Modul ke:
Metodologi Penelitian FORMULASI MODEL
Fakultas
Program Pasca Sarjana Program Studi
Magister Teknik Elektro
Hamzah Hilal
10.1 KONSEP Secara garis besar dan untuk jelasnya, langkah‐langkah konsep formulasi model dapat diilustrasikan pada gambar 10.1. Masalah Sistem: - Latar belakang masalah - Identifikasi masalah - Pembatasan Masalah - Definisi Masalah
Pemahaman Sistem: (System Approach) - Elemen - Relasi - Atribut
Model Konseptual (Conceptual Design)
Variabel Model - Identifikasi Variabel - Klarifikasi Variabel - Definisi operasional Variabel ASUMSI
Gambar 10.1. Tahap-tahap konsep formulasi model
Formulasi Model - Fungsi dan Relasi Variabel - Ukuran Perfomansi Sistem - Model Formal
Masalah sistem Masalah sistem adalah masalah dengan latar belakang tertentu, sudah dikenali (diidentifikasi) dengan baik dan diketahui batasan‐ batasannya serta dirumuskan dengan pernyataan‐pernyataan interogatif. Melalui pendekatan sistem, eksistensi sistem dan lingkungannya dapat dipahami dengan diketahuinya elemen‐elemen sistem, relasi antarelemen, dan atribut dari masing‐masing elemen dan relasi. Lingkungan sistem merupakan kumpulan obyek di luar batasan (boundaries) sistem yang mempengaruhi (dipengaruhi) sistem. Setelah sistemnya teridentifikasi dengan baik, kemudian dibuat konseptual model yang akan dibangun. Model konseptual ini berisikan ciri‐ciri utama sistem yang penting terhadap pemecahan masalah.
10.2. SISTEM ASUMSI Setiap pihak yang berkepentingan dalam pemodelan (analis, pengambil keputusan, dan pemakai) mempunyai keinginan‐ keinginan yang berbeda yang kerap kali berbenturan dengan hasil‐hasil yang dicapai oleh model. Mereka mempunyai kerangka berpikir sendiri‐sendiri, misalnya mengenai penyesuaian praktis terhadap situasi‐situasi dalam pemecahan masalah, maka asumsi yang hampir bersifat umum (universal) dapat muncul yaitu berupa pertimbangan‐pertimbangan akal sehat (common sense) yang tepat dan memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini asumsi merupakan pikiran‐pikiran dasar yang digunakan sebagai titik tolak atau alasan dalam menjelaskan suatu fenomena dan diyakini kebenarannya.
Keyakinan terhadap kebenaran mencakup tiga sifat yaitu: sesuatu yang disadari, berarti relevan dengan hakikat masalah mengurangi keraguan, berarti didasari oleh pengenalan teori yang memadai ditindaklanjuti, berarti memberikan arah tindakan yang menyatukan status saat ini dengan status yang dikehendaki.
Penggunaan asumsi ini juga bemakna bahwa suatu fenomena yang sama bisa dijelaskan secara berbeda, tergantung pada susunan asumsi‐asumsinya. Asumsi dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang harus diterima keberadaannya dan bukan merupakan obyek untuk dites kebenarannya secara langsung. Pemodelan matematis umumnya menerapkan aturan‐aturan formal dan bilamana pemikiran umum yang logis itu diterapkan dalam sistem nyata, maka mau tidak mau mengharuskan adanya perlakukan khusus (asumsi) yang kadang‐kadang diterima begitu saja.
Asumsi mencakup asumsi umum dan asumsi khusus. Proses ilmiah memerlukan asumsi‐asumsi umum tentang realitas dan bagaimana bisa memahami realitas tersebut.
Asumsi-asumsi umum tersebut antara lain:
Ada sesuatu terjadi di luar kita. Kita mempunyai kemampuan untuk memahami dan mengatasi sesuatu itu, melalui penggunaan metode ilmiah untuk memandang dan menilai kejadian-kejadian seakan-akan kita tidak tergantung pada mereka. Setiap realitas memiliki keberaturan yang dapat dipahami. Setiap proses dalam kehidupan mempunyai kaitan yang teratur dengan proses yang lain. Gejala-gejala sistem timbul secara berurut, dan hubungan antar mereka timbul karena bekerjanya hukum-hukum alam, dan bukan karena sesuai dengan keinginan tertentu, atau terjadi dengan begitu saja tanpa alasan. Artinya ada hubungan yang bersifat sebab-akibat (kausal) antara berbagai proses dalam kehidupan. Bila hubunganhubungan kausal antara gejala tersebut dapat dimengerti, maka ia dapat diperkirakan dan dikendalikan.
