KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS KE PANTAI GADING TAHUN 2011
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh Teuku Muhammad Valdy Arief 109083000050
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisa kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tindakan intervensi tersebut, dengan mempertimbangkan faktor domestik dan eksternal. Kerangka pemikiran skripsi yang digunakan dalam ini adalah konsep politik luar negeri dan faktor-faktor determinasi politik luar negeri dalam frame work K.J. Holsti. Argumen ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat sejarah konflik di Pantai Gading, dinamika hubungan Perancis dan Pantai Gading, dari masa kolonial hingga keterlibatan Perancis dalam konflik di Pantai Gading tahun 2011, serta menelaah kepentingan nasional Perancis di Pantai Gading. Penelitian ini menemukan bahwa faktor domestik dan eksternal menjadi faktor yang menentukan kebijakan Perancis dalam melakukan intervensi militer ke Pantai Gading. Faktor domestik tersebut adalah kebutuhan sosio-ekonomi dan keamanan, atribut nasional, partai politik, opini publik, dan peran Nikolas Sarkozy sebagai stake holder mempengaruhi tindakan intervensi Perancis. Pandangan politik Sarkozy yang beraliran nasionalis-Gaulis serta hubungan personal Sarkozy dengan Ouattara dan Gbagbo menjadi faktor determinan dalam intervensi yang dilakukan Perancis. Sedangkan peningkatan peran Tiongkok di Afrika dan ancaman kelompok ektrimis serta kejahatan transnasional menjadi faktor eksternal dari intervensi militer Perancis ke Pantai Gading.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji penulis haturkan kepada kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, tuhan semesta alam, berkat segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul, “Kebijakan Intervensi Militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011”. Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bimbingan, bantuan, dan motivasi oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengungkapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
mendukung penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya: 1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Debbie Affianty Lubis, M.si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Agus Nilmada Azmi, M.si selaku sekretaris jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Andar Nubowo, DEA. selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan ilmu dan motivasi dari awal penulisan hingga skripsi ini selesai.
vi
4. Ibu Indriana Kartini, MA dan Bapak Teguh Santosa, MA, selaku dosen penguji yang bersedia meluangkan waktu untuk membaca dan mengujikan skripsi ini. 5. Bapak Dr. Harun Alisyah dan Bapak Kiky Rizky, M.Si atas konstribusinya membantu penulis dalam pengerjaan skripsi. 6. Orangtua penulis, Papa Almarhum Drs. Teuku Sofyan, M.Kes dan Mama tercinta Tjut Rachmawati Berabo atas semua kasih sayang yang diberikan. Terima kasih atas doa, kesabaran dan motivasi yang diberikan selama penulis menyelesaikan studi. 7. Adik dan kakak tercinta Pocut Nayla Annisa, Teuku Muhammad Rachmanda, S.E, Cut Galuh Vanessa, S.E, drg. Cut Nadira Sabilla, Teuku Miersal Fajar Almursalin, M.A. dan keponakan terkasih Cut Shayma Amira dan Cut Shaza Altayra yang menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta, khususnya angkatan 2009. HMJ HI 2012-2013, terutama Departemen Advokasi Mahasiswa yang membantu penulis menjalankan tugas. 9. Teman-teman Komunitas Maritim UIN Jakarta dan IMAPA cabang Ciputat yang telah menjadi saudara di perantauan. Jakarta, 4 Desember 2014
Teuku Muhammad Valdy Arief
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .....................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xiii BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B.
Pertanyaan Penelitian ..................................................... 6
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................
6
D.
Tinjauan Pustaka............................................................
7
E.
Kerangka Pemikiran.......................................................
10
1. Politik Luar Negeri.....................................................
10
2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri.....................
11
3. Intervensi................................................................
BAB II
13
F.
Metode Penelitian...........................................................
18
G.
Sistematika Penulisan.....................................................
19
KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING A.
Sejarah Konflik di Pantai Gading...................................
viii
21
B.
Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading .......................................................................................
C. BAB III
30
Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading.................... 32
KEBIJAKAN
PERANCIS
UNTUK
MENGINTERVENSI
KONFLIK DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2011 A.
Sejarah keterlibatan Perancis di Pantai Gading..............
36
1.
Periode Kolonial...........................................................
36
2.
Periode Setelah Kemerdekaan dan Sebelum Konflik Sipil ....................................................................................... 40
B.
Sikap dan Kebijakan Perancis terhadap Konflik di Pantai Gading.............................................................................
C.
45
Dukungan Perancis atas Intervensi bersama PBB di Pantai Gading Tahun 2011......................................................... 48
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2010-2011 A.
Faktor Internal Intervensi Perancis ke Pantai Gading .....................................................................................
51
1.
Kebutuhan Sosio-ekonomi dan Keamanan...............
51
2.
Atribut Nasional........................................................
60
3.
Opini Publik..............................................................
62
4.
Birokrasi....................................................................
64
5.
Faktor Kepemimpinan Nikolas Sarkozy...................
65
ix
B.
BAB V
Faktor Eksternal Intervensi Perancis ke Pantai Gading ........................................................................ ..............
68
1.
Kebijakan Negara Lain...............................................
68
2.
Masalah Global dari Sektor Privat..............................
70
PENUTUP Kesimpulan..................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... xv LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ xxiii
x
DAFTAR TABEL
Tabel II. B. 1 Nilai Ekspor-Impor Pantai Gading tahun 1988..........................40
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika...............................................................xiv Gambar II.1 Afrika Paska Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia............35 Gambar IV. 1 Tren Ekspor Impor Tiongkok dan Afrika................................62
xii
DAFTAR SINGKATAN
AOF
: Afrique Occidentale Française
CSIS
: Centre for Strategic and International Studies
DK PBB
: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
ECOWAS
: Economic Community Of West African States
FPI
: Front Populaire Ivoirien
HAM
: Hak Asasi Manusia
MINUCI
: Mission des Nations Unies en Côte d’Ivoire
MJP
: Mouvement pour la Justice et la Paix
MPCI
: Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire
MPIGO
: Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest
NATO
: North Atlantic Treaty Organization
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDCI
: Parti Démocratique de Côte d’Ivoire
PIGS
: Portugal Ireland Greece Spain
PS
:Parti Socialiste
RECAMP
: Renforcements des Capacités Africaines de Maintien de la Paix
RPR
: Rassemblement pour la République
UA
: Uni Afrika
UE
: Uni Eropa
UMP
: Union pour un Mouvement Populaire
UNOCI
: United Nations Operation in Côte d’Ivoire
xiii
Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika
Sumber : maps.google.com
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pantai Gading atau Republic of Côte d’Ivoire adalah negara yang terletak di bagian barat benua Afrika, tepatnya di teluk Guinea. Negara bekas koloni Perancis ini mendapat status daerah otonomi pada tahun 1958 dan pada 1960, Pantai Gading mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis. Setelah mendapatkan status independennya sampai tahun 1993, dalam pemerintahan Felix HouphouëtBoigny, Pantai Gading merupakan negara yang secara politik cenderung stabil 1. Stabilnya situasi politik di Pantai Gading diikuti oleh situasi ekonomi yang membaik ditandai dengan dicapainya pertumbuhan ekonomi yang mencapai angka 7 persen setelah 20 tahun kemerdekaannya2 Selama dekade 1990-an Pantai Gading mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat baik karena liberalisasi reformasi pasar yang diterapkan pemerintahan Houphouët-Boigny sehingga Pantai Gading menguasai 40 persen produksi kakao dunia3. Situasi ini membawa banyak imigran berkerja pada sektor industri perkebunan terutama kopi, kelapa sawit, karet, dan kakao yang merupakan komoditi utama Pantai Gading4.
1
Tom Ogwag, The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire (CIGI, 2011), 2. Abdul Hadi Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika (Bandung: C.V. Angkasa, 2007), 66. 3 Christian Purefoy, “What causing the conflict in Ivory Coast ?” Diunduh 23 Desember 2013 dari (http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/04/03/ivory.coast.explainer) 4 Tom Ogwag, The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire, 2 2
2
Namun, setelah meninggalnya Presiden Houphouët-Boigny tahun 1993, Pantai Gading harus menghadapi gejolak ekonomi yang diikuti pergolakan politik akibat perang saudara dan perpecahan politik yang terjadi di negara ini. Keadaan ini menyebabkan Pantai Gading terbagi menjadi wilayah utara dan selatan5. Pemerintah yang dipimpin Laurent Gbagbo mengendalikan bagian selatan yang terpusat di Abidjan, dan basis kekuatan massa Kristen pendukung Gbagbo. Sedangkan wilayah utara dikuasai oleh kelompok oposan yang dipimpin oleh Alassane Ouattara terpusat di Yamoussoukro, didominasi oleh kaum imigran pedagang Muslim6. Pantai Gading menyelenggarakan pemilihan umum tahun 2010, setelah tertunda enam kali, untuk menyatukan kembali wilayah yang terpecah7. Pemilu yang diikuti oleh 14 kandidat pada putaran pertama, kemudian dilanjutkan oleh dua kandidat dengan suara terbanyak yaitu Presiden yang menjabat dari tahun 2000 Laurent Gbagbo dan mantan Perdana Menteri pada masa HouphouëtBoigny, Alassane Ouattara pada putaran kedua8. Perselisihan dimulai ketika hasil dari pemilu putaran kedua diumumkan. Kedua kandidat sama-sama mengaku sebagai pemenang dari pemilihan umum yang telah berlangsung. Berdasarkan hasil dari Constitutional Council, Gbagbo dinyatakan sebagai pemenang pemilu dan diambil sumpah kembali sebagai
5
Abdul Hadi Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika,68 Gary K. Busch, The French, The UN and Ivory Coast”, diunduh 22 Desember 2013 dari (http://www.ocnus.net/artman2/publish/editorial_101) 7 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” 2010 , 17 diunduh dari (http://opus.bath.co.uk) 8 Matthew Mitchell, “Insights from the Cocoa Regions in Côte d'Ivoire and Ghana: Rethinking the Migration-Conflict Nexus”. African Studies Review. Volume 54, no 2(2011). 129 6
3
Presiden Pantai Gading untuk masa jabatan selanjutnya9. Namun, Commission Electorale Independente menyatakan bahwa Ouattara sebagai pemenang pemilu10. Penolakan atas pengesahan hasil pemilu yang dikeluarkan Constitutional Council dilakukan oleh masa pendukung Outtara sehingga menyebabkan bentrok antara milisi pendukung Ouattara dan Gbagbo yang didukung oleh militer11. Konflik bersenjata antara dua kubu ini menyebabkan tewasnya 44 orang di Abidjan dan Yamoussoukro pada Desember 2010. Melihat konflik yang berakibat pada timbulnya korban sipil, PBB, Uni Afrika dan ECOWAS memulai upaya mediasi dari kedua pihak yang bertikai. Pada 4 Desember 2010, Uni Afrika mengutus mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki untuk menemui Gbagbo guna mendiskusikan jalan damai dan penghentian kekerasan. Mediasi yang bertujuan meminta Gbagbo untuk bersedia turun dari jabatannya dan digantikan oleh Ouattara, ditanggapi dingin oleh Gbagbo dengan tidak mundur dari jabatan Presiden Pantai Gading12. ECOWAS juga mengimbau Gbagbo untuk mundur dari jabatannya guna menghindari
9
“Ivory Coast poll overturned: Gbagbo declared winner” Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11913832) 10 “Resultats de la second tour de L'ELECTION DU PRESIDENT DE LA REPUBLIQUE” diunduh 23 Desember 2013 dari (www.ceici.org/elections/docs/EPR2010_2T_RESULTATS_VALEURS_02122010.pdf) 11 (Torrent & Potokar, 2011) Lluis Torrent dan Iztok Potokar “Côte d’Ivoire: International response and origins of the conflic”, diunduh 22 Desember 2013 dari (http://www.unitedexplanations.org/2011/04/04/international-response-to-the-currentsituation-in-cote-divoire-and-the-origins-of-the-conflict/) 12 Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a Stand”. Foreign Affairs, volume 90, no 4(2011):133.
4
penggunaan kekerasan untuk mengakhiri konflik dan kemudian diikuti oleh sanksi ekonomi13. Setelah gagalnya mediasi, konflik
kembali menelan 33 korban jiwa
akibat bentrok di Duékoué pada Januari 2011. Menjelang pertengahan Januari 2011, keadaan semakin parah di Abidjan, 11 penduduk sipil tewas setelah diserang oleh RPG dan senjata otomatis yang diduga dilakukan milisi proOuattara14. Perang saudara ini mencapai klimaksnya saat kontak senjata yang terjadi pada 27 - 29 Maret 2011 menyebabkan sedikitnya 505 orang tewas di Duékoué, menurut laporan United Nations Operation in Côte d’Ivoire15, ketika terjadi kontak senjata antara pihak yang bertikai di wilayah tersebut. Menanggapi konflik horizontal yang terjadi di Pantai Gading, Perancis mensponsori Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi DK PBB No. 1975 yang meminta Gbagbo untuk mundur dari jabatan presiden Pantai Gading. Bentuk dari tindak lanjut resolusi DK PBB no. 1975. Pada 31 Maret 2011, Perancis mengirim pasukan dalam operasi Licorne
bersama pasukan PBB
menyerang basis militer pro-Gbagbo. Dalam serangan ini, Perancis mengerahkan tank Puma dan helikopter Gazzelle yang dibantu oleh dua helikopter MI24 milik
13
Foluke Ipinyomi, “Is Côte d’Ivoire a Test Case for R2P? Democratization as Fulfilment of the International Community’s Responsibility to Prevent”. Journal of African Law, volume56, no 2. (2012): 159 14 Summary of UNOCI weekly press conference March 2011 15 Summary of UNOCI weekly press conference May 2011
5
PBB16. Serangan terhadap kelompok pro-Gbagbo menandai intervensi Perancis ke Pantai Gading di tahun 2011. Pada 1 April 2011, militer Perancis mengirim sejumlah tentara dan 30 kendaraan tempur ke kediaman Presiden untuk menangkap Gbagbo17.Dalam serangan sepuluh hari ke kediaman Presiden yang diduduki oleh Gbagbo, pasukan Perancis dan PBB berhasil menghancurkan senjata berat yang melindungi kediaman tersebut dan menangkap Gbagbo18. Setelah tertangkap, Laurent Gbagbo dikirim ke Den Hague untuk diadili di International Criminal Court
19
.
Pascapertempuran sepuluh hari di Abidjan militer Perancis dan PBB menyuplai logistik dan mempersenjatai milisi pro-Ouattara20. Peran Perancis menurut Zounmenou dan Lamin melewati mandat PBB untuk melindungi penduduk sipil dikarenakan peran aktif dan agresif dalam menangkap Gbagbo21. Sedangkan menurut McGovern, Perancis dianggap menyalahi mandat DK-PBB 1975 poin 6 dan 722.
16
Bruce Crumley “Anatomy of an Intervention: Why France Joined the U.N. Action in Abidjan”. Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2063613,00.html) 17 Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’ and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”. African Journal on Conlifct Resolution, Volume 12, no. 2 (2012): 146 18 Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a Stand”, 129 19 Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’ and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”, 138 20 David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis : Ouattara Rules but can he Govern ?”. Journal of African Elections, Volume 10, no. 2 (2011): 13 21 David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis : Ouattara Rules but can he Govern ?”, 11 22 Mike McGovern, “The Ivorian Endgame” diunduh 23 Desember 2013 dari (http://www.foreignaffairs.com/articles/67728/mike-mcgovern/the-ivorian-endgame)
6
Intervensi Perancis terhadap Pantai Gading pada 2011 terjadi saat situasi perekonomian Uni Eropa sedang labil. Ketika negara-negara UE sedang melakukan kebijakan pengetatan pengeluaran negara, termasuk pengeluaran militer, tindakan intervensi militer Perancis bertentangan dengan tren austerity budget (penyederhanaan anggaran) yang sedang diterapkan oleh negara-negara UE. Perancis pada tahun 2009 bersama negara-negara PIGS (Portugal, Irlandia, Yunani,dan Spanyol) mengalami defisit anggaran, melakukan intervensi militer ke Pantai Gading saat pertumbuhan ekonominya pada tahun 2011 hanya mencapai 1,5 persen23. Tindakan pemerintah Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading ketika kondisi ekonomi negaranya sedang tidak stabil menyebabkan fenomena ini menarik untuk diteliti. B. Pertanyaan penelitian Perdasarkan penjelasan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan oleh penulis adalah : Mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai Gading pada tahun 2011 ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini lakukan untuk menjawab pertanyaan penelitan dengan teoriteori serta konsep-konsep yang ada dalam hubungan internasional.
23
Evan Gruver, Austerity : The Answer to Europe’s Crisis (2012), 4
7
1.3.1 Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk menjelaskan faktor-faktor intervensi militer Perancis ke Pantai Gading pada tahun 2011. 2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan historis antar negara dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara. 1.3.2 Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Sebagai media untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama belajar di program studi hubungan internasional. 2. Sebagai sumber bacaan untuk peminat masalah keamanan internasional sebagai salah satu kajian hubungan internasional. D. Tinjauan Pustaka Penelitian terkait intervensi Perancis di Pantai Gading dan konflik di Pantai Gading sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Courtney P. Conroy (2010), dalam skripsinya di Universitas Salve Regina yang berjudul France as A Negative Influence on Côte d’Ivoire : The Consequences of Foreign Interference. Conroy menjelaskan mengapa Pantai Gading meneruskan hubungan dengan Perancis meski banyak konsekuensi negatif yang dihasilkan. Penelitian ini menelaah fenomena tersebut menggunakan kajian sejarah untuk melihat hubungan
8
kolonial Perancis dan Pantai Gading sehingga menemukan hubungan yang jelas antara kedua negara terkait masalah kontemporer yang dihadapi Pantai Gading24. Conroy dalam penelitiannya menemukan bahwa konflik di Pantai Gading, tidak terlepas dari ketergantungan Pantai Gading dengan Perancis setelah masa kolonial. Selain itu, Conroy menjelaskan bahwa meski hubungan antara dua negara ini memberikan banyak konsekuensi negatif kepada Pantai Gading, ikatan historis yang kuat dan terjadinya transfer teknologi membuat hubungan terus diperkuat. Konflik yang terjadi Pantai Gading, juga dibahas oleh Dita Herdiyanti (2013), dalam skripsinya di Universitas Hasanudin Makasar yang berjudul Peran UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Pasca-Pemilu 2010 di Pantai Gading. Skripsi ini membahas bagaimana peran UNOCI di Pantai Gading untuk menyelesaian konflik pascapemilu 2010 dengan menggunakan pendekatan liberal institusional yang terfokus pada peran organisasi internasional untuk menjaga perdamaian dan teori konflik Johan Galtung untuk menganalis konflik yang terjadi di Pantai Gading25. Herdiyanti menjelaskan bahwa UNOCI memiliki peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik pascapemilu 2010 di Pantai Gading. Hal ini ditunjukan dengan berhasilnya UNOCI dalam menekan intensitas konflik. UNOCI menggunakan pendekatan koersif dalam menekan konflik dengan 24
Courtney Patricia Conroy, France as a Negative Influence on Ivory Coast : The Consequences of Foreign Interference, (Salve Regina University, 2010) 25 Dita Herdiyanti, Peran UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Pasca-Pemilu 2010 di Pantai Gading (Universitas Hasanuddin, 2010)
9
menyebarkan pasukan penjaga perdamaian untuk mengamankan wilayah dan melindungi warga sipil di Pantai Gading. Skripsi ini menemukan hambatan-hambatan yang dialami oleh UNOCI dalam menjalankan mandat, seperti serangan dan gangguan terhadap personilnya. Dalam upaya merespon hambatan ini UNOCI menerima dukungan dari personil UNMIL, pasukan Licorne Perancis, dan pasukan FRCI untuk menekan konflik dan melindungi warga sipil. Skripsi ini juga menyimpulkan bahwa UNOCI berhasil dalam menekan konflik hingga konflik terselesaikan, maka UNOCI telah memiliki peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik di Pantai Gading. Terkait intervensi militer Perancis telah dibahas oleh Katariina Simonen pada artikel Qui s’excuse s’accuse... An Analysis of French Justifications for Intervening in Côte d’Ivoire dalam jurnal International Peacekeeping. Artikel ini menjelaskan bagaimana Perancis melakukan justifikasi atas intervensi militer yang dilakukan ke Pantai Gading26. Simonen menganalisa pernyataan resmi Pemerintah Perancis dan menelaah bagaimana intervensi yang berakibat pada pergantian regim di Pantai Gading dapat dibenarkan, khususnya pada aspek legal. Pernyataan resmi mengacu pada pernyataan Presiden Perancis dan perwakilan pemerintah terkait pengunaan kekuatan militer melalui Operasi Licorne untuk membantu UNOCI dalam periode November 2010 sampai Ouattara menjabat Presiden pada 2011.
