METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari Mei 2010 sampai dengan Desember 2010 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Laboratorium Fisiologi dan Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kumis kucing berbunga putih dan daun kumis kucing berbunga ungu berasal dari Kebun Balittro Cigombong, rimpang jahe dan kayu secang dari pasar setempat, rimpang temulawak dari UKBB Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, buah jeruk purut dan buah jeruk nipis dari hypermart - Giant Bogor, CMC (Toko Kimia Setiaguna), sukralosa, Natrium benzoat (Toko Kimia Setiaguna), kertas saring Whatman 42, sukrosa, streptozotocin (Sigma), larutan buffer sitrat (0,05M Sodium sitrat pH=4,5), Insulin Actrapid®, KCl, MgCl2, NaHCO3, FeCl3, D-glukosa, glukosa oksidase (WAKO), peroksidase (WAKO), buffer asetat, PBS , buffer formalin, xylool, parafin, larutan tirode, oksigen 95 %, amil alkohol, air suling, Na2CO3, diklorometan, kloroform, etil asetat, metanol, dietil eter, heksana, asam sitrat, ammonium asetat, reagen folin ciocalteau, asam format, etanol, anisaldehid, vanillin, H2SO4, methanol, DPPH (Sigma), gingerol (Sigma), kurkuminod (Sigma), brazilin (Sigma), sinensetin (Sigma), hesperidin (Sigma), naringin (Sigma), asam trifloroasetat, H2O2, hematoksilin, eosin, serum normal (BSA), peroksidase (DAKO), anti insulin (I-2018), DAB,
bahan-bahan uji kualitatif
fitokimia dan mencit ddY. Alat-alat yang digunakan adalah kompor gas, saringan plastik, kain saring, rotary evaporator, panci, pisau, penyaring vakum, juice extractor, neraca analitik dan neraca kasar, hot plate, stirrer, cawan aluminium, oven, refrigerator, desikator, mikropipet, pH meter, sonde, alat-alat bedah, alat jarum dan alat suntik, inkubator, gelas objek, chamber KLT, CAMAG-linomat V, spektrofotometer UV-
24
Vis,
HPLC (LC 20 AD Shimadzu dan UV-Vis Detector L-2420 Hitachi),
glukometer One Touch Ultra dan alat-alat gelas lainnya. Metode Penelitian Penelitian terdiri dari empat tahap. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Persiapan Sampel Tanaman Obat
• Kadar Air • Identifikasi Tanaman Kumis Kucing
Ekstraksi
Stok Ekstrak
Karakterisasi Formula Minuman Fungsional Semua formula minuman (MAKP,MAKU, MFKP, MFKU) : • Aktivitas antioksidan • Total polifenol Minuman terpilih (MFKP) : • Derajat warna • Nilai pH • Nilai TPT • Proksimat
Pembuatan Minuman Fungsional
Pemilihan Jenis Formula Minuman dan Jenis Ekstrak Kumis Kucing Uji Aktivitas Antihiperglikemik Sesaat ( in vivo) Uji Aktivitas Antihiperglikemik ( in vivo)
Gambar 3 Diagram alir penelitian
Karakterisasi Ekstrak • Perhitungan rendemen • Aktivitas antioksidan • Total polifenol • Profil kromatografi lapis tipis • Analisis Senyawa Aktif • Uji penyerapan glukosa • Aktivitas antioksidan • Total polifenol • Pengukuran kadar glukosa darah • Pengukuran kadar glukosa darah • Pengukuran berat badan • Histopatologik sel β pankreas
25
Pada tahap pertama dilakukan karakterisasi ekstrak yang digunakan sebagai ingredien dalam minuman dan sampel minumannya. Parameter pengujian ekstrak yang dianalisis yaitu kadar air bahan baku, rendemen, kadar total fenol, aktivitas antioksidan, uji fitokimia, profil kromatografi lapis tipis dan kadar senyawa bioaktif yang diduga sebagai senyawa penciri. Parameter pengujian pada semua formula minuman yang dianalisis yaitu aktivitas antioksidan dan kadar total fenol, sedangkan pengujian yang dilakukan pada sampel atau formula minuman terpilih yaitu MFKP, meliputi pengukuran nilai pH, analisis proksimat, total padatan terlarut, serta perubahan warna dan aktivitas antioksidannya selama penyimpanan pada suhu refrigerator sebagai indikator kerusakan sampel. Tahap penelitian kedua dilakukan pengamatan untuk mempelajari perbedaan jenis ekstrak daun kumis