Adalah tidak penting untuk mengetahui cara timbul dan tujuan akhir dari seluruh seri kejadian‐kejadian kehidupan, artinya ilmu pengetahuan dapat dikembangkan terlepas dari pertimbangan‐ pertimbangan metafisik. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan segala seri kejadian sesuatu (fakta, obyek, proses) dengan tuntas dan benar, oleh karena itu diperbolehkan adanya pengabaian‐pengabaian. Tidak ada sesuatu pun yang terbukti dengan sendirinya (self‐evident). Kita menjelaskan sesuatu berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Suatu ilmu tidak dibuktikan dari benar tidaknya, tetapi kegagalannya dalam menjelaskan sesuatu kejadian anomali. Pengetahuan diturunkan dari hasil kumulatif pengalaman dan penelitian. Hal ini menyebabkan setiap pengetahuan selalu terbuka pada pandangan dan formula yang baru.
Di samping asumsi umum, dikenal pula asumsi spesifik yang erat kaitannya dengan teori/model yang dikembangkan. Asumsi tersebut dalam pengembangan teori/model merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa ditinggalkan karena asumsi tersebut mencerminkan lingkup (scope) teori/model, latar belakang dan perilaku masalah, di mana teori/model dikembangkan. Hal ini bisa saja terdiri atas beberapa pola pikir dalam penetapan asumsi mengenai apa yang menjadi masalah sebenarnya, asumsi pendekatan sistem, asumsi tentang formulasi model, asumsi solusi model, dan asumsi tentang implementasi model.
Asumsi memberikan landasan yang kuat mengenai keberadaan masalah, dasar pemikiran, dan sumber perumusan hipotesis. Analis harus benar‐benar mengenal asumsi yang digunakan dalam pengembangan modelnya, karena dengan memakai asumsi yang berbeda akan memberikan perbedaan pada konsep pemikiran atau pola pikir (konsepsi awal yang ditetapkan tentang realitas yang digunakan).
Dalam mengembangkan asumsi harus diperhatikan beberapa hal: Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis (a). Asumsi harus disimpulkan dari "keadaan sebagaimana adanya" bukan "bagaimana keadaan yang seharusnya". Contohnya adalah asumsi kegiatan ekonomis yaitu bahwa manusia yang berperan adalah manusia "yang mencari keuntungan sebesar‐besarnya", maka itu sajalah yang dijadikan sebagai pegangan, tak usah ditambah dengan sebaiknya begini atau seharusnya begitu (b).
Asumsi yang pertama (a) adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua (b) adalah asumsi yang mendasari telaah moral
Dalam praktek, pemodelan akhirnya tiba pada pengujian apakah model benar‐benar mewakili sistemnya atau tidak, di sini pertimbangan‐pertimbangan akal sehat (asumsi) kembali lagi menjadi fokus utama untuk diselidiki lebih lanjut, yang dapat menyebabkan timbulnya perumusan dan penemuan baru. Dengan demikian patut diperiksa apakah asumsi yang telah dikembangkan handal atau tidak, kemudian memperhatikan perkembangannya dan bila perlu memperbaharuinya. Ini tidak gampang mengingat asumsi bersumber pada pengalaman dan teori‐teori yang relevan dengan pemecahan masalah, dan terkadang terperangkap (pitfalls) dalam pola pikir analis. Bila asumsi yang dipakai salah, maka keputusan yang diambil niscaya akan meleset juga dari sasaran, oleh karena itu tidak cukup hanya memperhatikan asumsi yang benar, namum asumsi yang salah juga patut diperiksa.