26
Katariina Simonen, “Qui s’excuse s’accuse... An Analysis of French Justifications for Intervening in Côte d’Ivoire”, International Peacekeeping, 19:3(2013).
10
Penelitian ini menyatakan bahwa menurut Pemerintah Perancis intervensi ke Pantai Gading dapat dibenarkan karena sejalan dengan regim intervensi di bawah hukum internasional. Intervensi berada dibawah mandat DKPBB, Perancis memiliki tanggung jawab untuk mengevakuasi warga negara Perancis dan Eropa, serta intervensi dilakukan untuk kepentingan demokrasi Pantai Gading dan Afrika, menjadi justifikasi Perancis atas intervensi ke Pantai Gading. Meski, menurut Simonen, pendapat ini dipengaruhi oleh interpretasi regim yang memerintah di Perancis saat itu. Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini meneliti faktorfaktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading pada 2011. Penelitian ini mencoba menjawab mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai Gading
dengan
menggunakan teori faktor eksternal dan internal dari kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh K.J. Holsti. E. Kerangka Pemikiran 1. Politik Luar Negeri Politik luar negeri adalah sebuah aktifitas dimana negara sebagai aktor melakukan aksi dan reaksi27. Politik luar negeri merupakan sintesis dari tujuantujuan (kepentingan nasional) dan instrumen negara (power dan kapabilitas). Jika dilihat dari pengertian dan unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri
27
Graham Evans dan Jeffrey Newnham, The Penguin Dictionary of International Relations (England:ClaysLtd, St Lves plc 1998),179
11
dari dua elemen yaitu : kepentingan nasional yang akan dicapai dan instrumen untuk mencapainya. Dalam unsur-unsurnya itu terdapat politik luar negeri semua negara28. Politik luar negeri sendiri bisa dibagi atas empat kategori, dibedakan menurut keputusan-keputusan yang kritis, penting, dan rutin. Politik luar negeri juga dapat dibedakan menurut kategori isu, seperti isu-isu militer, politik, ekonomi,
lingkungan,
sumber
daya,
teknik,
kultural,
dan
humaniter
(kemanusiaan)29. 2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri Dalam prakteknya upaya mencapai kepentingan nasional melalui politik luar negeri dipengaruhi oleh banyak hal. Holsti berpendapat bahwa politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal30. Faktor Eksternal adalah faktor-faktor non domestik suatu negara yang memengaruhi negara dalam melakukan politik luar negeri atau mengeluarkan kebijakan luar negeri. Struktur sistem internasional, kebijakan dari negara lain, masalah global dan regional sektor privat, hukum internasional dan opini publik global merupakan faktor ekternal yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri.
28
.Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power (Bandung: C.V Abardin 1990), 126 29 Theodore A.Coulumbis & James Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, 128 30 K. J. Holsti, International Politics (New Jersey: Prentice Hall 1992), 269-306)
12
1.Struktur sistem internasional, yaitu tatanan internasional, unipolar, bipolar, atau multipolar. Situasi ini berpengaruh pada pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, terlebih bagi negara-negara yang berada pada pengaruh negara besar atau negara pusat polar. 2. Karateristik atau struktur ekonomi internasional. Faktor ini terdiri dari tiga hal yaitu struktur ekonomi global, masih dalam keadaan polaritas atau sudah
mengalami
globalisasi.
Selanjutnya
peran
rejim
ekonomi
internasional seperti World Bank dan IMF. Terakhir keadaan ekonomi global saat itu 3. Kebijakan aktor atau negara lain, faktor ini adalah bentuk tanggapan atau respon dari negara lain di luar negara atau aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan luar negeri. 4. Masalah global dan regional sektor privat merupakan masalah yang dilakukan oleh aktor non-negara atau aktor privat. Masalah yang dimaksud adalah masalah kontemporer dalam hubungan internasional seperti pencemaran udara yang disebabkan oleh perusahaan swasta. 5. Hukum internasional dan opini publik, kebijakan suatu negara dipengaruhi oleh hukum internasional yang berlaku pada negara tersebut juga opini publik global terkait kebijakan yang akan dikeluarkan. Faktor Internal adalah faktor domestik yang memengaruhi negara dalam menyusun politik luar negeri atau mengeluarkan kebijakan luar negeri. Kebutuhan sosioekonomi atau kebutuhan keamanan, karakteristik geografi dan topografi,
13
opini publik domestik, Struktur Pemerintahan dan filosofi, birokrasi, dan pertimbangan etik merupakan faktor internal atau domestik yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri. 1. Kebutuhan sosioekonomi atau keamanan adalah faktor yang memengaruhi keadaan sosio ekonomi atau keamanan domestik negara. 2. Karakteristik geografi dan topografi, kondisi geografi dan topografi sangat memengaruhi keadaan sosial domestik. Sebagai contoh negara kepulauan mempunyai kebijakan luar negeri yang berbeda dengan negara landlock 3. Atribut Nasional adalah karakteristik atau ciri umum suatu negara, seperti atribut sebagai negara Islam. keikutsertaan suatu negara terhadap suatu forum atau organisasi juga sebagai atribut suatu negara. Karakteristik umum ini akan memengaruhi bentuk kebijakan luar negari suatu negara. 4. Struktur Pemerintahan dan filosofi. Struktur pemerintahan dan falsafah yang dianut oleh sebuah negara secara langsung akan memengaruhi cara pengambilan kebijakan dan kebijakan yang dihasilkan. 5. Opini Publik, yang dimaksud adalah pendapat masyarakat yang memiliki kebebasan dalam berpendapat. Holsti menjelaskan untuk mengetahui sejauh mana pendapat masyarakat berpengaruh harus di lihat dari siapa yang berpendapat, pada isu apa, dan bagaimana pendapatnya.
14
6. Birokrasi, hal ini tertuju bagaimana proses perumusan kebijakan luar negeri dirumuskan dan bagaimana kerjasama antar elemen dalam pemerintahan dalam merumuskan kebijakan. 7. Pertimbangan etik adalah pertimbangan yang dilakukan oleh negara agar tujuan kepentingan nasional dari kebijakan luar negeri yang keluarkan tercapai.
15
Faktor Eksternal/ Sistemik 1. Sistem struktur (latitude of choice) 2. Karakteristik/struktur ekonomi dunia 3. Tujuan dan aksi dari negara lain 4. Masalah global dan regional 5. Hukum internasional dan opini dunia
Pengaruh
Pengaruh
Proses pembuatan kebijakan
Aksi Umpan balik Faktor Domestik 1. Ekonomi sosial/kebutuhan kemananan 2. Karakteristik Geografi dan Topografi 3. Atribut Nasional 4. Struktur pemerintahan dan Filosofi 5. Opini publik 6. Birokrasi 7. Pertimbangan Etik Umpan Balik (sumber : K. J. Holsti 1992: 272)
Kepentingan dan tujuan negara
16
Selain faktor eksternal dan faktor domestik, terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri. Persepsi dan posisi terhadap pengaruh dari perumusan kebijakan merupakan faktor lain selain faktor eksternal dan domestik dalam perumusan kebijakan luar negeri yang terkait pada elemen-elemen pembuat kebijakan luar negeri31. Persepsi dari pembuat kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh pandangan (image) terhadap situasi lingkungan yang berupa persepsi, evaluasi serta pemaknaan atas situasi yang terjadi pada lingkungan; sikap (attitudes) atau dapat diartikan sebagai tindakan yang muncul tentang objek, fakta atau kondisi, terkait kebijakan luar negeri ini dapat dimaknai bagaimana pembuat kebijakan menginterpretasi national interest atas situasi dan respon atas situasi yang terjadi; nilai-nilai (values) yang menentukan ke mana tindakan negara akan diarahkan, keyakinan (beliefs) yaitu pandangan pembuat kebijakan yang berasal dari dasardasar negara; doktrin dan ideologi (doctrine and ideologies) yang menghasilkan kerangka pemikiran melalui observasi pembuat kebijakan, membentuk pandangan dunia terhadap negaranya, justifikasi untuk pilihan kebijakan luar negeri, mengarahkan negara pada tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam dasar-dasar negara yang mereka tetapkan; analogi (analogies) yaitu pembelajaran terhadap masalah saat ini berdasarkan pengalaman suatu isu di peristiwa-peristiwa masa lalu. Selain itu, Holsti juga menyatakan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh faktor-faktor personal seperti, pertama, keahlian pembuatan kebijakan, kedua, 31
K. J. Holsti, International Politics , 291
17
pembawaan karakter setiap pembuat kebijakan yang dapat memengaruhi orang lain untuk berpikiran sama dengannya, ketika bertindak dalam suatu situasi, dan ketiga, pathological traits,yaitu karakter yang menunjukkan kelemahan pembuat kebijakan ini. 3. Intervensi Militer Intervensi mengacu pada tindakan aktor eksternal yang memenagruhi keadaan domestik suatu negara berdaulat32. Intervensi merupakan bentuk hard diplomacy untuk menyelesaikan konflik, terutama bagi negara yang dinilai tidak memiliki kapabilitas untuk menghentikan konflik. Intervensi sebagai instrumen resolusi konflik memiliki beberapa prinsip yaitu : impartiality atau imparsialitas adalah sikap dari intervener yang tidak melibatkan kepentingannya dalam tindakan intervensi, prinspi ini dapat juga diartikan bahwa intervener harus bersikap netral; mutuality adalah prinsip mendasar dalam tindakan intervensi, antara intervener dan negara yang harus saling membantu dalam upaya penghentian konflik; sustainability atau berkelanjutan diartikan bahwa tindakan intervensi memberikan dampak berkelanjutan serta menuju pada penghentian kekerasan dan rekonstruksi pascakonflik; complementarity atau saling melengkapi, prinsip ini bertujuan saat intervensi dilakukan oleh pasukan multinasional untuk saling membantu demi kepentingan yang lebih besar; reflexivity adalah prinsip yang membuat intervener agar mengingat tujuan intervensi dan batasan-batasan yang dimiliki; consistency
32
Joseph Nye, Understanding International Conflicts, (New York: Longman, 1997), h. 134
18
merupakan prinsip yang menegaskan sikap konsisten dalam tindakan intervensi agar tidak terjadi standar ganda; accountability, prinsip ini mengatur hubungan antara intervener dan atas nama siapa mereka bertindak, sehingga jelas atas otoritas siapa intervensi dilakukan; dan universality atau universalitas mengingatkan bahwa intervensi merupakan tindakan lintas batas negara dan berdampak secara universal33. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metodologi penelitian sosial kualitatif. Menurut Salkind, metode kualitatif adalah “social or behavioral science research that explores the prosses that underline human behavior using such exploratory techniques as interviews, surveys, case studies, and other relatively personal techniques.” Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan teknik-teknik personal seperti wawancara dan studi kasus34. Metode kualitatif didasarkan pada data-data primer dan sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal, artikel, wawancara serta sumber-sumber lain yang memiliki kesesuaian dengan materi penelitian . Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam menganalisa kebijakan Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading dilakukan dengan menggabungkan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah
33
Oliver Ramsbotham, dkk, Contemporary Conflict Resolution (Cambridge: Polity Press, 2006),h. 277-283. 34 Neil J. Salkind, Exploring Research. (New Jersey: Pearson Education. 2009), 209
19
dari wawancara dengan staf-staf perwakilan pemerintahan Perancis dan para pakar isu terkait. Laporan resmi pemerintah juga dimasukan dalam data-data primer. Sumber data sekunder bersumber dari buku, jurnal, surat kabar, dan artikel yang terkait dengan subjek yang diteliti, baik melalui studi kepustakaan dan akses internet. Sumber sekunder berupa studi kepustakaan didapat melalui kunjungan ke Perpustakaan FISIP UIN Jakarta, Perpustakaan CSIS, Perpustakaan Kementerian Luar Negeri, Perpustakaan Kedutaan Perancis, Perputakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Perpustakan Kementerian Pertahanan Penelitian
ini
juga
merupakan
analisa
data
kualitatif
berupa
penggambaran, penguraian, dan analisa fakta atau keadaan terkait kebijakan Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading. Penelitian analisa kualitatif ini difokuskan pada faktor eksternal dan internal yang memengaruhi kebijakan Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. G. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari penelitian. Dalam bab ini dijelaskan
latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, serta sistematika penulisan dalam penelitian. BAB II
KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING
Bab ini menjelaskan sejarah dan dinamika konflik yang terjadi di Pantai Gading, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan pengaruh konflik yang terjadi di Pantai Gading kepada negara lain.
20
BAB III
KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA KONFLIK DI PANTAI GADING TAHUN 2011
Bab ini menjelaskan peran dan keterlibatan Perancis di Pantai Gading, sejak masa kolonial hingga saat terjadi konflik paska pemilu tahun 2011. Dalam Bab ini juga dijelaskan sikap dan kebijakan Perancis terkait dinamika politik di Pantai Gading. BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING TAHUN 2010-2011
Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan Perancis terkait intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. Dalam bab ini dijelaskan faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi Intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. BAB V
PENUTUP
Bab ini merangkum hasil penelitian mengenai intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011.
21
BAB II KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING
Dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Pada kasus Pantai Gading, awalnya konflik hanya terjadi di dalam batas negara kemudian meluas sehingga menjadi konflik yang ter-internasionalisasi. Instabilitas ekonomi, xenophobia35, dan kurangnya legitimasi institusi negara merupakan beberapa penyebab konflik. A.
