AQIDAH ISLAM Pembahasan aqidah dalam Islam merupakan pembahasan yang paling penting dan mendasar dibandingkan dengan perkara lainnya. Hal ini disebabkan kedudukan aqidah Islam merupakan asas, kaidah berfikir, tolak-ukur perbuatan, dan patokan bagi manusia ketika memecahkan problematika kehidupan dunia yang dihadapinya. Aqidah inilah yang menentukan cara pandang (point of view) seorang manusia, cita-cita, dan tujuan kehidupannya. Dengan demikian, kedudukan aqidah dalam Islam menjadi sangat penting dan menentukan, karena aqidah menjadi sesuatu yang diyakini kebenarannya, diperjuangkan keberadaannya, dipertahankan eksistensinya, dan disampaikan kepada seluruh umat manusia sebagai rahmatan lil ’âlamîn. Jadi, aqidah dalam Islam menjadi landasan bagi berdirinya bangunan peradaban manusia yang fitrah, dasar pijakan kebudayaan suatu masyarakat, pancaran lahirnya berbagai aturan, hukum, undang-undang, dan tata-nilai dengan segenap turunannya (derivate values). Berdasarkan hal inilah Rasulullah SAW. telah menata masyarakat Madinah Al- Munawwarah setelah beliau melakukan hijrah dari Mekkah ke Yastrib (Madinah) menjadi suatu masyarakat yang plural (majemuk). Rasulullah bukan saja membentuk dan membina para sahabatnya dengan aqidah Islam yang kuat dan konsisten, tetapi juga membangun komunitas masyarakat Islam yang pluralistik (majemuk karena terdapat pula komunitas masyarakat lain yang beragama Yahudi, Nasrani, dan lainnya) dan menegakkan sistem pemerintahannya, walaupun ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum kemasyarakatan belum sempurna diturunkan. Hal ini tercermin dari syahadat Lâ Iâha ILLâh (kalimat tauhid) sebagai asas bagi segala sesuatu yang dihadapinya. Asas bagi kehidupan seorang muslim, asas hubungan interaksi dengan sesama manusia, asas untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, perselisihan, kekuasaan, pemerintahan , dan bernegara. Hal ini dapat kita perhatikan dalam Piagam Madinah: ” …Sesungguhnya apabila terjadi peristiwa atau perselisihan di antara mereka yang terlibat dalam perjanjian ini, serta dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan maka hal itu harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya… ”
Aqidah ini pula yang dijadikan sebagai landasan bagi segenap aturan dan perundang-undangan, karena Allah SWT. telah memerintahkan manusia untuk merujuk kepada aturanNya yang fitrah, sebagaimana Allah berfirman:
َّ ُ ُْ َ ْ َ َ َ َ َ ِ ك َ ُِّ َ ُ َّ َ ن َ ُ ِ ُْ َ ِّ َ" َو َر
Maka demi Rabbmu, pada hakekatnya mereka tidaklah beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan… ” (QS An Nisa : 65)
” …
Ayat ini telah menegaskan bahwa ukuran keimanan (aqidah) diukur dari kesediaannya untuk merujuk pada aturan Allah SWT. dan RasulNya. Hal ini menegaskan segenap aturan hidup manusia yang beriman kepada Allah SWT. berasal dari aqidah Islam semata. 34
35
PENGERTIAN AQIDAH
) َ ْ َ ُق/ 9َ ُ4 َ %ِ :ُِـ7ُ َو ر%ِ ;ِ َو آُـُـ%ِ ِ َ &ِ 'َ ( َو ِ ِ ) َ َ ءَا-, ُن آ َ ُْ ِ ُْْ. َو ا%ِ /ـ0 ِ)ْ ر%ِ ْ .َ َل ِإ3ِ ْ4ُ أ6َِ ُُ ْل70 .) ا َ َ ءَا
ُ ْْ َ>ِ ـ. ا َ َْ ـ. َ َو ِإ0 رَـ َ 4َ ْ َا9ُ? َ@ْ ـA َ ِ@ْ ـَ َو َأ7 َ ُْا.َـB َو%ِ :ُِـ7Cَأَـ ٍ= ِ)ْ ر
"Rasul telah beriman kepada Al-Qur’ân yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikatmalaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membedakan antara seseorang pun dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat". Mereka berdoa: "Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali."
