32
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai dengan bulan Juni 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun, biji, kulit Faloak (Sterculia comosa Wallich) yang diperoleh dari pohon Faloak yang tumbuh di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahan kimia untuk ekstraksi, fitokimia, fraksinasi, kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis antara lain: aseton, n-hexane, benzen, dietil eter, etil asetat, metanol, etanol, air suling, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi Liebermann-Burchard, FeCl3 dan natrium hidroklorida, lempeng silika gel GF254, silika gel 60 F254 dan glass wool. Bahan untuk analisis antimikroba antara lain media agar (Muller Hinton Agar, Brain Heart Infusion, Tryptic Soy Agar), NaCl 1%, klorampenikol, dan ketokonazole. Mikroba yang digunakan terdiri dari bakteri S. aureus, S. agalactiae, B. cereus, E. coli, S. typhi, dan cendawan C. albicans yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Terpadu
Bagian Mikrobiologi Medik
Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Alat yang digunakan untuk preparasi sampel antara lain oven, hammer mill, saringan ukuran 40 dan 60 mesh, eksikator, dan pinggan porselin. Alat yang digunakan untuk
ekstraksi dan fraksinasi antara lain bejana maserasi, kertas
saring, alat-alat gelas, neraca analitik, lemari pendingin, rotary evaporator Buchi. Alat untuk uji antimikroba antara lain cork borer, mycrobiological safety cabinet, lemari pendingin, cawan petri, pipet Pasteur, timbangan analitik, inkubator 370C, jarum ose, lampu spiritus, sentrifus, Vortex Pengaduk, pipet mikro, tabung evendorf, tabung reaksi, coloumn cromatography (CC) berdiameter 24 mm,. Untuk identifikasi senyawa aktif digunakan spektrofotometri Fourier Transform
33
Infrared (FT-IR), Liquid Chromatography Mass Spectrophotometer (LC-MS) dan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Metode Penelitian Metode penelitian meliputi beberapa kegiatan, yakni; persiapan bahan baku, penetapan kadar air, ekstraksi dan fraksinasi secara bertingkat, pengujian awal aktifitas antimikroba, uji fitokimia, fraksinasi dan isolasi, penentuan kadar terkecil penghambatan (minimum inhibition concentration, MIC) dan kadar membunuh cendawan minimum (minimum fungicide concentration, MFC), dan identifikasi senyawa aktif (Gambar 2). Sampel Faloak (Serbuk 40-60 mesh) Aseton Ampas Ekstrak Aseton n-Heksan Residu
Ekstrak n-Heksan
Dietil Eter Residu
Ekstrak Dietil Eter
Etil Asetat Ekstrak Etil Asetat
Residu
1). Rendemen, 2). Uji antimikroba, 3). Uji Fitokimia Fraksi Aktif
- KLT - Kromatografi Kolom
Uji MIC Sub Fraksi Aktif Senyawa antimikroba
Gambar 2. Diagram alir penelitian.
- FT-IR - LC-MS dan - NMR
34
Persiapan Bahan Baku Sebagai Simplisia Bahan baku penelitian diperoleh dari kulit, biji, dan daun pohon faloak yang tumbuh di Kota Kupang dan sekitarnya. Pohon faloak (Sterculia comosa Wallich) yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon yang telah menghasilkan minimal tiga kali berbuah atau berdiameter minimal 30 cm. Dengan mengacu pada baku ini, diharapkan zat ekstraktif yang terkandung dalam kulit pohon, daun, serta biji telah terbentuk sempurna. Kulit pohon, daun, serta biji yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Kulit pohon, daun, dan biji pohon faloak yang dikumpulkan selanjutnya dilakukan pemilahan dengan cara memisahkan bahan baku tersebut dari kotoran lain yang melekat atau tercampur.