Sejarah Konflik di Pantai Gading Konflik yang terjadi di Pantai Gading yang terjadi pascapemilihan umum
tahun 2010 bukan konflik pertama di negara Afrika Barat tersebut. Ketegangan politik sudah terjadi sejak tahun 1990 yang menjadi awal ketidakstabilan keamanan di Pantai Gading hingga terjadi konflik pascapemilu tahun 2011. Pantai Gading sebelumnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7 persen pada dekade 1980-an berkat komoditas utamanya kakao. Namun, memasuki dekade 90-an, harga kakao mengalami kemerosotan dan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi
Pantai Gading
yang
menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi secara tidak langsung mengubah sistem pemilihan umum Pantai Gading36. Boigny yang telah menjadi presiden sejak tahun 1960, untuk pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum multipartai. Padahal, sebelumnya pemilihan umum di Pantai Gading hanya 35
Xenophobia adalah ketakutan atau kebencian kepada orang dan sesuatu yang asing. Diunduh dari (http://www.merriam-webster.com/dictionary/xenophobia) 36 Abdul Hadi Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika, 66
22
diikuti oleh Parti Démocratique de Côte d’Ivoire (PDCI) sebagai satu-satunya partai yang berkuasa. Pada tahun 1990, pemilu diselenggarakan akibat rangkaian protes yang menentang pemerintahan Boigny. Protes tersebut terjadi akibat pemerintah saat itu mencabut subsidi sektor pertanian serta melakukan penyederhanaan anggaran37. Menanggapi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, mahasiswa dan serikat tani Pantai Gading saat itu melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintahan yang lebih demokratis, demonstrasi berakibat bentrokan dengan polisi38. Melihat demonstrasi yang semakin mengkhawatirkan, Presiden Boigny menyelenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh partai selain PDCI. Selain diikuti oleh PDCI sebagai partai pemerintah, Pemilu Pantai Gading juga diikuti Front Populaire Ivoirien (FPI) yang mengusung Laurent Gbagbo sebagai calon presiden. Meski kembali dimenangi oleh Boigny, peristiwa ini menandai kemunculan Gbagbo sebagai tokoh oposisi di Pantai Gading. Kemenangan Boigny membuatnya meneruskan masa jabatan yang telah diduduki sejak 1960. Namun, hanya tiga tahun setelah memenangi pemilu multipartai pertamanya, Felix Houphouët Boigny meninggal dunia. Pascameninggalnya Boigny, jabatan Presiden Pantai Gading dijabat oleh Henri Konan Bedié yang
37
Jennifer A. Widner, “The 1990 Elections in Côte d’Ivoire”, Journal of Option, Vol. 20 no. 1 (1991), 31. 38 Global Nonviolent Action Database, “Ivorians demand switch to multiparty democracy, 19891990” diunduh pada 8 Maret 2014 dari (http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/ivorians-demand-switchmultipartydemocracy-1989-1990)
23
sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Legislatif Pantai Gading39. Selama memerintah, Bedié memperkenalkan konsep Ivoirité yang melarang orang yang bukan asli Pantai Gading untuk menempati posisi tinggi dalam pemerintahan Pantai Gading. Konsep Ivoirité diduga digunakan oleh Bedié untuk menjegal niat dari Alassane Ouattara, mantan perdana menteri Boigny, yang ingin maju menjadi presiden pada pemilu 1995, namun Ouattara merupakan keturunan Burkina Faso40. Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1995, Bedié yang menjadi pengganti Boigny mengikuti pemilu pertama kali. Dalam pemilihan presiden kali ini Bedié bersama Francis Wodié bersaing untuk menjadi presiden. Hasil pemilu memenangkan Bedié. Pemilu ini tidak diikuti oleh Laurent Gbagbo yang merupakan tokoh oposisi pemerintah. Tindakan ini diambil Gbagbo untuk mendukung Alassane Ouattara yang tidak dapat mengikuti pemilu akibat diskriminasi Ivoirité41. Dalam pemerintahan Bedié setelah pemilu 1995, Pantai Gading mengalami stagnansi ekonomi dan diskriminasi etnis akibat Ivoirité. Kondisi ini menyebabkan kelompok militer yang dipimpin oleh Jenderal Gueï melakukan kudeta atas pemerintahan Bedié dan menghapuskan Ivoirité, meski demikian Ouattara masih dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum selanjutnya karena dianggap sebagai entitas asing. Tindakan Gueï yang melarang 39
Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition in the 1990 and 1995 Elections”, African Affairs, vol. 96 no. 383 (1997): 220 40 Cyril K. Dadieh, “Elections and Ethnic Violence in Côte d’Ivoire: The Unfinished Business of Succession and Democratic Transition”, African Issues. Vol. 29 no. ½ (2001):17 41 Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition in the 1990 and 1995 Elections”, 233
24
keikutsertaan Ouattara dalam pencalonan presiden memunculkan pandangan bahwa penghapusan Ivoirité hanya upaya untuk mengonsolidasi massa agar terpilih menjadi Presiden Pantai Gading42. Pemilihan umum Pantai Gading tahun 2000, merupakan pertama kali PDCI tidak berpartisipasi dan pemilu pertama Pantai Gading dalam pemerintahan junta militer. Dalam pemilu ini, Gueï dan Gbagbo merupakan dua calon presiden yang bersaing paling ketat. Meski pada akhirnya Gbagbo memenangkan pemilihan, Gueï yang merasa masih memiliki dukungan dari militer tidak mau menyerahkan kekuasaan junta militernya kepada Laurent Gbagbo yang terpilih secara demokratis dan membubarkan Commission Electorale43. Tindakan Gueï memicu perlawanan yang dipimpin oleh Gbagbo dan memaksa Gueï untuk meninggalkan Pantai Gading. Setelah Gueï meninggalkan Pantai Gading, pemerintahan dikendalikan oleh Gbagbo44. Dalam pemerintahan ini, politik segregasi di negara Afrika Barat ini kembali berjalan ketika Gbagbo mengekslusifkan pemerintahan kepada kelompok non-imigran yang merupakan penduduk bagian selatan Pantai Gading dan kelompok penduduk bagian utara yang
dipandang
sebagai
entitas
imigran
tidak
diikutsertakan
dalam
pemerintahan45. Pemerintahan eksklusif yang dijalankan Gbagbo memicu kekecewaan dari kelompok militer yang mayoritas merupakan penduduk utara. Kekecewaan dari 42
Francis Akindès, “The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire” (Uppsala: Nordiska Afrikainstitutet, 2004), 21 43 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict” (Norway: Landinfo, 2006),16 44 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” (Bath : Centre for Development Studies University of Bath, 2010), 10 45 Tom Ogwag, The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire, 5
25
kalangan militer ini berakibat pada upaya kudeta terhadap pemerintahan Gbagbo pada tahun 200146. Upaya kudeta ini tidak berhasil dan berdampak pada terbaginya Pantai Gading menjadi dua bagian, bagian selatan dikendalikan oleh pemerintahan Gbagbo yang terpusat di Abidjan dan bagian utara yang terpusat di Yamoussoukro yang kuasai oleh Nouvelle Forces dibawah pimpinan Alassane Ouattara. Pemerintahan Abidjan menganggap kelompok Nouvelle Forces sebagai pemberontak sehingga perang saudara di Pantai Gading tidak dapat dihindari. Pada Januari 2002, untuk menormalkan keadaan keamanan di negaranya, Gbagbo mengundang Ouattara, Bedié, dan Gueï untuk melakukan rekonsiliasi. Pertemuan tersebut menghasilkan pengakuan kewarganegaraan Ouattara47. Meski telah mencapai rekonsiliasi, pada 13 September 2002, Gbagbo mengganti militer yang diangkat selama masa Gueï berkuasa dan mengganti dengan loyalisnya. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran atas komitmen rekonsiliasi yang telah dicapai dan menimbulkan kekecewaan dari kelompok militer48. Pada 19 September 2002, perang sipil dimulai ketika kelompok militer yang dinon-aktifkan Gbagbo menyerang kota Abidjan serta Bouaké dan Korhogo di utara Pantai Gading. Tindakan militer ini dipandang oleh Gbagbo sebagai percobaan kudeta yang dilakukan Gueï. Dalam serangan tersebut kota Abidjan
46
Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” (2014) diunduh dari (http://www.securitycouncilreport.org/chronology/cote-divoire.php?pag) 47 “Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/elections.shtml) 48 Tom Ogwag, The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire, 6
26
berhasil dipertahankan Gbagbo tapi Bouaké dan Korhogo berhasil dikuasai oleh pihak militer, meski Gueï dan istrinya tewas dalam kontak senjata yang terjadi49. Menanggapi krisis yang terjadi di Pantai Gading Masyarakat Ekonomi Afrika Barat atau Economic West Africa Society (ECOWAS) memprakasai Accra Meeting I pada 29 September 2002, yang dihadiri oleh Laurent Gbagbo dan pemimpin negara-negara Afrika Barat. Pertemuan ini dinilai memberikan harapan kepada proses perdamaian di Pantai Gading, meski mengalami kegagalan dikarenakan isi dari pertemuan yang tidak direalisasikan dan Presiden Gbagbo yang tidak mengakui eksistensi kelompok pemberontak50. Menindaklanjuti Accra Meeting I, PBB melalui Utusan Khusus untuk Afrika Barat, Ahmedou Ould-Abdallah bertemu Laurent Gbagbo di Abidjan dan Pimpinan MPCI (Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire), kelompok militer yang memberontak karena diberhentikan Gbagbo,
di Bouaké untuk
membahas gencatan senjata yang dikenal sebagai Abidjan Cease-Fire Agreement. Keberhasilan Abidjan Cease-Fire Agreement ditindaklanjuti oleh upaya peningkatan perdamaian di Pantai Gading dengan diadakan pertemuan di Lomé pada 1 November 2002. Pertemuan di Lomé menghasilkan Lomé Agreement yang menyetujui pemberian amnesti dan pembebasan kepada tahanan tentara yang melakukan upaya kudeta serta ditugaskan kembali dalam militer Pantai Gading. Namun, upaya perdamaian ini mengalami deadlock ketika MPCI meminta Gbagbo untuk mundur sebagai presiden serta penghapusan artikel 35 dalam 49
Dwayne Woods “The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte d’Ivoire”, The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4 (2003), 641 50 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, (Accra: KAIPTC 2005) , 49
27
Konstitusi Pantai Gading yang melegalkan konsep Ivoirité51. Tuntutan MPCI ditolak oleh Gbagbo dan meminta MPCI untuk melakukan penyerahan senjata kepada pemerintah. Permintaan Gbagbo juga ditolak oleh pihak MPCI. Perundingan antara dua pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan untuk perdamaian dan penyatuan kembali Pantai Gading sehingga Lomé Agreement menghasilkan penempatan ECOWAS Force dan Licorne Forces di Buffer Area yang memisahkan kawasan utara dan selatan Pantai Gading. Upaya mewujudkan perdamaian di Pantai Gading terus berlanjut. Pada 15 Januari
2003,
Pemerintah
Perancis,
ECOWAS,
Uni-Afrika,
dan
PBB
mempertemukan seluruh entitas politik Pantai Gading di Linas dan Marcoussis, Perancis. Pertemuan ini bertujuan membentuk Goverment of National Reconciliation yang mempertemukan semua faksi yang ada di Pantai Gading dengan tujuan menyatukan kembali Pantai Gading yang terpecah akibat krisis politik. Setelah penandatanganan perjanjian Linas-Marcoussis, rekonsiliasi di negara Afrika Barat ini tidak terealisasikan dengan efektif dikarenakan pihak pemerintah dan pihak pemberontak memiliki interpretasi yang berbeda terkait perjanjian yang mereka sepakati52. Pada 4 November 2004, Laurent Gbagbo memerintahkan serangan udara ke Bouaké yang menjadi basis pemberontak. Namun, serangan dengan pesawat Sukhoi Su-25 pada 6 November itu menewaskan tentara Perancis yang tergabung dalam Operasi Licorne untuk mendukung UNOCI(United Nations Operation in
51 52
Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 51 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict.19
28
Côte d’Ivoire)53. Menanggapi serangan atas operasi perdamaiannya, Perancis atas perintah Presiden Jacques Chirac melancarkan aksi balasan dengan menyerang kekuatan udara Pantai Gading di Abidjan dan menguasai pangkalan udara di Yamoussoukro serta menambah kekuatan di Gabon untuk menanggulangi situasi yang akan terjadi54. Akibat dari serangan Perancis, muncul kemarahan massa pendukung pemerintahan Gbagbo yang menyerang entitas Perancis di Abidjan. Penyerangan oleh massa bersenjata itu menimbulkan kontak senjata dengan tentara Perancis yang memaksa Perancis mengungsikan warga negaranya dari Pantai Gading55. Situasi di Pantai Gading semakin tidak terkendali. Setelah beberapa upaya perdamaian yang gagal dan kondisi Pantai Gading yang semakin terpuruk secara politik dan ekonomi akibat embargo yang diberlakukan oleh PBB, Gbagbo mengajukan proposal perdamaian kepada UniAfrika dan ECOWAS56. Proposal perdamaian tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan antara Pemerintahan Gbagbo yang mengendalikan wilayah selatan dan Nouvelles Forces yang menguasai wilayah utara di Ouagadougou, Burkina Faso pada Maret 2007. Perjanjian Ouagadougou merupakan upaya perdamaian yang paling berhasil mengakhiri konflik sipil di Pantai Gading yang bermula dari tahun 2002. Pascapenandatangan perjanjian ini pasukan perdamaian
53
Giulia Piccolino, “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against Global Governace”, African Affairs (2011), 8 54 Jolien Schure, dkk , Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace (Bonn:BICC, 2010), 12 55 “French foreign minister's visit is first since 2003” diunduh pada 4 Maret 2014 dari (http://www.france24.com/en/20080614-french-foreign-ministers-visit-first-2003-ivorycoast-france) 56 Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire”
29
PBB yang berjaga di buffer area ditarik dan proses pelucutan senjata yang dimiliki kelompok paramiliter dimulai57. Pada 16 April 2007, Presiden Laurent Gbagbo menyatakan perang sipil di Pantai Gading berakhir. Proses perdamaian pascaperjanjian Ouagadougou yang ditandai dengan penyerahan senjata kelompok paramiliter juga diikuti dengan reformasi regulasi terkait kewarganegaraan Pantai Gading untuk persiapan pemilihan
umum
selanjutnya.
Pada
Oktober
2010,
Pantai
Gading
menyelenggarakan Pemilu pertama kalinya pascakonflik sipil 2002-2007, meski sebelumnya dijadwalkan pada Juni 2008 yang tertunda akibat belum selesainya penyerahan senjata dan daftar pemilih yang berhak memilih. Pemilu yang diikuti oleh 5 juta penduduk Pantai Gading mempertemukan Laurent Gbagbo dan Alassane Ouattara pada putaran akhir. Pemilu Pantai Gading tahun 2010, merupakan pemilu yang kontroversial karena kedua calon presiden mengklaim sebagai pemenang pemilu dan menjadi Presiden Pantai Gading. Pengambilan sumpah Laurent Gbagbo sebagai Presiden Pantai Gading untuk periode selanjutnya menimbulkan kemarahan oleh massa pendukung Ouattara dan menimbulkan konflik baru seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya.
57
Arnim Langer, Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace (Bath : Centre for Development Studies University of Bath, 2010), 18
30
B.
Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading Konflik di Pantai Gading melibatkan banyak pihak, baik dari dalam negeri
dan luar negeri. Perbedaan latar belakang politik dan identitas menjadi penyebab beragamnya kelompok atau unit-unit politik yang terlibat dalam konflik ini. Pihak pertama, FPI (Front Populaire Ivoirien) adalah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Laurent Gbago. Partai ini dibentuk oleh para akademisi kritis pada Pemerintahan Boigny. Sebelum pemilu 1990, partai ini masih merupakan organisasi ilegal di Pantai Gading. Setelah diubahnya sistem pemilu maka partai ini menjadi partai pertama yang masuk dalam parlemen selain PDCI. Pada konflik pada 2002, partai ini memiliki kelompok simpatisan paramiliter yaitu Jeunes Patriots. Ketika terjadi konflik terbuka, keterlibatan FPI diwakilkan oleh Jeunes Patriots, kelompok ini mendukung dan dipersenjatai oleh Laurent Gbagbo sehingga dapat menguasai daerah selatan Pantai Gading58. Pada pihak kedua atau pihak yang berlawanan dengan FPI, dipandang oleh Gbagbo sebagai pihak pemberontak Pemerintah resmi Pantai Gading. Pihak tersebut adalah MPCI, MPJ, dan MPIGO. Kelompok-kelompok ini yang terlibat konflik langsung dengan Jeunes Patriots saat konflik terjadi di Pantai Gading. Tindakan Laurent Gbagbo menonaktifkan tentara yang direkrut selama pemerintahan junta militer Gueï dan menyebabkan upaya kudeta yang dilancarkan oleh Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI). MPCI adalah gerakan yang dibentuk oleh militer yang dinonaktifkan Gbagbo. Gerakan ini adalah aktor utama dari upaya kudeta Gbagbo pada September 2002, dan memiliki kekuatan 58
“Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari (http://www.flashpoints.info/CB-Ivory%20Coast.html)
31
sekitar 800 personel bekas pasukan Jenderal Gueï. Meski pada tahun 2002 gagal menguasai Abidjan, gerakan ini berhasil menguasai Bouaké, kota terbesar kedua di Pantai Gading, dan sebagian besar lahan pertanian coklat. Pemerintah Gbagbo menuding kelompok ini sebagai pendukung Ouattara dan dibantu oleh negara lain dikarenakan kebanyakan anggota gerakan ini berasal dari bagian utara Pantai Gading 59 Tewasnya jenderal Gueï pada kudeta tahun 2002, menimbulkan kemarahan dari penduduk bagian barat Pantai Gading yang memiliki kedekatan kultural dengan suku Yacouba, suku asal Gueï. Kemarahan tersebut diwujudkan dengan dikuasainya wilayah Man dan Danane oleh kelompok yang dikenal sebagai Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO). Anggota gerakan ini dianggap bukan warga Pantai Gading dikarenakan berbicara dalam bahasa Inggris dan dikaitkan dengan suku Gio yang berasal dari Liberia yang punya hubungan kultural dengan suku Jenderal Gueï60. Selain MPIGO, wilayah barat Pantai Gading juga dikuasai oleh gerakan lain yaitu Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP). Muncul dengan alasan yang sama dengan MPIGO, MJP merupakan gerakan dengan kekuatan yang relatif lebih kecil. Pada Desember 2002, menanggapi tindakan Perancis yang menempatkan pasukan Licorne di Pantai Gading, MPCI, MPIGO, dan MJP membentuk koasilisi yang di namakan Nouvelles Forces61. 59
“Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpci.htm) 60 “ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpigo.htm) 61 “Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP)”diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mjp.htm)
32
Pada konflik pascapemilu 2010, pertikaian terjadi antara Nouvelles Forces yang mendukung Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilu, sedangkan Laurent Gbagbo didukung oleh kelompok paramiliter FPI, Jeunes Patriots. Ketika Perancis mengintervensi Pantai Gading tahun 2011, pasukan Perancis mempersenjatai milisi Nouvelles Forces, meski sebelumnya gerakan ini pernah mencoba mengusir pasukan Perancis dari Pantai Gading di tahun 2002 62. C.
Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading Konflik Pantai Gading seperti kebanyakan konflik bersenjata di Afrika
yang awalnya konflik internal dengan cepat berubah menjadi konflik yang melibatkan pihak lain di luar wilayah konflik. Konflik yang terjadi tahun 2002, akibat kudeta atas pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar dan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga. Semakin besar korban jiwa dan jumlah pengungsi dari konflik yang terjadi, semakin memaksa komunitas regional dan internasional untuk terlibat dalam penyelesaian pertikaian. Mayoritas penduduk kawasan utara Pantai Gading adalah pendatang dari Mali dan Burkina Faso, maka konflik ini melibatkan kedua negara ini secara tidak langsung. Bagi Burkina Faso, situasi keamanan di Pantai Gading berpengaruh besar, sebab kondisi geografis Burkina Faso merupakan negara landlock dan sangat bergantung pada pelabuhan di Pantai Gading untuk arus barang masuk. UNDP menyebutkan pada Januari 2011, antara 20.000 sampai 30.000 pupuk, beras dan gandum yang akan diimpor ke Burkina Faso tertahan di Pelabuhan 62
“Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari (http://www.theguardian.com/world/2011/apr/11/gbagbo-attack-ground-assault )
33
Abidjan63. Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan 2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64. Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali, namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke negaranegara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian65. Ketika konflik pascapemilu tahun 2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai, meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan perdamaian PBB. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional, menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai
63
UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground” (2011), 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.undp.org/africa) 64 UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground”, 8 65 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 50
34
Gading. Respon PBB, khususnya Dewan Keamanan, mengenai situasi yang berlangsung di Pantai Gading terus mengalami peningkatan mengikuti perkembangan konflik. Setelah kudeta tahun 2002, pada 13 Maret 2003 DK PBB mengeluarkan resolusi no. 1479 yang membentuk Mission des Nations unies en Côte d'Ivoire (MINUCI) yang terdiri dari pasukan Perancis dan pasukan gabungan ECOWAS untuk memfasilitasi gencatan senjata dan implementasi LinasMarcoussis Agreement . Menindaklanjuti resolusi sebelumnya DK PBB kembali mengeluarkan resolusi no. 1528 untuk mengalihkan otoritas MINUCI kepada Opération des Nations Unies en Côte d'Ivoire (ONUCI)66. Serangan udara Pemerintah Gbagbo ke Bouaké yang melukai pasukan perdamaian Perancis di tanggapi oleh DK PBB dengan mengeluarkan resolusi no. 157267. Penerapan resolusi ini berakibat pada diberlakukannya embargo senjata atas Pantai Gading dan pembekuan aset individu yang melanggar HAM serta mengancam upaya perdamaian dalam konflik ini. Resolusi ini kemudian diperkuat oleh resolusi no. 1603, 1633, dan 172168. Perjanjian damai yang ditandatangani di Ouagadougou ditanggapi oleh DK PBB dengan dikeluarkannya resolusi no. 1765. Dengan dikeluarkannya resolusi ini ,mandat ONUCI diperbaharui untuk mendukung pelucutan senjata milisi dan persiapan pelaksanaan pemilu sesuai perjanjian Ouagadougou. Meski kata damai hampir tercapai antara pihak yang bertikai di Pantai Gading, DK PBB 66
“UNOCI Mandate” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/mandate.shtml) 67 Robert Iztok dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time of Globalisation” (Ostrava:University of Ostrava, 2010), 4 diunduh dari (http://conference.osu.eu/globalization/publ/10-istok_koziak.pdf.) 68 “UNOCI Mandate”
35
memperpanjang embargo senjata pada 29 Oktober 2009, dan melarang perdagangan berlian dari negara ini69. Meletusnya kembali konflik pascapemilu 2010, ditanggapi oleh DK PBB dengan menambah pasukan perdamaian sebanyak 500 personel pada Desember 2010 dan menambah hingga 2.000 personel pada Januari 2011. Pada akhir Maret 2011, akibat dari kegagalan mediasi dan penolakan Laurent Gbagbo untuk turun dari jabatan dan menghentikan konflik, DK PBB mengeluarkan sanksi kepada Gbagbo berupa Resolusi No. 1975. Bentuk nyata dari resolusi ini adalah diserangnya pangkalan milisi pendukung Gbagbo di Abidjan pada 4 April 2011, kemudian penyerangan ke tempat tinggal yang diikuti dengan penangkapan Gbagbo pada 10 April 2011 70.
