ha. Setelah itu bobot azolla mulai menurun dan mencapai titik nol pada umur 70-77 hari. Pada fase reproduktif-pematangan, daun dan malai padi secara bertahap menutupi permukaan air sawah sehingga hampir tidak ada fotosintesis yang pada gilirannya azolla mati membusuk (Anwar et al. 1984). Dalam model minapadi-azolla tidak dihasilkan produk azolla segar. Sebaliknya pada model minapadi dengan cara tanam jajar legowo dua baris dan memasukkan azolla, selain padi dan ikan juga dihasilkan azolla 23,626,8 t/ha (Syamsiah, Suriapermana, dan Fagi 1995).
Sebelum penelitian dilaksanakan tanah bersifat masam sampai sangat masam. Setelah penelitian dilaksanakan pH tanah makin rendah pada setiap perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi air yang jenuh, sedangkan sebelum penelitian kondisi air macak-macak. Kandungan C dan N-organik setelah penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penelitian. Hal ini diduga karena terjadi dekomposisi azolla dan suplai unsur C dan N-organik dari kotoran ikan. Rasio C/N terendah berasal dari perlakuan No.3 (minapadi + 1 t/ha azolla) dan perlakuan No.4 (minapadi + 2 t/ha azolla) masing-masing 8,5 dan 8,5, sedangkan C/N tertinggi berasal dari perlakuan No.5 (minapadi + 3 t/ha azolla) dan perlakuan No.6 (minapadi + 4 t/ha azolla), masing-masing sebesar 10,1 dan 10,1. Ini berarti bahwa C-organik pada perlakuan No.5 dan No.6 lebih tinggi daripada perlakuan No. 3 dan No. 4. Kandungan P2O 5 dan K 2O tanah sebelum penelitian lebih tinggi dibanding setelah penelitian. Hal ini diduga karena kedua unsur tersebut terserap dan terangkut oleh jerami (Yoshida 1981).
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tanah percobaan di Balitpa Sukamandi dapat diklasifikasikan ke dalam jenis Aeric Vertic Epiaqualfs (Fagi et al. 1992) dengan status unsur P, K, Ca dan bahan organik termasuk rendah (Tabel 5).
Oksigen Terlarut dan Emisi Gas Metan Fase Vegetatif-Reproduktif Perbandingan rata-rata O2 terlarut pada hari pertama dan kelima penggenangan pada fase vegetatif-
Tabel 5. Sifat fisik dan kimia tanah Aeric Vertic Epiaqualfs pada lokasi percobaan sebelum dan sesudah penelitian. Sukamandi, 2002. Sesudah penelitian pada perlakuan Sifat fisik dan kimia tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH-H2O pH-KCl C-org (%) N (%) C/N P-HCl (mg/100 g) K-HCl (mg/100 g) P-Bray I (ppm) K-Morgan (ppm) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) K (me/100 g) Na (me/100 g) KTK KB (%) AL3+ (me/100 g) H+ (me/100 g)
Sebelum penelitian 8 43 49 4,7 3,8 1,27 0,14 9,0 46 10 9,5 89,9 7,11 2,05 0,19 0,37 14,14 69 0,81 0,67
Padi 7 44 49 4,4 3,7 1,32 0,15 8,8 41 5 8,8 42,6 6,42 1,78 0,09 0,46 14,04 62 1,32 0,48
Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Puslitbangtanak Bogor.
