35
METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan utama adalah penelitian struktur anatomi kayu JUN pada umur tebang (umur 5 tahun) serta dibandingkan dengan struktur anatomi kayu jati konvensional pada umur sama. Sedangkan kegiatan pendukung yang dilakukan adalah penelitian sifat fisis dan mekanis (ASTM 2007 D 143-94, Reapproved 2007) yaitu penyusutan, rasio T/R, kadar air, kerapatan, berat jenis dan kekerasan; sifat keawetan terhadap rayap tanah (Sumarni & Muslich 2008); penelitian kandungan zat ekstraktif dalam alkohol benzena menggunakan metode TAPPI T204, analisa komponen kimia menggunakan GCMS (Gas Chromatography and Mass Spectrometer) (Lukmandaru 2009), analisis unsur menggunakan EDX (Energy Dispersive X Ray); serta pembuatan dan pengujian terhadap produk venir yaitu kadar air, kerapatan, kembang susut, tebal venir dan penyimpangannya, tekstur, arah serat, serta corak (Kliwon & Iskandar 2008); dan furnitur (kekuatan produk berdasarkan berat jenis, kesesuaian kerapatan dan kekerasan kayu untuk dijadikan produk, serta stabilitas dimensi dan keawetan berdasarkan pengujian pada sifat anatomi, sifat fisis dan keawetan yang telah dilakukan sebelumnya). Metode kegiatan pendukung secara rinci disajikan pada Lampiran 1 sampai Lampiran 4. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan dan Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor, dari Bulan Desember 2009 hingga Maret 2010. Pengambilan Sampel di Lapangan dan Pembuatan Contoh Uji Pengambilan sampel penelitian kayu JUN dilakukan pada tanggal 11-15 September 2009 di lokasi persemaian PT. Setyamitra Bhaktipersada Desa Srengseng, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. Untuk jati konvensional diambil dari Kampung Dukuh Satir, Kelurahan Kuta Mendala, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes. Kondisi pertumbuhan pohon JUN maupun pohon jati konvensional diupayakan sama, tidak sepenuhnya soliter namun ada pohon lain di kanan kirinya. Karena JUN dimaksudkan untuk dipanen pada umur 5 tahun, maka pohon umur 4 tahun dianggap sebagai ulangan pohon.
36 Kondisi pohon yaang diambil disajikan pada p Gambaar 1. Pola peemotongan s sampel untuuk pembuatan n contoh ujii disajikan pada Gambarr 2. Sebelum m dilakukan p pemotongan n sampel dillakukan penngamatan paada seluruh sortimen berdasarkan b S 01-5007 SNI 7.17-2001: Pengukuran P dan tabel isii kayu bundaar jati, dimanna hasilnya d disajikan pad da Lampirann 5 dan Lam mpiran 6. JUN 5 thh
a
JUN N 4 th
b Jati koonvensional 5 tth
c
Jaati konvensionaal 4 th
d
G Gambar 1. Kondisi K pohhon sampel. a) Pohon JU UN umur 5 tahun. b) Pohon P JUN umur u 4 tahu un. c) Pohon jati konvennsional umurr 5 tahun. d) Pohon jati konvensiona k al umur 4 tahhun.
37
1
A
B
2
C
D
Keterangan: - Lempeng 1 (pangkal), 2 (tengah) dan 3 (ujung) setebal 5 cm untuk penelitian sifat fisis - Sortimen A-D masing-masing sepanjang 125 cm. Sortimen A untuk penelitian sifat anatomi. Sortimen B untuk pembuatan venir kupas. Sortimen C untuk penelitian zat ekstraktif. Sortimen A dan D JUN umur 4 dan 5 tahun digabung lalu diambil secara acak untuk penelitian keawetan alami, kekerasan, serta pembuatan produk kusen dan furnitur.
Gambar 2. Pola pemotongan sampel untuk keseluruhan pengamatan
Pada Gambar 3 sampai Gambar 5 disajikan foto lempengan dan sortimen kayu dalam kondisi basah. Karena tidak ada perlakuan peneresan dan pengeringan kayu, selanjutnya seluruh sortimen dikeringudarakan selama tiga bulan dalam ruangan dengan kelembapan udara rata-rata 77% dan suhu rata-rata 28 °C.
