menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah jajahan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa pelemahan maskulinitas lakilaki India dalam Caroline aux Indes sebagai bagian dari diskursus kolonial yang maskulin. Pelemahan maskulinitas laki-laki India menjadi pijakan bagi imaji penyelamatan India dari laki-laki India dan ketidak-mampuan mereka. Kehadiran Caroline sebagai tokoh perempuan tersebut semata-mata menggantikan figur maskulin kolonialisme, menjadi tokoh perempuan yang menggantikan peran lakilaki Perancis sebagai juru selamat bagi India dan memberikan pencerahan pada laki-laki India. Dalam penokohan itu, justru menciptakan suatu hirarki bahwa segala persoalan-persoalan laki-laki India dapat diselesaikan oleh anak perempuan Perancis, yang memiliki maskulinitas laki-laki Perancis. Dengan demikian, tentu saja menjadi sebuah keniscayaan bagi segala bentuk maskulinitas Perancis yang lain untuk melakukannya.
115
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Caroline Aux Indes karya Pierre Probst adalah sebuah buku cerita anakanak bergambar yang terbit pada tahun 1955. Buku ini bercerita tentang Caroline, anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun dan berambut pirang. Dia anak yang hidup mandiri dan pemimpin dari kelompok sahabat-sahabatnya yaitu dua anjing Youpi dan Bobi, dua kucing Pouf dan Noiroud, seekor beruang kecil Boum. Pada seri petualangan ini mereka berinteraksi dengan tokoh-tokoh lokal di India yaitu Saki, Pitou, Maharaja, Maharani, Pangeran Rami, Grraa, Monyet penghuni hutan, kawanan Gajah, dan lain-lain. Analisa cerita tersebut menghasilkan suatu narasi yang mengisyaratkan adanya jalinan erat antara sisi historis koloni Perancis, sirkulasi diskursusdiskursus kolonial, dan perkembangan feminisme di Perancis. Memori kejayaan koloni Perancis di Timur, sejarah persaingan dan konflik dengan rival-rival Eropa, persekutuan dengan penguasa lokal adalah beberapa faktor historis yang tampak dominan sebagai sumber-sumber imaji tentang India. Sirkulasi diskursus kolonial dalam semangat la mission civilisatrice baik dalam dokumen-dokumen resmi, dalam karya sastra, ataupun cerita-cerita perjalanan memberikan inspirasi bagi imaji India yang secara timbal balik juga mempengaruhi imaji tentang Perancis sebagai pemberi pencerahan dan pertolongan bagi tanah Timur, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diyakini dalam la mission civilisatrice. Sementara itu, berbagai kekalahan Perancis dengan Inggris, keterbatasan kemampuan militer,
116
dan berbagai kekalahan yang dialami oleh sekutu-sekutu Perancis di India membentuk suatu konstruksi idetitas yang khas antara Perancis dan India. Beberapa image dalam Caroline aux Indes yang mengisyaratkan nostalgia kejayaan kolonial Perancis di India. Image-image tersebut adalah topi-topi yang secara khas sering dijumpai dalam image-image penduduk Eropa di daerah koloni, image istana dan pakaian penduduk ataupun penguasa yang mirip dengan istana kerajaan sekutu Perancis di India. Imaji tentang hutan dan eksotisasi terhadap keliaran India berjalin erat dengan daya tarik petualangan dan kekayaan India dalam berbagai teks yang diproduksi pada masa kolonial juga muncul dalam bentuk-bentuk hewan dan peristiwa interaksi yang terjadi antara Caroline dengan orang-orang dan binatang-binatang di India. Imaji Perancis tentang tanah jajahan dan penduduknya dalam la mission civilisatrice muncul melalui penokohan dan interaksi antar tokoh dalam seri ini. Tokoh-tokoh India digambarkan melalui konfigurasi tokoh-tokoh protagonis dan antagonis