MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
Sambutan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPP A) pada tahun 2010 telah menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak (RAN PPKTA) 2010-2014 yang telah dipergunakan sebagai pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak. Menimbang masih banyaknya terjadi kekerasan terhadap anak dan guna menyatukan langkah pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak, Pemerintah mengeluarkan Instmksi Presiden No. 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual terhadap Anak dan menyusun strategi nasional untuk tahun ke depan yang disebut dengan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak 2016-2020. Sebagaimana kita ketahui bersama, kekerasan terhadap anak kian meningkat dari segi kualitas dan kuantitasnya. Oleh sebab itu, diperlukan kesatuan tindak Kementerian/Lembaga terkait dan juga masyarakat. Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak 2016-2020 (STRANAS PKTA 20162020) diterbitkan dalam rangka mencegah dan merespon segala bentuk kekerasan terhadap anak secara sistematis, terintegrasi, berbasis bukti, terkoordinasi, partisipatoris, dan berbasis pada kepentingan terbaik bagi anak.
i STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Kekerasan terhadap anak telah menjadi agenda pembangunan global dan nasional sejak ditandatanganinya Konvensi Hak Anak (KHA) 25 tahun lalu, dimana Indonesia mempakan salah satu negara yang ikut terlibat dan telah meratifikasinya menjadi Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Dalam berbagai kebijakan terkait perlindungan anak, Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya upaya-upaya untuk menghentikan kekerasan fisik, seksual, emosional hingga penelantaran terhadap anak. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pembangunan kualitas sumber daya manusia telah memuat target khusus penumnan angka kekerasan terhadap anak.
Kebijakan yang berfokus pada upaya pencegahan kekerasan ini ditujukan sebagai kerangka bangun dalam upaya perlindungan anak di Indonesia yang menitikberatkan pada 6 strategi komprehensif, an tara lain: 1) Legislasi dan kebfjakan yang melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan di semua Jatar terfadilrya kekerasan; 2) Mengubah norma sosial dan praktik budqya yang menerima, membenarkan, atau mengabaikan kekerasan; 3) Intemensi pengasuhan yang mendukung relasi yang aman dan penuh kasih sqyang untuk mencegah kekerasan; 4) Meningkatkan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan serta mendukungprogram wqjib belqjar bagi anak; 5) Lqyanan pendukungyang terycmgkau dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak dalam risiko; serta 6) Peningkatan kualitas data tentang situasi kekerasan terhadap anak. Mengingat sangat pentingnya STRANAS PKTA 2016-2020 sebagai kesatuan tindak K/L dalam mencegah tindak kekerasan terhadap anak, saya mengharapkan agar. STRANAS PKTA 2016-2020 ini dapat dijadikan acuan dan diimplementasikan dalam pola tindak di masing-masing K/L dan masyarakat.
Jakarta, 27 J anuari 2016 Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebuda Republik Indonesia
ii
Puan Maharani
MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA
Kata Pengantar Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang keberadaannya senatiasa harus diasih, diasuh, dijaga serta dilindungi dari perlakuan salah, kekerasan dan diskriminasi. Dari sisi kehidupan bernegara, anak merupakan aset bangsa, generasi penerus bangsa, penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi pilar utama pembangunan nasional.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah namun hasil survey kekerasan terhadap anak yang dilakukan pada tahun 2013 menemukan bahwa pada anak usia 13 – 17 tahun menunjukkan 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional/fisik/seksual dalam 12 bulan terakhir. Untuk menjawab atas keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh Pemerintah, maka tidaklah mungkin Pemerintah dapat melakukan segalanya sendiri. Kemitraan masyarakat dan dunia usaha merupakan strategi yang dewasa ini sering dikumandangkan dan merupakan salah satu solusi kita di dalam
iii STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Pembangunan anak sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas telah ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28b mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pemerintahan yang dipimpin Presiden RI, Bapak Joko Widodo, mempertegas bahwa perlindungan anak Indonesia menjadi prioritas utama di setiap bidang pembangunan seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang berupaya “Mengimplementasikan sistem yang holistik dan terkoordinasi dalam melindungi perempuan dan anak”, sekaligus untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
menghadapi berbagai tantangan dalam membangun bangsa, termasuk di dalam memenuhi hak-hak dan memberikan perlindungan bagi anak. Oleh karena itu Kementerian PP dan PA telah menyusun Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) sebagai acuan bagi pelaksanaan pembangunan nasional dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak, serta menyelaraskan kebijakan dan hukum di tingkat nasional serta daerah untuk lebih memperkuat implementasi atas komitmen untuk melindungi anak dari kekerasan periode tahun 2016-2020. Dalam pelaksanaannya, strategi nasional ini menggunakan enam aspek, yaitu: (1) Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan; (2) Perubahan norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan, atau mengabaikan kekerasan; (3) Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang antara pengasuh (khususnya orangtua) kepada anak untuk mencegah kekerasan; (4) Peningkatan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan serta mendukung program wajib belajar untuk anak; (5) Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak dalam risiko; (6) Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak yang diharapkan dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dan sebagai respon atas tindak kekerasan terhadap anak.
iv
Dokumen ini disusun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) beserta sejumlah lembaga Pemerintah, masyarakat sipil, termasuk partisipasi anak di dalamnya dengan mengacu pada analisis situasi terkini anak di Indonesia yang dikomparasikan dengan berbagai kebijakan dan program terkait kekerasan terhadap anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Yohana S. Yembise
Daftar Isi Kata Sambutan Menteri Koordinator PMK .................................................................. i Kata Pengantar Menteri PPPA .......................................................................................... iii Daftar Isi .................................................................................................................................... v Daftar Singkatan .................................................................................................................... vii BABI : Pendahuluan ................................................................................. 1 I.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 I.2 Tujuan Strategi ......................................................................................... 2 I.3 Proses Penyusunan ................................................................................. 3 I.4 Definisi . ....................................................................................................... 5 I.5 Prinsip Dasar ............................................................................................. 10 I.6 Keterkaitan dengan Kebijakan Lainnya . ......................................... 13
BABIII : Arah Strategi dan Tujuan ............................................................. 25 III.1 Tujuan Utama ............................................................................................ 25 III.2 Strategi ........................................................................................................ 25 BABIV : Mekanisme Pelaksanaan dan Evaluasi Pelaporan ..................... 33 IV.1 Mekanisme Pelaksanaan ...................................................................... 33 IV.2 Evaluasi dan Pelaporan ......................................................................... 35 Daftar Pustaka ............................................................................................... 37 Lampiran 1 Pemetaan Tugas dan Fungsi Instansi Pelaksana Stranas PKTA 2016-2020 ..... 41 Lampiran 2 IndikatorCapaian Berdasarkan RPJMN 2015-2019 ................................................... 46
v STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
BABII : Kekerasan terhadap Anak di Indonesia ...................................... 17 II.1 PerangkatHukum .................................................................................... 18 II.2 Kekerasan di Rumah .............................................................................. 19 II.3 Kekerasan di Sekolah ............................................................................. 20 II.4 Kekerasan di Masyarakat/Ruang Publik ......................................... 20 II.5 Hubungan dengan Pelaku ................................................................... 21 II.6 Faktor Pelindung dan Resiko Kekerasan ........................................ 22
Daftar Singkatan
vi
Babinkamtibmas
Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Bapas
Balai Pemasyarakatan
Bappenas
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
BKKBN
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPHN
Badan Pembinaan Hukum Nasional
BPS
Badan Pusat Statistik
CBCP
Community-based Child Protection/Perlindungan Anak berbasis Komunitas
Dirjen
Direktur Jenderal
Ditjen
Direktorat Jenderal
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FKIP
Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan
GN-AKSA
Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual terhadap Anak
Kamtibmas
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Kemendagri
Kementerian Dalam Negeri
Kemendikbud
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenag
Kementerian Agama
Kemenaker
Kementerian Ketenagakerjaan
Kemendesa
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Kementerian Kesehatan
KemenkoPMK
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Kemenpar
Kementerian Pariwisata
Kemensos
Kementerian Sosial
KemenkumHAM
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kemenkominfo
Kementerian Komunikasi dan Informatika
KHA
Konvensi Hak-Hak Anak
KIE
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
KP3A
Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KPPPA
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
KTA
Kekerasan terhadap Anak
KTK KUA
Kantor Urusan Agama
KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
LIPI
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LPAS
Lembaga Penempatan Anak Sementara
LPKA
Lembaga Pembinaan Khusus Anak
LPKS
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MUI
Majelis Ulama Indonesia
NPSK
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
vii STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Kemenkes
viii
P2TP2A
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
PAUD HI
Pendidikan Anak Usia Dini Holistik Terintegrasi
PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Permen
Peraturan Menteri
PGSD
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
PKK
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
PPA
Pelayanan Perempuan dan Anak
RAN
Rencana Aksi Nasional
Reskrim
Reserse Kriminal
RPJMN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
SDM
Sumber Daya Manusia
SOP
Standar Operasional Prosedur
SPK
Standar, Prosedur, Kriteria
SPM
Standar Pelayanan Minimal
SPPA
Sistem Peradilan Pidana Anak
TeSA
Telepon Sahabat Anak
Tipidum
Tindak Pidana Umum
UNICEF
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dana Anak / United Nations Children’s Fund
UU
Undang-Undang
WHO
Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization
Bab 1
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Pada tingkat regional, Pemerintah juga terlibat dalam penyusunan Rencana Aksi ASEAN untuk pengurangan kekerasan terhadap perempuan dan anak (ASEAN Regional Plan of Action of Elimination on Violence against Women and Children 2015). Sedangkan pada tingkat global, Indonesia berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada bulan September 2015. Penghapusan kekerasan terhadap anak menjadi salah satu bagian dari SDGs, yang menyatakan negara anggota, termasuk Indonesia, harus berupaya untuk “menghentikan kekerasan, eksploitasi, perdagangan, serta segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak” (Sasaran Khusus No. 16 dan Target 16.2). Selain itu, negara anggota juga berkomitmen untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk perkawinan anak (Sasaran Khusus No. 5). Komitmen ini bersifat global dan mencakup seluruh anak di dunia. 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, disahkan 23 Juli 2012.
1 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Kekerasan terhadap anak telah dan akan mempengaruhi kehidupan anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah melakukan langkah-langkah dalam rangka melindungi anak dari tindak kekerasan. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat 2). Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, melalui UU No. 10 Tahun 20121, yang mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, baik dari sisi pencegahan maupun penanganan, termasuk memberi bantuan dan perlindungan bagi korban kekerasan (Pasal 19). Selain itu, telah diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 (yang telah diubah menjadi UndangUndang No. 35 Tahun 2014) Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan negara menyediakan pendekatan menyeluruh untuk perlindungan anak yang mengacu pada Konvensi Hak Anak.
