Analisis Respon Tajuk Rencana Harian Jakarta Post dan New York Times terhadap Intervensi Militer di Libia Tahun 2011 1
Fahlesa Munabari dan Surya Satria Mandala
Asbtract This article attempts to examine the extent to wich the media and the government have influenced each other. A widely-held postulate about the relations between the media and policymaking process argues that the media plays an important role in influencing the policy-making process in government. However, it is also believed that government can also influence the media to gain public support on a variety of issues. The early period of the United States and its allies’ military intervention in Libya in 2011 is chosen as a case study to elucidate such relations. For this purpose, this article attempts to analyze and compare the editorial contents of the Jakarta Post and the New York Times with a view to elucidating the nature of such relations. The findings of this article demonstrate that the media and the government engage in dynamic interactions in which both the former and the latter influence each other. Keywords: Media, International Relations, Content Analysis, Conflict Studies.
Pendahuluan Demonstrasi masa dalam skala besar menuntut turunnya Presiden Libya, Moammar Khadafi, terjadi di Libya pada awal bulan Februari 2011 (BBC Indonesia, 16 Februari 2011). Demonstrasi massa ini terilhami oleh demonstrasi serupa yang terjadi di Tunisia yang berhasil menggulingkan Presiden Zainal Abidin bin Ali yang kemudian melarikan diri ke Arab Saudi dan 1
Fahlesa Munabari adalah dosen prodi Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Budi Luhur. Email:
[email protected]. Surya Satria Manda adalah mahasiswa sarjana tingkat akhir prodi Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Budi Luhur. Email:
[email protected]. Artikel ini merupakan hasil dari penelitian dengan topik yang sama yang didanai oleh LPPM Universitas Budi Luhur.
1
di Mesir yang berhasil melengserkan Presiden Husni Mubarak (Viva News, 15 Januari 2011; Liputan6.com, 11 Februari 2011). Demonstrasi anti Khadafi di Libya yang terpusat di kota Benghazi, Libya Timur ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan diklaim oleh kubu oposisi anti Khadafi telah menewaskan ribuan orang akibat dari serangan pasukan pro Presiden Khadafi dalam kurun waktu antara Februari hingga April 2011 (Detik News, 13 April 2011). Perang saudara berkepanjangan di Libya yang telah menewaskan ribuan orang ini mengundang simpati dunia internasional. Dengan memperhatikan semakin meningkatnya korban sipil yang jatuh di Libya, Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada tanggal 17 Maret 2011 mengeluarkan resolusi zona larangan terbang di Libya yang melibatkan pesawat jet tempur pasukan koalisi yang pada awalnya melibatkan Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis untuk menjaga wilayah udara Libya dari serangan jet-jet tempur Libya yang memerangi warga sipil dan kubu oposisi (Viva News, 18 Maret 2011). Amerika Serikat kemudian menyerahkan kendali operasi zona larangan terbang kepada NATO (North Atlantic Treaty Organization atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara). NATO pun pada akhirnya menyetujui untuk mengambilalih operasi tersebut dan mulai berjalan pada tanggal 31 Maret 2011 (Kompas.com, 25 Agustus 2011). Keinginan pemerintah Amerika Serikat untuk menyerahkan kendali operasi zona larangan tersebut kemungkinan besar lebih dipengaruhi oleh penentangan publik dan Kongres Amerika Serikat terhadap aksi pengiriman pasukan militer oleh pemerintah Amerika Serikat secara unilateral di Libya tanpa persetujuan Kongres (Inter Press Service News, 20 Mei 2011). Keterlibatan Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam operasi zona larangan terbang di Libya pada bulan Maret 2011 cukup mendapat penentangan dari sebagian besar publik maupun Kongres Amerika Serikat. Diantara anggota Kongres Amerika Serikat ada yang beranggapan bahwa, meskipun aksi militer tersebut adalah bentuk pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1973 tahun 2011, Presiden Obama tetaplah harus meminta persetujuan Kongres terlebih dahulu (Inter Press Service News, ibid). Di samping itu, jajak pendapat yang diadakan oleh Pew Research Center dalam kurun waktu 10 – 13 Maret 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 44% responden menyetujui penerapan zona larangan terbang, sementara 45% menentangnya. Sebanyak 63% menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak memiliki tanggungjawab untuk melakukan intervensi di Libya. 77% responden menolak untuk 2