69 70
Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire”
36
BAB III KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA KONFLIK DI PANTAI GADING TAHUN 2011 A. Sejarah Keterlibatan Perancis di Pantai Gading 1.
Periode Kolonial Persaingan antar bangsa di Eropa dan Perang Salib yang terjadi di Timur
Tengah menyebabkan bangsa Eropa melakukan eksplorasi ke bagian dunia baru. Perancis sebagai salah satu negara besar di Eropa juga melakukan penjelajahan dengan tujuan ekspansi teritorial, ekploitasi sumber daya, dan misionaris. Afrika yang secara geografis berdekatan dengan Eropa menjadi daerah pertama yang menjadi tujuan kolonialisasi. Perancis datang pertama kali ke kawasan Afrika Barat tercatat pada 1483. Kedatangan bangsa Perancis ke Afrika Barat bertujuan untuk mengekploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam bentuk perbudakan71. Kontak antara Pantai Gading dan Perancis pertama kali terjadi pada 1637, saat Perancis mengirim misionaris ke Assinie yang kemudian menjadi pos pertama Perancis di Pantai Gading72. Keberadaan Perancis di Teluk Guinea dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Pantai Gading modern. Pada 1843-1844, Kerajaan Kong yang menguasai wilayah Pantai Gading modern melalui Raja Grand Bassam dan Assinie melakukan perjanjian yang menempatkan wilayah kedua kerajaan tersebut
71
Robert E. Handloff, ed., Ivory Coast, (Washington D.C : Library of Congress, 1988) diunduh pada 19 April 2014 dari (http://countrystudies.us/ivory-coast/5.htm ) 72 Francis McNamara, French in Black Africa, (Washington D.C: NDU Press, 1989), 4
37
di bawah protektorat Perancis untuk berlindung dari serangan suku Agni dan Boule73. Pedagang, misionaris, dan tentara dari Perancis mulai berdatangan setelah wilayah tersebut berada dalam protektorat yang dimanfaatkan oleh Perancis untuk memperluas kekuasaannya di Afrika sebagai respon untuk mengimbangi kekuatan Inggris, Jerman dan Portugal. Pada 1885, Inggris, Jerman, dan Perancis mengadakan pertemuan di Berlin untuk mengatur kekuasaan wilayah-wilayah di Afrika guna menghindari ketegangan antar negara-negara kolonial. Pascapertemuan di Berlin, Pantai Gading secara resmi menjadi koloni Perancis di Afrika Barat pada tahun 1893. Kolonialisasi Perancis di Pantai Gading mendapat perlawanan dari suku setempat akibat dari kebijakan kolonial yang dinilai merugikan penduduk setempat dan menyalahi perjanjian protektorat yang disepakati terdahulu74. Gambar III.1 Afrika Pasca-Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia
Sumber : French in Black Africa, h. 30
73 74
Francis McNamara, French in Black Africa, 23 Robert Pakenham, The Scramble of Africa (London: Abacus, 1990) , 776
38
Selama berjalannya kolonialisme di Pantai Gading, Perancis menerapkan kebijakan asimilasi dan asosiasi. Dalam kebijakan asimilasi, Perancis menerapkan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, menanamkan nilai-nilai kebudayaan Perancis di wilayah koloni, dan membentuk institusi hukum Perancis. Untuk mencegah adanya perlawanan penduduk lokal Perancis menerapkan kebijakan asosiasi yang mengizinkan hukum adat setempat selama tidak bertentangan dengan kepentingan Perancis dan memberlakukan pembedaan hukum untuk orang Perancis yang berkoloni dengan penduduk lokal75. Pada 1904, Pemerintah Republik ketiga Perancis76 berupaya melakukan sentralisasi terhadap koloni dengan membentuk Afrique Occidentale Française (AOF) atau Afrika Barat Perancis yang menjadi bagian dari Federasi Koloni Perancis. Pembentukan AOF juga dilatar belakangi oleh abolisi perbudakan yang diberlakukan. Berdirinya AOF memberikan kesamaan hak kepada penduduk yang tinggal di wilayah koloni untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis77. Saat terjadi Perang Dunia II, perubahan situasi politik di Eropa turut memengaruhi situasi politik Pantai Gading yang tergabung dalam AOF. Ketika Nazi Jerman menginvasi wilayah Perancis dan mendirikan Perancis yang beribukota di Vichy. AOF kemudian berada dalam situasi memilih bergabung dengan Perancis Vichy Nazi atau Perancis yang bebas dari
75
Nazi pimpinan
K.E. Robinson, “The Public Law of Overseas France since the War” Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 32, No. 3/4. (1950), 37 76 Perancis beberapa kali menganti sistem pemerintahan setelah masa Louis XVI, Perancis saat ini merupakan Republik ke lima 77 “Ivory Coast, Reform and French Community” diunduh pada 1 Juni 2014 dari (http://www.country-data.com/cgi-bin/query/r-6899.html )
39
Jenderal Charles De Gaulle, AOF kemudian memilih bergabung dengan Perancis Jenderal Charles De Gaulle. Pasca-Perang Dunia II, Republik Keempat Perancis di bawah kepemimpin Charles De Gaulle memberikan hak politik kepada penduduk koloni di Afrika karena dinilai loyal. Pemberian hak politik ini diikuti dengan pemberian tempat perwakilan dari wilayah koloni Afrika dalam parlemen Perancis78. Pemberian perwakilan di parlemen Perancis bagi wilayah koloni di Afrika disahkan dalam konstitusi baru yang disusun Republik Keempat Perancis pada pertemuan Brazzavile pada 1944. Pertemuan antara tokoh-tokoh Afrika dan Perancis di Brazzavile terjadi karena munculnya kebangkitan nasionalisme di kawasan Afrika Barat pasca-Perang Dunia kedua79. Pada 1956 Pemerintah Perancis di Paris mengesahkan Loi Cadre atau Overseas Reform Act yang memberikan hak daerah koloni untuk dipimpin oleh orang Afrika80. Sebelum regulasi ini disahkan, kawasan Afrika Barat Perancis dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh pemerintah pusat di Paris.
Setelah
pengesahan
Loi
Cadre
geliat
nasionalisme
dan
upaya
dekolonialisasi semakin gencar dan puncaknya terjadi pada 1960 ketika kawasan Federasi Afrika Barat Perancis berpisah dengan mendeklarasikan negara yang terpisah dari AOF, termasuk Pantai Gading.
78
Tomás Profant. “French geopolitic in Africa : from neocolonialism to identity”, Perspectives Vol. 18 no.1. (2010) 48 79 C. A. Julien, “From the French Empire to the French Union”, International Affairs Vol. 26, No. 4 (Oct., 1950) 488 80 Virginia Thompson dan Richard Adloff, French West Africa, (Standford University Press. 1958) 42
40
2. Periode Setelah Kemerdekaan dan Sebelum Konflik Sipil Kemerdekaan koloni-koloni Perancis di Afrika Barat, termasuk Pantai Gading, mengubah kebijakan kolonialisasi menjadi kerjasama (kooperasi) yang diterapkan Perancis. Meski Pantai Gading sudah merdeka, masih menggunakan sistem peninggalan Perancis, baik sistem hukum, ekonomi dan sosial. Warisan masa kolonial ini membuat Pantai Gading tetap akan terkait dengan Perancis. Keterlibatan Perancis di Pantai Gading setelah memperoleh kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dengan peran Presiden Felix Houphouët-Boigny. Saat Pantai Gading masih tergabung dengan OAF (Afrique Occidentale Française) pada masa Perancis dipimpin oleh Jenderal De Gaulle, Boigny sempat menduduki posisi penting seperti anggota Parlemen Perancis dan menjadi menteri dalam Pemerintahan Republik keempat Perancis. Boigny yang terdidik dalam budaya pendidikan Perancis, berpandangan Perancis sebagai bekas master koloni Pantai Gading merupakan mitra kerja sama yang strategis. Kesamaan bahasa dan hubungan sejarah peninggalan masa kolonial, menurut Boigny, menciptakan kedekatan emosional antara Perancis dan Pantai Gading81. Pandangan Boigny tersebut terwujud selama masa menjabatan Presiden dalam kerja sama antar kedua negara dan kemudahan regulasi yang disediakan untuk investor dari Perancis seperti tax holiday selama 5 tahun serta 10 tahun pembebasan bea masuk82. Saat menjadi Presiden Pantai Gading Boigny juga mendorong kerja sama regional dengan Perancis yakni Françafrique yang
81
Felix Houphouët-Boigny, “Black Africa and The French Union”, Foreign Affairs, (Juli 1957), 594 82 Abdul Hadi Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika, 68
41
dicetuskan Boigny untuk menggambarkan hubungan kekeluargaan antara Perancis dan Afrika. Hubungan ini dinilai Boigny sebagai modal dalam kerja sama antara Perancis dengan negara-negara di Afrika. Keterlibatan Perancis di bidang militer terlihat pada masa awal kemerdekaan. Pantai Gading di masa awal kemerdekaan belum memiliki angkatan bersenjata, untuk itu Perancis mengirimkan tentara yang memiliki status kelahiran Pantai Gading atas permintaan Presiden Boigny. Tentara yang dikirim ini menjadi inti dari batalion pertama di Pantai Gading dan berkembang hingga berjumlah 5.300 personel dalam empat batalion pada tahun 196283. Kemerdekaan Pantai Gading tidak diikuti dengan kedaulatan dalam bidang ekonomi. Aset-aset Perancis yang terdapat di Pantai Gading selama masa kolonial tidak mengalami nasionalisasi, sehingga menciptakan keadaan ketergantungan terhadap Perancis. Praktek monocrop84 peninggalan kolonial Perancis dan ketiadaan pabrik yang dapat mengolah kakao mentah hasil produksi dalam negeri memaksa hasil produksi untuk dikirim ke Perancis untuk diproses. Situasi ini menciptakan ketergantungan Pantai Gading terhadap Perancis85. Penerapan Franc Zone terhadap negara-negara eks-koloni Perancis di Afrika Barat termasuk Pantai Gading yang berdasar pada mata uang Perancis saat itu dengan maksud 83
Godsway Yao Sappor , “Neo-Colonialist ideas in Africa after Independence”, diunduh pada 10 Juni 2014dari (http://www.modernghana.com/news/201366/1/neo-colonialist-ideas-inafrica-after-independence.html) 84 Monocrop adalah praktek menanam tanaman perkebunan yang sama selama bertahun-tahun tanpa melakukan pengistirahatan lahan atau rotasi penanaman, praktek ini dapat berdampak pada penurunan produktivitas lahan dan ketergantungan atas satu hasil ekspor. diunduh pada 2 Juli 2014 dari (http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/monocrop) 85 “Colonialism and Its Legacy In Africa” diunduh pada 2 Juli 2014 dari (http://www.drtomoconnor.com/3160/3160lect02.htm )
42
mempermudah bantuan ekonomi, menciptakan situasi ketergantungan dari segi moneter. Kemerdekaan Pantai Gading diperoleh pada masa Perang Dingin, di mana persaingan antar ideologi kapitalis dan komunis terjadi di seluruh dunia. Hal ini berdampak pada kebijakan luar Negeri Perancis yang berorientasi untuk menjauhkan Pantai Gading dari pengaruh komunis. Jatuhnya Angola ke ideologi komunisme mengkhawatirkan Perancis yang berada di blok kapitalis terkait penyebaran pengaruh komunisme di kawasan Afrika dan keamanan kepentingan nasional di kawasan tersebut. Selama masa Perang Dingin, Perancis menempatkan negara-negara bekas koloni di Afrika sebagai Pré Carré atau Backyard sebagai bentuk upaya untuk menahan penyebaran pengaruh komunis dan menjaga pengaruh agar tetap kuat di negara-negara bekas jajahan. Kebijakan untuk menahan pengaruh komunis meluas ke Afrika Barat terlihat dalam tindakan menempatkan pangkalan militer di beberapa negara di Afrika Barat, termasuk Pantai Gading86. Pengaruh Perancis di Pantai Gading berlanjut pada era 1980-an. Pada dekade tersebut Perancis merupakan mitra dagang terbesar Pantai Gading seperti yang terlihat di tabel II. B. 1. Dalam dekade ini ada 50.000 orang Perancis berkerja di Pantai Gading dan hampir 70 persen dari modal manufaktur berasal dari Perancis. Meski menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik, namun secara ekonomi
86
Tony Chafer, “Chirac and ‘la Françafrique’: No Longer Family Affair”. Modern & Contemporary France. Vol. 13 No. 1 (2005) , 8
43
Pantai Gading sangat tergantung pada Perancis. Ketergantungan Pantai Gading atas Perancis di sektor-sektor vital bahkan masih berlanjut hingga kini87. Menurut Bruno Charbonneau :” ... In Côte d’Ivoire, the key sectors of cocoa exports and the growing oil industry are not in French hands, but French corporations (still) control vital sectors of the economy: telecommunications (France Telecom), banks (Société Générale, Crédit Lyonnais, BNP-Paribas), transportation (Air France; Groupe Bolloré through SAGA, SDV and Sitarail), water (Groupe Bouygues), and energy (electricity and hydrocarbons; involving Groupe Bouygues and Total...”88.
Tabel II. B. 1 Nilai Ekspor-Impor Pantai Gading 1988 (Dalam Juta Dollar Amerika) Negara
Ekspor
Impor
Perancis
527.7
511.0
Amerika Serikat
507.0
76.7
Jerman Barat
300.7
69.3
Italia
287.5
59.7
Belanda
192.1
87.3
Britania Raya 135.6 41.5 sumber: Côte d’Ivoire’s Principal Trading Partner 198589
Pada 1981, Mitterrand terpilih menjadi Presiden Perancis saat yang bersamaan Inggris dipimpin oleh Margaret Thatcher dan Amerika Serikat dipimpin oleh Ronald Reagan. Dalam masa ini bermulanya neoliberalisme dan pada masa ini keterlibatan Perancis di Pantai Gading mulai berkurang dan 87
Bruno Charbonneau, “The Imperial Legacy of International Peace Building : The Case of Francophone Africa”, Review of International Studies, Volume 40 Issue 03 (July 2014), 21 88 Bruno Charbonneau, “The Imperial Legacy of International Peace Building”, 23 89
diunduh pada 2 Juli 2014 dari (http://www.country-data.com/frd/cs/citoc.html#ci0021)
44
meningkatnya peran IMF dan World Bank sebagai rezim ekonomi internasional yang mulai membatasi Perancis dalam pemberian bantuan luar negeri. Pada era ini setiap bantuan Perancis harus melalui atau terasosiasi dengan IMF dan World Bank90. Keterlibatan Perancis di Pantai Gading mulai berkurang ketika terjadi krisis ekonomi akibat harga kakao di pasar internasional anjlok akibat dari resesi global. Bantuan Perancis ke Pantai Gading pada masa krisis ekonomi 1980-an harus melalui lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF. Dalam pemberian bantuan ekonomi IMF dan World Bank mengharuskan Pantai Gading untuk melakukan reformasi birokrasi di dalam pemerintahan, termasuk menjadikan Alassane Ouattara sebagai Perdana Menteri. Sebelumnya Ouattara adalah Deputi Manajer IMF. Pada tahun 1994, Perancis melakukan devaluasi91 mata uang kawasan Afrika Barat, CFA. Kebijakan ini diambil dengan tujuan untuk mempermudah pemberian bantuan kepada negara-negara CFA zone termasuk Pantai Gading yang tengah mengalami krisis92. Devaluasi CFA yang dirancang oleh Perdana Menteri Edouard Balladur merupakan upaya untuk mengurangi beban Perancis atas politik luar negeri yang dijalankan di Afrika. Saat pencanangannya, kebijakan ini sempat mendapat penolakan Boigny karena dianggap merugikan akibat berkurangnya nilai mata uang yang berlaku di Pantai Gading93.
90
Tomás Profant. “French geopolitic in Africa : from neocolonialism to identity”, 50 Devaluasi adalah reduksi atau pengurangan nilai mata uang secara resmi terhadap equivalensi emas atau nilai tukar relatif mata uang lain . diunduh pada 2 Juli 2014 dari (http://www.merriam-webster.com/dictionary/devaluation) 92 “The Fabric of Reform, Background”, diunduh pada 2 Juli 2014 dari (https://www.imf.org/external/pubs/ft/fabric/backgrnd.htm ) 93 Tony Chafer, “Chirac and ‘la Françafrique’: No Longer Family Affair”, 15 91
45
Ketika masa kepresidenan pertama Jaques Chirac ada perubahan kebijakan Perancis ke Pantai Gading. Pada periode pertama Chirac, ada upaya dari Lionel Jospin yang berasal dari Partai Sosialis untuk menghentikan peran Perancis sebagai “gendarme de l’Afrique” (Polisi Afrika) dan menerapakan doktrin “ni l’ingérance, ni l’indifférence”94(tidak campur tangan dan tidak acuh). Perubahan arah kebijakan luar negeri ini terlihat saat gejolak politik yang terjadi di Pantai Gading tahun 1998, akibat kudeta Henri Konan Bedié, ketika itu Perancis menggunakan militer hanya untuk mengamankan warga negara dan menjaga kepentingan nasional Perancis di Pantai Gading dan menerapkan sanksi dengan penghentian bantuan kemanusiaan95. Perdana Menteri Lionel Jospin selama masa jabatanya melakukan perubahan terkait kebijakan luar negeri di Afrika. Hal ini terlihat dengan dilakukan pengurangan militer di Afrika dalam upaya penghentian unilateralisme serta mengurangi beban Perancis atas kebijakan di Afrika dengan mengubah perjanjian keamananan. Jospin lebih mengedepankan Integrated Strategic Dialogue terkait penyelesaian permasalahan di Afrika dan membentuk RECAMP (Renforcements des Capacités Africaines de Maintien de la Paix)96. B.
