BAB III. PROFIL WILAYAH DAN KARAKTERISTIK SOSIAL– EKONOMI MASYARAKAT PEMANFAAT SUMBERDAYA PERIKANAN–KELAUTAN BERBASIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Eksploitasi sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah pesisir dalam dua dekade terakhir semakin menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan mengancam kelestarian sumberdaya. Berbagai dampak negatif yang timbul apabila dibiarkan terus–menerus akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa sumberdaya perikanan–kelautan merupakan akses terbuka (open acces resources) untuk dimanfaatkan sehingga pengguna berlomba–lomba memanfaatkannya tanpa ada satu pun aturan yang membatasi (Faiza, 2011). Pertimbangan atas pentingnya keberadaan sumberdaya perikanan–kelautan bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir kemudian menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan untuk menjaga kelestariannya. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya tersebut agar tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang terlindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan merupakan upaya pengelolaan yang bertujuan menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau–pulau kecil. Penetapan Daerah Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat (DPL–BM) merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang (Pomeroy dan Rivera–Guieb, 2006). Pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan dengan pendekatan DPL– BM merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologis dan sosial. Pemikiran ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata sebuah sistem ekologi, tetapi juga merupakan sistem sosial yang khas. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi– sosial masyarakat yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar masyarakat bahari. Bila masyarakat berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal dan masyarakat sekaligus menjadi pengawas sumberdaya yang efektif karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge). Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan– kelautan dapat berupa perilaku positif maupun negatif. Perilaku positif merupakan perilaku yang sesuai dengan norma–norma sosial budaya setempat serta prinsip ekonomi dan konservasi dalam melakukan usaha perikanannya. Perilaku negatif adalah kegiatan destruktif dalam melakukan usaha perikanan dan memberikan dampak negatif bagi kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Kecenderungan penurunan dan kerusakan kualitas sumberdaya perikanan– kelautan sebagai dampak eksploitasi yang berlebihan serta praktek–praktek destruktif juga terjadi di wilayah Kepulauan Seribu. Hasil penelitian Yayasan Terangi menunjukkan telah terjadi penurunan hasil tangkapan sebagai dampak 29
30
dari pemanfaatan sumberdaya yang berlebih. Selain itu juga masih ditemukan indikasi praktek penggunaan sianida dan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu (Terangi, 2009). Untuk memperbaiki kualitas sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan tersebut, pada tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bersama masyarakat mulai menerapkan program Areal Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat (APL–BM) di lima kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Tidung dan Pulau Pari. Program APL–BM merupakan program kolaboratif yang bertujuan memulihkan kualitas sumberdaya di wilayah perairan dengan melakukan aturan perlindungan dan pengelolaan pada zona tertentu. Keberhasilan penerapan program perlindungan laut berbasis masyarakat sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah tersebut (Crawford et al., 2004). Secara sederhana, terdapat dua faktor utama karakteristik sosial ekonomi yang berkontribusi dalam pembentukan perilaku masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari proses perkembangan internal individu dan dinamika sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat seperti pengetahuan, pengalaman, penguasaan teknologi dan manajemen usaha, kearifan lokal, peran pemimpin informal dan faktor lainnya; sedangkan faktor eksternal berasal dari pengaruh di luar individu atau masyarakat seperti intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan dan program pembangunan, peran aparat pemerintah dan sektor swasta serta layanan penyuluhan pembangunan yang diberikan (Amanah, 2006; Aldon, 2011). Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : (1) mengidentifikasi profil wilayah dan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan dengan pendekatan program APL–BM di Kepulauan Seribu dan (2) mengidentifikasi karakteristik sosial–ekonomi masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan–kelautan berbasis terumbu karang di Kepulauan Seribu. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai survei deskriptif yang melakukan pengukuran secara cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 2006). Penelitian dilaksanakan di lima kelurahan yang memiliki program APL–BM, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh individu yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama penghidupannya (pimary stakeholders) di lokasi penelitian. Responden dipilih dengan tehnik acak proporsional (proportional random sampling). Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Data sekunder dikumpulkan melalui analisis dokumen/publikasi dari lembaga terkait. Untuk melihat sejauh mana peubah–peubah saling berbeda pada masing–masing lokasi penelitian digunakan analisis uji beda Tuckey. Jumlah responden sebagai sampel
31
penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Sevilla dkk, 1993), yaitu : N n =
Keterangan : 1 + Ne2 n = ukuran sampel N = ukuran populasi (6287 orang) e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir (e = 7 %)
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka kerangka pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut (Tabel 9): Tabel 9. Kerangka Pemilihan Sampel Penelitian Jaring
Muroami
Bubu
N n N n N Kelurahan Panggang Jumlah populasi = 1689, jumlah sampel = 56 1.Pemilik 13 1 28 1 168 2.Pekerja 75 3 495 15 331 Jumlah 88 4 523 16 499 Kelurahan Kelapa Jumlah populasi = 1191, jumlah sampel = 39 1.Pemilik 92 3 0 0 72 2.Pekerja 719 22 0 0 184 Jumlah 811 25 0 0 256 Kelurahan Harapan Jumlah populasi = 764, jumlah sampel = 25 1.Pemilik 75 3 0 0 64 2.Pekerja 450 14 0 0 129 Jumlah 525 17 0 0 193 Kelurahan Tidung, Jumlah populasi = 669, jumlah sampel = 23 1.Pemilik 5 1 0 0 0 2.Pekerja 43 2 0 0 0 Jumlah 48 3 0 0 0 Kelurahan Pari Jumlah populasi = 1974, jumlah sampel = 63 1.Pemilik 22 1 0 0 143 2.Pekerja 188 6 0 0 713 Jumlah 210 7 0 0 856 Total sampel diambil = 206
Sumber : data primer yang diolah
Pancing
Wisata bahari N n
Transplantasi N n
n
N
n
6 10 16
129 190 319
4 6 10
33 168 201
1 6 7
17 42 59
1 2 3
3 6 9
46 78 124
2 3 5
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
2 4 6
21 25 46
1 1 2
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
221 274 495
7 9 16
29 97 126
1 3 4
0 0 0
0 0 0
5 22 27
404 504 908
13 16 29
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
32
Kerangka Berpikir Penelitian Penerapan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan wujud dari paradigma baru pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Secara konseptual, program ini merupakan praktek pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dilakukan secara bersama oleh kelompok masyarakat pemanfaat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Partisipasi kelompok pemanfaat tersebut merupakan komponen utama bagi upaya pemeliharaan sumberdaya perikanan–kelautan. Namun demikian, pada saat ini masih terus terjadi penurunan kualitas sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah Kepulauan Seribu. Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program APL– BM pada saat ini belum optimal. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya memerlukan persyaratan kemampuan individu dan organisasi masyarakat dalam implementsinya. Karakteristik individu merupakan ciri yang melekat pada individu responden yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut menjadi pembeda yang khas antara satu individu dengan yang lainnya. Karakteristik individu yang diamati dalam penelitian ini adalah usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman mengelola usaha perikanan–kelautan, jenis pekerjaan dan alat tangkap, status kepemilikan alat produksi dan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan. Dinamika sosial budaya masyarakat adalah proses interaksi sosial antara kelompok–kelompok di dalam masyarakat maupun dengan pihak lain di luar lingkungan sosialnya yang mempengaruhi suasana atau menyebabkan perubahan di dalam sistem sosial tersebut. Perubahan tersebut meliputi aspek nilai–nilai, sikap dan perilaku dalam masyarakat tersebut. Indikator dari peubah dinamika sosial budaya masyarakat yang diamati pada penelitian ini adalah tingkat kekosmopolitan, tingkat keterdedahan media massa, dukungan kearifan lokal serta dukungan dari tokoh masyarakat informal, tokoh masyarakat formal/aparat pemerintah, pihak swasta dan organisasi non–pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan melalui implementasi program APL–BM di Kepulauan Seribu. Kemampuan organisasi masyarakat yang diamati dalam penelitian ini meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Kemampuan teknis adalah kemampuan yang dimiliki oleh massyarakat berupa pengetahuan dan keterampilan tentang pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, yang meliputi aspek pemilihan lokasi, penetapan peraturan atas zonasi perlindungan dan transplantasi karang serta aspek teknis lainnya. Dengan kemampuan ini masyarakat akan mampu melaksanakan secara fisik berbagai kegiatan pengelolaan APL–BM dengan berlandaskan pada prinsipprinsip kelestarian dan keberlanjutan. Kemampuan manajerial merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat berupa pengetahuan dan ketrampilan tentang cara merencanakan, mengorganisasikan serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dengan menerapkan program APL–BM. Dengan adanya kemampuan manajerial yang memadai, masyarakat akan mampu mengelola dan
33
mengembangkan sumberdaya perikanan–kelautan secara benar. Kemampuan sosial adalah kemampuan masyarakat untuk membangun hubungan interpersonal, dinamika kelompok, kemampuan bernegosiasi dan mengembangkan jejaring atau kemitraan dengan pihak lain alam dalam mengelola sumberdaya perikanan– kelautan. Di samping kemampuan yang memadai, diperlukan pula motivasi masyarakat yang mendorong untuk berpartisipasi dan kemudian dapat mempertahankan partisipasi tersebut. Motivasi untuk melibatkan diri dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan merupakan indikasi adanya modal sosial masuarakat yang potensial untuk dikembangkan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan pada umumnya didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh manfaat dari partisipasinya tersebut. Keinginan-keinginan tersebut akan mendorong dan mengarahkan serta mempertahankan intensitas partisipasi mereka. Keinginan–keinginan yang memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi tersebut meliputi keinginan untuk meningkatkan pendapatan, keinginan untuk mendapat pengakuan atas kredibilitas sebagai warga negara yang mampu mengelola sumberdaya dan keinginan untuk menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Masyarakat yang termotivasi oleh keinginan–keinginan tersebut, diduga akan bersemangat untuk mengerahkan dan mencurahkan pikiran, tenaga dan materi untuk berpartisipasi agar keinginannya terpenuhi. Masyarakat yang kurang motivasinya dalam arti kurang memiliki keinginan sebagaimana telah disebutkan, akan rendah semangatnya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya. PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Perikanan–Kelautan di Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu yang terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta merupakan wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI Jakarta lainnya. Wilayah ini pada dasarnya tersusun oleh ekosistem pulau–pulau sangat kecil dan perairan laut dangkal yang terdiri dari gugus kepulauan dengan komposisi 110 pulau sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal yang terdiri dari laguna, selat, teluk, terumbu karang tipe fringing reef dan reef flat, mangrove dan lamun dengan kedalaman laut dangkal sekitar 20–40 meter di sekitar pulaunya. Dari jumlah pulau yang berada di kawasan perairan tersebut di antaranya 20 pulau sebagai pulau wisata yang dikelola perorangan atau badan usaha dan 11 pulau sebagai hunian penduduk (Setyawan dkk., 2009). Kepulauan Seribu mempunyai sumberdaya alam yang khas yaitu keindahan alam laut dengan ekosistem karang yang unik seperti terumbu karang, ikan hias dan ikan konsumsi, echinodermata, crustacea, molusca, penyu, tumbuhan laut dan darat, mangrove, padang lamun dan lain–lain. Terumbu karang di kawasan perairan ini membentuk ekosistem khas daerah tropik, pulau-pulaunya dikelilingi terumbu karang tepian (fringing reef) dengan kedalaman 1–20 meter. (Terangi, 2009). Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di Kepulauan Seribu adalah jenis karang keras (hard coral) seperti karang batu (massive coral) misalnya Monstastrea dan Labophyllia, karang meja (table coral), karang kipas (gorgonia), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis karang lunak
34
(soft coral). Jenis ikan hias yang banyak ditemukan diantaranya adalah jenis-jenis yang termasuk dalam famili Chaetodontidae, Apogonidae dan Pomancanthidae, sedangkan jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi antara lain adalah baronang (Family Siganidae), ekor kuning (Family Caesiodiae), kerapu (Family Serranidae) dan tongkol (Eutynus Sp.) (Setyawan dkk., 2009) . Echinodermata yang banyak dijumpai diantaranya adalah bintang laut, lili laut, teripang dan bulu babi yang keberadaannya juga merupakan indikator kerusakan terumbu karang. Crustacea yang banyak dikonsumsi antara lain kepiting, rajungan (Portumus Sp.) dan udang karang (Spiny lobster). Moluska (binatang lunak) yang dijumpai terdiri dari Gastropoda dan Pelecypoda, termasuk jenis yang dilindungi di antaranya adalah kima raksasa (Tridacna gigas) dan kima sisik (Tridacna squamosa). Kawasan perairan Kepulauan Seribu merupakan habitat bagi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang dilindungi dan saat ini keberadaannya cenderung semakin langka. Dalam upaya pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap tempat–tempat penelurannya seperti beberapa pulau dan juga telah dilakukan pengembangan pusat penetasan, pembesaran dan pelepasliaran penyu sisik di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa. Kegiatan di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa tersebut dilakukan dengan cara mengambil telur dari pulau–pulau tempat bertelur untuk ditetaskan secara semi alami. Anak penyu (tukik) hasil penetasan tersebut kemudian sebagian dilepaskan kembali ke alam dan sisanya dipelihara untuk dilepaskan secara bertahap. Untuk jenis tumbuhan laut, kawasan Kepulauan Seribu ditumbuhi jenis lamun (seagrass) seperti thalasia dan enhalus serta ganggang laut/algae/rumput laut (seaweed) seperti Halimeda, Sargassum dan Caulerpa . Jenis-jenis tumbuhan darat yang banyak ditemukan antara lain adalah kelapa (Cocos nucifera), mengkudu (Morinda citrifolia), ketapang (Terminalia catappa), butun (Baringtonia asiatica), sukun (Artocarpus atilis), pandan laut (Pandanus tectorius), sentigi (Pemphis acidula) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia). Di beberapa pulau juga ditemukan ekosistem mangrove yang di dominasi oleh jenis-jenis bakau (Rhizophora Sp.), api-api (Avicenia Sp.), tancang (BruguieraSp.) dan prepat (Sonneratia Sp.). Sejarah Pengelolaan Laut Kepulauan Seribu Sudah sejak lama wilayah laut dikenal sebagai wilayah yang tidak mempunyai status hukum kepemilikan (property right), sehingga sumberdaya perairan laut tersebut menjadi suatu obyek yang bersifat terbuka (openly accessed) bagi semua pihak. Khusus di wilayah Kepulauan Seribu, usaha pengelolaan wilayahnya sudah cukup lama dilakukan, baik melalui peraturan daerah maupun melalui peraturan pusat. Pengaturan daerah pemanfaatan laut di wilayah Kepulauan Seribu antara lain sebagai berikut : (1) Perda Kotapraja Jakarta Raya Nomor 7 tahun 1962 tanggal 30 Maret 1962 tentang pengambilan batu barang, pasir, batu dan kerikil dari pulau-pulau dan beting-beting karang dalam wilayah lautan Kotapraja Jakarta Raya. (2) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ib.3/3/26/1969 tanggal 3 Desember 1969 tentang pengamanan penggunaan tanah di Kepulauan Seribu.