90
Minapadi 7 42 49 4,5 3,7 1,30 0,15 8,7 42 6 9,6 47,3 7,03 1,94 0,10 0,42 14,59 65 1,13 0,46
Minapadi + 1 t/ha azolla 7 42 51 4,3 3,6 1,36 0,16 8,5 36 5 9,0 42,9 6,09 1,72 0,09 0,28 13,91 59 2,05 0,59
Minapadi + 2 t/ha azolla 9 45 46 4,6 3,7 1,36 0,16 8,5 36 5 9,3 42,3 6,35 1,79 0,09 0,26 13,04 65 1,39 0,65
Minapadi + 3 t/ha azolla 9 43 48 4,5 3,7 1,71 0,17 10,1 39 5 9,1 42,5 6,54 1,91 0,09 0,32 14,13 63 1,13 0,66
Minapadi + 4 t/ha azolla 7 43 50 4,1 3,5 1,72 0,17 10,1 39 5 9,5 42,4 6,67 1,83 0,09 0,35 15,55 5,7 2,19 0,86
SASA ET AL.: A ZOLLA, MINAPADI DAN EMISI G AS METAN
reproduktif tertera pada Gambar 1. Pada pengairan stagnan di mana air tergenang selama 5 hari sekali, terlihat O2 terlarut pada hari pertama sebesar 7,9 ppm untuk setiap perlakuan. Pada hari kelima rata-rata O2 terlarut berbeda. Oksigen terlarut pada perlakuan No. 1, No. 2, No. 3, No. 4, No. 5 dan No. 6 masing-masing 7,4; 7,2; 7,5; 7,8; 6,8 dan 6,4 ppm. Pada hari pertama O2 terlarut sama yaitu 7,9 ppm untuk setiap petakan. Air irigasi yang dialirkan ke setiap petakan mengandung O2 terlarut sebesar 8,1 ppm. Air tersebut bercampur dengan air sawah pada setiap perlakuan yang kelarutan O2-nya lebih rendah, di mana suhunya lebih tinggi dan air tergenang diam. Di samping itu, organisme detritus organik (yang memakai O2) lebih banyak di air tergenang dibanding air bergerak (Anwar et al. 1984), sehingga O 2 terlarut pada air tergenang menjadi berkurang. Selama fase vegetatif-reproduktif, daun padi belum menutupi permukaan air sawah, sehingga organisme termasuk azolla tumbuh subur dipermukaan air sawah karena terkena sinar matahari dan menyebabkan permukaan air mendapat O2 yang cukup. Di samping itu, tanaman padi mampu memanfaatkan tanah yang tergenang, karena akarnya memperoleh O2 dari udara melalui aerenkhima dan rongga udara dalam tanaman (Ismunadji dan Roechan 1988). Perlakuan yang ada azolla akan lebih tinggi kandungan O2-nya dibanding tanpa azolla. Makin besar takaran azolla, O2 terlarut akan lebih besar sampai pada batas tertentu seperti yang diperlihatkan pada perlakuan No. 3 sampai No. 6. Oksigen terlarut pada perlakuan No. 1 lebih besar dari No. 2. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan No. 2 ada ikan. Dalam kehidupannya, ikan membutuhkan O2 untuk bernapas sehingga O2 terlarut pada per-
O2 terlarut pd hari pertama tergenang untuk setiap perlakuan O2 terlarut pd hari kelima tergenang untuk setiap perlakuan
9 8
lakuan No. 2 menjadi berkurang dan akan lebih kecil dibanding pada perlakuan No. 1 (Anwar et al. 1984). Oksigen terlarut pada perlakuan No. 3, No. 4, No. 5 dan No. 6 masing-masing adalah 7,5; 7,8; 6,8 dan 6,4 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa O2 terlarut tertinggi berasal dari perlakuan No. 4 yakni 7,8 ppm. Ini berarti bahwa dengan takaran 2 t/ha azolla beserta organisme lainnya yang berada di permukaan maupun dalam air yang masih menerima sinar matahari dapat berfotosintesis secara maksimal, sehingga O2 terlarut lebih besar dibandingkan dengan perlakuan No. 3. Walaupun takaran azolla pada perlakuan No. 5 dan No. 6 lebih tinggi dari perlakuan No. 3 dan No. 4, tetapi O2 terlarut dalam air ternyata lebih kecil. Pertumbuhan azolla pada kedua perlakuan tersebut telah berkembang menutup permukaan air. Pada perlakuan No. 6, pertumbuhan azolla bahkan menumpuk pada awal reproduksi tanaman padi, sehingga sebagian azolla yang tertindih tidak dapat berfotosintesis dan kemudian mati. Karena air di bawahnya tidak tembus cahaya matahari, maka organisme yang berfotosintesis termasuk rumput tertentu mati dan membusuk ke- mudian masuk ke dasar sawah secara terus-menerus dan kemudian bakter-bakteri pembusuk mengurainya. Bakteri-bakteri tersebut dapat dengan cepat me- ngurangi O2 terlarut. Karena permukaan air sawah tidak tembus cahaya matahari, laju fotosintesis yang menghasilkan O2 dikurangi O2 yang digunakan oleh organisme detritus organik menyebabkan O2 terlarut akan lebih sedikit pada perlakuan No. 5 dan No. 6 dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Anwar et al. 1984). Oksigen terlarut berperan penting dalam proses metabolik pada semua organisme air. Untuk pernapasan ikan dan bakteri pengurai bahan organik di waktu malam juga dapat mengurangi O2 terlarut. Dapat disimpulkan bahwa O2 terlarut pada perlakuan No. 4 lebih besar daripada perlakuan lainnya.