kucing dalam formula minuman serta perbedaan jenis formula minuman terhadap aktivitas penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit secara ex vivo (Sabu dan Subburaju 2002 dengan modifikasi), kadar total fenol, aktivitas antioksidan serta identifikasi tanaman kumis kucing tersebut di Bogoriensis LIPI. Formula minuman dengan jenis ekstrak daun kumis kucing yang terpilih digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya. Sampel minuman dikemas dalam botol gelap steril dan disimpan dalam refrigerator sampai digunakan untuk uji antihiperglikemik. Penelitian tahap ketiga yaitu pengujian aktivitas antihiperglikemik sesaat pada mencit normal (Suarsana 2009). Tahap ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi formula minuman yang bersifat antihiperglikemik pada mencit normal dalam keadaan hiperglikemik sesaat yang diinduksi dengan larutan glukosa sebanyak 1 g/kg BB. Penentuan konsentrasi formula minuman yang bersifat antihiperglikemik dilakukan secara in vivo menggunakan mencit sebanyak 36 ekor yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok (n=6). Kelompok I (kontrol negatif, mencit dengan pemberian perlakuan air suling 0.52 ml/20 g BB), Kelompok II (kontrol positif hiperglikemik, mencit dengan pemberian larutan glukosa sebanyak 1 g/kg), Kelompok III (mencit dengan perlakuan pemberian larutan glukosa 1 g/kg dan sampel minuman sebanyak 0.52 ml/20 g BB dengan konsentrasi 1 x formula minuman), Kelompok IV (mencit dengan perlakuan pemberian larutan glukosa 1 g/kg dan sampel minuman sebanyak 0.52 ml/20 g
26
BB dengan konsentrasi 4 x formula minuman), Kelompok V (mencit dengan perlakuan pemberian larutan glukosa 1 g/kg dan sampel minuman sebanyak 0.52 ml/20 g BB dengan konsentrasi 16 x formula minuman) dan Kelompok VI (mencit dengan perlakuan pemberian larutan glukosa 1 g/kg dan insulin). Pakan yang diberikan adalah ransum standar dan air minum ad libitum. Sebelum diberi perlakuan, mencit diadaptasikan selama 1 minggu. Pemberian sampel dan larutan glukosa dilakukan setelah mencit dipuasakan selama 16 jam. Pengukuran dilakukan pada menit ke 0, 30, 60, 120, dan 180 setelah perlakuan. Kadar glukosa darah mencit percobaan diukur menggunakan glukometer. Pada tahap keempat dilakukan pengujian aktivitas antihiperglikemik formula minuman dengan atau tanpa penambahan ekstrak jahe, pada konsentrasi formula minuman terpilih, secara in vivo pada mencit diabetes yang diinduksi dengan streptozotocin dosis rendah secara berulang (Wu dan Huan 2008). Pada penelitian ini, mencit jantan yang digunakan sebanyak 36 ekor (berat 25 – 30 g, umur 8 – 12 minggu) yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok (n=6). Kelompok I (kontrol positif diabetes, mencit diabetes dengan perlakuan pemberian air suling), Kelompok II
(mencit diabetes dengan perlakuan pemberian sampel formula
minuman sebanyak 0.52 ml/20 gBB pada konsentrasi terpilih), Kelompok III (mencit diabetes dengan perlakuan pemberian sampel formula minuman tanpa jahe sebanyak 0.52 ml/20 gBB pada konsentrasi terpilih), Kelompok IV (mencit diabetes dengan perlakuan pemberian insulin), Kelompok V (mencit normal dengan perlakuan pemberian sampel formula minuman sebanyak 0.52 ml/20 g BB pada konsentrasi terpilih) dan Kelompok VI (kontrol negatif, mencit normal dengan perlakuan pemberian air suling). Seluruh mencit dibiarkan beradaptasi terlebih dahulu selama 5 hari sebelum dilakukan percobaan. Pada hari pertama percobaan sebanyak 24 ekor hewan coba dibuat menjadi diabetes dengan cara diinduksi menggunakan streptozotocin dengan dosis rendah (konsentrasi akhir 40 mg/kg) secara berulang selama 5 hari berturut-turut. Sebelum diberi streptozotocin, mencit dikeluarkan dari kandang dan diberi air suling. Streptozotocin dilarutkan dalam buffer sitrat (50 mM sodium sitrat pada pH=4.5) dengan konsentrasi 6 mg/ml, secepatnya sebelum disuntikkan (< 15 menit). Streptozotocin disuntikkan secara intraperitoneal dengan