menjatuhkan bom terhadap pertahanan udara Libya, 69% menolak mempersenjatai pasukan anti Khadafi, dan 82% menolak mengirimkan pasukan angkatan darat ke Libya.2 Jika sebagian besar publik Amerika Serikat menolak intervensi pemerintah Amerika Serikat di Libya, apakah media massa berpengaruh di Amerika Serikat juga cenderung memiliki sikap atau posisi pemberitaan yang juga menentang intervensi tersebut? Dengan berpijak pada argumentasi Naveh (2002) yang menyatakan bahwa interaksi antara media dengan pengambil kebijakan (pemerintah) bersifat saling mempengaruhi, dapat diasumsikan bahwa media dan pemerintah akan selalu terlibat dalam dinamika saling mempengaruhi. Media yang sikap atau posisi pemberitaannya mendukung suatu kebijakan pemerintah, maka dapat diasumsikan bahwa pemerintah berhasil mempengaruhi media tersebut untuk mendukung kebijakannya. Beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam artikel ini adalah bagaimana sikap atau posisi media massa berpengaruh di Amerika Serikat yang dalam hal ini diwakili oleh the New York Times dalam merespon kebijakan intervensi militer di Libya? Apakah media massa tersebut bersikap kritis atau justru mendukung kebijakan tersebut? Bagaimana sikap atau posisi pemberitaan media massa yang berasal dari luar Amerika Serikat — dalam hal ini diwakili oleh the Jakarta Post — dalam merespon kebijakan tersebut? Artikel ini akan menganalisis isi tajuk rencana harian the New York Times terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama untuk melakukan intervensi militer di Libya berupa zona larangan terbang. Selain itu, artikel ini juga akan membandingkan isi tajuk rencana the New York Times dengan isi tajuk rencana harian the Jakarta Post terhadap isu intervensi militer Amerika Serikat di Libya. Penulis sengaja memilih harian the New York Times dan Jakarta Post karena keduanya diyakini memiliki reputasi internasional yang baik. Kedua Koran tersebut juga menggunakan bahasa Inggris, sehingga akan menjadikan pembahasan atau perbandingan isi tajuk rencana kedua koran dari dua negara yang berbeda tersebut menjadi lebih mudah. Naveh (2002 ) mengajukan model hubungan antara media dengan pengambil kebijakan / pemerintah yang bersifat saling mempengaruhi. Naveh berargumen bahwa media diyakini
2
Pew Research Center, Public Wary of Military Intervention in Libya: Broad Concern that U.S. Military is Overcommitted, http://www.people-press.org/2011/03/14/public-wary-of-military-intervention-in-libya/. Akses 24 November 2011.
3
sebagai salah satu instrumen yang efektif untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Namun, tidak saja media yang dapat mempengaruhi proses pengambilan kebijakan, para pengambil kebijakan pun (pemerintah) dapat mempengaruhi media untuk mendukung serangkaian kebijakannya.
Media dan Pengaruhnya Pasca penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg di Jerman pada abad ke-15 perkembangan media ─ dalam bentuk yang paling sederhana ketika itu seperti selebaran, buletin, dan buku ─ berlangsung dengan cepat. Media dalam bentuknya yang sederhana di abad pertengahan Eropa tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam menyebarkan ide-ide tentang kebebasan, persamaan hak, kebangsaan, dan lain sebagainya secara masif. Bahkan, menurut Anderson (1986), kapitalisme cetak yang kemudian mempercepat pertumbuhan media di kalangan bangsa Eropa di abad pertengahan memiliki peran penting dalam membentuk entitas politik baru yang kita kenal sekarang dengan nation-state (negarabangsa). Di dalam negara-bangsa inilah masyarakat memiliki kemampuan untuk dapat “membayangkan” bahwa mereka hidup di dalam suatu entitas politiknya masing-masing dengan batasan wilayah/teritorial yang tetap atau pasti. Seiring dengan perkembangan teknologi, media pun turut berkembang dari hanya sekadar poster, selebaran atau buku menjadi radio dan televisi sebagai media yang berbentuk penyiaran. Dalam konteks politik dan hubungan internasional, media telah digunakan untuk mendukung tujuan-tujuan politik atau propaganda penguasa kerajaan atau pemerintahan. Pada awal abad ke20, radio sebagai media komunikasi dan penyiaran yang efektif di kala itu juga dimanfaatkan sebagai piranti politik atau propaganda sejak Perang Dunia.3 Bahkan untuk mendukung tujuantujuan politiknya, rezim Nazi Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler pun melancarkan propoaganda perang melalui media radio yang dinilai efektif di kala itu. (Bergmeier and Lotz 1997).
3
Lihat misalnya buku kumpulan tulisan tentang peran radio dalam Perang Dunia Short (1983).