7
Fase Reproduktif-Pematangan
6 5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
1 (padi), 2. (minapadi), 3. (minapadi + 1 t/ha azolla), 4. (minapadi + 2 t/ha azolla), 5. (minapadi + 3 t/ha azolla) dan 6. (minapadi + 4 t/ha azolla). Gambar 1. Perbandingan rata-rata O2 terlarut pada hari pertama dan hari kelima tergenang pada fase vegetatif-reproduktif tanaman padi. Sukamandi, 2002.
Perbandingan O2 terlarut pada hari pertama dan kelima penggenangan pada fase reproduktif-pematangan tanaman padi tertera pada Gambar 2. Pada hari per- tama penggenangan, O2 terlarut 7,6 ppm untuk setiap perlakuan. Pada hari kelima, rata-rata O2 terlarut pada perlakuan No. 1, No. 2, No. 3, No. 4, No. 5 dan No. 6 masing-masing 6,2; 6,0; 6,0; 6,0; 4,2 dan 3,0 ppm. Pada fase reproduktif-pematangan, daun dan malai padi secara bertahap mulai menutupi permukaan air sawah sehingga hampir tidak ada fotosintesis sehingga hampir tidak ada produksi O2. Kekurangan O2 ini men- jadi lebih parah karena 91
PENELITIAN P ERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL , 22 NO. 2 2003
aktivitas pengurai terus me- nerus berlangsung. Hal ini disebabkan karena azolla, pada perlakuan No. 5 dan No. 6 serta organisme lainnya mengalami proses dekomposisi, kemudian bakteri- bakteri pengurai dapat dengan cepat mengurangi O2 terlarut (Anwar et al. 1984). Pada fase ini, azolla pada perlakuan No. 3 dan No. 4 telah habis dimakan ikan, sementara pada perlakuan No. 6 masih ada dan lebih banyak dibanding perlakuan No. 5 (Tabel 4). Azolla pada perlakuan No. 5 dan No. 6 belum habis dimakan ikan, sehingga secara bertahap mati yang pada gilirannya bakteri pembusuk mengurainya. Bakteri-bakteri tersebut dapat dengan cepat mengurangi O2 terlarut. Kondisi ini diperparah oleh pengg u n a a n O2 untuk pernapasan ikan dan bakteri pengurai pada malam hari, sehingga O2 terlarut pada perlakuan No. 5 dan No. 6 menjadi lebih kecil dibanding per- lakuan lainnya. Secara keseluruhan, O2 terlarut menurun tajam pada setiap perlakuan, terutama perlakuan No. 5 dan No. 6 dibanding dengan O 2 terlarut pada fase vegetatifreproduktif. Emisi Gas Metan Emisi gas metan pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 3. Emisi gas metan dari perlakuan No. 1, No. 2, No. 3, No. 4, No. 5 dan No. 6 masing-masing adalah 66,5; 57,3; 56,6; 45,0; 126,5 dan 152,2 kg/ha/ musim. Emisi gas metan terendah terjadi pada perlakuan No. 4 (minapadi + 2 t/ha azolla). Hal ini diduga karena azolla dengan takaran 2 t/ha habis dimakan ikan, sehingga pada fase generatif-pematangan tanaman, terjadi penurunan proses dekomposisi bahan organik.