35
(3) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ca.19/1/44/1970 tanggal 6 Nopember 1970 tentang penutupan perairan di sekeliling taman-taman karang di gugusan Kepulauan Seribu untuk penangkapan ikan oleh nelayan–nelayan sebagai mata pencaharian (profesional). (4) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ea.6/1/36/1970 tanggal 31 Desember 1970 tentang larangan penangkapan ikan dengan mempergunakan alat bagan di lautan/perairan dalam wilayah Daerah Ibukota Jakarta. (5) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Da.11/24/44/1972 tanggal 27 September 1972 tentang ketentuan dan persyaratan pemberian izin penunjukkan penggunaan tanah untuk mengusahakan/menempati pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Di sisi lain, dengan memperhatikan adanya indikasi potensi kawasan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut di wilayah Kepulauan Seribu yang tinggi, Pemerintah Pusat juga melakukan pengaturan antara lain : (1) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982, yang menetapkan wilayah seluas 108.000 hektar Kepulauan Seribu sebagai cagar alam dengan nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu. (2) Pernyataan Menteri Pertanian pada Konggres Taman Nasional Se-Dunia ke III tahun 1982 di Bali, Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 10 Oktober 1982, yang menyatakan Cagar Alam Laut Pulau Seribu seluas 108.000 hektar sebagai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). (3) Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986 tanggal 19 April 1986 tentang pembagian zona di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. (4) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 tanggal 21 Maret 1995 tentang Perubahan fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu yang terletak di Kotamadya Daerah Tingkat II Jakarta Utara Daerah Khusus Ibukota Jakarta seluas +/- 108.000 (seratus delapan ribu) hektar menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. (5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts-II/2000 tanggal 2 Agustus 2000 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta seluas 108.475,45 (seratus delapan ribu empat ratus tujuh puluh lima koma empat puluh lima) hektar. (6) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang pembentukan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu sebagai unit pelaksana teknis pengelola Taman Nasional Kepulauan Seribu. (7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang penetapan kawasan pelestarian alam perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 (Seratus tujuh empat ratus delapan puluh sembilan) hektar di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
36
(8) Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang zonasi pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Keputusan pemerintah tersebut membagi zonasi pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu menjadi sebagai berikut: (1) Zona Inti Taman Nasional (4.449 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. a. Zona Inti I (1.389 hektar) meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat pada posisi geografis 5°27'00" – 5°29'00" Lintang Selatan dan 106°26'00"–106°28'00" Bujur Timur yang merupakan perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan ekosistem terumbu karang. b. Zona Inti II (2.490 hektar) meliputi perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton dan Gosong Penjaliran, pada posisi 5°26'36"–5°29'00" Lintang Selatan dan 106°32'00"–106°36'00" Bujur Timur yang merupakan perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata), ekosistem terumbu karang dan ekosistem hutan mangrove. c. Zona Inti III (570 hektar) meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda dan bagian utara Pulau Bira Besar, pada posisi 5°36'00"–5°37'00" Lintang Selatan dan 106°33'36"–106°36'42" Bujur Timur yang merupakan perlindungan perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan dalam zona inti ini dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pendidikan, penelitian dan penunjang budidaya. b. Monitoring SDA hayati dan ekosistemnya. c. Membangun sarana prasarana untuk monitoring, yang tidak merubah bentang alam. (2) Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284, 50 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. Zona perlindungan meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit, dan Karang Mayang, pada posisi geografis 5°24'00"–5°30'00" Lintang Selatan dan 106°25'00"–106°40'00" Bujur Timur dan daratan Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur seluas 39,5 hektar. Pengelolaan dalam zona perlindungan dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pendidikan, penelitian, wisata terbatas dan penunjang budidaya b. Membangun sarana prasarana untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas yang tidak merubah bentang alam. c. Pembinaan habitat, pembinaan populasi dan pemanfaatan jasa lingkungan. d. Pemanfaatan tradisional. (3) Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Zona Pemanfaatan Wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Sebaru Besar, Lipan, Kapas, Sebaru Kecil, Bunder, Karang Baka, Hantu Timur, Hantu Barat, Gosong Laga, Yu Barat/Besar,
37
Yu Timur, Satu/Saktu, Kelor Timur, Kelor Barat, Jukung, Semut Kecil, Cina, Semut Besar, Sepa Timur/Kecil, Sepa Barat/Besar, Gosong Sepa, Melinjo, Melintang Besar, Melintang Kecil, Perak, Kayu Angin Melintang, Kayu Angin Genteng, Panjang, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat/Pelangi, Putri Kecil/Timur, Putri Barat/Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan Besar/Matahari, Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Ketamba, Gosong Munggu, Kotok Besar dan Kotok Kecil, pada posisi geografis 5°30'00" – 5°38'00" Lintang Selatan dan 106°25'00"–106°40'00" Bujur Timur serta 5°38'00"–5°45'00" Lintang Selatan dan 106°25'00"–106°33'00" Bujur Timur. Pengelolaan dalam zona pemanfaatan wisata dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pemanfaatan kawasan dan potensi dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari. b. Pengusahaan wisata alam/bahari oleh dunia usaha. c. Penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan restocking. d. Membangun sarpras pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari yang tidak merubah bentang alam. e. Pembinaan habitat, pembinaan populasi dan pemanfaatan jasa lingkungan. f. Pemanfaatan tradisional. (4) Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk. Zona Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang dan Pramuka pada posisi geografis 5°38'00"–5°45'00" Lintang Selatan dan 106°33'00"–106°40'00" Bujur Timur. Pengelolaan dalam zona pemukiman dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pemanfaatan kawasan dan potensi dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari. b. Pengusahaan wisata alam/bahari oleh dunia usaha. c. Penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan restocking. d. Membangun sarpras pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari yang tidak merubah bentang alam. e. Pembinaan habitat dan pembinaan populasi serta pemanfaatan jasa lingkungan. f. Pemanfaatan tradisional. g. Budidaya kelautan alami tradisional.
38
Peta zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 . Peta Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu (Sumber : Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu)
39
Saat ini kondisi terumbu karang wilayah Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulau–pulau yang berdekatan dengan daratan pulau Jawa. Penyebab terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat kegiatan manusia di antaranya adalah penangkapan ikan yang merusak dan berlebih, pencemaran air, penimbunan sampah, penambangan pasir dan karang serta penebangan hutan mangrove (Terangi, 2009). Mempertimbangkan laju kerusakan sumberdaya perikanan dan kelautan yang terus terjadi tersebut, pada tahun 2004 masyarakat secara partisipatif melalui program yang diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, sepakat untuk menetapkan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL– BM yang lokasinya berada dalam zona pemukiman kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Pada areal inti perlindungan dilakukan upaya khusus konservasi dengan melakukan kegiatan tranplantasi karang dan restocking ikan. Areal inti juga dikelilingi pelampung sebagai penanda batas dengan areal penyangga dan pemanfaatan yang berada di luarnya. Program APL–BM ini telah ditetapkan berdasarkan SK. Bupati No. 357 tahun 2004 tentang Penetapan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Kepulauan Seribu di Kelurahan Pulau Panggang. Konsep dasar dari APL–BM adalah membebaskan kawasan dari aktivitas ekstraktif yang dapat mempengaruhi kemampuan ekosistem perairan laut tersebut untuk memulihkan diri secara alamiah. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa pengelolaan kawasan APL– BM tersebut dilakukan secara kolaboratif bersama antara pemerintah, masyarakat dan stake holder lainnya. Zonasi program APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berdasarkan SK. Bupati No. 357 tahun 2004 tersebut adalah : (1) Areal inti : merupakan areal di mana pada lokasi tersebut tidak boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan apapun, kecuali aktivitas untuk kepentingan konservasi. Luas areal inti sebesar 11 Ha dan merupakan areal pemeliharaan fungsi ekologis perairan laut. (2) Areal penyangga : merupakan areal yang ditetapkan untuk melindungi areal inti dengan luas 54 Ha. Areal ini dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain yang jenis dan waktu pemanfatannya disesuaikan dengan norma– norma yang ditetapkan masyarakat setempat. (3) Areal pemanfaatan : merupakan areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan dengan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan dan menggunakan bahan yang dilarang. Luas areal ini adalah 110 Ha. Setelah ditetapkannya kawasan APL–BM di Kelurahan Pulau Panggang, Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bersama masyarakat di empat kelurahan lainnya juga membentuk konsep pengelolaan yang sama. Terbentuknya lima program APL–BM tersebut berarti menjadi tugas Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat dalam mengembangkan program tersebut. Keragaan program APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 10.
40
Tabel 10. Sebaran Organisasi Masyarakat Pengelola APL–BM No
1 2 3 4 5
Jumlah pengurus (Orang)
P. Panggang
2004
11
11
P. Kelapa
2006
23
7
SK. Bupati No. 357/2004 -
P. Harapan
2005
19
12
-
P. Pari
2005
18
12
-
P. Tidung
2005
20
10
-
Nama Kelompok
APL Panggang Lestari APL Anemon APL Bahari Indah APL Pari Indah APL Lestari Indah
Luasan Areal Inti (Ha)
Tahun Terbentuk
Lokasi (Kelurahan)
Dasar Hukum
Sumber : data primer, diolah Pada saat dilakukan penelitian, kualitas ekosistem terumbu karang di areal inti perlindungan menunjukkan kondisi yang beragam. Kualitas ekosistem terumbu karang terbaik terdapat di lokasi APL–BM Kelurahan Pulau Tidung, diindikasikan dengan persentase penutupan karang keras paling tinggi dan indeks kematian karang paling rendah. Kondisi kualitas ekosistem terumbu karang di Kelurahan Pulau Tidung tersebut tergolong dalam kategori baik (Tabel 11). Tabel 11. Sebaran Kualitas Ekosistem Terumbu Karang di Areal Inti APL–BM Kriteria Lokasi APL–BM Kualitas Ekosistem Tutupan karang keras (%) Indeks kematian karang (0–1)
Panggang
Harapan
Kelapa
Tidung
Pari
40,67
24,33
39,50
61,56
42,58
0,44
0,63
0,64
0,19
0,34
Sumber : Laporan Monitoring–Evaluasi Ekosistem Laut Kepulauan Seribu, 2011 Selain menerapkan program APL–BM dengan areal perlindungan khususnya, Pemda melalui Suku Dinas Kelautan–Pertanian sejak tahun 2005 juga melakukan program rehabilitasi sumberdaya laut khususnya ekosistem terumbu karang di areal pemanfaatan melalui aktivitas penenggelaman terumbu buatan (fish shelter). Fish shelter adalah struktur benda padat buatan manusia yang ditenggelamkan di perairan dengan tujuan dijadikan tempat perlindungan dan berkumpulnya ikan di dalam atau di sekitar struktur tersebut. Fish shelter ditenggelamkan di sejumlah lokasi yang terumbu karangnya mengalami kerusakan atau yang perairannya ditengarai mengalami kelangkaan ikan. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang dapat menanggulangi dan memperbaiki sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari di wilayah Kepulauan Seribu. Sejauh ini, indikator pemulihan produktivitas sumberdaya pada fish shelter di Kelurahan Pulau Tidung menunjukkan indikasi kualitas paling baik berdasarkan sebaran jenis ikan dan jumlah ikan yang teramati dibandingkan dengan empat fish shelter lainnya. Keragaan pemulihan produktivitas sumberdaya perikanan pada fish shelter di Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 12. Sebaran lokasi APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 3.
41
Tabel 12. Sebaran Komunitas Ikan Terumbu Karang pada Fish Shelter Kriteria Lokasi Fish Shelter Panggang
Harapan
Kelapa
Tidung
Pari
Distribusi 13 famili, 10 famili, 5 famili, 12 famili, 14 famili, jenis ikan 16 spesies 33 spesies 12 spesies 35 spesies 26 spesies Jumlah total 240 585 237 702 530 pengamatan Sumber : Laporan Monitoring–Evaluasi Ekosistem Laut Kepulauan Seribu, 2011 Sejarah Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Wilayah Kepulauan Seribu secara administrasi pada awalnya berstatus sebagai Kecamatan Pulau Seribu yang merupakan bagian dari wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara. Untuk meningkatkan perkembangan di wilayah Kepulauan Seribu dalam segala aspek terutama kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam serta pemberdayaan ekonomi, sosial budaya dan kesejahteraan rakyat, maka kemudian Kecamatan Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Ketentuan ini diatur dalam Undang–Undang Nomor 34 tahun 1999 tanggal 31 Agustus 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2001 tanggal 3 Juli 2001 tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peningkatan status menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu diikuti dengan pemekaran kecamatan dari 1 menjadi 2 kecamatan dan dari 4 kelurahan menjadi 6 kelurahan. Pulau Pramuka ditetapkan sebagai ibukota kabupaten. Berkaitan dengan aspek penataan ruang kemudian disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang mengacu pada RTRW Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1986/2000 tanggal 27 Juli 2000, secara administrasi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki luas wilayah 8,76 Km2 (875,55 Ha) daratan dan dan luas lautan 6.997,5 Km2. Wilayah ini terdiri atas dua kecamatan dan enam kelurahan di mana semua kelurahannya merupakan kelurahan pesisir pantai dengan jumlah Rukun Tetangga sebanyak 122 unit. Posisi geografisnya terletak di antara 05°10'00''–05°57'00'' Lintang Selatan dan 106°19'30"– 106°44'50'' Bujur Timur, dengan batas geografis : Sebelah Timur dengan Laut Jawa sebelah Barat dengan Laut Jawa/Selat Sunda Sebelah Utara dengan Laut Jawa/Selat Sunda Sebelah Selatan dengan Kota Administrasi Jakarta Utara, Kota Administrasi Jakarta Barat dan Kabupaten Tangerang.