Sistem asumsi yang dikembangkan dapat diterima bila memenuhi persyaratan berikut:
Adanya konsistensi (taat azas). Sistem asumsi yang terdiri atas preposisi‐ preposisi (himpunan pernyataan‐pernyataan tentang anggapan kita terhadap sistem) perlu dijaga konsistensinya. Artinya, tidak ada preposisi yang bertentangan atau saling menegasikan preposisi lainnya, sebaliknya preposis‐preposisi yang ada harus saling mendukung. Adanya relevansi. Sistem asumsi yang dikembangkan, yang terdiri atas preposisi‐preposisi harus memiliki relevansi yang jelas terhadap obyeknya. Preposisi yang dibuat benar‐benar mencerminkan sistem nyatanya dan bukan menerangkan real word yang berbeda (lainnya). Adanya independensi. Setiap preposisi dalam sistem asumsi sebaiknya menyatakan pandangannya terhadap suatu realita secara unik dan tidak terikat satu dengan yang lainnya. Artinya, tidak diperkenankan adanya suatu preposisi yang merupakan himpunan bagian dari preposisi lainnya. Jadi tidak perlu diperumit lagi, bila suatu preposisi sudah dinyatakan. Adanya Ekuivalensi. Sistem asumsi yang dikembangkan dapat dibandingkan dengan asumsi teori/model lainnya. Bila asumsi A ekuivalen dengan asumsi B, maka dapat dikatakan bahwa teori A setara dengan teori B.
Seringkali sulit untuk memeriksa asumsi‐asumsi yang mendasari suatu masalah yang tidak tersusun dengan baik (ill‐structure), misalnya pada masalah‐masalah kebijakan (policy) di mana analis, pengambil kebijakan, dan pelaku‐pelaku lain tidak sepaham bagaimana merumuskan masalah. Karena itu diperlukan kriteria pokok untuk menilai kecukupan perumusan masalah yaitu apakah konflik asumsi mengenai situasi problematis telah dimunculkan, dipertentangkan, dan secara kreatif dicari sintesanya. Teknik yang bertujuan menciptakan sintesis kreatif atas asumsi‐ asumsi yang bertentangan mengenai masalah yang tidak tersusun (masalah kebijakan) ini disebut analisis asumsi. Analisis asumsi membantu kita menemukenali jebakan‐jebakan dalam pemodelan dan bilamana mungkin untuk menghindarinya
Menurut seorang pakar analisis kebijakan publik, Dunn (1981), analisis asumsi dibuat untuk mengatasi empat kelemahan pokok khususnya dalam analisis kebijakan. Analisis kebijakan selalu didasarkan pada asumsi pengambil keputusan tunggal dengan nilai‐nilai yang dapat dikemukakan dengan jelas dan dapat dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Analisis kebijakan seringkali gagal mempertimbangkan secara sistematis dan eksplisit pandangan‐pandangan yang berbeda secara mencolok pada sifat masalah dan potensi pemecahannya. Kebanyakan analisis kebijakan diselenggarakan di dalam organisasi yang bersifat menutup diri, sehingga sulit atau tidak mungkin untuk mempertimbangkan pelbagai perumusan masalah yang berbeda; dan Kriteria yang digunakan untuk menaksir kecukupan masalah dan pemecahannya lebih sering menghadapi karakteristik‐karakteristik permukaan (misalnya, konsistensi logika), daripada asumsi dasar yang melatarbelakangi konseptualisasi masalah.
Analisis asumsi meliputi penggunaan lima prosedur yang berturut‐turut dengan tahapan berikut. Identifikasi pelaku. Pada tahap pertama ini dilakukan identifikasi, klasifikasi, dan prioritas para pelaku kebijakan, yaitu orang‐orang atau kelompok‐ kelompok yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perumusan dan pemecahan masalah. Pemunculan asumsi. Pada tahap kedua ini, analis bekerja dengan mundur ke belakang dari pemecahan masalah yang diusulkan kepada satuan satuan data terpilih yang mendukung dan mendasari asumsi. Setiap orang atau kelompok mencetuskan asumsi (berdasarkan data) secara eksplisit atau implisit yang melatarbelakangi usulan pemecahan masalah. Dengan membuat daftar semua asumsi, maka dapat ditemukenali spesifikasi masalah ke arah mana usulan pemecahan dialamatkan. Pembenturan asumsi. Pada tahap ketiga analis membandingkan dan menilai semua satuan‐satuan usulan dan asumsi‐asumsi yang mendasarinya. Tahap ini dilakukan dengan memperbandingkan secara sistematis asumsi dan asumsi tandingan yang berbeda secara mencolok satu dengan yang lainnya. Selama proses ini setiap asumsi yang telah diidentifikasi terlebih dahulu dipertentangkan dengan asumsi tandingan. Jika asumsi tandingan tidak masuk akal, ia disingkirkan dari pertimbangan selanjutnya; jika asumsi tandingan tersebut masuk akal, ia diuji untuk menentukan apakah ia dapat dijadikan dasar dalam menyusun konseptualisasi masalah dan pemecahan baru.