Aqidah secara etimologi diambil dari kata kerja (fi'il) 'aqoda ( ), yang artinya simpul (ikatan). Hal ini dapat kita perhatikan pada frase ( اsimpul tali), ا (ikatan perjanjian). Aqidah berasal dari bahasa Arab, yaitu ’AQADA - YA‘QIDU ’AQDAN - ’AQÎDATAN - MA‘QÛDAN ’sesuatu yang diikat‘. Adapun secara terminologi Aqidah memiliki pengertian iman, yaitu pembenaran (keyakinan) yang utuh, sesuai dengan fakta dan bersumber dari dalil-dalil yang menunjukkannya. Dr. Fathi Salim dalam kitab Al Istidlaalu bi Dzann fi Al-’Aqidah menyatakan bahwa aqidah adalah sesuatu yang diyakini atau diimani di dalam hati (qalbu). Pengertian hati (qalbu) dapat difahami sebagai akal atau hati itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an AlKarim kata-kata Qalbun berarti akal atau yang menggambarkan fungsi akal, yaitu memahami, sebagaimana Allah berfirman:
َِ ن َ ُDَ ْ9َ ب ٌ ُ:ُB ُْ.َ
“ Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah … ” (QS.Al A’raaf:179).
35
Prof. Hasbi Asy Shiddiqi dalam Sejarah dan Pengantar Tauhid menyatakan bahwa Iman ialah kepercayaan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu), wahm (persangkaan yang tidak beralasan), atau dzann (persangkaan yang memiliki alasan kuat). Jadi, aqidah atau iman dapat dipahami sebagai pembenaran yang bersifat pasti yang bersesuaian dengan kenyataan berdasarkan pada dalil. Aqidah musti bersifat pasti. Artinya keyakinan yang bulat atau seratus persen tanpa terdapat keraguan sedikitpun terhadap yang diyakini, sedangkan maksud sesuai dengan fakta adalah hal yang diyakini itu memang benar adanya dan bukan sesuatu yang diada-adakan. Dengan demikian, setiap bentuk keyakinan yang masih terdapat keraguan dan persangkaan sehingga memungkinkan di dalam perkara tersebut terjadinya perbedaan dan perselisihan di antara para ulama tidak dapat dikategorikan sebagai aqidah. Hal ini menjadi garis pemisah yang jelas antara orang yang beriman dan yang tidak beriman. Hal inipun dikemukakan oleh Prof. Dr. Mahmud Syaltuth dalam buku Aqidah wa Syariah.
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
sebagai:
Dalam pendapat lain dikemukakan bahwa aqidah dapat didefinisikan
B"G )G @=ه وG ة و. ا-;B G ة و.ن و اJ4Kن و ا.) اG L :. ة ا9. اM =ة هD@.ا ”Aqidah
و @=ه:;B
secara istilah adalah pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta dan kehidupan, tentang sebelum kehidupan dan sesudahnya, dan hubungan-hubungan ketiganya (alam semesta, manusia, dan kehidupan) dengan alam sebelum dan sesudahnya“
Penyebutan aqidah Islam ditunjukkan dengan keimanan kepada Allah SWT., para malaikatNya, kita-kitabNya, para RasulNya, Hari Qiamat, dan kepada Qadla dan Qadar, baik-buruknya berasal dari Allah SWT. Keenam perkara ini merupakan pokok-pokok aqidah Islam, sebab masih terdapat aspek-aspek lainnya yang juga dituntut bagi kita untuk mengimaninya, seperti keimanan kepada ajal (maut), rizki, sifat-sifat Allah, kema‘shuman para nabi dan rasul, mu‘jizat Al Quran, pertolongan Allah SWT., surga, neraka, jin, setan, kisah-kisah dalam Al Quran, dan lain-lain. Aqidah tersebut ditetapkan oleh Allah dan kita sebagai manusia wajib meyakininya sehingga kita disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun, bukan berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil aqliy. Akan tetapi karena akal manusia yang terbatas maka tidak semua hal yang harus diimani dapat diindera dan dijangkau oleh akal manusia sehingga diperlukan dalil-dalil naqliy. Apabila perkara keimanan itu masih berada pada jangkauan akal maka dalil keimanan bersifat aqli, sementara jika tak terjangkau akal maka harus berdasarkan dalil naqli.
36
37
MENGAPA HARUS BERIMAN? "Manusia merupakan makhluk berakal yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mencari kebenaran dalam setiap hal yang menyangkut hidup dan kehidupannya. Demikian pula, dalam masalah keimanan terhadap sesuatu yang disembahnya, manusia akan mencari kebenaran tentang keimanannya tersebut. Hanya dengan metode beriman yang benar sajalah seseorang dapat sampai ke arah tersebut. Materi ini merupakan salah satu bentuk upaya dalam rangka menghantarkan kita ke arah pemahaman keimanan yang kokoh dan kuat. Oleh karena itu, dibutuhkan keseriusan dalam mengkajinya." Dalam realita kehidupan saat ini, tidak sedikit kaum muslimin yang kurang mengetahui mengapa dia memeluk Islam. Ketika ditanya mengapa anda memeluk agama Islam? Sering terlontar jawaban yang paling sederhana: ”Ya, karena orang tua saya, nenek dan kakek saya beragama Islam“. Benarkah pemahaman keIslaman itu melalui proses seperti ini? Padahal Al-Qur’ân menuntut untuk membuktikan setiap kebenaran yang diyakini manusia.