Bobot ikan pada perlakuan ini lebih tinggi (Tabel 1), sirip ekor, dada, dan punggung lebih lebar dibanding sirip ikan pada perlakuan No. 2 dan No. 3. Pada waktu ikan memakan azolla di permukaan air, seluruh sirip terutama sirip ekor mengibas-ngibas yang menyebabkan pergerakan air dan terjadi difusi dan turbulensi O2 dari udara menjadi O2 terlarut yang lebih besar dibanding pada perlakuan No. 2 dan No. 3 (Anwar et al. 1984). Ikan yang bergerak di dasar sawah cenderung mengorek tanah yang pada gilirannya memperkaya tanah akan hara N, P, dan aerasi permukaan tanah menjadi lebih baik (Satari 1962), sehingga kondisi tanah dan air menjadi oksidatif. Selain itu, akar tanaman padi memperoleh O 2 dari udara melalui jaringan aerinkhima dan rongga udara dalam tanaman (Ismunadji dan Roechan 1988), sehingga kondisi tanah di daerah perakaran padi menjadi oksidatif pula Akibatnya, aktivitas bakteri metan menjadi terganggu, dan emisi gas metan berkurang. Pada perlakuan No. 5 (minapadi + 3 t/ha azolla) dan No. 6 (minapadi + 4 t/ha azolla) emisi gas metan yang dihasilkan masing-masing adalah 126,5 dan 152,2 kg/ha. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pertumbuhan azolla pada kedua perlakuan ini berkembang menutupi permukaan air dan bahkan pada perlakuan No. 6 terjadi penumpukan azolla pada awal fase reproduktif, sehingga sebagian azolla tidak dapat berfotosintesis dan kemudian mati dan membusuk. Bakteri-bakteri pembusuk dapat dengan cepat mengurangi O2 terlarut sehingga kondisi lingkungannya menjadi reduktif. Selain itu, C-organik pada perlakuan No. 5 dan No. 6 lebih tinggi daripada perlakuan No. 3 dan No. 4 (Tabel 5). Kondisi C-organik tinggi dan reduktif ini, me- nyebabkan aktivitas bakteri metana meningkat dan emisi gas metan menjadi tinggi. Lebih jauh Wihardjaka
8 O2 terlarut pd hari pertama tergenang untuk setiap perlakuan O2 terlarut pd hari kelima tergenang untuk setiap perlakuan
5 4 3
120 80 40
2 1
0 1
0
2
3
4
5
6
Perlakuan 1
2
3
Perlakuan
4
5
6
1 (padi), 2. (minapadi), 3. (minapadi + 1 t/ha azolla), 4. (minapadi + 2 t/ha azolla), 5. (minapadi + 3 t/ha azolla) dan 6. (minapadi + 4 t/ha azolla). Gambar 2. Perbandingan rata-rata O2 terlarut pada hari pertama tergenang pada fase reproduktif-pematangan tanaman padi. Sukamandi, 2002.
92
160
6 Emisi gas metana (kg/ha/musim)
Oksigen terlarut (ppm)
7
1 (padi), 2. (minapadi), 3. (minapadi + 1 t/ha azolla), 4. (minapadi + 2 t/ha azolla), 5. (minapadi + 3 t/ha azolla) dan 6. (minapadi + 4 t/ha azolla). Gambar 3. Emisi gas metan dari berbagai takaran azolla pada minapadi. Sukamandi, 2002.
SASA ET AL.: A ZOLLA, MINAPADI DAN EMISI G AS METAN
et al. (1999) menyatakan bahwa bahan organik azolla yang dirombak dengan cepat dalam kondisi reduktif meningkatkan emisi gas metan.
10000
Pendapatn Kotor (x Rp.1.000/ha/musim)
Padi Ikan
8000 6000 4000 2000 0 1
2
3
4
5
6
Perlakuan
1 (padi), 2. (minapadi), 3. (minapadi + 1 t/ha azolla), 4. (minapadi + 2 t/ha azolla), 5. (minapadi + 3 t/ha azolla) dan 6. (minapadi + 4 t/ha azolla).
Gambar 4. Perbandingan pendapatan antara perlakuan. Sukamandi, Juni 2002.
Analisis Ekonomi Analisis ekonomi usahatani minapadi dengan dan tanpa azolla tertera pada Gambar 4 dan Tabel 6. Secara statistik, azolla mempengaruhi biaya bahan, pendapatan, dan keuntungan. Biaya bahan tertinggi berasal dari perlakuan No. 6 yaitu Rp1.980.000. Makin besar takaran azolla, makin tinggi biaya bahan dan makin besar pendapatan. Besarnya biaya bahan disebabkan oleh pembelian bibit ikan dan azolla. Apabila biaya bibit ikan dan azolla bisa ditekan, misalnya melalui pembibitan ikan dan azolla yang dibuat sendiri oleh petani atau kelompok tani minapadi, maka keuntungan dari usaha- tani minapadi-azolla dapat diraih secara maksimal. Keuntungan tertinggi dicapai oleh perlakuan No. 5 (minapadi + 3 t/ha azolla) yakni Rp5.985.000/ha/ musim, disusul oleh perlakuan No. 6, No. 2, No. 4 dan No. 3 masing-masing Rp5.830.500, Rp5.824.500, Rp5.794.000 dan Rp5.743.000/ha/musim. Keuntungan terkecil berasal dari perlakuan No. 1 (kontrol) yang hanya Rp5.194.500/ha/musim.