Khusus untuk kulit, kulit bagian luar
dipisahkan dari kulit bagian dalam untuk dibuang dengan cara dikikis, dan dibilas dengan air bersih. Agar memudahkan proses pengeringan dan penggilingan, kulit pohon yang telah dibersihkan kemudian dirajang. Kulit yang telah dirajang, daun dan biji yang telah dipilah, selanjutnya dikeringudarakan dalam suhu ruangan hingga kering. Serbuk kulit, serbuk daun, serta serbuk biji berukuran 40 – 60 mesh diperoleh dengan cara digiling dengan hammer mill. Ukuran partikel dari simplisia mempengaruhi kecepatan proses ekstraksi dan besarnya rendemen yang dihasilkan. Pengecilan ukuran partikel sampel dimaksudkan untuk memperkecil permukaan sampel sehingga semakin banyak yang terekstraksi. Serbuk sampel yang diperoleh kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50 0C hingga kadar air kurang dari 10%. Penetapan Kadar Air Penetapan kadar air dilakukan dengan cara mengeringkan cawan porselin pada suhu 102±3oC selama 30 menit, kemudian ditimbang setelah didinginkan di dalam eksikator. Serbuk kulit, daun, dan biji masing-masing sebanyak kurang lebih dua gram dimasukkan ke dalam cawan porselin kemudian dikeringkan dalam oven selama tiga jam pada suhu 102±3oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Prosedur ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar air diukur dengan cara berikut ini :
35
Kadar air (%) =
–
untuk BKU = Bobot Serbuk Kering Udara (g) BKT = Bobot Serbuk Kering Oven (g) Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi menggunakan pelarut aseton, n-hexane, dietil eter, dan etil asetat. Maserasi ini dilakukan secara bertingkat dengan pelarut awal aseton, dilanjutkan dengan fraksinasi secara berturut-turut mulai dari pelarut non polar n-hexane, dietil eter, dan etil asetat sebagai pelarut semi polar. Serbuk daun, serbuk biji, dan serbuk kulit masing-masing sebanyak ± 2000 gram direndam dalam aseton selama 48 jam dengan mengaduk sesering mungkin. Selanjutnya filtrat aseton dipisahkan dari residunya dengan cara penyaringan. Residu yang diperoleh kemudian direndam lagi dengan aseton selama 24 jam sambil diaduk sesering mungkin. Setelah 24 jam dilakukan penyaringan untuk memperoleh filtrat aseton. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang memperoleh filtrat
hingga
bening.
Filtrat diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 40oC sehingga diperoleh ekstrak pekat sebanyak ± 100 ml. Ekstrak pekat ± 100 ml tersebut difraksinasi dengan n-hexan, dengan cara dimasukkan ke dalam funnel 500 ml yang di dalamnya sudah terdapat n-hexane 70 ml. Campuran dikocok dan didiamkan sampai ada pemisahan antara
filtrat
dengan residu. Jika belum
menunjukkan pemisahan, maka n-heksan ditambahkan dengan kelipatan 70 ml sampai ada pemisahan antara ekstrak
dengan residu. Jika isi funnel belum
menunjukkan pemisahan setelah penambahan tiga sampai empat kali penambahan n-heksan 70 ml, maka ditambahkan air suling 20 ml. Hasil yang diperoleh pada tahapan ini adalah ekstrak n-hexane dengan residu. Ekstrak n-hexane diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 40oC untuk memperoleh
ekstrak
n-hexane pekat dan residu. Residu n-hexane
difraksinasi dengan dietil eter untuk memperoleh ekstrak dietil eter. Hasil dari fraksinasi dietil eter menghasilkan ekstrak dietil eter dan residu. Ekstrak
dietil
36
eter diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 40oC untuk memperoleh ekstrak
dietil eter pekat, dan residunya difraksinasi dengan etil asetat untuk
memperoleh extrak etil asetat. Hasil dari fraksinasi etil asetat menghasilkan extrak etil asetat dan residu. Ekstrak
etil asetat diuapkan dengan rotary evaporator
pada suhu ± 40oC untuk memperoleh ekstrak