) َ ْ ِـBَ ِدP َُْـُْ ِإنْ آُ ْـ4َُْا ُـ ْهQْ هَـ-ُB ...
"...Katakanlah: "Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar". (QS Al-Baqarah: 111)
37
Di sisi lain, banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu hanya berdasarkan dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat, seperti menyebutkan Tuhan itu tiga, akan terjadi reinkarnasi setelah kematian, atau menyebut tidak ada hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi mendasarkan keimanannya hanya pada perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri manusia, tetapi tanpa didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya berdasarkan perasaan, yang terjadi pada manusia adalah kecenderungan untuk mengkhayalkan apa yang diimani dan mencari sendiri cara untuk menyembahnya. Maka muncullah penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran kebatinan. Islam sebagai satu-satunya diin (sistem) yang kita yakini kebenarannya tentu tidak demikian. Islam merupakan Diin (agama) yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat, sesuai dengan fitrah manusia dan menimbulkan ketentraman bagi jiwa manusia. Pengambilan dalil berkenaan dengan perkara aqidah berbeda dengan dalil perkara hukum (tasyri‘), sebab aqidah mensyaratkan dalil yang bersifat pasti (qath‘iy), tidak terdapat keraguan sedikitpun di dalamnya. Dengan demikian sumber pengambilan dalil bagi aqidah harus pasti pula sumbernya (qath‘iy ats tsubut) dan pasti penunjukkan dalilnya (qath‘iy dalalah). Sumber tersebut berasal Al-Qur’an AlKarim dan hadits Rasulullah yang mutawatir. Di samping itu, dalam perkara aqidah tidak terdapat ijtihad sebagaimana yang terdapat dalam penetapan hukum syariat. Ijtihad hanya terbatas pada perkara syariat (hukum) saja, sebab jika aqidah dijadikan tempat untuk berijtihad maka bagaimana dengan hasil ijtihad yang salah atau keliru, sementara kekeliruan atau kesalahan dalam perkara aqidah menyebabkan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
kekufuran. Aqidah merupakan batas antara iman dan kafir. Dari sinilah maka penunjukkan dalil masalah aqidah harus pasti (qath‘iy) yang tidak terdapat penafsiran yang berbeda-beda. Berkaitan dengan hal ini Al-Qur’an Al-Karim menyatakan :
ّن َ )ّ َوِإ َ ّW َ .ن إِ ا َ ُ@;ِ َّ َ ْْ ٍ ِإن:G ِ ْ)ِ %ِ ِ ُْ.َ َ َ َوRْ4S اLَ َ ِ ْJQَ Lَ َ &ِ "َْ.ن ا َ ُّJ َ ُ .َ َ ِةT ِ Uِ ن َ ُ ِ ُْ ) َ ِVّ.َنّ ا َ ِإ ”Sesungguhnya
ًYْ َ ّZ ِ َ ْ.) ا َ ِ Mِ ْ[ُ ّ) َ ّW َ .ا
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan Akhirat, mereka benarbenar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan (ilmu) tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (dzann), sedangkan persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran“ (QS. An Najm:27-28)
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan (dzann) saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran“ (QS Yunus:36) Perhatikan pula ayat lainnya, yaitu QS. Al An‘am:116, 148; QS. Yunus:66; QS. Shad:27; QS. Al Jin:7; dan QS. Al Baqarah:78). Ayat-ayat di atas, jelas mencela orang yang mengikuti persangkaan dan dugaan (dzann) dan orang yang mengikuti sesuatu tanpa kepastian (al ilmu). Celaan Al-Qur’an Al-Karim tersebut menjadi landasan yang melarang secara tegas terhadap perilaku di atas. Jadi, dalam rangka menjaga aqidah itu tetap bersih dan lurus, jauh dari keraguan dan kesamaran walaupun hanya sedikit maka sumber dan makna dalilnya harus bersifat pasti.