India. Protagonis India adalah tokoh-tokoh yang masing-masing menjadi tokoh yang mewakili kekayaan, kekuatan, kemampuan bertahan dalam keliaran India, namun kurang dalam kepemimpinan, pengetahuan, dan keberanian. Sedangkan tokoh-tokoh antagonis dalam cerita ini menjadi tokoh yang mewakili keliaran, kejahatan, kekuatan, namun dalam keliaran dan kejahatan tersebut tersimpan kelicikan, sifat pengecut, kurang pengetahuan dan ketidak-mampuan menyelesaikan masalah yang terjadi pada mereka. Tokoh-tokoh tersebut membentuk penokohan orang-orang India sebagai tokoh-tokoh yang memerlukan pertolongan dan Caroline menjawab kebutuhan tersebut sebagai sosok seorang
117
anak perempuan Perancis yang menjadi pemimpin, guru, sekaligus sekutu yang memberikan
pencerahan
melalui
keberanian,
kepemimpinan
dan
ilmu
pengetahuan yang dibawanya. Salah satu legitimasi bagi keberadaan Perancis di India, dengan demikian adalah untuk membantu orang-orang Timur yang tidak mampu melepaskan diri dari persoalan-persoalan mereka. Hal tersebut adalah kewajiban bagi Perancis sebagai bangsa yang maju dan merupakan sinar peradaban dunia. Perkembangan sejarah Perancis di India yang kurang menguntungkan bagi Perancis dalam perebutan wilayah tampaknya juga turut andil dalam pembentukan relasi kolonial Perancis India dalam Caroline aux Indes. Di India, Perancis tidak hanya berhadapan dengan penguasa lokal, namun berhadapan pula dengan kekuatan kolonial lain yang jauh lebih kuat. Inggris yang terlanjur kuat di India membuat Perancis harus bersekutu dengan penguasa lokal untuk bersama-sama menghadapi Inggris, walaupun pada akhirnya Perancis dan sekutunya mengalami kekalahan dalam pertempuran-pertempuran melawan Inggris. Perancis pada akhirnya harus puas dengan wilayah-wilayah kecil dan terpisah dan lebih sering disebut dengan pos-pos dagang, bukan sebagai koloni Perancis India. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa Perancis dalam Caroline aux Indes lebih tampak sebagai sekutu, pemimpin, guru, pemberi pencerahan dan teladan dalam pengetahuan dan moral, bukan sebagai penakluk.
118
Relasi kolonial Perancis India dalam Caroline aux Indes berbeda dengan relasi kolonial dalam mitos-mitos tentang Perancis di Aljazair34. Aljazair adalah wilayah di Afrika Utara yang sepenuhnya dikuasai Perancis sampai negeri tersebut meraih kemerdekaan pada tahun 5 Juli 1962. Lahouari Addi menyatakan bahwa mitos pertama yang menyokong legitimasi penaklukan Aljazair, selain persoalan politik internal Perancis di tahun 1830-an, adalah pembebasan rakyat Aljazair dari dominasi Turki. Tindakan penyerbuan Perancis ke tanah Aljazair itu dinyatakan sebagai konsekuensi logis dari gagasan bahwa Perancis memiliki kewajiban untuk membebaskan orang-orang yang tertindas. Namun demikian, mitos pembebasan ini tidak bertahan lama karena pasukan Perancis justru mendapat perlawanan dari rakyat Aljazair sendiri. Mitos pembebasan tidak bertahan lama sebagai bagian dari mitos-mitos legitimasi Perancis dalam kolonisasinya terhadap Aljazair. Mitos itu kemudian digantikan oleh mitos-mitos tentang bangsa Aljazair sebagai bangsa barbar, liar, orang-orang terbelakang, dan fanatik dalam beragama. Tujuan penciptaan mitosmitos itu adalah untuk mendapatkan dukungan politik dan material dari rakyat Perancis untuk menguasai Aljazair sebagai implementasi gagasan penyebarluasan peradaban Perancis yang maju. Sementara itu tujuan bagi masyarakat Perancis di tanah koloni adalah mengurangi rasa bersalah akibat pengambilalihan dan eksploitasi tanah jajahan, atau akibat kekerasan yang terjadi pada penduduk asli tanah jajahan.