27
menggunakan syring 1ml dengan jarum berukuran 25-G. Setelah itu mencit dimasukkan kembali ke dalam kandang dan disediakan air minum yang mengandung 10 % sukrosa. Pada hari ke-6, air minum mencit yaitu 10 % sukrosa ganti dengan air minum biasa. Pada hari ke 14 (9 hari setelah penyuntikan streptozotocin terakhir), semua mencit dipuasakan selama 6 jam, kemudian diukur kadar glukosa darahnya. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui apakah induksi diabetes yang telah dilakukan dengan streptozotocin berjalan dengan baik (kadar glukosa darah > 150 mg/dl). Mencit yang telah mengalami kondisi hiperglikemik dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok yang diberi asupan sampel minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing dengan konsentrasi terpilih hasil penelitian pendahuluan, kelompok yang diberi asupan sampel minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing tanpa penambahan ekstrak jahe, kelompok yang diberi asupan insulin dan kelompok yang diberi air suling (kontrol positif diabetes). Dua kelompok yang lain, yaitu kelompok kontrol negatif (mencit normal yang diberi asupan air suling) dan mencit normal yang diberi sampel minuman dengan konsentrasi dan volume yang sama. Perlakuan pada setiap kelompok mencit dilakukan selama 20 hari (sampai hari ke 34 percobaan). Parameter
yang
digunakan
dalam
analisis
antihiperglikemik
yaitu
pengukuran kadar glukosa darah mencit setiap 5 hari sekali, pengukuran berat badan setiap 5 hari sekali dan jumlah konsumsi ransum diukur setiap hari serta histopatologik sel β pankreas pada akhir masa percobaan. Prosedur Analisis Rendemen Ekstrak (b/b) Penentuan rendemen ekstrak dilakukan dengan penimbangan sampel bahan baku dan ekstrak yang diperoleh. Perhitungan rendemen dilakukan dengan menggunakan rumus : Rendemen (%) = W1/W2 x 100 % Keterangan :
W1 = Berat ekstrak W2 = Berat bahan baku
28
Aktivitas Antioksidan, metode DPPH (Kubo et al. 2002; Molyneux 2004) Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH▪ (1,1diphenyl-2-picrylhydrazil radical-scavenging). Formula minuman yang terdiri dari campuran kelima ekstrak tanaman obat serta komponen tunggal ekstrak dalam minuman diukur aktivitas antioksidannya. Asam askorbat digunakan sebagai standar pembanding terhadap aktivitas antioksidan yang dimiliki formula minuman atau komponen tunggal minuman. Aktivitas antioksidan dihitung berdasarkan kesetaraannya dengan aktivitas antioksidan asam askorbat yang dinyatakan dalam ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Metode pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Gambar 4. Dicampur 2 ml larutan buffer asetat (pH 5.5), 3.75 ml metanol, dan 200 µl larutan DPPH 3 mM dalam metanol Larutan campuran divorteks Ditambah 50 µl larutan sampel atau larutan standar antioksidan Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit Dibaca absorbansi sampel dengan spektrofotometer pada λ = 517 nm Gambar 4 Pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH (Kubo et al. 2002; Molyneux 2004) Total Fenol (Strycharz dan Shetty 2002) Larutan standar dibuat dengan melarutkan 10, 25, 50, 75, 100, 125, dan 150 ppm asam galat dalam air suling. Larutan reagen dibuat dengan mencampurkan reagen folin-ciocalteau 50 ml dengan air suling 50 ml. Larutan Na2CO3 dibuat dengan melarutkan 5 g Na2CO3 dalam 100 ml air suling. Larutan standar atau sampel sebanyak 1 ml dilarutkan dalam 5 ml air suling dan 0.5 ml larutan reagen. Setelah itu, larutan didiamkan selama 5 menit dalam ruang gelap kemudian ditambahkan 1 ml larutan Na2CO3 dan diinkubasi kembali dalam ruang gelap
29