4
Seiring dengan perkembangan teknologi, media televisi / TV yang dapat menyiarkan citra secara audio dan visual pun ditemukan pada akhir tahun 1920an dan kemudian berkembang dengan pesat. Keunggulan media TV yang dapat menampilkan visual bergerak yang disertai audio memiliki keunggulan dibandingkan dengan radio. Keunggulan media TV menjadikan media ini dipercaya sebagai media yang efektif untuk mengkampanyekan propaganda dan pesanpesan politik pemerintah.4 Salah satu revolusi teknologi TV yang dampaknya dapat dirasakan secara global adalah TV kabel yang menggunakan sinyal frekuensi radio dan ditransmisikan melalui kabel serat optik yang tetap, bukan melalui udara seperti siaran TV pada umumnya yang harus diterima melalui antena. Salah satu dari jaringan TV berita tersebut adalah CNN (Cable News Network). CNN didirikan oleh Ted Turner pada tahun 1980 dan merupakan jaringan TV berita pertama yang menghadirkan berita secara 24 jam tanpa henti. CNN dimiliki oleh perusahaan media global Time Warner (salah satu dari tujuh perusahaan media global yang berpengaruh). Banyak kalangan menganggap bahwa kepopuleran CNN secara global dimulai sejak peliputan Perang Teluk pada tahun 1991 melalui program liputan langsungnya. Kepopuleran CNN pada perkembangannya dijadikan objek penelitian oleh banyak ilmuwan sosial-politik mengenai seberapa besar dampaknya dalam membentuk opini publik dan dalam memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menentukan kebijakan baik pada level nasional maupun internasional.5 Kasus konflik yang terjadi di era tahun 1990an seperti Perang Teluk, perang saudara di Somalia, Bosnia-Herzegovina, Rwanda, dan Sierra Leone kerapkali dijadikan objek penelitian untuk menguak efektifitas CNN. CNN, beserta jaringan TV berita global lainnya seperti BBC dan belakangan Al-Jazeera, tidak dipungkiri mampu menghadirkan image (citra/gambar) yang mampu memainkan emosi publik, dan biasanya peristiwa yang mampu membangkitkan sentimen publik adalah peristiwaperistiwa yang terkait dengan tragedi kemanusiaan. Banyak pengamat meyakini bahwa citra
4
Untuk analisis mengenai TV sebagai instrumen penyampai pesan-pesan politik, lihat misalnya Uudelepp (2008).
5
Untuk analisis terkait dengan Efek CNN dan proses pengambilan kebijakan luar negeri, lihat misalnya Gilboa (2002, 2005).
5
tragedi kemanusiaan yang terjadi di Somalia akibat penindasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh raja-raja kecil (warlords) Somalia terhadap masyarakat sipilnya yang dipertontonkan oleh CNN telah membangkitkan sentimen publik dan meningkatkan tekanan internasional agar Amerika Serikat dan PBB melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia. Ameria Serikat pun kemudian memutuskan mengirimkan misi kemanusiaan pada tahun 1992 di bawah kepemimpinan Presiden George Bush senior. Namun demikian, medan perang di Somalia yang sulit serta rekaman video yang menampilkan tubuh tentara Amerika Serikat diseret dan diarak oleh pemberontak Somalia dan rekaman jatuhnya helikopter BlackHawk telah membuat marah publik Amerika Serikat dan menekan pemerintahnya untuk segera menarik pasukan Amerika Serikat dari Somalia. Pemerintah Amerika Serikat pun, ketika itu di bawah Presiden Bill Clinton, memutuskan untuk menarik pasukan dari Somalia, dan secara bertahap berakhirlah intervensi militer Amerika Serikat di Somalia pada tahun 1994. Dari gambaran ini kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa CNN yang telah menyeret masuk Amerika Serikat ke medan perang di Somalia, sekaligus juga yang telah menarik Amerika Serikat keluar dari Somalia. Kekuatan berita audio-visual juga terbukti dapat mendorong kampanye di Amerika Serikat dan dunia untuk tidak menggunakan berlian ilegal hasil perang sipil berkepanjangan di Sierra Leone dalam kurun waktu 1991-2002, dan mendorong PBB untuk kemudian menyepakati Kimberly Process Certification Scheme, yaitu proses sertifikasi berlian sehingga dapat diketahui asal-usul berlian tersebut. Kuatnya citra yang dihadirkan oleh CNN beserta jaringan TV berita lainnya, juga sangat kental terasa ketika detik-detik runtuhnya menara kembar WTC di New York dapat kita saksikan secara langsung, yang kemudian berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan opini publik global terhadap hubungan Dunia Barat versus Dunia Islam. Media diyakini dapat memainkan peran yang berarti dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri. Naveh (2002) memberi contoh bahwa bocornya isi perjanjian deklarasi damai (Declaration of Principles) antara Israel dan Palestina yang ditandatangani oleh tokoh Palestina Abu Ala dan tokoh Israel Uri Savir di Norwegia pada tanggal 20 Agustus 1993, telah menimbulkan reaksi publik internasional yang keras (hlm. 2). Naveh juga menyatakan bahwa 6
interaksi antara media dengan pengambil kebijakan (pemerintah) bersifat saling mempengaruhi, dapat diasumsikan bahwa media dan pemerintah akan selalu terlibat dalam dinamika saling mempengaruhi. Disamping berfungsi sebagai hiburan, dalam konteks dinamika saling mempengaruhi, media juga dapat memobilisasi atau menggiring opini public. Sementara itu Cangara (2009) menyatakan bahwa hubungan antara media dan pemerintah biasanya lebih banyak bersifat negatif, dan sikap negatif inilah yang sering menimbulkan miscommunication atau misinformation. Menurut Cangara, media atau pers lebih cenderung untuk menyiarkan berita yang tidak rutin, kekacauan, kegagalan, dan lain sebagainya yang tidak nyaman bagi pembuat kebijakan atau pemerintah. Sementara itu, pemerintah sendiri mempunyai kriteria tetang berita, yaitu sering dikaitkan dengan keberhasilan, ketertiban, dan pembangunan. Perbedaan persepsi ini merupakan sumber benturan yang selalu terjadi dalam interaksi antara media dan pemerintah dan sering dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan politik (hlm. 128). Sementara itu Agak berbeda dengan Naveh, meskipun Gilboa (2002) meyakini fungsi media global — seperti jaringan TV berita global — yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi opini publik, ia berargumen bahwa Efek CNN terhadap pengambilan kebijakan luar negeri lebih cenderung bersifat kompleks dan membingungkan (hlm. 34). Gilboa menunjukkan
beberapa penelitian
yang
mendukung
peran
signifikan
media
dalam
mempengaruhi kebijakan luar negeri. Namun, ia pun juga menunjukkan beberapa penelitian lain yang menemukan bahwa media tidak berperan dalam mempengaruhi proses kebijakan luar negeri, dan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara isi berita yang ditampilkan media dengan opini publik dan perubahan kebijakan.