42
Gambar 3. Sebaran lokasi APL–BM di Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
43
Tipe iklim di wilayah Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum 32°C dan suhu minimum 21°C. Kelembapan udaranya tergolong sistem musim equator yang cenderung dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Pada bulan November hingga April berlangsung musim hujan dengan hari hujan berkisar antara 10–20 hari/bulan. Sementara musim kemarau terjadi pada bulan Mei hingga Oktober dengan 4–10 hari hujan/bulan. Curah hujan bulanan tercatat rata–rata 142,5 dengan curah hujan terendah pada bulan Juni (0 mm) dan tertinggi pada September (307 mm). Gambaran umum keadaan iklim di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut (Tabel 13). Tabel 13 . Keadaan Iklim Tahunan Uraian 2011 Rata-rata Suhu Udara (°C) 28,40 Rata-rata Kelembaban Udara (%) 78,25 Rata-rata Tekanan Udara (mbs) 1.009,7 Rata-rata Kecepatan Angin (knots) 4,5 Hujan (hari) 175 Sumber: Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011 Keadaan pasang surut di Kepulauan Seribu dapat digolongkan sebagai pola harian tunggal. Kedudukan air tertinggi adalah 0,6 meter dan terendah adalah 0,5 meter di bawah duduk tengah. Rata–rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 meter dan rata–rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m di mana ketinggian air tahunan terbesar mencapai 1,10 meter. Kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar antara 0,6 cm/detik-77,3cm/detik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5 m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian pada 0,5–1,175 meter dan musim timur 0,5–1,0 meter (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011). Berdasarkan hasil pendataan penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 21.071 orang yang terdiri atas 10.695 laki-laki dan 10.376 perempuan yang tergabung dalam 4871 Kepala Keluarga. Berdasarkan hasil sensus tersebut tampak penyebaran penduduk masih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dibandingkan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu memiliki jumlah penduduk sebesar 12.742 orang di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 8.329 orang di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Sex rasio atau perbandingan laki-laki dengan perempuan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebesar 103,07 persen. Untuk sex rasio menurut kecamatan masing-masing 101,87 persen di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 103,87 persen untuk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebesar 2,02 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan adalah sebesar 2,76 persen per tahun dan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebesar 1,57 persen per tahun. Dari rata–rata satu orang wanita usia subur 15–49 tahun dapat melahirkan 1–2 orang anak selama masa reproduksinya dan
44
dalam 1000 kelahiran hidup terdapat 13–14 orang bayi di bawah usia satu tahun yang meninggal. Usia harapan hidup penduduk mencapai hingga 75 tahun. Pembagian wilayah kecamatan, kelurahan dan luasan pulau pemukiman di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Pulau Berpenghuni Nama Kecamatan 1. Kepulauan Seribu Utara (jumlah pulau : 79)
2. Kepulauan Seribu Selatan (jumlah pulau : 31)
Total : 2 Kecamatan
a. Kel. Pulau Panggang (jumlah pulau : 13)
1. Pulau Pramuka 2. Pulau Panggang
Luas Wilayah Pulau Berpenghuni (Ha) 9,00 16,00
b. Kel. Pulau Kelapa (jumlah pulau : 30)
1. Pulau Kelapa 2. Pulau Kelapa Dua
6,70 8,82
c. Kel. Pulau Harapan (jumlah pulau : 36)
1. Pulau Harapan 2. Pulau Sebira
1,9 13,09
Nama Kelurahan
Nama Pulau Berpenghuni
a. Kel. Pulau Tidung (jumlah pulau : 15)
1. Pulau Tidung Besar 2. Pulau Payung Besar
50,13 20,86
b. Kel. Pulau Pari (jumlah pulau : 6)
1. Pulau Pari 2. Pulau Lancang Besar
41,32 15,13
c. Kel. Pulau Untung Jawa (jumlah pulau : 10)
1. Pulau Untung Jawa
40,10
6 Kelurahan, 110 pulau
11 pulau berpenghuni
223,05 Ha luasan pulau berpenghuni
Sumber : Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011 Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang sebagian besar merupakan lautan memiliki luas wilayah sebesar 8,76 kilo meter persegi yang dihuni 21.071 orang, maka rata–rata tingkat kepadatan penduduk adalah 2.422 orang/kilometer2. Rincian keragaan demografi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Keragaan Demografis : Uraian Satuan 2011 Jumlah Penduduk Jiwa 21.071 Jiwa 10.711 Laki-laki Jiwa 10.300 Perempuan Jiwa 12.750 Kec. Kep. Seribu Utara Jiwa 8.321 Kec. Kep. Seribu Selatan Kepadatan Penduduk Jiwa/km² 2.422 Sex Ratio (L/P) % 103,99 Penduduk menurut Umur Ketergantungan Jiwa 6.736 0 – 14 tahun Jiwa 13.762 15 – 64 tahun 65+ tahun Jiwa 573 Dependency Ratio Ratio 53,11 Sumber : Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011
45
Kemajuan pembangunan manusia secara umum ditunjukkan oleh angka indeks pembangunan manusia (IPM) yang ditinjau dari 3 aspek yaitu : (1) aspek pendidikan diwakili oleh indeks rata–rata lama sekolah dan angka melek huruf, (2) aspek kesehatan diwakili oleh angka harapan hidup dan (3) aspek ekonomi diwakili oleh kemampuan/daya beli. IPM Kepulauan Seribu selama 3 tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang selalu meningkat sehingga dapat dikatakan pembangunan manusia di Kepulauan Seribu mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini terutama dipicu oleh semakin membaiknya mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan secara umum. Secara makro, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (GK). GK adalah sejumlah rupiah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal makanan dan bukan makanan agar tetap hidup. Ukuran GK adalah rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Penduduk yang tingkat pengeluarannya di bawah GK termasuk dalam penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin menurun dari 15,12 % pada tahun 2010 menjadi 13,58 % pada tahun 2011. Keragaan karakteristik pembentuk IPM dan kemiskinan di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Karakteristik Pembentuk IPM dan Kemiskinan Karakteristik 2009 Angka Harapan Hidup (tahun) 70,32 Angka Melek Huruf (%) 97,25 Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 7,8 Pengeluaran per Kapita Disesuaikan (Rp.000) 588,04 IPM (indeks) 70,14 Penduduk miskin (%) 13,6 Garis Kemiskinan (Rp / kapita / bulan) 314.358 Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011
2010 70,44 97,47 7,92 590,25 70,5 15,12 292.173
2011 70,55 98,36 7,96 590,55 70,82 13,58 314.358
Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Salah satu sasaran pembangunan adalah terciptanya lapangan kerja baru dari tahun ke tahun sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada tahun 2011 sebesar 71,43 % dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi keterlibatan penduduk dalam pasar kerja, baik yang mencari pekerjaan maupun yang sedang bekerja semakin baik. Tingkat pengangguran pada tahun 2011 sebesar 9,89 persen menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama (pertanian, manufaktur dan jasa), pilihan bekerja pada tahun 2011 didominasi oleh sektor pertanian/perikanan 89,93 %. Sedangkan dari status pekerjaan dapat dilihat penduduk yang bekerja di sektor informal (52,40 %) selalu lebih besar dibandingkan sektor formal (47,60 %) pada tahun 2011 (Tabel 17).
46
Tabel 17. Statistik Ketenagakerjaan Uraian 2009 2010 2011 Angkatan Kerja (orang) 8358 10165 10178 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 61,28 64,47 71,43 Pekerja formal (%) 37,20 37,90 47,60 Pekerja informal (%) 62,80 62,10 52,40 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 11,57 11,38 9,89 UMP (Rp. 000) 972,60 1.069,70 1.118,01 Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka Kemampuan baca tulis merupakan pengetahuan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mencapai hidup sejahtera. Angka melek huruf dari tahun ke tahun semakin meningkat dan tahun 2011 telah mencapai 98,36 %, artinya sebanyak 98,36 % penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya. Angka rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin panjang dan pada tahun 2010 mencapai 7,96 tahun, artinya rata-rata lamanya penduduk berusia 15 tahun keatas untuk menempuh pendidikan formal (yang pernah dijalani) hampir 8 tahun atau setara kelas 2 SLTP. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah, yaitu perbandingan antara penduduk yang sekolah pada usia tertentu dengan banyaknya penduduk pada usia yang sama. Tahun 2011 angka partisipasi sekolah paling tinggi usia SD mencapai 99,51 %, kemudian usia SLTP mencapai 95,22 % dan usia SLTA sebesar 75,34%. Rasio murid-guru adalah salah satu ukuran yang dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Semakin kecil rasio murid-guru, maka beban seorang guru semakin kecil. Rasio murid-guru di masing-masing tingkat pendidikan hampir merata yaitu berkisar antara 9 sampai 14, artinya 1 guru memiliki beban tanggung jawab terhadap 9 sampai 14 murid (Tabel 18). Tabel 18. Jumlah Sekolah dan Rasio Murid–Guru Tingkat Sekolah Murid Guru Pendidikan TK 14 653 71 SD 14 2787 208 SLTP 7 1096 91 SLTA 1 417 30 SMK 1 262 24 Sumber : Kepulauan Seribu Dalam Angka, 2011
Rasio Murid-Guru 9 13 12 14 11
Sebagai wilayah kepulauan dengan luas laut sebesar 6.997,5 Km2 maka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Terdapat sebanyak 1.367 armada kapal perikanan yang masih didominasi spesifikasi tekonologi dengan ukuran relatif kecil dan perlengkapan sederhana, seperti alat tangkap pancing, bubu dan jaring dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.880 orang di tahun 2011. Pada tahun 2011 tangkapan ikan laut sebanyak 2838,8 ton dan dari budidaya ikan laut sebesar 964 ton. Jenis ikan tangkapan yang mendominasi adalah tongkol, ekor kuning dan bawal. Sementara ikan lain yang juga tertangkap adalah layang, kembung, selar dan lain–lain. Produksi ikan laut dapat ditingkatkan
47
terutama dari hasil budidaya. Hal ini dapat dicapai karena meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengembangan produk perikanan dan kelautan. Hasil lain dari penangkapan ikan laut yaitu ikan hias laut sebanyak 631.219 ekor. Produksi budidaya rumput laut semakin menurun, hingga di tahun 2011 sebesar 370,32 ton kering. Hal ini karena kurang baik pengelolaannya dan kualitas air laut yang semakin rendah karena sering tercemar buangan limbah. Salah satu kendala pengembangan potensi sektor perikanan laut disebabkan minimnya pelabuhan pendaratan ikan (PPI) dan hanya ada 1 tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka, dua tempat pengumpul (palele) di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa, sehingga nelayan lebih memilih mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke (Tabel 19). Tabel 19. Statistik Kelautan dan Pertanian Kab. Adm. Kepulauan Seribu Uraian 2010 2011 Nelayan Budidaya Ikan Laut 521 250 dan Rumput Laut (orang) Nelayan Penangkap Ikan Laut (orang) 4.880 4.880 362 527 Jumlah Fish Shelter (buah) 1.367 1.367 Jumlah Kapal Perikanan (kapal) 33,60 40,00 Tutupan Terumbu Karang (persen) 5.476 8.119 Transplantasi Karang (buah) Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka Karakteristik Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya Perikanan–Kelautan Karakteristik Individu Karakteristik individu responden secara umum adalah berusia dewasa muda (rataan usia 37,8 tahun), memiliki tingkat pendidikan formal tingkat menengah (rataan durasi pendidikan formal 7,4 tahun) dan tingkat pendidikan non formal rendah (rataan durasi pendidikan non formal setara 7,6 jam pelatihan). Mayoritas responden juga tergolong berpenghasilan rendah (rataan pendapatan Rp. 1.893.470), memiliki tanggungan keluarga rendah (rataan tanggungan keluarga 2,9 jiwa), memiliki pengalaman rendah (rataan pengalaman 18,5 tahun), bekerja sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing (31,1 %), berstatus sebagai pekerja dalam struktur relasi kerja (65 %) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan (47,4%). Sebaran karakteristik individu responden selengkapnya disajikan pada Tabel 20. Jenis kelamin responden secara keseluruhan adalah pria. Hal ini berkaitan dengan pembagian peran gender yang masih berlaku kuat pada masyarakat di Kepulauan Seribu bahwa yang pantas melakukan pekerjaan nelayan yang mencari ikan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan aktivitas di laut adalah para laki–laki saja. Jenis pekerjaan baru yang tumbuh dalam sepuluh tahun terakhir yaitu budidaya karang komersial dan pemanduan kegiatan ekowisata bahari juga secara keseluruhan digeluti oleh para laki–laki. Hal ini disebabkan karena kedua pekerjaan tersebut memerlukan kemampuan menyelam dan bekerja di bawah air yang dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan fisik laki–laki.