Secara khusus, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di tahun 2014 juga telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (Inpres GN-AKSA), yang memberi mandat kepada Kementerian/Lembaga dan instansi lainnya untuk mengambil tindakan khusus dalam mencegah dan menanggapi isu kekerasan seksual terhadap anak di tingkat nasional hingga daerah. Saat itu Pemerintah menyatakan komitmen penuh untuk menghapus kekerasan terhadap anak dengan menyatakan kekerasan terhadap anak di Indonesia sebagai situasi yang mendesak dan perlu penanganan segera (Kompas Online, 2015). Komitmen untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak ini juga menjadi prioritas pembangunan nasional. Seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, bahwa Pemerintah harus berupaya mengatasi “tantangan utama dalam meningkatkan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan dan penyalahgunaan” dan “mengimplementasikan sistem yang holistik dan terkoordinasi dalam melindungi perempuan dan anak”.
2
Meski upaya penghapusan kekerasan terhadap anak melalui penerbitan kebijakan telah dilakukan, namun Studi Perwakilan Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Anak menganjurkan secara spesifik agar setiap negara mengembangkan kerangka yang menyeluruh dan sistematis untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak. Kerangka ini perlu diselaraskan dengan proses perencanaan nasional melalui sebuah Strategi, Kebijakan, atau Rencana Nasional (Pinheiro, 2007). Atas dasar itulah, maka disusun Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) yaitu rancang bangun nasional dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak periode tahun 2016-2020. Stranas PKTA ini menekankan perlunya intervensi kepada anak mulai dari usia dini, bayi, hingga remaja, mengingat kekerasan terjadi di semua kelompok usia anak. Dengan demikian, Stranas PKTA ini menggunakan pendekatan tumbuh kembang anak, dalam upaya untuk mewujudkan intervensi prioritas untuk menangani kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan latar terjadinya kekerasan.
I.2 Tujuan Strategi Tujuan utama Stranas PKTA ini adalah untuk berkontribusi terhadap pencapaian visi nasional, yaitu agar anak tidak hidup dalam ketakutan. Strategi ini berupaya membantu Pemerintah dan mitra pembangunan dalam pengumpulan data
dan bukti pendukung yang lebih baik mengenai kekerasan terhadap anak, memperkuat investasi dalam program-program yang dapat mencegah dan menghapus kekerasan terhadap anak, serta menyelaraskan kebijakan dan hukum di tingkat nasional serta daerah untuk lebih memperkuat implementasi atas komitmen untuk melindungi anak dari kekerasan. Stranas PKTA ini juga mengakui perlunya kemitraan lintas sektor dalam upaya menghapus kekerasan terhadap anak.. Stranas ini juga bertujuan untuk mengumpulkan seluruh upaya dan inisiatif baik dari instansi pemerintah maupun masyarakat dengan mengacu pada kerangka kebijakan yang ada untuk menentukan prinsip-prinsip kunci, intervensi prioritas, dan mekanisme koordinasi dan pemantauan dalam jangka panjang. Dokumen ini juga dapat digunakan sebagai panduan bagi pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah dalam mengembangkan tujuan operasional khusus beserta penganggarannya dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
I.3 Proses Penyusunan
Stranas PKTA ini merupakan edisi kedua dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak (RAN PKTA) 2010-2014. Pada tahun 2015, Pemerintah telah melakukan tinjauan partisipatoris (hasil tinjauan, terlampir) dari RAN PKTA 2010-2014 dengan melibatkan pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah. Sebelas Kementerian/ Lembaga, 7 LSM berskala nasional, dan lebih dari 4.000 anak, remaja dan pemuda telah berpartisipasi dalam tinjauan partisipatoris itu melalui lokakarya, konsultasi digital (online), dan pertemuan antar Kementerian/Lembaga.
3 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Strategi Nasional PKTA ini disusun bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) beserta sejumlah lembaga Pemerintah, masyarakat sipil, termasuk pelibatan anak didalamnya. Penyusunan Stranas PKTA dilakukan dengan mengacu pada analisis situasi terkini mengenai kekerasan terhadap anak di Indonesia serta hasil evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan program terkait kekerasan terhadap anak.
Kotak 1. Pendapat dari anak, remaja dan pemuda Ribuan anak, remaja dan pemuda telah memberikan masukan terhadap Stranas PKTA ini. Masukan-masukan itu juga telah diakomodasi dalam dokumen ini. Masukan ini diperoleh melalui konsultasi melalui internet (portal Twitter @ UReport_id) yang dilakukan di awal tahun 2015 dan melibatkan lebih dari 4.000 anak, remaja dan pemuda, dengan rentang usia 14-25 tahun. Hasil-hasil penting dari konsultasi itu antara lain: •
Meski sebagian besar anak (57 persen) tidak tahu bahwa Pemerintah telah mengimplementasikan strategi nasional pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak, namun 41 persen anak menyatakan mengetahui adanya strategi tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa anak dan pemuda yang diwawancarai memiliki pengetahuan terhadap program terkait kekerasan terhadap anak.
•
76 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti kegiatan semacam penyuluhan terkait isu kekerasan dalam 3 tahun terakhir. Hanya 23 persen saja yang menyatakan pernah mengikutinya. Hal ini menandakan perlu adanya penjajakan lebih lanjut mengenai media mana yang lebih berhasil dalam menjangkau anak, remaja dan pemuda dalam mendapatkan informasi mengenai penyuluhan terkait isu kekerasan.
•
61 persen mengetahui kemana harus melaporkan kasus kekerasan terhadap anak, 23 persen menyatakan tidak tahu, dan 15 persen menyatakan tidak yakin. Hal ini memperlihatkan perlunya penyelidikan lebih lanjut mengenai tantangan bagi anak, remaja dan pemuda untuk secara efektif melaporkan kasus kekerasan.
•
Ketika ditanya mengenai apa yang seharusnya diprioritaskan oleh Pemerintah dalam menangani kekerasan terhadap anak, responden memberikan beberapa saran, termasuk diantaranya program terkait kesejahteraan sosial, pendidikan pengasuhan untuk keluarga, penegakan hukum serta peningkatan kesadaran masyarakat.
•
Secara umum, anak, remaja dan pemuda menyatakan keinginannya untuk terlibat secara aktif dalam upaya menghapus kekerasan terhadap anak. Ketika ditanya mengenai hal-hal yang dapat mereka lakukan, responden memberikan beberapa saran, diantaranya melakukan advokasi kepada pemerintah, terlibat dalam kegiatan peningkatan kesadaran dan menyediakan dukungan sebaya untuk anak korban kekerasan.
4
Pada tanggal 1-3 Juli 2015, Pemerintah telah menyelenggarakan lokakarya untuk menyusun kerangka dari Stranas dan Rencana Aksi baru untuk menanggapi kekerasan terhadap anak di Indonesia sebagai bentuk upaya kerjasama dengan semua pemangku kepentingan di tingkat nasional. Sebanyak 75 peserta dari 17 Kementerian/Lembaga, 7 LSM, 4 organisasi keagamaan, dan 6 organisasi kepemudaan hadir dalam lokakarya tersebut. Para peserta pada dasarnya sangat mendukung pengembangan strategi menyeluruh yang berbasis bukti untuk mencegah kekerasan terhadap anak, sebagai keberlanjutan dari strategi yang disusun sebelumnya. Peserta menekankan perlunya strategi yang memiliki kerangka waktu yang jelas, terkoordinasi di seluruh tingkatan pemerintahan, dan menitikberatkan pada pencegahan. Peserta juga menekankan pentingnya anggaran yang memadai untuk implementasi strategi, yang seharusnya berasal dari anggaran lintas Kementerian/Lembaga terkait (misalnya di sektor pendidikan, kesehatan, dan peradilan).
I.4 Definisi
•
Anak adalah seseorang yang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak).
•
Masa Remaja adalah periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum masa dewasa, dari usia 10 hingga 19 tahun(WHO, 2010).
•
Pemuda adalah warga negara yang memasuki periode pertumbuhan dan perkembangan krusial diatas 16 (enam belas) tahun hingga 30 (tiga puluh) tahun (UU No. 40/2009 tentang Kepemudaan).
•
Kekerasan terhadap Anak adalah segala bentuk tindakan fisik, mental, seksual, termasuk penelantaran dan perlakuan salah yang mengancam integritas tubuh dan perlakuan merendahkan anak oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang anak atau mereka yang yang memiliki otoritas terhadap perlindungan anak, yang seharusnya dapat dipercaya (Permen PPPA No. 2/2010 tentang RAN PKTA 2010-2014).
5 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Definisi-definisi yang digunakan dalam Stranas PKTA ini mengacu pada standar Hak Asasi Manusia, yang telah diakui oleh Komite PBB untuk Hak-Hak Anak, WHO, dan UNICEF, dan yang dinyatakan dalam berbagai peraturan terutama UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (beserta revisinya, UU No. 35 Tahun 2014).
•
Penghapusan Kekerasan terhadap Anak adalah segala bentuk upaya dan tindakan yang dilakukan secara berkala, sistematis, dan terukur dalam upaya menghapus segala bentuk kekerasan terhadap anak, melalui pencegahan, perlindungan, pemulihan, reintegrasi, partisipasi, peningkatan kapasitas, dan kerjasama antar-sektor (Permen PPPA No. 2/2010 tentang RAN PKTA 2010-2014).
•
Kekerasan fisik terhadap Anak2 merupakan penggunaan kekuatan fisik secara sengaja kepada anak yang kemungkinan memiliki dampak buruk yang besar terhadap kesehatan, keselamatan, perkembangan, atau martabat anak. Contohnya memukul, menendang, mengguncang, menggigit, mencekik, menjemur, membakar, meracuni dan menyengsarakan, yang banyak diasosiasikan sebagai hukuman fisik. Hukuman fisik didefinisikan sebagai segala bentuk hukuman yang menggunakan kekuatan fisik dan bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau tidak nyaman, yang biasanya termasuk pula memukul (‘menghantam’, ‘menampar’, ‘memecut’) anak dengan tangan atau benda. Dapat pula berbentuk tendangan, pengguncangan, pencakaran, penggigitan, penarikan rambut atau telinga,pengurungan, memaksa anak untuk diam di posisi yang tidak nyaman, dibakar/dijemur, atau memaksa menelan sesuatu.
•
Kekerasan Seksual didefinisikan sebagai “segala bentuk tindakan seksual, usaha untuk melakukan tindakan seksual, atau komentar seksual yang tidak diinginkan yang ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan pemaksaan, oleh siapapun terlepas dari hubungannya dengan korban, dalam latar belakang apapun”. Hal ini juga mencakup bentuk-bentuk yang bersifat kontak fisik dan non-kontak, diantaranya namun tidak terbatas pada: (a) bujukan atau paksaan kepada seorang anak untuk terlibat dalam kegiatanseksual yang berbahaya secara psikologis maupun ilegal, (b) penggunaan anak dalam eksploitasi seksual komersial; (c) penggunaan anak dalam gambaran visual atau audio terkait kekerasan seksual; dan (d) prostitusi anak, perbudakan seksual, eksploitasi seksual dalam dunia pariwisata, perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual (didalam dan antar negara), penjualan anak untuk tujuan seksual dan pernikahan paksa.