JUN 5 th
Jati konvensional 5 th
Gambar 3. Lempengan JUN dan jati konvensional umur 5 tahun untuk penelitian sifat fisis kadar air, berat jenis dan kembang susut (skala: 10 cm)
3
38
JUN 4 th
Jati konvensional 4 th
Gambar 4. Lempengan JUN dan jati konvensional umur 4 tahun untuk penelitian sifat fisis kadar air, berat jenis dan kembang susut (skala: 10 cm)
a
b
c
d
Gambar 5. Sortimen bagian pangkal. (a) JUN umur 5 tahun; (b) jati konvensional umur 5 tahun; (c) JUN umur 4 tahun; dan (d) jati konvensional umur 4 tahun (Skala penggaris 30 cm untuk panjang dan skala 10 cm untuk diameter).
39 P Penelitian Struktur S An natomi Kayu u Struktur Ma S akroskopik Struktuur makro diamati pada contoh h kayu yaang telah dihaluskan p permukaann nya. Ciri um mum yang diaamati adalah h warna, corrak, tekstur, arah serat, k kilap, kesann raba, kekerasan dan bau (Manddang & Panndit 2002), lebar riap t tumbuh, tebbal kulit, beentuk dan ukuran u emppulur, serta persentase pewarnaan ( (discoloured d wood/kayyu teras seekunder) yang terjadii. Karena pewarnaan b bentuknya tidak beraturran, maka ppersentase teerjadinya pew warnaan dib bandingkan l luasan perm mukaan kayuu dilakukan dengan mem mpolakan beentuk pewarrnaan pada p plastik transsparan lalu diukur luaasannya men nggunakan kkertas milim meter blok s setelah dikuurangi luasaan bagian eempulur. Paada Gambaar 6 ditunjuukkan cara p pengukuran luasan pewaarnaan yang terjadi padaa potongan melintang m kay yu.
Em mpulur
Pewarnaaan
G Gambar 6. Metode M peng ghitungan luaas pewarnaaan pada penaampang melintang k kayu JUN um mur 5 tahun. Tanda panaah menunjukkkan bagian pewarnaan p d dengan batass yang kuranng jelas, daerrah ini diperhhitungkan juuga sebagai luuasan pewarrnaan.
Penetaapan warna kayu umum mnya dilakuk kan terhadapp kayu terass jika kayu s sudah meng gandung kayyu teras, naamun jika kayu k teras belum b terbenntuk maka w warna kayu u dinyatakan n sebagai warna kayu gubal g meskiipun penenttuan warna m menggunaka an kayu gubbal kurang khhas sehinggaa kurang berrnilai diagnoostik untuk i identifikasi j jenis kayu (Pandit ( & Kurniawan K 20 008). Warnaa kayu ditenttukan pada
40 kayu yang sudah kering udara, dan penetapannya berdasar warna yang nampak paling dominan kemudian diikuti warna yang kurang dominan. Keberadaan corak diamati pada permukaan melintang dan permukaan tangensial. Penyebab corak pada kayu telah disebutkan pada bab sebelumnya, jika ditemui ciri-ciri tersebut maka corak yang dimiliki akan dijabarkan secara deskriptif. Tekstur kayu dinyatakan sebagai representasi dari ukuran sel-sel penyusunnya. Selain itu tekstur juga dinilai dari tingkat kerataannya. Tekstur dikatakan tidak rata jika halus di tempat-tempat