MENUJU GURU PROFESIONAL BERDASARKAN UU NO. 14 TAHUN 2005 Oleh : Cecep Sodikin ABSTRAK Pendidikan merupakan bagian yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu pendikikan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah melainkan merupakan tanggung jawab kita semua. Berkaitan dengan itu pemerintah membuat terobosan yang revolusioner melalui undang-undang sisdiknas, dimana peserta didik bukan lagi merupakan objek didik tetapi merupakan subjek didik yang mempunyai karakter berbeda-beda. Selain itu pemerintah pun mendudukkan guru dan dosen sebagai jabatan professional yang implikasinya pun berdampak perlu adanya pendidikan profesi guru secara khusus. Kata Kunci : Guru Profesional
A. Pendahuluan Disadari ataupun tidak, hampir semua orang, baik secara perseorang, kelompok bahkan kelembagaan, menekankan tentang pentingnya peranan guru dalam menghadapi perubahan masyarakat global. Perubahan ini terasa hampir dalam semua dimensi/sendi kehidupan, untuk ikut membangun karakter dan pemikiran (building the characters and mind of the young generation) generasi muda memasuki abad ke-21.
berangkat dari kesadaran para pendiri republik tentang perkembangan masyarakat Indonesia pada tahun 1945 yang serba tertinggal dalam hampir semua dimensi kehidupan diukur dari kacamata perabadan modern pada pertengahan abad ke-20, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan IPTEK.
Kini kita sudah akan segera memasuki dekade kedua abad ke-21. Tetapi lebih dari itu sesungguhnya para “Founding Fathers” pada saat proklamasi menyadarai bahwa pada saat saat itu masyarakat bangsa Indonesia juga menghadapi masalah yang sama dengan masyarakat dunia dalam memasuki abad ke-21, yaitu tantangan untuk mengubah masyarakat Indonesia yang serba tertinggal dalam memasuki perubahan modern abad ke-20.
Karena itu perlu proses transformasi budaya dari masyarakat yang tradisional dan feudal ke masyarakat modern dan demokratis. Karena itu pula Bung Karno menyatakan bahwa hakekat revolusi yang kita hadapi adalah “summing-up of many revolution in one generation”.Untuk itu para pendiri republik melalui UUD 1945 pasal 31 ayat (2) dan pasal 32 menggariskan; “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional” (pasal 31 ayat (2) dan “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” (Pasal 32)
Karena itu dalam pernyataan kemerdekaan yang mereka susun, yang kemudian menjadi PEMBUKAAN UUD 1945 ditegaskan bahwa salah satu misi utama penyelenggaraan Pemerintah Negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pernyataan kemerdekaan yang menekankan upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” ini, pada hakekatnya
Ini berarti bahwa dalam proses transformasi budaya, kedudukan sekolah sangatlah setrategis. Tetapi sayang sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat kebudayaan dan pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk “mendengar, mencatat, dan menghafal”. Kondisi seperti ini seperti tradisi sekolah yang dijaman
26 Jurnal Edukasi
penjajahan merupakan tradisinya sekolah untuk kaum pribumi, yaitu Sekolah Dasar (SD), dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Soekarno, Hatta, Syahrir, dan para “Founding fathers” sebagai pemikir dan pembaharu. Memasuki abad ke-21 kita memiliki UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan penulis memuat filosofi pendidikan yang memungkinkan sekolah dapat berperan sebagai pusat kebudayaan, pembudayaan, dan mendudukkan guru untuk berperanan serta dalam “bulding the craracters and mind of the young generation”. Berangkat dari pandangan dasar bahwa, pendidikan sebagai wahana proses pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa) penulis akan menyoroti Pendidikan Guru Masa Depan, yaitu pendidikan guru yang mampu melahirkan guru yang berperanan dalam proses pembudayaan. Dalam menyoroti Pendidikan Guru Masa Depan tulisan ini akan berturut-turut menganalisis : (1) Filsafat pendidikan yang di anut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Implikasinya; (2) Guru sebagai Jabatan Profesional dan; (3) Pendidikan Guru yang Relavan; dan (4) Catatan Penutup.