•
Kekerasan Emosional mencakup kegagalan dalam menyediakan lingkungan yang sesuai dan mendukung, sehingga anak dapat mengembangkan kompetensi sosialnya secara menyeluruh dan stabil
6
2 Definisi dari berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di masa kanak-kanak yang tercantum dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku sampai saat ini sejalan dengan definisi internasional. Meski demikian, dalam definisi tertentu masih kurang lengkap dibandingkan dengan definisi internasional. Definisi-definisi dalam dokumen ini berusaha untuk melengkapi kekurangan penjelasan tersebut dengan menggunakan definisi internasional sebagai pelengkap.
sesuai dengan potensi pribadiyang dimilikinya dan konteks masyarakat. Suatu tindakan kekerasan emosional mungkin dapat menyebabkan kerugian pada aspek fisik dan kesehatan anak, mental, spiritual, moral, atau perkembangan sosial. Contohnya: (a) segala bentuk interaksi yang berbahaya dan terus menerus terhadap anak; (b) menakut-nakuti, mengintimidasi, dan mengancam; mengeksploitasi dan mengkorupsi, memandang rendah dan menolak, mengisolasi, mengabaikan, dan membedakan perlakuan dengan anak lainnya; (c) mengabaikan respon emosional; mengabaikan kesehatan mental, kebutuhan medis dan pendidikan; (d) menghina, membuat seseorang malu, meremehkan, mengejek, dan menyakiti perasaan anak; (e) kekerasan dalam rumah tangga; (f) menempatkan dalam kurungan, isolasi, atau mempermalukan atau merendahkan; dan (g) penindasan psikologis dan perpeloncoan oleh orang dewasa atau anak lainnya, termasuk melalui teknologi informasi dan komunikasi (TIK) diantaranya melalui telepon genggam dan internet (dikenal sebagai “cyber-bullying”). Penelantaran atau perlakuan lalai adalah kegagalan dalam menyediakan perkembangan anak dalam segala cakupan: kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, gizi, tempat tinggal, perlindungan sosial, dan lainnya. Dapat juga termasuk: (a) pengabaian fisik, yaitu gagal dalam melindungi anak dari bahaya, gagal menyediakan kebutuhan dasar termasuk makanan yang mencukupi, tempat tinggal, pakaian, dan pengobatan dasar; (b) pengabaian psikologis atau emosional, termasuk minimnya dukungan emosional dan kasih sayang, pengabaian kronis, pengasuhan tidak tersedia dengan mengabaikan tanda-tanda yang diberikan anak kecil, dan kekerasan dalam pasangan atau penggunaan obat-obatan atau alkohol; (c) penelantaran dari kesehatan mental atau fisik anak: dengan perampasan hak atas pengobatan medis; (d) pengabaian pendidikan: gagal menaati hukum terkait perlunya pengasuh untuk memastikan pendidikan anak melalui kehadiran anak di sekolah; (3) dan ditinggalkan.
•
Eksploitasi merujuk pada penggunaan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang menguntungkan pihak lain, termasuk prostitusi anak, perdagangan anak, dan penggunaan anak dalam konflik bersenjata(Krug et. al., 2002).
•
Penindasan (bullying) adalah bentuk dari kekerasan fisik, juga tindakan agresif yang dimaksudkan dan melibatkan kekuatan atau kekuasaan yang tidak seimbang. Hal ini terjadi lintas geografis, ras, dan batasan sosialekonomi.
7 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
•
Penindasan (bullying) dapat terjadi dalam berbagai bentuk: Penindasan Langsung: menggoda, menyerang dengan kata-kata, mendorong, menyerang secara fisik, pemerasan, dan perusakan properti. Penindasan Tidak Langsung: menghindari, menyebarkan desas-desus, memberikan lelucon yang berbahaya, dan bentuk lisan dan tindakan lainnya. Cyber-Bullying: penggunaan teknologi internet, termasuk laman digital, pesan digital dan elektronik.(Committee on the Rights of the Child, 2011). Kekerasan dalam berpasangan merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh pasangan intim atau mantan pasangan yang menimbulkan bahaya fisik, seksual, psikologis, termasuk serangan fisik, pemaksaan seksual, kekerasan psikologis, dan tindakan mengatur (Garcia-Moreno et.al., 2005). •
Praktik-praktik berbahaya termasuk, namun tidak terbatas pada: Hukuman korporal/fisik dan bentuk kejahatan atau bentuk hukuman yang merendahkan;
8
Mutilasi kelamin perempuan/pemotongan; Amputasi, mengikat, melukai, membakar, dan menstigma; Ritual dengan kekerasan atau merendahkan; memaksa perempuan untuk makan makanan tertentu; Menggemukan, memaksa makan perempuan, dan tes keperawanan (memeriksa alat vital perempuan); Pernikahan paksa/dini/anak; Kejahatan atas dasar “kehormatan”: Penggantian denda terhadap tindak kekerasan (dimana terjadinya perselisihan antar kelompok melibatkan anak sebagai pihak terkait); kekerasan berbasis mahar dan kematian anak. Tuduhan “sihir” atau praktik-praktik terkait berbahaya lainnya seperti penggunaan untuk ritual ‘eksorsisme’
•
Bentuk-bentuk terburuk dari pekerja anak termasuk – tapi tidak terbatas pada – empat kategori utama: Segala bentuk atau praktik perbudakan, termasuk rekrutmen wajib/ paksa anak untuk konflik bersenjata; Penggunaan, penyediaan, penawaran anak untuk prostitusi, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan pornografi; Penggunaan, penyediaan, penawaran anak untuk kegiatan tertentu dalam kaitannya produksi dan pengedaran narkoba sebagaimana yang didefinisikan oleh berbagai perjanjian internasional; Pekerjaan, dimana secara kondisi dilakukan untuk menimbulkan bahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral anak (ILO, 1999).
Dalam mendefinisikan berbagai bentuk kekerasan, perlu dipahami bahwa anak merupakan korban, dan kekerasan terhadap anak merupakan sesuatu yang bersifat multidimensional dan tidak dapat diatasi melalui skema hubungan sebab akibat yang tunggal. Kekerasan terjadi dalam berbagai bentuk dan latar terjadinya kekerasan, dan terjadi dalam waktu yang panjang dari tahap kehidupan anak (lebih lanjut dapat dilihat pada bagian “Prinsip Dasar”).
•
Tujuan Umum adalah rangkuman perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah program atau proyek.
•
Tujuan Khusus adalah perubahan-perubahan kunci yang akan terjadi sebagai hasil langsung dari sebuah program atau proyek dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Umum
•
Aktivitas adalah hal-hal yang dilakukan oleh program, proyekatau organisasi untuk mencapai Tujuan Khusus.
•
Luaran Jangka Pendek adalah hasil berupa benda atau layanan yang disediakan oleh sebuah proyek atau intervensi lainnya (OAK Foundation, 2010).
•
Luaran Jangka Panjang adalah perubahan dari perilaku, keuntungan, dan pelajaran yang terjadi sebagai sebuah hasil dari sebuah proyek atau intervensi lainnya (OAK Foundation, 2010).
9 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Selain definisi seperti yang telah disebutkan, berikut ini adalah definisi operasional untuk Stranas PKTA.
•
Dampak adalah ‘perubahan lebih luas atau jangka panjang yang terjadi sebagai hasil dari sebuah intervensi atau berbagai intervensi’ (OAK Foundation, 2010).
•
Evaluasi adalah ‘suatu penilaian yang dilakukan secara sistematis dan seobyektif mungkin dalam perencanaan, implementasi, dan hasil, dari sebuah proyek, program atau kebijakan yang sedang berjalan atau yang telah selesai (OECD/DAC, 1991).
I.5 Prinsip Dasar Prinsip-prinsip dasar digunakan sebagai kerangka acuan dalam proses perencanaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi Stranas PKTA ini. Prinsip-prinsip ini harus tercermin dalam semua elemen program dan menjadi panduan bagi implementasi dari Stranas PKTA di semua tingkatan.
I.5.1 Pendekatan Berbasis Hak Anak
10
Secara normatif, Stranas PKTA berpedoman pada standar internasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi Anak, seperti yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Sedangkan secara operasional, Stranas PKTA ditujukan sebagai upaya mempromosikan, melindungi, dan memenuhi HAM, khususnya terkait anak korban kekerasan. Konvensi Hak Anak (KHA) setidaknya mencakup 4 bentuk hak, yang telah diakui Komisi PBB untuk Hak Anak sebagai prinsip umum yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi KHA dan di segala situasi menyangkut anak. Prinsip itu termaktub dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Pasal 2) yang secara khusus dijabarkan sebagai berikut : a.
Kepentingan terbaik untuk anak Semua tindakan yang menyangkut anak - baik yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial milik pemerintah atau swasta, lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif - perlu menempatkan kepentingan terbaik untuk anak sebagai pertimbangan utama (pasal 3 KHA). Hal ini termasuk semua tindakan yang dilakukan untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan.
b.
Partisipasi Anak Negara harus menjamin agar anak memiliki hak untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas dalam segala hal yang mempengaruhi dirinya, dan pandangan anak tersebut akan dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan anak (Pasal 12 KHA). Untuk mencapai tujuan ini, anak secara khusus harus diberikan kesempatan untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administratif, baik secara langsung, melalui perwakilan atau badan yang tepat, dengan cara yang tepat yang didukung dengan prosedur hukum yang berlaku. Anak juga harus didukung dalam mengungkapkan pandangannya, diantaranya dengan menyediakan informasi yang sesuai dengan perkembangan usia anak.
c.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Negara harus mengakui hak untuk hidup dan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak, termasuk pengasuhan, kesehatan dan pendidikan (Pasal 6 dan Pasal 27 KHA). Hal ini berarti bahwa negara bertanggung jawab untuk mencegah kekerasan, karena hal itu mungkin dapat membahayakan kelangsungan hidup dan perkembangan anak.
d. Non-diskriminasi
I.5.2 Kepemilikan Pemerintah Pemerintah dalam hal ini berarti lembaga pemerintah pusat dan daerah yang berwenang. Sedangkan “Pemilik” untuk menggambarkan bahwa lembaga tersebut perlu memegang penuh Stranas PKTA ini. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memegang teguh prinsip partisipasi, tanggung jawab dan akuntabilitas dalam mendefinisikan tujuan, melaksanakan kegiatan dan memenuhi target dari Stranas PKTA dan Rencana Aksi yang telah ditentukan.
11 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak anak yang diatur dalam KHA di wilayahnya tanpa adanya diskriminasi terhadap anak, orangtua atau walinya dalam bentuk apapun, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, afiliasi politik, kewarganegaraan, kemampuan fisik, status kelahiran atau lainnya (pasal 2 KHA). Secara khusus, semua anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diberikan bantuan yang diperlukan dengan memastikan semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
I.5.3 Partisipasi Masyarakat Pengembangan dan pelaksanaan program dan langkah-langkah pada Stranas PKTA ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan pemangku kepentingan lain, seperti akademisi, organisasi non-pemerintah, anak, jaringan remaja dan pemuda. Para pemangku kepentingan ini harus berperan aktif dalam pengambilan keputusan dan pandangan serta pendapatnya harus tercermin dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi Stranas PKTA ini. Sektor swasta juga dapat memainkan peran penting dalam mendorong perlindungan anak dari kekerasan. Hal ini dapat dilakukan dengan bergabung dalam kampanye untuk mengubah norma dan sikap yang menoleransi kekerasan terhadap anak; mendukung sasaran kegiatan melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR); melakukan kegiatan percontohan; dan melaksanakan prinsip dan kebijakan yang mendukung hak anak di tempat kerja.