The Jakarta Post dan Posisi Pemerintah Indonesia Selama rentang waktu antara munculnya konflik di Libya dan pengambilan keputusan pemberlakuan zona larangan terbang di Libya, setidaknya terdapat tiga artikel harian the Jakarta Post yang memberitakan dinamika kebijakan tersebut yang dituangkan melalui kolom tajuk rencana. Sesuai dengan kode etik jurnalistik, kolom tajuk rencana the Jakarta Post memberikan 7
pandangan yang objektif mengenai intervensi PBB terhadap rezim Muammar Qaddafi di Libya. Hal ini sangat terlihat dari pernyataan dalam tajuk rencana the Jakarta Post tanggal 21 Maret 2011 yang berjudul “Libya Undone”, “The military air strikes targeting forces loyal to Libyan leader Muammar Qaddafi on Saturday may have been inevitable, but the international community is left with the uneasy question of how far it should interfere in an internal conflict in a United Nations member country” Dalam paragraf tersebut, terlihat bahwa tajuk rencana the Jakarta Post menuliskan situasi dunia internasional yang masih ragu mengenai keputusannya untuk melakukan intervensi militer terhadap rezim Qaddafi di Libya meskipun telah dilakukan serangan udara oleh pihak PBB. Selanjutnya di paragraf kedua, tajuk rencana the Jakarta Post juga menekankan dampak dan konsekuensi dari keputusan yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB melalui penjelasannya mengenai kondisi masyarakat dan dampak dari intervensi PBB yang dilematis. “The UN Security Council, which sanctioned the air strikes, must also ask itself what is the end game of this action? Would it accept a defeat on the part of the rebels, with all the inevitable horrible consequences for civilians, or would it go all the way to support the rebels’ cause to end Qaddafi’s reign of terror?” Dari berbagai kondisi keraguan tersebut dalam paragraf berikutnya, tajuk rencana the Jakarta Post seperti memberikan sejenis saran terhadap apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengambil keputusan terkait pemberontakan yang terjadi di Libya melalui kalimat “Any decent nation would support the Security Council Resolution on Friday authorizing all measures necessary to stop the killing of Libyan civilians”. Saran tersebut juga datang dengan berbagai pertimbangan objektif bagi pemerintah Indonesia dalam kalimat-kalimat berikutnya, “Military intervention, even on the pretext of humanitarian reasons, is easy, but it raises complications and it certainly created a precedent. Would the Security Council, for example, issue a similar resolution to deal with equally brutal oppression, admittedly on smaller scales, committed by other Arab regimes such as Bahrain or Iran? What about Myanmar” 8
Selain pertimbangan objektif, kolom tajuk rencana the Jakarta Post juga memberikan kritik yang kritis terhadap tindakan PBB yang melakukan intervensi militer yang subjektif melalui kalimat penutupnya “How the conflict evolves in the next few days of weeks will tell us whether the United Nations had been right in taking on the responsibility to protect civilians in Libya”. Pandangan objektif ini juga terus dipertahankan oleh kolom tajuk rencana the Jakarta Post yang berjudul “Got a clear Libyan Agenda?” tanggal 1 April 2011. Dalam kolom ini, tajuk rencana the Jakarta Post masih terus bersikap kritis terhadap tindakan negara-negara NATO yang berupaya untuk menekankan zona larangan terbang. Pertanyaan yang terus diulang dan dipertanyakan oleh the Jakarta Post adalah sampai dimana batas intervensi dan tindakan yang dapat diambil oleh dunia internasional terkait kasus pemberontakan di Libya. Namun dalam kolom tajuk rencana kedua, the Jakarta Post mulai mengkritik aktor-aktor yang memiliki kepentingan dan mengambil keputusan yang kurang tepat seperti keputusan Presiden AS Barrack Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “President Susilo Bambang Yudhoyono’s position is similarly unclear as he calls for a ceasefire and offers Indonesia to be part of the deployment of UN peacekeeping forces. He is moving ahead of the United Nations in giving legitimacy, implicit or otherwise, to the rebel forces. This position may seem progressive, but it could backfire on Indonesia, which has had a long history of insurgencies, including an ongoing one now in Papua. A ceasefire and the presence of peacekeeping forces raise the specter of splitting Libya into two countries” Dalam kolom tajuk rencana keduanya mengenai intervensi Libya dan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tajuk rencana the Jakarta Post kedua ini mencoba untuk memberikan
saran
dan
kritik
terhadap
keputusan
pemerintah
Indonesia
dengan