B. Filsafat Pendidikan yang Dianut UU No.20 Tahun 2003 dan Implikasinya Bila kita telaah UU SISDIKNAS, kita akan menemukan perbedaan yang esensial antara filosofi pendidikan yang dianut oleh UU No. 2 Tahun 1989 dengan yang dianut UU No. 20 Tahun 2003. Dalam UU No. 2 Tahun 1989, pasal 1 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1989 bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa
yang akan datang”. Sementara dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 bahwa, ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keprinadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dimiliki dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. Dari kedua UU di atas dapat disimpulkan bahwa, terpadapat perbedaan pandangan khususnya dalam mendudukkan/memposisikan siswa. Dalam UU No. 2 Tahun 1989 peserta didik dipandang atau diposisikan sebagai objek, sementara dalam UU No. 20 Tahun 2003 peserta didik dipandang atau diposisikan sebagai. Dari perbedaan cara pandang ini akan berdamapak dalam segala bentuk kegiatan pembelajaran, yang pada akhirnya diharapkan akan terjadi pula perubahan out put dan out come yang dihasilkan. Di samping perbedaan tentang hakekat pendidikan, kedua UU Sisdiknas tersebut, walaupun dasarnya sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945 (pasal 2), dalam fungsi dan tujuan keduanya juga berbeda. Perhatikan kutipan di bawah ini Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1989 “Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasional”. Sedangkan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, tertulis, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sedangkan tujuan pendidikan nasional, kita dapat bandingkan dalam kutipan berikut. Pasal 4 UU No. 2 Tahun 1989 bahwa, “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu
27 Jurnal Edukasi
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis dalam pasal dengan fungsi pendidikan nasional, tertulis : “… bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berdasar pada kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa UU No. 20 Tahun 2003 menganut aliran filsafat pendidikan yang lebih modern dari UU No. 20 Tahun 1989, baik dalam hal pengertian atau hakekat pendidikan maupun fungsi pendidikan nasional. Kalau UU No. 2 Tahun 1989 menganut pandangan yang menekankan pendidikan dan/atau lembaga pendidikan yang aktif, seperti “menyiapkan” dan “mengembangkan”, sedangkan UU No. 20 Tahun 2003 menekankan aktifnya peserta didik seperti “agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya”. Demikian juga dalam rumusan fungsi pendidikan. UU No. 2 Tahun 1989 sasaran fungsi pendidika nasional lebih luas, yaitu “terwujudnya tujuan nasional”. Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 sasarannya lebih menjurus yaitu “dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”, melalui berkembangnya kemampuan dan terbentuknya karakter serta peradaban bangsa.Sedangkan dalam hal tujuan pendidikan “substansinya hampir sama” hanya cara pencapaiannya berbeda. UU No. 2 Tahun 1989 menekankan istilah “mengembangkan” sedangkan UU No. 20 Tahun 2003 menggunakan istilah “berkembangnya potensi peserta didik”. (Lebih pasti)
Penulis sengaja menyoroti hal ini sebelum memasuki tema pokok yaitu Pendidikan Guru, karena dalam pandangan penulis selama ini pelaksanaan pendidikan nampak tidak mempedulikan filosofi pendidikan atau konsepsi dasar tentang pendidikan yang dianut. Ini seharusnya secara sistemik dan sistematik diupayakan perwujudannya. Akibatnya berbagai perubahan UU sejak tahun 1950 pengaruhnya tidak sampai ke perubahan proses pembelajaran yang dihayati peserta didik. Padahal hanya perubahan proses pembelajaran yang dilakukan dan dihayati peserta didik suatu sistem pendidikan bermakna bagi pembangunan bangsa. Bersamaan dengan itu guru pun tetap berperan seperti belum ada perubahan filosofi pendidikan yang dianut. UU No. 20 Tahun 2003 di samping menganut filosofi pendidikan yang menekankan pada menciptakan “suasana dan proses pembelajaran” agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya, juga menuntut guru untuk lebih profesional (berperan sebagai fasilitator). Dalam kaitan ini UU SISDIKNAS lebih lanjut menganut paradigma baru dalam pelaksanaan pendidikan seperti dapat dibaca pada pasal 4 ayat (3) yang menyatakan : “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik”. Suatu model pendidikan yang dianut oleh Negara seperti Amerika Serikat, dan suatu model pendidikan yang tidak menempatkan lembaga pendidikan hanya sebagai tempat untuk “mendapatkan pengetahuan”. Prinsip ini dalam pandangan penulis juga diabaikan. Akibatnya setelah 63 tahun merdeka, cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pengertian yang disinggung di depan belum juga terwujud. Masyarakat bangsa Indonesia belum juga cerdas kehidupannya. Dari paparan di atas dapatlah ditarik beberapa catatan : (1) bahwa pendidikan yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003 bukanlah pendidikan, hanya sebagai proses
28 Jurnal Edukasi
memperoleh pengetahuan yang umumnya tidak relevan; (2) bahwa pendidikan yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003 bukanlah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai pendengar, pencatat, dan penghafal agar dapat lulus ujian akhir yang dirancang utamanya untuk mengukur ketiga hal tersebut. Tetapi sebaliknya UU No. 20 Tahun 2003 adalah pendidikan yang: (1) merupakan proses pembudayaan segala kemampuan, nilai, dan sikap dalam rangka mengembangkan kemampuan (intelektual, social, kultur, civic, dan ekonomi) dan membentuk watak (kepribadian mandiri, bertanggung jawab, demokratis, dan bermoral); (2) merupakan pendidikan yang memandang peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya, melalui proses pembelajaran yang menantang, merangsang, dan menyenangkan, yang oleh UNESCO melalui Komisi Internasionalnya dianjurkan untuk menerapkan empat pilar belajar yaitu : Learning to Know, Learning to be, Learning to live together, dan Learning to be”. Model pembelajaran dan peran satuan pendidikan sebagai pusat pembelajaran yang dituntut oleh UU No. 20 Tahun 2003, yang dalam pandangan penulis sangat relevan bagi Indonesia dalam memasuki abad ke-21 ini memerlukan sosok guru yang benar-benar profesional. Untuk itu bagian berikut akan mencoba mengulasnya. C. Guru Sebagai Jabatan Profesional dan Maknanya Bagi penulis, lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya bagian tentang Guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Karena melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan professional. Mungkin ada yang bertanya “Apakah jabatan guru selama ini belum berstatus jabatan professional? Dalam pengertian “Profesi sebagai pekerjaan/jabatan yang memerlukan “Advanced Education and Special
Training”, selama ini pekerjaan guru selama ini sesungguhnya belum berstatus sebagai jabatan professional. Untuk itu sebelum membahas makna jabatan guru sebagai jabatan professional, berikut akan diulas secara singkat perkembangan pendidikan guru. Kalau kita menjejaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan mendapatkan pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan, dan jaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade 1960-an jauh di bawah kualifikasi guru pada saat ini. Pada jaman penjajahan Belanda pendidikan guru SD 3 tahun (Sekolah Dasar) adalah CVO (2 tahun setelah SD), pendidikan guru SD nomor dua (SD 5 tahun) adalah Normal School (4 tahun setelah lulus SD), untuk HIS (Sekolah Dasar Belanda untuk orang Indonesia dengan bahasa pengantar bahasa Belanda yang lamanya 7 tahun) adalah HIK (6 tahun setelah HIS) dan untuk SMP (MULO) adalah Hooft Akte (kursus seperti PGSLP). Praktek ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru Sd adalah Sekolah Guru B (SGB – 4 tahun setelah SD), guru SMP adalah SGA (6 tahun setelah SD atau 3 tahun setelah SMP/SGB kelas III), dan guru SLTA adalah B I (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya. Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru SLTP adalah D3 kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1 kependidikan dan S1 Akta Mengajar (Akta IV). Pertanyaannya mengapa pada masa penjajahan dan pemulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang
29 Jurnal Edukasi
jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru pada saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang “bermutu” sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan. Memang tidak proporsional membandingkan mutu pendidikan pada tahun 1950-an dengan mutu pendidikan pada tahun 1989 ke atas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode tersebut perbedaannya berlipat. Murid SD pada tahun 1955 sebanyak 7.113.456 orang, tahun 1989/1990 19.296.714. Siswa SLTP pada tahun 1955 berjumlah 197.189 orang, pada tahun 1989/1990 jumlah siswa SLTP 13.672.438; siswa SLTA pada tahun 1955 berjumlah 103.267 orang, sedangkan pada tahun 1989/1990 berjumlah 4.338.386 orang. Di samping itu sekolah pada waktu itu pendidikan mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada mengembangkan potensi peserta didik. Karena itu banyak SD yang hanya berhasil meluluskan murid kelas VI-nya sekitar 10% demikian juga SLTP dan SMA. Sedangkan pada tahun 1980-an pada saat telah dicanangkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun dan dirancang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun fungsi sekolah seyogyanya tidak hanya menseleksi melainkan dan terutama adalah mengembangkan kemampuan peserta didik. Karena itu tidak dapat diterima kalau banyak murid SD dan SMP yang dinyatakan tidak lulus, karena sekolah harus menyediakan tempat bagi anak-anak baru yang jumlahnya berlipat dan harus ditampung. Di sinilah letak masalahnya. Peranan guru pada saat melayani jumlah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah yang terutama adalah memilah dan memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah mengembangkan potensi peserta didik yang
heterogen latar belakangnya, baik kemampuan dasar, social, ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru dituntut menjadi jabatan professional. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar, bakat dan minatnya telah lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan professional yang pendidikannya setara dengan pendidikan jabatan professional lainnya, yaitu dokter dan pengacara. Mengapa pendidikan yang menjadi masal “Education for All” di abad ke-21 diperlukan guru yang “professional”? Untuk menjawab pertanyaan ini berikut akan dianalisis karakteristik pendidikan yang bersifat masal di era globalisasi. Di abad ke-21 ini tidak ada Negara di dunia ini yang tidak menerapkan wajib belajar, hanya satu Negara berbeda dari Negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada Negara yang menerapkan wajib belajar 12 tahun; seperti Amerika Serikat, ada Negara yang menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan ada Negara yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti Indonesia, di samping masih ada negaranegara di Afrika dan Asia Selatan yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun. Penerapan wajib belajar berarti bahwa semua anak harus memperoleh pendidikan yang bermutu agar dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya. Penerapan wajib belajar ini mendapat sambutan baik dari masyarakat, hanya sayang masih mengundang pertanyaan besar, karena dalam pelaksanaannya pemerintah masih memberi celah untuk memungut biaaya jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Alasannya klasik yaitu untuk kelancaran KBM. Di samping
30 Jurnal Edukasi
itu pemerintah belum mampu memberikan sangsi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya sampai pendidikan dasar. Dalam pada itu diera globalisasi ini ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas manusia terdidik baik kemampuan intelektual, kemampuan vokasional dan rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada para warganya. Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, kultural, dan ekonomi), merupakan faktor yang menjadikan guru harus professional. Halini menuntut peranan guru tidak lagi hanya memberi pelajaran dengan ceramah atau mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik. Guru juga tidak lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaan yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi. Guru di Amerika Serikat, baik guru SD, guru SMP maupun guru SMA harus berpendidikan S1 ditambah satu sampai dua tahun kuliah dan latihan keguruan untuk mendapat sertifikat guru. Di Jerman, untuk guru SD, harus berpendidikan “PAEDAGOGISCHE HOCHSCULE” 4
tahun setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan pada Universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan ajar dan 2 semester paedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP maupun SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/Universitas tidak otomatis berwenang sebagai guru (teacher certificate) melainkan harus melalui tahap magang selama 18 bulan dan diakhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapat memperoleh tanda sebagai guru yang berwenag. Di dunia kedokteran, sebagai salah satu bidang profesi yang telah lama mapan, para dokter tidak mengenal penataran hanya karena adanya cara baru dalam pengobatan. Tidak lain karena sebagai tenaga professional mereka telah benar-benar siap dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan tuntutan dunia profesi kedokteran yang terus berubah. Dalam kaitan inilah UU No. 14 Tahun 2003 yang menuntut pendidikan guru sebagai pendidikan bertaraf professional S1 + atau D4 + merupakan suatu keputusan yang sesuai dengan tuntutan pendidikan memasuki abad ke-21. Mengapa pendidikan guru professional perlu berderajat S1 Plus? D. Pendidikan Guru Sebagai Pendidikan Profesional dan Implikasinya Ulasan dari bagian I sampai dengan II hakekatnya berangkat dari suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya selama ini proses pendidikan yang berlangsung di berbagai satuan pendidikan tidak dirancang dan dilaksanakan sebagai proses pembudayaan yang perlu terjadi untuk memungkinkan terjadinya proses transformasi budaya menuju suatu bangsa Indonesia yang cerdas kehidupannya. Artinya maju (modern, yang rasional dan berorientasi IPTEK), demokratis, sejahtera,
31 Jurnal Edukasi
dan berkeadilan, serta mampu menghadapi masalah sebagai tantangan, dan tantangan sebagai kesempatan untuk maju (problem as a challenge, and challenge as chance to progress). Oleh karena itu sebagai bangsa yang tidak memandang masalah sebagai ancaman yang harus dihindari, yang dalam pepatah Melayu “Kalau Takut Dilebur Pasang Jangan Berumah Ditepi Pantai”. Untuk itulah penulis memandang bahwa filosofi atau konsepsi pendidikan yang dianut UU No. 20 Tahun 2003 menuntut diselenggarakannya suatu proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Akibatnya diperlukan guru yang bersifat professional. Dalam kaitan inilah penulis memandang kehadiran UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mendudukan guru sebagai jabatan professional merupakan titik berangkat untuk merancang pendidikan guru yang relavan. Demi mencapai guru yang memiliki kemampuan professional penuh, perlu diadakan pendidikan S1 plus atau berpendidikan S2 seperti tertuntut dalam UU No. 14 Tahun 2005, tetapi bukan S2 akademi seperti yang sekarang kita kenal, melainkan S2 professional yang mengutamakan kemampuan mengembangkan, melaksanakan, menilai, mengorganisasi, dan memperbaharui program belajar mengajar. Berangkat dari heterogennya kualifikasi pendidikan dan kemampuan professional guru, maka upaya LPTK dalam meningkatkan kemampuan professional guru, yaitu : (1) merancang program pembelajaran termasuk menyusun silabus, (2) melaksanakan, memimpin, mengelola, dan menilai program pembelajaran, (3) mendiagnosis masalah dan hambatan yang dihadapi oleh peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan menguasai kompetensi yang ditetapkan, dan (4) menyusun dan merancang berbagai pilihan yang harus dikembangkan untuk
membantu mereka, tidaklah mudah. Kiranya pelu diketahui bahwa keempat gugus kemampuan professional penguasannya perlu ditunjang oleh penguasaan berbagai pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan : (1) karakteristik peserta didik; (2) ilmu pengetahuan sebagai obyek belajar dan “ways of learning” atau “mode of inquiry”; (3) hakekat tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; (4) teori belajar umum dan khusus; (5) model-model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; (6) tekhnologi pendidikan; dan (7) sistem dan teknik evaluasi. Tujuh gugus pengetahuan dan tekhnologi tersebut, ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman tentang filsafat pendidikan, dasar Negara Pancasila, UUD Negara 1945, sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional, merupakan pengetahuan yang seharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat professional. Dengan guru yang pengetahuan dan kemampuan profesionalnya demikian, pembaharuan pendidikan apapun yang dilakukan, tidak akan dipandang sebagai masalah. Dengan derajat professional, seorang guru dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas. Dalam merancang program pengadaan guru dan tenaga kependidikan lainnya yang professional perlu menguasai tujuh gugus pengetahuan dasar akademik professional dan empat kemampuan professional, kita pelu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut. 1) Bagaimana memilih calon mahasiswa untuk menjadi guru dan tenaga kependidikan lainnya yang professional ? 2) Bagaimana kurikulum kita rancang dan laksanakan yang relavan ? 3) Siapa yang dapat menjadi dosen dan apa peranan dosen ? 4) Model pembelajaran manakah yang relavan ?
32 Jurnal Edukasi
5) System evaluasi yang bagaimana yang perlu diterapkan ? 6) Praktek professional yang bagaimanakah yang perlu dialami oleh calon guru ? 7) Fasilitas kependidikan seperti apa yang perlu disediakan ? Bagaimanakah kita menyiasati dalam memilih calon mahasiswa yang secara potensial dapat disiapkan untuk menjadi guru sebagai jabatan profesional? Pada umumnya mereka yang masuk LPTK adalah mereka yang tidak dapat masuk Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, bahkan Fakultas yang lain. Ini merupakan realitas dan perlu analisis dan pemecahan secara mendalam. Padahal pada akhir tahun 1950-an dan permulaan tahun 1960-an di Amerika Serikat oleh James B Conant diusulkan bahwa yang dapat diterima menjadi calon guru adalah mereka yang tergolong kelompok 20% teratas lulusan “High School”, yaitu mereka yang selama High School mengambil Kalkulus, Trigonometri, Fisika, dan Bahasa Asing. Di Jerman hanya mereka yang telah melalui Gymnasium (pendidikan 13 tahun) yang dapat memasuki PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE (calon guru SD dan HAUPTH SCHULE) dan Fakultas Paedagogik (untuk guru Gymnasium). Ini berarti bahwa calon guru adalah mereka yang termasuk kelompok 20% teratas dari kelompok umurnya. Kualitas para calon mahasiswa untuk pendidikan prajabatan guru yang selama ini, disatu pihak hampir tidak dapat memilih lulusan SMA yang terbaik, dan dilain pihak proses pembelajarannya yaitu 4 (empat) semester untuk D II, 6 (enam) semester untuk D III, dan 8 (delapan) semester untuk S1, tidak ada bedanya dengan program untuk lulusan SMA yang terbaik, tanpa program matrikulasi bagi mereka yang penguasaan pelajaran SMAnya pas-pasan.
Atas dasar pertimbangan professional tentang guru sebagai jabatan professional yaitu jabatan yang memerlukan “advanced education and special training”. Kondisisi tersebut diharapkan dapat agar melahirkan guru yang berderajat professional dan tenaga kependidikan yang professional. Oleh karena itu kita perlu menentukan persyaratan akademik bagi calon mahasiswa LPTK. Merancang Pendidikan Pra Jabatan Guru yang Berderajat Profesional dan mengembangkan kurikulum pada hakekatnya adalah upaya untuk menjawab pertanyaan, “pengalaman belajar dan materi pembelajaran apakah yang harus diikuti dan ditempuh peserta didik, dalam hal ini mahasiswa calon guru, agarsetelah mengikuti program pendidikan yang disediakan, dapat dikuasai serangkaian pengetahuan dasar dan kemampuan professional?”. Ini berarti bahwa untuk pendidikan calon guru perlu dirancang dua tahap program pendidikan yaitu: (1) tahap pendidikan akademik professional; dan (2) tahap pendidikan dan latihan professional. Siapa yang Berhak Menjadi Pengajar dan Apa Peranan Pengajar? Kalau untuk menjadi guru, baik SD, SMP, maupun SMA (yang semula ditetapkan berkualifikasi minimum D2 untuk SD, D3 untuk SMP, dan S1 untuk SMA), sekarang semuanya harus berderajat professional yaitu minimum S1+, sudah sepantasnyalah kalau untuk menjadi pengajar calon guru professional adalah minimum S2 dengan judisium minimal BAIK atau IPK B+. Dibandingkan dengan persyaratan tenaga pengajar, terutama pada jalur proffesorship (Assistant Professor, Associate Professor, dan Professor) di Amerika Serikat yaitu Ph. D. dengan judisium minimum sangat memuaskan dan mengalami masa percobaan selama dua tahun, kiranya tuntutan minimum S2 bagi dosen, dikemudian hari, tidak terlalu idealistis. Pasalnya, gugus mata kuliah pengetahuan dasar akademik professional memerlukan
33 Jurnal Edukasi
para pengajar yang sekaligus berkualifikasi peneliti di bidang ilmu pengetahuan: (1) ilmu-ilmu dasar science, mathematics, engineering science, social science/sociology, economy, politics, anthropology, dan bahasa, baik sebagai ilmu murni maupun ilmu kependidikan di bidang-bidang ilmu tersebut; (2) ilmu pendidikan yang meliputi : filsafat pendidikan, teori kurikulum, teknologi pendidikan, system dan teknik evaluasi; dan (3) psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan, termasuk di dalamnya teori belajar. Tentang praktek professional pada tahap ini calon guru professional harus sudah benarbenar berada dalam situasi nyata dari proses pembelajaran di kelas dan sekolah dimana setelah lulus mereka akan ditugaskan. Agar segala model pembelajaran dapat dilaksanakan, berbagai sarana dan prasarana harus tersedia; baik perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga, dan sekolah tempat praktek professional. Akan lebih ideal lagi kalau mahasiswa calon guru professional memperoleh fasilitas aSDama sebagai bagian integral dari fasilitas pendidikan guru. E. Beberapa Catatan Penutup Dari serangkaian uraian dan analisis dari Pendahuluan sampai bagian keempat dapatlah ditarik beberapa catatan berikut. 1. Bahwa dalam pandangan penulis belum berhasilnya penyelenggaraan pendidikan nasional dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa yang menuntut terjadinya transformasi budaya nampaknya karena selama ini proses pendidikan yang terjadi di satuan-satuan pendidikan tidak lebih dari proses memperoleh pengetahuan melalui mendengar, mencatat, dan menghafal dan bukan suatu proses pembudayaan. 2. Bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas secara revolusioner telah menganut suatu pemikiran pendidikan yang menempatkan pendidikan sebagai
proses pembudayaan dengan mendudukkan peserta didik dalam suasana proses pembelajaran yang memungkinkannya secara aktif mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berkembang kemampuannya dan terbentuk wataknya. 3. Bahwa untuk memungkinkan terjadinya pendidikan sebagai proses pembudayaan diperlukan tenaga guru yang berderajat professional sehingga mampu merancang, mengembangkan, mengelola, dan menilai program pembelajaran yang relevan dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional. 4. Bahwa UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah secara tegas mendudukkan guru sebagi jabatan professional. Karena itu perlu dirancang pendidikan guru sebagai pendidikan professional yang mengenal jenjang pendidikan profesioanal (S1) dan praktek dan latihan professional.
Daftar Pustaka Ahmad Tafsir. (1990). Filsafat Ilmu (Akal dan Hati Sejak Sampai Capra). Bandung: Rosdakarya. Djahiri A.Kosasih., (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT. Bandung: Jurusan PPKn-FPIPS IKIP Bandung. Djati S. Indra. (2000). Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi daerah di Bidang Pendidikan. Makalah pada Seminar Nasional UPI. Bandung. T. Henson Kenneth. (1955). Curriculum Development, for Education Reform. Newyork: Longman W. Parker Forrest, dkk. (2006). Curriculum Planing (A Contemporry Approach). New York: Perason Education.
34 Jurnal Edukasi