Sikap dan Kebijakan Perancis terhadap Konflik di Pantai Gading Ketika konflik sipil mulai terjadi di Pantai Gading yang ditandai dengan
gagalnya upaya kudeta militer yang ingin menurunkan Presiden Laurent Gbagbo dari kekuasaan, Perancis mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan warga 94
Tomás Profant. “French geopolitic in Africa : from neocolonialism to identity”, 51 Rachel Utley, “‘Not to do less but to do better’ French Military Policy in Africa”, International Affairs Vol 1. (2002) 142 96 Rachel Utley, “‘Not to do less but to do better’ French Military Policy in Africa”, 136 95
46
negaranya dan beberapa ekspatriat lain. Tindakan Perancis untuk mengamankan warga negaranya di Pantai Gading berdasar pada kesepakatan keamanan antara kedua negara. Pemerintah Perancis dalam ketegangan politik yang terjadi di Pantai Gading sejak kudeta militer Jenderal Gueï, bersikap netral di antara pihak-pihak yang bertikai. Sikap netral pemerintah Perancis terjadi akibat pada saat kudeta dilakukan oleh Gueï, Pemerintahan Perancis sedang dalam keadaan cohabitation97 yang menyebabkan Chirac tidak dapat mengintervensi kudeta karena ditolak oleh Perdana Menteri Jospin. Ketika Laurent Gbagbo meminta bantuan Perancis untuk menangani kelompok pemberontak yang diduga terkait kekuatan di luar Pantai Gading seperti Libia, Burkina Faso, dan Liberia. Permintaan ini tidak ditanggapi oleh Perancis karena pemerintahan Gbagbo dianggap menjalankan pemerintahan yang xenophobic dengan penerapan konsep ivoirité dan kelompok paramiliter yang mendukung Gbagbo dinilai melakukan pelanggaran HAM selama pertikaian98. Pada Desember 2000, Jaques Chirac lebih memilih untuk menawarkan bantuan 800 juta Franc untuk penyelenggaraan Pemilu daripada bantuan militer untuk pemerintahan Gbagbo melawan pemberontakan. Juni 2001, Presiden Gbagbo melakukan kunjungan diplomatik ke Perancis selama satu minggu untuk
97
Cohabitation adalah keadaan ketika partai yang menjadi mayoritas di parlemen bukan merupakan partai dari presiden yang sedang memerintah, situasi ini menjadikan presiden memilih perdana menteri yang berasal dari partai mayoritas parlemen. Situasi seperti ini terjadi beberapa kali di Perancis pada masa Republik ke-lima. Diunduh pada 12 Juli 2014 dari (http://www.larousse.fr/dictionnaires/francais/cohabitation/17010) 98 Maja Bovcon, “France’s conflict resolution strategy in Cote Ivoire and it’s implications”, African Studies Quaterly, Vol. 11 Issue 1. (2009) 13
47
meminta bantuan Perancis, kunjungan tersebut ditanggapi dingin oleh Perancis melalui Menteri Luar Negeri Védrine pada Juli 2001, yang mengatakan tidak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan dalam negeri Pantai Gading99. Sikap Perancis dalam pemerintahan Jaques Chirac terkait konflik sipil ini berubah ketika pesawat Sukhoi milik Pantai Gading menyerang pangkalan militer Perancis di Abidjan. Jaques Chirac memerintahkan untuk melakukan serangan balasan atas serangan tersebut, meski pihak Gbagbo menyatakan serangan tersebut adalah kecelakaan dan ketidaksengajaan100. Pada tahun 2002, ketika situasi keamanan semakin tidak menentu dan perpecahan antara wilayah utara dan selatan terjadi di Pantai Gading, Pasukan Licorne ditempatkan oleh Pemerintah Perancis bersama pasukan penjaga perdamaian PBB di kawasan buffer zone yang membagi dua wilayah Pantai Gading guna mengurangi korban akibat konflik yang sedang berlangsung. Melihat situasi di Pantai Gading yang semakin tidak terkendali dan meningkatnya korban sipil, Pemerintah Perancis pimpinan Jacques Chirac bersama ECOWAS dan Uni Afrika menginisiasi pertemuan Linas-Marcoussis101. Pertemuan ini dilaksanakan untuk mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dan menghasilkan langkah pertama menuju perdamaian konflik Pantai Gading tahun 2002.
99
Maja Bovcon, “France’s conflict resolution strategy in Cote Ivoire and it’s implications”, 14 “Ivory Coast seethes after attack” diunduh pada 30 Agustus 2014 dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3989127.stm 101 Maja Bovcon, “France’s conflict resolution strategy in Cote Ivoire and it’s implications”, 15 100
48
C. Dukungan Perancis atas Intervensi PBB di Pantai Gading Tahun 2011 Ketika konflik pascapemilu yang terjadi tahun 2010, Perancis Nicolas Sarkozy sedang melakukan operasi militer bersama NATO terkait misi no fly zone di Libya. Situasi keamanan kawasan Timur Tengah dan Afrika yang sedang mengalami gejolak politik, operasi militer yang sedang berlangsung di Libya saat itu, dan situasi ekonomi Eropa yang sedang dalam keadaan krisis, menyebabkan Pemerintahan Sarkozy berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait situasi di Pantai Gading. Saat pemilu di Pantai Gading berakhir dan muncul klaim ganda oleh Gbagbo dan Ouattara, Pemerintah Perancis mengakui kemenangan Ouattara seperti yang diakui PBB dan Uni Afrika. Sikap Pemerintah Perancis dan PBB ditanggapi dingin oleh Laurent Gbagbo dengan tidak mau turun dari jabatan Presiden yang berujung pada kembalinya Pantai Gading dan situasi konflik. Pada awal konflik, pascapemilu Pantai Gading tahun 2010, Presiden Sarkozy dan Menteri Pertahanan Alain Jupeé tidak ingin menggunakan kekuatan militer Perancis untuk melakukan intervensi. Pasukan Perancis yang tergabung dalam operasi Licorne hanya ditugaskan untuk melindungi warga negara Perancis serta menjadi komplementer pasukan UNOCI sesuai mandat DKPBB pada Resolusi No. 1572 tahun 2004. Menteri Urusan Kerja sama Perancis, Henri de Raincourt menyatakan“France is not calling for and has never called for a resort to armed force.” dan Alain Jupeé dalam pertemuannya dengan Ban Ki-Moon
49
pada 7 Februari 2011 menyatakan sanksi ekonomi merupakan langkah yang paling tepat untuk menekan Gbagbo102. Sikap Perancis untuk tidak menggunakan intervensi militer dan mengutamakan sanksi ekonomi berubah, ketika Laurent Gbagbo tetap menolak turun dari jabatan presiden yang diikuti tindakan ofensif terhadap penduduk sipil. Pembantaian yang terjadi di Duékoué ditanggapi oleh komunitas internasional khususnya Perancis dan Nigeria, selaku Ketua Uni Afrika saat itu, dengan merancang dan mensponsori resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1975 pada Maret 2011. Resolusi ini memberikan mandat kepada UNOCI dan Force Licorne kewenangan lebih luas dari mandat sebelumnya yang terbatas pada menjaga buffer zone menjadi tindakan coersive kepada Gbagbo103. Menindaklanjuti resolusi yang dikeluarkan DK PBB No. 1975, militer Perancis dalam Force Licorne menyerang pangkalan udara di Abidjan pada April 2011. Pangkalan udara Abidjan merupakan basis kekuatan pendukung Gbagbo yang terdapat senjata berat yang digunakan untuk menyerang penduduk sipil. Tindakan ini menandai awal intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. Setelah penyerbuan di pangkalan udara Abidjan, Perancis dan pasukan UNOCI meneruskan serangan ke kediaman Laurent Gbagbo dengan tujuan
102
“Cote d'Ivoire: Briefing on roles of USA, France” diunduh pada 15 Mei 2014 dari (www.irinnews.org/report/91921/cote-d-ivoire-briefing-on-roles) 103 Security Council Resolution no. 1975 (Maret 2011).
50
menangkap serta menurunkannya dari jabatan Presiden Pantai Gading104. Tindakan Perancis yang meski berada dibawah mandat resolusi DKPBB No. 1975, dinilai menyalahi prinsip-prinsip intervensi, terutama terkait imparsialitas. Pada intervensi tahun 2011 di Pantai Gading, Perancis dengan jelas melakukan keberpihakan terhadap Alassane Ouattara dan milisi pendukungnya.
104
“U.N., French attack Gbagbo heavy weapons in Ivory Coast” diunduh pada 30 Agustus 2014dari (http://www.reuters.com/article/2011/04/10/us-ivorycoastidUSTRE73014Z20110410 )
51
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2011
Bab ini menjabarkan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading. Persoalan imigran, keamanan nasional, kondisi perekonomian regional, dan kaitan sejarah menjadi faktor domestik dalam melakukan intervensi. Sedangkan, pengaruh negara lain dan permasalahan global menjadi faktor determinasi eksternal Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. A. Faktor Internal Intervensi Perancis ke Pantai Gading Keadaan domestik Perancis merupakan salah satu faktor yang mendorong Perancis untuk melakukan intervensi ke Pantai Gading. Kebutuhan sosio-ekonomi dan keamanan, atribut nasional, opini publik, partai politik, dan kepemimpinan Nicolas Sarkozy merupakan faktor-faktor domestik yang mendorong Perancis untuk melakukan tindakan militer untuk mengintervensi konflik yang terjadi. 1. Kebutuhan Sosio-Ekonomi dan Keamanan Sosial Perancis memiliki jumlah penduduk terbesar di antara negara Uni Eropa dan Eropa Barat. Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat akibat peningkatan kelahiran juga ditambah oleh peningkatan jumlah imigran yang datang. Fenomena imigran yang datang ke Perancis sudah terjadi sejak abad ke-
52
17. Industrialisasi yang terjadi Eropa membuat imigran datang ke Perancis untuk kepentingan tenaga kerja. PascaPerang Dunia I, Perancis mulai menjadi negara tujuan imigran untuk mencari pekerjaan. Faktor keterkaitan kolonial juga menjadikan Perancis sebagai destinasi imigran dari daerah koloni Magrib dan Sub-Sahara105. Imigran merupakan salah satu isu yang krusial dalam politik domestik Perancis. Pada tahun 2010, tercatat 8,6 persen penduduk merupakan imigran106. Angka pengangguran yang tinggi dan tindakan kriminal yang didominasi oleh kaum imigran menjadikan isu imigran menjadi permasalahan dalam negeri Perancis. Kaum imigran yang datang, kebanyakan berasal dari negara yang memiliki kaitan historis dengan Perancis dan memiliki situasi konfliktual di negara asalnya107. Persaingan antara penduduk asli dan imigran dalam lapangan kerja menimbulkan xenophobia terhadap kaum imigran di Perancis. Upah lebih rendah yang diterima oleh pekerja imigran menjadikan pengusaha lebih memilih mempekerjakan imigran ketimbang penduduk lokal, hal ini menciptakan
105
Marcus Engles, “Focus Migration : France”, diunduh pada 21 November 2014 dari ( http://focus-migration.hwwi.de/France.1231.0.html?&L=1) 106 Institut National de la Statistique des Etudes Économiques, “Évolution de la part des populations étrangères et immigrées jusqu'en 2011” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.insee.fr/fr/themes/tableau.asp?reg_id=0&ref_id=NATTEF02131) 107 “Qui et combien ?, Histoire et origine et Vie familiale”, Les Immigrés en France, (2005) diunduh pada 22 November 2014 dari (http://www.insee.fr/fr/themes/document.asp?reg_id=0&id=2442 44)
53
kebencian antara penduduk lokal dan imigran akibat perebutan lapangan pekerjaan108. Pergeseran nilai-nilai Eropa di Perancis akibat peningkatan jumlah imigran termasuk salah satu masalah yang terkait dengan dinamika isu imigran. Proses integrasi imigran mengalami hambatan dikarenakan ada perbedaan budaya antara negara asal imigran dengan budaya Eropa. Keberadaan imigran dipandang sebagai entitas yang menggeser nilai-nilai judeo-kristian Eropa karena masih menerapkan nilai-nilai budaya dari negara asal109. Konflik yang terjadi di Pantai Gading memunculkan gelombang pengungsi yang ingin keluar dari daerah konflik. Gelombang pengungsi ini pada awal masa konflik bergerak dari Pantai Gading ke negara-negara tetangga yang lebih aman, seperti Burkina Faso dan Liberia, yang secara politik juga termasuk negara rawan konflik. Namun, situasi yang semakin kompleks dan memakan korban sipil lebih banyak akan mengakibatkan gelombang pengungsi yang makin besar sehingga membuat pengungsi mencari tempat pengungsian yang lebih aman untuk jangka waktu yang lebih lama. Kedekatan historis, budaya dan bahasa menjadikan Perancis pilihan rasional untuk tempat pengungsian. Pada tahun 2011, menurut data Eurostat, Perancis merupakan negara tujuan utama pencari suaka di Eropa dengan 14.300 pencari suaka. Peningkatan pencari suaka dari Pantai Gading terjadi secara signifikan diawal 2011, di mana 108
John e. Roemer and Karine van Der Straeten,” Xenophobia and The Size of The public Sector in France: a Politico-Economic Analysis”, Cowles Foundation Paper no. 1164, Yale University (2006), 100 109 Jocelyne Cesari “Islam in France: The Shaping of a Religious Minority,” dalam Yvonne Yazbek Haddad, ed., Muslims in the West, from Sojourners to Citizens(Oxford University Press, 2002), 41
54
Perancis menjadi negara tujuan utama pencari suaka dari Pantai Gading110. Data ini menjelaskan bahwa konflik di Pantai Gading berdampak pada gelombang pencari suaka di Perancis. Selain gelombang pencari suaka dari Pantai Gading, konflik ini juga dapat meningkatkan potensi Perancis sebagai negara tujuan imigran dari Afrika Barat. Hal ini disebabkan pada masa sebelum konflik, Pantai Gading sangat terbuka untuk imigran dari negara-negara Afrika Barat karena kebijakan pada masa Presiden Boigny untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan111. Selama konflik berkecamuk di Pantai Gading, imigran dari negara-negara Afrika Barat dipandang oleh kelompok pro-Gbagbo sebagai kelompok pendukung Ouattara. Posisi politik imigran dari Afrika Barat di Pantai Gading selama konflik menyebabkan berkurangnya arus imigrasi. Situasi keamanan kawasan Afrika Barat yang fluktuatif juga mendorong arus pencari suaka ke Eropa. Gelombang imigran pencari suaka dari Pantai Gading dan negara Afrika Barat ini akan menambah beban pemerintah Perancis yang sedang menghadapi krisis ekonomi di zona Euro. Hal ini yang menjadi salah satu faktor pendukung Pemerintah Perancis untuk melakukan intervensi militer ke Pantai Gading agar konflik tidak berkepanjangan yang dapat mengakibatkan terjadinya gelombang imigran.
110 111
Piotr Juchno dan Alexandros Bitoulas, Statistics in Focus, (Eurostat,2011) , 9 Bonnie Campbell , “The Ivory Coast” , dalam John Dunn ed., West African States : Failure and Promise (Cambridge University Press, 2008), 102
55
Ekonomi Pascakrisis zona Euro yang melanda Eropa, Perancis pada tahun 2010 dan 2011, dalam masa pemulihan pascakrisis112. Penggiatan kembali industri merupakan salah satu pilihan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi pascakrisis. Perancis sebagai salah satu negara penghasil dan eksportir senjata terbesar di dunia, dapat memanfaatkan dinamika yang terjadi di Pantai Gading dalam upaya menggiatkan kembali industri senjata dalam negeri. Pada awal 2000an, Perancis merupakan penyedia utama senjata ke kawasan Afrika. Namun, eskalasi peran Tiongkok dan Rusia di Afrika semakin mengurangi dominasi suplai senjata oleh Perancis yang berdampak pada penurunan produktivitas industri senjata dalam negeri Perancis113. Situasi krisis zona Euro yang berdampak defisit pertumbuhan ekonomi Perancis pada 2009, memaksa Perancis untuk menggiatkan industri senjata. Laurent Gbagbo muncul dengan kebijakan yang tidak ingin lagi terikat dengan Perancis selaku bekas master koloni dan memandang Perancis sebagai entitas asing yang ingin menjalankan kebijakan neo-kolonialisme di Pantai Gading. Cara pandang Gbagbo terhadap Perancis menyebabkan peralihan mitra dalam penyediaan senjata di Pantai Gading114. Pandangan politik Gbagbo yang lebih dekat dengan kelompok sosialis membawa kedekatan Pantai Gading ke
112
Evan Gruver, Austerity : The Answer to Europe’s Crisis (2012), 26 “New Ways to Play An Old Song” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.economist.com/news/middle-east-and-africa/21591205-french-soldiers-onceagain-their-way-south-how-much-has-changed) 114 Berouk Mesfin, “Only a Folie de Grandeur ? Understanding French Policy in Africa”, African Security Review, vol 17 no.1 (2008) ,118 113
56
negara-negara sosialis dan menjadikan Tiongkok sebagai mitra utama dalam perdagangan senjata115, menggantikan Perancis sebagai penyedia utama senjata. Selain dari upaya penggiatan industri senjata, angka atau jumlah investasi Perancis di Pantai Gading besar. Perancis hingga 2012, menguasai lebih dari 50 persen dari kegiatan berbagai sektor perekonomian di Pantai Gading116. Gbagbo yang memiliki kecenderungan berpihak kepada negara-negara sosialis dipandang dapat menggangu kepentingan Perancis di Pantai Gading, meski di wilayah utara Pantai Gading selama konflik dikuasai oleh milisi pro-Ouattara, namun akses transfortasi vital yaitu pelabuhan di Abidjan dikuasai oleh Pemerintahan Gbagbo117. Hal lain yang dapat menjadi faktor determinan intervensi ke Pantai Gading adalah pemberian sanksi ekonomi oleh Uni Eropa terhadap Pantai Gading. Kebijakan Uni Eropa untuk memberikan sanksi ekonomi kepada Pantai Gading disebabkan adanya indikasi pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil. Selama berlaku sanksi ekonomi ini, Pantai Gading tidak dapat melakukan aktivitas perdagangan dengan negara-negara UE. Tindakan ini membawa dampak buruk tidak hanya bagi perekonomian Pantai Gading, tapi juga negara UE yang bergantung pada komoditas yang berasal dari Pantai Gading118.
115
David H. Shinn , “Chinese Involvement in African Conflict Zones”, China brief , vol. IX no. 7 (2009), 8 116 Berouk Mesfin, “Only a Folie de Grandeur ? Understanding French Policy in Africa” h.118 117 Explo Nani-Kofi, “Crisis in Cote d’Ivoire: history, interest, and parallels”, dalam Firoze Manji dan Sokari Ekine ed., African Awakening : The Emerging Revolution (Oxford : Pambazuka Press, 2012),.40 118 Nicolas Cook, Cote d’Ivoire Post Election Crisis, (Congressional Research service, 2011), 15
57
Kakao dan kopi sebagai komoditas unggulan Pantai Gading menempatkan negara UE, termasuk Perancis, sebagai negara importir119. Bagi Perancis yang sedang terjebak dalam krisis ekonomi zona Euro dan mengalami defisit pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009, sanksi UE atas Pantai Gading memberikan polemik dari segi perekonomian domestik, dimana 25 persen impor kakao Perancis berasal dari Pantai Gading120. Namun, konflik yang membawa kepada pemberian sanksi UE menghambat suplai komoditas kakao dan memberi dampak kepada pasar dalam negeri Perancis. Jumlah investasi dan ekpatriat Perancis merupakan yang terbesar di Pantai Gading dibanding dari negara lain121. Situasi ini menjadikan Perancis menaruh perhatian lebih akan keberadaan investasi dan warga negara-nya di Pantai Gading. Keamanan yang tidak menentu akibat krisis pascapemilu secara langsung menganggu kepentingan nasional Perancis. Situasi yang semakin kacau di Pantai Gading selain dapat menghambat investasi Perancis juga dapat membuat ekpatriat yang berkerja di Pantai Gading kembali ke Perancis. Kepulangan ekpatriat ketika iklim ekonomi UE yang sedang mengalami krisis dan angka pengangguran yang tinggi di kawasan tersebut hanya akan menambah beban pemerintah yang sedang berjuang terlepas dari dinamika perekonomian kawasan.