tertentu dan kasar di tempat lain pada permukaan yang sama, dimana hal ini disebabkan oleh pembuluh yang bergerombol atau berganda radial lebih dari empat (Mandang & Pandit 2002), atau adanya kayu awal dan kayu akhir. Arah serat ditentukan berdasarkan arah seluruh sel-sel aksial pada suatu lapisan kayu terhadap sumbu batang pohon atau terhadap arah sel-sel aksial dari lapisan kayu di sebelah luar dan sebelah dalam lapisan kayu yang bersangkutan. Arah serat pada potongan kayu ditetapkan berdasarkan arah sel-sel pembuluh yang nampak seperti goresan-goresan. Kayu disebut berserat lurus jika pembuluh dan sel-sel aksial lainnya membentang searah sumbu batang. Kayu dikatakan berserat melintang jika arah bentangan pembuluh membentuk sudut terhadap sumbu batang pohon (Mandang & Pandit 2002). Kilap kayu adalah salah satu sifat kayu yang memungkinkan kayu dapat memantulkan cahaya (Pandit & Kurniawan 2008). Suatu kayu dikatakan mengkilap jika permukaannya bersifat memantulkan cahaya. Kilap kayu tidak ada hubungannya dengan tekstur. Kayu yang mempunyai tekstur halus belum tentu mengkilap (Mandang & Pandit 2002) Kesan raba adalah kesan yang diperoleh dengan meraba-raba atau menggosok-gosokkan jari ke permukaan kayu tersebut. Kesan raba dapat ditentukan berdasarkan tekstur, kadar air dan kadar zat ekstraktif di dalam kayu. Untuk keperluan identifikasi, kesan raba ditentukan berdasarkan keadaan kering udara. Kesan raba dapat licin dan dingin jika kayu mempunyai tekstur halus, mengandung lilin serta berat jenis tinggi. Kesan raba menjadi lebih kasar dan
41 lebih panas jika kondisi kayu sebaliknya. Kesan licin dapat bertambah jika kayu mengandung minyak (Pandit & Kurniawan 2008; Mandang & Pandit 2002). Bau juga dapat membantu dalam identifikasi walaupun sifatnya hanya sekunder. Pada umumnya bau ditentukan pada waktu kayu masih segar. Pada beberapa kondisi bau pada kayu sukar untuk diterangkan, hanya beberapa di antaranya yang mudah dikenal. Bau kayu yang disebabkan karena aktifitas serangan jamur tidak dinyatakan sebagai bau dari kayu. Kayu jati termasuk kayu yang mempunyai bau seperti bahan penyamak (Pandit & Kurniawan 2008; Mandang & Pandit 2002). Kekerasan adalah salah satu sifat yang berguna dalam identifikasi kayu. Kekerasan dinilai sangat lunak, lunak, agak lunak, agak keras, keras dan sangat keras. Penetapannya dengan cara menyayat contoh kayu pada arah tegak lurus serat, makin keras makin sukar disayat, dan bekas sayatannya pun mengkilap. Kekerasan kayu erat hubungannya dengan tebal relatif dinding serat, makin tebal dinding serat, makin keras kayu tersebut. Kekerasan kayu dapat pula bertambah oleh kandungan mineral, terutama silika (Mandang & Pandit 2002).