48
Tabel 20. Sebaran Karakteristik Individu Responden X.1. Kelurahan Karakteristik Individu
Panggang (%)
Harapan (%)
Kelapa (%)
Tidung (%)
Pari (%)
Total %
X. 1.1. Umur (rentang kelas : umur 17–70 tahun) Dewasa muda (18–40) Dewasa madya (41–65) Dewasa akhir (>65) Rataan umur (tahun)
65,5
52,4
86,4
57,9
69,8
66,4
32,7
42,9
13,6
36,8
30,2
31,2
1,8
4,8
0,0
5,3
0,0
2,4
37,3
39,1
31,9
42,3
38,5
37,8
X.1.2. Pendidikan formal (rentang kelas : durasi 1–17 tahun) Dasar (1–6 tahun) Menengah (7–12 tahun) Tinggi (> 12 tahun) Rataan pendidikan formal (tahun)
47,3
52,4
31,8
47,4
9,6
38,4
52,7
47,6
68,2
31,6
90,5
58,1
0,0
0,0
0,0
21,1
0,0
4,2
7,4
7,2
7,8
9,4
5,1
7,4
X.1.3. Pendidikan non formal (rentang kelas : durasi 0–90 jam) Rendah (0–29 jam) Sedang (30–60 jam) Tinggi (61–90 jam) Rataan pendidikan non formal (jam)
74,5
100
100
89,5
100
92,0
14,5
0,0
0,0
10,5
0,0
5,0
10,9
0,0
0,0
0,0
0,0
3,0
25,8
0,6
0,0
5,3
0,0
7,6
X.1.4. Tingkat pendapatan (rentang kelas : pendapatan Rp. 500.000–Rp. 5.000.000 per bulan) Rendah (500.000– 1.999.999) Sedang (2.000.0003.499.999 ) Tinggi (3.500.0005.000.000) Rataan pendapatan (rupiah)
45,5
89,6
88,6
21,1
93,7
69,1
52,7
10,4
11,4
73,7
6,3
29,5
1,8
0,0
0,0
5,3
0,0
1,4
1.911.900
1.802.600
1.876.140
2.252.700
1.775.400
1.893.470
47,4 52,6 0,0
65,0 34,0 1,0
3,6
2,9
X.1.5. Jumlah tanggungan (batas kelas : tanggungan 1–8 jiwa) Rendah (1–3) 76,4 52,4 56,8 92,1 Sedang (4–5) 23,6 42,9 43,2 7,9 Tinggi (6–8) 0,0 4,8 0,0 0,0 Rataan tanggungan (jiwa)
2,9
3,5
3,1
2,2
49
Tabel 20. (Lanjutan) X.1. Kelurahan Karakteristik Panggang Harapan Kelapa Tidung Individu (%) (%) (%) (%) X.1.6. Pengalaman mengelola usaha perikanan kelautan (batas kelas : durasi pengalaman 1–60 tahun) Rendah (1–19 tahun) Sedang (20–39 tahun) tinggi (40–60 tahun) Rataan pengalaman (tahun)
Pari (%)
Total %
60,0
42,9
84,1
52,6
33,3
54,5
25,5
47,6
15,9
31,6
57,1
35,5
14,5
9,5
0,0
15,8
9,5
9,9
19,1
19,6
12,1
21,0
19.6
18,5
5,2
58,7
58,1
0,0
10,6
26,5
10,0
0,0
0,0
7,2
0,0
3,4
20,9 29,5 18,9 11,9 3,5
0,0 25,3 16,0 0,0 0,0
0,0 21,5 20,4 0,0 0,0
0,0 0,0 74,0 18,8 0,00
0,0 43,4 46,0 0,0 0,0
6,2 23,9 31,1 6,2 0,7
72,7 27,3
52,6 47,4
73,1 26,9
65,0 35,0
X.1.7. Jenis pekerjaan Nelayan jaring payang Nelayan jaring ikan hias Nelayan muroami Nelayan bubu Nelayan pancing Pemandu wisata Budidaya karang
X.1.8. Status kepemilikan alat produksi Pekerja Pemilik
60,0 40,0
66,6 33,4
X.1.9. Pengetahuan dalam mengelola usaha perikanan kelautan (rentang kelas : skor pengetahuan 11–22) Rendah (skor 11–14 ) Sedang (skor 15–18) tinggi (skor 19–22) Rataan pengetahuan (skor)
14,5
9,5
6,8
5,3
11,1
9,4
45,5
52,4
54,6
10,5
52,4
47,4
40
38,1
38,6
84,2
36,5
43,2
18,1
18,0
18,1
20,2
17,4
18,1
Sumber : data primer, diolah Usia Responden Secara mayoritas responden berada pada kelompok usia dewasa muda (18–40 tahun) dengan rentang usia berkisar antara 17 tahun sampai dengan 70 tahun dan rataan usia 37,8 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok yang tergolong dalam usia produktif dengan ciri kemampuan fisik yang prima. Selain berhubungan dengan kemampuan fisik, menurut Klausmeier dan Goodwin (1975), usia merupakan salah satu karakteristik penting dalam perkembangan kapasitas individu karena juga berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas belajar. Hal ini berarti bahwa individu yang berada pada usia produktif secara potensial akan lebih mudah menjalani proses belajar dalam menerima perubahan dan ide–ide baru. Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari faktor usia maka para individu yang bekerja di bidang perikanan dan kelautan di wilayah
50
Kepulauan Seribu merupakan aset sumberdaya manusia (SDM) yang potensial untuk diberdayakan. Secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata pada variabel usia di antara lima kelurahan yang diamati. Tingkat Pendidikan Formal Responden Pendidikan merupakan salah satu faktor dasar yang berpengaruh bagi perkembangan kualitas pribadi dan kemajuan masyarakat. Kekuatan suatu bangsa atau masyarakat tidak ditentukan secara mutlak oleh akumulasi sumberdaya alam yang berlimpah, melainkan sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, upaya untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dapat ditempuh melalui proses peningkatan pendidikan masyarakat. Melalui pendidikan, individu dan masyarakat akan mampu untuk memikirkan masa depannya dan akan berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Mayoritas responden (58,1 %) pernah mengikuti pendidikan formal pada tingkat menengah dengan rentang pendidikan 1 tahun sampai 17 tahun dan rataan durasi pendidikan formal selama 7,4 tahun atau setara dengan kelas II SLTP. Tingkat pendidikan ini belum memenuhi standar ideal program wajib belajar sembilan tahun sebagai mana yang telah ditetapkan secara nasional oleh pemerintah. Tingkat pendidikan yang belum memadai dapat menimbulkan hambatan atau implikasi lain yang bersifat mengurangi respons dalam proses belajar untuk menerima dan melakukan perubahan serta dalam proses mengolah informasi. Masih rendahnya tingkat pendidikan formal responden ini dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya kemampuan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan. Rendahnya tingkat pendidikan responden mengindikasikan perlunya peningkatan kualitas layanan pendidikan formal sesuai dengan program wajib belajar sembilan tahun yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, perlu diadakan penambahan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Saat ini pada setiap desa telah terdapat satu buah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, sedangkan untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas harus menempuh jarak yang cukup jauh karena berada di ibukota Kecamatan. Terdapat masing – masing 14 SD Negeri, 7 SLTP Negeri, 1 SLTA Negeri dan 1 SMK Negeri jurusan administrasi dan nautika. Terdapat perbedaan nyata antara tingkat pendidikan formal di Kelurahan Pulau Pari dengan keempat kelurahan lainnya, di mana rataan tingkat pendidikan formal di kelurahan tersebut paling rendah yaitu 5,1 tahun. Hal ini berkaitan dengan permasalahan konflik status kepemilikan lahan yang terjadi di pulau tersebut yang telah berjalan sejak tahun 1980–an , sehingga pemerintah tidak banyak membangun fasilitas layanan publik di wilayah Pulau Pari. Pendidikan Non Formal Responden Salah satu upaya mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat agar mampu memerankan tugas sosialnya dengan baik adalah melalui pelatihan. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan menduduki tempat yang penting dalam proses pengembangan sumberdaya manusia.
51
Hampir keseluruhan responden (92 %) tergolong pada kategori pendidikan non formal rendah atau hanya pernah mendapat 0–30 jam pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan, bahkan dari jumlah tersebut sebanyak 79,7 % responden belum pernah sama sekali mengikuti pendidikan non formal atau pelatihan. Rendahnya tingkat pendidikan non formal ini bukan berarti responden tidak ingin mengikuti pelatihan yang diadakan, namun lebih disebabkan karena kurangnya kesempatan atau sangat terbatasnya jangkauan informasi tentang pelatihan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan responden dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan yang selama ini digelutinya. Salah satu upaya mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas organisasi agar mampu melaksanakan tugas tugas sosialnya dengan baik adalah melalui pelatihan (Mangkuprawira, 2003). Pendapat tersebut tidak berhenti pada organisasi formal semata, tetapi juga relevan untuk diperluas maknanya pada lingkup masyarakat nelayan. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan dengan demikian menjadi instrumen penting dalam upaya meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia nelayan dari aspek pengetahuan, sikap maupun ketrampilan yang pada akhirnya diharapkan akan mengembangkan kemampuan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan – kelautan secara bijak. Pelatihan yang selama ini pernah diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun organisasi non pemerintah adalah pelatihan selam (snorkeling dan scuba diving), pelatihan transplantasi karang untuk perdagangan dan konservasi, pelatihan desain dan konstruksi alat tangkap ramah lingkungan, pelatihan pemanduan ekowisata bahari, pelatihan sistematika administrasi dan penguatan dinamika kelompok, pelatihan perencaan pembangunan partisipatif dengan metode PRA dan pelatihan metode monitoring–evaluasi sumberdaya. Terdapat perbedaan nyata antara durasi pendidikan non formal yang diterima responden dari kelurahan Pulau Panggang dengan empat kelurahan yang lain. Rataan tingkat pendidikan non formal di Kelurahan Pulau Panggang adalah 25,8 jam pelajaran yang jauh di atas rataan durasi secara keseluruhan sebesar 7,6 jam pelajaran. Bahkan pada Kelurahan Pulau Kelapa, keseluruhan responden belum pernah mendapat pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pelatihan yang terpusat di Kelurahan Pulau Panggang yang berstatus ibukota kabupaten sehingga akses untuk mengikuti pelatihan tersebut tidak menjangkau penduduk di wilayah kelurahan yang lain. Beberapa responden di Kelurahan Pulau Panggang juga menyebutkan bahwa informasi tentang penyelenggaraan pelatihan tidak tersebar dengan merata dan transparan. Tingkat Pendapatan Responden Rentang pendapatan responden pada penelitian ini berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 5.000.000 per bulan dengan rataan pendapatan sebesar Rp. 1.893.470 per bulan, di mana keseluruhan pendapatan tersebut berasal dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan. Sebanyak 69,1 % responden tergolong dalam tingkat pendapatan yang rendah dalam persepsi masyarakat. Jika rataan pendapatan dibagi dengan rataan jiwa yang berada dalam satu rumah tangga yaitu 4 orang, maka besaran pendapatan per kapita per bulan di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 478.367,5. Angka ini masih berada di atas garis kemiskinan sebesar Rp. 314.358 yang ditetapkan oleh pemerintah daerah,
52
tetapi masih berada di bawah angka pengeluaran per kapita per bulan disesuaikan sebesar Rp. 591.810. Terdapat perbedaan rata-rata pendapatan yang diterima responden di kelima lokasi di mana rata-rata pendapatan responden di Kelurahan Pulau Tidung merupakan yang tertinggi dan berbeda secara signifikan dengan rata-rata pendapatan responden di empat wilayah kelurahan lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena responden di Pulau Tidung memperoleh penghasilan yang lebih tinggi karena kondisi sumberdaya yang relatif lebih baik kualitasnya. Mayoritas responden di Pulau Tidung bekerja sebagai nelayan pancing yang bersifat ramah lingkungan sehingga tekanan lingkungan yang diberikan tidak sebesar alat tangkap lainnya. Tren perkembangan kunjungan wisata yang menggembirakan juga bisa dimanfaatkan oleh responden di Pulau Tidung dengan bekerja sebagai pemandu wisata pancing maupun pemandu wisata olahraga air. Tanggungan Keluarga Sebagian besar responden (65%) memiliki tanggungan jiwa yang tergolong rendah (1–3 orang), di mana rataan jumlah tanggungan jiwa dalam satu keluarga adalah 2.9 jiwa. Jika dilihat dari aspek ketersediaan tenaga kerja maka menurut pandangan responden, anggota keluarga adalah sumber tenaga kerja yang berguna karena biasanya tidak diperhitungkan sebagai biaya produksi. Jika dipandang dari sudut manajemen finansial keluarga, kondisi tersebut juga merupakan beban karena kebutuhan hidup yang dirasakan semakin meningkat dan kadang tidak mampu terkejar oleh jumlah pendapatan diperoleh. Kondisi ini menuntut kepala keluarga untuk bekerja lebih keras dan jika memungkinkan akan melakukan strategi diversifikasi pekerjaan. Terdapat perbedaan signifikan pada jumlah tanggungan responden di Kelurahan Pulau Pari dibandingkan dengan keempat pulau yang lain, di mana rataan jumlah tanggungan tersebut 3,6 paling tinggi dari ke empat kelurahan lainnya dan nilainya lebih besar dari nilai rataan. Pengalaman Mengelola Usaha Perikanan–Kelautan Pengalaman responden mengelola usaha perikanan – kelautan berkisar antara 1–60 tahun, di mana mayoritas responden (54,5 %) tergolong memiliki pengalaman dalam selang rendah (1–19 tahun). Rataan durasi pengalaman responden adalah selama 18,5 tahun di mana rentang waktu tersebut merupakan proses yang cukup lama dalam membentuk perilaku dan kemampuan petani dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan. Sarwono (2002) menyatakan bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu, artinya apa yang dialami oleh individu akan menjadi bekal dalam membentuk kondisi psikologis seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang diterima. Semakin berpengalaman individu dalam mengelola usaha perikanan–kelautan maka perilakunya semakin cermat dalam memahami permasalahan yang dihadapi. Kondisi tersebut dapat menjadi faktor penunjang dalam upaya peningkatan kemampuan individu dalam mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Terdapat perbedaan signifikan pada durasi pengalaman pada Kelurahan Pulau Kelapa dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya di mana nilai rataan pengalaman tersebut (12,1 tahun) merupakan nilai terendah dan lebih kecil dari nilai rataan pengalaman secara keseluruhan.