119
European Union, Trade in goods with Ivory Coast, ( European Commission, 2013) diunduh pad 20 November 2014 dari (http://trade.ec.europa.eu/doclib/cfm/doclib_section.cfm?sec=148&langId=EN) 120 “OEC: Cote d'Ivoire (CIV) Profile of Exports, Imports and Trade Partners” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://atlas.media.mit.edu/profile/country/civ/) 121 “France and Côte d’Ivoire” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://www.ambafrance-uk.org/France-and-Cote-d-Ivoire)
58
Sebaliknya, situasi yang kondusif di Pantai Gading akan sangat menguntungkan bagi negara-negara UE, khususnya Perancis. Perekonomian di Eropa yang sedang mengalami krisis, mengharuskan Perancis memaksimalkan investasi atau mencari tempat berinvestasi di luar kawasan Eropa. Kondisi Pantai Gading yang kondusif akan memberikan Perancis opsi tempat investasi yang memudahkan dan mengurangi pengangguran di dalam negeri. Asumsi ini terbukti. Pascakonflik di Pantai Gading, jumlah warga negara Perancis di negara tersebut meningkat, kondisi perekonomian, sulit mencari pekerjaan di Eropa, dan kesamaan dalam bahasa menjadikan alasan warga negara Perancis memilih berkerja dan berinvestasi di Pantai Gading122. Keamanan Isu imigran memiliki kaitan dengan keamanan domestik suatu negara. Persaingan dalam pencarian lapangan kerja antara imigran dengan penduduk asli , ketidakmampuan negara tujuan dalam mencukupi kebutuhan para imigran sering mengarahkan imigran ke tindakan-tindakan kriminal, dan perbedaan nilai dan norma antara imigran dengan penduduk lokal dapat mengakibatkan konflik komunal. Setelah peristiwa 9/11, kelompok imigran dari Afrika, Timur Tengah dan Asia di Perancis mengalami tekanan terkait isu Islamophobia123 dan xenophobia.
122
“Europeans Seek Opportunities in Ex-colonies” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.aljazeera.com/video/africa/2012/06/2012627145952154336.html) 123 Istilah "Islamophobia" pertama kali diperkenalkan sebagai konsep dalam Laporan Runnymede Trust 1991 dan didefinisikan sebagai " permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam, dan karena itu takut atau tidak suka dari semua atau sebagian besar umat Islam." Istilah ini diciptakan dalam konteks umat Islam di Inggris pada khususnya dan Eropa pada
59
Fenomena ini menyebabkan kelompok imigran sering mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, akibat perilaku diskriminasi rasial oleh korporasi yang memilih memperkerjakan penduduk asli. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dari kelompok imigran yang juga meningkatkan tingkat kriminalitas. Fenomena serupa terjadi di Perancis, tidak hanya pada imigran muslim juga kelompok imigran dari Sub-Sahara124. Imigran dari Sub-Sahara yang datang ke Perancis dan pencari suaka akibat konflik yang terjadi di Pantai Gading mayoritas beragama Islam. Kedatangan semakin banyak imigran Muslim ini akan menghambat upaya sekularisasi Perancis yang dijalankan oleh Nicolas Sarkozy dan menekan konflik akibat xenophobia yang terjadi di Perancis akibat semakin banyak pertumbuhan imigran Muslim125. Konflik pascapemilu yang terjadi di Pantai Gading menyebabkan peningkatan jumlah imigran pencari suaka dari Afrika Barat 126. Penambahan jumlah pencari suaka akan menambah beban Pemerintah Perancis dalam bidang keamanan, setelah banyak gangguan keamanan akibat protes terkait kebijakan pengetatan anggaran dalam negeri akibat dari krisis zona Euro.
umumnya, dan dirumuskan berdasarkan lebih umum kerangka "xenophobia". Diunduh dari (http://crg.berkeley.edu/content/islamophobia/defining-islamophobia) 124 John e. Roemer and Karine van Der Straeten,” Xenophobia and The Size of The public Sector in France: a Politico-Economic Analysis”, Cowles Foundation Paper no. 1164, Yale University (2006), 98 125 Julie M. Claire, Secular and Indivisible ?: Laïcité, Islam and French State, (Washington D.C.: American University,2011), 28 126 Piotr Juchno dan Alexandros Bitoulas, Statistics in Focus, (Eurostat,2011) , 7
60
Intervensi Perancis ke Pantai Gading juga terkait pada kebutuhan keamanan, sosial dan ekonomi Perancis. Hal ini menjadi salah satu faktor determinasi Perancis dalam melakukan intervensi militer ke Pantai Gading. 2. Atribut Nasional Peran Perancis sebagai Gendarme d’Afrique (Polisi Afrika) Hubungan antara Pantai Gading dan Perancis sudah terjadi dari abad kelimabelas, akibat kolonialisme yang dijalankan Perancis di Afrika, maka Perancis tidak bisa lepas dari situasi politik yang terjadi di Afrika. Setelah masa kolonial, keterlibatan Perancis di negera-negara bekas koloni di Afrika, termasuk Pantai Gading, pada masa Perang Dingin adalah untuk menghindari pengaruh komunisme yang dinilai berbahaya, sehingga Perancis menempatkan diri sebagai Gendarme d’Afrique (Polisi Afrika)127. Negara-negara di Afrika yang secara institusi politik belum kuat dan tingginya konflik komunal yang terjadi, menjadikan negara-negara di Afrika sering kali terjebak dalam pusaran konflik bersenjata yang menelan banyak korban jiwa. Kenyataan ini menyebabkan harus ada negara yang memiliki kapasitas untuk menghentikan konflik yang terjadi. Perancis yang memiliki hubungan historis panjang dengan negara-negara di Afrika, beberapa kali terlibat dalam konflik sebagai Gendarme d’Afrique. Meski pascaPerang Dingin, Perancis mencoba untuk mengurangi peran dan intervensi di Afrika, kenyataan bahwa
127
Tony Chafer, “Chirac and ‘la Françafrique’: No Longer Family Affair”. Modern & Contemporary France. Vol. 13 No. 1 (2005) , 8
61
tidak bisa lepasnya Afrika dari pengaruh Perancis terutama dalam masalah penghentian konflik, terlepas dari jumlah kepentingan Perancis di Afrika128. Konflik
pascapemilu di Pantai Gading tahun 2010. Mengakibatkan
terjadinya eskalasi kekerasan dan jumlah korban sipil. Fenomena ini memancing perhatian komunitas internasional untuk mengambil tindakan atas pertikaian yang terjadi. Saat permulaan pertikaian terjadi ECOWAS dan Uni Afrika mencoba melakukan mediasi untuk menghentikan konflik, namun tidak berhasil129. Saat memasuki tahun 2011 PBB meningkatkan peran UNOCI sebagai pasukan penjaga perdamaian di Pantai Gading, tapi tidak berhasil menghentikan krisis akibat kapabilitas militer yang tidak memadai130. Pada April 2011, Perancis dan Nigeria menyeponsori resolusi DK PBB no. 1975 untuk melakukan intervensi ke Pantai Gading131. Tindakan untuk mensponsori DK PBB No. 1975 memperlihatkan bahwa Perancis tidak bisa lepas dari keterkaitan historis dengan negara-negara di Afrika. Posisi sebagai Gendarme d’Afrique menjadikan Perancis mitra penting negara-negara Afrika, terutama bekas jajahannya, di saat perang dan damai.
128
Peter J. Schnaeder, “New Direction in Francophone West African Policies”, dalam Gilbert M. Khadiagala dan Terrence Lyons ed., African Foreign Policy : Power and Process, (Colorado : Lynee Rienner Publisher, 2001), 42 129 Eunice Dadson, “Examining the Role of Third-Party Mediation in Cote d’Ivoire’s Conflict: Peacemakers or Spoilers?”, KAIPTC Paper No. 24, (2008), 19 130 Kwesi Aning dan Naila Salihu, “The Protection of Civilians in Peace Support Operations:Lessons from Côte d’Ivoire”,Conflict trends, (2012), 29 131 Bruce Crumley “Anatomy of an Intervention: Why France Joined the U.N. Action in Abidjan”. Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2063613,00.html)
62
3. Opini Publik Tahun 2012 adalah tahun terakhir masa jabatan Sarkozy, sebelum mengikuti kembali pemilihan presiden. Menjelang pemilu, kepopuleran seorang tokoh publik merupakan hal yang penting terutama bagi tokoh yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan. Jabatan presiden yang sedang diemban Sarkozy, memberikan keuntungan dikarenakan Sarkozy dapat menggunakan kebijakan pemerintahan sebagai alat untuk mendapatkan simpati publik menjelang pemilihan presiden. Krisis ekonomi yang sedang dialami oleh negara-negara dalam zona Euro terjadi pada masa Pemerintahan Sarkozy. Permasalahan ekonomi regional ini memaksa negara-negara di zona Euro untuk melakukan kebijakan budget austerity (penyederhanaan anggaran) yang berdampak pada peningkatan usia pensiun dan pengetatan anggaran pada sektor-sektor publik. Peristiwa ini berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik kepada pemerintah132. Menjelang pemilihan presiden, isu intervensi kemanusiaan sering kali digunakan oleh pemerintah
untuk
mendapat
simpati
publik. Tindakan
menggunakan intervensi kemanusiaan sebagai instrumen untuk meningkatkan popularitas bukan hal baru dalam politik Perancis. Sebelum Sarkozy, upaya meningkatkan popularitas di dalam negeri dengan instrumen politik luar negeri sudah pernah digunakan Jacques Chirac saat melakukan intervensi ke Afghanistan bersama Amerika Serikat untuk melawan teroris. Pada saat itu Chirac dinilai publik Perancis berupaya menjaga keamanan warga negara serta turut aktif
132
Viljar Veebel, Raul Markus,”Why and How Supranational Institutions Became Central Stakeholders in The Eurozone Debt Crisis 2008–2012?”, Baltic Journal of Political Science, No 2 (2013), 63
63
menjaga keamanan global yang terancam pascaperistiwa 9/11. Tindakan ini menuai simpati publik133. Tindakan Perancis ke Pantai Gading pada 2011, juga dapat menjadi upaya Sarkozy untuk menarik kembali simpati publik setelah tindakan yang cenderung berpihak kepada Presiden Tunisia Zain al-Abidin bin Ali oleh Menteri luar negeri Perancis saat itu, Michélle Alliot Marie, karena memberikan bantuan kepada Bin Ali yang dinilai publik sebagai pemimpin represif134. Tindakan mengirimkan pasukan Licorne ke Pantai Gading untuk menghentikan Gbagbo yang dipandang sebagai pemimpin otoriter dapat menjadi cara Sarkozy menuai kembali simpati publik setelah tindakan Alliot Marie135. Pada intervensi militer ke Pantai Gading dapat menjadi momen Sarkozy untuk mengalihkan pandangan publik atas kebijakan budget austerity yang mendapat penolakan dan tidak populer, kepada kebijakan luar negeri yang berani menjaga kepentingan nasional di luar negeri serta berhasil menghentikan konflik di Afrika Francophone. Meski kemudian terbukti bahwa isu krisis di zona Euro lebih berpengaruh pada opini publik Perancis pada pemilihan umum 2012 yang dimenangkan François Hollande dari Partai Sosialis.
133
Irene Marchi, Multilatéralisme, légitimité, union, obligation: analysing Chirac’s discourse legitimisation on the Afghanistan and Iraq interventions 2013, diunduh pada 20 November 2014 dari (https://www.academia.edu/6443390/Multilat%C3%A9ralisme_l%C3%A9gitimit%C3% A9_union_obligation_analysing_Chirac_s_discourse_legitimisation_on_the_Afghanistan _and_Iraq_interventions), 9 134 Susi Dennison, dkk, After The Revolution: Europe and The Transition in Tunisia, (European Councilon Foreign Relations, 2011), 6 135 “Sarkozy's micro-managed intervention in Ivory Coast could win votes” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.theguardian.com/world/2011/apr/11/sarkozy-ivorycoast-vote-winner)
64
4. Partai Politik Pada saat terpilih menjadi Presiden Perancis pada tahun 2007, Nicolas Sarkozy diusung oleh UMP, Union pour un Mouvement Populaire (Union for Popular Movement) . Partai dengan haluan nasionalis-Gaulis ini merupakan partai kanan tengah dalam politik domestik Perancis. UMP dalam Charte des Valeurs (piagam nilai-nilai partai) menegaskan visi internasional untuk memperluas pengaruh Perancis di negara-negara francophonie136. “...France has no vocation to live folded in on itself. It must assume its international vocation, to defend its interests and promote its values. The influence of France in the world through unwavering support to the Francophonie and culture, and by continuous diplomatic and military efforts, consistent with the responsibilities of our country in the world and its permanent member of the Council position UN security...”137.
Visi internasional dari UMP dapat dipandang sebagai upaya Perancis untuk melakukan neo-kolonialisme di negara-negara Francophonie. Pandangan ini dapat melemahkan posisi UMP dalam opini publik dan dimanfaatkan oleh lawan politik, terutama Partai Sosialis yang merupakan partai oposisi. Parti Socialiste atau Partai Sosialis Perancis merupakan partai kiri tengah dalam Pemerintahan Perancis dan oposisi dalam pemerintahan Perancis 138. Posisi Partai Sosialis sebagai partai dengan anggota kedua terbanyak di parlemen setelah UMP, menjadikan posisi PS sebagai oposan paling berpengaruh. Partai Sosialis
136
“Union Pour Un Mouvement Populaire: La charte des valeurs” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://www.u-m-p.org/notre-parti/nos-valeurs) 137 “Union Pour Un Mouvement Populaire: La charte des valeurs” 138 “Charte éthique du Parti socialiste” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://www.parti-socialiste.fr/la-charte-ethique-du-parti-socialiste)
65
Perancis memiliki hubungan dekat dengan Gbagbo, beberapa politisi dari Partai Sosialis Perancis seperti Lionel Jospin dan Michel Rocard139. Pada saat terjadi konflik di Pantai Gading, UMP sedang berperan sebagai partai pemerintah. PS yang memiliki kencenderungan berpihak kepada Laurent Gbagbo, dapat menjadi salah satu faktor determinasi Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading sebagai bentuk kebijakan yang menunjukan bahwa UMP mempunyai sikap yang bertentangan dengan PS dalam kebijakan luar negeri Perancis. 5. Kepemimpinan Nicolas Sarkozy Faktor Kepimpinan Nicolas Sarkozy sebagai stake holder juga menjadi faktor determinan dalam tindakan intervensi ke Pantai Gading. Nicolas Sarkozy sebagai Presiden Perancis merupakan aktor paling penting dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri Perancis. Kepentingan Sarkozy sebagai individu akan memengaruhi kebijakan yang akan diambil. Pandangan politik Sarkozy sebagai Presiden akan memengaruhi kebijakan luar negeri yang dijalankan. Nicolas Sarkozy merupakan seorang politisi kanan tengah yang berasas Gaullisme. Selama beraktivitas dalam kegiatan politik Sarkozy bergabung di partai-partai yang berasas Gaullisme, RPR (Rassemblement pour la République) dan kemudian bergabung ke UMP yang membawa Sarkozy menjadi presiden140. Pemikiran politik Gaullisme memiliki pandangan dalam politik luar negeri Perancis yang harus menjaga pengaruh atas koloni dan menjadi 139 140
Daniel Chirot. "The debacle in Côte d'Ivoire." Journal of Democracy, vol17 no 2 (2006) , 71 “Biographie de NicolasSarkozy” diunduh tanggal 16 November 2014 dari (http://www.amisdenicolassarkozy.fr/article/biographie)
66
negara yang mandiri. Pandangan ini dapat menjadi pembenaran atas langkah Sarkozy untuk memperlihatkan pengaruh Perancis di Afrika Barat, terutama Pantai Gading. Berbeda dengan Chales de Gaulle yang keluar dari komando tunggal NATO karena ingin keluar dari pengaruh Amerika Serikat, Sarkozy kembali menempatkan Perancis sebagai anggota penuh NATO dan mengeluarkan Buku Putih Pertahanan Perancis yang menjelaskan visi kebijakan luar negeri Perancis141. Hal ini memperlihatkan bahwa pribadi Sarkozy yang memiliki visi multilateral dan ingin memperkuat pengaruh Perancis dalam politik global. Visi politik internasional Sarkozy dapat menjadi salah satu faktor determinasi Perancis dalam tindakan intervensi militer ke Pantai Gading pada 2011. Intervensi ini menunjukan bahwa Perancis memiliki pengaruh besar atas dinamika politik internasional, terutama di negara bekas koloni di Afrika. Hubungan personal antara tokoh politik Pantai Gading dengan Perancis juga menjadi faktor determinasi dalam kebijakan luar negeri ini. Nicolas Sarkozy memiliki hubungan kedekatan pribadi dengan Allasane Ouattara. Kedekatan pribadi antara Sarkozy dengan Ouattara terlihat ketika Presiden Perancis itu menjadi saksi dalam pernikahan Ouattara. Pertemanan antara Sarkozy dan Ouattara juga dikuatkan oleh kesamaan pemikiran politik keduanya. Berbeda dengan Gbagbo, Ouattara memandang Perancis sebagai mitra strategis tradisional
141
Nicolas Sarkozy, The French White Paperon Defence and National Security (New York :Odile Jacob Publishing,2008) , 66
67
karena keterkaitan historis dan latar belakang Ouattara sebagai mantan Direktur di Bank Dunia yang berbeda dengan Gbagbo142. Sebaliknya, hubungan antara Gbagbo dengan Sarkozy memiliki suasana dingin dan perbedaan pandangan politik yang sangat mencolok. Gbagbo yang berhaluan kiri melihat Perancis sebagai entitas neo-kolonialis yang ingin menjalankan kembali imperialisme di Pantai Gading143. Ketegangan antara kedua kepala negara ini terlihat jelas. Presiden Sarkozy pernah menolak menerima telepon dari Gbagbo dan pada saat perayaan Kemerdekaan Perancis yang dihadiri oleh presiden negara-negara bekas koloni Perancis, hanya Gbagbo yang tidak hadir dalam perayaan tersebut144. Kedekatan personal Gbagbo dengan politisi Partai Sosialis Perancis dan kecenderungan untuk lebih berkerja sama dengan negara sosialis seperti Tiongkok saat menjabat sebagai Presiden, kontras dengan Ouattara. Latar belakangnya sebagai mantan Direktur IMF membuat Ouattara memiliki kedekatan negara Barat. Perbedaan ideologi politik antara Gbagbo dan Ouattara menjadi faktor yang memengaruhi intervensi Perancis ke Pantai Gading terkait dengan kepemimpinan Sarkozy. Ideologi politik Sarkozy yang berada pada posisi kanan lebih akan mudah berkerja sama dengan Ouattara, ketimbang Gbagbo.