mempertimbangkan situasi politik dalam negeri untuk berupaya bersikap netral dan tidak perlu menyoroti masalah tersebut secara intensif karena di Indonesia sendiri masih banyak terjadi pelanggaran HAM. Saran tersebut diperkuat melalui fakta-fakta yang terjadi di AS dimana keputusan Presiden Barrack Obama untuk melakukan intervensi militer di Libya mendapatkan kritik masyarakat. 9
“US President Barack Obama, facing criticism at home for his decision to engage the United States in the military action against Libya, cited humanitarian reasons.” Namun dalam perkembangan konflik tersebut, tajuk rencana the Jakarta Post mulai menyarankan Indonesia untuk berpartisipasi dalam organisasi PBB, seperti yang tertulis dalam tajuk rencana the Jakarta Post “Libya and The Cost of Freedom” tanggal 16 Juli 2011. “Indonesia should move beyond supporting the UN Security Council and at the very least speak out against a regime that is killing its own people.” “As governments, including Indonesia, are trying to evacuate their citizens trapped inside Libya, they should consider extending humanitarian aid to areas that have fallen into rebel hands. France appears to be leading the way.” “This is ultimately a battle that Libyans alone must fight and finish. However as Indonesia learned in bringing down the Soeharto regime in 1998, every little bit of help from friends counts.” Dalam kolom tajuk rencana terakhirnya, sebelum pengambilan keputusan oleh PBB, tajuk rencana harian the Jakarta Post mencoba untuk memberikan alternatif tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia. Di artikel ini pula, tajuk rencana the Jakarta Post mengubah pandangannya terhadap tindakan pemerintah Indonesia terkait konflik Libya agar “Setidaknya pemerintah Indonesia mengambil andil untuk membantu Libya, belajar dari penggulingan rezim Soeharto, setiap bantuan dari negara tetangga sangat diperhitungkan”. Tidak lama setelah artikel-artikel tersebut dipublikasikan, pemerintah mulai mengambil tindakan yang tidak jauh berbeda dengan tindakan-tindakan yang direkomendasikan oleh the Jakarta Post. Salah satunya yaitu dengan berkerjasama dengan Turki untuk untuk menghentikan perang yang terjadi di Libya. Melalui pernyataan bersama pada tanggal 5 April 2011, Presiden Turki Abdullah Gul dan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya “Pemberdayaan kedaulatan, kesatuan nasional, dan integritas teritorial Libya” (Jakarta Globe, 5 April 2011). Dari statement tersebut, terlihat bahwa Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melakukan 10
intervensi yang “aman” dengan terus menyuarakan perdamaian dan menyatakan kesediaannya untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke zona konflik dibandingkan dengan menyetujui keputusan pemberlakuan zona larangan terbang. Analisis ini juga didukung oleh statement Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers gabungan usai pembacaan joint statement oleh kedua presiden. “We discussed this issue... to stop the bloodshed in Libya. Infrastructure should not be destroyed”(idem). Dalam pidato lainnya juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya menyampaikan harapannya agar gencatan senjata di Libya dihentikan. "Keadaan di Tripoli khususnya dan di Libya umumnya memang masih serba belum pasti dan belum menentu, meskipun kita bisa mengikuti manuver-manuver militer yang ada di sana dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, kembali kepada harapan dan seruan Indonesia yang saya sampaikan beberapa saat yang lalu, yang sebenarnya Indonesia berharap ada penyelesaian damai, penyelesaian politik, bukan kekerasan dan peperangan, tapi segala sesuatunya diserahkan kepada bangsa Libya untuk menentukan masa depannya sendiri dengan proses yang baik”6 Dari statement tersebut, juga dapat disimpulkan bahwa kedua presiden, terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mendukung adanya intervensi militer seperti yang telah dilakukan oleh NATO dengan melakukan serangan udara karena tindakan tersebut justru akan merusak infrastruktur yang ada di Libya. Analisis tersebut diperkuat oleh argumen Naveh (2002) yang mengatakan bahwa media dan pemerintah cenderung untuk saling mempengaruhi. Dalam kasus ini, Indonesia yang menganut sistem demokrasi dipengaruhi oleh media sebagai penyalur aspirasi masyarakat luas. Sangatlah wajar apabila pandangan sebuah negara demokrasi dipengaruhi oleh mayoritas masyarakat yang diwakili oleh media the Jakarta Post, begitu juga sebaliknya ketika keputusan pemerintah akan suat hal mempengaruhi masyarakatnya. Lantas bagaimanakah dengan negara-negara yang menganut sistem demokrasi liberal?