etil asetat pekat, dan residunya
dipekatkan. Proses fraksinasi dietil eter dengan etil asetat dilakukan sama seperti prosedur fraksinasi n-hexan. Semua fraksi ekstrak
pekat n-hexane, dietil eter, etil asetat, dan residu
pekat hasil fraksinasi etil asetat dikeringkan dalam oven pada suhu ± 500C. Ekstrak yang dihasilkan setelah pengovenan ini
menghasilkan zat ekstraktif
kulit, daun dan biji faloak dalam bentuk padatan dari masing-masing fraksi. Zat ekstraktif yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk dilakukan uji fitokimia dan uji antibiogram. Masing-masing ekstrak ditimbang untuk mengetahui rendemennya sebagai persentase zat ekstraktif (% zat ekstraktif), dan dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia utamanya (Harborne 1987). Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antimikroba terhadap masing-masing
zat ekstraktif. Rendemen
masing-masing fraksi zat ekstraktif dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Ekstraktif (%) =
x 100 %
untuk BKE = Berat kering tanur zat ekstraktif (g) BKS = Berat kering tanur serbuk sampel (g) Uji Fitokimia Analisis fitokimia dilakukan untuk mendeteksi adanya senyawa utama dengan mengikuti metode Harborne (1987). Senyawa-senyawa utama dimaksud adalah alkaloid, flavonoid, saponin, serta uji triterpenoid dan steroid. Uji Alkaloid. Sebanyak 0,3 gram
zat ekstraktif
dilarutkan dalam 10 mL
khloroform dan tiga tetes amoniak 10 % yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok sampai homogen.
Filtrat diperoleh dengan cara
disaring, filtrat tersebut diasamkan dengan asam sulfat 2M (volumenya sebanyak volume filtrat dalam tabung) kemudian dikocok dan didiamkan hingga
37
membentuk dua lapisan.
Lapisan atas (lapisan asam sulfat) diambil dan
dimasukkan ke dalam tiga tabung reaksi dan masing-masing tabung ditambahkan pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner). Adanya alkaloid ditandai dengan adanya endapan merah pada pereaksi Dragendorf, endapan berwarna putih pada pereaksi Mayer , dan endapan berwarna coklat pada pereaksi Wagner. Uji alkaloid selengkapnya seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.
0,3 gram Ekstrak + Kloroform 10 ml + Amoniak 10%
Penyaringan
Filtrat Tambahkan H2SO4 2 M Pereaksi 1. Dragendrof 2. Meyer 3. Wagner
Dikocok, diamkan hingga Membentuk 2 Lapisan
Lapisan Bawah
Lapisan Atas POSITIF, Jika = Dragendorf = MERAH Mayer = PUTIH Wagner = COKLAT
Gambar 3. Diagram alir uji fitokimia alkaloid Uji Triterpenoid dan Steroid, Saponin, Fenolik, Flavonoid (Gambar 4). Sebanyak 0,3 gram zat ekstraktif dilarutkan dengan Kloroform:Air (1 : 1) yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dikocok hingga homogen, dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan atas merupakan fraksi khloroform yang digunakan untuk uji fenolik dan uji flavonoid, sedangkan
lapisan bawah
38
merupakan fraksi air yang digunakan untuk uji triterpenoid dan steroid. Uji selengkapnya dilakukan sebagai berikut: 1. Lapisan Atas (Fraksi Kloroform) Uji Fenolik dilakukan dengan mengambil fraksi kloroform dengan pipet dan diteteskan ke dalam lempeng tetes. Kemudian ditambahkan FeCl3 1%. Ekstrak (0,3 g) + Kloroform : Air ( 1 : 1 ) Kocok, diamkan hingga terbentuk 2 lapisan Lapisan Atas
Lapisan Bawah DISARING
UJI FLAVONOID Teteskan ke Tabung reaksi
UJI FENOLIK Teteskan ke Plat Tetes
Mg (0,1 g) + HCL Pekat (1 ml), dan n-Amyl alcohol 1 ml
Tambahkan FeCl3 1%
FILTRAT UJI TRITERPENOID & STEROID = Teteskan ke Plat Tetes KERINGKAN Tambahkan Lieberman Burchard Positif: Steroid = Hijau / Biru Triterpenoid = Merah
RESIDU UJI SAPONIN Masukkan ke Beker glas Tambahkan Aquades 5 ml
POSITIF: Kuning / jingga
POSITIF: Hijau, Biru, Ungu
Panaskan sampai mendidih, Dinginkan, dimasukkan ke Tabung Reaksi
Kocok Vertikal sampai membentuk busa Diamkan selama 10 menit,
Tambahkan HCl 2 N, diamkan selama 15 menit. Positif Jika Busa Dlm Tabung Reaksi Tidak Berubah
Gambar 4. Diagram alir uji fitokimia flavonoid, fenolik, triterpenoid dan steroid, saponin. Adanya fenolik ditandai dengan adanya perubahan warna fraksi kloroform dalam lempeng tetes menjadi hijau, atau biru/ungu. Untuk uji adanya flavonoid, fraksi kloroform dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan magnesium sebanyak 0,1 gram, HCl pekat 1 mL, dan n-Amyl
39
alcohol 1 mililiter. Warna fraksi kloroform akan berubah menjadi kuning/jingga yang menunjukkan
bahwa
zat ekstraktif
tersebut
mengandung senyawa flavonoid.
2. Lapisan Bawah (Fraksi Air). Fraksi air yang diperoleh disaring untuk memisahkan filtrat dengan residu. Filtrat selanjutnya digunakan untuk menguji adanya steroid dan triterpenoid, sedangkan residu digunakan untuk menguji adanya saponin. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk menguji adanya triterpenoid dan steroid, yakni dengan memasukkan filtrat beberapa tetes ke dalam lempeng tetes, dan dibiarkan hingga filtrat dalam lempeng tetes menjadi kering. Setelah filtrat dalam lempeng tetes menjadi kering, ditambahkan beberapa tetes pereaksi Lieberman Burchard. Adanya steroid jika filtrat yang telah ditambahkan pereaksi Lieberman Burchard berubah menjadi hijau atau biru, dan adanya triterpenoid ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi merah. Pengujian adanya saponin dilakukan dengan melarutkan residu dari fraksi air dengan air suling sebanyak lima mililiter dan dimasukkan ke dalam baker glass, dipanaskan sampai mendidih, didinginkan, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup, kemudian dikocok vertikal sampai membentuk busa. Setelah terbentuk busa, didiamkan selama 10 menit, ditambahkan HCl 2 N, dan kemudian didiamkan selama 15 menit.
Adanya saponin jika busa
dalam tabung yang terbentuk tidak berubah. Uji Aktivitas Antimikroba (Antibiogram) Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur agar dan metode ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan oleh Ramesh dan Patar (2010). Isolat bakteri uji dibiakkan pada media Brain Heart Infusion (BHI) Broth, dan isolat cendawan dibiakkan pada media Sabouraud Dextrose Broth (SDB). Biakkan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Setelah masa inkubasi dicapai,
isolat dibuat suspensi di dalam tabung
sentrifus, disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 5000 rpm untuk memperoleh pellet mikroba yang mengendap di dasar tabung sentrifus. Pelet yang
40
mengendap di tabung sentrifus ditambahkan air suling sucihama (sampai setengah tabung) setelah supernatannya dibuang. Agar homogen, pellet yang telah dicampur air suling dikocok dengan pengaduk “vortex” dan disentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan 5000 rpm. Perlakuan yang sama dilakukan sampai tiga kali untuk memperoleh pellet yang benar-benar bersih (bebas dari media atau kotoran lain berupa supernatant) yang dibentuk selama proses pembiakkan. Pellet hasil sentrifugasi terakhir (ketiga) dilarutkan dalam NaCl fisiologis dengan cara memasukkannya sedikit demi sedikit sampai memperoleh kekeruhan suspensi isolat yang setara dengan Kekeruhan Standar Mc.Farland #1 (10 6 cfu/mL). Pengukuran zona hambat dilakukan dengan mengunakan media Mueller Hinton Agar untuk isolat bakteri dan media SDA untuk isolat cendawan. Sebanyak 100 µL (105 cfu/mL) suspensi isolat diteteskan ke atas media agar padat datar di dalam cawan petri. Tetesan isolat diratakan dengan menggunakan spatula sehingga isolat dapat menyebar merata di atas permukaan media.
Sumur kecil
berdiameter 6 mm dibuat di media agar padat yang telah ditetesi isolat dengan menggunakan penggerek sucihama secara triplo. Ke dalam masing-masing sumur diisi 25 µL zat ekstraktif yang telah dilarutkan dalam dimetilsulfoksida (DMSO) pada konsentrasi 200 mg/mL. Semua media agar padat yang telah diisi dengan masing-masing zat ekstraktif dan mikroba uji yang diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam untuk bakteri, dan 48 jam untuk C. albicans. Antibiotika kloramfenikol (10 mg/mL) dan anticendawan ketokonazol (10 mg/mL) digunakan sebagai kontrol positif untuk bakteri dan cendawan. DMSO digunakan sebagai kontrol negatif. Pengamatan atas kemampuan antibakteri dan anticendawan dilakukan dengan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur yang telah diisi zat ekstraktif dari faloak.
41
Fraksinasi dan Isolasi Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pemisahan senyawa yang memiliki sifat antimikroba dilakukan terlebih dahulu mencari eluen terbaik dengan menggunakan KLT. Eluen yang digunakan adalah pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu hexan, benzene, kloroform, dietil eter, etil asetat, aseton, etanol, dan methanol sebagai fase gerak, dan silica gel dalam KLT sebagai fase diam. KLT yang telah dipotong berukuran 1 cm x 10 cm, diberi garis pembatas masing-masing 1 cm dari ujung bidang panjang lempeng KLT, kemudian dipanaskan menggunakan oven selama 30 menit pada suhu 800C, sambil menyiapkan sejumlah cember dan cawan petri sesuai banyaknya pelarut sebagai eluen. Masing-masing cember diisi eluen sebanyak empat milliliter, kemudian ditutup rapat dengan cawan petri sehingga kondisi dalam cember jenuh dengan eluen. Lempeng KLT yang telah dipanasi, didiamkan sampai kondisi lempeng KLT menjadi dingin, Zat ekstraktif ditempatkan tepat pada garis batas bawah sampai ada warna yang timbul dengan menggunakan pipa kapiler. Lempeng KLT yang telah diberi tetesan zat ekstraktif didiamkan selama ± 15 menit agar zat ekstraktif yang ditotolkan terserap sempurna oleh silica gel dan menjadi kering dan selanjutnya dimasukkan ke dalam cember (lempeng KLT yang sudah berada di dalam cember tidak boleh diganggu) dan ditutup kembali dengan cawan petri. Lempeng KLT yang siap dianalisis adalah lempeng KLT yang telah dialiri eluen sampai pada garis batas atas KLT, didiamkan sampai eluen menguap kembali dan KLT menjadi kering. Analisis dilakukan dengan menggunakan sinar UV 254 nm untuk mengamati nilai Rf masing-masing lempeng KLT. Kromatografi Kolom (KK) Berdasarkan hasil KLT, eluen terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Benzen : Kloroform (4:1) dan fase diam yang digunakan adalah silica gel. Metode kromatografi kolom ini dilakukan secara gradien (Khopkar 2008) yang didahului dengan eluen penahan (klorofom). Keberhasilan dalam melakukan kromatografi kolom sangat ditentukan oleh pekerjaan pengisian kolom (Sudarmadji 1996). Dalam pekerjaan pengisian kolom, terlebih dahulu silica gel
42
sebanyak 90 gram direndam dengan kloroform selama 24 jam. Kolom yang telah disiapkan diisi dengan klorofom setinggi ± 10 cm dari dasar kolom. Kemudian dielusi dan kolom siap diisi dengan silica gel yang telah disiapkan. Ketika pengisian kolom, perlu disiapkan ruang setinggi ± 10 cm di atas silica gel untuk memberikan ruang yang cukup untuk diisi eluen. Kolom yang telah diisi silika gel, dielusi dengan kloroform sambil diketuk perlahan dengan benda yang permukaannya tidak kaku (batang spidol whiteboard), sehingga gelembung udara keluar dan isi kolom tersebar merata yang ditandai dengan tinggi silica gel dalam kolom tidak berubah (Sudarmadji 1996). Kolom yang siap untuk diisi dengan sampel, terlebih dahulu mengelusikan semua eluen sampai permukaan silica gel kemudian keran ditutup. Sampel diteteskan dengan pipet sampai membasahi permukaan kolom. Perlahan-lahan eluen ditambahkan pada kolom sampai setinggi 5 – 10 cm atau sampai penuh. Dengan demikian,
kolom siap dielusi dengan membuka keran yang
disambungkan dari kolom dengan pipa kapiler. Kecepatan aliran harus tetap, sehingga dalam penelitian ini eluat ditampung setiap lima menit dengan kecepatan satu tetes/detik. Eluen klorofom:benzene (10 : 0) akan berhenti dan diganti jika selama 3-5 tabung eluat yang tampung tidak berwarna/bening, maka gradient ditingkatkan menjadi kloroform : benzene (9 : 1). Perlakuan ini dilakukan hingga gradient akhir yaitu kloroform : benzene (0 : 10), dan dianggap selesai jika eluat yang keluar setelah menggunakan gradient akhir ini tidak berwarna lagi (bening seperti warna benzene). Eluat yang keluar dari kolom yang telah ditampung, dianalisis dengan KLT. Hasil KLT diamati dengan menggunakan sinar UV 254 nm untuk mengamati nilai Rf masing-masing KLT. Eluen yang memiliki Rf yang sama disatukan, diuapkan, dan dilanjutkan dengan uji antimikroba untuk memilih sub fraksi yang paling aktif. Eluen terbaik adalah kombinasi lempeng KLT yang memiliki spot terbanyak dengan pemisahannya mendekati sempurna, dan spot yang terbentuk pada lempeng KLT memiliki jarak antara spot tersebar hampir merata. Eluen terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah benzen : khloroform (4:1). Eluen ini dipilih berdasarkan hasil KLT eluen tunggal yang memperlihatkan eluen benzene
43
memiliki tiga spot tunggal yang terpisah secara sempurna dan memiliki jarak yang jelas antara spot satu dengan yang lainnya. Khloroform
memiliki tiga spot
tunggal, tetapi salah satu spotnya berada di garis dasar atau tidak terelusi (eluen penahan). Kombinasi benzene yang semuanya terelusi dengan khloroform yang salah satu spotnya tidak terelusi menghasilkan kombinasi eluen yang menghasilkan sembilan spot dengan pemisahannya mendekati sempurna, dan spot yang terbentuk dalam KLT memiliki jarak antar spot tersebar hampir merata sehingga kombinasi ini dipilih sebagai eluen terbaik yang digunakan dalam kromatografi kolom (KK). Penentuan Nilai Kadar Hambat Minimum (Minimum Inhibition Concentration, MIC) dan Kadar Membunuh Cendawan Minimum (Minimum Fungicide Concentration-MFC) Nilai MIC dan MFC ditentukan dengan menggunakan metode two-fold serial dilution (Olaleye dan Tolulope 2007) dengan rangkaian konsentrasi zat ekstraktif sebesar 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, dan 0,25 mg/mL dan suspensi mikroba sebanyak 100 µL (105 CFU/mL-1). Bakteri uji dibiakkan pada media Brain Heart Infusion (BHI) Broth, dan cendawan dibiakkan pada media Potato Dextrose Broth (PDB). Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam dan biakan cendawan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C (Policegoudra et al. 2010). Pembuatan suspensi bakteri dan cendawan dilakukan seperti tatacara untuk menguji aktivitas antimikroba di atas. Sebanyak tujuh tabung pengenceran diisi masing-masing dengan 0,5 mL BHI Broth untuk bakteri dan PDB untuk cendawan. Sebanyak 0,5 mL zat ekstraktif dietil eter biji dimasukkan ke dalam tabung pertama, kemudian dikocok atau diaduk dengan mixer agar media dengan zat ekstraktif tercampur merata. Sebanyak 0,5 mL suspensi dari tabung pertama diambil dan dimasukkan ke tabung kedua, dan diaduk kembali sampai merata. Perlakuan yang sama dilakukan sampai tabung ke tujuh, sehingga tersusun deret pengenceran 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, dan 0,25 mg/mL. Pada tabung ke 7 (tujuh), sebanyak 0,5 mL larutan yang telah dikocok atau diaduk dibuang untuk memperoleh volume yang sama setiap tabung yaitu
0,5 mL. Setelah semua
tabung memiliki isi yang sama, masing-masing tabung ditambahkan inokulum sebanyak 0,1 mL (106 CFU/mL). Dengan demikian, isi dalam tabung menjadi 0,6
44
mL. Setiap tabung ditambahi 0,4 mL media BHI Broth untuk bakteri dan PDB untuk cendawan untuk memperoleh isi akhir mencapai satu mililiter. Sebagai kontrol negatif, satu tabung diisi dengan satu mililiter media BHI Broth untuk bakteri dan satu mililiter media PDB untuk cendawan. Untuk kontrol positif, satu tabung berisi 0,9 mL media BHI Broth ditambahi inokulum bakteri dan satu tabung lainnya yang berisi 0,9 mL media PDB ditambahi dengan 0,1 mL inokulum cendawan. Pertumbuhan mikroba diamati dengan membandingkan tingkat kekeruhan media setelah diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam untuk bakteri, dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C untuk cendawan terhadap kekeruhan tabung kontrol positif dan kontrol negatif. Tabung yang kekeruhannya setara dengan kontrol negatif akan dicatat sebagai terhambat yang berarti zat ekstraktif dietil eter biji faloak bersifat mematikan mikroba (-). Sedangkan tabung yang tingkat kekeruhannya setara dengan kekeruhan pada tabung kontrol positif akan dicatat sebagai tidak terhambat (++) berarti zat ekstraktif dietil eter biji faloak bersifat tidak menghambat pertumbuhan mikroba, dan (+) untuk kategori tidak terlalu keruh berarti zat ekstraktif
dietil eter biji faloak bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba namun tidak mematikan. Untuk membuktikan terhambat atau tidaknya mikroba pada metode pengenceran ini, maka setiap tabung diuji kembali dengan metode agar datar, yaitu menumbuhkan isi tabung pengenceran yang berisi campuran isolat, media, dan zat ekstraktif pada media MHA; dan SDA untuk cendawan. Media yang tidak ditumbuhi mikroba uji mengindikasikan bahwa fraksi tersebut bersifat mematikan, sedangkan media yang ditumbuhi mikroba uji berarti fraksi tersebut tidak berpengaruh terhadap mikroba. Kadar terendah dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan efek penghambatan secara penuh terhadap bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam yang diambil sebagai nilai MIC. Sedangkan nilai MIC terhadap pertumbuhan cendawan ditentukan bila pada kadar tersebut hanya 20% koloni cendawan C. albicans yang tumbuh. Nilai MFC adalah kadar akhir dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan efek penghambatan secara penuh terhadap cendawan C. albicans setelah diinkubasi selama 48 jam.
45
Identifikasi Senyawa Aktif Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil kromatografi dilakukan dengan menggunakan spektrum inframerah (fourier transform infrared, FT-IR), kromatografi
cair
spektroskopi
masa
(Liquid
Chromatography
Mass
Spectroscopy, LC-MS) dan resonansi magnetik inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, struktur senyawa.