Struktur Mikroskopik Pengamatan mikroskopik dilakukan melalui pembuatan sayatan mikrotom dan maserasi. Pembuatan sayatan mikrotom berdasarkan metode Sass (1961) yang dimodifikasi menggunakan perekat entellan pada proses mounting. Contoh uji untuk sayatan mikrotom dibuat secara kontinyu dari empulur ke arah kulit, sedang contoh uji untuk proses maserasi diambil dari lingkar tumbuh pertama hingga ke arah kulit. Struktur mikro diamati pada preparat lintang, radial dan tangensial yang dibuat menggunakan mikrotom setebal 15-25 µ. Dehidrasi dilakukan menggunakan alkohol 30%, 50%, 70%, 96% dan alkohol absolut. Pembeningan dilakukan dengan merendamnya beberapa saat dalam karboxylol dan toluena, lalu direkat dengan entelan di atas gelas obyek. Ciri anatomi kayu yang diamati dan dicantumkan meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh Komite Internasional Association of Wood Anatomist (Wheeler et al. 1989) yang meliputi 163 ciri yaitu pada struktur lingkar tumbuh, pembuluh, trakeida dan serat, parenkim aksial, jarijari, susunan bertingkat, elemen sekretori dan varian kambial, serta inklusi
42 mineral. Pengukuran diameter pori dilakukan juga untuk mendukung pengamatan tekstur kayu secara makro. Preparat maserasi dibuat guna pengamatan dimensi dan kualitas serat. Proses maserasi menggunakan metode yang biasa digunakan oleh FPL (Forest Product Laboratory, USDA, dalam Tesoro 1989). Serpihan-serpihan contoh kayu sebesar batang korek api dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi larutan hidogren peroksida dengan asam asetat glasial 1 : 1, kemudian dipanaskan dalam penangas. Untuk preparat sayatan dan maserasi, ciri kuantitatif diamati 10-25 kali per contoh tergantung pada ragam ciri yang diamati : 1) diameter pembuluh, n = 25; 2) frekuensi pembuluh per mm2, n = 10; 3) frekuensi jari-jari, n = 10; 4) tinggi jari-jari, n = 25; 5) panjang serat n = 45; 6) diameter serat dan tebal dinding, masing-masing n = 15. Panjang serabut yang diperoleh dari pengukuran maserasi berguna untuk menentukan batas kayu juvenil. Penentuan kayu juvenil dilakukan berdasarkan Darwis et al. 2005. Secara struktural kayu juvenil dicirikan oleh adanya penambahan panjang serat secara progresif. Atas dasar itu, identifikasi kayu juvenil dilakukan dengan mengukur pertambahan panjang serat dari empulur hingga riap tumbuh terluar, jika pertambahan panjang serat masih berlangsung hingga riap tumbuh yang dekat kambium, berarti kayu masih mengandung proporsi kayu juvenil. Struktur Ultramikroskopik kayu a. Sudut mikrofibril, derajat kristalinitas dan dimensi kristalin kayu - Penyiapan sampel Sampel untuk pengamatan struktur ultramikroskopik kayu diambil dari lempengan setebal 5 cm dari sortimen A (bagian pangkal). Untuk pengukuran struktur ultramikroskopik kayu yaitu sudut mikrofibril (MFA) dilakukan menggunakan dua metode yaitu pengukuran menggunakan Difraksi Sinar X (XRD) dan menggunakan mikroskop cahaya. Derajat kristalinitas dan dimensi kristalin selulosa diukur menggunakan metode XRD. Pembuatan sampel dilakukan dari empulur ke arah kulit sesuai jumlah riap tumbuh dari masing-masing batang. Ukuran sampel dengan panjang 12 mm, lebar 15 mm dan tebal 0,5-1 mm diambil pada bidang tangensial, dimana
43 dari setiaap riap tumbbuh sampel dibedakan untuk u bagiann kayu awall dan kayu akhir sehhingga diperroleh dua saampel untukk setiap riap pertumbuhaan. Karena keterbatasan yang adda, sampel bbidang radiaal tidak dilakkukan. Nam mun kondisi ini dipasstikan tidakk akan meempengaruh hi data yanng dihasilkan karena berdasarkkan Stuart & Evans (1994), ( baikk sampel bbidang radiaal maupun tangensiaal memiliki hasil h yang reelatif sama. - Pengukurran menggunnakan X-rayy Difraksi Pro ofil difraksi Bragg B diukuur dari potonngan arah taangensial. Peenembakan dilakukan n pada arah tangensial ddimana bataang Sinar X diarahkan tegak t lurus pada din nding bagiann tangensiall dari potonngan-potongaan sampel yang y telah dibuat. Pada P Gambarr 7 diilustraasikan pola penembakan p n sinar X paada bidang tangensiaal.
( (Serimaa et all. 2009)
Gambar 7. 7 Pola penem mbakan sinaar X ke arah bidang tanggensial kayu.. Tanda panah mennunjukkan arah penembaakan sinar X X.