selama 1 jam. Setelah inkubasi, larutan divorteks dan diukur absorbansinya pada 725 nm. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid Uji alkaloid dilakukan dengan melarutkan 1 gram sampel dalam beberapa tetes NH3, kemudian ditambah 5 ml kloroform dan disaring. Setelah disaring, filtrat ditambah dengan H2SO4 2 M sampai terbentuk lapisan asam. Beberapa tetes lapisan asam tersebut diambil dan direaksikan dengan pereaksi Dragendorf, Mayer dan Wagner. Jika terbentuk endapan jingga pada reagen Dragendorrf, endapan putih pada reagen Mayer, dan endapan coklat pada reagen Wagner berarti sampel mengandung komponen alkaloid. Uji Triterpenoid dan steroid Uji terpenoid ini disebut juga uji Liebermann-Bouchard. Uji dilakukan dengan melarutkan sampel dalam etanol panas kemudian disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian dipanaskan sampai etanol menguap semua. Setelah itu, ditambah 1 ml dietil eter dan dihomogenkan. Larutan kemudian ditambah 1 tetes H2SO4 pekat. Jika terbentuk warna hijau berarti ekstrak mengandung steroid. Setelah itu ditambah 1 tetes CH3COOH anhidrat. Jika terbentuk warna merah atau ungu berarti ekstrak mengandung triterpenoid. Uji Saponin Uji ini dilakukan dengan melarutkan 5 gram sampel dalam air suling yang dipanaskan 5 menit dan kemudian disaring. Filtrat yang telah dihasilkan kemudian dikocok dengan kuat sampai terbentuk buih. Jika buih yang terbentuk stabil dalam 5 menit maka ekstrak tersebut mengandung saponin. Uji Tanin Uji ini dilakukan dengan melarutkan 5 gram sampel dalam air suling yang dipanaskan 5 menit dan kemudian disaring. Filtrat yang telah dihasilkan kemudian ditambah 3 tetes FeCl3. Jika terbentuk warna hitam kehijauan berarti ekstrak mengandung tanin.
30
Uji Hidrokuinon Uji ini dilakukan dengan melarutkan 1 gram sampel dalam metanol panas kemudian disaring. Filtrat yang dihasilkan kemudian diberi NaOH 10% beberapa tetes. Jika terbentuk warna merah berarti sampel mengandung hidrokuinon. Uji Flavonoid Uji ini dilakukan dengan melarutkan 5 gram sampel dalam air suling yang dipanaskan 5 menit dan kemudian disaring. Filtrat kemudian ditambah serbuk Mg, HCl:etanol (1:1), dan amil alkohol sampai terbentuk lapisan amil alkohol. Jika lapisan tersebut berwarna jingga maka dalam sampel tersebut terdapat komponen flavonoid. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Ekstrak daun kumis kucing (Arafat et al. 2008) Ekstrak ditotolkan dengan linomat V pada plat silika gel 60 F254 (10 x 2 cm) yang telah diaktivasi dengan pemanasan di oven selama 5 menit. Plat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan dalam chamber berisi eluen etil asetat : kloroform = 7 : 3 yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Hasil plat kemudian difoto dengan sinar UV 366 nm. Ekstrak kayu secang (Kharbade dan Agrawal 1985) Ekstrak ditotolkan dengan linomat V pada plat silika gel 60 F254 (10 x 2 cm) yang telah diaktivasi dengan pemanasan di oven selama 5 menit. Plat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan dalam chamber berisi eluen etil asetat : metanol : air = 5 : 0.825 : 0.630 yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Hasil plat kemudian difoto dengan sinar UV 366 nm. Ekstrak jahe gajah (Anonim 1999) Ekstrak ditotolkan pada plat silika gel 60 F254 (10 x 2 cm) yang telah diaktivasi dengan pemanasan di oven selama 5 menit. Plat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan dalam chamber berisi eluen dietil eter : heksana = 6 : 4 yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Hasil plat kemudian dicelupkan dalam reagen warna yang terdiri dari 5 ml asam sulfat pekat, 85 ml metanol, 10 ml asam asetat, dan 500 µL anisaldehida. Plat kemudian dikeringkan dalam oven selama 3 menit dan difoto dengan sinar tampak atau dengan sinar UV 254 nm.