6
Official Website of the Indonesian President. “Pemerintah Indonesia Berharap Konflik di Libya Segera Berakhir.” 23 Agustus 2011. http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2011/08/23/7159.html. Akses tanggal 22 Juli 2012.
11
Pandangan the New York Times terhadap keputusan pemerintah AS Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat memiliki peranan yang penting dalam keputusan intervensi di Libya. Selain anggota Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat juga merupakan salah satu negara anggota yang penting dalam keanggotaan NATO. Selama masa awal gelombang demonstrasi di Arab, Amerika Serikat telah memainkan peranan yang cukup signifikan untuk mendukung demokratisasi negara-negara di Arab. Dalam upayanya untuk mendemokratisasi Tunisia contohnya, Amerika Serikat bersedia untuk memberikan pinjaman dana kepada negara tersebut untuk melaksanakan proses demokratisasi melalui pemilu. Sejak munculnya kerusuhan di Libya oleh gerakan revolusioner melawan Pemerintahan Qaddafi di Benghazi pada tanggal 15 Februari 2011, New York Times terus mempublikasikan berbagai artikel yang memiliki muatan atau isi “provokatif” terkait kejadian di Libya dan sejarah dari Muammar Qaddafi. Hal ini terlihat dari salah satu artikel New York Times tanggal 22 Februari 2011 yang berjudul “Libya’s Butcher”, “Col. Muammar el-Qaddafi of Libya vowed on Tuesday that he would “fight on to the last drop of my blood” and die a “martyr.” We have no doubt that what he really meant is that he will butcher and martyr his own people in his desperation to hold on to power. He must be condemned and punished by the international community” “Colonel Qaddafi, who took power in a 1969 coup, has a long, ruthless and erratic history. Among his many crimes: He was responsible for the 1988 bombing of Pan Am 103 over Lockerbie, Scotland. In 2003, after years of international sanctions, he announced that he had given up terrorism and his pursuit of nuclear, chemical and biological weapons.” “We applauded those changes, and we are not eager to see Libya once again isolated. But Colonel Qaddafi’s brutal suppression of antigovernment demonstrations has left no doubt that he is still an international criminal.” Berdasarkan paragraf tersebut, terlihat bahwa New York Times menyoroti kejahatankejahatan masa lalu yang dilakukan oleh Muammar Qaddafi. Meskipun berita tersebut benar adanya, namun kita dapat berasumsi bahwa terdapat pandangan yang negatif di dalam tajuk rencana New York Times mengenai Qaddafi. Disamping pandangan negatif mengenai Qaddafi, 12
New York Times juga memiliki pandangan bahwa Amerika Serikat merupakan aktor utama yang memiliki pengaruh kuat dan New York Times sadar bahwa ia dapat menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat. Hal tersebut terlihat dari artikel New York Times tanggal 24 Februari 2011 yang berjudul “Stopping Qaddafi”, “It would be best if the United Nations Security Council imposed sanctions, but that takes too long. Washington and Europe can immediately freeze Libyan assets in American and European banks and work to block Libya’s access to the international financial system. Europe and the United States can deny travel visas to top Libyan officials and government supporters.” If the killing goes on, other steps may be quickly needed, including offering temporary sanctuary for refugees and imposing the kind of no-fly zone that the United States, Britain and France used to protect Kurds in Iraq from the savagery of Saddam Hussein. After Bosnia, Kosovo and Rwanda, the United States and its allies vowed that they would work harder to stop mass atrocities. One thing is not in doubt: The longer the world temporizes, the more people die. Dalam kutipan paragraf-paragraf tersebut, terlihat bahwa New York Times mencoba menekan pemerintah Amerika Serikat untuk segera mengambil tindakan tegas dengan melakukan intervensi, terlepas dari keputusan PBB dengan alasan kemanusiaan dan kemungkinan meningkatnya korban jiwa masyarakat sipil. Dorongan lain dari New York Times juga muncul pada tajum rencana selanjutnya yang dipublikasikan pada tanggal 8 Maret 2011 berjudul “Washington’s Options on Libya”. Sekali lagi New York Times mencoba mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk mengambil tindakan tegas terhadap rezim di Libya karena dapat mengancam kredibilitas negeri Paman Sam tersebut. “The Obama administration is throwing out so many conflicting messages on Libya that they are blunting any potential pressure on the Libyan regime and weakening American credibility. It’s dangerous to make threats if you’re not prepared to follow through. All of the public hand-wringing has made it even worse.” Artikel tersebut merupakan kritik bagi tindakan Presiden Barrack Obama yang tidak segera mengambil tindakan langsung terhadap rezim di Libya, sebaliknya Presiden Barrack 13
Obama mengumpulkan dukungan-dukungan dari negara-negara seperti Brazil dan Meksiko melalui konferensi pers di gedung putih pada tanggal 3 Maret 2011. Dalam konferensi pers yang lain pada tanggal 11 Maret 2011, Presiden Obama mengatakan bahwa “Qaddafi harus meninggalkan Libya demi kepentingan masyarakat Libya yang menginginkan kebebasan dari tekanan seseorang selama beberapa dekade.” (Weinberg 2011). Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan artikel New York Times tanggal 22 Febuari 2011, yang mengatakan bahwa pemerintah Libya harus menghentikan serangan terhadap masyarakat sipil dan berupaya melakukan transisi menuju demokrasi yang didahului dengan lengsernya Kolonel Qaddafi. Namun, siklus saling mempengaruhi antara media dan pemerintah bekerja secara dua arah. Tidak hanya media yang mempengaruhi pemerintah namun juga keputusan pemerintah yang dapat mempengaruhi media. Hal ini dapat dilihat dari isi New York Times mengenai pemberitaan konflik di Libya yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan sudut pandang. Apabila kita melihat tajuk rencana New York Times tanggal 22 dan 24 Febuari 2011, dapat dikatakan bahwa kedua tajuk rencana tersebut mengarah kepada kritik dan saran New York Times mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh pemeritah Amerika Serikat. Kedua tajuk rencana tersebut berbeda dengan tajuk rencana New York Times pada tanggal 21 Maret 2011, dimana Presiden Obama telah menyetujui pemberlakuan zona larangan terbang di Libya. Secara gamblang, New York Times menyetujui keputusan Presiden Obama untuk melakukan intervensi militer bersyarat melalui tajuk rencananya tanggal 5 Mei 2011 yang berjudul “Stalled Mission in Libya”. “President Obama was right to hand over this mission to Canadian and European command once the initial American strikes had shattered Libyan air defenses” Dukungan New York Times tersebut muncul setelah Amerika Serikat melakukan pengeboman beruntun pada tanggal 19-20 Maret 2011 bertepatan dengan hari peringatan invasi Amerika Serikat dan Inggris di Irak (Azikiwe 2011). Setelah melihat perkembangan isi tajuk rencana New York Times, dapat dilihat bahwa dari waktu ke waktu, pemerintah sebagai pengambil keputusan dapat mempengaruhi media. 14
Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian mengenai pengaruh isi dari kedua sampel yaitu harian the New York Times dan the Jakarta Post terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat berupa intervensi militer di Libya, peneliti menemukan beberapa hal yang menarik mengenai sudut pandang media terhadap berlangsungnya konflik. Peneliti berpandangan bahwa media memiliki sudut pandang yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Naveh (2002) bahwa media dan pemerintah akan selalu terlibat dalam dinamika yang saling mempengaruhi. The Jakarta Post sebagai media utama berbahasa Inggris di Indonesia memberikan kritik kritisnya terhadap keputusan pemerintah Indonesia mengenai perannya yang kurang dalam menanggapi konflik di Libya. Namun, lambat laun the Jakarta Post menyadari bahwa posisi tersebut merupakan posisi aman Indonesia mengingat banyaknya pelanggaran HAM dan gerakan-gerakan separatis yang muncul di dalam negeri akan berakibat fatal pada keputusan luar negeri Indonesia terkait konflik di Libya. Sedikit berbeda dengan Indonesia dan the Jakarta Post, dalam kasus intervensi Amerika Serikat di Libya, media Amerika Serikat yang diwakili oleh NewYork Times pada akhirnya menyetujui dan mendukung intervensi militer oleh pemerintah Amerika Serikat meskipun pada awalnya media tersebut bersikap kritis terhadap tindakan lamban dari pemerintah. The New York Times cenderung untuk mendukung pemberlakuan kebijakan larangan terbang dan intervensi militer lainnya yang terlihat dari salah satu tajuk rencana New York Times sendiri dimana artikel tersebut menjelaskan bahwa diperlukan aksi yang efektif untuk menghentikan pembantaian di Libya dengan bercermin pada pemberlakuan zona larangan terbang di Irak. Sedangkan harian the Jakarta Post justru lebih berupaya untuk bersikap netral dan objektif serta melihat gambaran konflik dengan lebih luas, dimana tidak hanya Amerika Serikat saja yang memiliki peran penting namun juga PBB, dan negara NATO lainnya. Menurut peneliti, disamping pengaruh sejarah Indonesia yang memiliki banyak kasus pelanggaran HAM dan
15
gerakan-gerakan separatis, sikap harian the Jakarta Post juga dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk bersikap netral. Apabila kita melihat dinamika konflik di Libya itu sendiri berdasarkan analisis isi tajuk rencanan kedua harian tersebut pada awal konflik di Libya, media menggambarkan opini publik dan sering kali berlawanan dengan keputusan pemerintah. Namun seiring perkembangannya, pemerintah mampu mempengaruhi media agar media tersebut dapat mempengaruhi opini publik seperti apa yang dikatakan oleh Gilboa (2002) bahwa media memiliki peran penting dalam mempengaruhi opini publik. Peneliti juga menyimpulkan bahwa media dan pemerintah memiliki keterkaitan yang erat. Hubungan ini sangat terlihat disaat pengambilan keputusan, dimana media memiliki peran sebagai kritikus dan pemberi saran alternatif serta pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan beragam pertimbangan berdasarkan data-data media. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Naveh (2002) dimana hubungan antara media dan pengambilan kebijakan bersifat kompleks dan berlapis, hubungan antara media dan pemerintah tidak dapat dipisahkan.