53
Jenis Pekerjaan dan Alat Tangkap Keseluruhan responden bekerja di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan. Mayoritas responden bekerja dalam bidang yang secara tradisional berkembang secara turun temurun sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing (31,1 %), jaring payang (26,9 %), bubu (23,9 %), muroami (6,2 %), jaring ikan hias (3,4%) atau bekerja pada yang jenis pekerjaan yang baru berkembang dalam sepuluh tahun terakhir yaitu sebagai pemandu ekowisata bahari (6,2 %) dan budidaya karang komersial (0,7 %). Dalam penilaian responden secara umum, jenis aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan yang paling ramah lingkungan di Kepulauan Seribu adalah penangkapan ikan dengan pancing, yang diikuti secara berturut– turut oleh penangkapan ikan dengan bubu, penangkapan ikan dengan jaring payang, kegiatan pemanduan ekowisata bahari, kegiatan budidaya karang komersial, penangkapan dengan jaring ikan hias dan yang terakhir adalah kegiatan penangkapan ikan dengan jaring muroami. Jenis alat tangkap pancing yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu adalah pancing tangan (hand line) sederhana karena mudah dioperasikan dibandingkan dengan jenis peralatan tangkap lainnya pada kedalaman perairan sekitar 100 meter. Jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain bambangan (kakap merah, snapper), ekor kuning (Caesio Sp.), ikan putih (Caranx Sp.) dan lain sebagainya. Jenis pancing lain yang juga banyak digunakan adalah pancing gurita yang ditujukan untuk menangkap gurita. Desain pancing gurita ini sangat spesifik, karena pada badan alat pancingnya terdapat sekian banyak mata kail yang melengkung dan mencuat ke atas. Melalui tali pancing yang panjang, maka alat pancing yang bermata banyak tersebut diturunkan pada lokasi yang diduga banyak dihuni gurita, yang umumnya pada karang bergua-gua batu. Pada bagian sedikit di sebelah atas mata pancing tersebut ditautkan beberapa ikan umpan pada tali pancing. Pancing tangan yang memiliki sekaligus banyak mata pancing juga digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu, terutama digunakan pada musim ikan tongkol. Pada umumnya nelayan pancing di Kepulauan Seribu beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 2–3 orang dengan tujuan menghemat penggunaan bahan bakar, meskipun ada pula nelayan pancing yang beroperasi sendirian. Kelompok nelayan pancing ini biasanya dipimpin oleh pemilik kapal yang ikut melaut. Bubu adalah alat tangkap berukuran cukup kecil yang banyak digunakan oleh nelayan tradisional di Kepulauan Seribu untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias. Pengoperasian bubu cukup mudah dan bersifat pasif yaitu dengan menunggu ikan masuk dan terperangkap di dalam bubu. Sifat ini membuat bubu ramah terhadap lingkungan karena tidak merusak terumbu karang sebagai habitat ikan. Selain itu, di dalam bubu terdapat cukup ruang untuk bergerak ikan dan posisi bubu yang sepenuhnya terendam di dalam air menjamin ikan tangkapan berada dalam kondisi yang segar. Konstruksi bubu yang umum digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu berbentuk mata panah dengan dasar sehingga memudahkan pemasangannya di dasar perairan atau di sela–sela terumbu karang yang berlawanan dengan arus. Bahan yang digunakan untuk membuat bubu umumnya berasal dari kayu, bambu,
54
jaring dan kawat. Tindakan dalam mengoperasikan bubu yang masih berpotensi merusak terumbu karang adalah nelayan terkadang mengambil karang sebagai pemberat agar tidak terbawa arus. Nelayan bubu umumnya beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 2–3 orang dengan tujuan menghemat bahan bakar. Kelompok nelayan bubu ini dipimpin oleh nelayan pemilik kapal dan alat tangkap yang ikut langsung melaut, namun ada juga nelayan bubu yang beroperasi secara sendirian. Jaring payang adalah alat penangkap ikan yang cukup lama dikenal nelayan di Kepulauan Seribu. Jaring payang adalah pukat kantong yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish), terutama jenis–jenis pelagis kecil seperti tongkol, ekor kuning, layang, selar, kembung, lemuru, tembang dan lain-lain. Prinsip umum pengoperasiannya adalah dengan melingkari gerombolan ikan dan kemudian pukat kantong tersebut ditarik ke arah kapal. Kedua sayapnya berguna untuk mengejutkan dan menggiring ikan untuk masuk ke dalam kantong. Penangkapan dengan payang dilakukan dengan kapal motor. Penggunaan tenaga kerja berkisar antara 7 orang untuk payang berukuran kecil dan 14 orang untuk payang besar. Daerah penangkapan jaring payang ini pada perairan yang tidak terlalu jauh dari pantai atau daerah subur di sekitar karang. Jaring ikan hias adalah alat tangkap dengan target ikan hias yang banyak hidup di sekitar terumbu karang. Jaring ini dioperasikan secara berkelompok antara 2–3 orang nelayan karena pengoperasiannya memang memerlukan tenaga penyelam untuk menggiring ikan hias. Dimensi jaring adalah lebar antara 10–25 meter dan tinggi 1–1,5 meter dengan bukaan mata jaring 2–3 inchi. Jaring ikan hias ini biasanya dioperasikan pada daerah terumbu karang dengan kedalaman sampai dengan 5 meter sehingga para penyelam tidak menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan. Kelompok nelayan ikan hias ini biasanya dipimpin oleh seorang pemilik kapal yang ikut melaut. Muroami atau di Kepulauan Seribu dikenal sebagai jaring kongsi atau jaring kincring merupakan salah satu alat penangkap ikan yang efektif dalam menangkap ikan karang. Desain muroami terdiri atas sayap dan kantong atau dapat juga berupa jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan kantong. Pengoperasian unit penangkapan muroami saat ini ditengarai sebagai salah satu penyebab kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Dari segi konstruksi alat tangkap, ukuran mata jaring muroami yang terlalu kecil menyebabkan ikan karang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap sehingga mengancam keberlangsungan hidup populasi ikan karang karena belum sempat bereproduksi. Dari metode pengoperasiannya, pemasangan alat tangkap dan penggiringan ikan yang dilakukan nelayan penyelam dengan menginjak–injak terumbu karang. Penggunaan kompresor pada penyelam juga berbahaya. Tak sedikit nelayan penyelam diserang penyakit dekompresi yang menyebabkan lumpuh permanen atau kehilangan nyawa. Bila terjadi kecelakaan kerja, pengobatan atas nelayan hanya didasarkan kebijakan pemilik. Pada umumnya nelayan muroami bekerja dalam satu kelompok yang terdiri dari 15–20 orang yang dipimpin oleh seorang kepala nelayan sebagai wakil dari pemilik kapal yang tidak ikut melaut.
55
Kegiatan ekowisata bahari sudah berkembang sejak lama di wilayah Kepulauan Seribu, hanya saja kegiatan tersebut masih berkembang secara ekslusif pada resort–resort di gugus kepulauan tertentu yang tidak dihuni oleh masyarakat. Kegiatan ekowisata bahari yang bersifat massal dan dijalankan oleh masyarakat baru mulai berkembang pada awal tahun 2000–an. Pada tahun 2003, Yayasan Terangi bersama pemerintah daerah mendorong kelompok masyarakat untuk mendirikan perkumpulan Elang Ekowisata yang berkedudukan di Pulau Pramuka sebagai perintis operator ekowisata bahari di Kepulauan Seribu. Saat ini destinasi utama wisata massal di Kepulauan Seribu adalah Pulau Tidung dan Pulau Pramuka yang meliputi kegiatan wisata pemandangan, wisata kuliner, kegiatan menyelam dasar (diving) dan permukaaan (snorkeling), olah raga air maupun wisata pemancingan. Pulau–pulau berpenghuni lainnya juga mulai didatangi oleh wisatawan tetapi dalam jumlah yang tidak terlalu ramai. Letak geografis Indonesia yang berada di daerah tropis, memungkinkan Indonesia memiliki keanekaragaman karang yang tinggi dengan warna-warni yang menarik untuk diperdagangkan sebagai karang hias yang memiliki nilai ekspor yang tinggi. Berdasarkan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), karang masuk ke dalam daftar Appendix II yang artinya walaupun dalam perdagangan internasionalnya adalah legal, namun perdagangannya harus dikontrol secara ketat untuk mencegah kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebihan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis-jenis karang tersebut. Transplantasi karang merupakan upaya pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain yang bertujuan untuk pembentukan terumbu karang secara alami. Pada awalnya teknik transplantasi karang dimaksudkan untuk merehabilitasi suatu lokasi yang kondisi terumbu karangnya rusak, tetapi kemudian teknik ini juga dikembangkan sebagai upaya budidaya karang untuk diperdagangkan sebagai karang hias. Tingginya permintaan dan harga pasar karang hias di perdagangan internasional menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Kepulauan Seribu, terutama yang telah memperoleh pelatihan tentang transplantasi karang dari instansi terkait antara lain PHKA–Kementrian Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementrian Kelautan dan Perikanan, Asosiasi Koral, Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) serta Yayasan Terangi. Perdagangan karang hias di Kepulauan Seribu mulai dirintis pada awal tahun 2000 dan terus berkembang sampai sekarang. Pada umumnya, karang yang dipakai untuk transplantasi adalah karang yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang di antaranya jenis Seriatopora hystrix, S. caliendrum, Porites cylindrica, Acropora tenuis, A. austera, A. formosa, A. hyacinthus, A. divaricata, A. nasuta, A. yongei, A. aspera, A. digitifera, Avalida dan A. glauca. Status Kepemilikan Alat Produksi Sesuai dengan karakter lingkungan dan sumberdayanya, umumnya kehidupan para nelayan di Kepulauan Seribu tidak bersifat individual, tetapi berkelompok dalam ikatan komunal. Basis utama ikatan komunalnya adalah pola relasi kerja dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan–kelautan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Basis pola kerja ini kemudian menempatkan faktor kepemilikan alat produksi sebagai faktor utama pembentuk struktur sosial.
56
Pada masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu, pelapisan sosial yang terbentuk terdiri atas tiga strata, yaitu : (1) Juragan Darat atau nelayan pemodal sebagai strata pertama dengan status sosial yang paling tinggi. Juragan darat merupakan nelayan dengan kepemilikan modal finansial skala besar dan alat produksi yang lengkap. Juragan darat ini menyediakan modal finansial untuk kebutuhan operasional penangkapan dan jika diperlukan juga menyediakan kapal dan alat tangkap yang dibutuhkan oleh nelayan yang bekerja sama dengannya. Juragan darat juga merangkap fungsi sebagai pedagang pengumpul yang membeli ikan hasil tangkapan dan kemudian menjualnya kembali melalui proses pelelangan di TPI ataupun melalui jaringan pemasaran sendiri ke luar pulau. (2) Nelayan pemilik kapal atau juragan laut sebagai strata kedua dengan status sosial sedang/di tengah. Nelayan ini memiliki alat produksi berupa kapal dan alat tangkap, tetapi biasanya tidak memiliki cukup modal finansial untuk kebutuhan operasional melaut sehingga masih memerlukan bantuan pinjaman modal maupun input produksi dalam bentuk natura dari juragan darat. Nelayan pemilik ini masih terlibat langsung melakukan operasi penangkapan di laut dengan dibantu oleh nelayan buruh. (3) Nelayan buruh sebagai strata ketiga dengan status sosial paling rendah. Nelayan buruh ini memiliki modal tenaga sebagai sumbangan dalam struktur kerja kelompok, tetapi tidak memiliki modal finansial, kapal atau alat tangkap. Pola pelapisan ini sesuai dengan pendapat Poloma (2003) yang menjelaskan bahwa dalam hubungan antar manusia terdapat kecendrungan sistem stratifikasi yang membuat penjenjangan kelompok berdasarkan atas kepemilikan modal kerja dan pendapatan. Seseorang yang berstatus tinggi akan lebih banyak menyediakan barang-barang yang langka dalam hubungannya dengan permintaan dan dalam mempertukarkan sumber langka yang demikian itu si pemberi dianggap memperoleh status dan otoritas yang lebih tinggi oleh para anggota kelompok yang lain. Otoritas dari juragan darat ini merupakan sumber utama penentuan keputusan teknis dalam operasi penangkapan ikan, menyangkut penentuan lokasi dan waktu penangkapan serta keputusan yang menyangkut pemasaran hasil tangkapan. Pola relasi kerja yang terbentuk seiring pelapisan sosial yang terbentuk pada masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu secara garis besar dapat digolongkan menjadi pola patron–client dan pola kerja sama usaha yang lebih egaliter. Meskipun menunjukkan pola relasi kerja yang berbeda, tetapi dua pola ini sama–sama menempatkan juragan darat sebagai lapisan elit dengan status sosial paling tinggi, yang diikuti dengan lapisan nelayan pemilik kapal dan buruh nelayan. Pada sistem operasi jaring muroami yang skalanya usahanya lebih besar dan menghabiskan waktu yang lebih lama di laut, pola relasi kerja yang terbentuk adalah pola patron–client. Pada usaha perikanan pancing, jaring dan bubu yang memiliki struktur kerja yang lebih sederhana maka pola yang umum digunakan adalah pola kerjasama usaha yang lebih egaliter, demikian pula pola relasi kerja yang terbentuk pada bidang pekerjaan pemandu ekowisata bahari dan budidaya karang. Faktor pembeda dasarnya adalah kewajiban sosial yang dibebankan pada
57
juragan darat terhadap anak buahnya sebagai konsekwensi akumulasi modal dan otoritas yang dimilikinya. Pengetahuan Tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan–Kelautan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan secara lestari tergolong kategori sedang menuju tinggi. Hal ini diindikasikan oleh fakta penelitian bahwa terdapat 47,4 % tergolong dalam tingkat pengetahuan sedang dan 43,2 % tergolong dalam tingkat pengetahuan tinggi. Kelompok responden tersebut memahami bahwa meskipun ikan selalu tersedia sepanjang waktu, tetapi keberadaannya dipengaruhi oleh cara–cara dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya. Keterkaitan antara keberadaan dan kualitas terumbu karang berhubungan dengan ketersediaan ikan juga dipahami dengan baik sehingga praktek–praktek pemanfaatan sumberdaya dengan cara pengeboman, penggunaan potas dan sianida serta pengambilan terumbu karang untuk keperluan bangunan dianggap sebagai tindakan yang salah. Mayoritas responden juga mengetahui bahwa kegiatan ekowisata bahari juga memiliki potensi dalam menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Responden memahami bahwa upaya menjaga kelestarian terumbu karang adalah juga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa sekarang maupun yang akan datang. Hanya saja, sebagian responden masih belum terlalu mengetahui secara pasti yang berlaku berkaitan dengan aturan zonasi dan aktivitas yang diijinkan pada masing–masing zona pada program APL–BM yang berlaku di wilayah Kepulauan Seribu. Berkaitan dengan pengetahuan tentang pengaruh pengambilan pasir laut, mayoritas responden (54,9 %) menganggap bahwa tindakan tersebut bukan sebagai tindakan yang berpengaruh negatif bagi kualitas lingkungan karena dianggap tidak mengganggu ekosistem terumbu karang. Kelompok responden ini beralasan bahwa praktek pengambilan pasir laut selama ini juga dilakukan jauh dari lokasi terumbu karang dan volume pengambilannya pun tidak besar. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat pengetahuan di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan pengetahuan responden di Kelurahan Pulau Tidung merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Hal ini merupakan hasil kerja intensif dari para pemangku kebijakan di wilayah tersebut dalam menyebarluaskan pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya secara umum maupun pengetahuan khusus tentang program APL–BM. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Secara umum, mayoritas responden tergolong sebagai individu dengan tingkat kekosmoplitan rendah (76,1 %) dan tingkat keterdedahan media massa yang rendah pula (64,3 %). Hasil penelitian juga menunjukkan mayoritas responden (57,3 %) berpenilaian dukungan kearifan lokal berpengaruh rendah terhadap pengelolaan program APL–BM. Ditemukan sebanyak 50,4 % responden menilai dukungan tokoh masyarakat informal dikategorikan rendah, 60,5 % responden menilai bahwa dukungan aparat pemerintah /tokoh masyarakat formal rendah serta 68,1% menilai bahwa dukungan organisasi non pemerintah dan