31
Ekstrak buah jeruk purut dan jeruk nipis (Wagner dan Bladt 1996 dengan modifikasi) Ekstrak ditotolkan pada plat silika gel 60 F254 (10 x 2 cm) yang telah diaktivasi dengan pemanasan di oven selama 5 menit. Plat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan dalam chamber berisi etil asetat: asam format : asam asetat : air = 5 : 0.55 : 0.55 : 1.3 yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Hasil plat dibiarkan sampai kering, kemudian plat difoto dengan sinar UV 254 nm dan 366 nm. Ekstrak temulawak (Miftahuddin 2009) Ekstrak ditotolkan pada plat silika gel 60 F254 (10 x 2 cm) yang telah diaktivasi dengan pemanasan di oven selama 5 menit. Plat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan dalam chamber berisi diklorometan : kloroform = 3.25: 6.75 yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Hasil plat disemprot dengan reagen vanilin (vanilin 1 gram dalam asam sulfat 5 ml dan etanol 95 ml) dan dioven 3 menit. Setelah kering, plat difoto dengan sinar UV 366 nm. Analisis Senyawa Penciri yang Diduga sebagai Senyawa Aktif Analisis senyawa penciri dari masing-masing ekstrak tanaman obat dilakukan menggunakan Kromatografi Cairan Kinerja Tinggi. Pengukuran kadar curcumin ekstrak temulawak dilakukan sesuai dengan metode Almeida et al. (2005), pengukuran kadar gingerol dan shogaol pada ekstrak jahe dilakukan sesuai dengan metode Lee et al. (2007), pengukuran kadar sinensetin pada ekstrak kumis kucing dilakukan sesuai dengan metode Akowuah et al. (2004), pengukuran kadar brazilin pada ekstrak secang dilakukan sesuai dengan metode Batubara et al. (2010) dan pengukuran kadar hesperidin dan naringin ekstrak jeruk purut dan jeruk nipis dilakukan sesuai dengan metode Abeysinghe et al. (2007). Analisis sinensetin Analisis menggunakan KCKT LC 20 Shimadzu dilengkapi dengan manual injektor, oven kolom, dan detektor diode array. Kolom yang digunakan yaitu kolom C18 (150 x 4.6 i.d. mm). Temperatur pada suhu ruang, dengan volume injeksi 20 µl dan kecepatan aliran 1 ml/min. Fase gerak yang digunakan yaitu metanol : air : tetrahidrofuran (45:50:5 v/v). Peak dideteksi pada panjang gelombang 340 nm dan diidentifikasi sesuai dengan standar. Waktu retensi dan
32
spektrum dibandingkan dengan standar. Penghitungan dilakukan berdasarkan metode standar eksternal. Analisis gingerol dan shogaol Analisis menggunakan KCKT Hitachi yang dilengkapi dengan detektor UV. Kolom yang digunakan adalah kolom C18 (150 x 4.6 mm), fase terbalik, elusi dilakukan dengan menggunakan fase gerak menggunakan elusi gradien mengandung asetonitril dan air, temperatur 40°C dan volume injeksi 20 µL. Peak dideteksi pada panjang gelombang 282 nm. Waktu retensi dan spektrum dibandingkan dengan standar. Penghitungan dilakukan menggunakan metode standar eksternal. Analisis kurkumin Analisis dilakukan dengan menggunakan KCKT Hitachi dilengkapi dengan detektor UV pada 425 nm, kolom ODS C18 (150 mm × 4.6 mm i.d.). Elusi menggunakan fase gerak asetonitril : asam asetat 25 % (45:55, v/v), kecepatan alir 1 mL/min pada 30 ºC. Waktu retensi dan spektrum dibandingkan dengan standar. Penghitungan dilakukan menggunakan metode standar eksternal. Analisis naringin dan hesperidin Analisis dilakukan dengan menggunakan KCKT LC 20 Shimadzu dengan fase terbalik dan detektor diode array, kolom C18 (250 mm x 4.6 mm i.d.) (Shimadzu, Japan). Fase gerak mengandung 75 mM asam sitrat and 25 mM ammonium asetat dalam air bebas ion (A) dan metanol (B) dengan rasio 60:40 (v/v) pada kecepatan alir 1 ml/min. Volume injeksi 10 µl dan deteksi pada panjang gelombang 282 nm. Waktu retensi dan spektrum dibandingkan dengan standar. Penghitungan dilakukan menggunakan metode standar eksternal. Analisis brazilin Analisis menggunakan KCKT LC-20A series (Shimadzu, Japan) dengan detektor diode array, kolom C18 (150 mm × 4.6 mm i.d.) (Shimadzu, Japan). Elusi pada temperatur 30 ºC, kecepatan alir 1 mL/min pada 280 nm. Fase gerak menggunakan elusi gradien selama 45 menit dari 5% sampai 50 % metanol dalam 0.05% asam trifluoroasetat. Waktu retensi dan spektrum dibandingkan dengan standar. Penghitungan dilakukan menggunakan metode standar eksternal.