Pengelompokan asumsi. Jika tahap penentangan asumsi telah lengkap, maka dilakukan pengumpulan aneka ragam pemecahan masalah yang ditawarkan dan telah dimunculkan pada tahap sebelumnya. Di sini asumsi‐asumsi dirundingkan dan diprioritaskan sesuai dengan kepastian dan tingkat kepentingannya bagi pelaku kebijakan. Hanya asumsi‐asumsi yang penting dan pasti saja yang dikumpulkan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan dasar asumsi yang dapat diterima yang sedapat mungkin disetujui oleh banyak pelaku kebijakan. Sintesis asumsi. Tahap akhir adalah penciptaan pemecahan masalah yang bersifat gabungan dan sintesis. Gabungan satuan asumsi yang dapat diterima dapat menjadi dasar dalam menciptakan konseptualisasi masalah yang baru. Jika isu di sekitar konseptualisasi masalah ini dan potensi pemecahan masalah sudah sampai di tahap ini, kebanyakan konflik di antara para pelaku dapat dihilangkan. Akibatnya, aktivitas para pelaku kebijakan dapat menjadi kooperatif dan secara keseluruhan produktif.
Analisis asumsi dapat digunakan pada pengambilan keputusan di tingkat bisnis dalam bidang pemasaran, produksi, keuangan, strategi, dan personalia. Metode ini cocok dengan masalah yang tidak tersusun dengan baik dan mampu mengusulkan pemecahan yang memadai. Analisis asumsi juga membantu untuk menghindari kesalahan perumusan masalah, yaitu memecahkan masalah yang dirumuskan dengan salah karena menghendaki pemecahan yang benar.
10.3. PENDEKATAN SISTEM Konsep sistem merupakan suatu konsep yang umum atau universal. Konsep sistem ini sangat luas sekali penggunaannya dan meliputi berbagai disiplin ilmu, sehingga timbul berbagai pendapat dalam menafsirkannya. Banyak penulis yang memberikan pengertian yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Disini sistem didefinisikan sebagai suatu kumpulan objek yang saling berkaitan dan saling bergantungan secara tetap (reguler) untuk mencapai tujuan bersama pada suatu lingkungan yang kompleks. Ciri suatu sistem ditandai dengan elemen‐elemen pembentuknya. Tetapi, sebenarnya suatu sistem lebih dari sekedar penjumlahan elemen‐elemennya. Seseorang berbicara tentang sistem bila elemen‐elemen tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya (lihat gambar‐gambar berikut).
a. Elemen-elemen (lingkaran, bujur sangkar, heksagon) b. Sama seperti (a), elemenelemen digabung dalam kelompok (lingkaran besar);
Elemen‐elemen suatu sistem selalu mempunyai ciri kualitas. Kualitas ini disebut atribut‐atribut (ukuran, berat, harga, warna, ...) atau atribut (8 cm, 68 kg, 100 rupiah, biru, ...). Kebanyakan hubungan atau relasi antarelemen terletak pada atributnya, bukan pada elemennya. Banyak terdapat kasus, di mana elemen‐elemen yang berbeda dapat digabung dalam suatu himpunan atau kelompok elemen (lihat gambar 10.2.b). Hal ini berlaku bila hubungan antar elemen‐ elemen tersebut memiliki atribut yang sama, walaupun nilai atributnya berbeda. Oleh karena itu, atribut‐atribut diasosiasikan dengan kelompok‐kelompok elemen, sedangkan nilai‐nilai atribut diasosiasikan dengan suatu elemen tunggal.
c. Sama seperti (b), elemen secara simbolis diwakili oleh kelompoknya, d. Sama seperti (c), hubungan antar kelompok ditentukan oleh kelompok entiti yang kompleks (elips)
Bila elemen‐elemen telah digantikan oleh himpunan elemen, hubungan antar elemen tunggal dapat juga digantikan oleh hubungan antar himpunan; atau kelompck (lihat gambar 10.2.c). Hubungan antar himpunan hanya berlaku untuk atribut‐atribut tertentu, sedangkan hubungan antar elemen‐elemen tunggal ditunjukkan oleh nilai‐nilai atribut. Namun bila elemen‐elemen pembentuk himpunan sudah demikian kompleksnya, maka kita berkaitan dengan entiti kompleks dan himpunan entiti kompleks. Kelompok entiti kompleks dan atributnya membawa informasi tentang hubungan antar kelompok elemen (lihat gambar 10.2.d).