Konndisi pengukkuran sebagaai berikut: taarget Cu (λ= = 1,54060 Å)), tegangan 40 kV daan arus 30 mA. m Auto sllit tidak dig gunakan, lebar celah pennyebaran 1 mm sudu ut 0°, lebar celah c penerim ma 0,3 mm. Proses scannning kontinnyu dengan poros pem mandu Betaa (Theta/2 T Theta) dan wilayah w scann 0 - 360°. Kecepatan scanning 90°/menit.. Pada Gam mbar 8 dittunjukkan proses p scanning pada pengukurran derajat kristalinitas k ddan sudut miikrofibril.
44
P Posisi sampeel
8 Posisi sam mpel pada prroses scanninng menggunnakan Difrakksi Sinar X Gambar 8. (kiri: refleeksi, untuk ppengukuran derajat d kristaalinitas; kanaan: transmisi,, untuk penggukuran MFA A). Kurrva yang diiperoleh padda pengukuuran sudut m mikrofibril diharapkan d seperti Gambar 8 berikut:
(S Stuart & Evanns 1994)
Gambar 9. 9 Kurva hassil pengukuran sudut mik krofibril saatt data terdisttribusi secara norrmal. Unttuk penghittungan suduut mikrofibrril digunakaan persamaaan Meylan (1976) dalam Stuartt and Evanss (1994). Meylan M membbandingkan data yang h dari pewarn naan mengggunakan iodiine dengan ddata hasil diffraksi sinar diperoleh X terhadaap Pinus raddiata, lalu m membandinggkan juga deengan Teori Cave, dan ditemukaan bahwa MF FA berhubunngan dengann parameter T sesuai perssamaan: MFA = 0,6 T (Metoode Cave) Meetode Cave tersebut meendasarkan pada bentuuk distribusii intensitas serta tidaak tergantunng pada inttensitas pun ncak. Sudut ‘T’ dihitunng sebagai
45 setengah pemisahan siku titik perpotongan sumbu intensitas nol dengan garis singgung pada titik perubahan yaitu pada kemiringan terluar kurva intensitas pada busur difraksi (Stuart & Evans 1994). Nilai MFA yang dihasilkan cukup konsisten pada berbagai kondisi serat (bahkan hingga serat yang bentuknya nyaris buat serta pengukuran MFA pada bagian ujung atau tengah serat). Parameter T diestimasi secara manual dengan menggambar garis singgung di titik perubahan pada sisi busur difraksi 002 (untuk meningkatkan ketelitian pada penelitian ini digunakan software corel draw). Sehingga agar hasilnya konsisten, pada pemrosesan data tidak dilakukan penghalusan kurva (smoothing auto) dan puncak kurva ditentukan secara otomatis. Pemotongan kurva untuk menentukan awal sumbu absis (derajat sudut Bheta) dan ordinat (intensitas) berdasarkan kondisi kurva yang secara otomatis terbentuk sesuai kondisi kayu yang diuji. Kurva yang ditampakkan adalah satu kurva yang memiliki puncak dengan intensitas tertinggi, sehingga penentuan nilai T murni tergantung pada kondisi dalam kayu itu sendiri. Jika kurva yang diperoleh tidak seperti Gambar 8 akibat variasi lokal dalam kayu modifikasi Metode Cave akan dilakukan. Pada Gambar 9 disajikan gambaran hasil penyesuaian kurva dari pengukuran T busur 002 pada kasus umum, yaitu sampel yang memiliki sudut mikrofibril yang besar. Namun diusahakan untuk tidak dilakukan penghalusan (smoothing) pada kurva yang dihasilkan, apapun kondisinya.
(Stuart & Evans 1994)
Gambar 10. Pengukuran T untuk kasus umum penyesuaian kurva
46
p posisi Derrajat kristaliinitas diperooleh melalui penembakaan sinar X pada refleksi. Derajat D kristtalinitas merrupakan propporsi daerahh kristalin deengan total daerah krristalin dan daerah d amorrf pada selulo osa dinding sel kayu (G Gambar 11), seperti yaang ditunjukkkan pada peersamaan berrikut: baagian kristall k (X) = Derajat kristalinitas .
x 100% % bagiann kristal + baagian amorf
Selanjutnya, berdasarkan b data dari XRD, dillakukan pen nghitungan dimensi kristalin k (dim mensi pada aarah longitud dinal/panjangg-Lc dan dim mensi pada arah transversal/meliintang-La) serta jarak anntar fibril ellementer pada struktur kristalin-d d. Untuk lebbih jelasnya, dimensi yaang diukur ddisajikan pad da Gambar 11.
Daerah kristalin Daerah amoorp
( (Serimaa et all. 2009)
1 Struktur mikrofibril sselulosa dann dimensi kriistalin selulo osa kayu Gambar 11.
Perrsamaan yanng digunakaan untuk mengukur m dim mensi kristaalin adalah P Persamaan S Scherrer (Anndersson 20006):
47 Sedangkan jarak antar fibril elementer rantai selulosa d (pada arah transversal/melintang) dihitung menggunakan rumus: 2 sin Keterangan: λ = 0,15406 nm (panjang gelombang radiasi sinar Cu). ∆ 2 = Setengah FWHM (Full Width at Half Maximum) dalam radian. K = Faktor bentuk, untuk menentukan dimensi wilayah kristalin selulosa (refleksi 200) nilainya 0,9 sedangkan untuk menentukan panjang daerah kristalin (refleksi 004) nilainya 1 karena kristalin selulosa bentuknya pararel satu sama lain. θ' = Sudut difraksi 2θ/2 (dalam radian).
-
Pengukuran sudut mikrofibril menggunakan mikroskop cahaya Pengukuran
MFA
menggunakan
mikroskop
cahaya
dilakukan
berdasarkan Krisdianto (2008). Serat-serat yang telah terurai dari proses maserasi diamati dengan perbesaran 500x. Sudut mikrofibril diukur berdasarkan arah kemiringan mulut noktah sel serat terhadap sumbu panjangnya dengan menggunakan program pengukuran yang telah tersedia pada Mikroskop Axio Imager (Zeiss). Pada setiap riap tumbuh dibedakan atas kayu awal dan kayu akhir, dan untuk setiap sampel dilakukan ulangan pengukuran sebanyak 10 kali. Cara mengukur besarnya sudut mikrofibril disajikan pada Gambar 12.
48
noktah
a b c
Gambar 122. Cara peng gukuran suddut mikrofibrril pada satu individu sell serat
berdasarkkan orientasii noktah (Perrbesaran 5000x). Keteranggan: (a) Sumbuu panjang seel serat; (b) Sumbu S perpaanjangan muulut noktah; (cc) Besarnya sudut mikroofibril. b Pengamatan ultrastruuktur kayu m b. menggunakaan Scanningg Electron Microscope M (SEM) SS tipe EV VO 50 dengan kondiisi pengam matan yang SEM merk ZEIS m menyesuaika an akan diguunakan untuuk melihat bagian-bagiann elemen peenyusun sel k kayu JUN maupun m kayuu jati konveensional secaara lebih dettail dengan perbesaran y yang diperlu ukan. Untuk k pengamatan n menggunaakan SEM diigunakan ukkuran sampell penelitian d dengan polaa pemotongaan yang sam ma dengan saampel untuk pengukurann MFA dan k kristalinitas kayu, namuun dibuat unntuk seluruhh bidang penngamatan yaaitu bidang a aksial, radiaal dan tangensial. Karenna alat ini tiidak memerllukan pelapisan, maka t tidak ada peersiapan sam mpel sebelum mnya. Seluruuh ciri yang ditemui akan n disajikan s secara deskrriptif. Dengaan menggunnakan fasilitaas EDX (Eneergy Disperrsive X Ray A Analyzer), seelanjutnya diamati d kanddungan unsurr mineral yanng terdapat pada p kayu.
49 Hasil pengamatan struktur anatomi baik secara makro menggunakan lup dan mata telanjang, secara mikro menggunakan mikroskop cahaya dan secara ultramikroskopik menggunakan SEM dan XRD secara detail dibandingkan antara kayu JUN dengan kayu jati konvensional pada umur yang sama. Perbedaan struktur anatomi kayu akibat pertumbuhannya dipercepat disajikan secara rinci. Analisis Data Data kualitatif dianalisis secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dianalisis secara statistik. Selanjutnya semua data dikompilasi sehingga sifat dasar kayu diperoleh, dan kemudian dilakukan kajian kesesuaian untuk penggunaan sebagai bahan baku venir dan furnitur. Data kuantitatif meliputi sifat anatomi (struktur makroskopik: lebar riap tumbuh, tebal kulit, luasan empulur; struktur mikroskopik: panjang serat, diameter serat, diameter lumen sel serat, dan tebal dinding sel serat, panjang dan diameter sel pembuluh, ukuran mulut ceruk antar pembuluh, serta tinggi, lebar dan frekuensi sel jari-jari; struktur ultramikroskopik: MFA dan dimensi kristalin), sifat fisis mekanis, kadar zat ekstraktif serta keawetan, diuji menggunakan statistik tstudent dan diolah dengan bantuan software Excel. Hipotesis yang dibuat adalah: H0 : µ 1 = µ 2 H1 : µ 1 > µ 2 atau µ 1 < µ 2 dan H1 : µ 1 ≠ µ 2 (untuk tebal venir) Keterangan :
X1 = rata-rata pengamatan sifat kayu Jati Unggul Nusantara X 2 = rata-rata pengamatan sifat kayu jati konvensional Sebelumnya dilakukan uji F pada data untuk mengetahui keragaman kedua sampel. Berdasarkan kajian pustaka, hipotesis yang dapat dibuat terhadap struktur makroskopik, mikroskopik, dan ultramikroskopik kayu jati Unggul Nusantara dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang sama baik secara kualitatif maupun kuantitatif, serta kemungkinan penggunaannya sebagai bahan baku venir dan furnitur pada umur panen yaitu 5 tahun adalah:
50 a. Struktur makroskopik kayu: proporsi teras kayu JUN akan lebih rendah; warna kayu teras kurang lebih sama, riap tumbuh lebih lebar; kulit lebih tebal; luasan empulur lebih besar; dan teksturnya lebih kasar. b. Perbedaan pada struktur mikroskopik kayu: semakin cepat pertumbuhan pohon pada periode awal, volume kayu muda semakin besar dimana proporsi kayu muda JUN lebih besar. Kayu JUN memiliki sel-sel yang lebih pendek dan diameter lebih lebar, serta dinding sel lebih tipis. Jumlah sel arah radial lebih banyak dibandingkan kayu jati konvensional. c. Perbedaan pada struktur ultramikroskopik: sudut mikrofibril akan lebih besar; dimensi kristal lebih besar; dan derajat kristalinitas akan menurun. d. Sifat venir: kayu JUN akan lebih lunak sehingga lebih mudah dikupas, namun akan ada penurunan mutu seperti permukaannya kasar, kembang susut besar, dan corak kurang menarik. e. Kemungkinan penggunaan sebagai furnitur: dari segi kekerasan kayu, penggunaan sebagai furnitur lebih disukai karena kayu menjadi lebih lunak dan lebih ringan, sehingga lebih mudah dikerjakan. Namun dari segi corak, kualitasnya sebagai produk mewah akan turun, terutama untuk furnitur yang menghendaki segi keindahan kayu. Sedangkan hipotesa untuk beberapa sifat dasar sebagai parameter pendukung kesesuaian penggunaan kayu untuk venir dan furnitur adalah: a. Sifat fisik yaitu kerapatan, kadar air, kekerasan, dan kembang susut: kerapatan dan kekerasan kayu JUN lebih rendah; kadar air dan kembang susut lebih besar. b. Komponen kimia kayu terutama zat ekstraktif dalam etanol benzena: kadar ekstraktif kayu JUN kurang lebih sama dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang sama karena masih sama-sama muda. c. Ketahanan kayu terhadap serangan mikroorganisme terutama rayap tanah dan rayap kayu kering: keawetan kayu JUN relatif sama dengan kayu jati konvensional karena umurnya relatif masih sama-sama muda.