16
Daftar Pustaka
Azikiwe, Abayomi. 2011. “Stop U.S. Bombing of Libya.” Workers World. Maret 2004. Bergmeier, Horst J. P. and Rainer E. Lotz. 2007. Hitler's Airwaves: The Inside Story of Nazi Radio Broadcasting and Propaganda Swing. New Haven: Yale University Press. Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Press. Gilboa,
Eytan. 2002. “Global Communication Communication 52 (4): 731-748.
and
Foreign
Policy.”
____. 2005. “The CNN Effect: The Search for a Communication Theory of Relations.” Political Communication 22: 27-44.
Journal
of
International
Naveh, Chanan. 2002. “The Role of the Media in Foreign Policy Decision-Making: A Theoretical Framework.” Conflict & Communication Online 1 (2). Short, K. R. M., ed. 1983. Film and Radio Propaganda in World War II. Knoxville: University of Tennessee Press. Uudelepp, Agu. 2008. “Propaganda Instrument in Political Television Advertisements and Modern Television Commercials.” PhD thesis, Tallinn University. Weinberg, Ali. 2001. “Libya: The Timeline.” NBC News. 24Maret.
17
Situs Berita
BBC Indonesia 16 Februari 2011. “Unjuk Rasa Mulai Muncul di Libya.” www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/02/110216_lib\aunrest.shtml?print=1 (akses 24 November 2011) Detik News 13 April 2011. “Pemberontak Klaim Pasukan Khadafi Telah Tewaskan 10 Ribu Orang.” http://www.silinder.com/berita/pemberontak-klaim-pasukan-khadafi-telah-tewaskan-10ribu orang (akses 24 November 2011) Inter Press Service News 20 Mei 2011. “U.S. Congress Pushes for Vote on Libya Intervention.” www.ipsneZs.net/print.asp?idneZs=55720 (akses 24 November 2011) Jakarta Post 21 Maret 2011. “Libya Undone.” https://www.thejakartapost.com/news/2011/03/21/editorial-libya-undone.html (akses 24
November 2011). 1 April 2011. “Got a Clear Libyan Agenda?” http://www.thejakartapost.com/news/2011/04/01/editorial-got-a-clear-libyan-agenda.html
(akses 24 November 2011). 16 Juli 2011. “Libya and the Cost of Freedom.” http://www.thejakartapost.com/news/2011/03/02/editorial-libya-and-cost-freedom.html
Kompas.com 25 Agustus 2011. “Nato Mencari Jalan Demi Stabilitas Politik.” http://internasional.kompas.com/read/2011/08/25/0355219/NATO.Mencari.Jalan.demi.St abilitas.Politik (akses 24 November 2011) Liputan6.com 18
11 Februari 2011. Hosni Mubarak Akhirnya Lengser http://berita.liputan6.com/read/320024/hosni_mubarak_akhirnya_lengser (akses 24 November 2011) New York Times 22 Februari 2011. “Libya’s Butcher.” http://www.nytimes.com/2011/02/23/opinion/23wed2.html?_r=1 (akses 24 November
2011). 24 Februari 2011. “Stopping Qaddafi.” http://www.nytimes.com/2011/02/25/opinion/25fri1.html?scp=1&sq=stopping%20gaddafi&st= Search (akses 24 November 2011).
8 Maret 2011. “Washington’s Options on Libya.” www.nytimes.com/2011/03/09/opinion/09wed1.html?pagewanted=print (akses 24 November 2011). 5 Mei 2011. “Stalled Mission in Libya.” http://www.nytimes.com/2011/05/06/opinion/06fri1.html (akses 24 November 2011).
Official Website of the Indonesian President 23 Agustus 2011. “Pemerintah Indonesia Berharap Konflik di Libya Segera Berakhir.” http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2011/08/23/7159.html. (akses 22 Juli 2012). Pew Research Center 14 Maret 2011. “Public Wary of Military Intervention in Libya: Broad Concern that U.S. Military is Overcommitted.” http://www.people-press.org/2011/03/14/public-wary-ofmilitary-intervention-in-libya/ (akses 24 November 2011) Viva News 15 Januari 2011. “Presiden Tunisia Kabur ke Arab Saudi.” http://dunia.vivanews.com/news/read/199445-presiden-tunisia-melarikan-diri-ke-arabsaudi (akses 24 November 2011) 18 Maret 2011. “PBB Terapkan Zona Larangan Terbang di Libya.” http://dunia.vivanews.com/news/read/210236-zona-larangan-terbang-diberlakukan-dilibya (akses 24 November 2011) 19