34
Lihat Addi, Lahouari. 1996. Colonial Mythologies: Aljazair in the French Imagination dalam Carl Brown, Franco Arabs Encounters, American University of Beirut. Link: http://halshs.archives-ouvertes.fr/docs/00/39/78/35/HTML/#_ftn1
119
Walaupun terdapat perbedaan dalam praktik kolonialisme Prancis di Aljazair dengan Perancis di India, masih ada sedikit kemiripan prinsip misi pemberadaban antara Perancis di Aljazair dengan Perancis India dalam Caroline aux Indes. Keduanya memperlihatkan Perancis sebagai penolong, teladan, pemimpin dan pemberi pencerahan pada penduduk asli. Namun demikian, pada gambaran kolonialisme Perancis di Aljazair terdapat kecenderungan untuk menunjukkan kekuatan orang-orang Perancis di tanah jajahan dalam menghadapi gangguan orang-orang bar-bar dengan kekuatan senjata dalam membangun peradaban di tanah jajahan. Pertempuran dengan penduduk Aljazair sering terjadi dan hal tersebut membentuk mitos pembangunan tanah jajahan dan tanggung jawab untuk memberikan kemajuan pada penduduk asli tanah jajahan itu menuntut tetesan darah dan keringat patriot-patriot Perancis untuk menghadapi teror penduduk asli yang liar, fanatik dan bodoh. Konflik antara Perancis dengan pejuang kemerdekaan Aljazair yang menggunakan teror melahirkan ketakutan orang Perancis terhadap ancaman orang-orang Aljazair pada mereka. Secara implisit hal tersebut diperlihatkan oleh Fanon dalam Aljazair Unveiled bahwa kebijakan pemerintah Koloni Perancis di Aljazair yang melarang perempuan memakai cadar tidak serta merta membuat pemakaian cadar menjadi simbol perlawanan Aljazair pada kolonialisme Perancis. Sesungguhnya cadar adalah teror bagi orang-orang Perancis di Aljazair karena
120
penggunaannya sebagai kamuflase dan perangkat perjuangan bagi pejuang Aljazair35. Dengan demikian kita bisa melihat perbedaan cara pandang Perancis terhadap ancaman dari penduduk tanah jajahan di Aljazair dan India adalah dari cara mereka menghadapi ancaman tersebut. Cara Perancis menghadapi ancaman dari perlawanan penduduk Aljazair adalah dengan kekerasan dan penundukan yang melibatkan kekuatan senjata dan militer. Sementara itu dalam menghadapi ancaman dari penduduk India, dalam Caroline aux Indes, Perancis tidak menunjukkan dirinya sebagai penakluk melainkan penolong dan pemberi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Sementara itu penokohan Caroline sebagai tokoh perempuan, relasinya dengan tokoh perempuan lain, dan tokoh-tokoh lain membentuk suatu relasi kolonial yang cukup unik dalam Caroline aux Indes. Tokoh Maharani sebagai perempuan Timur yang tidak mempunyai akses untuk menyelesaikan persoalanpersoalan, terikat tradisi, domestik, dan family-oriented menjadi “Liyan” bagi Caroline yang merdeka, berani, memiliki kemampuan memimpin dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan. Relasi ini mempertajam perbedaan dan hirarki antara perempuan Eropa yang merdeka dan mandiri dengan perempuan Timur yang tidak merdeka dan terkurung dalam dunia laki-laki dan tidak dapat menyatakan keinginan dirinya sendiri. Sementara itu, femininisasi tanah jajahan dan eksotisasi tubuh-tubuh perempuan India yang lazim dalam stereotip mengenai negeri jajahan tidak 35
Babha, Hommi K. Remembering Fanon: Self, Psyche and the Colonial Condition. Kata pengantar pada edisi 1986 dalam buku Fanon, Frantz. 2008. Black Skin White Mask. Pluto Press. England. Halaman xxxiv.
121
tampak dalam seri ini. Sebaliknya, Caroline dalam seri ini justru tampak memasuki sebuah dunia yang dipenuhi laki-laki. Laki-laki India muncul dalam kejahatan, ketidak-mampuan, kelemahan, dan ketiadaan kepemimpinan untuk menyelesaikan persoalan bersama-sama tampak mirip dengan stereotip bentukan kolonial Eropa tentang lelaki Timur. Pelemahan lelaki Timur sebagai yang jahat, lemah, tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sehingga tidak mampu mengelola Timur dengan baik menjadi legitimasi bagi orang-orang Eropa untuk menyelamatkan tanah Timur dari kelemahan dan kebodohan lelaki-lelaki Timur. Dengan demikian, Caroline sebagai subjek perempuan dalam seri ini semata sebagai subjek perempuan maskulin yang menggantikan subjek laki-laki maskulin dalam kolonialisme. Caroline hanya menjadi subjek perempuan namun tidak merubah citraan kolonialisme sebagai aksi maskulin untuk menaklukkan tanah jajahan, hanya saja gambaran tanah jajahan tak lagi mengalami femininisasi melainkan pelemahan dengan membentuk mereka dalam tokoh laki-laki dengan maskulinitas yang tidak utuh.
122