KEIMANAN HARUS BERLANDASKAN DALIL PASTI (QATH‘IY) Dalam membuktikan kebenaran keimanan, dibutuhkan adanya bukti (dalil). Dalil ini adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani. Jika sesuatu itu masih dalam jangkauan panca indera maka dalilnya adalah aqli, tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan panca indera, wajib disandarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil keimanan atau aqidah berlandaskan pada dua hal, yaitu: 1. Dalil Aqli merupakan dalil yang digunakan untuk membuktikan perkaraperkara yang bisa diindera untuk mencapai kebenaran yang bersifat pasti tentang sesuatu yang diimani. Hal ini meliputi beriman kepada keberadaan Allah SWT., pembuktian kebenaran Al-Qur’ân, dan pembuktian Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah. Melalui pengkajian secara mendalam akan dapat difahami bahwa keimanan terhadap eksistensi (keberadaan) Allah SWT. dalilnya adalah dalil aqliy. Hal ini disebabkan eksistensi (keberadaan) Allah dapat dijangkau oleh akal dan alat indera manusia. Benda atau makhluk yang keberadaan dan fenomenanya mampu dijangkau akal manusia dan dapat diindera memiliki sifat membutuhkan atau tergantung pada yang lain. Jika seandainya manusia berkaca tentang keberadaan dirinya, maka dia hanyalah bagian terkecil dari keberadaan alam semesta yang luasnya 38
39
takterhingga ini. Keteraturan yang melingkupi seluruh benda dan makhluk dan manusia merupakan fenomena yang dengan mudah menghantarkan manusia pada keyakinan terhadap eksistensi Sang pencipta (Al-Khaliq). Gejala dan proses yang terdapat pada atom, molekul, jaringan sel, tanaman, tubuh manusia, tata surya, planet, bintang-bintang, silih bergantinya siang-malam, keberadaan gunung-gunung, hutan rimba, lautan dan samudera, daratan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsanya manusia, kehidupan dunia binatang, dan lain sebagainya merupakan fenomena luar biasa yang sulit dijelaskan keteraturannya oleh kemampuan akal manusia. Hal ini disebabkan sangat luar biasanya keberadaan fenomena itu dan saking lemahnya kemampuan akal untuk menggambarkan hal tersebut. Keseluruhan hal itu tentu saja merupakan dorongan bagi manusia untuk berfikir dengan memaksimalkan kemampuan akalnya dalam rangka menemukan hakikat penciptaan seluruh makhluk yang ada. Al-Qur’an Al-Karim menggunakan gaya bahasa yang sangat menyentuh dan menggugah akal manusia agar mau berfikir, merenungkan, mempelajari, memperhatikan, dan mendengar fenomena berbagai maklhluk ciptaan Allah tersebut. Simaklah ayat Al-Qur’an Al-Karim berikut ini:
ُ`9َ ْ َ َِ ِ ْ;َ ْ. اMِ ْ ِيQَ Mِّ.َ ا ِ ْ:ُ9ْ. َ َّ ِر وَا. وَا-ِ ْ ّ:َ.ف ا ِ "ِْTض وَا ِ ْرSت وَا ِ ََّوَاJ. اZ ِ ْ:T َ Mِ ّن َ ِإ
Lٍ َّ ّ َدا-ِ ُّ ِ َ ِ)ْ آa َ َ َ َوQِ َْ =َ ْ@َ ض َ ْرS ا%ِ ِ َ ْbََ َّ ِء ِ)ْ َ ٍءJ َ .) ا َ ِ ُ%ّ:َ. َل ا3َ ْ4س َوَ َأ َ ّ َ .ا ن َ ُ:Dِ ْ@َ ْ ٍمDَ .ِ ت ٍ َU ض ِ ْرSَّ ِء وَاJ َ .) ا َ ْ َ ِ ّe َJ َ ُْ.ب ا ِ َّJ َ .ح وَا ِ َّ ِ . اg ِ ِ ْ>Qَ َو
” …Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yng berlayar di atas lautan membawa apa yang bergunaka bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah suburkan bumi setelah mati (kering) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang menggunakan akal“ (QS.Al Baqarah:164)
Ayat di atas dan masih banyak lain yang senada telah mengharuskan seorang muslim mengimaninya, menjadikan akal sebagai penimbang dan pemutus dalam masalah ini. Kawasan yang dapat dijangkau akal meliputi: Ayat-ayat Al Qur-an yang dapat didengar, dipahami, dikaji, serta dipikirkan akal manusia. Tanda-tanda yang terdapat pada alam semesta dan manusia yang objeknya dapat diindera dan dijangkau akal. Hal ini menjadikan kedudukan manusia sebagai makhluk bagi Al-Khaliq, Allah SWT. Oleh sebab itu, Islam melarang manusia untuk memikirkan sesuatu yang berada di luar jangkauan akal dan indera manusia, sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda: 39
Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah, tetapi janganlah kalian berpikir tentang Dzat Allah. Sebab kalian tidak akan sanggup menduga hakikatNya yang sebenarnya“ (HR. Abu Nuaim, haditsnya marfu‘, sanadnya dhaif, tetapi isinya shahih). ”
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
2. Dalil Naqli adalah berita (khabar) yang pasti (qath'i) yang disampaikan kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau oleh akal manusia. Aspek ini mencakup beriman kepada Malaikat, Hari Akhir, Nabi-nabi dan Rasul-rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifatsifat Allah, dan tentang Taqdir. Penjelasan tentang aspek tersebut haruslah bersumber pada sesuatu yang pasti, yaitu Al-Qur’ân dan Al Hadits Mutawatir (hadist qath'i). Pembahasan keimanan kepada malaikat-malaikat Allah haruslah merujuk pada sumber informasi yang berasal dari wahyu Allah SWT., yaitu Al Qur-an Al Karim . Dalil yang bersifat Naqliy, di antaranya Allah berfirman:
ُ ِ َ ْ.ُ ا3ِ3@َ ْ. إِ هُ َ ا%َ .َ ِإh ِ ْJDِ ْ.ِ ً&ِ َB ِ ْ:@ِ ْ.ُ ا.ُ َوأُوLَ &ِ "َْ. إِ هُ َ وَا%َ .َُ ِإ%ّ4َ ُ َأ%ّ:َ. ِ َ= ا َ
” Allahmenyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan demikian. Tak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“ (QS.Al-Imran: 18)
Dalam pembahasan ini, akal manusia tidak memiliki peranan dalam mempersoalkan eksistensi para malaikat Allah, sebab ketidakmampuan akal untuk menjangkau hal itu. Informasi mengenai keberadaannya haruslah kita peroleh dari sumber wahyu Allah SWT. (dalil Naqliy), yaitu Al Quran. Demikian pula mengenai keimanan terhadap kitab-kitab Allah SWT., selain Al-Quran. Adapun kedudukan Al-Qur’an Al-Karim dengan kitab-kitab samawi lain (Zabur, Taurat, dan Injil) terdapat perbedaan. Al-Qur’an AlKarim berasal dari Allah SWT. sebagai Kalamullah. Dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an Al-Karim itu merupakan kalamullah (wahyu) dan bukan merupakan hasil ciptaan dan rekayasa manusia, atau Rasulullah SAW. haruslah berdasarkan pada dalil aqliy bukan naqliy. Hal ini disebabkan eksistensi Al-Qur’an Al-Karim dapat dijangkau akal manusia dan diindera alat indera manusia. Dengan demikian, aspek kemu‘jizatan Al Quran, terutama dalam aspek kemu‘jizatan bahasanya menghasilkan suatu kepastian mustahilnya Al-Qur’an Al-Karim dibuat oleh manusia. Ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karim sendiri secara langsung menantang manusia untuk membuat semisal dengannya apabila manusia dan jin (sekalipun keduanya bekerja sama) menandingi ketinggian dan keagungan bahasa dan mu‘jizat Al-Qur’an Al-Karim tersebut. Perhatikan tantangan Al-Qur’an Al-Karim terhadap manusia dalam ayat berikut:
ْ ِإن%ِ ّ:َ.ن ا ِ ُا ُ َ=َا َءآُْ ِ)ْ دُوGْ وَاد%ِ :ِْRِ ْ)ِ ُ َر ٍةJِ ُاQْbَ َ4=ِ ْ;G َ َ:G َ َ ْ.ّ3َ 4َ َّ ِ i ٍ ْ َرMِ ُْْ َُوِإنْ آ ) َ ِ ِ َْ:.ِ ْ َ=ّتG ِ ُ َ َرةُ أ ِ ْ. َ ّسُ وَا.ُدُهَ اB َوMِّ.َ َ ّ َر ا.ُا اDّQَ َ ُا:@َ ْ9Qَ ْ).َُا َو:@َ ْ9Qَ ْ.َ ْنjَِ ) َ ِBَ ِدP ُْْ ُآ
Dan jika kalian tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an Al-Karim yang kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka butlah satu surat saja yang semisal Al-Qur’an Al-Karim dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah jika kalian orang yang benar. Maka jika kalian tidak dapat membuatnya dan pastilah kalian tidak mampu membuatnya selamanya, maka peliharalah diri kalian dari siksa ”
40
41
neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu-batu yang disediakan bagi orangorang kafir“ (QS. Al Baqarah: 23-24). Adapun untuk kitab-kitab samawi lainnya, maka yang digunakan adalah dalil naqliy, antara lain firman Allah SWT.:
) َ ْ َ ُ ِ ّق9َ ُ4 %ِ :ُِ7ُ َور%ِ ;ِ ُُ َوآ%ِ ِ َ &ِ "َ َو%ِ ّ:َ.ِ ) َ َ k -ٌّ ُن آ َ ُ ِ ُْْ. وَا%ِ ِّ ِ)ْ َر%ِ ْ .َ َل ِإ3ِ ْ4ُُلُ َِ أ7ّ َ .) ا َ َ k ُ ِ>َ ْ. ا َ ْ .َ َر َّ َ َوِإ َ 4َ ْ َا9ُ? َ ْ@A َ َ ِ@ْ َ َوأ7 َ ُا.َB َو%ِ :ُِ7ُ ٍ= ِ)ْ ر َ َأ
Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan oleh Rabbnya (Al Quan), begitu pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikatmalaikatNya, kitab-kitabNya, dan rasul-rasulNya“ (QS.Al Baqarah: 285)
”
Dalil keimanan terhadap para rasul, dalam hal inipun terdapat perbedaan pembuktian dalilnya antara Nabi Muhammad SAW. dengan rasul-rasul lainnya. Dalil kenabian Muhammad SAW. adalah dalil aqliy, karena dalilnya tiada lain adalah Al-Qur’an Al-Karim juga. Melalui riwayat yang mutawatir bahwasanya Nabi Muhammad SAW. lah yang membawa Al-Quran, sementara Al-Qur’an Al-Karim secara pasti berasal dari Allah SWT. Dari hal ini saja sebenarnya telah terbukti bahwa Al-Qur’an Al-Karim merupakan risalah bagi Nabi Muhammad SAW. Keimanan terhadap Al-Qur’an Al-Karim secara aqli mengharuskan pula keimanan terhadap pembawanya secara pasti. Mengenai keimanan terhadap para rasul selain Muhammad SAW., maka cukup ayat di atas menjadi dalil naqliy bagi kita untuk beriman terhadap mereka. Adapun keimanan terhadap Hari Akhirat (Qiamat), maka dalilnya adalah naqliy bukan aqliy. Hal ini disebabkan Qiamat itu dikategorikan sebagai perkara ghaib yang tidak dapat diindera dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Allah SWT. berfirman:
ً ِ.َاً َأVG َ ُْ.َ َ4ْ=َ ْG َ ِة َأT ِ Uِ ن َ ُ ِ ُْ ) َ ِVّ.َنّ ا َ َوَأ
41
” Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan Akhirat, Kami sediakan bagi mereka adzab yang sangat pedih“ (QS Al Isra‘:10) Berdasarkan hal ini maka setiap perkara yang menyangkut aqidah dan penggunaan dalilnya adalah aqliy maka perkara-perkara tersebut dapat terjangkau keberadaannya oleh indera manusia dan akalnya. Hal itupun hanya sebatas pada keberadaannya semata (eksistensinya), bukan bentuknya. Adapaun sifat dan bagaimana DzatNya secara hakiki memerlukan penjelasan lebih lanjut dari Al Khaliq (Allah), Dzat yang menciptakan dan paling mengetahui tentang segala bentuk ciptaanNya. Semakin banyak seorang mengkaji tentang ciptaan-ciptaan Allah, maka seharusnya hal itu berkorelasi dengan keimanannya yang semakin menguat, meskipun harus diperhatikan bahwa iman terhadap (eksisitensi) Allah SWT. telah tercapai melalui fakta-fakta yang dapat diindera manusia. Adapun berkaitan dengan perkara yang pembuktiannya melalui dalil naqliy, maka pembahasan yang dilakukan terhadap hal itu tidak boleh menyimpang dari ketentuan nash sedikitpun . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
juga. Jadi keimanan terdapat malaikat beserta seluruh sifat-sifatnya, begitu pula keimanan terhadap para nabi berikut kisah perjuangan dan mukjizatnya, keimanan terhadap kitab-kitab Allah, Hari Akhirat, dan seluruh informasi yang tercantum di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan hadits mutawatir wajib kita imani tanpa keraguan sedikitpun, tanpa ditambahi atau dikurangi, dan tidak perlu ditakwilkan dengan menduga-duga sesuatu yang tidak pernah dijelaskan nash-nash Al Quran. Sementara terhadap perkara yang terdapat pada hadits-hadits ahad yang derajatnya shahih atau hasan kita wajib menerimanya dan membenarkannya walaupun tidak mencapai pada derajat yang pasti. Berikut ini terdapat beberapa contoh pembahasan Al-Qur’an Al-Karim yang kedudukan ayat tersebut musti didudukkan pada pokok persoalan yang dibahas: Di dalam surat Al Mulk ayat 16-17 Allah SWT. berfirman:
ُْْ :َG َ -َ 7 ِ ْ ُ َّْ ِء َأنJ َ . اMِ ْ)َ ُْْ ِ ُرُ َأمْ َأQَ M َ ذَا ِهjَِ ض َ ْرS ُُِ اg َ J ِ ْeَ َّْ ِء َأنJ َ . اMِ ْ)َ ُْْ ِ َأَأ ِ ِV4َ g َ ْ ن َآ َ ُ:َْ@َ J َ َ ً;P ِ َ
Apakah kamu merasa aman terhadap adzab Allah yang berada di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama dengan kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Atau apakah kalian merasa aman terhadap adzab Allah yang berada di langit bahwa Allah akan mengirimkan badai berbatu. Maka kelak kalian mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatanKu“ (QS. Al Mulk : 16 – 17) ”
Ayat tersebut merupakan ayat takhwiif dan tahdiif, yaitu ayat untuk menakutnakuti dan mengancam manusia. Adapun tujuan hal itu sesuai dengan ayat:
ُ-7 ِ ْ ُ4 َُا َِ َو:َW َ َ > َ ًة ِ ْ;ُ Lَ Bَ ّ َ . ْ َ َُ َد اQَ kَُنَ و.ّ َوSب َِ ا َ ّVَ ت إِ َأنْ َآ ِ َUِ -َ 7 ِ ْ ُ4 َْوَ َ َ َ@ َ َأن ”Dan
ً9ِْeQَ ِت إ ِ َUِ
tidaklah Kami menurunkan ayat-ayat ini kecuali sebagai takhwiif (menakuti)“ (QS.Al Israa’: 59)
Ayat Al-Qur’an Al-Karim dalam surat Al-Mulk ayat 16-17 menonjolkan aspek menakuti dan mengancam manusia agar berhati-hati dan waspada di dalam setiap tindakannya. Jadi tema ayat itu bukan apakah Allah ada di langit atau bukan ? Cara penakwilan seperti ini akan mengeluarkan tema pembahasan yang sebenarnya dan maksud yang dituju ayat itu, di samping pembahasan tersebut akan menyeret manusia membahas tentang dzat Allah SWT. yang tidak boleh sama sekali dibahas sebab keterbatasan manusia untuk menjangkaunya. Demikian pula halnya dengan sabda Rasulullah SAW.:
”Kasihilah siapa saja yang kalian“ (HR. Hakim)
ada di muka bumi niscaya Allah yang ada di langit akan mengasihi
Hadits ini pada dasarnya menonjolkan tema agar saling mengasihi di antara sesama manusia agar manusia menjadi berhak untuk memperoleh kasih sayang 42
43
Allah SWT. Jadi, tema pembahasannya bukan tentang apakah Allah berada di atas langit atau di tempat lain. Sikap-sikap penakwilan yang keliru semacam itu telah menjadikan tema pembahasan keluar dari kedudukan yang seharusnya. Sebagai contoh yang lain dapat kita perhatikan pula pada firman Allah SWT. :
ُّْ:َ@َ .َ Mِ ْ ُْ ِ ُا. َوMِ. ْ َ ِ ;ُاJ َ ْ:َ ن ِ َGع ِإذَا َد ِ َ=ّا.ْ َ َة اGُ َدi ِmُ أi ٌ ِ Bَ Mّ4ِ jَِ Mّ ِ G َ ;َدِيG ِ َ .ََb7 َ َوِإذَا
ن َ َ ُْ=ُو
”Dan
apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku maka (katakanlah) bahawasanya Aku dekat (dengan mereka). Aku mengabulkan permohonn orang yang memohon apabila apabila ia berdoa kepadaKu maka hendaklah mereka memenuhi (seluruh perintah)Ku dan beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran“ (QS.Al Baqarah:186) Ayat ini bertemakan seruan untuk memenuhi perintah Allah SWT. agar Dia mengabulkan doa yang kita minta, sekaligus menjelaskan bahwa Dia mengabulkan doa siapa saja yang telah memenuhi seruanNya. Jadi, topik pembahasannya bukanlah mengenai dekat atau tidaknya tempat Allah SWT. Penakwilan seperti ini telah mengeluarkan tema yang ditonjolkan dari kedudukan yang seharusnya. Dalam pembahasan berkenaan dengan masalah penggunaan dalil ini perlu dipahami bahwa penentuan dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan dalil tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang dapat dan mana yang tidak untuk dijadikan dalil naqli. Sebuah dalil naqli harus bisa dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya secara aqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqli (aqliyyah). Sehubungan dengan ini, Imam Syafi'i berkata:
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah ta'ala. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berpikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indera, dan ini merupakan suatu keharusan. Hal seperti itu merupakan suatu kewajiban dalam masalah ushuluddin." (Fiqh Al-Akbar, Imam Syafi'i)
Di dalam Al-Qur’ân terdapat banyak ayat yang mengajak manusia untuk berpikir menggunakan kemampuan akal dalam rangka membuktikan keyakinan kepada Allah, Rasul dan berikut risalahnya.
ن َ ِْـ ُـBْ ُـ0 ْ-ض َـ َ ْرSَ ْت َو ا ِ َـَا0J.ُـْا اD:ََـT ْ َأم،َُـْنD.َِeْ.ْ ٍء َأمْ هُُ اM? ْـ ِ َـ َ ْ)ِ ُـْاD:ُِـT َْأم
"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) atukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." (QS Ath-Thuur: 35-36) 43
.. ض ِ ْرSَ ْت َو ا ِ َـَا0J.ُـ ُوْا َـ ذَا ِ اWْ4 ا-ِ ُـB
"Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..." (QS Yunus: 101)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Demikian juga, Al-Qur’ân melarang seseorang untuk beriman ttanpa proses berpikir (taqlid buta). Islam mencela orang yang beriman karena sebatas mengikuti orang tua atau nenek moyang mereka.