I.5.4 Pendekatan multi-disiplin dan lintas-sektor
12
Kekerasan terhadap anak merupakan masalah yang kompleks, yang melibatkan berbagai bidang dan kepentingan seperti kekerasan berbasis gender, diskriminasi, kemiskinan, kejahatan yang terorganisir, dan ketenagakerjaan. Strategi nasional PKTA yang efektif harus menjadikan kompleksitas ini sebagai pertimbangan untuk mengatasi berbagai aspek kekerasan terhadap anak secara bersamaan. Oleh karena itu, pemangku kepentingan perlu bekerja secara multi-disiplin, dalam arti pengetahuan dan keahlian dari berbagai disiplin ilmu dan metode dapat digabungkan untuk mencegah dan memberantas kekerasan terhadap anak (misalnya dalam aspek perangkat hukum, kurikulum pendidikan, penelitian, dan bantuan psikologis). Sementara lintas-sektor berarti bahwa intervensi harus dirancang dan dilaksanakan dengan metode kerjasama yang melibatkan semua sektor termasuk masyarakat (antara lain: lembaga peradilan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan keluarga). Hal ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat sipil.
I.5.5 Berkelanjutan Program dan sistem yang akan dibentuk dan dilaksanakan harus dapat bertahan dalam jangka panjang dan dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Idealnya, tidak ada kondisi apapun (misalnya pendanaan) yang dapat menghambat sistem/strategi yang telah dirancang dan disetujui.
I.5.6 Spesifik gender Gender merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, dengan pertimbangan bahwa resiko dan konsekuensi yang dialami anak perempuan dan laki-laki berbeda dalam kaitannya dengan kekerasan.
I.5.7 Pendekatan terpadu dan menyeluruh Semua aspek dan komponen dari Stranas dan Rencana Aksi PKTA ini berhubungan satu sama lain, dan merupakan satu rangkaian utuh yang berperan sebagai kerangka pikir utama. Dalam konteks yang luas juga merupakan bagian dari upaya mempromosikanhak anak.
I.5.8 Pendekatan berbasis bukti Keahlian para pemangku kepentingan harus didukung dengan data/bukti terbaik, dapat diandalkan, dan tersedia baik di tingkat internasional, dan nasional maupun melalui kajian akademis yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah, menyusun prioritas dan terkait dengan perancangan tujuan dan kegiatan.
Dokumen Stranas PKTA ini dirancang dengan merujuk pada kebijakan lain yang relevan dan berusaha memperkuat kaitannya dengan kebijakan yang berlaku. Hal ini mengingat, kekerasan terhadap anak tidak terjadi dalam ruang lingkup yang terpisah dengan tantangan lain yang mengancam keamanan dan kesejahteraan anak, keluarga, dan masyarakat. Kebijakan-kebijakan dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019 RPJMN 2015-2019 merupakan strategi pembangunan nasional dengan jangka waktu menengah (5 tahun) yang disusun oleh Pemerintah melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat sipil hingga sektor swasta. RPJMN 2015-2019 merupakan wujud kerangka jangka menengah dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dengan demikian, ada 5 buah RPJMN dalam RPJPN tersebut.
13 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
I.6 Keterkaitan dengan Kebijakan Lainnya
Dalam RPJMN 2015-2019, perlindungan anak merupakan salah satu dari lima tantangan dalam penguatan sumber daya manusia. Indikator capaian dari perlindungan anak ini adalah pengurangan jumlah kasus kekerasan terhadap anak. Secara khusus, terkait perlindungan anak, RPJMN menitikberatkan pada: 1) Tumbuh kembang anak, termasuk penguatan partisipasi anak; 2) Meningkatkan perlindungan anak dari kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran; dan 3) Peningkatan efektivitas dari perlindungan. 3)
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN PA) 2015-2019 Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak adalah dokumen nasional yang dirancang oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas sebagai tanggapan atas inisiatif Presiden untuk memperkuat ‘Gerakan Nasional Perlindungan Anak’. Dokumen RAN PA ini merujuk pada RPJMN 2015-2019 dan RAN/inisiatif nasional lainnya. Salah satu fokus perhatian dari RAN PA ini adalah kekerasan terhadap anak. Untuk itu, RAN menitikberatkan pada upaya memperkuat pencegahan kekerasan dan perlindungan anak oleh keluarga dan mengimplementasikan kebijakan yang berlaku, terutama Instruksi Presiden No. 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak.
14
5) Rencana Aksi Nasional Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RANKES AUSREM) 2015-2019 Dokumen RANKES AUSREM 2015-2019 merupakan kelanjutan dari Strategi Nasional Kesehatan Remaja, yang diterbitkan pada tahun 2005. RANKES ini berisi tujuan menyeluruh untuk mengintegrasikan inisiatif nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan akan adanya strategi kesehatan yang multi-sektoral bagi remaja. RANKES ini memusatkan perhatian pada anak dan remaja usia 6-24 tahun. Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu fokus dari RANKES ini. Salah satu usaha pencegahan yang dilakukan dalam RANKES ini adalah memberikan pelayanan pendidikan kesehatan menyeluruh yang mencakup kekerasan yang dialami anak dan remaja. 7)
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2015-2019 Rencana Aksi Nasional yang disusun oleh Kementerian Hukum dan HAM ini menitikberatkan pada lima strategi dalam pemenuhan, promosi, dan perlindungan HAM, antara lain: Pembentukan dan penguatan institusi RAN HAM; persiapan pengesahan perangkat HAM internasional dan penyusunan bahan/laporan implementasi perangkat HAM internasional yang telah diratifikasi; harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturan
perundang-undangan; pendidikan HAM; serta penerapan norma dan standar HAM. Dokumen RAN HAM ini juga menyinggung pemenuhan hak-hak anak, sehingga relevan untuk menjadi referensi bagi Stranas PKTA ini. 8)
Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) 2014-2019 Rencana Aksi Nasional ini disusun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan menitikberatkan pada upaya perlindungan, termasuk diantaranya pencegahan dan penanganan dari segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran HAM anak dan perempuan; memberikan layanan kebutuhan dasar dan spesifik bagi anak dan perempuan dalam penanganan konflik; serta penguatan hak asasi, peningkatan kualitas hidup, dan peningkatan partisipasi perempuan dan anak dalam membangun perdamaian.
9) Rencana Aksi Nasional Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dan Hak Anak melalui Forum Organisasi Keagamaan 20142018
15 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Rencana Aksi Nasional ini ditujukan untuk melibatkan organisasi keagamaan dalam menjalankan kegiatan pengarusutamaan gender dan hak anak ke seluruh Indonesia baik di tingkat provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, dan desa/kampung sampai tingkat keluarga. Selain itu, RAN ini juga memberikan pedoman bagi organisasi-organisasi keagamaan dalam menyusun kegiatan untuk percepatan pelaksanaan pengarusutamaan gender dan hak anak yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, kebutuhan, dan kemampuannya.
16
Bab 2
Kekerasan terhadap Anak di Indonesia
Data diatas memperlihatkan gambaran umum situasi kekerasan terhadap anak di Indonesia. Secara lebih analitis, bagian situasi analisis ini disusun berdasarkan studi tinjauan pustaka mengenai Kekerasan terhadap Anak yang dilakukan oleh KPP-PA dan UNICEF (UNICEF Indonesia, 2015). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendefinisikan masalah dan mengatasinya, termasuk mengidentifikasi tujuan strategis dan tujuan khusus dari Stranas PKTA. Analisis juga dimaksudkan untuk mengetahui bidang-bidang terkait kekerasan terhadap anak di Indonesia yang informasi/pengetahuannya minim sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini, data yang tersedia dapat disajikan sebagai bahan awal (baseline) dalam rangka memantau pencapaian dan dampak yang dihasilkan oleh Stranas dan Rencana Aksi PKTA terkait.
17 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Hasil Survei Kekerasan terhadap Anak (SKTA) Tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kementerian Sosial, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada dua kelompok umur yaitu 18-24 tahun dan 13-17 tahun, menunjukkan pada anak kelompok umur 18-24 tahun ditemukan 1 dari 2 anak laki-laki dan 1 dari 6 anak perempuan setidaknya mengalami salah satu jenis kekerasan; baik kekerasan seksual, fisik atau emosional sebelum mereka berumur 18 tahun, dan pada kelompok umur 13-17 tahun menunjukkan jumlah anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual/fisik/ emosional, sebesar 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan seksual/fisik/ emosional dalam 12 bulan tahun terakhir (KPPPA, 2013). Jumlah laporan kasus kekerasan anak hingga April 2015 mencapai 6.006 kasus. Meningkat signifikan dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus; 2011 sejumlah 2.179 kasus ; 2012 sejumlah 3.512 kasus; 2013 sejumlah 4.311 kasus, dan 2014 sebanyak 5.066 kasus (KPAI, 2015).
II.1 PerangkatHukum Pemerintah telah menerbitkan perangkat hukum dan kebijakan yang cukup progresif serta meratifikasi berbagai perjanjian internasional terkait hak anak. Berikut ini adalah daftar perangkat hukum yang diadopsi dalam dua setengah dekade terakhir. Daftar ini berdasarkan tinjauan regional terkait legislasi dan kebijakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan UNICEF di tahun 2015 (Coram Children’s Legal Center, 2015). Tahun
Kebijakan
1990-1995
• Ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB di tahun 1990
1996-2000
• Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2001-2005
• Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak • Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional • Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Rumah Tangga
2006-2010
• Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI • Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 • Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang • Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis • Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar • Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi
2011-2015
• Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial • Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di tahun 2011 • Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak • Undang-Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial • Undang-Undang No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan • Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tentang Keterlibatan Anak di Konflik Bersenjata di tahun 2012 • Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tentang Perdagangan Anak., Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak di tahun 2012
18
Tahun
Kebijakan • Ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Tenaga Kerja Migran dan Keluarganya di tahun 2012 • Undang-Undang No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002)
Meski demikian, terdapat beberapa bidang yang belum tercakup dan belum lengkapnya penerjemahan kewajiban internasional ke dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku. Bidang-bidang dimaksud antara lain: minimnya pelarangan penuh hukuman korporal/fisik di semua latar terjadinya kekerasan; terbatasnya cakupan definisi resmidari ‘kekerasan emosional’ dan ‘penelantaran’, serta ‘inses’ dan ‘perkosaan’; ketentuan terkait usia perkawinan; dan minimnya ketentuan yang jelas yang menyatakan bahwa anak yang terlibat dalam segala bentuk eksploitasi seksual seharusnya selalu diperlakukan sebagai korban (UNICEF Indonesia, 2015).