58
swasta adalah rendah dalam pengelolaan APL–BM di wilayah Kepulauan Seribu (Tabel 20). Tingkat Kekosmopolitan Responden Tingkat kekosmopolitas responden adalah keterbukaan anggota–anggota masyarakat terhadap informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi di luar lingkungan komunitasnya. Berdasarkan kajian Rogers (2003), individu yang lebih kosmopolit berpeluang lebih maju dibandingkan individu yang kurang melakukan kontak dengan pihak di luar lingkungan komunitasnya. Tingkat kosmopolitan responden di Kepulauan Seribu tergolong rendah yang terlihat dari dua indikator yang diamati. Sebanyak 76,1 % responden tergolong memiliki frekwensi rendah pada perilaku komunikasi kontak dengan sumber informasi di luar desa dengan rataan frekwensi 14,4 kali kontak dalam setahun. Sumber informasi dari luar desa atau pulau yang paling sering dihubungi adalah rekanan dalam jaringan pemasaran hasil perikanan atau pihak penyedia sarana produksi. Sedangkan pada indikator frekwensi perjalanan ke luar desa, 85,7% responden tergolong memiliki frekwensi rendah dengan rataan frekwensi perjalanan 12,4 kali dalam setahun. Tabel 21. Sebaran Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pengelolaan APL– BM di Kepulauan Seribu X.2. Dinamika Sosbud Masyarakat
Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari % (%) (%) (%) (%) (%) X. 2.1.1 Kekosmopolitan : Frekwensi kontak dengan sumber informasi dari luar desa (rentang kelas : frekwensi 0–60 kali dalam setahun) Rendah 60,3 85,2 84,1 58,4 72,7 72,1 (0–20 kali) Sedang 34,9 14,8 11,4 36,3 23,6 24,3 (21-40 kali) Tinggi 4,8 0,0 4,5 5,3 3,6 3,6 (41–60 kali) Rataan frekwensi 16,1 11,3 11,3 17,1 11,5 14,4 kontak /tahun X.2.1.2 Kekosmopolitan : Frekwensi perjalanan ke luar desa (rentang kelas : frekwensi 0–48 kali dalam setahun) Rendah 77,3 85,2 87,7 79,5 68,7 79,7 (0–16 kali) Sedang 20,9 14,8 12,3 20,5 26,5 19,0 (17–32 kali) Tinggi 1,8 0,0 0,0 0,0 4,8 1,3 (33–48 kali) Rataan frekwensi 12,8 12,2 12,3 12,6 12,6 12,2 perjalanan/tahun X. 2.2. Durasi keterdedahan media (rentang kelas : durasi 0–38 jam dalam seminggu) Rendah 64,5 67,7 71,8 67,4 73,1 68,9 (0–11 jam) Sedang 25,5 19,0 16,8 16,8 16,5 18,9 (12–23 jam) Tinggi 10,0 13,3 11,4 15,8 10,4 12,2 (24–38 jam) Rataan durasi 13,7 12,2 12,5 14,2 11,3 12,7 keterdedahan (jam/minggu)
59
Tabel 21. (Lanjutan). X.2. Dinamika Sosbud Masyarakat
Kelurahan Total Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari % (%) (%) (%) (%) (%) X. 2.3. Dukungan kearifan lokal dalam mengelola APL–BM (rentang kelas : skor 5–16) Rendah 56,4 52,4 51,8 43,7 72,1 55,3 (skor 5–8) Sedang 25,4 37,6 38,2 40,0 21,6 32,6 (skor 9–12) Tinggi 18,2 10,0 10,0 16,3 6,3 12,1 (skor 13–16) Rataan skor 7,4 7,3 7,0 9,3 7,1 7,6 dukungan kearifan lokal X. 2.4. Dukungan tokoh masyarakat informal dalam pengelolaan APL–BM (rentang kelas : skor 5–20) Rendah 60,9 67,6 64,1 31,6 67,6 53,4 (skor 5–10) Sedang 21,8 19,1 20,0 47,9 21,7 26,1 (skor 11–15) Tinggi 17,3 13,3 15,9 20,5 10,6 15,5 (skor 16–20) Rataan skor 10,8 10,8 10,5 13,4 10,0 10,3 dukungan tomas informal X. 2.4. Dukungan aparat pemerintah / tokoh masyarakat formal dalam pengelolaan APL–BM (batas kelas : skor 5–20) Rendah 69,1 68,1 70,9 31,6 73,0 62,5 (skor 5–10) Sedang 25,5 23,3 19,1 53,2 14,2 27,1 (skor 11–15) Tinggi 5,5 8,6 10,0 15,3 12,7 10,4 (skor 16–20) Rataan skor 12,9 12,1 12,3 15,1 12,8 12,9 dukungan aparat pemerintah X. 2.6. Dukungan swasta dan organisasi non pemerintah dalam pengelolaan APL–BM (rentang kelas : skor 2–8) Rendah 49,1 71,4 72,7 49,1 98,4 68,1 (skor 2–3) Sedang 40,0 28,6 27,3 40,0 1,6 27,5 (skor 4–5) Tinggi 10,9 0,0 0,0 10,9 0,0 4,4 (skor 6–8) Rataan skor 3,4 2,0 2,1 2,8 2,6 2,6 dukungan ornop dan swasta
Sumber : data primer, diolah Keterdedahan Media Keterdedahan berkaitan dengan aktifitas memanfaatkan informasi berupa aktifitas mendengarkan, melihat, membaca atau secara lebih umum mengalami dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media yang diterima. Jahi (1993) mengemukakan bahwa keterdedahan khalayak pada media massa akan memberikan kontribusi terhadap perubahan perilakunya. Mayoritas responden
60
(64,3 %) memiliki tingkat keterdedahan media massa yang tergolong rendah dengan rataan keterdedahan media massa adalah 12,7 jam per minggu atau setara dengan 2,1 jam per hari. Keseluruhan responden tidak ada yang berlangganan surat kabar atau media cetak lain dengan spektrum pemberitaan umum atau khusus di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan yang memang sangat sulit diperoleh. Responden jarang memanfaatkan media televisi karena pada saat penelitian dilakukan di wilayah Kepulauan Seribu sumber energi listrik hanya tersedia pada malam hari yang sering bersamaan dengan waktu nelayan melaut. Apabila menonton televisi, responden lebih banyak menonton acara hiburan. Siaran radio yang dapat ditangkap belum banyak menyiarkan pemberitaan yang secara spesifik memuat informasi di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan. Tidak terdapat perbedaan signifikan keterdedahan media massa dari kelima kelurahan yang diamati dalam penelitian. Dukungan Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama berkenaan dengan model–model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut memuat anggapan masyarakat yang bersangkutan dengan hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakantindakan manusia dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Selanjutnya Mitchell et al. (2000) menjelaskan bahwa bentuk–bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, kepercayaan dan aturan-aturan khusus yang dapat berfungsi sebagai instrumen konservasi dan pelestarian sumberdaya alam serta pengembangan sumberdaya manusia, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan di Kepulauan Seribu dibentuk oleh perjalanan budaya kerja yang telah berlangsung turun temurun. Dalam aspek sosial budaya, masyarakat Kepulauan Seribu mengidentifikasi diri mereka sebagai ”Orang Pulo” dengan ciri kebudayaan khas masyarakat pulau sebagai hasil akulturasi kebudayaan yang berasal dari budaya suku Banten, Betawi, Tidung (Kalimantan) serta Bugis dan Mandar (Sulawesi). Pada saat dilakukan penelitian, dukungan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan tergolong rendah. Hal ini dicirikan dengan 57,3 % responden tergolong mempersepsi bahwa kearifan lokal tidak berpengaruh terhadap pola pengelolaan sumberdaya yang lestari dan menjaga harmonisasi antar kelompok pemanfaat dengan kepentingan yang berbeda. Pada saat penelitian dilakukan, tidak ditemukan nilai–nilai kearifan lokal yang dimanifestasikan dalam kelembagaan lokal dengan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam dan sanksi yang mengikat. Pada masyarakat di lima kelurahan yang diamati juga tidak ditemukan forum pertemuan reguler yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh warga sebagai forum komunikasi sosial untuk berbagi informasi dan permasalahan yang berkaitan dengan situasi pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan maupun situasi masyarakat secara umum. Pertemuan masyarakat biasanya bersifat insidental jika terdapat permasalahan yang berkembang di luar situasi normal. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara dukungan kearifan lokal di
61
Kelurahan Pulau Tidung dengan empat kelurahan lainnya. Meskipun belum berjalan secara reguler dan memiliki agenda pembahasan yang tersusun dengan sistematis, pada masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung sudah berjalan pertemuan masyarakat yang berjalan secara informal yang digagas oleh beberapa warga dan tokoh masyarakat untuk membahas permasalahan sosial dan sumberberdaya alam yang berkembang. Antroposentris adalah paham yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia dan tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Etika lingkungan hidup yang mayoritas dianut oleh responden adalah antroposentris. Hal ini diindikasikan oleh temuan bahwa sebanyak 90,17 % responden berpandangan bahwa tumbuhan dan hewan yang ada di lingkungan sekeliling tidak memiliki hak hidup yang sama atau perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya jika tidak diketahui kegunaannya secara ekonomis. Dukungan Tokoh Masyarakat (Informal) Terdapat sebanyak 54,4 % responden beranggapan bahwa dukungan tokoh masyarakat memiliki pengaruh yang rendah pada program APL–BM di Kepulauan Seribu. Meskipun dinilai masih memiliki pengaruh sosial yang cukup besar dan memiliki hubungan yang baik dengan anggota masyarakat, peran tokoh masyarakat informal masih dinilai rendah dalam mendukung pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tokoh masyarakat dianggap belum mengambil peran aktif dalam memberi contoh dalam perilaku pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan atau secara tegas memberikan peringatan bila menemukan pelanggaran pada praktek pengelolaan sumberdaya. Tokoh masyarakat juga dinilai pasif dalam mencarikan alternatif penyelesaian bila terjadi permasalahan di antara kelompok pemanfaat dengan kepentingan yang berbeda. Penyebab rendahnya dukungan tokoh masyarakat informal ini adalah karena program pengelolaan sumberdaya secara umum atau pun melalui program khusus APL–BM belum melibatkan secara optimal pengaruh sosial yang dimiliki oleh para tokoh tersebut sebagai instrumen pemelihara harmoni sosial dalam masyarakat. Beberapa responden bahkan menilai bahwa program pembangunan mengabaikan peran tokoh masyarakat informal dan baru dilibatkan jika terjadi permasalahan/konflik di dalam masyarakat. Tokoh masyarakat informal yang masih dianggap memiliki pengaruh kuat dalam pandangan responden adalah tokoh sesepuh masyarakat nelayan, tokoh agama dan pejabat Rukun Warga– Rukun Tetangga (RW–RT) yang dianggap sebagai perwakilan warga dalam mengelola kepentingan bersama. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat dukungan tokoh masyarakat informal di Kelurahan Pulau Tidung dengan empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan
62
keseluruhan. Tokoh masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung memang menunjukkan peran yang cukup aktif dalam menjaga harmonisasi sosial dan perilaku pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan. Dukungan Aparat Pemerintah Temuan penelitian juga menunjukkan terdapat kecenderungan yang relatif rendah pada penilaian dukungan aparat pemerintah/tokoh masyarakat formal dalam mendukung pengelolaan sumberdaya secara lestari melalui implementasi program APL–BM. Terdapat sebanyak 60,4 % responden beranggapan bahwa aparat menunjukkan dukungan yang rendah meskipun memiliki wewenang formal dan pengaruh sosial yang di dalam pandangan masyarakat. Hubungan antara anggota masyarakat dengan aparat pemerintah berjalan dengan cukup baik, tetapi perannya masih dinilai belum optimal karena baru bertindak dalam bentuk memberi larangan serta belum ikut aktif dalam membantu mencarikan penyelesaian bila terjadi permasalahan praktek pengelolaan sumberdaya. Beberapa responden bahkan menyebutkan bahwa masih sering terlihat beberapa oknum aparat pemerintahan justru melakukan pelanggaran terhadap aturan pengelolaan yang telah disepakati, seperti memesan batu karang dan pasir laut untuk bahan bangunan atau membawa pihak lain memasuki zona inti tanpa berkoordinasi dengan pengurus organisasi masyarakat pengelola APL–BM. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat dukungan tokoh masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Dukungan Organisasi Non Pemerintah dan Swasta Organisasi non pemerintah dan swasta diharapkan dapat memainkan peran fasilitasi pembangunan yang belum mampu diisi oleh pemerintah dalam membimbing, mendampingi dan memberdayakan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (68,1 %) menganggap dukungan organisasi non pemerintah dan swasta masih rendah dalam mendukung penerapan program APL–BM. Skor rataan dukungan yang dipersepsikan sebagian besar responden mendekati batas minimal, hal ini menunjukkan bahwa peran dan dukungan yang diberikan masih sangat minim baik dari segi jenis, frekwensi, intensitas maupun jangkauan kegiatan terkait implementasi program APL–BM. Lembaga non pemerintah yang berasal dari luar wilayah di Kepulauan Seribu dan selama ini dianggap beberapa responden banyak berkiprah dalam mendampingi masyarakat antara lain adalah Yayasan Terangi dan Asosiasi Koral, Kerang dan Ikan Hias (AKKII). Sedangkan lembaga swasta yang dianggap telah memulai kerja sama dalam memberdayakan masyarakat antara lain adalah perusahaan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan Sharp Indonesia melalui skema kerja pemenuhan kewajiban sosial perusahaan. Kegiatan kerja sama yang dilakukan antara lain adalah transplantasi dan adopsi karang, kegiatan kerja sama penelitian serta kegiatan restocking ikan. Terdapat perbedaan nyata pada dukungan pihak swasta dan organisasi non pemerintah yang dipersepsikan responden dari kelurahan Pulau Panggang dengan empat kelurahan yang lain. Pengamatan penelitian menunjukkan bahwa kegiatan untuk mendukung
63