142
Gnakouri Tohouri, “Cote d’ivoire Crisis : Is President Sarkozy Obama’s Ahmad Chalabi ?”, Sauti Stanford Journal of African Studies. Vol. 7 (2011), 11 143 Kenton K Atta-Krah, From Business as Usual to Business Unusual: Exceptionalism in Africa’s relationships with France & China, (Connecticut: Wesleyan University, 2009), h.92 144 Christophe Boisbouvier, “50 years later, Françafrique is alive and well” diunduh pada 16 November 2014 dari ( http://www.english.rfi.fr/africa/20100216-50-years-later-francafrique-alive-and-well)
68
B. Faktor Eksternal Intervensi Perancis ke Pantai Gading 1. Kebijakan Negara Lain Kebangkitan ekonomi Tiongkok diikuti oleh peningkatan kebutuhan terhadap sumber daya alam mineral dan energi. Kebutuhan akan energi dan mineral membuat Tiongkok memperluas jangkauan mitra dagang ke wilayah Afrika. Pada gambar IV.1 terlihat mulai tahun 2000, Tiongkok meningkatkan perdagangan dengan negara-negara di Afrika untuk memenuhi kebutuhan akan material mentah yang banyak terdapat di Afrika145. Gambar IV. 1 Tren ekspor-impor Tiongkok dan Afrika (dalam persentase dari GDP)
Sumber : Mary-Françoise Renard, "China’s Trade and FDI in Africa".
Filosofi politik luar negeri non-interference Tiongkok, sejak masa Hu Jintao yang tidak mempersoalkan dinamika politik dalam negeri mitra dagang menjadikan Tiongkok lebih mudah menjalin kerja sama ketimbang negara –
145
Ian Taylor, “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, dalam Henning Melber, ed. ,China in Africa (Nordiska Afrikainstitutet, 2007), 14
69
negara Barat yang tidak ingin berdagang dengan negara yang sedang terlibat masalah atau memiliki indikasi pelanggaran HAM. Hal ini mengingat banyak negara di Afrika yang dianggap sebagai rouge state146 oleh negara – negara Barat. Kondisi ini menjadikan Tiongkok lebih leluasa untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara seperti Sudan dan Angola147. Selain itu, Tiongkok tidak memiliki sejarah kolonialisasi di Afrika, seperti yang dimiliki oleh negara-negara Eropa, menjadikan tidak ada persepsi neo-kolonialisme terkait kehadiran Tiongkok di Afrika. Peningkatan peran Tiongkok di kawasan Afrika secara tidak langsung mengurangi peran Perancis sebagai mitra tradisional dan bekas penjajah sebagian wilayah Afrika. Kehadiran Tiongkok di Afrika mengurangi ketergantungan negara-negara di Afrika terhadap Perancis. Di Pantai Gading, Tiongkok sudah menginvestasikan perusahan minyak Tiongkok, Sinopec, untuk mengekplorasi minyak ladang minyak lepas pantai, serta menjadikan tujuan potensial untuk ekspor beras148. Politik luar negeri Tiongkok di Pantai Gading selama konflik yang mengesampingkan persoalan HAM dan lebih mengutamakan kepentingan nasional, secara tidak langsung mendanai pihak yang terlibat konflik dan menciptakan keberlanjutan konflik. Selama Pemerintahan Laurent Gbagbo,
146
Rouge State adalah negara yang dinilai melanggar hukum internasional dan mengancam keamanan negara lain. Diunduh dari (http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/rogue-state) 147 Ian Taylor, “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, 14 148 Mary-Françoise Renard, "China’s Trade and FDI in Africa.", China and Africa: An Emerging Partnership for Development , N° 126 (2011), 23
70
Tiongkok mengalami peningkatan kerja sama perdagangan dengan Pantai Gading. Pada tahun 2005, nilai perdagangan antara Tiongkok dan Pantai Gading bernilai 50 juta euro, meningkat menjadi 500 juta euro pada 2009149. Tiongkok juga diberikan izin untuk melakukan ekplorasi 27 persen blok minyak bumi di wilayah lepas pantai yang dikuasai kelompok pro-Gbagbo150. Jika Perancis melakukan konfrontasi dengan Tiongkok terkait pengaruh di Pantai Gading, akan membawa kerugian yang lebih besar ketimbang jika Perancis melakukan konfrontasi dengan Laurent Gbagbo. Alassane Ouattara yang merupakan individu yang memiliki latar belakang pro negara Barat diharapkan akan menahan pengaruh Tiongkok di Pantai Gading dan regional Afrika Barat serta menunjukkan keberpihakan ke Perancis. 2. Masalah Global yang Berasal dari Sektor Privat Wilayah Afrika Barat merupakan salah satu wilayah dengan kondisi perekonomian yang tidak baik. Beberapa negara di kawasan ini dikatagorikan sebagai less developing country dan beberapa negara juga dikategorikan sebagai failed state151. Kondisi ini menjadikan negara-negara di Afrika Barat tidak memiliki kendali pemerintahan atas keseluruhan wilayah negara seperti Mali dan Nigeria. Daerah yang tidak dikuasasi oleh pemerintahan resmi di Mali dan Nigeria, dikuasai oleh kelompok-kelompok ekstrimis seperti Pemberontak Tuareg 149
“Investiture of French-backed president in Ivory Coast” diunduh pada 16 November 2014 dari (https://www.wsws.org/en/articles/2011/06/inve-j06.html) 150 Ian Taylor, “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, 39 151 “The Failed state Index 2011” diunduh pada 16 November 2014 dari (http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/06/17/2011_failed_states_index_interactive _map_and_rankings)
71
di Mali dan Kelompok Boko Haram di Nigeria. Tuareg dan Boko Haram dinilai oleh negara Barat sebagai kelompok ekstrimis radikal yang berafiliasi dengan kelompok teroris Al-Qaeda152. Dugaan bahwa Al-Qaeda menggunakan berlian dari Afrika Barat meningkatkan ancaman keamanan di kawasan tersebut153. Keberadaan pemberontak Tuareg dan Boko Haram selain menjadi ancaman keamanan domestik dan regional Afrika, juga menjadi ancaman keamanan internasional terkait jaringan teroris internasional. Situasi keamanan Pantai Gading yang tidak kondusif akibat konflik sipil yang terjadi dan ketiadaan otoritas yang menguasai wilayah negara secara keseluruhan, menjadikan negara ini rentan akan disusupi oleh kelompokkelompok yang ingin mengambil keuntungan atas konflik yang berlangsung saat itu. Konflik sipil Pantai Gading meski bukan konflik agama, namun konflik utaraselatan ini memiliki sentimen keagamaan. Masyarakat di wilayah utara yang mendukung Ouattara mayoritas beragama Islam dan masyarakat di wilayah selatan yang mendukung Gbagbo mayoritas beragama Kristen154. Realita ini dapat disalahartikan oleh kelompok ekstrimis radikal seperti pemberontak Tuareg dan Boko Haram dengan melihat konflik yang terjadi saat itu berlatar belakang agama, serta menjadikan Pantai Gading sebagai lahan jihad baru bagi mereka. Ancaman akan berkembangnya kelompok ekstrimis radikal di Pantai Gading bila konflik dibiarkan berkepanjang selain menjadi ancaman bagi Pantai 152
J. Peter Pham, “Boko Haram Evolving Threat”, Africa Security Brief, no. 20 (2012) , 3 United Nations on Drugs and Crime, Transnational Organized Crime in West African Region, , (New York : UNODC, 2005). 34 154 Johannes Vüllers, Fighting for a Kingdom of God ? The Role of Religion in Ivorian Crisis (Hamburg :German Institute for Global and Area Studies, 2011), 18 153
72
Gading dan kawasan Afrika Barat juga menjadi ancaman bagi Perancis. Kelompok ekstrimis radikal yang dinilai oleh negara-negara Barat sebagai kelompok teroris, memandang entitas negara-negara Barat bertentangan dengan nilai-nilai kepercayaan mereka dan harus dihilangkan. Persepsi ini akan berdampak buruk bagi Perancis yang memiliki investasi dengan jumlah besar di Pantai Gading. Perdagangan
obat-obatan
terlarang
juga
merupakan
salah
satu
permasalahan global yang menjadi isu krusial di kawasan ini. Pada tahun 2007, dari 5,8 ton kokain yang berhasil disita di Afrika, 99 persen berasal dari Afrika Barat155. Letak geografis Afrika Barat yang relatif dekat dengan Eropa diperparah oleh konflik berkepanjangan yang terjadi di Afrika Barat menciptakan banyak ungoverned area dan dikuasai oleh kelompok kriminal transnasional, termasuk pedagang obat-obatan terlarang, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat perdagangan narkotika internasional. Pada tahun 2007, pelabuhan Abidjan menjadi salah satu pelabuhan yang menjadi tempat perlintasan obat-obatan terlarang. Selama konflik terjadi di Pantai Gading berkembang menjadi satu titik utama transit heroin yang berasal dari Pakistan menuju Eropa Barat. Pemerintah Pantai Gading yang tidak memiliki kapabilitas dalam memerangi perdangangan obat terlarang akibat konflik dimanfaatkan oleh pedagang obat terlarang. Selain itu ada dugaan bahwa
155
Armando Philip de Andrés, “West Africa Under Attack : Drugs, Organized Crime and Terorism as The New Threats to Global Security”, UNISCI Discussion Paper, no. 16 (2008) , 214
73
perdagangan obat terlarang dimanfaatkan oleh pemberontak dan kelompok eksrimis untuk mendanai kegiatannya156. Pantai Gading yang berkembang sebagai pusat perdagangan narkotika internasional akibat kurangnya kontrol pemerintah, secara tidak langsung merugikan Perancis. Keuntungan dari perdagangan narkotika yang digunakan untuk mendanai kelompok ekstrimis dan Eropa Barat yang dijadikan tujuan dari narkotika yang singgah di Pantai Gading akan mengancam keamanan nasional Perancis.
156
United Nations on Drugs and Crime, Transnational Organized Crime in West African Region, 22
74
BAB V KESIMPULAN Intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011, terjadi akibat konflik pascapemilihan umum. Menurut K.J. Holsti, kebijakan luar negeri suatu negara tidak terlepas dari faktor domestik, eksternal dan stake holder. Kebutuhan sosial, ekonomi, dan keamanan; peran Perancis sebagai Gendarme d’Afrique; opini publik; dan birokrasi menjadi faktor determinan domestik. Sedangkan, peningkatan peran Tiongkok di Afrika dan permasalahan global dari sektor privat merupakan faktor eksternal atas intervensi Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. Pada Domestik, Kebutuhan sosial, ekonomi, dan keamanan Perancis dalam intervensi ke Pantai Gading, pada intinya merupakan upaya mengamankan kepentingan nasional Perancis di Pantai Gading dan mencegah timbul gelombang imigran dari pencari suaka akibat konflik yang berkepanjangan.
Gelombang
imigran akibat konflik akan menambah beban pemerintah Pernacis di saat keadaan ekonomi Eropa yang sedang tidak stabil dan pertumbuhan ekonomi Perancis sedang mengalami pemulihan setelah defisit di tahun 2008 dan 2009. Peran Perancis sebagai Gendarme d’Afrique tidak terlepas dari sejarah kolonialisme yang pengaruh Perancis di negara bekas jajahan. Hubungan historis ini membuat Perancis tidak dapat lepas atas dinamika sosial yang terjadi Afrika Francophone. Selain itu kapabilitas militer Perancis dalam menghentikan pertikaian juga menunjang peran Perancis sebagai Polisi Afrika.
75
Intervensi yang dilakukan Perancis pada 2011, setahun sebelum pemilihan umum Perancis, dapat dipandang sebagai instrumen untuk meningkatkan popularitas NicolasSarkozy yang berkurang akibat kebijakan austerity akibat krisis zona euro. Tindakan ini dapat memperlihatkan ke publik Perancis bahwa Presiden Sarkozy memiliki upaya dalam mengamankan kepentingan nasional dan warga negara Perancis di Luar negeri. Kondisi Parlemen Perancis yang sedang didominasi oleh UMP dan menempatkan PS sebagai oposisi juga menjadi faktor domestik Perancis dalam Intervensi ke Pantai Gading. Visi UMP dalam memperluas pengaruh Perancis di Negara-negara Francophone, ditunjang oleh kedekatan Laurent Gbagbo dengan tokoh-tokoh dari PS. Kebijakan ini dapat menjadi upaya UMP untuk memperjelas perbedaan visi dengan PS. Peran Nicolas Sarkozy sebagai stake holder kebijakan luar negeri juga menjadi faktor yang mendeterminasi tindakan Perancis. Sarkozy yang memiliki kedekatan personal dengan Allasane Ouattara dan hubungan yang kurang baik dengan Laurent Gbagbo diperkuat oleh pemikiran politik nasionalis-gaulis yang menekankan pentingnya mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional Perancis. Pada faktor eksternal, peningkatan peran Tiongkok yang menimbulkan persaingan dalam pengaruh Perancis di Afrika. Tiongkok yang tidak memiliki sejarah kolonial dan kebijakan yang mempertimbangkan persoalan HAM dalam kerja sama membuat Tiongkok dapat berkembang cepat di Afrika. Laurent
76
Gbagbo yang lebih memilih berkerja sama dengan Tiongkok dari pada Perancis menjadi faktor intervensi ke Pantai Gading. Faktor ekternal kedua dari intervensi Perancis ke Pantai Gading tahun 2011 adalah ancaman kelompok teroris dan kelompok kejahatan transnasional lain. Kedekatan Pantai Gading dengan Mali dan Nigeria menimbulkan ancaman akan kemunculan kelompok pemberontak Tuareg dan Boko Haram di Pantai Gading yang dapat melihat konflik di Pantai Gading sebagai konflik Muslim dan Kristen. Selain itu situasi konfliktual di Pantai Gading dapat digunakan oleh kelompok pelaku kejahatan transnasional, terutama di bidang narkotika. Keberadaan kelompok ini juga diduga mendanai kelompok teroris.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adnan, Abdul Hadi. 2007. Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika. Bandung. CV Angkasa Addo, Prosper. 2005. Peace Making in West Africa: Progress and Prospects. Accra: KAIPTC. Akindès, Francis. 2004. The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire. Uppsala: Nordiska Afrikainstitutet. Atta-Krah, Kenton K. 2009. From Business as Usual to Business Unusual: Exceptionalism in Africa’s relationships with France & China. Connecticut: Wesleyan University. Campbell, Bonnie. “The Ivory Coast”. dalam John Dunn ed. 2008. West African States : Failure and Promise. Cambridge University Press. Cesari, Jocelyne. “Islam in France: The Shaping of a Religious Minority,” dalam Yvonne Yazbek Haddad. ed. 2002. Muslims in the West, from Sojourners to Citizens. Oxford University Press. Coulumbis, Theodore A.dan James H. Wolfe.1990.Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power.Bandung: C.V Abardin. Dennison, Susi. dkk. 2011. After The Revolution: Europe and The Transition in Tunisia. European Councilon Foreign Relations Evan, Graham dan Jeffrey Newnham.1998. The Penguin Dictionary of International Relations. England:ClaysLtd, St Lves plc. Gruver, Evan M. 2012. Austerity : The Answer to Europe’s Crisis. Holsti, KJ. 1992. International Politics. New Jersey: Prentice Hall. Kofi, Explo Nani. “Crisis in Cote d’Ivoire: history, interest, and parallels”. dalam Firoze Manji dan Sokari Ekine. ed. 2012. African Awakening : The Emerging Revolution. Oxford : Pambazuka Press.
xv
Langer, Arnim. 2010. Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace. Bath : Centre for Development Studies University of Bath. McNamara, Francis. 1989. French in Black Africa. Washington D.C: NDU Press. Pakenham, Robert. 1990. The Scramble of Africa. London: Abacus. Rachmawati, Iva. 2012. Memahami Perkembangan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Presindo.
Studi
Hubungan
Salkind, Neil J. 2009. Exploring Research. New Jersey: Pearson Education. Sarkozy, Nikolas. 2008. The French White Paper on Defence and National Security. New York :Odile Jacob Publishing. Schnaeder, Peter J. “New Direction in Francophone West African Policies”, dalam Gilbert M. Khadiagala dan Terrence Lyons ed. 2001. African Foreign Policy : Power and Process. Colorado : Lynee Rienner Publisher. Schure, Jolien, dkk. 2010. Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace. Bonn:BICC. Taylor, Ian. “Unpacking China’s Resource Diplomacy in Africa”, dalam Henning Melber, ed. 2007. China in Africa. Nordiska Afrikainstitutet. Thompson, Virginia dan Richard Adloff. 1958. French West Africa. Standford University Press. United Nations on Drugs and Crime. 2005. Transnational Organized Crime in West African Region. New York : UNODC.