II.2 Kekerasan di Rumah
Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dengan sampel 10.760 anak berusia 10-18 tahun di empat provinsi (Aceh, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua) menemukan bahwa kekerasan seksual terjadi di seluruh konteks, termasuk di rumah dan dalam bentuk kontak fisik maupun non-kontak fisik. Persentasenya bervariasi antar daerah, misalnya di Kabupaten Jayawijaya, 23 persen anak melaporkan mengalami kekerasan seksual, sedangkan di Jayapura, Provinsi Papua hanya 14 persen. Sementara itu, jumlah kasus kekerasan seksual relatif rendah di Banda Aceh 2 persen), Provinsi Aceh sebesar 5 persen (Universitas Indonesia, 2009). Hubungan sebab-akibat antara kekerasan di rumah dan meningkatnya kekerasan yang dialami telah diketahui. Anak yang menjadi korban atau
19 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Anak menghadapi resiko kekerasan fisik, emosional, seksual di rumah maupun di luar rumah. Hukuman korporal/fisik sering digunakan sebagai upaya mendisiplinkan anak di keluarga. Data menunjukkan bahwa 26 persen anak menjadi korban dari hukuman fisik (BPS, 2014). Orangtua berperan sebagai pelaku utama dan yang paling sering melakukan kekerasan terhadap anak di rumah. Secara khusus, anak yang tinggal dalam ‘keluarga yang rusak’ (‘broken home’) atau anak diinstitusi (termasuk didalamnya panti asuhan) memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik, emosional, dan pengabaian (PUSKAPA UI, 2014).
menyaksikan terjadinya kekerasan dirumah beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari (Abrahams et. al., 2014).
II.3 Kekerasan di Sekolah Sekolah juga sering menjadi tempat terjadinya kekerasan terhadap anak, dan biasanya dilakukan oleh sesama siswa. Kekerasan emosional (terutama dalam bentuk penggunaan bahasa yang melecehkan/mengejek) adalah bentuk yang paling sering dilaporkan, diikuti oleh kekerasan fisik. Menurut sebuah studi yang dilakukan International Center for Research on Women dan Plan International kepada 1.739 siswa berusia 12-15 tahun, 84 persen siswa menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan di sekolah, dan 75 persen mengaku pernah melakukannya dalam 6 bulan terakhir (ICRW, 2015). Selain itu, 60 persen siswa laki-laki dan 40 persen siswi perempuan berusia 12-15 tahun diketahui menjadi pelaku kekerasan emosional terhadap siswa lainnya. Anak merupakan korban dari kekerasan seksual di sekolah, termasuk diantaranya dipeluk secara paksa atau disentuh secara tidak senonoh oleh gurunya. Meski demikian, hampir 80 persen korban melaporkan bahwa pelakunya merupakan siswa laki-laki dari sekolah yang sama (ICRW, 2015).
20
Studi lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan (2013) menunjukkan bahwa kekerasan fisik menjadi bentuk paling umum dari segala bentuk kekerasan yang dialami anak di sekolah, yang dilakukan paling banyak oleh sesama siswa. Pelaku lainnya adalah guru (Horn, 2011). The Global School-based Health Survey, sebuah survei global yang dilakukan pada tahun 2007 juga mencatat 45 persen anak Indonesia mengalami kekerasan fisik oleh sesama siswa di sekolah, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan persentase kekerasan tertinggi di dunia (Kementerian Kesehatan, 2007).
II.4 Kekerasan di Masyarakat/Ruang Publik Di tengah masyarakat/ruang publik, anak menjadi pihak yang beresiko dan korban dari berbagai bentuk kekerasan. Anak diperdagangkan dan dieksploitasi di sektor-sektor tertentu (anak laki-laki cenderung bekerja di sektor pertanian dan perkebunan, sedangkan anak perempuan di sektor rumah tangga dan eksploitasi seksual). Ketika diperdagangkan, anak mengalami beragam bentuk kekerasan fisik, emosional, dan seksual (Lyneham dan Larsen, 2013). Perburuhan anak dan eksploitasi anak tercatat meningkat di Indonesia menurut berbagai studi, bahkan terjadi sejak usia 10 tahun. Meskipun demikian, hal ini belum
jelas menggambarkan apakah hal ini terjadi karena adanya kecenderungan pelaporan/dokumentasi yang semakin meningkat atau karena jumlah kasusnya meningkat (Lyneham dan Larsen, 2013). Anak jalanan menjadi kelompok yang beresiko dan membutuhkan perlindungan khusus, yang jumlahnya terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Anak yang mengalami masalah hukum juga merupakan kelompok yang mengalami pengabaian hak-haknya terhadap perlindungan dari kekerasan secara terus menerus, baik yang dilakukan oleh tahanan dewasa maupun petugas kepolisian.
II.5 Hubungandengan Pelaku •
Orangtua Selain menjadi pelaku kekerasan terhadap anak (Horn, 2011), dalam berbagai kesempatan orangtua juga gagal melindungi anaknya dari kekerasan yang dilakukan pihak lain, baik karena mengabaikannya (contohnya melalui kekerasan yang terjadi di sekolah) atau menyalahkan anak (dalam kasus ayah yang menyalahkan anak perempuan karena mengalami pelecehan seksual) (ICRW, 2015). Teman Sebaya Teman sebaya tercatat sebagai salah satu pelaku utama dari kekerasan terhadap anak (ICRW, 2015). Secara khusus, remaja yang ditindas (dibully) dianggap sebagai kelompok yang memerlukan perhatian khusus. Sebuah studi mencatat bahwa rata-rata 67 persen siswa (73 persen laki-laki dan 62 persen perempuan) dari kelas 5 SD hingga kelas 8 SMP melaporkan pernah melakukan kekerasan di sekolah dalam 6 bulan terakhir. Bentuk paling umumnya adalah kekerasan emosional. Anak korban kekerasan umumnya tidak mencari bantuan kepada teman yang lain, yang menunjukkan minimnya reaksi saksi mata ketika kekerasan terjadi (ICRW, 2015).
•
Guru/Petugas di Sekolah Dua studi yang dilakukan oleh ICRW dan Plan International menunjukkan 45 persen laki-laki dan 22 persen perempuan yang terlibat dalam studi menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan fisik di sekolah. Secara spesifik, 27 persen laki-laki dan 17 persen perempuan mengaku guru atau petugas sekolah yang melakukan kekerasan fisik tersebut (ICRW, 2015).
21 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
•
II.6 Faktor Pelindung dan Resiko Kekerasan Gender menjadi variabel penting yang mempengaruhi bentuk kekerasan yang dialami anak, seperti halnya latar dan jumlah terjadinya kekerasan. Ketika diskriminasi gender dapat menyebabkan kekerasan terhadap anak perempuan (terutama di rumah, dalam perkawinan dan dengan orang dekat lainnya), anak laki-laki juga menjadi korban kekerasan (contohnya, mengalami kekerasan dari teman sebaya dalam bentuk fisik dan diejek di sekolah, dan di tempat bekerja) (UNICEF, 2012). Variabel lain yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak diantaranya disabilitas dan status minoritas etnis – banyak disebut dalam berbagai laporan namun tidak tercatat secara sistematis (Horn, 2011).
22
Studi pustaka yang dilakukan menemukan beragam faktor yang mendorong anak mengalami kekerasan, baik di tingkatan individu, keluarga, dan masyarakat, maupun dalam konteks sosial-ekonomi dan politik yang lebih luas. Beberapa faktor tercatat mendorong berbagai bentuk kekerasan, termasuk diantaranya kemiskinan, kesulitan ekonomi, pengangguran, urbanisasi, rendahnya pendidikan, dan budaya. Sedangkan hal lain yang secara khusus mempengaruhi bentuk dan latar kekerasan (misalnya, sejarah kekerasan fisik maupun seksual pada masa kecil dan perilaku gender yang tidak seimbang yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, atau penerimaan umum akan bentuk kekerasan “ringan” yang mendukung hukuman fisik). Aspek-aspek ini dan hal lain yang terkait telah dieksplorasi secara mendalam dalam tinjauan ini. Beberapa faktor yang mendukung anak untuk terhindar dari kekerasan juga tercantum pada literatur yang dianalisis (UNICEF Indonesia, 2015). Secara umum, data tentang jumlah kasus kekerasan terhadap anak, faktor pemicu dan pelaku kekerasan masih jauh dari memadai. Hal ini menyiratkan adanya kebutuhan untuk mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif secara sistematis terkait jumlah kasus, faktor pemicu, dan pelakunya, termasuk akibat dari kekerasan terhadap anak. Penelitian lebih lanjut diperlukan, khususnya terkait: •
Hubungan antara keterpaparan terhadap kekerasan pada anak dan kemungkinan menjadi pelaku di kemudian hari, yang menyiratkan bahwa siklus kekerasan terjadi lintas generasi;
•
Peran yang berbeda yang dimainkan oleh ayah dan ibu – baik sebagai pelaku kekerasan dan melindungi anak dari kekerasan, khususnya pada masa kanak-kanak. Hal ini belum tercakup dalam kepustakaan yang dikaji;
•
Peran saudara dan anggota keluarga dalam mencegah, namun juga melakukan kekerasan di rumah, sekolah, dan masyarakat;
Analisis mendalam perlu dilakukan terkait kekerasan dalam hubungan intim (pacaran/menikah) pada remaja dan anak, mengingat tinggnya jumlah perkawinan anak di Indonesia;
•
Kekerasan seksual yang dialami laki-laki, jumlah kasusnya, faktor-faktor pendorong dan pelakunya; dan
•
Faktor pendukung yang melindungi anak dari kekerasan, dan bagaimana faktor-faktor tersebut dapat diperkuat (UNICEF Indonesia, 2015).
23 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
•
24
Bab 3
Arah Strategi dan Tujuan
Bagian ini menyajikan langkah-langkah yang dirancang untuk mengatasi tantangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Tujuan dan sasaran yang diidentifikasi berdasarkan pada hasil dari analisis latar belakang dan hasil konsultasi yang telah dilakukan. Hasil tersebut kemudian dirumuskan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari Stranas PKTA.
III.1 Tujuan Utama Tujuan utama dari Stranas PKTA ini adalah:
Tujuan ini sejalan dengan sasaran dalam RPJMN 2015-2019, yang menitikberatkan pada upaya menyediakan sistem perlindungan dari berbagai tindak kekerasan dan perlakuan salah lainnya dengan mengoptimalkan upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi terhadap anak, perempuan, dan kelompok marjinal. Adapun indikator yang digunakan dalam pengukuran sasaran ini adalah menurunnya angka jumlah kasus kekerasan yang dialami anak yang akan ditunjukkan melalui beragam survei yang akan dilakukan selama kurun waktu 2016-2020.
III.2 Strategi Stranas PKTA ini terdiri dari enam strategi, yaitu : 1.
Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan
25 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
“Semua anak di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal berdasarkan potensinya masing-masing dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk pengabaian dan eksploitasi.”
2.
Perubahan norma sosial dan praktik budaya membenarkan, atau mengabaikan kekerasan
yang
menerima,
3.
Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang antara pengasuh (khususnya orangtua) kepada anak untuk mencegah kekerasan
4.
Peningkatan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan serta mendukung program wajib belajar untuk anak
5.
Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban kekerasan dan anak pelaku, serta anak dalam resiko
6.
Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak
Keenam strategi ini bermuara pada dua tujuan utama untuk: 1.
Mencegah kekerasan terhadap anak - termasuk segala tindakan yang dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak dan
2. Menanggapi kekerasan - mengacu pada langkah-langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi, menolong, dan melindungi anak yang menjadi korban kekerasan termasuk akses terhadap keadilan bagi korban dan pelaku.