ن َ ُْ:ِـDْ@َ َ ُْؤُه6ن َأَـ َ ََـْ آ. َا َو6َـ4 َء6 َأَـ%ِ ْـ:َG َ ْ َـ9َ ْ. َأ6َ ُ`;ِـ0َـ4 ْ-ُْا َـ.َـB ُ( َل ا3َ ْـ4 َأ6َ ;ِـ@ُْا0Qُُ ا.َ -َ ْـBِ َو ِإذَا ن َ ًْ َو َ ََْـ=ُوY ْـ َ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang diturunkan Allah'. Mereka berkata: 'Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek-nenek moyang kami'. (Ataukah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk ?" (QS Al-Baqarah: 170) Oleh karena itu, masalah keimanan haruslah dibangun berdasarkan sesuatu yang dipastikan kebenarannya, tidak hanya semata-mata dugaan saja yang sifatnya dzanni (tidak pasti). Al-Qur’ân telah menghinakan kaum musyrik karena mereka hanya mengikuti prasangka.
ًY ْـ َ /Zَْـ.) ا َ ِ ِ ْ[ُ َ 0)0W. ا0 ِإن،qَ ـr 0َـ ُهُْ ِإRْ;ِـ`ُ َأآ0َ َو َـ
"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran..." (QS Yunus: 36) Hanya saja perlu diingat, bahwa akal manusia hanya mampu membuktikan sesuatu yang berada di dalam jangkauan akal. Adapun yang di luar jangkauan akal harus ada sesuatu sebagai perantara yang merupakan petunjuk atas hal-hal yang tak bisa dijangkau tadi. Seperti perkataan seorang Badui (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya: "Dengan apa engkau mengenal Robbmu?" Jawabnya:
ِ ْـ0J.َـ ا:G َ Cَـ ُ َـ=ُلSَ ْ َ; ِ@ ْـ ِ َو ا.َْـ ا:G َ Cَـ=ُلQ ُ ِ;@ْـ َ ة.ا
"Tahi unta itu menunjukkan adanya unta dan bekas tapak kaki menunjukkan ada orang yang berjalan".
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’ân mengajak manusia untuk membuktikan keberadaan (eksistensi) Allah dengan berpikir melihat alam semesta. Karena keterbatasan akal dalam berpikir, Islam melarang manusia untuk memikirkan tentang dzat Allah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga) menyerupakan Allah dengan suatu makhluk. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah bersabda:
ُs=ْ َرBَ ن َ ْْـ ِ=رُوDQَ َ ُْـ04jَِ Z ِ .َِeْ. ُوْا ِ ا0َـ9Qَ َ َوZ ِ ْـ:e َ ْ. ُوْا ِ ا0َـ9Qَ
"Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Allah, Sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya sebenarnya". (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Nu'im dalam kitab Al-Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dlaif tetapi isinya shahih) Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya. Sebagai contoh mengkhayalkan bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisis. Ia tak dapat dianalogikan (qiyas) pada materi apapun. 44
45
Inilah jalan yang ditempuh para sahabat, tabi'in dan ulama salaf, mereka tidak pernah menakwilkan ayat-ayat yang memang tidak mampu dijangkau oleh akal. Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: "Para Sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka adalah umat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka tidak menakwilkannnya, juga mereka tidak memalingkan pengertiannya."(Kitab "I'laamul Muraaqin", juz 1, hal. 5) Ketika Imam Malik ditanya tentang makna 'persemayaman-Nya (Istiwaa)' beliau lama tertunduk bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata: "Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak diketahui. Juga, kaifiyat (caranya) bukanlah hal yang dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah."(lihat "Fath Al-Baari", Juz XII, hal. 915) KETERBATASAN KEMAMPUAN AKAL Manusia berkewajiban unuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT., hanya saja tidak mungkin manusia untuk menjangkau sesuatu di luar jangkauan indera dan akalnya. Hal ini disebabkan akal manusia memiliki keterbatasan. Betapapun tinggi kecerdasan seseorang, tetapi tetap saja terdapat batas-batas yang tidak dapat dijangkaunya, seperti sesuatu yang ghaib misalnya. Konsekuensinya, pemahaman manusiapun menjadi terbatas. Ketika akal berhadapan dengan bagaimana Dzat Allah dan bagaimana hakikat Dzat Allah tersebut maka manusia tidak akan dapat menjangkaunya, sebab Dzat Allah berada di luar jangkauan indera manusia dan akal manusia. Dalam pengertian lainnya adalah Allah bukan bagian dari alam semesta, manusia, dan kehidupan. Berkaitan dengan keterbatasan manusia inilah maka, Islam melarang manusia untuk berfikir tentang Dzat Allah, bagaimana cara Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam, dan lain sebagainya. Rasulullah SAW. menyatakan dalam sebuah haditsnya: ”Berfikirlah
kalian tentang ciptaan Allah dan janganlah kalian berfikir tentang Dzat Allah, karena sesungguhnya kalian tidak akan mampu untuk memperkirakannya“ (HR. Abu Nu‘im) 45
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad