Daftar Isi Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU The Method of Decision Making of Islamic Law in Nahdlatul Ulama (LBM-NU) — 421 Vivin Baharu Sururi
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten Analysis of Rampak Bedug Art as Media of Da’wa in Banten — 455 Tatu Siti Rohbiah
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak (Studi Kasus Majalah Hidayah) Message of Da’wa Akhlak in Print Mass Media (A Case Study of Hidayah Magazine) — 477 Uup Gufron
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” Welcoming The New Era “Learning Islam Through The Internet” — 506 A. Khoirul Anam
Dakwah Dengan Media Film : Oase di Tengah Krisis Film-Film Yang Tidak Bermutu Dawah By Using Movies: Oasis in The Midst of Crisis Movies That Are Not Qualified — 530 Naif Adnan
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam Mystical Epistemology in Islamic Philosophy — 552 Hasan Baharun
Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi Neo Sufisme and Sufi Resistance Movement — 572 Ikhwanul Mu’minin
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan Aqidah of Human Perfection Principle — 594 Sabiruddin
The Method of Decision Making of Islamic Law in Nahdlatul Ulama (LBM-NU) Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU Vivin Baharu Sururi Pascasarjana IAIN Surakarta. email :
[email protected]
Abstract : The method of LBM NU istinbat is not static, but he has developed over time, in line with the changing times and adapt to the surrounding context. For easy of explanation, it is divided into three periods. At the beginning of the period, LBM NU used qauli and ilhaqi method. In the second period, or the period is referred to as epidemic update that began in the 1990s, the method used is manhaji method. Progress in setting legal form in LBM NU with this method is no longer the word mauquf the problems being discussed. The latter period is also the period of purification. At this time, LBM NU fence itself from the current liberal thinking and excessive. Then, came the idea of tashfiyatul fikrah al-nahdliyah. Abstraksi : Metode istinbat LBM NU tidaklah statis, tapi ia mengalami perkembangan dari masa ke masa, seiring dengan perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan konteks yang melingkupinya. Untuk memudahkan penjabaran, maka dibagi menjadi tiga periode perkembangan metode istinbat yang digunakan oleh LBM NU dalam mengambil putusan hukum. Pada periode permulaan, LBM NU menggunakan metode qauli dan ilhaqi. Pada periode kedua, atau disebut sebagai periode pembaruan yang dimulai pada taun 1990-an, metode yang digunakan adalah metode manhaji, jika metode qauli sudah tak lagi berkutik. Bentuk kemajuan dalam penetapan hukum di LBM NU dengan metode ini adalah tak ada lagi kata mauquf atas persoalan yang
422_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 sedang dibahas. Periode terakhir disebut juga dengan periode penjernihan. Pada masa ini, LBM NU memagari diri dari arus pemikiran yang liberal dan kebablasan. Maka muncullah gagasan tashfiyatul fikrah al-nahdliyah, pemurnian cara berfikir ala NU. Keyword: Decision Making, Islamic Law, Method, Qauli, and Manhaji
A. Pendahuluan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) adalah lembaga fatwa di kalangan NU. Sebelum dilembagakan, bahtsul masail merupakan tradisi yang telah mengakar di kalangan pesantren, jauh sebelum NU berdiri. Masingmasing pesantren punya forum semacam ini untuk menjawab persoalan masyarakat di sekitar pesantren, khususnya terkait hukum Islam. Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir NU, 31 Agustus 1926. Bisa dibilang, LBM adalah taswirul afkar-nya kaum pesantren setelah NU lahir. Lembaga fatwa ini mempunyai keunikan khas yang berbeda dengan lembaga fatwa yang dimiliki ormas Islam lain. Dalam penggalian hukum, LBM NU tidak langsung merujuk pada al-Quran dan hadis, tapi melalui kitab-kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning. Kitab-kitab ini merupakan karya yang berhaluan pada empat mahdzab yang dijadikan referensi pemikiran dan gagasan dalam pembahasan. Mengapa hanya empat madzhab? Selain alasan pendapatnya yang telah terkodifikasi dengan baik, pemilihan empat mahdzab juga dilandasi atas beberapa alasan. Pertama, keempat mahdzab tersebut sudah diterima dan diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, selama berabad-abad. Kedua, mereka sudah teruji dalam menghadapi kritik dan koreksi secara terbuka
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _423
sepanjang sejarahnya. Ketiga, mereka dinilai cukup fleksibel dalam menghadapi tantangan dari perkembangan zaman yang selalu berubah. Kelima, para kiai yakin bahwa metode yang digunakan oleh keempat mahdzab tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis. Empat mahdzab ini dijadikan pegangan kiai-kiai dalam pemecahan suatu masalah pada LBM NU. Kitab-kitab yang digunakan pun merujuk pada kitab-kitab yang tidak keluar dari koridor empat mahdzab tersebut. Karena yang dijadikan rujukan dalam penentuan hukum Islam adalah pendapat ulama dalam kitab-kitab kuning, maka perbedaan pendapat dalam satu kasus pun seringkali terjadi. Nah, bagaimana cara menyelesaikan jika terjadi perbedaan pendapat antar ulama, baik yang termaktub dalam satu kitab, atau kitab-kitab lain yang sama-sama menjadi rujukan? Pada titik inilah penelitian ini menjadi menarik. Penelitian ini akan menggali metode yang digunakan dalam pengambilan hukum di LBM NU. Cara peneyelesaian perbedaan pendapat dalam kitab-kitab rujukan LBM NU ini, tentu berbeda dengan cara penyelesaian pertentangan antar ayat dalam al-Quran, atau antar matan dalam hadis. LBM NU punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah khilafiyah dalam satu keputusan. Uniknya, dinamika cara pengambilan keputusan hukum dalam LBM NU ini begitu dinamis. Sejak awal berdiri hingga sekarang, telah terjadi perkembangan yang cukup berarti terkait dengan metode istinbat hukum. Jadi, cara pemgambilan hukum LBM NU dari masa ke masa inilah yang akan ditelaah lebih jauh dalam penelitian ini. Berikut ini adalah perkembangan metode istinbat di LBM NU dalam memutuskan hukum atas suatu perkara.
B. Periode Rintisan: Tashwirul Afkar dan Tuntutan Bermadzhab Jejak Nahdlatul Ulama (NU), kalau ditelisik, sejatinya telah mengakar dan mendarah daging di bumi Nusantara, jauh sebelum organisasi ini lahir tahun 1926. Tanggal 31 Januari 1926 tak lebih hanya
424_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sebuah dentuman sejarah, di mana para ulama memproklamasikan kemerdekaan dan kedaulatan tradisi keislaman yang mereka warisi dari para pendahulunya, yang kini dikenal dengan Islam Indonesia, atau Islam yang bersahabat dengan tradisi masyarakat Indonesia. NU kala itu merupakan rumah besar yang dijadikan tempat berteduh tradisi-tradisi Islam yang sudah ratusan tahun hidup dan berkembang di Nusantara. Tradisi itu tidak berdiri sendiri atau diterima begitu saja, tanpa adanya proses asimilasi pemikiran dan landasan epistemologis. Tradisi yang berkembang di lingkungan NU selalu diperkuat dengan argumentasi atau dalil yang bersumber dari kitab-kitab klasik yang dikaji di pesantren. Makanya, jangan coba-coba mempermasalahkan keabsahan tradisi yang dilakoni Nahdliyyin, seperti tahlilan, selamatan, muludan, ziarah kubur, memukul bedug, dan lain-lain., pasti mereka punya argumentasi yang kuat dan jelas sumbernya. Ini membuktikan sejak dulu NU punya prinsip dan tradisi intelektual yang kuat dan mengakar. Persoalan seharihari yang timbul di tengah-tengah masyarakat menjadi bagian dari tugas kalangan pesantren untuk memberikan pencerahan. Geliat intelektualisme semacam ini sudah jadi makanan kiai seharihari dan tentunya para santri di pesantren, jauh sebelum tahun 1926. Biasanya, forum yang mereka gelar disebut syawir atau musyawarah dan halaqah atau diskusi. Tradisi intelektual berkembang di pesantren melalui pengajaran kitab-kitab kuning hasil karya para ulama dari berbagai mazhab yang berkembang sejak masa-masa awal Islam. Tradisi fiqih juga dikembangkan melalui forum kajian keagamaan antarpesantren seperti bahtsul masail (pengkajian masalah-masalah sosial keagamaan), dan forum-forum sejenis, baik yang mengkaji masalah-masalah aktual (waqi’iyyah) maupun tematik (maudu’iyyah). Ini menandakan bahwa proses transmisi pengetahuan dan pengembangan wawasan di kalangan kiai-kiai dan pesantren begitu dinamis dan tak pernah berhenti.
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _425
Tahun 1918, dalam rangka mengembangkan pemikiran Islam di Nusantara, KH. Abdul Wahab Chasbullah telah mendirikan kelompok diskusi keislaman di perkotaan untuk merambah kalangan yang lebih luas. Kelompok itu diberi nama Tashwirul Afkar, (eksplorasi pemikiran) yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur.1 Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting. Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa. Kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalahmasalah keagamaan dan kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan kala itu. Tema-tema yang dibahas pun terkait soal-soal kebangsaan dan nasionalisme, terutama berkenaan dengan kezaliman penjajahan Belanda.2 Kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Progresivitas berpikir dan bertindak adalah kunci utama komunitas ini. Karena itu, halaqah ini berkembang menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keislaman dan kemasyarakatan. Dalam perkembangannya, di samping Nahdlatul Wathan (1914) dan Nahdlatut Tujjar (1918), eksistensi Tashwirul Afkar tidak bisa dilepaskan
426_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
dari sejarah kelahiran NU, 1926. Justru, kelompok yang dibidani KH. Wahab Chasbullah inilah embrio gagasan Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) ala NU kali pertama digelindingkan. Lalu, gagasan tersebut dipatenkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU. Mbah Hasyim dari awal tidak pernah menjelaskan secara rigid apa definisi aswaja itu sesungguhnya, melainkan hanya menekankan pentingnya berpegang teguh pada salah satu mahdzab yang telah ditetapkan.3 Menurut KH. Makruf Amin, genealogi pemikiran aswaja NU yang mengajak umat Islam untuk bermahdzab ini banyak dipengaruhi oleh ide-ide Syeikh Nawawi yang dituangkan dalam Nihayah al-Zain.4 Satu misal, tercermin dengan pembatasan empat mahdzab dalam bidang fikih. Sebab, kata Syeikh Nawawi, dibanding para fuqaha yang lain, pendapat imam empat itu telah terkodifikasi dan disusun secara sistematis. Aswaja model seperti itu yang dianut NU. Meski secara definisi aswaja adalah ma ana alaihi wa ashabih, tapi NU tidak bisa mengambil pendapat semua imam ahli fikih atau para sahabat yang jauh lebih senior. Seperti Imam al-Baqir (57-114 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan al-Tsauri (w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), dan lain-lain. Mengapa? Jawabnya jelas, karena mahdzabnya belum terkodifikasi dan tersusun dengan baik. Jadi, di mata kiai Ma’ruf, aswaja NU adalah “aswaja selektif”.5 Yaitu mengikuti mahdzab Syafii, Maliki, Hambali, Atau Hanafi dalam bidang fikih. Bidang aqidah merujuk pada imam al-Asy’ari atau al-Maturidi. Dan terakhir, memilih Junaid al-Baghdadi atau al-Ghazali sebagai panutan dalam lelakon tasawuf. Kalau begitu, aswaja sejatinya mengandung makna yang amat luas, namun dengan adanya “aswaja selektif” ala NU, maka keberadaannya disederhanakan, dikotak-kotakkan dalam mahdzab. Mengapa terjadi? Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakanginya waktu itu. Pertama, firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 43, “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.” Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa orang awam
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _427
yang tidak mengetahui duduk persoalan dalam agama, atau soal-soal lain, sebaiknya bertanya atau mengikuti pendapat orang-orang ahli atau pakar. Dalil inilah yang dijadikan argumentasi para ulama tentang pentingnya bertaqlid pada suatu mahdzab bagi orang awam. Jika tidak bertaqlid, tindakan atau perbuatan orang awam dikhawatirkan menyimpang dengan ajaran agama Islam. Dengan adanya madzhab, maka orang awam tidak akan susah-susah bertanya tentang suatu masalah, tinggal mengikuti apa kata imam mahdzab yang termkatub dalam kitab-kitabnya. Kedua, dari sisi historis, para sahabat Nabi yang memiliki ilmu keislaman yang tinggi dan mempunyai keahlian dalam menetapkan fatwa itu jumlahnya sangat minim. Di samping itu, para sahabat Nabi juga acapkali membuat suatu keputusan atau fatwa tanpa diketahui dengan jelas dalil atau dasar hukumnya. Pemikiran mereka cenderung tercerai berai dan tidak tersusun secara sistematis. Sehingga merujukknya pun dirasa sulit. Jadi bukan karena para sahabat itu tidak lebih pintar dari imam mahdzab yang dianut NU, tapi pemikiran mereka yang tidak terkodifikasi dengan baik. Ketiga, secara rasional akan nampak jelas, ketika ada orang awam sedang menemukan suatu persoalan yang ia tidak tahu status hukumnya, maka ada dua kemungkinan. Ia tidak berani bertindak karena belum tahu dasar hukumnya. Atau bisa juga, ia asal bertindak tanpa memperdulikan status hukum. Dua kemungkinan ini adalah pilihan yang tidak tepat. Seharusnya, agar sampai pada tujuan dan tidak tersesat dijalan, sebaiknya orang yang tidak tahu itu mengikuti pendapat orang yang lebih tahu dan memahami persoalan. Itulah beberapa argumentasi mengapa NU harus bermahdzab. Pemikiran para imam mahdzab ini bisa dibilang sumber mata air yang tak pernah kering mengalirkan pemikiran-pemikiran segar dan dinamis di kalangan warga NU. Di antara tiga bidang (fikih, aqidah, tasawuf)
428_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang masuk dalam rumusan aswaja, ternyata bidang fikih lebih dominan menyedot perhatian kalangan nahdliyyin. Maklum, karena pesantren yang merupakan basis kekuatan NU adalah tempat rujukan masyarakat dalam penyelesaian masalah hukum Islam. Jika masyarakat menemukan masalah, dapat dipastikan, larinya ke pesantren. Apa kata kiai, itulah jawabannya. Masalah yang mengemuka di masyarakat adalah masalah sehari-hari, baik terkait dengan hukum ibadah maupun muamalah. Karena itu, ruang lingkup pengkajiannya pun seputar masalah fiqhiyyah. Hanya sedikit yang punya masalah soal aqidah atau tasawuf. Forum tanya jawab dan pembahasan masalah keagamaan seperti ini, di kalangan NU, dikenal dengan bahtsul masail. Ini diadakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahtsul masail sejatinya adalah tradisi yang telah mengakar di kalangan pesantren, jauh sebelum NU berdiri. Masing-masing pesantren punya forum semacam ini untuk menjawab persoalan masyarakat di sekitar pesantren, khususnya terkait hukum Islam. Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir NU, 31 Agustus 1926. Namun, secara institusional, baru mengemuka pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tahun 1989. Saat itu, Komisi I merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah sebagai lembaga permanen yang fokus pada soal-soal keagamaan. Rekomendasi Komisi I digodok lagi dalam halaqah Denanyar, 26-28 Januari 1990, di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur. Halaqah ini juga menghasilkan rekomendasi untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Lajnah ini diharapkan jadi tempat bertemunya para ulama dan intelektual di lingkungan NU untuk duduk bersama membahas permasalahan keagamaan yang terjadi di
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _429
masyarakat, atau bisa disebut istinbat jama’i, penggalian dan penetapan hukum secara kolektif. Berdasarkan rekomendasi-rekomendasi resebut, akhirnya PBNU menerbitkan Surat Keputusan No. 30/A.I.05/5/1990 perihal terbentuknya Lajnah Bahtsul Masail Diniyah.6 Sejak itu, lajnah ini menjadi forum resmi yang memiliki wewenang menjawab segala permasalahn keagamaan yang dihadapi warga NU. Di sinilah tempat kawah candradimukanya para intelektual pesantren beradu argumen dalam pembahasan persoalan keagamaan. Lajnah Bahtsul Masail, menurut kiai Makruf, adalah taswirul afkar-nya kaum pesantren setelah NU lahir.7 Dalam pergulatan bahtsul masail, tidak bisa dilepaskan dari empat mahdzab yang dijadikan referensi pemikiran dan gagasan dalam pembahasan. Selain alasan pendapatnya yang telah terkodifikasi dengan baik, pemilihan empat mahdzab juga dilandasi atas beberapa alasan. Pertama, keempat mahdzab tersebut sudah diterima dan diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, selama berabad-abad. Kedua, mereka sudah teruji dalam menghadapi kritik dan koreksi secara terbuka sepanjang sejarahnya. Ketiga, mereka dinilai cukup fleksibel dalam menghadapi tantangan dari perkembangan zaman yang selalu berubah. Kelima, para kiai yakin bahwa metode yang digunakan oleh keempat mahdzab tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis.8 Empat mahdzab ini dijadikan pegangan kiai-kiai dalam pemecahan suatu masalah pada forum bahtsul masail. Kitab-kitab yang digunakan pun merujuk pada kitab-kitab yang tidak keluar dari koridor empat mahdzab tersebut, atau dikenal dengan sebutan “kitab kuning”. Karena yang dijadikan rujukan dalam penentuan hukum Islam adalah pendapat ulama dalam kitab-kitab kuning, maka perbedaan pendapat dalam satu kasus pun seringkali terjadi. Untuk bisa memilih, pendapat mana atau siapa yang didahulukan?, Muktamar I di Surabaya sudah memberikan rambu-rambu yang
430_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
menunjukkan tingkat kualitas pendapat ulama di antara berbagai pendapat (qaul) yang bertaburan. Peringkat tersebut yaitu: Peringkat pertama, pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani, yaitu imam Nawawi dan imam Rafii. Kedua, pendapat Imam Nawawi. Ketiga, pendapat imam Rafii. Keempat, pendapat yang didukung oleh jumhur atau mayoritas ulama. Kelima, pendapat ulama yang terpandai. Dan terakhir, pendapat ulama yang paling wara’, yaitu menjauhkan diri dari dosa, kemaksiatan, dan sesuatu yang masih meragukan hukumnya atau subhat.9 Adanya peringkat ini merupakan bentuk kehati-hatian kalangan NU dalam memecahkan persoalan dan menetapkan hukum Islam. Kiai-kiai NU mempunyai karakteristik dalam beristinbat. Mereka tidak pernah menjawab persoalan langsung bersumber dari al-Quran atau hadis. Mereka memandang, matarantai khazanah intelektual itu tidak boleh terputus, dari periode ke periode. Apabila menjawab persoalan langsung bersumber dari al-Quran atau hadis, berarti ada matarantai pemikiran yang terputus dan terlompati. Ini tidak dibenarkan dalam tradisi intelektual NU. Prinsip ini tergambar jelas seperti dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari dalam pengantar Anggaran Dasar NU. “Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunah Wal Jamaah, golongan madzhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara bersambung sampai kepada kalian. Dan engkau sekalian tak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama. Maka oleh karenanya, kalianlah gudang bahkan pintu ilmu tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan melalui pintunya. Barang siapa memasuki rumah tidak melalui pintunya, maka ia disebut pencuri.”10 Pada titik ini, peran ulama madzhab empat begitu dominan, terutama melalui karya-karya yang dikategorikan sebagai kitab-kitab mu’tabarah
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _431
(diakui). Kitab-kitab inilah yang dijadikan pintu masuk untuk memahami segala persoalan yang berkembang di masyarakat. Di pesantrenpesantren yang menjadi basis NU, kitab-kitab itu jamak disebut “kitab kuning”. Siapapun yang mau memahami nash al-Qur’an atau hadis, tidak bisa langsung melakukan interpretasi berdasarkan nash an sich, tapi harus melalui matarantai kitab-kitab kuning yang sudah dianggap mu’tabarah tadi. Saking sentralnya, kaitan kitab kuning dengan ormas Islam terbesar di Indonesia ini pun tak terpisahkan. Warga nahdliyyin menempatkan kitab kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut masalah hukum ibadah atau ritual, akhlak atau perilaku, dan mu’amalah atau hubungan sosial. Perilaku warga NU itu tercermin dari cara mereka bersikap. Ketika warga menemui persoalan, rujukannya adalah bertanya ke kiai. Lalu, kiai menjelaskan berdasarkan keterangan dari kitab kuning. Meski dalam bidang fikih NU mengikuti empat madzhab, mayoritas kitab yang dikaji di pesantren adalah kitab-kitab karya para ulama Syafi’iyah. Mulai dari kitab fikih tingkat dasar, seperti Safinatun Naja, Taqrib, Kifayatul Ahyar; menengah seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, I’anatuth Thalibin, Hasyiyah Bajuri, Muhazzab; hingga tingkat tinggi seperti Nihayatul Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, AlMuharrar, Majmu Syarh Muhazzab. Semuanya merupakan susunan para ulama mazhab Syafi’i. Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil ijtihad Imam Syafi’i, yang kemudian diuraikan lagi oleh para ulama pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam Syafi’i sendiri, didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang menyusunnya lagi menjadi kitab Al-Umm (Induk). Dari Al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama mazhab Syafi’i, baik yang ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli, atau Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi.
432_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil ijtihad para ulama mazhab (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri mazhab yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq), yang menggali langsung dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Yang mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam Alquran dan Hadis. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam Alquran dan Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad. Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna penting kitab kuning di kalangan NU, setidaknya ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati. Pertama, cara pandang masyarakat NU terhadap pesantren. Pesantren jamaknya dipandang sebagai sebuah ‘subkultur’ yang mengembangkan pola kehidupan yang tidak seperti biasa atau katakanlah unik. Di samping faktor kepemimpinan kiai-ulama, kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik subkultur itu. Kitab kuning seakan menjadi kitab pusaka yang mandraguna. Kitab yang terus ‘diwariskan’ turun temurun dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas. Dengan begitu, ini merupakan bagian dari sebuah proses berlangsungnya pembentukan dan pemeliharaan subkultur yang unik tersebut. Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai ‘referensi’ nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat. Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering mendengar sebuah hadis yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “alulamâ warosatul anbiyâ”, ulama adalah pewaris para Nabi. “Apapun masalahnya, jawabnya adalah kitab kuning.” Itulah ungkapan mudah
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _433
untuk menggambarkan betapa luasnya khazanah dalam kitab kuning seperti dipahami kalangan pesantren, sehingga semua masalah dapat terselesaikan olehnya. Ketiga, segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning. Ternyata segi dinamisnya adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Pesantren NU yang akrab dengan khazanah klasik kitab kuning inilah yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain yang lebih cenderung pada adopsi terhadap keilmuan Barat. Dalam penggalian hukum dalam kitab-kitab kuning yang dianggap mu’tabarah itu tidak asal-asalan, tapi NU punya standar istinbat. Pertama, metode qauli. Yaitu penggalian hukum berdasarkan pendapat ulama fikih yang sudah tertera dalam kitab-kitab mu’tabarah. Apapun pertanyaan yang muncul tinggal dicarikan jawabannya saja. Kalau tidak ada dalam kitab yang satu, buka kitab-kitab yang lain, sampai ketemu. Jika telah ditemukan, maka itulah jawabannya. Jadi, pada dasarnya tidak sampai menggali hukum, tapi hanya “searching pendapat” saja, lalu disampaikan. Dengan metode ini maka hukum sudah langsung bisa diketahui tanpa perlu mengotak-atik nash. Tinggal mencomot pendapat yang sudah jadi saja. Meski begitu, ada ketentuan baku dalam pemilihan pendapat (qaul) siapa yang akan dijadikan dasar hukum. Jika jawaban atas masalah telah ditemukan dalam kitab rujukan, maka ditelusuri lagi, apakah semua ulama sepakat (satu qaul) atau ada pendapat lain (beberapa qaul). Kalau tidak ada beda pendapat, berarti jawaban kasus itu telah jelas. Tinggal menetapkan hukum sesuai yang telah tertera dalam kitab-kitab tersebut. Bila dalam satu kasus terdapat beberapa pendapat, maka pendapatpendapat itu harus dikompromikan (taqrir jama’i). Jika alot, maka diambil qaul yang paling kuat (arjah). Bila setelah diteliti, ternyata tidak ada yang paling kuat maka ditetapkan adanya dua alternatif jawaban (fihi qaulani atau aqwal).11
434_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ini bisa dilihat dalam keputusan bahtsul masail NU, pada muktamar I (21-23 September 1926), tentang boleh atau tidaknya harta dari zakat digunakan untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok pesantren, yang dianggap bisa disamakan dengan sabilillah. Jawabnya adalah tidak boleh. Karena yang dimaksud sabilillah adalah mereka yang berperang untuk membela agama Allah. Jawaban ini bersumber dari kitab Rahmatul Ummah. Di sana dikatakan dengan redaksi yang jelas, “Para ulama sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan harta zakat untuk mendirikan masjid atau mengafani mayat.”12 Kedua, metode ilhaqiy. Ini mirip dengan metode qiyas, menyamakan hukum perkara yang belum disebutkan dalam teks (al-Quran dan hadis) dengan perkara yang sudah dijelaskan dalam teks. Bedanya, dalam ilhaqiy, yang dijadikan sandaran adalah hukum yang sudah termaktub dalam kitab-kitab mu’tabarah. Jadi, bila suatu masalah tidak ditemukan redaksinya dalam kitab-kitab kuning yang dianggap sudah mu’tabarah itu, maka jalan keluarnya adalah ilhaqu masa’il binadhairiha, menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus serupa yang telah dijawab oleh kitab. Dalam penggunaan metode ini ada prosedur ilhaq yang harus dipenuhi: mulhaq bih (perkara yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq alaih (perkara yang sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq alaih). Semua itu ditentukan oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang sudah ahli.13 Contohnya adalah hukum jual beli petasan untuk merayakan hari raya atau acara pengantin. Keputusan bahtsul masail pada Muktamar II (9-11 Oktober 1927) menyatakan, hukum jual beli tersebut adalah sah. Karena, ada maksud baik yaitu membuat suasana ramai dan perasaan gembira dengan adanya suara petasan.14 Pendapat ini didasarkan pada kitab I’anah al-Thalibin juz III/121-122. “Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian, dan hadiah, maka tidak termasuk tindakan yang sia-
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _435
sia. Menurut pendapat yang terkuat, mengapa diperbolehkan?, karena didalamnya mengandung tujuan besar, yaitu mendapatkan pahala atau bersenang-senang. Karena itu dikatakan, dalam hal kebaikan tidak ada yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf.” Pada kitab Al-Bajuri (h. 652-654) diterangkan, “Menjual sesuatu yang dapat dilihat (dihadirkan) itu diperbolehkan asal memenuhi persyaratan: barang itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli.” Dari rujukan di atas, tak ada yang mengatakan secara eksplisit hukum jual beli petasan, yang ada hanya uraian singkat tentang diperbolehkannya membelanjakan harta untuk kebaikan dan kesenangan. Kemudian soal keabsahannya merujuk pada keabsahan jual beli benda-benda yang dapat dihadirkan, suci, dan bermanfaat. Jadi wajh al-ilhaq-nya adalah sama-sama benda suci dan bermanfaat. Menurut Kiai Ma’ruf, dua metode ini pada dasarnya belum beranjak dari nalar copy-paste dari teks (qauli). Kedua metode ini masih terbilang tekstual. Karena itu, ada masalah besar yang dihadapi para ulama NU kala itu, banyak permasalahan yang tidak ada jawabannya, atau disebut mauquf. Ini tentu memprihatinkan, mengingat problem yang muncul adalah masalah kontemporer yang dihadapi masyarakat sekarang. Di sinilah letak kelemahan kitab-kitab mu’tabarah itu, ternyata tidak semua masalah itu sudah termaktub di sana. Ini wajar, sebab kitab-kitab itu ditulis pada ratusan tahun yang lalu. Terjadinya keputusan mauquf atas beberapa masalah ini memang disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, pertama, kitab-kitang kuning yang dianggap mu’tabarah itu sudah tidak mampu menjangkau persoalan yang timbul belakangan. Banyak sekali masalah kekinian yang belum disinggung oleh kitab-kitab tersebut. Kedua, para kiai NU belum berani memutuskan hukum suatu masalah keluar dari rujukan kitabkitab mu’tabarah. Apalagi, menginterpretasikan langsung dari al-Qur’an atau hadis.
436_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ketiga, para kiai NU belum berani bermadzhab kepada imam madzhab empat secara manhaji (metodologi). Keempat, dalam praktik istinbat hukum, para kiai masih terpaku pada pendapat ulama-ulama madzab syafii saja, seperti al-Nawawi dan al-Rafii. Padahal, NU memberikan keleluasaan untuk mengikuti empat madzhab. Karena itulah mahtsul masail di NU, terutama pada tahun 1980-an, mengalami banyak kebuntuan. Para kiai NU terkesan gagap dalam menghadapi masalah modernitas, dan Lajnah Bahtsul Masail kurang memadai dalam menjawab tantangan zaman. Kiai Ma’ruf Amin menamai fenomena ini dengan sebutan bermadzhab secara tekstual. Karena mengikuti apa adanya yang dikatakan oleh imam madzhab atau murid-muridnya. Kalau begini adanya maka hukum Islam menjadi statis dan sangat normatif. Akibatnya, banyak masalah yang menemui jalan buntu (di-mauquf-kan). Ketika masalah dihukumi mauquf, maka yang bingung adalah masyarakat. Merekalah yang sehari-hari berhadapan dengan masalah itu. Mereka butuh penjelasan keputusan hukum yang cepat, realistis, dan tetap tidak menyimpang dari koridor ketentuan agama Islam. Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, dibutuhkan langkah terobosan atas kemandegan yang selama ini dialami para kiai dalam istinbat hukum. Maka, perlu cara alternatif dalam penetapan hukum di NU. Bukan berarti saatnya meninggalkan kitab-kitab kuning di pesantren, tapi mencari metode baru yang kontekstual dan tetap menjadikan kitabkitab mu’tabarah sebagai pijakan.
C. Periode Pembaruan: Perpaduan Qauli dan Manhaji Pada era 1980-an, forum-forum bahtsul masail NU sering kali menemukan kebuntuhan, masalah yang mengemuka tak ditemukan qaulnya dalam kitab-kitab. Karena itu, masalah-masalah pun terpaksa di-mauquf-kan. Mengapa? Metode qauli nampaknya kurang efektif menjawab tantangan zaman. Saatnya pembenahan dan penyegaran
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _437
metode istinbat dalam lajnah bahtsul masail. Usulan pembaruan metode ini lamat-lamat didengungkan oleh beberapa kalangan di NU. Mereka umumnya menganggap penting peninjauan ulang metode bahtsul masail yang selama ini berjalan. Metode qauli saja dianggap tidak cukup untuk membahas permasalahan kekinian yang membludak. Perlu metode baru yang tidak kaku, lebih applicable, dan kontekstual dalam pemahaman teks. Salah satu tokoh yang perihatin dengan kondisi bahtsul masail NU yang sedang mandeg ini adalah kiai Makruf Amin, yang waktu itu menjabat sebagai Katib Aam PBNU. Karena itu, pada Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) NU di Bandar Lampung, tahun 1992, ia begitu bersemangat untuk merumuskan sistem baru dalam pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail, yaitu metode manhaji. “Mulai 1992 para kiai tidak tekstual atau qaulan saja, tapi juga tekstual atau manhajan,” kata Kiai Ma’ruf Amin.15 Masalahnya, jika persoalan hukum yang di-bahtsul masa’il-kan sangat krusial dan harus diputus waktu itu juga, sementara para kiai yang berkumpul dari seluruh Indonesia berkata, “Kami tidak berani bersuara karena qaul-nya tidak ada,” lalu kemana lagi umat akan mengadu? Maka, penerapa metode manhaji dari empat madzhab inilah yang dijadikan jalan keluar untuk menjawab persoalan kontemporer. Kalau ditelaah, istilah metode manhaji ini tidak langsung ujugujug muncul di Munas Lampung. Tapi ada proses pergulatan yang melatarbelakangi. Bermula pada tahun 1988, atas restu Rais Syuriah NU wilayah Jawa Tengah KH. MA. Sahal Mahfudh dan Rais Syuriah NU wilayah Jawa Timur KH. Imran Hamzah, halaqah yang bersifat nasional digelar di pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang, Jawa Tengah. Tema yang diangkat adalah Telaah Kitab Kuning secara Kontekstual.16 Pertemuan yang digelar dari tanggal 15-17 Desember ini ternyata mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari kiai-kiai sepuh maupun
438_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
anak-anak muda NU yang berbasis di kampus. Di penghujung acara, halaqah ini merumuskan lima rekomendasi. Pertama, Memahami teks kitab klasik harus disertai dengan analisis terhadap konteks sosial historisnya. Kedua, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab kuning. Ketiga, memperbanyak studi banding (muqabalah) dengan kitab-kitab lain, baik dalam ligkup madzhab Syafii maupun madzhab lainnya. Keempat, meningkatkan intensitas diskusi dengan para intelektuual dan pakar, jika masalah yang dikaji berkaitan dengan fenomena sosial di luar kitab kuning. Terakhir, mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.17 Rekomendasi ini terus didengungkan di berbagai forum, terutama di halqah-halaqah internal pesantren. Dengan tujuan agar gagasan ini juga bisa dimengerti dan dipahami oleh kalangan pesantren. Pertengahan bulan Oktober 1989, menjelang Muktamar XXVIII, forum serupa digelar. Halaqah kali ini digelar di pondok pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dengan tema yang lebih besar, “Masa Depan NU”. Halaqah ini melakukan telaah kembali tentang makna “bermadzhab” yang selama ini berkembang di NU. Kesimpulan saat itu, bermadzhab itu tidak semata-mata qauli, mengikuti pendapat imam. Tapi bermadzhab juga bisa secara manhaji, mengikuti metodologinya.18 Muktamar XXVII usai. Sayang, tak ada perubahan mendasar yang dihasilkan pertemuan kiai-kiai NU lima tahunan itu, terutama terkait metode istinbat bahtsul masail. Untuk kembali mendengungkan metode manhaji, halaqah pengkajian metode bahtsul masail kembali digelar. Kali ini dilaksanakan di pondok pesantren Manbaul Maarif Jombang. Pertemuan kali ini menghasilkan gagasan penetapan hukum dalam bahtsul masail yang lebih responsif.19 Pertama, memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan sistem bermadzhab adalah cara yang terbaik. Kedua, bermadzhab itu ada dua model,
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _439
bermadzhab secara qauli dan manhaji. Ketiga, bagi orang awam pilihannya adalah bermadzhab secara qauli. Sedang bagi individu yang memiliki perangkat keilmuan tapi belum mencapai derajat mujtahid muthlaq mustaqil, mujtahid yang sepenuhnya mandiri, maka bermanhaj dilakukan secara manhaji. Keempat, bermadzhab manhaji dilakukan dengan cara istinbat jama’i, penggalian dan penetapan hukum secara kolektif. Ini bisa dilakukan bila ditemukan ayat aqwal (beberapa pendapat) dari madzhab empat oleh para ahlinya. Adapun terhadap hal-hal yang ditemukan aqwalnya, namun masih berbeda (mukhtalaf fiha), maka dilakukan taqrir jama’i, penetapan secara kolektif. Kelima, bermdzhab baik manhaji maupun qauli dilakukan dalam ruang lingkup madzhab empat. Hasil dari rangkaian halaqah yang digelar di pesantren-pesantren itulah yang kemudian diusung di Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung, 1992. Gagasan dan rekomendasi yang ditelorkan di halaqah itu dibahas pada forum Munas Lampung. Akhirnya usaha untuk memecah kebekuan metodologi bahtsul masail di NU berbuah manis. Ini tak bisa dilepaskan dari peran kiai Ma’ruf Amin, yang saat itu bagian dari kelompok “NU tua” dan strtuktural, yang begitu bersemangat untuk menggolkan metode ini. “Ini adalah bagian dari dinamisasi pemikiran di NU,” kata kiai Ma’ruf. NU itu sebenarnya sangat akomodatif dan fleksibel dengan perubahan demi kemajuan. “Ini adalah buktinya,” imbuhnya.20 Sikap NU ini bisa dilihat dari hasil rumusan keputusan Munas yang dibidani oleh kiai Ma’ruf Amin, terkait dengan alur prosedur penetapan hukum di bahtsul masail NU.21 1. Dalam kasus ketika jawaban cukup dengan ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat mereka. 2. Dalam kasus ketika jawaban bias dicukupi oleh ibarat kitab dan disana
440_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.
3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya. 4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bias dilakukan istinbat jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Munas di Lampung saat itu juga menghasilkan terobosan gagasan kerangka analisis masalah, terutama dalam memecahkan masalah sosisal. Pertama, analisa masalah dan dampaknya. Kajian ini dimulai dari pembahasan sebab dan mengapa suatu kasus bisa terjadi. Setelah itu, baru dianalisa dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam menganalisa suatu masalah dan dampak disyaratkan adanya tinjauan dari berbagai factor, mulai dari faktor ekonomi, faktor budaya, foktor politik, faktor sosial dan lainnya. Kedua, analisa hukum. Usai mempertimbangankan latar belakang dan dampak, keputusan bahtsul masail juga harus memperhatikan pertimbangan dari sudut pandang Islam dan hukum posistif. Jika dirinci, setidaknya analisa hukum itu meliputi Status hukum (al-ahkam alkhamsah), dasar dari ajaran Ahlussunah wal jamaah, dan hukum positif. Ketiga, analisa tindakan. Analisa ini meliputi peran dan pengawasan. Apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa diatas. Lalu, siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal itu hendak dilakukan? Serta, bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan rencana? Langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam beberapa analisa tindakan. (a) Jalur politik. Berusaha pada jalur kewenangan negara dengan sasaran mempengaruhi lebijaksanaan pemerintah. (b) Jalur budaya. Berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _441
berbagai media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain). (c) Jalur ekonomi. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat). (d) Jalur sosial lainnya. Upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan seterusnya). Poin terobosan dan terbaru dari prosedur penetapan hukum adalah penetapan metode manhaji, jika metode qauli sudah tak lagi berkutik. Dengan menggunakan metode ini, secara otomatis kerangka analisis masalah juga harus dilakukan. Penerapan metode ini, menurut kiai Ma’ruf, harus mengikuti secara hirarkis metode istinbat yang diterapkan oleh empat imam madzhab. Berarti harus mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.22 Pertama, Madzhab Hanafi. Ada tujuh tahapan yang diterapkan madzhab hanafi dalam penetapan hukum. Secara berurutan mulai dari al-Qur’an, al-hadis al-shahih, aqwâl al-shahâbah, qiyâs, al-istihsan, ijmâ’ dan al-‘urf. Kedua, Madzhab Maliki. Hirarki penetapan hukum yang digunakan madzhab ini yaitu: al-Quran, al-hadis al-Shahih, Ijma Sahabat, Amal Ahl Madinah, fatwa sahabat, qiyas, al-istihsan, al-mashalih al-mursalah, dan al-zara’i. Ketiga, Madzhab Syafii. Penetapan hukumnya melalui empat urutan metodologi: al-Quran, al-hadi al-shahih, Ijma, aqwal al-shahabah, qiyas. Keempat, Madzhab Hambali. Metode penetapan hukumnya berdasarkan hirarki sebagai berikut: nas, ijma, qiyas, al-mashalih almursalah, al-istihsan, al-zara’i, fatwa shahabat, dan al-istishab. Munas di lampung, bagi kiai Ma’ruf, adalah masa tajdid di NU. Dulu yang hanya menggunakan qauli saja, kini menggunakan qauli wa manhaji, dulu tekstual kini kontekstual. Bentuk kemajuan dalam penetapan hukum di bahtsul masail ini langsung terlihat di forum Munas tersebut. Saat itu, tak ada lagi kata mauquf. Pada Munas Lampung 1992, bahtsul masail telah membahas hukum bunga bank. Dalam penetapan hukum
442_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
bunga bank, para peserta musyawarah punya pandangan yang berbedabeda. Jika diklasifikasi, ada tiga pendapat. 1. Pendapat yang menyamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, jadi hukumnya haram. 2. Pendapat yang tidak menyamakan antara bunga bank dengan riba, berarti hukumnya boleh. 3. Pendapat yang mengatakan hukumnya syubhat, tidak indentik dengan haram. Pendapat pertama berpijak pada beberapa argumentasi, antara lain: a. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram. b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sebelum beroperasinya system perbankan yang Islami (tanpa bunga). c. Bunga itu sama dengan riba, hukunmya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Sedang pendapat kedua berpegangan pada beberapa kesimpulan, antara lain: a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal. b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal. c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh. d. Bunga yang tidak haram, kalau bank itu menetapkan tariff bunganya terlebih dahulu secara umum.
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _443
Sebelum Munas di Lampung, pembahasan hukum bunga bank ini sudah berkali-kali digelar, tapi belum sampai pada titik klimak kesimpulan. Antara lain, Muktamar II tahun 1927 yang memutuskan haramnya bunga gadai; Muktamar XIV tahun 1937 mengenai keharaman bunga bank; Muktamar XIV tahun 1939 memutuskan bahwa bunga koperasi haram; Konbes Syuriah NU tahun 1957 yang menegaskan keharaman bunga bank; Muktamar XXV tahun 1971 mengharamkan bunga deposito; Munas NU tahun 1987 menetapkan bahwa uang administrasi bagi peminjam uang koperasi itu sama dengan bunga, jadi hukumnya haram. Jadi, pembahasan hukum bunga dalam transaksi keuangan baru mencapai klimak ketika bahtsul masail di Munas Lampung. Pada aras ini, posisi kiai Ma’ruf berada pada kelompok yang mengharamkan bunga bank dengan perkecualian ketika dalam keadaan dharurat, misalnya ketika seseorang berada pada suatu daerah yang banknya belum menggunakan sistem tanpa bunga. Bagi kiai Ma’ruf, bunga bank itu sama persis dengan praktik riba.23 Karena itu, dalil-dalil pengharamannya pun sudah jelas termaktub dalam nas, baik al-Qur’an maupun hadis. Dalil pertama, bersumber dari al-Qur’an. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130:
ِ َﺲ ﻣﺎ ﻋ ِﻤﻠ ِ ِ ﺖ ِﻣ ْﻦ َ ﺖ ﻣ ْﻦ َﺧ ٍْﲑ ُْﳏ ْ َﻀًﺮا َوَﻣﺎ َﻋﻤﻠ ْ َ َ ٍ ﻳَـ ْﻮَم َﲡ ُﺪ ُﻛ ﱡﻞ ﻧَـ ْﻔ ٍ ﻴﺪا َوُﳛَ ﱢﺬ ُرُﻛ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ َواﻟﻠﱠ ُﻪ ً ُِﺳﻮء ﺗَـ َﻮﱡد ﻟَ ْﻮ أَ ﱠن ﺑـَْﻴـﻨَـ َﻬﺎ َوﺑَـْﻴـﻨَﻪُ أ ََﻣ ًﺪا ﺑَﻌ . وف ﺑِﺎﻟْﻌِﺒَ ِﺎد ٌ َُرء
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hambaNya.” (QS. Ali Imran: 130)
ِ ﻳﺎ أَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ َوذَ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻲ ِﻣ َﻦ اﻟﱢﺮﺑَﺎ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺬ َ َ َ ِﻣ ْﺆِﻣﻨ ٍ ﻓَِﺈ ْن َﱂ ﺗَـ ْﻔﻌﻠُﻮا ﻓَﺄْ َذﻧُﻮا ِﲝَﺮ. ﲔ ب ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ َوإِ ْن ﺗُـْﺒﺘُ ْﻢ َ َ ْ ُ ْ . ﻓَـﻠَ ُﻜﻢ رءوس أَﻣﻮاﻟِ ُﻜﻢ ﻻ ﺗَﻈْﻠِﻤﻮ َن وﻻ ﺗُﻈْﻠَﻤﻮ َن
وف ﺑِﺎﻟْﻌِﺒ ِ . ﺎد ِ رء ِ ِ ﻀﺮا وﻣﺎ ﻋ َِ ٍ ٍ ﳏ ﲑ ﺧ ﻦ ﻣ ﺖ ﻠ ﻤ ﻋ ﺎ ﻣ ﺲ ﻔ ـ ﻧ ﺖ ِﻣ ْﻦ ﻠ ﻤ ﻳََـ ُْﻮَم ٌَﲡ ُﺪ ُﻛ َﱡﻞ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ ُْ َ ً َ َ َ ْ ﻳـﻮمٍ َِ ِIslamﻤﻠَِ Bimas ﺲ ﻣﺎ ﻋ ِ ﺖ ِﻣ ْﻦ َِﺧ ٍْ ٍ ﳏ ﲑ ﻠ ﻤ ﻔ ـ ﻧ ﻞ ﻛ ﺪ No.IIIرﻛَوﻢَﻣ ﻀﱢﺬًﺮا ﲡ َ ُ ْ ُ َ ﱡ ُ ْ 444_Jurnal 2013 ﺖﺴﻪُﻣ َْﻦواﻟﻠﻪُﱠ َ ْ Vol.6.ﺎاﻟﻠﱠَﻋﻪُ ﻧـَ ْﻔ ْ َ َُْﺳ َﻮء ﺗَـ َﻮﱡد ﻟَ ْﻮ أ ﱠن ﺑـَْﻴـﻨَـََﻬﺎ َوﺑَـْﻴـﻨَﻪُ أ ََﻣ ًﺪا ﺑَﻌ ً ﻴﺪا َوُﳛَ ُُ ُ َ ﺳٍ Firmanاﻟﻠﱠ ُﻪ ْAllahﻔ َﺴﻪُ َو suratﱢﺬ ُرُﻛ ُﻢ ﻴﺪا َوَُﳛ َ278-279:وﺑَـْﻴـﻨَ ُﻪ وفَﻮﺑِﱡدﺎﻟْﻟَﻌِْﺒﻮ أَِﺎد ﱠن .ﺑـَْﻴـﻨَـ َﻬﺎ ﻮء ﺗَـ dalamاﻟﻠﱠﻪُ ﻧـَ al-Baqarah ayatأ ََﻣ ًﺪا ﺑَﻌِ ً َرُءُ ٌ َ وفﺎ ﺑِاﺎﻟﱠﻟْﺬﻌِ ﺒ ﻳَرﺎءُ أَﻳـﱡ ٌَﻬ ﻳﻦِﺎد َ.آﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ َوذَ ُروا َﻣﺎ ﺑَِﻘ َﻲ ِﻣ َﻦ اﻟﱢﺮﺑَﺎ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ َ َ ِِ ﲔ .ﻓَِﺈ ْن َﱂ ﺗَـ ْﻔﻌﻠُﻮا ﻓَﺄْ َذﻧُﻮا ِﲝَﺮ ٍ ب ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ َوإِ ْن ﺗُـْﺒﺘُ ْﻢ ُﻣ ْﺆﻣﻨ َ ْ َ ْ ِ ﻓَـﻠَ ُﻜﻢ رءﱠ ِوس ِ ﻳﻦ أ َْﻣَآﻣَﻮﻨُاﻟﻮاُﻜاﺗْﱠـﻢ ُﻘﻮاﻻ ﺗَاﻟﻠﱠﻈْﻪَﻠ ُﻤَوﻮَذ َُرنواَوَﻣﻻﺎ ﺗُﺑَِﻘﻈْﻠََﻲُﻤ ِﻮﻣ َنَﻦ .اﻟﱢﺮﺑَﺎ إِ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﻳَﺎ أَﻳـﱡ َْﻬﺎ ُاُﻟﺬ ُ َ bertakwalahوا ٍﻣﺎِ ﺑ ِ tinggalkanاﻟﱠ ِ Hai orang-orang kepada Allah dan beriman,ﻲ ِ yangاﻟﱢﺮﺑﺎِِإِ ﱠ ﱠ ﻳَﻣﺎﺆأَِ ﻢ ﺘ ﻨ ﻛ ن ﻦ ﻣ ﻘ ر ذ و ﻪ ﻠ اﻟ ا ﻮ ﻘ ـ ﺗ ا ا ﻮ ﻨ آﻣ ﻳﻦ ﺬ Makaﻳـﱡﻨَِﻬﺎ ِ ِ ْ َ ُ ْ ُ ِ ِ ُ ُ ﱠ َ ْ َ َ َ َ Ribaﺘُ ْﻢ ْ (yangن ﺗُـْْﺒ belumﻮﻟﻪ َوإ )ََ dipungutوَر ُﺳ ب ﻣ َﻦ َاﻟﻠﻪ ا ﻮ ﻧ ذ ﺄ ﻓ ا ﻮ ﻠ ﻌ ﻔ ـ ﺗ ﱂ ن ﺈ ﻓ . ﲔ ﻣ َ َ sisa ﲝَُﺮjika kamu orang-orang yang beriman. ُ ْ َ ْ َ َ َْ ُْ َ ْ ُ sisa riba),َ maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan ketahuilah, bahwa ِ ِ ِ ِ ﻣ ْﺆِﻣﻨِ ِ ٍ ِ ِ ﱠ ْ ﻢ ﺘ ﺒ ـ ﺗ ن إ و ﻪ ﻟ ﻮ ﺳ ر و ﻪ ﻠ اﻟ ﻦ ﻣ ب ﺮ ﲝ ا ﻮ ﻧ ذ ﺄ ﻓ ا ﻮ ﻠ ﻌ ﻔ ـ ﺗ ﱂ ن ﺈ ﻓ . ﲔ ِ ِ َ ُ ْ ْ َ ْ َ َ ُ ُ َ ُ َ akanﻮ َنَ َُ . jikaﻻ ﺗ kamuاﻟ ُﻜَْﻢ وس أ َْﻣ َْﻮ ُ(dariﻜ ْﻢ ُرء ْ ْ dan َRasul-Nya َmemerangimu.ﻈْﻠَ ُﻤ Allah bertaubat ﻓَُـﻠَ َDanﻈْﻠ ُﻤﻮََنْ َوﻻ ﺗُ ُ ُ ;pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu kamu ِtidak Menganiaya dan ﻗﺎلﻠِ ﺗ ﻻ رﺿﻲَﻮاﻟاﷲُﻜ ْﻢ وس أ َْﻣ . ن ﻮ ﻤ ﻠ ﻈ ﺗ ﻻ و ن ﻮ ﻤ ﻈ ﻋﻠﻴﻪ اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ رﺳﻮل ﻟﻌﻦ : ﻋﻨﻪ ْ ْ َ َ َ َ ُ َ 278-279). ُ ﻓَـﻠَﻋﻦُﻜ ْﻢ ُرءُ ﺟﺎﺑﺮ ُ tidak (pula) dianiaya. (QS.ُ Al-Baqarah: Dalilاﻩ )kedua,رو hadisﺳﻮاء وﻗﺎل ﻫﻢ وﺳﻠﻢ أﻛﻞ اﻟﺮﺑﺎ وﻣﺆﻛﻠﻪ وﻛﺎﺗﺒﻪ وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ Nabi. ﻣﺴﻠﻢ( ﺟﺎﺑﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل :ﻟﻌﻦ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻦ رﺳﻮل اﷲ ﻛﺎﺗﺒﻪ ﻟﻌﻦ ﻋﻨﻪ وﻗﺎل: رﺿﻲﺑﺎ اﷲ وﺳﻠﻢﺟﺎﺑﺮ ﻋﻦ ﻋﻠﻴﻪواﻩ اﷲاء )ر ﺻﻠﻰﺳﻮ وﻗﺎل ﻫﻢ وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ وﻣﺆﻛﻠﻪ أﻛﻞ اﻟﺮ ﻣﺴﻠﻢ(أﻛﻞ اﻟﺮﺑﺎ وﻣﺆﻛﻠﻪ وﻛﺎﺗﺒﻪ وﺷﺎﻫﺪﻳﻪ وﻗﺎل ﻫﻢ ﺳﻮاء )رواﻩ وﺳﻠﻢ Dari Jabir RA. Dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemakan (pemberi ﻣﺴﻠﻢ اﶈﻈﻮرات اﻟﻀﺮورةriba,ﺗﺒﻴﺢ makan dengan harta riba, penulis dan kedua saksinya, seraya menegaskan, ‘mereka semua sama’.” (HR. Muslim).24 Dalil ketiga, kaidah fikih. Dalil ini digunakan untuk melegitimasi pengecualian.