26 Strategi 1 : Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan
Tujuan Khusus 1: Pada tahun 2020, perangkat hukum dan kebijakan tersedia untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap anak di semua latar terjadinya kekerasan; sejalan dengan komitmen Pemerintah terhadap konvensi dan protokol internasional. Penerapan kebijakan dan legislasi yang mendukung penghapusan kekerasan terhadap anak memberi pesan yang kuat kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Sebuah studi di tingkat ASEAN pada tahun 2015 menyatakan bahwa dari seluruh perangkat hukum dan kebijakan di Indonesia, hanya 42 persen yang sesuai dengan standar HAM internasional (CORAM, 2015). Lima tahun ke depan akan menjadi kesempatan untuk menyelesaikan perangkat hukum dan kebijakan untuk melindungi anak dari kekerasan secara lebih efektif.
Beberapa tantangan terkait peraturan perundang-undangan yang harus diatasi antara lain:; minimnya pengaturan mengenai pelarangan hukuman fisik terhadap anak; terbatasnya cakupan definisi hukum/resmi dari “kekerasan emosional’, ‘penelantaran’, serta ‘perkosaan’; pemberlakuan diskriminatif terhadap usia minimal perempuan menikah; minimnya perangkat hukum yang menempatkan anak yang terlibat dalam eksploitasi seksual sebagai korban. Sosialisasi terhadap kebijakan dan peraturan perundang-undangan juga diperlukan sebagai upaya untuk membekali masyarakat dengan informasi terkait aspek hukum dari kekerasan terhadap anak. Selain itu, penegakan hukum menjadi catatan khusus dalam pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Strategi 2 : Perubahan norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan atau mengabaikan kekerasan
Tujuan Khusus 2: Pada tahun 2020, anak, pengasuh dan tokoh masyarakat menyadari hak anak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan cara mencegah kekerasan.
Strategi ini memprioritaskan program-program yang melibatkan semua sektor masyarakat menuju perubahan dimaksud. Program-program yang diusulkan mencakup: •
Program yang ditujukan kepada kelompok kecil yang menitikberatkan pada perubahan cara pandang dan praktik terhadap norma-norma yang mendukung kekerasan anak, seperti pelibatan tokoh masyarakat untuk menghentikan/membentuk ulang praktik sosial yang menoleransi tindakan kekerasan.
•
Program pemberdayaan masyarakat untuk mencegah kekerasan melalui peningkatan kemampuan dalam menanggapi perilaku seseorang yang menempatkan pihak lain dalam resiko kekerasan; dan menentukan tahaptahap untuk menanganinya.
27 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Individu dan masyarakat yang mematuhi norma-norma sosial yang membatasi dan berbahaya cenderung lebih memungkinkan untuk melakukan kekerasan fisik, seksual dan emosional terhadap pasangannya dan anak-anak (Hillis et. al., 2015). Oleh karena itu, penghapusan kekerasan terhadap anak memerlukan perubahan besar terhadap apa yang masyarakat anggap sebagai perilaku yang dapat diterima.
•
Program mobilisasi masyarakat untuk mengubah norma sosial dan perilaku melalui kampanye, pelatihan, penyuluhan, dan advokasi ke daerah.
Berbagai studi membuktikan bahwa program yang efektif untuk menangani kekerasan terhadap anak – khususnya kekerasan berbasis gender – adalah kegiatan yang bersifat partisipatoris, lintas sektor, dan mendukung sikap yang anti-kekerasan (Ellsberg et. al, 2014).
Strategi 3: Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang antara pengasuh (khususnya orangtua) kepada anak untuk mencegah kekerasan
Tujuan Khusus 3: Pada tahun 2020, pengasuh menyadari pentingnya upaya tumbuh kembang anak yang positif termasuk pemenuhan hak anak atas perlindungan dari kekerasan, cara mengidentifikasi kekerasan dan melaporkan kasus serta cara membesarkan anak dalam lingkungan yang aman dan anti-kekerasan.
28
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa orangtua yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang secara signifikan dapat mengurangi resiko anak menjadi korban kekerasan (Hillis et. al., 2015). Dampak positif ditunjukkan dengan berkurangnya keterpaparan anak dalam penindasan, penyalahgunaan, kekerasan fisik, seksual dan emosional, dan menderita karena jadi korban (viktimisasi) oleh teman sebaya. Program yang diusulkan meliputi program yang mendorong upaya mendisiplinkan anak tanpa-kekerasan, mendorong komunikasi dan interaksi yang positif antara pengasuh-anak, dan dengan menyediakan keahlian bagi orangtua untuk secara lebih baik melindungi anak-anaknya dari kekerasan.
Strategi 4: Peningkatan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan serta mendukung program wajib belajar anak
Tujuan Khusus 4: Pada tahun 2020, anak-anak terlindungi dari kekerasan sebagai hasil dari meningkatnya kapasitas dalam melindungi diri dan berperilaku sehat sebagai upaya untuk mengembangkan hubungan yang positif dan tanpa-kekerasan terhadap teman sebayanya.
Pendidikan keterampilan hidup dapat membantu anak melindungi diri dan bersikap ketika mengalami kekerasan. Keterampilan hidup dimaksud mencakup pengembangan kepercayaan diri anak, kemampuan berpikir kritis, pembekalan mengenai pola hubungan yang sehat, komunikasi yang efektif, serta pengetahuan terhadap layanan yang dapat diakses ketika mengalami kekerasan, dan pemberdayaan ekonomi untuk remaja. Program yang diusulkan mencakup: program yang memberikan anak pengetahuan dan kemampuan dalam mengendalikan emosi, sikap pro-sosial (termasuk kerjasama, menghargai, dukungan terhadap sesama, dan menghargai keberagaman), pengetahuan terhadap kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif termasuk perencanaan keluarga, keahlian berkomunikasi dan membuat keputusan, menyusun cita-cita dan tujuan hidup, mencegah penindasan (bullying), dan teknik lainnya dalam mencegah kekerasan. Berbagai studi global juga memperlihatkan pentingnya menyelesaikan sekolah menengah sebagai upaya prioritas dalam mencegah perkawinan anak dan kekerasan dalam hubungan antar remaja (Malhotra et. al., 2011).
Strategi 5: Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak dalam resiko
Upaya untuk mengurangi kekerasan harus diprioritaskan pada penanganan dan dukungan yang komprehensif yang berpusat pada kebutuhan anak. Karena itu, menyediakan layanan konseling; dukungan teman sebaya atau kelompok masyarakat terhadap korban; pelayanan kesehatan yang memadai; dan informasi bantuan hukum, merupakan upaya penting dalam mencegah tindakan kekerasan dan mengatasi dampak dari kekerasan yang dialami anak (Task Force on Community Preventive Services, 2008).
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
29 Tujuan Khusus 5: Pada akhir tahun 2020, anak yang menjadi korban, pelaku kekerasan, atau yang beresiko terhadap kekerasan, mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan, peradilan, dan kesejahteraan sosial yang bermutu, gratis, terjangkau dan peka terhadap usia dan jenis kelamin anak, serta sesuai dengan standar pelayanan minimal yang disepakati.
Program-program yang diusulkan mencakup:
30
•
Penguatan program bantuan untuk kesejahteraan anak (dana bantuan) dengan menyertakan bantuan pemeriksaan kesehatan anak, prestasi belajar anak, serta pelatihan pengasuhan.
•
Bantuan pinjaman kepada keluarga miskin untuk meningkatkan penghasilan digabungkan dengan pelatihan kesetaraan gender dan pengasuhan.
•
Pelayanan konseling, untuk membantu korban kekerasan dalam membangun kemampuan menangani kekerasan dan mengubah cara pandang terhadap kekerasan yang dialami.
•
Kombinasi layanan pemilahan (screening) kasus dengan intervensi rujukan ke layanan terkait
•
Kelompok yang memberi dukungan emosional dan praktis terhadap anak korban atau anak beresiko dilakukan oleh tenaga profesional, pekerja sosial, dan teman sebaya.
•
Advokasi kasus untuk membantu korban mendapatkan dukungan masyarakat untuk memulihkan/memperbaiki situasi diri (termasuk penyediaan rumah aman/singgah, dukungan keluarga asuh, akses kepada pekerjaan, bantuan hukum, pendidikan, pelatihan kemampuan bekerja, pengasuhan anak, perawatan kesehatan, bantuan materiil, dan dukungan keuangan).
Stategi 6: Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak
Tujuan Khusus 6: Pada tahun 2020, data terkait kekerasan terhadap anak dihasilkan secara berkala, termasuk data epidemiologi serta pengelolaan data kasus melalui pembentukan sistem pengawasan perlindungan anak secara terpadu. Sebuah studi yang dilakukan Columbia University, AS (2011) menemukan fakta mengenai minimnya informasi yang akurat mengenai hal-hal terkait pengasuhan dan perlindungan anak di Indonesia, termasuk besaran masalah, analisis sebab-akibat, dan dampak terhadap respon program yang dilakukan. Selain itu, tidak ada penentuan prioritas pengambilan data, riset, prosedur, atau metode dalam sistem pengumpulan data bersama.
Upaya menyusun program yang efektif untuk menangani kekerasan terhadap anak harus didasari oleh bukti yang kuat. Berbagai studi menunjukkan bahwa data surveilans dan tinjauan evaluasi terbukti efektif dalam upaya memahami masalah dan merencanakan aksi, mengimplementasikan dan menilai dampak dari intervensi dalam menangani kekerasan terhadap anak (Hillis et. al, 2015). Prioritas akan diberikan pada pembentukan mekanisme untuk pengumpulan data yang komprehensif mengenai terjadinya kekerasan terhadap anak. Selain itu juga akan diteliti aspek-aspek khusus dan bentuk-bentuk kekerasan, faktor pemicu dan faktor pelindung melalui riset atau survei secara lebih mendalam.
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
31
32
Bab 4
Mekanisme Pelaksanaan dan Evaluasi Pelaporan
IV.1. Mekanisme Pelaksanaan Stranas PKTA 2016-2020 memberi mandat kepada Kementerian/Lembaga serta kelompok masyarakat sebagai pelaksana program dari enam strategi dimaksud. Secara spesifik, pelaksanaan Stranas PKTA ini akan dikoordinasikan oleh 3 (tiga) Kementerian yaitu: Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK): Melakukan fungsi koordinasi dalam tahapan penyusunan aksi spesifik tahunan bersama Kementerian/Lembaga dan kelompok masyarakat.
•
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA): Melakukan pemantauan, evaluasi, sosialisasi, advokasi, dan bimbingan teknis kepada Kementerian/Lembaga serta organisasi masyarakat pelaksana Stranas baik di tingkat nasional maupun daerah.
•
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas: Menyusun rancangan perencanaan dan penganggaran serta membantu proses evaluasi implementasi Stranas PKTA 2016-2020.
Mekanisme koordinasi yang dilakukan KemenkoPMK dilakukan secara periodik dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang memiliki tugas, pokok, fungsi, terkait perlindungan anak. Secara berkala, setiap tahun, koordinasi dilakukan dalam tiga tahap: •
RapatKoordinasi 1, yakni pertemuan koordinasi penyusunan rencana aksi tahunan yang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja (Renja) Kementerian/Lembaga, dan/atau dokumen perencanaan tahunan instansi terkait. Pertemuan ini pada dasarnya dapat membahas:
33 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
•
Penentuan prioritas isu dan/atau program tahunan Penentuan peran dan fungsi kerja Kementerian/Lembaga pelaksana program tahunan Penentuan mekanisme kerjasama antar-sektor Pembahasan pendanaan program prioritas Pembahasan mengenai rencana pertemuan koordinasi dua tahunan. Agenda pembahasan lainnya yang disepakati. •
RapatKoordinasi 2, yakni pertemuan koordinasi pelaksanaan rencana aksi yang sebelumnya sudah ditentukan dalam Rapat Koordinasi 1 dan dituangkan dalam dokumen rencana aksi tahunan. Rapat Koordinasi 2 ini dapat bersifat tematik/umum sesuai kebutuhan. Secara umum, pertemuan koordinasi ini dapat membahas hal-hal seputar: Pelaporan pelaksanaan tugas masing-masing Kementerian/Lembaga terkait, termasuk diantaranya pencapaian, hambatan, serta peluang perbaikan pelaksanaan program Pemberian masukan terhadap pelaksanaan program masing-masing Kementerian/Lembaga Penentuan langkah kerja berikutnya dalam pelaksanaan program Agenda pembahasan lainnya yang disepakati.
34 •
RapatKoordinasi 3, yakni pertemuan koordinasi evaluasi tahunan pelaksanaaan Stranas. Secara garis besar, pertemuan ini akan membahas hasil pemantauan dan evaluasi tahunan pelaksanaan strategi berdasarkan pemantauan dari Kementerian PPN/Bappenas, KPPPA, dan KemenkoPMK sebagai masukan bagi pelaksanaan tahun berikutnya. Hasil evaluasi tahunan akan disusun oleh tiga kementerian terkait, yaitu: KPPPA, Bappenas dan Kemenko PMK.
Adapun rancangan kerangka waktu tahunan pelaksanaan tiga fase koordinasi ini antara lain: Kuartal 1: Januari-Maret RapatKoordinasi 1
Kuartal 2: April-Oktober • Rapat Koordinasi 2 • Proses pemantauan dan evaluasi
Kuartal 3: November-Desember Rapat Koordinasi 3
Kelompok kerja tematik dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan khusus atas hasil dari pertemuan koordinasi yang dilakukan. Mekanisme koordinasi ke daerah dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga pelaksana terkait. Mekanisme ini juga dapat direplikasi di tingkat provinsi.
IV. 2. .Evaluasi dan Pelaporan Proses pemantauan dan evaluasi akan diatur selanjutnyasesuai dengan peraturan yang berlaku dan selaras dengan sistem pemantauandan evaluasi yang dilakukan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan. Mengingat indikator yang digunakan dalam setiap strategi mengacu pada indikator dalam RPJMN 2015-2019, maka pelaksanaan proses pemantauan, evaluasi, dan pelaporan akan berada dibawah koordinasi Kementerian PPN/Bappenas, bekerjasama dengan KPPPA dan KemenkoPMK. Prosedur yang digunakan dalam mengevaluasi mengikuti standar dan prosedur pelaksanaan pemantauan dan evaluasi RPJMN 2015-2019.
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
35
36
Daftar Pustaka
Abrahams, N., Devries, K., Watts, C. Pallitto, C. Petzold, M., Shamu, S. & Garcia-Moreno, C. 2014. Worldwide prevalence of non-partner sexual violence: a systematic review. The Lancet, 383, 1648-1654 ASEAN Regional Plan of Action of Elimination on Violence against Children (ASEAN RPA on EVAC), First Draft as of 15 May, 2015 Australian Governments, Department of Social Services, Second Action Plan 2013-2016 - Moving Ahead - f the National Plan to Reduce Violence aagainst Women and their Children 2010-2022 BPS. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: BPS BPS. 2014. The selected districts of Papua Province multiple indicator cluster survey 2011. Jakarta: BPS Committee on the Rights of the Child (CRC). 2011. General Comment No. 13: the right of the child to freedom from all forms of violence (para. 2026). Geneva, Switzerland: Committee on the Rights of the Child.
in ASEAN States. Bangkok: Thailand Council of Europe. 2009.Policy guidelines on integrated national strategies for the protection of children from violence. ECPAT International, Guide for National Planning: To Prevent, Stop and Redress Violations of Commercial Sexual Exploitation of Children, 2009 Ellsberg, M., Arango, D. J., Morton, M., Gennari, F., Kiplesund, S., Contreras, M., Watts, C. 2014. Prevention of violence against women and girls: what does evidence say? The lancet November 21, 2014 Garicia-Moreno C., Jansen H., Ellsberg M., Heise L., Watts C. WHO multicountry study on women’s health and domestic violence against women initial results on prevalence, health outcomes and women’s responses. Geneva: Switzerland.
37 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Coram Children’s Legal Center, 2015. Legal protection from violence: Analysis of domestic laws relating to violence against children
Hillis SD, Mercy JA, Saul J, Gleckel J, Abad N, Kress H. 2015. THRIVES: A Global Technical Package to Prevent Violence Against Chilren. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention ICMPD, Regional Best Practice Guidelines for the Development and Implementation of a Comprehensive National Anti-trafficking Response, 2007 ILO 1999. ILO Convention concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour No.182. Inter-Parliamentary Union, UNICEF, Eliminating Violence against Children. Handbook for Parliamentarians N° 13 – 2007, 2007 International Center for Research on Women & Plan International (ICRW). 2015. Are schools safe and gender equal spaces? Findings from a baseline study of school related gender-based violence in five countries in Asia. ICRW Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 KPPPA, Kemensos, Bappenas. 2013. Survei Kekerasan terhadap Anak, belum diterbitkan.
38
Krug E.G., Mercy J.A., Dahlberg L.L., Zwi A.B. 2002. World report on violence and health. Geneva: Switzerland Lyneham, S. & Larsen, J. J.2013. Exploitation of Indonesian trafficked men, women and children and implcations for support, Trends and Issues in Crime and Criminal Justice, 450, 1-7 Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., Lee-Rife, S. 2011. Solutions to End Child Marriage. What the Evidence Shows, 2011 International Center for Research on Women Norwegian Ministry of Children, Equality and Social Inclusion, Strategy. Childhood comes but once. National strategy to combat violence and sexual abuse against children and youth (2014-2017) OAK Foundation. 2010. Simplifying the language of Project Design Monitoring & Evaluation (DM&E). OAK Foundation Paulo Sérgio Pinheiro. 2007. United Nations Secretary-General’s Study on Violence against Children
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak 2010-2014 Rancangan, Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak 2015-2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI Task Force on Community Preventive Services. 2008. “Recommendations to reduce psychological harm from traumatic events among children and adolescents” American Journal of Preventative Medicine 35 (3): 314-6 Rancangan, Rencana Aksi Nasional Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja 2015-2019, Kementerian Kesehatan RI, belum diterbitkan United Nations Special Representative of the Secretary-General on Violence Against Children’s Office, Guidance for Developing Comprehensive National Action Plans to Prevent and Respond to Violence Against Children, Draft UN WOMEN, Handbook for National Action Plans on Violence Against Women, 2012 UNICEF. 2015. Overview of Violence Affecting Children in Indonesia. A Preliminary Literature Review. belum diterbitkan and
UNICEF. 2014. Hidden in Plain Sight: A Statistical Analysis of Violence against Children. New York City: UNICEF. United Nations Committee on the Rights of the Child, General Comment No. 13 (2011). The right of the child to freedom from all forms of violence WHO, UNODC, UNDP. 2014. Global Status Report on Violence Prevention 2014 Online KPAI. 2015. Dikutip dalam laman resmi KPAI: http://www.kpai.go.id/ berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/, diakses 6 November 2015 pukul 18.00 WIB
39 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
UNICEF. 2012 Child maltreatment: Prevalence, incidence consequences in the East Asia and Pacific region. Bangkok: UNICEF
Kompas Online, 2015. Salah satu artikel dapat dilihat di Tempo Online: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/27/173645609/pbb-sorotikekerasan-terhadap-anak-di-indonesia, dipublikasi 27 Februari 2015.
Badan Kesehatan Dunia, 2010: Definisi WHO (http://www.who.int/ maternal_child_adolescent/topics/adolescence/dev/en/)
40
Lampiran 1 Pemetaan Tugas dan Fungsi Instansi Pelaksana Stranas PKTA 2016-2020 Berikut ini adalah daftar lembaga pemerintah dan non pemerintah yang memiliki peranan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak. Identifikasi lembaga dan fungsi serta perannya masing-masing didasarkan pada fungsi dan peran yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019. Kementerian/ Lembaga
Rekomendasi Fungsi dan Peran
Keterkaitan dengan Strategi*
Instansi Utama, merupakan instansi yang berada secara langsung dibawah koordinasi dan supervisi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK) dan instansi Kemenko PMK sendiri a. Koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan perlindungan anak b. Koordinasi dan sosialisasi pelaksanaan Stranas PKTA c. Pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Stranas PKTA
1, 4, 5
41
Kementerian Agama
a. Pencegahan kekerasan melalui pendekatan pendidikan keagamaan b. Penguatan kapasitas terkait pengasuhan bagi calon pengantin c. Intervensi pencegahan dan penanganan kekerasan melalui penguatan KUA
1, 2, 4, 5
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
a. Pendidikan karakter dan budaya prestasi terhadap anak b. Pendidikan kecakapan hidup kepada anak, termasuk didalamnya kesehatan reproduksi c. Pendidikan anti korupsi, kekerasan dalam rumah tangga dan kejahatan seksual terhadap anak d. Pembekalan kepada tenaga pendidik anak
2, 3, 4, 5
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Kementerian/ Lembaga
Rekomendasi Fungsi dan Peran
Keterkaitan dengan Strategi*
Kementerian Kesehatan
a. Peningkatan akses dan kualitas kesehatan anak melalui program pembinaan remaja dan orangtua b. Penyediaan dan sosialisasi KIE, c. Penyediaan layanan bagi korban kekerasan melalui Puskesmas mampu Tatalaksana Penanganan Kekerasan terhadap Anak
Kementerian Sosial
a. Pemberian bantuan kepada anak keluarga miskin dan rentan b. Pemberian bantuan hukum, rehabilitasi sosial, serta pendampingan di panti c. Pemberian bantuan hukum, pendampingan disabilitas di luar panti d. Pemberian perlindungan pada anak yang terkena bencana
1, 2, 3, 4, 5
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
a. Penyusunan dan harmonisasi kebijakan mengenai perlindungan anak dari kekerasan, hukum, dan hak-hak anak b. Ketersedian data mengenai anak c. Mengkoordinasikan pelaksanaan Stranas PKTA, termasuk didalamnya advokasi dan pendampingan bagi daerah
1, 2, 3, 4, 5, 6
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
a. Penyediaan pelayanan sosial dasar untuk anak b. Penguatan fasilitas pelayanan kekerasan terhadap pelaku, korban, saksi kekerasan terutama di wilayah perdesaan, daerah tertinggal, dan pulau-pulau terluar
2, 5
42
1, 3, 5
Kementerian/ Lembaga
Rekomendasi Fungsi dan Peran
Keterkaitan dengan Strategi*
Instansi Pendukung, merupakan instansi yang tidak dibawah koordinasi langsung Kemenko PMK, namun dapat dilibatkan lebih lanjut mengingat tugas dan fungsinya relevan dengan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
a. Penyediaan dokumen perencanaan perlindungan anak b. Mengkoordinasikan proses pemantauan dan evaluasi berjalannya Stranas PKTA c. Penyediaan dan sosialisasi data dan kajian terkait perlindungan anak
1, 5, 6
Kementerian Dalam Negeri
a. Koordinasi dan fasilitasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah b. Penyediaan layanan catatan sipil, termasuk penyediaan akta kelahiran.