Kelompok entiti yang kompleks dan atributnya dapat membawa data hubungan antar kelompok elemen. Dalam hal ini, hubungan tersebut hendaknya dinyatakan secara eksplisit dalam suatu pernyataan relasi atau hubungan. Ciri sistem yang telah dibahas tadi, berangkat dari perspektif informasional, yakni konsep Elemen‐Relasi‐Atribut (ERA). Dengan demikian dapat disebutkan bahwa suatu sistem memiliki ciriciri berikut: Entiti, objek sistem yang menjadi pokok perhatian. Atribut, sifat yang dimiliki oleh entiti. Aktivitas, proses yang menyebabkan perubahan dalam sistem, yang dapat mengubah atribut, bahkan entiti. Status, keadaan entiti dan aktivitas pada saat tertentu, atau kumpulan variabel yang penting untuk menggambarkan sistem pada sembarang waktu, tergantung pada tujuan studi sistemnya. Kejadian, peristiwa sesaat yang dapat mengubah variabel status sistem.
Pernyataan sistem yang lengkap mencakup kelima ciri di atas. Istilah endogenus digunakan untuk menggambarkan aktivitas dan kejadian yang terjadi di dalam sistem, dan istilah eksogenous digunakan untuk menggambarkan aktivitas dan kejadian di lingkungan yang mempengaruhi sistem. Endogenus melihat sistem dari subsistem‐subsistem yang berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Eksogenous melihat pengertian sistem dari suprasistem yakni unsur‐unsur lingkungan yang kompleks, termasuk juga hierarki yang terbentuk. Contoh komponen sistem dapat dilihat pada tabel 10.1. Hanya sebagian kecil ciri‐ciri yang ditampilkan. Daftar yang lengkap dapat dikembangkan bila tujuan studi diketahui, kemudian mencari berbagai aspek sistem yang relevan dengan tujuan studi.
Sistem
Entiti
Atribut
Aktivitas
Kejadian
Variabel Status
Bank
Pelanggan
Pemeriksaan rekening
Melakukan deposito
Kedatangan, Kepergian
Kereta Cepat
Penumpang
Asal, tujuan
Perjalanan
Tiba di stasiun, tiba di tujuan
Produksi
Mesin
Kecepatan, kapasitas, tingkat kerusakan
Pengelasan, pengecapan
Komunikasi
Pesan atau berita
Jauhnya, tujuan
Pengiriman
Jumlah pesan yang menunggu untuk dikirim
Persediaan
Gedung
Kapasitas
Pengambilan
Level persediaan, pesanan yang belum dipenuhi
Kerusakan Sampai di tujuan Permintaan
Jumlah teller yang sibuk, Jumlah pelanggan yang menunggu
Jumlah penumpang yang menunggu di tiap stasiun; jumlah penumpang yang transit
Status mesin (sibuk, nganggur, untuk dikirim)
Setiap sistem antara lain seperti contoh yang tertera pada tabel sebelumnya secara implisit memiliki karakteristik umum berikut: Definisi sitem menunjukkan bahwa sistem paling sedikt terdiri atas dua elemen penyusunannya dan elemen‐elemen tersebut saling berhubungan membentuk suatu kesatuan atau holisme. Sistem tidak hanya sekedar penjumlahan dari bagian‐bagiannya, ia harus dipandang sebagai keseluruhan. Sistem mampu memberikan efek kombinasi yang lebih besar dari efek gabungan semata dari elemen‐ elemen pembentuknya. Efek kombinasi ini disebut sinergi. Dengan demikian, sistem itu sendiri baru dapat diterangkan dengan menunjukkannya secara keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan ini menyebabkan timbulnya tindakan gabungan atau sinergi. Jadi, sinergi adalah perwujudan dimana unsur‐unsur yang dipadukan menghasilkan suatu hasil yang lebih besar dari pada jumlah hasil masing‐masing unsur yang terlibat.
Sistem terbuka melakukan pertukaran informasi, energi, bahan, dengan lingkungannya. Keterkaitan dinamis antara sistem dan lingkungan sering digambarkan dalam hubungan input‐transformasi‐output. Sistem menerima bermacam‐macam masukan dari lingkungan, kemudian mengolahnya dengan cara tertentu dan menghasilkan keluaran untuk lingkungan. Agar sistem terbuka dapat terus hidup atau berlangsung, sedikit‐dikitnya ia harus menerima lebih banyak input dari lingkungan untuk mengimbangi outputnya ditambah dengan energi dan bahan yang dipakai selama aktivitas sistem itu. Kondisi stabil atau mantap atau seimbang ini disebut homoestatis dinamis. Konsep homoestatis berasal dari proses biologis dimana tubuh kita menerima temperatur tetap ketika menghadapi lingkungan yang berubah. Sedangkan konsep dinamis muncul dari ide bahwa keadaan mantap itu terus menerus bergerak. Sistem mempunyai batas‐batas (boundary spanning) yang menangani transaksi antara sistem dengan lingkungannya. Seringkali batas‐batas ini kabur terutama pada sistem terbuka.
Entrofi negatif sistem, dimana sistem dipengaruhi oleh kekuatan entrofi yang bertambah terus sampai seluruh sistem tidak berfungsi lagi. Konsep entrofi berasal dari sistem fisika tertutup yang menunjukkan derajat ketidakteraturan sistem. Kecenderungan pada maksimum entrofi merupakan gerakan menuju kekacauan, kekurangan sumber transformasi, dan kemudian mati. Pada sistem terbuka, entrofi dapat diberhentikan dan bahkan dapat diubah ke dalam entrofi negatif, yakni suatu proses sistem yang lebih lengkap dan sanggup untuk mengambil dan mengolah sumber‐ sumber dari lingkungan. Pada sistem tertutup, lambat laun harus dicapai keadaan seimbang dengan entrofi maksimum (mati) atau dis‐sitem. Sedangkan pada sistem terbuka mungkin saja dicapai keseimbangan dinamis melalui aliran masuk material, energi, dan informasi secara terus menerus. Infirmasi tentang keluaran atau proses sistem adalah umpan balik bagi masukan sistem. Input informatif ini berfungsi untuk memberitahu apakah sistem benar‐benar mencapai keadaan mantap atau diambang kehancuran. Umpan balik memungkinkan untuk menyebabkan perubahan dalam proses transformasi dan/atau keluaran berikutnya dalam usaha mencari keseimbangan dinamis (homoestatis), pertumbuhan (growth), atau peluruhan (decay).
Suatu sistem adalah gabungan dari susbsistem tingkatan yang lebih bawah dan juga merupakan bagian dari supra sistem tingkatan yang lebih tinggi. Artinya terdapat hierarki dari elemen‐ elemen sistem. Subsistem pembentuk sistem mempunyai nilai dan tujuan yang berbeda. Hal ini menyebabkan perbedaan perilaku sistem dalam upaya mencapai tujuan majemuk, dimana sasaran akhirnya adalah homoestatis dinamis atau keadaan mantap. Hasil atau sasaran tertentu dapat dicapai melalui keadaan awal yang berbeda dan cara yang berbeda. Konsep ini dikenal dengan nama equifinality (kesamaan hasil akhir). Dengan demikian sistem dapat mencapai tujuan, dengan masukan yang berbeda dan dengan kegiatan internal yang berbeda.
10.4. PERILAKU SISTEM Perilaku atau tingkah laku adalah aktivitas sistem dalam bentuk keluaran‐keluaran (tindakan‐tindakan) dalam rangka bereaksi terhadap rangsangan atau stimulus. Stimulus itu dapat berupa rangsangan dari dalam sistem maupun dari luar (lingkungan sistem). Perilaku sistem dapat diartikan sebagai semua aktivitas sistem yang dapat diamati atau dicatat dengan menggunakan alat ukur tertentu. Perilaku itu terdiri atas aktivitas sistem yang langsung terlibat dalam usaha mendapatkan dan menggunakan sumber‐sumber, termasuk faktor‐faktor yang mendahului dan menentukan aktivitas itu. Pengamatan perilaku suatu sistem bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, karena memerlukan banyak sekali informasi. Banyak pengaruh yang tidak teramati dan mungkin tidak bisa diamati karena terjadi sebelum dilakukan pengamatan terhadap tingkah laku tersebut.