program APL–BM oleh pihak swasta dan organisasi non pemerintah baru berkembang di Kelurahan Pulau Panggang. Kualitas Program Pengelolaan APL–BM Mayoritas responden beranggapan bahwa kualitas program pengelolaan Areal Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat berada pada kategori rendah pada tiga indikator penilaian dan kategori sedang pada satu indikator lainnya. Terdapat sebanyak 67,7 % responden menilai rendah pada indikator kualitas pendekatan komunikasi program, 85,6 % responden menilai rendah pada indikator kualitas inisiatif dan kontinuitas program serta 68,4 % responden menilai rendah pada indikator kualitas kesesuaian konsep program. Pada penilaian berkaitan dengan aspek dampak intensitas peran penyuluhan terhadap kualitas program pengelolaan APL–BM, sebagian besar responden memberikan penilaian sedang. Ditemukan sebanyak 49,3 % responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran penyuluh sebagai advokator, sebanyak 46,7 % responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran sebagai edukator dan 53,1 % responden memberikan penilaian sedang pada intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator (Tabel 22). Tabel 22. Sebaran Kualitas Program Pengelolaan APL–BM X.3. Kualitas Kelurahan Program Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari Pengelolaan (%) (%) (%) (%) (%) APL–BM X. 3.1. Kualitas pendekatan komunikasi program (rentang kelas : skor 11–44) Rendah 65,5 77,1 76,4 47,9 71,9 (skor 11–21) Sedang 20,0 13,8 12,3 31,6 17,5 (skor 22-32) Tinggi 14,5 9,0 11,4 20,5 10,6 (skor 33–44) Rataan skor 20,4 20,5 20,3 23,6 20,4 kualitas komunikasi program X. 3.2. Kualitas inisiatif dan kontinuitas program (batas kelas : skor 4–16) Rendah 80,0 91,0 95,4 69,5 92,1 (skor 4–7) Sedang 16,4 7,2 3,3 20,5 6,3 (skor 8–11) Tinggi 3,6 1,8 1,3 10,0 1,6 (skor 12–16) Rataan skor 5,5 5,2 5,3 6,1 5,0 kualitas inisiatif dan kontinuitas program
Total %
67,7 19,0 13,3 20,7
85,6 10,7 3,7 5,4
64
Tabel 22. (Lanjutan) X.3. Kualitas Kelurahan Program Panggang Harapan Kelapa Tidung Pengelolaan (%) (%) (%) (%) APL–BM X. 3.3. Kesesuaian konsep program (batas kelas : skor 5–20) Rendah 70,9 77,9 80,0 37,9 (skor 5–9 ) Sedang 18,2 13,8 20,0 42,1 (skor 10-14) Tinggi 10,9 8,3 0,0 10,0 (skor 15–20) Rataan skor 8,7 8,5 8,4 12,6 kesesuaian konsep program X. 3.4.1. Intensitas peran penyuluh sebagai advokator (batas kelas : skor 4–16) Rendah 10,9 4,8 2,3 0,0 (skor 4–7) Sedang 43,6 57,1 61,4 36,8 (skor 8–11) Tinggi 45,5 38,1 36,4 63,2 (skor 12–16) Rataan skor 9,9 10,0 9,7 11,5 intensitas peran sbg advokator X. 3.4.2. Intensitas peran penyuluh sebagai edukator (batas kelas : skor 4–16) Rendah 12,7 14,3 12,3 15,3 (skor 4–7) Sedang 45,5 52,4 54,1 35,8 (skor 8–11) Tinggi 41,8 33,3 33,6 48,9 (skor 12–16) Rataan skor 9,6 10,4 10,3 11,7 intensitas peran sbg edukator X. 3.4.3. Intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator (batas kelas : skor 4–16) Rendah 12,7 14,3 18,2 10,0 (skor 4–7) Sedang 54,5 61,9 56,8 46,3 (skor 8–11) Tinggi 32,7 23,8 25,0 43,7 (skor 12–16) Rataan skor peran 10,0 9,8 9,5 12,8 sbg fasilitator
Pari (%)
Total %
75,3
68,4
15,8
24,0
8,9
7,6
8,1
8,6
7,9
25,9
47,6
49,3
44,4
24,8
9,8
10,0
18,1
14,6
46,0
46,7
35,9
38,7
9,8
10,1
17,9
14,6
46,0
53,1
36,0
32,37
9,8
10,0
Sumber : data primer, diolah Kualitas Pendekatan Komunikasi Program Pengelolaan APL–BM Komunikasi pembangunan umumnya bertujuan untuk menyampaikan pesan pembangunan kepada khalayaknya. Wilson et al. (1986) mengemukakan bahwa secara umum tujuan komunikasi pembangunan adalah untuk memberikan informasi kepada sejumlah orang mengenai kebijakan dan strategi program pembangunan, menjalin hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan memberikan hiburan kepada sejumlah orang. Tujuan akhir dari pemberian informasi kepada masyarakat bertujuan untuk mengubah sikap masyarakat
65
menjadi sikap yang lebih positif terhadap program yang diluncurkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, keterdedahan masyarakat sasaran perlu mendapatkan perhatian pemerintah atau agen pembangunan melalui pemilihan model dan aktivitas komunikasi yang tepat, baik dengan melalui media massa maupun melalui komunikasi kelompok atau interpersonal. Pada umumnya responden mempersepsikan kualitas pendekatan komunikasi program pengelolaan APL–BM pada tingkat rendah. Responden mempersoalkan proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik pada kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik saat program diluncurkan. Responden merasa bahwa kedudukan antara para pemangku pementingan dalam forum–forum komunikasi tersebut tidak setara dan pihak pemerintah dianggap mendominasi proses pengambilan keputusan. Proses komunikasi juga dianggap belum sepenuhnya memperhatikan etika dan budaya yang berlaku di masyarakat. Setelah program pengelolaan APL–BM berjalan beberapa tahun kemudian, mayoritas responden juga menganggap proses komunikasi tidak banyak mengalami perbaikan. Responden merasa kesulitan dalam dalam memperoleh informasi tentang situasi pengelolaan sumberdaya secara umum maupun informasi spesifik tentang program APL–BM, termasuk perkembangan situasi terbaru yang terjadi di masyarakat. Responden menilai bahwa informasi yang tersedia banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka serta tidak terlalu diyakini kebenaran pesannya. Pada aspek penggunaan bahasa dan media, responden menganggap bahwa lembaga–lembaga yang berkecimpung dalam pengelolaan APL–BM belum menyampaikan informasi dalam bahasa yang mudah dipahami dan dikemas dalam media komunikasi yang beragam. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara penilaian kualitas pendekatan komunikasi di Kelurahan Pulau Tidung dengan empat kelurahan lainnya dengan nilai rataan yang lebih tinggi. Meskipun memiliki banyak keterbatasan, responden beranggapan bahwa para pengelola program APL–BM dan tokoh masyarakat telah mengoptimalkan strategi komunikasi kelompok dan interpersonal dengan masyarakat dalam menyampaikan informasi–informasi terkait dengan penyelenggaraan program. Inisiasi dan Kontinuitas Program Pengelolaan APL–BM Indikator inisiasi dan kontinuitas program adalah indikator kualitas program penyelenggaraan APL–BM yang paling rendah nilainya dalam persepsi responden. Pada prinsipnya masyarakat tidak mempermasalahkan prakarsa dari program APL–BM, tetapi yang menjadi kritik secara umum adalah tidak adanya pembahasan yang memadai menyangkut strategi operasional dan strategi jangka panjang dalam memelihara kelancaran dan keberlanjutan program di masa yang akan datang. Hal ini dicirikan oleh penilaian rendah pada aspek kejelasan konsep pembagian peran dan tanggung jawab para pihak dalam pengelolaan APL–BM, termasuk isu tanggung jawab pembiayaan program yang menjadi isu kritis bagi kelompok–kelompok pemanfaat sumberdaya di dalam masyarakat.
66
Secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan dalam penilaian pada aspek kualitas inisiasi dan kontinuitas program pengelolaan APL–BM pada kelima kelurahan yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi situasi yang hampir seragam rendah dalam aspek pembinaan strategi–strategi untuk mencapai keberlanjutan program di masa yang akan datang Kualitas Kesesuaian Program Pengelolaan APL–BM Sebagian besar responden mempersepsikan kualitas kesesuaian konsep pengelolaan APL–BM pada tingkat rendah. Responden menilai bahwa pertimbangan–pertimbangan pokok yang mendasari penerapan program APL–BM sebagai upaya pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan secara lestari di Kepulauan Seribu sudah tepat, tetapi implementasi teknisnya dinilai tidak konsisten dan tidak memenuhi rasa keadilan pada beberapa kelompok pemanfaat tradisional yang juga merupakan kelompok mayoritas. Isu utama yang menjadi pokok persoalan adalah ketaatan atau perbedaan penafsiran terhadap peraturan tentang zonasi APL–BM dan aktivitas yang diperbolehkan/dilarang di dalamnya. Secara normatif berdasarkan peraturan SK Bupati Kepulauan Seribu tentang zonasi APL–BM di Kelurahan Pulau Panggang, maka pada zona areal inti tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun selain untuk kepentingan konservasi. Tetapi situasi lapangan yang berkembang dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa areal inti tidak steril dari aktivitas selain upaya konservasi. Isu lain yang berkembang adalah permasalahan pembagian dan penggunaan ruang di areal pemanfaatan. Dengan mulai maraknya usaha budidaya karang komersial, kelompok nelayan dan pemandu wisata merasa sudah diperlukan adanya kesepakatan bersama yang mengatur bagaimana kelompok– kelompok pemanfaat sumberdaya yang ada dapat terus menjalankan aktivitasnya tanpa saling mengganggu ruang usaha masing–masing. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara penilaian kesesuaian konsep di Kelurahan Pulau Tidung dengan keempat kelurahan lainnya dengan nilai rataan yang lebih tinggi. Responden di kelurahan Pulau Tidung menilai peraturan zonasi APL–BM dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya secara ramah lingkungan di wilayah kelurahan mereka telah ditegakkan secara tegas dan adil bagi semua kelompok pemanfaat. Intensitas Peran Penyuluhan Petugas penyuluh perikanan–kelautan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mendampingi, membimbing, mendidik dan mengajak masyarakat pemanfaat agar mau dan mampu berperan serta secara aktif dalam pengelolaan dan pemeliharaan sumberdaya. Salah satu indikator keberhasilan kegiatan penyuluhan tersebut ditentukan oleh intensitas peran yang ditunjukkan oleh petugas penyuluh. Pada saat dilakukan penelitian terdapat 3 orang tenaga penyuluh kontrak untuk 5 kelurahan di Kepulauan Seribu yang memiliki program APL–BM, dengan perincian satu orang tenaga penyuluh bertugas di Kelurahan Pulau Panggang, satu orang bertugas di Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Kelapa dan satu orang bertugas di Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan Pulau Pari. Para petugas tersebut adalah penyuluh monovalen di bidang perikanan–kelautan. Dua petugas penyuluh memiliki pendidikan sebagai ahli madya sosial ekonomi
67
perikanan dan satu orang lainnya merupakan tenaga ahli madya di bidang penyuluhan perikanan. Meskipun memiliki tanggung jawab kerja yang cukup berat mengingat kondisi bentang alam wilayah dampingannya, indikator intensitas peran penyuluhan menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan ketiga indikator lain pada peubah kualitas program pengelolaan APL–BM. Faktor utama yang berperan membentuk penilaian ini adalah bahwa keberadaan petugas penyuluh di lapangan dinilai lebih intens bila dibandingkan dengan keberadaan parat pemerintah di bidang yang lain. Mayoritas responden memberikan penilaian pada tingkat sedang pada kinerja penyuluhan yang dilaksanakan di Kepulauan Seribu. Pada indikator peran penyuluh sebagai fasilitator, sebagian besar responden menganggap bahwa petugas penyuluh telah menunjukkan kinerja yang cukup baik yang dicirikan oleh intensitas semangat penyuluh dalam memotivasi masyarakat untuk terlibat aktif pada pengelolaan APL–BM. Petugas penyuluh dinilai sebagai fasilitator kegiatan yang berperan postif dalam memperlancar proses diskusi pada pertemuan yang diadakan. Demikian pula pada peran sebagai edukator, petugas penyuluh dianggap memiliki kemampuan teknis yang cukup memadai di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan. Serupa dengan itu, petugas penyuluh juga dinilai mampu menjadi jembatan komunikasi dan pendamping yang baik dalam upaya menyampaikan aspirasi kelompok pemanfaat dengan para pemangku kepentingan lain. Responden menganggap para petugas penyuluh memberikan saran dan pertimbangan yang logis ketika masyarakat menghadapi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lionberger dan Gwin (1982) bahwa salah satu faktor yang mendorong keberhasilan penyuluhan terletak pada kemampuan penyuluh dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh klien. Secara statistik, pada indikator peran penyuluh sebagai advokator dan edukator tidak terdapat perbedaan intensitas yang signifikan pada ke lima kelurahan yang diteliti. Pada indikator intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator, intensitas peran penyuluh di Kelurahan Pulau Tidung berbeda secara signifikan dengan ke empat kelurahan lainnya dan memiliki nilai rataan yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena kinerja petugas penyuluhan di kelurahan tersebut dinilai baik oleh kelompok masyarakat dengan aktifnya penyuluh dalam membenahi struktur kelompok dan mendampingi kelompok dalam pertemuan– pertemuan yang diselenggarakan di tingkat kelurahan maupun kabupaten. Kemampuan Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM Kemampuan merupakan sekumpulan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki seseorang atau kelompok yang berkaitan satu sama lain dan memainkan peran penting bagi pencapaian hasil kerja. Kegiatan pengelolaan sumberdaya melalui program APL–BM akan mencapai hasil yang baik jika kelompok masyarakat pemanfaat tersebut memiliki kemampuan yang memadai. Organisasi masyarakat pada program APL–BM berperan sebagai fasilitator bagi proses peningkatan partisipasi masyarakat dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pola kerja kolaboratif (Tabel 23).
68
Tabel 23. Sebaran Tingkat Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola APL–BM X.4. Kemampuan Kelurahan Organisasi Panggang Harapan Kelapa Masyarakat (%) (%) (%) Mengelola APL–BM X. 4.1. Kemampuan teknis (rentang kelas : skor 6–24) Rendah 14,5 33,3 31,4 (skor 6–11) Sedang 67,3 52,9 54,1 (skor 12–17 ) Tinggi 18,2 13,8 14,5 (skor 18–24) Rataan skor 14,7 11,8 11,9 kemampuan teknis X. 4.2. Kemampuan manajerial (rentang kelas : skor 10–40) Rendah 56,4 52,4 81,8 (skor 10–19) Sedang 27,2 28,6 15,9 (skor 20– 29) Tinggi 16,4 19,0 2,3 (skor 30–40) Rataan skor 18,5 17,3 17,8 kemampuan manajerial X. 4.1. Kemampuan sosial (rentang kelas : skor 5–20) Rendah 69,1 53,8 65,5 (skor 5–9) Sedang 14,5 33,3 22,3 (skor 10–14 ) Tinggi 16,4 12,9 12,3 (skor 15–20) Rataan skor 8,8 8,4 8,0 kemampuan sosial
Tidung (%)
Pari (%)
Total %
15,2
24,0
23,7
57,4
58,5
58,0
27,4
17,5
18,3
16,0
12,4
13,6
27,9
57,9
55,3
58,3
26,3
31,7
13,8
15,8
13,0
21,8
18,6
18,5
22,1
59,7
54,0
62,1
28,6
32,2
15,8
11,7
13,8
12,2
8,2
8,9
Sumber : data primer diolah Tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan secara lestari melalui penerapan program APL–BM dinilai responden cenderung berada dalam tingkat rendah menuju sedang yang dicirikan oleh indikator kemampuan teknis yang dipersepsikan pada tingkat sedang oleh 58,0 % responden, indikator tingkat kemampuan manajerial dipersepsikan rendah oleh 55,3 % responden dan aspek kemampuan sosial yang juga dipersepsikan rendah oleh 50,4 % responden. Kemampuan Teknis Temuan penelitian menunjukkan mayoritas responden meyakini organisasi masyarakat pengelola program APL–BM sudah memiliki kemampuan teknis yang cukup memadai dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator program. Kemampuan teknis tersebut meliputi kemampuan untuk melakukan survei potensi dan penentuan status sumberdaya, pemilihan lokasi dan pelaksanaan tranplantasi karang serta kemampuan teknis dasar lainnya. Hal yang dianggap sebagai faktor penghalang optimalisasi kemampuan teknis adalah organisasi masyarakat belum didukung oleh sarana dan prasarana kerja yang memadai.
