Menulis Biografi, Jadikan Hidup Anda Lebih Bermakna!
i
Kutipan Pasal 44, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia tentang HAK CIPTA; Tentang Sanksi Pelanggaran Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
LIFE STORY Publisher adalah divisi penerbitan CENDEKIA Communications yang didirikan dengan tujuan mendorong masyarakat gemar menulis kisah hidup dirinya dan kisah hidup orang lain dalam bentuk buku biografi, demi memetik hikmah kearifan dan keteladanan, serta menjadikan hidup lebih bermakna
ii
Zulfikar Fu’ad
Menulis Biografi, Jadikan Hidup Anda Lebih Bermakna! * Kiat Ramadhan K.H. Menulis Biografi yang Memikat dan Menyejarah
iii
Menulis Biografi, Jadikan Hidup Anda Lebih Bermakna! * Kiat Ramadhan K.H. Menulis Biografi yang Memikat dan Menyejarah l Penulis: Zulfikar Fu’ad Staf Riset dan Data: Anik Dini Hariyati Editor: Adhyani B. Utomo dan Anik Dini Hariyati Desain sampul: Penata letak isi: l Cetakan Pertama: November 2008 l LIFE STORY Publisher www.penulisbiografi.com
[email protected] l ISBN: 978-979-18881-0-3
iv
Menulis Biografi, Upaya “Penelanjangan”Diri Oleh: Djadjat Sudradjat
MENULIS biografi adalah semacam upaya “penelanjangan” diri: diri sendiri dan diri orang yang ditulis. Dan, seseorang yang bersedia menulis atau ditulis biografinya haruslah siap dengan penelanjangan itu. Mereka harus siap memindahkan ruang privat yang biasanya sangat sempit dan tertutup ke bentangan ruang publik yang luas tak bertepi ketika menjadi buku. Sebab, salah satu kekuatan biografi adalah kejujuran dari sang subjek untuk membuka diri selebar-lebarnya. Biografi mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, My Life Bill Clinton (2004) amat ditunggu publik (Amerika) karena ada pengakuan jujur hubungan sang presiden dengan Monica Lewinsky, pekerja magang Gedung Putih, yang amat menghebohkan itu. Bahkan, ketika masih dalam proses penulisan saja pihak penerbit telah membayar Clinton 12 juta dolar AS (sekitar Rp120 miliar). Penjelasan Clinton tentang hubungannya dengan Lewinsky
v
dinilai publik Amerika sebagai sesuatu yang bisa diterima. Apalagi Clinton juga merasa amat terpukul dengan kasus itu. “I was deeply ashamed of it and I didn’t want it to come out (Saya sungguh malu tentang hal itu [skandal cintanya dengan Lewinsky] dan saya tidak ingin hal ini sampai ke luar, “ (hlm.774). Sebelumnya, buku yang juga mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Amerika salah satunya adalah The Autobiography of MALCOM X (1992) yang dituturkan kepada Alex Halay. Tokoh karismatik kulit hitam itu mampu menceritakan kisah hidupnya yang getir dan berlumpur sebagai orang kulit hitam di tengah hegemoni kulit putih yang amat diskriminatif. Ia menuai simpati karena mengungkapkan sisi gelap negeri demokrasi yang tidak memberikan tempat kepada minoritas (sekurangnya sebelum tahun 1960-an). Biografi Malcom X adalah cerita pilu tentang anak manusia di negeri pencetus HAM. Buku ini menjadi bestseller versi The New York Times. Sementara buku biografi Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007) — dengan embelembel “an authorized Biography” — yang ditulis Retnowati Abdulgani-Knapp dinilai amat pro Soeharto. Sebab, berkali-kali dalam tulisannya, putri tokoh nasional Ruslan Abdulgani itu memohon kepada pembaca supaya memaklumi Soeharto sebagai orang yang telah berjasa besar terhadap Indonesia. Padahal, banyak hal mengenai Soeharto masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat, bahkan masih kontroversial. Penulis dianggap telah “ambil bagian” terlalu banyak dalam menulis biografi Soeharto.
vi
Memang, menulis biografi yang menggugah dan berdaya tahan lama tidaklah mudah. Sang penulis harus pandai-pandai menggali berbagai hal dari tokoh yang hendak ditulis–-termasuk hal yang sangat sensitif dan sangat pribadi sifatnya. Sementara autobiografi (yang ditulis sendiri atau seperti diceritakan kepada orang lain) juga butuh daya ingat yang tajam tentang masa silam dan kejujuran yang prima tentang berbagai hal yang pernah menjadi pengetahuan/gunjingan publik. Di Indonesia penulis biografi belumlah banyak. Tetapi, di antara yang sedikit itu, Ramadhan Kartahadimadja atau yang populer dengan nama Ramadhan Kh., termasuk yang istimewa. Karena, sastrawan kelahiran Bandung, 16 Maret 1927 ini, kemudian mengkhususkan diri menulis biografi dan bahkan merintis apa yang disebut roman biografi. Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit Garnasih dengan Bung Karno (1981) dan juga Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982) adalah contoh roman biografi itu. Dalam Kuantar ke Gerbang, Ramadhan sangat berhasil mengorek percintaan Inggit yang telah bersuami dengan pemuda Soekarno. Mantan anggota Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta ini menulis lebih dari 30 buku, dan dari jumlah itu sepertiganya adalah biografi. A.E. Kawilarang, Soeharto, Soemitro, D.I. Panjaitan, Hoegeng, Mochtar Lubis, dan Ali Sadikin adalah nama-nama besar yang pernah digarap biografinya oleh Ramadhan. Yang istimewa, seperti pernah ia katakan kepada saya, Ramadhan menulis semua naskah buku dengan tulisan tangan. Akan tetapi, dari sekian banyak buku biografi Ra-
vii
madhan, yang menyedot perhatian publik amat luas adalah biografi penguasa Orde Baru, Soeharto, berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Buku ini ia tulis bersama G. Dwipayana. Buku yang menghebohkan itu, ternyata hasil dari dua kali pertemuan dengan Presiden Soeharto secara langsung. Selebihnya ia mengajukan pertanyaan secara tertulis. Namun, meski buku itu mendapat sambutan luas, seperti yang ia katakan kepada saya, Ramadhan tidak happy. Sebab, ia merasa tidak berhasil mengorek perasaan sang jenderal besar itu. Ia memang meminta kepada G. Dwipayana, yang waktu itu sebagai orang di lingkaran dalam istana, supaya boleh sebebas-bebasnya menanyakan kepada Soeharto dan jangan dicurigai. Dwipayana setuju. “Tetapi, toh masih ada saja kekurangannya. Ketika pertanyaan itu diajukan memang (jawabannya) tidak keluar dari Pak Harto. Minim sekali. Pikirannya, ucapannya, action-nya, memang ya, tetapi perasaannya tidak. Itu sebabnya, judulnya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Karena saya tidak berhasil mengorek perasaaanya. Pak Harto agaknya pandai menyimpan perasaannya,” kata dia kepada saya. (Media Indonesia, 27 Desember 1992). Kekecewaan Ramadhan, selain amat sedikit bertemu Soeharto, sebagai penulis ia juga merasa kurang dihargai. Ketika menanyakan imbalannya sebagai penulis, misalnya, ia dipingpong pihak Cendana. Ia pernah menanyakan kepada Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto sebagai bos PT Citra Lamtoro Gung Persada–penerbit buku tersebut—tapi mendapat jawaban yang kurang menyenangkan. Ramadhan disuruh menanyakan hasil jerih
viii
payahnya menulis kepada Sekretariat Negara. “Saya kecewa sekali,” kata dia lirih. (Waktu itu [tahun 1992] ia wantiwanti bagian ini tidak dimuat di koran. Saya setuju, dengan pertimbangan agar Ramadhan dan Media Indonesia tidak mendapat kesulitan dari penguasa). Setelah biografi Soeharto, tiga tahun kemudian ia menulis memoar mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan judul Bang Ali, Demi Jakarta (1966-1977). Bang Ali adalah seteru berat Soeharto. Dengan menulis Bang Ali, sang seteru penguasa Orde Baru itu, terlihat kekecewaan Ramadhan tertebus. Hubungan keduanya (Ali SadikinRamadhan) memang cukup dekat. Waktu itu, pada 1992, ia memberikan buku Bang Ali kepada saya dengan harapan Media Indonesia meresensinya. Dan, saya memang meresensinya dengan memuji buku tersebut sebagai buku bermutu, karena berisi keteladanan seorang gubernur yang berani, tegas, dan penuh inovasi. Bang Ali meninggalkan Balai Kota–karena tidak dipilih lagi sebagai gubernur oleh Soeharto— justru ketika ia dalam puncak keharuman namanya! Dari sekian banyak buku biografi yang ditulis pengagum penyair Spanyol Federico Garcia Lorca itu, agaknya, yang paling tidak tidak memberikan kepuasan batin–juga mungkin finansial—justru ketika Ramadhan menggarap biografi seorang presiden. Secara awam saja, mestinya biografi Soeharto itulah yang paling membanggakan dan paling mendatangkan materi. Ternyata dua-duanya tidak! Ini artinya, bagi seorang penulis, khususnya Ramadhan Kh., bahwa kepuasaan batin adalah perkara paling utama dalam menulis.
ix
PENULISAN biografi adalah wilayah terbuka, amat menantang, dan belum banyak yang memilih sebagai spesialisasi garapan. Karena itu, adalah pilihan tepat kalau ada di antara kita memilih “genre” penulisan ini sebagai pilihan. Dan, buku yang ditulis Zulfikar Fu’ad ini, bisa membantu pembaca, terutama yang ingin menekuni penulisan biografi. Ia bisa sebagai “penuntun”. Pilihan Ramadhan Kh. yang sebelumnya dikenal sebagai seorang penyair, novelis, dan wartawan, kemudian menggeluti penulisan biografi, sebagai garapan utama dalam buku ini adalah pilihan tepat. Pria yang oleh temanteman dekatnya dipanggil Kang Atun itu, dinilai sebagai penulis biografi terbaik, sosok rendah hati, dan pembimbing yang tekun. Meski sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri, karena mengikuti sang istri sebagai diplomat, ia tetap sebagai seorang Sunda, seorang Indonesia, seorang yang bersahaja. Dengan nama besar sebagai sastrawan, antara lain menulis Priangan Si Djelita (kumpulan sajak, 1956), Royan Revolusi (novel, 1958), Kemelut Hidup (novel, 1976), Keluarga Perma (novel, 1978), Untuk Sang Merah Putih (novel, 1988), dan Ladang Perminus (novel, 1990), penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 1993 ini tidak merasa harus membusungkan dada. Konkretnya, beberapa kali dalam menulis biografi, ia mengajak para penulis yang lebih junior, antara lain Abrar Yusra dan Ray Rizal. Inilah bimbingan nyata Ramadhan. Memang, belajar terbaik adalah langsung “magang” pada mereka yang dianggap punya reputasi. Tetapi, kalaupun bisa, Ramadhan cuma satu. Artinya, yang bisa
x
“nyantrik” untuk belajar niscaya amatlah sedikit. Terlebih lagi, sosok pembimbing itu sudah tiada. Ia telah berpulang pada 2006. Ia wafat tepat di hari ulang tahunnya, 16 Maret. (Tak banyak manusia yang dipanggil Sang Khalik tepat di hari kelahirannya! Lagi-lagi, Kang Atun, termasuk yang sedikit itu). Karena itu, sekali lagi, kehadiran buku Zulfikar Fu’ad menjadi penting sebagai penuntun penulisan biografi itu. Tentu, seribu buku panduan praktis sebaik apa pun tidak ada manfaatnya kalau tidak disertai praktik lapangan. Karena itu, hal terbaik adalah baca buku ini dan langsung action. Selamat “menelanjangi” diri sendiri dan diri orang lain. *** Bandar Lampung, 5 November 2008 DJAJAT SUDRAJAT Pemimpin Redaksi Lampung Post/ Anggota Dewan Redaksi Media Group.
xi
xii
Berada di Depan, Menerangi Bangsa Oleh: SURYA PALOH
MENULIS jejak para tokoh adalah juga mengungkap sistem nilai masyarakat yang melahirkan tokoh itu. Sebab, para tokoh juga lahir dari masyarakat. Lingkungan pergaulan atau milieu memang selalu punya peran penting terhadap kualitas manusia yang lahir di situ. Seperti misalnya Eropa. Kenapa di masa lalu benua itu amat banyak melahirkan filsuf, ilmuwan, seniman, dan kaum cerdik pandai? Untuk menyebut beberapa nama misalnya J.J. Rousseau, Niccolo Machiavelli, Charles Darwin, Copernicus, Rene Descartes, Voltaire, Francis Bacon, Albert Einstein, Sigmund Freud, Shakespeare, dan segudang nama lain lagi, lahir di benua itu. Lahirnya namanama besar ini pastilah karena Eropa mempunyai milieu dan tradisi pendidikan yang berkualitas. Di Indonesia, Sumatera Barat juga menjadi contoh yang menarik. Di masa silam geografi ini amat subur melahirkan tokok-tokoh besar baik di bidang politik maupun kebudayaan. Sebut misalnya, Haji Agoes Salim,
xiii
Mohammad Jamin, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Takdir Alisjahbana, Buya Hamka, serta sederet nama lain lagi. Mereka adalah para tokoh yang berperan sebagai pemandu masyarakat. Tetapi, ironisnya, kini di masyarakat kita justru ada semacam krisis keteladanan. Padahal, dari tokoh di masa silam kita tak kurang mempunyai contoh terbaiknya. Dari Bung Karno kita bisa belajar nasionalisme dan bagaimana ia menjaga martabat bangsanya, sehingga Indonesia punya wibawa di mata dunia. Dari Mohammad Hatta kita bisa belajar kesederhanaan, kesalehan, dan penghargaan terhadap pluralitas. Dari wilayah politik, kita sungguh bisa belajar dari para tokoh yang menjadi pelaku demokrasi di era 1950an, yang menurut banyak pengamat luar negeri sebagai masa paling menjanjikan dalam politik Indonesia. Sebab, di masa ini para politikus benar-benar belajar keras menjadi negarawan sejati. Mereka menjauhi perilaku korup. Mereka mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan. Mereka bisa sangat berbeda dalam berpolitik, tetapi tetap membangun hubungan kemanusiaan secara hangat! Karena itu, tidak salah jika almarhum Daniel Lev, seorang Indonesianis kenamaan, menganjurkan dalam berpolitik bangsa Indonesia tidak usah berkiblat jauh-jauh ke Eropa atau ke Amerika. Ia menyeru agar bangsa ini mempelajari politik milik sendiri, yakni demokrasi tahun 1950an yang bermutu tinggi. Ini artinya, kita sesungguhnya punya nilai-nilai keutamaan sebagai bangsa, tetapi sayang warisan bermutu itu kini dipinggirkan begitu rupa,
xiv
bahkan dibuang ke tempat sampah. Para politikus hari ini justru kerap mempertontonkan perilaku yang amat menyakitkan rakyat. Para tokoh, seharusnya memang berada di depan menerangi bangsanya. Jakarta, Agustus 2008 SURYA PALOH Presiden/CEO Media Group
• Tulisan ini dikutip dari buku “100 Tokoh Terkemuka Lampung” yang ditulis Heri Wardoyo dkk dan diterbitkan Harian Umum Lampung Post dengan sedikit penyesuaian pada judul dan dengan menghilangkan bagian akhir tulisan yang mengupas peran tokoh-tokoh Lampung, agar maknanya bisa lebih dipahami dalam konteks Indonesia. Wawasan Surya Paloh dalam artikel ini sengaja penulis kutip mengingat relevan dengan kondisi bangsa kita yang hari-hari ini berada dalam kondisi krisis keteladanan.
xv
xvi
Prakata Berguru kepada Ramadhan K.H. SEJAK kecil saya suka membaca. Membaca koran, buku, majalah, atau bacaan apa pun yang menantang dan menggerakkan pikiran. Namun—ini sebaiknya jangan ditiru— saya tidak suka membaca buku pelajaran sekolah atau buku komik, sebagaimana anak-anak pada umumnya. Itulah sebabnya, di sekolah saya tidak menonjol, baik dari segi prestasi belajar maupun kegiatan ekstrakurikuler. Yang saya baca kebanyakan justru konsumsi orang dewasa yang termasuk kategori bacaan “berat” seperti sejarah, politik, dan ekonomi bisnis. Kecenderungan ini ternyata “berbahaya” karena membuat saya menjadi orang serius dan cepat dewasa sebelum waktunya. Saya menjadi penyendiri, introvert, dan suka kesunyian. Menginjak masa SMA, saya makin sadar, dari sekian banyak bacaan yang saya baca, yang paling saya gemari adalah membaca profil tokoh di surat kabar dan buku biografi. Kehidupan, perjuangan, dan pemikiran para tokoh nasional dan internasional sangat menginspirasi dan menggerakkan pikiran saya.
xvii
Dari hanya membaca, kemudian berkembang hobi saya membuat kliping profil tokoh yang muncul di surat kabar. Kebiasaan baru pun bertambah dengan kegiatan mencatat peristiwa yang dialami tokoh-tokoh Indonesia dan luar negeri dalam buku harian. Di usia dewasa, saya kerap membaca buku biografi, baik yang ditulis oleh penulis Indonesia maupun luar negeri. Saya banyak membaca buku biografi karya penulis-penulis besar seperti Rosihan Anwar, Muhammad Hatta, Julius Pour, A. Makmur Makka, Ramadhan K.H., Michael H. Hart, Edward D. Said, Lambert Giebels, Robert Slater, John D. Legge, Alex Haley, M.A. Sherif, dan Riz Khan. Dalam setiap kesempatan, saya menuliskan catatan tentang kehidupan para tokoh dalam buku harian. Singkat kata, di kemudian hari, sekitar tahun 2002, saya mendapat kepercayaan dari seorang tokoh untuk menuliskan riwayat hidupnya dalam bentuk buku biografi. Perjalanan hidup Andy Achmad Sampurna Jaya, seorang tokoh daerah menjadi artis penyanyi yang populer di era 80-an dan mencapai puncak justru di panggung politik setelah terpilih menjadi kepala daerah. Pemimpin yang menurut masyarakatnya banyak berjasa mengubah keadaan Kabupaten Lampung Tengah yang tertinggal menjadi maju. Jauh sebelum itu, ia berjasa memopulerkan lagu daerah Lampung dan lagu melayu ke tingkat nasional di TVRI sejak era 80-an. Jujur saja, saya sempat bingung ketika menerima tawaran itu. Saya tidak cukup memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri saya. Dari tinjauan kapasitas pribadi, tidak ada alasan yang cukup bagi saya untuk menulis sebuah
xviii
biografi. Saya sadar bahwa menulis buku biografi jauh lebih sulit dibandingkan menulis berita untuk surat kabar, terutama sekali dari sisi proses kreatif penulisan serta pendalaman data kehidupan dan pemikiran tokoh. Latarbelakang karir jurnalistik saya tidak cukup memadai untuk menjadi penulis biografi. Meski demikian, saya tidak lantas patah semangat. Karena saya ingin mempersembahkan yang terbaik untuk buku biografi pertama yang akan saya tulis, maka saya putuskan untuk lebih banyak belajar, membaca berbagai buku biografi, meneliti dan mempelajari proses penulisan biografi, serta berusaha mendapatkan bimbingan dari penulis biografi yang berpengalaman. Dalam pikiran saya saat itu, satu-satunya cara untuk menjadi penulis biografi adalah berguru kepada penulis besar dan ternama. Minat yang tinggi untuk belajar menulis biografi membuat pikiran dan waktu saya ketika itu terkuras mencari cara: bagaimana bisa berguru tentang penulisan biografi kepada penulis biografi mumpuni di Indonesia. Siapa yang bersedia mendidik dan melatih saya? Saya mendiskusikan hal itu dengan Heri Wardoyo, wartawan Lampung Post yang berpengalaman sebagai editor buku. Kepada saya, ia merekomendasikan satu nama: Ramadhan K.H. Ia menyarankan saya untuk berguru kepada Ramadhan K.H. atas pertimbangan bahwa beliau adalah sastrawan besar, penulis besar, penulis biografi paling produktif dan terkemuka di Indonesia, dan— menurut informasi—beliau senang mendidik penulispenulis muda. Nama Ramadhan K.H. dalam benak khalayak
xix
Indonesia memang identik dengan biografi. Pada mulanya ia adalah seorang penyair, yang kemudian menjadi wartawan dan penulis roman. Belakangan, ia dikenal sebagai perintis penulisan buku biografi dengan gaya penulisan roman. Bahkan, sejarah mencatatnya sebagai satu-satunya penulis terbaik Indonesia untuk jenis penulisan roman biografi. Tak seorang pun dapat memungkiri, Ramadhan K.H. adalah penulis biografi Indonesia yang paling produktif pada abad ini. Setidaknya kisah hidup 30 orang tokoh terkemuka Indonesia sudah ditulis oleh Ramadhan. Mulai dari presiden, pengusaha, pejabat, jendral, hingga tokoh daerah, ia tulis dengan gaya memikat, menyentuh, inspiratif dan berwarna. Karya biografi Ramadhan yang semuanya ditulis dengan pendekatan orang pertama (autobiografis), memikat, dan menyejarah, antara lain: Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella, Bang Ali: Demi Jakarta 1966–1977, dan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Biografi yang ditulisnya menjadi rujukan banyak orang, baik dari dalam dan luar negeri. Bukan hanya karena nama besar tokoh yang ditulis atau peristiwa penting yang terkait tokoh tersebut, tetapi lebih karena model penulisan Ramadhan yang memikat. Hal yang membedakan karya Ramadhan dengan penulis biografi lainnya. Setelah membaca profil Ramadhan K.H. di sejumlah media, saya menarik kesimpulan bahwa rekomendasi rekan saya itu dapat dipertanggungjawabkan dan layak
xx
diikuti. Akhirnya, saya bertekad untuk mendapat kesempatan berguru kepada sang Maestro Biografi Indonesia itu: Ramadhan K.H. Tetapi, sebersit keraguan muncul dalam benak saya. Apakah mungkin saya berguru kepada Ramadhan K.H.? Apakah beliau berkenan mendidik dan melatih saya menulis biografi? Bagaimana cara untuk dapat bertemu beliau? Terlintas dalam pikiran, tentu saja tidak mudah bertemu seorang sastrawan dan penulis besar sekaliber Ramadhan K.H. Pasti beliau sangat sibuk dan tidak mungkin bersedia menerima saya yang hanya ingin belajar, dan jelas-jelas akan mengganggu kesibukannya. Apalagi, saya tidak akan mampu membayar guru privat seistimewa beliau. Beruntung saya kenal dengan Ebet Kadarusman, artis presenter yang pada era 90-an akrab disapa pemirsa di stasiun televisi dalam acara bertajuk “Salam Canda”. Kebetulan, Kang Ebet menjadi narasumber wawancara untuk buku pertama yang saya tulis. Dari Kang Ebet-lah saya jadi banyak tahu tentang Ramadhan K.H. Bahkan, saya sangat terbantu ketika Kang Ebet secara khusus menelepon Ramadhan K.H. untuk menyampaikan minat saya yang tinggi berguru menulis biografi kepada beliau. Gayung pun bersambut. Di seberang sana, Ramadhan menyatakan bersedia membimbing dan melatih saya. Ramadhan mengundang saya untuk berkunjung ke rumahnya di Kawasan Bintaro. Undangan itu saya sambut dengan gairah menggebu dan tampaknya impian menjadi penulis biografi bisa jadi kenyataan. Pintu peluang dan kesempatan sudah terbuka lebar-lebar buat saya.
xxi
Tidak membutuhkan waktu lama, beberapa hari setelah undangan itu, tepatnya 2 Juli 2002, bersama Supriyanto, rekan wartawan, saya mengunjungi Ramadhan K.H. di kediamannya di Jalan Puyuh Timur, Kawasan Bintaro Jaya, Sektor 5, Jakarta. Ramadhan menyambut kami dengan penuh hangat. Saya menyampaikan keinginan berguru kepada beliau dan tanpa ragu beliau menyatakan persetujuannya. Ia membuka akses dan memberi waktu memadai buat kami yang ingin belajar menulis biografi. Dialog yang sangat bernilai tentang pelajaran menulis biografi pun berlangsung seru. Kesimpulan saya saat itu, ternyata menulis biografi itu tidak mudah, bahkan tidak semudah seperti seorang jurnalis membuat berita wawancara khusus dan profil tokoh untuk media cetak. Menulis biografi adalah menulis kehidupan, oleh karena itu banyak hal yang harus dimiliki oleh seorang penulis biografi. Begitulah, sejak hari itu, saya resmi menjadi murid dan Pak Ramadhan juga resmi menjadi guru. Jiwa mendidik ternyata sangat mendarah daging dalam diri beliau, wajar jika telah banyak melahirkan penulis-penulis muda yang berbakat, produktif, dan terkemuka. Sebut saja misalnya Ratih Poeradisastra, Tatang Sumarsono dan Abrar Yusra. Dengan penuh kesabaran, beliau menjawab pertanyaan kami satu per satu. Di lain kesempatan, beliau dengan teliti mengoreksi naskah buku biografi yang kami tulis dan menuntun kami untuk menuliskannya dengan cara yang lebih baik. Pelajaran tentang teori dan praktik menulis biografi itu berlangsung dengan intens, sarat
xxii
pencerahan, padat pengetahuan, dan melahirkan energi menulis yang luar biasa buat saya. Ramadhan K.H. adalah pribadi unik. Orang Sunda yang memilih hidup sebagai biograf, pencatat dan perekam sejarah, tetapi selalu menjaga jarak agar tidak menjadi penafsir sejarah. Sudah menjadi sifat dasarnya, Ramadan K.H. selalu menghindari konflik, baik dengan pribadi maupun dengan institusi. Sekalipun demikian, pada saatsaat tertentu, ia tidak dapat menghindar untuk tidak menuliskan fakta-fakta sejarah dalam bentuk novel, yang sempat membuat penguasa gerah. Setiap karyanya merupakan perpaduan tiga kapasitas intelektual dalam diri satu orang: wartawan, sastrawan, dan sejarawan. Integrasi ketiganya, ditambah totalitas dan pengalaman hidup, melahirkan puluhan karya biografi yang unik, memikat, dan menyejarah. Hal mendasar yang diwariskan Ramadhan K.H. untuk sejarah penulisan biografi di Indonesia adalah dimensi kemanusiaan. Peletakan prinsip dasar manusia dan kemanusiaan menjadi pondasi setiap kegiatan penulisan biografi. Setiap manusia, siapa pun dia dan apa pun latar belakang kehidupannya, biografinya harus ditulis sebagaimana manusia apa adanya, seutuhnya, tidak lepas dari kodrat penciptaannya, yang disertai kelebihan dan kekurangan sekaligus. Berkat didikan, arahan, bimbingan, dan latihan yang diberikan Ramadhan secara intens sepanjang tahun 2002, saya berhasil menulis dua buku biografi, Simfoni Kehidupan Seorang Bupati: Dari Panggung Artis ke Arena Politik yang mengisahkan kehidupan Andy Achmad Sampurna Jaya
xxiii
dan Si Bungsu Menjemput Masa Depan kisah perjalanan hidup Abdurrachman Sarbini, pegawai honor daerah yang berhasil mencapai karir puncak sebagai Bupati Tulangbawang, Lampung. Kedua buku tersebut mendapat sambutan pembaca yang cukup antusias. Komentar puluhan pembaca dari berbagai daerah memenuhi halaman pesan singkat telepon seluler saya. Moh Yahya Mustafa, wartawan Harian “Pedoman Rakyat” di Makasar mengirim surat elektronik kepada saya dan menyatakan tertarik mengikuti proses kreatif saya menulis biografi. Mulyadi Ogan, PNS Pemprov Lampung menganjurkan saya menulis kisah perjalanan hidup Siti Nurbaya, pegawai negeri yang meniti karir dari bawah di daerah hingga dipercaya menjadi Sekjen Departemen Dalam Negeri dan sekarang sebagai Sekjen Dewan Perwakilan Daerah. Demikianlah pengalaman saya berguru kepada Ramadhan K.H. Buku ini merupakan intisari pelajaran menulis biografi yang disampaikan oleh Ramadhan K.H. kepada saya di sepanjang tahun 2002. Saya tulis dan bukukan sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, guru yang banyak mengubah jalan hidup saya, dari seorang jurnalis menjadi penulis biografi. Yang mengantarkan saya untuk peka menyelami setiap detak kehidupan. Tidak mudah memahami secara persis bagaimana Ramadhan K.H. menulis biografi yang memikat dan menyejarah, apalagi menuliskan pengalaman berguru kepada Ramadhan ke dalam bentuk buku panduan. Oleh karena itu, buku ini tidak lepas dari pengaruh subyektifitas saya dalam mempraktikkan pelajaran yang saya peroleh dari
xxiv
beliau dan pengalaman hidup saya, yang jauh tidak sebanding dengan seorang Ramadhan K.H., yang hidup melintasi empat zaman sekaligus. Saya menyesal baru mengenal Ramadhan K.H. justru setelah beliau sepuh. Saya tidak sempat menimba lebih banyak lagi ilmu dan pengalaman hidupnya yang melintasi periode-periode penting sejarah Indonesia. Lebih menyesal lagi, karena keterbatasan, saya tidak dapat menjenguk ketika beliau sakit keras di Cape Town, Afrika Selatan. Karena sakit, saya juga tidak mendapat kesempatan mengantar beliau ke peristirahatan yang terakhir menuju Sang Pencipta. Beliau meninggalkan dunia fana pada 16 Maret 2006 pukul 08.30 waktu Cape Town. Semoga arwah beliau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin. Akhirnya, penulis berharap, buku ini dapat mendorong banyak orang untuk menulis buku biografi dalam rangka ikhtiar menjadikan hidup lebih bermakna, memberi sumbangan sejarah dan upaya pencerahan dengan nilai-nilai keteladanan dan kearifan yang dapat dipetik dari setiap kisah kehidupan. Selamat membaca! Zulfikar Fu’ad
xxv
xxvi
Isi Buku Menulis Biografi, Upaya “Penelanjangan” Diri Oleh: DJAJAT SUDRADJAT (pemimpin redaksi Lampung Post/Anggota Dewan Redaksi Media Group) — v Berada di Depan, Menerangi Bangsa Oleh: SURYA PALOH (Presiden/CEO Media Group) — xiii PRAKATA Berguru Kepada Ramadhan K.H. — xvii BAGIAN PERTAMA Mengapa Menulis Biografi? — 1 1. Sekelebat tentang Buku Riwayat Hidup — 3 2. Buku Biografi Seperti Apa yang Memikat dan Menyejarah? — 8 3. Mitos tentang Biografi yang Jadi Alasan Orang Enggan Menulis Biografi — 10 4. Setiap Orang Punya Kisah Hidup yang Layak Ditulis — 20 5. Berawal dan Berakhir dari Motif — 24 6. Kehidupan Terlalu Berharga untuk Diabaikan — 27 7. Menyingkap Masa Lalu dan Keberanian Menulis dengan Jujur — 29
xxvii
8. 9.
Modal Utama: Waktu dan Kesabaran — 32 Empat Syarat Penulis Biografi — 34
BAGIAN KEDUA Bagaimana Ramadhan K.H. Menulis Biografi? — 41 1. Tetapkan Tujuan Penulisan Biografi — 43 2. Buatlah Rencana Penulisan — 47 3. Wawancara Mendalam, Detail, dan Tuntas — 54 4. Dalami Pribadi Tokoh sebagai Manusia dan Tekankan Sisi Kemanusiaannya — 58 5. Garaplah Cerita Seperti Film dan Tulislah dengan Gaya Novel — 62 6. Detailnya Mesti Kuat: Peristiwa, Fakta, Suasana, Warna, dan Rasa — 68 7. Lebih Banyak Orang Terlibat dalam Cerita akan Lebih Bagus — 71 8. Pertemuan Pengetahuan dengan Pembaca — 73 9. Tampilkan Pergulatan dan Perjuangan Kejiwaan Tokoh — 77 10. Porsi Terbanyak adalah Bagian Terpenting dalam Hidupnya — 80 11. Buatlah Pembaca Terpikat dari Awal hingga Akhir — 82 BAGIAN KETIGA In Memoriam Ramadhan K.H. — 85 1. Perjalanan Mengarifi Kehidupan — 87 2. Wawancara Khusus: “Saya Pesimistis dengan Kehidupan Sosial Politik” — 94 Lampiran — 99 Profil Penulis — 104 Pariwara — 105
xxviii