1, 5, 6
Kementerian Komunikasi dan Informatika
a. Peningkatan literasi media yang mengacu pada kepentingan terbaik untuk anak, terutama nilai-nilai anti-kekerasan dan toleransi kepada anak dan masyarakat b. Pengawasan terhadap media dengan muatan/isi yang melanggar hak-hak anak
1, 2, 5, 6
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
a. Pelatihan kompetensi Perlindungan Anak bagi Aparat Penegak Hukum b. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana Bapas dan Lapas anak
1, 5, 6
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
a. Pendidikan dan penyediaan informasi mengenai keluarga berencana, termasuk diantaranya pengasuhan dan kesehatan reproduksi bagi anak (khususnya remaja) dan orangtua b. Penguatan kemampuan hidup remaja melalui program ketahanan remaja
3, 4, 5,
Kementerian Luar Negeri
a. Perlindungan (termasuk advokasi kasus) terhadap pekerja migran anak dan pencegahan perdagangan anak
1, 5
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
43
Kementerian/ Lembaga
44
Rekomendasi Fungsi dan Peran
Keterkaitan dengan Strategi*
Kepolisian
a. Penanganan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap anak b. Pencegahan kekerasan terhadap anak
1, 2, 5
Kementerian Ketenagakerjaan
a. Penarikan pekerja anak dengan pekerjaan terburuk bagi anak (pengembangan norma kerja), serta perdagangan anak
1, 5, 6
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
a. Penyediaan layanan pengaduan dan penanganan awal kasus kekerasan anak b. Pemantauan dan Advokasi kasus c. Pencegahan kekerasan terhadap anak
Kementerian Pariwisata
Pencegahan kekerasan anak di sektor pariwisata, termasuk pencegahan terhadap prostitusi dan perdagangan anak
2, 5, 6
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
a. Penarikan pekerja anak dengan pekerjaan terburuk bagi anak (pengembangan norma kerja), serta perdagangan anak
1, 5, 6
Mahkamah Agung
a. Penyediaan sarana dan prasarana peradilan anak yang mengacu pada kepentingan terbaik bagi anak b. Pelatihan aparat penegak hukum terkait perlindungan anak dan sistem peradilan anak
1, 5
Kejaksaan Agung
a. Penyediaan sarana dan prasarana peradilan anak yang mengacu pada kepentingan terbaik bagi anak b. Pelatihan aparat penegak hukum terkait perlindungan anak dan sistem peradilan anak
1, 5
Komisi Nasional Anti- a. Penyediaan layanan pengaduan dan penanganan awal kasus Kekerasan terhadap kekerasan anak perempuan Perempuan
b. Pemantauan dan Advokasi kasus c. Pencegahan kekerasan terhadap anak perempuan
1, 2, 4, 5, 6
1, 2, 4, 5, 6
Kementerian/ Lembaga Lembaga Swadaya Masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok keagamaan, asosiasi profesi dan pengusaha, organisasi pemuda, dan masyarakat.
Rekomendasi Fungsi dan Peran Program pendidikan, penjangkauan, dan pelayanan terkait kekerasan terhadap anak.
Keterkaitan dengan Strategi* Seluruh strategi
Instansi lain yang dianggap perlu
Catatan Kode Strategi : 1
Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan
2 Pengubahan norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan atau mengabaikan kekerasan Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang antara pengasuh (khususnya orangtua) kepada anaknya untuk mencegah kekerasan
4
Peningkatan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan serta mendukung program wajib belajar untuk anak
5
Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak dalam resiko
6
Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak
45 STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
3
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK)
Kementerian
3; 2; 1; 1; 1
4; 6; 6; 6; 7
Jumlah K/L dan Provinsi yang memiliki profil perlindungan kekerasan terhadap anak
2; 2; 2; 2; 2
50; 50; 75; 75; 100
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019)
Jumlah kebijakan perlindungan kekerasan terhadap anak yang disusun, direview, dikoreksi, dan difasilitasi untuk diharmonisasikan
Jumlah usulan rekomendasi kebijakan perlindungan perempuan dan anak
Persentase (%) Kebijakan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dihasilkan
Indikator
3,3
3,4
8,3
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar) – RPJMN 2015-2019
STRATEGI 1: Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan
Indikator capaian setiap strategi disusun berdasarkan analisis dari program-program yang sudah tercantum dalam RPJMN 2015-2019. Berikut ini adalah daftar indikator capaian yang dapat digunakan berdasarkan hasil identifikasi dari Lampiran Matriks K/L dalam dokumen RPJMN 2015-2019, yang sudah dikategorisasikan berdasarkan strategi tersebut.
Indikator Capaian Berdasarkan RPJMN 2015-2019
Lampiran 2
46
3; 2; 1; 1; 1
7; 8; 9; 11; 12
Jumlah kebijakan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum yang disusun, direview, diperbaiki, dan difasilitasi untuk diharmonisasikan (kebijakan) Jumlah K/L dan Provinsi yang memiliki profil perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum
16000; 16500; 17000; 17500; 18000
Jumlah pekerja anak yang ditarik dari bentuk pekerjaan terburuk anak (BPTA) Persentase anak yang memiliki akta kelahiran
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker)
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
1; 1; 1; 2; 1
Jumlah dokumen profil perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum
75; 77; 79; 82; 85
6; 7; 7; 9; 9
2) Provinsi
1; 1; 2; 2; 3
2; 3; 3; 3; 3
Jumlah dokumen profil perlindungan kekerasan terhadap anak (dokumen)
1) K/L
2,4
3; 4; 4; 4; 5
2) Provinsi
22,2
1.529,66
1
5,88
3,5
0,95
0,9
1; 2; 2; 2; 2
1) K/L
47
3,65
3,65
110; 140; 145; 115; 145
5; 5; 8; 8; 8
Jumlah SDM terlatih tentang perlindungan kekerasan terhadap anak di K/L, Provinsi/Kabupaten/ Kota, dan Organisasi Masyarakat Jumlah SDM Pegiat (Champion) perlindungan kekerasan terhadap anak di K/L, Provinsi/Kab/Kota dan Ormas
104,8
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar)
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
24; 30; 30; 30; 30
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019)
Jumlah judul konten informasi yang siap pakai, dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan disebarkan ke masyarakat untuk meningkatkan kecerdasan dan pengembangan kepribadian bangsa dan lingkungan sosialnya (terutama daerah terdepan, terluar, tertinggal dan pasca konflik)
Indikator
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
Kementerian
STRATEGI 2: Pengubahan norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan atau mengabaikan kekerasan
48
597,59 (total seluruh indikator)
490; 515; 540; 567; 595
Jumlah perusahaan yang menerapkan norma kerja anak
Persentase keluarga yang memiliki balita dan anak yang memahami dan menerapkan pengasuhan dan perkembangan anak
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Jumlah rekomendasi kebijakan terkait dengan peningkatan peran keluarga dan kesejahteraan anak
Indikator
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)
Kementerian
9,4
74,4
50.2; 55.5; 60.5; 65.5; 70.5
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar)
2; 2; 2; 2; 2
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019)
STRATEGI 3 : Pengasuhan yang mendukung hubungan yang aman dan penuh kasih sayang antara pengasuh (khususnya orangtua) kepada anaknya untuk mencegah kekerasan
Kementerian Ketenagakerjaan
3,15
5; 7; 6; 6; 6
Jumlah pelaksanaan kegiatan KIE pelaksanaan kebijakan perlindungan kekerasan terhadap anak (aktivitas)
49
Jumlah lembaga/satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan kemandirian dan kepribadian karakter bangsa anti korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kejahatan seksual pada anak Indeks pengetahuan mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja melalui program Generasi Berencana
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Indikator
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
Kementerian
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar) 6.181,80
52,7
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019) 5000; 10000; 10000; 10000;10000
48.4; 49; 50; 51
STRATEGI 4 : Peningkatkan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dan mendukung program wajib belajar untukanak
50
1.763,30
1620; 1620; 1620; 1620; 1620
13717; 13717; 13717; 13717; 13717
130; 130; 130; 130; 130
1670; 1475; 1475; 1475; 1475 15000; 9700; 9700; 9700
Jumlah anak balita, anak terlantar / jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang mendapatkan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam panti Jumlah anak balita, anak terlantar/ jalanan, anak berhadapan dengan hukum, anak disabilitas, anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial diluar Panti Jumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang telah dikembangkan/ dibantu Jumlah pekerja migran terlantar yang dipulangkan ke daerah asal Jumlah korban tindak kekerasan yang mendapat rehabilitasi psikososial di RPTC dan LKS
208,5
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar)
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019)
Indikator
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham)
Kementerian Sosial (Kemsos)
Kementerian
STRATEGI 5 : Penyediaan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban, pelaku dan anak dalam resiko
51
Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham)
Kementerian
8; 13; 18; 23; 30 3; 8; 13; 18; 30
Jumlah Bapas yang mengimplementasikan pemantauan berdasarkan standar
5; 7; 9; 11; 13
Jumlah Bapas yang menyediakan layanan pencatatan, klasifikasi klien berdasarkan standar yang tersedia (berbasis IT)
Jumlah Bapas yang menyediakan konseling berdasarkan standar
5; 7; 9; 11; 13
Jumlah LPAS dan LPKA yang mengimplementasikan layanan pencatatan dan penilaian anak berdasarkan standar yang tersedia (berbasis IT)
5; 10; 15; 20; 30
125; 80; 80; 80; 80
Jumlah pendamping (masyarakat) yang meningkat kemampuannya dalam penanganan KTK dan PMB
Jumlah Bapas yang mengimplementasikan bantuan berdasarkan standar
5000; 3000; 3000; 3000; 3000
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019)
Jumlah pekerja migran terlantar yang mendapatkan asistensi sosial dalam bentuk UEP
Indikator
52 22.2
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar)
30; 40; 50; 55; 0
Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjangkauan siswa
Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
1; 0; 1; 0; 0; 4; 4; 4; 4; 4 1; 1; 1; 1; 1
Jumlah publikasi tentang profil gender dan anak (publikasi) Survei kekerasan terhadap perempuan dan anak
Target (2015, 2016, 2017, 2018, 2019)
Jumlah kebijakan terkait data gender dan anak (dokumen)
Indikator
STRATEGI NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK 2016-2020
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
Kementerian
STRATEGI 6: Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak
100; 100; 100; 100; 100
Persentase penelaahan dan mediasi pengaduan yang ditindaklanjuti
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
53
26
4,2
0,5
Dana yang tersedia (dalam Rp miliar)
2.761,9
4
54