33
Pengujian penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit (Sabu dan Subburaju 2002 dengan modifikasi) Larutan tirode dibuat dengan melarutkan 8 g NaCl, 0.2 g KCl, 0.2 g CaCl2, 0.1 MgCl2 dalam 250 ml air suling sebagai larutan A dan 0.05 g NaH2PO4, 1 g NaHCO3 dalam 250 ml air suling sebagai larutan B serta 1 g glukosa dalam 500 ml air suling sebagai larutan C. Setelah itu, campurkan 250 ml larutan A dengan 250 ml larutan B dan 500 ml larutan C. Larutan insulin dibuat dengan melarutkan 400 μl larutan insulin reguler 100 IU/ml dengan air suling sampai volume campuran menjadi 100 ml. Mencit dengan bobot 15-20 g dipelihara dengan ransum standar, air ad libitum, dan dipuasakan semalam sebelum diambil diafragmanya. Mencit dibunuh dengan cara dislocatio cervicalis dan diafragma diambil dengan cepat untuk mencegah trauma. Setelah itu, difragma dicuci menggunakan larutan tirode tanpa glukosa. Sampel pada analisis ini berupa minuman formula dengan penambahan ekstrak kumis kucing bunga putih dan minuman formula dengan penambahan ekstrak kumis kucing bunga ungu. Pengukuran penyerapan glukosa oleh sel diafragma dilakukan dengan melarutkan 2 ml larutan tirode dengan 2 ml larutan sampel atau 2 ml larutan insulin sebagai pembanding positif atau 2 ml air suling sebagai blanko. Setelah larutan reaksi disiapkan, kemudian diafragma mencit dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan diinkubasi. Inkubasi dilakukan selama 30 menit dengan suhu 37˚C dengan penambahan O2 95% dalam inkubator bergoyang 140 rpm. Setelah diinkubasi, diafragma dibilas dengan air suling, kemudian dikeringkan bagian luarnya dan ditimbang dengan neraca analitik. Larutan tirode yang telah ditambahkan sampel atau insulin diukur kadar glukosanya sebelum dan sesudah inkubasi dengan diafragma. Penentuan kadar glukosa dilakukan dengan metode glukosa oksidase. Perhitungan kadar glukosa menggunakan rumus : Kadar glukosa yang terserap = [(G1-G2)]/W Keterangan:
G1 = Kadar glukosa dalam larutan sebelum inkubasi (μg) G2 = Kadar glukosa dalam larutan sesudah inkubasi (μg) W = Bobot diafragma (g)
34
Kadar Glukosa dengan Metode Glucose Oxidase (AOAC 969.39 1995) Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 40 mg kromogen (oDianisidine.2HCl), 40 mg horseradish peroxidase dan 0.4 ml glucose oxidase 1000 unit/ml pada buffer asetat 0.1 M sampai 100 ml. Standar glukosa (1 mg/ml) diperoleh dengan melarutkan glukosa dengan air sampai 1000 ml dan didiamkan selama 2 jam. Kurva standar dibuat dengan membuat berbagai konsentrasi larutan standar glukosa. Larutan standar glukosa dibuat dengan memipet 0.5, 1, 1.5, 2, 3, dan 4 ml glukosa standar (1 mg/ml) dan dilarutkan dengan air suling sampai 50 ml. Analisis dilakukan dengan memipet 1 ml larutan standar glukosa sebagai larutan standar atau 1 ml air suling sebagai blanko atau 1 ml sampel dan diinkubasi pada suhu 30˚C selama 5 menit. Setelah itu, larutan enzim ditambahkan sebanyak 500 μl dan diinkubasi kembali selama 30 menit pada suhu 30˚C. Reaksi kemudian dihentikan dengan menambahkan 5 ml H2SO4(1+3). Campuran reaksi kemudian divorteks dan diukur pada panjang gelombang 540 nm. Hasil absorbansi yang telah diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar sehingga dapat diperoleh kadar glukosanya. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100 0C hingga diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus: Kadar air (wet basis) (%) = c- (a-b) x 100 % c Keterangan: a = bobot cawan dan sampel akhir (g) b = bobot cawan (g) c = bobot sampel awal (g)
35
Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 0C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 0C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar abu = berat abu (g) x 100 % berat sampel (g) Kadar Protein (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml kemudian ditambahkan 1,9 gram K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian biru metilen 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3, ditambah larutan NaOH-Na2SO3 sebanyak 8-10 ml kemudian didestilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara yang sama. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus: Kadar N (%)
= (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel
Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6,25)
36
Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110
0
C kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang dalam sebanyak 5 gram lalu dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. Refluks dilakukan minimum selama 5 jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak kemudian didestilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskandalam oven pada suhu 100 0C hingga beratnya konstan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus: Kadar lemak (%) = berat lemak (g) x 100 % berat sampel (g) Kadar Karbohidrat by Difference (AOAC, 1995) Kadar karbohidrat dengan metode by difference merupakan penentuan kadar karbohidrat bahan makanan secara kasar yang diperoleh berdasarkan perhitungan, dengan rumus sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) = 100 % - % (protein + lemak + abu + air) Nilai pH (AOAC 1995) Sebanyak 30-50 ml sampel langsung diukur nilai pH-nya dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer pH 4.0 dan pH 7.0.
Total Padatan Terlarut (AOAC 1995) Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan alat refraktometer. Filtrat sampel diteteskan di atas prisma refraktometer yang sudah distabilkan lalu dilakukan pembacaan. Sebelum dan setelah digunakan, prisma refraktometer dibersihkan dengan alkohol. Total padatan terlarut dinyatakan dalam °Brix sukrosa.
37
Derajat Warna, metode Hunter (Hutching 1999) Analisa dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meter. Pada prinsipnya, Minolta Chroma Meter bekerja berdasarkan pengukuran perbedaan warna yang dihasilkan oleh permukaan sampel. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran seragam (misalnya cawan petri). Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai L, a, dan nilai b terhadap sampel. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0–100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0–(-80) untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0–70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0–(-70) untuk warna biru. Selanjutnya dihitung °Hue dari nilai a dan b yang diperoleh dengan persamaan °Hue = arc tan (b/a). Pengukuran Kadar Glukosa Darah pada Mencit Percobaan Kadar glukosa darah mencit percobaan ditentukan dengan metode glucose oxidase biosensor, menggunakan alat Blood Glucose Test Meter One Touch Ultra Easy. Darah diambil melalui ujung ekor mencit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70 %, kemudian diurut perlahan-lahan kemudian ujung ekor ditusuk dengan jarum kecil (syring 1 cc) (Kerato et al. 2006). Darah yang keluar kemudian disentuhkan pada strip glukometer. Kadar glukosa darah akan terbaca di layar One Touch Ultra Easy setelah beberapa detik dan kadar glukosa darah dinyatakan dalam mg/dl. Pengukuran kadar glukosa darah pada uji aktivitas antihiperglikemik sesaat dilakukan setelah pemberian glukosa dan sampel minuman sedangkan pengukuran kadar glukosa darah pada saat uji aktivitas antihiperglikemik pada mencit diabetes yang setiap hari diberi sampel minuman, dilakukan setelah mencit dipuasakan selama 6 jam.
38
Histopatologi sel β pankreas (Langerhans) Analisa histopatologi dilakukan terhadap organ pankreas. Analisa ini meliputi tahap pembuatan sediaan histopatologis (Kiernan 1990), pewarnaan HE dan pewarnaan imunohistokimia (Beesley 1995).
Pembuatan Sediaan Histopatologis Pankreas segera diambil, dan dicuci dengan larutan PBS (phosphate buffered saline pH 7.4) kemudian difiksasi dalam larutan 10 % buffer formalin selama minimal 24 jam. Sampel pankreas dipotong kecil dengan ketebalan kurang lebih 0.5 cm dan diletakkan di dalam tissue cassette kemudian dilakukan dehidrasi di dalam seri larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat, kemudian dijernihkan dalam silol dan di-embedding dalam parafin. Blok paraffin dipotong serial dengan ketebalan 4 µm menggunakan mikrotom dan sayatan dilekatkan di atas gelas objek. Setelah dilakukan proses deparafinasi dengan xylol III, II dan I, selanjutnya dilakukan rehidrasi dengan alkohol absolut III, II dan I, lalu alkohol 95 %, 90 %, 80 % dan 70 %, masing-masing selama 5 menit dan aquades selama 5 menit. Sediaan kemudian siap diwarnai dengan HE dan uji imunohistokimia.