اﻟﻀﺮورة ﺗﺒﻴﺢ اﶈﻈﻮرات اﶈﻈﻮرات اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ ﺗﺒﻴﺢﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﺗﻨﺰل اﳊﺎﺟﺔ
“Keadaan dharurat itu menyebabkan diperbolehkannya hal-hal yang dilarang.”25
اﳊﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ اﳊﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _445
اﳊﺎﺟﺔ ﺗﻨﺰل ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻀﺮورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧﺖ أو ﺧﺎﺻﺔ “Kebutuhan itu dapat menempati kedudukan dharurat, baik secara umum maupun khsusus.”26 Sedangkan argumentasi kelompok yang berpendapat, bunga bank adalah tidak sama dengan riba, yaitu berdasarkan ayat yang sama tapi interpretasi yang berbeda. Praktik riba memang dilarang dalam alQur’an, sebagaimana ayat yang dikutip di atas, surat Ali Imran ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278 sampai 279. Masalahnya adalah apakah sama antara bunga dengan riba? Bagi kelompok ini, bunga bank itu tidak sama dengan riba. Pertama, al-Thabari menyatakan, ayat 130 dalam surat al-Imran turun terkait dengan adanya praktik riba yang terjadi pada masa jahiliyah. Konteks riba pada zaman itu yaitu pelipatgandaan umur binatang yang dihutang. Bila hewan yang dihutang berumur satu tahun, lalu jatuh tempo dan tidak bisa membayarnya, maka pembayaran boleh ditangguhkan. Tapi, ketika jatuh tempo lagi, maka pembayarannya harus menggunakan binatang yang berumur dua tahun. Begitu seterusnya hingga lunas.27 Jadi yang dilarang adalah segala macam dan bentuk praktik riba seperti yang terjadi pada masa jahiliyah. Tidak semua “nilai tambah” dari pokok hutang yang kini dikenal dengan istilah “bunga”, secara otomatis dihukumi layaknya “riba”. Kedua, riba yang diharamkan dalam surat al-Baqarah 278, menurut Muhammad Rasyid Ridho, adalah riba yang berlipat ganda seperti dalam surat Ali Imran ayat 130. Konteksnya disesuaikan dengan sebab dan kondisi yang melatari pada saat itu.
D. Periode Penjernihan: Tashfiyatul Fikrah Nahdliyah Adalah sebuah konsekuensi, ketika kran keterbukaan dan dinamisasi dalam berfikir telah dibuka, maka arus pemikiran yang warna-warni pun mengalir ke NU. Peluit tajdid, yang ditiup para kiai pada Munas
446_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
NU di Lampung, 1992, ternyata mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk anak muda NU, yang mengenyam dunia perguruan tinggi. Mereka memandang, NU tidak lagi jumud, tekstual, dan kaku, tapi dinamis dan kontekstual. Sejak itu, gagasan dan pemikiran anak-anak muda NU yang mayoritas berbasis di perguruan tinggi itu merasa direstui oleh bapaknya, kiai-kiai di pesantren tempat mereka ngaji atau jajaran pengurus NU. Sejak dasawarsa 1980-an, disadari atau tidak, pemikiran kalangan muda NU telah memberikan warna berbeda dalam jagat pemikiran Islam kontemporer di tanah air. Berbagai gelagat pemikiran mereka telah menghiasai ragam pemikiran kontemporer, yang tidak hanya, mencengangkan para kiai pesantren sebagai bapak mereka, namun juga para pengamat asing yang selama ini menganggap NU sebagai organisasi kaum tradisional. Tesis Deliar Noor yang mengkategorikan NU sebagai kaum tradisionalis28 seolah patah, bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat. Karena yang disinyalir Deliar Noor sebagai kaum modernis saat itu malah diambang degradasi, dan lambat laun pemikiran mereka tersalip oleh progresifitas anak muda NU yang mulai menjelajahi berbagai ruang-ruang di luar mainstream kepesantrenan. Perkembangan metode bahtsul masail NU dari qauli ke qauli wa manhaji juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan anak-anak muda ini. Mereka terlibat aktif dalam halaqah-halaqah ke-NU-an yang digelar pada era 1980-an akhir, yang mendiskusikan perlunya perubahan tradisi intelektual di NU, dari tektual ke kontekstual. Gagasan pembaruan yang mereka usung ini direstui oleh kiai Ma’ruf Amin saat itu. Makanya, ketika Munas di Lampung, kiai Ma’ruf adalah kalangan “NU tua” yang gigih dalam memperjuangkan metode manhaji sebagai terobosan untuk memecah stagnasi dalam bahtsul masail NU. Namun, dalam perkembangannya, pasca Munas di Lampung, kiai Ma’ruf memandang bahwa lampu hijau metode manhaji dan kontekstualitas dalam pemahaman teks keagamaan, yang digagasnya di Lampung itu,
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _447
di salahgunakan oleh anak-anak Muda NU. “Mereka memahaminya bahwa kontekstual itu ya pemahaman Islam secara liberal, bebas sebebasbebasnya,” katanya.29 Akibatnya, menurut pengamatan kiai Ma’ruf, pemikiran anak-anak Muda NU ini terlalu kontekstual sampai meninggalkan teks. Pemikiran mereka pun seringkali memancing resistensi dari beberapa kalangan kiai-kiai sepuh. Misalnya, pembacaan teks dengan nalar kritis oleh anak Muda NU yang progresif-liberal dapat dijumpai dalam buku Kritik Nalar Fiqih NU30 yang ditulis kaum muda NU sebagai bukti kritik mereka terhadap disiplin fikih dan tradisi berfikih NU, khususnya dalam forum bahtsul masa’il. Lebih dari itu, geliat kaum muda kritis dengan memosisikan ushul fiqh sebagai disiplin yang tidak bebas kritik. Di mata kaum hibrida NU ini, ushul fiqh dipandang sebagai biang problem yang mendasari produk-produk fikih yang tidak kreatif dan responsif terhadap masalah aktual yang dihadapi umat. Satu lagi, contoh menarik dari konfrontasi NU muda dan NU tua ini bisa dilihat pada kasus penolakan para peserta Muktamar NU di Boyolali tahun 2004, terhadap hermeneutika dan kelompok Islam liberal. Penolakan itu dianggap, beberapa pengamat NU, sebagai cerminan kesenjangan berpikir antara anak muda dan kalangan kiai tua. Bagi anak muda NU, penolakan terhadap hermeneutika bukan dianggap sebagai sebuah wacana tandingan atau wacana alternatif, akan tetapi malah dibaca sebagai simbol “pengekangan kembali” kebebasan berfikir. Sementara bagi kiai Ma’ruf dan juga sebagian besar peserta Muktamar, menganggap bahwa hermeneutika dan ide-ide yang disusung oleh anak muda NU yang progresif-liberal itu sebagai disiplin yang keluar dari rel-rel keagamaan yang dipakemkan selama ini. Bahkan, kiai Ma’ruf maknai gerakan anak Muda NU ini sebagai elemen yang mengancam pencabutan batas-batas cara berfikir ala NU dengan mengimpor teoriteori dari Barat. Ia berpendapat, ada sebagian pemikiran orang-orang NU yang sudah berani menabrak pagar fikrah nahdliyah NU.
448_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Karena itu, agar pemikiran dan gerakan ini tidak kian kebablasan, kiai Ma’ruf membuat rumusan fikrah nahdliyah, paradigma berfikir ala NU. “Untuk membendung proses liberalisasi di NU, maka kita munculkan gagasan tashfiyatul fikrah al-nahdliyah (pemurnian cara berfikir ala NU),” tegasnya. Dengan gagasan ini, berarti NU balik lagi jadi tertutup dan normatif? Kiai Ma’ruf menepis, “Nu itu la konservatifiyyan wala librariyyan, wa lakin tatowwuriyyan wa manhajiyyan,” terangnya. NU itu tidak konservatif, tidak pula liberal. Tapi NU itu dinamis dan punya kerangka metode berfikir yang jelas.31 Gagasan kiai Ma’ruf ini ditanggapi positif oleh sebagian besar kiai NU dan menjadi agenda besar dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya tahun 2006. Waktu itu, ia dijuluki sebagai arsitek manhaj fikrah al-nahdliyah, metode berfikir ala NU. Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang dijadikan landasan berpikir NU (khiththah nahdliyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah, perbaikan umat. Pada titik ini, kiai Ma’ruf ingin menempatkan NU sebagai manhaj al-fikr. Sebagai manhaj, NU punya tiga koridor berfikir. Pertama, dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur AlMaturidi. Kedua dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu Al-Madzahib Al‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Ketiga, Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam alJunaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al Ghazali. Tiga aspek itu dalam aplikasinya mempunyai ciri-ciri yang dapat dijadikan petanda fikrah nahdliyah, atau dalam keputusan Munas tersebut disebut khashais fikrah nahdliyah. 1. Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _449
berbagai persoalan. NU tidak tafrith atau ifrath. 2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda. 3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah). 4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. 5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama. Sebagai ketua tim perumus Munas di Surabaya, kiai Ma’ruf, juga merumuskan “al-kutub mu’tabarah” yang selalu dijadikan rujukan utama warga NU dalam bahtsul masail. Mengapa dirumuskan? Sebab, sejak bahtsul masail tahun 1984 di Situbondo, kriteria al-kutub al mu’tabarah dipermasalahkan. Tapi, hingga Muktamar ke-31 di Boyolali, tidak ada perkembangan pembahasan secara signifikan. Karena itu, kata kiai Ma’ruf, Munas Surabaya memandang perlu untuk membahas dan menetapkan kreteria al-Kutubu al-Mu’tabarah.32 Al-Kutub Al-Mu’tabarah adalah kitab-kitab dari al-madzhab al-arba’ah (Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali) dan kitab-kitab lain yang memenuhi kriteria fikrah nahdliyah. Sedangkan ke-muktabar-an suatu kitab itu didasarkan atas: pertama, penulis (muallif)-nya yang antara lain memiliki sifat Sunni, Wara’, dan ‘Alim. Kedua, Isi kitab, baik pendapat(qaul)-nya sendiri maupun kutipan (manqulat). Jika pendapatnya sendiri tolok ukurnya adalah argumentasi dan manhaj yang digunakan. Namun, jika berupa kutipan maka tolok ukurnya adalah shihhatun naql (validitas kutipan). Ketiga, adanya pengakuan kitab tersebut dari komunitas mazhabnya. []
450_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Asj’ari, Hasjim, Ihya Amal al-Fudala’, Muqaddimah Anggaran Dasar NU, Kendal: tp, 1969 Asy’ari, Hasyim, Qann Asasi Nahdatul Ulama, Kudus: Menara Kudus, 1973 Darwis, Ellya KH. ed., Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS, 1994 Azizy, Ahmad Qodri, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000, h. 50-54. Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994 Coulson, N.J., A history of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964 al-Dawâlibî, Ma’rûf, al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Lebanon: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965 Feillard, Andree, NU vis a vis Negara, terj. Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdatul Ulama dan Negara, Yogyakarta: LkiS, 1997 Imam AZ dan Nasikh, Liputan: Dari Halaqah Denanyar, Majalah Santri, No. 3, th. 1, 1990 al-Junaidal, Hamad bin Abdurrahman, Manâhij al-Bâhitsîn fī al Iqtishâd alIslâmî, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1406 H Khalaf, Abdu al-Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1978 Madkur, Muhammad Salam, Manâhij al-Ijtihâd fî al-Islâm, Kuwait: alMathba’ah al-‘Ashriyah, 1973 Mahfudz, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994 Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _451
NU, Keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul ulama, di Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M. Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press, tt. Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996 Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, diterjemahkan dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980 Rahmat, Imdadun, ed. kritik Nalar Fikih NU, Jakarta: Lakpesdam, 2002 as-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushûl al-Syarî’ah, editor Abdullah Darras Beirut: Dâr al-Fikr, tt. al-Sayyis, Muhammad ‘Alî, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Pent. Dedi Junaidi, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1996 al-Suyûthî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân, Tadrîb al-Râwî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972 As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H Sya’labî, Ta’lîl al-Ahkâm, Kairo: Dâr al-Nahdah al-’Arabiyah, 1981 Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, juz IV, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972 al-Qardhâwî, Yûsuf, al-Ijtihâd fi al-Syari’ah al-Islâmiyah ma’a Nazhrah Tahlîlilyah fî al-Ijtihâd al-Mua’ashir, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1985 Zahrah, Muhammad Abû, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1958 al-Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu Beirut:Dâr al-Fikr, 1998 h. 429
452_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual, di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988. Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil Jakarta: Sekjen PBNU, 1002 Pidato Ma’ruf Amin dalam Halaqah Aswaja, Membincang Multi Tafsir Aswaja NU, PP RMI, 2008.
Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _453
Endnotes
1. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, terj. Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999, h. 8-9.
2. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, h. 8-9. 3. Upaya Membakukan buku dan Membukukan Baku Aswaja, Ummu Risalah Aula, 3, th. XIX, maret 1997, h. 19-20.
4. Wawancara dengan Kiai Ma’ruf Amin 5. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin 6. Imam AZ dan Nasikh, Liputan: Dari Halaqah Denanyar, Majalah Santri, No. 3, th. 1, 1990, h. 22-26.
7. Pidato Ma’ruf Amin dalam Halaqah Aswaja, Membincang Multi Tafsir Aswaja NU, PP RMI, 2008.
8. Khotib Sholeh, Menyoal Efektivitas Bahtsul Masail, dalam Imdadun Rahmat (ed.) kritik Nalar Fikih NU, Jakarta: Lakpesdam, 2002, h. 224.
9. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press, h. 367.
10. Hasjim Asj’ari, Ihya Amal al-Fudala’, Muqaddimah Anggaran Dasar NU, Kendal: tp, 1969, h. 37-38.
11. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan..., h. 364. 12. Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus , Ahkam al-Fuqaha’, Juz I, Semarang: Toha Putra, tt, h. 9.
13. 14. 15. 16.
Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan..., h. 367. Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, juz II, h. 24-25. Wawancara Kiai ma’ruf Amin Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual, di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988.
17. Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah... 18. Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000, h. 50-54.
19. Majalah Santri, No. 3, th. I, 1990, h. 27. 20. Wawancara kiai Ma’ruf Amin.
454_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
21. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan NU,
Keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul ulama, di Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M.
22. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin 23. Wawancara kiai Ma’ruf Amin 24. Muslim, Shahih Muslim, juz III, h. 1219. Lihat juga, al-Tirmidzi, Jami’ alTirmidzi, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 512.
25. Al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadhair, h. 60. 26. Al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadhair, h. 62. 27. Al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, juz IV, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1972, h. 204-205.
28. Ulasan selengkapnya lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 19001942, diterjemahkan dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 19001942, Jakarta: LP3ES, 1980.
29. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin. 30. M. Imaduddin Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam NU, 2002.
31. Wawancara Kiai Ma’ruf Amin. 32. Pembahasan tentang kitab mu’tabarah ini belum tuntas, baru pada tahap
definisi dan keriteria. Pembahasan belum sampai pada nama-nama kitab yang bisa dijadikan standar (ummahat al-kitab). Nama-nama kitab dari masing-masing mahdzab yang disebut di sini adalah masih sebatas usulan, belum disahkan.
Analysis of Rampak Bedug Art as Media of Da’wa in Banten Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten
Tatu Siti Rohbiah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten email :
[email protected]
Abstract : Banten has many traditional arts that still exist until now, one of them is rampak bedug. It is a combined art; music, dance and singing, that at first appears from Pandeglang society in around 1950. The artist of rampak bedug believes that this art will exist for long time, because it is the very interesting and special art. Moreover, this art can be used as the media of da’wa to young generation. The values of Islam can be found in the performance of dance, music and its lyrics. This research of rampak bedug uses the dscriptive qualitative method by the six groups of rampak bedug as the unit of analysis; they are Bale Seni Ciwasiat, group of Haji Ilen, group of Kitapa, group of Putra Medal, group of Layung Sari, and group of Sentra Pulosari. The datasubmitted technique uses interview, observation, library research, and documentation. The writer found that rampak bedug is actually has the message of da’wa, because in the content of lyrics using the lyrics of shalawat Nabi and religious songs. Besides, in the performance he found the message of tauhid, shari’a dan akhlak. Those points are the main points of the da’wa in Islam. Abstraksi : Banten memiliki banyak kesenian tradisional yang hingga kini masih terpelihara, salah satunya adalah kesenian rampak bedug. Kesenian ini merupakan perpaduan antara
456_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 seni musik, tari dan suara, yang pada awalnya lahir dari masyarakat Pandeglang sekita tahun 1950-an. Para penggeliat kesnian rampak bedug meyakini bahwa kesenian ini akan terus terpelihara untuk waktu lama, karena kesenian ini sangat menarik dan khas. Lebih dari itu, kesenian ini dapat digunakan sebagai media dakwah bagi kalangan anak muda. Nilai-nilai Islam dapat ditemukan dalam prtunjukan tariannya, musiknya, hingga liriknya. Penelitian tentang rampak bedug ini menggunakan metode deskriptif qualitatif dengan menjadikan enam kelompok seni rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, kelompok Kitapa, kelompok Putra Medal, kelompok Layung Sari, dan kelompok Sentra Pulosari. Penulis menemukan bahwa rampak bedug sebenarnya mengandung pesan-pesan dakwah, sebab dalam isi lirik yang digunakan menggunakan lirik-lirik shalat Nabi dan lagulagu religi lainnya. Disamping itu, dalam pertunjukannya penulis juga menemukan pesan-pesan tauhid, syariat dan akhlak. Ketiga hal ini merupakan hal pokok dalam dakwah Islam. Keyword: Art, Bedug, Da’wa, Banten
A. Pendahuluan Dakwah merupakan bagian penting dalam ajaran Islam. Penyampaian ajaran Islam kepada orang lain tentu harus dilakukan dengan proses komunikasi yang baik, menarik dan tepat sasaran. Proses komunikasi itulah yang kemudian dikenal dalam Islam sebagai dakwah. Namun, pada prakteknya, proses komunikasi dalam dakwah Islam terkadang terkendala banyak hal, disebabkan tidak sinkronnya antara apa yang disampaikan seorang da’i dengan orang yang mendengarkannya. Oleh karena itu, proses komunikasi harus menggunakan media yang selaras, komunikatif, dan memahami kecenderungan pendengarnya. Hingga saat ini ada banyak faktor yang menjadi penyebab tidak sinkronnya pesan dakwah. Salah satunya adalah karena dakwah yang selama ini dilakukan cenderung kering, impersonal, dan hanya bersifat
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _457
informatif belaka, dan belum bahkan tidak menggunakan teknik-teknik komunikasi yang efektif.1 Situasi ini merupakan cermin wajah dakwah yang belum berpijak di atas realitas sosial yang ada. Dakwah yang terjadi di masyarakat tidak memiliki hubungan interdependensi yang sangat kuat,2 sehingga dakwah cenderung tidak tepat sasaran. Dalam konteks ini, ada dua sisi dakwah yang tidak dapat dipisahkan, yaitu menyangkut isi dan bentuk, subtansi dan forma, pesan dan cara penyampaiannya, esensi dan metode. Dua sisi dari hal tersebut tentu tidak terpisahkan. Hanya saja, perlu disadari bahwa isi, substansi, pesan, dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini subtansi dakwah adalah pesan keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi keduanya adalah bentuk, forma, cara penyampaian dan metode.3 Seorang da’i hendaklah memilih metode dan media yang dari masa ke masa terus berkembang. Yang tak kalah pentiingnya lagi adalah: media dakwah tersebut berpijak pada budaya dan kultur masyarakatnya. Salah satu media dakwah kultural yang mampu mendekatkan seorang da’i dengan jamaahnya adalah melalui seni dan budaya. Seni merupakan media yang mempunyai peranan penting dalam melakukan pelaksanaan kegiatan religi, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati setiap pendengar dan penonton. Melalui kesenian tentunya tidak hanya sebagai hiburan belaka, namun orang mencipta kesenian mempunyai tujuan-tujuan tertentu, misalnya sebagai mata pencaharian, untuk propaganda atau bahkan untuk berdakwah. Bagi mereka yang menikmati suatu karya seni tentunya akan tergerak untuk menghayati apa sebenarnya misi yang terkandung di dalamnya. Di dalam gempita dan persaingan kelompok kesenian di zaman modern ini, tidak menjadikan kesenian-kesenian tradisional merasa pesimis untuk mendapatkan simpatisan dari publik atau masyarakat, namun justru menjadi acuan untuk lebih meningkatkan mutu kesenian yang ditampilkan. Hal ini terbukti dengan masih hidup dengan suburnya kesenian-kesenian tradisional di daerah-daerah.
458_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Media dakwah lewat seni memiliki banyak keunggulan. Seni tidak lepas dari masalah keindahan, kesenangan dan segala sesuatu yang mempesona dan mengasyikkan. Hal ini karena pada dasanya seni diciptakan untuk melahirkan kesenangan. Sedangkan menikmati keindahan dan kesenangan adalah keinginan dan kegemaran manusia karena hal tersebut merupakan fitrah naluri manusia yang dianugerahkan Allah swt kepada manusia. Sepanjang sejarah kehidupan manusia belum pernah ditemukan umat yang menjauhkan diri dari berbagai macam seni, khususnya seni musik dan tari. Kedua kesenian ini bahkan digunakah oleh para pendakwah terdahulu (para wali) dalam menyiarkan agama Islam di Nusantara. Hasilnya tentu sangat efektif. Islam masuk ke Nusantara tanpa peperangan, melainkan dengan aman, indah dan damai, yakni dengan seni dan budaya. Sebelum Islam hadir di Tanah Arab, bangsa Arab sebenarnya sudah mengenal bahkan tergolong mahir dalam bersyair, bernyanyi dan berorasi. Bernyanyi dan bermain musik saat itu tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga oleh kaum wanita. Mereka sangat mahir memainkan musik rumah, duff (tamborin), qusaba, dan mizmar (alat musik sejenis seruling).4 Islam pun datang dan hadir dengan diturunkannya al-Qur’an, yang setiap ayatnya membuat para pencinta seni dan sastra terkagum-kagum, karena al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang sangat Indah. Maka tak heran, kedatangan Rasulullah dan rombongan saat pertama kali tiba Yatrib disambut dengan untaian musik. Rasulullah pun merasa senang dengan sambutan tersebut, yang mengindikasikan bahwa Rasulullah tidak melarang umat Islam. Musik atau lagu religius (qasidah, al-handasah, al-shawt) dalam Islam kini tidak dipersoalkan, meskipun pada awalnya mungkin dipertentangkan.5 Hal ini mengingat bahwa kesenian merupakan media paling efektif untuk berdakwah, karena para ulama zaman dulu pun melakoninya. Hal ini tak terkecuali dengan apa yang terjadi di Banten. Islam hadir di Banten melalui dakwah kultural yang persuasif dan komunikatif, sehingga mampu diterima.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _459
Para ulama Banten menanamkan nilai-nilai Islam lewat kesenian dan kebudayaan. Pola dakwah lewat kesenian ini kemudian dijadikan tokoh-tokoh Banten untuk turut serta melestarikan dan menciptakan kesenian baru. Salah satunya adalah rampak bedug. Meski tergolong usia kesenian ini baru sekitar setengah abad lalu, tapi nilai-nilai dakwah yang ditanamkan masih mengikuti pola dakwah ulama zaman dulu di Banten. Di tengah pesatnya kemajuan kesenian, para penggeliat kesenian rudat tetap meyakini bahwa kesenian ini akan tetap bertahan di Banten, karena memiliki kekhasan tersendiri. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada kesenian rampak bedug karena kesenian ini mengandung pesan-pesan dakwah Islam di dalamnya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang pesan dakwah apa saja yang terkandung didalamnya. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menjadikan enam sanggar rampak bedug sebagai unit analisinya, yakni sanggar Bale Seni Ciwasiat, kelompok Haji Ilen, group seni rampak bedug Kitapa, group rampak bedug Putra Medal, group Layung Sari, dan group Sentra Pulosari. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi, pustaka, dan dokumentasi.
B. Seni Islam Sebagai Media Dakwah Seni adalah tata hubungan manusia dengan bentuk-bentuk pleasure yang menyenangkan.6 Seni merupakan hasil kreasi manusia yang mengedepankan estetika sehingga dapat diterima dan dinikmati oleh orang lain. Menurut Yusuf Qardhawi, seni adalah suatu kemajuan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia dan tidak menurunkan martabatnya. Ia merupakan ekspresi jiwa yang mengalir babas, memerdekakan manusia dari rutinitas dan kehidupan mesin produksi, berpikir, bekerja dan berproduksi.7 Menurut C. Isror, seni meliputi seluruh yang dapat menimbulkan kalbu rasa keindahan, sebab seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan
460_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
manusia.8 Dari beberapa definisi ini dapat diambil suatu gambaran yang jelas bahwa yang disebut seni adalah usaha manusia yang bertujuan untuk menjelmakan rasa indah yang ada dalam lubuk hati manusia dalam bentuk yang dapat menyenangkan orang yang sedang menikmatinya. Bisa dikatakan bahwa seni adalah sesuatu yang bisa membuat hati manusia merasa senang, nyaman dan tenang tapi tetap mendapatkan nilai. Dalam konteks hubungan antar manusia, seni adalah media komunikasi antara yang melakukan kegiatan seni dengan yang menikmatinya. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.9 Jika seorang peraga atau pencipta seni menampilkan karya seninya, maka ia memerlukan media sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan kepada penikmatnya. Begitu juga dengan seoran pendakwah. Ia memerlukan media untuk bisa menyampaikan pesanpesan dakwahnya. Media dakwah yang bisa digunakan oleh seorang seniman dalam berdakwah adalah alat atau perantara untuk mengajak seseorang untuk ber-amar makrúf nahyi munkar, yakni berupa pertunjukan seni dan budaya sebagai media syi’ar Islam. Pertunjukan seni yang digunakan tentu saja harus mengikuti kehendak yang diinginkan orang penikmatnya. Semakin kesenian itu digandrungi, maka semakin kuat pesan yang bisa disampaikan kepada penikmatnya. Kini, di tengah perkembangan zaman yang begitu mengglobal dan kegiatan informasi kian masif dan menyeluruh, maka media-media dakwah mau tak mau harus mengikuti zamannya pula. Sesuai dan seiring dengan lajunya perkembangan zaman, usaha penyelenggaraan dakwah semakin berat dan kompleks. Ini disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi dakwah semakin berkembang dan kian kompleks. Dakwah adalah ajakan atau seruan untuk mengajak kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.10 Seni sebenarnya mempunyai bentuk yang bermacam-macam tergantung penciptanya. Berdasarkan pengertian seni di atas, maka
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _461
pembagian seni bila ditinjau dari segi penyampaiannya ada empat macam, yaitu; pertama, seni rupa, yaitu karya seni yang disampaikan dengan menggunakan media rupa seperti lukisan, patung dan ukiran; kedua, seni suara, yaitu karya seni yang disampaikan dengan menggunakan media suara baik suara benda, suara musik, atau suara manusia seperti instrument italia, dan vocal; ketiga, seni gerak, yaitu karya yang disampaikan dengan menggunakan gerak seperti seni tari, senam dan sendra tari; dan keempat, seni sastra, yaitu karya seni yang disampaikan dengan menggunakan media bahasa seperti puisi, cerpen dan pantun.11 Dalam agama Islam, seni tidaklah masuk ke dalam wilayah agama, akan tetapi masuk ke dalam wilayah kebudayaan, sebab seni merupakan hasil karya cipta manusia untuk menjelmakan rasa indah dalam hati untuk dinikmati orang. Islam membolehkan penganutnya untuk berseni, selama di dalam berseni itu tidak membawa ke arah yang menyesatkan atau dilarang oleh syari’at agama. Salah satu kesenian yang sejak dulu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam manusia modern saat ini adalah seni musik. Musik mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual tidak hanya bagi musik itu sendiri melainkan juga dalam hubungannya dengan syair sebagaimana telah diperlihatkan oleh Jalaluddin Rumi. Al-Qur’an sekalipun dalam prosodi tradisionalnya merupakan musik dan syair sekaligus, meskipun secara tradisional ia tidak diklasifikasikan sebagai keduanya, namun karena ia merupakan firman Tuhan, maka termasuk dalam kategori ’di atas’ seluruh kategori seni manusia.12 Artinya, secara bentuk, forma, maka kesenian musik sebenarnya tak terpisahkan dengan Islam itu sendiri. Sebab, seni dalam mempunyai noktah dan tujuan yang jelas yaitu sebagai manifestasi beribadah kepada Allah. Menurut Islam, seni tidak boleh diklasifikasikan kepada subjek atau objek semata-mata. Ia harus dilihat sebagaimana Islam sendiri memandang sesuatu. Ia tidak dilihat pada satu sudut tertentu tetapi pada sesuatu yang menyeluruh, manakala kandungannya pun seiring dengan nilai-nilai Islam.
462_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Seni sebagai media dakwah artinya seni digunakan untuk untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu, dan lain sebagainya. Media dakwah sangat penting sekali peranannya, sebab dakwah merupakan hal yang sangat komplek dan unik, artinya dalam dakwah terdapat beberapa obyek dakwah yang berbagai macam perbedaan, seperti kebudayaan, ideologi, dan sebagainya, sehingga tujuan dakwah yang ingin dicapai oleh da’i dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Asmuni syukir menyebutkan bahwa media dakwah bisa dilakukan lewat enam macam cara atau alat, satu diantaranya adalah lewat seni dan budaya. Salah satunya adalah lewat seni musik.13 Artinya, seni rampak, yang merupakan penggabungan kesenian musik suara dan tari, dapat diidentifikasikan sebagai media dakwah yang efektif, karena penggabungan ketiga unsur dalam forma kesenian ini begitu estetis. Bagi masyarakat Islam Banten, seni rampak bedug merupakan kesenian yang memiliki keunikan, ketertarikan yang menyimpan nilai-nilai Islam yang agung. Dalam dunia dakwah, ada tiga hal yang menjadi pesan pokok; yakni pesan akidah, pesan syariat dan pesan akhlak. Ketiga pesan ini termaktub dalam kegiatan kesenian rampak bedug. Sebagai kesenian warisan orang-orang terdahulu, rampak bedug menyimpan filosofi nilai yang diambil dari nilai-nilai Islam, mengingat Banten merupkan wilayah yang dibangun dari kerajaan Banten, yang dulu pernah berjaya.
C. Rampak Bedug di Banten Banten adalah provinsi baru, yang sah berdiri pada tahun 2000. Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, terdapat beberapa kesenian khas daerah Banten, diantaranya: kesenian wayang garing, kesenian ubrug, kesenian terbang gede, kesenian tarian kreasi, rudat, kesenian pencak silat, pantun bambu, marawis, rampak bedug, kesenian
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _463
pandingdang pandegangan, kesenian buaya putih, dzikir saman, kesenian dogdog lojor, debus, dan lain-lain.14 Semua jenis kesenian itu memiliki basis komunitas yang berbeda-beda. Kesnian rampak bedug sendiri berpusat di Kabupaten Pandeglang. Istilah ‘rampak bedug’ diambil dari dua kata, yaitu ‘rampak’ dan ‘bedug’. Kata ‘bedug’ sendiri sangat familiar di telinga umat Islam, mengingat bentuk bedug memang sangat dekat dengan unsur-unsur dakwah Islam. Bedug juga biasa mudah dijumpai di masjid-masjid dan surau. Bedug merupakan alat bunyi yang dipergunakan sebagai petanda bahwa telah masuk waktu untuk melakukan ibadah shalat, selain itu juga bedug digunakan sebagai pemberitahuan terkait acara keagamaan. Bedug yang dimaksud dalam hal ini adalah bedug lojor,15 yaitu bedug berukuran sedang dan besar, yang bisa menghasilkan bunyi yang lumayan nyaring. Dari sisi sejarah keberadaan bedug di Nusantara, khususnya di Banten terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bedug merupakan alat bunyi yang berasal dari Negeri Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang muslim itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.16 Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa bedug merupakan peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. M. Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, berpendapat bahwa pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan.17 Selain dua pendapat itu, ada pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa penggunaan bedug mulai dilakukan pada zaman Majapahit pada abad ke 14-16 Masehi. Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi
464_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug. Sementara kata ‘rampak’ mengandung arti ‘serempak’. Serempak artinya bersamaan, berbarengan, dan harmoni. Jadi, ‘rampak bedug’ dapat dikatakan sebagai kesenian yang menjadikan waditra berupa banyak bedug yang digunakan sebagai sarananya dan ditabuh secara ‘serempak’ sehingga menghasilkan irama khas yang enak untuk didengar. Rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya di wilayah itu, tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Seiring perkembangan waktu, kelompok-kelompok seni rampak bedug juga bertebaran di beberapa wilayah di Provinsi Banten. Salah satunya adalah di Kabupaten Serang. Di pandeglang sendiri ada sekitar sepuluh kelompok atau sanggar tari rampak bedug. Namun, dari jumlah tersebut hanya beberapa saja yang bisa sering dijumpai pentas dalam event tertentu. Salah satunya sanggar Bale Seni Ciwasiat yang bermarkas di Jl. Ciwasiat belakang BRI Pandeglang pimpinan Bapak Rohaendi. Kelompok seni ini masih mampu bertahan di tengah terpaan modernisasi kesenian di wilayah Banten. Dalam pementasannya, kelompok seni ini tidak setiap hari atau setiap minggu tampil. Kelompok seni rampak bedug merupakan pertunjukan seni yang masih bergantung pada musim. Artinya, kesenian ini masih terbatas pada pementasannya. Bahkan, pada awal-awalnya, kesenian ini hanya muncul pada momentum bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug (menabuh bedug) atau ngadulag. Kesenian rampak bedug merupakan perkembangan dari seni ngabedug, yang biasa dimainkan sebagai penyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Kesenian rampak bedug pada awalnya merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Pandeglang yang dikenal dengan ngadu bedug (lomba tabuh bedug) yang dilaksanakan
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _465
pada Bulan Puasa setelah selesai melaksanakan shalat Tarawih sampai menjelang sahur dalam rangka memeriahkan bulan suci Ramadhan. Lagu rampak bedug dulunya tercipta dari alam dan emosi masyarakat sekitar Pandeglang. Menurut Rohaendi, ngadu bedug berawal dari kegiatan masyarakat dalam perkampungan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh dua atau lebih warga kampung yang berbeda, dengan diawali oleh salah satu kampung yang menantang dengan menabuh bedug lagu tertentu (biasanya lagu Nangtang), yang kemudian dijawab oleh kampung lainnya. Selanjutnya terus bersahutan, saling bergantian lagu, motif dan pola tabuh sesuai kraetivitas warga kampungnya masing-masing. Dalam kegiatan ngadu bedug, yang dinyatakan kalah adalah mereka yang berhenti terlebih dahulu atau tidak dapat menjawab lagu yang dimainkan lawan. Untuk menjaga harga diri atau kehormatan kampungnya, serta menghindari dari kekalahan, adakalanya kegiatan ngadu bedug ini dilakukan bersahutan hingga sehari semalam, bahkan lebih. Di Pandeglang, kampung-kampung yang biasa melakukan Ngadu Bedug ini diantaranya: Ciaseum, Parung Sentul, Kabayan, Salabentar, Ciguludug, Kadu Gajah, Kadu Pandak, Juhut, Kampung Jambu, Cilaja, Cipacung, Nyoreang, Sarabaya, Ciinjuk, Cikondang, dan lain-lain. Bisa dikatakan bahwa kesenian ini pertama kali mulai dipertandingkan sebagai k arya seni pada tahun 1950-an. Awalnya pementasan rampak bedug di Kecamatan Pandeglang. Selain Bale Seni Ciwasiat, ada pula kelompok rampak bedug yang sejak awal ikut andil dalam mengembangkan kesenian ini, yakni kelompok Haji Ilen di Kelurahan Juhut Kecamatan Pandeglang. Tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Pada perkembangan berikutnya, kelompok kesenian ini berkembang dan menyebar ke daerah Kabupatn Serang seperti Kecamatan Serang, Pamaraian dan Walantaka.
466_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ada pula beberapa nama kelompok rampak bedug yang hingga kini masih eksis, seperti group seni rampak bedug Kitapa yang dipimpin oleh TB. Ruchayat Zaen yang terdapat di Kabupaten/Kecamatan Serang, Lopang, dan Gede, group rampak bedug Putra Medal yang dipimpin oleh Diding Sujai, group Layung Sari yang dipimpin oleh Utom Bustomi di Kabupaten/Kecamatan Pandeglang, dan paguyuban Sentra Pulosari yang dipimpin oleh Hardi dengan yang bermarkas di Kabupaten/Kecamatan Pandeglang dan Kadu Hejo. Pada perkembangan berikutnya, kesenian ini bisa dimainkan secara profesional pada acara-acara hajatan (khitanan, pernikahan) dan harihari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak bedug merupakan pengiring takbiran, pernikahan, marhabanan18, shalawatan, dan lagu-lagu bernuansa religi lainnya. Oleh karenanya, kesenian ini berubah menjadi suatu seni yang layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni rampak bedug sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai. Dulu, pemain rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah sebagai berikut: pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan sekaligus kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug, baik pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari. Busana yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian muslim dan muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur kedaerahan. Pemain laki-laki misalnya mengenakan pakaian model pesilat lengkap dengan sorban khas Banten, tapi warna-warninya menggambarkan kemoderenan: hijau, ungu, merah, dan lain-lain (bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain perempuan mengenakan pakaian khas tari-tari tradisional, tapi bercorak kemoderenan dan relatif
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _467
religius. Misalnya, menggunakan rok panjang bawah lutut dari bahan batik dengan warna dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana panjang warna merah jenis celana panjang pesilat. Di Luarnya mengenakan kain merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan dan digunakakan untuk semacam tarian selendang. Bajunya tangan panjang yang dikeluarkan dan diikat dengan memakai ikat pinggang besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
D. Pembahasan Sebagai hasil karya anak manusia, kesenian rampak bedug tidak luput dari nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada penonton. Kesenian yang bersumber dari mayasrakat Pandeglang yang memiliki corak tradisi keagaaman kuat ini tentu saja mengandung nilai-nilai positif yang ingin dikembangkan dan dinikmati oleh penonton. Karena rampak bedug sendiri merupakan instrumen musik yang berasal dari alat yang lekat hubungannya dengan bangunan masjid, maka tentu saja di dalamnya mengandung nilai-nilai dakwah. Alat bedug sendiri, bagi masyarakat Banten, memiliki fungsi yang penting. Umumnya masjid-masjid di Banten, terutama di Pandeglang, memiliki alat pukul bedug sebagai tanda datangnya waktu shalat. Selain bedug, alat lain yang umumnya terdapat di masjid adalah kentongan, yang terbuat dari kayu, yang memiliki suara yang nyaring. Keduanya, baik bedug maupun kentongan, merupakan alat yang dikombinasikan pada setiap datangnya waktu shalat. Selain digunakan untuk petanda datang waktu shalat, bedug juga digunakan untuk momentum harihari penting, seperti untuk takbir keliling, untuk membangunkan warga sahur di malah Bulan Puasa, dan lain-lain. Ketika bedug digunakan sebagai instrumen kesenian, maka ada pergeseran fungsi, yang semula untuk kegiatan keagamaan menjadi alat
468_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
untuk kegiatan hiburan. Namun demikian, pada pertunjukan rampak bedug, meski digunakan untuk hiburan, tapi tidak meninggalkan pesanpesan ajaran Islam di dalamnya. Karena, bagaimana pun juga, bedug tidak lepas dari perannya sebagai alat yang awalnya digunakan untuk kegiatan keagamaan. Dalam kemasan penampilannya, kesenian rampak bedug memiliki tiga fungsi. pertama, kesenian ini ditampilkan untuk kegiatan yang bernilai religi. Biasanya dipentaskan untuk menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para ulama pewaris Nabi pengiring takbiran dan marhabanan. Kedua, seni rampak bedug memiliki nilai liburan dan ajang santai. Hal ini biasanya dilakukan oleh kalangan remaja di tengah-tengah waktu santai. Ketiga, nilai ekonomis, yakni seni rampak bedug pada dasarnya merupakan karya seni yang layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman rampak bedug untuk memeriahkan acara-acara mereka.19 Dalam konteks fungsinya sebagai penyemarak kegiatan keagamaan, kesenian rampak bedug biasanya menampilkan lagu-lagu shalawat Nabi. Salah satu lagu yang acapkali ditampilkan adalah lagu Shalawat Badar. Pementasan lagu shalawat Badar pada kesenian rampak bedug mengandung tiga pesan dakwah, yakni pesan dakwah tauhid, syariat dan akhlak. Pesan tauhid yang terkandung dalam pementasan lagu ini terlihat pada gerakan para penari dan penabuh bedug, yang menggambarkan manifestasi ajaran ketauhidan kepada Allah swt. Menurut John L Esposito, budaya tari dalam masyarakat muslim merupakan manifestasi artistik yang disajikan dalam bentuk tertentu ajaran Islam tentang tauhid, keesaan Allah, kemanusiaan, dan segala eksistensi.20 Tarian yang kemudian muncul di tengah masyarakat merupakan bentuk seni dalam budaya Islami berlandaskan gagasan ketunggalan dan transendensi Allah. Hal ini dapat kita lihat pada tarian rampak bedug yang memutar dan bergerak lincah seperti orang yang sedang mengalami ekstase cinta. Menurut Jalaluddin Rumi, dalam diri manusia ada potensi atau hanif yang jika diberdayakan dengan benar dapat membahagiakan.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _469
Potensi itu disebut Cinta Ilahi, yakni jalan cinta kepada Yang Mahabenar. Cinta adalah energi penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta.21 Cinta adalah sarana utama untuk transendensi diri atau pembersihan diri (tazkiyat al-nafs). Orang yang menari akan memiliki jiwa yang lembut dan menafikan segala kebencian yang bersemayam dalam hati. Lantunan zikir juga biasanya mengiring setiap pertunjukan rampak beduk seperti lafal lâ ilâha illa-allâh; sebagai ungkapan pincak ketauhidan seorang hamba. Sambil melafalkan lâ ilâha illa-allâh, para penari rampak bedug sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seraya memusatkan pikirannya kepada Sang Khalik. Dalam pandangan dan perspektif Islam, ajaran tauhid atau persaksian dan pengakuan tiada Tuhan selain Allah, adalah sentral dan asasi. Semua ajaran Islam berpangkal dan berlandaskan pada doktrin tauhid ini. Tauhid mirip dengan titik pusat suatu lingkaran. Adanya lingkaran ditentukan dan hanya akan berbentuk dengan adanya titik pusat itu. Begitu pula dengan Islam, hanya ada karena ada tauhid. Tiadanya tauhid berarti tiadanya Islam. Rusaknya tauhid juga rusaknya Islam.22 Keimanan dan keislaman seseorang ditentukan oleh sejauh mana ia memegang doktrin ketauhidan tersebut. Prinsip tauhid merupakan inti dari semua ajaran para nabi sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad saw. Semenjak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw, tauhid dijadikan sebagai asa dan esensi ajaran. Semua Nabi mengemban misi utama yang sama, yakni tegaknya tauhid sebagai landasan hidup dan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pesan ajaran tauhid juga terkandung dalam lirik syair lagu shalawat Badar, yang berisi pujian-pujian kepada Rasulullah saw dan para sahabat yang syahid pada Perang Badar. Rasulullah harus diyakini sebagai Nabi terakhir yang bisa memberi syafaat di Hari Kiamat (QS. 33: 43). Untuk mendapatkan syafaat Rasulullah hendaknya umat Islam senantiasa melantunkan shalawat, pujian dan kecintaan kepada Rasulullah saw. Bershalawat kepada Rasulullah adalah perintah al-Quran (QS. 33: 56).
470_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pesan syariat yang terkandung dalam pementasan lagu Shalawat Badar pada kesenian rampak bedug dapat terlihat pada gerakan penabuh bedug dan penarinya. Syariat adalah norma (ketentuan) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan (ibadah) dan hubungan manusia dengan manusia (muamalat). Banyak gerakan atau tarian yang menirukan peragaan shalat dan berdoa. Ini menunjukkan bahwa pentingnya dua hal ini untuk dijalankan umat Islam dalam hidup ini. Bentuk adegan shalat diantaranya adalah gerakan takbir, meletakkan kedua tangan di dada dan duduk iftirasy. Lebih dari itu, instrumen utama yang digunakan dalam kesenian ini adalah bedug, yang secara pokok sebenarnya digunakan sebagai petanda datangnya waktu shalat. Dengan kata lain, pesan syariat yang ingin disampaikan dalam kesenian ini adalah mengingat kewajiban shalat lima waktu. Karena, di Banten, khususnya di Pandeglang, suara bedug diperdengarkan ketika datang lima waktu shalat. Hal ini tentu penting dan fundamental, mengingat shalat merupakan ibadah paling utama dalam ajaran Islam. Tegaknya spiritualitas seseorang terlihat dari ia shalat atau tidak. Jika ia mendirikan shalat, maka ia sebenarnya menegakkan (spiritualitas) agamanya. Tapi, jika ia meninggalkan shalat, maka itu artinya ia meruntuhkan (spiritualitas) agama dalam dirinya (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena, kesenian rampak bedug tentu sangat tepat dan relevan untuk dilestarikan dan dikembangkan mengingat kesenian ini memiliki pesan yang fundamental. Disamping itu, syair Shalawat Badar yang dilantunkan oleh penyanyi berisi pesan akhlak, yakni pentingnya menjunjung kemuliaan Rasulullah dan senantiasa meneladani perjuangannya. Lagu shalawat Badar juga dilantunkan dengan irama semangat tinggi karena untuk memberi pesan bahwa dalam hidup ini umat Islam tidak boleh putus asa dan senantiasa berjuang, tidak malas-malasan, dan berpangku tangan. Jika musibah, cobaan dan masalah menimpa seorang muslim, maka ia tidak boleh berputus asa (QS. 5:68, QS. 17:83 dan QS. 41:49). Kita dilarang putus asa
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _471
dari rahmat Allah (QS. 39:53), sebab pertolongan Allah begitu dekat dan kapan pun akan datang (QS. 2:214). Yang putus asa hanyalah orangorang kafir (QS. 12:87) dan orang-orang yang sesat (QS. 15:56). Syair lirik lain yang biasanya dinyanyikan dalam pementasan kesenian rampak bedug adalah Shalawat Yâ Nâr al-‘Aini, Thola’al Badru ‘Alainâ, Al-Shalătu ‘Ala Nabi, Thola’a al-Badru ’Alainâ, dan lain sebagainya. Yang tak kalah penting dalam kesenian rampak bedug adalah pesan akhlak sosialnya. Dalam kesenian ini digambarkan perpaduan antara seni musik, suara, dan tari, yang dilakoni oleh tiga kelompok, yakni penabuh bedug (musik), vokalis (suara), dan penari. Ketiga unsur ini saling membahu dan melengkapi sehingga menghasilkan harmoni suara, musik dan tarian yang apik. Ini tentu menggambarkan pesan al-Quran tentang perintah untuk saling tolong-menolong (QS.5:2). Masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan tradisi gotong royong. Tarian dalam rampak bedug ada yang diberi judul Endahna Babarengan, yang berarti indahnya bersama-sama. Endahna Babarengan adalah menyampaikan informasi kepada orang lain, bahwa jika sesuatu dilakukan bersama-sama, maka akan menghasilkan sesuatu yang indah. Hal tersebut merupakan perwujudan dari keinginan untuk menabuh bedug secara bersama (rampak) sehingga akan menghasilkan harmonisasi yang indah. Konsep tarian ini tentu saja bersumber dari nilai-nilai Islam bahwa kebersamaan (berjamaah) adalah perintah alQuran. Umat Islam hendaknya tetap bersatu, bergotong royong, dan menghindari perpecahan (QS. 3:103).
E. Kesimpulan Kesenian rampak bedug, meski berakar dari tradisi lokal, namun nilai-nilai yang ada di dalamnya mengandung pesan-pesan dakwah Islam, yakni soal ajaran tauhid, syariat dan akhlak. Hal ini disebabkan ada pengaruh dari kesenian-kesenian tradisional lainnya, seperti rudat,
472_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
marawis, ubrud, zikir saman, yang memiliki pesan-pesan dakwah Islam, yang ditanamkan oleh para ulama pendahulu Banten. Para ulama tempo dulu menyebarkan Islam di Tanah Banten lewat dakwah kultural, diantaranya adalah lewat berkesenian.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _473
Daftar Pustaka
Aam,
Masduki dkk., Kesenian Tradisional Provinsi Banten. Serang: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2005.
Al-Qardhawi, Yusuf, Seni da Hiburan Dalam Islam, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001. Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer. Semarang: Wali Songo Press IAIN Walisongo, 2006. Cahyono, M. Dwi, M. Hum dan Tim., Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa, Yogyakarta: Penerbit Jejak Kata Kita, 2001. Dermawan, Andi, Metodelogi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: Lesfi, 2002. Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World jilid II. Oxford: Oxford Unversity Press, Inc, 2000. Gazalba, Sidi, Islam dan Kesenian Relevansi Islam dengan Seni Budaya, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988. _______, Seni dan agama, Yogyakarta: Lesbumi, 2006. Hielmy, Irfan, Dakwah bil Hikmah. Jakarta: Mitra Pustaka, 2002. Isror, C., Sejarah Kesenian Islam I. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Nasr, Sayyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Golgonooza Press, 1987. Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa, Surabaya: Erlangga, 1990. Sadiman, Arief S, dkk. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafika Persada, 1996. Salad, Hamdy, Agama Seni: Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik, Yogyakarta: Yayasan semesta, 2000. Soepandi, Atik, Ragam Cipta Mengenal Seni Pertunjukan Daerah Jawa
474_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Barat, Bandung: CV Beringin Sakti, 1995. Syukir, Asmuni, Dasar-dasar Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 1997. Wines, Leslie, Rumi A Spritual Biography: lives I Legacies, New York: Crossroad 8th Avenue; First Edition edition, 2001. Yusuf, Yunan, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian. Jakarta: Prenada Media, 2003. ____, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1988.
Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten _475
Endnotes
1. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 1997, h. 15-19
2. Yunan Yusuf, Metode Dakwah Sebuah Pengantar Kajian, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 16-17.
3. Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, Semarang: Wali Songo Press IAIN Walisongo, 2006, h. 14-16
4. Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian Relevansi Islam dengan Seni Budaya Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988, h. 147
5. Hamdy Salad, Agama Seni: Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik Yogyakarta: Yayasan semesta, 2000, h. 63
6. Dr Sidi Gazalba, Seni dan agama, Yogyakarta: Lesbumi, 2006, h. 45 7. Yusuf Al-Qardhawi, Seni da Hiburan Dalam Islam, Alih Bahasa, Hadi Mulyo, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, h. 20
8. C. Isror, Sejarah Kesenian Islam I, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978, h. 9 9. Arief s. Sadiman dkk, Media Pendidikan Jakarta: Raja Grafika Persada, 1996, h. 6
10. Andi Dermawan, MA, Metodelogi Ilmu Dakwah Yogyakarta : Lesfi, 2002, h. 24 11. Rasjoyo, Pendidikan Seni Rupa, Surabaya: Erlangga, 1990, h.4 12. Sayyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Golgonooza Press, Ipswich, 1987, h. 165
13. Asmuni Syukir, Dasar-dasar Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas’ 1983, h. 67. 14. Kesenian Tradisional Banten, diakses pada http://bantenculturetourism.com/ pada 03/08/2013
15. Atik Soepandi, Ragam Cipta Mengenal Seni Pertunjukan Daerah Jawa Barat, Bandung: CV Beringin Sakti, 1995, h.46
16. ____, Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1988, h.32
17. Drs. M. Dwi Cahyono, M. Hum dan Tim, Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa, Yogyakarta: Penerbit Jejak Kata Kita, 2001, h.34
18. Marhabanan adalah tradisi memmbaca barjanji yang berisi lantunan shalawat. Biasanya dilakukan pada acara-acara selametan seperti pernikahan, sunatan,
476_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 peresmian rumah, kelahiran, dan sebagainya.
19. Masduki Aam dkk, Kesenian Tradisional Provinsi Banten, Serang: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2005, h. 5
20. John L Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World jilid II, Oxford: Oxford Unversity Press, Inc, 2000, h.67
21. Leslie Wines, Rumi A Spritual Biography: lives I Legacies, New York: Crossroad 8th Avenue; First Edition edition, 2001, h.67
22. Irfan Hielmy, Dakwah bil Hikmah, Jakarta: Mitra Pustaka, 2002, h.73-74
Message of Da’wa Akhlak in Print Mass Media (A Case Study of Hidayah Magazine)
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak (Studi Kasus Majalah Hidayah)
Uup Gufron Universitas Indraprasta PGRI Jakarta email :
[email protected]
Abstract: Reformation era started in 1998 gave many people apportunity to publish magazines of mystery, secret mystical, pornography, and spitefulness, that was far from morality values of Islam. On Agust 1, 2001, Hidayah magazine published at first to be alternative reading for Muslim. In 2004 Hidayah magazine was declared as the sold-out magazine according to Ac Neilsen, Cakram magazine anda Warta Ekonomi. This research used content analysis descriptive method by using Hidayah magazine vol. 58 until 147 as the analysis unit. The submited technique of data was by interview, observation and documentation. From this research it was found the fact that the message of akhlak da’wa in Hidayah magazine was more dominant than the message of shari’a and aqida da’wa. Persetage of this was 60,4. There were some reason. First, Hidayah magazine had the concept of da’wa based on akhlak that was aplied by Prophet Muhammad saw
478_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 at the begining of his prophetnous. Second, da’wa akhlak could be run by the telling of story. Third, da’wa akhlak could inspire dna give positive values to readers. Abstraksi : Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memberi ruang seluas-luasnya bagi orang untuk menerbitkan majalah-majalah berbau misteri, klenik, pornografi, dan penghasudan, yang jauh dari nilai-nilai moral (akhlak) Islam. Tanggal 1 Agustus 2001 majalah Hidayah terbit agar menjadi bacaan alternatif bagi umat Islam. Majalah Hidayah tahun 2004 tercatat sebagai majalah terlaris menurut Ac Neilsen, Majalah Cakram, dan Warta Ekonomi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis isi dengan menjadikan majalah Hidayah edisi 58 sampai 147 sebagai unit analisisnya. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Dari sini penelitian menemukan bahwa majalah Hidayah lebih dominan memuat pesan-pesan dakwah akhlak daripada pesan dakwah akidah dan syariah. Persentasenya mencapai 60.4 persen. Ada beberapa alasan. Pertama, majalah Hidayah mengacu konsep dakwah yang dijalani Rasulullah saw pada masa-masa awal kenabiannya. Kedua, dakwah akhlak majalah Hidayah dilakukan dengan cara bertutur (bercerita). Ketiga, berdakwah akhlak dapat menginspirasi dan memberi nilai positif kepada pembaca. Keywords: Communication, Da’wa, Akhlak, Magazine
A. Pendahuluan Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memberi peluang besar bagi anak bangsa di Indonesia untuk membuat media massa sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya. Era ini bisa dibilang sebagai era kebebasan pers. Setiap orang bebas berbicara apa saja; menulis apa saja; dan menerbitkan tulisan apa saja. Sejumlah media cetak dan elektronik bermunculan. Khusus untuk media cetak, sejumlah media cetak di awal era reformasi terlihat seperti anak burung yang baru dilepaskan dari sangkarnya; ia ingin terbang kencang, meski sayapnya belumlah sempurna.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _479
Media Islam, yang pada era Orde Baru sangat dibungkam, merasa bebas untuk berekspresi. Begitu juga dengan media-media umum lainnya. Pendek kata, apapun boleh ditulis dan diterbitkan. Pelbagai tema dan isu dihembuskan. Akibatnya bermucullah majalah-majalah yang secara moral (akhlak), akidah, maupun syariah, isinya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kala itu bermunculan majalah-majalah yang berbau misteri, klenik, pornografi, dan penghasudan. Kehadiran banyaknya media cetak kala itu bisa dinilai positif sebagai bentuk kesadaran bahwa revolusi informasi dan komunikasi akan melahirkan suatu peradaban baru, sehingga dapat memberi nilai positif untuk perkembangan dan kemajuan peradaban umat manusia.1 Namun, kehadiran maraknya media cetak ini, jika tidak diimbangi dengan idealisme Islam, maka akan menghadirkan sisi negatif, yang akan berimplikasi pada jatuhnya moralitas anak bangsa, baik pada aspek sosial, budaya maupun agama. Oleh karenanya, sisi positif dari kebebasan pers hendaknya diimbangi dengan idealisme yang mengedepankan nilainilai ketuhanan (akidah), moral (akhlak), dan syariat (hukum). Bagi umat Islam, kebebasan pers yang terjadi sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran masyarakat pada pentingnya mengikuti akidah, moral dan syariat Islam. Sebab, media massa dapat dijadikan sarana untuk dakwah Islam di tengah munculnya arus informasi yang begitu kuat. Berdakwah lewat media massa di tengah kran informasi yang sudah dibuka begitu luas adalah peluang yang besar dan sangat menguntungkan umat Islam.2 Namun, sayangnya, pada saat itu yang terjadi justru umat Islam kurang membaca peluang yang positif tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, umat Islam mengulang kembali sejarah masa lalunya. Media cetak Islam yang hadir di era reformasi lebih banyak mengedepankan ego sektarian. Hal ini terlihat dari isu-isu yang dipaparkan, yang mencerminkan gagasan kelompok Islam tertentu. Tahun 1900-an adalah sejarah awal kemunculan majalah Islam. Media Islam pertama di Indonesia muncul pada 1911 bernama majalah
480_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Al-Munir, yang terbit di Kota Padang, Sumatra Barat. Majalah dakwah tersebut dikelola oleh para ulama di Minangkabau dan dipimpin oleh Abdullah Ahmad, murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.3 Namun, majalah ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1912 Muhammadiyah menerbitkan Penyiar Islam, Pancaran Amal, Suara Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah, dan Suara Aisyiyah. Di Kota Bandung juga terbit majalah Pembangkit, Al-Hidayah, dan Aliran Muda. Kemudian, pada tahun 1920 bermunculan terbit majalahh Islam seperti majalah Al-Bayan, Al-Itqan, Al-Basyir, yang pimpinannya adalah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Ada pula majalah Dunia Akhirat pimpinan Sain al-Maliki, dan majalah Al-Imam pimpinan Syekh Haji Abbas Padang Japang. Pada tahun 1923 Persatuan Islam (Persis) menerbitkan majalah Al-Lisan dan Al-Fatwaa. Pelajar Islam Indonesia (PII), juga menerbitkan majalah Islam Bergerak. Di Kota Surabaya hadir majalah Al-Jihad, Al-Islam, dan Berita NU yang diterbitkan Nahdlatul Ulama. Ormas Islam Al-Ittihadiyah pun tak ketinggalan. Ormas ini menerbitkan majalah Al-Hidayah. Pada tahun 1947 terbit Harian Abadi yang beraviliasi dengan partai politik Islam Masyumi. Pada tahun 1959 terbit majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh KH Fakih Usman (tokoh Muhammadiyah), Hamka, dan Yusuf Abdullah Puar. Majalah ini cukup besar dan bertahan lama, meski akhirnya gulung tikar pula.4 Tahun 1986 terbit majalah Amanah dan Ummi. Era ini bisa dibilang era lahirnya majalah Islam bercorak lifestyle, yang mengikuti trend kehidupan masyarakat. Lalu pada tahun 1986 Majalah Hidayatullah juga berdiri. Kemudian pada tahun 1988 berdiri majalah Sabili (1998 terbit lagi setelah tahun 1993 tidak beredar).5 Kemudian majalah Annida terbit pada tahun 1991. Pada tahun 1993 terbit koran harian berbasiskan dakwah Islam, yakni Republika. Pada tahun 2001 majalah Hidayah terbit. Tahun 2000an merupakan era baru media Islam, karena coraknya berbeda dengan media Islam sebelumnya. Majalah Hidayah bahkan sempat fenomenal pada tahun 2005, karena dapat ‘mengalahkan’ media cetak mapan di pasaran yang sudah berpengalaman dan berusia cukup lama dan permodalan besar.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _481
Salah satu kelebihannya adalah bahwa majalah ini memberi porsi pesan dakwah akhlak lebih besar daripada pesan akidah maupun syariat. Karena itu, dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk mengkaji pesan dakwah majalah Hidayah karena majalah ini bisa dibilang fenomenal dan satu-satunya majalah Islam yang memberi warna yang berbeda dan unik bila dibanding dengan majalah Islam yang lain. Disamping itu, majalah ini menjadi trandsetter bagi majalah-majalah Islam setelahnya. Namun, majalah-majalah tersebut kini sudah tidak dijumpai lagi di pasaran, karena tidak mampu mengikuti pola dakwah akhlak yang disajikan majalah Hidayah. Uniknya lagi, majalah Hidayah beredar di beberapa negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Hongkong. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis isi dengan menjadikan majalah Hidayah edisi 58 sampai 147 sebagai unit analisisnya. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi.
B. Dakwah Akhlak Lewat Da’wah Bi al-Qalâm Dakwah berarti mengajak. Secara terperinci bisa dikatakan bahwa dakwah adalah semua pernyataan yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah baik tertulis maupun lisan dari pesan-pesan tersebut.6 Dakwah akhlak berarti mengajak orang dari sisi akhlak atau moral. Akhlak sendiri berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.7 Sementara pesan dakwah akhlak dapat diartikan nasihat atau perintah seluruh materi ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek spiritual maupun material. Kaitan dengan ini, pesan dakwah akhlak mengandung dua unsur, yakni hubungannya dengan khalik (hablun min Allâh) dan hubungannya dengan manusia (hablun min an-nâs). Hablun min Allăh akan melahirkan kesalehan personal, sedangkan hablun min an-nâs akan melahirkan kesalehan sosial.8
482_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pesan dakwah akhlak dapat diklasifikasikan pada dua hal pokok, yakni akhlak kepada Sang Khalik (Allah swt) dan akhlak kepada makhluk. Akhlak kepada makhluk terbagi dua, yakni (1) akhlak kepada sesama manusia seperti kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga, dan kepada orang lain, sedangkan (2) akhlak kepada bukan manusia seperti akhlak kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Sementara pesan dakwah akidah adalah dakwah yang mengedepankan enam poin rukun iman; yakni iman kepada Allah, Malaikat, para nabi dan rasul, hari Kiamat, dan qadha maupun qadhar. Adapun pesan dakwah syariat adalah dakwah yang mengedepankan pada aspek-aspek ibadah dan muamalat seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sementara muamalat misalnya terkait dengan hukum perdata (al-qanûn al-khâsh) dan hukum publik (al-qanûn al-‘âm). Hukum perdata meliputi hukum niaga, hukum nikah, hukum warits, dan sebagainya, sedangkan hukum publik meliputi hukum pidana, hukum bernegara, dan lain sebagainya. Salah satu cara dakwah yang dilakukan Rasulullah adalah lewat tulisan (da’wah bi al-qalâm). Pada zaman Nabi dan sahabat, da’wah bi alqalâm dilakukan dengan cara berkorespondensi dengan para penguasa di belahan bumi. Rasulullah menyurun para sekretarisnya untuk menuliskan surat ajakan (dakwah) Islam kepada para penguasa.9 Kebiasaan Rasulullah ini kemudian diikuti pula oleh para sahabat, baik Abu Bakar, Umar, Utsman, maupun Ali, yang tidak meninggalkan da’wah bi al-qalâm sebagai bagian dari cara efektif dalam mengajak orang untuk masuk dalam pangkuan Islam. Pentingnya da’wah bi al-qalâm dijelaskan oleh Allah dalam Quran Surat al-Alaq: 1, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang mencipatakan.” Pada Quran Surat al-Qalam: 1 Allah juga berfirman, “Nun, demi pena dan apa yang tertulis.”10 Dakwah sebagai manifestasi keimanan seorang muslim dapat diaplikasikan dalam pelbagai media tanpa mengurangi makna dan tujuan dakwahnya. Salah satunya tentu saja adalah da’wah bi al-qalâm. Objek dakwah ini cakupannya lebih luas dan banyak, karena pesan dakwah dan informasi Islam yang dituliskan dapat dibaca oleh
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _483
ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang untuk masa secara bersamaan dan masanya pun bisa bertahan lama. Oleh karenanya, dakwah ini akan menjadi media yang efektif untuk membentuk opini umat, bahkan mempengaruhi orang begitu kuat.11 Keunggulan lainnya bila dibanding dengan media dakwah lain adalah efesiensi. Dengan menguraikan penjelasan lewat kata, maka pesan itu akan lebih efesien untuk disampaikan, dan tidak membutuhkan persiapan yang lebih kompleks seperti yang ada pada media dakwah lain. Salah satu media cetak yang digunakan sebagai media dakwah yang efektif adalah majalah. Jenis media cetak majalah hampir menyerupai buku, yang dapat bertahan agak lama. Bahkan, majalah bisa jadi lebih menarik, karena disertai dengan gambar maupun ilustrasi, sehingga dapat menarik orang untuk membacanya.12 Bila ditilik dari sejarahnya, majalah mulai berkembang pada akhir abad ke-19, ketika media cetak jenis ini hadir sebagai media hiburan utama, karena pada saat itu, baik radio maupun televisi belum banyak dikenal orang. Selain televisi dan radio belum dikenal banyak orang, juga karena tidak setiap orang pada saat itu mampu untuk pergi menonton bioskop-bioskop. Pada saat itulah, majalah hadir, tumbuh dan berkembang sebagai hiburan selain membaca buku.13 Tulisannya pun popular, sehingga semua kalangan, tidak hanya akademis, dapat membacanya. Bahkan, kalau ditilik lebih jauh, majalah memiliki empat fungsi kekuatan. Pertama, majalah menyiarkan informasi (to inform). Fungsi ini merupakan fungsi utama dari pers. Kedua, majalah berfungsi untuk mendidik (to educate). Fungsi ini adalah sebagai sarana pendidikan massa (mass education). Ketiga, majalah berfungsi untuk menghibur (to entertain). Majalah selain memuat berita yang serius, juga memuat berita yang menghibur. Keempat, majalah berfungsi untuk mempengaruhi. Fungsi inilah yang menyebabkan pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.14 Maria Assumpta Rumanti, juga menyebut empat kelebihan majalah dibandng dengan
484_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
media cetak lain, yakni (1) majalah dapat menjangkau segmen pasar tertentu yang terspesialisasi; (2) majalah dapat long life span, atau memiliki usia edar yang panjang; (3). Majalah memiliki kualitas yang lebih menarik dari sisi cetak dan perwajahannya; dan (4). Majalah bisa menjadi media yang efektif untuk menyiarkan pesan.15 Dari empat fungsi yang dimiliki media cetak berupa majalah tentu saja sangat strategsi untuk dimasuki pesan-pesan dakwah. Apalagi, majalah biasanya dibaca pada saat orang sedang santai dan tidak dalam keadaan terburu-buru. Di sinilah pesan dakwah bisa mengena secara efektif kepada para pembaca.
C. Sekilas Majalah Hidayah Majalah Hidayah terbit untuk pertama kalinya di Malaysia pada bulan Oktober 1998 di bawah bendera PT. Variapop Group Malaysia. Kehadiran majalah Hidayah di Malaysia dilatarbelakangi maraknya media-media yang menyajikan cerita-cerita misteri. Kala itu tercatat ada 30 majalah yang berisi tentang kisah-kisah misteri dan klenik. Hadirnya majalah Hidayah di Malaysia bertujuan untuk memberikan bacaan alternatif yang dapat memberikan kesadaran pengetahuan Islam kepada umat Islam. Maka, lahirnya konsep majalah Hidayah dengan motto: Sebuah Digest Islam. Majalah Hidayah di Malaysia mendapat respon yang sangat positif dari pembaca. Hal ini dapat diketahui dari oplah penjualan majalah tersebut yang cukup tinggi di sana. Indikasi kesuksesan lain dari majalah Hidayah di Malaysia adalah munculnya majalah-majalah Islam yang menyerupai visi dan misi majalah Hidayah. Melihat fenomena kesuksesan majalah Hidayah di Malaysia kemudian dibaca oleh PT. Variapop Group Malaysia untuk mencoba menerbitkan majalah Hidayah di Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa pemilik modal tertarik untuk menerbitkan majalah Hidayah di Indonesia. Pertama, kultur umat Islam di Indonesia dengan Malaysia tidak terlalu berbeda, bahkan cenderung sama. Kesamaan kultur akan berdampat
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _485
pada kesamaan selera. Kedua, era reformasi membuka kran seluas-luasnya bagi terbitnya media di Indonesia. Kebebasan pers seakan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi semua kalangan untuk ikut andil dalam menyuarakan ide, gagasan dan pandangannya tentang sesuatu, termasuk tentang gagasannya dalam memahami Islam. Maka, pada era itu, munculah media-media cetak Islam dengan corak yang membawa idiologi Islam tertentu, disamping banyak pula media-media cetak yang menyajikan kupasan misteri dan klenik. Dalam kondisi seperti ini, maka lahirlah majalah Hidayah di bawah bendera PT. Variapop Group sebagai upaya untuk menyajikan bacaan alternatif bagi umat Islam di Indonesia dengan motto: Sebuah Intisari Islam. Majalah Hidayah di Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 1 Agustus 2001. Pada cetakan (volume) pertama, PT. Variapop Grup mencetak 10.000 eksemplar, dan langsung terjual habis. Harganya kala itu Rp.2.500,-. Mulai edisi kedua harganya dinaikkan menjadi Rp. 5.000. Itu pun langsung habis di pasaran. Ini bukti bahwa majalah ini pada edisiedisi awal mendapat respon yang positif dari pembaca. Respon positif dari pembaca di Indonesia terlihat dari peningkatan oplah penjualan majalah ini. Belum genap usianya satu tahun, majalah ini sudah tembus oplah 100.000 eksemplar. Ini tentu suatu sangat fenomenal untuk ukuran media Islam, yang waktu itu kurang mendapat respon positif di kalangan pembaca di Indonesia. Majalah Warta Ekonomi membuat laporan berita bahwa majalah Hidayah pada terbitan bulan Juli 2003 (edisi 26) oplahnya sudah menembus angka 320.000 eksemplar. Padahal, kala itu, majalah Tempo yang sudah termasuk berpengalaman hanya sampai pada angka 60.000, sementara majalah Sabili, yang tergolong majalah Islam yang lebih awal terbitnya hanya sampai pada oplahnya 80.000. Majalah Warta Ekonomi juga memberi penilaian bahwa majalah Hidayah mampu berada di posisi 4 dari 17 majalah dalam kategori majalah Islam terbaik dengan nilai 4,6. Sejumlah penghargaan juga pernah disematkan kepada majalah Hidayah, diantaranya adalah penghargaan dari Cakram Award,
486_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
majalah Hidayah dinobatkan sebagai majalah terlaris pada tahun 2005. Kemudan Ac Nielsen, sebuah lembaga survey dari Amarika Serikat, juga menobatkan majalah Hidayah di posisi teratas dalam kategori 10 majalah dengan pembaca terbanyak. Menurut Ac Nielsen, persis di bawah majalah Hidayah ada majalah Aneka Yess, sedangkan majalah Tempo berada di urutan paling buncit.16 Dari sisi konten, majalah Hidayah pada edisi kedua mengangkat Prof. Dr. Buya Sidi Ibrahim sebagai penasihat bidang agama. Ia adalah dosen hukum dan agama Islam di delapan perguruan tinggi di Jakarta. Atas permintaan pembaca, mulai edisi 12 majalah Hidayah menurunkan rubrik konsultasi keluarga sakinah yang diasuh oleh Hj. Lutfiah Sungkar. Namun, pada edisi 90, majalah Hidayah menggantinya dengan da’iah kondang Mamah Dedeh (Hj. Dedeh Rosyadah). Rubrik ini mendapat tanggapan positif dari pembaca. Hal ini terlihat dari surat pembaca yang mengajukan pertanyaan kepada narasumber tersebut. Disamping itu, sejak edisi 22, majalah Hidayah menurunkan rubrik Konsultasi Zikir yang diasuh oleh Ust. HM. Arifin Ilham. Rubrik ini juga mendapat tempat yang baik di hati pembaca. Indikasinya pun sama, yakni pertanyaan yang mampir ke meja redaksi. Rubrik ini mengupas pertanyaan pembaca seputar keluhan, metode, dan apa saja yang terkait dengan ibadah zikir. Yang tak kalah populer juga adalah diturunkannya rubrik konsultasi fiqih yang diasuh oleh Prof. KH. Ali Yafie, mantan Ketua Umum MUI Pusat. Rubrik ini mengulas pertanyaan dari pembaca seputar persoalan fiqih keseharian.
D. Pembahasan Majalah Hidayah memiliki visi untuk mencerdaskan kehidupan umat Islam di Indonesia melalui media cetak. Sementara misinya adalah menyebarkan dakwah akhlak lewat cerita-cerita yang mengandung hikmah dan menjadi media alternatif yang mampu mengajak umat Islam kembali kepada ajaran-ajaran Islam, yakni al-Quran dan hadits.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _487
Sementara itu, majalah Hidayah juga memegang fiosofi al-Quran dalam mengupas suatu tulisan, yakni dengan cara bercerita. Al-Quran ditulis lebih banyak bercerita (naratif) dari pada menjelaskan (deskriptif maupun argumentatif). Misi, visi dan filosofi ini kemudian diterjemahkan lewat rubrikasi yang ada di majalah Hidayah. Kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2013, majalah Hidayah sudah sering melakukan penyegaran rubrikasi. Ada banyak rubrik yang diganti, ditambahkan, dan dihilangkan. Namun, secara umum, rubrikasi yang dipasang sulam itu tidak melenceng dari visi, misi serta filosofi yang dikembangkan oleh majalah Hidayah. Berikut ini temuan penulis tentang gambaran rubrikasi majalah Hidayah, deksripsi konten dan kategorisasi dalam pesan dakwahnya. Tabel 1 Rubrikasi dan Pesan Dakwah Majalah Hidayah
No.
1.
2.
Nama Rubrik
Deskripsi Konten
Pesan Dakwah
Iktibar
Cerita-cerita yang merujuk pada akhir hayat seseorang sebagai klimaks cerita. Kriteria cerita ada dua, yakni husnul khotimah dan su’ul khotimah.
Akhlak selama hidup seseorang kepada Allah, sesama manusia, binatang, dan hewan.
Kisah Haji17
Cerita-cerita pengalaman perjalan ibadah haji dan problem maupun kemudahan yang dijumpai selama di Tanah Suci.
Akhlak kepada Allah sebelum, selama dan setelah ibadah haji.
488_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kisah Sedekah18
Cerita-cerita kedahsyaratan orang yang melakukan sedekah. Barometer cerita ini adalah hikmah dan anugerah yang diterima seseorang setelah memberi sedekah
Akhlak kepada sesama manusia.
Kolom19
Ulasan tematik sesuai dengan isu terkini. Kolom ini diisi oleh pakar agama.
Akidah berupa keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.
Ensiklopedi
Ulasan tematik yang diambil dari keyword dalam istilah fiqih dan ushul fiqih.
Syariat berupa hukum-hukum ibadah dan muamalat
Tafsir20
Ulasan tafsir ayat per ayat, dan dikorelasikan dengan konteks terkini.
Akidah berupa keimanan dan ketakwaan.
Tasawuf
Ulasan tasawuf tematik, yang bercirikan tasawuf akhlaki.
Akhlak kepada Allah dan sesama manusia.
Ulasan tentang problem kewanitaan mulai dari persoalan fiqih dan akhlak.
Syariat (berupa ibadah dan muamalat) dan Akhlak kepada Allah dan sesama manusia.
Nisa
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _489
Tamu Kita
Profil orang ternama yang masih hidup dengan mengambil nilai-nilai postif dalam keseharian dan pemikirannya.
Akhlak kepada Allah dan sesama manusia.
Tokoh
Profil tokoh ternama yang sudah meninggal dengan mengambil nilai-nilai dan ajaran selama hidupnya.
Akhlak kepada Allah dan sesama manusia.
Setetes Hidayah
Profil pengalaman seorang mualaf sebelum dan sesudah memeluk Islam.
Akidah (keimanan dan ketakwaan) dan Akhlak (kepada Allah dan sesama manusia).
12.
Kisah Para Nabi21
Profil hidup para nabi. Fokusnya pada nilainilai yang diajarkan dalam hidupnya.
Akidah (keimanan dan ketakwaan) dan Akhlak (kepada Allah dan sesama manusia)
13.
Kisah Inspiratif22
Profil orang sukses dalam menggapai kehidupan yang berkah.
Akhlak kepada Allah dan sesama manusia.
Sirah Nabawiyah23
Cerita perjalanan nabi yang berseri.
Akidah (keimanan dan ketakwaan) dan Akhlak (kepada Allah dan sesama manusia)
Agenda
Laporan berita tentang acara-acara tertentu yang bertemakan Islam.
Akidah, Syariat dan Akhlak
9.
10.
11.
14.
15.
490_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Pondok Pesantren
Profil pondok pesantren di Indonesia yang ternama, dan memiliki kekhasan sendiri dalam metode pembelajarannya.
Akhlak kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Alam Gaib
Ulasan seputar hal-hal yang gaib berdasarkan keterangan al-Quran dan Sunnah.
Akidah (keimanan kepada hal-hal yang gaib)
Remaja Islam
Ulasan tematik tentang probem yang biasa dijumpai di kalangan remaja.
Akhlak kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Syiar
Profil lembagalembaga yang bergerak di bidang dakwah dan sosial.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Masjid
Profil masjid-masjid tua di Indonesia, yang menyimpan sejarah perkembangan Islam.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Jendela Islam
Ulasan tentang kehidupan umat Islam di negara-negara yang mayotitas muslimnya.
Akidah (keimanan) dan Akhlak (kepada Allah dan manusia)
Keluarga Sakinah
Ulasan tematik tentang seputar kiat membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Akhlak kepada Allah dan sesama manusia.
24
25
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _491
Himmah
Ulasan motivasi kehidupan dari pakar motivasi.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Ekonomi Islam26
Ulasan tematik tentang kiat-kiat umat Islam dalam membangun bisnis.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Sunnah Nabi
Ulasan tematik tentang perilaku atau Sunnah yang dilakukan Nabi yang berdampak positif pada kehidupan baik dari segi kesehatan maupun kejiwaan.
Syariat (seputar ibadah dan muamalat)
Tahukah Anta
Tulisan ringan tentang apa-apa saja yang menarik dan unik dari Islam, yang jarang dilupakan dan tidak diketahui.
Akidah, Syariat, dan Akhlak
27.
Aktual
Ulasan tematik seputar ha-hal dan isu terkini dilihat dari kaca mata ajaran Islam.
Akidah, Syariat, dan Akhlak
28.
Wawancara
Profil pemikiran tokoh pakar agama Islam.
Akhlak kepada Allah dan manusia
Seni Islam
Ulasan tematik tentang seni-seni yang mengandung nilainilai Islam dan layak untuk dilestarikan.
Akhlak kepada Allah dan manusia
23.
24.
25.
26.
29.
492_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Kabar dari Singapura27
Laporan berita tentang kegiatan umat Islam di Akidah, Syariat, Singapura, terutama dan Akhlak di kalangan WNI.
Rihlah
Laporan perjalanan reporter tentang suatu tempat atau objek wisata religi.
Akhlak kepada Allah dan manusia
Konsultasi Fiqih
Ulasan jawaban dari pertanyaan pembaca yang dijawab langsung oleh Prof. KH. Ali Yafi’ seputar masalah fiqih.
Syariat (ibadah dan muamalat)
Konsultasi Zikir
Ulasan jawaban dari perbaca yang dijawab langsung oleh Ust. HM. Arifin Ilham seputar zikir.
Akidah (keimanan dan ketakwaan)
Konsultasi Keluarga Sakinah
Ulasan jawaban dari pertanyaan pembaca yang dijawab langsung oleh Mamah Dedeh (Hj. Dedeh Rosyadah)
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Tips Kesehatan
Ulasan tematik tentang kiat-kiat menjaga kesehatan menurut al-Quran dan Sunnah.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Kajian Pustaka
Resensi buku-buku Islam dari penerbitpenerbit Islam di Indonesia.
Akidah, Syariat dan Akhlak
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _493
37.
38.
Pengalaman Sejati
Cerita-cerita pengalaman pribadi para pembaca tentang kehidupan.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Tafakur
Kolom perenungan yang ditulis oleh pemimpin redaksi tentang hal-hal terkini dan menarik.
Akhlak kepada Allah dan manusia.
Meski rubrikasi di majalah Hidayah mengalami pergantian nama, namun secara esensial, pergantian nama rubrik tersebut tidak merubah kategori pesan dakwah yang dimuat. Misalnya, nama rubrik Kisah Inspiratif awalnya bernama rubrik Potret; lalu rubrik Kisah Para Nabi semula bernama rubrik Kisah Teladan; dan Sain Islam semula namanya Alam Gaib. Adanya penambahan rubrik juga tidak mengurangi kategorisasi pesan dakwah. Biasanya, adanya penambahan rubrik diawali dengan pengurangan rubrik. Misalnya, rubrik Kisah Haji dan rubrik Kisah Sedekah semula tidak ada. Dulu namanya tetap Iktibar. Dalam hal ini, rubrik iktibar memuat lima cerita. Namun, karena ada penambahan rubrik bernama rubrik Kisah Haji dan Kisah Sedekah, maka rubrik Iktibar dipangkas hanya memuat tiga cerita saja. Disamping itu, ada beberapa rubrik yang secara kategori pesan dakwahnya berubah. Hal ini dikarenakan rubrik tersebut menyesuaikan isi laporan berita dan ulasan. Kaitan dengan ini, rubrik yang demikian penulis kelompokkan dalam dua kategori atau tiga kategori sekaligus, mengingat untuk memudahkan identifikasi. Misalnya pada Rubrik Agenda. Rubrik ini adalah laporan berita tentang suatu kegiatan keagamaan. Adakalanya kegiatan itu mengandung pesan dakwah akidah, syariat dan akhlak. Dari temuan pada tabel 1 dapat penulis gambarkan mengenai persentase kategorisasi pesan dakwah tersebut:
494_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Tabel 2 Data Persentase Berdasarkan Kategorisasi
No.
Kategori Pesan Dakwah
1.
Akidah
8
15,1
2.
Syariat
13
24,5
3.
Akhlak
32
60,4
53
100 %
Jumlah
Frekuensi
Persentase
Dari sini dapat diketahui bahwa memang majalah Hidayah lebih dominan memuat pesan-pesan dakwah akhlak daripada pesan dakwah akidah dan syariah. Persentasenya mencapai 60.4 persen.28 Ini menunjukkan bahwa majalah Hidayah memang lebih mengedepankan pesan dakwah akhlak daripada pesan lain. Ada beberapa alasan yang melatarbelakngi kenapa pesan akhlak menjadi bagian yang lebih dominan daripada pesan dakwah lainnya. Pertama, majalah Hidayah mengacu konsep dakwah yang dijalani Rasulullah pada masa-masa awal kenabiannya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus (ke muka bumi) tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Muslim). Hadits ini menegaskan pentingnya akhlak sebagai basis utama dalam memberikan pencerahan kepada umat manusia. Rasulullah sadar betul bahwa untuk mencapai dakwah akidah dan syariah, haruslah dimulai dari dakwah akhlak. Salah satu keberhasilan dakwah Rasulullah adalah karena ia mengajarkan da’wah bi al-hal (dakwah aplikatif). Artinya, ajaran akidah dan syariat dijelaskan oleh Rasulullah melalui perbuatannya yang baik. Rasulullah tidak memaksakan ajaran Islam kepada umatnya dengan cara kekerasan, melainkan dengan kelembutan. Rasulullah bersabda: “Tidaklah aku diutus (menjadi Rasul) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.”
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _495
(HR. Muslim). Ini mengindikasikan adanya dakwah akhlak. Bahkan, beberapa riwayat dalam sejarah Islam menyebutkan Rasulullah tidak merasa dendam kepada orang yang memusuhinya secara personal. Dengan lapang dada Rasulullah memaafkan orang-orang yang dulu pernah menyakitinya. Apa yang dituangkan dalam majalah Hidayah merupakan cara yang efektif, mengingat Rasulullah pun mengajarkan hal yang demikian, yakni berdakwah dengan akhlak. Pilihan dakwah yang dilakukan oleh majalah Hidayah hanyalah bagian dari strategi (siyâsah) dakwah. Mengingat, segmentasi pembaca majalah Hidayah umumnya adalah kelas menengah ke bawah. Hal ini bisa dilihat dari tabel berikut ini: Tabel 4 Spesifikasi Pembaca Majalah Hidayah29 Jenis kelamin
Tingkat Pendidikan
(%)
Usia
(%)
(%)
Pria
51 %
15 tahun
7,4 %
SD
4,7 %
Wanita
48 %
16-25 tahun
54,8 %
SMP
14,3 %
26-35 tahun
30,3 %
SMA
54,3 %
36-44 tahun
5,2 %
Diploma
10,2 %
45 tahun
2,2 %
S1
16,3 %
S2
2%
Dari tabel ini terlihat bahwa 54,3 persen pembaca majalah Hidayah adalah orang yang lulusan bangku sekolah tingkat SMA. Sedangkan secara usia, 54,8 persen pembaca majalah Hidayah adalah kalangan remaja antara 16-25 tahun. Ini menunjukkan bahwa majalah ini memang sengaja menitiberatkan kepada dakwah akhlak karena harus disesuaikan dengan segmentasi pembacanya. Mengingat, jika pesan dakwah adalah akidah dan syariah yang lebih dominan, maka itu tidak
496_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
mencerminkan pada tingkat pembaca. Majalah Hidayah tidak beraviliasi pada kelompok maupun mazhab Islam tertentu, sehingga para pembaca merasa tidak diajak untuk masuk ke dalam suatu kelompok tertentu. Hal ini tentu berbeda dengan majalah-majalah Islam lain, yang cenderung kemunculan karena dilatarbelakangi oleh suatu idiologi dan kelompok Islam tertentu. Menurut Jalaluddin Rakhmat, dakwah dengan akhlak akan meminimalisir perbedaan pendapat, sedangkan dakwah fiqih (syariat) justru akan terjadi benturan perbedaan.30 Hal ini juga diajarkan oleh Rasulullah, bahwa sebaik-baiknya berdakwah adalah dengan cara yang bisa menyesuaikan jamaahnya (umatnya). Sebab, jika pesan dakwah tidak berpijak pada apa yang bisa diterima oleh jamaahnya, maka dakwah itu tidak akan sampai pada yang menerimanya. Agar dakwah lebih terarah dalam arti dilakukan secara efektif, efesien dan seuai dengan situasi dan kondisi, maka perlu secara rinci mengetahui sasaran dakwah berdasarkan tingkat usia, tingkatan pendidikan dan pengetahuan, serta tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Rasulullah sendiri bersabda: “Kami perintahkan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akalnya masing-masing.” (HR. Muslim). Menurut Achmad Mubarok, kadar akal dalam hadist ini dipahami sebagai tingkatan intelektual, bisa juga diartikan sebagai cara berpikir, cara merasa dan kecenderungan kejiwaan lainnya. Dakwah Islam adalah dakwah yang bijak yang sangat memperhatikan objek dakwah sehingga mereka tidak merasa terbebani dan berat untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah swt.31 Meski banyak kalangan (terutama intelektual-akademis) tidak sependapat dengan metode dakwah majalah Hidayah, namun sesungguhnya majalah Hidayah tidak menyalahi metode dakwah yang dianjurkan oleh Rasulullah. Karena, majalah Hidayah ternyata hanya mencoba memasuki wilayah jamaah atau sasaran dakwah yang ingin dibidiknya. Ketidaksependapatan mereka umumnya karena dilatarbelakangi ketidaktahuan tentang isi dakwah majalah Hidayah.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _497
Kedua, dakwah akhlak yang dilakukan majalah Hidayah dilakukan dengan cara bertutur (bercerita). Setidaknya ada tujuh rubrik yang dikupas dengan cara bercerita atau naratif, yakni rubrik Iktibar, Kisah Haji, Kisah Sedekah, Setetes Hidayah, Sirrah Nabawiyah, Kisah Para Nabi, dan Pengalaman Sejati. Sebelumnya, ada juga nama rubrik Kisah Kitab dan Kisah Teladan. Namun, di edisi terkini, kedua rubrik itu dihilangkan. Kisah Teladan berisi tentang cerita para sahabat Nabi, tăbi’in, dan tăi’i al-tăbi’ĭn. Acuannya adalah yang menginspirasi, seperti kisah keteladanan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, dan lain sebagainya. Majalah Hidayah sengaja membuat caranya sendiri dalam menulis, yakni kupasan jusnalisme sastra. Hal ini ternyata ampuh, mengingat pembaca begitu senang dengan jenis tulisan seperti ini. Hal ini sebenarnya secara filosofis juga mengikuti al-Quran, mengingat alQuran sebagian besarnya ditulis dengan cara bercerita. Itulah sebabnya kenapa al-Quran mampu menggugah bangsa Arab yang keras, karena al-Quran ditulis dengan sastra yang tinggi, dan salah satunya adalah dengan cara bercerita. Tentu saja, antara Hidayah dan al-Quran tidak bisa disandingkan. Tetapi, dalam konteks role model-nya, al-Quran adalah yang dijadikan percontohan oleh majalah Hidayah. Majalah Hidayah memberi pesan dakwah akhlaknya secara implisit dan tidak menggurui. Misalnya, majalah Hidayah menulis cerita berjudul Jenazah Hafiz Quran Berusia 60 tahun Utuh; Pemuda Suka Judi Tewas di Meja Judi; Meninggal Saat Shalat Sunnah Qobliyah, dan sebagainya. Majalah Hidayah tidak perlu menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang hafal al-Quran di masa hidupnya. Ketika cerita berjudul Jenazah Hafiz Quran Berusia 60 tahun Utuh, para pembaca langsung menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh majalah Hidayah, bahwa para penghafal al-Quran itu sangat istimewa di mata Allah. Begitu juga ketika judul cerita Pemuda Suka Judi Tewas di Meja Judi. Pembaca langsung menangkap bahwa umat Islam dilarang berjudi, sebab, akhir hayat seseorang bisa jadi tidak jauh dari kebiasaannya. Berbeda halnya dengan ketika pembaca
498_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
membaca judul cerita Meninggal Saat Shalat Sunnah Qobliyah, maka para pembaca akan menangkap pesan bahwa orang yang rajin shalat sunnah akan mendapat kemuliaan dan kehormatan di akhir hayatnya. Majalah Hidayah tidak perlu menjelaskan secara panjang lebar tentang apa saja keutamaan shalat sunnah qobliyah dan apa saja keutamaan orang yang menghafal al-Quran semasa hidupnya. Yang pasti, dalam tangkapan pembaca, selama hidup ini hendaknya diisi dengan akhlak yang baik, yakni rajin beribadah, beramal shaleh, dan menjauhi perbuatanperbuatan yang dilarang oleh agama. Kontroversi seputar majalah Hidayah memang sempat muncul. Diantaranya, (1) majalah Hidayah dianggap tidak memiliki konsep kausalitas yang jelas karena menghubungkan antara perbuatan seseorang yang sudah meninggal dengan perilaku semasa hidupnya. Dalam hal ini majalah Hidayah memiliki jawaban tersendiri, salah satunya mengutip ayat al-Quran al-Zalzalah: 7-8, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa mengerjaan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” Dalam konteks ini Rasulullah juga bersabda: “Seseorang dinilai akhir amalnya.” (HR. Bukhari). Selain itu, banyak juga keterangan hadits yang menjelaskan tentang husnul khõtimah. Salah satu cirinya adalah adanya keringat di dahinya. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan at-Tirmidzi melalui Buraidah bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin wafat dengan keringat di dahinya.” Hadits ini dinilai shaleh oleh kalangan ulama hadits. Yang terpenting dari itu semua adalah tersampainya pesan dakwah kepada sasaran dakwahnya. Majalah Hidayah selama ini melakukan dakwahnya dengan caranya sendiri dan cenderung berbeda dengan kebanyakan majalah Islam lainnya. Ketidaksependapatan terhadap majalah Hidayah juga muncul mengingat majalah ini seakan mengutarakan sesuatu yang bersifat misteri, klenik dan berbau khurafat. Padahal, majalah Hidayah tidak
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _499
pernah sedikit pun mengait-ngaitkan persoalan kematian dan pascakematian dengan sesuatu yang bersifat mistis. Yang dilakukan oleh majalah Hidayah adalah menyajikan dua fakta yang berbeda, yakni fakta kejadian kematian (klimaks cerita), dan perjalanan kehidupan orang yang sudah meninggal. Ini adalah dua fakta yang berbeda yang ingin disajikan oleh majalah Hidayah. Pada akhirnya pembaca yang menilai atas dua fakta tersebut. Secara kaidah jurnalistik pun, majalah Hidayah tidak menyalahi aturan dan tetap mengacu pada dasar-dasar kaedah jurnalistik yang baik dan benar. Majalah Hidayah juga tidak membuka aib orang yang sudah meninggal dunia, sebab hal ini sangat dilarang oleh agama Islam. Oleh karenanya, majalah Hidayah selalu menyamarkan tokoh dalam cerita dan lokasinya, untuk menjaga nama baik keluarga yang meninggal. Namun, dalam situasi ini, majalah Hidayah acapkali kemudian dituduh membuat cerita yang mengada-ada, karena konsep 5W 1H diabaikan. Padahal, tidaklah demikian. Majalah Hidayah ternyata hanya menyamarkan konsep 5W 1H tersebut karena jika itu dilakukan, maka yang terjadi adalah majalah Hidayah tidak lagi berdakwah, melainkan melakukan ghibah, membuka aib sesama muslim, dan memicu permusuhan antar umat Islam. Pada sisi inilah Hidayah laksana simalakama. Ketiga, berdakwah akhlak dapat menginspirasi dan memberi nilai positif kepada pembaca. Kisah-kisah di majalah Hidayah telah menginsiprasi dan menggugah banyak pembaca. Tidak sedikit banyak pembaca melayangkan surat ucapan terima kasih kepada majalah Hidayah karena telah membuat perbaikan dalam hidupnya. Tidak sedikit orang non-muslim akhirnya menjadi muslim setelah membaca rubrik Setetes Hidayah, yang berisi pergulatan spiritual dan logika para mualaf dalam menentukan pilihannya pada agama Islam. Hal ini mungkin disebabkan karena majalah Hidayah mengupas sesuatu yang berat menjadi lebih ringan dan mudah diterima oleh banyak kalangan, karena majalah ini lebih mendominasikan sisi pesan akhlak daripada
500_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang lain. Pesan dakwah akhlak dapat diterima di semua kelompok umat Islam manapun.
E. Penutup Dari paparan dan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa salah satu faktor kesuksesan majalah Hidayah adalah karena majalah ini mengedepankan pesan-pesan dakwah akhlak yang ringan yang dapat dengan mudah diterima oleh kalangan menengah ke bawah, baik secara ekonomi, usia maupun status pendidikan. Majalah ini juga menghindar dari isu-isu politik Islam sehingga dapat diterima banyak pembaca. Majalah ini berisi kisah-kisah dan ulasan yang inspiratif dan tidak membebani pikiran pembaca tentang hal-hal yang berat, karena yang dikupas adalah sisi-sisi akhlak yang lebih humanis dibandingkan pesan dakwah lainnya. Majalah Hidayah juga mampu mensinergikan antara visi dan misinya dengan apa yang dikehendaki pembacanya.
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _501
Daftar Pustaka
Bisri, Mustopa. Saleh Ritual Saleh Sosial, Bandung: Mizan, 1995. Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Dosdakarya Eka Ardhina, Sutirman. Jurnalistik Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif. Jakarta: Pedoman Ilmu Kuswandi, Wawan Kuswandi. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996. Mubarok, Achmad. Fisikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Muhammadiyah, Hilmi dan Syamsuddin M Pay (ed). Dakwah dan Globalisasi, Jakarta: elSas, 2000. Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta: Logos Mustofa, A, Akhlak Tasawuf. Jakarta: Pustaka Setia, 1999. Rakhmat, Jalaluddin, Menyinari Relung-Relung Rohani: Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi, Jakarta: Hikmah dan IIMan, 2002. Romli, Asep Syamsul M. Jurnalistik Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. Rumanti, Maria Assumpta. Dasar-Dasar Public Relation: Teori dan Praktik. Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004. Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Ya’qub, Ali Mustofa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
502_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996, h. 1
2. Sutirman Eka Ardhina, Jurnalistik Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, h. 16-17
3. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jaskarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h. 15
4. Heri Ruslan, Hikayat Media Massa Islam di Nusantara, http//:republika.co.id, diakses pada 03/08/2013
5. Abdullah Ubaid Matraji, Mengintip Dapur Majalah Islam, majalah Syir’ah No. 57/V/September/2006
6. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, h. 43 7. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khulúqun yang menurut
bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata ‘akhlak’ mengandung segi penyesuaian dengan perkataan khalqun, yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khăliq yang berarti pencipta, demikian juga dengan makhluqun yang berarti yang diciptakan. lihat A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Pustaka Setia, 1999, h. 11
8. Mustopa Bisri, Saleh Ritual Saleh Sosial, Bandung: Mizan, 1995, h. 28 9. Ali Mustofa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, h. 181-182
10. Hilmi Muhammadiyah dan Syamsuddin M Pay ed, Dakwah dan Globalisasi, Jakarta: elSas, 2000, h. 34
11. Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, h. iii
12. M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif, Jakarta: Pedoman Ilmu, 1997, h. 45 13. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta: Logos, 1999, h. 91
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _503
14. Onong Uchyana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Dosdakarya, 1994, h. 149-150
15. Maria Assumpta Rumanti, Dasar-Dasar Public Relation: Teori dan Praktik, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, h. 126
16. Abdullah Ubaid Matraji, Antara Idealisme dan Pasar, Syir’ah/57/September/2006 17. Rubrik Kisah haji sebenarnya tergolong baru. Mulai diturunkan pada edisi 130. Adanya rubrik ini karena ada permintaan dari pembaca tentang ceritacerita yang dijumpai selama menjalankan ibadah haji dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013
18. Kisah Sedekah juga tergolong rubrik baru. Mulai diturnkan pada edisi 130.
Adanya rubrik ini karena ada permintaan dari pembaca tentang orangorang sukses karena memberi sedekah. Rubrik ini juga pernah diusulkan oleh Ust. Yusuf Mansur kepada majalah Hidayah dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013
19. Rubrik Kolom diisi oleh para pakar. Sudah beberapa kali rubrik ini diasuh dengan orang-orang berbeda. Dulu diasuh atau ditulis oleh wartawan senior alm Syu’bah Asa, lalu ada Uust. Asfa Davi Bya, SH Sekjen Majelis Az-Zikra, lalu ada Ust. Ir. Achmad Nawawi Mujtaba. MA Koord. Diklitbang Majelis Az-Zikra dan Sekjen MUI Depok, lalu wartawan senior Sudirman Tebba, kemudian kini diasuh oleh KH. Dr. Syamsul Yakin, MA Pengasuh Pesantren Madinatul Quran, Sawangan Depok dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
20. Rubrik tafsir mulai diturunkan pada edisi 80. Pada edisi-edisi awal,
rubrik ini mengupas ayat per ayat mulai dari Juz 1, yakni Surat al-Fatihah, kemudian Surat al-Baqarah. Tapi, belakangan berdasarkan permintaan pembaca, rubrik tafsir diulas secara tematik sesuai dengan konteks dan isu terkini dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
21. Sebelum ada nama rubrik ini, rubrik ini bernama Kisah Teladan. Isinya
hampir sama, yakni kisah-kisah teladan orang-orang di zaman dulu. Bedanya, kalau Kisah Teladan mengupas para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’ittabi’in. Sementara Kisah Nabi diangkat dari kisah-kisah teladan para nabi yang ada berjumlah 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui itu dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
22. Rubrik Kisah Inspiratif merupakan rubrik baru, dan mulai diturunkan pada
edisi 130. Sebelumnya bernama rubrik Potret. Antara rubrik Potret dengan
504_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 rubrik Kisah Inspiratif sebenarnya berisi dan ulasannya sama, yakni profil orang-orang yang memberi inspirasi. Penekanannya adalah, mereka jarang atau bahkan luput dari perhatian media pada umumnya, tapi mereka memberi kontribusi yang sangat positif pada orang-orang di sekitarnya dan masyarat Indonesia pada umumnya dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
23. Rubrik Sirah Nabawiyah tergolong rubrik baru. Rubrik ini berupa ulasan kisah Nabi Muhammad saw secara berseri, mulai dari masa kecil hingga wafatnya. Sebelumnya, rubrik ini bernama Kisah Kitab, yang bersi kisahkisah ulama terdahulu yang diambil dari kitab-kitab klasik dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
24. Sejak edisi 130, rubrik ini diganti namanya menjadi Sain Islam. Isinya
hampir sama, yakni mengupas hal-hal yang gaib ditinjau dari al-Quran dan Sunnah. Namun, pada rubrik Sain Islam ditambahi pendekatan saintifik dan temuan-temuan terkini dalam ilmu pengatahuan tentang hal-hal yang gaib tersebut. Disamping itu, temanya juga bisa lebih diperluas dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
25. Rubrik Remaja Islam juga termasuk rubrik baru. Mulai diturunkan setelah
edisi 130. Rubrik ini berasal dari masukan dan permintaan dari pembaca yang begitu banyak dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
26. Rubrik Ekonomi Islam tergolong baru dan mulai diturunkan sejak edisi 130.
Rubrik ini juga berasal dari permintaan pembaca yang menginginkan ada rubrik yang membicarakan seputar kegiatan ekonomi umat Islam dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
27. Rubrik Kabar dari Singapura adalah rubrik yang diturunkan berdasarkan
permintaan dari pembaca yang ada di luar negeri. Sebelumnya rubrik ini juga bernama rubrik Kabar dari Hongkong. Bahkan, beberapa edisi juga mengganti rubrik ini dengan nama Kabar dari Malaysia. Redaksi menjadikan rubrik ini fleksibel sesuai dengan berita yang menarik untuk ditulis di ketiga negara tersebut, yakni Singapura, Malaysia dan Hongkong, yang merupakan negara edar majalah Hidayah, dan memiliki pembaca yang lumayan banyak di sana dokumen wawancara dengan Pemimpin Redaksi Majalah Hidayah, Abd. Muadz, 03/08/2013.
28. Beberapa penelitian mengenai konten majalah Hidayah juga menyebutkan
hasil yang tak jauh berbeda. Skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah,
Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak _505 Siti Yulianti, dengan judul Analisis Isi Pesan Rubrik Pengalaman Sejati Majalah Hidayah Edisi Maret-Desember 2006 menyimpulkan bahwa pesan dakwah akhlak yang terkandung dalam rubrik Pengalaman Sejati mencapai 80 persen, sementara pesan dakwah syariah hanya 12,5 persen dan pesan dakwah akidah juga hanya 7,5 persen. Penelitian lain tentang majalah Hidayah juga menyimpulkan hal yang serupa bahwa pesan dakwah akhlak lebih dominan daripada pesan dakwah akidah dan syariah. Penelitian yang hampir serupa juga menyimpulkan hasil yang sama seperti skripsi mahasiswa UIN berjudul Analisis Rubik Iktibar Majalah Hidayah edisi Agustus 2001-Mei 2001; lalu judul Aplikasi Perencanaan Media Massa majalah Hidayah Periode 2004; lalu ada skripsi Majalah Hidayah sebagai Media Dakwah Analisis isi Rubrik Iktibar Majalah Hidayah Edisi Januari-Desember 2004.
29. Diolah dari media kit bagian pemasaran Majalah Hidayah. 30. Jaladuddin Rakhmat, Menyinari Relung-Relung Rohani: Mengembangkan EQ dan SQ Cara Sufi, Jakarta: Hikmah dan IIMan, 2002, h. 10
31. Achmad Mubarok, Fisikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h. 12
Welcoming the New Era “Learning Islam Through the Internet”
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet”
A. Khoirul Anam NU Online, Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta email:
[email protected]
Abstract : In fact, the young generation is easier to search Islam through Google rather than asking the ulama, Islamic scholars, or sit for hours listening to sermons by the preacher, let alone understand their classic text (kitab kuning). We have reached e new era. Is then the ulama, scholars, preachers threatened unemployed? No. The following article will explore the phenomenon of Islamic learning via the internet and a new task managing teaching and dakwah in cyberspace.
Abstraksi : Fakta menunjukkan bahwa masyarakat saat ini lebih mudah belajar Islam lewat Google dari pada bertanya kepada kiai atau ustadz, atau duduk berjam-jam mendengarkan ceramah para muballigh, apalagi membuka dan memahami sendiri tumpukan kitab kuning. Apakah kemudian para kiai, ustadz dan muballigh terancam menganggur? Tidak. Artikel berikut akan mengupas fenomena belajar Islam lewat internet dan tugas baru mengelola ruang pengajian dan media dakwah di dunia maya. Keywords: New Era, Young Generation, Searching Islam
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _507
A. Pendahuluan Perkembangan sains dan teknologi selalu memunculkan efek dua arah yang berlainan. Satu sisi, ia membantu segala aktifitas manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari; melayani keinginan dan nafsu yang serba tidak terbatas. Dalam hal ini ia telah melahirkan banyak inovasi dan transformasi dalam sendi-sendi perjalanan sejarah kehidupan manusia. Namun di sisi lain, perkembangan sains dan teknologi juga telah memunculkan banyak peristiwa penting. Berbagai kreasi dan fasilitas manusia itu pada gilirannya telah memunculkan efek ketagihan. Manusia menjadi serba tergantung dengan produk yang ia ciptakan sendiri. Bukan hanya itu, yang patut direnungkan oleh para penganut agama, inovasi sains dan teknologi juga seringkali menyebabkan perubahan paradigma dalam memahami hidup dan fitrah manusia sebagai hamba Allah. Artikel berikut ini akan membidik salah satu produk sains dan teknologi, yakni internet serta dampaknya terhadap perubahan paradigma dan cara dalam memahami agama Islam. Fakta menunjukkan bahwa kecenderungan belajar sendiri melalui internet semakin meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi didukung oleh inovasi teknologi yang cepat sekali. Saat ini akses internet tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas ekonomi atas atau pengakses teknologi tingkat tinggi seperti pada saat internet mulai diluncurkan pada akhir tahun 1960-an. Internet sudah menjamah banyak ruang kehidupan. Melalui kreasi teknologi dan menjangkau semua kelas ekonomi, kini semua orang bisa mengakses internet dan memakainya untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, termasuk untuk belajar agama. Kemudahan akses internet juga lantaran dimanjakan oleh berkembangnya sarana komunikasi mobile dan kompetisi dari para penyedia jasa layanan telekomunikasi. Tahun 1990-an barangkali tidak banyak orang yang menggunakan telpon genggam (HP). Namun saat ini semua orang sudah menggunakan produk ini, bahkan sebagiannya sudah membawa lebih dari satu HP, dan dalam satu HP pun terdapat beberapa nomor layanan plus berbagai fasilitas dan akses internet.
508_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Anak-anak yang belum pernah mengenal komputer juga bisa langsung mengoperasikan internet dengan teknologi layar sentuh (touch screen) yang dilengkapi dengan gambar dan fitur-fitur menarik dan bisa dimengerti tanpa belajar huruf abjad dan memencet tombol. Bahkan hampir semua orang tua mengakui, anak-anak mereka saat ini lebih mengenal teknologi dibandingkan dengan generasi mereka. Ketergantungan manusia terhadap produk teknologi informasi sudah tidak terbendung. Sebagian besar orang saat ini mungkin akan langsung mencari telpon genggamnya dan mengakses beberapa informasi saat ia baru bangun tidur pagi hari, bahkan sebelum ia mencuci muka, melakukan shalat shubuh, atau sekedar minum kopi dan sarapan pagi. HP dan fasilitas internetnya dianggap lebih penting dari semua itu. Dengan alat yang dipunyai, orang melakukan berbagai aktifitas dan interaksi dengan masyarakat lain di berbagai tempat, tanpa harus bertemu secara fisik, tanpa ada sekat ruang dan waktu. Fakta baru menyusul perkembangan teknologi ini hampir-hampir tidak bisa ditolak. Argumen atau fatwa apa pun tidak akan bisa mengubah fakta bahwa era baru yang dulu dibayangkan para ilmuwan itu sudah terjadi. Banyak ulama yang menempuh “jalan pintas” mengatasi berbagai dampak buruk dari perkembangan teknologi informasi dengan mengeluarkan fatwa haram menggunakan internet dengan berpegang pada satu kaidah fikih bahwa “Dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih”, menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemanfaatan. Beberapa negara muslim bahkan secara resmi mengeluarkan aturan yang membatasi warganya dalam mengakses internet. Iran sampai saat ini mengharamkan warganya untuk mengakses Facebook, Twitter dan Youtube.1 Apapun argumen penolakannya, saat ini sebagian masyarakat sudah mengandalkan cara belajar agama Islam kepada internet dan jumlahnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Secara tidak langsung, mereka telah mentahbiskan diri bahwa mereka sudah bisa belajar sendiri secara
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _509
otodidak, tanpa guru. Padahal banyak sekali maqolah atau ungkapan di kalangan para penuntut ilmu yang berbunyi “Barang siapa yang belajar ilmu namun tidak berguru, maka gurunya adalah setan.” Syekh Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam Minhajul “'Âbidi Ilâ Jannati Rabbil ‘Alamin mengatakan: “Ketahuilah olehmu, bahwasanya guru itu adalah pembuka (yang masih tertutup) dan memudahkan (yang rumit). Mendapatkan ilmu dengan adanya bimbingan guru akan lebih mudah dan lebih menyenangkan.”2 Al-Hadrami berkata, “Bahwasanya mengambil ilmu dari seseorang guru yang sempurna penelaahannya itu sangat penting bagi orang yang menuntut ilmu. Adapun semata-mata muthala’ah tanpa ada bimbingan dari guru karena mengandalkan pemahaman sendiri saja, maka sedikit hasilnya. Karena jika dia menemukan kerumitan-kerumitan, tidak akan jelas baginya kecuali adanya uraian dari guru.”3 Namun berbagai pengajuan “banding” dan keberatan para ulama terhadap internet, tidak bisa menghalau fakta bahwa saat ini sudah banyak orang yang telah belajar agama dengan memanfaatkan fasilitas modern itu. Alih-alih “memutar” berbagai teks dan taushiyah yang menghalangi masyarakat untuk belajar agama melalui internet, media baru ini harus dipahami sebagai sarana baru dalam berdakwah dan melakukan bimbingan keislaman. Era ini tidak bisa harus dihadapi dengan optimisme dan disambut dengan berbagai program dan aktifitas yang terencana. Para ulama, ustadz dan muballigh perlu mengintegrasikan program dan kegiatannya dengan sistem dunia baru itu yang sedang dan terus berkembang.
B. Perkembangan Internet dan Respon Dunia Muslim Awalnya saluran komunikasi jarak jauh hanya berlangsung melalui informasi suara atau telepon yang diteruskan melalui kabel. Kemudian teknologi komunikasi itu berkembang menjadi telepon genggam dengan sistem nirkabel melalui jaringan satelit. Pada tahun 1969 M, yaitu dengan lahirnya Arpanet, suatu proyek eksperimen dari Kementerian Pertahanan
510_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Amerika Serikat bernama DARPA (Department of Defense Advanced Research Projects Agency), sistem komunikasi suara selanjutnya meningkat menjadi pengiriman citra dan paket data, yang disebut internet. Dari sinilah era komunikasi baru itu dimulai. Dua orang yang dalam proyek DARPA itu yang disebut sebagai bapak internet adalah Kahn dan Cerv.4 Sekitar dua puluh lima tahun kemudian, sistem yang dikembangkan oleh DARPA berevolusi menjadi suatu “organisme” yang semakin luas perkembangannya yang memukau puluhan juta orang. Internet awalnya hanya merupakan jaringan longgar dari ribuan jaringan komputer di berbagai belahan dunia yang menjangkau jutaan orang. Misi awalnya adalah menyediakan sarana bagi para peneliti untuk mengakses data dari sejumlah sumber daya perangkat-keras komputer yang mahal. Sekarang internet telah berkembang menjadi wahana komunikasi yang sangat cepat dan efektif sehingga telah menyimpang jauh dari misi awalnya. Menurut jurnal Internet Society (ISOC) milik organisasi profesional para pengembang internet, hingga musim semi 1994 M pihak yang terpengaruh dan pengguna internet mencakup 75 negara secara langsung dan 146 negara secara tak langsung, dan terdiri atas 35.000 jaringan dan 3 juta komputer. Dan tahun 2013 ini bisa dipastikan semua negara telah terintegrasi dengan sistem internet. 5 Hadirnya internet disebut-sebut sebagai sebuah revolusi dalam dunia komunikasi dan informasi. Dengan adanya akses internet, maka sangat banyak informasi yang dapat dan dianggap layak diakses oleh masyarakat internasional, baik untuk kepentingan pribadi, pendidikan, bisnis, pertahanan, dan bahkan untuk urusan kejahatan. Tidak syak lagi, berbagai modus penipuan juga telah memanfaatkan media internet. Sistem komunikasi lewat internet menyebabkan dunia tanpa ada sekat ruang dan waktu. Internet mengajak kita memasuki dunia yang tidak pernah tidur dan selalu beraktifitas. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Abdul Jamil dalam satu sesi pelatihan pengembangan web
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _511
keislaman mengatakan, dulu perempuan dianggap tidak etis jika keluar malam atau berinteraksi dengan orang-orang yang bukan muhrimnya, atau bergaul secara tidak Islami. Namun siapa yang bisa melarang perempuan muslim bergaul dengan siapa saja dan kapan saja melalui internet?6 Kita bisa saja mengatakan bahwa dunia internet itu tidak lebih riil dari dunia nyata. Namun faktanya, orang terkadang lebih “buka-bukaan” ketika berada di dunia maya itu, yang tidak akan dia lakukan dalam kehidupan sehari hari. Fakta lanjutan, bahwa berbagai interaksi yang dilakukan di dunia maya, tinggal selangkah lagi dilanjutkan di dunia nyata, dengan obyek yang sama ataupun yang berbeda. Ilmu komunikasi modern sudah lama meramalkan bahwa fakta itu bisa dibentuk dari dunia maya. Dan ini sudah terjadi. Berbagai agenda penyebaran informasi, isu, propaganda pencitraan dimulai dari dunia maya. Apa yang terbit di media cetak keesokan harinya, atau apa yang disiarkan melalui saluran televisi di-setting sebelumnya –entah terencana atau terjadi dengan sendirinya– melalui jaringan komunikasi di dunia maya. Apa yang beredar di dunia maya itu juga telah dianggap sebagai fakta dan kebenaran, lalu berbagai tindakan secara sadar akan dilakukan sesuai fakta dan kebenaran yang beredar di dunia internet, atau menyesuaikan dengan informasi yang dibentuk melalui dunia maya. Suka atau tidak suka, apa yang beredar di dunia maya dan diteruskan di banyak sekali situs internet akan dianggap sebagai kewajaran dan fakta. Seperti alunan musik aneh yang diputar berkali-kali di depan telinga kita, maka lama-kelamaan sistem syaraf kita akan menerima suara aneh itu sebagai sebuah nada indah yang sesuai selera. Berbagai informasi, entah benar-benar fakta atau yang diyakini sebagai gosip murahan namun sudah terlanjur beredar banyak sekali di berbagai situs dan diteruskan melalui jejaring sosial dunia maya tetap akan dianggap sebagai fakta, dan hampir tanpa memerlukan crosscheck dan klarifikasi, karena berkembangnya gosip itu sendiri ketika telah berkembang sudah dinilai sebagai fakta.
512_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
1. Penemuan Mesin Pencari Otomatis Revolusi di bidang sistem komunikasi ini semakin memuncak menyusul ditemukannya mesin pencari otomatis yang bisa menjangkau data dari berbagai situs internet di berbagai belahan dunia dalam waktu sekejap. Mesin pencarian (search engine) yang paling populer dan mungkin sudah digunakan di berbagai belahan dunia adalah Google. David A. Vise, penulis Kisah Sukses Google bahkan menyejajarkan penemuan Google oleh Larry dan Sergey dengan penemuan mesin cetak modern oleh Gutenberg pada 500 tahun silam. Pada saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dengan nama BackRub, Google sudah bisa menjelajah dan men-download kira-kira 100 halaman perdetik. “Belum ada temua sedahsyat Google yang memungkinkan permberdayaan begitu banyak orang, serta memudahkan akses mereka kepada informasi,” tulisnya.7 Google adalah mesin pencari di Internet yang berbasis di Amerika Serikat. Dengan tampilan dan warna yang kanak-kanan itu, saat ini Google sudah menjadi mesin pencari paling populer di web dan menerima setidaknya 200 juta permintaan pencarian setiap hari melalui berbagai situs internet. Misi Google adalah, “untuk mengumpulkan informasi dunia dan menjadikannya dapat diakses secara universal dan berguna.” Filosofi Google meliputi slogan seperti “Don`t be evil”, dan “Kerja harusnya menatang dan tantangan itu harusnya menyenangkan”, menggambarkan budaya perusahaan yang santai.8
Saat ini sudah semakin banyak mesin pencarian di internet dan gratis, namun Google sudah selangkah di depan dan menambah berbagai fasilitas pencarian. Sebagian besar orang menjadikan Google sebagai alamat pertama yang dituju ketika berselancar mencari berbagai
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _513
informasi di internet, termasuk ketika ingin mencari berbagai informasi mengenai agama Islam. 2. Respon Dunia Muslim Pada saat pertama kali internet diperkenalkan oleh para ilmuwan barat, hampir dari kebanyakan tokoh Islam memandangnya dengan mata curiga dan khawatir akan efek dari temuan teknologi mutakhir tersebut, terutama negara-negara muslim yang mempunyai sikap oposisi terhadap negara-negara barat. Iran sampai saat ini mengharamkan warganya menggunakan facebook, twitter dan Youtube.9 Kekhawatiran itu sangat wajar karena internet bukan hanya menjadi sarana untuk menyebarkan berbagai propaganda. Dalam perspektif dunia intelijen, internet menjadi sarana paling efektif untuk mencuri data dan berbagai informasi yang diperlukan untuk melemahkan satu negara. Jika dulu orang kalangan muslim takut dengan bahaya orientalisme yang dikembangkan oleh ilmuwan barat dan menaruh rasa curiga terhadap para peneliti barat, saat ini melalui internet apalagi dipandu dengan mesin pencarian otomatis yang sangat canggih, para orientalis tidak perlu bersusah payah datang ke dunia timur karena semua data dan informasi sudah terintegrasi melalui internet.10 Para ulama dunia muslim juga khawatir internet akan menyebabkan mewabahnya racun dunia di tengah-tengah masyarakat muslim, seperti krisis kebudayaan, dekadensi moral, ketidakpedulian terhadap norma-norma agama, dan kriminalitas. Meski ada filter dan kontrol yang ketat dari negara, internet tetap menjadi ruang terbuka untuk mengekspresikan dan mempertontonkan berbagai aksi dan menjadi pentas untuk mempresentasikan berbagai kebudayaan serta gaya hidup. Namun beberapa waktu berselang, para ulama justru menaruh sikap positif terkadap perkembangan internet. Ia tetap seperti pisau bermata dua. Internet hanyalah alat yang bisa digunakan untuk kebaikan dan kejahatan sekaligus. Alih-alih mengharamkan internet beberapa ulama
514_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
justru menganjurkan untuk menyediakan porsi yang cukup bagi aktifitas dan informasi mengenai ajaran Islam. Ulama asal Syria yang meninggal baru-ini di tengah konflik berdarah di negaranya, Dr. Muhammad Sa’ id Ramadhan al-Buthi berkata, “Ternyata jaringan internet yang hampir menelan seluruh penjuru dunia adalah merupakan lahan luas yang di situ bertebaran podium-podium yang menyuarakan kepentingan Islam, dengan memperkenalkan, mengajak (dakwah), membela, dan memecahkan berbagai problemanya.”11 Kalangan ulama mulai memandang positif bahwa dakwah melalui jaringan internet bisa sangat efektif dan potensial dengan beberapa alasan, diantaranya mampu menembus batas ruang dan waktu dalam sekejap dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau. Kedua, pengguna jasa internet setiap tahunnya meningkat drastis, ini berarti berpengaruh pula pada jumlah penyerap misi dakwah. Ketiga, para pakar dan ulama yang berada di balik media dakwah via internet bisa lebih berkonsentrasi dalam menyikapi setiap wacana dan peristiwa yang menuntut status hukum syar’i. Keempat, dakwah melalui internet telah menjadi salah satu pilihan masyarakat. Melalui berbagai situs mereka bebas memilih materi dakwah yang mereka sukai, dengan demikian pemaksaan kehendak bisa dihindari.12 Para pegiat internet di Indonesia juga semakin aktif melakukan terobosan baru. Misalnya, sebuah komunitas bernama Persaudaraan Profesional Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah atau PPM Aswaja, sebuah perkumpulan warga NU yang bergiat di bidang teknologi informasi (IT), awal tahun lalu meluncurkan mesin pencarian sendiri dengan nama Search Engine Aswaja NU dan Ensiklopedi Digital Aswaja. Komunitas ini awalnya bernama Forum Komunikasi Dakwah Islam Aswaja (FKDIA) yang terbentuk tahun 200-an beranggotakan kelompok diskusi di dunia online dan penerbitan buletin.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _515
Search Engine Aswaja NU dan Ensiklopedia Digital Aswaja NU yang dikreasikan oleh PPM Aswaja merupakan program yang terus diperkaya dan disempurnakan seiring peran dakwah mereka. Search Engine Aswaja yang beralamat di aswajanu.com adalah mesin otomatis pencari rujukan atas problem, pertanyaan, dan ajaran dengan hanya memasukkan kata kunci. Rujukan berasal dari daftar hasil pencarian berupa halamanhalaman website dengan urutan ranking paling sering digunakan. Mesin pencarian ini secara otomatis akan memfilter dan menolak data dari situs-situs yang dinilai tidak layak dikutip. Sementara Wiki Aswaja NU yang beralamat di wiki.aswajanu. com adalah ensiklopedi online seperti Wikipedia yang menyediakan berbagai informasi yang diperkaya dengan berbagai layanan agar lebih menarik, seperti video streaming yang terus berkembang seiring waktu. Wiki Aswaja berisi berbagai informasi seputar ajaran Aswaja, biografi dan sanad keilmuan ulama, kitab-kitab kuning, perkembangan Islam Nusantara, Indonesia sebagai mercusuar dunia, dan berbagai hal tentang Nahdlatul Ulama. Kata Usmayadi, Ketua PPM Aswaja, Search Engine dan Ensiklopedia Aswaja NU ini dikreasikan dalam rangka menjawab tantangan dakwah di era “masyarakat instan” sekaligus merespon ulah dari kelompok penebar perpecahan di dunia maya.13
516_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
C. Peningkatan Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Indonesia sebagai negara muslim terbesar menjadi salah satu pengguna internet. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan, jumlah user internet di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Jumlah user internet di Indonesia untuk tahun 2012 mencapai 63 juta atau 25,86% dari penduduk Indonesia. Diperkirakan Pada tahun 2013 jumlah ini akan menjadi 82 juta user, tahun 2014 menjadi 107 dan pada 2015 sudah mencapai 139 juta atau 50 % dari total penduduk Indonesia. Ada informasi yang lebih menarik, bahwa user baru pada 2013 sekitar 3,7 juta itu ternyata didominasi masyarakat di bawah kelompok menengah. Ini menunjukkan bahwa para pengakses internat tidak hanya berasal dari kalangan kelas menengah ke atas seperti diperkirakan banyak orang. Inovasi teknologi yang murah dan mobile menjadikan semua kalangan kesempatan yang punya mengakses internet. Fakta akses internet di Indonesia menurut laporan MarkPlus Insight ada 40% user (24,2 juta orang) mengakses internet lebih dari 3 jam perhari. Mayoritas user dimaksud berusia 15-35 tahun. 56,4% diantaranya termasuk dalam kategori “bargain hunter” yang rela berjamjam browsing internet untuk mencari kebutuhannya.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _517
Fakta jumlah user internet di Indonesia Jumlah user 2012 = 63 juta (25,86%) Diperkirakan 82 juta user di tahun 2013 107 juta pada 2014 dan 139 juta (50 %) pada 2015 User baru pada 2013 sekitar 3,7 juta didominasi masyarakat di bawah kelompok menengah 40% user (24,2 juta orang), akses > 3 jam / hari Mayoritas user berusia 15-35 tahun 56,4% termasuk “bargain hunter” (rela berjam-jam browsing) untuk mencari kebutuhannya (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)MarkPlus Insight)
- Generasi Y Mungkin tidak terbayangkan sebelumnya oleh generasi tua, anakanak yang baru duduk di Sekolah Dasar (SD) bahkan Taman KanakKanak (TK) sudah mulai berselancar dengan internet. Apalagi saat ini sudah anak-anak sudah dimudahkan dengan berbagai perangkat mobile. Berbagai alat yang menggunakan layar sentuh (touch screen) dan dipandu dengan fitur dan gambar-gambar juga sangat memudahkan anak-anak untuk memanfaatkan fasilitas teknologi dibanding dengan zaman dulu yang masih menggunakan tombol dan huruf. Tanpa panduan, kursus atau belajar secara khusus pun anak-anak sudah bisa menggunakan fasilitas internet dengan sendirinya. Dalam kajian komunikasi modern, anak-anak di Indonesia yang baru lahir pada tahun 2000-an dikategorikan ke sebagai Generasi Y (young generation). Mereka yang disebut barusan sudah mengenal dan memanfaatkan teknologi informasi dengan baik. Generasi baru ini juga lebih sering berkomunikasi dengan dunia internet dari pada dengan sekolah atau keluarga. Sebagian orang tua mereka juga telah mempunyai kesibukan rutin yang tidak dapat diganggu gugat. Generasi baru ini
518_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang mendominasi kelompok “bargain hunter” yang rela berjam-jam untuk bermain dan berselancar dengan internet, bermain dan mencari informasi dan menambah ilmu pengetahuan. Generasi Y inilah yang terutama menjadi perhatian dalam artikel ini, terutama dari kalangan generasi muslim. Mereka inilah yang ingin mencari atau secara tidak sengaja mendapatkan berbagai hal mengenai keislaman dari internet. Anak-anak kecil dan para pemuda yang mulai tumbuh seringkali mengutarakan berbagai pertanyaan tentang Islam. Dan berbeda dengan prosedur konvensional, dengan bertanya atau membaca buku, melalui internet yang dipandu dengan mesin pencarian seperti Google, dalam sekejap mereka akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan –entah jawaban yang mereka temukan benar atau bahkan mungkin menyesatkan.
D. Fenomena Googling dalam Berislam Secara Privat Dikutip dari Arab News, seorang gadis berusia baru 18 tahun yang tinggal bersama ibunya di sebuah kota kecil di Amerika Serikat berpamitan hendak berlibur ke luar negeri. Ia terbang ke Arab Saudi dan menyatakan keislamannya di negeri itu. Gadis itu mau menerima Islam sebagai agama baru setelah berbincang dengan seorang daiyah yang berhubungan dengannya melalui sebuah situs Islam. Gadis itu telah memperoleh beberapa pengetahuan tentang Islam dan membersihkan semua keraguannya selama 20 menit percakapan dengan pekerja dakwah di situs Islam tersebut. Kabarnya situs dimaksud mempunyai misi mengislamkan sebanyak mungkin orang, dan sebagian rencana mereka telah berhasil.14 Kisah di atas hanyalah sedikit dari beberapa aktifitas dakwah di dunia internet dan pengalaman belajar Islam melalui internet. Banyak sekali media Islam dari berbagai aliran yang bermunculan dan berinisiatif mengembangkan misi keislaman. Sementara semenjak “Peristiwa 11 September” semakin banyak pihak baik dari dunia barat maupun dari
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _519
dunia muslim yang semakin tertarik untuk mengetahui isu-isu keislaman, dan media yang paling tepat untuk hal ini adalah internet. Dalam hal ini internet memang menjadi pisau bermata dua. Internet menjadi media yang sangat liar untuk menyebar kebencian terhadap Islam, namun sebaliknya juga menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai luhur dan tuntunan agama Islam. Pola hidup modern yang didukung dengan fasilitas komunikasi yang serba canggih mendorong orang untuk mempunyai privasi tinggi. Definisi “privat” dalam hal ini lebih kepada keinginan untuk memilih segala hal sesuai dengan selera sendiri dan dengan caranya sendiri. Cerita di atas menunjukkan bagaimana seorang gadis yang hidup di lingkungan keluarga non muslim dan tradisi yang sangat kental, mendapatkan banyak informasi dari internet yang kemudian mengubah hidupnya 180 derajat, lepas dari tradisi dan ajaran keluarga. Di dunia maya para peselancar juga mereka bebas memilih siapa saja yang akan mereka jadikan sebagai guru, atau materi dan informasi apa saja yang lebih cocok untuk mereka. Di dunia maya mereka bebas memilih segalanya, termasuk dalam memilih pelajaran mengenai agama dan tuntunan hidup. Selain itu memang ahli agama yang ada di sekitar kita tidak bisa menjawab semua persoalan dan problem keagamaan yang sedang berkembang. Maka cara yang paling efektif di tempuh adalah mencari sendiri berbagai informasi lewat dunia maya. Di dunia maya mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk menanyakan atau menemukan jawaban masalah-masalah yang remeh bahkan tabu sekalipun. Bukan rahasia lagi, trend belajar dan mencari informasi keislaman lewat internet tidak hanya merambah kalangan awam. Para cendekiawan dan akademisi Muslim juga menjadikan internet sebagai jalan pintas untuk memperoleh berbagai sumber rujukan. Para dosen dan mahasiswa Islam justru menjadi kelompok terdepan dalam memanfaatkan mesin pencari Google untuk mendapatkan berbagai materi yang akan dikajinya, paling
520_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
tidak sebagai informasi awal untuk masuk ke dalam kajian yang bahkan belum pernah dikaji sebelumnya. “Mbah Google” disebut-sebut sebagai narasumber yang serba tahu dan bisa memberikan informasi keislaman apa pun yang dibutuhkan. Mesin pencarian otomatis yang terkoneksi dengan jaringan internet di berbagai belahan dunia memang beberapa langkah lebih canggih dari pada perpustakaan selengkap apapun.
E. Mengelola Media Dakwah Baru Fenomena searching Islam lewat internet juga berbanding lurus dengan keinginan umat Islam di Indonesia untuk menjalankan praktik ajaran Islam yang semakin tinggi semenjak era reformasi dan keterbukaan informasi. Berbagai praktik hidup yang bersifat islami di berbagai daerah di Indonesia bisa disaksikan khalayak melalui media informasi dan jejaring sosial dunia maya. Namun Berbagai informasi yang terdapat dalam jutaan situs itu bisa diibaratkan seperti hutan belantara. Para pencari informasi bisa menemukan hal yang sangat bermanfaat, namun pada sisi lain data yang didapatkan bisa jadi kurang memenuhi keinginan, atau kurang memadai, bahkan pada titik tertentu bisa menyesatkan dan menjerumuskan. 1. Beberapa Konten yang Perlu Mendapat Perhatian Di sisi lain, masyarakat muslim berada di tengah persebaran pahampaham keagamaan baru yang cukup gencar dipublikasikan oleh sejumlah media massa seperti paham radikal, liberal, dan aliran-aliran transnasional. Berbagai informasi tentang gerakan, ajaran dan manuver paham-paham baru ini relatif mudah terpublikasi karena memiliki aspek sensasional dan menjadi santapan industri media dan disebarluaskan melalui internet. Selain itu, tidak syak lagi, kelompok-kelompok yang ekstrim kiri maupun kanan cenderung sangat aktif dalam memanfaatkan media internet untuk mensosialisasikan berbagai ajaran dan aktifitas mereka.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _521
Berbagai informasi yang disebarkan oleh kelompok-kelompok baru yang sangat aktif memanfaatkan media internet ini perlu diimbangi dengan mengaktifkan situs-situs baru yang lebih moderat. Dengan demikian mereka yang belajar Islam lewat internet akan mendapatkan informasi yang memadai dan membandingkan beberapa informasi yang mereka dapatkan. Beberapa konten keislaman yang bersifat spesifik juga perlu mendapatkan porsi lebih banyak. Banyak informasi penting tentang syariah yang sulit diakses oleh masyarakat, terutama terkait bidangbidang yang spesifik seperti waris, falak, dan berbagai hasil kajian hukum Islam terkait problematika masyarakat muslim modern, serta bidangbidang yang menyangkut kontekstualisasi syariah di era kekinian seperti ekonomi syariah, wakaf uang, tabungan haji, iuran qurban, dan zakat produktif. Berbagai perkembangan baru hukum Islam di Indonesia juga kurang tersosialisasikan dengan baik. Akibatnya sekat antara hukum fikih dan hukum negara itu masih ada. Yang pertama merujuk pada kitab-kitab fikih klasik yang ditulis pada puluhan tahun bahkan ratusan tahun silam. Sementara yang kedua terkait berbagai rumusan hukum yang disusun oleh para ulama dan negarawan. Masalahnya hanya terletak pada tidak sampainya beberapa informasi mengenai perkembangan hukum. Jika perkembangan hukum ini diinformasikan secara bagus, disertai dengan konsideran atau landasan aqli dan naqli-nya, berikut informasi bahwa para perumus hukum itu adalah para ulama kontemporer yang berada di antara mereka, maka sekat hukum fikih dan hukum negara itu sedikit demi sedikit akan hilang. Berbagai perkembangan terkini di bidang syariah yang terus berkembang juga harus mendapatkan porsi yang lebih banyak lagi. 2. Perang Konten Keislaman Semakin banyak materi keislaman yang benar di jagad internet maka semakin bagus. Secara teknis akan sangat membantu masyarakat yang
522_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
ingin belajar keislaman. Namun tidak untungnya, para peng-upload data di internet tidak selalu mereka yang ingin berbagi informasi. Beberapa situs memang sengaja membahas beberapa tema keislaman yang tidak sesuai dengan paham yang mereka anut. Tujuan mereka menulis, atau menyebarkan informasi justru ingin memunculkan kesan negatif terhadap ajaran atau amalan yang sedang mereka bahas. Pada konteks ini beberapa kelompok yang mayoritas dalam hitungan riil akan dikalahkan oleh kelompok minoritas yang sangat aktif menyebarkan informasi di dunia maya. Dua kutub Islam yang ”ekstrim” baik kanan maupun kiri jelas bukan pilihan untuk membangun kejayaan Islam. Pandangan dan sikap radikal yang nyaris paralel dengan tindak kekerasan hanya membuat wajah Islam menjadi seram dan lekat dengan kebrutalan. Sementara sekularisme dan liberalisme cenderung menjauhkan muslim dari ajaran agamanya. Karena itu model dakwah Islam perlu direformulasi demi menjaga kesinambungan dan kelangsungan syiar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di bumi Indonesia untuk mengembangkan nilai-nilai Islam inklusif, ramah, moderat dan toleran, --yang mencerminkan Islam rahmatan lil’alamin. Metode dan strategi dakwah dimaksud harus responsif terhadap perubahan zaman. Lebih dari itu, materi dakwah yang disampaikan pun harus diupayakan tetap kontekstual, sesuai perkembangan serta kebutuhan masyarakat sebagai objek dakwah. Selain mempersiapkan kader-kader dakwah yang handal, tangguh dan memiliki pengetahuan keislaman yang mumpuni di samping skill berdakwah di tengahtengah kehidupan masyarakat yang terus berkembang, perlu juga mengembangkan media dakwah dan konten dakwah yang lebih inovatif. Tidak ada pilihan kecuali menambah aktivitas dakwah dan penyebaran informasi mengenai ajaran Islam yang rahmatan lila lamin di internet. Logika formal mesin pencarian internet seperti Google adalah semakin banyak konten yang beredar di berbagai situs, maka kemungkinan ia akan tampil di depan dan akan dibaca lebih dulu oleh para pencari
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _523
informasi keislaman dari internet. Penyebaran satu informasi melalui berbagai situs Islam, baik milik lembaga atau ormas Islam atau situs pribadi, akan kemungkinan informasi itu diakses oleh semakin banyak orang akan terbuka. Dan ini akan meminimalisir alias menyingkirkan berbagai konten keislaman yang sesuai dengan ajaran Islam.
Penyebaran informasi keislaman juga semakin mudah dengan fasilitas jejaring sosial seperti Facebook dan Tweeter. Arus informasi yang beredar di dunia maya dan ditangkap oleh mesin pencarian seperti Google saat ini berasal dari jejaring sosial apapun. Meski demikian jejaring sosial itu tetap membutuhkan konten untuk di-link-kan dan disebarkan kepada masyarakat luas. Jadi konten keislaman di situs-situs Islam perlu diperbanyak, lalu diteruskan dan disebarluaskan melalui jejaring sosial dunia maya. 3. Perlunya Pusat Data dan Informasi Keislaman Sebenarnya kegiatan pembinaan syariah atau semacamnya di berbagai daerah sudah banyak dilakukan, namun belum terpublikasi
524_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
dengan baik dan belum terkoordinasikan satu sama lain. Padahal informasi pembinaan syariah di satu daerah bisa menjadi percontohan atau pelajaran di daerah lain. Penulis menekankan pentingnya pengelolaan data dan informasi pembinaan syariah dari pusat sampai ke daerah agar terintegrasi satu sama dengan pusat data. Melalui pusat data ini, berbagai informasi pembinaan syariah dari berbagai daerah akan bisa dipublikasikan sebagai proyek percontohan untuk daerah lain yang mempunyai tipikal serupa. Kementerian Agama, dalam hal ini Ditjen Bimas Islam, hemat penulis adalah pihak yang paling kompeten dan paling mungkin melakukan hal ini.
Di era digital dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini juga diperlukan layanan informasi yang bisa diakses oleh masyarakat luas dimana saja dan kapan saja tanpa tersekat oleh ruang dan waktu. Teknologi informasi juga sangat menunjang adanya interaksi antara para ahli syariah dengan masyarakat luas, misalnya dalam bentuk konsultasi agama secara online. Konsultasi bisa berlangsung secara pribadi antara para ahli dan masyarakat, namun untuk beberapa kasus
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _525
bisa dipublikasikan kembali untuk menjadi informasi bagi khalayak. Sebenarnya tugas pembinaan syariah telah dilakukan semenjak lama oleh ulama, ustadz, guru-agama, para akademisi dan para ahli di bidang syariah. Fungsi Kementerian Agama pada titik ini adalah mengkoordinasi dan memfasilitasi proses pembinaan syariah, serta melibatkan beberapa ahli terkait dengan aspek pembinaan yang belum tergarap. Dan semua program diintegrasikan dalam suatu pusat data dan informasi syariah. Pusat data yang dimotori oleh Ditjen Bimas Islam juga berfungsi sebagai pusat arsip. Berbeda dengan arsip berbentuk kertas, arsip yang berbentuk file tidak akan menyita banyak tempat atau ruangan. Sehingga data dan informasi yang bersumber dari berbagai daerah bisa dikumpulkan secara terpusat. Pusat data ini berfungsi dua arah, dari daerah ke pusat dan dari pusat kedaerah. Beberapa data dan informasi yang berasal dari daerah bisa langsung dipublikasikan dan diakses kembali oleh masyarakat luas di daerah setempat atau di daerah lain. Beberapa informasi dari satu daerah terkait program pembinaan syariah sangat penting untuk menjadi percontohan untuk daerah lain. Informasi ini juga terkait dengan beberapa kasus dan pemecahan kasus untuk menjadi bahan rujukan di daerah lain. Beberapa data mungkin disimpan oleh pusat data dan tidak di-share ke publik karena menyangkut hal-hal yang tidak pantas dipublikasikan, misalnya terkait dengan preseden buruk yang tidak patut dicontoh oleh daerah lain, atau terkait dengan persoalan pribadi yang bersifat rahasia. Artinya meskipun data terintegrasi, tetap saja ada petugas khusus di pusat data untuk merapikan data yang akan dipublikasikan agar sesuai standar yang ditentukan, atau menyeleksi data dan informasi yang layak dipublikasikan kepada masyarakat luas.
526_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
F. Penutup: Optimisme Menyambut Sarana Dakwah Masa Kini Kecenderungan belajar Islam lewat internet yang semakin meningkat harus dihadapi dengan berbesar hati dan optimisme. Banyak hal yang bisa dilakukan di era baru dengan syarat pola pikir dan aktifitas dakwah yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tidak perlu menunggu generasi berikutnya untuk menggarap “majelis ilmu” yang baru itu karena perkembangan informasi yang terjadi sangat cepat dan perlu mendapatkan kontrol dari semua pihak. Alih-alih, kalangan agamawan yang “merasa tua” harus terlibat dan berpartisipasi dalam era baru ini jika masih berkepentingan untuk mengawal generasi Islam di masa yang akan datang. Jika perkembangan baru ini dibiarkan begitu saja tanpa partisipasi, kontrol dan intervensi maka tradisi Islam dan pemahaman mengenai agama akan terbentuk dengan caranya sendiri melalui dunia maya itu. Salah satu pihak yang mestinya paling berkepentingan mengawal media belajar baru Islam yang baru ini adalah Kementerian Agama. Sejarah mencatat peristiwa penting dalam pembentukan negara
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _527
Republik Indonesia yakni dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama ”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” yang diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peristiwa ini terjadi pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan. Peistiwa itu menunjukkan sikap kebesaran hati dan kepahlawanan para negarawan muslim demi menjaga keutuhan bangsa. Namun semenjak adanya Kementerian Agama seluruh masalah yang terdapat dalam Tujuh Kata itu dapat diurusi kementerian khusus ini. Hal-hal yang menyangkut kehidupan pemeluk agama Islam dan keinginan untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan syari’at Islam dapat difasilitasi oleh Kementerian Agama (Kemenag). Tugas penerapan syariat Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan demikian telah dibebankan kepada Kementerian Agama, lebih khusus lagi Direktorat Pembinaan Masyarakat (Bimas) Islam. Dalam konteks pengembangngan media dakwah dan pembelajaran baru melalui internet, perlu dilakukan upaya mengembangkan sebanyak mungkin konten keislaman di berbagai situs yang dikelola di lngkungan bimas dari pusat dan daerah. Bimas Islam juga perlu melakukan pelatihan dan pembinaan berbagai website keislaman. Agenda yang dilakukan bukan meminimalisir ulah berbagai situs yang menyesatkan, karena itu tidak cukup, namun aktif mengikuti “perang” konten dan data di dunia maya. Semakin banyak konten kesilaman di jagat maya dan semakin besar partisipasi kalangan ulama dan ahli agama yang difasilitasi oleh Kementerian Agama tentunya semakin positif dan masa depan peradaban Islam yang cerah sudah akan siap disongsong. Mungkinkah cita-cita ”Baldatun thorribatun warobbun ghofur” akan diwujudkan dan di-setting dari dunia maya? Jawabannya pasti mungkin.
528_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan. Masyurat al-ljtima’iyah. Beirut. Al-Muassasah. Al-Hadrami, Al-Habib Ahmad bin Abi Bakar. tt. Manhalul Wurrad Min Faidhil Imdad. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah. Al-Qaradhawi, Yusuf. tt. Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: ma’ Nadzarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Ma’ashir. Kairo: Dar al-Qalam. Al-Zarnuji. tt. Ta’limul Muta’alim. Surabaya: Al-Hidayah. Muhammad Dahlan, Syekh Ihsan. 2003. Sirâj ath-Thalibin. Juz I. BeirutLebanon: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyah. Syaerozi, Arwani. 2007. Dakwah Islam Melalui Internet. Jakarta: NU Online. Tracy LaQuey. 1994. Internet Companion: A Beginner’s Guide to Global Networking. Addison-Wesley Pub. Co. Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKiS. Wahid, Hasyim dalam dalam Abdul Mun’im DZ. 2007. Teknologi Sebagai Tradisi. Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasry PBNU. Vise, David A. 2006. Kisah Sukses Google. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” _529
Endnotes
1. www.nu.or.id, diposting 11 Oktober 2013. 2. Ucapan Imam al-Ghazali ini dikutip Syekh Ihsan Muhammad Dahlan dalam Sirâj ath-Thâlibîn, , Beirut: Dâr a- Kutub ‘Ilmiyah, 2003, Juz I, h. 121.
3. Al-Habib Ahmad bin Abi Bakar Al-Hadrami, Manhalul Wurrad Min Faidh al-Imdad, Beirut: Dâr al-Kutub ‘Ilmiyyah, h. 102.
4. Hasyim Wahid, dalam Teknologi Sebagai Tradisi, Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasry PBNU, 2007, h. x.
5. Tracy LaQuey, Internet Companion: A Beginner’s Guide to Global Networking. Addison-Wesley Pub. Co, 1994, h. 17.
6. http://bimasislam.kemenag.go.id, September 2013. 7. David A. Vise, Kisah Sukses Google, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. x.
8. 9. 10. 11.
www.sejarah.com, diunduh Oktober 2013. www.nu.or.id, diposting 11 Oktiber 2013. Hayim Wahid, dalam Teknologi Sebagai Tradisi, h. x. Arwani Syaerozi, Dakwah Islam Melalui Internet, dimuat di www.nu.or.id, Oktober 2007.
12. Arwani Syaerozi, Dakwah Islam Melalui Internet, dimuat di www.nu.or.id, Oktober 2007.
13. www.nu,or.id. Diposting Mei 2013 14. Republika, Jumat, 10 Juni 2011
Dawah by Using Movies: Oasis in The Midst of Crisis Movies That are Not Qualified
Dakwah dengan Media Film : Oase di Tengah Krisis Film-film yang Tidak Bermutu
Naif Adnan Penyuluh Agama Islam Fungsional Jakarta Selatan email :
[email protected]
Abstract : In Islam, Dawah is an obligation which is not defined by social structure, position or skin colors. It, however, should be done by every moslem in the world. The obligation on Dawah itself should also be based on the knowledge or skills of each moslem, which means that the process of Dawah is not merely as the way of speech as mubalighs do. An artist, for example, can do the Da’wa from his production on arts. Even a doctor can do the Dawah by talking or sharing to his patients. Discussing on creative and innovative dawah, arts serves as an alternative way to do this, for example by making/ producing films.
Abstraksi : Dalam Islam, dakwah adalah suatu kewajiban yang tidak ditentukan berdasarkan status sosial, jabatan ataupun warna kulit. Tetapi dakwah adalah kewajiban setiap muslim di dunia. Kewajiban dakwah sendiri harus dilakukan berdasarkan ilmu
Dakwah dengan Media Film _531 pengetahuan atau kemampuan masing-masing muslim. Artinya proses berdakwah tidak semata-mata harus berceramah seperti yang dilakukan oleh para muballigh. Seorang artis misalnya, bisa berdakwah melalui karya seninya. Bahkan seorang dokter pun mampu berdakwah melalui diskusi dan sharing dengan pasiennya. Terkait dengan dakwah yang kreatif dan inovatif, seni mampu berperan sebagai cara alternatif dalam berdakwah, misalnya memproduksi film. Keywords: Dawah, Arts, Films, Role Model.
A. Pendahuluan Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan penayangan film The Innocence of Muslims di media Youtube. Film dengan durasi dua jam ini diproduseri oleh Sam Bacile dan disutradarai oleh Alan Roberts bercerita tentang gambaran negatif Nabi Muhammad yang sangat keji, yaitu dengan menuduh Rasulullah sebagai pendukung fedofilia, homoseks dan menggambarkan beliau sedang berhubungan intim. Sontak saja kehadiran film ini menuai kecaman dari kaum muslim di seluruh dunia. Terjadi demonstrasi di mana-mana, bahkan ada yang berakhir tragis dengan kematian akibat penembakan aparat hukum kepada para demonstran. Jika ditarik ke belakang sesungguhnya film The Innocence of Muslims bukan satu-satunya film yang dibuat oleh Barat untuk membangkitkan kebencian terhadap Islam. Tercatat ada beberapa film yang substansinya sama, antara lain: a. Film Submission. Film Submission ini dirilis pada 2004, merupakan film pendek berdurasi 11 menit yang disutradarai Theo Van Gogh dan skenarionya ditulis Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen Belanda. Film ini ditayangkan di jaringan TV publik Belanda (VPRO) pada 29 Agustus 2004.
532_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
b. Film kartun The Life of Muhammad. Film kartun The Life of Muhammad dirilis April 2008, yang dibuat oleh politisi Belanda kelahiran dan keturunan Iran, Ehsan Jami. Film ini menceritakan kehidupan Nabi Muhammad dengan istrinya yang masih berusia 9 tahun, Aisyah, namun dalam sudut pandang seksual. Film itu juga menggambarkan wajah Nabi Muhammad, yang di dalam Islam, tidak diizinkan. c. Film Fitna. Film ini dirilis pada 2008 yang dibuat oleh anggota Parlemen Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 17 menit ini bercerita tentang Islam, tentang ayat-ayat Alquran dan potongan-potongan aksi terorisme yang dilakukan oleh umat Islam. Film ini menyimpan pesan bahwa Al Quran memotivasi orang untuk membenci siapa saja yang menyerang Islam. Alhasil, film yang diunggah di situs video internet ini diblok.1 Dari seluruh film yang penulis kemukakan di atas, kesemuanya merupakan film yang menggambarkan Islam secara keliru dan salah. Itulah sebabnya penulis ingin mengemukakan pendapat dakwah dengan film sebagai lawan dari film film yang menyesatkan tadi. Bukan dengan bereaksi keras, apalagi dengan demonstrasi secara anarkis yang tentu saja merugikan nama Islam itu sendiri.
B. Dakwah sebagai komunikasi Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia sebagai mahluk sosial. Dalam proses komunikasi tersebut mencakup sejumlah komponen atau unsur, salah satu komponen atau unsur tersebut adalah pesan. Pesan adalah keseluruhan dari pada apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai panduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi keluhan, keyakinan, himbauan, anjuran dan sebagainya.2
Dakwah dengan Media Film _533
Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang, umumnya bahasa. Dikatakan bahwa umumnya bahasa yang dipergunakan untuk menyalurkan pernyataan itu, sebab ada juga lambang lain yang dipergunakan, antara lain kial, yakni gerakan anggota tubuh, gambar, warna, dan sebagainya. Melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, atau menganggukkan kepala adalah tanda yang merupakan lambang untuk menunjukkan perasaan atau pikiran seseorang. Gambar, apakah itu foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik, atau lain-lainnya, adalah lambang yang biasa digunakan untuk menyampaikan pernyataan seseorang. Demikian pula warna, seperti pada lampu lalu lintas: merah berarti berhenti, kuning berarti siap, dan hijau berarti berjalan; kesemuanya itu lambang yang dipergunakan polisi lalu lintas untuk menyampaikan intruksi kepada para pemakai jalan. Diantara sekian banyak lambang yang biasa digunakan dalam komunikasi adalah bahasa, sebab bahasa dapat menunjukkan pernyataan seseorang mengenai hal-hal, selain yang kongkret juga yang abstrak, baik yang terjadi saat sekarang maupun waktu yang lalu dan masa yang akan datang. Tidak demikian kemampuan lambang-lambang lainnya. Pesan seharusnya mempunyai inti pesan (tema) sebagai pengarah di dalam usaha mecoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan ini dapat bersifat informatif, persuasif, dan coersif :3 a. Informatif Memberikan keterangan-keterangan dan kemudian komunikan dapat mengambil kesimpulan sendiri. Dalam situasi tertentu pesan informatif lebih berhasil daripada pesan persuasive misalnya pada kalangan cendikiawan. b. Persuasif Bujukan yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau
534_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sikap sehingga ada perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi itu adalah atas kehendak sendiri, misalnya pada waktu diadakan lobby, atau pada waktu istirahat makan bersama. c. Coersif : Memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi. Bentuk yang terkenal dari penyampaian pesan secara ini adalah agitasi dengan penekananpenekanan yang menimbulkan tekanan batin dan ketakutan diantara sesamanya dan pada kalangan publik. Coersif dapat berbentuk perintah, instruksi dan sebagainya. Untuk merumuskan pesan agar mengena, pesan yang disampaikan harus tepat, ibarat kita membidik dan menembak, maka peluru yang keluar haruslah tepat kena sasarannya. Pesan yang mengena harus memenuhi syarat-syarat:4 1) Pesan harus direncanakan (dipersiapkan) secara baik, serta sesuai dengan kebutuhan kita. 2) Pesan itu dapat menggunakan bahasa yang tepat dimengerti kedua belah pihak. 3) Pesan itu harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan kepuasan. Pendapat lain mengatakan syarat-syarat pesan harus memenuhi:5 1) Umum Berisikan hal-hal yang umum dan mudah dipahami oleh komunikan/audience, bukan soal-soal yang cuma berarti atau hanya dipahami oleh seseorang atau kelompok tertentu. 2) Jelas dan gamblang Pesan yang disampaikan tidak samar-samar. Jika mengambil perumpamaan hendaklah diusahakan contoh yang senyata mungkin, agar tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita kehendaki.
Dakwah dengan Media Film _535
3) Bahasa yang jelas
Sejauh mungkin hindarkanlah menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami oleh si penerima atau pendengar. Gunakanlah bahasa yang jelas dan sederhana yang cocok dengan komunikan, daerah dan kondisi dimana kita berkomunikasi, hati-hati pula dengan istilah atau kata-kata dari bahasa daerah yang dapat ditafsirkan lain oleh komunikan.
4) Positif
Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat halhal yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan agar diusahakan dalam bentuk positif.
5) Seimbang
Pesan yang disampaikan oleh karena kita membutuhkan selalu yang baik-baik saja atau jelek-jelek saja. Hal ini kadang-kadang berakibat senjata makan tuan, cenderung ditolak atau tidak diterima oleh komunikan.
6) Penyesuaian dengan keinginan komunikan
Orang-orang yang menjadi sasaran dari komunikasi yang kita lancarkan selalu mempunyai keinginan-keinginan tertentu, oleh sebab itu pesan-pesan yang disampaikan harus dapat disesuaikan dengan keinginan-keinginan komunikan tersebut.
Berbeda dengan komunikasi pada umumnya, komunikasi Islam mempunyai ciri khusus, yakni pesan-pesan yang ada dalam komunikasi tersebut bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Dengan sendirinya komunikasi Islam (Islami) terikat pada pesan khusus, Yakni dakwah, karena Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seisi alam dan juga merupakan (memuat) peringatan, warning dan reward bagi manusia yang beriman dan berbuat baik (Surat Al-Ashr).6 Artinya bahwa dalam komunikasi Islam itu terdapat pesan-pesan dakwah. Pesan-pesan dakwah adalah
536_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
semua pernyataan yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah baik tertulis maupun lisan dengan pesan-pesan (risalah) tentang hablum minallah atau mua’amallah ma’al Khaliq, hablum minan-nas atau mua’mallah ma’alkhalqi, Mengadakan keseimbangan (tawazun) antara kedua itu.7 Model komunikasi Islam yang pesannya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi, tentulah pesan itu bersifat imperatif atau wajib hukumnya untuk dilaksanakan, karena merupakan pesan kebenaran berdasarkan firman Allah SWT. dan Hadis Nabi. Pesan tidak boleh merupakan sensasi, kebohongan, kefasikan, pelintiran kata-kata dan kebohongan publik (public lies). Meskipun demikian, komunikasi Islam disamping sangat mengutamakan etika (ahlakul karimah) juga mementingkan metode persuasi. Hal itu dapat dilihat antara lain di dalam Surat An-Nahl ayat 125 dan surat Al-Ashr ayat 3. Di dalam surat Al-Ashr Tuhan mengingatkan kepada manusia, bahwa orang-orang yang tidak berada dalam kerugian setiap waktu, hanyalah yang beriman, berbuat baik dan saling menasihati tentang kebenaran dan perlunya kesabaran. Di dalam Surat An-Nahl manusia diperintahkan untuk saling mengajak kejalan Tuhan dengan kebijaksanaan, saling memberi penerangan yang baik, bertukar pikiran, berdiskusi dengan cara yang lebih baik.8 Berkaitan dengan pesan-pesan yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis, dalam dakwah, pesan-pesan itu masuk dalam unsur materi dakwah. Materi dakwah adalah semua ajaran yang datangnya dari Allah SWT yang dibawa oleh Rosulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia yang berada di muka bumi. Pada dasarnya materi dakwah Islam tergantung pada tujuan dakwah yang ingin dicapai. Namun secara global dapatlah dikatakan bahwa materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok, yaitu : Masalah aqidah, Masalah syari’ah dan Masalah budi pekerti (ahlakul karimah):
Dakwah dengan Media Film _537
1. Tinjauan Tentang Dakwah a. M. Thoha Yahya Omar dalam bukunya M. Aminuddin Sanwar, mengartikan dakwah adalah “mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat”.9 b. Menurut A. Hasymi, dakwah Islamiyah yaitu “mengajak orang untuk meyakini dan mengamalkan aqidah syari’ah Islamiyah yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri”.10 c. Menurut M. Hafi Anshari, definisi dakwah Islamiyah adalah “semua aktifitas manusia muslim didalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT, dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab baik kepada dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT.11 d. Menurut Dr. H. Hamzah Ya’kup mengartikan dakwah Islam sebagai usaha mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.12 Dari berbagai pengertian tersebut di atas, walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat dalam cara merumuskannya, namun intinya mengandung maksud dan pengertian yang sama, maka dari pengertian tersebut dapat diambil inti pengertian sebagai berikut: 1) Bahwa proses dakwah harus mengandung unsur, sifat mengajak menyeru, dan seterusnya sampai pada ketaatan kepada Allah. 2) Dakwah dilaksanakan dan diterima secara sadar, bukan paksaan dan terencana. 3) Usaha yang dilakukan adalah mengajak ummat manusia ke jalan Allah, memperbaiki situasi yang lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan) 4) Untuk mencapai tujuan dakwah dilaksanakan secara teratur dan
538_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
menggunakan metode, media yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. 5) Mengandung perubahan yang semakin sesuai dengan ketentuan Allah SWT. 6) Usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yakni hidup bahagia sejahtera di dunia dan di akhirat. Jadi dengan kata lain dakwah adalah ajakan kepada umat manusia dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar dan ilal khairi, baik melalui lisan, tulisan atau tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Oleh karena itu kalau kita jumpai beberapa aktifitas yang didalamnya mengandung unsur ajakan terhadap amar ma’ruf nahi munkar yang bersumber dari ajaran Islam dapat dikatakan berdakwah. 2. Materi Dakwah (Maadatud Dakwah) Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam yang ada didalam kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya, yang pada pokoknya mengandung 3 (tiga) prinsip yaitu:13 1) Aqidah
Aqidah secara etimologis adalah ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah iman atau keyakinan. Karena itu aqidah Islam ditautkan dengan rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam.
2) Syari’ah
Syari’ah bermakna asal syari’at adalah jalan lain ke sumber air. Istilah syari’ah berasal dari kata syari’ yang berarti jalan yang harus dilalui setiap muslim. Karena itu syari’ah berperan sebagai peraturan-peraturan lahir yang bersumber dari wahyu mengenai tingkah laku manusia. Syariah dibagi menjadi 2 bidang yaitu
Dakwah dengan Media Film _539
ibadah dan muamalah. Ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan, sedangkan muamalah adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, seperti hukum warisan, berumah tangga, jual beli, kepemimpinan dan amal-amal lainnya.14 3) Akhlak
Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk positif adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar dan sifat baik lainnya. Sedang yang negatif adalah akhlak yang sifatnya buruk, seperti sombong, dendam, dengki dan khianat.
C. Kondisi perfilman di Indonesia dan beberapa film religius saat ini Film bernafaskan Islam yang kini telah menjadi arus tren tersendiri di Indonesia. Di antara gelombang film-film horor dan komedi “murahan” yang hanya mengandalkan pengumbaran aurat para pemerannya (bahkan sampai perlu mengimpor bintang-bintang film porno), telah nyata terbukti bahwa masyarakat pun sangat haus akan hiburan yang Islami; sebentuk penghiburan yang menawarkan rekreasi pikiran sekaligus juga sarat akan nasihat dan hikmah. Ini adalah sebuah kemajuan yang sangat menggembirakan. Sebagai bukti bahwa film Indonesia umumnya dan film Islami pada khususnya sedang menggeliat, penulis kemukakan 10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007-2012 berdasarkan tahun edar film15: No.
Box Office Nasional 2007 - 2012
Jumlah Penonton
1
Laskar Pelangi (2008)
4.606.785
2
Ayat-ayat Cinta (2008)
3.581.947
540_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3
Ketika Cinta Bertasbih (2009)
3.100.906
4
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009)
2.003.121
5
The Raid (2012)
1.844.817
6
Sang Pemimpi (2009)
1.742.242
7
Get Married (2007)
1.400.000
8
Garuda Di Dadaku (2009)
1.371.131
9
Nagabonar Jadi 2 (2007)
1.300.000
10
Sang Pencerah (2010)
1.206.000
Disini penulis ingin mengemukakan dua film yang menjadi tonggak sejarah bangkitnya film yang bermuatan dakwah pada lima tahun belakangan ini, diantaranya: a. Ayat ayat cinta Film ayat-ayat cinta adalah film yang disutradarai Hanung Bramantyo. Kehadiran film ini langsung banyak diterima banyak masyarakat, terbukti dengan antusiasme yang cukup tinggi dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Film ini diangkat dari novel karya Habiburahman el Shirazy. Ada yang beranggapan bahwa inilah film Islami, tapi menurut penulis lebih cocok dengan menyebutnya sebagai film religius, karena walaupun diperankan oleh berbagai macam pemeran dengan latar belakang agama yang berbeda, tapi nilai-nilai religiusnya tetap bisa disampaikan. Terlepas dari kontroversi novelnya lebih bagus dari filmnya, tapi keberanian sang sutradara tetap harus kita akui untuk mengangkat sebuah tema yang jadi polemik yaitu poligami. Disini penulis tidak menyoroti kontroversi poligami, karena ada banyak tafsir yang membenarkan dan menyalahkannya, tergantung dari sudut pandang penafsirannya. Tetapi penulis tertarik untuk mengapresiasi tentang tema besar dalam film A2C ini, yaitu cinta. Dimana menurut sudut pandang dari sutradara-nya adalah cinta yang
Dakwah dengan Media Film _541
universal, yaitu substansi dari cinta ikhlas, sabar, dan toleran. Tiga buah kata yang mudah diucapkan, tapi sangat sulit dalam implementasinya, apabila kita tidak punya niat yang kuat untuk mewujudkannya. Dalam Intrepretasinya, Hanung Bramantyo memberikan ceramahnya saat Fahri di penjara, dimana dalam Novel digambarkan seorang profesor, tapi di film-nya sang sutradara mencoba menampilkan dengan urakan, dan bersuara keras, sang sutradara mencoba memberikan pemahaman bahwa jangan dilihat siapa yang berbicara, tapi dengarlah apa yang dibicarakannya. Ini seperti dialog ketika Nabi Yusuf as masuk penjara yang digambarkan dalam surah Yusuf. Dalam dialog-dialog-nya ada banyak nasehat tentang bagaimana kita harus ikhlas menerima sebuah cobaan, dan sabar menjalaninya. Karena Tuhan pasti memberikan hal yang terbaik buat kita. Bukan dalam artian nrimo tanpa usaha, tapi lebih kepada willing to understanding (ikhlas untuk mengerti setelah kita mencoba untuk berusaha, dan belum mencapai hasil yang optimal). Toleransi coba dimasukkan oleh sutradara, karena tanpa sikap yang toleran tidak mungkin akan nada cinta yang murni. Dengan penggambaran bagaimana bersahabat dengan Maria, dan saling menghargai perbedaaan-perbedaan dalam keyakinan, telah menjadikan film A2C berbicara tentang cinta yang agung, cinta yang membebaskan, tanpa terbebani oleh perbedaan budaya, sosial, dan agama. Maka menurut penulis, Film A2C ini dapat dikategorikan sebagai sebuah film religius, yaitu film yang mengangkat nilai ajaran-ajaran agama tanpa berpretensi untuk menggurui. b. Sang Pencerah Tidak diragukan lagi bahwa film Sang Pencerah adalah sebuah titik penting dalam sejarah perfilman Indonesia, karena ia menceritakan episode kehidupan seorang tokoh termasyhur dalam sejarah Indonesia, yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah pendiri dari salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, pejuang, tokoh pergerakan, pendidikan, ulama kharismatik yang dianggap sebagai mujaddid dan berbagai predikat mulia lainnya.
542_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Berbagai kritik telah dialamatkan kepada film ini, antara lain mengenai keakuratannya dengan sejarah hidup K.H. Ahmad Dahlan yang sebenarnya. Pada kenyataannya, referensi sejarah yang bisa digunakan untuk melakukan riset tentang tokoh pendiri Muhammadiyah ini memang sangat terbatas. Beliau bukan seorang penulis lebih dikenal sebagai tipe praktisi, sehingga orang yang hidup pada abad ke-21 akan merasa cukup kesulitan untuk menggali gagasan-gagasannya.
D. Dakwah dengan film Sejak awal perkembangan Islam, kesenian memiliki peranan penting dalam dakwah Islamiyah, terutama seni bahasa dan seni suara. AlQur’an sendiri telah memberi isyarat tentang pentingnya seni didalam berdakwah. Allah menciptakan al-Qur’an dalam bahasa Arab yang maha balaghah, yang maha seni yang luar biasa uslub dan maknanya sehingga tidak dapat ditiru oleh manusia.16 Sidi Gazalba, menyatakan “Islam menyuruh manusia beragama untuk berbuat baik, menghargai kesenian, menyuruh hidup bermasyarakat dan bertaqwa. Karena Islam merupakan fitrah, dan seni adalah fitrah manusia, dengan sendirinya seni masuk dalam ajaran ad-dien. Kebudayaan adalah kehidupan, kehidupan itu Tuhanlah yang memberikannya. Kesenian adalah cabang kebudayaan, jadi bidang kehidupan. Karena itu fitrah kesenian juga berasal dari Tuhan”.17 Ciptaan-ciptaan seni banyak yang lahir oleh rangsangan rasa agama. Dan rasa agama yang menjelma, menggerakkan rasa seni untuk mencipta. Kandungan isinya sangat padat dan isinya menarik pembacanya, jika al-Qur’an dibaca dengan lagu tertentu dapat membuka hati seseorang, karena itu Nabi Muhammad SAW menganjurkan membaca al-Qur’an dengan suara yang indah.18 Melihat perkembangan dakwah Islamiyah, banyak ditemukan cara berdakwah, salah satunya menggunakan media film. Media Dakwah (Wasilatud Dakwah) menurut Hamzah Ya’qub bahwa media adalah
Dakwah dengan Media Film _543
alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan ummat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah, yang dapat digolongkan menjadi lisan atau tulisan, lukisan, audio visual dan perbuatan atau akhlak.19 Sedangkan menurut penulis, media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan da’i dalam melaksanakan dakwahnya. 1) Macam-macam media dakwah Adapun macam-macam media dari segi bentuknya, menurut Masdar Helmy, media dakwah terdiri dari: a) Media cetak b) Media auditif c) Media visual d) Media audio visual e) Tauladan.20 Banyak dakwah yang dilakukan dengan cara konvensional di media audio visual cenderung untuk menampilkan ajaran-ajaran yang kaku, dengan perumpamaan memegang sebuah cambuk yang berduri yang siap selalu untuk menghukum umat yang tidak taat pada ajaran agamanya. Kita membutuhkan sebuah dakwah yang damai dan menyejukkan, sebuah dakwah yang mencoba mengajak berbuat baik dengan cara-cara yang baik juga, dakwah dengan cara-cara yang bisa menggali sebuah budaya dalam masyarakat tanpa harus meninggalkan kebudayaan tersebut. Sebagaimana dulu jaman awal masuknya Islam, sudah diterapkan oleh para Wali songo. Dalam dakwahnya Sunan Kalijogo sering menggunakan media wayang kulit, untuk menyampaikan pesanpesan dalam agama Islam, Padahal kita tahu wayang adalah hasil dari kebudayaan bukan dari agama Islam. Dengan cara penyampaian pesan agama lewat wayang inilah, nilai-nilai yang ada dalam agama Islam dimasukkan dalam berbagai macam adegannya, bisa saat dialog antar pemainnya, ataupun dalam jalinan ceritanya. 21
544_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Film sangat berbeda dengan seni sastra, seni rupa, seni suara, seni musik, dan arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan baku produksi maupun dalam hal penyampaian terhadap penontonya. Film merupakan penjelmaan terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan teknologi canggih dan modern serta sarana publikasi. Menurut Baksi, pesan-pesan komunikasi film juga dikelompokkan dalam proses pembuatan dan penyampainnya, yang biasa disebut dengan genre. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, humor dan sajian teknis lainnya. Film sebagai salah satu media massa merupakan media hiburan yang sangat berpengaruh dibandingkan dengan keberadaan radio dan surat kabar. Hal ini dikarenakan kekuatan audio visual dalam film dapat mempengaruhi emosi penonton seperti menangis, tertawa, marah, sedih dan lain-lain. Sementara itu menurut Quraish Shihab, seniman boleh saja melukiskan apa adanya. Kitab suci al Quran pun melukiskan kelemahan manusia sebagaimana dalam surah Yusuf ayat 23.22
E. Pesan dalam sebuah film Film sendiri notabenenya adalah sebuah sekenario yang dijalankan oleh para pelaku dan pembuat film tersebut, yang memang terkadang para penulis naskah atau skenario mengambil ide-ide tulisannya dari sebuah kehidupan yang benar-benar nyata yang dialaminya sendiri ataupun melihat dari kehidupan orang lain, atau kadang juga hanya sebuah hayalan yang mungkin akan bisa terwujud di suatu saat nanti, sehingga menimbulkan perasaan yang begitu mendalam bagi para penikmatnya, tentu sesuai dengan sudut pandang apa yang akan diangkat dalam sebuah produksi film tersebut. Karena unsur-unsur yang sama dalam kehidupan sebenarnya itulah seakan-akan para penikmat film menganggap bahwa film yang mereka
Dakwah dengan Media Film _545
lihat adalah nyata dan dapat dirasakan sesuai dengan keadaan mereka saat itu. Artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya. Maka dari inilah, sebuah film dapat berpengaruh terhadap prilaku sosial dalam masyarakat dari para penikmatnya, tentunya sesuai dengan pesan apa yang di dapat dari sebuah film yang mereka nikmati. Pesan disini adalah pesan yang disampaikan dari pembuat film (sineas) kepada masyarakat luas. Karena sebuah film, paling tidak memiliki sebuah pesan tertentu dalam pembuatanya, baik pesan tersebut bersifat verbal maupun non verbal sesuai dengan jenis film yang di ciptakan oleh para pembuatnya (sineas). Film juga mempunyai segmen dalam pengambilan dan penyampaian pesan terhadap khalayak yang melihatnya, yakni para pembuat sebuah film sudah memperkirakan pesan apa yang harus di dapat bagi para penonton setelah melihat film tersebut, sesuai dengan keinginan dan kepentingan para sineas dalam memproduksi filmnya, seperti: unsur tentang budaya, sosial, politik, psikologi dan lain sebagainya, yang menarik atau dapat merangsang imajinasi penonton, meskipun terkadang pesan yang diharapkan tidak sesuai atau hanya mendekati sesuai keinginan para sineas film dalam penyampaianya terhadap penonton. Karena dalam salah satu teori Melvin D. Defleur tentang teori perbedaan individu menyatakan, “bahwa manusia sangat bervariasi dalam organisasi psikologinya secara pribadi. Respon individu terhadap pesan yang diterima diubah oleh tatanan psikologinya. Jadi efek dari pesan media massa itu menjadikan tidak seragam, tetapi menjadi beragam”. Jika film itu di teliti secara mendalam, mengenai pesan apa yang sebenarnya di inginkan para sineas film terhadap khalayak, maka pesan itu akan dapat dipahami baik secara teoritis maupun bukti ilmiahnya. Yang memungkinkan bagi para pelaku dan para penikmat film memiliki tujuan dan harapan yang sama atas pesan apa yang sebenarnya
546_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
di lihat dan dinikmati dalam sebuah film, sehingga dapat merubah sedikitnya pada perilaku atau pada kehidupan sosial yang sangat beragam sesuai dengan yang dikehendaki para sineas film tersebut Dewasa ini, banyak karya seni yang hidup. Gambar pun dihidupkan melalui bioskop dan televisi. Hanya saja, seringkali gambar hidup itu mematikan kesadaran religius penontonnya, bahkan kadang menuntut penonton ke kebinasaan. Yang demikian itu, menurut surah al Syams adalah karya yang diilhami oleh kedurhakaan, dan mereka ini sungguh sungguh merugi dan wajar apabila mendapatkan palu godam Ilahi.23 Menciptakan film dakwah yang bermutu adalah sesuatu yang bisa diwujudkan tentu saja filmnya adalah film yang bisa menggambarkan Islam secara utuh, yang merupakan bagian dari syiar Islam Rahmatan lil Alamin. Sukses tidaknya suatu dakwah bukanlah dikukur lewat gelak tawa atau tepuk riuh penonton , bukan pula dengan ratap tangis mereka. Sukses sebuah film dakwah tersebut dapat diukur lewat antara lain, pada bekas (atsar) yang ditinggalkan dalam benak penontonnya ataupun kesan yang terdapat dalam jiwa, yang kemudian tercermin dalam tingkah laku mereka.24
F. Penutup Sebagai penutup dan maka penulis ingin menyimpulkan beberapa hal yang bisa dilakukan dalam berdakwah melalui media film. Hendaknya kaum muslimin tidak bereaksi keras terhadap film film yang menghina Islam, apalagi sampai merugikan Islam itu sendiri dengan mengorbankan nyawa dan harta. Film film yang ada saat ini harus diseleksi jika ingin menontonnya terutama untuk anak-anak sebagai generasi penerus. Dakwah dengan memakai film memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi jika itu maslahatnya lebih banyak, maka sudah barang tentu bisa menjadi pemikiran oleh pemerintah dan ulama. Film yang religius dan bernilai dakwah tentu bisa menjadi propaganda yang positif terhadap Islam. Mungkin lebih baik banyak film yang secara judul
Dakwah dengan Media Film _547
tidak Islami akan tetapi isi dan pesan yang disampaikan adalah dakwah. Daripada film yang judulnya islami tetapi kering dari nilai-nilai dakwah. Kontroversi pada sebuah film tentu akan selalu terjadi, oleh karena itu mari menyikapi secara bijak dan arif.
548_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Anshari. M. Hafi, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: AlIkhlas, 1993 Azhar Arsyad, Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan, 2006 Effendy, Onong Uchjana , Dinamika Komunikasi, Bandung: Rosda Karya, 2002 Gazalba, Sidi, Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan, Jakarta: Tinta Mas, 1976 Masdar, Helmy, Dakwah dalam Alam Pembangunan, Semarang: CV. Toha Putra, 1973 Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana, 2006 Muis, A., Komunikasi Islami, Bandung: Rosda Karya, 2001 Hasjmy, A, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Hoesin, Oemar Amin, Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Sanwar. M. Aminuddin Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Semarang: FD IAIN Walisongo, 1985 Shihab, M. Quraish, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994 _______, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994 Widjaja, A. W., Komunikasi:Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara Ya’kub, Hamzah, Publisistik Islam Seni dan Tehnik Dakwah. Bandung: CV.
Dakwah dengan Media Film _549
Diponegoro, 1973 _______, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung: CV. Diponegoro, 1986 http://www.alkhoirot.net/2012/09/film-innocence-of-muslimsmenghina-islam.html#1 http://202.158.49.14/Cerita-Hiburan/Artikel/Miris--Box-OfficeIndonesia-Terus Menukik.aspx
550_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. http://www.alkhoirot.net/2012/09/film-innocence-of-muslims-menghinaislam.html#1, diakses pada tanggal 25 Oktober 2012
2. Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Bandung: Rosda Karya, 2002, h. 6
3. A. W. Widjaja, Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara, h. 14-15
4. A. W. Widjaja, Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 15 5. A. W. Widjaja, Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 15-16 6. A. Muis, Komunikasi Islami, Bandung: Rosda Karya, 2001, h. 66 7. Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, h. 32 8. A. Muis, Komunikasi Islami, h. 89 9. M. Aminuddin, Sanwar. Pengantar Studi Ilmu Dakwah, Semarang: FD IAIN Walisongo, 1985, h. 3
10. M. Aminuddin, Sanwar. Pengantar Studi Ilmu Dakwah, h. 3 11. M. Hafi Anshari. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h. 11
12. Hamzah Ya’kup, Publisistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung: CV. Diponegoro, 1986, h. 13
13. M. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, h. 146 14. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 235
15. http://202.158.49.14/Cerita-Hiburan/Artikel/Miris--Box-Office-IndonesiaTerus-Menukik.aspx, diakses pada tanggal 31 Oktober 2012
16. A. Hasjmy. Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 274
Dakwah dengan Media Film _551
17. Sidi Gazalba. Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan. Jakarta: Tinta Mas, 1976, h. 173
18. Oemar Amin Hoesin. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 407 19. Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam Seni dan Tehnik Dakwah. Bandung: CV. Diponegoro, 1973, h. 42
20. Helmy Masdar, Dakwah dalam Alam Pembangunan, Semarang: CV. Toha Putra, 1973, h. 19-22
21. Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, Jakarta: Kencana, 2006, h. 62-63, baca juga Azhar Arsyad, Islam masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan, 2006, h. 73 - 108
22. M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994, hlm 318
23. M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, h. 371 24. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, h. 194
Mystical Epistemology in Islamic Philosophy
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam
Hasan Baharun Institut Agama Islam Nurul Jadid PP Paiton Probolinggo Jawa Timur email :
[email protected]
Abstract : The presence of science, technology and culture in the region west to the Islamic world has been accompanied by epistemology. This epistemology can affect lifestyles, thoughts and trends of the Muslims. Moreover, this doctrine can colonize Muslim thought that they comply with the norms, values and concepts of western progress which often conflict with the teachings of Islam. In Islamic thought, the technical term mysticism, called Sufism words and by the western orientalists called Sufism. Unique, Mystical knowledge is knowledge that can not be understood ratio, this knowledge sometimes have empirical evidence but most can not be proven empirically.
Abstraksi : Kehadiran ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya di wilayah barat ke dunia Islam telah disertai dengan epistemologi. Epistemologi ini dapat mempengaruhi gaya hidup, pikiran dan kecenderungan kaum muslimin. Selain itu, doktrin ini dapat menjajah pikiran Muslim bahwa mereka mematuhi norma-norma, nilai-nilai dan konsep
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _553 kemajuan Barat yang sering bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam pemikiran Islam, mistisisme dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme. Sufisme dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha. Keunikan dari pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Keywords : Epistemology, Mysticism, Islamic Philosophy
A. Pendahuluan Mistisisme yang diartikan sebagai sebuah pengetahuan yang tidak rasional, pada kenyataanya dapat menimbulkan objek yang empiris, di mana mistik ini di dalam kehidupan masyarakat sangat melekat sekali, terutama pada masyarakat yang masih primitif, sehingga kehidupn mistik membudaya baik kalangan keagamaan maupun umum, yang akhirnya membentuk sebuah keyakinan adanya kekuatan yang ada pada diri luar manusia. Dengan sifat keingin tahuan itulah sehingga para kalangan yang ahli membentuk teknik-teknik tertentu sebagai alat terwujudnya dan tercapainya sesuatu. Di kalangan masyarakat, mistiklah yang dijadikan media untuk menyelesaikan masalah karena di dalam mistik itu sendiri ada muatan-muatan kekuatan (magis) yang ampuh untuk dijadikan jalan keluar. Terkadang pula, ketentraman jiwa tidak bisa hanya dicapai dengan materi saja, karena banyaknya problem yang dihadapi manusia, sehingga menyebabkan manusia mempunyai qolbu yang tidak sehat. Dengan jalan mistiklah manusia dapat menemukan ketentraman di dalam hidupnya melalui pendekatan Kepada Tuhan. Di kalangan para
554_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
intelektual barat, istilah ini disebut dengan tasawuf (mysticism). Ada pula yang menyebutnya zuhudisme. Pada mulanya istilah mistisisme itu diperkenalkan oleh intelektual barat untuk menyebut fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen yang menurut pemahaman mereka, menekankan pada pengetahuan religius yang diperoleh melalui pengalaman luar biasa atau wahyu suci1. Epistemologi yang berkembang sekarang ini terlalu mengandalkan kekuatan rasio, tanpa sedikitpun memberikan peluang kepada kemungkinan-kemungkinan transenden untuk mempengaruhi prilaku menusia.Di samping rasio, ilmu pengetahuan Barat hanya didasarkan pada fakta. Ilmu modern dibentuk atas dasar fakta empiris dan inderawi saja, tanpa menghiraukan sumbernya, yaitu Allah yang telah memberikan esensi berbagi ilmu sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an2. Padahal yang menjadi pusat kajian dalam epistemologi di samping cara-cara memperoleh pengetahuan, syarat, batas, validitas dan hakekat pengetahuan juga asal mula atau sumber pengetahuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakteristik epistemologi Barat adalah dikotomi antara nilai dan fakta, realitas obyektif dan nilainilai subyektif antara pengamat dan dunia luar yang diamati, antara keadaan-keadaan subyektif dan emosi dan realitas yang terdapat di luar pengamat yaitu realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan penalaran3. Oleh karena itu, garis besar filsafat Barat ditandai oleh desakralisasi4 (penghapusan pengetahuan) atas pengetahuan yang bersifat keTuhanan. Maka, intuisi yang menjadi sarana mambawa manusia kepada Tuhan sebagai “Yang Suci”, sekarang ditinggalkan. Filsafat menjadi benar-benar sekuler, dan alam pun selanjutnya dikosongkan dari keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyeimbang yang mampu menjembatani hal tersebut, yaitu memahami secara epistemologis tentang nilai-nilai spiritual atau mistisisme dalam kajian filsafat Islam, sehingga kita tidak kehilangan ruh keilmuan Islam yang hakiki.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _555
B. Epistemologi dalam Perspektif Filsafat Ilmu Jujun S. Suriasumantri5 mengatakan bahwa setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Berangkat dari hal tersebut, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu6. Apakah obyek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif. Epistemologi berasal dari kata “Episteme”
berarti mendudukan, meletakkan, menempatkan; logos yang berarti ilmu. Epistemologi adalah pengetahuan sebagai upaya menempatkan sesuatu di dalam kedudukan yang setepatnya8. Menurut Paul Edward sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir9, bahwa epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal dapat diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. 7
Sesuai pengertian epistemology di atas, maka epistemologi meliputi ; 1) sumber-sumber ilmu, 2) cara memperoleh ilmu, 3) ruang lingkup ilmu, dan 4) validitas pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas jangkauan metafisika sendiri. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Kendati demikian, menurut P. Hardono Hadi10, kalau kita berani memasuki permasalahan epistemologi, akan tampak betapa
556_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pentingnya suatu upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertanggung jawaban ilmiah. Hal ini penting untuk membedakan hal manakah yang perlu dipercaya, dipegang dan dipertahankan, dan hal manakah yang kiranya cukup ditanggapi dengan sikap “biasa”. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini : Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? Di manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya ?. Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu ? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, kalau ada apakah kita mengetahuinya ? Ini persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat (noumena atau essence). Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid) ? Serta bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah ? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verivikasi11. Semenjak manusia diciptakan, manusia memiliki alat guna memperoleh epistemologi, yaitu ”indera”. Manusia memiliki berbagai macam indera ; indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba. Seandainya manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan semua bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak dahulu kala, dan kemungkinan itu adalah ungkapan yang datangnya dari Aristoteles “barang siapa yang kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu”. Setiap manusia yang kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah satu bentuk epistemologi. Jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta, maka ia tidak mungkin dapat membayangkan warna-warni, berbagai bentuk dan jarak. Kita tidak akan mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu warna, sekalipun dengan menggunakan berbagai macam kalimat dan ungkapan guna mendefinisikan warna itu agar ia dapat mengenalinya. Kita juga tidak akan mampu untuk menjelaskan kepadanya mengenai warna dari suatu benda. Selain alat indera yang dimiliki oleh manusia tersebut, manusia juga masih memerlukan pada satu perkara ataupun beberapa perkara yang lain
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _557
dalam memperoleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan dan penguraian serta adakalanya memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian12. Pemilahan dan penguraian merupakan aktivitas rasio itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada kategorinya masing-masing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan. Begitu juga dengan penyusunan dalam bentuk khusus, dan di sini logika yang bertugas melakukan aktivitas pemilahan dan penyusunan, yang mana hal ini memiliki penjelasan yang panjang. Sebagai contoh, jika kita mengenal berbagai macam permasalahan ilmiah, maka mereka akan mengatakan kepada kita, ”yang itu masuk dalam kategori kuantitas dan yang ini masuk dalam kategori kualitas, dan di sini perubahan kuantitas telah berubah menjadi perubahan kualitas”. Sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerak, alam yang sekarang kita tengah hidup di dalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat indera kita.
C. Hakikat Pengetahuan Mistik Kuntowijoyo telah membagi tiga tingkat evolusi pemikiran manusia yaitu mitos13, ideologi14 dan ilmu15. Beliau menjelaskan bahwa periode mitos berlangsung sebelum dan pada abad ke 19 serta awal abad ke2016. Bahkan hingga saat inipun sebetulnya, mitos maupun mistik17 ternyata masih terus mempengaruhi pemikiran manusia. Bahkan, dapat diasumsikan bahwa sebetulnya mistik tersebut tetap mempengaruhi pemikiran manusia, hingga menjadi bagian dari suatu budaya dan pada akhirnya mempengaruhi aturan hidup manusia18. Dalam filsafat ilmu di kenal dengan istilah mistisisme. Mistisisme, dalam bahasa Inggris mysticism, bahasa Yunani mysterion, dari mystes19 (orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan) atau myein (menutup mata sendiri).
558_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Akar kata mistisisme adalah mistik. Dalam kata mistik terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan akal, harus melalui cara yang luar biasa20. Dalam artinya yang paling luas, mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya atau Cinta21. Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional, ini pengertian yang umum. Adapun pengertian mistik bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh dengan cara meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio22. Secara etimologi, mistik merupakan perkara-perkara ghaib yang hanya difahami oleh minoritas manusia. Apabila dikaitkan dengan agama ialah, pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual23. Pengetahuan mistik merupakan pengetahuan yang terlepas dari rasio dan indra. Pengetahuan mistik tidak dapat difahami rasio karena sasaran dari mistik itu sendiri bukan rasionalitas melainkan keyakinan. Mistik juga tidak bisa dibuktikan secara langsung tetapi harus melalui tahap-tahap yang rumit sehingga bisa dibuktikan secara empiris. Dalam pemikiran Islam mistisisme cenderung disebut dengan kata tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme24 oleh mereka khusus dipakai untuk mistisisme Islam, dan tidak untuk agama-agama yang lain25. Kaum mistik menekankan kedekatannya dengan Allah, dalam arti bahwa hanya Dialah yang sebenar-benarnya ada Terdapat banyak pengertian mengenai mistik, baik berdasarkan kamus Bahasa Indonesia, ilmu antropologi dan filsafat sendiri. Berikut beberapa pengertian mengenai mistik tersebut; 1. Mistik merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan26.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _559
2. Mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama27 3. Mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio28. Mistik bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh dengan cara meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio29. Pengetahuan Mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Namun seiring perkembangan zaman, pengetahuan mistik menjadi terkesampingkan, akibat dari positivisme dan kemajuan ilmu pengetahuan, maka Comte pun menganjurkan pola hidup sekuler dengan cara meninggalkan halhal yang berbau mistik ataupun agama, karena merupakan anakronisme yang harus ditinggalkan. Menurutnya, orang yang masih berpegang pada agama merupakan ciri orang primitif. Mistisisme dipercaya sebagai unsur vital dalam berbagai keyakinan beragama, terutama dalam agama-agama Timur awal, dalam literature Weda, dalam Buddhisme di India dan Cina, dalam Yudaisme (Yahudi), di Yunani, dalam Kristenitas, dan juga dalam Islam, yang mewujud sendiri sejak awal dan membuatnya terasa di Negara-negara Islam, khususnya Mesir, Persia, Turki dan India. Mistisisme bukanlah teoretis melainkan praktis, yang mengajarkan sebuah Jalan Hidup, untuk dipatuhi oleh semua yang akan memenangkan tujuan ini, dan dalam pandangan ini akan ditemukan pola yang sama, di Timur dan Barat. Harus ada terlebih dahulu perubahan dan kedisiplinan untuk membuang hasrat-hasrat diri, yang akan membawa kehidupan abadi ke dalam bentuk yang sesuai dengan sang pencari Tuhan. Setelah itu muncullah kedisiplinan kehidupan batin yang membawa pikiran-
560_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
pikiran dan perasaan serta kehendak ke dalam harmoni kehendak Tuhan yang kekal dan yang membuat kaum mistikus mampu menerima iluminasi Tuhan. Jiwa seseorang mampu menggapai kehidupan dalam Tuhan, tempat jiwa berbagi dalam kehidupan abadi.
D. Epistemologi Mistik dalam Filsafat Islam Objek kajian pengetahuan mistik ialah objek yang abstrak (suprarasional), seperti alam gaib termasuk Tuhan, Malaikat, surga, neraka, jin dan lain-lain30. Ini semua merupakan obyek yang hanya dapat diketahui melalui pengetahuan mistik, karena kesemuanya tidak dapat dipahami oleh rasio. Di dalam Islam, aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme. Pandangan seperti ini diteguhkan oleh Harun Nasution31 yang menyatakan bahwa mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang oleh para orientalis barat disebut dengan sufisme. Dengan demikian kata “sufisme” dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau sufisme adalah sebutan yang bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek mistik (mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha, karena bila disebut tasawuf pasti berkaitan dengan mistik Islam dan tidak untuk agama-agama tersebut. Tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut sejarah orang pertama yang memakai kata sufi adalah seorang Zahid yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak. Adapun etimologi dari kata sufi, teori berikut selalu dikemukakan, yaitu Ahl al-Saffah yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, mereka tinggal di masjid nabi dan tidur diatas batu dengan memakai pelana atau suffah sebagai bantal32. Saf berarti barisan pertama dari shalat berjamaah, sufi berarti suci, sophos
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _561
kata Yunani yang berarti hikmah, dan suf berarti kain wol yang dipaki kaum sufi33. Sedang secara terminologi tasawuf merupakan media untuk mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani34. Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sufi dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang yang berada di serambi masjid dan bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari shufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan bendabenda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan pada aspek bathiniyah. Tasawuf atau mistisisme dalam Islam bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontek komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu dengan Tuhan) demikian menjadi inti persoalan “sufisme” baik pda agama Islam maupun diluarnya35. Selanjutnya, faham mistisisme dalam Islam ini muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang benar-benar berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga kejumudan agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdirtakdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima wahyu Tuhan, melalui
562_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indra-indra atau kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya. Mereka percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah ada dalam dirinya satu bagian dari sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk mencerminkan kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu mempunyai andil dalam kehidupan Tuhan. Tetapi kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya. Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah cinta yang lebih besar dari pada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus telah menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta mereka dalam penyatuan dengan Sang Kekasih. Al-Taftazani telah mengidenfitifkasi beberapa karakteristik umum yang ada dalam tasawuf atau mistisisme36. Menurutnya, tasawuf umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral dan epistemologi, yaitu sebagai berikut : 1. Tasawuf adalah peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa dalam rangka merealisasikan nilai-nilai moral itu. Dengan sendirinya, dalam tasawuf memerlukan latihan-latihan fisikpsikis tertentu, serta pengekangan diri dari materialisme duniawi. 2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Artinya dengan latihan-latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi kejiwaan tertentu, dimana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam Realitas Yang Tertinggi.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _563
3. Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma dalam epistemologis. Apabila dengan filsafat, seseorang memahami realitas dengan metode-metode intelektual. Sementara kalau dia berkeyakinan atas terdapatnya metode lain bagi pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyf atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi atau mistikus. Intuisi menurut para ahli sufi bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba-tiba. 4. Kententraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf atau mistisisme. Sebab tasawuf diniatkan sebagai penunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendirinya, maksud ini membuat sang sufi tersebut terbebas dari rasa takut dan merasa intens dalam kententraman jiwa , serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan . Dalam pandangan para sufi, cara memperoleh pengetahuan mistik disebut juga thariqat37 yang terdiri dari maqam-maqam untuk menggapai Tuhan. Pada umumnya cara untuk memperoleh pengetahuan mistik adalah latihan yang disebut juga riyadhah38. Dari sinilah manusia memperoleh pencerahan yang dalam tradisi tasawuf disebut dengan istilah ma’rifah39. Pengetahuan mistik tidak diperoleh melalui indra ataupun melalui akal. Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Dalam agama samawi, salah satunya agama Islam, cara untuk mendapatkan itu harus dengan cara membersihkan jasmani dan rohani terlebih dahulu. Agar unsur rohani bersih maka harus menghilangkan nafsu jasmani, di antara nafsu jasmani yang paling dominan adalah nafsu kelamin dan nafsu perut. Karena keduanya inilah yang akan menyebabkan banyak orang memasuki siksa Tuhan di akhirat. Kebenaran mistik dapat diukur dengan berbagai macam ukuran. Bila pengetahuan itu berasal dari Tuhan, maka ukuran kebenarannya adalah
564_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
teks Tuhan yang memnyebutkan hal itu. Tuhan mengatakan dalam AlQur’an bahwa surge dan neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi bukti bahwa pernyataan itu benar. Ada kalanya ukuran akan kebenaran pengetahuan mistik itu adalah kepercayaan. Jadi sesuatu akan dianggap benar karena kita mempercayai akan hal tersebut. Kita percaya bahwa jin dapat disuruh oleh kita untuk melakukan suatu pekerjaan, maka kepercayaan itulah yang akan menjadi kepercayaannya. Adapun kebenaran suatu teori dalam pengetahuan mistik diukur dengan bukti empirik dalam hal ini maka bukti empiriklah yang menjadi ukuran kebenarannya. Pengalaman mistik (mystical experience) hendaknya dipahami bukan semata sebagai “fenomena kebahasaan”—misalnya dengan memfokuskan pandangan kita terhadap “ungkapan-ungkapan” pengalaman mistik— tetapi juga “fenomena keagamaan” khususnya pengalaman keagamaan (religious experiences). Karena itu, memahami bangunan epistemologi pengalaman keagamaan, khususnya pengalaman mistik, merupakan suatu hal yang niscaya. Sebab dengan cara itu, seseorang dapat lebih arif mendudukkan problem bahasa mistik secara proporsional. Dalam tradisi pemikiran Islam, setidaknya dikenal tiga betuk epistemologi keilmuan sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Abid al-Jabiri40: bayani, irfani dan burhani. Pola pikir bayani lebih mengutamakan qiyas (qiyas al-‘illah untuk fikih dan qiyas al-dalalah untuk kalam) dan bukannya manthiq lewat silogisme dan premis-premis logika. Karena itu tidak mengherankan jika corak pemikiran ini lebih mengutamakan epistemologi tekstual-lughawiyah. Sementara untuk pola epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi (intuition) dan bukannya pada teks. Dengan kata lain, jika sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah “teks” (wahyu), maka sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi ‘irfani adalah “direct experience” atau pengalaman langsung. Pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah pengalaman batin yang amat mendalam,
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _565
otentik, fitri, dan hampir-hampir “tak terdeteksi” oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa. Epistemologi ‘irfani merupakan sistem filsafat yang dikembang oleh para sufis yang dipengaruhi di mana intuisi memegang peran penting dalam menggapai kebenaran dan memperoleh ilmu. Akal pada ketika ini, menurut Jabiri, menjadi pensiun (al-‘aql almustaqil). Sistem ini disebut Jabiri sebagai alla ma’qul ‘aqli. Menutunya lagi sistem ini dianut oleh pemikir seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Shi’ah Isma’iliyyah, dan al-imamiyyah. Bagi Jabiri sistem inilah yang menjadi biang kedok kejumudan Islam. Berbeda dengan dua corak epistemologi sebelumnya, corak epistemologi Burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’ baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang lahir dari tradisi Burhani disebut sebagai al-‘Ilm al-Hushûli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premispremis logika atau al-manthiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf maupun otoritas intuisi. Tipologi sistem ini tidak berpegang pada nash semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya Ibn Rusyd dan eksperimen-nya Ibn Khaldun. Sesungguhnya, katanya lagi, inilah yang membuat barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat telah dengan jitu mengaplikasikan semangat rasionalisme Jabiri dan emperisismenya dalam sistem peradaban mereka. Oleh sebab itu, lanjutnya, kalau kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita harus dapat mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga ekmperisisme. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya41. Dari tiga corak epistemologi sebagaimana digambarkan di atas tampak jelas bahwa pengalaman mistik di bangun di atas epistemologi ‘irfani yang berparadigma intuisi-batin. Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi42.
566_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
E. Kesimpulan Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal dapat diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan Kajian dalam pistemology meliputi (1) sumber-sumber ilmu, (2) cara memperoleh ilmu, (3) ruang lingkpup ilmu, dan (4) validitas pengetahuan. Dalam hal bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar ? dalam kajian filsafat muncul beberapa aliran besar yang menjawab pertanyaan ini. lima diantaranya sebagai berikut, pertama, rasionalisme, kedua, empirisme. Ketiga, intiusionisme, keempat, skeptisme, kelima, kritisme. Mistik merupakan perkara-perkara ghaib yang hanya difahami oleh minoritas manusia. Adapun bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual dan cenderung terlepas dari rasio dan indra. Obyek dari pengetahuan mistik adalah abstrak-supra-rasional, seperti alam gaib termasuk Tuhan, malaikat, surga, jin dan lain-lain. Ini semua merupakan obyek yang hanya dapat diketahui melalui pengetahuan mistik, karena kesemuanya tidak dapat dipahami oleh rasio. Pengetahuan mistik tidak diperoleh melalui indra ataupun melalui akal. Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Dalam pandangan para sufi, cara memperoleh pengetahuan mistik disebut juga thariqat yang terdiri dari maqam-maqam untuk menggapai Tuhan. Pada umumnya cara untuk memperoleh pengetahuan mistik adalah latihan yang disebut juga riyadhah.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _567
Daftar Pustaka
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1994. Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ akl-Ghanimi, Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islam, Edisi Indonesia: Sufi dari Zaman ke Zaman. Alih bahasa Ahmad Rafi’ Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996. Budianto, Moch. Agus Krisno, Hand Out Filsafat Ilmu. Malang: PPS Univ. Muhammadiyah, 2004. Hadi, P. Hardono, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hornby, A.S.. A Leaner’s Dictionary of Current English. dalam Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1957. http://kommabogor.wordpress.com/2008/01/13/al-jabiri-dan-kritiknalar-arab/. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2013 King, Richard, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Qalam, 2001. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT.Dian Rakyat, 1980. Kuntowijoyo. Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan, Harian Republika, 27 Agustus 2001. Musa, Asy’ari, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir). Yogyakarta: LEFSI, 2001. Mustofa, Achamd, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Muthahhari, Murtadha, Basritama, 2001.
Mengenal
Epistemologi.
Jakarta:
Lentera
MZ, Labib, Memahami Ajaran Tasawuf. Surabaya: Bintang Pelajar, 2001. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1999. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1993.
568_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Prasetya, Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Saefudin, A. M., Filsafat Ilmu dan Metodologi Keilmuan. Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Sardar, Ziauddin, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan, 1993. Schimmel, Annemrie, Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Syah, Muhammad Aunul Abied, dkk., Mosaik Pemikiran Islam Timur Engah. Bandung: Mizan, 2001. Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Jakarta: Garifndo Persada, 1998. ______, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung: Rosda Karya. 2001. ______, Filsafat Ilmu. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004. Titus, Harold H., Persoalan-persoalan Filsafat. (penerjemah M. Rasyidi). Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Umar, Barmawi, Sistimatik Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1994.
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _569
Endnotes
1. Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Qalam, 2001. h. 1
2. A. M. Saefudin, Filsafat Ilmu dan Metodologi Keilmuan. Jakarta: Bumi Aksara, 1999. h. 35.
3. Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Bandung: Mizan, 1993. h. 41.
4. Pius A.Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1993. h. 104.
5. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. h. 105.
6. Musa Asy’ari, Filsafat Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir). Yogyakarta: LEFSI, 2001. h. 65.
7. Prasetya, Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2002. h. 143 8. Moch. Agus Krisno Budianto, Hand Out Filsafat Ilmu. Malang: PPS Univ. Muhammadiyah, 2004. h. 1.
9. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : Rosda Karya. 2001. h. 23 .
10. P. Hardono Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta : Kanisius. 1994. h. 6-7.
11. Harold H. Titus, Persoalan-persoalan Filsafat. (penerjemah M. Rasyidi). Jakarta: Bulan Bintang, 1984. h. 187-188.
12. Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera Basritama, 2001. h.52-53.
13. Mitos merupakan cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa
lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional. Lihat : http://id.wikipedia.org/ wiki/Mitos
14. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Ideologi merupakan kumpulan
ide atau gagasan atau aqidah ‘aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Lihat : http:// id.wikipedia.org/wiki/Ideologi
15. Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
570_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013 menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Lihat : http://id.wikipedia. org/wiki/Ilmu
16. Lihat : Kuntowijoyo. Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan, Harian Republika, 27 Agustus 2001.
17. Mistik dapat juga dibedakan dari mitos, karena mitos merupakan cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam manusia dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.
18. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer... h. 20-22. 19. Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996. h. 653. 20. A.S. Hornby, 1957. A Leaner’s Dictionary of Current English. dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. h. 112
21. Annemrie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. h. 1-2
22. A.S. Hornby. A Leaner’s Dictionary of Current English... h. 828 23. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Jakarta: Garifndo Persada, 1998. h. 30.
24. Tasawuf atau sufisme merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, dipelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
25. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1999. h. 53.
26. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT.Dian Rakyat, 1980. h. 269.
27. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam... h. 2 28. Ahmad Tafsir. 1998. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Jakarta : Garifndo Persada. h. 112
29. 30. 31. 32. 33. 34.
A.S. Hornby. A Leaner’s Dictionary of Current English.... h. 828 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. h. 118 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam... h. 56 Labib MZ., Memahami Ajaran Tasawuf. Surabaya: Bintang Pelajar, 2001. h. 11 Barmawi Umar, Sistimatiak Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1994. h. 13 Abu Bakar Aceh,1994. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo : Ramadhani. h. 28
Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam _571
35. Achamd Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2007. h. 206 36. Abu al-Wafa’ akl-Ghanimi Al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islam, Edisi Indonesia : Sufi dari Zaman ke Zaman. Alih bahasa Ahmad Rafi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985. h. 4 - 5
37. Thariqat merupakan Ilmu untuk mengetahui hal ihwalnya nafsu dan sifat-
sifatnya, mana yang tercela kumudian dijauhi dan ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian diamalkan
38. Riyadhah merupakan latihan Penyempurnaan diri secara terus menerus melalui zikir dan pendekatan diri yang datangnya dari Allah SWT ditujukan kepada Hamba-Nya
39. Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
40. Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun
1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan.
41. Lihat : http://kommabogor.wordpress.com/2008/01/13/al-jabiri-dan-kritiknalar-arab/. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2013
42. Muhammad Aunul Abied Syah, dkk., Mosaik Pemikiran Islam Timur Engah. Bandung: Mizan, 2001. h. 319-320.
Neo Sufisme and Sufi Resistance Movement
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi
Ikhwanul Mu’minin Indonesia Youth Forum (IYF) email :
[email protected]
Abstract : In the classical period, Sufism teachings was focussed on evoiding the world and everything in it. The world, according to the teachings of Sufism, was no longer important, because the purpose of man is God, only God. So, this teaching make the followers hate the world. Therefore, the teachings were considered incompatible with the al-Quran and Hadith. The Sufism approach in this period inevitably led to a reaction from groups that want to implement the teachings of Islam according alQuran and Hadith. Thus, rise Neo-Sufism, the Sufism which renew themselves, to take the teachings of Al-Quran and Hadith, by staying positive to the world. Abstraksi : Dalam periode klasik, ajaran tasawuf banyak menitikberatkan pada sikap menjauhi dunia beserta segala isinya. Dunia menurut ajaran sufisme periode ini tidak lagi penting, karena tujuan sejati manusia adalah Tuhan. Sehingga, ajaran semacam ini membuat para pengikut tasawuf membenci dunia. Karena itu, ajaran mereka kerap dianggap tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis. Pendekatan tasawuf pada periode ini tak pelak memunculkan reaksi dari kelompok yang ingin melaksanakan ajaran
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _573 islam sesuai al-Quran dan Hadis. Maka, lahirlah apa yang disebut Neo-Sufisme, yaitu sufisme yang memperbaharui diri, dengan mengambil ajaran dari al-Quran dan Hadis, dengan tetap berpandanga positif terhadap duniawi. Keywords: Sufism, Neo-Sufisme, Teaching
A. Pendahuluan Pada periode klasik, orientasi tasawuf banyak menitikberatkan pada sikap menjauhi dunia beserta segala artibutnya (zuhd), dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan. Oleh karena itu, dalam upaya menjauhi dunia seorang sâlik (pelaku tawasuf) rela berpenampilan amat sederhana, dengan memakai pakaian yang sering dipakai gembel, pengemis, atau gelandangan. Dan diantara mereka rela mengasingkan dari kehidupan banyak orang. Sikap ini di satu sisi merupakan respon terhadap penguasa Islam waktu itu yang hidupnya bermewah-mewahan dan sangat jauh dari ajaran Islam. Selain itu juga dianggap sebagai ajaran Rasulullah Saw, yang sangat menekankan kesederhanaan. Rasulullah senantiasa bergaul dengan para sahabat, semisal Abu Hurairah dan sahabat-sahabat yang bermukim di emperan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahl Shuffah.1 Pola hidup sederhana yang dilakukan Rasulullah yang lain semisal menambal sendiri pakaiannya yang robek serta mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar. Oleh karena itu, terminologi tasawuf –dengan melihat para periode awal ini—senantiasa didefinisikan sebagai sikap zuhd atau menjauhi dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Terminologi tasawuf juga dinilai seakar dengan kata suf2 yang artinya baju wol, sebuah baju ‘kebanggaan’ para sufi, yang menandakan kesederhanaan, sekaligus simbol menjauhi duniawi. Suf atau baju wol merupakan pakaian mereka yang berasal dari strata paling rendah, seperti gelandangan, pengemis, tunawisma.
574_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Diantara tokoh Sufi penganjur menjauhi dunia beserta atributnya adalah Rabiah al-‘Adawiah (w. 185 H). Sufi wanita asal Bashrah ini dalam sejarahnya memilih mengasingkan diri dari gemerlap duniawi karena rasa cintanya yang besar kepada Tuhan. Bagi Rabi’ah, Tuhan merupakan tujuan utama, sehingga selain Tuhan tidak ada apa-apanya (nothing), tidak penting. Beberapa kali para hartawan yang bersimpati padanya mencoba menawarinya harta, sekedar untuk membantunya melawan kesulitan hidup, namun semua tawaran itu ditolaknya. Selain Rabi’ah al’Adawiyah, dalam khasanah tasawuf ada tokoh seperti Abu Yazid al-Bustami. Ia memiliki konsep al-Ittihâd, yaitu persatuan dengan Tuhan melalui fanâ’, yakni meleburnya sifat kemanusiaan manusia (nasut) ke dalam sifat ilahiyah sehingga terjadi penyatuan dengan Tuhan. Dalam konsep ini, manusia memiliki kemampuan transformasi transendental (mi'râj) ke alam Tuhan. Selain konsep di atas, lahir pula apa yang disebut wahdah al-wujûd. Yaitu bahwa alam dan isinya dipandang sebagai penampakan dari asma dan sifat Tuhan, yang sebenarnaya adalah zat-Nya. Konsepsi yang ditawarkan para tokoh Sufi seperti di atas mengundang reaksi kelompok lain yang menginginkan aktualiasasi nilai-nilai Islam yang ‘sebenarnya’. Ajaran kaum Sufi yang banyak dipengaruhi oleh filsafat, yang penuh mistik dan eskapik, pada gilirannya dianggap menyimpang dari koridor ajaran agama Islam yang sesungguhnya. Penganut tasawuf tidak lagi memandang dunia dengan pandangan positif, karena dunia dianggap tidak penting lagi. Maka, dalam perkembangannya, muncullah dua kubu yang bersebarangan; kubu sufi di satu sisi dan ortodoks di sisi lain. Neo-Sufisme muncul untuk menjembatani dua kubu. Karena di satu sisi dunia sufisme klasik tidak mungkin dibendung, dan di sisi lain semangat ortodoks yang menggebu menjalankan ajaran Islam yang ‘sebenarnya’ pun tak kalah kuatnya. Neo-Sufisme adalah sufisme yang mencoba mengembalikan ajaran tasawuf kembali ke ajaran agama,
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _575
dengan mengacu pada dua asas fundamental; al-Qur’an dan Hadis, sembari berpandangan positif terhadap dunia. Adapun gerakan-gerakan yang cenderung menggunakan pendekatan Neo-Sufisme adalah gerakan yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Sirhindi, Syaikh Waliyullah (India), Syaikh Yusuf al-Maqassari, ‘Abdurra’uf as-Sinkili (Indonesia), gerakan Idrisiyyah, Tijaniyyah, Sanusiyyah (Afrika) dan lain-lain. Tentu saja dari sekian gerakan Neo-Sufisme terdapat perbedaanperbedaan dari masing-masing. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba memfokuskan pada Tarekat Sanusiyah yang berada di Afrika Utara. Penulis merasa tertantang menuliskannya, sebab diantara sekian banyak tarekat, hanya Tarekat Sanusiyyah yang terdepan dalam mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Terbukti lewat perlawanan mereka (pengikut tarekat Sanusiyyah), Prancis, Italia, serta Inggris merasa kewalahan, sampai tertangkapnya Omar Mochtar, pejuang tarekat ini. Selain itu, ada sedikit catatan, bahwa perjuangan perlawanan di Indonesia, khususnya pada Perang Paderi dan perang Diponegoro, ada kemungkinan disenyawai oleh taerkat ini.
B. Pengertian dan Sejarah Munculnya Neo-Sufisme Istilah Neo Sufisme sebenarnya masih tergolong baru.3 Adalah Fazlur Rahman, pemikir Islam kontemporer yang mula-mula memperkenalkannya. Menurut Rahman, Neo-Sufisme adalah sufisme yang diperbaruhi pada garis-garis ortodoks dan ditafsirkan dalam artian aktivis.4 Sementara Azyumardi Azra mendefinisikan NeoSufisme sebagai perubahan dari sufisme abad pertengahan yang berbau panteisme dan menolak dunia, menjadi sufisme dengan organisme dan struktur yang penuh aktivisme, yang memiliki sikap positif terhadap dunia, baik dalam kerangka politik, moral, mapun sipirtual.5 Lahirnya Neo-Sufisme tidak bisa lepas dari dua faktor yang melatar belakanginya. Pertama, faktor internal perkembangan sufisme itu sendiri.
576_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Maksudnya, dinamika yang terjadi di dunia sufisme sejak permulaannya, biasanya diidentikkan dengan para zâhid, yang hidupnya di sekeliling masjid sampai masuknya pengaruh asing,6 sehingga tasawuf dicurigai menyimpang dari ajaran semula—ajaran Nabi dan Sahabat—yang pada fase berikutnya timbul reaksi keras dengan hadirnya munculnya gerakan kembali kepada syariat. Kedua, faktor eksternal. Ini meliputi keadaan global yang terjadi pada dunia Islam, termasuk di dalamnya lemahnya pengaruh politik penguasa-penguasa Islam dan banyaknya wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke kolonial Barat. Sebagaimana kita ketahui, pada masa kecemerlangan tasawuf, perhatian utama kaum sufi tertuju pada aspek asketik-metafisik. Pada masa itu, tampillah tokoh-tokoh besar yang pandangannya sangat mempengaruhi dunia sufisme, seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, Junaid alBaghdadi, dan Abu Yazid al-Bustami. Agama dalam pandangan mereka dimaknai sebagai urusan mistik keruhanian, sebagaimana yang terlihat pada kasus Rabiah al’Adawiyah. Sufi wanita asal Basrah ini akhirnya menjadi penganjur ajaran mistik dalam Islam, yakni terbukanya tabir penyekat alam gaib, sehingga sang sufi mampu menatap dan berhubungan dengan dunia gaib dan Zat Tuhan.7 Seperti terlihat dalam syarinya:
احبك حبني حب اهلوى * وحبا النك اهل لداك فاما الدي هو حب اهلوى * فشغلى بدكرك عمن سواكا واما الدي انت اهل له * فكشفك ىل احلجب حىت اراكا فال احلمد ىف دا او داك ىل * ولكن لك احلمد ىف دا وداك
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _577
Aku mencintaimu dengan dua cinta Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugerah-Mu Adapun cinta dari kerinduanku Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu daripada selain Kamu Adapun cinta yang darianeugerah-Mu adalah anugerah-Membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu Tidak ada puji untuk ini dan itu bagiku Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan itu. Cinta yang teramat dalam kepada Tuhan (al-Hubba ila Allâh) mendorongnya melakukan pengasingan diri dari urusan duniawi (uzlah).8 Banyak kerabat serta penguasa yang bersimpati padanya menawarinya dengan memberi harta, dan membantunya dalam urusan dunia, namun tawaran itu ia tolak. Al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf alMahjub menceritakan: Suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata keapda Rabi’ah, “Mintalah kepada segala kebutuhanmu” Rabi’ah menjawab, “Aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka, bagaimana aku bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya.” Tuhan menjadi tujuan utama dalam ajaran Rabi’ah al-Adawiyah. Selain Tuhan tidak berguna dan tidak ada apa-apanya (nothing). Dunia beserta segala isinya—selain Tuhan—hanyalah penghalang (hijâb) yang mengotori hati manusia. Oleh karena ini, manusia yang berharap bertatap muka dengan Tuhan disyaratkan melakukan laku fakir (maqâm faqr), yaitu tangan tidak memiliki apa-apa dan hati kosong tak butuh apa-apa selain Allah. Pada tahap lebih lanjut, tujuan sufi seperti yang ditafsirkan oleh Abu Yazid al-Bustami yaitu apa yang disebut penyatuan (al-Ittihâd) melalui fanâ’, yaitu meleburnya sifat kemanusiaan (nasut) ke dalam sifat ilahiyah
578_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
sehingga terjadi penyatuan dengan Tuhan.Ajaran ini sekaligus menegaskan bahwa manusia mampu melakukan transendensi (mi’râj) ke alamTuhan.9 Meskipun konsep al-ittihâd menuai penolakan, karena dianggap tidak murni sebagai ajaran Islam, pada perkembangannya konsep ini justru semakin diperbaharui, khususnya setelah abad ke 4 H., dimana pengaruh filsafat begitu besar. Perhatiaan sufisme mengarah pada konsep pencerahan hubungan alam dengan ke-esa-an Tuhan. Alam dianggap sebagai penampakan dari asma dan sifatTuhan.Tuhan yang mutlak menampakkan dalam keterbatasan yang empiris yang kemudian disebut sebagai wahdah al-wujûd.10 Perkermbangan tasawuf yang mistik-eskapis di atas, pada gilirannya mendorong kelompok lain yang beusaha mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ‘sebenarnya’, mencari formula-formula baru untuk menjembatani ketegangan yang terjadi. Kelompok yang dikenal dengan sufisme ortodoks ini bertujuan menghidupkan warisan kesalehan sufi terdahulu, yakni para sahabat dan generasi sesudahnya (ihya atsar as-salaf). Tokoh yang cukup menonjol dalam kelompok ini yaitu Harits al-Muhasibi.11 Kemudian dilanjutkan oleh al-Kharraj dan al-Junaidi dengan tawarantawaran yang kompromistis antara sufisme dan kelompok ortodoks (kaum salafiyah). Salah satu hasil dari kelompok ini yaitu diperkenalkannya konsep baqâ’ untuk mengimbangi konsep fanâ’. Konsep ini diperkenalkan oleh al-Kharraj untuk memperbaiki dan memperluas doktrin fanâ’. Sementara dalam fanâ’ memusnahkan (kekurangan-kekurangan manusiawi) maka dalam baqâ’ manusia akan terus hidup bersama Tuhan.12 Sambutan baik mengalir dari banyak tokoh terhadap upaya ‘mengompromikan’ antara sufisme dan ortodoks ini. Banyak penulispenulis dengan tipologi ini lahir yang karyanyanya dapat kita telaah, seperti Sarraj dengan al-Luma’, al-Kalabazi dengan al-Ta`âruf li Madzhab Ahli at-Tasawuf, dan al-Qusyairi dengan al-Risâlah al-Qusyairiyyah. Gerakan ini mencapai puncaknya pada abad ke-5 Hijiryah dengan
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _579
tokohnya yang sangat monumental al-Ghazali (w.503 H). Al-Qusyayri (w. 1071 M), salah seorang reformis sufisme menganjurkan agar kaum muslimin meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menganjurkan memperguankan waktu sebaik-baiknya. Selain itu, kaum muslimin harus mengoptimalkan fungsi kekhalifahannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah. Menurutnya, sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan diri dari masyarakat, tetapi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakuan amar ma`ruf nahî munkar demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Sufisme-ortodoks mencapai puncaknya pada abad ke-5 H. melalui tokoh monumentalnya al-Ghazali. Al-Ghazali merumuskan suatu konsepsi yang diharapkan mampu menampung aspirasi kedua belah pihak –kaum sufi dan ortodoks. Jika pada kesalehan asketis (zuhd) awal, fokus utama terletak pada aspek esoterik, sebagai reaksi terhadap pemahaman ekternal hukum, maka al-Ghazali merumuskan konsep al-Ma’rifah. Istilah ini mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui penjelajahan batin atau eksperimen batin, yang secara tegas dipertentangkan dengan pengetahuan intelektual seperti teologi dialektis. Konsep ini bukan menentang teologi, tetapi ia menentang perumusan teologi yang dilakukan secara rasional-dialektik. Kemudian, konsep ma’rifat yang sufisme ini dikawinkan dengan kebenaran syariah (lahiriah) kemudian lahir hakikat. Menuurt alGhazali, kebenaran yang imani tidak mungkin diperoleh melalui pemikiran filosofis. Kebenaran yang imani hanya bisa diperoleh melalui kehidupan batiniah. Selain itu, menurutnya, sufisme tidak memiliki muatan (objek kognitif) selain Islam dan iman tauhid. Selanjutnya ia menegaskan, bahwa sufisme bukanlah suatu cara memperoleh faktafakta ektsra mengenai realita, melainkan cara untuk memandanganya sebagai suatu kesatuan.13 Upaya menjembatani dua kubu yang berbeda ini mendapatkan tempat terhormat. Salah satu komentarnya yang menjembatani perbedaan
580_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
antara dua kubu—lahiriah dan bainaiatya—yaitu dalam menanggapi konsep fanâ’. Ia mengatakan, “Ucapan ekstatik (orang sedang fanâ’) berasal dari orang ‘ârif yang sedang dalam kondisi sakr (terkesima).” Menurutnya, setelah sadar mereka menegaskan bahwa kesatuan dengan Tuhan bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan majazi atau kesatuan simbolik.14 Pendekatan al-Gahzali ini memberi ruang terbuka terhadap kedua kubu (sufisme dan ortodoks) untuk menjalankan kepercayaan mereka tanpa merasa saling curiga. Bagi kaum ortodoks, konsep al-Ghazali memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip bahwa Allah dan alam cipataan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin saling bersatu. Di pihak lain memberi kelonggaran kepada sufi untuk memasuki pengalaman kesufian puncak tanpa kahawatir dituduh kafir atau zindiq. Namun, sepeninggal al-Ghazali, relasi antara ortodoks dengan sufisme kian kompleks. Dan hubungan itu kembali menegang ketika sayap kanan kaum ortodoks senantiasa curiga terhadap masuknya sufisme sebagai way of life ke dalam Islam. Sayap kanan ini adalah pengikut Hanbali dan ahli Hadis. Kaum Hanbali selalu mencurigai spekulasi yang tidak terkontrol, akibat pengaruh dari filsafat rasional. Karena itu kaum Hanbali menjadi musuh para sufisme spekulatif, karena menurut kaum Hanbali dan sufisme ekstatik adalah terkutuk. Tetapi setelah gerakan Sufi menguasai dunia selama abad ke-6 H/12 M. dan abad ke-7 H/13 M., secara emosional, spiritual dan intelektual, kaum tradisionalis menyadari bahwa tidak mungkin mengabaikan kekuatan-kekuatan Sufi seluruhnya. Dalam bidang metodologi, mereka mencoba menggabungkan sebanyak mungkin warisan sufi yang dapat didamaikan dengan Islam ortodoks dan dapat diproses untuk menghasilkan sumbangan yang positif terhadapnya.15 Pertama-tama motif moral sufisme ditekankan dan sebagian dari teknik zikir atau muraqabahnya atau konstrenasi’ spiritualnya diterima.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _581
tetapi objek dan kandungan konsentrasi ini diidentikkan dengan doktrin ortodoks dan tujuanya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman kepada ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa. Jenis inilah yang dikenal dengan sebutan Neo-Sufisme, yaitu gerakan yang memandang dunia dengan sikap positif. Tokoh gerakan ini yaitu Ibn Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah. Gerakan ini memberi warna baru pada tubuh sufisme, yang semula menitikberatkan segi esoterik an sich menajdi sufisme yang orientasinya ajaran Nabi. Gerakan ini kian nyata dengan diproklamirkan Tariqa Muhammadiyah (Muhammadan Way) yang ide dasarnya bertolak belakang dengan sufisme falsafi-theosofi—yang mengajarkan persatuan dengan Tuhan—yakni mengajarkan suatu persatuan dengan ruh Nabi Muhammad sebagai tujuan satu-satunuya Sufi yang sah. Secara garis besar perkembangan tasawuf dapat kita kelompokkan dalam lima periode: 1. Periode pertama (abad 1-2 H./7-8 M.) Periode ini bisa kita sebut sebagai lahirnya kelompok zuhud. Pada periode ini banyak kelompok yang berlaku faqir yang biasa tinggal di emperan masjid. Sikap mereka yang mengenaskan ini sebagai perlawanan terhadap kehidupan bermewah-mewahan yang dipraktikkan oleh penguasa dan pembesar pemerintahan. Tokohnya adalah Sufyan ast-Tsauri, Hasan al-Bashri, dan Rabi’ah al ‘Adawiyah. 2. Periode kedua (abad 3-4 H./9-10 M.) Periode ini adalah periode pembentukan disiplin tasawuf. Pada periode ini para ulama Sufi mulai menyusun pengetahuan psikomoral keagamaan mereka. Sebagaimana fiqih, mereka mempunyai objek, terminologi, dan metodologinya yang berbeda dengan disiplin fiqih atau kalam; kesalehan asketik mereka kembangkan untuk mengimbangi formaslisme fiqih dan doktrin makrifat sebagai pengimbang pengetahuan rasional ilmu kalam. Tokoh dalam periode ini adalah al-Qusyayri, al-Sarraj, al-Hallaj, Bayazid al-Bustami
582_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
3. Periode pelembagaan organisasi tarekat. Periode ini adalah periode pelembagaan organisasi tarekat. Pada periode ini para murid tarekat melakukan perkumpulan yang mulanya longgar, kemudian lama kelamaan berkembang membentuk “persaudaraan” yang terorganisir. Kemudian Guru (Syaikh, Mursyid, Pir) menjadi pusat masyarakat sufi, tempat mereka hidup bersama atau bergabung setiap ada kegiatan ilmiah atau spiritual. Di sana mereka menjelma keluarga besar yang seluruh anggotanya menganggap diri masing-masing saudara (ikhwân) bagi lainnya, dan merasa berkewajiban saling berbagi atas semua karunia yang diterima. Contoh tarekat-tarekat pada masa ini adalah tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada ‘Abdul Qadir Jailani (470-561 H./1077-1166 M.) di Irak. Tarekat Rifa’iyah yang dinisbatkan kepada Ahmad arRifa’i (w.578 H./1182 M.) di Basrah. Tarekat Kubrawiyah didirikan Najmuddin al-Kubra (540-618 H.) di Persia. Tarekat Suhrawardiyah didikan oleh Abu Najib as-Suhrawardi (490-563 H.) dan Syihabudin Abu Hafsah ‘Umar as-Suhrawiyah (539-632 H.) di Baghdad. Tarekat Chistiyah didiriikan oleh Muinuddin Chisti (633 H./1236 M.) di India. Tarekat Maulawiyah dibangun oleh Jalaluddin Rumi (604-672 H./1207-1273 M.) di Turki.16 4. Periode keempat (abad 8-11 H./14-17 M.) Pada periode ini tasawuf klasik mengalami kemunduran. Diantara faktornya adalah para sufi hanya mampu menghasilkan karya-karya berbentuk ikhtisar (mukhtashar) atau komentar (hasyiah) atas karyakarya pendahulu mereka, sementara para pengikutnya berangsurangsur mengalami formalisasi, berlebih-lebihan dan kejumudan. Mereka lebih mementingkan penghormatan terhadap guru ketimbang menekuni substansi ajaran syariah, sehingga muncul gerakan pengultusan dan pengeramatan terhadap makam para wali. Hal inilah yang di kemudian hari mendorong lahirnya gerakan puritanistik yang mengajak kelompok ortodoks untuk ‘mengislamkan kembali’
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _583
pengikut-pengikut baru Islam yang dihasilkan oleh tasawuf/tarekat seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi. Selain itu dunia Islam mengalami kemunduran akibat ekspansi Barat dengan Kristennya. 5. Periode kelima (abad 12-...H/18-...M) Periode ini melahirkan sufisme jenis baru yang disebut Rahman sebagai Neo-Sufisme. Pada periode ini ketegangan antara kelompok ortodoks dengan kaum sufi menjadi cair, karena adanya musuh yang sama, yaitu Kristen Eropa. Hasil dari perkawinan itulah lahirlah NeoSufisme, yaitu sufisme yang sudah direnovasi dan diterjemahkan dalam artian aktivis dan puritanistik. Ciri Neo-Sufisme adalah kesejajarannya dengan doktrin salafi dan sikapnya yang positif terhadap dunia dan masyarakat. Tokoh-tokohny adalah Ibn Taimiyyah, Syaikh Ahmad Sirhindi, dan Ahmad bin Idris.
C. Tarekat Sanusiyyah dan Sejarah Perlawanan Kaum Sufi Dalam mengkaji Neo-Sufisme, nama Tarekat Sanusiah tidak dapat abaikan begitu saja. Hal itu mengingat Tarekat Sanusiah memiliki catatan tersendiri sebagai tarekat yang mereorientasi dari tasawuf yang konsentrasinya akhirat semata kepada tasawuf yang menyeimbangakan antara dunia dan akhirat. Juga, dan ini penting, tarekat ini tercatat dalam sejarah sebagai penggerak perlawanan terhadap Kolonial Barat yang menjajah wilayah Afrika Utara waktu itu. Didirikan oleh Sayyid Muhammad Ibn ‘Ali as-Sanusi (1787-1859 M./1202-1276 H.), yang bergelar Sanusi yang Agung (as-Sanusi al-kabir), tarekat ini memiliki kedekatan pemikiran dengan gerakan Idrisiyah yang diprakarsai Ahmad bin Idris. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Ahmad bin Idris merupakan guru spiritual dari as-Sanusi, tokoh yang menyeru pembaharuan di Afrika. Pembaharuan Ahmad bin Idris terlihat dari penolakannya terhadap qiyâs (analog), sebagaimana yang dilakukan kaum Wahabi, meskipun keduanya dalam banyak hal berbeda—Wahabi
584_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
tidak pernah suka terhadap tasawuf, sementara Ahmad bin Idris justru sebaliknya. Selain itu, Ahmad bin Idris menolak ide persatuan dengan Tuhan, dan menawarkan persatuan dengan ruh Muhammad. Sama seperti ajaran gerakan Idrisiyyah, ajaran tarekat Sanusiyyah mengedepankan kembali ke al-Qur’an dan hadis dengan memendang positif duniawi. Untuk mencapai tingkat kematangan spiritual, Tarekat Sanusiah tidak menganjurkan sikap menjauhi duniawi; berkonsepsi tentang persatuan dengan tuhan atau yang sejenisnya, sebagaimana konsep ittihâd ataupun wihdah al-wujûd. Tarekat ini justru merespon problematika kehidupan yang terjadi di sekelingnya, sembari tidak kehilangan semangat tasawuf, sebagai jalan menuju Allah. Dari kitab-kitab yang dikarang oleh as-Sanusi, terlihat bahwa tarekat ini sangat konsisten mengajak kepada pembaharuan, yaitu dengan mengajak kembali kepada al-Quran dan hadis serta menekankan arti pentingnya ijtihâd. Karya-karya as-Sanusi diantaranya: al-Salsabil alMuin fi al-Tharâ’iq al-Arba’in, Bughyah al-Maqâshid fi Khulâshah al-marâsid (al-Masâ’il al-Asyar al-Sanûsî), dan Iqads al-wasnan fi al-A’mal bi al-Hadîts wa al-Qur’ân. Dalam al-Salsabil al-Mu’în fi al-Tharâ’iq al-Arba’în, sebagaimana yang dikutip oleh Ziadeh, di sana as-Sanusi mendeskripsikan pengalamannya dalam dunia sufisme. Ia menekankan bahwa sufisme merupakan salah satu jalan menuju keselamatan (Tuhan) selain syariah. Namun ia tidak menyangkal adanya –ajaran Sufi yang salah akibat sempitnya pengetahuan tentang sufisme itu sendiri. As-Sanusi juga menjelaskan pengaruh sufisme terhadap dirinya, salah satunya dari al-Ghazali. Seperti diketahui, al-Ghazali merupakan orang yang paling berhasil dalam menintegrasikan kontradiksi antara sufisme dan syariah. Selain al-Ghazali, as-Sanusi juga menyebut Ibn Taimiyyah sebagai orang yang mempengaruhi jalan pikirannya. Bahwa ajarannya yang tidak menutup pada dunia, membawa tarekat ini pada perlawanan frontal terhadap kolonial Prancis dan Italia yang
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _585
mencengkram wilayah Afrika Utara. Perlawanan mereka yang sangat dahsyat sehingga melahirkan tokoh legendaris, Omar Mochtar yang terkenal dengan julukan “the lion of desert.” Perlawanan pengikut tarekat ini menjadi catatan pahit kolonial, karena perlawanan tarekat ini susah sekali dipadamkan. Dalam
sejarah
perlawanan
bangsa
Indonesia,
nama
tarekat
Sanusiyyah memang tak banyak disebut. Hal ini karena secara resmi tarekat ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1930, itu pun terpaksa berganti nama menjadi tarekat Idrisiyyah untuk menghindari tekanan Penjajah Belanda. Namun benih-benih tarekat ini diperkiran sudah ada di Indonesia. Menurut catatan Martin Van Bruinessen, seorang ‘khalifah’ utusan Syekh Ahmad Syarif as-Sanusi telah tiba di Sulawesi Selatan dan telah mengembangkan tarekat ini di sana.17 Maka di Sulawesi Selatan sampai hari ini dapat dilihat jejak-jejak tarekat Sanusiyyah, dimana terdapat sekelompok jamaah keagamaan yang memakai pakaian serba putih sebagai ciri khas tarekat ini. R.S O’Fahey yang mengutip Louis Rinn, seorang pengawas administrasi (administrateur) jajahan Perancis di Afrika Utara, menyatakan bahwa tiga orang haji yang baru pulang ke pulau Sumatera pada tahun 1803 yang kemudian diperkirakan turut dalam “Gerakan Kaum Putih” atau “Kaum Paderi”,18 mereka adalah pengikut Muahmmad Ibn Ali Sanusi yang lebih dikenal sebagai tokoh Tarekat Sanusiyyah yang bermarkas di Afrika Utara. Tarekat ini ditakuti oleh kolonial Italia, Inggris, dan Perancis di wilayah Afrika Utara yang saat itu sedang memperluas wilayah koloninya di bagian utara benua tersebut. Ini disebabkan karena sepak terjang seorang pejuang Sanusiyyah yang sangat ditakuti dan disegani lawan. Memang, para sejarawan belum sepenuhnya membenarkan tesis ini, karena benih tarekat ini tidak begitu kentara, dibanding gerakan Wahabi yang waktu itu mempengaruhi dunia Islam. Maka, ketika menganalisa Perang Paderi (Imam Bonjol) yang terjadi di Sumatera Barat, beberapa
586_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
di antara mereka mengidentifikasi pasukan perang paderi sebagai pengikut Wahabi ketimbang pengikut tarekat Sanusiyyah atau tarekat lainnya, sebagaimana dituturkan Harry J. Benda pada sebuah seminar di “Hebrew University” Yerussalem tahun 1963. Kalangan lain seperti W.F.Wertheim juga mengatakan demikian, “Wahabi-lah dibalik perang tersebut”.19 Hal senada juga diutarakan sejarawan Taufik Abdullah. Namun pendapat para peneliti itu bisa dimengerti, mengingat besarnya gerakan pembaharuan Wahabi yang terjadi waktu itu (1803 - 1813) di dunia Internasional terutama dalam pandangan politik Kolonial yang mendominasi Dunia Islam, sehingga menafikan kelompok lain yang turut andil dalam pergerakan melawan penjajah. Namun catatan Rinn yang dikutip oleh R.S O’Fahey tidak bisa kita abaikan begitu saja.20 Selain tiga haji yang pulang ke Sumatera Barat, ada pula tiga haji yang pulang ke kerajaan Mataram dan Mangkunegaran di Pulau Jawa. Mereka dicurigai sebagai pengikut Sanusiyah, yang kemudian turut ambil bagian dalam perang Diponegoro. Jika yang terakhir ini diidentifikasi secara lebih rinci dan detail, berarti mereka itu para pejuang yang ada di wilayah Jawa Tengah pada awal abad 19, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Merujuk hal ini tak pelak lagi, bahwa mereka adalah pengikut Kyai Maja dan Sentot Ali Basya.
D. Seragam Putih-Putih Sebagai Ciri Khas Jika diperhatikan, ada kesesuian antara tiga golongan ini; Kaum Sanusiyyah di Afrika Utara, Kaum Paderi di Sumatera Barat dan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah,21 yaitu pada pakaian serba putih yang mereka kenakan. Taufik Abdullah juga menyatakan bahwa pakaian serba putih, selendang hijau, dan berjenggot adalah ciri-ciri kaum Paderi di Sumatera. Perang Diponegoro tidak jauh berbeda. Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian putih, sebagaimana yang dipakai oleh pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basya dan Kyai Maja.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _587
Kekhasan berpakaian serba putih dan berjenggot makin memperkuat bahwa ketiga kelompok ini memilki hubungan yang sama, setidaknya sebagai pengikut tasawuf tertentu. Sebab jarang kita temui pada gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda di tanah air yang berseragam serba putih-putih sebagaimana kita temukan pada pasukan Imam Bonjol (Kaum Paderi) dan Diponegoro. Bisa kita bandingkan dengan perlawanan Rakyat Ambon yang dipimpin Pattimura, juga perlawanan Aceh di tanah Rencong yang dipimpin oleh Teuku Umar, Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro dan Cut Nyak Dien, banyak diantara yang memakai pakaian adat. Demikian juga perlawanan rakyat Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII, dan daerah lainnya, hampir semua mereka berpakaian adat. Walaupun perlawanan rakyat Aceh disokong oleh semangat kaum Tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah dan tarekat lainnya yang dominan dianut masyarakat di Aceh, tetapi mereka tak terlalu dikenal memakai pakaian serba putih, walaupun dalam penelitian penulis, bahwa pakaian serba putih dalam Perang Aceh sangat biasa dan sering dipakai mujahidmujahid Aceh. Tidak kita temukan pasukan mujahid yang berkostum serba putih secara komunal di wilayah lainnya di Indonesia, atau di wilayah Asia dan Afrika kecuali digerakkan semangat sufisme, dan di sini tarekat Sanusiyyah-lah yang paling terdepan, karana tarekat ini dikenal sangat solid melawan kolonial penjajah. Dalam kasus Perang Paderi, Taufik Abdullah sendiri secara tak langsung menyangkal ke-Wahabi-an kaum Paderi. Ia mengatakan, ”Banyak tindakan radikal Wahabi seperti yang terdapat di tanah Arab yang tidak diikuti oleh golongan Paderi sebagaimana ia kutip dari Ronkel. Bahkan pada tahun 1830 M. itu para haji yang pulang ke tanah air (Sumatera dan Jawa) mengatakan bahwa paham Wahabi sudah tidak diterima lagi oleh kebanyakan umat Islam di Mekah dan tanah Arab. Ini mungkin disebabkan karena kemenangan Kaum Wahabi di tanah Arab lewat Ghalib (panglima perangnya) hanya bertahan selama 30 tahun. Setelah itu pasukan suku Arab Badui dari pedalaman (Padang
588_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pasir Nejed) yakni keluarga Sa’ud menggulingkan kekuasaan Wahabi. Mengenai kemenangan keluarga Sa’ud dan kekalahan kaum Wahabi ini, Taufik Abdullah menulis: “Diperlukan waktu 100 tahun bagi Wahabi untuk merebut kembali kekuasaan mereka yang terlepas di kota Mekah dan seluruh jazirah Arabia saat itu.”22 Namun, dalam politik keluarga Sa’ud, gerakan kaum Wahabi tidak dicampakkan begitu saja, akan tetapi diberi fasilitas dengan menjadikannya ideologi keagamaan penguasa Bani Sa’ud. Maka, keluarga Sa’ud mengikutsertakan kaum Wahabi sebagai menteri penerangan dalam pemerintahannya, sehingga kekuasaan kaum Wahabi terbatas pada urusan-urusan agama saja.
E. Perbedaan Ideologi Gerakan Sanusiyyah dan Wahabi Secara diametral, antara tarekat Sanusiyyah dan Wahabi terdapat perbedaan fundamental, baik filsafat, keagamaan, maupun politik. Dalam kasus Perang Paderi maupun Perang Diponegoro, corak perlawanan mereka amat jauh dari cara kerja Wahabi. Kaum Tarekat Sanusiyyah tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sementara kaum Wahabi sebaliknya, mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, terutama tatkala mengadakan penyerangan ke kota Mekah dan penyebaran ajaran-ajaran Wahabi sepanjang 1803- 1813 M. Dalam penyerangan itu semua lawan politik mereka yang mereka anggap menentang dan menghalangi langkah dan gerakan Wahabi, mereka dianggap kafir dan berhak dibunuh. Tindakan ini mendapat kecaman sangat keras dari Ahmad Ibn Idris, guru pendiri Tarekat Sanusiyyah yang pada saat itu berada di Mekah. Di Indonesia, sikap keras kaum Wahabi dipraktikkan pula oleh kaum Tua (Kaum Tuo) di Sumatera Barat yang menyebarkan Islam sebelum kaum Paderi menjalankan dakwah mereka di Sumatera Barat.23 Kaum Tua (pengikut Wahabi) ini membunuhi mereka yang tidak menerima kebenaran Islam termasuk orang-orang tua yang masih suka
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _589
mengadu ayam, merokok, berjudi di Minangkabau waktu itu. Sikap Kaum Tua (kaum Wahabi yang keras dan rigid) ini mendapat protes keras dari Kaum Paderi yang dipimpin Syarif Peto (Tuanku Imam Bonjol). Dengan demikian praktik Kaum Wahabi (Kaum Tua) di Sumatera Barat sama-sama keras dan tak memiliki tenggang rasa terhadap lawan politik maupun masyarakat yang mau menerima ajakan mereka. Sedangkan pengikut tarekat Sanusiyyah, kaum Paderi, serta pasukan Diponegoro melakukan sikap keras hanya terhadap orang kafir yang memerangi mereka, yaitu penjajah Belanda. Dalam bermazhab, kaum tarekat Sanusiyyah lebih mementingkan ketaatan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, daripada fanatik terhadap satu mazhab. Sebab mazhab apapun yang muncul dalam Islam, selalu lahir dari dua kitab yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, mestinya bukan fanatik mazhab yang lahir dari umat Islam, tetapi fanatik terhadap al-Qur’an dan al-Hadits.
F. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulan bahwa pada periode awal lahirnya tasawuf, konsentrasi sufi menitikberatkan pada aktivitas yang bersifat mistis metafisik, yang kemudian melahirkan gesekan-gesekan dari kaum ortodoks, yang menginginkan menjalankan agama Islam sesuai ajaran Rasulullah Saw. dan para sahabat. Pada awalnya, aktivitas tasawuf yang demikian itu adalah bentuk respon terhadap kondisi masyarakat Islam kala itu yang jauh dari agama dan lebih mementingkan duniawi. Namun pada perkembangannya, ajaran tasawuf kian tak terkontrol akibat mendapat pengaruh dari filsafat atau kebudayaan lokal. Perbedaan pendapat—terutama ketika tasawuf memasukkan unsur filsafat di dalamnya yang menyebabkan lahirnya konsep seperti alittihâd, wihdah al-wujûd, dan lain sebagianya—semakin mempertajam perbedaan diantara kedua kelompok. Namun, mengalahkan salah satu, dan memenangkan satu lainnya bukanlah solusi yang terbaik. Apalagi,
590_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
tasawuf bukan lagi sesuatu yang ‘diada-adakan’, karena tasawuf memiliki legitimasi sendiri, yang dinisbatkan kepada praktik ahl assuffah, para sahabat Nabi yang menghuni emperan masjid. Upaya mendamaikan dua kubu ini sudah dilakukan. Puncaknya pada masa al-Ghazali. Tokoh besar yang dinilai mampu menjembatani kedua kubu ini. Namun sepeninggalnya, tidak ada tokoh lagi yang mampu merajut perdamaian antara ortodoks dan kaum sufi. Gerakan Neo-Sufisme sebenarnya sebentuk gerakan yang mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadis, dengan mengajak berpandangan positif terhadap dunia. Jika pada masa klasik, bertasawuf identik menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan segala isinya, maka gerakan Neo-Sufisme menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam kasus tarekat Sanusiyyah, penganut tarekat ini bahkan melakukan perlawanan terhadap penjajah Prancis, Italia, maupun Inggris. Semangat perlawanan melawan penjajah adalah bentuk keperpihakan tarekat ini pada masa depan kaum Muslimin yang tertindas. Bahkan kiprah tarekat ini di negara dapat kita lacak dalam perjuangan kaum paderi di Indonesia. Benih-benih tarekat ini, terlihat nyata dalam perang melawan penjajah tersebut.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _591
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat Jakarta: LP3ES, 1987
- Pantulan Sejarah Indonesia,
Aceh, Abu bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), Solo: Ramadhani, 1985 Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Modern di Timur Tengah, Jakarta: penerbit Djambatan, 1995 Alief, Nasrullah, “Gerakan Neo-Sufisme Sanusiyah di Afrika Utara” Ulumul Quran, No.2 VII 1996 Al Jisri, Nadim, Wujud dan Ma’rifah, terj oleh Afrizal M., jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu jaya, 1992 Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufisme and Shari’ah: A Study of Syaykh Ahmad Sirhindi’s Effoert to Reform Sufisme, London: Islamic Foundation, 1986 As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999 Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas; Politik Pribumiasasi Islam, Depok: Desantara, 2002 Dahlan, Daud, Sepintas Mengenal Tharekat al-Idrisiyyah, Pesantren Fathiyyah, Dahlan, Muhamamd, Halaqatu ar-Riyahin, Tasikmalaya, Pesantren Fathiyyah. Echols, John dan Syadily, Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996 Van Bruinessen, Martin, The Origin s and Development of Sufi Order (Tarekat) in Southeast Asia, Studia Islamika, Volume I, No 1 (AprilJune) 1994)
592_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Lihat Asmaran. As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. cet. Ke-2 h. 46.
2. Asmaran. As, Pengantar Studi Tasawuf, h. 47 3. Istilah ini memang belum banyak digunakan. Hanya Fazlur Rahman yang
secara jelas menggunakannya (diikuti) J.O Voll, BG. Martin, JS. Trimigham, Azyumardi Azra. Untuk lebih detailnya lihat R.S. ‘O’ Fahey, Enigmatic Saint; Ahmad Ibn Idris and the Idrisi Tradition, London: C. Hurst & Co, 1990, terutama bagian I.
4. Fazlur Rahman, ter. Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: 2003 Cet ke-5 h. 302 5. Azyumardi Azra, “Akar-akar Historis Pembaharuan Islam di Indonesia: Neo-Su-
fisme Abad ke11-12 H/17-18 M.,” dalam Din Syamsuddin (ed), Muhamadiyah Kini dan Esok, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, h.6. lihat juga, Jaringan Ulama Timur tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994.
6. Pengaruh asing ini misalnya pemujaan terhadap makam para wali; doktrin
bersatunya manusia dengan Tuhan (monisme) yang terlihat sekali pengaruh filsafatnya; tidak ketinggalan pengaruh budaya setempat, misalnya ordo yang bernama Jibawiyah yang melakukan tari-tarian. Ada yang bahkan merobek-robek pakaian dan memakan pecahan kaca yang disinyalir berasal dari Syammanistis yang dibawa oleh invasi Mongol. Lihat Fazlur Rahman, Islam, h. 221.
7. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, cet. Ke-2 h. 31
8. Lihat Rivay Siregar, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, dalam edisi revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, Cet ke-2 h. 305
9. Doktrin ini menjelaskan pengalaman seorang Sufi yang mampu ‘bersatu’
dengan Tuhan. Dalam beberapa kasus seorang Sufi berbeda pengalamannya dalam ‘kebersatuan’ tersebut. Oleh karena itu, meskipun mempunyai kemiripan, antara al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, ‘Abdul Karim al-Jilli, Jalaludin Rumi, Hamzah Fansuri, mereka tidak sama dalam merasakan ‘kebersatuan’ itu. Untuk lebih detail mengenai hal ini lihat Simuh, h. 5
10. Siregar, Tasawuf, h. 301 11. Fazlur Rahman, Islam, h. 208 12. Fazlur Rahman, Islam, h. 198.
Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi _593
13. Al-Ghazali, al-Munqidz Min ad-Dhalal, (Kairo, 1316 H.)., h. 76 Sebagaimana yang dikutip oleh Rivay Siregar dalam Tasawuf, h. 305
14. Fazlur Rahman, Islam, h. 285 15. Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995. h. 926
16. Martin Van Bruinessen, The Origin s and Development of Sufi Order (Tarekat) in Southeast Asia, Studia Islamika, Volume I, No 1 (April-June) 1994, h. 19
17. R.S.O’Fahey “Enigmatic Saint – Ahmad Ibn Idris and The Idrisi Tradition” New York 1987
18. W.F.Wertheim “Indonesia Society in Transition” tahun 1969. 19. R.S.O’Fahey “Enigmatic Saint – Ahmad Ibn Idris and The Idrisi Tradition” 20. Dalam perang Aceh juga ada laporan yang menyatakan bahwa para pejuang
perang Sabil di Aceh pun sering terlihat berpakaian putih-putih, bersorban, bertopi putih dalam penyerangan terhadap posisi kolonial Belanda di tahun 1873 – 1910.
21. Taufik Abdullah, “Islam dan Masyarakat - Pantulan Sejarah Indonesia” Jakarta: LP3ES, 1987.
22. Perlu diingat bahwa pertentangan kaum adat dan kaum agama di Suma-
tera Barat didahului oleh dakwah kaum tua (Pengikut kaum Wahabi) yang mempraktekkan hukum yang sangat keras seperti membunuh kaum adat, yang tidak menjalankan agama secara kaafah, menghukum keras orang yang berjudi, menyabung ayam, merokok dan makan sirih. Tetapi di kemudian hari, datang kaum muda yang berpakaian putih-putih yang berdakwah secara lebih lembut dan tidak keras dan kaku sebagaimana kaum tua. Kalangan sejarawan sering mencampurkan dakwah gerakan kaum Paderi ini dengan dakwah kaum tua (Wahabi Minangkabau) yang sangat keras, memvonis hukum bunuh kepada kaum adat yang tak menjalankan agama secara kaffah dengan dakwah kaum Sanusiyyah Minangkabau.Padahal yang menjalankan praktik semacam itu bukan kaum Paderi, tetapi kaum Tua yang mendahului kedatangan kaum Paderi.
Aqidah of Human Perfection Principle
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan
Sabiruddin Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang email :
[email protected]
Abstract : True faith is not just a theory or a confession alone without any care or charitable deeds. Indeed it is the creed of faith, charity and sincerity. In addition, faith is often coupled with righteous deeds. Righteous deeds in question is any action that can bring good in the world and the hereafter. Is it for the good of the individual or the community as well as the spiritual and material goodness. Therefore, the basic creed of human life or human perfection. By using the reference method, this article examines more deeply related to aqidah principle of human perfection. Of the final results of this article discovered that human beings have sought to obtain perfection in the world since and will be up later with a pattern keakhirat balance the two. This issue is the author ity to the revelation of God exemplified by His Messenger so well discussed by Islamic thinkers such as al-Ghazali and others. Therefore there is no other option for Muslims, in addition to practice their religion properly before being called by the creator. Therefore, it should be understood that the form of material wealth is not overlooked by Islam, but there are limits because it is also a key element to achieve perfection. However, perfection can not be measured in terms of material things simply because he may not necessarily give perfection completely. Therefore, Islam as a religion or a perfect syumul advocate sought for his people to such perfection.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _595
Abstraksi : Iman yang benar itu bukan hanya suatu teori atau pengakuan hati saja tanpa adanya amal atau perbuatan. Sesungguhnya iman itu ialah akidah, amal dan keikhlasan. Di samping itu, iman seringkali digandengkan dengan amal shaleh. Amal shaleh yang dimaksud ialah setiap perbuatan yang dapat membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Apakah ia untuk kebaikan individu atau masyarakat serta kebaikan kerohanian dan kebendaan. Oleh sebab itu, akidah dasar kesempurnaan hidup manusia atau insan. Dengan menggunakan metode reference, artikel ini menelaah lebih dalam yang berkaitan dengan aqidah asas kesempurnaan insan. Dari hasil akhir artikel ini ditemukan bahwa manusia harus berikhtiar memperoleh kesempurnaan insan sejak di dunia dan akan sampai ke akhirat kelak dengan pola menyeimbangkan keduanya. Persoalan ini penulis dasarkan kepada wahyu Allah yang dicontohkan oleh RasulNya, seterusnya juga dibahas oleh para pemikir Islam seperti al-Ghazali dan lain-lain. Oleh sebab itu tidak ada pilihan lain bagi umat Islam, selain mengamalkan ajaran agamanya dengan sempurna sebelum dipanggil oleh Pencipta. Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa kekayaan berupa kebendaan tidak diabaikan oleh Islam, tetapi ada batas-batasnya, karena ia juga menjadi unsur penentu untuk mencapai kesempurnaan. Walaupun begitu, kesempurnaan tidak dapat diukur dari segi kebendaan semata-mata karena belum tentu ia boleh memberi kesempurnaan sepenuhnya. Oleh sebab itu, Islam sebagai agama yang syumul atau sempurna menganjurkan umatnya supaya berikhtiar mencari kesempurnaan tersebut. Keywords: Aqidah, Principal, of Human Perfective
A. Pendahuluan Meminjam pendapat Sayyid Quthub, tokoh pergerakan Islam asal Mesir dalam A.Ilyas Ismail, mengemukakan bahwa Islam adalah pangkal dari semua pembahasan berkaitan dengan persoalan dakwah.1 Islam adalah Agama Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. merangkumi Akidah, Syari’ah, dan Akhlak, atau dengan istilah yang digunakan dalam hadis dialog atau pertanyaan Jibril AS. kepada
596_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
nabi Muhammad SAW., yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Hal ini seperti yang diterangkan dalam Sahih Muslim pada Kitâb al-Îmân. Rasulullah SAW. telah menerima wahyu dari Allah SWT. yaitu al-Qur’an, di dalamnya mengandung dasar-dasar pengajaran Islam yang merangkum tiga aspek tersebut, yang menjamin kesempurnaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Abu Hamid Ibn Muhammad al-Ghazali, mengemukakan bahwa, Akidah merupakan dimensi teori (nadzarî) yang dituntut supaya mempercayai dan beriman kepada Allah SWT.. Keimanan mendahului dimensi-dimensi yang lain, iman yang dikehendaki di sini ialah suatu pegangan yang tidak mudah diganggu oleh keraguan dan kesamaran.2 Bukti-bukti yang terang dan jelas dari al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa sejak mulai munculnya dakwah islamiyah, Rasulullah SAW. sangat menekankan persoalan akidah dan keimanan. Seterusnya Ali Abd. Halim Mahmud, memberi penekanan, bahwa persoalan ini amat jelas sekali dalam surat-surat Makkiyah.3 Manakala syari’ah merupakan dimensi ibadah yang membicarakan peraturan-peraturan yang disyari’atkan oleh Allah SWT. untuk mengatur kehidupan manusia tentang cara-cara berinteraksi dengan Allah SWT., manusia dan alam seluruhnya. Selain itu, kata Abu Urwah,4 dimensi Akhlak juga telah diutarakan oleh Islam untuk menimbulkan tingkat kesadaran yang mendalam atau suasana penghayatan yang tinggi nilainya sewaktu mengamalkan akidah dan syariat Islam. Oleh sebab itu, dalam artikel sederhana ini, akan diuraikan tiga dimensi tersebut, karena ia merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menentukan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dan pelaksanaannya, apakah ia dari segi zahir ataupun batin. Dengan memahami tiga dimensi itu, insya Allah dapat diharapkan semoga manusia akan mendapat kebahagiaan dan kesempurnaan di dunia dan di akhirat.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _597
B. Pembahasan A. Pengertian Akidah dan Syari’ah Yusuf al-Qardawi wajar dirujuk untuk memudahkan pemahaman umat Islam berkaitan akidah dan syari’ah menurut pandangan Islam, dengan menggunakan contoh-contoh yang ia kemukakan dan terdapat dalam dua bagian berikut : Pertama, Allah SWT. yang Mutlak, yang Esa, tanpa lawan, tanpa saingan, Allah SWT. bersifat dengan semua sifat kesempurnaan. “AlQur’an adalah suatu kebenaran” dan: Surga, Shirâth, Mîzân adalah kebenaran”. Kedua,”mencuri haram”, “minum arak” adalah dari perbuatan syaitan”, “Sholat lima waktu wajib”,”Shalat hari raya sunat” dan “makan di waktu malam bulan Ramadhan mubah”. Dalam bagian pertama, terdapat hukuman yang telah ditentukan kepada persoalanpersoalan tersebut ada kaitannya dengan urusan hati (qalb) atau dengan ungkapan lain yaitu berkaitan dengan urusan akidah atau kepercayaan dan pegangan seseorang yang terbit dari hati (qalb). Kewajiban manusia mengakui dan membenarkan (tashdîq) dan ia berkisar disekitar teori (nizâr) saja. Kedua, terdapat hukum-hukum yang telah ditetapkan itu tidak ada kaitannya dengan urusan hati orang-orang mukallaf (akidah mereka). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam bagian ini berkaitan dengan tingkah laku mereka, karena hukum mencuri haram, shalat lima waktu wajib, ada kaitannya dengan perbuatan atau tindak tanduk mereka. Oleh sebab itu, jelas bahwa ada perbedaan yang ketara diantara menetapkan suatu hukuman tertentu di bidang akidah dan syari’ah, karena akidah ada hubungan dengan urusan hati, manakala syari’ah berurusan dengan tingkah laku dan tunduk jasmani. Sesuatu penetapan hukum dalam akidah atau syari’ah dianggap hukum syara’, karena akal tidak ada ruang baginya untuk membuat penentuan hukum. Oleh sebab itu, alQur’an menjadi rujukan untuk mengetahui tentang akidah dan syari’ah.5
598_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ringkasnya akidah Islamiyah merupakan dimensi teori (nazarî) yang menjadi kewajiban terhadap setiap muslim beriman. Keimanan dan kepercayaan itu hendaklah dengan tashdîq yang jâzim disertai dengan perasaan ridha dan kepuasan (senang hati),6 sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 106 sebagai berikut.
B⎦È⌡yϑôÜãΒ …çμç6ù=s%uρ oνÌò2é& ô⎯tΒ ωÎ) ÿ⎯ÏμÏΖ≈yϑƒÎ) ω÷èt/ .⎯ÏΒ «!$$Î/ txŸ2 ⎯tΒ
«!$# š∅ÏiΒ Ò=ŸÒî x óΟÎγøŠn=yèsù #Y‘ô‰|¹ Ìøä3ø9$$Î/ yyuŸ° ⎯¨Β ⎯Å3≈s9uρ Ç⎯≈yϑƒM}$$Î/ ∩⊇⊃∉∪ ÒΟŠÏàã t ëU#x‹tã óΟßγs9uρ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.‘
Ä ÷ρyŠöÏø9$# àM≈¨Ζy_ öΝçλm; ôMtΡ%x. ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# (#θè=ÏΗxåuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ) ¨ B⎦È⌡yϑManakala ôÜãΒ …çμç6ù=s%uρ syari’ah oνÌò2é& ô⎯kata tΒ ωÎ)Muhammad ÿ⎯ÏμÏΖ≈yϑƒÎ) ω÷èal-Ghazali, t/ .⎯ÏΒ «!$$Î/ tmerupakan xŸ2 ⎯tΒ ∩⊇⊃∇∪ ZωuθÏm $pκ÷]tã tβθäóö7tƒ Ÿω $pκÏù t⎦⎪Ï$Î#≈yz ∩⊇⊃∠∪ »ωâ“çΡ
peraturan-peraturan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. untuk «!$# š∅panduan ÏiΒ Ò=ŸÒî x kepada óΟÎγøŠn=yèmanusia sù #Y‘ô‰|¹dalam Ìøä3ø9$$menjalani Î/ yyuŸ° ⎯¨Βkehidupan ⎯Å3≈s9uρ Ç⎯di ≈yϑdunia ƒM}$$Î/ memberi ini, seperti hubungan dengan Allah SWT. dan hubungan dengan sesama manusia serta alam sekitarnya. Dalam bahasa∩⊇ ⊃sŒ∉∪ ⎯ÏÒΟiΒŠÏà$[ã tskata #xŸ≅ ‹tã Zο4θu‹ym …çμ¨ΖtÍ‹ósãΖn=sù Ö⎯ÏΒ÷σãΒ uθèδuρ 4©\s Ρé& ÷ρr& @Ÿ2al-Qur’an, Î=ëU ≈|¹Muhammad ÏϑtãóΟßγô⎯s9tΒuρ al-Ghazali selanjutnya, akidah dikenal dengan «iman» manakala syari’ah dikenal «amal shaleh» atau “istiqamah»,7 seperti yang didapati dalam
∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç⎯|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ¨ΨtƒÌ“ôfuΖs9uρ ( Zπt6ÍhŠÛ s
empat surat yaitu: surat al-Kahfi ayat 107,108 dan surat an-Nahl ayat 97, surat al-Ashr ayat 1-3, dan surat al-Ahqaf ayat 13 di bawah;
Ĩ ÷ρyŠtãöuρÏø9(#$#θãΖàM öΝ©!çλ$#m; ω ô )Î tΡ%x∩⊄∪ M . ÏMAô£ ≈ysäzÎ=≈¢Á ΖΒt Î)#u™∩⊇∪t⎦⎪Ï% ©!$# yèø9¨β$#uρÎ) (#θè=Ïϑ tΒ#u≈¨™Ζy_t⎦⎪Ï% ’Å∀9$#s9 #( ⎯ z θè=≈|ÏΗ¡xåΣMuρ}$#(#θã¨β ÎóÇ Zω9$uθ$Ïm κ÷]tã#uθtβs?uρθäóÈd,ö7ys tƒ Ÿω ⊃∠∪Î=≈¢Á »ωâ“9$çΡ# ÏM∩⊇ ≈ys ∩⊂∪∩⊇⊃∇∪ Îö9¢Á Î/ (#öθ$p|¹ ø9$$Î/$p(#κÏöθù|¹t⎦#u⎪Ïθ$s?Î#uρ≈yz
÷ρr&$# @§ΝŸ2 sŒ $#⎯Ï$oiΒΨš/z’ $[s(#Î=θä≈|¹ öZο4θèδu‹ymŸωuρ…çμ¨ΖóΟtÎγÍ‹ós Ν øŠn=tæãΖn=sùì∃Ö⎯öθÏΒyz÷σãΒŸξuθsùèδuρ(#θß4©ϑ\s ≈sΡé)&tFó™ èO ª! 9$s% Ÿ≅t⎦Ïϑ ⎪Ï%tã©!$# ô⎯¨βtΒÎ) ∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç⎯|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ∩⊇ ¨Ψtƒ⊂Ì“∪ôfšχ uΖs9uρ ( θçZπΡt6t“ÍhŠøtsÛ s†
∩⊇⊃∉∪ ÒΟŠÏàã t ëU#x‹tã óΟßγs9uρ «!$# š∅ÏiΒ Ò=ŸÒî x óΟÎγøŠn=yèsù #Y‘ô‰|¹ Ìøä3ø9$$Î/ yyuŸ° ⎯¨Β ⎯Å3≈s9uρ Ç⎯≈yϑƒM}$$Î/
Ĩ÷ρyŠöÏø9$# àM≈¨Ζy_ öΝçλm; ôMtΡ%x. ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# ∩⊇ (#⊃θè∉∪=ÏΗxå uρŠÏàKesempurnaan (#ã Βt #u™ #xt⎦‹⎪Ïtã %Insan ©!óΟ $# ßγ_599 ¨βs9uρÎ) Aqidah Asas ÒΟ t θãΖëU
∩⊇⊃∇∪ Zωuθyang Ïm $pκberiman ÷]tã tβθäóö7dan tƒ Ÿωberamal $pκÏù t⎦⎪Ïsaleh, $Î#≈yzbagi ∩⊇⊃∠∪mereka »ωâ“çΡ “Sesungguhnya orang-orang adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka Ĩ÷ρyŠöÏø9$# àM≈¨Ζy_ öΝçλm; ôMtΡ%x. ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# (#θè=ÏΗxåuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ) tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. al-Kahfi : 107-108) ⊃∇∪ ZωuθÏm4©$p\s κΡé÷]&tã÷ρtβ óö7tƒ sŒŸω ⎯Ï$pκiΒÏù$[t⎦s⎪Ï$Î=≈|Î#¹ ≈yz ∩⊇⊃∠∪tã»ωô⎯â“tΒçΡ ZοĨ 4θu‹÷ρymyŠöÏ…çμø9¨Ζ$# tÍ‹àM ós≈¨ΖãΖy_ n=sù Ö⎯öΝÏΒ∩⊇ @θäŸ2 çλ÷σm; ãΒôMuθtΡèδ%x.uρ ÏM ≈ysÎ=≈¢r&Á 9$# (#θè=ÏΗxåuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦Ÿ≅⎪ÏÏϑ %©!$# ¨βÎ) θçΡ$ŸZω 2 t6ÍhŠâ“Û s çΡ ∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ∩⊇(#⊃∇∪ uθÏm$tΒ$pκ÷]Ç⎯tã|¡tβômθär'óÎ/ö7Νè tƒ δ Ÿωtô_ $pκÏr&ùóΟt⎦ßγ⎪Ï$¨ΨtƒÎ#Ì“≈yôf zuΖ∩⊇s9uρ⊃∠∪( Zπ»ω
“Barangsiapa perempuan Ö⎯ÏΒ÷σãΒ uθèδuρamal 4©\s Ρésaleh, & ÷ρr& @baik Ÿ2laki-laki sŒ ⎯ÏiΒ $[maupun sÎ=≈|¹ Ÿ≅ Ïϑtã ô⎯tΒ Zο4θu‹ym …çμ¨ΖtÍ‹yang ósãΖn=sùmengerjakan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang akan mereka ÷è%tƒ©!$#(#Sesungguhnya θçω Ρ$ŸÎ)2 $tΒAô£Ç⎯äz |¡ ôm’År'∀kami Î/s9 Νèz⎯δ≈|beri t¡ô_ΣM} r&balasan óΟ Ì“kepada ôf∪uΖs9ÎuρóÇ ( Zπyè6t ø9ÍhŠ$#sÛuρ (#Zοθè4θ=u‹Ïϑymtãuρ…çμ∩®∠∪ (#¨ΖθãtΖÍ‹tΒóstβ #ubaik, ™ãΖθèn=sù=t⎦yϑ⎪Ïdan ∩⊄∪ $#sßγ¨βÎ=¨Ψ≈|Î)tƒ¹ ∩⊇ ⎯ Ö Β Ï σ ÷ Β ã θ u δ è ρ u © 4 \ s Ρé & ρ ÷ & r @ 2 Ÿ Œ s ⎯Ï Β i $[ ≅ Ÿ ϑ Ï ã t tΒ dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. ô⎯ anNahl : 97) ∩⊂∪ Îö9¢Á9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ Èd,ysø9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$#
∩®∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç⎯|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ¨ΨtƒÌ“ôfuΖs9uρ ( Zπ6t ÍhŠsÛ (#θè=Ïϑtãuρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# ωÎ) ∩⊄∪ Aô£äz ’Å∀s9 z⎯≈|¡ΣM}$# ¨βÎ) ∩⊇∪ ÎóÇyèø9$#uρ
Îö9ξ 9$$(#Î/θß(#ϑöθ≈s|¹ #uó™ θs?$#uρ§ΝÈd,èOysª! ø9$$Î/ (#öθ|¹#uθs?uρ ÏM≈ys%Î=©!≈¢$#Á¨β9$#Î) öΝ ó θãΖÎγtΒøŠn=#utæ™ t⎦ì∃⎪Ï∩⊂∪ Ÿ ¢Á )tFäz (#θèèδ=ÏϑŸω tãuρuρ (#Ο %öθ©!yz $# ω )Î sù∩⊄∪ Aô£ ’Å∀s9 z⎯≈|$#¡$oΣMΨ}š/z’$# ¨β(#θäÎ)9$s∩⊇%∪t⎦⎪ÏÎóÇ yèø9$#uρ
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. šχ Ρt“øt9$s†# Kecuali orang-orang yang dan ∩⊂∪ Îö9beriman ¢Á9$$Î/ (#öθdan |¹#umengerjakan θs?uρ Èd,ysø9$$Î/ (#amal öθ|¹#usaleh θ∩⊇s?uρ⊂∪ÏM ≈ysnasehat Î=θç≈¢Á menasehati kebenaran öΝèδ Ÿωuρ óΟsupaya ÎγøŠn=tæ mentaati ì∃öθyz Ÿξ sù (#θßϑ≈s)dan tFó™nasehat $# §ΝèO ª!menasehati $# $oΨš/z’ (#θäsupaya 9$s% t⎦⎪Ïmenetapi %©!$# ¨βÎ) kesabaran.” (QS. al-Ashr : 1-3)
∩⊇⊂∪ šχθçΡt“øts† öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ì∃öθyz Ÿξsù (#θßϑ≈s)tFó™$# §ΝèO ª!$# $oΨš/z’ (#θä9$s% t⎦⎪Ï%©!$# ¨βÎ)
∩⊇⊂∪ šχθçΡt“øts†
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, Kemudian mereka tetap istiqamah. Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita.” (QS. al-Ahqaf : 13) 8 Istiqamah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah teguh pendirian dalam bertauhid dan tetap beramal yang saleh. Berkaitan dengan itu umat manusia khususnya umat Islam mesti teguh pendirian. Pendirian
600_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
yang tidak tergoyahkan oleh fenomena kehidupan yang serba serbi seperti hari ini, terlihat sangat runyam rayuan dan godaan kehidupan yang dipengaruhi syaitan dalam mengarungi kehidupan. Dari penjelasan ayat di atas jelas, sekali adanya pertalian yang kuat antara akidah dan syari’ah, keduanya tidak dapat dipisahkan. Cuma yang berbeda ialah akidah sebagai dasar untuk mendorong melakukan syari’ah, manakalah syari’ah sebagai memenuhi kehendak akidah. Kombinasi antara keduanya adalah sangat penting untuk menjamin keberhasilan hidup manusia. Untuk memudahkan dan membantu pembaca dalam memahami dan melihat keterkaitan atau persinggungan antara aqidah dan syari’ah, pembahasan berikut perlu dipahami dengan baik, sehingga pegangan aqidah umat Islam yang mengaku beriman mesti mengikuti uraian selanjuntnya.
C. Pengertian Iman Dalam artikel sederhana ini akan dibahas iman dari bahasa dan istilah. Dari segi bahasa menurut Muhammad al-Ghazali, Iman mempunyai dua pengertian yaitu : a. Memberi keamanan (ta’mîn / i’thâ al-amân),9 sebagaimana Allah SWT. berfirman:
tβθãΖÏΒ÷σムt⎦⎪Ï%©!$# ∩⊄∪ z⎯ŠÉ)−Fßϑù=Ïj9 “W‰èδ ¡ Ïμ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ Ÿω Ü=≈tGÅ6ø9$# y7Ï9≡sŒ
tβθãΖΒÏ ÷σムt⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊂∪ tβθà)ÏΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/ y7Íׯ≈s9'ρé& ∩⊆∪ tβθãΖÏ%θムö/ãφ ÍοtÅzFψ$$Î/uρ y7Î=ö7s% ⎯ÏΒ tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ y7ø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã
“Kitab, (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan pada-Nya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman, kepada yang ghaib, yang
AΟŠÅ3ym ô⎯ÏiΒ ×≅ƒÍ”∴s? ( ⎯ÏμÏù=yz ô⎯ÏΒ Ÿωuρ Ïμ÷ƒy‰tƒ È⎦÷⎫t/ .⎯ÏΒ ã≅ÏÜ≈t7ø9$# Ïμ‹Ï?ù'tƒ ω ∩⊆⊄∪ 7‰ŠÏΗxq
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _601
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki, yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, tβθãΖmereka ÏΒ÷σムt⎦yakin ⎪Ï%©!$# ∩⊄∪ ŠÉ)−Fßϑù=Ïj9(kehidupan) “W‰èδ ¡ Ïμakhirat. ‹Ïù ¡ |=÷ƒmereka u‘ Ÿω Ü=itulah ≈tGÅ6yang ø9$# y7 Ï9≡sŒ serta akanz⎯adanya tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang tβθãΖΒÏ ÷σムt⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊂∪ tβθà)ÏΖムöΝßγ≈uΖberuntung.” ø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=(QS. ¢Á9$#al-Baqarah tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í= ø9$$10Î/ : 2ø‹-tó5)
y7Said Íׯ≈s9'ρé&Hawwa ∩⊆∪ tβθãmengemukakan ΖÏ%θムö/ãφ ÍοtÅzFψ$$Î/bahwa uρ y7Î=ö7s%Tuhan ⎯ÏΒ tΑÌ“menamakan Ρé& !$tΒuρ y7ø‹s9Î)al-Qur’an tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3
dengan al-Kitab,11 dalam konteks ini berarti yang ditulis, sebagai isyarat tβθãΖÏΒ÷σal-Qur’an ムt⎦⎪Ï%©!$# ∩∈∪ ∩⊄∪ z⎯ŠÉ)θß−Fßϑ èδèδ¡ Ïμditulis. ‹ÏùÍׯ≈¡ s9|= ÷ƒu‘( öΝŸω Å6 ø9$#èδy7 šχ sù=Î=Ïj9ø“W ßϑuntuk ø9‰ $# ãΝ y7 'ρé&uρAl-Qur’an ÎγÎn/§‘Ü=⎯Ï≈tGiΒadalah “W‰ 4’Ï9n?≡st㌠bahwa diperintahkan kitab Allah yang benar, lengkap dan sempurna sebagaimana dinyatakan tβθãΖΒÏ surah ÷σムt⎦⎪Ï%Fusshilat ©!$#uρ ∩⊂∪ tβ θà)Ï42Ζãƒ: öΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/ dalam ayat
y7ŠÅÍ×3¯≈s9ym 'ρé& ô⎯ ∩⊆∪ uρ ÏÜ y7≈t7ø‹ø9s $#Î) tΑ oÿÏ3 AΟ ÏiΒ tβ ×≅θãƒÍ”Ζ∴sÏ%?θãƒ( ⎯Ïö/ãφ μÏÍοù=tyzÅzFψ ô⎯ÏΒ$$Î/uρŸωy7 uρ Î=Ïμö7÷ƒs%y‰⎯Ïtƒ ΒÈ⎦tΑ ÷⎫t/Ì“Ρé.⎯& ÏΒ!$tΒã≅ Ïμ‹ÏÌ“?Ρéù'&tƒ !$ω ∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W ‰èδ7‰4’ŠÏn?Ηxq tã ∩⊆⊄∪
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. AÎÏiΒ7yz×≅AΟƒÍ”ŠÅ∴s3? ym Å_Áuρèù Ïμ§Ν÷ƒèOy‰…çtƒμçGÈ⎦≈t÷⎫ƒt/#u™.⎯ôM y ⎯ÏΒô⎯ôM ÏΒ n=Ÿω ÏΒ yϑã≅Å3ÏÜôm≈t7é&ø9ë= $# Ïμ≈t‹ÏG?Ï.ù'tƒ4 !9ω# AΟŠÅ3∩⊇ym∪ ô⎯ ( ⎯Ï÷βμÏà$ù=©!z Al-Qur’an sebuah kitab yang tersusun ayat-ayatnya dengan ∩⊆⊄∪ 7‰tetap ŠÏΗxq teguh, kemudian dijelaskan pada kandungannya satu persatu seperti $¨Β 4 Νäsurah 3ä9$sVøΒHud r& íΝtΒé&ayat HωÎ) 1: Ïμø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝¯≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ dalam
šχ ρçà$³ | ©! øt⎯Ï ä†ΒöΝôM ÍκÍh5u‘n=Å_Á 4’n<Î)èù ¢Ο Β É= Å3ø9é& $#ë= ’Îû≈tG$uÏ.ΖôÛ4 !§9sù# ∩⊇∪ AÎ7yz∩⊂∇∪ AΟŠÅ3 ym ÷β §ΝèOèO 4 …ç™& μó©çGx« ≈tƒ#u™⎯ÏôM yϑÅ3≈tGôm
!
“Alif laam raa, Inilah suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha $¨Β 4 Νä3ä9$sVøΒr& íΝtΒé& HωÎ) Ïμø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝¯≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ Bijaksana lagi Maha tahu”.
∩⊂∇∪ šχρç³ | øtä† öΝÍκÍh5u‘ 4’n<Î) ¢ΟèO 4 ™& ó©x« ⎯ÏΒ É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû $uΖôÛ§sù
Jika diperinci, maksud ayat di atas ada beberapa macam, ada yang berkaitan dengan ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã 602_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
y ô⎯ÏΒ Ÿωuρ Ïμ÷ƒy‰tƒ È⎦÷⎫t/ .⎯ÏΒ ã≅ÏÜ≈t7ø9$# Ïμ‹Ï?ù'tƒ ω AΟŠÅ3ym ô⎯ÏiΒ ×≅ƒÍ”∴s? ( ⎯ÏμÏù=z
pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain. Ini adalah sebuah kitab di mana perintah-perintahya menjadi petunjuk kepada siapa ∩⊆⊄∪ 7‰yang ŠÏΗxq dapat menilainya, contoh-contoh perbandingannya menjadi pengajaran kepada siapa yang dapat menelitinya. Di dalamnya Allah SWT. telah mensyari’atkan hukum-hukum wajib, membedakan antara yang halal dan haram, mengulangi kepada ∩⊇∪ AÎ7yz AΟŠÅ3ym ÷βà$nasehat-nasehat ©! ⎯ÏΒ ôMn=Å_Áèù §Νdan èO …çμkisah çG≈tƒ#u™ ôM yϑÅ3ômyang é& ë=≈tpaham, GÏ. 4 !9# menceritakan berkenaan persoalan-persoalan ghaib dan sebagainya, seperti dalam surah al-An’am : 38;
$¨Β 4 Νä3ä9$sVøΒr& íΝtΒé& HωÎ) Ïμø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝¯≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ⎯ÏΒ $tΒuρ
∩⊂∇∪ šχρç³ | øtä† öΝÍκÍh5u‘ 4’n<Î) ¢ΟèO 4 ™& ó©x« ⎯ÏΒ É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû $uΖôÛ§sù
“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat juga seperti kamu. tidak Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab”. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan, sebagian Mufassirîn menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauh al-Mahfûdz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan ditetapkan dalam Lauhul mahfudz. Dan ada pula yang menafsirkannya dengan AlQuran dengan arti: dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya. Kebenaran kitab al-Qur’an seperti yang dinyatakan oleh penciptanya Yang Maha Agung tidak meninggalkan sesuatu apapun melaikan disebutnya, ia telah membawa kepada manusia sejagat semua persoalan yang dapat memberi kebaikan dan kebahagiaan kepada mereka, dan apa yang disyari’atkan kepada mereka, adalah suatu yang jelas dan berbentuk umum supaya sesuai disetiap zaman dan tempat atau situasi kehidupan mereka.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _603
Selanjutnya Said Hawwa, menjelaskan predikat taqwa berarti memelihara diri dari siksaan Allah SWT. dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, tidak cukup diartikan dengan takut saja. Iman ialah kepercayaan yang teguh disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa, tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Selanjutnya yang ghaib ialah yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Kemudian percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujûd yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-malaikat, hari akhirat, dan sebagainya. Shalat menurut bahasa Arab adalah doa. menurut istilah syara’ ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah SWT..12 Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukunrukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. Sedangkan rizki, segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rizki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah dirizkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari’atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain. Selanjutnya kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Muhammad SAW., ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur’an seperti Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-shuhuf yang disebut dalam al-Qur’an yang diturunkan kepada para Rasul-rasul-Nya. Allah menurunkan kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Jibril AS., lalu Jibril menyampaikannya kepada Rasul. Berkaitan dengan iman berikutnya yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun.
604_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Akhirat lawan dunia, kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir, yaitu orangorang yang mendapat apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah SWT. sesudah mengusahakannya. Dengan mengemukakan pengertian itu, dapat dipahami bahwa Allah SWT. menyelamatkan manusia daripada menzalimi, hal ini sesuai dengan salah satu nama dari nama-nama Allah SWT. yaitu “al-Mu’min al-Muhsinîn”. b. Membenarkan dan mengakui (tashdîq), yang bertempat di dalam hati13, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 136 di bawah;
Ÿ≅ŠÏè≈oÿôœÎ)ρu zΟ↵Ïδ≡tö/Î) #’n<Î) tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ $uΖøŠs9Î) tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ «!$$Î/ $¨ΨtΒ#u™ (#þθä9θè%
u’ÎAρé& !$tΒuρ 4©|¤ŠÏãuρ 4©y›θãΒ u’ÎAρé& !$tΒuρ ÅÞ$t6ó™F{$#uρ z>θà)÷ètƒuρ t,≈ysó™Î)uρ tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$#
∩⊇⊂∉∪
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): «Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma›il, Ishaq, Ya›qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa ≅è%uρapa öΝßγyang ôàÏãuρdiberikan öΝåκ÷]tã óÚ Ìôãr'sùnabi-nabi óΟÎηÎ/θè=è% ’Î û $tΒTuhannya. ª!$# ãΝn=÷ètƒkami š⎥tidak ⎪É‹©9$#membeday7Íׯ≈s9'ρé& serta kepada dari bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya».
∩∉⊂∪ $ZóŠÎ=t/ Kωöθs% öΝÎηÅ¡àΡr& þ_Îû öΝçλ°;
Iman dari segi istilah, berbicara berkaitan iman, Ibn Hisham dalam Ibrahim Imam pada kitab Ushûl al-I’lam Islâmî mengemukakan bahwa iman dapat dilhat dari pendapat beberapa ulama sebagai berikut :
a) ⎯tΒ Segolongan z>%s{ ô‰s%uρ ulama ∩®∪ $yγ8©berpendapat .y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰bahwa s% ∩∇∪ $yiman γ1uθø)s?adalah uρ $yδu‘θègsuatu é $yγyϑyang oλù;r'sù simple (basir), mereka telah menetapkan iman adalah hanya tidak
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
u’ÎAρé& !$tΒuρ 4©|¤ŠÏãuρ 4©y›θãΒ u’ÎAρé& !$tΒuρ ÅÞ$t6ó™F{$#uρ z>θà)÷ètƒuρ t,≈ysó™Î)uρ
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _605
tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$#
lebih dari ber’iktikad yaitu ilmu yang teguh (jazim) dengan segenap persoalan yang telah thabit dengan Dlarûrah, bahwa ia datang dari ∩⊇⊂∉∪ Allah SWT., dengan penuh ridha dan senang hati dengan akidah tersebut, ini sesuai dengan firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa’ ayat 63 sebagai berikut;
≅è%uρ öΝßγôàÏãuρ öΝåκ÷]tã óÚÌôãr'sù óΟÎηÎ/θè=è% ’Îû $tΒ ª!$# ãΝn=÷ètƒ š⎥⎪É‹©9$# y7Íׯ≈s9'ρé&
∩∉⊂∪ $ZóŠÎ=t/ Kωöθs% öΝÎηÅ¡àΡr& þ_Îû öΝçλ°;
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka ⎯tΒpelajaran, z>%s{ ô‰dan s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— kepada ⎯tΒ yxmereka n=øùr& ô‰s% perkataan ∩∇∪ $yγ1uθyang ø)s?uρ $yberbekas δu‘θègé $ypada γyϑoλjiwa ù;r'sù katakanlah 14 mereka.”
∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
b) Mayoritas ulama berpendapat bahwa iman itu suatu yang kompleks (murakkab) yang tersusun daripada beberapa bagian yaitu:
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
i. Membenarkan dengan hati (al-tashdîq bi al-jinan) ii. Mengakui dengan lidah (al-iqrâr bi al-lisân)
iii. Mengerjakan dengan anggota (al-amal bi al-jawârih).15 Berkaitan pembahasan Iman dalam konteks istilah, Ibnu Hisham mengelompokkan kepada tiga dalam kitabnya Sirah Ibn Hisham. ∩⊇∠∪ óΟßγdalam 1uθø)s? öΝßγmemahami 9s?#u™uρ “W‰èδ persinggungan óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦antara ⎪Ï%©!$#uρ Untuk memudahkan akidah, syariah dan akhlak oleh pembaca terhadap beberapa konsep tersebut, sebagian ulama ada yang telah membuat perbandingan dengan sebatang pohon. Akar tunggangnya adalah al-Tashdîq, umbinya ialah al-Iqrâr dan buahnya ialah al-’Amal.16 Al-Tashdîq merupakan bagian pertama dari bagian-bagian iman, kepentingannya sama seperti pondasi untuk sebuah bangunan. Dengan perkataan lain apabila seseorang itu telah melakukan bagian pertama,
606_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
kemudian meninggal dunia dan tidak sempat melakukan bagian-bagian yang lain, maka ia akan mendapat keberhasilan dengan keistimewaan itu. Al-Iqrâr atau menyebut dengan lisan adalah bagian kedua daripada iman, ia merupakan suatu pengakuan tentang akidah yang dianut atau suatu terjemahan terhadap apa yang tersemat di hati daripada kebenarankebenaran (Haqâ’iq) yang ada dalam agama Islam. Iqrâr dengan lidah adalah penting, karena Allah SWT. menyuruh kita supaya menentukan sesuatu hukuman hendaklah berdasarkan kepada zahir atau perbuatan jasmani manakala apa yang ada dalam diri manusia adalah terserah kepada Allah SWT. untuk menentukannya. Seterusnya bagian ketiga untuk mencapai kesempurnaan insan menurut Muhammad Abu Zahrah ialah al-’Amal,17 apa yang penulis maksud di sini dengan al-’Amal ialah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. dalam persoalan fardlu dan sunnah, serta menjauhi atau meninggalkan setiap hal-hal yang dilarang baik dalam ketentuan yang haram dan kesamaran. Oleh sebab itu, kata Taqiyuddin Ibn Taimiyyah al-’Amal mampu untuk menggerakkan manusia supaya melakukan perbuatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.18Akidah yang tersimpul teguh dalam jiwa manusia tidak dapat digoncang oleh apapun rintangan dan halangan, akan bertambah kuat dan teguh setiap kali seseorang itu menambah amalnya, sebaliknya jika seseorang itu mengabaikan aspek amal ini, maka akidahnya akan berkarat sebagaimana sebuah cermin yang tidak terpelihara lama kelamaan debu-debu pencemar akan menutupi permukaannya dan akhirnya tidak dapat menjalankan fungsinya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. menjelaskan dalam beberapa hadis yang maksudnya seperti berikut: “Siapa yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali tanpa keuzuran, niscaya dicatatkan daripada golongan orang-orang munafiq”. Selanjutnya dalam Hadis yang lain, artinya: “Siapa meninggalkan shalat jum’at sebanyak tiga kali karena kelalaian niscaya Allah SWT. menutup pintu hatinya.”19
↵ÏδŠÏã ≡tö/uρÎ) 4©#’y› n<Î) θãtΑ Î) $ttΑ6ó™ Ì“ΡéF{ & $#!$uρtΒuρz>«!θà)$$Î/÷ètƒ$¨uρΨtΒt, #u™≈ys(#þθó™ä9θèÎ)uρ% uŸ≅ÎAŠÏρéè& ≈oÿôœ ’ !$tΒÎ)uρ 4©zΟ|¤ Β Ì“Ρéu’&ÎAρé!$&tΒuρ!$tΒ$uuρΖøŠs9ÅÞ u’ÎAρé& !$tΒuρ 4©|¤ŠÏãuρ 4©y›θãΒ u’ÎAρé& !$tΒuρ ÅÞ$t6ó™F{$#uρ z>θà)÷ètƒuρ t,≈ysó™Î)uρ u’ÎAθãρéΚ& Î=ó¡!$tΒãΒuρ …ç4© ÎAρé&r t⎦!$tΒ÷⎫uρt/ ä−ÅÞÌhx$t6çΡAqidah ó™Ÿω F{$#Asas uρ Îγz> t,Insan ≈ys tβ μ9s |¤ß⎯ŠÏãøtwΥuρuρ 4©óΟy›ßγθã÷ΨÏiΒ 7‰u’tn óΟ În/Kesempurnaan §‘θà) ⎯Ï÷èΒtƒuρšχ θ–Šó™ Î;_607 ¨ΨÎ)9$uρ# tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$# tβθãΚÎ=ó¡ãΒ …çμ9s ß⎯øtwΥuρ óΟßγ÷ΨÏiΒ 7‰tnr& t⎦÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω óΟÎγÎn/§‘ ⎯ÏΒ šχθ–Š∩⊇Î;¨Ψ⊂∉∪ 9$# ∩⊇⊂∉∪ Dari hadis-hadis tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa posisi ⊂∉∪ akidah seseorang yang bergelimang dalam maksiat akan lemah∩⊇dan berkurang, sedikit demi sedikit sehingga akhirnya akan hilang dan ≅è%uρ öΝSebaliknya ßγôàÏãuρ öΝåκ÷]tãapabila óÚÌôãseseorang r'sù óΟÎηÎ/θè=è% itu ’Îû $tsenantiasa Β ª!$# ãΝn=÷ètƒmengerjakan š⎥⎪É‹©9$# y7amalÍׯ≈s9'ρé& lenyap. amal ≅è%uρkebaikan öΝßγôàÏãuρ öΝdan åκ÷]tãmenyubur óÚÌôãr'sù óΟdan ÎηÎ/θè=menambah è% ’Îû $tΒ ª!$# ãΝkekurangan n=÷ètƒ š⎥⎪É‹akidahnya ©9$# y7Íׯ≈s9'ρé& ∩∉⊂∪ ŠÎ = / t $Z ó ω K θ ö % s Ν ö η Î ¡ Å à Ρr & ÎûÍׯ≈öΝs9'ρçλ°;é& sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT. dalam dalam tiga surat ≅è%uρ öΝßγôàÏãuρ öΝåκ÷]tã óÚÌôãr'sù óΟÎηÎ/θè=è% ’Îû $tΒ ª!$# ãΝn=÷ètƒ š⎥⎪É‹©9þ_ $# y7yaitu: t/ Kωöθs%Muhammad $ZóŠÎ=surat öΝÎηÅ¡àΡr& þ_ Îû öΝçλ17 °; as-Syams ayat 8-10, Surat al-A’lâ ayat∩∉⊂∪ 14 dan ayat berikut: ∩∉⊂∪ $ZóŠÎ=t/ Kωöθs% öΝÎηÅ¡àΡr& þ_Îû öΝçλ°;
⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù ⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé $yγyϑoλù;r'sù ⎯tΒ z>%s{ ô‰s%uρ ∩®∪ $yγ8©.y— ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s% ∩∇∪ $yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θèg∩⊇é⊃∪$yγ$yγyϑ9¢oλ™ù;r'yŠsù ∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ∩⊇⊃∪ $yγ9¢™yŠ
ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” ∩⊇⊆∪ 4’ª1(QS. t“s? ⎯tΒAs-Syams yxn=øùr& ô‰s% : 8-10) ∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
∩⊇⊆∪ 4’ª1t“s? ⎯tΒ yxn=øùr& ô‰s%
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),” (QS. Al-A’lâ : 14)
∩⊇∠∪ óΟßγ1uθø)s? öΝßγ9s?#u™uρ “W‰èδ óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊇∠∪ óΟßγ1uθø)s? öΝßγ9s?#u™uρ “W‰èδ óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊇∠∪ óΟßγ1uθø)s? öΝßγ9s?#u™uρ “W‰èδ óΟèδyŠ#y— (#÷ρy‰tG÷δ$# t⎦⎪Ï%©!$#uρ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17) 20 Selanjutnya dikemukakan pendapat al-Ghazali yang membicarakan tentang iman, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Ihyâ Ulûm al-Dîn dan kitab al-iqtisad fi al-iqtiqâd,. dalam kitab al-ihyâ’ al-Ghazali membagi iman kepada tiga tingkatan:
608_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
-
Iman orang awam (Iman al-Awam) yaitu iman mereka yang diasaskan hanya membenarkan saja (al-tashdîq al-mahd). Sementara dalam kitab al-Iqtisâd ia mengistilahkan dengan “al-tashdîq al-taqlîdî”.
-
Iman ulama kalam (Imân al-mutakalimîn) al-Ghazali mengistilahkan iman mereka dengan “al-tashdîq al-burhânî”, yaitu pengakuan/ pembenaran yang berdasarkan pendalilan. Mereka menggunakan berbagai jenis pendalilan yang berdasarkan akal. Mengikut alGhazali lagi bahwa tingkat iman mereka seperti iman orang awam atau lebih sedikit dari mereka.
-
Iman ulama Arifin (Iman al-‘Ârifîn) yaitu iman mereka berdasarkan penyaksian (musyahadah) dengan nur al-yaqîn. Dalam kitab alIqtisâd digunakan istilah al-amal ma’a at-tashdîq (beramal bersama) pembenaran. 21
Selanjutnya al-Ghazali membuat perbandingan iman golongan yang pertama seperti iman orang yang mendapat berita tentang adanya seorang laki-laki dalam sebuah rumah, lalu ia membenarkan/mengakui berita itu. Manakala iman golongan mutakallimîn pula perbandingannya seperti seorang yang mendengar suara dalam sebuah rumah, lalu ia membenarkan/mengakui kewujudan orang dalam rumah tersebut. Seterusnya iman golongan Arifin pula perbandingannya seperti orang yang memasuki sebuah rumah, lalu ia melihat sendiri dengan matanya ada orang dalam rumah tersebut. Menurut al-Ghazali lagi iman golongan awam dan mutakallimîn amat terbuka kepada kesalahan dan tidak tepat, namun begitu ia meletakkan golongan-golongan tersebut termasuk dalam golongan ashhâb al-yamîn tetapi mereka belum lagi mencapai taraf al-muqarrabîn. Sedangkan iman golongan Arifin menurut al-Ghazali tidak mungkin terjadi kesalahan ma’rifah orang-orang mukmin di tingkat ini diistilahkan dengan al-ma’rifah al-haqîqiyyah dan al-musyahadah alyaqîniyyah. Iman pada tingkat ini ada persamaannya dengan ma’rifah al-muqarrabîn wa al-shiddiqîn, karena mereka beriman dengan melalui penyaksian atau musyâhadah. 22
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _609
Selanjutnya al-Ghazali berpendapat bahwa setelah memilih jalan tasawwuf, lalu ia berpendapat bahwa jalan tersebut adalah jalan yang selamat dan paling baik untuk sampai kepada ma’rifah tentang hakikat ketuhanan. Dari pengalaman yang diperoleh oleh al-Ghazali menunjukkan bahwa manhaj mutakallimîn tidak mampu untuk menerkai hakikat ketuhanan, oleh sebab itu ia menganjurkan supaya menggunakan pendekatan tasawwuf. Al-Ghazali telah membuat pendalilan untuk menguatkan pendapatnya dengan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnnah diantaranya23 firman Allah SWT. dalam surat at-Talaq ayat 2-3 sebagai berikut:
7∃ρã÷èϑ y Î/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã ô“uρsŒ (#ρ߉Íκô−r&uρ
…ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σムtβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/
uθßγsù «!$# ’n?tã ö≅©.uθtGtƒ ⎯tΒuρ 4 Ü=Å¡tFøts† Ÿω ß]ø‹ym ô⎯ÏΒ çμø%ã—ötƒuρ ∩⊄∪ %[`tøƒxΧ ∩⊂∪ #Y‘ô‰s% &™ó©x« Èe≅ä3Ï9 ª!$# Ÿ≅yèy_ ô‰s% 4 ⎯ÍνÌøΒr& àÎ=≈t/ ©!$# ¨βÎ) 4 ÿ…çμç7ó¡ym
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan $¯Ρà$©!orang ⎯ÏΒ çμsaksi ≈oΨ÷Κ¯=tæuρyang $tΡωadil ΖÏã ô⎯diÏiΒantara Zπyϑômu‘kamu çμ≈oΨ÷s?dan #u™ !$tΡhendaklah ÏŠ$t6Ïã ô⎯ÏiΒ kamu #Y‰ö6tã tegakkan #y‰y`uθsù dua kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang ∩∉∈∪ $VAllah ϑù=Ïã yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” 24
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 *
’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯èδθè%Í‘$sù ÷ρr& >∃ρã÷èϑ y Î/ £⎯èδθä3Å¡øΒr'sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/ #sŒÎ*sù
610_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
àátãθムöΝà6Ï9≡sŒ 4 ¬! nοy‰≈y㤱9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ óΟä3ΖÏiΒ 5Αô‰tã ô“ρu sŒ (#ρ߉Íκô−r&uρ
Al-Ghazali juga menggunakan dalil dari hadis Rasulullah SWT. yang artinya: …ã&©! ≅yèøgs† ©!$# È,−Gtƒ ⎯tΒuρ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ Ú∅ÏΒ÷σムtβ%x. ⎯tΒ ⎯ÏμÎ/
“Siapa yang beramal dengan ilmunya niscaya Allah SWT. mengajarnya/ uθßγsù «!$# ’n?ilmu tã ö≅yang ©.uθtGtƒia⎯ttidak Βuρ 4 mengetahuinya.” Ü=Å¡tFøts† Ÿω ß]25ø‹ym ô⎯ÏΒ çμø%ã—ötƒuρ ∩⊄∪ %[`tøƒxΧ memberinya
yè_ y ô‰s% bahwa 4 ⎯ÍνÌøΒr& ada àÎ=≈t/ilmu ©!$# yang ¨βÎ) 4 ÿ…çμdatang ç7ó¡ym Menurut iniä3dapat dipahami ∩⊂∪ #Yal-Ghazali, ‘ô‰s% &™ó©x« Èe≅ Ï9 ª!$# Ÿ≅ 26 melalui jalan ilham rabbani, sebagaimana yang diisyaratkan seperti firman Allah SWT. al-Qur’an.
$¯Ρà$©! ⎯ÏΒ çμ≈oΨ÷Κ¯=tæuρ $tΡωΖÏã ô⎯ÏiΒ Zπyϑômu‘ çμ≈oΨ÷s?#u™ !$tΡÏŠ$t6Ïã ô⎯ÏiΒ #Y‰ö6tã #y‰y`uθsù
∩∉∈∪ $Vϑù=Ïã
“Dan kami telah mengajarnya ilmu yang datang dari sisi Ilmu Kami. (QS. al-Kahfi : 65).27 Ilmu tersebut adalah ilmu yang diperoleh bukan dari pembelajaran biasa, kepentingan untuk pencapaian ‘ilm al-yaqîn ini dapat dilihat dari §É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóϑ y ø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 * sisi kedudukan ilmu berciri tersebut sebagai sebagian dari al-Hikmah yang sewajarnya dimiliki oleh umat Islam. Al-hikmah yang dimaksud adalah al’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ hikmah dari aspek teori, sedangkan al-hikmah dari aspek amal al-haq atau al-hikmah dari aspek praktek. Tidak mungkin seseorang dapat melakukan t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$# aktivitas kebaikan seandainya mereka tidak memiliki ‘ilm al-yaqîn. Ini berarti masyarakat manapun yang ingin maju dari aspek minda, ia perlu nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$# mencapai al-hikmah, khususnya yang bersifat teori karena ia menjadi landasan dan titik tolak utama agar lahirnya aktivitas mulia dalam Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( #( ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ suatu masyarakat selaras dengan al-hikmah, maka ia akan dikurniakan kebaikan yang banyak. Sedangkan hadis menegaskan bahwa al-hikmah, * ∩⊇∠∠∪ tβθà)−Gßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θè%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩù't7ø9$# t⎦⎫Ïnuρ keciciran umat Islam.28 Ia seharusnya diambil dimana saja ia ditemui. Di sini umat Islam dapat melihat betapa pentingnya suatu bangsa memiliki al-hikmah untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _611
Antara kaidah yang disarankan oleh beberapa ilmuan Islam untuk mencapai al-hikmah adalah melalui dalil-dalil akliah berdasarkan penggunaan kaidah al-burhân, satu seni silogisme yang menjadi sendi utama pembahasan ilmu mantiq. Dalil-dalil yang dikategorikan sebagai al-burhân dapat dianggap sebagai dalil yang dapat diterima dan valid.
D. Akidah yang wajib diimani Apa yang dituntut oleh Islam kepada penganutnya, kata Ahmad Tafsir29, ialah membenarkan dan mengakui dengan dua kalimah syahadah, ia merupakan 7∃ρã÷èyϑÎ/ £⎯asas èδθè%terpenting Í‘$sù ÷ρr& >∃dalam ρã÷èϑ y akidah Î/ £⎯èδθäIslam. 3Å¡øΒr'Pengucapannya sù £⎯ßγn=y_r& z⎯øón=t/adalah #sŒÎ*sù suatu tema penting yang bernaung dibawahnya akidah Islamiyah. Dua kalimah àátãθムöΝsyahadah à6Ï9≡sŒ 4 ini ¬!berarti nοy‰≈y㤱tidak 9$# (#θßada ϑŠÏ%Tuhan r&uρ óΟä3yang ΖÏiΒ 5Αdisembah ô‰tã ô“ρu sŒmelainkan (#ρ߉Íκô−r&uρ Allah SWT. ia suatu zat yang mutlak yang Esa, tanpa saingan, tanpa lawan, yang …ã&©! ≅yèyang øgs† ©!Awal, $# È,−Gtƒ yang ⎯tΒuρ Akhir, 4 ÌÅzFψ$#yang ÏΘöθu‹ø9Zahir $#uρ «!$$dan Î/ Ú∅ ÏΒ÷σãƒBathin, tβ%x. ⎯tQadim Β ⎯ÏμÎ/ tanpa Awal, Azali tanpa permulaan, wujud tanpa kesudahan, Abdi tanpa akhir. Memiliki uθßγsù «! $# ’n?tã ö≅sifat ©.uθtGkebesaran tƒ ⎯tΒuρ 4 Ü=dan Å¡tFøtkelihatan s† Ÿω ß]ø‹(Jalal) ym ô⎯ÏΒserta çμø%ã—kesempurnaan. ötƒuρ ∩⊄∪ %[`tøƒxΧ Tidak ada yang maujud yang menyamai-Nya dan ia tidak menyerupai yang maujud, _ y ô‰pun. s% 4 ⎯ÍIkrar νÌøΒr& àdengan Î=≈t/ ©!$# ketunggalan ¨βÎ) 4 ÿ…çμç7ó¡ym ∩⊂∪ #Y‘ô‰ias% tidak &™ó©x« menyerupai Èe≅ä3Ï9 ª!$# Ÿ≅yèapa Allah SWT. juga memperakui Rubûbiyyah dan Ulûhiyyah Allah SWT.. Begitu juga dalam dua kalimah syahadah, kata Muhammad Abduh30 merangkumi suatu yang jelas, kepatuhan dan keyakinan tentang $¯Ρà$©! ⎯ÏΒ çμ≈orisalah Ψ÷Κ¯=tæuρ $tΡNabi ωΖÏã Muhammad ô⎯ÏiΒ Zπyϑômu‘ çμ≈oSAW. Ψ÷s?#u™ !$dan tΡÏŠ$t6Ïã ô⎯ÏiΒkebenaran #Y‰ö6tã #y‰y`apa uθsù kebenaran juga yang dibawa oleh Rasul dari segi akidah dan hukum-hukum. Dengan ∩∉∈∪ $Vakan ϑù=Ïã membuat pengakuan terhadap risalah Nabi Muhammad SAW. membawa kepada beriman dengan kebenaran al-Qur’an dan persoalan yang telah diterangkan oleh wahyu seperti para Rasul, Malaikat, Kitabkitab dan hari akhirat31 sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat alBaqarah ayat 177 dan 285 berikut:
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 * ’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûuρ t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
§É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 *
612_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9$#uρ Ïπx6Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™ ô⎯tΒ
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
™Ï !#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( (#ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ ô⎯tΒ §É9ø9$# £⎯Å3≈s9uρ É>Ìøóyϑø9$#uρ É−Îô³yϑø9$# Ÿ≅t6Ï% öΝä3yδθã_ãρ (#θ—9uθè? βr& §É9ø9$# }§øŠ©9 * ∩⊇∠∠∪ tβθà)−Gßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θè%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩù't7ø9$# t⎦⎫Ïnuρ ’tA#u™uρ z⎯↵Íh‹Î;¨Ζ9$#uρ É=≈tGÅ3ø9#$ uρ Ïπ6 x Íׯ≈n=yϑø9$#uρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ z⎯tΒ#u™
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$# hari Kemudian, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$# musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( (#ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka ∩⊇∠∠∪ tβθà)−Gßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θè%y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩù't7ø9$# t⎦⎫Ïnuρ itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177)
«!$$Î/ z⎯tΒ#u™ <≅ä. 4 tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ ⎯ÏμÎn/§‘ ⎯ÏΒ Ïμø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$yϑÎ/ ãΑθß™§9$# z⎯tΒ#u™
(#θä9$s%uρ 4 ⎯Ï&Î#ß™•‘ ⎯ÏiΒ 7‰ymr& š⎥÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω ⎯Ï&Î#ß™â‘uρ ⎯ÏμÎ7çFä.uρ ⎯ÏμÏFs3Íׯ≈n=tΒρu ∩⊄∇∈∪ çÅÁϑ y ø9$# šø‹s9Î)uρ $oΨ−/u‘ y7tΡ#tøäî ( $oΨ÷èsÛr&uρ $uΖ÷èÏϑy™
kepadanya dari t⎦⎪Ï%“Rasul ©!$# ∩⊄∪telah z⎯ŠÉ)beriman −Fßϑù=Ïj9 “Wkepada ‰èδ ¡ ÏμAl-Qur’an ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ yang Ÿω Ü=diturunkan ≈tGÅ6ø9$# y7 Ï9≡sŒ ∩⊇∪ $Ο !9#
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada t⎦⎪Ï%©!$#uρAllah, ∩⊂∪ tβMalaikat-malaikat-Nya, θà)ÏΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nοkitab-kitab-Nya 4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒdan uρ Í=rasul-rasul-Nya. ø‹tóø9$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σム(mereka mengatakan): «Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan dari ∩⊆∪ tβθãΖyang Ï%θムö/lain) ãφ ÍοtÅz Fψ$$Rasul-rasul-Nya», Î/uρ y7Î=ö7s% ⎯ÏΒ tΑÌ“Ρédan & !$tΒmereka uρ y7ø‹s9Î)mengatakan: tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3 tβθã«Kami ΖÏΒ÷σムdengar dan kami taat.» (mereka berdoa) : «Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah ∩∈∪ šχθßtempat sÎ=øßϑkembali.» ø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã y7Íׯ≈s9'ρé&
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _613
Begitu juga Ubadah ibn al-Samit32 telah meriwayatkan daripada Rasulullah SAW.; Artinya: siapa yang mengaku bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba dan Rasulnya, Isa adalah hamba Allah dan Rasul dan kalimahNya yang diberi kepada Maryam dan Ruh dari-Nya. Surga itu kebenaran dan neraka itu kebenaran. Allah memasukkan kedalam syurga mengikut amal yang telah dilakukan oleh seseorang. (H.R.Bukhari dan al-Tarmizi). Hadis tersebut menjelaskan tiga dasar penting yang terdapat dalam akidah Islamiyah, yang diwajibkan oleh Islam kepada umatnya supaya mereka mengetahui dan beriman. Pertama : Mengenal dan beriman dengan Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya, ini dikenal dengan istilah (alIlahiyyat). Kedua : Mengenal dan beriman dengan perantara (al-wasilah) antara Allah SWT. dan hamba-hamba-Nya yaitu beriman dengan para Rasul, Malaikat dan Kitab-kitab, ini diistilahkan dengan (alnubuwwat). Ketiga : Mengenal dan beriman dengan hari kebangkitan, hisab, pembalasan dan lain-lain, ini diistilahkan dengan al-sam‘iyyah. Kesimpulan, kebenaran yang terdapat dalam akidah Islamiyah yang menjadi fokus pembahasan artikel ini harus dipahami oleh umat Islam secara keseluruhan. Pemahaman mereka itu seharusnya sejalan dan seiring dengan pelaksanaannya terhadap amal-amal yang menjadi syarat bagi kesempurnaan akidah tersebut. Ini bertujuan supaya akidah tidak tinggal sebagai teori saja, tetapi diamalkan agar dapat mendatangkan manfaat kepada individu dan masyarakat dalam mengharungi kehidupan duniawi. Pada kenyataan yang ditemui dalam masyarakat hari ini justru sebaliknya, teori melebihi praktiknya. Hal ini harus menjadi pertimbangan dan kesadaran umat Islam kedepan mari memperbaiki kelemahan yang terjadi selama ini.
E. Akidah dan kesempurnaan Insan Dari uraian di atas menunjukkan bahwa iman yang benar itu bukan hanya suatu teori atau pengakuan hati saja tanpa adanya amal atau
t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4†n1öà)ø9$# “ÍρsŒ ⎯ÏμÎm6ãm 4’n?tã tΑ$yϑø9$#
nο4θŸ2¨“9$# ’tA#u™uρ nο4θn=¢Á9$# uΘ$s%r&uρ ÅU$s%Ìh9$# ’Îûρu t⎦,Î#Í←!$¡¡9$#uρ È≅‹Î6¡¡9$#
614_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!$y™ù't7ø9$# ’Îû t⎦⎪ÎÉ9≈¢Á9$#uρ ( (#ρ߉yγ≈tã #sŒÎ) öΝÏδωôγyèÎ/ šχθèùθßϑø9$#uρ
perbuatan. Sesungguhnya iman itu ialah akidah, amal dan keikhlasan. Di samping seringkali amal ∩⊇∠∠∪ tβθà)itu, −Gßϑø9iman $# ãΝèδ y7 Íׯ≈s9'ρé&uρ ( (#θèdigandengkan %y‰|¹ t⎦⎪Ï%©!$# y7dengan Íׯ≈s9'ρé& 3 Ĩ ù't7ø9$#shaleh. t⎦⎫Ïnuρ Amal shaleh yang penulis maksud ialah setiap perbuatan yang dapat membawa kebaikan di dunia dan di akhirat apakah ia untuk kebaikan individu atau masyarakat serta kebaikan kerohanian dan kebendaan. Oleh sebab «!$$Î/ z⎯ tΒ#u™ <≅itu, ä. 4 akidah tβθãΖÏΒ÷σßϑadalah ø9$#uρ ⎯Ïμasas În/§‘ ⎯ÏΒatau Ïμø‹s9dasar Î) tΑÌ“Ρé&kesempurnaan !$yϑÎ/ ãΑθß™§9$# hidup z⎯tΒ#u™ manusia atau insan.
(#θä9Kesempurnaan $s%uρ 4 ⎯Ï&Î#ß™•‘ ⎯ÏiΒinsan 7‰ymada r& š⎥ ÷⎫t/ ä−ÌhxçΡ Ÿω dengan ⎯Ï&Î#ß™â‘uρkonsep ⎯ÏμÎ7çFä.muttaqûn uρ ⎯ÏμÏFs3Íׯ≈dan n=tΒρu hubungannya
muflihûn 33sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat y ø9$# šø‹s9Î)uρ $oΨ−/u‘ y7tΡ#tøäî ( $oΨ÷èsÛr&uρ $uΖ÷èÏϑy™ ∩⊄∇∈∪ çÅÁϑ 1-5 seperti berikut:
t⎦⎪Ï%©!$# ∩⊄∪ z⎯ŠÉ)−Fßϑù=Ïj9 “W‰èδ ¡ Ïμ‹Ïù ¡ |=÷ƒu‘ Ÿω Ü=≈tGÅ6ø9$# y7Ï9≡sŒ ∩⊇∪ $Ο!9#
t⎦⎪Ï%©!$#uρ ∩⊂∪ tβθà)ÏΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σム∩⊆∪ tβθãΖÏ%θムö/ãφ ÍοtÅzFψ$$Î/uρ y7Î=ö7s% ⎯ÏΒ tΑÌ“Ρé& !$tΒuρ y7ø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$oÿÏ3 tβθãΖÏΒ÷σãƒ
∩∈∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ y7Íׯ≈s9'ρé&uρ ( öΝÎγÎn/§‘ ⎯ÏiΒ “W‰èδ 4’n?tã y7Íׯ≈s9'ρé&
“Alif lâm mîn. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (AlQur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 1-5) Huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al-Qur’an seperti: Alif lâm mîm, Alif lâm râ, Alif lâm miim shâd dan sebagainya. Ahli tafsir seperti Muhammad ibn al-Husni34 ada mengarahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyâbihât, dan ada pula yang menafsirkannya sebagai nama
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _615
surat, ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan AlQur’an itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Allah dan Hanya buatan Muhammad saw semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al-Qur’an itu. Sedangkan Imam al-Jalil al-Hafidz alDimasyiqi35, mengatakan Tuhan menamakan Al-Qur’an dengan AlKitab, di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an yang diperintahkan untuk ditulis. Taqwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, tidak cukup diartikan dengan takut saja. Selanjutnya Imam al-Jalil mengungkapkan Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tandatanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Yang ghaib ialah yang tidak dapat dilihat oleh mata, percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang wujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, Karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. Shalat menurut bahasa Arab36 adalah do’a. menurut istilah syara’ ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah SWT.. Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusyu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. Rizki adalah segala yang dapat diambil manfaatnya, menafkahkan sebagian rizki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah dirizkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari’atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anakanak yatim dan lain-lain. Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum
616_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Muhammad SAW. ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum alQur’an seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut dalam al-Qur’an yang diturunkan kepada para Rasul. Allah SWT. menurunkan Kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Malaikat Jibril AS., lalu kata Aisyah Abdurrahman37, Malaikat Jibril menyampaikannya kepada Rasul. Yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun, akhirat lawan dunia. kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir, ialah orang-orang yang mendapat apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah sesudah mengusahakannya. Dalam ayat di atas, Allah SWT. menjelaskan bahwa orang-orang yang berhasil itu adalah orang-orang yang bertaqwa, beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat. Ringkasnya, orang yang beriman dan beramal sholeh akan mendapat keberhasilan. Kesempurnaan dan kebahagiaan dapat dirasai seseorang apabila adanya keseimbangan dalam tiga aspek penting dalam hidupnya yaitu spiritual, pisik dan mental. Rasulullah SAW. adalah contoh yang paling baik untuk dijadikan ikutan. Rasulullah SAW. tidak mengabaikan aspek-aspek jasmani dan mental di samping mementingkan aspek rohani. Didalam al-Qur’an ada disebutkan dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat. Untuk mengeluarkan zakat merujuk kepada nisab harta, bagimana hendak berzakat dan bersedekah jika tidak memiliki harta yang cukup nisab. Oleh sebab itu, perlu dipahami bahwa unsur kekayaan itu tidak diabaikan oleh Islam, tetapi ada batas-batasnya karena ia juga menjadi unsur kearah kesempurnaan. Walaupun begitu, kesempurnaan tidak dapat diukur dari segi kebendaan semata-mata karena belum tentu ia boleh memberi kesempurnaan sepenuhnya.
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _617
F. Penutup Sebagai kesimpulan dari pembahasan artikel ini, penulis berpendapat tidak seharusnya manusia keterlaluan dalam mengejar satu aspek saja dari berbagai aspek dalam Islam. Ada yang kadangkala keterlaluan atau berlebihan sehingga menyepelekan keduniaan dengan alasan untuk mencari kesempurnaan, begitu juga kadangkala keterlaluan dalam mengejar keduniaan sehingga menyepelekan keakhiratan dengan alasan yang sama untuk mendapat kenyamanan dan kebahagiaan. Oleh sebab itu, contohlah Rasulullah SAW. karena Rasul adalah manusia mithali dan insan kamil yang sangat mementingkan akidah, syariat dan akhlak. Sebenarnya kombinasi antara tiga serangkai ini mampu menyempurnakan kehidupan insan dan peradabannya. Perjuangan untuk merealisasikan hakikat-hakikat ini adalah suatu jihad yang memerlukan pemahaman, ketabahan dan kesabaran oleh semua pihak. Iman yang benar itu bukan hanya suatu teori atau pengakuan dimulut saja tanpa adanya amal atau perbuatan. Sesungguhnya iman itu ialah akidah, amal dan keikhlasan. Di samping itu iman seringkali digandengkan dengan amal shaleh. Amal shaleh yang dimaksud ialah setiap perbuatan yang dapat membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Apakah ia untuk kebaikan individu atau masyarakat serta kebaikan kerohanian dan kebendaan. Oleh sebab itu, akidah dasar untuk mencapai kesempurnaan iman seorang muslim atau dalam istilah artikel ini insan. Artikel ini bermaksud mengajak pembaca supaya berusaha atau mencari kesempurnaan iman sejak dini sampai berakhirnya kehidupan seseorang.
618_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-karim Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulûm alDîn, Cairo : Muassasah al-Halabi wa Shurakah. 1967 Abdurrahman, Aisyah. Tafsîr Bintusyi Syathi. Terj. Muzahir Abdussalam. Bandung Mizan, 1996 Abduh, Muhammad. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Cairo, Ta’lîf Muhammad Rasyid Ridha, al-Manâr, 1333H/1993. Abu Urwah, Konsep-Konsep Umum Islam. Pustaka Salam. 1970. Abu Zahrah, Muhammad. Al-Dakwah al-Islam. Cairo: Dâr al-Fikri, 1972. Al-Ghazâlî, Muhammad. ‘Aqîdah al-Muslimun. Cairo: Dar al-Kutub alHadîsah, 1967. Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Syari’at al-Islâmiyyah Dirâsat alMuqarramah bain al-Muzahib Ahl al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah. Mesir, Dâr al-Kutub al-Hadîsah, 1968 A. Karim Zaidan, Ilmu Dakwah. Dewan Pustaka Fajar. 1987 Al-Islam, 1997 Ali Abd. Halim Mahmud, Fiqh Dakwah Ilahiah. Mansurah: Dar al- Wafa’. 1990 Al-Qardawi. Al-Iman wa al-Hayah. Cairo: Maktabah wahdah, 1973 Brill, E. L. Encyclopedia of Islam. 1965 Al-Husni, Muhammad Ibn. ‘Alawi al-Itaqin fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir: Dâr al-Syuruq,1983. Al-Hafidz, al-Jalil Imam. ‘Imâd al-Dân Abû biha Ismâ’îl al-Qurasyî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm. Beirut li Ibni ‘Alim al-Kutub, t.th. Anis, Ibrahim dkk. Al-Mu’jam al-wasith. Istambul-Turki, Dâr al-Da’wah, 1989. Defleur, M.C & Dennis, E. E. Understanding Mass Communication. A
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _619
Liberal Arst Perspective, 6th Edit, Boston Hougthon Mifflin. 1989 Halonen, J. S. & Santock, J. W. Psychology. Contexts and Applications. Boston: Mc Graw Hill. 1999. Muhammad al-Ghazali. Raka iz al-Iman. Cairo: Dar al-Shu’bi. 1973 Muhammad al-Ghazali. ‘Aqidah al-Muslimûn. Cairo: Dâr al-Kutub alHadithah. 1985 Muhammad al-Ghazali . Difa an al-Aqidah wa al-Shari’ah. Cairo : Dar alKutub al-Hadithah 1965 Quthub, Sayyid. Dlm A. Ilyas Ismail. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an, Pegangan bagi Aktivis. Jakarta, Penerbit Lantera, 2001. Sabiruddin, Berdakwah Era Multimedia. Jurnal Internasional. Kuala Lumpur.2002 Sa’id Hawwa. al-Islam, Cairo : Maktabah Wahbah. 1977 Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995. Taimiyyah, Taqiyuddin Ibn. Tafsir Surah al-Nur. Beirut, Dar al-Kutub alIslâmiyyah. 2003 cet. I Ubadah Ibn al-Samit. Al-Syari;at al-Islamiyyah Dirasat al-Muqaramah bain al-Muzahib Ahl:Al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah. Mesir Dar alKutub al-Hadisah, 1980. Muhammad Bisar. al-Aqidah wa al-Akhlaq. Cairo: Maktabah al-Anglo alMisriyyah. 1973 Ahmad Ghalwash, al-Dakwah al-Islamiyah. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri. Bairut : Dâr al-Kutub al-Lubnani 1979. Mahmud Shaltut. al-Islam : Aqidah wa Shari’ah. Cairo: Dar al-Qalam. t.th Ibn Hisham. Sirah Ibn Hisham: Bairut, Maktabah al-Risalah. 1989 Ibrahim Imam, Dr.Usul al-I’lam Islami. Kaherah: Darul Fikr Arabi. 1980.
620_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Endnotes
1. Sayyid Quthub dalam A. Ilyas Ismail, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an, Pegangan bagi Aktivis, Jakarta : Penerbit Lentera, 2011, h. 52.
2. Abû Hamîd Ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, jilid III Cairo Muassasah al-Halabi wa Shurabahu, 1967 h. 32
3. ‘Alî ‘Abd. Al-Halîm Mahmûd, Fiqh Dakwah Ilahiah, Muassasah ; Dâr al-Wafâ’, 1990 h. 79
4. Abû ‘Urwah, Terj. Konsep-konsep Umum Islam, Shah Alam, Selangor, Malaysia, Pustaka Salam, 1970 h. 201
5. Yûsuf al-Qardawi, al-Îmân wa al-Hayah, Cairo, Maktabah wahdah, 1973 h. 55 6. Qs An-Nahl ayat 106 7. Muhammad al-Ghazali, Rakâ’iz al-Îmân wa al-Syarî’ah, Cairo : Dâr al- Syu’bi 1973, h. 78
8. Qs al-Kahfi ayat 107, 108, an-Nahl ayat 97, al-Ashr ayat 1-3, al-Ahqaf ayat 13 9. Muhammad al-Ghazali, Difa an al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah. Cairo : Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1965, h. 79
10. Qs al-Baqarah ayat 2-5. 11. Said Hawwa, Al-Islâm al-Asas fi al-Tafsîr, Cairo, Dâr al-Salâm, 1977, h. 113 12. Ibrahim Anis dkk. . Al-Mu’jam al-Wasith, Istambul-Turki : Dâr al-Da’wah, 1989, h 76
13. Qs al-Baqarah ayat 136 14. Qs an-Nisa’ ayat 63 15. Ibnu Hisham dan Ibrahim Imam, Ushûl al-I’lâm Islâmî, Kaherah : Dâr Al-Fikr ‘Arabî, 1986, h. 321
16. Ibn Hisham, Sirah Ibn Hisham, Beirut, Maktabah al-Risalah, 1989, h. 87 17. Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-IslâM,, Kaherah, Mesir : Dâr alFikri, 1972, h. 54
18. Taqiyuddin Ibn Taimiyyah. Tafsîr Surah al-Nûr. Beirut : Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah. Cet. I.1993
19. Muhammad Husain al-Zahabi al-Syari’at al-Islâmiyyah Dirasat al-Muqaramah bain al-Muzâhib Ahl. Al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah, Mesir : Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1968 h. 108
Aqidah Asas Kesempurnaan Insan _621
20. Qs al-Shams ayat 6 -10, al-‘Ala ayat 14 dan Muhammad ayat 17 21. Muhammad al-Ghazali, Aqidah al-Muslimun, Cairo : Dâr al-Kutub alHadithah, 1967 h. 18.
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Muhammad al-Ghazali, op Cit Muhammad al-Ghazali op Cit Qs at-Th.aq ayat 2-3 al-Ghazali ibid h. 16 al-Ghazali, ‘Aqîdah al-Muslimûn, Cairo : Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1967, h. 43 Qs surah al-Kahfi 18:65 Sabda Rasulullah s.a.w Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1995, h. 202
30. Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Cairo, Ta’lif Muhammad Rasyid Ridha, al-Manar, 1333H/1893 M jilid III
31. Qs al-Baqarah ayat 177 dan 285 32. Ubadah ibn al-Samit. Al-Syari’at al-Islamiyyah Dirasat al-Muqaramah bain alMuzahib Ahl. Al-Sunnah wa Muzahib al-Ja’fariyyah. Mesir : Dâr al-Kutub al-Hadisah, 1968, h. 276
33. Qs al-Baqarah ayat 1-5 34. Muhammad Ibn al-Husni. ‘Alawi, al-Itaqin Fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir : Dâr al-Syuruqt.1983, h. 74
35. Imam al-Jalil al-Hafidz al-Dimayqy. ‘Imad al-Din Abu Fiha’ Ismail alQurasyi,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut, Li ibni’alim al-Katib, t.th , h. 209.
36. Ibrahim Anis, dkk. Al-Mu’jam al-Wasith, Istambul-Turki, Dâr al-Dakwah, 1989, h 321
37. Aisyah Abdurrahman. Tafsir Bintusyi Syathi’, Terj. Muzakir Abdussalam, Bandung, Mizan, 1996, h 108
622_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _623
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
624_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam (
[email protected]).