Tabel 6. Analisis ekonomi percobaan minapadi. Sukamandi, 2002. No
Perlakuan
Biaya bahan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Padi Minapadi Minapadi + 1 t/ha azolla Minapadi + 2 t/ha azolla Minapadi + 3 t/ha azolla Minapadi + 4 t/ha azolla
410.5 c 980.5 bc 1.230.5 b 1.480.0 ab 1.730.0 a 1.980.0 a
Biaya tenaga kerja
Pendapatan kotor
Keuntungan
(x Rp1.000/ha/musim) 907.5 6.512.5 c 907.5 7.772.5 b 967.5 7.941.0 b 967.5 8.241.5 a 967.5 8.682.5 a 967.5 8.778.0 a
5.194.5 b 5.824.5 a 5.743.0 a 5.794.0 a 5.985.0 a 5.830.5 a
Angka-angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
Tabel 7. Data iklim selama penelitian di Balitpa, Sukamandi, 2002. Bulan Unsur iklim April
Mei
Juni
Juli
Agustus
27,9 31,9 24,3 81,9 6,2 1,5
27,8 32,0 24,0 80,7 2,5 1,4
27,4 31,9 23,2 78,7 4,4 1,3
26,0 30,4 21,7 76,4 4,8 1,4
17,7 20,6 13,7 47,6 3,8 1,1
30,4 30,5 30,5
29,5 32,3 29,3
12,3 12,1 12,1
28,1 27,5 28,7
20,3 19,4 19,4
10 59
25 6
22 4
88 6
0 0
o
Temperatur udara ( C) - Rata-rata - Maksimum - Minimum Kelembaban (RH) (%) Evaporasi (mm/hari) Kecepatan angin (m/detik) Temperatur tanah pada kedalaman (oC) - 0 cm - 10 cm - 50 cm Curah hujan - Jumlah air hujan (mm/bl) - Hari hujan (hari/bl)
93
PENELITIAN P ERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL , 22 NO. 2 2003
Iklim Data iklim di lokasi penelitian tertera pada Tabel 7. Temperatur maksimum dan minimum pada bulan April masing-masing mencapai 31,9 dan 24,3oC sedangkan pada bulan Agustus masing-masing 20,6 dan 13,7 oC. Menurut Yoshida (1981), suhu udara optimum pada berbagai stadia tumbuh padi berkisar antara 20-33oC. Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara di Sukamandi selama penelitian berlangsung tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif maupun reproduktif tanaman padi. Kelembaban udara, evaporasi dan kecepatan angin tertinggi jatuh pada bulan April masing-masing 81,9%, 6,2 mm/hari, dan 1,5 m/detik, sedangkan terendah pada bulan Agustus masing-masing 47,6%; 3,8 mm/hari, dan 1,1 m/detik. Menurut Tanaka (1976) kisaran kelembaban nisbi optimum untuk tanaman padi adalah 50-90%. Di Indonesia yang beriklim tropis basah, embut kelembaban nisbi tidak merupakan kendala dalam usahatani padi, khususnya di Sukamandi. Kecepatan angin selama penelitian cukup rendah, sehingga evaporasi berkisar antara 3,8-6,2 mm/hari (rendah-sedang). Menurut De Datta (1981), kecepatan angin yang tinggi dapat mengganggu proses penyerbukan karena merusak endosperm akibat pergeseran. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan April disusul bulan Juli, masing-masing 105 mm dan 88 mm/bulan, sedangkan selama bulan Agustus tidak ada hujan. Hal ini membantu dalam panen dan pasca panen, terutama dalam pengeringan gabah, sehingga hasil padi dapat dicapai secara maksimal, baik kualitas maupun kuantitas.