Pewarnaan HE Pengamatan histopatologis dengan pewarnaan HE bertujuan untuk mengamati struktur umum jaringan. Sedian preparat yang telah dideparafinasi dan rehidrasi ditetesi dengan pewarna hematoksilin, selanjutnya dibilas dengan air kran mengalir kemudian dimasukkan ke dalam aquades. Sedian kemudian diwarnai dengan pewarna eosin kemudian dibilas dengan air kran mengalir. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam serial larutan alkohol 70, 80, 90 dan 95 %, alkohol absolut I, II dan III. Selanjutnya dilakukan penjernihan (clearing), yaitu sediaan dimasukkan ke dalam xylol I, II dan III. Tahap terakhir dari pewarnaan ini adalah mounting, yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan bantuan perekat entelan. Sediaan yang telah diwarnai lalu diamati di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali. Pengamatan dilakukan terhadap struktur umum jaringan normal maupun yang telah mengalami perubahan struktur.
39
Pewarnaan Imunohistokimia (Beesley 1995, dengan modifikasi) Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mendeteksi hormon insulin yang dihasilkan oleh sel β pankreas. Tahapan pewarnaan imunohistokimia dimulai dari pembuatan sediaan histopatologis seperti yang diuaraikan di atas, tetapi gelas objek yang digunakan untuk menaruh sediaan adalah gelas objek yang sudah diberi perekat (poli-L-lisin). Tahapan selanjutnya preparat histopatologis yang telah dibuat dilakukan pewarnaan imunohistokimia terhadap insulin menggunakan metode tidak langsung dua tahap (metode antibodi berlabel enzim). Setelah deparafinasi dan rehidrasi, sediaan direndam dalam air bebas ion selama 15 menit, sediaan direndam dengan H2O2 dalam methanol (1:100) selama 15 menit untuk menghilangkan aktivitas peroksidase endogen. Sediaan direndam dalam air bebas ion lalu PBS masing-masing 2 kali selama 10 menit. Kemudian, sediaan ditetesi dengan serum normal (BSA) 10 % (80 µl/sediaan) dan diinkubasi pada suhu 37 ˚C selama 45 menit lalu dicuci dengan PBS 3 kali masing-masing selama 5 menit. Sediaan ditetesi dengan antibodi primer monoklonal anti-insulin dalam PBS (1:1000) sebanyak 80 µl/sediaan lalu diinkubasi pada suhu 4˚C (refrigerator) selama 24 jam, kemudian dicuci dengan PBS 3 kali masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya, sediaan ditetesi dengan antibodi sekunder Dako Envision Peroksidase sebanyak 80 µl/sediaan lalu diinkubasi pada suhu 37 ˚C, selama 1 jam. Sediaan dicuci dengan PBS 3 kali masing-masing selama 5 menit, lalu ditetesi dengan diaminio benziden (DAB) sebanyak 80 µl/sediaan dan dibiarkan bereaksi dalam ruang gelap selama 25 menit. Sediaan dicuci dengan air bebas ion, selanjutnya diwarnai dengan hematoksilin. Setelah dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat (70, 80, 90 dan 95 %, lalu alkohol absolut I, II dan III ) dan penjernihan dengan xylol I, II dan III. Tahap akhir sediaan kemudian di-mounting dengan penutup gelas dengan perekat entelan dan siap diamati di bawah mikroskop cahaya pembesaran 400 kali. Pengamatan secara kualitatif dilakukan pada sel beta pankreas, yang jika positif ditunjukkan dengan warna coklat. Untuk mengintrepetasikan intensitas warna coklat dilakukan scoring dan penghitungan luas area berwarna coklat dari 10 lapang pandang pada setiap preparat pankreas sesuai dengan metode Kanter et al. 2004.
40
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Semua data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata + standar deviasi (Mean + SD). Selanjutnya data diolah dan dianalisis menggunakan metode sidik ragam (ANOVA) sistem rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3 untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur, untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara rerata parameter yang diukur dilanjutkan dengan uji Duncan. Model aditif linear untuk rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yij = µ + βi + εij Keterangan : Yij = nilai pengamatan taraf ke-i ulangan ke-j µ = komponen aditif dari rataan βi = pengaruh utama faktor ke-i, ulangan ke-j εij = galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j Untuk mengetahui hubungan antara perubahan aktivitas antioksidan dengan perubahan warna selama penyimpanan pada suhu refrigerator, data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji Korelasi Pearson pada program SPSS versi 17. Data hasil histopat dengan metode imunohistokimia dianalisis menggunakan statistik non parametrik yaitu uji Kruskal Wallis pada program SPSS versi 17 untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur, kemudian dilanjutkan dengan uji Dunn untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara parameter yang diukur.