69
Kemampuan teknis yang dimiliki pengurus organisasi masyakat pengelola APL–BM di Kepulauan Seribu diperoleh melalui proses alih pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan non formal berupa pelatihan yang diadakan oleh pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi maupun melalui upaya belajar mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (2010) bahwa pendidikan, termasuk pendidikan non formal, merupakan salah satu pilar utama bagi pengembangan kemandirian masyarakat. Kemandirian merupakan suatu prasyarat bagi masyarakat untuk berdaya dalam mengelola sumberdaya dan beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan yang terus terjadi. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat kemampuan teknis organisasi masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Pulau Tidung dengan ke tiga kelurahan lainnya. Rataan penilaian kemampuan teknis pada dua kelurahan tersebut juga lebih tinggi daripada tiga kelurahan lain yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Pada Kelurahan Panggang, hal ini disebabkan kedudukannya sebagai sebagai ibukota yang berimplikasi lebih sering dijadikan sebagai lokasi pelatihan yang diselenggarakan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah. Sementara pada Kelurahan Pulau Tidung, kemampuan teknis organisasi masyarakat banyak diperoleh dari pelatihan yang diadakan oleh perguruan tinggi dan upaya belajar mandiri dari individu pengurus organisasi. Kemampuan Manajerial Pada aspek kemampuan manajerial, terdapat 55,3 % responden yang menilai organisasi masyarakat pengelola program APL–BM memiliki kemampuan manajerial yang rendah dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator program. Aspek kemampuan manajerial yang dinilai meliputi kemampuan untuk melakukan identifikasi potensi masalah konsep pengelolaan yang dihadapi, kemampuan identifikasi modal sosial yang dimiliki komunitas dan lembaga lain di luar komunitas, kemampuan alokasi sumberdaya organisasi, kemampuan pengambilan keputusan yang sistematis serta kemampuan untuk melakukan pendokumentasian dan pengadministrasian program kerja organisasi yang telah dilaksanakan. Pengamatan selama penelitian menemukan tidak ada organisasi masyarakat pengelola APL–BM kelengkapan dasar organisasi berupa Anggaran Dasar–Anggaran Rumah tangga (AD/ART) maupun kelengkapan administrasi dasar lainnya. Demikian pula tidak ada organisasi masyarakat pengelola yang melakukan inventarisasi sarana kerja yang dimiliki serta mendokumentasikan rangkaian proses kerja organisasi dalam bentuk laporan tertulis. Hanya organisasi masyarakat pengelola APL–BM Kelurahan Pulau Panggang yang memiliki dasar legalisasi formal penetapan sebagai organisasi masyarakat pengelola APL–BM dalam bentuk surat keputusan Bupati Kepulauan Seribu. Secara statistik tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kemampuan manajerial organisasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan melalui penerapan program APL–BM.
70
Kemampuan Sosial Serupa dengan aspek kemampuan manajerial, kemampuan sosial organisasi masyarakat pengelola program APL–BM dinilai rendah dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator program oleh mayoritas responden (54,0 %). Aspek kemampuan sosial tersebut meliputi kemampuan untuk manyampaikan aspirasi masyarakat pemanfaat sumberdaya, kemampuan untuk mendorong kerja sama dan memediasi konflik serta kemampuan untuk menegakkan peraturan dalam pengelolaan APL–BM. Susunan pengurus kelompok organisasi masyarakat pengelola APL–BM juga dianggap terpilih melalui proses yang kurang demokratis sehingga tidak sepenuhnya mewakili kepentingan kelompok masyarakat pemanfaat. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara penilaian kemampuan sosial organisasi masyarakat di Kelurahan Pulau Tidung dengan keempat kelurahan lainnya. Responden di kelurahan Pulau Tidung menganggap bahwa susunan pengurus terpilih melalui proses yang cukup demokratis sehingga mampu memahami situasi sosial yang sesungguhnya berkembang terkait dengan pola pemanfaatan sumberdaya. Selain faktor tersebut, responden juga menganggap bahwa pengurus telah bekerja dengan baik dalam menegakkan aturan dan memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi secara adil dan tegas. Motivasi Masyarakat untuk Berpartisipasi dalam Pengelolaan APL–BM Motif merupakan sumber dari tindakan yang bertujuan. Motif yang menjadi aktif disebut dengan motivasi. Motif yang menjadi aktif digerakkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, yang kemudian menjadi tujuan yang hendak dicapai (Sarwono, 2002). Begitu pula motif dengan nelayan dan kelompok pemanfaat lainnya di Kepulauan Seribu dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya perikanan–kelautan melalui program APL–BM. Secara umum, mayoritas responden tergolong memiliki tingkat motivasi sedang pada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur motivasi yaitu motivasi untuk meningkatkan pendapatan, mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dan melestarikan sumberdaya (Tabel 24). Motivasi untuk Meningkatkan Pendapatan Peningkatan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumahtangga dan meningkatkan kesejahteraan merupakan tujuan akhir dari setiap pilihan tindakan individu. Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa sebagian besar responden (58,9 %) tergolong memiliki motivasi meningkatkan pedapatan pada tingkat sedang dalam berpartisipasi pada pengelolaan APL–BM. Pada umumnya responden beranggapan bahwa pengelolaan sumberdaya melalui implementasi program APL–BM baru akan memberikan dampak pada produktivitas perairan dalam jangka panjang, dengan asumsi bahwa zona inti perlindungan benar–benar terlindungi dari aktivitas apapun kecuali untuk kepentingan penelitian dan pengawasan. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat motivasi untuk meningkatkan pendapatan adalah meskipun terdapat keinginan yang besar untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga, umumnya usaha perikanan tangkap dijalankan masih berorientasi subsisten dan belum diartikulasikan melalui rencana pengembangan usaha yang baik. Berbeda dengan hal tersebut, kelompok
71
responden yang berusaha di bidang pemanduan ekowisata bahari dan budidaya karang secara komersial menunjukkan motivasi yang lebih tinggi untuk memajukan usaha dan meningkatkan pendapatannya. Hal ini disebabkan karena perkembangan usaha pada kedua bidang pekerjaan tersebut dianggap prospektif untuk terus dikembangkan pada masa yang akan datang. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat motivasi meningkatkan pendapatan di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Hal ini berhubungan dengan keyakinan responden bahwa program APL–BM berfungsi efektif dalam menjaga produktivitas perairan dan menjadi daya tarik yang tinggi dalam usaha ekowisata bahari. Tabel 24. Sebaran Tingkat Motivasi Masyarakat untuk Berpartisipasi dalam Pengelolaan APL–BM. X.5. Motivasi Kelurahan Masyarakat Panggang Harapan Kelapa Tidung Mengelola (%) (%) (%) (%) APL–BM X. 5.1. Motivasi meningkatkan pendapatan (rentang kelas : skor 4–16) Rendah 37,2 43,8 44,1 17,4 (skor 4–7) Sedang 56,4 49,4 55,9 77,4 (skor 8–11) Tinggi 6,4 6,8 0,0 5,2 (skor 12–16) Rataan skor 8,0 8,0 8,2 9,6 motivasi pendapatan X. 5.2. Motivasi mendapatkan pengakuan atas kredibilitas (rentang kelas : skor 1–4) Rendah 41,8 42,8 43,6 26,3 (skor 1) Sedang 56,4 52,4 56,4 73,7 (skor 2–3 ) Tinggi 1,8 4,8 0,0 0,0 (skor 4) Rataan skor 2,5 2,4 2,5 3,0 motivasi pengakuan kredibilitas X. 5.3. Motivasi untuk melestarikan sumberdaya (rentang kelas : skor 2–8) Rendah 34,5 42,7 45,2 23,3 (skor 2–3) Sedang 48,2 46,8 45,1 67,2 (skor 4–5 ) Tinggi 17,3 10,5 9,7 9,5 (skor 6–8) Rataan skor 4,5 4,2 4,2 5,2 motivasi melestarikan
Sumber : data primer, diolah
Pari (%)
Total %
38,8
36,3
53,3
58,9
7,9
4,8
8,6
8,4
48,9
40,7
44,8
56,9
6,3
2,4
2,4
2,7
40,5
37,2
50,4
51,5
9,1
11,3
4,0
4,3
72
Motivasi untuk Mendapatkan Pengakuan atas Kredibilitas Pada umumnya motivasi responden untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitasnya dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan secara lestari melalui program APL–BM berada dalam level sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa kelompok–kelompok pemanfaat memiliki keinginan dan keyakinan diri yang cukup besar untuk membuktikan peran mereka sebagai mitra pembangunan yang sejajar dan mampu membangun sinergi dengan pemerintah dan agen pembangunan lainnya. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Hal ini tidak lepas dari peran intensif penyuluh, tokoh masyarakat informal dan aparat pemerintah dalam membangun sistem kerja kelompok pengelola APL–BM sehingga terbentuk situasi kerja yang kondisuif yang pada akhirnye berdampak pada tumbuhnya kesadaran dan kepercayaan diri masyarakat. Motivasi untuk Melestarikan Sumberdaya Sebagian besar responden menunjukkan motivasi untuk melestarikan sumberdaya dengan tingkat sedang dalam berpartisipasi. Motivasi ini dipengaruhi oleh faktor historis bahwa hanpir keseluruhan masyarakat di Kepulauan Seribu sangat bergantung kepada keberadaan sumberdaya perikanan–kelautan secara turun temurun sebagai nelayan tangkap sehingga secara psikologis terbentuk keterikatan yang kuat antara masyarakat dan sumberdaya alam dan lingkungannya. Meskipun ditemukan beberapa ketidakselarasan antara motivasi pelestarian sumberdaya dengan praktek–praktek pemanfaatan yang mengganggu keseimbangan ekosistem, pada dasarnya responden dari kelompok nelayan memiliki keinginan untuk memberi warisan penghidupan yang lebih baik kepada anak cucunya. Pemahaman ini juga ditemukan pada bidang pekerjaan pemanduan ekowisata bahari dan budidaya karang yang baru berkembang. Berdasarkan pemikiran tersebut maka tidak ada pilihan lain bagi masyarakat di Kepulauan Seribu kecuali memulai upaya pemulihan kualitas sumberdaya sedini mungkin melalui kepatuhan atas aturan pengelolaan yang disepakati bersama. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan antara rataan tingkat motivasi untuk melestarikan sumberdaya di Kelurahan Pulau Tidung dengan ke empat kelurahan lainnya. Rataan dukungan tersebut merupakan yang tertinggi dari seluruh kelurahan yang diamati dan nilainya berada di atas nilai rataan keseluruhan. Tumbuhnya motivasi untuk menjaga kelestarian sumberdaya merupakan hasil kerja intensif penyuluh, tokoh masyarakat informal dan aparat pemerintah dalam membangun kesadaran masyarakat. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mendapatkan penguatan kesadaran karena pengalaman menunjukkan upaya perlindungan akan menjaga dan meningkatkan produktivitas sumberdaya dalam jangka panjang.
73
SIMPULAN Program Areal Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 357 Tahun 2004 sebagai program kolaboratif dan memuat pengaturan tiga zona pengelolaan, yaitu areal inti (hanya digunakan untuk aktivitas konservasi), areal penyangga (dapat dimanfaatkan secara terbatas sesuai dengan kesepakatan masyarakat) dan areal pemanfaatan (dapat dimanfaatkan dengan alat tangkap yang tidak merusak). Karakteristik individu responden secara mayoritas adalah berusia dewasa muda dengan rataan usia 37,8 tahun, memiliki tingkat pendidikan formal tingkat menengah dengan rataan durasi pendidikan formal 7,4 tahun dan tingkat pendidikan non formal adalah rendah dengan rataan durasi pendidikan non formal setara 7,6 jam pelatihan. Mayoritas responden tergolong berpenghasilan rendah dengan rataan pendapatan Rp. 1.893.470, memiliki rataan tanggungan keluarga 2,9 jiwa, memiliki rataan pengalaman 18,5 tahun, bekerja sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing (31,1 %), berstatus sebagai pekerja dalam struktur relasi kerja (65 %) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan (47,4%). Pada aspek dinamika sosial budaya, mayoritas responden tergolong sebagai individu dengan tingkat kekosmoplitan rendah (76,1 %) dan tingkat keterdedahan media massa yang rendah pula (64,3 %). Mayoritas responden (57,3 %) berpenilaian dukungan kearifan lokal berpengaruh rendah terhadap pengelolaan program APL–BM dan hampir keseluruhan responden (90,17 %) tergolong manganut etika lingkungan antroposentris. Terdapat sebanyak 50,4 % responden menilai dukungan tokoh masyarakat informal dikategorikan rendah, 60,5 % responden menilai bahwa dukungan tokoh masyarakat rendah serta 68,1% responden menilai bahwa dukungan organisasi non pemerintah dan swasta rendah dalam pengelolaan APL–BM di wilayah Kepulauan Seribu. Pada penilaian aspek kualitas program pengelolaan APL–BM, terdapat 67,7 % responden menilai rendah pada indikator kualitas pendekatan komunikasi, 85,6 % responden menilai rendah pada indikator kualitas inisiatif dan kontinuitas program serta 68,4 % responden menilai rendah pada indikator kualitas kesesuaian konsep program. Sementara pada penilaian berkaitan dengan aspek dampak intensitas peran penyuluhan terhadap kualitas program pengelolaan APL– BM, sebagian besar responden memberikan penilaian sedang. Ditemukan sebanyak 49,3 % responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran penyuluh sebagai advokator, sebanyak 46,7 % responden memberikan penilaian sedang pada indikator intensitas peran sebagai edukator dan 53,1 % responden memberikan penilaian sedang pada intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator. Tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam mengelola program APL–BM dinilai responden cenderung berada dalam tingkat rendah menuju sedang yang dicirikan oleh indikator kemampuan teknis yang dipersepsikan pada tingkat sedang oleh 58,0 % responden, indikator tingkat kemampuan manajerial dipersepsikan rendah oleh 55,3 % responden dan aspek kemampuan sosial yang juga dipersepsikan rendah oleh 50,4 % responden.
74
Mayoritas responden tergolong memiliki tingkat motivasi sedang pada tiga indikator motivasi dalam pengelolaan program APL–BM yaitu motivasi untuk meningkatkan pendapatan (58,9 %), motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas (56,9 %) dan motivasi untuk melestarikan sumberdaya (51,5 %).