Vüllers, Johannes. 2011. Fighting for a Kingdom of God ? The Role of Religion in Ivorian Crisis. Hamburg :German Institute for Global and Area Studies. Jurnal Andrés,Armando Philip de. 2008. “West Africa Under Attack : Drugs, Organized Crime and Terorism as The New Threats to Global Security”. UNISCI Discussion Paper. no. 16. Aning, Kwesi dan Naila Salihu. 2012. “The Protection of Civilians in Peace Support Operations:Lessons from Côte d’Ivoire”. Conflict trends. Apuuli, Kasaija Phillip. 2012. “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’ and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and
xvi
Libya (2011)”. African Journal on Conlifct Resolution. Volume 12, no. 2. ACCORD : Durban Bassett, Thomas J dan Straus, Scott .2011. ”Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a Stand”. Foreign Affairs, volume 90, no 4. Council on Foreign Relations. Boigny, Felix Houphouët. 1957. “Black Africa and The French Union”, Foreign Affairs. Bovcon, Maja. 2009. “France’s conflict resolution strategy in Cote Ivoire and it’s implications”, African Studies Quaterly. Vol. 11 Issue 1. Chafer, Tony. 2005. “Chirac and ‘la Françafrique’: No Longer Family Affair”. Modern & Contemporary France. Vol. 13 No. 1. Charbonneau, Bruno. 20014. “The Imperial Legacy of International Peace Building : The Case of Francophone Africa”. Review of International Studies. Volume 40 Issue 03. Chirot, Daniel. 2006. "The debacle in Côte d'Ivoire." Journal of Democracy. vol17 no 2. Cook, Nicolas. 2011. Cote d’Ivoire Post Election Crisis. Congressional Research service. Crook, Richard C. 1997. “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition in the 1990 and 1995 Elections”. African Affairs. vol. 96 no. 383. Dadieh, Cyril K. 2001. “Elections and Ethnic Violence in Côte d’Ivoire: The Unfinished Business of Succession and Democratic Transition”. African Issues. Vol. 29 no. ½. Dadson, Eunice. 2008. “Examining the Role of Third-Party Mediation in Cote d’Ivoire’s Conflict: Peacemakers or Spoilers?”. KAIPTC Paper No. 24. Ipinyomi, Foluke. 2012. “Is Côte d’Ivoire a Test Case for R2P? Democratization as Fulfilment of the International Community’s Responsibility to Prevent”. Journal of African Law. volume56, no 2. School of Oriental and African Studies. Julien, C. A. 1950. “From the French Empire to the French Union”. International Affairs Vol. 26, No. 4. Mesfin, Berouk. 2008“Only a Folie de Grandeur ? Understanding French Policy in Africa”, African Security Review, vol 17 no.1.
xvii
Mitchell, Matthew I. 2011. “Insights from the Cocoa Regions in Côte d'Ivoire and Ghana: Rethinking the Migration-Conflict Nexus”. African Studies Review. Volume 54, no 2. African Studies Association: Atlanta Pham, J. Peter 2012. “Boko Haram Evolving Threat”, Africa Security Brief, no. 20. Piccolino, Giulia. 2011. “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against Global Governace”. African Affairs. Profant, Tomás. 2010. “French geopolitic in Africa : from neocolonialism to identity”, Perspectives Vol. 18 no.1. Renard, Mary-Françoise. 2011. "China’s Trade and FDI in Africa.", China and Africa: An Emerging Partnership for Development , N° 126. Robinson, K.E. 1950. “The Public Law of Overseas France since the War” Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 32, No. 3/4. Roemer, John e. dan Karine van Der Straeten. 2006. ” Xenophobia and The Size of The public Sector in France: a Politico-Economic Analysis”, Cowles Foundation Paper no. 1164, Yale University. Shinn, H. David. 2009. “Chinese Involvement in African Conflict Zones”, China brief , vol. IX no. 7. Skogseth, Geir. 2006. Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict. Norway: Landinfo. Tohouri, Gnakouri. 2011. “Cote d’ivoire Crisis : Is President Sarkozy Obama’s Ahmad Chalabi ?”, Sauti Stanford Journal of African Studies. Vol. 7. Utley, Rachel. 2002. “‘Not to do less but to do better’ French Military Policy in Africa”, International Affairs Vol 1. Veebel, Viljar dan Raul Markus. 2013.”Why and How Supranational Institutions Became Central Stakeholders in The Eurozone Debt Crisis 2008–2012?”, Baltic Journal of Political Science, No 2. Widner, Jennifer A. 1991. “The 1990 Elections in Côte d’Ivoire”. Journal of Option. Vol. 20 no. 1 Woods, Dwayne. 2003.“The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte d’Ivoire”. The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4. Zounmenou, David Dossou & Lamin, Abdul Rahman. 2011. “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis : Ouattara Rules but can he Govern ?”. Journal of African Elections. Volume 10, no. 2. EISA : Johannesburg.
xviii
Artikel
Boisbouvier, Christophe “50 years later, Françafrique is alive and well” diunduh pada 16 November 2014 dari ( http://www.english.rfi.fr/africa/2010021650-years-later-francafrique-alive-and-well) Busch, Gary K. “The French, The UN and Ivory Coast”. Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://www.ocnus.net/artman2/publish/editorial_101) Crumley, Bruce. “Anatomy of an Intervention: Why France Joined the U.N. Action in Abidjan”. Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2063613,00.html) Engles, Marcus. “Focus Migration : France” diunduh pada 21 November 2014 dari ( http://focus-migration.hwwi.de/France.1231.0.html?&L=1) European Union. 2013. “Trade in goods with Ivory Coast”. European Commission. diunduh pada 20 November 2014 dari (http://trade.ec.europa.eu/doclib/cfm/doclib_section.cfm?sec=148&langId =EN) Godsway, Yao Sappor. “Neo-Colonialist ideas in Africa after Independence”, diunduh pada 10 Juni 2014dari (http://www.modernghana.com/news/201366/1/neo-colonialist-ideas-inafrica-after-independence.html) Global Nonviolent Action Database, “Ivorians demand switch to multiparty democracy, 1989-1990” diunduh pada 8 Maret 2014 dari (http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/ivorians-demand-switchmultipartydemocracy-1989-1990) Institut National de la Statistique des Etudes Économiques, “Évolution de la part des populations étrangères et immigrées jusqu'en 2011” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.insee.fr/fr/themes/tableau.asp?reg_id=0&ref_id=NATTEF021 31)
xix
Iztok, Robert dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time of Globalisation” (Ostrava:University of Ostrava, 2010), diunduh dari (http://conference.osu.eu/globalization/publ/10istok_koziak.pdf.) Juchno ,Piotr dan Alexandros Bitoulas. 2011. Statistics in Focus. Eurostat. Marchi, Irene Multilatéralisme, légitimité, union, obligation: analysing Chirac’s discourse legitimisation on the Afghanistan and Iraq interventions 2013, diunduh pada 20 November 2014 dari (https://www.academia.edu/6443390/Multilat%C3%A9ralisme_l%C3%A9 gitimit%C3%A9_union_obligation_analysing_Chirac_s_discourse_legitim isation_on_the_Afghanistan_and_Iraq_interventions) McGovern, Mike. 2011. The Ivorian Endgame. Diunduh 23 Desember 2013 dari (http://www.foreignaffairs.com/articles/67728/mike-mcgovern/the-ivorianendgame) Ogwag, Tom. 2011. The Root Causes of The Conflict in Côte D’ivoire. CIGI Purefoy, Christian. “What causing the conflict in Ivory Coast ?”. Diunduh 23 Desember 2013 dari (http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/04/03/ivory.coast.explainer) Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” (2014) diunduh dari (http://www.securitycouncilreport.org/chronology/cotedivoire.php?pag) Torrent, Lluis dan Potokar, Iztok. “Côte d’Ivoire: International response and origins of the conflic”. Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://www.unitedexplanations.org/2011/04/04/international-response-tothe-current-situation-in-cote-divoire-and-the-origins-of-the-conflict/) UNDP. 2011. “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground” . 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.undp.org/africa) “Biographie de Nikolas Sarkozy” diunduh tanggal 16 November 2014 dari (http://www.amisdenicolassarkozy.fr/article/biographie) “Charte Éthique du Parti Socialiste” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://www.parti-socialiste.fr/la-charte-ethique-du-parti-socialiste) “Colonialism and Its Legacy In Africa” diunduh pada 2 Juli 2014 dari (http://www.drtomoconnor.com/3160/3160lect02.htm ) “Cote d'Ivoire: Briefing on roles of USA, France” diunduh pada 15 Mei 2014 dari (www.irinnews.org/report/91921/cote-d-ivoire-briefing-on-roles)
xx
“Europeans Seek Opportunities in Ex-colonies” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.aljazeera.com/video/africa/2012/06/2012627145952154336.ht ml) “France and Côte d’Ivoire” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://www.ambafrance-uk.org/France-and-Cote-d-Ivoire) “Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari (http://www.theguardian.com/world/2011/apr/11/gbagbo-attackground-assault ) “Investiture of French-backed president in Ivory Coast” diunduh pada 16 November 2014 dari (https://www.wsws.org/en/articles/2011/06/invej06.html) “Ivory Coast poll overturned: Gbagbo declared winner” Diunduh 22 Desember 2013 dari (http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11913832) “Ivory Coast, Reform and French Community” diunduh pada 1 Juni 2014 dari (http://www.country-data.com/cgi-bin/query/r-6899.html ) “Ivory Coast seethes after attack” diunduh pada 30 Agustus 2014 dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3989127.stm “Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari (http://www.flashpoints.info/CB-Ivory%20Coast.html) “Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpci.htm) “ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpigo.htm) “Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP)”diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mjp.htm) “New Ways to Play An Old Song” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.economist.com/news/middle-east-and-africa/21591205french-soldiers-once-again-their-way-south-how-much-has-changed) “OEC: Cote d'Ivoire (CIV) Profile of Exports, Imports and Trade Partners” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://atlas.media.mit.edu/profile/country/civ/) “Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/elections.shtml)
xxi
“Sarkozy's micro-managed intervention in Ivory Coast could win votes” diunduh pada 20 November 2014 dari (http://www.theguardian.com/world/2011/apr/11/sarkozy-ivory-coastvote-winner) “Qui et combien ?, Histoire et origine et Vie familiale”, Les Immigrés en France, (2005) diunduh pada 22 November 2014 dari (http://www.insee.fr/fr/themes/document.asp?reg_id=0&id=2442 44) “The Fabric of Reform, Background”, diunduh pada 2 Juli 2014 dari (https://www.imf.org/external/pubs/ft/fabric/backgrnd.htm “The Failed state Index 2011” diunduh pada 16 November 2014 dari (http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/06/17/2011_failed_states_ind ex_interactive_map_and_rankings) “U.N., French attack Gbagbo heavy weapons in Ivory Coast” diunduh pada 30 Agustus 2014dari (http://www.reuters.com/article/2011/04/10/usivorycoast-idUSTRE73014Z20110410 ) “Union Pour Un Mouvement Populaire: La charte des valeurs” diunduh pada 21 November 2014 dari (http://www.u-m-p.org/notre-parti/nos-valeurs)
Skripsi Claire, Julie M. 2011. Secular and Indivisible ?: Laïcité, Islam and French State. Washington D.C.: American University. Conroy, Courtney Patricia. 2010. France as a Negative Influence on Ivory Coast : The Consequences of Foreign Interference. Salve Regina University Herdiyanti, Dita. 2013. Peran UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Paska Pemilu 2010 di Pantai Gading. Universitas Hasanuddin Laporan Resmi “Resultats de la Second Tour de l'Election du President de la Republique” diunduh 23 Desember 2013 dari (www.ceici.org/elections/docs/EPR2010_2T_RESULTATS_VALEURS_ 02122010.pdf) Security Council United Nations. 2011. Resolution no. 1975. UNOCI. 2011.Summary of UNOCI weekly press conference May 2011. Abidjan. UNOCI. 2011.Summary of UNOCI weekly press conference March 2011. Abidjan.
xxii
LAMPIRAN
United Nations S/RES/1975 (2011) Security Council Distr.: General 30 March 2011 11-28476 (E) *1128476* Resolution 1975 (2011) Adopted by the Security Council at its 6508th meeting, on 30 March 2011
The Security Council, Recalling its previous resolutions, in particular resolutions 1572 (2004), 1893 (2009), 1911 (2010), 1924 (2010), 1933 (2010), 1942 (2010), 1946 (2010), 1951 (2010), 1962 (2010), 1967 (2011), 1968 (2011) and the statements of its President relating to the situation in Côte d’Ivoire, and resolution 1938 (2010) on the situation in Liberia, Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, independence, territorial integrity and unity of Côte d’Ivoire, and recalling the importance of the principles of goodneighbourliness, non-interference and regional cooperation, Reiterating its strong desire that the post-electoral crisis in Côte d’Ivoire be resolved peacefully and require an overall political solution that preserves democracy and peace and promotes lasting reconciliation among Ivorians, Commending the constructive efforts of the African Union High-level Panel for the resolution of the crisis in Côte d’Ivoire and reiterating its support to the African Union and the Economic Community of West African States (ECOWAS) for their commitment to resolve the crisis in Côte d’Ivoire, Welcoming the decision of the Peace and Security Council of the African Union adopted at its 265th meeting at the level of Heads of State and Government, held on 10 March 2011 in Addis Ababa, which reaffirms all its previous decisions on the rapidly deteriorating post-electoral crisis facing Côte d’Ivoire since the second round of the
xxiii
presidential election, on 28 November 2010, which recognize the election of Mr Alassane Dramane Ouattara as the President of the Republic of Côte d’Ivoire, Welcoming the political initiatives and noting the communiqué and the resolution on Côte d’Ivoire adopted by the Authority of Heads of State and Government of ECOWAS on 24 March 2011, Expressing grave concern about the recent escalation of violence in Côte d’Ivoire and the risk of relapse into civil war and urging all parties to show utmost restraint to prevent such outcome and to resolve their differences peacefully, Condemning unequivocally all provocative action and statements that constitute incitement to discrimination, hostility, hatred and violence made by any party, Condemning the serious abuses and violations of international law in Côte d’Ivoire, including humanitarian, human rights and refugee law, reaffirming the primary responsibility of each State to protect civilians and reiterating that parties to armed conflicts bear the primary responsibility to take all feasible steps to ensure the protection of civilians and facilitate the rapid and unimpeded passage of humanitarian assistance and the safety of humanitarian personnel, recalling its resolutions 1325 (2000), 1820 (2008), 1888 (2009) and 1889 (2009) on women, peace and security, its resolution 1612 (2005) and 1882 (2009) on children and armed conflict and its resolution 1674 (2006) and 1894 (2009) on the protection of civilians in armed conflicts, Welcoming the Human Rights Council resolution A/HRC/16/25 of 25 March 2011, including the decision to dispatch an independent international commission of inquiry to investigate the facts and circumstances surrounding the allegations of serious abuses and violations of human rights committed in Côte d’Ivoire following the presidential elections of 28 November 2010, Stressing that those responsible for such serious abuses and violations, including by forces under their control, must be held accountable, Reaffirming that it is the responsibility of Côte d’Ivoire to promote and protect all human rights and fundamental freedoms, to investigate alleged violations of human rights and international law and to bring to justice those responsible for such acts, Considering that the attacks currently taking place in Côte d’Ivoire against the civilian population could amount to crimes against humanity and that perpetrators of such crimes must be held accountable under international law and noting that the International Criminal Court may decide on its jurisdiction over the situation in Côte d’Ivoire on the basis of article 12, paragraph 3 of the Rome Statute, Determining that the situation in Côte d’Ivoire continues to constitute a threat to international peace and security, Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations, 1. Urges all the Ivorian parties and other stakeholders to respect the will of the people and the election of Alassane Dramane Ouattara as President of Côte d’Ivoire, as recognized by ECOWAS, the African Union and the rest of the international community, expresses
xxiv
its concern at the recent escalation of violence and demands an immediate end to the violence against civilians, including women, children and Internally displaced persons; 2. Calls upon all parties to pursue the overall political solution of the African Union and, in this regard, welcomes the decision of the African Union Peace and Security Council Summit of 10 March to appoint a High Representative for the implementation of the overall political solution and calls upon all parties to fully cooperate with him; 3. Condemns the decision of Mr. Laurent Gbagbo not to accept the overall political solution proposed by the High-Level panel put in place by the African Union, and urges him to immediately step aside; 4. Urges all Ivorian State institutions, including the Defence and Security Forces of Côte d’Ivoire (FDSCI), to yield to the authority vested by the Ivorian people in President Alassane Dramane Ouattara, condemns the attacks, threats, acts of obstructions and violence perpetrated by FDSCI, militias and mercenaries against United Nations personnel, obstructing them from protecting civilians, monitoring and helping investigate human rights violations and abuses, stresses that those responsible for such crimes under international law must be held accountable and calls upon all parties, in particular Mr. Laurent Gbagbo’s supporters and forces, to fully cooperate with the United Nations Operation in Côte d’Ivoire (UNOCI) and cease interfering with UNOCI’s activities in implementation of its mandate; 5. Reiterates its firm condemnation of all violence committed against civilians, including women, children, internally displaced persons and foreign nationals, and other violations and abuses of human rights, in particular enforced disappearances, extrajudicial killings, killing and maiming of children and rapes and other forms of sexual violence; 6. Recalls its authorization and stresses its full support given to the UNOCI, while impartially implementing its mandate, to use all necessary means to carry out its mandate to protect civilians under imminent threat of physical violence, within its capabilities and its areas of deployment, including to prevent the use of heavy weapons against the civilian population and requests the Secretary-General to keep it urgently informed of measures taken and efforts made in this regard; 7. Calls upon all parties to cooperate fully in the operation of UNOCI and French forces which support it, in particular by guaranteeing their safety, security and freedom of movement with unhindered and immediate access throughout the territory of Côte d’Ivoire, to enable them to fully carry out their mandate; 8. Calls upon all parties to fully cooperate with the independent international commission of inquiry put in place by the Human Rights Council on 25 March 2011 to investigate the facts and circumstances surrounding the allegations of serious abuses and violations of human rights committed in Côte d’Ivoire following the presidential elections of 28 November 2010, and requests the Secretary-General to transmit this report to the Security Council and other relevant international bodies; 9. Condemns the use of Radiodiffusion Télévision Ivoirienne (RTI) and other media to incite discrimination, hostility, hatred and violence, including against UNOCI, as well as
xxv
acts of intimidation and violence against journalists, and calls for the lifting of all restrictions placed on the exercise of the right of freedom of expression in Côte d’Ivoire; 10. Expresses deep concern about the increasing number of internally displaced persons and Ivorian refugees, especially in Liberia, caused by the crisis in Côte d’Ivoire, and calls on all Ivorian parties to cooperate fully with United Nations agencies and other actors working to enhance access to humanitarian aid to refugees and internally displaced persons; 11. Reiterates its longstanding demand that Mr. Laurent Gbagbo lift the siege of Golf Hotel without delay; 12. Decides to adopt targeted sanctions against those individuals who meet the criteria set out in resolution 1572 (2004) and subsequent resolutions, including those individuals who obstruct peace and reconciliation in Côte d’Ivoire, obstruct the work of UNOCI and other international actors in Côte d’Ivoire and commit serious violations of human rights and international humanitarian law, and therefore decides that the individuals listed in Annex I of this resolution shall be subject to the financial and travel measures imposed by paragraphs 9 to 11 of resolution 1572 (2004), and reaffirms its intention to consider further measures, as appropriate, including targeted sanctions against media actors who meet the relevant sanctions criteria, including by inciting publicly hatred and violence; 13. Decides to remain actively seized of the matter.
Annex I Targeted sanctions 1. Laurent Gbagbo Date of birth: 31 May 1945 Place of birth: Gagnoa, Côte d’Ivoire Former President of Côte d’Ivoire: obstruction of the peace and reconciliation process, rejection of the results of the presidential election. 2. Simone Gbagbo Date of birth: 20 June 1949 Place of birth: Moossou, Grand-Bassam, Côte d’Ivoire Chairperson of the Parliamentary Group of the Ivorian Popular Front (FPI): obstruction of the peace and reconciliation process, public incitement to hatred and violence. 3. Désiré Tagro Passport number: PD – AE 065FH08 Date of birth: 27 January 1959 Place of birth: Issia, Côte d’Ivoire Secretary-General in the so-called “presidency” of Mr. Gbagbo: participation in the illegitimate government of Mr. Gbagbo, obstruction of the peace and reconciliation process, rejection of the results of the presidential election, participation in violent repressions of popular movements.
xxvi
4. Pascal Affi N’Guessan Passport number: PD-AE 09DD00013. Date of birth: 1 January 1953 Place of birth: Bouadriko, Côte d’Ivoire Chairman of the Ivorian Popular Front (FPI): obstruction of the peace and reconciliation process, incitement to hatred and violence. 5. Alcide Djédjé Date of birth: 20 October 1956 Place of birth: Abidjan, Côte d’Ivoire Close advisor to Mr. Gbagbo: participation in the illegitimate government of Mr. Gbagbo, obstruction of the peace and reconciliation process, public incitement to hatred and violence.
xxvii