Ada kalanya suatu sistem (sistem belajar) mampu mengingat kembali apa yang dialami di masa lalu dan dia juga dapat mengantisipasi konsekuensi‐konsekuensi dari tingkah laku di masa depan. Situasi ini dapat dilukiskan seperti pada gambar 10.3. Proses internal sistem adalah proses yang tidak bisa diamati secara langsung. Akibatnya adalah kesimpulan hanya dapat ditarik dari apa yang ditampilkan oleh sistem tersebut.
Gambar 10.3 Diagram perilaku sistem
10.5. PERFORMANSI SISTEM Usaha untuk mengukur atau menjajaki performansi suatu sistem telah banyak dilakukan secara intensif dalam tahun‐ tahun terakhir ini. Performansi atau kinerja atau unjuk kerja atau penampilan pada dasarnya dilandasi oleh keingintahuan mengenai: Pandangan orang tentang performansi suatu sistem; Faktor apa saja yang mempengaruhi performansi suatu sistem; Bagaimana metode yang tepat untuk menetapkan performansi suatu sistem yang menjadi perhatian atau pernyataan keberhasilan suatu sistem dalam mencapai tujuannya.
Setiap sistem memiliki sasaran (objective) yang dipengaruhi oleh sistem yang lebih besar lagi, misalnya sasaran sistem produksi dipengaruhi oleh tujuan perusahaan.
Oleh karena itu perlu dikembangkan kriteria sebagai ukuran keberhasilan yang menyelaraskan tujuan (goal) sistem dengan sasaran sistem (dalam hal ini sasaran adalah tujuan jangka panjang sistem). Berkenaan dengan sifat kriteria maka terdapat dua macam pendekatan, yakni pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif didasarkan pada pandangan yang menyatakan bahwa untuk setiap sistem supaya dapat disebut efektif, haruslah memiliki beberapa kualitas atas dasar sub‐sub sistem. Sedang pendekatan deskriptif didasarkan pada pandangan yang melihat efektivitas sebagai sesuatu yang perlu dijelaskan secara induktif. Pada pendekatan normatif tidak ada landasan empiris yang dapat menjawab mengapa kriteria yang dinyatakan tersebut dapat mencerminkan efektivitas sistem yang sedang diperhatikan, sedangkan pada pendekatan deskriptif pendekatannya sangat empiris sehingga kriteria yang dimunculkan merupakan hasil suatu penelaahan.
Sifat yang perlu diperhatikan dalam memilih kriteria adalah sebagai berikut: Lengkap. Suatu set kriteria disebut lengkap bila set ini dapat menunjukkan seberapa jauh seluruh tujuan dapat dicapai oleh sistem. Dengan kata lain, dengan mengetahui tingkat pencapaian kriteria, dapat diperoleh gambaran seberapa jauh tujuan dapat dicapai. Operasional, Set kriteria harus mempunyai arti yang dapat digunakan dalam analisis, sehingga benar‐benar dapat dihayati implikasinya terhadap alternatif yang ada dan dapat dijelaskan. Operasoinal ini juga mencakup sifat dapat diukur, yang dimaksudkan untuk memperoleh tingkat pencapaian kriteria dan mengungkapkan preferensi yang digunakan. Tidak berlebihan. Dalam menentukan set kriteria, jangan sampai terdapat kriteria yang pada dasarnya mengandung pengertian yang sama atau duplikasi. Minimum. Dalam menentukan set kriteria perlu sedapat mungkin mengusahakan agar jumlah kriteria sesedikit mungkin. Makin banyak kriteria, makin sulit pula untuk dapat mebghayati dengan baik. Dalam beberapa hal mungkin dapat mengkombinasikan dua atau lebih kriteria menjadi satu kriteria. Ini akan mengurangi jumlah kriteria dan membuat proses perhitungan menjadi sederhana.
Terima Kasih Hamzah Hilal