KESIMPULAN 1. Azolla mempengaruhi hasil ikan, jerami kering konstan, dan hasil padi. Makin tinggi takaran azolla, makin tinggi hasil ikan, jerami kering konstan, dan hasil padi. 2. Emisi gas metan terendah terjadi pada perlakuan minapadi + 2 t/ha azolla yaitu 45,0 kg/ha, sedangkan tertinggi pada perlakuan minapadi + 4 t/ha azolla disusul oleh minapadi + 3 t/ha azolla masing-masing 152,2 dan 126,5 kg/ha. Besar kecilnya emisi gas metan pada minapadi berkaitan erat dengan takaran azolla, O2 terlarut dalam air, dan C/N rasio. 3. Takaran azolla mempengaruhi biaya bahan, pendapatan, dan keuntungan. Makin besar takaran
94
azolla, makin tinggi biaya bahan dan pendapatan. Apabila biaya bibit ikan dan azolla bisa ditekan melalui pembibitan sendiri atau kelompok, maka keuntungan dari usahatani mina padi-azolla dapat diraih secara maksimal.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. Omy Syahromi atas jerih payahnya dalam pelaksanaan penelitian di lapang dan Sdr. Titi Sopiawati yang melaksanakan analisis emisi gas metan dan menyelesaikan pengetikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, A., S.J. Damanik, dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem Sumatera. Gajah Mada University Press. pp. 653. Ardiwinata, R.D. 1987. Rice fish culture on paddy fields in Indonesia. In: Proceedings of Indo Facific Fish Coun. 7 (II-III).p.11-154. Cicerone, R.J. and R.S. Oremland. 1988. Biogeochemical aspect of atmospheric methane. Global Biogeochem. Cycles 2:299-327. Chu, L.C. and W. Boqi. 1995. How farmers accept the achievements of techniques developed through agricultural science: the case of large-scale demonstration of rice-azolla-fish system. Progress and problem in extention of integrated plant nutrition system (IPNS) at farm level in Asia. Report of the expert consulattion of the Asian Network on bio and organic fertilizers. In: F.J. Dent, and S. Gongwani (eds). FAO, Reginal office for Asia and the Pasific. F.A.O. p.63-70. De Datta, S.K. 1981. Principles and practices of rice production. John Willey & Sons, New York. 618 p. Fagi, A.M., S. Suriapermana dan I. Syamsiah. 1992. Rice-fish farming research in lowland area: The West Java case. In: C.R. Dela Cruz, C. Lihtfoot, B.A. Costa Pierce, V.R. Carangal and M.P. Bimbo (eds). Rice-fish research and development in Asia. ICLARM conf. Proc.p.273-286. Hickling, C.P. 1971. Fish culture. Faber and faber. London. 253 p. Ismunadji, M. dan S. Roechan. 1988. Hara mineral tanaman padi. Padi. Buku I. Dalam: Ismunadji, M., S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjono (eds). Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p.231-269. Khalil, M.A.K., R.A. Rasmussen, M.X. Wang, and L. Rem. 1991. Methane emission from rice field in China. Environ, Sci. Technol. (25):979-981. Lales, J.S., M.A. Lapitan, and R.S. Marte. 1989. Azolla-rice-fish culture. In: Azolla: Its culture, management and utilization in the Philippines. National Azolla Action Program. Liu, C. 1987. Rice-azolla-fish cropping systems. A paper presented at the Int. Rice Res Conf. IRRI, 21-25 September 1985. Ruddle, K. 1980. A preliminary survey of fish cultivation in rice fields with special reference to West Java, Indonesia. Bull of National Museum of Etnology, Vol. 5, No. 3. Rennenberg, H., R. Wassmann, H. Papen, and W. Seiler. 1992. Trace gas exchange in rice cultivation. Ecological Bulletins. 42:164. Satari, G. 1962. Budi daya padi sawah dengan ikan. Penelitian tentang beberapa aspek agronomi. Disertasi untuk memperoleh gelar doktor ilmu pertanian pada Fakultas Pertanian Bogor, Universitas Indonesia. Syamsiah, I., S. Suriapermana, and A.M. Fagi. 1988. Research on rice fish cultive: Past experienses and future research programs.
SASA ET AL.: A ZOLLA, MINAPADI DAN EMISI G AS METAN Paper presented at The Workshop on Rice-Fish Farming Research and Dev.; Ubon, Thailand, 21-25 March 1988. Suriapermana, S. dan I. Syamsiah. 1995. Tanam jajar legowo pada sistem usahatani minapadi-azolla di lahan sawah irigasi. Risalah Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani dan Sosial Ekonomi. Dalam: Z. Zaini et al (eds). Bogor 4-5 Oktober 1994. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. p.74-83. Tanaka, I. 1976. Climate influence on photosynthesis and photorespiration of rice. In: Climate and rice. IRRI, Los Banos, Philippine. p. 223-248.
Wihardjaka, A., P. Setyanto dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh penggunaan bahan organik terhadapa hasil padi dan emisi gas metan pada lahan sawah. Menuju sistem produksi padi berwawasan lingkungan. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Bogor, 24 April 1999. Puslitbang Tanaman Pangan. Yoshida, S. 1981. Fundamental of rice crop science. IRRI, Los Banos, Philippines. 269 p.
95